Anda di halaman 1dari 4

LANGIT MENDUNG DI WAKTU SENJA

Karya : Muhammad Fria Fachrama Sumitro, SMA Negeri 4 P. Siantar

Ingin sekali aku menyatakan apa yang ku rasakan kepada mu. Bukan lagi lewat tatapan
maupun senyuman, tapi langsung dari kata-kata yang dimiliki lidah. Namun, kau memaksa
ku untuk tidak mencintaimu. Sesak di dada, perih di ulu hati. Purnama pun hanya diam dan
tak membantu menyembuhkan luka yang dialami diri.

Teringat dengan kejadian pertama kali mata ku melihat paras mu. Waktu itu, aku
sedang menuangkan beberapa kata yang terjebak dalam pikiran ku ke dalam sebuah surat.
Surat yang tujuannya ke negeri antah-berantah. Aku lalu tak sengaja melihat seseorang di
depan sana. Entah sedang memerhatikan apa. Dia lalu dengan sombongnya menjepret
sejumlah foto.

“Kepada dia yang berada di negeri tak bertuan, sampaikan salam ku kepada pangeran
yang senang berfoto itu. Nyatakan bahwa aku ingin jatuh pada pelukannya.” tulis ku.

Tangan secara spontan merangkai kumpulan huruf tersebut. Sedikit janggal, namun aku
menyukainya. Mulut berkata, namun tak bersuara, “Suatu saat nanti, akan ku berikan surat
ini kepada pria yang ada di sana.”

Bencinya aku. Terjadi sebuah adegan sinetron di mana kau menghampiri diri ku.
Jantung ini sontak langsung berdegup tak karuan. Tak lupa juga wajah yang tak biasanya
memerah. Dia lalu menyodorkan selembar foto. Aku merasa tak sanggup ‘tuk mengambil
foto dari tangan halusnya itu. Tak lupa juga senyum manis yang ia lontarkan ke aku.

“Maaf, ya, karena memotret mu tanpa izin.” katamu dan memaksa ku menerima foto.

Foto pun ku terima. Dia pergi. Aku diam saja. Hanya lambaian tangan sebagai
representasi ucapan-ucapan ku. Serasa lidah ini kehilangan kata-kata. Tapi, hati sedang
berteriak ria karena saking senangnya.

14 Desember 1996. Aku mencoba lagi ‘tuk menemui mu. Dan ternyata kau ada di sana,
di tempat yang sama. ‘Apakah ini yang dinamakan takdir ?’ batin ku. Muncul banyak ide di
sana-sini setelah melihat diri mu. Aku pun mencoba untuk melanjutkan surat. “Sejak kala
pertama ku melihat mu, hati memberitahu ku bahwa ia rela memberikan dirinya untuk mu.”

Awalnya, kita seperti sesama orang asing. Hanya memandang dari jauh, takut ‘tuk
saling berbicara. Namun selang beberapa minggu, kau mendekati ku.
“Apa kau suka dengan pemandangan di taman ini ?” tanya mu untuk pertama kalinya.

“Aku cukup menyukainya. Terlebih lagi ada sesuatu yang membuat ku jatuh hati pada
taman ini.” kata ku, mengarah kepada kehadirannya di tempat ini.

Kau tak membalas pernyataan ku lewat kata-kata, tapi lewat senyuman itu saja sudah
begitu jelas bagi ku. Aku tak tahu apa yang kau rasakan, karena aku bukanlah cenayang. Aku
hanya manusia biasa. Tapi kalau bisa kutebak, diri ku tergambar jelas lewat senyuman itu.
Hanya saja, kau sepertinya juga takut untuk melampiaskan yang ada di dalam sanubari.

Hari demi hari dilewati. Tuhan begitu indah merangkai cerita di antara kita sejak cinta
pada pandangan pertama yang telah Ia buat. Hari demi hari jua akhirnya aku menyelesaikan
surat ini. Tak sabar mau memberikannya kepada mu. Namun, entah mengapa kau secara
misterius menghilang. Tak terdengar oleh telinga ku kabar dari mu. Raga mu pun tak terlihat
pandangan ku jua. Hati sedikit khawatir. Cemas tak karuan. “Tolong, jangan pernah
meninggalkan ku di suatu saat nanti. Jiwa dan raga serasa ditusuki jarum, duhai pangeran
ku.” tambah ku di surat yang sudah selesai itu.

Hingga suatu saat, kau dan aku bertemu lagi di taman. Sungguh senangnya aku hingga
aku ingin menangis. Dengan kamera mu, kau memotret banyak benda sama seperti pertama
kali aku melihat mu. Kau lalu mengarah ke aku.

“Syukurlah kau muncul. Ada sesuatu yang ingin aku katakan.” kata mu, seraya
mendekati diri ku.

“Aku juga ada yang ingin ku katakan. Sebaiknya, kau duluan yang mulai.”

“Selama aku mendatangi taman ini, tak pernah ku jumpai wanita semenarik diri mu.
Aku tak perlu berbohong, ini seperti cinta pada pandangan pertama. Kalau perlu aku
mendikte diri mu, nampaknya kau menyukai ku.” kata mu.

Entah mengapa, perasaan yang sama saat kita pertama kali bersua muncul. Kau hanya
melengkungkan bibir indah mu sambil berkata, “Perasaan itu juga muncul dalam hati ini.
Namun, aku takut kita tak akan bertemu lagi karena ini.”

Harapan yang ada seketika mengecil. Aku bertanya, “Apa maksudmu ?”

“Maaf karena belum mengatakan tentang ini jauh-jauh hari. Karena aku takut kau akan
kecewa duluan.” Kau diam sebentar. “Ada sesuatu yang membuat ku gagal dalam hal
perasaan. Ini semua berawal dari orang tua ku dan berimbas kepada ku. Akibatnya, aku akan
pergi dari dunia ini jika seseorang memberikan hatinya kepada ku. Lebih jelasnya, aku akan
menghilang jika seseorang mencintai ku.”

“Apakah kau sempat menghilang karena rasa yang ada di diri ku ?”

“Sedikitnya, itu berpengaruh kepada ku.” balas mu.

Harapan yang tadi mengecil menjadi menghilang. Ada perasaan menyesal karena
selama ini telah mencintai mu. Aku berkata, “Aku mungkin akan terluka jika tidak
mencintaimu, tapi aku akan lebih terluka jika aku tak dapat menemui mu lagi. Kalau begitu,
aku akan menghilangkan semua perasaan yang ada agar aku tetap bisa bersama mu.”

Kau lagi-lagi hanya tersenyum. Aku benci sekali saat kau seperti itu, karena aku tak
bisa tahu apa yang sedang kau rasakan maupun yang kau pikirkan. Kau lalu berkata, “Tak
apa. Aku akan tetap mencintai mu. Aku sudah tak bisa menyembunyikan perasaan ini lagi.”

Kedua mata ini sedang memandangi seseorang yang pernah ku kasihi dan bersama
untuk sesaat. Dan kau benar-benar memberikan tatapan yang sangat dalam kepada ku. Ku
peluk kau erat-erat agar kau tak akan pergi. Tiba-tiba, cahaya muncul dari tubuh mu. Ku
lihat, ujung jari mu mulai memudar. Aku tak dapat lagi merasakan jemari mu yang halus.

Tak dapat dihentikan. Air mata terus bercucuran. Kau lalu memelukku. Kau berbicara
lagi seraya terus menghilang, “Mungkin, memang inilah seharusnya yang terjadi. Sepertinya,
aku bukanlah orang yang tepat bagi mu.”

Dalam tangisan, aku lalu teringat dengan surat yang ku hadiahkan kepadanya. “Tak
bisakah kau membaca barang sekata dalam surat yang telah ku buat untuk mu ?” pinta ku.

“Simpanlah itu. Suatu saat nanti, kamu pasti akan dijumpai seseorang yang benar-benar
dapat mencintaimu.”

Semakin ku peluk dengan erat, semakin tak dapat ku rasakan tubuh hangat mu. Kau
semakin menghilang. Kau berkata dan tersenyum lebar, “Terima kasih karena telah
memberikan hati mu dan jatuh ke pelukan ku.”

“Kau ‘kan terus menjadi pangeran di dalam hati ku ini.” kata ku.
Tangis ku pecah. Pecah menjadi berkeping-keping yang mengisi kekosongan di luar
sini. Kau menghilang dan pergi untuk selamanya. Awan-awan itu tak sanggup lagi menahan
air. Hujan pun turun dan langit seolah-olah ikut menangis.

Batin masih belum sudi akan kepergian mu. Sedikit ada penyesalan saat menyusun
surat itu. Kenapa kau harus melakukan itu ? Kenapa tidak kemarin ? Minggu lalu ? Atau
bulan lalu ? Kenapa harus sekarang ketika cinta sudah terajut dengan rapi ?

Tetap dalam kesedihan, aku mencoba merelakannya. Mungkin suatu saat, aku akan
menemui orang lain dan menghadiahkan surat ini untuk dia yang datang itu.

Anda mungkin juga menyukai