Anda di halaman 1dari 3

SURAT YANG TERTUNDA

Karya : Muhammad Fria Fachrama Sumitro, SMA Negeri 4 P. Siantar

Pematangsiantar, 10 Januari 1998

Keraguan muncul di pikiran tatkala terus memikirkan apakah aku harus memiliki
seorang sahabat pena. Habisnya, aku mungkin tak bisa menemuinya. Belum lagi adanya
kepastian akan dijawabnya suratku. Namun, muncul keyakinan saat aku melihat namamu.
Namamu adalah yang teristimewa di antara nama-nama orang yang kubaca di majalah. Tanpa
pikir panjang, surat langsung ku luncurkan ke kamu.

“Mata bak terhipnotis oleh perkataanmu. Ternyata, ia telah jatuh hati dengan mu. Aku
harap kau dapat mendengar jeritan hatiku. Ia terus berteriak karena tak sabar untuk memiliki
dirimu.”

Rupa-rupanya, kamu pun membalasnya. Kata-kata puitis pun tak luput dari pembuka
surat. Malu-malu diri ini saat memperhatikan bahasamu. Semakin malu ketika aku harus
membalas suratmu.

“Senang rasanya membaca suratmu. Kata-kata yang kau tuliskan bak memunculkan
sebuah rasa. Diriku pun akhirnya terlena. Tak sabar membaca lagi surat-surat darimu. Kalau
begitu, aku akan selalu mengirimimu surat setiap minggunya, ya ?” tulismu di surat yang kau
kirim beberapa minggu kemudian.

Senang semakin menggebu-gebu saat membaca kata-kata itu. Terlebih lagi surat dari
sahabat pena tercintaku. Kita menjadi semakin akrab walau hanya lewat tulisan. Meskipun
belum pernah melihat parasmu, namun ia seperti muncul dalam benakku. Terutama, ketika
tangan sedang merangkaikan kata-kata buatmu. Hingga akhirnya, muncul rasa aneh dalam
diri dikarenakan keromantisan yang kau tuangkan melalui goresan pena.

“Benarkah ? Kan ku tunggu kau di setiap minggunya.” aku membalas surat mu.

Tangan tak habis-habisnya gemetar ketika aku harus membuat lagi surat untukmu.
Kepala pun sudah kehabisan stok kata. Belum lagi jantung harus berdebar-debar memikirkan
perasaan yang muncul di hatimu setelah membaca suratku. Karena, aku nekad menyisipkan
sebuah cinta di setiap kata-kata. Selama ini aku mencoba untuk mengurungnya, namun dia
keluar dengan sendirinya.
“Akankah dia suka ? Atau, ini hanya biasa-biasa saja ?” tanyaku dalam hati.

Lalu tulisku dalam surat, “Ada kalanya kita harus mengalah. Apakah itu tentang
perasaan ataupun tentang hal lain. Tapi, aku mengalah pada perasaanku untuk kali ini.
Nampaknya, hati ini sudah rela menjadi milikmu. Aku harap, tak ada yang kecewa setelah
aku mengungkapkannya.”

Tapi, sudah sewindu tak ada balasan darimu. Kau nyatanya terlalu membuatku
menunggu. Kau bak ditelan Bumi. Secara misterius hilang dari peredaran. Aku pun jadi
memikirkan yang aneh-aneh karena perkataanku waktu itu.

“Apa dia marah sebab aku terlalu frontal menyatakan rasa ini ?” kata ku dalam hati.

Akhirnya, surat-surat terus kulayangkan kepadamu. Sudah tak kupikirkan lagi uang
yang keluar karena itu semua. Aku pun selanjutnya jadi bosan sendiri menanyai kabarmu.
Sudah bosan juga menunggu jawabanmu. Rindu sudah terlalu lama menggerogoti kalbu.

Batin lagi-lagi bertanya, “Masih ingatkah kau dengan janji itu ? Janji yang dibuat saat
kau dan aku masih saling bercengkerama. Di mana janji itu sekarang ? Adakah itu muncul ke
permukaan ?”

Lalu kau tiba-tiba mengirimiku sebuah surat lusuh, “Aku hanya ingin mengatakan
bahwa aku sebenarnya senang bersama mu. Aku sebenarnya ingin terus bersama mu. Namun,
terasa ada yang menolak dalam diri. Aku tak bisa mencegahnya sehingga itu menguasai
diriku. Aku merasa kalah.”

Surat itu sedikit ku remukkan. Aku merasa bahwa semua yang kau katakan hanyalah
main-main. Namun, itu semua menjadi serius di saat kata berduri yang sengaja kau lontarkan
terus tertancap di hati yang lunak ini. Tangan tak sanggup untuk membinasakan duri itu.
Darah pun akhirnya tampak dan bercucuran keluar.

“Selama ini, aku telah membiarkanmu merasakan cinta yang hanya bertepuk sebelah
tangan. Namun kenyataannya, memang tak ada muncul rasa padaku. Aku ingin minta maaf
karena harus ada yang kecewa.” tulismu lagi.

Sesak menjalar dari dada ke hati. Bibir bergetar dan tak dapat lagi berucap. Tak terasa
air mata mengalir perlahan. Tangisan yang turun langsung melenyapkan harapan yang selama
ini telah kupupuk. Hati pun tak kunjung sembuh karenanya.
“Kau tak perlu lagi memperdulikan diriku. Jadi, jangan pernah mengirimiku surat lagi.”
tulismu di surat yang sama.

Kecintaan berubah menjadi kebencian. Kepedulian berubah menjadi ketakacuhan. Tega


sekali kau membiarkan diri ini menangis dalam penantiannya. Penantian itu pun tak setimpal
bayarannya. Surat-surat yang selama ini kau kirimi layaknya omong kosong belaka. Kau
merekayasa semua rasa yang ada seolah-olah rasa yang kuciptakan telah mencapai dirimu.

Pada akhirnya, Romeo dan Juliet pun tidak dapat saling bertatap muka lagi. Sudah
saatnya juga bagi si Punuk untuk tidak merindukan bulan lagi.

Di bawah tetesan tangis, ku akhiri rangkaian tulisanku ini. Harap-harap kau akan
membacanya dan mengerti apa yang aku rasakan. Kau sejauh ini tak pernah paham yang
kurasakan. Surat-suratku tampaknya tertunda untuk menuju hatimu. Ya, menuju hati yang
telah mempermainkan jiwa dan raga seseorang.

Anda mungkin juga menyukai