Anda di halaman 1dari 3

NASKAH PODCAST

Cinta Itu Fana


Angin malam berhembus menerpa kulit kering kala penjagaan malamku,
berhembus diluruh mata yang kerap terpejam membayangkan sosokmu dalam hati, kau
tinggal begitu nyaman sampai ragamu memudar disapu senyap gulita. Tepat dibawah
terang bulan dengan aura sejuk sepanjang kududuk di kursi kayu, sendiri tanpa ditemani
seseorang sebagai subjek. Disisiku hanya tersedia metafora rumit sebagai pelipur lara
dan hiperbola sebagai pelengkap bahwa aku masih ‘baik-baik saja’ dalam senyum,
masih terlihat tangguh dalam koyakan sepi. Hanya disini bersuasana temaram sisa-sisa
hujan berbau rindu yang menyengat disertai guguran daun ke selokan depan teras
dimana teduh melingkupi hati yang berangan. Seolah itu aku, daun tersebut hanyut di
aliran mana ia akan menuju, aku ikut saja kemana arus kehidupan membawaku sebagai
manusia yang ingin merdeka. Karena ini kehidupan aku mencoba menerima apa yang
terjadi serta tak selalu aku harus melawan arus, kadang tersangkut, tenggelam lalu
muncul kepermukaan, atau mengambang tak tentu arah. Tapi sudah sepatutnya aku
berprinsip kepada diriku agar ketika aku mengikuti arus aku tidak terhanyut jauh dalam
jeram kehidupan.

Sesekali terdengar suara kendaraan lewat dan serangga nocturnal berdering


nyaring sebagai bukti aku masih hidup sebagai makhluk sosial yang tak hilang dalam
lingkungan, meski tentang hati hanya Tuhan semata yang tahu. Syukurlah. Rasa-rasanya
kopi yang sedari tadi berubah menjadi dingin mulai menaiki puncak kenikmatan kafein
di ubun-ubun kepala, terkadang rasa dan karakter bagi kalangan penyair adalah sebuah
kenyataan hiperbola, tak nyata tetapi memang terjadi apabila dirasakan lebih dalam
kelubuk perasaan. Seakan air mata dari proses kerinduan kepadanya dan paduan kasih
memang terlarut kedalam seduhan kopi, kepahitan seorang perindu adalah ketika ia
harus meminum air matanya sendiri. Ahh,, sialan. Aku bukan orang puitis, tetapi
selayaknya Maulana Jalaluddin Rumi yang seakan selalu berprosa setelah ia mengenal
sesungguhnya cinta. Demikian aku ini.

.........(break)

Kisah dimulai pada malam malam ini, entah malam sabtu atau jumat malam,
yang pasti cinta ini takkan pernah silam. Bagiku, segala sesuatu akan berkembang
menjadi lebih baik jika kita berpandang untuk berupaya memperbaiki dan mengevaluasi
apa yang perlu untuk dikembangkan secara lebih. Meski kutahu bahwa tak ada yang
abadi didunia ini, segalanya bersifat fana dengan bermacam variasi baik-buruk terhadap
diri dan sekitar. Tetapi kewajiban kita adalah tentang berupaya semaksimal mungkin,
aku juga setuju jika Tuhan akan menilai hamba-Nya lebih kepada prosesnya.
Sebagaimana cinta, ia akan menjadi fana bagi mereka yang hatinya sering terluka. Cinta
akan memfana bagi mereka yang miskin bahagia. Penderitaan diri karena salah dalam
arti cinta, lebih kepada balas jasa berjangka waktu. Aku menyadarinya jika dalam tidak
ada sebuah pengorbanan, karena ketika sudah merasa berkorban terhadap hal cinta,
maka gugurlah keikhlasan yang sesungguhnya merupakan pencapaian tertinggi dalam
cinta.

........(break)

Kala itu, kubertemu dirimu ditengah kegelapan hatiku, begitu nyenyak dalam
pejaman kasih hingga kau tak menyadari bahwa kau ditengah belantara gelap hatiku
yang usang. Tak pernah kusangka jika didalamnya terdapat dirimu yang enggan pergi
dari tempat seperti ini. Awalnya terasa mencekam jika mengingat sebelumnya aku yang
pernah bersarang dilubuk hati seseorang yang pada akhirnya justru meninggalkan luka
parah tersayat akibat terjal didalam gemerlap hatinya sehingga kulihat betapa segarnya
perih kurasa. Kali ini, setelah sedikit demi sedikit aku mulai mencoba bangkit untuk
pulih, cinta yang baik selalu berkembang dan seorang profesional adalah seorang yang
jatuh lebih dulu sebelum mampu tegak sempurna. Kuberanikan diri menyapamu,
membangunkanmu dari tidur panjangmu yang tak akan bisa kumengerti tentang kenapa
kau ada disini, dihatiku. Terlihat matamu yang sayu terbuka melihat kearahku dengan
kebingungan dan tak berselang lama kau tersenyum, suatu hal yang tak pernah kuduga
sebelumnya. Hati ini seketika bercahaya memendar lampu-lampu indah menyusur jalan
keluar menuju raga, lebih dari berbunga-bunga, aku sepertinya kasmaran dari cahaya
cinta.

Hari demi hari yang terlewati, memulai awal kisah indah dengan rasa suka cita.
Membumbung perasaan jauh untuk bahagia, bersimbiosis dalam ikatan kasih, hidup
dalam ekosistem damai di padang luas cinta. Selayaknya cerita diawali dengan
pengenalan setiap tokoh untuk digali lebih dalam agar setiap temu dan beradu kasih
tidak menjadi tanda tanya ketika selesai dan bergegas dibawa mimpi. Tanpa sebuah
iming-iming apapun, aku sangat mengimpikan akan perjalanan panjang dilika-liku
kehidupan disertai prahara. Kisah terbaik adalah perjalanan dengan lanskap realita dan
kita beradaptasi menguak satu demi satu makna yang tersirat dalam suatu peristiwa,
tetapi tangan kita tak saling melepas. Beginilah indah suatu sandingan hidup,
kesendirian yang terberkati Tuhan memuncak dalam indah cinta-Nya melalui seseorang.

.........(break)
Tepat pada malam setelah beberapa pekan yang sudah lampau, kita bertemu,
rutinitas sejoli yang kini sudah beranjak kearah-lain,dititik inilah mulai terjadi
singgungan antara sebuah perbedaan harapan dan cita yang sejak lama ditanam. Suka
duka yang telah dilalui dalam aliran air mata menetes di pundak, kini berbeda.
Ekspektasi kini telah lupa dengan raga, mabuk asmara, eros memanggil-manggil mesra
dan mulai beranjak pergi dari kesucian cinta sendiri. Semua benih-benih yang kita
semai itu perlahan berhenti tumbuh, perasaanku yang mengharap sama ternyata mulai
sejalan lagi dan berbanding terbalik. Semuanya layu, kau mulai acuh disetiap
kesenanganmu. Kau lupa tentang pertama kali bertemu, kala matamu terbuka kau mulai
lupa tentang rasa berbagi. Disinlah kau memaling walau masih sesekali kepalamu
tersandar di bahuku,tetapi itu sudah tidak seperti dulu lagi.

.........(break)

Binar dihatiku sudah perlahan meredup kembali, sepertinya diriku sudah


menjadi bagian dari luka bagaimanapun yang terjadi aku hanya terus dipacu untuk
menemukan titik syukurku. Lebih tinggi dari keikhlasan itu sendiri. Seakan diriku yang
belum puas selalu kutanyakan lagi dalam diam, tentang dimana lanjutan kisah ini, atau
haruskah untuk berakhir dalam waktu yang singkat. Ternyata baru kusadari kali ini,
mencintai adalah satu dari ujung sisi yang terdapat patah hati, tetapi dalam ikhlasnya
syukur hal tersebut hanya mainan dunia. Lalu aku gagal dititik itu. Keadaan semakin tak
menentu saja, kalut dibarengi keacuhannya memperparah kadar kestabilan diri karena
tentunya luka meninggalkan rintihan meskipun terbalut senyum. Sudahlah,
merasakannya adalah bencana. Mungkin jika ikhlasku masih berkorelasi dengan
moralku, lebih baik kulepas engkau, pergi bersemayam di hati yang lain.

..........(mid. Break)

Tuhan Maha Membolak-balikkan perasaan hamba-Nya, biarkan aku disini untuk


merasakan lagi suasana sendu di penjagaan malam pada setiap pejam mataku yang
berangan kepada siapa lagi, seperti kata Kahlil Gibran; “jika dia mencintaimu biarkan ia
pergi, jika ia kembali ia akan menjadi milikmu seutuhnya. Sedangkan jika tidak maka ia
tak akan pernah menjadi milikmu.” Ada yang lebih penting daripada takdir dalam
mencintai, yaitu terdapat rasa untuk saling meyakini seutuhnya dari kekasih. Kembali
aku disini untuk meneguk kopi kembali, meneguk air mataku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai