Anda di halaman 1dari 3

Gemericik air berbunyi dari pancuran air membasahi tubuhku yang sudah babak belur berkelahi

dengan dunia hari ini. Pikiran-pikiran itu mulai memenuhiku, mengisi kepalaku sampai tumpah
persis seperti bak mandi di depanku. Tubuhku terasa ringan sekarang, tapi tidak dengan
pikiranku. Rasanya semakin larut semakin berat, bahkan aku tidak lagi tahu apa yang aku
pikirkan saat itu. Kuambil ponsel yang membosankan itu, tidak ada hal yang baru malam ini.
Berita yang tidak menarik dan kata-kata yang tidak bisa kupahami, membuat kepalaku semakin
sakit melihatnya.
Aku terbaring menatap langit-langit kosong yang aku harap adalah isi pikiran ku saat ini. Apa
ini? Aku hanya meregangkan kaki dan berbaring, mencoba membuat mataku tertutup. Namun
saat aku mengatupkan mataku erat-erat, aku masih tetap terjaga. Ketika malam gelap membuat
semua orang tidur, ketika mereka terlelap. Aku tidak bisa tidur karena begitu banyak pikiran
selagi berharap menemukan semangat untuk melanjutkan hari esok, dan menunggu sampai
matahari pagi membangunkan semua orang. Aku lelah, kekhawatiran datang menghampiri
pikiranku tanpa henti. Apa yang harus aku lakukan besok? Apa? Aku hanya memikirkan hal yang
sama berulang kali.
Pagi hari telah datang, saatnya aku bersiap bertempur lagi dengan dunia yang fana ini.
Menurutmu apa hal yang paling penting di dunia ini? Aku tahu ibadah itu yang paling penting,
tapi maksudku lebih spesifik lagi tentang kehidupan ini. Kau tahu kan perasaan dimana kau ingin
melakukan banyak hal tapi terus dikejar oleh waktu? Ada begitu banyak hal di dunia ini, tapi
rasanya tidak ada ruang bagiku untuk istirahat tanpa khawatir.
Pertempuran tanpa akhir, entah kenapa mata ku hanya terasa berat setiap di sekolah, aku terus
menguap kala semuanya terasa semakin membosankan. Setiap kata-kata yang dilontarkan oleh
orang-orang terasa tajam seperti pisau, setidaknya itu cukup untuk membuatku tetap terjaga. Aku
mulai bosan dengan semua ini, hari di mana aku memaksakan diriku masuk ke dalam ruangan
gelap, aku bertanya lagi kepada diriku

"Mungkinkah setidaknya satu orang telah berbalik untuk melihatku? "

Aku yang hampir tak bisa bertahan hidup hari ini, sampai tak tahu berapa kali aku telah tertawa
hari ini. Sepertinya lumayan banyak, tapi apakah itu tulus? Atau hanya aku yang merasa sepi
dengan pikiranku dan mulai memalsukan segalanya?
Diriku yang terbenam dalam pikiran yang sama berulang kali, bukankah begitu banyak
kekhawatiran untuk anak muda seperti aku? Mengira aku terlarut oleh sesuatu yang fana, tanpa
mengetahui tentang hatiku yang kosong. Meskipun aku mencoba untuk terbiasa dengan itu, tapi
aku merasa ini bukanlah aku. Sangat canggung bagiku sampai semuanya terasa begitu rumit.

"Apakah kamu begitu membenciku?"


"Tidak, aku tidak membencimu. Tidak usah dipikirkan, lagi pula aku juga tidak terlalu
mempermasalahkannya. Kenapa kamu harus khawatir sekali soal itu?"

Berkali-kali ia melontarkan kata-kata itu setiap kali aku mengulangi yang sama setiap malamnya.
Namun dimanakah dia sekarang? Aku tak bisa menemukannya, aku tak bisa menyentuhnya
dengan kata-kata yang tak jelas

“Tenanglah, jangan menangis.” Seseorang dalam mimpi menenangkan diriku.


“Maaf karena telah menyakitimu saat itu.”
“Kau tahukan sudah berapa kali aku menyuruhmu berhenti untuk mengkhawatirkan sesuatu
dengan berlebihan. Berhentilah sejenak dan coba nikmati apa yang bisa kamu dapatkan. Jangan
mencoba memperbaiki sesuatu jika orang lain gak mau memperbaiki itu, pilihannya ya kamu
mau berdamai sama keadaan atau terus maju dengan rasa bersalah. Lagian hidup pasti ada
penyesalankan? Mungkin saja Tuhan punya rencana lain, udah jangan menangis terus setiap kali
melihatku mengacuhkanmu.”

Nasihatnya itu ada benarnya, namun masih terdengar jahat di telingaku. Entah berapa lama aku
masih akan terjebak dalam perasaan ini, aku hanya terlalu merindukannya. Kini aku pendam
sendirian di dalam kepalaku, dengan hati yang merasa bersalah setiap harinya. Ku rasa benar
seiring bertambahnya usia, orang-orang akan pergi menjauh setiap harinya.

Sekarang kita masuk ke dalam isi pikiranku lagi, aku ingin bertanya kepada kalian. Sebagai
seorang anak kecil pasti kalian sangat ingin menjadi orang dewasa bukan? Tentu saja kalian mau,
tidak perlu tidur siang adalah mimpi setiap anak kecil, atau membeli barang-barang dengan
uangmu sendiri, dan melakukan hal sebebas mungkin. Menjadi orang dewasa itu terdengar
sangat menjanjikan sebagai seorang anak kecil bukan? Aku sendiri telah menunggu momen ini,
bagaimana denganmu? Apakah kamu takut? Atau apakah kamu menunggu saat ini datang?
Setiap kali hari berlalu lambat, aku selalu berdoa agar waktu berlalu dengan cepat. Tapi sekarang
aku merasakan yang sebaliknya, aku ingin momen ini berhenti sejenak. Waktu, jangan tinggal di
sini, pergilah ke tempat lain agak aku bisa menikmati semua ini perlahan.

“Satu, dua, tiga, selamat ulang tahun!” Aku sekarang 17 tahun

Aku menjadi seorang remaja yang aku inginkan dari dulu. Aku masih hidup, tidak bisa percaya
tapi aku bahagia. Aku ingin merasa puas bahwa impianku datang dengan banyak keberuntungan.
Aku masih belum siap, aku menunggu di sana, masa depanku yang berumur 20 tahun sedang
menunggu. Mengapa hari ini terasa berlalu begitu cepat? Saat aku menghitung sampai tiga
segalanya bisa saja menghilang seperti mimpi. Aku hanya ingin kembali ke tempat aku
sebelumnya, aku merasa seperti aku tidak akan bisa melihat diriku sekarang lagi.
Sekarang cara bicaraku sudah lebih dewasa, aku rasa orang itu memberikan banyak pengaruh
terhadap diriku. Ini terasa asing, tapi aku berjalan seolah-olah aku percaya diri. Seperti bocah
SMP yang menganggap dirinya sudah cukup dewasa. Aku masih belum matang, aku hanya tidak
bisa terbiasa dengan itu. Malam-malam yang kuhabiskan untuk berkelahi dengan pikiranku, aku
rasa aku bukan anak kecil lagi saat ini. Tapi ayah dan ibuku masih melihatku seperti anak kecil,
dan anehnya ini adalah sesuatu yang masih biasa bagiku.

“Berapa umurmu sekarang? Apakah kamu masih meminta hal yang mustahil untuk orang
tuamu?”

Tidak lama lagi aku harus melepaskan statusku sebagai seorang remaja dan aku rasa tidak apa
untuk merasa sedikit khawatir, lagipula semua orang juga pernah seperti ini kan? Dewasa yang
aku dambakan, apakah semua orang mengalami pengalaman yang sama ini atau apakah aku satu-
satunya yang gelisah soal ini semua? Bahkan bukan orang lain, tapi orang-orang terdekatku
seperti ibuku, ayah, dan saudaraku. Apakah mereka menghabiskan hari ini seperti ini juga?
Apakah semua orang bahagia kecuali aku? Aku sangat penasaran tentang itu, atau apakah aku
satu-satunya anak yang belum tahu cara mmenyembunyikannya. Semua orang menyembunyikan
diri mereka di balik topeng mereka, perlahan aku menjadi terbiasa dengan kata ‘’kesepian’’ dan
perlahan aku juga mulai berdamai dengan rasa bersalahku.
Tempat yang terasa begitu canggung ini adalah rumahku. Jakarta yang terasa begitu besar dahulu
kala, sekarang terasa kecil bagiku. Impian yang akan aku capai, aku akan berlari menggapainya
dengan segala kekhawatirankukekhawatiranku.

Anda mungkin juga menyukai