cerita, tak berakhir karena mereka adalah siklus berulang. Ada rangkaian langkah yang membawa sebuah cerita dalam rangkuman kesimpulan yang tak menyimpul. Darimanakah datangnya rasa yang membawa daun musim gugurmu tergeletak pada genangan air hujan.
Yang menggetarkan firasat, membangunkan kegusaran.
Kepadamu luka dari sebuah kecerobohan, kau
berlari mengejar bintang, kau dapatkan bintang itu lalu kau patahkan, kau abaikan, kau acuhkkan, hingga terlepas dari genggamanmu. Lalu kau seperti terluka, padahal kau sendiri yang menciptakan.
kata, masih terlalu dini untuk kusadari seharusnya aku juga mempersiapkan jamuan perpisahan selepas berbuka, yang akan menghilang pada rakaat – rakaat tarwih. Seharusnya cepat kusadari jeda menjelang sahur adalah tempaan yang akan melukai, yang siap kau retakkan, luluh lantakkan, selepas idul fitri kau tinggal mohon maaf lalu ku maafkan.
Seharusnya tak kurayakan kedatanganmu
sebagaimana aku gembira menyambut ramadhan, seperti anak kecil yang girang bermain petasan, seharusnya tak kumaknai sedemikian rupa.
Jangan kau tanya, semenjak itu masih kuhuni
Ramadhan bersama bait doa yang dimana kau pernah bermukim di dalamnya. Pada musim petasan berikutnya namamu masih setia merengkuh acara berbuka, tarwih, sahur, idul fitri dan begitu seterusnya. RUNTUHNYA KAMUFLASE KITA BERADA DI MUSIM KATA BAPER
Selepas itu rindu lebih sering memburu, bahkan
ketika aku mampu mencoba berlari, pergi, menghindar darimu, tapi nyatanya ada yang tak mengijinkanku melepasnya.
Selepas itu sabtu minggu menjelma menjadi
rindu, sedangkan senin hingga jumat adalah selasar waktu yang ku tunggu. Tapi rinduku tak pernah berjeda hari libur atau masuk. Ku tunggu kau di jam istirahat menggebu melihat senyum peluntur rindu. Dari sudut yang tak pernah kau jamah ku dengar riuh suaramu membahana.
Tiada yang lebih menyenangkan menatapmu
dari kejauhan, seperti seorang remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Oh tidak aku bukan remaja baru jatuh cinta, hanya saja kaulah yang pertama sejauh ini tuan.
Kamuflase yang kubuat sedemikian rupa untuk
menutupinya hancur seketika bersama memerahnya pipiku tersipu kala sahabatku yang tiba – tiba menodongku dengan sebilah kata “cie” Mereka bilang mengapa akhir – akhir ini kau sering bersamaku, mengapa wajah kita nampak berbeda ketika bertatap. Lalu semakin hari kau dan aku menjadi perbincangan seru diantara gosip-gosip murahan.
Apakah rindu adalah asap yang berasal dari sebuah bara
api ?
Apakah rindu adalah hujan tanpa mendung jatuh dari
langit tiba –tiba ?
Jika iya lalu apakah bara api itu berasal dari
pesanmu yang semakin sering memenuhi notifikasi teratas layar smartphoneku ? apakah bara api itu berasal dari tingkahmu yang agaknya salah kuartikan ?
Lalu diujung pengakuan nampaknya kau
menyalahkan rasaku, atas kesalahpahaman rasa mengartikan pertemuan, atas aku yang berlebihan dalam menafsirkan.
Pecundang sesungguhnya adalah dia yang
mencoba membohongi dirinya sendiri, mengelak keberadaan perasaan oleh dirinya sendiri, bukan dia yang berani mengatakan, bukan dia yang menang atas orang lain tapi takut melawan diri.
Sebab Tuhan menciptakan hati dengan
perasaan, patutkah kau salahkan perasaan yang pernah ku anggap nyaman namun sangat biasa menurutmu. Oh makhluk Tuhan bernama ego, aku tak pernah bisa mengecilkan api keangkuhanmu pun aku tak pernah tau apakah jauh didalam dirimu kau memiliki kepintaran memaknai arti mengalah. Mengalah tak berarti kalah tuan, besarnya angkuhmu adalah bukti kau kalah melawan egomu sendiri, tuan.
Sebab Tuhan menciptakan hati yang didalamnya
bermukim berbagai emosi, rasa, dan jembatan antara logika dan naluri. Pantas kah kau masih menyebut “kamu aja yang terlalu baper” lantas mengapa kau datang runtuhkan benteng batas perasaan biasa dan nyaman ? sudahkan kau sadari bahwa sikapmu pun berlebihan untuk diartikan biasa.
Duhai orang – orang pemuja kata – kata
kekinian, berhenti menghina perasaan alamiahmu sendiri dan orang lain. Hargailah naluri kemanusiaanmu. SELASAR MEJA PERJUMPAAN KAMUFLASE MUSIM TUGAS AKHIR
“temani aku mengerjakan tugas akhirku ya ?” oh apalah
dayaku yang hanya bisa mengiyakan ajakanmu kak.
Ada beribu pertanyaan menari – nari di kepalaku
seperti tarian nyamuk yang aku liat sedang riang di atas kepalamu kala itu. Oh ayolah jangan terlalu sering mengajakku untuk menemanimu, kau tau aku takkan menolak, tapi kau tak tau apa yang menyebabkannya.
Apakah setelah ini selesai kau pergi begitu saja ?
Apakah ketika aku dalam posisi sepertimu kau mau
menyempatkan waktu sepertiku ?
Apakah kau hanya belum terbiasa sendiri setelah kau
kehilangan seseorang atas kecerobohanmu itu ?
Apakah ......apakah......apakah..... ? ?
Nyatanya aku hanya mengigau dalam kenyataan,
bermimpi kau untuk menetap. Nyatanya aku selalu sadar aku hanya tempatmu menjeda sepi. Aku tak melangkah tanpa aba – aba darimu, aku tak pernah menuntut tanpa kau beri dulu, aku tak pernah berlebihan dalam batasku, aku tak pernah menjadi orang lain untuk bisa kau pandang. Hanya saja kau terus melangkah menembus batasku.
Semisteri apa dirimu yang selalu ku tafsirkan
sebagai lelaki baik yang tak mugkin mengingkari ucapan. Nyatanya aku memang seceroboh dirimu, terlambat menyadari bahwa kau bukan pihak yang ditinggalkan tapi kau pihak yang ceroboh melepaskan sehingga patut untuk ditinggalkan.
Kepada selasar meja perjumpaan itu, mereka
lebih pintar menjawab bagaimana seharusnya kau mengapresiasi kehadiranku. Kepada bait kalimat akademik di layar laptopmu mereka lebih mengerti bagaimana harusnya kau mengakhiri kenangan. SEMESTA TENGAH TERBALIK MUSIM BUNGA DITENGAH BADAI
Kau tau semestaku yang liar pernah tak sengaja kau
akui hanya kau yang mampu menjinakkan. Kau sangat tau tentang semestaku yang merdeka dan radikal tak pernah mengenal kasih. Kau tau harus mencariku dimana, di selasar warung kopi, syair kritis, baku hantam perdebatan, atau di getir kata kotor. Kau tau aku seperti itu, tapi kau juga tau yang orang lain tak tau, ya semestaku juga tentang sudut kasih yang liar, kosong, dan sunyi. Tak terjamah namun sudah tersayat luka – luka.
Tak pernah terbesit sedikitpun kau lah yang akan
membalik semestaku. Tak sedikitpun aku menduga akan sejauh, sedalam dan seluas ini kau menjadi dimensi kasihku.
Ya, aku tau sepaket luka datang dengan pembungkus
bunga – bunga tengah merayu jagad rayaku.
Jagadku tengah dilanda badai, tatkala uluran payung
telah mengubah rayaku 180 derajat berbeda. Adalah senyummu yang memporak porandakan hunian, adalah binar dari sorot matamu yang mengusik kerisauan, adalah hadirmu yang menyemai beragam tanya. Sesederhana kala itu jumpanya teristimewa itu aku membayangkannya. Teramat istimewa menjadikanku gila di tengah malam aku terbangun untuk menyempatkan tersenyum sendirian. Begitu istimewanya kau, aku sempatkan menulis lirik- lirik puisi tentang perjalanan, perjumpaan yang kuharap tak sepaket dengan perpisahan dalam surat yang tak tersampaikan. Ku simpan berbentuk draft –draft pesan, mungkin suatu saat nanti nyaliku siap mengakuinya. TRANS(H)IT
Aku adalah bumi tapi kau bukanlah langit,
karena Tuhan mempertemukan diantaranya dengan menjadikan akulah tempat yang sedang kau pijak, yang menopang setiap jeda yang nyatanya kau butuhkan, yang kau pijak kala kepulan rokok atau bahkan seduhan kopimu belum mampu memenuhi ruang sepi yang ada di hatimu. Karena kau bukan lah langit, berhentilah bersifat angkuh di depanku.
Sedari awal kau hanya tak tau bahwa aku adalah
pemilik firasat yang kau bangkitkan. Aku tau kau akan datang sebelum kau benar benar datang, aku pun tau kau akan pergi sebelum kau benar benar pergi. Namun ku sangkal bahwa semua firasatku salah menilaimu, kau tak seperti itu. Namun ternyata berulang kali firasatku membuktikan kebenarannya.
Begitukah bentuk cinta sebenarnya ?
menyangkal, menampik, menepis segala keburukan. Membutakan kebenaran, menyengaja luka. Padahal aku tau aku akan terluka berjalan diatas puing kaca, padahal aku tau ada ingkar yang ku sangkal hanya demi tetap bersamanya. Padahal aku tau aku hanya penjeda bodoh, samsak tinju yang terlihat kau sayang tapi nyatanya kau pukul bertubi tubi demi lampiaskan rasa kalutmu.
Ya aku tidak pernah keberatan menjadi bodoh
karenamu. Pun aku tak pernah keberatan menjadi jembatan, pijakan, persinggahan atau tempat transit agar kau sampai pada tujuanmu. TAK TERJANGKAU
Kutemukan jawab disetiap stasiun pemberhentian
kereta¸ bagaimana kau tak menjamu perpisahan, bagaimana semudah itu kau lenyap, bagaimana semudah itu kau lupa bahwa selasar meja kala itu pun tau bahwa kau yang pertama kali datang dengan sejuta luka.
Aku tau lukamu tak semudah itu mampu sembuh jika
kau tak benar benar menemui seorang dokter pengobat pilu hatimu. Aku tahu lukamu yang luar biasa tak mampu tersembuhkan oleh seorang aku, tapi jika lukamu akan sembuh hanya dengan melukaiku, jika lukamu akan sembuh hanya dengan menoreh luka kepada orang lain, dan hanya jika orang lain itu adalah aku, aku bersedia Tuan.
Aku bersedia tidak menjamin bahwa aku adalah
seseorang yang cukup kuat untuk menopangnya tanpa tumpuan. Kau tau Tuan aku adalah pujangga yang bertumpu pada sajak. Kau harus terima bahwa kau akan masuk dalam sajakku jika kau berani melukaiku.
Tuan, ini kah yang kau mau ? berada di tak
terjangkau tanpa jamuan perpipasahan. Aku kira kau lupa kau pernah menoreh luka, menjamah cerita.
Aku selalu percaya jika rinduku yang kau sematkan
sebelum pergimu mampu tersampaikan hanya dengan tetap memikirkanmu, membiarkanmu riuh di atas kepalaku, dengan tetap menyebutmu dalam syair doa. Apalah arti tumpukan dokumen yang sedang aku kerjakan di kantor tak mampu membantuku berhenti melirik, mengintip adakah kabar tentangmu lewat singkat di hidupku, adakah kau ingat bahwa kau belum permisi untuk pergi. Tak mampu !
Setiap pagi, aku berharap kau pernah ingat aku
sedikit saja, secuil remahan biskuit mungkin. Setiap petang aku berharap kau baik – baik saja, selalu aku harap begitu.
Dalam ke-tak terjangkau-an aku mencarimu aku yakin doaku
untukmu menjangkau semestamu. PESAN
Seuntai sapa tengah singgah menghujam, menikam
rindu yang nyatanya hampir aku relakan pergi. Aku mampu mengingat setiap saat, setiap jeda, setiap tanggal kau datang dan kau pergi.
:D
Begitu kau tiba tiba menghancurkan ketenangan, kau
memang semaunya sendiri. Kau kira aku memiliki perasaan yang biasa saja setelah kau kirim berbagai macam pesan yang tak sewajarnya dinilai wajar ?
Ya kau memang semaunya sendiri tuan, kau tuduh
aku yang terlalu berlebihan lagi, padahal kau sendiri dalam pesanmu mengatakan kau saja tidak menyerah ketika aku mengatakan aku akan menyerah pada semua perasaanku.
Kau memang seenaknya sendiri tuan, kau terus
membuat ambiguitas padahal rasa dan pesanku selalu jelas, lalu kau tuduh semua pesanku adalah ke-alay-an.
Benar begitu tuan ?
TUHAN TAK PERNAH SALAH MENITIPKAN LUKA
Ku akhiri musimmu disini, tidak pada hujan, tidak
pada angin, pun tidak juga pada kerinduan. Ku akhiri saja pada keikhlasan. Katamu aku tak pernah menjadi dewasa, katamu aku selalu menyalahkan keadaan, menyalahkanmu, katamu aku selalu alay. Lalu bagaimana aku harus menyebutmu Tuan, yang kerap kali menuduhku bersalah. Bagaimana aku harus menyebutmu, atas beberapa ketidakjujuran atas perasaanmu sendiri. Bagaimana aku harus menyebut orang yang menuduh orang lain tidak dewasa ?
Baiklah tuan, atas ketidakdewasaanku aku terima
segala tuduhanmu, aku terima segala cacianmu, aku terima segala ucap keangkuhanmu. Seperti surat Al-Ikhlas yang tak menyebut kata “ikhlas” di dalamnya begitulah seharusnya keikhlasan itu.
Sebenarnya masih ada banyak rangkaian musim yang
hendak aku ceritakan, namun ada hasrat yang tak mengijinkanku, katanya jika kau benar – benar telah melepasnya berhentilah menceritakan tentang dia. Lalu ku hentikan saja ceritanya. Ku akhiri saja pada bab ini.
Dimana aku mengerti bahwa Tuhan tak pernah salah
menitipkan luka. Dimana Tuhan tau porsi luka yang harus diterima hamba-Nya, yang berarti Tuhan tau aku sanggup dan mampu melewati hal semacam ini. Tuhan mengirimkan kau hadir sebagai guru kehidupan, membumbui rasa hambar, seperti rasa manis pada kopi yang terlalu pahit.
Tak sepantasnya aku menyalahkanmu, pun dalam
sajak ini aku tak bermaksud menyalahkanmu. Baik yang mengecewakan maupun yang dikecewakan sama – sama memiliki porsi kesalahan yang sama.
Terima kasihku sedalam – dalamnya ku kurim dalam
bentuk rangkaian metamorfosa musim pada bab ini. Izinkan aku mengenangmu sebagai pelajaran hidup terbesar yang pernah ada dalam hidupku.
Sebelum benar – benar berakhir dengan kiriman
berita bahagia dalam bentuk undangan pernikahanmu, sebelum ada seseorang yang marah ketika kau menjadi objek sajakku, izinkan aku mengenangmu dalam 30 hal kecil tentangmu.
Kenangan itu memang keparat Kak, tapi aku senang jika ku
ingat beberapa hal kecil tentangmu kak.
1. Kau ditinggal menikah oleh mantan kekasihmu.
2. Itu satu – satunya mantan kekasih yang kau memiliki, yang cantik dan baik. 3. Kau masih sayang dengan mantan kekasihmu kala itu. 4. Kau beri hadiah pada mantan kekasihmu yang hendak menikah. 5. Kau misterius, tapi aku mudah menebaknya. 6. Kau tidak betah dalam kesendirianmu kak. 7. Kau suka sekali bermain Game Handphone. 8. Kau mudah sekali panik. 9. Golongan darahmu O. 10. Kau cerewet sekali, ditambah suaramu yang khas. 11. Kau supel dengan kehumorisanmu. 12. Kau pekerja keras. 13. Tapi kau mudah sekali masuk angin, jangan lemah Kak, istirahatlah sejenak. 14. Kau tak pandai menyusun kalimat, kalimatmu tidak jelas kak. Hanya saja aku mengalah dalam ketidakjelasanmu, hehe. 15. Rapikan susunan kalimatmu kak, nanti jika kau mengucapkan Ijab Qobul atau melamar sesorang kelak tidak terbata – bata. 16. Kerupuk adalah teman makan kesukaanmu. 17. Tingkat egomu tinggi kak, kurangi lah sedikit saja. 18. Kau selalu mengatakan tidak akan ada orang yang bisa mengerti dirimu, bagaimana bisa dimengerti jika kau saja tidak mengijinkan. 19. Kau orang yang mudah bosan. 20. Aku rasa cukup 20 saja, terlalu banyak nanti kau marah ku tulis sekian banyaknya.