Asmaralara Banowati-Duryudana-Arjuna4
SELEMBAR KETAKA DI TANGAN DURYUDANA 5
PEREMPUAN YANG DITUDUH KAWIN GANDARWA 7
Asmaralara Sundari-Utari-Abimanyu 11
PENGANTIN LELAKI ITU SUAMIKU 12
PENGANTIN YANG DIBOHONGI 16
Asmaralara Pujawati-Narasoma-Bagaspati 19
LELAKI DARI BALIK IMPIAN 20
Asmaralara Erawati-Kartawiyoga-Kakrasana 24
KESUCIAN CINTA SANG PENCULIK 25
Asmaralara Indumati-Aja 28
KETIKA AJA MENULIS SAJAK KEMATIAN 29
Asmaralara Sagopi-Antagopa 32
KISAH CINTA SENGKARUT 33
PEREMPUAN YANG MEMAAFKAN PENGGUNJINGNYA 25
Asmaralara Gandari-Pandu-Destarastra 39
KEKALAHAN GANTALPATI 40
Asmaralara Durgandini-Sentanu-Palasara 43
ISTRI YANG DISERAHKAN KE LELAKI LAIN 44
Asmaralara dari Lembaran Serat Menak Cina 48
ASMARA KANDAS OLEH KABAR DUSTA 49
PEREMPUAN DI BALIK IMPIAN AMIR AMBYAH 51
APA YANG KAUMENANGKAN, KELASWARA? 54
DI DEPAN PUSARA ITU AMIR AMBYAH SESENGGUKAN 57
MONOLOG KELASWARA 60
Asmaralara Rengganis-Julusul Asikin-Repatmaja 65
CARI NAMAKU DI DAUN-DAUN 66
SEBUTLAH NAMA JULUSUL ASIKIN, BUKAN RENGGANIS... 69
UJIAN UNTUK REPATMAJA 72
Asmaralara Renuka-Citrarata-Jamadagni 75
PENGAKUAN PEREMPUAN PESELINGKUH SEBELUM DIHUKUM MATI 76
Asmaralara Jonggrang-Bandawasa 79
KIDUNG RARA JONGGRANG 80
CERITA CINTA DI DALAM PATUNG DURGA 83
SELEMPIR LONTAR DARI BANDAWASA 86
ASMARALARA-Saroni Asikin 2
Asmaralara Mendut-Wiraguna-Pranacitra 89
PANGLIMA PERANG YANG TAKLUK DI HARIBAAN CINTA 90
PEREMPUAN YANG MEMILIH BERJUALAN ROKOK LINTINGAN 93
PRANACITRA DAN LANGIT YANG RUNTUH 96
PEREMPUAN DI BALIK TIRAI PUTIH 99
LELAKI YANG MEMPERTANYAKAN KESUCIAN 102
LELAKI BODOH DI HADAPAN MAUT 105
Asmaralara Dyah Kasmala-Windusana 108
ULAR DARI BALIK BANTAL DYAH KASMALA 109
PERCAKAPAN TANPA KATA-KATA 112
Asmaralara Durga-Siwa 116
PEREMPUAN YANG BERCERITA KEPADA ANGIN 117
Asmaralara Pramodhawardhani-Pikatan 121
BUHUL CINTA PRAMODHAWARDHANI-PIKATAN 122
Asmaralara Sri Huning-Wiratmaya 126
BUKAN ASMARA TERLARANG 127
DEMI WIRATMAYA 130
Asmaralara Ahalya-Indra-Gautama 134
AHALYA DAN TEMBANG TERLARANG 135
ASMARALARA-Saroni Asikin 3
Asmaralara Banowati-Duryudana-Arjuna
ASMARALARA-Saroni Asikin 4
SELEMBAR KETAKA DI TANGAN DURYUDANA
1
Ketaka: pudak atau bunga pandan yang dipakai sebagai bahan tulis. Bunganya yang panjang dan
berwarna putih cukup digores dengan sesuatu yang runcing. Goresannya segera menjadi hitam dan
bisa dibaca.
ASMARALARA-Saroni Asikin 5
dalam hatinya, keindahan sempurna seorang perempuan ada di dalam
diri Banowati.
Duryudana meremas ketaka itu, membuangnya ke tempat sam-
pah, dan mengunjal napas.
“Jadi, ketaka ini hendak dikirim ke Madukara?”
Telik sandi itu bersoja sebelum menjawab, “Benar, Paduka.”
“Mana yang dikirim dari Madukara?”
“Biti perwara2 yang ditangkap mengatakan, semua ketaka dari
Madukara disimpan oleh...,” telik sandi itu tak kuasa melanjutkan
kalimatnya.
“Benarkah mereka sering bertemu?”
“Biti perwara membenarkan itu.”
“Kenapa luput dari telik sandi?”
“Ampunkan sahaya, Paduka. Kami tak menempatkan telik
untuk Sang Ratu. Bukankah dulu Paduka mengabulkan permintaan
Sang Ratu yang tak ingin dimata-matai?”
“Mulai saat ini kau harus menempatkan beberapa orang telik
perempuan.”
“Baik, Paduka.”
“Berapa orang yang tahu tentang ketaka ini?”
“Sahaya, Telik Warudun, dan biti perwara yang ditangkap.”
“Warudun bisa dipercaya?”
“Kepala sahaya jaminannya, Paduka.”
“Kalau begitu, segera sirnakan biti perwara itu. Aku tidak ingin
dari dalam penjara dia mengumbar cerita. Dan kalau cerita tentang
ketaka ini nanti terdengar, kau harus bayar dengan kepalamu. Pergi-
lah!”
Telik sandi itu bersoja, beringsut mundur, dan berlalu dari
peraduan Duryudana.
Sekeluar telik sandi, Duryudana masih duduk dengan ngungun.
Pikirannya berkecamuk.
2
Biti perwara: pelayan perempuan di istana; kadang-kadang disebut biti-biti; sebutan lainnya adalah
sida-sida atau dayang-dayang.
ASMARALARA-Saroni Asikin 6
Haruskah aku membuat perhitungan terhadap Banowati?
Haruskah aku membuat perhitungan terhadap lelaki Madukara itu?
Duryudana mendesah. Dia tahu, dia punya rencana terhadap
lelaki Madukara itu. Tapi dia tak tahu apa yang harus dia lakukan
terhadap istrinya.
Lalu dalam satu unjalan napas, di dalam hati Duryudana
mengeluhkan rasa cintanya yang sangat besar terhadap Banowati.
“Kenapa aku harus menjadi seorang lelaki yang sangat
mencintainya?” (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 7
pada malam kelam, dan kami mengayuh biduk asmara di sini, di ka-
mar ini. Kau pasti mendengar gunjingan itu, Hesti?”
“Sahaya, Ratu.”
“Sahesti, kau sudah bersamaku sejak di Mandaraka. Kau tak
sekadar biti perwara. Kau mirip saudaraku. Dan kau sudah mendengar
gunjingan seperti itu sejak aku masih gadis di sana, sejak aku masih
bersama kedua kakak perempuanku, Erawati dan Surtikanti. Kami
memang pernah bertemu di Taman Keputrian Mandaraka. Ya, sekali
itu. Itu karena dia tersesat saat seekor burung buruannya hinggap di
ranting pohon kepel di keputrian. Kau ada di sana ketika itu. Dan
sejak itu, kau sudah tahu apa perasaanku, karena hanya kepadamu
kuceritakan betapa aku jatuh cinta kepadanya. Ya, hanya sekali itulah
aku bertemu dengannya. Setelah itu aku lebih banyak melihatnya dari
kejauhan, mengaguminya dari kejauhan. Tapi gunjingan tetap
mengalir bagai udara. Orang-orang bilang, lelaki itu, si putra Pandu
itu sering menyelinap ke Keputrian Mandaraka.”
Dia, Ratu Astina itu, berhenti, mengunjal napas dan mengem-
paskannya panjang-panjang.
“Ah, semestinya tak perlu kuceritakan lagi kepadamu. Kau
sudah mengetahuinya. Ya, sejak itu aku memang sangat mencin-
tainya dan berharap bisa bersanding dengannya. Tapi inilah nasib
perempuan, betapapun aku seorang putri raja, aku tak kuasa menolak
menjadi putri boyongan ketika Raja Duryudana, rajamu itu,
meminang dan memboyongku ke sini. Ah, Sahesti, Sahesti, kau
bahkan yang mengganti bantal basah oleh air mataku ketika pinangan
itu diterima ayahku, Raja Salya. Bantal basah itu masih sering kau-
ganti hingga kita berada di Istana Astina ini.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 8
Aku terus memijiti kakinya. Telapak kakinya kecil, lembut
ketika teraba tanganku, kaki yang masih mengesankan kemudaan
betapapun kini dia sudah memasuki usia 40 tahun surya.
“Kau ingat ketika hampir dua hari lamanya air mataku tak jua
berhenti? Ah, pasti kau ingat, Hesti. Itu saat orang bergunjing bahwa
aku meminta putra Pandu itu memandikanku pada upacara siraman5
sebelum aku dan rajamu itu diikat dalam pernikahan. Kaulah saksi
siapa yang memandikan aku untuk upacara itu.
“Gunjingan itu masih bisa aku tanggungkan. Tapi gunjingan
yang membuatku ingin mati saja menyebar ketika Lesmana lahir dari
gua garbaku. Bagaimana bisa lelaki Madukara itu ayah Lesmana?
Bagaimana bisa, satu-satunya pertemuanku dengannya, dan saat itu
pun kami hanya saling pandang dalam jarak tiga depa….”
Suaranya tercekat. Dia berhenti, mengunjal napas, mengem-
pasnya, lalu mengambil batok teh uwuh, dan mencecapnya.
“Ini teh yang biasa kaubuat, Hesti?”
Aku mendongakkan wajah sebelum mengiyakan dan bertanya,
“Apakah tidak seperti biasanya, Ratu?”
“Agak berbeda di lidahku. Tapi itu pasti karena perasaanku yang
tengah bergemuruh karena mendengar gunjingan yang makin
kencang bahwa aku sering kawin gandarwa dengan lelaki Madukara
ketika rajamu sedang tak berada di Istana. Maafkan aku, Hesti, kau
tetap pembuat teh uwuh terbaik.”
Kudengar tawanya. Tawa yang pahit.
5
Upacara Siraman: ritus memandikan calon pengantin perempuan dalam adat Jawa.
ASMARALARA-Saroni Asikin 9
“Kudengar, seorang telik sandi menangkap pengirim ketaka.
Kudengar itu akan dijadikan bukti bahwa aku benar-benar telah
melakukan kawin gandarwa dengan lelaki Madukara itu. Ah, Hesti,
Sahesti. Kau satu-satunya yang tahu soal ketaka itu. Kuakui, satu-
satunya kesalahanku, kalau itu dianggap salah, adalah aku masih
mencintai lelaki itu ketika aku sudah jadi istri lelaki lain, dan
mengungkapkan perasaanku di atas lembaran-lembaran ketaka. Andai
aku ini seorang kawi, maka aku akan menulis kakawin saja. Itu pasti!”
Sambil terus memijiti kaki Ratu Banowati, hatiku mem-
benarkan semua ucapannya. Dengannya aku tak pernah genggang
sakrambut6. Aku telah membaca semua ketaka dari dan ke lelaki Madu-
kara itu. Siapa pun yang membacanya memang akan yakin, bahwa
ada percintaan yang tak hanya berujud kata-kata.
Tapi hanya dia dan aku, Sahesti, si biti perwara yang telah bersa-
manya sejak dia remaja, yang mengetahui kebenaran sejati tentang
kisah cinta mereka (*)
Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 15 April 2018
6
Genggang sakrambut: ungkapan Jawa yang berarti sangat akrab, sangat dekat .
ASMARALARA-Saroni Asikin 10
Asmaralara Sundari-Utari-Abimanyu
ASMARALARA-Saroni Asikin 11
PENGANTIN LELAKI ITU SUAMIKU
ABIMANYU, suamiku, akan menikahi Utari, putri Raja
Matswapati dari Wirata. Perkawinan akan dilangsungkan di Upapla-
ya beberapa hari lagi.
Telik yang mengabariku mengatakan, perkawinan itu atas
kehendak Arjuna, ayah suamiku untuk membalas budi kepada Raja
Utara yang telah menerima Pandawa selama setahun masa penya-
maran.
Aku tentu saja tahu kisah itu. Pandawa kalah bermain dadu dan
harus menjalani masa pembuangan 13 tahun yang setahun darinya
harus dilalui dalam penyamaran.
“Ini bukan perkawinan biasa, Puan Putri Sundari. Tuan Arjuna
sudah bersepakat dengan Raja Wirata. Baginda Kresna, ayahanda
Puan Putri pun setuju. Perkawinan ini bakal menjadikan Wirata
sebagai sekutu Indraprasta kalau nanti perang dengan Astina terjadi,”
tambah telik itu.
“Cukup, Telik, Terima kasih. Pergilah.”
Telik itu pergi. Air mata yang kutahan-tahan sejak mendengar
kabar itu pun tumpah. Tangis tanpa suara. Sudarpana yang sedari tadi
hanya bersimpuh di lantai mendongak ke arahku. Raut muka sida-
sida kesayanganku itu menunjukkan kesedihan yang dalam.
Kuunjal napas dalam-dalam. Kuusapi air mataku, lalu bangkit.
“Darpana, bilang ke Lungit untuk menyiapkan kereta. Bilang padanya
untuk tidak memakai kereta yang biasa kita pakai. Pilih yang tidak
menunjukkan tanda-tanda kereta Dwarawati.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 12
Sudarpana terlihat bingung.
“Kita ke Upaplaya dalam penyamaran. Bilang hal itu juga ke
Lungit.”
“Puan Putri akan…?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku tak akan merusak perkawinan
itu. Aku hanya ingin melihat langsung seperti apa Putri Utari itu.
Aku juga perlu tahu sendiri bagaimana sikap suamiku saat di atas
pelaminan. Apakah memang dia menginginkan perkawinan itu atau
hanya mematuhi kehendak keluarganya.”
Sudarpana pergi. Kucopoti perhiasan yang menempel di
tubuhku: subang, gelang tangan, binggal. Lalu kukenakan pakaian
yang biasa untuk tidur, membuntal beberapa pakaian yang pantas
untuk dipakai pada pesta pernikahan seorang putri raja dan
mengambil sejumlah uang untuk ongkos selama aku dan Sudarpana
di Upaplaya.
***
HARI masih saput lemah7 ketika kereta yang dikusiri Lungit
meluncur ke Upaplaya. Kata telik, perkawinan mereka akan
berlangsung pada Anggara Kasih8, dan ini masih Tumpak Jenar9. Masih
cukup waktu karena menurut Lungit, kami akan tiba di Wirata pada
Soma Cemengan10, sehari sebelum perkawinan itu bakal dilangsungkan.
7
Saput Lemah: waktu Jawa yang berarti pukul 05.00.
8
Anggara Kasih: Selasa Kliwon
9
Tumpak Jenar: Sabtu Pahing
10
Soma Cemengan: Senin Wage
ASMARALARA-Saroni Asikin 13
Sehari kupikir cukup untukku dan Sudarpana mencari cara
menyelinap ke tempat perkawinan.
Tak perlu kuceritakan kepadamu bagaimana kereta kami
menyusuri jalanan dari Dwarawati ke Wirata, melewati tempat-
tempat asing, dan hanya berhenti ketika malam tiba. Dan seperti
sudah diperkirakan Lungit, kereta kami memasuki pusat kota Wirata
pada gagat rahina11 pada hari Soma Cemengan. Kuminta Lungit mencari
penginapan.
Tak perlu juga kuceritakan kepadamu bagaimana akhirnya aku
dan Sudarpana bisa berada di ruang tempat aroma ratus menguar
bersama wangi kembang-kembang, dan orang-orang dalam pakaian
kebesaran berkumpul. Uang yang kubawa cukup ampuh meng-
hadirkan kami berdua di ruang perkawinan megah itu.
Kursi pelaminan itu masih kosong ketika kami masuk. Tak
berapa lama kemudian pambiwara12 menyebut nama Putri Utari.
Hatiku kebat-kebit. Lalu dari jarak seratusan depa, kulihat dia, si
perempuan yang bakal segera menjadi istri suamiku. Dalam riasan
pengantin, kuakui dia sangat cantik. Aku seperti melihat seorang
hapsari13, tapi hatiku, jangan kautanya, betapa penuh gemuruh kecem-
buruan dan kemarahan.
Tak lama setelah itu pambiwara menyebut nama suamiku. Aku
tarik napas dalam-dalam. Dia muncul, di atas seekor gajah berhias,
berjalan pelan membelah barisan tamu yang duduk di kursi-kursi.
11
Gagat Rahina: waktu Jawa sekira pukul 06.00.
12
Pembawa acara; MC
13
Hapsari: bidadari
ASMARALARA-Saroni Asikin 14
Cukup kukatakan kepadamu, yang kulihat di atas punggung
gajah, dalam riasan pengantin lelaki itu adalah seseorang yang pasti
titisan Betara Kamajaya. Ya, dialah suamiku. Tenang dengan roman
muka yang riang, dan bibir yang terus menyunggingkan senyum.
Ketika dia sudah di atas kursi pelaminan, bersanding dengan
Utari, kudengar beberapa orang berbisik-bisik, “Betul-betul mirip
Betara Kamajaya dan Betari Ratih mereka.”
Kuakui, ya kuakui, pasangan dia atas pelaminan itu mirip
pasangan Kama-Ratih. Mereka semua berdecak kagum, kecuali
Sudarpana yang terus-menerus menegok ke arahku dengan raut muka
mirip orang yang ingin menangis, dan aku yang sontak seperti
dirasuki ribuan drubiksa14 meraba-raba cundrik15 di bawah lipatan
bajuku. Pikiranku mengatakan agar diriku berjalan menuju pelaminan
dan menusukkan cundrik itu ke tubuh si pengantin perempuan.
Tapi aku tetap berdiri, gemetar, dan merasakan air mataku
meleler. Pada saat itu mataku bersirobok dengan Kresna, ayahku. Dia
melihatku dan tentu saja mengenaliku. Segera kutarik tangan
Sudarpana dan dengan setengah berlari keluar kami keluar, ke tempat
Lungit menunggu. (*)
Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 29 April 2018
14
Drubiksa: sebutan untuk makhluk halus yang berkarakter jahat.
15
Cundrik: keris kecil yng biasanya disembunyikan; umumnya yang memakai cundrik itu kaum
perempuan, dan sesekali ditancapkan di gelungan rambut.
ASMARALARA-Saroni Asikin 15
PENGANTIN YANG DIBOHONGI
ASMARALARA-Saroni Asikin 16
“Aku telah dibohongi, Ibunda. Aku telah dikhianati,” ujar Utari,
sesenggukan.
Sudesna terenyak oleh kalimat putrinya. Lalu sambil mengusapi
leleran air mata putrinya, dia bertanya lirih, “Ssst, tenang, tenangkan
dirimu dulu, Nak.”
Isakan Utari pecah menjadi tangisan. Sebelah tangan Sudesna
membelai-belai rambut Utari dan sebelahnya lagi menyeka leleran air
mata di pipi putrinya.
“Sakit benar rasanya....”
Hingga beberapa saat lamanya Sudesna hanya memeluk Utari
tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk melipurnya. Lalu dia
meminta putrinya berbaring di petilaman.
“Kubuatkan kau minuman, ya.”
Sudesna ingin memanggil Harina, sida-sidanya, untuk
membuatkan minuman kesukaan Utari: air madu yang diberi perasan
jeruk nipis. Tapi dia memutuskan untuk membikin sendiri. Dia tak
ingin Harina tahu bahwa putrinya pulang tanpa sang suami dan
terguguk begitu datang.
Dia meminta Utari meminum air madu buatannya. Setelah dua
seruputan, putrinya itu menceritakan semuanya.
“Setelah malam pertama, kutanya menantu Ibunda apakah aku
ini perempuan pertama buatnya? Dia mengiyakan, bahkan mengucap
sumpah bahwa dirinya masih lajang. Aku percaya kepadanya dan
merasa sangat bahagia. Aku tak menyesali keinginan Ayahanda dan
Ibunda agar aku menerima pinangan putra Arjuna yang sama sekali
belum aku kenal. Aku tak kecewa. Tapi itu hanya berumur tak
sampai satu pekan, Ibunda....”
Tangis Utari kembali pecah. Sudesna seperti terpukul ulu
hatinya.
“Seseorang yang sangat kupercayai mengabari bahwa suamiku
telah beristri sebelum denganku. Anak uwaknya sendiri. Sundari
namanya. Ibunda sudah dengar? Ibunda sudah tahu itu? Mengapa
tidak ada yang memberitahuku?”
ASMARALARA-Saroni Asikin 17
Sudesna menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, Nak. Ibunda
tidak tahu. Soal perjodohanmu dengan putra Arjuna, Ibunda hanya
mengiyakan apa yang direncanakan ayahandamu. Tapi benarkah
kabar itu?”
“Aku sudah bertanya langsung kepadanya. Suamiku mengakui
semuanya. Dia meminta maaf telah mengucap sumpah. Oh, Ibunda,
aku sakit ketika tahu aku bukan istri satu-satunya. Tapi aku lebih
sakit karena dia bohongi. Aku menyesali sumpahnya. Aku takut isi
sumpahnya benar-benar jadi kenyataan.”
Sudesna mengunjal napas. Dia ingin bertanya sumpah apa yang
diucapkan menantunya saat berbohong. Ingin sekali rasanya dia
melipur putrinya dengan mengatakan, sumpah tak selalu jadi
kenyataan. Tapi kata-kata itu seperti tercekat di lidahnya.
“Aku tak mau kembali ke Upaplaya atau ke Madukara. Aku tak
mau kembali kepadanya.”
Mendengar itu air mata Sudesna meleler. Dia ingin
mengusapnya ketika dari luar terdengar suara kemit mengabarkan
kedatangan Abimanyu. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 18
Asmaralara Pujawati-Narasoma-Bagaspati
“Narasoma ini akan menjadi suamimu, Nak. Tapi dia tak suka
padaku. Sebagai putra mahkota Mandaraka, dia tak ingin memiliki mertua
buruk rupa seperti aku. Dia menginginkan kematianku. Aku sudah berjanji
untuk mengabulkan permintaannya. Jangan tangisi aku, Nak. Aku tahu,
Narasoma bakal menjadi suamimu yang sangat setia. Bahkan saat dia
menjadi raja pun, hanya kau satu-satunya perempuan buatnya. Itu sebabnya
Ayah menyanggupi permintaannya.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 19
LELAKI DARI BALIK IMPIAN
18
Waktu Jawa sekira pukul 04.00.
ASMARALARA-Saroni Asikin 20
Bagaspati merasakan nada aneh ketika mendengar Asmaradahana
dari putrinya.
“Darmastutisiwi, ya Putri Darmastuti yang cantik, mengapa
kidung Asmaradahana-mu seperti terselimut kegelisahan? Katakan
terus-terang, Duhita19-ku. Kalau boleh kuterka, dari nada kidungmu
sepertinya kau tengah gandrung kapirangu pada seseorang. Salahkah
Ayah?"
Pujawati tersipu. Dia sendiri belum bisa memahami apakah
kegelisahannya membayangkan pemuda dalam mimpinya itu tanda
dirinya tengah diamuk asmara. Kasmaran pada pemuda yang tidak
dia kenal sama sekali?
Hening beberapa saat. Hanya napas berat Pujawati yang
terdengar pada malam sepi itu.
“Katakan, Nak. Tak ada kedukaan yang menyesakkan kalbuku
selain mengetahui lara batin yang kautanggung.”
“Ayah,” akhirnya Pujawati berbicara, “Aku bertemu seorang
pemuda yang wajahnya seolah-olah menyemburatkan cahaya
rembulan. Pemuda itu datang dalam mimpiku, berulang-ulang,
selama tiga malam. Bisakah seseorang tertikam asmara hanya karena
sebuah impian?”
Bagaspati tersenyum. “Cinta bisa datang lewat jalan apa saja,
bahkan jalan-jalan yang kita anggap mustahil.”
“Aku belum yakin.”
“Kita memang sering meragukan perasaan kita sendiri. Tapi
apakah kau bisa menyangkal bahwa dirimu terdera kegelisahan ketika
mengingatnya? Kau bahkan berusaha mengusir kegelisahan itu
dengan kidung-kidung Asmaradahana-mu. Makin kau berusaha
mengusirnya, makin kuat kegelisahan itu menderamu. Rasa cinta bisa
membuat seorang selalu berada dalam kegelisahan.”
“Apakah seperti itu?”
“Ayahmu pernah merasakannya. Kali pertama berjumpa dengan
Darmastuti, ibumu itu, Ayah selalu didera kegelisahan yang aneh.”
19
Duhita: (basa Kawi) anak perempuan.
ASMARALARA-Saroni Asikin 21
Hening sejenak. “Percayalah, Pujawati, kedatangannya lewat
mimpimu itulah cara kalian akan bertemu. Ayah sangat memercayai
hal itu. Maka, jangan abaikan sebuah impian, apalagi bila impian itu
datang berulang-ulang. Ayah akan mencari cara untuk menemukan
pemuda itu.”
Ketika ayahnya pergi, Pujawati kembali didera kegelisahan dan
keragu-raguan. Bagaimana ayahnya bisa menemukan pemuda yang
hanya kulihat di dalam impian? Bagaimana dia mengenalinya? Satu-
satunya harapan adalah dia sangat memercayai ayahnya; dia
memercayai cinta ayahnya kepada dirinya.
***
TIGA hari setelah percakapan itu, Bagaspati membawa
Narasoma20 kepada Pujawati. Gadis itu seperti mati kata. Tatapannya
nanar dan nyaris tak memercayai penglihatannya sendiri. Pemuda
tampan yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sosok yang
datang berulangan dalam mimpinya. Ayahnya telah benar-benar
membuktikan janjinya.
Pujawati begitu gembira. Tapi kegembiraan itu harus diikuti
kabar kesedihan.
“Narasoma ini akan menjadi suamimu, Nak. Tapi dia tak suka
padaku. Sebagai putra mahkota Mandaraka, dia tak ingin memiliki
mertua buruk rupa seperti aku. Dia menginginkan kematianku. Aku
sudah berjanji untuk mengabulkan permintaannya. Jangan tangisi
aku, Nak. Aku tahu, Narasoma bakal menjadi suamimu yang sangat
setia. Bahkan saat dia menjadi raja pun, hanya kau satu-satunya
perempuan buatnya. Itu sebabnya Ayah menyanggupi perminta-
annya.”
Pujawati memandang muka ayahnya. Dia baru menyadari
bahwa muka sang ayah memang buruk sekali, mirip gambaran para
20
Narasoma setelah jadi raja di Mandaraka bernama Salya. Hingga kematiannya di Padang Kuru
(Kurusetra) dalam Perang Barata dia tak pernah memiliki selir selain seorang istri bernama Setyawati
(nama Pujawati setelah jadi istri Salya). Cerita ini, termasuk nama Narasoma dan Pujawati atau
Setyawati (istri Salya) hanya ditemukan dalam variasi kisah Mahabharata di Jawa atau Nusantara.
ASMARALARA-Saroni Asikin 22
raksasa dalam dongeng-dongeng. Tapi ketika memandang muka
buruk itu, air mata kesedihannya bercucuran. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 23
Asmaralara Erawati-Kartawiyoga-Kakrasana
“Oh Nek Jini, andai ada secuil saja rasa cintaku kepada pangeranmu
itu. Aku tahu dan bisa merasakan kesucian cintanya untukku. Aku marah
karena dia menculikku. Tapi selama saptahari di sini, aku merasakan
pangeranmu adalah gambaran seorang lelaki yang begitu tulus dan mulia
mencintai seorang perempuan. Sebagai gadis terculik, aku bisa saja dia
perlakukan sesuka hatinya. Tapi satu kata kasar pun tak pernah tercetus
untukku. Oh Nek, Nek Jini... andai ada seberkas saja cahaya cinta di dalam
diriku.... Haruskah aku menerima cinta pangeranmu dan belajar
mencintainya?”
ASMARALARA-Saroni Asikin 24
KESUCIAN CINTA SANG PENCULIK
ASMARALARA-Saroni Asikin 25
“Maafkan saya, Ra....”
“Panggil aku Putri. Panggil Erawati pun boleh.”
“Sahaya tidak berani, Ratu.”
Aku hanya mendesah. Dia hanya mematuhi perintah Pangeran
Kartawiyoga.
Aku menguap dan segera merebahkan tubuh. Sawijini segera
merapatkan selimut ke sekujur tubuhku sebelum dirinya kembali
bersimpuh.
“Kau tidur sajalah, Nek.”
“Sahaya belum mengantuk, Ratu. Saya ingin mengantar Ratu
pergi ke alam impian dengan nyaman.”
Aku terkikik sebelum kembali menguap. Udara dingin di kaki
gunung ini membuatku cepat mengantuk. Kupejamkan mata. Tapi
pikiranku tak bisa berhenti memikirkan Pangeran Kartawiyoga.
Kesucian cintanya, kelembutan sikapnya, perhatian besarnya kepa-
daku. Tapi aku juga memikirkan kelancungannya telah menculikku.
Waktu berlalu. Dari kejauhan kudengar suara khas kukuk beluk23.
Kulihat Sawijini terkantuk-kantuk dalam posisi tetap bersimpuh.
Sempat terlintas untuk memintanya ke peraduan, tapi yang keluar
dari mulutku hanyalah desahan panjang.
“Oh, andai ada secuil saja rasa cintaku kepadanya.”
Aku terkesiap ketika mendengar kata-kataku yang meluncur
begitu saja dari mulutku. Setelah mengunjal napas panjang-panjang,
aku menyibak selimut dan duduk di petilaman. Sawijini tergeragap
dan bertanya, “Apa apa, Ratu?”
Aku tersenyum.
“Entahlah, Nek Jini. Aku tak bisa tidur.”
Dengan takut-takut dia duduk di sisiku. Tangan keriputnya
segera memijit-mijit telapak kakiku sementara telinganya menyimak
kalimat-kalimat keluhanku yang keluar bak aliran sungai dari kaki
gunung ke muara. Kuceritakan betapa aku rindu ibuku Ratu Setya-
23
Kukuk beluk: burung hantu; manuk dares.
ASMARALARA-Saroni Asikin 26
wati, ayahku Raja Salya, kedua adik perempuanku, Surtikanti dan
Banowati, kedua adik laki-lakiku, Burisrawa dan Rukamarata.
Lalu nada kalimatku terasa pedih ketika aku menceritakan
tentang lelaki yang telah menculikku.
“Oh Nek Jini, andai ada secuil saja rasa cintaku kepada
pangeranmu itu. Aku tahu dan bisa merasakan kesucian cintanya
untukku. Aku marah karena dia menculikku. Tapi selama saptahari di
sini, aku merasakan pangeranmu adalah gambaran seorang lelaki
yang begitu tulus dan mulia mencintai seorang perempuan. Sebagai
gadis terculik, aku bisa saja dia perlakukan sesuka hatinya. Tapi satu
kata kasar pun tak pernah tercetus untukku. Oh Nek, Nek Jini...
andai ada seberkas saja cahaya cinta di dalam diriku.... Haruskah aku
menerima cinta pangeranmu dan belajar mencintainya?”
Sawijini menghentikan pijitannya dan menggeleng-geleng.
“Sahaya tidak tahu, Putri. Tapi menurut si tua bodoh ini, cinta bisa
datang karena terbiasa, seturut waktu.”
Aku mengangguk. Pada saat itu, kudengar kemit memanggil-
manggil Sawijini. Nadanya panik. “Nek, Nek Sawijini, keluarlah.
Ada kabar duka.”
Kuminta Sawijini membuka pintu. Lalu kudengar suara si kemit,
“Pangeran Kartawiyoga gugur, Nek. Beliau gugur di tangan Kakra-
sana, kesatria dari Mandura. Dia datang untuk membebaskan Putri
Erawati.”
Di pembaringan, mendengar itu, aku tak tahu apakah aku harus
bersedih atau bergembira.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 27
Asmaralara Indumati-Aja
“Saya berharap sajak seindah ini bukanlah suatu ramalan. Betapa
pedih, betapa merana!” ujar Indumati lirih.
ASMARALARA-Saroni Asikin 28
KETIKA AJA MENULIS SAJAK KEMATIAN24
24
Cerita ini merupakan resepsi saya terhadap salah satu bagian Kakawin Sumanasantaka karya Mpu
Monaguna (abad ke-13). Dalam cerita ini, saya sengaja menghentikan cerita pada saat Aja dan
Indumati pingsan setelah menghirup wangi bunga sumanasa karena saya sedang tidak ingin
mendeskripsikan adegan kematian. Dalam kakawin yang merupakan resepsi sastra Mpu Monaguna
dari Raghuvamsa karya Kalidasa, Aja dan Indumati terbangun. Hanya Indumati yang terbangun
sebentar untuk mengucapkan perpisahan sebelum mati.
ASMARALARA-Saroni Asikin 29
Aja dan Indumati tentu saja tak pernah mendengar kisah
tentang Harini yang tangannya menyentuh bunga sumanasa di
Taman Sriwedari sehingga bunga keabadian itu layu. Dia dihukum
Betara Indra untuk menggoda tapa Resi Ternawindu. Resi itu tak
tergoda dan justru mengutuk Harini akan menitis ke seorang
perempuan yang bakal mati oleh bunga sumanasa. Dalam kutukan
itu, Indumatilah titisan Harini.
Hutan sepi. Sang bagaskara yang baru saja lingsir ke barat masih
menyisakan rayon-rayon cahaya di dedaunan. Aja berlama-lama
memandangi muka muram istrinya. Dia jadi ikut bersedih. Pelipuran
apakah yang bisa mengembalikan keceriaannya? Lantas dia berpikir,
membacakan sajak-sajak karyanya bakal mengusir mendung
kemuraman di wajah istrinya. Bukankah dia selalu menyukai sajak-
sajaknya?
Aja meminta Kawidosa mengambil tumpukan karas25 berisi
sajak-sajaknya. Saat dia membaca itu, di tempat lain karawitan
sedang dimainkan. Narada ikut bermain di situ. Angin besar menda-
dak datang dan mengempaskan sebuah roncean bunga sumanasa yang
terikat di salah satu instrumen. Narada hanya bisa mendesah meman-
dangi roncean kembang yang terbang itu. Dia tahu, kabar kematian
bakal segera digaungkan. Dia tahu, kutukan Resi Ternawindu kepada
Harini bakal segera dilunaskan. Dan dia tahu, roncean bunga itu
bakal jatuh ke siapa.
Aja masih terus membacakan sajak-sajaknya ketika sesuatu
jatuh ke dada Indumati. Sebuah roncean bunga. Dia, dan juga
Indumati yang terkejut, tak tahu kembang apakah itu. Aroma wangi-
nya begitu keras menguar. Mereka menghirupnya dan segalanya jadi
25
Karas adalah medium yang ditulisi. Ada banyak perbedaan pendapat mengenai benda ini. Ada yang
menyebutnya bilah bambu, batu tulis, lontar, dan daun nipah. Saya memilih pendapat Zoetmulder
(penulis Kalangwan, 1981) yang mengatakan karas bisa dipakai untuk melindungi dari terik matahari,
portabel alias bisa dibawa-bawa dan bisa untuk bantal sehingga benda yang paling mungkin adalah
belahan bambu atau papan rata. Dalam konteks cerita ini, belahan bambu rata yang paling mungkin
dibawa Aja dan Indumati saat piknik ke hutan.
ASMARALARA-Saroni Asikin 30
gelap ketika mata mereka terpejam. Keretap dedaunan di pohon-
pohon ketika itu bagaikan tembang Yamadipati, sang dewa maut.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 31
Asmaralara Sagopi-Antagopa
Apakah aku mencintai Sayuda, ya Nyi Sagopi itu? Lebih baik kau
bertanya kepada istriku itu apakah dia berbahagia memiliki kekasih para
pangeran kakak-beradik. Tanyakanlah itu, pertanyaan yang tak pernah
sanggup kusampaikan kepadanya. Sebab, aku sering berpikir, dia, si
wiraswara cantik itu, hanyalah korban dari permainan syahwat anak-anak
raja.
ASMARALARA-Saroni Asikin 32
KISAH CINTA SENGKARUT
ASMARALARA-Saroni Asikin 33
kah aku marah kepada calon rajaku, Basudewa, yang tak mau meni-
kahi perempuan bukan putri raja betapapun si perempuan sedang
mengandung anaknya?
Tentu saja aku marah meskipun pada awalnya aku merasa itu
suatu karunia tak tepermanai. Aku, si bujang lapuk, diminta menikahi
perempuan cantik si wiraswara ternama? Siapa bisa menyangkal itu
suatu karunia?
Lalu lahirlah Udawa. Aku menyukai si orok dan berusaha
mencintainya sebagai buah hatiku sendiri. Kukasihi dia sebagai
pelipur hatiku yang setiap melihat Nyi Sayuda menjadi perih hati dan
lara pikiran, “Huh, jangankan jiwanya, raganya pun tak bisa kumi-
liki.”
Bukan lantaran perempuan itu menolakku. Bukan. Akulah lelaki
malang yang akibat kecelakaan saat remaja tak mungkin bisa bercinta
dan memenuhi kewajiban sebagai seorang suami.
Selanjutnya aku bisa menerima kenyataan memiliki istri semu.
Dia masih selalu ke Istana Mandura untuk nyinden. Setiap dia pergi,
aku didera kecemburuan bahwa dia akan bertemu Basudewa dan
melakukan kawin gandarwa. Aku keliru. Bukan Basudewa yang pada
suatu hari pulang bersamanya ke Widarakandang. Lelaki itu Rukma,
adik Basudewa. Saat itu, aku harus pergi ke tempat sunyi ketimbang
harus mendengarkan suara mesum mereka di dalam kamar, di
rumahku.
Lalu lahirlah Larasati, orok putri yang sangat cantik. Sama
seperti kepada Udawa, aku berusaha mencintainya.
Cukup sudah kisahku sebagai suami dan ayah semu? Belum.
Sayuda masih tetap ke istana untuk melipur orang dengan suara bida-
darinya. Aku selalu membayangkan, di istana itu diam-diam dia akan
kawin gandarwa dengan Basudewa dan Rukma.
Tapi pada suatu senja, dia pulang bersama seorang lelaki lain.
Ugrasena, adik Basudewa lainnya. Sama seperti saat Sayuda bersama
Rukma, aku keluar rumah. Malam itu aku menyepi di telaga dan
hampir-hampir aku menenggelamkan diri di situ.
ASMARALARA-Saroni Asikin 34
Lahirlah “anakku” yang lain: Pragota. Istriku masih sering
pulang bersama Ugrasena, dan dari benihnya aku memiliki “anak”
yang lain: Adimanggala.
Sudah kukatakan kepadamu dengan jujur bagaimana lelaki lapuk
ini menyimpan kepedihan. Tapi aku masih selalu tertawa ketika
orang mempertanyakan wajah keempat anakku.
Apakah aku mencintai Sayuda, ya Nyi Sagopi itu? Lebih baik
kau bertanya kepada istriku itu apakah dia berbahagia memiliki
kekasih para pangeran kakak-beradik. Tanyakanlah itu, pertanyaan
yang tak pernah sanggup kusampaikan kepadanya. Sebab, aku sering
berpikir, dia, si wiraswara cantik itu, hanyalah korban dari permainan
syahwat anak-anak raja.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 35
digunjing memanfaatkan pelet pengasihan karena kata mereka sebe-
narnya suaraku tak lebih baik dari mereka. Gunjingan itu semakin
santer ketika sang putra mahkota, Pangeran Basudewa, sering
mengundangku ke ruang pribadinya. Lebih-lebih ketika mendadak
aku dipulangkan ke Widarakandang dan dikawinkan dengan Anta-
gopa telingaku seperti pekak mendapat laporan soal gunjingan itu.
Lalu ketika aku melahirkan Udawa, janin yang tumbuh dari nutfah
sang pangeran, gunjingan tentang diriku bahkan mengalahkan deru
angin puyuh.
Gunjingan agaknya selalu melahirkan gunjingan baru. Mereka
yang suka bergunjing agaknya selalu punya bahan pergunjingan.
Ketika kedua adik lelaki Pangeran Basudewa selalu datang ke
Widarakandang, mungkin saja suara nyinyir tentang diriku
berdentang dari Mandura ke Wirata.
“Pelet pengasihan Ken Sayuda itu dahsyat rupanya. Tiga
pangeran Mandura takluk di bawah lututnya.” Itu salah satu
gunjingan yang sempat kudengar sendiri.
Yang paling menyakitkan adalah gunjingan ini: “Ken Sayuda
itu bak piala bergilir, dari Basudewa dipindahtangankan ke Rukma
lalu ke Ugrasena. Hmm, tapi apa bedanya dengan pelacur?”
Semua gunjingan itu tentu saja dilakukan dengan berbisik-bisik
karena sebenarnya mereka takut. Siapa yang tak takut terhadap para
lelaki penguasa seperti para pangeran dari Mandura itu?
Aku yakin suamiku juga menjadi sasaran gunjingan yang tak
kalah bengisnya dari diriku. Salah satu gunjingan yang secara tak
sengaja kudengar berbunyi begini: “Antagopa hanyalah suami jadi-
jadian yang bagaikan cicak kedinginan menyaksikan istrinya bercinta
dengan lelaki lain.”
Ah, sudahlah. Sekali lagi kukatakan, aku memaafkan mereka
dan hanya menyesali mereka tidak bertabayun kepadaku untuk
mengetahui seperti apa hubunganku dengan ketiga pangeran itu.
Tapi bila mereka bertabayun kepadaku, setidak-tidaknya aku
bisa bercerita, ya katakanlah aku bisa mencurahkan hatiku mengenai
ASMARALARA-Saroni Asikin 36
hal itu. Aku bisa menceritakan betapa aku sangat cemas ketika
Pangeran Basudewa mengundangku untuk bernyanyi di ruang
pribadinya. Itu tak biasa. Biasanya aku bernyanyi di hadapan raja dan
keluarganya di Sasana Handrawina.
Dan terjadilah apa yang kucemaskan. Apa yang bisa dilakukan
seorang perempuan abdi terhadap sesorang pangeran selain mematuhi
apa pun kehendaknya? Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan
abdi ketika dicampakkan dan dengan enteng diserahkan ke tangan
seorang lelaki kampung di Widarakandang?
Aku juga bisa menceritakan bagaimana Pangeran Rukma secara
sembunyi-sembunyi menggodaku karena takut terhadap kakaknya
yang calon raja. Dan ketika aku sudah diserahkan ke Antagopa, dia
merasa tak ada yang ditakuti lagi. Dan bagai sepah tebu, aku dibuang
setelah dicecap air gulanya.
Kupikir cukup sudah dua kali aku dicampakkan. Datanglah
Ugrasena. Rupanya sejak lama dia juga memendam hasrat kepadaku.
Kisah berulang. Setelah bosan mencecap nektarku, dia pergi untuk
mencecap nektar dari kembang yang lain.
Andai saja ada yang bertabayun kepadaku aku akan mence-
ritakan itu semua. Tapi sebenarnya yang paling kutakuti adalah
pertanyaan soal cinta. Apakah aku mencintai ketiga pangeran itu,
atau hanya salah seorang dari mereka? Kalau salah seorang, itu siapa?
Aku tak akan bisa menjawab. Bahkan, aku sendiri sering
meragukan bahwa diriku memiliki rasa cinta, cinta seorang perem-
puan kepada lelaki. Seingatku, sebagai manusia lumrah, aku punya.
Aku pernah tertarik kepada seorang lelaki. Tapi lelaki itu diam-diam
pergi dari kehidupanku begitu Pangeran Basudewa sering meng-
undangku ke ruang pribadinya.
Tapi satu hal tidak boleh kausangsikan: aku sangat mencintai
Udawa, Larasati, Pragota, dan Adimanggala, empat anakku dari tiga
lelaki bersaudara itu. Sangat!
Dan ketika usiaku menua, aku sangat bersyukur karena ketiga
anak Basudewa, yaitu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, mau
ASMARALARA-Saroni Asikin 37
mengakui semua anakku sebagai saudara mereka. Bahkan, mereka
memuliakan anak-anakku. Udawa jadi patih di Dwarawati milik
Narayana alias Kresna, Pragota jadi patih di Mandura milik Kakra-
sana alias Baladewa, dan Larasati bersama dengan Rara Ireng alias
Sembadra jadi istri Arjuna, dan Adimanggala menjadi patih di
Awangga.
Aku yakin, kemuliaan anak-anakku tumbuh dari rasa cintaku
kepada mereka, ibu yang selalu menahan diri dari segala pergunjingan
dan memaafkan para penggunjingnya.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 38
Asmaralara Gandari-Pandu-Destarastra
“Ibarat berjudi, kali ini aku kalah. Tapi penjudi selalu yakin suatu saat
dia akan menang.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 39
KEKALAHAN GANTALPATI
ASMARALARA-Saroni Asikin 40
Dia telah membantu menyediakan sekeranjang ikan dan meminta
kakak perempuannya mengoleskan ikan-ikan itu ke tubuh. Maka, bau
amis di sekujur tubuh Gandari menguar dan membuat perut siapa
pun mual. Gandari bahkan telah muntah beberapa kali. Gantalpati
yang terbiasa menanam tebu di bibirnya itu melipur kakaknya dengan
kalimat-kalimat manis.
“Ah, bagimu kedudukan patih itulah yang penting, Gantalpati,”
jawab Gandari nyinyir.
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 41
annya, Destarastra merasa tangannya memegang batang pohon
berduri dan bikin gatal.
Bau amis itu makin menyengat ketika dia telah sampai di
hadapan Gandari. Gandari memejamkan mata sementara Gantalpati
yang meriung bersama undangan lain terlihat menyunggingkan
senyum.
Destarastra merasakan perutnya mulas lalu muntah.
Muntahannya bahkan mengenai kaki Gandari. Gantalpati dan semua
yang meriung di ruangan itu sangat yakin, Destarastra akan menjauhi
Gandari.
Destarastra tampak berdiri limbung. Tapi sekejap kemudian,
ketika telah berhasil mengatasi rasa pusing setelah muntah, dia
bergeming beberapa saat di hadapan Gandari. Suasana menjadi
bertambah tegang dan penuh kecemasan.
Tak ada yang tahu bahwa pada saat itu benak Destarastra
teringat kegirangan hatinya ketika diajak Abiyasa, ayahnya, ke
sebuah kampung nelayan. Meskipun tak mampu melihat apa pun,
ketika itu dia sangat girang memegangi ikan di keranjang sementara
sang ayah sibuk menjelaskan nama ikan-ikan itu.
Keheningan ruangan itu mendadak pecah oleh desahan dan
geremengan saat Destarastra mencari-cari tangan Gandari. Begitu
terpegang, dengan lembut dia menarik tangan itu sambil mengucap,
“Inilah calon istriku!”
Gandari tercekat. Gantalpati tercekat. Mukanya mendadak
keruh. Kepada seseorang di sampingnya, dia berbisik, “Ibarat berjudi,
kali ini aku kalah. Tapi penjudi selalu yakin suatu saat dia akan
menang.” (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 42
Asmaralara Durgandini-Sentanu-Palasara
ASMARALARA-Saroni Asikin 43
ISTRI YANG DISERAHKAN KE LELAKI LAIN
ASMARALARA-Saroni Asikin 44
Tangisan Dewabrata tak pernah berhenti selama lelaki tersebut,
Sentanu namanya, menceritakan kisah pedih itu. Seselesainya, dia
memohon agar diriku bersedia menyusui Dewabrata. Ketika lelaki itu
menyerahkan anaknya untuk kugendong, tangan kami sempat
bersentuhan dan sekilasan kami bersipandang. Saat itulah aku
melihat pendar aneh di dalam riap matanya. Tentu saja pada saat itu
aku tak tahu bahwa pendar aneh itulah yang akan membuat diriku
menjadi seorang istri yang dilepaskan suaminya ke dalam pelukan
lelaki lain.
***
HARI-HARIKU menyusui dua bayi itu tak berbeda dengan
hari-hari sebelumnya. Selama itu, Sentanu ikut membantu Palasara
membangun kerajaan yang baru beberapa pekan berdiri. Tapi ketika
suatu hari suamiku melihat diriku menyusui Dewabrata, mukanya
mendadak mirip seseorang yang pipinya baru saja ditampar keras.
Dewabrata ini rakus menyesap air susuku dan itu membuat Abiyasa
tak pernah kebagian.
Suamiku marah. Dia merutuk-rutuk dan mengumpati anak
Sentanu itu. Ayah sang anak yang mendengar itu tidak terima. Mere-
ka berkelahi. Selama beberapa waktu, tak ada yang kalah, tak ada
yang menang, hingga mereka sepakat untuk gencatan.
Apa yang kulakukan pada saat mereka berkelahi? Aku menjerit-
jerit dan meminta mereka berhenti. Sebenarnya saat itu aku sangat
takut Palasara kalah dari Sentanu. Apa yang kudengar sebelum
perkelahian itu terjadi membuat hutan Gajahoya dan seluruh bumi
seolah-olah terguncang. Sentanu sesumbar akan mengalahkan
Palasara dan mengawini diriku karena dia telah jatuh cinta kepadaku.
Jagad Dewa Batara! Perkelahian itu memang terhenti dan kedua
lelaki itu pergi selama beberapa saat. Aku menangis tanpa air mata
sementara kedua bayi yang bersamaku itu tidur nyaman.
Mereka yang baru saja berkelahi itu tidak pulang dan
semalaman aku memikirkan ucapan Sentanu. Jujur saja kukatakan
kepadamu, Sentanu jauh lebih tampan dari Palasara, bertutur kata
ASMARALARA-Saroni Asikin 45
lembut dan dalam beberapa kesempatan secara mencuri-curi dia
memuji-muji diriku dengan kalimat-kalimat yang biasa diucapkan
para penyair, kata-kata yang tak lagi kudengar dari mulut Palasara.
Hingga fajar merekah dan aku disergap kantuk yang berat, aku tak
mampu menjawab pertanyaanku sendiri: apakah aku juga telah
terpikat kepada Sentanu?
Aku bangun bersamaan dengan kedatangan Palasara. Dari kesan
di mukanya, aku tahu, suamiku itu belum tidur. Wajahnya kuyu dan
riap matanya muram. Belum sempat aku bertanya di mana dia
semalaman, yang keluar dari mulutnya justru membuatku jatuh
bersimpuh dengan hati begitu pedih.
“Aku telah beroleh pertanda mahaterang lewat sebuah bisikan
suci. Aku harus membawa pergi Abiyasa ke Bukit Sapta Arga dan
menyerahkan dirimu dan kerajaan ini kepada lelaki itu. Selamat
tinggal, Durgandini.”
Begitu saja dia pergi membawa anak kami tanpa pernah
menanyakan kesediaanku, bahkan tanpa menoleh sedikit pun untuk
melihat mukaku telah basah oleh air mata.
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 46
inilah mungkin pangkal perseteruan tanpa henti di antara anak-anak
keturunanku, aku yang tua merasa ingin menimpakan beban dosa
perseteruan itu kepada Palasara.
Ya, dia meninggalkan diriku hanya oleh sebuah bisikan, dan aku
harus mau menerima Sentanu sebagai suamiku. Karena aku begitu
membenci Dewabrata (yang nanti lebih kaukenal sebagai Bisma),
bayi yang telah merampas air susu anakku, aku menerima Sentanu
dengan syarat: keturunankulah yang harus menjadi raja Astina, bukan
Dewabrata, anak tiriku.
Mungkin kebencianku kepada Dewabrata itulah pangkal segala
kehancuran di antara anak turunku. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 47
Asmaralara dari Lembaran Serat Menak Cina
dia yang penuh cinta
tak pernah mati
karena cinta itu abadi.
- (Puisi Amir Ambyah di pusara Adaninggar)
ASMARALARA-Saroni Asikin 48
ASMARA KANDAS OLEH KABAR DUSTA
ASMARALARA-Saroni Asikin 49
darahnya. Kuikat dirinya yang pingsan dengan tali yang telah
kupersiapkan, dan dengan berkuda kubawa lari dia ke sebuah gua.
Nah itulah dia, satu-satunya lelaki yang begitu kuinginkan
sebagai suamiku, terikat dengan mata terpejam sedang terbaring di
atas kepejalan batu gua.
Kutotok lagi dia untuk memulihkan kesadarannya. Dia
terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap, mirip seseorang yang baru
saja dirajam mimpi buruk. Ketika dia melihatku, dan aku yakin dia
mengenaliku, di dalam keremangan gua, kulihat sorot kemarahan di
dalam riap matanya.
“Tuan boleh marah kepada sahaya, Tuan Amir. Tuan juga boleh
menganggap sahaya gadis gila, perempuan majnun. Tapi sahaya ingin
hati Tuan yang bagai batu itu luluh bahwa sahaya sangat mencintai
Tuan. Dan inilah satu-satunya cara agar sahaya bisa berdekatan
dengan Tuan.”
Dia bergeming dengan sorot mata yang tetap menyiratkan
kemarahan. Lalu setelah unjalan napas yang panjang, dia berkata,
“Puan Adaninggar, lelaki mana yang tak ingin menyunting Puan
sebagai istri? Puan perempuan yang molek, bersenyum merak ati, dan
berilmu tinggi. Sahaya akui, Puan, sahaya pun terpesona kepada
Puan. Tapi sahaya adalah orang yang beradab. Puan adalah calon
mertua saya, bagaimana sahaya berani mendekati dan mencintai
Puan?”
Aku tertawa.
“Tuan percaya kabar dusta seperti itu? Sahaya memaklumatkan
diri sebagai istri Raja Nusirwan untuk mengusik kecemburuan
Tuan.”
“Dusta atau tidak, kabar yang telah dimaklumatkan tak
mungkin ditarik ulang. Apalagi ini menyangkut kehormatan dua
negara, Medayin dan Yujana. Puan telah memainkan kartu yang
keliru.”
Aku mendesah panjang. Kata-katanya menamparku dan
menyadarkan diriku hanyalah perempuan bodoh.
ASMARALARA-Saroni Asikin 50
Dengan marah aku keluar dari gua, dan dengan pedangku, aku
membabati sesemak dan peperduan sembari meneriakkan kata-kata
kutukan untuk diriku.
Setelah kelelahan, aku masuk kembali ke dalam gua.
“Betapapun cinta sahaya tak pernah Tuan terima, sahaya akan
tetap melakukan apa pun untuk tetap bisa menjadi istri Tuan, bahkan
bila kita sama-sama menua di sini tanpa sekali pun Tuan menerima
cinta sahaya.”
Dia tetap bergeming dengan sorot mata marah. Beberapa saat
kemudian tanpa berkata-kata, aku mendekatinya, membuka ikatan
tali di tubuhnya, lalu kutinggalkan dia.
Di mulut gua, aku menoleh ke arahnya sembari berteriak, “Perut
Tuan pasti lapar. Sahaya akan mencari bebuahan di hutan-hutan
sekitar. Di luar gua, ada kuda sahaya. Tuan bisa pergi dari sini kapan
saja. Tapi sahaya berharap Tuan menunda kepulangan ke Yujana
setelah sahaya membawakan bebuahan untuk penggajal perut Tuan.
Andai Tuan pergi sebelum sahaya kembali, tolong dengarkan kata-
kata sahaya ini: ada seorang perempuan yang cintanya kepada Tuan
begitu suci dan mampu melakukan apa pun demi mewujudkannya
betapapun langkahnya keliru-keliru.” (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 51
Tapi apa kata orang bila aku menerimanya sebagai istriku yang
ketiga sementara dia telah memaklumatkan diri akan menjadi istri
Nusirwan, mertuaku? Orang-orang pasti akan semakin meng-
gunjingku sebagai lelaki thukmis, si mata keranjang. Selama ini, aku
selalu digunjing sebagai lelaki perayu perempuan, lelaki yang selalu
takluk oleh kerling mata perempuan. Ya, memperistri Adaninggar
akan lebih buruk lagi gunjingannya. Tak hanya perayu perempuan,
aku bakal dicap tak beradab: perebut calon istri mertua.
“Oh, Adaninggar, kau telah keliru memainkan kartu untuk bisa
bersanding denganku.”
Langit kulihat begitu mendung dan kuperkirakan hujan akan
segera jatuh. Ketika jalan hendak menurun, aku sempat menoleh ke
belakang, ke arah gua tempat Adaninggar telah menyekapku.
Rintik gerimis mulai jatuh. Aku segera menyendal kekang kuda
dan memacu kencang-kencang karena dalam jarak sekitar setengah
yojana26 aku melihat atap-atap rumah. Dalam kecepatan lari kuda, aku
masih mengingat-ingat Adaninggar.
Gerimis berubah menjadi hujan deras ketika aku memasuki
ujung hunian. Setelah mencencang kuda ke sebatang pohon, aku
berlari ke rumah yang tertutup pintunya untuk bernaung.
Dari balik tirai hujan yang tempiasnya mengenai muka dan
tubuhku, di façade sebuah rumah aku melihat ukiran berpola bunga
padma dan aku sadar diriku sedang berdiri di Negeri Kaelan, negeri
musuhku.
Sembari menunggu hujan aku memikirkan cara keluar dari
Kaelan. Dari tempatku berdiri, satu-satunya cara untuk ke Koparman
adalah melintasi Kaelan. Aku mematut-matut diriku dan baru kusa-
dari diriku terbungkus piyama. Adaninggar memang menculikku
pada saat aku tidur. Busana seperti itu menguntungkan untuk saat ini
karena penampilanku tak bakal menarik perhatian orang.
***
26
Yojana: satuan ukuran panjang dalam tradisi Weda India yang berkisar 12-15 km.
ASMARALARA-Saroni Asikin 52
HUJAN telah reda dan matahari yang masih berada di sisi
timur lamat-lamat muncul kembali. Aku meneruskan perjalanan
dengan pacuan pelan karena aku tak ingin menarik perhatian orang.
Memasuki Kotaraja Kaelan, hari masih siang. Di alun-alun
terlihat kerumunan orang dan bunyi kendang dan alunan rebab
terdengar dari tenda besar di tengah alun-alun. Ada pertunjukan,
pikirku.
Aku masih berada di tepi jalan dengan memegangi tali kekang
kuda ketika terdengar bunyi terompet panjang dan derap kuda.
Rombongan orang berkuda melintasiku dan seorang penunggangnya
melecutkan cemeti ke tubuhku sambil berteriak, “Minggir! Putri
Kelaswara mau lewat!”
Untung saja aku sigap menghindar dari lecutan cemeti. Tapi
omongan si pencemeti tadi membuatku penasaran. Selama ini aku
telah mendengar cerita-cerita mengenai kehebatan dan kesaktian
putri Raja Kaelan itu. Juga cerita tentang kecantikannya yang tiada
tara. Sepintas tadi aku melihat seorang perempuan yang menunggang
kuda putih. Diakah Kelaswara?
Rombongan kuda berhenti dan para penunggangnya segera
memasuki tenda dan teriakan selamat datang untuk Kelaswara
terdengar.
Seharusnya saat itu juga aku harus pergi menjauh. Tapi
kepenasarananku akan rupa Kelaswara membuatku berjalan ke
kerumunan orang setelah menitipkan kuda ke pemilik warung. Aku
meyakinkan diriku bahwa di Kaelan ini tak seorang pun akan menge-
naliku. Dan kau tahu, mendatangi tempat musuh itu mirip ikan lele
yang menjemput tongkat penggebuk.
Keyakinanku keliru. Seseorang mengenaliku dan berteriak,
“Amir Ambyah dari Koparman!”
Aku yang terjebak di dalam kerumunan lalu dikeroyok puluhan,
ah mungkin belasan orang. Tapi aku membuktikan diri sebagai kesa-
tria perkasa yang bisa lolos dari sergapan mereka, berlari ke tempat
kuda, dan memacu satwa itu kencang-kencang.
ASMARALARA-Saroni Asikin 53
Ketika kurasa aku tak terkejar, aku berhenti di suatu tempat
yang sunyi. Saat aku mengunjal napas, lamat-lamat kudengar detak
kaki kuda mendekat. Kusimak dan aku lalu yakin, hanya seorang pe-
nunggang kuda yang masih memburuku.
Aku menunggunya karena aku yakin aku akan mampu
menghadapinya.
Dan datanglah si penunggang kuda putih. Perempuan. Kelas-
warakah dia?
Dia turun dari kuda. Begitu juga diriku. Gerakannya gesit tapi
anggun. Langkahnya tegas dan mantap. Aku berdiri menantinya
dengan tetap bersiaga.
Dalam jarak satu depa, dia berhenti. Bergeming.
Oh Tuhan, cerita tentang kecantikan Kelaswara itu bukan berita
dusta. Tapi bukan itu yang membuat jantungku mendadak berdegup
kencang. Aku seperti telah akrab dengan wajah itu. Ya, aku pernah
beberapa kali bertemu dengan pemilik wajah di depanku. Di dalam
beberapa kali mimpiku.
Aku ingin bertanya apakah dirinya memang Kelaswara, tapi
lidahku kaku. Lalu ketika dirinya tersenyum, kurasakan diriku, Amir
Ambyah yang digunjingkan sebagai perayu perempuan, saat itu
hanyalah lelaki yang gemetaran dengan jantung berdegup kencang.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 55
Kini mengingat percakapan itu, hati Kelaswara makin pedih.
Dia membuktikan semua omongan Amir Ambyah sebelum dia benar-
benar menerima pinangan lelaki itu hanyalah bualan seorang perayu.
“Lihat, ayo lihat, kini di depanku, suamiku menciumi muka
pucat si mati dan bibirnya lirih menyebut-nyebut gadis Cina itu.
Dengar, ayo dengar, rintihan tertahan suamiku meratapi jasad tanpa
nyawa perempuan yang begitu kucemburui. Kalau kau menyaksikan
sendiri bagaimana suamiku yang perkasa berubah menjadi anak
kucing di dekat bangkai induknya, kau tak akan menyangkal bahwa
ada cinta di dalam hati suamiku, si Amir Ambyah, Putra Mahkota
Kerajaan Koparman.”
Dengan gerakan kecil Kelaswara menegakkan tubuh. Dia benar-
benar ingin lari dari situ tapi kakinya seolah-olah kaku. Dia ingin
pergi dari Koparman, dari kehidupan Amir Ambyah. Mungkin dia
akan pulang ke Kaelan. Ah tidak, itu tak mungkin. Ayah beserta
seluruh rakyat Kaelan akan menyebutnya perempuan nista. Tak
hanya itu, bila benar-benar dia lari ke Kaelan maka permusuhan
Kaelan-Koparman yang telah berhenti sejak pernikahannya dengan
Amir Ambyah itu akan berkobar lagi.
Akhirnya Kelaswara hanya mampu bersimpuh. Sekejap Amir
Ambyah menoleh ke arahnya dengan tatapan seekor banteng yang
terluka.
Ya Allah, tatapan itu lebih mengerikan ketimbang godam api
malaikat penjaga neraka....
Kelaswara menarik napas panjang lalu mengenang adegan
sebelum lambung Adaninggar terobek ujung pedangnya.
Sebenarnya dirinya sedang terdesak oleh serangan Adaninggar.
Bahkan bila dia terlambat menelengkan kepalanya, mata pedang
Adaninggar akan menebas lehernya.
“Puji Allah,” batinnya ketika menyadari mata pedang
Adaninggar hanya sempat meretas sejumput rambutnya dan helai-
annya terserak oleh angin.
ASMARALARA-Saroni Asikin 56
Ya, Adaninggar sedang unggul ketika terdengar seseorang
menyerukan namanya.
“Adaninggar!”
Kelaswara menoleh ke sumber suara. Adaninggar pun begitu.
Itu suara Amir Ambyah.
Sekerdipan mata setelah menoleh ke arah suaminya yang
hendak menghambur ke arena pertarungan, matanya kembali tertuju
kepada lawan. Kelaswara melihat peluang bagus untuk menusukkan
pedang ketika Adaninggar terlihat lena. Dan ujung pedang itu tepat
menusuk bersamaan dengan teriakan Amir Ambyah, “Kelaswara,
ja....”
Terlambat. Kelaswara yang sedang melihat peluang bagus
memenangkan pertarungan melawan perempuan pengganggu rumah
tangganya itu dengan yakin menusuk lambung Adaninggar.
Tapi apa penghargaan untuk perempuan yang yakin sedang
mempertahankan harkat keluarganya?
Tatapan marah suaminya dan kebisuan suaminya hingga
beberapa candra berikutnya. Setiap dia bersitatap dengan muka
suaminya, dia seperti mendengar kalimat tanya yang diulang-ulang:
apa yang kaumenangkan, Kelaswara? (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 57
Poligami pada zamanku bukan hal yang didebat-debat. Ada
yang setuju dan tentu saja ada yang menolak. Tapi ups, siapa
sebenarnya diriku ini? Aku tahu, dalam seluruh kisah tentang Amir
Ambyah, namaku dan nama Rabingu Sirtupeleli jarang disebut.
Orang lebih suka membicarakan Muninggar, istri pertama suamiku
yang telah tiada. Orang juga lebih suka kisah cinta pelik antara Amir
Ambyah dan dua perempuan yang pada suatu hari berbaku bunuh:
Adaninggar dan Kelaswara.
Baiklah, namaku Sudarawreti, putri dari Negeri Parangakik
yang dinikahi Amir Ambyah ketika lelaki itu dalam kepedihan
ditinggal mati Muninggar. Ah, tapi aku tidak sedang menceritakan
diriku, bukan? Aku ingin bercerita tentang kepedihan berlarat-larat
suamiku sepeninggal Adaninggar. Aku ingin bercerita tentang
kebisuannya, mata muramnya, dan sesenggukannya di depan pusara
Adaninggar.
Aku ingin engkau yakin, kemenangan Kelaswara atas
Adaninggar yang dia yakini sebagai kemenangan cinta itu semata
kesia-siaan. Dia tak memenangkan cinta Amir Ambyah. Si matilah
yang memenangkannya.
Ah, aku memang membenci Kelaswara. Ya, aku sangat marah
ketika Amir Ambyah pulang dari Negeri Kaelan dan membawa putri
negeri itu sebagai istri. Orang bercerita, suamiku sangat mencintai
perempuan Kaelan itu, bahkan ada yang menyebut dialah perempuan
impian Amir Ambyah. Omong kosong! Hatiku lebih suka
memercayai bahwa Amir Ambyah menikahi Kelaswara hanya untuk
menaklukkan Kaelan yang berpuluh tahun menjadi musuh
Koparman, negeri suamiku.
Oh maaf, aku kok bercerita macam-macam padahal aku ingin
menceritakan kebiasaan Amir Ambyah ketika menziarahi pusara
Adaninggar di atas bukit di Parangakik?
Ya, atas perintah Amir Ambyah dan persetujuanku, Adaninggar
dimakamkan di negeriku. Pusara itu indah dari marmer hitam. Di
sekitarnya, tumbuh beragam pohon bunga: semboja, kacapiring,
ASMARALARA-Saroni Asikin 58
asoka, dan kesumba. Aku tak tahu mengapa suamiku memilih bunga-
bunga itu tapi aku tak pernah menanyakannya. Yang kutahu, pusara
itu kini sudah berada dalam keteduhan pepohonan. Yang juga kutahu,
Amir Ambyah melarang siapa pun menyingkirkan daun dan bunga
yang jatuh ke atas pusara.
Dan kau tahu, di satu sisi badan pusara, ada tatahan berupa sajak
pendek ciptaan suamiku: dia yang penuh cinta/tak pernah mati/karena
cinta itu abadi.
Oh, aku ingin tertawa ketika membayangkan Kelaswara mem-
baca sajak pendek itu....
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 59
Ketika kami turun, aku tak berani menanyakan ihwal
sesenggukan itu. Tapi aku selalu melihat matanya agak basah dan me-
merah.
Pada perziarahan yang keenam, setelah aku menjauh dari
suamiku yang tetap bergeming di depan pusara, aku mendengar derap
kuda menuju ke atas bukit. Aku segera bersiaga. Ketika penunggang
kuda itu muncul, o-oh, Kelaswaralah yang datang.
Aku agak terkesiap. Dia tak memedulikan diriku. Pandangannya
langsung tertuju ke sosok yang sedang bergeming di depan pusara.
Alih-alih turun dari kuda, Kelaswara menarik kekang dan memutar
balik kudanya.
Aku ingin tertawa tapi kutahan karena tak ingin kesunyian
bukit dan kebergemingan suamiku terganggu. Tapi di dalam hati aku
tetap ngakak. Aku ngakak karena baru saja menyaksikan roman
Kelaswara sangat mirip muka orang kuat yang dirobohkan oleh anak
kecil yang baru bisa berjalan.
Kau boleh menghujatiku karena sikapku kepada Kelaswara yang
seperti itu. Kau boleh menyebutku sedang menertawakan kepedihan
orang lain. Hanya untuk soal Kelaswara inilah aku akan ikhlas
kauhujat-hujat. (*)
MONOLOG KELASWARA
ASMARALARA-Saroni Asikin 60
Ya, sebelumnya aku memang mendengar kabar dari para biti
perwara bahwa Kelaswara menyusul suamiku yang sedang bersama
Sudarawreti di Parangakik untuk berziarah ke pusara Adaninggar.
Telingaku makin kutajamkan untuk menyimak bunyi isakan
tangis itu. Benar, itu isakan Kelaswara dan itu sungguh meng-
herankan aku.
Dia kesatria perempuan dari Kaelan yang begitu digdaya di
medan peperangan. Jauh sebelum Amir Ambyah, suamiku,
memboyongnya ke Koparman sebagai istri, kecempiangannya dalam
pertempuran telah beredar tutur-tinular. Bahkan, Adaninggar yang
namanya juga moncer karena kedigdayaannya, tak berdaya dan mati
dari ujung pedangnya. Nah, orang seperti itu bisa terisak-isak? Dia
yang tampak tegar dan kuat bisa menangis juga?
Aku tertawa di dalam hati menyadari kebodohan pertanyaanku.
Kelaswara tentu saja bisa menangis ketika sangat bersedih. Dan
kupikir, untuk orang seperti dia, kesedihan yang mampu mem-
buatnya terisak-isak pastilah tak terperikan.
Aku jadi penasaran dan ingin tahu apa yang membuat
Kelaswara dirundung kesedihan.
Perlu kau tahu, sejak Kelaswara menjadi salah seorang istri
suamiku dan hidup di Koparman, tak sekali pun aku, Rabingu
Sirtupeleli, berbicara kepadanya. Sama seperti Sudarawreti, aku
marah saat tahu Amir Ambyah memboyongnya dari Kaelan sebagai
istri. Saat kudengar dia terlibat pertarungan dengan Adaninggar,
hatiku pun berharap Putri Cina itu yang unggul. Dan ketika tahu
Kelaswaralah yang unggul, kedengkianku kepadanya makin besar.
Dan ketika Sudarawreti bercerita bahwa Amir Ambyah tak lagi mau
berbicara kepada Kelaswara setelah kematian Adaninggar, hatiku
mensyukurinya dan ikut mengutuk-ngutuk kemalangan perempuan
Kaelan itu.
Tapi isakan yang kudengar ini entah mengapa membuat hatiku
ikut merasakan kepedihan. Maka, pelan-pelan kusibak tirai penutup
pintu. Dan perempuan yang selama ini kubenci itu sedang bersimpuh
ASMARALARA-Saroni Asikin 61
di atas karpet dengan kepala tertunduk dan bahu bergerak-gerak kecil
akibat isakan tangisnya dalam posisi membelakangi pintu.
Aku membuka tirai pelan-pelan dan masuk, lalu bergeming.
Kulihat kepalanya bangkit dan dengan gerakan pelan menoleh ke
arahku. Di bawah keremangan cahaya damarsewu, aku tak mampu
melihat wajahnya dengan jelas. Dia bangkit dan berdiri. Setelah
menarik napas panjang-panjang dan mengusapi mukanya, dia berjalan
pelan dan berdiri satu depa di depanku.
Kali ini aku sedikit lebih jelas melihat mukanya. Sisa-sisa
leleran air mata masih jelas terlihat.
“Silakan masuk, Kak Rabingu,” ujarnya lirih sembari
mengisyaratkan agar aku duduk di atas karpet.
Aku mandah dan duduk bersimpuh di atas karpet. Dia segera
melakukan hal serupa.
“Aku tahu,” dia berkata, “selama ini Kak Rabingu, juga Kak
Sudarawreti, sangat membenciku. Kalian berdua makin membenciku
setelah kematian Adaninggar.”
Bibirku komat-kamit tapi lidahku kelu.
“Aku tak mempermasalahkan kebencian itu. Aku tahu, kalian
berdua berhak tidak menerimaku sebagai salah seorang istri suami
kita. Aku sudah biasa tidak disukai. Aku sudah biasa jadi sasaran
kebencian.”
Lidahku masih pejal untuk kugerakkan, lalu kupikir biar
Kelaswara saja yang berbicara.
“Baru saja Kak Rabingu melihatku menangis terisak-isak. Kakak
berhak merasa senang melihat orang terbenci sedang bersedih.
Silakan.... Tapi tahukah, Kak, sejak datang ke Koparman, aku sangat
ingin berhubungan baik dengan siapa pun di sini, terutama semua
istri suamiku. Aku ingin bersantai, mengobrol angin lalu dengan Kak
Rabingu dan Kak Sudarawreti. Bahkan, Kak, sebenarnya aku akan
menerima Adaninggar menjadi salah seorang istri suami kita. Aku
ikhlas. Aku sudah pernah mengutarakan hal itu kepada Amir Am-
ASMARALARA-Saroni Asikin 62
byah, suami kita. Tapi apakah Kak Rabingu tahu jawaban suami
kita?”
Lidahku masih tetap kelu untuk digerakkan sehingga aku hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
“’Tidak, Wara, Adaninggar telah memaklumatkan diri akan jadi
istri Raja Nusirwan, mertuaku. Bagaimana bisa aku menikahi calon
istri mertuaku sendiri?’ Itulah jawaban Amir Ambyah, suami kita.”
Aku menarik napas dan memandang nanap ke sosok Kelaswara
yang bercerita dengan tetap menundukkan muka.
“Itu sebabnya ketika Adaninggar melakukan berbagai upaya
untuk merebut Amir Ambyah dengan memusuhiku, aku tak bisa
diam. Aku menghadapinya. Aku yakin apa yang kulakukan itu adalah
cara seorang istri mempertahankan harga diri dan harkat keluarganya.
Tapi aku keliru, Kak....”
Dia tak melanjutkan kata-katanya dan terguguk. Isakannya kali
ini terdengar lebih keras dengan senggukan yang cepat daripada yang
sebelumnya kudengar dari luar kamar. Setelah isakan tangisnya dia
paksa berhenti, dia berkata lagi, “Aku keliru membaca hati suamiku.
Aku ternyata hanya perempuan pongah yang tak mampu membaca
mata dan hati suami sendiri. Bibir suamiku, ya suami kita, berkhianat
terhadap hatinya sendiri. Adaninggar adalah perempuan istimewa di
dalam hati Amir Ambyah. Dia tak mau lagi berbicara kepadaku
sepeninggal Adaninggar. Dan kau tahu, Kak Rabingu, suami kita
sering tercenung dan selalu terisak-isak ketika berada di depan
pusaranya.”
Hening sejenak. Kudengar dia menarik napas panjang.
“Kau sudah tahu alasanku terisak-isak, Kak. Setelah ini, aku tak
meminta Kak Rabingu, juga Kak Sudarawreti berhenti membenciku.
Aku sudah cukup lega dengan mengutarakan isi hatiku sekarang ini.
Tapi aku masih menyimpan harapan bahwa suatu hari aku bisa
mengobrol santai dengan semua istri suami kita.”
Dia kembali menarik napas panjang. Aku melakukan hal serupa
sebelum bangkit dan berjalan pelan-pelan keluar kamar.
ASMARALARA-Saroni Asikin 63
Di balik tirai kamar Kelaswara, sebelum melangkah menuju
kamarku sendiri, aku menyadari bahwa selama ini aku, juga
Sudarawreti telah bersikap tidak adil kepada Kelaswara. Oh, selama
ini aku melupakan ucapan yang pernah disebut guruku mengenai
kebencian yang membuat seseorang berbuat tidak adil. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 64
Asmaralara Rengganis-Julusul Asikin-Repatmaja
“Oh siapa yang tak silap oleh kecantikan dan pesona, Tuan
Repatmaja? Apakah istri Tuan si Putri Julusul Asikin tidak cantik dan tak
memesona lagi hingga Tuan tak lagi mau bersamanya?”
ASMARALARA-Saroni Asikin 65
CARI NAMAKU DI DAUN-DAUN
ASMARALARA-Saroni Asikin 66
Kali ini dia terkekeh, dan setelah mengibaskan selendang ungu
yang melilit pinggangnya, tubuhnya segera mengambang di atas
kelopak-kelopak kembang. Dia berseru, “Bila memang kita
ditakdirkan saling mengenal, Tuan akan tahu namaku.”
Tubuhnya terbang makin tinggi hingga hilang di balik awan dan
hanya dua ujung selendangnya yang terlihat.
Ketika ujung selendang itu lenyap dari mataku, aku sontak
menyadari bahwa dia bisa terbang. Kesadaran itu hanya membuatku
makin ngungun oleh tanda tanya.
Hanya burung yang bisa terbang, atau kupu-kupu atau lebah.
Apakah dia penjelmaan hewan-hewan itu? Dia suka menyesap nektar
kembang, dan kupu-kupu dan lebahlah penyuka nektar. Tapi bukan,
dia benar-benar sesosok manusia seperti diriku. Atau dia gadis jin?
Bukankah jin bisa menyaru sebagai manusia?
Setelah pertemuan pertama itu, kulewatkan waktu untuk
memikirkannya dan melewatkan hari berlalu di taman itu. Kepe-
nasarananku terhadap dirinya yang bisa terbang terjawab pada kali
kedua kami bertemu bahkan sebelum aku menanyakannya.
Hmm, hanya bikin tambah penasaran saja karena ternyata dia
pembaca pikiran orang yang cempiang.
Setelah puas menyesap-nyesap nektar, dia berkata, “Apakah
hanya kupu-kupu dan lebah yang suka sari kembang? Aku juga, Tuan.
Boleh dibilang aku mencandu nektar kembang sedari usiaku enam
tahun komariah. Aku ingat kali pertama melakukannya ke sekuntum
mawar hutan. Dan ketika tahu aku suka sari kembang, ayahku
membuat taman kecil di tepi hutan yang ditanami aneka bunga. Aku
sering ke hutan itu. Sayang sekali taman itu tak ada lagi. Hanya ada
pusara ayahku di sana.”
Dia berhenti sejenak. “Jadi terjawab sudah kepenasaranan Tuan.
Aku bukan kupu-kupu atau kembang atau burung, dan bukan pula
jenis jin. Jin tak perlu pusara untuk menandai jasadnya yang mati,
bukan? Aku memang bisa terbang. Bila kita ditakdirkan saling
mengenal, dan Tuan berkenan, nanti aku ajari Tuan cara terbang.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 67
Selama dia berkata aku hanya bergeming. Setiap melihat dirinya
aku memang bagai terkena tenung.
“Tapi kalau aku bukan jenis manusia seperti Tuan, apakah aku
masih cantik dan memesona menurut Tuan? Apakah Tuan masih
ingin selalu bersamaku?”
Aku tergeragap dan terbata-bata menjawab, “Bahkan bila dirimu
itu jelmaan tukang sihir jahat....”
Dia tertawa. “Nah, Tuan masih ingin tahu namaku? Sudah
kutuliskan nama itu di selembar daun di rumpun kembang yang ada
di taman ini. Tuan bisa mencarinya di antara daun-daun itu. Tuan
akan menemukannya bila kita memang ditakdirkan saling mengenal.”
Dia terbang, seperti yang sudah-sudah. Ketika tubuhnya telah
hilang di balik awan, aku mulai menyigi daun demi daun. Aku terus
melakukan itu hingga kurasakan sengatan matahari.
Ups, telah tengah hari, padahal matahari baru sepenggalah
ketika daun pertama kusibak.
Masih belum juga kutemukan namanya. Aku hampir putus asa
ketika terdengar kikikan dari atas taman. Kulihat sosoknya yang
terbang dan melempar sesuatu. Selembar daun. Daun itu melayang
dan aku mengejarnya.
“Tuan segera tahu namaku dan bila kita ditakdirkan saling
mengenal, kita akan bertemu lagi. Bila tidak....”
Aku ingin berteriak padanya bahwa tentu saja aku sangat ingin
bertemu dengannya. Selalu. Tapi daun itu harus kutangkap dulu.
Setelah berada di tanganku, nama yang tergurat di daun itu
tertulis: Rengganis.
Oh, Rengganis! Tak pernah kudengar nama itu. Aku punya
kuasa untuk menggerakkan orang-oramg satu kerajaan untuk
mencarinya, tapi apakah itu harus kulakukan?
Sembari menggenggam daun bertuliskan nama Rengganis, aku
mendesah dan tercenung.
Oh andai manusia bisa membaca takdirnya, maka aku akan tahu
apakah aku akan bertemu lagi dengannya atau tidak. Ketika sudah
ASMARALARA-Saroni Asikin 68
melangkah keluar taman, aku sadar: bila orang telah mengetahui
takdirnya maka tak akan ada lagi misteri dan rahasia. Apa asyiknya
hidup tanpa misteri dan rahasia?
Rengganis, kau adalah misteri yang layak untuk kusingkap....(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 69
kesepian hari-harimu di sebuah kamar mewah di Puri Pangeran
Kaelan? Masihkah seekor burung dalam sangkar emas seperti diriku
mampu mencuit betapapun itu cuitan pedih?”
Ya, lelaki yang terbaring itu, yang terdera demam tinggi dan
bibirnya selalu menggumamkan nama yang sama sekali tak kukenal
itulah penyebab segala penderitaanku. Ya, dialah lelaki yang
membuatku telah beberapa kali berpikir untuk pulang ke Jamintoran,
ke pangkuan ibuku, ke hadapan ayahku Sang Raja Sadarsalam. Dialah
pula lelaki yang telah membuatku sempat berpikir untuk mengakhiri
hidup dengan menenggelamkan diri ke dalam telaga di tengah Taman
Banjaransari.
Kadang-kadang di puncak penderitaan dan kesepianku, aku
menyalahkan takdirku. Kenapa dulu Pangeran Repatmaja, si putra
Amir Ambyah yang terkenal itu harus tersesat ketika berburu hingga
ditangkap prajurit Jamintoran? Kenapa dulu kami harus bertemu dan
bisa saling jatuh cinta, lalu dipertunangkan, lalu dibuhulkan dalam
ikatan perkawinan? Tapi kenapa rasa cintanya hanya bertahan tiga
purnama sementara cintaku kepadanya tetap bersemayam dan
mengerak di hatiku, bahkan hingga kini? Hingga kini setelah
berbulan-bulan dia mengabaikanku. Ah, mengabaikan itu ungkapan
yang terlalu halus karena bahkan tersenyum atau mau memandang
sekejap wajahku pun dia sudah tak mau. Hanya seseorang yang mati
hati saja yang bisa melakukannya.
Apakah karena aku tidak cantik lagi? Apakah karena aku tidak
memesona lagi sehingga gairahnya kepadaku lenyap begitu saja?
Tidak mungkin bila alasannya seperti itu. Tanya saja setiap
orang di Kaelan atau Jamintoran. Tanyakan seperti apa gambaran
perempuan bernama Julu Sulasikin, atau ada yang menyebutku
Julung Sulasikin atau Julusul Asikin. Beberapa pujangga istana
bahkan sering menulis puisi tentang diriku, dan sebagian besar
mereka menggambarkan diriku serupa bidadari dari surga.
Ah, sudahlah, sudahlah! Buat apa segala puja-puji tentang diriku
ketika diriku sebenarnya telah mati bagi Pangeran Repatmaja, satu-
ASMARALARA-Saroni Asikin 70
satunya lelaki yang kucintai di dalam hidupku. Sebenarnya pula aku
tahu, penderitaanku ini akan berakhir bila berakhir pula cintaku
padanya.
Tapi seperti sudah kukatakan kepadamu, hingga kini setelah
berbulan-bulan aku terdera penderitaan oleh sikap si lelaki yang
sedang sakit itu, cintaku kepadanya telah mengerak di dalam hatiku.
Tak berkurang bahkan seukuran sebutir debu sekalipun. Dan sudah
ratusan (ah mungkin ribuan) kali, aku mengucapkan kata-kata kepada
diriku sendiri, “Kau bertahan di dalam penderitaan karena kau
memiliki cinta, Julusul. Dan kau telah memilih cinta di atas segala-
galanya, bukan?”
Kuakhiri renunganku ketika kudengar lagi gumaman nama
“Rengganis” berulang-ulang dari bibirnya. Kuseka bulir-bulir keri-
ngatnya dan kuganti kompres di dahinya.
Aku tak ingin tahu siapa pemilik nama itu. Aku yakin itu nama
perempuan. Mungkin juga itu perempuan yang telah membuatnya
mengacuhkanku. Mungkin juga ada seribu perempuan lainnya.
Mungkin pula ada ribuan “Rengganis”.
Cemburukah aku? Marahkah aku? Ah, perempuan yang telah
mampu menanggung penderitaan selama berbulan-bulan itu sudah
kehilangan kata cemburu dan marah. Yang ada hanya kata cinta. Dan
aku yakin, cintaku punya kekuatan. Kekuatan itu berupa harapan, ya
harapan seredup apa pun bahwa suatu hari Pangeran Repatmaja akan
kembali mencintaiku.
Dan ketika memandanginya menggumamkan nama Rengganis,
batinku berbisik, “Ayolah Pangeran Repatmaja, ayolah suamiku,
sebutlah sekali saja namaku, sebutlah nama Julusul Asikin, bukan
Rengganis atau lainnya....”
Tapi semalaman aku menungguinya, masih juga nama itu yang
dia gumamkan.(*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 71
UJIAN UNTUK REPATMAJA
ASMARALARA-Saroni Asikin 72
taman, aku bersembunyi di balik rimbunan kembang. Sejak
pertemuan pertamaku dengannya, kuakui aku menyukai dirinya. Tapi
aku telah memutuskan untuk menguji seorang lelaki yang kasmaran
pada pandangan pertama. Yap, kuanggap ini permainan perasaan
yang mengasyikkan.
Maka meskipun sebenarnya sejak pertemuan pertama itu aku
selalu ada di taman dan melihat dirinya menungguku dari pagi hingga
senja, kujadikan diriku tidak tampak dari penglihatannya. Untuk
kemampuan menghilangkan tubuh dari pandangan orang juga tak
perlu kautanya dari mana karena akan kujawab itu juga rahmat tuhan.
Ya, selama beberapa hari melihatnya gelisah menunggu
kedatanganku, aku telah memikirkan untuk membalas kasmarannya.
Bahkan bila dirinya meminangku sebagai istrinya, aku pun akan
menerimanya. Tapi aku punya satu syarat, syarat yang kemungkinan
akan diterima lelaki manapun dengan suka cita. Siapa pun yang mau
menikahiku harus pula bersedia menikahi Kadarmanik. Jangan
kauragukan kecantikan gadis dari Mukadam itu. Banyak pangeran
telah datang meminangnya. Bahkan sekarang ini, saat aku berada di
taman ini, dia sedang sangat bersedih karena dia telah dipaksa
bertunangan dengan Pangeran Hirman, putra Raja Medayin.
Ya, aku mau jadi istri Pangeran Repatmaja dengan syarat dia
juga memperistri Kadarmanik. Hahaha, kau boleh menyebut hal itu
bukan syarat melainkan tambahan berkah....
Tapi untuk itu, si pangeran harus diuji. Aku akan mengatakan
hal-hal buruk tentang Kadarmanik, hal-hal yang kemungkinan besar
membuat lelaki bergidik membayangkan memiliki istri seperti yang
akan kusebutkan.
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 73
Begitu melihatku, mulutnya berkali-kali mengucapkan kalimat
syukur dan segera dari bibirnya keluar repetannya untuk tak mau lagi
berpisah denganku. Dan inilah saat untuk mengujinya.
Kukatakan kesediaanku. Dia kembali mengucapkan kalimat
syukur.
“Tapi aku punya syarat: Tuan juga harus menikahi
Kadarmanik.”
“Siapa dia?”
“Gadis yang tak bisa dipisahkan dari kehidupanku.”
“Tapi aku hanya mencintaimu, Rengganis.”
“Tapi itu syaratku. Menerima, Tuan beroleh dua istri. Tidak
menerima....”
“Kuterima apapun syaratmu.”
“Jangan terburu-buru memutuskan, Tuan. Kadamanik ini buruk
muka, bermata picak, dan berbibir sumbing. Tubuhnya hitam dan
kurus kering. Tangan dan kakinya berbulu sampai-sampai orang
menghinanya sebagai putri iblis.”
Aku berhenti sejenak untuk melihat reaksinya. Dia tampak
terkesiap dan mengernyitkan kening.
“Tak hanya itu. Dia juga menderita lepra, makanya dia
diasingkan. Begitulah dia. Bersedia, Tuan?”
Dia tak menjawab. Kepucatan mukanya kembali tampak.
“Itu syaratku. Pikirkan itu, Tuan. Kuharap Tuan sudah
memberikan jawaban pada pertemuan kita berikutnya, itu bila Tuhan
memperkenankan kita bisa kembali bertemu.”
Aku terbang meninggalkan Pangeran Repatmaja. Di antara
awan-gemawan, aku tertawa melihat sosoknya yang mirip seonggok
pakaian lungset. Apakah dia akan menerima Kadarmanik? Entahlah.
Yang pasti, aku akan menemui Kadarmanik, dan kami yakin akan
tertawa-tawa saat aku menceritakan hal ini kepadanya. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 74
Asmaralara Renuka-Citrarata-Jamadagni
Kalian tak perlu tahu apakah aku menyesal atau tidak. Cukup kalian
tahu, beberapa saat bersama Citrarata mampu mengubur penderitaanku
selama lebih dari tiga warsa. Sesaat bersama Citrarata, kebahagiaanku tak
sebanding dengan isi semesta. Bila setelah kematianku, namaku akan selalu
disebut bila ada yang kawin gandarwa, para peselingkuh, para pelancung,
dan aku akan dihujat-hujat, aku akan menerimanya.
ASMARALARA-Saroni Asikin 75
PENGAKUAN PEREMPUAN PESELINGKUH
SEBELUM DIHUKUM MATI
ASMARALARA-Saroni Asikin 76
“Suamiku,” lirih aku berkata, “izinkan istri dan ibu penuh dosa
ini bercerita sebelum kepalaku menggelundung oleh kapak putra
tercinta kita, Bargawa.”
***
SUAMI dan anak-anakku, ceritaku ini bukan untuk membela
diri melainkan untuk mengurai beban hatiku sejak diriku diboyong ke
Istana Kanyakawaya. Aku tak butuh pembelaan karena aku memang
telah berdosa, dosa yang kulakukan sepenuh kesadaranku.
Aku hanya ingin kalian tahu bahwa aku telah mampu berpura-
pura bahagia lebih dari tiga warsa, dan tentu saja itu lebih lama dari
usia Rumawan.
Ketahuilah, di istana ayahku Raja Prasnajid, aku adalah putri
raja yang periang dan lincah seperti seekor prenjak. Dan hari ketika
Jamadagni, Raja Kanyakawaya memboyongku sebagai istri, itulah
hari kepura-puraanku dimulai. Aku sering membasahi bantal pada
malam-malam aku kesepian dan bersedih. Sudah ratusan kali aku
terguguk di bahu para biti perwara. Tapi begitu keluar kamar, aku
harus berperan sebagai ratu yang terlihat bahagia.
Ke mana suamiku ketika aku butuh bahu untuk bersandar dan
telinga untuk menampung suara batinku?
Dia tak peduli. Sejak menjadi istrinya, kalimat yang kudengar
darinya hanyalah kalimat perintah. Dia tak pernah mau berbicara
kepadaku. Dia hanya datang kepadaku ketika ingin menuntaskan
berahinya. Masuk ke kamar, membuka seluruh busana, dan aku sudah
harus tahu apa yang dia inginkan.
Waktu berlalu dalam kepura-puraanku sebagai perempuan
paling mulia di seantero Kanyakawaya. Sementara suamiku menua,
mengeriput kulit tubuhnya, dan kelima anakku tumbuh dewasa, aku,
Renuka si putri Raja Prasnajid tetap bertubuh gadis dengan gairah
berahi seorang perempuan muda. Perempuan mana yang tak ingin
kemudaan tubuhnya lestari? Aku tentu saja mensyukurinya sebagai
karunia. Tapi karunia itu pula yang membawaku ke langkah yang
menerabas tata susila.
ASMARALARA-Saroni Asikin 77
Harus kutegaskan pada kalian, aku mampu menindas perasaan
dan gejolak berahi itu lebih dari tiga warsa. Lalu keputusan suamiku
lengser keprabon dan menjadi pertapa di Hutan Dewasana ini makin
membuatku menderita. Tanpa pernah membicarakannya denganku,
juga pasti dengan kalian berlima, Jamadagni memutuskan
menyerahkan kerajaan kepada orang lain dan hidup berlarat-larat di
sini.
Lalu datanglah hari yang akan kalian sebut sebagai hari terlak-
nat, tapi buatku adalah hari kelahiran kembaliku.
Suatu pagi, saat aku mencari reranting kayu, kudengar tawa
kecil dari Telaga Ngringin. Dari balik dedaunan, kulihat seorang
lelaki muda tampan bersama lima perempuan yang semuanya cantik.
Mereka asyik mandi.
Mendadak kepalaku pusing dan entah drubiksa mana
merasukiku. Ada bisikan agar aku ikut mencebur ke telaga.
Aku mampu bertahan dengan tetap bersembunyi. Kakiku
gemetaran. Lalu saat mereka selesai, kubuat diriku seolah-olah tak
sengaja berpapasan dengan mereka.
Tak perlu kuceritakan lebih rinci, yang pasti, Citrarata meminta
kelima istrinya pulang ke istana beserta para biti perwara dan
pengawal. Maka terjadilah yang semestinya tak terjadi. Dan itu
berulang beberapa kali sebelum aku disidang di hadapan kalian.
Kalian tak perlu tahu apakah aku menyesal atau tidak. Cukup
kalian tahu, beberapa saat bersama Citrarata mampu mengubur
penderitaanku selama lebih dari tiga warsa. Sesaat bersama Citrarata,
kebahagiaanku tak sebanding dengan isi semesta.
Bila setelah kematianku, namaku akan selalu disebut bila ada
yang kawin gandarwa, para peselingkuh, para pelancung, dan aku akan
dihujat-hujat, aku akan menerimanya.
Tapi aku harus meminta maaf kepada kalian lantaran
perbuatanku telah membuat kalian marah, kecewa, dan bersedih. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 78
Asmaralara Jonggrang-Bandawasa
ASMARALARA-Saroni Asikin 79
KIDUNG RARA JONGGRANG
ASMARALARA-Saroni Asikin 80
kalian semua, Tapi melihatmu, entah mengapa, diriku tertikam
asmara. Aku merasa kau belahan jiwaku, Jonggrang.”
Kudengar dia tertawa kecil. “Bahkan bila aku kaupenjarakan
seumur hidup, aku tak akan pernah mau menjadi istrimu.”
Beberapa saat hening.
“Apakah kata-kata seorang pembunuh bisa dipercaya?” dia
bertanya.
“Tentang apa? Tentang asmaraku kepadamu? Kau perlu
pembuktian seperti apa?”
Lagi-lagi hening beberapa saat. Lalu dia bangkit dan dengan
pandangan tak semarah sebelumnya, dia berkata, “Kudengar kabar
kau orang digdaya. Kau sendiri yang menawarkan pembuktian rasa
asmaramu kepadaku. Dengarkan, Bandawasa! Buatkan aku sumur
yang dalam dan dilengkapi dengan taman kolam petirtaan dari batu-
batu Gunung Merapi. Itu harus selesai selama matahari tidur. Aku
ingin juga kaubuatkan seribu candi yang indah dalam semalam. Bila
kau gagal, aku tak akan pernah sudi menerimamu.”
Dalam hati aku tersenyum. Kedua permintaannya bukan
perkara sulit untuk orang yang menguasai ratusan ribu jin seperti
diriku, si Bandung Bandawasa.
“Hanya itu? Aku akan mewujudkannya meskipun aku akan
berbahagia bila hatimulah yang menerima rasa asmaraku.”
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 81
Sebenarnya mudah buatku untuk menghancurkan batu-batu itu.
Tapi ketika kusadari bahwa Jonggrang tak akan pernah menerima
asmaraku dan lebih menginginkan aku mati, maka dengan
kemampuanku, aku menembus tanah dan keluar dari dalam bumi
pada jarak seratusan depa dari orang-orang yang terlihat masih terus
menimbuni sumur buatanku. Mereka tak tahu aku telah tak ada di
dasar sumur. Dari tempatku bersembunyi kudengar tawa keras
Jonggrang.
Orang-orang bubar ketika sumur buatanku telah benar-benar
tertimbun batu. Aku mencari pohon yang lebat dan tidur di antara
dahannya. Sebelum lelap aku tersenyum membayangkan muka
terkejut Jonggrang saat aku menemuinya nanti, pada hari terang.
Dia memang terkejut tapi segera menagih seribu candi yang
harus kubuat dalam semalam. Aku hanya tersenyum dan berkata,
“Aku tahu kau akan mengkhianati janjimu. Tapi aku akan tetap
membuat seribu candi untukmu. Oh aku akan berbahagia andai
hatimulah yang menerima asmaraku, bukan mulutmu. Mulut bisa
setiap kali berdusta.”
Sekali lagi kukatakan, membuat seribu candi bukan perkara
sulit. Ketika 24928 candi telah rampung, kudengar suara Jonggrang
berkidung: “Akulah penghamba asmara, tapi kenapa hatiku membatu?
Kenapa hatiku membatu untuknya? Dan hati batuku akan abadi hingga
dunia purna.”
Kusimak kidung itu. Suaranya merdu. Tapi hatiku begitu perih
ketika menyadari dirinya tak akan pernah menerimaku. Aku
mungkin akan memiliki tubuhnya, tapi tidak hatinya. Ya, Jonggrang
tak akan pernah bisa kumiliki jiwa dan raganya. Lalu kuperintah
semua jin bubar dan menghentikan pembuatan candi. (*)
28
Meskipun sering disebut Candi Sewu, candi di Kompleks Prambanan berjumlah 249.
ASMARALARA-Saroni Asikin 82
CERITA CINTA DI DALAM PATUNG DURGA
***
INILAH cerita jin yang terlibat dalam proses pembuatan patung
Durga.
ASMARALARA-Saroni Asikin 83
Setelah meminta kita tak melanjutkan pembuatan candi, Tuan
Bandawasa pergi dan menyepi di sebuah gua. Setiap hari dari saat
matahari muncul hingga lenyap di barat, dia berdiri di suatu tempat
dengan pandangan mengarah ke Istana Baka. Selama saptahari dia
begitu. Lalu pada hastahari29 dia memanggilku. Aku yang saat itu
sedang menghadiri perkawinan keponakanku di Samarkand segera
terbang menemuinya.
“Rucika, bawakan aku batu besar dan setinggi pohon kalpataru.”
Seperti yang sudah-sudah, aku menyatakan kesediaan tanpa
bertanya, tanpa membantah apa pun. Saat itu aku hanya perlu
beberapa kejap untuk ingat di mana pernah melihat batu yang
dikehendaki Tuan Bandawasa.
Aku terbang dan kembali ke hadapan Tuan Bandawasa dengan
memanggul sebongkah batu besar dan tinggi. Tuan tersenyum dan
memintaku memberdirikan batu itu di bawah kerindangan
brahmastana. Dia lalu memintaku mengambilkan peralatan memahat.
“Pergilah ke Istana Baka. Tunggu hingga malam. Sirep Putri
Jonggrang lalu bawa kemari. Kalau sampai putri itu terbangun
sebelum dia berada kembali di pembaringannya, kau akan kuhukum.”
Lagi-lagi tanpa bertanya apa pun, kupatuhi perintahnya. Uuh,
ketika memandangi Putri Jonggrang yang tertidur dengan kain yang
agak tersingkap, aku hampir saja tergoda untuk memerkosanya.
Hmm, kalau aku tak takut terhadap hukuman dari Tuan
Bandawasa....
Lalu kulakukan apa yang diperintahkan. Aku agak terkejut
ketika melihat ratusan obor menyala menerangi sebuah dangau kecil
di dekat pohon brahmastana. Ada tilam terbungkus kain dan Tuan
Bandawasa memintaku membaringkan Putri Jonggrang di situ. Dia
lalu berlama-lama memandangi wajah si putri yang lelap itu sebelum
dia mulai menatah batu besar itu. Beberapa saat setelah menatah batu,
Tuan Bandawasa kembali berlama-lama memandangi si putri. Lalu
29
Saptahari: tujuh hari; hastahari: delapan hari
ASMARALARA-Saroni Asikin 84
sebelum celeret jingga membias di langit timur, dia memintaku
membawa kembali sang putri ke kamarnya di Istana Baka.
Begitulah setiap malam. Aku ingat, pada malam pertama, Tuan
Bandawasa hanya berhasil menatah dua mata yang terbuka. Kalau
dipandang dengan saksama, kedua bola mata itu seolah-olah hidup.
Dan kalau aku tak keliru menghitung, itu berlangsung selama lima
saptahari hingga patung itu kini berada di tempat yang kita lihat
sekarang.
“Tapi mengapa sosok itu Durga yang berdiri di atas seekor
kerbau, lengkap dengan empat tangan dan segala peralatan milik sang
betari sesembahan tersebut?” tanya Kalpika.
“Aku tak berani menanyakan hal itu kepada Tuan Bandawasa.
Bukankah kita para jin yang tunduk kepadanya tak pernah
menanyakan sesuatu selain memenuhi perintahnya?” balas Rucika.
“Aku hanya menduga, patung Durga berwajah Jonggrang itu
ungkapan cinta tuan kita.”
“Kalau tuan kita mencintainya, mengapa tak memperistrinya
saja? Itu bukan perkara sulit.”
“Aku pun bertanya-tanya seperti itu. Aku tak tahu mengapa.
Tapi tuan kita pernah berkata kepadaku, 'Rucika, aku sangat
mencintai Jonggrang. Tapi dia menampikku. Memaksa memper-
istrinya hanya membuatnya menderita. Seorang pencinta sejati tak
mungkin menyakiti yang dicintainya. Tapi aku tetap menyimpan
harapan: suatu hari dia akan menerimaku. Aku akan menunggunya,
bahkan bila itu tepat pada saat kematianku tiba.” (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 85
SELEMPIR LONTAR DARI BANDAWASA
***
ASMARALARA-Saroni Asikin 86
dinding candi. Dharmadyaksa ring Kasaiwan30 beberapa kali
menceritakannya, dulu ketika Keraton Baka belum dihancurkan
Bandawasa. Itu kisah Sinta yang diculik Rahwana dari Alengka,
penculikan yang memicu perang besar yang melibatkan bala tentara
kera31. Aku ingat, aku sering membayangkan kemungkinan hati Sinta
pada akhirnya luluh dan menerima asmara penculiknya.
Setiap memandangi pahatan yang menggambarkan penculikan
Sinta, ingatan tentang kemungkinan Sinta bisa menerima asmara
Sang Rahwana itu selalu menyergap benakku. Aku tersenyum dan
tersipu-sipu sendiri ketika menyadari sebenarnya itulah diriku yang
akhirnya luruh oleh asmara sejati Bandawasa.
Tapi setelah itu, aku kembali bertanya-tanya mengapa
Bandawasa menatahkan cerita itu pada dinding candi? Apakah dia
ingin mengingatkanku bahwa dirinya tak ingin melakukan seperti
yang dilakukan Rahwana? Ah, sudahlah! Yang pasti, setelah
kepergian Bandawasa itu, si Rara Jonggrang ini, bukan lagi gadis
periang. Dia melewati hari-harinya dalam kepedihan dan penyesalan.
Dia melewatkan hari-harinya dengan menyimpan harapan: suatu hari
Bandawasa akan datang.
Tapi dia tak datang-datang juga. Yang sampai kepadaku adalah
kabar tentang sebuah patung besar Durga Mahisasuramardini, yang
wajahnya menurut orang-orang adalah wajahku. Itu lima saptahari
setelah dia menghilang. Dan ketika aku menyaksikan sendiri, aku
terpesona sekaligus heran saat melihat wajah patung itu. Itu benar-
benar wajahku, dan aku yakin siapa pembuatnya. Lelaki itu. Tapi
bagaimana bisa dia menatah wajah sepersis wajahku sementara kami
hanya bersua dua kali dan hanya sekilasan bersipandang? Oh,
Bandawasa, apakah sebenarnya kau itu angin yang selalu berada di
sekitarku? Apakah kau sengaja menghilangkan sosokmu dan
sebenarnya kau selalu berada di dekatku?
30
Dharmadyaksa ring Kasaiwan adalah sebutan untuk pemuka Hindu Siwa.
31
Relief di Candi Prambanan menatahkan nukilan kisah Ramayana dan Kresnayana.
ASMARALARA-Saroni Asikin 87
Kukatakan kepadamu sekali lagi, segala pertanyaan tentang
dirinya membuatku bukanlah gadis yang sama. Kepedihan dan
harapan yang terus meredup mengenai kedatangannya kutumpahkan
ke dalam lontar-lontar dan kidung. Hari terang kulalui dengan
menggurat lontar yang aksaranya menyuarakan kerinduan tak
berujung. Dan pada hari kelam, aku melantunkan kidung-kidung
asmara yang perih.
Lalu pada pagi aku bangun setelah tidur yang gelisah dan penuh
mimpi buruk, di petilamanku selempir lontar tergeletak. Kuambil
lempir lontar itu dan bertanya-tanya siapa yang telah kurang ajar
masuk ke kamarku saat aku tidur dan meninggalkan selembar daun
tal itu. Aku hampir berteriak kepada biti-biti perwara, tapi
kuurungkan ketika mendadak benakku berpikiran bahwa dialah
pengirim lontar ini.
Kupanggil biti perwara dan kuminta dia mengambilkan tingkih.
Beberapa saat kemudian ketika telah kuolesi lempir lontar itu dengan
tingkih32, apa yang tergurat dengan jelas kubaca: “Jonggrang, aku bisa
mati tapi tidak asmaraku kepadamu. Kapan kaubuka hatimu?”
Aku gemetar dan air mataku meleler begitu saja. Aku tahu, aku
bisa menggurit lontar berisi tentang hatiku yang telah terbuka
untuknya. Tapi ke mana aku harus mengirimkannya? (*)
32
Tingkih adalah minyak kemiri untuk mengolesi lontar agar bisa dibaca. Ada juga yang
menggunakan bubuk kapur atau jelaga.
ASMARALARA-Saroni Asikin 88
Asmaralara Mendut-Wiraguna-Pranacitra
“Andai saja aku tidak jatuh hati sejak melihatmu, saat ini juga aku
akan memerintahkan pengawal untuk menyeret dan melemparkan tubuhmu
ke kandang buaya.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 89
PANGLIMA PERANG YANG TAKLUK DI HARIBAAN CINTA
ASMARALARA-Saroni Asikin 90
“Jangan samakan aku dengan Pragola. Lelaki pembangkang
yang kini berkalang tanah Sendang Sani itu dengan kekuasaannya
telah merampas kau dari keluargamu.”
Mendengar ucapannya, aku tak tahan untuk tidak menyergah.
Apalagi mendadak aku memiliki keberanian besar untuk menentang
kata-katanya. Bila dia macan terimpit kayu besar, aku si rusa cantik
yang akan bersenandung di hadapannya.
“Jadi ke bumi Mataram dan terkurung di Puri Ketumenggungan
itu atas kesediaan diri sahaya? Jadi sahayakah yang memohon-
memohon untuk diboyong ke Tanah Mataram?”
Tumenggung Wiraguna kembali menghela napas panjang. Tiga
kali dia berdeham lalu batuk-batuk seolah-olah tenggorokannya
tercekat sesuatu yang sangat pahit.
“Pati Pesantenan membangkang, dan si pembangkang harus
dihancurkan. Semua miliknya menjadi milik si pemenang, dan
kamilah si pemenang.”
“Tapi sahaya bukan milik Pragola. Paduka sudah pasti telah
mengetahui bahwa sahaya belum juga menjadi selirnya. Bahkan satu
kalipun sahaya belum bersua dengannya.”
Dia memandangku dalam tatapan keheranan. “Tak sekalipun
menyentuhmu?”
Aku mendengus.
“Aku pun tak sekalipun menyentuh tubuhmu.”
“Dan sahaya tak akan pernah membiarkan Paduka menyentuh
tubuh sahaya selama nyawa masih dikandung badan sahaya.”
Mendadak dia bangkit dari duduknya lalu memukul meja.
Terdengar bunyi kayu patah. Meja itu sempal. Tak pelak aku terkejut
dan gemetar. Tanpa memandangku Tumenggung Wiraguna bergegas
menuju pintu keluar. Tapi di ujung pintu, dia berhenti. Timpaan
cahaya matahari menciptakan bayang-bayang di lantai yang ketika
kupandangi memperlihatkan sosok seseorang yang lemah. Lalu tanpa
menoleh ke arahku, dia berkata lirih, “Andai saja aku tidak jatuh hati
ASMARALARA-Saroni Asikin 91
sejak melihatmu, saat ini juga aku akan memerintahkan pengawal
untuk menyeret dan melemparkan tubuhmu ke kandang buaya.”
Jujur saja, aku gemetar mendengar ucapannya.
“Oh andai ketika berhadapan dengan rasa cinta, si Wiraguna ini
lelaki yang sama dengan yang ada di medan laga....”
Kudengar langkahnya menjauh. Aku segera duduk lalu
membaringkan tubuh di petilaman. Pikiranku berkecamuk antara
kebencian buta kepada Tumenggung Wiraguna dan perasaaan
kasihan kepadanya. Tapi bagaimanapun aku harus mengakui, dia
telah mengatakan semuanya dengan jujur. Aku merasakan ketulusan
di dalam ungkapan cintanya. Tak terasa air mataku meleler. Leleran
itu semakin deras ketika mendadak aku merasa ragu-ragu bahwa
kekasihku, Kakang Pranacitra akan membuktikan cintanya dengan
mencariku.
Keesokan harinya Tumenggung Wiraguna datang lagi. Tak
seperti sehari sebelumnya, kulihat mukanya tampak agak riang.
Begitu duduk, kalimat-kalimatnya segera meluncur, “Mendut, kau
masih tetap bersikukuh?”
Aku mengangguk.
“Baiklah, Wiraguna bukan lelaki pemaksa. Aku telah
mengungkapkan perasaanku. Lega rasanya. Kupikir sebaiknya kau
kukembalikan ke keluargamu. Tapi aku lalu ingat, Kanjeng Sultanlah
yang memberikanmu kepadaku sebagai hadiah atas jasaku ikut
menaklukkan Pati Pesantenan. Beliau akan murka bila tahu kau
kupulangkan. Aku akan dianggap tak menghormati pemberian
seorang sultan. Jadi... baik-baiklah kau di sini hingga beberapa waktu
lagi, hingga aku menemukan cara terbaik untuk memulangkanmu.
Hmm, tapi aku akan lebih suka bila kau jadi betah di sini....”
Dia tertawa kecil. Entah mengapa, mendengar tawanya itu aku
merasa lelaki itu bukan lelaki kemarin yang tulus mengungkapkan
cinta. (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 92
PEREMPUAN YANG MEMILIH
BERJUALAN ROKOK LINTINGAN
ASMARALARA-Saroni Asikin 93
Tapi aku begitu berbahagia karena mencintainya. Itu karunia Allah
yang begitu besar untukku. Dan karena itu, aku tak akan lagi
memaksa Mendut untuk menerima diriku. Aku tak akan mem-
buatnya menderita. Mengembalikannya ke Pati Pesantenan adalah
wujud rasa cintaku, seperih apa pun hatiku kehilangan dirinya dari
pandangan mataku. Aku bahkan akan siap menanggung beban
cemburu bila dia nanti bersuami. Aku mendengar kabar dia memiliki
kekasih seorang pemuda anak saudagar dari Pekalongan. Aku akan
siapkan hatiku untuk merelakannya bersanding dengan pemuda yang
kudengar bernama Pranacitra.
Ya, nanti saat menemui Mendut, aku akan mempersilakan
dirinya pulang. Aku juga telah meminta bendahara Ketumenggungan
untuk memberinya bekal hidup selama beberapa waktu. Aku juga
telah meminta beberapa orang kepercayaanku untuk mengawal
perjalanan pulangnya.
Tapi, oh Gusti Allah, mohon ampun. Manusia memang tak bisa
menerka cakrawarti kehidupan. Keputusan yang telah kuambil itu
harus kutarik kembali. Betapa sakitnya. Tapi ini juga menunjukkan
bahwa ternyata Tumenggung Wiraguna selalu kalah oleh kekuasaan.
Ya, sore itu, tak lama setelah aku memutuskan akan
memulangkan Mendut pada keesokan harinya, seorang duta dari
Keraton Karta di Plered datang menyampaikan kabar agar aku
menghadap Kanjeng Sultan Agung.
Tak perlu kuceritakan panjang lebar soal penghadapanku di
keraton. Tapi aku pulang dengan hati masygul dan setiap derap kaki
kuda yang kupacu bagaikan pukulan tanpa henti ke batinku. Kanjeng
Sultan bertanya tentang Mendut dan meyakinkanku bahwa
perempuan itu akan menjadi kembang di Ketumenggungan
Wiragunan.
“Itulah mengapa dulu aku menganugerahkannya untukmu. Kau
orang paling kupercaya dan layak beroleh anugerah yang baik. Jangan
sia-siakan dia.”
ASMARALARA-Saroni Asikin 94
Ya, kalimat-kalimat itu menderu-deru di dalam hatiku
bersamaan dengan derap kaki kudaku.
Malam itu sepulang dari keraton aku tak bisa tidur. Keesokan
paginya, sebelum menemui Mendut, aku harus beberapa kali ke
kamar kecil. Aku jadi ingat kegelisahan dan kecemasan kali pertama
aku akan terjun ke palagan saat aku masih prajurit rendahan. Oh
Gusti, keberanianku luluh lantak di hadapan Mendut....
Lalu aku memang bisa menyampaikan segalanya: tentang
rencana pemulangannya yang gagal hanya karena aku khawatir
dianggap mengingkari anugerah seorang raja. Betapa perihnya hatiku
mengingat muka piasnya saat kusampaikan semuanya dengan disertai
tawa kecil. Oh, andai kaupercaya, aku tertawa hanya untuk
menyelubungi beban perih di dadaku....
Dan yang lebih perih lagi datang beberapa hari setelahnya ketika
dia berkata dengan nada keras saat aku menemuinya. “Karena sahaya
tetap menolak menjadi selir Paduka, sahaya tak ingin hidup sahaya
ini ditanggung Ketumenggungan. Izinkan sahaya mencari
penghidupan sendiri. Sahaya bisa berjualan seperti dulu sahaya ikut
menjual ikan tangkapan ayah sahaya. Sahaya hanya memohon
Paduka sudi memberikan pinjaman untuk modal sahaya berdagang.
Seorang biti perwara memberi tahu sahaya bahwa orang di sini sangat
suka mengisap rokok. Sahaya yakin tangan sahaya ini sanggup
melinting tembakau yang bisa sahaya jual.”
Oh, Mendut, Mendut, andai semua perempuan seperti dirimu,
masihkah para lelaki bisa menyombongkan diri? Oh Gusti Allah,
haruskah kupenuhi permintaannya? (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 95
PRANACITRA DAN LANGIT YANG RUNTUH
PAGI itu aku berpamitan kepada kedua orang tuaku untuk pergi
ke Semenanjung Muria. Tak seperti biasa, kali ini kepergianku tidak
untuk urusan mencari barang dagangan. Aku akan pergi ke rumah
orang tua Mendut, dan kedua orang tuaku sangat berharap aku
kembali ke Pekalongan bersama menantu mereka.
Menantu? Ah, aku pun belum yakin Mendut, kekasihku, akan
bersedia kunikahi dan kuajak ke rumah orang tuaku. Namun aku
sangat yakin, aku sangat mencintainya. Kalau dia bersedia menjadi
istriku dan memintaku tinggal di desanya, aku akan bersedia. Toh
aku bisa ikut mencari ikan dengan bapaknya. Aku yakin, tangan
pedagangku akan mampu melakukan pekerjaan berat di laut.
Dari Bandar Pekalongan, tak ada kapal dagang yang siap
berlayar. Karena itu, aku menumpang perahu nelayan yang mencari
ikan hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar Semenanjung Japara.
Mereka menurunkanku di Bandar Japara sebelum melanjutkan
pelayaran ke utara. Aku tinggal melanjutkan perjalanan darat dengan
pedati yang ditarik kerbau. Ada begitu banyak bajingan33 yang
mengangkut ikan-ikan ke wilayah pedalaman.
Di Bandar Japara, begitu menjejakkan kaki di pasir pantai,
kuhirup udara asin sambil membayangkan wajah kekasihku, nun di
sana di bagian timur pulau semenanjung ini. Rindukah dia kepadaku?
Ketika seembusan angin pekat menerpa wajahku, entah
mengapa aku digoda oleh keragu-raguan. Masihkah dia menungguku
seperti janjinya sebelum aku balik ke Pekalongan? Ya, sekira tiga
candra lalu, kapal barang besar yang kutumpangi dari Bandar
Kambang Putih34 dihantam badai. Kapal kandas dengan lambung
patah. Sebagian besar barang muatan tumpah dan terbawa ombak,
33
Bajingan: penarik pedati yang lalu memiliki makna lain sebagai bramacorah, kriminal, dll.
34
Kambang Putih: nama lama Tuban.
ASMARALARA-Saroni Asikin 96
termasuk barang-barang daganganku. Alhamdulillah, semua
penumpang selamat. Lalu puluhan perahu kecil milik nelayan di
kampung terdekat membawa kami ke tempat mereka.
Kami harus tinggal di rumah-rumah penduduk hingga datang
kapal dagang berikutnya yang melintas di sekitar perairan tersebut.
Namun bila kapal itu terlalu lama, mereka menyarankan para
penumpang menempuh perjalanan darat dengan pedati menuju
Bandar Japara.
Sebagian besar orang melanjutkan perjalanan dengan pedati,
sementara aku memilih tinggal beberapa lama. Kau tahu mengapa?
Pada hari pertama aku ada di desa itu, dan seorang penduduk
menampungku tinggal di rumahnya, anak gadis si pemilik rumah
membuatku memiliki alasan kuat menunda kepulangan.
Kali pertama melihatnya aku tak yakin dia benar-benar seorang
gadis dari bangsa manusia. Bagaimana dari dusun nelayan yang
berudara pekat dan bau busuk ikan memenuhi udara, dengan air yang
payau, ada gadis secantik Mendut? Ya, akhirnya aku tahu namanya:
Mendut.
Sebagai anak saudagar kaya, aku telah banyak pergi untuk
membeli dan menjual barang. Di Buleleng, Sumberwangi35, Hujung
Galuh36, Gresik, Kambang Putih, Laosam37, atau di bekas kotaraja
Trowulan atau Demak Bintara, atau di Kotaraja Mataram di Plered
atau Karta, aku telah melihat banyak gadis, tapi tak ada yang
membuat jantungku berdegup kencang seperti saat aku melihat
Mendut kali pertama.
Sekira satu candra aku tinggal di rumah Mendut hingga kami
pun saling membuhulkan janji untuk hidup bersama. Hmm, betapa
indah dunia. Hmm, betapa kemalangan kapal dagang yang
35
Sumberwangi: nama daerah pelabuhan di Kerajaan Blmbangan sebelum berganti nama menjadi
Banyuwangi.
36
Hujung Galuh: nama lama daerah delta yang sekarang menjadi Kota Surabaya dan Sidoarjo.
37
Laosam: Lasem.
ASMARALARA-Saroni Asikin 97
kutumpangi menjadi berkah buatku. Dan, alhamdulillah, ketika
kusampaikan niatku menikahi Mendut kepada ayahnya, lelaki
nelayan itu memberi restu. Lalu aku pulang untuk meminta restu dari
kedua orang tuaku.
Teriakan seseorang membuatku tergeragap dari pijar-pijar
harapan di dalam benakku akan segera bertemu Mendut.
“Bukankah anak muda ini Pranacitra dari Pekalongan?”
Kupandangi lelaki yang muka cokelatnya telah berkeriput itu.
Aku agak merasa aneh ada yang mengenaliku karena aku jarang
membeli dagangan di Bandar Japara. Aku akhirnya tersenyum
sembari mengangguk dan bersoja ketika ingat dialah Sadek, penarik
pedati yang pernah membawaku dari desa Mendut ke Bandar Japara.
Lelaki itu orang sedesa dengan Mendut. Dari percakapan kami dulu
selama perjalanan, aku sedikit mengenal siapa dia.
Belum sempat aku bereaksi, dia sudah mencerocos. Cerocosan
yang membuat langit seolah-olah runtuh tiba-tiba.
“Nak Pranacitra hendak menemui Mendut? Seharusnya Anak
pergi ke Plered, ke Kotaraja Mataram. Dia sudah tak ada di wilayah
semenanjung ini, Nak.”
Pada awalnya kuanggap omongan Sadek adalah igauan pada
siang bolong lantaran dia mabuk oleh tuak. Tapi lalu dia bercerita
tentang Mendut yang dibawa paksa oleh penggawa Puri Pati
Pesantenan untuk diperselir Adipati Pragola. Namun lalu serangan
Mataram terhadap Pati dengan kehancuran kadipaten yang disebut
terakhir itu menggagalkan rencana perseliran itu. Mendut diboyong
ke Kotaraja Mataram.
Selama beberapa waktu, langit biru, laut biru, kapal-kapal
nelayan yang terlihat kecil, juga kapal-kapal besar yang bersauh di
dermaga, terlihat kabur. Aku hanya diam. Haruskah kupercayai
omongan lelaki yang dari mulutnya menguarkan aroma tuak? (*)
ASMARALARA-Saroni Asikin 98
PEREMPUAN DI BALIK TIRAI PUTIH
***
42
Mantra Atulak Goda dan Aturu Lilih ini nama mantra ciptaan penulis hanya untuk kepentingan
cerita ini.
ASMARALARA-Saroni Asikin 111
PERCAKAPAN TANPA KATA-KATA
43
Ilmu pengiwa: ilmu hitam, yang di Bali dikenal sebagai pangleakan.
***
44
Yang Suci Kilisuci: sebutan untuk putri tertua Airlangga bernama Sri Sanggramawijaya yang
menolak takhta dan memilih menjadi pertapa.
45
Caraka: duta, utusan.
46
Waktu Jawa sekira pukul 04,00
Dalam pewayangan, khususnya lakon Sudamala, Durga dibebaskan oleh Sadewa, bungsu
47
Pandawa.
“Buhul jiwa raga antara aku yang Siwa dan dia yang Buddha
membuktikan bahwa yang berbeda bisa bersanding dan bersisian, dan saling
mencintai.”
48
Sambarabudhara adalah Candi Borbudur.
49
Nama lengkap kedua anak Pramodhawardhani-Pikatan adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
50
Bangunan yang dimaksud Pikatan kemungkinan Candi Plaosan yang tak jauh dari Candi
Prambanan dan disebut mencirikan Hindu-Buddha dan dipercaya dibangun pada masa
Pramodhawardhani dan Pikatan berkuasa di Medang (Mataram Kuno)
“Oh andai perempuan yang kuasmarai itu bukan Sri Huning, adik
kandungku sendiri,” batin Wiratmaya.
51
Waktu Jawa sekira pukul 17.00.
DEMI WIRATMAYA
52
Saput wengi: waktu Jawa sekira pukul 19.00.
54
Duhita: (Jawa Kuno) panggilan sayang untuk gadis.
55
Kambang Putih: Nama lama Tuban.
Apakah aku telah benar-benar menjadi seorang istri? Aku tak tahu.
Yang aku tahu, aku harus selalu mematuhi perintahnya. Dan hanya kata-
kata itu yang kuterima, hanya kalimat perintah dari mulutnya yang mengisi
kehidupanku bertahun-tahun.