Anda di halaman 1dari 5

PRODUKTIFNYA OLAHAN SAGU DEMI MENEMBUS BUMN

(Badan Usaha Milik Negara)

Meningkatnya panas efek rumah kaca dan akibat luasnya industri terbuka
secara global menjadi kekhawatiran kita bersama, dalam kurun waktu yang
singkat terhitung sejak mewabahnya Covid 19 tentu menjadi pertanda dalam
rusaknya sistem kerja dunia. Penulis tidak ingin menyimpulkan secara garis besar
bahwa, yang kemudian melatar belakangi virus tersebut adalah sebuah upaya yang
dikemas dalam bentuk drama pertikaian antar beberapa dunia, hal ini menjadi
penanda bagi setiap masyarakat Indonesia yang tentunya menjadi sebuah kecamuk
yang membatasi ruang gerak dalam beraktifitas seperti biasanya.

Ketika mulai mewabahnya pandemi maka tidak sedikit infromasi yang


masuk tentang sebuah upaya dalam menanggulangi peredaran penyakit tersebut,
lewat itu banyak tawaran-tawaran obat mujarab yang tentunya akan menjadi
sebuah daya dalam menguatkan kekebalan tubuh. Informasi tersebut tentunya
melalui oknum-oknum yang mungkin serupa dengan kasus virus flu barung
beberapa tahun yang lalu, dimana virus tersbut dibuat dan di samping itu
menyusul obat penawar yang mengundang pemikiran kita bersama, bahwa ini
adalah sebuah konspirasi dunia.

Menurunnya populasi flora dan fauna maka tentunya pada wilayah ini
akan mempengaruhi sistem pusaran perekonomian masyrakat dan tidak menutup
kemungkinan usaha mikro kecil menengah (umkm) menjadi sebuah gerakan
produktif, yang tadinya banyak bercocok tanam dan beternak, kini beralih menjadi
wiraswasta lewat usaha-usaha kecil seperti, membuka kedai kopi dengan tampilan
kekinian dan fasilitas yang cukup mendukung. Berdasarkan pengamatan penulis
tentang ketersediaan UMKM ini maka tentunya menghasilkan komoditi baru di
setiap daerah, khususnya Kab. Luwu, namun ada hal yang mesti tidak boleh
terlupakan dan tentunya mengupayakan tradisi, budaya, dan mungkin adat lewat
sebuah produk asli daerah, yakni ketersediaan olahan sagu. Ketika kita mengamati
para pelaku UMKM dengan beberapa varian jajanan yang mereka jual maka hal
yang serupa kita lihat bahwa, tidak tersedianya dan atau kurangnya olahan
makanan dan minuman berbahan sagu, kita malah lebih condong dengan menu
dari barat, seperti burger, sosis, bakso bakar, dan beberapa jajanan dari luar tanah
Luwu.

Makanan karbohidrat yang tumbuh tanpa ditanam adalah salah satu


pengecualian yang mengurangi sistem kerja petani dalam mengeluarkan modal
untuk bercocok tanam. Sagu salah satunya dan tentu ini adalah bahan pokok
makanan yang kaya akan karbohidrat, namun sagu menjadi keterlambatan dan
mungkin menjadi sebuah pengecualian dari isi kepala seseorang, tidak sedikit
masyrakat menghadirkan olahan sagu dihidangan makanan dan minuman pada
waktu-waktu tertentu saja.

Menjamurnya UMKM di Kab. Luwu kini menjadi pemandangan yang


menarik, berdasarkan pengamatan penulis, pada peluang ini membuat para
pemuda dan atau sarjana yang baru saja pulang kampung dapat menjadikan usaha
kecil ini sebagai ladang bisnis yang cukup menutup angka pengangguran. Dalam
perspektif ini mesti ada yang harus di tawarkan, tidak hanya memperdagangkan
minuman dan makanan kekinian, tapi bagaimana agar tidak terlepas dari nilai-
nilai leluhur kepada segenap pemuda selaku pengemban amanah kebudayaan
dalam jangka mendatang. Adalah sagu yang mesti menjadi penawaran dan
bagaimana agar sagu menjadi salah satu bahan pokok makanan dan minuman
yang tentu menjadi jajanan kekinian, tidak menutu kemungkinan bahwa ke
depannya sagu mampu membawa peradaban baru dengan konsep-konsep yang
menarik.

Berdasarkan pengamatan penulis pada wilayah Kab. Luwu tentang


ketersediaan rumah produksi terkait olahan tradisional tentunya belum ada,
sehingga hal ini yang kemudian menutup angka dunia kerja. Jika kita mengambil
contoh wilayah yang sepegunungan atau satu daratan dengan Luwu maka di
wilayah tersebut lebih pesat ketimbang kita yang mengaku dan sekadar berbangga
akan kekayaan sebuah kerajaan tertua. Toraja adalah wilayah yang sudah mampu
menembus pasar dunia, alasan penulis memperbandingkan antara Luwu dengan
Toraja adalah sebuah wilayah yang mestinya saling membersamai dalam
pengolahan kedaerahan, hanya saja ada kesalahan yang terjadi. Jika kopi arabika
dan robusta Toraja dikenal dunia maka landasannya adalah pendekatan melalui
kebudayaan atau adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Toraja, ketika Luwu
tidak mampu memperkenalkan sagu sebagai komoditi yang mampu menembus
kelas dunia, maka menurut awan penulis, konsep kebudayaan yang mesti di pupuk
sedemikian rupa, sehingga pada wilayah ini yang kemudian menjadi dasar bagi
pelaku UMKM memperkenalkan olahan sagu.

Penawaran yang di tuangkan adalah, sebuah upaya pemerintah daerah


memfasilitasi UMKM dalam mengolah sagu dan ketika hasil fasilitas lewat
pelatihan-pelatihan terkait mengolah sagu cukup maksimal maka, tidak sampai di
situ saja bahwa pelaku usaha-usaha kecil ini sebaiknya diwajibkan
memperkenalkan secara detail olahan sagu yang mereka buat dan tentunya tidak
terlepas dari nilai-nilai kebudayaan, ketika konsep ini menjadi syarat untuk
membuat UMKM maka tentunya sagu mampu menjadi salah satu icon di tanah
Luwu.

Dari Kec. ponrang sampai dengan Kec. Larompong Selatan bisa kita lihat
secara seksama pelaku-pelaku UMKM dan tentunya banyak dari pemuda yang
mengelolah kewirausahaan ini, sehingga ketika kita berbicara tentang luwu
sepuluh tahun ke depan atau Luwu di dua puluh tahun mendatang, dan bisa jadi
tidak sampai dalam masa yang panjang akan melahirkan sebuah tugu baru yakni
sagu. Melihat di Luwu utara ada tugu coklat dan tugu durian, jadi berdasarkan
nalar awam penulis, wilayah tersebut secara garis besar mampu mengangkat
daerahnya di karenakan sebuah tugu ini dan tentunya tugu tersebut memilik
kandungan yang syarat akan makna.

Usia penulis memasuki angka 25 tahun, pada prinsipnya pada masa-masa


tersebut adalah masa transisi dalam mengolah sebuah sesuatu yang berbaur
tentang seni, budaya, keragaman, dan yang bercirikan tentang identitas Luwu itu
sendiri. Yang mesti ditawarkan dalam kaitannya tentang olahan sagu adalah
membuat sebuah wadah yang meminimalisir tertinggalnya olahan sagu tersebut.
Peran pemerintah akan menjadi jembatan terhadap keberlakuan sagu, sebuah
konsep yang lahir dari kinerja pemerintah dan pemuda dengan metode pariwisata,
yakni mewajibkan setiap UMKM yang ada di objek wisata tanah Luwu agar
kiranya memfasilitasi para pengunjung, fasiltas tersebut tentunya berupa jajanan
yang bervarian dan tidak meninggalkan ciri khas rasa sagu itu sendiri.

Ketika berjalannya sebuah konsep ini, maka sagu adalah salah satu
indikator usaha di tanah Luwu. Mendukungnya program UMKM yang bersinergi
dengan pemerintah maka akan menambah daya beli sagu bagi setiap wisatawan
lokal dan bahkan akan menarik daya tarik para wisatawan, jadi bila kopi yang ada
di Toraja dikenal melalui adat dan tradisi oleh masyarakat tanah Toraja, maka
konsep ini juga yang kemudian bisa dikembangkan di tanah Luwu sehingga nilai-
nilai kultural dari kebagsaan Luwu itu sendiri dapat tercium tidak hanya bagi
pribumi, melainkan segenap pengunjung dari luar daerah dan manca Negara.
Dalam awal proses kerja sama dengan pemerintah dan pelaku usaha-usaha kecil
tentunya tidak terlepas jangka panjang yang akan di tawarkan, yakni metodenya
adalah membiasakan diri mengkonsumsi sagu dan memperkenalkan sagu kepada
tamu ketika sedang bertamu di rumah masing-masing. Penulis kembali mengulang
bahwa ketika varian sagu betul-betul menjadi prodak unggulan, tidak hanya
sebagai jajanan tapi bagaimana supaya sagu memiliki sebuah kebiasaan tentang
mengkonsumsinya, jadi pada dasarnya adalah mengupayakan setiap rumah
menyimpan sagu untuk menjadi makanan pelengkap bagi keluarga dan tamu yang
hendak datang bersilaturahmi.

Pada prinsipnya sagu adalah sebuah prodak yang mampu memulihkan


ekonomi masyarakat dan sebuah upaya besar untuk sampai di Badan Usaha Milik
Negara. Menurut pemahaman penulis bahwa, ketersediaan sagu di tanah Luwu
cukup melimpah maka dengan ini pula sebuah jalan untuk dibersamai dalam
program peningkatan sumber pertumbuhan rakyat kecil dan sebagai penyuplai
energi secara jasmani masyarakat tanah Luwu.
NARASI PENULIS

Kamal Khatib kelahiran Palopo, 14 Februari 1996. Lulusan Sarjana


Hukum di Iain Palopo, gemar dengan hal yang bernuansa seni dan budaya
khususnya budaya Luwu, saat ini penulis mencoba berproses menjadi pembaca
puisi di Tanah Luwu dan sejak 2019 berupaya menyelesaikan novelnya yang
menyinggung tentang seksualita di ranah kampus.

Penulis aktif di komunitas Literasi Rumah Luwu dan lewat kesarjanaan


dan kepeduliaannya terhadap pemuda yang putus sekolah serta bentuk
pendedikasiannya terhadap gemar dengan kesenian maka penulis juga menjadi
salah satu menggagas La Rukka (Larompong Ruang Karya Kreatif).

Literasi alamku

Lestari desaku

Salam literasi sampai kiamat

Anda mungkin juga menyukai