Meningkatnya panas efek rumah kaca dan akibat luasnya industri terbuka
secara global menjadi kekhawatiran kita bersama, dalam kurun waktu yang
singkat terhitung sejak mewabahnya Covid 19 tentu menjadi pertanda dalam
rusaknya sistem kerja dunia. Penulis tidak ingin menyimpulkan secara garis besar
bahwa, yang kemudian melatar belakangi virus tersebut adalah sebuah upaya yang
dikemas dalam bentuk drama pertikaian antar beberapa dunia, hal ini menjadi
penanda bagi setiap masyarakat Indonesia yang tentunya menjadi sebuah kecamuk
yang membatasi ruang gerak dalam beraktifitas seperti biasanya.
Menurunnya populasi flora dan fauna maka tentunya pada wilayah ini
akan mempengaruhi sistem pusaran perekonomian masyrakat dan tidak menutup
kemungkinan usaha mikro kecil menengah (umkm) menjadi sebuah gerakan
produktif, yang tadinya banyak bercocok tanam dan beternak, kini beralih menjadi
wiraswasta lewat usaha-usaha kecil seperti, membuka kedai kopi dengan tampilan
kekinian dan fasilitas yang cukup mendukung. Berdasarkan pengamatan penulis
tentang ketersediaan UMKM ini maka tentunya menghasilkan komoditi baru di
setiap daerah, khususnya Kab. Luwu, namun ada hal yang mesti tidak boleh
terlupakan dan tentunya mengupayakan tradisi, budaya, dan mungkin adat lewat
sebuah produk asli daerah, yakni ketersediaan olahan sagu. Ketika kita mengamati
para pelaku UMKM dengan beberapa varian jajanan yang mereka jual maka hal
yang serupa kita lihat bahwa, tidak tersedianya dan atau kurangnya olahan
makanan dan minuman berbahan sagu, kita malah lebih condong dengan menu
dari barat, seperti burger, sosis, bakso bakar, dan beberapa jajanan dari luar tanah
Luwu.
Dari Kec. ponrang sampai dengan Kec. Larompong Selatan bisa kita lihat
secara seksama pelaku-pelaku UMKM dan tentunya banyak dari pemuda yang
mengelolah kewirausahaan ini, sehingga ketika kita berbicara tentang luwu
sepuluh tahun ke depan atau Luwu di dua puluh tahun mendatang, dan bisa jadi
tidak sampai dalam masa yang panjang akan melahirkan sebuah tugu baru yakni
sagu. Melihat di Luwu utara ada tugu coklat dan tugu durian, jadi berdasarkan
nalar awam penulis, wilayah tersebut secara garis besar mampu mengangkat
daerahnya di karenakan sebuah tugu ini dan tentunya tugu tersebut memilik
kandungan yang syarat akan makna.
Ketika berjalannya sebuah konsep ini, maka sagu adalah salah satu
indikator usaha di tanah Luwu. Mendukungnya program UMKM yang bersinergi
dengan pemerintah maka akan menambah daya beli sagu bagi setiap wisatawan
lokal dan bahkan akan menarik daya tarik para wisatawan, jadi bila kopi yang ada
di Toraja dikenal melalui adat dan tradisi oleh masyarakat tanah Toraja, maka
konsep ini juga yang kemudian bisa dikembangkan di tanah Luwu sehingga nilai-
nilai kultural dari kebagsaan Luwu itu sendiri dapat tercium tidak hanya bagi
pribumi, melainkan segenap pengunjung dari luar daerah dan manca Negara.
Dalam awal proses kerja sama dengan pemerintah dan pelaku usaha-usaha kecil
tentunya tidak terlepas jangka panjang yang akan di tawarkan, yakni metodenya
adalah membiasakan diri mengkonsumsi sagu dan memperkenalkan sagu kepada
tamu ketika sedang bertamu di rumah masing-masing. Penulis kembali mengulang
bahwa ketika varian sagu betul-betul menjadi prodak unggulan, tidak hanya
sebagai jajanan tapi bagaimana supaya sagu memiliki sebuah kebiasaan tentang
mengkonsumsinya, jadi pada dasarnya adalah mengupayakan setiap rumah
menyimpan sagu untuk menjadi makanan pelengkap bagi keluarga dan tamu yang
hendak datang bersilaturahmi.
Literasi alamku
Lestari desaku