Anda di halaman 1dari 4

TUGAS CERPEN

Nama : Martin Leonardo Yembise

Kelas : X IPA 1

Absen : 14

Ribuan Purnama Tanpamu

Kebersamaan kita memang sudah berlalu, mungkin sudah ribuan purnama yang terlewat bersama
perpisahan kita. Tapi apa salahnya aku merindu?

Hari ini hatiku sedang bergetar, menerima setiap rasa yang kukenang saat bersamamu. Tidak, ini bukan
karena ingin kembali padamu. Aku hanya sedang ingin menceritakan hari-hari yang kulalui tanpamu.

Ini bukan hal yang mudah, bisa saja membuka luka, tapi tak mengapa mungkin sudah saatnya aku
berdamai dengan rasa sakit. Purnama kali akan menjadi tempat terakhir aku meletakkan kecewa dan
kesakitanku, karena aku akan meletakkanya pada malam dan menemui pagi.

“Aku ingin kita berpisah”, kataku padanya tanpa angin dan hujan.

Tentu saja itu membuatnya bingung dan kaget, karena menurutnya tak ada badai apapun yang
meruntuhkan pertahanan kami saat itu. Berbeda denganku yang sudah memikirkan semuanya dan yakin
melangkah pada perpisahan.

Wanita yang dia anggap tidak akan mungkin meninggalkannya, mengajukan proposal perpisahan. Bukan
hanya itu, dia mengatakannya di tengah persiapan pernikahan mereka. Akulah wanita gila itu.

Aku bersamanya selama 7 tahun, bertumbuh menjadi dewasa bersamanya. Awalnya pun aku pikir dia
yang akan menjadi pelabuhan terakhirku. Tak pernah terbesit sedikitpun untuk menghabiskan masa
tuaku bersama orang lain. Hingga aku menemukan dia bukan jalan yang bisa kutempuh, aku tak bisa
menambal setiap lubang yang begitu banyak.

Sampai akhirnya sebuah perpisahan muncul menjadi jalan yang mungkin harus aku tempuh. Dia pikir ini
mudah, padahal aku melakukannya dengan penuh luka.
“Apa?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Mungkin ini terlalu mengejutkan buatnya.

Dia pikir aku datang untuk membicarakan pernikahan, tapi justru sebuah keinginan gila yang bernama
perpisahan yang aku lemparkan.

“Iya, kamu gak salah dengar. Aku mau kita putus, aku mau semua ini berakhir. Jangan berusaha
meyakinkan dirimu bahwa ini hanya mimpi,” jelasku padanya.

“Are you sure? Apa kamu udah gila? Kita udah tunangan Rin, rencana pernikahan kita udah tersusun dan
udah semakin dekat, kemudian sekarang kamu bilang mau putus? Kenapa sekarang? Kenapa menolak
saja saat aku memintamu? Kenapa kamu mengatakan iya? Kenapa kamu berjanji tidak meninggalkanku?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?” Pertanyaan bertubi-tubi itu dilontarkannya.

Tentu saja tidak akan aku jawab, karena aku tetap memilih diam. Aku hanya ingin sebuah perpisahan
tanpa meninggalkan rada bersalah untuknya. Biarkan saja dia membenciku. Biarkam saja kali ini aku
menjadi tokoh antagonis untuk kisahku sendiri.

“Aku hanya ingin berpisah, bukan menjelaskannya, setuju tidak setuju, mau tidak mau, aku tetap ingin
berpisah darimu.” Biarkan saja aku terlihat semakin kejam di matamu.

Aku memang tak ingin meninggalkan rasa bersalah pada dirimu, tapi aku ingin kamu membawa rasa
sakit dicampakkan ini seumur hidupmu. Maafkan aku, Dion Aleandro. Harusnya nama itu yang akan
menemani namaku dalam undangan pernikahan kita, yang sayangnya harus aku akhiri.

Hari ini sudah ribuan purnama berlalu, aku harap rasa sakitmu pun sudah berlalu. Mungkin hanya aku
yang terlalu kejam menyikapi rasa sakit yang kamu tanam, hingga ingin melihatmu menderita. Maafkan
aku, egoku menuntunku untuk melindungi diri dengan menyakitimu.

Sekarang sudah ribuan purnama berlalu, mengikuti perputaran bulan yang mengikuti bumi. Mungkin
sudah waktunya aku melepaskan semua kesakitanku akan kekecewaan yang selama ini kusimpan rapi
pada diri sendiri.
Aku ingin menyerahkan semua luka itu padamu, katakan saja aku masih egois karena tak ingin kamu
membenciku lagi.

Ketahuilah dalam setiap kesakitanku, masih ada rindu terselip untukmu. Apa salahnya merindu? Bukan
ingin memaksa waktu untuk mempertemukan kita. Hanya saja ingin melepaskanmu dalam untaian doa
bukan kebencian.

Perpisahan kita mungkin buah dari amarah dan keegoisan hatiku, tapi kamulah yang membakarnya.
Selama kita bersama, aku berdiam dalam kesabaran menerima semua yang kamu lakukan di
belakangku.

Mungkin kamu pikir, kamu tupai yang pandai melompat, hingga takkan pernah terjatuh. Padahal aku
tahu semuanya, tapi tak ingin menarikmu jatuh. Karena buatku sejauh aku masih jadi prioritasmu,
semua itu tak menjadi masalah.

Aku pun berbangga, lamaran itu datang padaku, bukan mereka. Kamu sukses membuatku merasa
menang. Persiapan itu terus bergulir, hingga aku tahu bukan pekerjaan yang membuatmu
membiarkanku mempersiapkannya sendiri. Ada dia, dia yang kamu sembunyikan jauh. Dia yang kamu
pikir takkan pernah aku ketahui.

Kamu sibuk bermain, hingga lupa aku mampu melihat kebanyak arah. Aku tak hanya melibatkan logika,
aku masih wanita yang memiliki rasa. Aku tahu kamu pergi menemui yang lain, aku tahu aku tetap jadi
prioritasmu, tapi ternyata ada sisi hatiku yang terluka, ego dan harga diriku pun murka.

Aku tak bisa menerima semuanya, aku menjadi ragu untuk menghabiskan waktu panjang hingga akhir
hidupku bersamamu. Aku terus memperpanjang durasi untuk menyampaikan keinginanku untuk
berpisah. Hingga malam itu tiba, malam di mana aku mengutarakannya padamu.

Kini ribuan purnama sudah berlalu, rasa sakitku terhapus lewat perputaran waktu tanpamu. Bukan hari
yang mudah, aku menjalani hari penuh dengan air mata dan rindu sebelum aku mampu berdamai
dengan diriku.

Sudah saatnya aku menemui pagi, menitipkan semua cerita kita pada malam. Jika terselip rindu, maka
aku masih bisa menemuinya di bawah terang bulan.
Kamu pernah bilang, “cahaya bulan mungkin tak seterang matahari, tapi ia tetap mampu menghiasi
malam dengan cahayanya.”

Jadi biarkan kisah kita menjadi seperti bulan, kita memang berpisah, tapi tetap saja itu menjadi hiasan
kisah pada masa lalu kita

Anda mungkin juga menyukai