Surat itu datang tiba-tiba, tanpa ada sebab..tanpa salam tanpa penutup,
hanya dibuka dengan kata maaf dan ditutup pula dengan kata maaf. Ketika
aku baca surat itu, aku sedang terkapar diatas kasur karena demam manja.
Dua hari terakhir ini, pikiranku dan badanku terforsir tanpa mendapat balasan
gigi. Berkali-kali aku baca surat itu, sekali…dua kali.. tiga kali… aku masih
kemauannya. Aku tidur pulas meski badan masih panas. Baru keesokan
harinya aku baca lagi surat itu…surat dari sahabatku. Mungkin ia sedang
menghawatirkan keadaanku.
diatas kertas putih itu, aku semakin paham. Ini bukan rangkaian kata
“…. Semakin lama aku hidup bersamamu, aku semakin tertohok, aku merasa
kerdil, kecil, bahkan aku merasa diremehkan…..Aku merasa kita hanya sahabat berbagi
menambah beban dalam pikiranku. Sekalipun aku tidak pernah merasa lebih
diriku. Kalo boleh aku hitung, aku hanya memiliki satu tingkat kelebihan
diatasnya. Dibidang akademis saja, itupun tidak jauh berbeda. Yang lainnya
dia boleh merasa lebih tinggi dariku. Dia selalu menjadi orang kepercayaan di
kampusku. Dia selalu jadi ketua organisasi yang malang melintang di banyak
kegiatan. Meskipun aku sempat iri dengannya tapi aku harus sadar akan
sedang dalam puncak emosi. Untuk masalah pekerjaan, aku yakin tidak ada
meskipun rapi. Tapi tidak banyak orang yang mau menerima pegangan
hidupku yang “slowly but sure”, kata teman-teman kuliahku zaman sekarang
orang yang lamban gampang tergilas oleh kerasnya kehidupan. Aku rasa tipe
orang seperti itu bukan diriku, toh sampai detik ini aku masih hidup. Tapi aku
memang tidak pernah menuntut banyak untuk hal ini, Let it flow. Ketika baca
buku “…and the star is Me” karya Afifah Afra, aku semakin sadar bahwa
Universitas swasta tepatnya di kota Solo. Kalo kalian pernah baca buku
personality plus maka tipe orang phlegma yang damai adalah gambaran diriku.
Sahabatku yang tadi namanya Lala satu fakultas denganku tapi beda jurusan,
aku sastra Inggris dan dia sastra Indonesia. Pernah dengar orang melankholis?
yah.., melankholis yang sempurna. Lala memang orang yang selalu menuntut
rumah. Untuk hal terakhir ini aku sering tidak pernah ikut campur, karena
pasti ia tidak mau menerima hasilku yang ia nilai sangat jauh dari nilai
sempurna.
Kembali aku lihat isi surat itu hingga benar-benar hafal isi bahkan
letaknya. Tak juga aku menemukan inti persoalan. Aku mencoba flashback
hidupku bersamanya selama dua minggu terakhir ini, aku ingat-ingat setiap
detail kata yang aku ucapkan kepadanya. Jujur.. baru sekali ini aku
mendapatkan surat seperti ini darinya. Bukan karena tidak pernah ada
masalah antara kami berdua, tapi yang kutahu selama ini dia adalah wanita
masa bodoh yang ga’ pernah mau sibuk dengan hal-hal sepele semacam ini.
Dia wanita perfeksionis yang selalu menuntut orang lain untuk benar seperti
sadar kalo selama ini ternyata aku belum sepenuhnya paham tentang dirinya.
Kalau aku mau sedikit egois, aku akan membiarkan hal ini berjalan
begitu saja. Toh selama ini aku terus mencoba untuk memahaminya, tapi
sekalipun dia terlalu gengsi untuk merasa membutuhkan orang lain disaat
duka. Wanita sok kuat aku bilang…toh jebol juga kan pertahanannya.
Sekarang gilirannya aku menyerah karena ga’ pernah dihargai, dia datang
***
“Zi.., ada lomba nulis cerpen nih. Kamu kan suka nulis, kok tumben ga’
ada kabar mau ikut”, terang Fika temen kampusku yang datang membawa
“Yang penting kamu bisa nulis, tinggal nyari ide aja kan?”, sergahnya
kami
“Kalo cerpen kan lebih pake perasaan, aku paling nggak bisa main
pisang…”.
“Udah ah, ga’ usah dibahas lagi. Ntar aja kalo ada lomba bikin karya
“Bisa dicoba ko’ zi, toh bikin cerpen ga harus yang melankholis kan. Itu
paradigma kamu aja. Kamu juga bisa kan nulis pengalaman pribadi, tinggal
diformat biar terkesan kayak cerpen. Ntar kita bantu deh..”, ucap fika diamini
mereka.
***
nangkring diatas keyboard tapi tak satu katapun yang muncul di layar
monitorku. Masih terlihat putih bersih. Aku putar otak mencari bongkahan
cerpen. Khayalanku berkelana buas tapi tak tahu arah mana yang dituju.
aku dengan cerpen. Jangankan menulis cerpen, disuruh bercerita saja aku tak
merenggangkan syaraf otakku yang saling tarik menarik. “Kita berlari dan
teruskan bernyanyi.. kita buka lebar pelukan mentari Bila ku terjatuh nanti kau siap
mengangkat aku lebih tinggi.. seperti pedih yang telah kita bagi layaknya luka yang
telah terobati Bila ku terjatuh nanti kita siap tuk melompat lebih tinggi!!!”… selintas
kasur.
Aku tahu…! Ide brilianku telah datang. Dengan langkah seribu aku
kembali duduk di depan computer. Buku “…and the star is Me” menemaniku
kembali, diujung kertas aku tulis kalimat yang ku sadur dari buku tersebut…
Menulislah tanpa beban!. Aku baru sekali ini merasakan menulis cerpen tanpa
beban, beban untuk menang, beban untuk dipuji orang, beban untuk dibilang
terkadang dibuat-buat. Aku menuliskan cerita ini dengan begitu ringan hanya
dari hidupku. Sekaligus sebagai ucapan maaf atas ketidaktahuan diriku yang
membuatnya sakit hati. Aku terus menulis tanpa henti…musik-musik tentang
menambah inspirasiku.
kejadian 5 tahun lalu yang telah mengklaim kami secara tidak sengaja sebagai
seorang sahabat. Sahabat yang hanya bisa mengerti namun belum bisa
memahami. Paragraf pertama aku mulai dengan kata…coz I love you. Aku
tuliskan betapa aku dulu tidak pernah sekalipun mau tahu dengan urusan
sahabat, tidak pernah mau sibuk dengan persahabatan. Aku pikir sahabat
hanyalah dongeng yang tak harus terjadi didunia nyata. Eksistensinya hanya
bisa dijadikan formalitas tidak perlu jadi prioritas. Tapi, lambat laun perasaan
sebuah pertengkaran sengit, namun toh akhirnya Allah memiliki kuasa lain
“Mbak Zia makan dulu…, dari tadi mama lihat kok di depan komputer
terus, ada tugas kuliah yah?”, konsentrasiku buyar ketika mama datang
menghampiriku.
“Enggak kok ma, lagi mau bikin bingkisan wat lala”, jawabku sambil
penuh selidik
“Kan ngasih bingkisan nggak cuma waktu ulang tahun aja ma…, ya
udah makan dulu aja. Habis itu Zia mau lanjutin lagi, ngejar waktu ni
ma..besok mau konsen sama tugas kuliah”, tukasku yang disetujui anggukan
mama.
beberapa halaman lagi. Tanganku belum mau berhenti untuk menulis, masih
banyak unek-unek yang ingin aku keluarkan. Tentang dirinya yang sok kuat,
yang tak pernah mau mendengarkan kritikan orang lain, yang selalu
menganggap orang lain ga sempurna, hingga dia yang tak pernah padam
edelweiss, ranu kumbolo dan apalah yang sering membuatku bingung dengan
jalan pikirannya. Dan di akhir paragraph dari cerpen ini kutulis puisi
untuknya.
penuh tantangan…
***
gedung DPR
cerpen FLP Solo..Zia Nur Faizah”, Fika tiba-tiba maju membawa majalah
Asida edisis terbaru, aku hanya bisa tersenyum melihat tulisanku dimuat
disana. Sebenarnya aku tak begitu mengharapkan hadiah dari lomba ini ..aku
“Oke…nanti habis kuliah. Yang nggak ada kerjaan silahkan ikut. Kita
melayang layang di pelupuk mata. Hingga dosen datang kelas masih saja
“Ada surat dari Lala..tadi dia nitip”, bisik Tika teman sebangkuku.
Aku perhatikan bentuk surat itu, hanya lipatan kertas kecil bahkan
yang akan kita bagi…bahkan waktupun akan terus bersama kita lalui”.