Anda di halaman 1dari 3

Kita dan puncak bianglala

Draft by
Recvy Ineka Putra
Hai…
Kamu apa kabar?
Pasti udah lupa sama aku, ya?

Entah kenapa rasanya aku ingin menulis ini buat kamu. Walaupun akan berat kemungkinan
kamu akan membacanya. Aku tidak tahu kamu di mana sekarang, sedang apa, dengan siapa,
apakah kamu sehat?

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mendengar namamu. Sejujurnya, aku
bisa saja mengirim pesan padamu sekarang. Bertanya tentang bagiamana kamu melewati hari-
harimu setelah kita berpisah. Tentang bagaimana kisah percintaanmu setelah tidak denganku lagi.
Adakah seseorang yang kini menyayangimu sebaik aku? Atau adakah hati lain yang kini mampu
membuat hatimu berbunga-bunga?

Sebenarnya, masih ada banyak pertanyaan yang lain.


Tapi, aku tahu, meskipun ada jawabannya, kita tak mungkin bisa kembali seperti dulu, kan?

Jujur di sini, aku sudah lumayan membaik. Pelan-pelan aku mulai bangkit dari
keterpurukan. Aku mencoba untuk berjalan lagi. Aku mencoba untuk menciptakan langkah demi
langkah setelah sebelumnya kau berhasil membuatku benar-benar merangkak. Jatuh ke lubang
paling dalam seorang diri. Kehilanganmu benar-benar menjadi pukulan telak yang tak bisa
kuelakkan.

Dulu kita membangun harapan bersama, kini setelah harapan itu hancur, siapa yang harus
bertanggung jawab?
Aku?
Kau?
Atau Kita?
Mudah sepertinya untukmu pergi lalu membebankan semuanya padaku. Setelah jatuh
bangunnya, setelah pahit-manisnya, setelah suka-dukanya, bagaimana mungkin kebahagiaan yang
pernah kita usung berdua kini harus kutangisi seorang diri? Kau pasti tidak pernah memikirkannya
sama sekali, bukan?
Karena saat itu aku yang jatuh terluka, bukan kamu. Aku yang hancur tersiksa, bukan
kamu. Aku yang diam-diam memendam segalanya, bukan kamu. Kau takkan pernah mengerti
sampai kau berada di posisiku saat itu. Namun, lihat bagaimana kita sekarang?

Asing dengan seasing-asingnya.

Di hadapan Tuhan, kau pernah menjadi satu-satunya doa yang kuminta agar tidak pergi.
Lalu setelah melihat kita dipisahkan, aku semakin yakin. Mungkin sepertinya Tuhan hanya ingin
bilang…
“Bagaimana jika kuselamatkan kau dengan sedikit patah hati?”

Terus terang saja, awalnya sulit. Sangat sulit. Aku menangis, jam tidurku berantakan, nafsu
makanku tidak jelas, yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana cara agar aku bisa melewati ini
semua. Pertanyaan demi pertanyaan meruak, kenapa ditinggal olehmu bisa semenyakitkan ini?
Kenapa setelah pupusnya harapan kita bisa membuatku segila ini? Ah, entahlah. Berulang kali
kuputar logikaku, namun tetap saja nihil jawabannya.

Namun, anehnya hati berbeda. Saat semuanya kuhubungkan dengan perasaan, jawabannya
tiba-tiba muncul entah dari mana. Dan ternyata benar, patah hati ini datang tepat setelah aku pernah
menyayangimu dengan setulus-tulusnya.

Dulu aku menyayangimu seperti puncak bianglala. Yang setiap kali aku berada di atas, aku
hanya ingin menikmati setiap detiknya tanpa memikirkan apapun. Dan setelah kembali turun ke
bawah, aku kemudian mengerti. Bahwa perasaan nyaman itu bersifat sementara. Pasti berlalu.
Pasti akan terganti. Tapi, coba tebak apa yang lebih menyakitkan?
“Meskipun itu sudah berlalu, ingatannya akan selalu hidup.
Itu pula yang biasa orang-orang sebut sebagai ‘kenangan’.”

Anda mungkin juga menyukai