Doaku benar-benar terkabul, Bulan. Tuhan memang selalu baik padaku, meski
patuhku pada-Nya belum sebaik dirimu. Kini saatnya kamu yang kuinginkan telah benar-
benar pergi. Pikirku benar-benar harus bahagia bukan? Karena kamu tidak harus
menderita lagi dengan misteri hidupku. Tapi Bulan, kenapa rasanya sakit sekali? Kenapa
dalam hatiku ada yang menjerit keras sekali, seperti ada bagian yang hancur namun entah
apa itu? Ini benar-benar tidak ada kaitannya dengan kehilanganmu kan?
Bulan...
Aku gemetar sekali menulis surat ini, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku.
Bukankah melihatmu bahagia aku pun harus bahagia juga? Benar, kan? Aku harus
Bulan...
Aku menangis! Hatiku merasa itu tidak benar! Rasanya aku berbuat hal yang salah
telah menghindarimu, padahal aku begitu menyukaimu. Aku terus meredam tangisanku,
aku tidak berhak menyukaimu lebih lama lagi, rasanya ada alasan yang tidak bisa
kuberitahu
Bulan...
Aku ingin sekali menyalahkan takdir yang mempertemukan kita, ini begitu
menyakitkan untukku, terlalu perih juga untuk menjauh darimu. Aku ingin sekali
akhirnya! Bahkan aku ingin sekali menyalahkanmu, mengapa harus menyukaiku dan
mengapa aku harus tertarik padamu! Aku tahu, menyalahkan hanya akan membuatku
terlihat menentang kuasa Tuhan karena kenyataannya aku sendiri pun tidak bisa lebih
dekat padamu.
Bulan, aku bisa saja bermain dan menikmati perasaan ini hingga bosan dan
berpisah, tapi aku bukan orang yang seperti itu, dan aku tahu kamu pun bukan orang yang
seperti itu. Semakin lama dan lebih dekat akan semakin sulit menghilangkan rasa itu
padamu. Ketika pada akhirnya Tuhan membuatmu pergi, aku berusaha bertanggung jawab
akan sikapku, pilihanku dengan segala resikonya. Bulan, jangan tanggapi lagi ucapanku, itu
hanya sesuatu yang ingin kusampaikan saja, aku pasti bisa melewatinya.
Bulan...
maafkan aku membuat setiap perasaanmu berhenti di sini. Bulan ingatlah, aku bukan
seseorang yang bisa mengharapkan dicintai orang lain, apalagi memperjuangkan cinta.
Kenapa alasannya? Kamu tidak perlu tahu, yang pasti berbahagialah. Bahagialah di luar
sana, Bulan! Mengadulah pada Tuhan jika ada yang menyakitimu lagi seperti aku, karena
Selamat menyambut bahagia yang baru. Cintai orang yang kau cintai jangan pernah
kamu lepaskan, pesanku. Terakhir dariku, terima kasih telah melihatku lebih dulu, terima
kasih telah mengenalku lebih dulu, terima kasih telah memperhatikanku lebih dulu, terima
kasih telah tersenyum padaku lebih dulu, terima kasih telah menoleh padaku lebih dulu,
terima kasih telah mendekat padaku lebih dulu, terima kasih telah berbicara padaku lebih
dulu, terima kasih telah bertanya padaku lebih dulu, terima kasih telah meminta tolong
padaku lebih dulu, terima kasih telah membantuku lebih dulu, terima kasih telah
menyukaiku lebih dulu, terima kasih telah cemburu padaku lebih dulu, terima kasih telah
mendoakanku lebih dulu, meskipun kenyataannya doaku yang lebih dikabulkan oleh Sang
Maha Kuasa, dan yang terpenting adalah terima kasih telah bahagia lebih dulu, sehingga
rasa sakitmu lebih cepat sembuh. Mari kita berjalan dengan keputusan masing-masing,
Terima kasih atas segalanya, terima kasih karena pernah menanamkan cinta yang
menakjubkan di hatiku. Ini surat terakhir dariku yang tidak kuizinkan kamu balas lagi.
Pamit.