Anda di halaman 1dari 8

SURAT SAHABAT

By.Tias Nurul Fauziah/AF 6

Surat itu datang tiba-tiba, tanpa ada sebab..tanpa salam tanpa penutup,

hanya dibuka dengan kata maaf dan ditutup pula dengan kata maaf. Ketika

aku baca surat itu, aku sedang terkapar diatas kasur karena demam manja.

Dua hari terakhir ini, pikiranku dan badanku terforsir tanpa mendapat balasan

setimpal. Jadilah badanku berontak minta diperhatikan, kepalakupun unjuk

gigi. Berkali-kali aku baca surat itu, sekali…dua kali.. tiga kali… aku masih

belum paham. Ah mungkin kepalaku masih ingin istirahat, akhirnya kuturuti

kemauannya. Aku tidur pulas meski badan masih panas. Baru keesokan

harinya aku baca lagi surat itu…surat dari sahabatku. Mungkin ia sedang

menghawatirkan keadaanku.

Namun lama kupandangi satu-persatu barisan kata yang termaktub

diatas kertas putih itu, aku semakin paham. Ini bukan rangkaian kata

kekhawatiran, sahabatku sedang murka. Ya..Murka. Aku bacakan penggalan

suratnya untuk kalian.

“…. Semakin lama aku hidup bersamamu, aku semakin tertohok, aku merasa

kerdil, kecil, bahkan aku merasa diremehkan…..Aku merasa kita hanya sahabat berbagi

suka bukan duka…”.

Belum sembuh kepalaku dari rasa sakit, surat darinya semakin

menambah beban dalam pikiranku. Sekalipun aku tidak pernah merasa lebih

darinya, karena yang kutahu ia memiliki banyak kelebihan dibandingkan

diriku. Kalo boleh aku hitung, aku hanya memiliki satu tingkat kelebihan

diatasnya. Dibidang akademis saja, itupun tidak jauh berbeda. Yang lainnya

dia boleh merasa lebih tinggi dariku. Dia selalu menjadi orang kepercayaan di

kampusku. Dia selalu jadi ketua organisasi yang malang melintang di banyak

kegiatan. Meskipun aku sempat iri dengannya tapi aku harus sadar akan

kekuranganku. Tipe orang sepertiku hanya pantas dijadikan tempat


bersandar, tempat mencari solusi, tempat mendamaikan orang-orang yang

sedang dalam puncak emosi. Untuk masalah pekerjaan, aku yakin tidak ada

seorangpun yang mau melirik kearahku. Haha.. kerjaku lumayan lamban,

meskipun rapi. Tapi tidak banyak orang yang mau menerima pegangan

hidupku yang “slowly but sure”, kata teman-teman kuliahku zaman sekarang

orang yang lamban gampang tergilas oleh kerasnya kehidupan. Aku rasa tipe

orang seperti itu bukan diriku, toh sampai detik ini aku masih hidup. Tapi aku

memang tidak pernah menuntut banyak untuk hal ini, Let it flow. Ketika baca

buku “…and the star is Me” karya Afifah Afra, aku semakin sadar bahwa

setiap manusia memiliki kebintangan di bidang masing-masing.

Oh ya..namaku Zia. Aku mahasiswa fakultas sastra di sebuah

Universitas swasta tepatnya di kota Solo. Kalo kalian pernah baca buku

personality plus maka tipe orang phlegma yang damai adalah gambaran diriku.

Sahabatku yang tadi namanya Lala satu fakultas denganku tapi beda jurusan,

aku sastra Inggris dan dia sastra Indonesia. Pernah dengar orang melankholis?

yah.., melankholis yang sempurna. Lala memang orang yang selalu menuntut

sempurna, penampilannya, pekerjaannya, apalagi kalo udah bersih-bersih

rumah. Untuk hal terakhir ini aku sering tidak pernah ikut campur, karena

pasti ia tidak mau menerima hasilku yang ia nilai sangat jauh dari nilai

sempurna.

Kembali aku lihat isi surat itu hingga benar-benar hafal isi bahkan

letaknya. Tak juga aku menemukan inti persoalan. Aku mencoba flashback

hidupku bersamanya selama dua minggu terakhir ini, aku ingat-ingat setiap

detail kata yang aku ucapkan kepadanya. Jujur.. baru sekali ini aku

mendapatkan surat seperti ini darinya. Bukan karena tidak pernah ada

masalah antara kami berdua, tapi yang kutahu selama ini dia adalah wanita

masa bodoh yang ga’ pernah mau sibuk dengan hal-hal sepele semacam ini.

Dia wanita perfeksionis yang selalu menuntut orang lain untuk benar seperti

dirinya. Bahkan aku butuh waktu 5 tahun untuk benar-benar bisa


memahaminya, namun saat ini dengan kedatangan surat darinya aku baru

sadar kalo selama ini ternyata aku belum sepenuhnya paham tentang dirinya.

Kalau aku mau sedikit egois, aku akan membiarkan hal ini berjalan

begitu saja. Toh selama ini aku terus mencoba untuk memahaminya, tapi

sekalipun dia terlalu gengsi untuk merasa membutuhkan orang lain disaat

duka. Wanita sok kuat aku bilang…toh jebol juga kan pertahanannya.

Sekarang gilirannya aku menyerah karena ga’ pernah dihargai, dia datang

minta dipahami. Bagaimanapun aku masih menganggap dia sahabatku. Aku

mencoba introspeksi diri hingga larut kembali dalam tidur…

***

“Zi.., ada lomba nulis cerpen nih. Kamu kan suka nulis, kok tumben ga’

ada kabar mau ikut”, terang Fika temen kampusku yang datang membawa

selebaran lomba menulis cerpen FLP Solo.

“Ga ahli bikin cerpen fik’, jawabku singkat

“Yang penting kamu bisa nulis, tinggal nyari ide aja kan?”, sergahnya

meminta pendapat teman-temanku yang kebetulan ikut nimbrung bersama

kami

“Kalo cerpen kan lebih pake perasaan, aku paling nggak bisa main

majas …Lihatlah suasana indah malam ini angin berhembus menampar

pisang…”.

“Ampar-ampar pisang kale… dasar ga’ romantis…garing!!”, serempak

teman-temanku menghujamkan sumpah serapahnya kepadaku.

“Udah ah, ga’ usah dibahas lagi. Ntar aja kalo ada lomba bikin karya

ilmiah aku ikutan. Oke!”, jawabku membela diri.

“Bisa dicoba ko’ zi, toh bikin cerpen ga harus yang melankholis kan. Itu

paradigma kamu aja. Kamu juga bisa kan nulis pengalaman pribadi, tinggal

diformat biar terkesan kayak cerpen. Ntar kita bantu deh..”, ucap fika diamini

teman-temanku yang lain


“Ya deh, liat aja ntar”, jawabku mencoba menyanggupi permintaan

mereka.

***

Aku kembali memikirkan tawaran fika untuk mengikuti lomba menulis

cerpen, aku dudukkan badanku depan computer, tanganku sedari tadi

nangkring diatas keyboard tapi tak satu katapun yang muncul di layar

monitorku. Masih terlihat putih bersih. Aku putar otak mencari bongkahan

ataupun serpihan-serpihan kata yang bisa aku rangkai untuk ku jadikan

cerpen. Khayalanku berkelana buas tapi tak tahu arah mana yang dituju.

Hanya gambaran hitam…hitam lagi…putih…abu-abu. Lama-lama bisa gila

aku dengan cerpen. Jangankan menulis cerpen, disuruh bercerita saja aku tak

bisa. Ah..kurebahkan badanku diatas kursi panjang, musik winamp mengalun

merenggangkan syaraf otakku yang saling tarik menarik. “Kita berlari dan

teruskan bernyanyi.. kita buka lebar pelukan mentari Bila ku terjatuh nanti kau siap

mengangkat aku lebih tinggi.. seperti pedih yang telah kita bagi layaknya luka yang

telah terobati Bila ku terjatuh nanti kita siap tuk melompat lebih tinggi!!!”… selintas

lagu Sheila on 7 mengingatkanku akan surat lala. Aku meloncat dari

pembaringanku, dan kuraih selembar surat yang masih tergeletak di atas

kasur.

Aku tahu…! Ide brilianku telah datang. Dengan langkah seribu aku

kembali duduk di depan computer. Buku “…and the star is Me” menemaniku

kembali, diujung kertas aku tulis kalimat yang ku sadur dari buku tersebut…

Menulislah tanpa beban!. Aku baru sekali ini merasakan menulis cerpen tanpa

beban, beban untuk menang, beban untuk dipuji orang, beban untuk dibilang

intelek, bahkan beban untuk membuatnya dengan segenap perasaan yang

terkadang dibuat-buat. Aku menuliskan cerita ini dengan begitu ringan hanya

karena ingin mempersembahkannya untuk sahabat yang telah menjadi bagian

dari hidupku. Sekaligus sebagai ucapan maaf atas ketidaktahuan diriku yang
membuatnya sakit hati. Aku terus menulis tanpa henti…musik-musik tentang

persahabatan aku bunyikan untuk membangkitkan stimulusku dan

menambah inspirasiku.

Anganku kini mulai melayang seringan kapas, mengingat kejadian-

kejadian 5 tahun lalu yang telah mengklaim kami secara tidak sengaja sebagai

seorang sahabat. Sahabat yang hanya bisa mengerti namun belum bisa

memahami. Paragraf pertama aku mulai dengan kata…coz I love you. Aku

tuliskan betapa aku dulu tidak pernah sekalipun mau tahu dengan urusan

sahabat, tidak pernah mau sibuk dengan persahabatan. Aku pikir sahabat

hanyalah dongeng yang tak harus terjadi didunia nyata. Eksistensinya hanya

bisa dijadikan formalitas tidak perlu jadi prioritas. Tapi, lambat laun perasaan

itu terkikis seiring munculnya sosok-sosok yang mulai memahamkanku akan

arti membutuhkan orang lain. Meskipun persahabatan kami dimulai dari

sebuah pertengkaran sengit, namun toh akhirnya Allah memiliki kuasa lain

untuk merubahnya menjadi sebuah ikatan persahabatan.

“Mbak Zia makan dulu…, dari tadi mama lihat kok di depan komputer

terus, ada tugas kuliah yah?”, konsentrasiku buyar ketika mama datang

menghampiriku.

“Enggak kok ma, lagi mau bikin bingkisan wat lala”, jawabku sambil

mengucet mata yang mulai berair

“Lala ulang tahun yah?..perasaan masih lama sayang!’, tanya mama

penuh selidik

“Kan ngasih bingkisan nggak cuma waktu ulang tahun aja ma…, ya

udah makan dulu aja. Habis itu Zia mau lanjutin lagi, ngejar waktu ni

ma..besok mau konsen sama tugas kuliah”, tukasku yang disetujui anggukan

mama.

Setelah makan aku kembali melanjutkan tulisanku yang tinggal

beberapa halaman lagi. Tanganku belum mau berhenti untuk menulis, masih

banyak unek-unek yang ingin aku keluarkan. Tentang dirinya yang sok kuat,
yang tak pernah mau mendengarkan kritikan orang lain, yang selalu

menganggap orang lain ga sempurna, hingga dia yang tak pernah padam

obsesinya untuk menaklukan mahameru, khayalan melihat hamparan

edelweiss, ranu kumbolo dan apalah yang sering membuatku bingung dengan

jalan pikirannya. Dan di akhir paragraph dari cerpen ini kutulis puisi

untuknya.

Dahulu aku tidak mengenal siapapun…

Hanya alam yang kukenal…

Namun aku tidak begitu mengerti…

Siapa yang menciptakan…

Tapi setelah kuberjalan…

Menapaki kehidupan yang melelahkan…

penuh tantangan…

dan sarat petualangan

Aku temukan sosok-sosok manusia yang datang..

menemaniku dalam petang…

Salah satunya kamu

Yang kini berada dekat disampingku

Namun aku harus memahami

Seandainya tidak ada waktu yang bersama bisa kita lalui

Setidaknya masih ada cerita yang bisa kita bagi

***

“Traktir…traktir…Bakso…KFC…Mie ayam”, ruangan kelasku tiba-tiba

riuh dengan kedatanganku. Suasanya mirip demo mahasiswa di depan

gedung DPR

“Nih..,tulisan kamu di muat di majalah Asida. Juara 3 lomba menulis

cerpen FLP Solo..Zia Nur Faizah”, Fika tiba-tiba maju membawa majalah
Asida edisis terbaru, aku hanya bisa tersenyum melihat tulisanku dimuat

disana. Sebenarnya aku tak begitu mengharapkan hadiah dari lomba ini ..aku

hanya ingin lala membaca cerpenku. Karena semenjak menulis suratnya

untukku, ia sama sekali tak mau menyapaku.

“Oke…nanti habis kuliah. Yang nggak ada kerjaan silahkan ikut. Kita

cari tempat, tapi syaratnya…uang ditanggung pribadi!”, kalimat terakhirku

mendapat Huuuu- serempak dari anak kelasku. Kertas-kertas tak berdosa

melayang layang di pelupuk mata. Hingga dosen datang kelas masih saja

seperti anak TK mau wisata.

“Ada surat dari Lala..tadi dia nitip”, bisik Tika teman sebangkuku.

Aku perhatikan bentuk surat itu, hanya lipatan kertas kecil bahkan

mungkin hanya sobekan kertas yang ia temukan dijalan. Ku buka perlahan

lipatan itu..kutemukan sebait kata namun sarat makna…”Bukan hanya cerita

yang akan kita bagi…bahkan waktupun akan terus bersama kita lalui”.

Aku tersenyum lega, Thank’s God….aku benar-benar merasakan

karuniaMu. Thank’s for everything....

Anda mungkin juga menyukai