Anda di halaman 1dari 6

MARXISME DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEKERASAN SIMBOLIS PADA NOVEL

GADIS PANTAI PRAMOEDYA ANANTA TOER


Marxisme adalah seperangkat teori, atau sistem pemikiran, yang dikembangkan oleh Karl Marx pada
abad ke-19 sebagai reaksi terhadap revolusi industri Barat dan bangkitnya kapitalisme industri sebagai
bentuk ekonomi yang dominan. Para analis Marxis biasanya menganalisis relasi sosial agar dapat
mengubahnya, mengubah ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang ditimbulkan oleh relasi ekonomi
yang kapitalistik. Ada pergulatan pemikiran yang berlandaskan logika berfikir, antara teori sosialisme
dan teori kapitalisme. Sebagai sebuah teori, Marxisme sangatlah rumit, karena Marxisme adalah tiga
macam teori yang lebur menjadi satu: filsafat, sejarah dan ekonomi. 
Meskipun rumit tapi Marxisme hampir muncul dalam dunia sastra, contohnya dalam hasil karya sastra
Pramoedya Ananta Toer. Ada situasi pertentangan kelas yang telah ditonjolkan oleh pengarang
yaitu ada pemandangan hubungan kelas penguasa yaitu tokoh Bendoro, priyayi haji dengan kelas
kaum miskin yaitu Gadis Pantai. Kesan yang sangat kaku karena memang berbeda kelas meski hidup
dalam serumah bahkan telah menjadi istrinya lebih tepatnya menjadi selir yang kesekian dengan cara
yang tak wajar. Dominasi kekayaan uang akan lebih menonjol untuk memperlakukan orang miskin
menjadi seonggok barang yang bisa dipermainkan sesuka hati. Kerasnya perbedaan kelas yang ada
pada novel ini mengakibatkan terjadinya kekerasan simbolik yang tanpa disadari dialami oleh para
kelas bawah, termasuk pada pada novel Gadis Pantai.
Kekerasan simbolis menurut Bourdieu adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya
kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai suatu hal
yang sah. Kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan yang menyebabkan pemberian
kontribusi reproduksi sistematis mereka. Dalam membangun teori kekerasan simbolis lebih spesifik
dalam konteks teoritis proses mekanisme budaya yang memproduksi secara tak langsung aturan dan
kendala sosial.
Kekerasan simbolik terjadi dalam ranah sosial kehidupan masyarakat sehari hari tanpa disadari, dan
mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya. Hal tersebut dikarenakan oleh
dibenarkannya kekerasan itu, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan, yang dikuasai
dan yang diperintah. Seluruh tindakan, aktivitas manusia berebut kekuasaan dalam ranah dan ruang
sosial, dijadikan sebagai suatu
arena bagi perjuangan sumberdaya. Individu, melalui institusi dan agen lainnya mencoba
membedakan dirinya dengan orang lain dan berusaha mengakumulasi modal yang berguna dan sesuai
dalam rangka memperoleh legitimasi.
Kekerasan Simbolik tokoh Gadis Pantai
 kekerasan simbolik pertama (hal. 5) :
“ kemarin malam ia telah dinikahkan. dinikahkan dengan sebilah keris. detik itu ia tahu kini ia bukan
anak bapaknya lagi, bukan anak emak nya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seserang yang tak
pernah dilihatnya seumur hidup.”
Membaca cuplikan teks diatas maka penulis mencoba menjelaskan kekerasan simbolik macam apa
yang terjadi dalam tokoh gadis pantai :
Gadis Pantai adalah seorang anak belia yang dinikahkan orang tuanya dengan seorang bendoro,
dimana pada jaman tersebut menjadi sebuah kebiasaan bahwa seorang Priyayi atau Bangsawan
sebelum dinikahkan oleh sesamanya ( Bangsawan wanita ) haruslah mempunyai seorang selir yang
gunanya untuk mengajarkan para bangsawan itu sendiri dalam berumah tangga. Saat pertama kali
gadis pantai dibawa kerumah suami nya ia merasakan kesedihan dan ketakutan yang luar biasa.
Karena untuk pertama kalinya ia harus berpisah dengan kedua orang tua dan kampung halaman
tempat ia biasa bermain. Perbedaan latar belakang dan kebudayaan yang sangat berbeda memaksa si
gadis pantai untuk belajar mengikuti cara – cara dan kebiasaan kaum bangsawan tersebut.
Kekerasan simbolik kedua hal 90:
“ Gus jangan susahkan Mas Nganten, siapa yang merasa ambil uang Mas Nganten? itu uang
belanja. kalau tidak dikembalikan besok semua terpaksa tak makan. Bendoro sendiri juga tak makan.
Kembalikan uang itu”
“ Kau pikir apa kami ini? orang kampung? orang dusun? Orang pantai yang tak pernah liat duit?”
“ Persetan, dikiranya kami maling dari kampung nelayan?”
teks hal 91
“ kau harus ingat, ingat mbok , kami adalah kerabat terdekat, orang – orang kampung yang tinggal
disini, kapan saja bisa pergi dari sini buat mati kelaparan diluar sana”
Penjelasan kekerasan simbolik kedua terjadi saat si Gadis Pantai di kerjai oleh ponakan – ponakan
Bendoro dengan mencuri uang nya, para Agus – agus itu menghina dan menyindir gadis pantai
mengenai asal – usulnya yang dari desa Nelayan miskin. Atas kekerasan simbolik kedua ini juga
berakibat diusirnya Bujang (pembantu) kesayangan nya Gadis Pantai dari rumah besar itu.
Kekerasan Simbolik ketiga hal 173:
“ Bendoro perintahkan mas nganten pulang malam ini juga.”
“ Mana tandanya?”
teks hal 174
“ Kalau Bendoro perintahkan pulang, itu berati Pulang!” salah seorang pengiring Mardinah
menengahi.
“Pergi kalian aku bisa mengantarkan sendiri. malam ini juga”
“ tidak ada tempat di dokar buat kau!. “ salah seorang pengiring mengancam.
teks hal 175
“ Bagaimana pengiring – pengiring itu “
“Mereka semua bersenjata tajam, dalam kegelapan kami pukuli mereka dengan dayung”
“Apa kata mereka?”
“Anak bapak akan dibunuh di tengah jalan”
“ Apa alasannya?”
“ Mereka tidak tahu, mereka hanya tahu menjalankan dari Demak”
Penjelasan teks di atas menjelaskan bahwa telah terjadi kekerasan simbolik ketiga pada diri si gadis
pantai, dimana ada seseorang yang sangat berkuasa di Demak yang berusaha untuk menyingkirkan
gadis pantai demi tercapainya tujuannya. dengan mengirimkan utusan palsu yang seolah – olah
suruhan dari Bendoro untuk mengajaknya pulang dan bermaksud membunuh si gadis pantai di tengah
jalan. Bangsawan Demak juga mengirimkan seorang bujang bernama Mardinah yang ditugaskan
untuk memata – matai semua kegiatan gadis pantai. Namun berkat perlidungan dari ayah dan kerabat
– kerabatnya di kampung nelayan, maka selamatlah gadis pantai dari percobaan pembunuhan.
Kekerasan simbolik keempat teks hal 214:
“ laki – laki atau perempuan?” gadis pantai berbisik, dengan cemas berharap –harap anaknya
lelaki.
“ Perempuan “
“ Bendoro sudah lihat?”
“ Belum “
teks Hal 215
kepada siapa anak ini kuserahkan kalo tidak pada bapaknya sendiri? barangkali Bendoro tidak
perdulikan anaknya sendiri ? tidak, tidak mungkin. dia bapaknya, bapaknya sendiri, tapi mengapa
tak juga datang, sekalipun Cuma menengok?.
Penjelasan dari teks diatas jelas sekali bahwa Bendoro tidak memperdulikan kondisi gadis pantai yang
sedang berjuang melahirkan anaknya, dan sikapnya terlihat acuh terhadap keadaan gadis pantai yang
hanya seorang selir. Bukan hanya terhadap gadis pantai saja bahkan terhadap anak kandung nya
sendiripun  Bendoro tidak  memperdulikannya. Jelas sekali bahwa gadis pantai tidak memiliki peran
apapun dalam kehidupan Bendoro, melainkan hanya sebagai wanita percobaan.
Kekerasan Simbolik Ke empat terdapat pada teks hal 218
“Mengapa bapak diam?”
“Maafkan aku, kumpulkan pakaian mu”
“ ada apa pak?”
“Jangan banyak bertanya nak, jangan bertanya, kita pergi sekarang”
berikutnya teks hal 219
Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang…pesangon. “carilah suami yang baik, dan
lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?”
“Sahaya Bendoro.”
“ Dan ingat, pergunakanlah pesangon ini baik – baik dan.. tak boleh sekali – kali kau menginjakan
kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya. Kau dengar?”
teks hal 224
“ Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro apalagi sahaya ini..seorang manusia, biarpun sahaya
tidak pernah mengaji di surau”
“ Pergi!.”
teks hal 225
seseorang memukul mulutnya hingga berdarah. masih terdengar orang berbisik ditelinganya “ kau
hanya dipukul sedikit”
“ lempar ia keluar!”
Penjelasan diatas adalah terjadi kekerasan simbolik yang telah dilakukan Bendoro kepada gadis pantai
di mana ia diceraikan begitu saja setelah tiga bulan melahirkan anaknya. Gadis pantai dipaksa
berpisah dengan bayinya dan dikembalikan ke kampung halamannya tanpa ia mengerti apa
kesalahannya sebagai selir Bendoro. Bendoro , memukulnya dan mengusirnya tanpa belas kasihan
seperti binatang tanpa dia memperdulikan jasa, pengabdian dan  status gadis pantai yang merupakan
ibu dari keturunannya sendiri. ibarat pepatah “ habis manis sepah dibuang”. Gadis Pantai
memberontak mencoba mengambil hak nya sebagai ibu si bayi namun kekerasan hati bendoro sebagai
seorang priyayi bangsawan tidak memperdulikannya. bagi nya gadis pantai hanya lah wanita yang di
beli setelah selesai tugas nya maka dengan mudah nya ia membuangnya ke jalan.
Kesimpulan
Marxisme yang begitu ditonjolkan pada Novel Gadis Pantai mengakibatkan terjadinya kekerasan
simbolis yang tanpa disadari dialami oleh si kelas bawah pada pertentangan kelas dalam teori Marxis.
Kekerasan simbolik yang muncul di novel Gadis Pantai adalah pemaksaa sistem simbolisme terhadap
kelompok atau kelas tertentu yang sedemikian rupa sehigga hal tersebut di anggap sesuatu yang sah.
Sebagaimana si Gadis Pantai yang sebenarnya tidak menerima segala perubahan yang terjadi pada
hidupnya dengan menjadi istri Bendoro kaya, namun keadaan memaksanya untuk menerima
kenyataan bahwa hidupnya memang telah berubah yang kemudian dapat dikatakan merupakan
kekerasan simbolis yang tanpa disadari dialami oleh si Gadis Pantai karena keadaannya yang
demikian diikat pada suatu symbol yang sah, dan dianggap wajar pada masa itu, yaitu pernikahan dan
kokohnya system feodalisme.
Daftar Pustaka
Pramoedya Ananta Toer Novel Gadis Pantai, Cetakan ke 2 Juli 2000, Hasta Mitra Jakarta,

Anda mungkin juga menyukai