Anda di halaman 1dari 18

Metamorfosa Musim

Tuhan tak pernah salah menitipkan luka...


MENYAMAI LUKA
SUATU KETIKA DI MUSIM PETASAN

Ada rangkaian musim merangkai mengiringi


cerita, tak berakhir karena mereka adalah siklus
berulang. Ada rangkaian langkah yang membawa
sebuah cerita dalam rangkuman kesimpulan yang tak
menyimpul. Darimanakah datangnya rasa yang
membawa daun musim gugurmu tergeletak pada
genangan air hujan.

Yang menggetarkan firasat, membangunkan kegusaran.

Kepadamu luka dari sebuah kecerobohan, kau


berlari mengejar bintang, kau dapatkan bintang itu lalu
kau patahkan, kau abaikan, kau acuhkkan, hingga
terlepas dari genggamanmu. Lalu kau seperti terluka,
padahal kau sendiri yang menciptakan.

Kepadamu luka, kau kah itu lengan yang


menarikku? mengajakku terluka bersamamu,
mengarungi kepedihan, menyamai luka.

kepadamu yang mengetuk pintu dengan sebuah


kata, masih terlalu dini untuk kusadari seharusnya aku
juga mempersiapkan jamuan perpisahan selepas
berbuka, yang akan menghilang pada rakaat – rakaat
tarwih. Seharusnya cepat kusadari jeda menjelang sahur
adalah tempaan yang akan melukai, yang siap kau
retakkan, luluh lantakkan, selepas idul fitri kau tinggal
mohon maaf lalu ku maafkan.

Seharusnya tak kurayakan kedatanganmu


sebagaimana aku gembira menyambut ramadhan,
seperti anak kecil yang girang bermain petasan,
seharusnya tak kumaknai sedemikian rupa.

Jangan kau tanya, semenjak itu masih kuhuni


Ramadhan bersama bait doa yang dimana kau pernah
bermukim di dalamnya. Pada musim petasan berikutnya
namamu masih setia merengkuh acara berbuka, tarwih,
sahur, idul fitri dan begitu seterusnya.
RUNTUHNYA KAMUFLASE
KITA BERADA DI MUSIM KATA BAPER

Selepas itu rindu lebih sering memburu, bahkan


ketika aku mampu mencoba berlari, pergi, menghindar
darimu, tapi nyatanya ada yang tak mengijinkanku
melepasnya.

Selepas itu sabtu minggu menjelma menjadi


rindu, sedangkan senin hingga jumat adalah selasar
waktu yang ku tunggu. Tapi rinduku tak pernah berjeda
hari libur atau masuk. Ku tunggu kau di jam istirahat
menggebu melihat senyum peluntur rindu. Dari sudut
yang tak pernah kau jamah ku dengar riuh suaramu
membahana.

Tiada yang lebih menyenangkan menatapmu


dari kejauhan, seperti seorang remaja yang baru
pertama kali jatuh cinta. Oh tidak aku bukan remaja
baru jatuh cinta, hanya saja kaulah yang pertama sejauh
ini tuan.

Kamuflase yang kubuat sedemikian rupa untuk


menutupinya hancur seketika bersama memerahnya
pipiku tersipu kala sahabatku yang tiba – tiba
menodongku dengan sebilah kata “cie”
Mereka bilang mengapa akhir – akhir ini kau
sering bersamaku, mengapa wajah kita nampak berbeda
ketika bertatap. Lalu semakin hari kau dan aku menjadi
perbincangan seru diantara gosip-gosip murahan.

Apakah rindu adalah asap yang berasal dari sebuah bara


api ?

Apakah rindu adalah hujan tanpa mendung jatuh dari


langit tiba –tiba ?

Jika iya lalu apakah bara api itu berasal dari


pesanmu yang semakin sering memenuhi notifikasi
teratas layar smartphoneku ? apakah bara api itu
berasal dari tingkahmu yang agaknya salah kuartikan ?

Lalu diujung pengakuan nampaknya kau


menyalahkan rasaku, atas kesalahpahaman rasa
mengartikan pertemuan, atas aku yang berlebihan
dalam menafsirkan.

Pecundang sesungguhnya adalah dia yang


mencoba membohongi dirinya sendiri, mengelak
keberadaan perasaan oleh dirinya sendiri, bukan dia
yang berani mengatakan, bukan dia yang menang atas
orang lain tapi takut melawan diri.

Sebab Tuhan menciptakan hati dengan


perasaan, patutkah kau salahkan perasaan yang pernah
ku anggap nyaman namun sangat biasa menurutmu. Oh
makhluk Tuhan bernama ego, aku tak pernah bisa
mengecilkan api keangkuhanmu pun aku tak pernah tau
apakah jauh didalam dirimu kau memiliki kepintaran
memaknai arti mengalah. Mengalah tak berarti kalah
tuan, besarnya angkuhmu adalah bukti kau kalah
melawan egomu sendiri, tuan.

Sebab Tuhan menciptakan hati yang didalamnya


bermukim berbagai emosi, rasa, dan jembatan antara
logika dan naluri. Pantas kah kau masih menyebut
“kamu aja yang terlalu baper” lantas mengapa kau
datang runtuhkan benteng batas perasaan biasa dan
nyaman ? sudahkan kau sadari bahwa sikapmu pun
berlebihan untuk diartikan biasa.

Duhai orang – orang pemuja kata – kata


kekinian, berhenti menghina perasaan alamiahmu
sendiri dan orang lain. Hargailah naluri kemanusiaanmu.
SELASAR MEJA PERJUMPAAN
KAMUFLASE MUSIM TUGAS AKHIR

“temani aku mengerjakan tugas akhirku ya ?” oh apalah


dayaku yang hanya bisa mengiyakan ajakanmu kak.

Ada beribu pertanyaan menari – nari di kepalaku


seperti tarian nyamuk yang aku liat sedang riang di atas
kepalamu kala itu. Oh ayolah jangan terlalu sering
mengajakku untuk menemanimu, kau tau aku takkan
menolak, tapi kau tak tau apa yang menyebabkannya.

Apakah setelah ini selesai kau pergi begitu saja ?

Apakah ketika aku dalam posisi sepertimu kau mau


menyempatkan waktu sepertiku ?

Apakah kau hanya belum terbiasa sendiri setelah kau


kehilangan seseorang atas kecerobohanmu itu ?

Apakah ......apakah......apakah..... ? ?

Nyatanya aku hanya mengigau dalam kenyataan,


bermimpi kau untuk menetap. Nyatanya aku selalu
sadar aku hanya tempatmu menjeda sepi. Aku tak
melangkah tanpa aba – aba darimu, aku tak pernah
menuntut tanpa kau beri dulu, aku tak pernah
berlebihan dalam batasku, aku tak pernah menjadi
orang lain untuk bisa kau pandang. Hanya saja kau terus
melangkah menembus batasku.

Semisteri apa dirimu yang selalu ku tafsirkan


sebagai lelaki baik yang tak mugkin mengingkari ucapan.
Nyatanya aku memang seceroboh dirimu, terlambat
menyadari bahwa kau bukan pihak yang ditinggalkan
tapi kau pihak yang ceroboh melepaskan sehingga patut
untuk ditinggalkan.

Kepada selasar meja perjumpaan itu, mereka


lebih pintar menjawab bagaimana seharusnya kau
mengapresiasi kehadiranku. Kepada bait kalimat
akademik di layar laptopmu mereka lebih mengerti
bagaimana harusnya kau mengakhiri kenangan.
SEMESTA TENGAH TERBALIK
MUSIM BUNGA DITENGAH BADAI

Kau tau semestaku yang liar pernah tak sengaja kau


akui hanya kau yang mampu menjinakkan. Kau sangat tau
tentang semestaku yang merdeka dan radikal tak pernah
mengenal kasih. Kau tau harus mencariku dimana, di selasar
warung kopi, syair kritis, baku hantam perdebatan, atau di
getir kata kotor. Kau tau aku seperti itu, tapi kau juga tau
yang orang lain tak tau, ya semestaku juga tentang sudut
kasih yang liar, kosong, dan sunyi. Tak terjamah namun sudah
tersayat luka – luka.

Tak pernah terbesit sedikitpun kau lah yang akan


membalik semestaku. Tak sedikitpun aku menduga akan
sejauh, sedalam dan seluas ini kau menjadi dimensi kasihku.

Ya, aku tau sepaket luka datang dengan pembungkus


bunga – bunga tengah merayu jagad rayaku.

Jagadku tengah dilanda badai, tatkala uluran payung


telah mengubah rayaku 180 derajat berbeda. Adalah
senyummu yang memporak porandakan hunian, adalah binar
dari sorot matamu yang mengusik kerisauan, adalah hadirmu
yang menyemai beragam tanya. Sesederhana kala itu
jumpanya teristimewa itu aku membayangkannya. Teramat
istimewa menjadikanku gila di tengah malam aku terbangun
untuk menyempatkan tersenyum sendirian.
Begitu istimewanya kau, aku sempatkan menulis lirik-
lirik puisi tentang perjalanan, perjumpaan yang kuharap tak
sepaket dengan perpisahan dalam surat yang tak
tersampaikan. Ku simpan berbentuk draft –draft pesan,
mungkin suatu saat nanti nyaliku siap mengakuinya.
TRANS(H)IT

Aku adalah bumi tapi kau bukanlah langit,


karena Tuhan mempertemukan diantaranya dengan
menjadikan akulah tempat yang sedang kau pijak, yang
menopang setiap jeda yang nyatanya kau butuhkan,
yang kau pijak kala kepulan rokok atau bahkan seduhan
kopimu belum mampu memenuhi ruang sepi yang ada
di hatimu. Karena kau bukan lah langit, berhentilah
bersifat angkuh di depanku.

Sedari awal kau hanya tak tau bahwa aku adalah


pemilik firasat yang kau bangkitkan. Aku tau kau akan
datang sebelum kau benar benar datang, aku pun tau
kau akan pergi sebelum kau benar benar pergi. Namun
ku sangkal bahwa semua firasatku salah menilaimu, kau
tak seperti itu. Namun ternyata berulang kali firasatku
membuktikan kebenarannya.

Begitukah bentuk cinta sebenarnya ?


menyangkal, menampik, menepis segala keburukan.
Membutakan kebenaran, menyengaja luka. Padahal aku
tau aku akan terluka berjalan diatas puing kaca,
padahal aku tau ada ingkar yang ku sangkal hanya demi
tetap bersamanya.
Padahal aku tau aku hanya penjeda bodoh,
samsak tinju yang terlihat kau sayang tapi nyatanya kau
pukul bertubi tubi demi lampiaskan rasa kalutmu.

Ya aku tidak pernah keberatan menjadi bodoh


karenamu. Pun aku tak pernah keberatan menjadi
jembatan, pijakan, persinggahan atau tempat transit
agar kau sampai pada tujuanmu.
TAK TERJANGKAU

Kutemukan jawab disetiap stasiun pemberhentian


kereta¸ bagaimana kau tak menjamu perpisahan, bagaimana
semudah itu kau lenyap, bagaimana semudah itu kau lupa
bahwa selasar meja kala itu pun tau bahwa kau yang pertama
kali datang dengan sejuta luka.

Aku tau lukamu tak semudah itu mampu sembuh jika


kau tak benar benar menemui seorang dokter pengobat pilu
hatimu. Aku tahu lukamu yang luar biasa tak mampu
tersembuhkan oleh seorang aku, tapi jika lukamu akan
sembuh hanya dengan melukaiku, jika lukamu akan sembuh
hanya dengan menoreh luka kepada orang lain, dan hanya
jika orang lain itu adalah aku, aku bersedia Tuan.

Aku bersedia tidak menjamin bahwa aku adalah


seseorang yang cukup kuat untuk menopangnya tanpa
tumpuan. Kau tau Tuan aku adalah pujangga yang bertumpu
pada sajak. Kau harus terima bahwa kau akan masuk dalam
sajakku jika kau berani melukaiku.

Tuan, ini kah yang kau mau ? berada di tak


terjangkau tanpa jamuan perpipasahan. Aku kira kau lupa
kau pernah menoreh luka, menjamah cerita.

Aku selalu percaya jika rinduku yang kau sematkan


sebelum pergimu mampu tersampaikan hanya dengan tetap
memikirkanmu, membiarkanmu riuh di atas kepalaku,
dengan tetap menyebutmu dalam syair doa. Apalah arti
tumpukan dokumen yang sedang aku kerjakan di kantor tak
mampu membantuku berhenti melirik, mengintip adakah
kabar tentangmu lewat singkat di hidupku, adakah kau ingat
bahwa kau belum permisi untuk pergi. Tak mampu !

Setiap pagi, aku berharap kau pernah ingat aku


sedikit saja, secuil remahan biskuit mungkin. Setiap petang
aku berharap kau baik – baik saja, selalu aku harap begitu.

Dalam ke-tak terjangkau-an aku mencarimu aku yakin doaku


untukmu menjangkau semestamu.
PESAN

Seuntai sapa tengah singgah menghujam, menikam


rindu yang nyatanya hampir aku relakan pergi. Aku mampu
mengingat setiap saat, setiap jeda, setiap tanggal kau datang
dan kau pergi.

:D

Begitu kau tiba tiba menghancurkan ketenangan, kau


memang semaunya sendiri. Kau kira aku memiliki perasaan
yang biasa saja setelah kau kirim berbagai macam pesan yang
tak sewajarnya dinilai wajar ?

Ya kau memang semaunya sendiri tuan, kau tuduh


aku yang terlalu berlebihan lagi, padahal kau sendiri dalam
pesanmu mengatakan kau saja tidak menyerah ketika aku
mengatakan aku akan menyerah pada semua perasaanku.

Kau memang seenaknya sendiri tuan, kau terus


membuat ambiguitas padahal rasa dan pesanku selalu jelas,
lalu kau tuduh semua pesanku adalah ke-alay-an.

Benar begitu tuan ?


TUHAN TAK PERNAH SALAH MENITIPKAN
LUKA

Ku akhiri musimmu disini, tidak pada hujan, tidak


pada angin, pun tidak juga pada kerinduan. Ku akhiri saja
pada keikhlasan. Katamu aku tak pernah menjadi dewasa,
katamu aku selalu menyalahkan keadaan, menyalahkanmu,
katamu aku selalu alay. Lalu bagaimana aku harus
menyebutmu Tuan, yang kerap kali menuduhku bersalah.
Bagaimana aku harus menyebutmu, atas beberapa
ketidakjujuran atas perasaanmu sendiri. Bagaimana aku
harus menyebut orang yang menuduh orang lain tidak
dewasa ?

Baiklah tuan, atas ketidakdewasaanku aku terima


segala tuduhanmu, aku terima segala cacianmu, aku terima
segala ucap keangkuhanmu. Seperti surat Al-Ikhlas yang tak
menyebut kata “ikhlas” di dalamnya begitulah seharusnya
keikhlasan itu.

Sebenarnya masih ada banyak rangkaian musim yang


hendak aku ceritakan, namun ada hasrat yang tak
mengijinkanku, katanya jika kau benar – benar telah
melepasnya berhentilah menceritakan tentang dia. Lalu ku
hentikan saja ceritanya. Ku akhiri saja pada bab ini.

Dimana aku mengerti bahwa Tuhan tak pernah salah


menitipkan luka. Dimana Tuhan tau porsi luka yang harus
diterima hamba-Nya, yang berarti Tuhan tau aku sanggup
dan mampu melewati hal semacam ini. Tuhan mengirimkan
kau hadir sebagai guru kehidupan, membumbui rasa hambar,
seperti rasa manis pada kopi yang terlalu pahit.

Tak sepantasnya aku menyalahkanmu, pun dalam


sajak ini aku tak bermaksud menyalahkanmu. Baik yang
mengecewakan maupun yang dikecewakan sama – sama
memiliki porsi kesalahan yang sama.

Terima kasihku sedalam – dalamnya ku kurim dalam


bentuk rangkaian metamorfosa musim pada bab ini. Izinkan
aku mengenangmu sebagai pelajaran hidup terbesar yang
pernah ada dalam hidupku.

Sebelum benar – benar berakhir dengan kiriman


berita bahagia dalam bentuk undangan pernikahanmu,
sebelum ada seseorang yang marah ketika kau menjadi objek
sajakku, izinkan aku mengenangmu dalam 30 hal kecil
tentangmu.

Kenangan itu memang keparat Kak, tapi aku senang jika ku


ingat beberapa hal kecil tentangmu kak.

1. Kau ditinggal menikah oleh mantan kekasihmu.


2. Itu satu – satunya mantan kekasih yang kau memiliki,
yang cantik dan baik.
3. Kau masih sayang dengan mantan kekasihmu kala itu.
4. Kau beri hadiah pada mantan kekasihmu yang hendak
menikah.
5. Kau misterius, tapi aku mudah menebaknya.
6. Kau tidak betah dalam kesendirianmu kak.
7. Kau suka sekali bermain Game Handphone.
8. Kau mudah sekali panik.
9. Golongan darahmu O.
10. Kau cerewet sekali, ditambah suaramu yang khas.
11. Kau supel dengan kehumorisanmu.
12. Kau pekerja keras.
13. Tapi kau mudah sekali masuk angin, jangan lemah Kak,
istirahatlah sejenak.
14. Kau tak pandai menyusun kalimat, kalimatmu tidak
jelas kak. Hanya saja aku mengalah dalam
ketidakjelasanmu, hehe.
15. Rapikan susunan kalimatmu kak, nanti jika kau
mengucapkan Ijab Qobul atau melamar sesorang kelak
tidak terbata – bata.
16. Kerupuk adalah teman makan kesukaanmu.
17. Tingkat egomu tinggi kak, kurangi lah sedikit saja.
18. Kau selalu mengatakan tidak akan ada orang yang bisa
mengerti dirimu, bagaimana bisa dimengerti jika kau
saja tidak mengijinkan.
19. Kau orang yang mudah bosan.
20. Aku rasa cukup 20 saja, terlalu banyak nanti kau marah
ku tulis sekian banyaknya.

Anda mungkin juga menyukai