Anda di halaman 1dari 3

Cirebon, 28 Juli 2020

Teruntuk : Kekasihku

Di

Ruang ternyaman

Terkadang ada kegelisahan yang tak mampu kita uraikan. Meski kita tahu bahwa kita
sudah tak sanggup lagi untuk menyimpannya seorang diri. Namun kembali pada pertanyaan-
pertanyaan yang kerap kali semakin menambah keraguan, apakah mereka akan mengerti jika
rasa ini kita utarakan? Bagaimana jika mereka tidak memahami bahkan malah menghakimi?
Apakah mereka benar-benar peduli? Atau hanya sekadar basa-basi? Bisakah kita percaya pada
empati mereka jika semua telah kita sampaikan? akankah beban ini berkurang atau semakin
membawa kita pada kegelisahan yang tak berkesudahan?

Lelah ya sayang? Ya aku tahu. Akupun sama sepertimu, punya kegelisahan yang aku simpan
sendiri. Tidak akan aku tanyakan bagaimana perasaanmu menyimpan dan melaluinya seorang
diri. Sebab aku tahu sangat berat rasanya. Akupun tak akan memaksamu untuk mengisahkan
semuanya padaku. Yang terlintas dibenakku adalah aku ingin memelukmu. Apakah aku tidak
cukup berguna untuk meredakan lukamu? Aku hanya berharap kamu baik-baik saja. Kuatlah
seperti yang selalu kamu katakan. Ah sayang, malam itu sialnya di saat-saat kamu sedang
merayakan lukamu, di sini akupun tengah terluka dan kau tahu aku tak bisa berbuat apa-apa.
Rasa-rasanya aku kehilangan kendali, ingin aku tenggelam dalam pelukanmu tapi malam itu dan
sehari setelahnya rasanya bagiku kamu teramat jauh bahkan hatimu tak mampu lagi aku
sentuh. Meskipun kamu berusaha bersikap seperti biasa, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada
yang lain dari dirimu. Sayang aku juga lelah, kapan semua ini berakhir? Kapan aku bisa memiliki
duniaku sendiri? Aku lelah dianggap seperti boneka. Aku lelah diperlakukan seperti robot. Aku
ingin berontak. Aku ingin pergi, aku ingin lari. Tapi, lagi-lagi selalu ada kata tapi. Ya “tapi”. Tapi
semuanya butuh persiapan yang matang. Ah sayang, aku benar-benar dipermainkan keadaan.
Dan tidak ada seorangpun yang peduli dengan apa yang aku hadapi. Kenapa sih aku setolol ini.
Kenapa aku tak mampu membantah mereka yang berkuasa dengan bantahan yang bisa
membawaku ke dalam damai. Mengapa aku tidak bisa angkuh dan arogan seperti mereka?
Mengapa aku bisa-bisanya dibodohi situasi? Aku ingin ketenangan, aku ingin sekali saja
merasakan kebahagiaan yang aku mau. Kenapa sih aku tidak bisa merencanakan sesuatu. Selalu
saja gagal dan aku tidak mau hal itu terjadi pada mimpi kita. Sayang, akupun sedang tidak baik-
baik saja. Begitu banyak penyesalan yang mengakar di dada. Astaga, aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa. Sakit badan karena kelelahan mungkin tak apa, bisa diobati demgan
beristirahat. Tapi jika mental dan fisik di lebamkan atas dasar kasih sayang apa pantas? Aku
harus bagaimana? Aku harus ke mana? Aku harus apa? Bahkan air matapun sudah enggan
berkawan. Sayang, entah apa yang aku tulis di sini. Begitu kacau kata-katanya. Yang jelas aku
hanya mengikuti hati dan jari-jari tangan untuk menggerakan dan membahasakan semuanya di
sini.

Sayang, sebenarnya banyak hal yang ingin sekali aku bicarakan. Akupun ingin kita
bertukar pikiran, tapi jujur saja aku tak punya nyali untuk membahasnya. Mungkin kamu sudah
bisa menerka tentang apa yang ingin aku bicarakan. Entahlah sayang, setiap hari, setiap waktu
pikiranku tak pernah lepas tentang kita. Tentang bagaimana kita nantinya, tentang bagaimana
perasaanmu di sana dan tentang segala mimpi yang tersusun begitu indahnya. Sungguh aku
menikmati waktuku dipenuhi dengan hal itu. Aku juga sering memikirkan kata-katamu yang
dulu, tentang semesta yang abadi. Jika memang harus seperti itu, maka aku siap untuk
memperbaiki diri. Agar aku pantas mendampingimu di semesta yang abadi itu. Tapi sayang aku
punya ketakutan yang lain. Kamu tahu kan waktu terus berjalan, waktu juga tidak akan
menungguku meski aku berlari, waktu adalah waktu yang melesat begitu cepat tanpa peduli
bagaimana caraku mengejarnya. Di situlah ketakutanku, aku tahu sayang bahwa kamu manusia
biasa yang juga punya lelah. Bagaimana jika suatu saat ada keindahan lain yang menggenggam
tanganmu? Apa yang akan aku lakukan? Mengikhlaskan? Munafik jika aku semudah itu
melepaskanmu tapi aku juga egois jika menahan langkahmu untuk meraih bahagia sementara
aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Bahkan hal paling buruk dan amat sangat keji sempat
terbayangkan. Ah, sungguh hal itu selalu berputar-putar di kepalaku. Tidak henti-hentinya aku
memikirkan bagaimana cara meraih bahagia bersamamu. Bukankah kita juga turut andil dalam
jalannya takdir? Bukankah ada takdir yang mampu kita ubah dengan doa? Maka, maukah kau
membantuku untuk menyatukan doa -doa itu? Entah rasanya aku punya keyakinan yang kuat
untuk bisa mewujudkan segala harap yang selama ini terkubur begitu dalam. Namun, apakah
kau mendambakan hal yang sama? Atau hanya aku yang memiliki mimpi itu?

Sayang, maafkan aku jika aku terlalu lancang untuk memiliki mimpi-mimpi indah
bersamamu. Maafkan aku, terlalu berharap semuanya bisa segera menjadi nyata. Maafkan aku
hanya bisa berharap dan berharap. Bukan aku tidak berusaha tapi situasi yang aku hadapi tidak
akan berubah hanya karena kata-kata motivasi. Sayang, sayang, sayang bawalah aku ke dalam
kebahagiaan yang nyata.

Kekasihmu

Ira Pramudia Gantika

Anda mungkin juga menyukai