Anda di halaman 1dari 5

BUKAN CERPEN

Prolog
Ini bukan cerita pendek. Ini adalah roman. Meskipun singkat, ini sama
sekali bukan cerita pendek. Ini adalah roman yang berkisah tentang kita. Tentang
kisah kita yang tak pernah berakhir. Cerita ini bukan cerita cinta pandang pertama
pada umumnya, melainkan dimulai dengan perkenalan dan percakapan tanpa
pernah bertemu sebelumnya. Yang terkisah disini hanya kebahagiaan. Kau selalu
tertawa dan menggenggam erat tanganku. Selalu begitu.
Kemudian kita selalu tertawa dan bergandengan tangan. Seterusnya begitu.
Selanjutnya kita terkunci di ruangan yang tak pernah ada jalan keluarnya. Dengan
begitu, kau tak akan meninggalkanku. Kita bahagia, tak ada tangis, tak ada kata
selamat tinggal.
Sekali lagi, ini bukan cerita pendek. Ini adalah roman. Meskipun singkat,
ini sama sekali bukan cerita pendek. Ini adalah roman yang berkisah tentang kita.
Kisah kita yang tak akan pernah berakhir. Tidak akan pernah berakhir karena aku
selalu menulis ulang kisah kita, di hatiku.
Meskipun kenyataan tidaklah begitu.
_________________________________________
Bagian I : Tentang Kita
Perjumpaan perempuan rumit dengan laki-laki yang tak peka adalah
bencana. Adalah erupsi gunung berapi. Adalah tsunami. Adalah angin puting
beliung. Adalah aku dan kamu.
Aku yang rumit dan terlampau diam ketika terluka, tak bergerak, tak
bersuara. Aku yang diam-diam berairmata. Menangis dalam sunyi untuk
menyembunyikan kesedihan. Menyimpannya sendiri di tempat-tempat yang tak
mungkin kau temui.
Dan kamu yang tak berbakat menerjemahkan keterdiaman. Kamu yang
terlalu lugi—merasa bahwa semua baik-baik saja. Kamu yang punya keterampilan
kurang memadai dalam mengerti apa yang ada di dalam hati.
Karena kamu laki-laki yang tak peka, dan aku keras kepala masih saja
tetap cinta tak peduli apa.
Bagian II : Setahun Paling Bahagia

Pertemuan pertama yang menjadikanku seperti mata-mata yang tak putus memata-
matai gerakmu
Tatapan-tatapan yang tak putus memperhatikan matamu lewat spion
Jatuh cinta yang jauh lebih sunyi dari tetesan-tetesan air
Yang tak putus mengikis bebatuan selama bertahun-tahun

Jalan berbatu yang kita lewati


Hawa dingin dataran tinggi yang kita nikmati
Mendaki menuju kesunyian yang kita sukai
Langkahku yang memaksamu untuk berhenti dan menungguku hanya untuk
memastikan aku tidak kelelahan mendaki pertama kali
Suaramu membacakan puisiku untuk seseorang di masa laluku
Kemudian perpisahan dan jarak yang membuatku berkutat dengan rindu
Dan rindu yang akhirnya memakan habis waktu tidurku

Aku layaknya perempuan yang bisu;


Yang bermimpi ingin mengucap namamu dan kalimat “aku merindukanmu”
Kuping seseorang yang tuli:
Yang bermimpi mendengarmu berucap “aku mencintaimu”
Mata seseorang yang buta;
Yang bermimpi melihatmu dengan alis tebalmu
Doa seorang pendosa yang tak putus memintamu,
Meski kadang dia bingung dan lupa cara berdoa
Serupa petani yang hanya mampu menanam padi di dalam mimpi-mimpinya
Agar tak tersentuh oleh tangan pemerintah.

“Malang, jaga satu-satunya kesayanganku disana ya”


Kemudian kututup doaku dengan amin paling serius.
Bagian III : Setahun Penuh Luka

Setahun, dua tahun, atau beberapa tahun lagi, perasaan kita masih sama ga
ya? Kuharap masih sama hangatnya. Yaa ga jamin memang. Tapi aku ingin
dikenang meski cuma lewat angin, misalnya. Aku ingin diingat walaupun sadar
sering bikin kamu kesal. Iya, aku se-ingin itu jadi semesta dalam hidupmu.
Karena entahlah, nyaman saja berbagi kisah denganmu yang pada orang lain, aku
memilih bisu.
Memang ga akan ada habisnya tiap kita bercerita tentang perasaan.
Mungkin banyak orang sudah sangat bosan dengan keberadaanku yang seringkali
terlihat menyedihkan. Kata demi kata terlihat seperti petir yang menyambar, dan
mengetahui bahwa kamu adalah alasan yang seringkali terdengar mengapa aku
belakangan ini selalu menangis adalah hal yang sangat tidak aku sukai.
Kau tak akan pernah tahu rasanya mengingat-ingat memori setahun silam
dengan senyum kebar lantas menangis sebab mungkin tak akan terulang lagi. Kau
tak akan pernah tahu rasanya menelan bulat-bulat kenyataan bahwa kau tak
pernah jadi prioritas. Kau tak pernah jadi yang diutamakan. Kau hanyalah salah
satu di saat kau ingin jadi satu-satunya. Kau tak akan pernah tahu rasanya
menginginkan waktu diputar kembali namun semesta hanya menertawai
kebodohanmu sampai kau sendiri pun malu pada diri sendiri. kau tak akan pernah
tau rasanya disia-siakan. Didapatkan hanya untuk dicampakkan, atau disimpan
hanya untuk pajangan. Terlebih kau rupanya sudah lama dibuang tapi belum
benar-benar terbuang.
Kau tak akan pernah tahu rasanya kecewa sekecewa ini—sekecewa yang
aku rasa. Sebab aku tak akan pernah tega menyiksamu dengan cara yang kau
lakukan padaku. Aku rusak parah tapi tak mampu meninggalkanmu. Ironis bukan?
Nyatanya satu yang tak jadi satu-satunya,
Adalah aku.
Kamu tahu?
Aku takut jatuh hati setelah kamu menjatuhkan hatimu bukan lagi padaku.
Bagian IV : Kesempatan Kedua

Kamu tahu bahwa aku mencintaimu dengan sangat—memujamu tanpa jeda—


memaafkanmu tanpa perlu berpikir lama—bahkan selalu menerimamu kembali.
Kamu pun tahu bahwa aku selalu percaya bahwa kesempatan kedua selalu ada
untuk seseorang yang mau melakukan perbaikan. Namun tidakkah kamu lupa
bahwa hati yang kamu tempati, terbentuk dari reruntuhan dinding kepercayaan
yang pernah kamu hancurkan.
Lalu mengapa kamu mengulang kesalahan yang sama?
Tidakkah kamu mengerti bahwa puing-puing kaca yang disatukan kembali
tetaplah meninggalkan retaknya, lantas bagaimana ketika kaca itu terjatuh lagi?
Aku mencintaimu, kamu tahu itu.
Namun apa yang harus aku lakukan ketika kesempatan yang aku berikan sudah
disia-siakan, lagi?
Aku menyayangimu, kamu tahu itu.
Yang tidak kamu tahu adalah betapa berantakannya aku atas luka yang kamu
torehkan kembali bersamaan dengan hati yang selalu jatuh padamu lagi.

Bagian V
Kita Setelah Luka

Bukankah seseorang akan tetap pulang pada rumah ternyaman walau ia sudah
pergi atau bahkan menyakiti? Entah apa yang membuatku begitu batu atas
persepsiku sendiri. Kemarin, mungkin hari ini adalah hari-hari untuk tawa
kembali pecah. Tentang adanya tuan yang kembali membangun rasa, tentang
Tuan yang kembali membawa ketenangan. Baiknya dia, banyak. Kuperkenalkan
atas aku yang sedang berteduh kembali pada tempat ternyaman.
Adalah kamu yang sudah jembali pada rumahnya, terimakasih.
Adalah aku, yang menyayangimu.
Kembali Percaya

I.
Menguatkan lagi,
niatnya.
Juga melapangkan
sabarnya

II.
Dan lebih meluaskan lagi
Ikhlasnya

III.
Karena tujuannya
masih panjang.
Karena kerikilnya,
semakin tajam.

IV.
Semoga tetap
Satu tujuan.
Saling mengingat dan menguatkan.

V.
Semoga saling.

Anda mungkin juga menyukai