Anda di halaman 1dari 12

Memori Pagi Hari

Pagi itu aku mulai berkemas-kemas ingin segera pergi sekolah. Aku sekolah di SMU favorit kota
kelahiranku. Pikiranku agak kacau gara-gara ada halilintar yang menyambar-nyambar meski tak ada
awan atau hujan . Di luar rumah terdengar merdunya burung bercicau, angin pagi semerbak semilir
seolah memberikan kesegaran pada setiap insan . Siulan burung-burung yang penuh gairah , loncatan-
loncatan burung kenari dari dahan satu ke dahan yang lain, menggambarkan sebuah keindahan
semangat hidup orang-orang desa yang lugu tetapi penuh optimisme .
Namun tidaklah demikian bagiku! Pagi itu terasa olehku bagaikan siksaan tusukan-tusukan ujung jarum
yang tiada henti. Rasanya aku segera ingin meninggalkan kamar rumahku, hanyalah semata ingin
meninggalkan kotbah bapakku yang terus-menerus tanpa tahu waktu. Sejak dua minggu terakhir ini
Bapakku selalu mengatur aku terus-menerus sesuai seleranya pribadi. Ancaman dan tekanan setiap saat
kurasakan.
Kau harus dapat tentukan nasibmu sendiri Rin, katanya kepadaku dengan suara bariton. Tidak ada
orang yang dapat mengubah nasibmu jika kau tidak berniat membangun nasibmu sendiri ! Ucapan itu
begitu jelas mengutip dari seorang juru dakwah. Hampir ucapan itu selalu terdengar tiap hari, tiap pagi,
bahkan setiap waktu selalu digunakan Bapak untuk mendorong dan membakar semangatku agar dapat
mengubah kebiasaanku yang suka malas akhir-akhir ini .
Namun aku tidak bergeming sedikitpun. Apalagi melakukan perintahnya , menjawab, mendengarpun
seolah tidak sanggup lagi . Memang aku sungguh merasa bahwa akhir-akhir ini tak ada konsentrasi
terhadap kewajibanku.
Kau dengar Rin ! Jangan kau lanjutkan kebiasaan mu itu! Dari balik tembok ibuku rupanya tidak ingin
ketinggalan memberi tambahan wejangan padaku.
Memangnya apakah ada orang sukses tanpa ada usaha? Lihatlah Dodi anak Pak Dullah, tetangga
sebelah! Ia sekarang kecukupan, rumahnya tingkat, mobilnya mewah . Dulu ia selalu patuh pada orang
tua dan selalu rajin bekerja ! sindir Bapak padaku.
Maklum, orang tuaku masih kolot bahwa kesuksesan dan kebahagiaan itu selalu diukur dengan materi.
Padahal tidak demikian menurut pendapatku. Kebahagiaan itu terdapat dalam hati . Materi hanyalah
suatu sarana untuk mencapai rasa bahagia semu. Orang bahagia bukan hanya karena tumpukan materi,
rumah mewah, mobil mewah. Jauh dari itu, aku yakini kebahagiaan itu munculnya dari hati sanubari
yang mendapat kebebasan untuk mengatur diri sendiri dengan didasari tanggung jawab mandiri.
Aku semakin jengkel jika dengar omongan Bapakku . Aku ini bukanlah anak-anak lagi, demikian batinku.
Tidak ada orang tua ingin menjerumuskan anaknya, kata ibu lembut sambil melipat selimut di
kamarku yang masih acak-acakan itu. Memang sebetulnya Ibu lebih dapat melihat isi hatiku dari pada
bapakku . Ketika bapak mengajarku dengan kata-kata yang sedikit menyakiti, ibu mesti membelaku.
Namun pagi itu rupanya ibuku mulai terbawa arus bapakku. Tidak membela aku lagi.
Rina , ayolah ikuti petunjuk bapakmu !
Aku masih membisu, tidak kugubris omongan kedua orang tuaku itu.
Kedua lubang telingaku ingin terus dipenuhi wejangan-wejangan yang selalu mengalir deras dari bapak
dan ibuku. Meski aku anak semata wayang, tidak ada rumus bagi kedua orang tuaku untuk memanjakan
padaku. Maksud Bapak tentu saja baik, hanya caranya itulah yang membuatku seolah aku tidak kuat lagi
mendengarkannya .
Dengarkan, zaman dulu, bapakmu ini hidup dalam keprihatinan, sekolah hanya jalan kaki, pagi
berangakat , pulang sekolah sore hari . Tak selembar uang ada di saku bapakmu. Apalagi sarapan, tak
pernah kurasakan . Nasi yang akan dimakan pun belum tentu tersedia. Karena semangat tinggi dan rajin
serta tekun, kau dapat lihat sendiri kondisi bapakmu sekarang ini, seolah ia membusungkan dadanya
seraya berkacak pinggang bagaikan sang juragan memberi nasehat kepada anak buahnya.
Maksud bapakku barangkali memberi contoh agar hidupku selalu prihatin dan agar aku selalu semangat
bekerja seperti anak-anak yang lain.
Aku hanya diam saja. Sebab menurutku lebih baik diam dari pada nanti salah jawab, akan menyebabkan
tensi bapak naik seperti tahun yang lalu hingga mondok beberapa hari di rumah sakit . Aku masih sangat
hormat dan sayang pada bapak ibuku. . Kamu , haruslah siapkan masa depanmu dengan rajin belajar !
Sedang kebutuhan apapun untukmu selalu kucukupi !
Benar omongan bapakmu Rin. Orang tuamu selalu mati-matian mencari uang untuk keperluanmu,
masa depanmu , kata ibu.
Hampir setiap pagi ia terus menerocos mendewasakan aku lewat dalil-dalil yang sudah usang dimakan
jaman . Banyak orang omong bahwa wejangannya itu benar. Hal itulah yang sering membuatku tak
berdaya menghadapi mereka.
Rasanya hati ini hanya segera ingin meninggalkan rumah untuk menuju sekolah. Bagiku sekolah adalah
tempat yang paling menyenangkan . Petuahnya mengalir terus tak ada titik dan komanya hingga sulit
aku menyela sedikitpun .
Aku sebetulnya sangat bangga punya tipe seperti bapak, gagah, tinggi besar, berkumis tebal seperti Pak
Raden; Suaranya lantang bagaikan suara sang presenter ketika mengantarkan lagu-lagu ndangdut di
telivisi yang sering ku tonton hingga larut malam itu . Aku percaya Bapak banyak dipuji orang karena
suaranya yang mantap bak seorang orator ulung. Namun entah karena apa aku jadi sangat lelah jika
orasinya ditujukan pada ku terus-menerus .
Hidup ini perjuangan Rin. Tidak ada kesuksesan tanpa diawali dengan bersusah- susah. Tidak ada
kepandaian tanpa diikuti dengan belajar rajin! Tidak ada kebahagiaan hidup jika tidak diawali dengan
ketekunan! Filsafat filsafat yang klasik itu mengalir terus - menerus seolah tak mungkin dapat
dibendung, bagaikan alur sungai yang membelah di desa kelahiranku. Terus mengalir !
Iyaaaaa . Paaak! Aku tahuuu! jawabku jengkel seakan menghentikan ceramah-ceramah nya.
Namun nampaknya Bapak malah semakin mantap memberi tambahan santapan rohani padaku .
Jaman sekarang ini dibutuhkan sumberdaya manusia yang tangguh! Jaman sekarang ini tidak cukup kau
pinter baca dan tulis! Namun kau harus mampu menyiapkan diri untuk bermandiri! Kau harus memiliki
wawasan yang luas, keterampilan yang cukup jika kau ingin hidup pada jaman ini.
Sudah sudah Pak! Aku sudah tahu! seraya menahan diri .
Kau harus lakukan itu semua . Itu harus! Jangan hanya Aku sudah tahu

Aku sudah punya prinsip Pak. Aku sudah pikirkan! Masa depanku sudah kurencanakan dengan caraku
sendiri ! jawabku untuk menambah keyakinan Bapak .
Rupanya ibuku sudah dapat menangkap isi hatiku yang semakin kacau. Ia hanya diam. Sekali-sekali ia
hanya mengiyakan kata-kata Bapak. Itupun mungkin suatu upaya agar tidak menyakitkan hati Bapak.
Aku tak cukup kau jawab itu Rin! Aku butuh ada sebuah aktivitas nyata. Aktivitas yang konstruktif!
Senang bekerja, membaca, sukur nanti kau punya hasil nyata berupa nilai rapor yang baik! Jagalah
norma, tata susila dan budi pekerti yang luhur serta keakraban yang mapan !, tuntutan Bapak yang
serba idialis dimunculkan lagi.
Sudah Pak, Aku sudah tahu!
Apakah tidak ada jawaban selain kata Aku sudah tahu ?
Nampaknya Bapak tidak semakin mengerti. Maksudku bahwa agar tidak melanjutkan memberi arahan
terus menerus kepadaku, justeru Bapak malah semakin semangat seperti Sang Jurkam mengobral janji-
janji di hadapan kontestan Pemilu.
Aku harus menjawab apa Pak? Kata kata Bapak sudah sangat kumengerti ! Terus mahu apa lagi?
Tinggalkan sifat-sifat malasmu! Tunjukkan semangat hidupmu!
Dalam keadaan bagaimanapun aku tetap harus mampu menunjukkan sikap patuh padanya. Meski aku
hanya menjawab dengan beberapa patah kata nampaknya bapakku tak tahu jika aku sudah tidak begitu
peduli dengan petuah-petuahnya itu.
Dengan sedikit emosi kutatapkan daun pintu kamar itu keras-keras. Maksudku agar Bapak segera
mengakhiri wejangannya. Namun justru nampak kemarahan yang meledak ledak .
Apa yang kau lakukan Rin? Kau ingin tatapkan kepala ku dengan pintu ya !
Seketika itu aku bagai disambar petir, aku mulai merasakan bahwa aku telah berbuat dosa yang teramat
besar kepada bapakku yang selalu memberi perhatian lebih kepadaku.
Akh maaf Pak, tidak demikian maksudku !
Lalu apakah yang kau lakukan itu ?
Bapak agar lebih bijaksana dan menahan diri . Tidak lebih dari itu .
Menahan diri ? Melihat kau yang begitu, tak bisa Bapak menahan diri!
Maksud Rina janganlah Bapak terlalu mengkhawatirkan tentang aku!, sambil menahan emosiku yang
telah lama tersumbat. Hampir saja aku menjerit atas kesalahanku itu. Mengapa kutatap begitu saja
pintu itu di depan mata Bapak?
Apakah ini yang disebut cinta buta terhadap anak ? pertanyaanku di dalam hati. Sebab kata orang
bahwa perhatian orang tua yang terlalu berlebihan justru akan berakibat kurang baik terhadap anaknya.
Mungkinkan akan terjadi pada diriku ?

Kumasukkan ke dalam tas satu-persatu buku-buku yang masih berserakan di atas meja kamarku .
Sedang lembaran-lembaran kertas itu kutata dalam stop map. Stop map warna biru itu kugunakan untuk
mengumpulkan tugas dari guruku . Beberapa buku yang kupinjam dari perpustakaan pun tidak akan
ketinggalan kumasukkan di dalam tas belajarku .

Aku melangkah ke luar kamar dengan air mata bercucuran, seraya menahan dan memikul setumpuk
beban. Pesan-pesan Bapak sebagai beban yang teramat memberatkan . Karena aku yang sudah tampak
dewasa ini harus terus menerus dijejali morma-norma yang kaku .
Kapan aku jadi dewasa dengan cara begini terus menerus? ungkapan pikiran yang selalu menyelimuti
di benak hatiku .Pertanyaan itu muncul, setelah melihat sikap bapakku. Meski aku tak sempat teriak
namun hatiku berontak, Aku butuh kebebasan! Bebas menentukan nasib, bebas melakukan apa saja.
Aku punya norma. Aku masih taat agama. Aku punya tata susila. Aku punya rasa! Aku sudah jenuh
mendengarkan petuah-petuah dari Bapak. Entah apa yang menyebabkan aku jadi semakin kesal jika
mendengarkan kata-katanya .
Di ruang depan rupanya Ibu menungguku. Mungkin Ibu tetap saja mendengar suara yang tertuju pada
diriku. Rupanya Ibu mulai merasakan jeritan deritaku. Kelihatan dari goresan raut wajahnya, ia
menampakkan rasa iba yang mendalam. Seraya menghibur aku ibu tetap memberi semangat,
Sudahlah Rin, tunjukkan kedewasaanmu.
Kapan aku dapat dewasa? jawabku untuk memancing ibu agar Ibu sedikit dapat mebela aku.
Kau harus lapang dada Rin . Bapakmu merasa menemukan kekhawatiran terhadap cara kerjamu selama
ini.
Kerja yang mana Bu? sahutku seolah-olah aku tak tahu .
Ya caramu belajar, caramu mengatur waktu.
Pandai juga ibu menunjukkan kekuranganku. Aku sebetulnya menyadari hal itu. Hanya sungguh aku
tidak suka dengan petunjuk-petunjuk sehingga seolah tidak memberi kesempatan padaku untuk
berargumentasi.
Berangkatlah segera . Kau nanti terlambat sekolah!
Dengan langkah lesu dan tanpa ucapan sepatah katapun namun aku tetap mohon ijin pergi sekolah
dengan mencium telapak tangan Ibu dan Bapakku, seraya aku tinggalkan rumah joglo kebanggaan orang
tuaku.
Langkahku ke sekolah seolah ada sesuatu yang mengganduli. Telapak kakiku terasa berat untuk
melangkah pagi itu. Jarak sekolah yang tidak begitu jauh membuat aku segera sampai sekolah.

Biasanya jauh sebelum teman-temanku sampai di ruang kelasku aku telah lebih dahulu di depan pintu.
Pagi itu aku terlambat datang beberapa menit. Untung pelajaran pertama diampu oleh Pak Widhi guru
favoritku. Guru itu yang mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia . Ketika aku melangkah masuk ke
ruang kelas, kuketuk pintu itu dengan pelan. Kemudian pintu yang tertutup itu aku buka pelan-pelan.
Debar jantungku nampak terasa ketika aku menghadap Pak Widhi. Rasaku takut bercampur malu. Aku
menundukkan kepala, kutahan napasku beberapa saat, justru menambah denyut jantungku semakin
berdebar. Aku mendekat seraya memperi hormat pada Pak Widhi,

Selamat pagi Pak! Maaf, saya terlambat, aku agak grogi. Pak Widhi membuka kaca mata, mengangguk,
kelihatan sekali kewibawaannya. Rupanya Pak Widhi baik hati. Kebaikan itu nyata, ketika tak ada
pertanyaan yang berarti pada diriku . Rupanya Pak Widhi juga baru saja memasuki ruangan kelasku.
Pantas tidak ada seorang teman pun yang mengganggu kedatanganku meski aku datang terlambat.
Biasanya teman-temanku meledek jika ada salah satu dari temanku yang datang terlambat . Pagi itu
tidak ada cemoohan bagiku !
Silakan duduk! Pak Widhi seraya mengangkat tangannya memberi kesempatan kepadaku untuk
menempati tempat duduk.
Sejenak aku menahan nafas untuk menenangkan hatiku sendiri. Kukeluarkan buku dari dalam tas , lalu
kuletakkan di atas meja. Semua tugas yang diberikan oleh Pak Widhi belum semua aku kerjakan .
Membuat aku takut karenanya .
Silakan engkau keluarkan PR-mu Anak-anak !
PR yang mana Pak ?, tanya Tini temanku sebelah.
Kliping puisi .
Belum selesai Pak! jawab teman-temanku sekelas seperti paduan suara .
Mendengar jawaban itu Pak Widhi rupanya kecewa ,
Lhoo kapan kau selesaikan tugas itu?
Minggu depan Pak Guru , jawabku memberanikan diri.
Rupanya Pak Widhi sadar pula bahwa tugas yang diberikannya bukan tugas yang ringan ,tidak mudah
segera diselesaikan. Tugas itu menuntut aku dan kawan-kawan harus mencari beberapa majalah atau
koran yang memuat artikel puisi .
Mata Pak Widhi memandangku sejenak, entah ingin berkata apa . Hanya senyum khas dari Pak Widhi
yang tersungging membuat hatiku berbunga-bunga karenanya.
Yaa baiklah , kalau begitu sekarang bukalah bukumu, sambil menuju ke papan tulis, Pak Widhi menulis
kalimat perintah : tulislah sebuah cerpen !
Kalimat perintah itu hampir tidak mendapat sambutan hangat dari seluruh siswa . Di samping tugas hari
yang lalu belum terselesaikan, membuat cerpen adalah tugas yang tidak begitu gampang dilakukan
setiap orang.
Apakah tema yang menarik Pak ?, tanya Gunawan ketua kelasku.
Temanya remaja .
Tentang apa Pak ?, Apakah tentang cinta ? Asyik ! Hampir seluruh kelas tertawa. Aku juga ikut
tertawa gara-gara pertanyaan Gunawan . Selama ini memang ada isu jika Gunawan terpesona kepada
Tini gara-gara ia pandai bernyanyi .
Oh bukan ! Bukan cinta, kata Pak Widhi sambil melepas kaca matanya.
Lalu apa ?
Tema cerpen itu adalah tentang cita-cita seorang remaja.
Mengapa bukan tema cinta Pak ? Remaja kan identik dengan cinta ? pertanyaan ngotot dari Gunawan
membuat suasana kelas semakin penuh canda .
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Pak Widhi, hanya tersenyum sambil melirik kepada Tini sehingga ia
kelihatan grogi mendengar usul Gunawan tadi. Barangkali jikalau dijawab pertanyaan itu nanti akan
berkembang menjadi problem pribadi antara Gunawan dan Tini.
Meskipun teori menulis cerpen telah diberikan oleh Pak Widhi seminggu yang lalu, temanku masih
banyak yang menggerutu belum banyak yang tahu.

Namun tidak demikianlah aku. Aku paling suka jika menulis cerpen. Entah karena apa perintah guruku
justru membuat semangatku malah semakin menggebu-gebu. Pak Widhi mengulang lagi,
Tema cerpen itu tentang cita-cita remaja saja.
Cita-cita remaja jaman dulu atau remaja jaman sekarang Pak? pancingku membuat hampir seluruh isi
kelasku tertawa lagi.
Lho, apakah kau tahu cita-cita remaja dulu Rin?
Seandainya aku harus menjawab tentu kujawab tahu sebab Bapakku selalu menceritakan tentang cita-
cita dan harapannya jaman dulu .
Pak Widhi mengulang memberi petunjuk tentang cara menulis cerita . Dengan sabar ia jelaskan lagi teori
untuk menyikapi agar tugas itu tidak terasa berat bagi murid-muridnya. Pak Widhi mengulang teori
menulis cerpen mulai dari tema , setting, alur, penokohan , sudut pandang dan amanat cerpen.
Tulislah keinginanmu, harapanmu yang engkau angan-angan di dalam hatimu lewat alur yang
menarik.
Tini menggerutu, Akh. keinginan dan harapan sebetulnya ada Pak, tapi menyusun dengan alur ,
sangat sulit Pak !
Cobalah dahulu ! sambil memberi semangat kepada Tini .
Siap Pak ! sambung teman-temanku.
Bagaimana Kau Rina ? Kau punya tema menarik? tanya Pak Widhi padaku.
Dengan nada ringan dan seolah tanpa beban aku menjawab pertanyaan Pak Widhi ,Punya !
Mendengar jawabanku itu Pak Widhi mendekatiku.
Sambil menunjukkan lembaran kertas yang ada di depanku ,aku berkata kepada Pak Widhi,
Rina mempunyai tema yang menarik Pak.
Ya, bagus !, puji Pak Widhi padaku . Siapa pelaku utama dalam cerpenmu Rin?
Rina sendiri Pak Guru !.
Kamu sendiri sebagai pelaku utama?, tanya Pak Widhi seolah tidak percaya kepada jawabanku .
Pak Guru mendekati tempat dudukku. Sekali-sekali Pak Widhi berkeliling mengawasi murid-muridnya ,
ada pesan yang sangat mengesan disampaikan kepadaku,
Rin, hari ini kelihatan kau berbeda dengan dengan kemarin.
Apa sih, yang beda Pak ? jawabku ragu-ragu.
Yaa saya lihat kau ada bedanya dengan kemarin . goda Pak Widhi
Tidak, tidak ada bedanya , sama saja .
Jangan bohong Rin, mesti kau ada masalah di rumah.
Pertanyaan Pak Widhi itulah yang menjadikan aku semakin tak berdaya. Berbagai pertanyaan muncul
dari dalam hatiku sendiri, siapakah yang memberitahukan keadaanku di rumah ?. Bagaimanakah cara
Pak Widhi mengerti keadaanku di rumah?
Selama ini memang aku rasakan Pak Widhi sering memberi perhatian padaku. Mungkin karena meja
tempat dudukku berada pada baris pertama, tepat di depan meja guru. Memang semenjak aku diajar
Pak Widhi, aku sungguh terasa sangat dihargai . Dari sikapku, langkah -langkah kerjaku, sampai cara
berpakaianku pun , selalu mendapat perhatian dan pujian.

Tidak hanya aku, ternyata banyak di antara temanku yang menaruh simpatik kepada Pak Widhi .Simpati
dari teman-teman iyu muncuk karena Sifat-sifatnya yang sabar, bahkan sesekali humornya sangat
menggigit, segar, sering dilontarkan oleh pak Widhi. Malahan sindiran-sindiran halus pun sering muncul
dari Pak Widhi.
Pak Widhi melanjutkan memberi arahan kepada teman-temanku juga padaku,
Mulailah kau nulis dengan apa yang engkau tahu Nak. Apa yang pernah kau rasakan, apa yang pernah
kau lihat, apa yang pernah kau alami serta apa yang dapat kau angan-angankan . Tulislah ! Tuliskanlah
semua, jangan takut-takut menulis !
Akan ku coba Pak! jawabku dengan penuh percaya diri.
Ingat, dalam cerpen tidak akan ada perubahan nasib pelaku-pelakunya !,pesan Pak Widhi mengulang
ciri-ciri cerpen yang sering di berikannya ketika aku mencatat di dalam buku catatanku.
Perubahan yang cukup mencolok kurasakan, antara suasana di rumah dan di sekolah . Jika aku di rumah,
suasana rumahku joglo yang anggun itu seolah berubah menjadi neraka. Namun jikalau di sekolah,
hatiku jadi tenang, semangat selalu ada , seolah pagi itu tiada paksaan yang kurasakan. Sangat
kurasakan bahwa vas bunga yang mungil di atas meja guru itupun dapat memberikan ketenangan
batinku.
Mengapa bapakku justru tidak mampu memberi ketenangan batinku? Pertanyaan itu setiap saat muncul
dari lubuk hatiku. Sebaliknya rahasia apa yang membuat aku semakin bersemangat, penuh percaya diri
ketika aku mendengar pesan dari guruku ini , Pak Widhi .
Menulis cerpen itu mudah , asal kau lakukan dengan kesungguhan . Untuk memudahkan hal itu ,
renungkanlah dahulu tema yang menarik perhatianmu .
Tema yang menarik itu seperti apa ?
Seperti yang kau alami sendiri .
Mendengar penjelasan pak Widhi itu aku dan kawan-kawanku tertegun .
Engkau pernah merasakan kebahagiaan ? Engkau pernah merasakan kesedihan?. siksaan, hujatan,
pujian ?
Pernah ! , jawab temanku memotong penjelasan Pak Widhi . Aku pun pernah merasakan berbagai hal
tentang kebahagiaan, kesediahan , pujian bahkan hujatan namun aku tetap diam saja . Sebab
menurutku apa yang disampaikan Pak Widhi itu telah menjadi santapanku setiap hari . Aku sudah tidak
asing lagi.
Sementara aku sudah mulai menulis cerpen itu Pak Widhi masih memberi tambahan penjelasan ,
Jika engkau sedang ada masalah dengan keluargamu, kakakmu, ibumu, bapakmu atau dengan siapa
saja , berarti engkau memiliki sumber tema yang luar biasa. Gunakan sebagai sumber inspirasi di dalam
engkau menulis cerpenmu! .
Aku hanya dapat menganggukkan kepala sambil mencoba menulis sebisa-bisanya. Dalam batinku aku
selalu bertanya Siapakah yang memberi tahu Pak Widhi bahwa aku di rumah sedang ada masalah
dengan bapakku.
Teori yang diberikan Pak Widhi kepadaku, aku praktikkan. Semenjaklah itu terasa ada sinar yang terang
kepadaku. Sinar berupa semangat hidup untuk melawan kemalasan, keputusasaan. Sinar berupa
kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan pendirian untuk menuju kepada cita-cita yang luhur.

Apa yang pernah kurasakan, apa yang pernah kualami, apa yang pernah kurindukan semua kutulis dalam
kertas folio putih . Hampir tidak pernah aku mengalami kebuntuan dalam menyusun kata-kata.
Rangkaian kata-kata membentuk beberapa kalimat, dan kalimat-kalimat itu akhirnya membentuk
sebuah wacana cerita yang sangat sederhana .Cerita pendek pengalamanku di rumah kutulis seolah
tiada habis.
Ujung penaku tidak pernah henti-hentinya menari-nari di atas kertas menuliskan aliran pikiran yang
mengucur terus menerus tiada henti.
Ku tulis pengalamanku yang masih melekat pada benak pikiranku. Pengalaman kejadian yang baru aku
rasakan beberapa jam ketika menjelang keberangkatanku menjadikan sebuah alur cerita yang menarik.
Kalimat demi kalimat kurangkaikan menjadi sebuah paragraf yang mengasyikkan .

Ketika aku melirik teman duduk sebelah kiri kananku , belum ada yang telah menyelesaikan cerpennya.
Bahkan ada juga temanku yang belum mulai menulis. Sedangkan aku sudah kurampungkan beberapa
lembar.
Jam dinding yang menempel di atas papan tulis telah menunjukkan pukul 09.00 berarti hari itu pelajaran
bahasa Indonesia telah selesai .Dari tempat duduknya Pak Widhi mengingatkan kepada seluruh siswa,
Waktu telah habis, Anak-anak! Ayo kumpulkan karanganmu !
Teman-teman seluruh kelas hampir secara serempak menggerutu,
Huuuuuuu. Belum Pak! Belum selesai! Belum jadi cerita jelas teman-teman yang duduk di bagian
belakang. Terdengar seperti pasar ketika mereka saling menunjukkan hasil karyanya kepada sesama
teman. Hampir mereka belum dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Pak Widhi pagi itu.
Susahnya bukan main Pak , untuk mengembangakan agar menjadi cerita , keluh Tini kepada Pak Widhi
.
Mendengar keluhan siswa-siswinya Pak Widhi hanya tersenyum. Senyum kekecewaan dari seorang guru.
Kecewa karena sebagian dari siswanya belum dapat memberi kepuasan batin kepadanya. Hasil yang
telah diterima dari siswanya ternyata belum sepadan dari apa yang pernah ia berikan . Aku berkata
dalam hati, Inilah ujian bagi Pak Widhi. Diuji sejauh mana kesabaran dan kebesaran jiwa guru sejati .

Sebelum Pak Widhi meninggalkan ruang kelasku, kuhampiri Pak Widhi tepat di depan pintu. Aku terharu
atas ketabahan Pak Widhi, hingga tak sengaja aku sampai berlinangan air mata. Air mata yang keluar
dari telupuk mataku tanpa kusadari. Aku punya simpati kepada Pak Widhi sebab selama ini ia telah
memberi perhatian yang murni dan suci. Kepingin rasanya aku menghibur Pak Widhi guruku dengan
cara kutunjukkan hasil karyaku.
Inilah hasil karya Rina Pak! ,ku pandang Pak Widhi, sambil kuserahkan cerpenku.
Pak Widhi hanya berucap singkat Terima kasih. ia melangkah mejauhi ruang kelasku sambil membawa
rasa kecewa karena hanya sebuah karya yang mampu dipersembahkan oleh siswa-siswanya.
Aku merasa bangga dapat menunjukkan sebuah karya cerpen yang sederhana kepada Pak Widhi guruku.
Karya itu berupa cerita dari diriku sendiri. Suasana yang sangat aku benci ketika aku di rumah, ternyata
membawa hikmah yang luar biasa kepadaku hingga aku mampu menyusun sebuah cerpen. Cerpen itu
aku peruntukkan kepada Pak Widhi guruku.
Dalam hatiku terucap, Terimakasih bapakku, ibuku, dan guruku ternyata engkau telah nenuntun aku
menuju kepada semangat hidup yang lebih maju!

Kekuatan Cinta
Malam itu, aku menatap foto yang tersimpan di handphoon nokia-ku. Mengingatkan aku pada kenangan
indah dari seseorang yang pernah menembus rasa hati. Senyumku mengembang, hingga air mataku
mulai membasahi pipi, anganku kembali menyambut masa itu. Matanya yang sendu dan berkaca,
dahulu mata itu selalu menatapku sembari mencuri curi pandang hanya kepadaku seorang. Senyumnya
menggoda, bibirnya yang pandai bicara, tingkah-lakunya nakal namun nasihatnya masuk akal. Tawanya
yang renyah selalu terngiang-ngiang di telingaku. Pesan-pesan dengan ragkaian kata indah selalu
mengalir dan terkirimkan di hp- ku setiap hari tiada henti. Semua itu, mengingatkan aku pada seseorang
yang pernah kusinggahi sudut hatinya. Kisah cintaku itu berlangsung ketika berada di almamater
tempatku mendulang ilmu.
Pagi itu, sesungguhnya angin berhembus sumilir bersih, sepantasnya jika membawa hati menjadi damai
dan cerah. Namun suasana sejuk itu justru menjemput hidupku terasa gelisah, wajahku jadi merah
padam, kemarahanku muncul menyembul. Mengapa ini bisa terjadi? Semenjak aku menerima berita
hangat menyengat. Suara serak-serak basah itu muncul dari telepon Yulia. Suara seorang wanita Yulia
yang masih terngiang di telingaku meminta agar aku memutuskan rasa cinta pada seorang pria pujaan
hati.
Ya, aku menyimpan cinta untuk orang yang sama, Mas Tono. Suara hati nurani yang jujur itu seolah
tak pernah bisa saya lupakan. Suara itu yang selalu terasa mengancam. Suara itu yang sering menjadikan
jiwa ini tercekam.
Nit... Nit.... Suara Dini membuntutiku saat menuju koridor kafetaria kampusku.
Kok murung lagi, ada kabar terbaru? Dia masih telepon kamu terus ? Pertanyaan Dini
memberondongku.
Ya.. gitulah... Jawabku singkat.
Gitu gimana? Ayo... cerita dong...! Rengek Dini menggodaku. Aku pun dengan langkah pasti memasuki
ruang berukuran 4x4 meter persegi.
Iya....tapi aku pesan minuman dulu, ya.. haus banget, nich...
Oke dech... Kita duduk di pojok, yuk, biar lebih santai...!! Kemarin aku tak jadi ketemu dengan Yulia,
tapi sebagai gantinya dia udah ngomong banyak melalui telepon hingga sampai berjam-jam, ngga
percuma ngabisin pulsa.
Dia cerita apa-an sich.. ? tanya Dini kepadaku.
Banyak banget Din, antara Mas Tomo dan Yulia, mereka sesungguhnya pacaran udah lama . Semenjak
mereka duduk di bangku kelas dua SMA sampai sekarang hingga mereka kuliah. Bahkan kini mereka
sudah punya rencana untuk tunangan. Namun, rencana itu gagal karena Mas Tono bukan dari keluarga
baik-baik. Ya... karena Mas Tono dari keluarga single parents.
Sembari aku membetulkan kursi rotan tempat dudukku, Dini pun sudah tidak sabar lagi mendengarkan
kelanjutan ceritaku. Aku mulai menerocos cerita,
Orang tua Mas Tono bercerai semenjak Mas Tono di kelas 3 SMP. Semenjak peristiwa itu Mas Tono
tinggal bersama ibunya. Dia termasuk anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya.
Sedangkan ibunya sendiri bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Ibunya hampir setiap
hari meninggalkan rumah sejak matahari terbit, hingga matahari terbenam, bekerja mulai dari pagi
sampai malam hari.
Dini mendengarkan ceritaku seolah kedua matanya tidak berkedip.
Mas Tono tumbuh dewasa tanpa perhatian orang tua. Memang dalam hal materi apa pun yang ia
inginkan dapat terpenuhi. Tetapi dalam hal kasih sayang tidak pernah ia dapatkan.
Terus kamu tidak komentar apa-apa?, sahut Dini memotong.
Din, rasa-rasanya mulutku terbungkam, dia gomong terus seolah tak pernah merasa capek-capek,
bahkan Yulia minta aku menjauhi Mas Tono. Yulia menuduhku telah merebut Mas Tono , Yaa... Yulia
menuduhku telah merebut hati Mas Tono .
Dini seketika beranjak dari tempat duduknya karena mendengarkan bahwa aku yang seolah-olah
dijadikan kambing hitam Yulia.
Nita..., seharusnya kamu membela diri dong...!
Dini menghela napas beberapa saat,
Tetapi... kalau kamu meninggalkan Mas Tono apakah kamu bisa? Bukankah kamu sangat
menyintainya?
Begitulah pertanyaan retotik yang selalu keluar dari bibir mungil Dini. Aku merasakan tidak merebut
Mas Tono dari Yulia. Aku merasakan tidak pernah menyakitkan Yulia. Sungguh sumpah, bahwa cara-cara
percintaan yang konyol itu aku tidak akan melakukan. Lagi pula aku punya pendirian bahwa rasa cinta
itu tidak dapat dipaksakan, rasa cinta itu datangnya dari Tuhan. Ya..., kalimat-kalimat itu memang aku
kutip dari pesan SMS Mas Tono yang sering masuk ke ponselku. Lagi pula Yulia sendiri yang
meninggalkan Mas Tono pada saat ia kesusahan. Waktu Mas Tono masih pecandu narkoba, seharusnya
Vika bisa menerima dan mampu memberi terapi, atau sebagai penasehat pribadi.
Namun nyatanya Mas Tono malah dicampakkan! Itulah ang menjadikan permasalahan ini semakin
rumit. Kalau memang benar-benar cinta, Yulia sebaiknya menerima Mas Tono apa adanya baik dalam
keadaan duka maupun suka. Itu baru yang namanya cinta. Meskipun keluarga tidak merestui hubungan
mereka, selayaknyalah mereka mempunyai cara. Bagiku untuk bermain cinta ada seribu cara! Tentunya,
jangan sampai hilang akal, norma, tata susila. Dalam bermain cinta, aku punya prinsip selagi aku punya
niat murni, berani, dilandasi cinta suci, maka Tuhan pasti memberkati.
Dini seolah tidak mau menerima kelakuan Yulia terhadap aku.
Iya...sich...?! Apa yang kamu omongkan sesungguhnya masuk akal Din....
Nit... seharusnya kamu tidak usah memikirkan Yulia, dia sudah menyakitkan hatimu dan hati Mas Tono.
Yulia telah membuat Mas Tono nge-drug. Seharusnya Yulia itu berterima kasih kepadamu, Nit...
Terima kasih apaan, sich? Din..., aku kan tak pernah menolong Yulia aku tak pernah membuat Yulia
bahagia. Justru aku sudah membuat Yulia sedih karena sekarang aku bersama Mas Tono.
Tapi kan, Nit... kamu itu udah membuat Mas Tono bisa keluar dari ketergantungan obat-obatan maksiat
itu! Tegas Dini memantapkan mat hatiku. Bahkan kamu sudah membuat Mas Tono kembali menjadi
orang yang baik sehingga dia sekarang mau melanjutkan kuliahnya.
Sambil sekali-sekali membenahi kaca minusnya Dini melanjutkan pembelaan. Sekarang Mas Tono
sudah sembuh total dari drug yang hampir merenggut nyawanya. Semua itu karena kamu Nit....
Ya..karena kamu! Dini mulai melanjutkanpembelaannya seolah seperti ahli hukum yang sedang beradu
argumen di depan pengadilan. Nit..., bisa jadi karena kekuatan cinta yang kau tembuskan kepada Mas
Tono seakan-akan bisa membuat segala sesuatu bisa terjadi. Ya... yang sesungguhnya tak mungkin
terjadi bisa terjadi Nit.., kata Dini terus memberi nasehat kepadaku. Bisa jadi untuk mengembalikan
kepercayaan diriku yang beberapa hari ini aku merasakan frustasi. Sesaat kemudian Dini mencoba
memunculkan jurus-jurus keselamatan bagiku.
Begini ini saja. Nit... Bagaimana seandainya kalian nanti bertemu bertiga?, dengan cara ini saya pikir
masalahnya bisa lebih jelas. Nanti kamu akan tahu Mas Tono itu sesungguhnya memilih kamu apa Yulia.
Oke?!, lanjut Dini,
Iya... sich... mungkin hal itu bisa terjadi. Aku sendiri heran juga, apalagi dari kaca mata umum, rasanya
sulit dipercaya bahwa hanya berawal dari tatapan mata yang tidak sengaja aku bisa sampai jatuh cinta
pada Mas Tono. Aku mengakui memang diriku masih muda-belia. Namun, entah mengapa aku sangat
mencintainya. Jika ditanya mengapa aku jatuh cinta? Rasanya sangat susah jika harus kusampaikan
dengan kata-kata.
Aku mengakui, Dini memahami isi hatiku. Aku memang terlalu jujur, semua masalah pribadi hapir aku
ceritakan kepada Dini. Dini pun seolah merasa enjoi setiap mendengarkan cerita cintaku,
Din... berkali-kali aku jauh cinta, rasanya belum pernah aku cocok banget seperti ini. Dari obsesinya,
dari penampilannya, dari pembicaraannya, sifat-sifatnya, tingkah lakunya, kebiasaannya, keinginan ke
depan. . . ah... bahkan aku menerima dia apa adanya walaupun dia seorang mantan pecandu narkoba.
Dini hanya memberikan anggukan kepala menandakan bahwa Dini dapat membaca dan setuju
maksudku.
Tidak terasa, ternyata sudah setegah jam aku dan Dini di kafetaria kampusku. Nampak Dosen
pengampuku telah memasuki ruang kuliah. Dina menarik tanganku untuk segera meninggalkan tempat
duduk di ujug kafetaria yang bercat biru . Cat tembok berwarna biru di kafetaria itu memberi obsesi
kepada keteguhan dankemantapan jiwaku, bahwa cinta itu perlu dipelihara. Cinta itu tidak boleh untuk
main-main belaka. Aku semangat, segera bangkit dari tempat dudukku.
Iya, Din. Tapi aku bayar minum dulu... ya...??!
Sambil berjalan menuju ruang kuliah, aku dan Dini terus membicarakan Mas Tono dan dia minta aku
berjanji menceritakan pembicaraanku dengan Yulia sampai selesai, setelah pulang nanti.
Dalam ruang kuliah aku tidak dapat konsentrasi sepenuh hati, aku masih terbayang jelas kata-kata Yulia
lewat hp-ku kemarin. Tiba-tiba Tok...tok...tok... suara pintu diketuk seseorang , ternyata salah satu
satpam di kampuskuku.
Maaf mengganggu, apa ada Mbak Nita ?, tanya satpam itu, sambil menatap seluruh isi ruang kuliah
itu.
Iya... Saya .... Ada apa, Pak ?
Dicari Bapaknya di ruang tamu.
O...ya... makasih Pak...
Aduh, ada apa ya, Din ? Sepertinya tidak biasanya, ya ?
Udah. . . kamu ke sana dulu, ya ?!, bisik Dini mempersilakan aku ke luar dari ruangan kuliahku.
Dengan terburu-buru aku memasuki keheningan ruang tamu di Fakultasku. Di sana Papa telah
menunggu.
Oh... Papa, ada apa, Pa ? Kok tumben...?
Gini, Nit... papa tadi menerima khabar bahwa Mas Tono kecelakaan. Sekarang dia di rawat di rumah
sakit.
Apa..??! Aku shock banget, seluruh tubuhku gemetar, pikiranku ngga karuan.
Kalau gitu. sekarang aku akan minta ijin dulu sama Dosenku Pa..!, ucapku tergesa-gesa. Dini setia
mengorbankan waktu ikut juga membolos kuliah keluar dari ruang kuliah untuk mengikuti aku. Tidak ada
sepatah kata pun yang muncul dari mulut Dini. Yang biasa selalu bicara, kini tiba-tiba diam seribu
bahasa.
Aku, Dini dan Papaku pergi ke rumah sakit dengan mobil Papa. Selama dalam perjalanan menuju rumah
sakit, aku terus melamun dan memikirkan keadaan Mas Tono. Sementara itu, Dini terus saja
menghiburku dan menyuruhku untuk tetap berdoa.
Sesampai di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Mas Tono, Ku coba tuk menenangkan diri melihat
kenyataan yang ada. Aku hanya bisa diam. Wajah Mas Tono pucat, bisa jadi karena banyak keluar darah.
Aku tatap wajah Mas Tono dalam-dalam, matanya terpejam, bibirnya bergerak, mengaduh pelan,
Aduh... aduh... aduh... sakit..., suara Mas Tono lirih.
Aku mulai mendekati, tangannya yang terkulai lemas kucoba kuraba. Tak mampu rasanya aku membuka
kata untuk menyapa. Aku mulai meneteskan air mata. Kucoba menyapa, Mas..., Mas... Tono...! sapaku
lirih.
Perlahan-lahan mata Mas Tono terbuka. Mas Tono kaget melihat aku ada di depannya. Air mata Mas
Tono mulai bercucuran, menangis,. Kuusap dengan sapu tanganku yang berwarna biru berulang-ulang.
Aku dan Mas Tono saling memandang. Dengan replek tanganku setiap aku melihat tetes air mata
yangkeuar dari ujung mata Mas Tono, sapu angan biruku mengusap berkali-kali tanpa kusadari
Yang ... kamu mencintai Saya ?, ucap Mas Tono lirih.
Iya, Mas. Aku sangat mencintai Mas...
Benar...?? Aku sangat mencintai kamu. Kata Dini kemarin Yulia telepon kamu?
Udahlah, Mas... jangan dipikirin, yang penting sekarang Mas Tono harus cepat sembuh...
Yang... kamu tidak akan meninggalkan aku, kan. Kamu akan tetap menerima keadaanku walaupun aku
mantan pecandu ?, kata Mas Tono.
Iya...Mas. Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Aku sayang banget sama kamu, ucapku tulus.
Yang... tolong kamu suruh Yulia ke sini, Ya..?! Aku mau ngomong sama dia, pinta Mas Tono.
Aku ambil ponsel yang ada di dalam tas mini yang menggantung di bahuku,
Hallo... Yulia, ini Nita, aku minta kamu datang ke Rumah Sakit Umum DR. Mawardi! Di ruang Dahlia
nomor 5, sekarang juga karena Mas Tono kecelakaan dan dia mau ngomong sama kamu.
Di ruang tunggu semua teman Mas Tono sudah panik menyaksikan pertemuan antara aku dan Yulia.
Suasananya menjadi tegang dan kaku. Tiba-tiba tampak seorang gadis berambut pendek
menghampiriku. Sejenak kutatap dia dan kuulurkan tanganku.
Yuk... Yul.., aku antar kamu ke Mas Tono.
Dengan suara terbata-bata dan tanpa bosa-basi Mas Tono memberanikan diri untuk berterus terang,
Yulia..., aku harap kamu merelakan saya bersama Nita. Maaf Yul... bukan maksudku untuk
menyakitimu tapi aku sadar kalau Nita adalah orang yang benar-benar aku cintai dan aku sayangi. Dialah
orang yang telah membuka hati Saya dan mengeluarkan aku dari ketergantungan narkoba, ucap Mas
Tono sambil membetulkan posisi tidurnya.
Nita juga sudah membuat saya kembali kuliah dan bisa lebih menghargai dan menyayangi Ibuku. Aku
tidak bisa berpikir, mengapa kamu mempermasalahkan hubungan kita setelah kamu meninggalkan
Saya? Pada saat aku dahulu benar-benar membutuhkan kamu, ternyata kamu pergi dengan laki-laki
lain, lanjut Mas Tono sambil menatap Yulia.
Aku mohon Yul..., jangan ganggu kebahagianku dan Nita, kata Mas Tono kembali. Bahkan aku
berencana setelah lulus kuliah dan aku sudah bekerja, aku akan melamar Nita sebagai istriku.
Aku kaget akan kata-kata Mas Tono dan sekaligus bahagia mendengarnya. Aku hanya diam mendengar
kata-kata Mas Tono.
Yulia menyadari dan menyesali apa yang pernah terjadi.
Maafkan aku, Mas. Aku sadar kalau aku bukan wanita yang pantas untukmu, ujar Yulia kepada Mas
Tono. Sementara itu, Yulia pun memuji aku, meski secara jujur isi hatinya aku tak tahu. Air mata di pipi
Yulia tampak mulai membasahi wajahnya sendiri. Dengan terbata-bata Yulia berkata,
Nit... aku sangat berterima kasih ternyata kamu selama ini udah membuat Mas Tono bahagia dan
kembali ke jalan yang benar. Aku percaya akan kekuatan cinta kalian. Meski berat, aku doakan semoga
kalian benar-benar menikah. Kalau kalian menikah, jangan kau lupakan saya, ya...?!, kata Yulia sambil
kepadaku.
Iya, Yulia. Aku juga berterima kasih atas pengertianmu. Jadi, sekarang kita bersahabat, kan..?.
Iya... sekarang kita bersahabat, ujar Yulia.
Aku dan Yulia saling memandang, Mas Tono memandang kami berdua. Tida pasang mata berbaur
menjadi satu dalam nuansa perjangan cinta.
Tiba-tiba saja Dini masuk ruangan dengan membentangkan kedua tangan seraya mengatakan,
Kekuatan cinta ternyata bisa membuat kita keluar dari hal-hal yang tidak mungkin menjadi menjadi
terjadi. Kekuatan cinta bisa membuat orang menyadari semua kekeliruannya. Bahkan dengan kekuatan
cinta ternyata bisa membuat seseorang menjadi semangat bekerja dan awet muda.

Klaten, 9 Juli 2008

Anda mungkin juga menyukai