Anda di halaman 1dari 138

ASMARALARA

Cerita karya Saroni Asikin


INILAH CERITA-CERITA ITU:

Asmaralara Banowati-Duryudana-Arjuna4
SELEMBAR KETAKA DI TANGAN DURYUDANA 5
PEREMPUAN YANG DITUDUH KAWIN GANDARWA 7
Asmaralara Sundari-Utari-Abimanyu 11
PENGANTIN LELAKI ITU SUAMIKU 12
PENGANTIN YANG DIBOHONGI 16
Asmaralara Pujawati-Narasoma-Bagaspati 19
LELAKI DARI BALIK IMPIAN 20
Asmaralara Erawati-Kartawiyoga-Kakrasana 24
KESUCIAN CINTA SANG PENCULIK 25
Asmaralara Indumati-Aja 28
KETIKA AJA MENULIS SAJAK KEMATIAN 29
Asmaralara Sagopi-Antagopa 32
KISAH CINTA SENGKARUT 33
PEREMPUAN YANG MEMAAFKAN PENGGUNJINGNYA 25
Asmaralara Gandari-Pandu-Destarastra 39
KEKALAHAN GANTALPATI 40
Asmaralara Durgandini-Sentanu-Palasara 43
ISTRI YANG DISERAHKAN KE LELAKI LAIN 44
Asmaralara dari Lembaran Serat Menak Cina 48
ASMARA KANDAS OLEH KABAR DUSTA 49
PEREMPUAN DI BALIK IMPIAN AMIR AMBYAH 51
APA YANG KAUMENANGKAN, KELASWARA? 54
DI DEPAN PUSARA ITU AMIR AMBYAH SESENGGUKAN 57
MONOLOG KELASWARA 60
Asmaralara Rengganis-Julusul Asikin-Repatmaja 65
CARI NAMAKU DI DAUN-DAUN 66
SEBUTLAH NAMA JULUSUL ASIKIN, BUKAN RENGGANIS... 69
UJIAN UNTUK REPATMAJA 72
Asmaralara Renuka-Citrarata-Jamadagni 75
PENGAKUAN PEREMPUAN PESELINGKUH SEBELUM DIHUKUM MATI 76
Asmaralara Jonggrang-Bandawasa 79
KIDUNG RARA JONGGRANG 80
CERITA CINTA DI DALAM PATUNG DURGA 83
SELEMPIR LONTAR DARI BANDAWASA 86

ASMARALARA-Saroni Asikin 2
Asmaralara Mendut-Wiraguna-Pranacitra 89
PANGLIMA PERANG YANG TAKLUK DI HARIBAAN CINTA 90
PEREMPUAN YANG MEMILIH BERJUALAN ROKOK LINTINGAN 93
PRANACITRA DAN LANGIT YANG RUNTUH 96
PEREMPUAN DI BALIK TIRAI PUTIH 99
LELAKI YANG MEMPERTANYAKAN KESUCIAN 102
LELAKI BODOH DI HADAPAN MAUT 105
Asmaralara Dyah Kasmala-Windusana 108
ULAR DARI BALIK BANTAL DYAH KASMALA 109
PERCAKAPAN TANPA KATA-KATA 112
Asmaralara Durga-Siwa 116
PEREMPUAN YANG BERCERITA KEPADA ANGIN 117
Asmaralara Pramodhawardhani-Pikatan 121
BUHUL CINTA PRAMODHAWARDHANI-PIKATAN 122
Asmaralara Sri Huning-Wiratmaya 126
BUKAN ASMARA TERLARANG 127
DEMI WIRATMAYA 130
Asmaralara Ahalya-Indra-Gautama 134
AHALYA DAN TEMBANG TERLARANG 135

ASMARALARA-Saroni Asikin 3
Asmaralara Banowati-Duryudana-Arjuna

“Kenapa aku harus menjadi seorang lelaki yang sangat mencintainya?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 4
SELEMBAR KETAKA DI TANGAN DURYUDANA

DURYUDANA berusaha menyembunyikan kegemetaran


tangannya yang memegang selembar ketaka1. Dia tak ingin telik sandi
yang sedang bersimpuh di lantai itu mengetahui gejolak hatinya.
Ruang di peraduan raja itu hening ketika Duryudana membaca
isi ketaka. Di atas lantai kayu, telik sandi itu terlihat gelisah.
Sebenarnya sebagai telik tepercaya, dia sudah biasa menyampaikan
pesan rahasia di ruang peraduan raja, tanpa sesiapa pun selain dia dan
rajanya. Tapi rahasia yang dia bawa kali ini tentang aib seseorang
yang paling dicintai sang raja.
“Penjaga taman itu pergi. Burung ini lirih memanggil tangan lembut
yang bakal membuka sangkarnya. Datanglah berkendara angin agar lerai
kerinduan burung kalangkyang akan hujan.”
Dada Duryudana berdegup oleh kemarahan. Dia terus mena-
hannya dengan menunjukkan roman setenang mungkin. Dia
mengakui, betapa indah kata-kata di dalam ketaka yang hendak
dikirim istrinya untuk lelaki itu.
Sebenarnya sudah sejak sebelum memboyong Putri Mandaraka
ke Istana Astina, Duryudana sudah mendengar kisah percintaan
mereka. Dia juga mendengar kabar lamat-lamat bahwa mereka sering
bertemu di taman Istana Astina. Tapi itu semua dia abaikan. Rasa
cintanya yang begitu besar kepada si perempuan membuatnya lemah,
bahkan untuk sekadar mempertanyakan kepadanya tentang selen-
tingan kabar itu.
Dia selalu ingat prasetianya sejak memboyongnya dari
Mandaraka: hanya ada satu perempuan di dalam hidupnya, dan itu
Banowati, putri bungsu Raja Salya. Padahal sebagai raja, dia bisa
memiliki banyak selir. Tapi dia tak membutuhkan mereka karena di

1
Ketaka: pudak atau bunga pandan yang dipakai sebagai bahan tulis. Bunganya yang panjang dan
berwarna putih cukup digores dengan sesuatu yang runcing. Goresannya segera menjadi hitam dan
bisa dibaca.

ASMARALARA-Saroni Asikin 5
dalam hatinya, keindahan sempurna seorang perempuan ada di dalam
diri Banowati.
Duryudana meremas ketaka itu, membuangnya ke tempat sam-
pah, dan mengunjal napas.
“Jadi, ketaka ini hendak dikirim ke Madukara?”
Telik sandi itu bersoja sebelum menjawab, “Benar, Paduka.”
“Mana yang dikirim dari Madukara?”
“Biti perwara2 yang ditangkap mengatakan, semua ketaka dari
Madukara disimpan oleh...,” telik sandi itu tak kuasa melanjutkan
kalimatnya.
“Benarkah mereka sering bertemu?”
“Biti perwara membenarkan itu.”
“Kenapa luput dari telik sandi?”
“Ampunkan sahaya, Paduka. Kami tak menempatkan telik
untuk Sang Ratu. Bukankah dulu Paduka mengabulkan permintaan
Sang Ratu yang tak ingin dimata-matai?”
“Mulai saat ini kau harus menempatkan beberapa orang telik
perempuan.”
“Baik, Paduka.”
“Berapa orang yang tahu tentang ketaka ini?”
“Sahaya, Telik Warudun, dan biti perwara yang ditangkap.”
“Warudun bisa dipercaya?”
“Kepala sahaya jaminannya, Paduka.”
“Kalau begitu, segera sirnakan biti perwara itu. Aku tidak ingin
dari dalam penjara dia mengumbar cerita. Dan kalau cerita tentang
ketaka ini nanti terdengar, kau harus bayar dengan kepalamu. Pergi-
lah!”
Telik sandi itu bersoja, beringsut mundur, dan berlalu dari
peraduan Duryudana.
Sekeluar telik sandi, Duryudana masih duduk dengan ngungun.
Pikirannya berkecamuk.

2
Biti perwara: pelayan perempuan di istana; kadang-kadang disebut biti-biti; sebutan lainnya adalah
sida-sida atau dayang-dayang.
ASMARALARA-Saroni Asikin 6
Haruskah aku membuat perhitungan terhadap Banowati?
Haruskah aku membuat perhitungan terhadap lelaki Madukara itu?
Duryudana mendesah. Dia tahu, dia punya rencana terhadap
lelaki Madukara itu. Tapi dia tak tahu apa yang harus dia lakukan
terhadap istrinya.
Lalu dalam satu unjalan napas, di dalam hati Duryudana
mengeluhkan rasa cintanya yang sangat besar terhadap Banowati.
“Kenapa aku harus menjadi seorang lelaki yang sangat
mencintainya?” (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 1 April 2018

PEREMPUAN YANG DITUDUH KAWIN GANDARWA

SUDAH hampir satu jam dia berbicara kepadaku. Ah tidak, dia


tidak berbicara. Dia menumpahkan isi hati. Nada kalimatnya ber-
ubah-ubah seturut perasaan yang sedang ingin dia ungkap. Dia jadi
mirip pemain sandiwara tunggal yang bercerita di atas sebuah kursi
sementara tanganku terus memijiti seluruh bagian kakinya. Sesekali
dia berjeda untuk mencecap teh uwuh3 yang kusajikan untuknya.
Sesekali dia bertanya kepadaku.

“Mereka bilang aku kawin gandarwa4 dengan lelaki Madukara


itu. Mereka bilang, lelaki itu selalu menyelinap ke Keputrian Astina
3
Teh uwuh: seduhan teh yang berisi rempah-rempah atau dari bumbu dapur.
4
Kawin gandarwa: perselingkuhan secara seksual; pernikahan tanpa restu orang tua dan pendeta.

ASMARALARA-Saroni Asikin 7
pada malam kelam, dan kami mengayuh biduk asmara di sini, di ka-
mar ini. Kau pasti mendengar gunjingan itu, Hesti?”
“Sahaya, Ratu.”
“Sahesti, kau sudah bersamaku sejak di Mandaraka. Kau tak
sekadar biti perwara. Kau mirip saudaraku. Dan kau sudah mendengar
gunjingan seperti itu sejak aku masih gadis di sana, sejak aku masih
bersama kedua kakak perempuanku, Erawati dan Surtikanti. Kami
memang pernah bertemu di Taman Keputrian Mandaraka. Ya, sekali
itu. Itu karena dia tersesat saat seekor burung buruannya hinggap di
ranting pohon kepel di keputrian. Kau ada di sana ketika itu. Dan
sejak itu, kau sudah tahu apa perasaanku, karena hanya kepadamu
kuceritakan betapa aku jatuh cinta kepadanya. Ya, hanya sekali itulah
aku bertemu dengannya. Setelah itu aku lebih banyak melihatnya dari
kejauhan, mengaguminya dari kejauhan. Tapi gunjingan tetap
mengalir bagai udara. Orang-orang bilang, lelaki itu, si putra Pandu
itu sering menyelinap ke Keputrian Mandaraka.”
Dia, Ratu Astina itu, berhenti, mengunjal napas dan mengem-
paskannya panjang-panjang.
“Ah, semestinya tak perlu kuceritakan lagi kepadamu. Kau
sudah mengetahuinya. Ya, sejak itu aku memang sangat mencin-
tainya dan berharap bisa bersanding dengannya. Tapi inilah nasib
perempuan, betapapun aku seorang putri raja, aku tak kuasa menolak
menjadi putri boyongan ketika Raja Duryudana, rajamu itu,
meminang dan memboyongku ke sini. Ah, Sahesti, Sahesti, kau
bahkan yang mengganti bantal basah oleh air mataku ketika pinangan
itu diterima ayahku, Raja Salya. Bantal basah itu masih sering kau-
ganti hingga kita berada di Istana Astina ini.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 8
Aku terus memijiti kakinya. Telapak kakinya kecil, lembut
ketika teraba tanganku, kaki yang masih mengesankan kemudaan
betapapun kini dia sudah memasuki usia 40 tahun surya.
“Kau ingat ketika hampir dua hari lamanya air mataku tak jua
berhenti? Ah, pasti kau ingat, Hesti. Itu saat orang bergunjing bahwa
aku meminta putra Pandu itu memandikanku pada upacara siraman5
sebelum aku dan rajamu itu diikat dalam pernikahan. Kaulah saksi
siapa yang memandikan aku untuk upacara itu.
“Gunjingan itu masih bisa aku tanggungkan. Tapi gunjingan
yang membuatku ingin mati saja menyebar ketika Lesmana lahir dari
gua garbaku. Bagaimana bisa lelaki Madukara itu ayah Lesmana?
Bagaimana bisa, satu-satunya pertemuanku dengannya, dan saat itu
pun kami hanya saling pandang dalam jarak tiga depa….”
Suaranya tercekat. Dia berhenti, mengunjal napas, mengem-
pasnya, lalu mengambil batok teh uwuh, dan mencecapnya.
“Ini teh yang biasa kaubuat, Hesti?”
Aku mendongakkan wajah sebelum mengiyakan dan bertanya,
“Apakah tidak seperti biasanya, Ratu?”
“Agak berbeda di lidahku. Tapi itu pasti karena perasaanku yang
tengah bergemuruh karena mendengar gunjingan yang makin
kencang bahwa aku sering kawin gandarwa dengan lelaki Madukara
ketika rajamu sedang tak berada di Istana. Maafkan aku, Hesti, kau
tetap pembuat teh uwuh terbaik.”
Kudengar tawanya. Tawa yang pahit.
5
Upacara Siraman: ritus memandikan calon pengantin perempuan dalam adat Jawa.

ASMARALARA-Saroni Asikin 9
“Kudengar, seorang telik sandi menangkap pengirim ketaka.
Kudengar itu akan dijadikan bukti bahwa aku benar-benar telah
melakukan kawin gandarwa dengan lelaki Madukara itu. Ah, Hesti,
Sahesti. Kau satu-satunya yang tahu soal ketaka itu. Kuakui, satu-
satunya kesalahanku, kalau itu dianggap salah, adalah aku masih
mencintai lelaki itu ketika aku sudah jadi istri lelaki lain, dan
mengungkapkan perasaanku di atas lembaran-lembaran ketaka. Andai
aku ini seorang kawi, maka aku akan menulis kakawin saja. Itu pasti!”
Sambil terus memijiti kaki Ratu Banowati, hatiku mem-
benarkan semua ucapannya. Dengannya aku tak pernah genggang
sakrambut6. Aku telah membaca semua ketaka dari dan ke lelaki Madu-
kara itu. Siapa pun yang membacanya memang akan yakin, bahwa
ada percintaan yang tak hanya berujud kata-kata.
Tapi hanya dia dan aku, Sahesti, si biti perwara yang telah bersa-
manya sejak dia remaja, yang mengetahui kebenaran sejati tentang
kisah cinta mereka (*)
Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 15 April 2018

6
Genggang sakrambut: ungkapan Jawa yang berarti sangat akrab, sangat dekat .
ASMARALARA-Saroni Asikin 10
Asmaralara Sundari-Utari-Abimanyu

“Aku sudah bertanya langsung kepadanya. Suamiku mengakui


semuanya. Dia meminta maaf telah mengucap sumpah. Oh, Ibunda, aku
sakit ketika tahu aku bukan istri satu-satunya. Tapi aku lebih sakit karena
dia bohongi. Aku menyesali sumpahnya. Aku takut isi sumpahnya benar-
benar jadi kenyataan.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 11
PENGANTIN LELAKI ITU SUAMIKU
ABIMANYU, suamiku, akan menikahi Utari, putri Raja
Matswapati dari Wirata. Perkawinan akan dilangsungkan di Upapla-
ya beberapa hari lagi.
Telik yang mengabariku mengatakan, perkawinan itu atas
kehendak Arjuna, ayah suamiku untuk membalas budi kepada Raja
Utara yang telah menerima Pandawa selama setahun masa penya-
maran.
Aku tentu saja tahu kisah itu. Pandawa kalah bermain dadu dan
harus menjalani masa pembuangan 13 tahun yang setahun darinya
harus dilalui dalam penyamaran.
“Ini bukan perkawinan biasa, Puan Putri Sundari. Tuan Arjuna
sudah bersepakat dengan Raja Wirata. Baginda Kresna, ayahanda
Puan Putri pun setuju. Perkawinan ini bakal menjadikan Wirata
sebagai sekutu Indraprasta kalau nanti perang dengan Astina terjadi,”
tambah telik itu.
“Cukup, Telik, Terima kasih. Pergilah.”
Telik itu pergi. Air mata yang kutahan-tahan sejak mendengar
kabar itu pun tumpah. Tangis tanpa suara. Sudarpana yang sedari tadi
hanya bersimpuh di lantai mendongak ke arahku. Raut muka sida-
sida kesayanganku itu menunjukkan kesedihan yang dalam.
Kuunjal napas dalam-dalam. Kuusapi air mataku, lalu bangkit.
“Darpana, bilang ke Lungit untuk menyiapkan kereta. Bilang padanya
untuk tidak memakai kereta yang biasa kita pakai. Pilih yang tidak
menunjukkan tanda-tanda kereta Dwarawati.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 12
Sudarpana terlihat bingung.
“Kita ke Upaplaya dalam penyamaran. Bilang hal itu juga ke
Lungit.”
“Puan Putri akan…?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku tak akan merusak perkawinan
itu. Aku hanya ingin melihat langsung seperti apa Putri Utari itu.
Aku juga perlu tahu sendiri bagaimana sikap suamiku saat di atas
pelaminan. Apakah memang dia menginginkan perkawinan itu atau
hanya mematuhi kehendak keluarganya.”
Sudarpana pergi. Kucopoti perhiasan yang menempel di
tubuhku: subang, gelang tangan, binggal. Lalu kukenakan pakaian
yang biasa untuk tidur, membuntal beberapa pakaian yang pantas
untuk dipakai pada pesta pernikahan seorang putri raja dan
mengambil sejumlah uang untuk ongkos selama aku dan Sudarpana
di Upaplaya.
***
HARI masih saput lemah7 ketika kereta yang dikusiri Lungit
meluncur ke Upaplaya. Kata telik, perkawinan mereka akan
berlangsung pada Anggara Kasih8, dan ini masih Tumpak Jenar9. Masih
cukup waktu karena menurut Lungit, kami akan tiba di Wirata pada
Soma Cemengan10, sehari sebelum perkawinan itu bakal dilangsungkan.

7
Saput Lemah: waktu Jawa yang berarti pukul 05.00.
8
Anggara Kasih: Selasa Kliwon
9
Tumpak Jenar: Sabtu Pahing
10
Soma Cemengan: Senin Wage

ASMARALARA-Saroni Asikin 13
Sehari kupikir cukup untukku dan Sudarpana mencari cara
menyelinap ke tempat perkawinan.
Tak perlu kuceritakan kepadamu bagaimana kereta kami
menyusuri jalanan dari Dwarawati ke Wirata, melewati tempat-
tempat asing, dan hanya berhenti ketika malam tiba. Dan seperti
sudah diperkirakan Lungit, kereta kami memasuki pusat kota Wirata
pada gagat rahina11 pada hari Soma Cemengan. Kuminta Lungit mencari
penginapan.
Tak perlu juga kuceritakan kepadamu bagaimana akhirnya aku
dan Sudarpana bisa berada di ruang tempat aroma ratus menguar
bersama wangi kembang-kembang, dan orang-orang dalam pakaian
kebesaran berkumpul. Uang yang kubawa cukup ampuh meng-
hadirkan kami berdua di ruang perkawinan megah itu.
Kursi pelaminan itu masih kosong ketika kami masuk. Tak
berapa lama kemudian pambiwara12 menyebut nama Putri Utari.
Hatiku kebat-kebit. Lalu dari jarak seratusan depa, kulihat dia, si
perempuan yang bakal segera menjadi istri suamiku. Dalam riasan
pengantin, kuakui dia sangat cantik. Aku seperti melihat seorang
hapsari13, tapi hatiku, jangan kautanya, betapa penuh gemuruh kecem-
buruan dan kemarahan.
Tak lama setelah itu pambiwara menyebut nama suamiku. Aku
tarik napas dalam-dalam. Dia muncul, di atas seekor gajah berhias,
berjalan pelan membelah barisan tamu yang duduk di kursi-kursi.

11
Gagat Rahina: waktu Jawa sekira pukul 06.00.
12
Pembawa acara; MC
13
Hapsari: bidadari

ASMARALARA-Saroni Asikin 14
Cukup kukatakan kepadamu, yang kulihat di atas punggung
gajah, dalam riasan pengantin lelaki itu adalah seseorang yang pasti
titisan Betara Kamajaya. Ya, dialah suamiku. Tenang dengan roman
muka yang riang, dan bibir yang terus menyunggingkan senyum.
Ketika dia sudah di atas kursi pelaminan, bersanding dengan
Utari, kudengar beberapa orang berbisik-bisik, “Betul-betul mirip
Betara Kamajaya dan Betari Ratih mereka.”
Kuakui, ya kuakui, pasangan dia atas pelaminan itu mirip
pasangan Kama-Ratih. Mereka semua berdecak kagum, kecuali
Sudarpana yang terus-menerus menegok ke arahku dengan raut muka
mirip orang yang ingin menangis, dan aku yang sontak seperti
dirasuki ribuan drubiksa14 meraba-raba cundrik15 di bawah lipatan
bajuku. Pikiranku mengatakan agar diriku berjalan menuju pelaminan
dan menusukkan cundrik itu ke tubuh si pengantin perempuan.
Tapi aku tetap berdiri, gemetar, dan merasakan air mataku
meleler. Pada saat itu mataku bersirobok dengan Kresna, ayahku. Dia
melihatku dan tentu saja mengenaliku. Segera kutarik tangan
Sudarpana dan dengan setengah berlari keluar kami keluar, ke tempat
Lungit menunggu. (*)
Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 29 April 2018

14
Drubiksa: sebutan untuk makhluk halus yang berkarakter jahat.
15
Cundrik: keris kecil yng biasanya disembunyikan; umumnya yang memakai cundrik itu kaum
perempuan, dan sesekali ditancapkan di gelungan rambut.

ASMARALARA-Saroni Asikin 15
PENGANTIN YANG DIBOHONGI

SEORANG kemit16 meminta menghadap. Sembari tetap


mengunyah kinang, Sudesna menyilakan kemit itu untuk menga-
turkan keperluannya.
“Puan Putri Utari datang dari Upaplaya dan meminta
menghadap Ibunda Ratu,” ujar kemit dari balik pintu yang tertutup.
Sudesna terjengit bangkit dari kursinya. Dia buang susur dan
meludahkan dubang17 ke batok. “Malam begini? Bersama menantuku?”
teriaknya.
“Seorang diri, Gusti Ratu.”
Sudesna mengerutkan kening. “Sendirian?”
“Begitulah, Gusti Ratu.”
“Cepat songsong Puan Putrimu dan antar kemari.”
“Baik, segera sahaya laksanakan, Gusti Ratu.”
Sudesna melangkah cepat dan membuka pintu. Wajahnya
meneleng-neleng ke arah rerimbunan asoka dan kacapiring di taman.
Di langit dia lihat bulan begitu terang.
Berdiri di bibir pintu untuk menyongsong putrinya, benak
Sudesna dipenuhi tanda tanya. Mengapa Utari datang tanpa disertai
Abimanyu? Mengapa putrinya yang baru sepekan bersanding di
pelaminan itu pulang ke Wirata tidak bersama suaminya?
Sosok Utari terlihat diiringi si kemit. Sudesna melihat putrinya
itu berjalan dengan kepala tertunduk dan langkah yang diseret-seret.
Begitu dekat dan mereka bertatapan, dalam timpaan cahaya
rembulan, Sudesna melihat wajah keruh anaknya. Belum juga dirinya
sempat mengucapkan sesuatu, Utari sudah menubruk tubuhnya,
memeluknya erat-erat, dan terisak-isak.
Tanpa kata-kata, Sudesna merangkul putrinya dan memapahnya
masuk kamar. Dengan sebelah tangannya, dia tutup pintu.
16
Kemit: prajurit jaga.
17
Akronim Jawa dubang maksudnya idu abang atau ludah merah karena berkinang.

ASMARALARA-Saroni Asikin 16
“Aku telah dibohongi, Ibunda. Aku telah dikhianati,” ujar Utari,
sesenggukan.
Sudesna terenyak oleh kalimat putrinya. Lalu sambil mengusapi
leleran air mata putrinya, dia bertanya lirih, “Ssst, tenang, tenangkan
dirimu dulu, Nak.”
Isakan Utari pecah menjadi tangisan. Sebelah tangan Sudesna
membelai-belai rambut Utari dan sebelahnya lagi menyeka leleran air
mata di pipi putrinya.
“Sakit benar rasanya....”
Hingga beberapa saat lamanya Sudesna hanya memeluk Utari
tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk melipurnya. Lalu dia
meminta putrinya berbaring di petilaman.
“Kubuatkan kau minuman, ya.”
Sudesna ingin memanggil Harina, sida-sidanya, untuk
membuatkan minuman kesukaan Utari: air madu yang diberi perasan
jeruk nipis. Tapi dia memutuskan untuk membikin sendiri. Dia tak
ingin Harina tahu bahwa putrinya pulang tanpa sang suami dan
terguguk begitu datang.
Dia meminta Utari meminum air madu buatannya. Setelah dua
seruputan, putrinya itu menceritakan semuanya.
“Setelah malam pertama, kutanya menantu Ibunda apakah aku
ini perempuan pertama buatnya? Dia mengiyakan, bahkan mengucap
sumpah bahwa dirinya masih lajang. Aku percaya kepadanya dan
merasa sangat bahagia. Aku tak menyesali keinginan Ayahanda dan
Ibunda agar aku menerima pinangan putra Arjuna yang sama sekali
belum aku kenal. Aku tak kecewa. Tapi itu hanya berumur tak
sampai satu pekan, Ibunda....”
Tangis Utari kembali pecah. Sudesna seperti terpukul ulu
hatinya.
“Seseorang yang sangat kupercayai mengabari bahwa suamiku
telah beristri sebelum denganku. Anak uwaknya sendiri. Sundari
namanya. Ibunda sudah dengar? Ibunda sudah tahu itu? Mengapa
tidak ada yang memberitahuku?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 17
Sudesna menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, Nak. Ibunda
tidak tahu. Soal perjodohanmu dengan putra Arjuna, Ibunda hanya
mengiyakan apa yang direncanakan ayahandamu. Tapi benarkah
kabar itu?”
“Aku sudah bertanya langsung kepadanya. Suamiku mengakui
semuanya. Dia meminta maaf telah mengucap sumpah. Oh, Ibunda,
aku sakit ketika tahu aku bukan istri satu-satunya. Tapi aku lebih
sakit karena dia bohongi. Aku menyesali sumpahnya. Aku takut isi
sumpahnya benar-benar jadi kenyataan.”
Sudesna mengunjal napas. Dia ingin bertanya sumpah apa yang
diucapkan menantunya saat berbohong. Ingin sekali rasanya dia
melipur putrinya dengan mengatakan, sumpah tak selalu jadi
kenyataan. Tapi kata-kata itu seperti tercekat di lidahnya.
“Aku tak mau kembali ke Upaplaya atau ke Madukara. Aku tak
mau kembali kepadanya.”
Mendengar itu air mata Sudesna meleler. Dia ingin
mengusapnya ketika dari luar terdengar suara kemit mengabarkan
kedatangan Abimanyu. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 13 Mei 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 18
Asmaralara Pujawati-Narasoma-Bagaspati

“Narasoma ini akan menjadi suamimu, Nak. Tapi dia tak suka
padaku. Sebagai putra mahkota Mandaraka, dia tak ingin memiliki mertua
buruk rupa seperti aku. Dia menginginkan kematianku. Aku sudah berjanji
untuk mengabulkan permintaannya. Jangan tangisi aku, Nak. Aku tahu,
Narasoma bakal menjadi suamimu yang sangat setia. Bahkan saat dia
menjadi raja pun, hanya kau satu-satunya perempuan buatnya. Itu sebabnya
Ayah menyanggupi permintaannya.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 19
LELAKI DARI BALIK IMPIAN

MIMPI itu datang berulang-ulang: rembulan terbongkah, dan


dari bongkahannya seorang pemuda muncul, berjalan pelan, dan
meraih tangannya.
Selalu dengan tergeragap Pujawati terbangun. Tubuhnya basah
oleh keringat dingin. Dia tak mengenal pemuda itu. Ah, dia memang
tak pernah mengenal seorang pun pemuda. Hanya resi-resi tua yang
menyambangi rumahnya di tepi hutan Argabelah. Bilapun ada orang
muda mampir, itu pemburu yang meminta air atau penganan. Itu pun
bukan dia yang melayani mereka melainkan Bagaspati, ayahnya.
Bisakah seorang gadis yang tak pernah mengenal seorang pun
pemuda bisa mengimpikannya?
Pujawati mengingat-ingat cara menakwil impian yang pernah
diajarkan ayahnya. Ada titiyoni atau orang terimpi-impi dari yang
dilakukan sebelum tidur; gandayoni, bisa hanya titiyoni tapi bisa pula
sebuah petunjuk; puspatajem adalah impian yang jadi petunjuk,
semacam wangsit.
“Terimpi-impi? Tidak,” ujar Pujawati di dalam hati, “Aku tak
pernah berjumpa seorang pemuda pun. Petunjuk? Aku tak pernah
membayangkan wajah seorang pemuda. Mengenal salah seorang pun,
tidak. Apakah puspatajem?”
Dia mengingat-ingat saat mimpi itu berlangsung. Pujawati
mendesah saat ingat mimpi itu selalu datang jelang jago kluruk
kapisan18, saat biasanya mimpi itu adalah puspatajem.
Pujawati ingin mengabaikan itu. Dia ingin meyakinkan dirinya
bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi tidak, wajah pemuda itu
selalu membayanginya pada hampir semua waktunya. Dia ingin
bercerita kepada ayahnya, tapi dia belum berani. Maka, dia hanya bisa
berkidung Asmaradahana.

18
Waktu Jawa sekira pukul 04.00.

ASMARALARA-Saroni Asikin 20
Bagaspati merasakan nada aneh ketika mendengar Asmaradahana
dari putrinya.
“Darmastutisiwi, ya Putri Darmastuti yang cantik, mengapa
kidung Asmaradahana-mu seperti terselimut kegelisahan? Katakan
terus-terang, Duhita19-ku. Kalau boleh kuterka, dari nada kidungmu
sepertinya kau tengah gandrung kapirangu pada seseorang. Salahkah
Ayah?"
Pujawati tersipu. Dia sendiri belum bisa memahami apakah
kegelisahannya membayangkan pemuda dalam mimpinya itu tanda
dirinya tengah diamuk asmara. Kasmaran pada pemuda yang tidak
dia kenal sama sekali?
Hening beberapa saat. Hanya napas berat Pujawati yang
terdengar pada malam sepi itu.
“Katakan, Nak. Tak ada kedukaan yang menyesakkan kalbuku
selain mengetahui lara batin yang kautanggung.”
“Ayah,” akhirnya Pujawati berbicara, “Aku bertemu seorang
pemuda yang wajahnya seolah-olah menyemburatkan cahaya
rembulan. Pemuda itu datang dalam mimpiku, berulang-ulang,
selama tiga malam. Bisakah seseorang tertikam asmara hanya karena
sebuah impian?”
Bagaspati tersenyum. “Cinta bisa datang lewat jalan apa saja,
bahkan jalan-jalan yang kita anggap mustahil.”
“Aku belum yakin.”
“Kita memang sering meragukan perasaan kita sendiri. Tapi
apakah kau bisa menyangkal bahwa dirimu terdera kegelisahan ketika
mengingatnya? Kau bahkan berusaha mengusir kegelisahan itu
dengan kidung-kidung Asmaradahana-mu. Makin kau berusaha
mengusirnya, makin kuat kegelisahan itu menderamu. Rasa cinta bisa
membuat seorang selalu berada dalam kegelisahan.”
“Apakah seperti itu?”
“Ayahmu pernah merasakannya. Kali pertama berjumpa dengan
Darmastuti, ibumu itu, Ayah selalu didera kegelisahan yang aneh.”
19
Duhita: (basa Kawi) anak perempuan.
ASMARALARA-Saroni Asikin 21
Hening sejenak. “Percayalah, Pujawati, kedatangannya lewat
mimpimu itulah cara kalian akan bertemu. Ayah sangat memercayai
hal itu. Maka, jangan abaikan sebuah impian, apalagi bila impian itu
datang berulang-ulang. Ayah akan mencari cara untuk menemukan
pemuda itu.”
Ketika ayahnya pergi, Pujawati kembali didera kegelisahan dan
keragu-raguan. Bagaimana ayahnya bisa menemukan pemuda yang
hanya kulihat di dalam impian? Bagaimana dia mengenalinya? Satu-
satunya harapan adalah dia sangat memercayai ayahnya; dia
memercayai cinta ayahnya kepada dirinya.

***
TIGA hari setelah percakapan itu, Bagaspati membawa
Narasoma20 kepada Pujawati. Gadis itu seperti mati kata. Tatapannya
nanar dan nyaris tak memercayai penglihatannya sendiri. Pemuda
tampan yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sosok yang
datang berulangan dalam mimpinya. Ayahnya telah benar-benar
membuktikan janjinya.
Pujawati begitu gembira. Tapi kegembiraan itu harus diikuti
kabar kesedihan.
“Narasoma ini akan menjadi suamimu, Nak. Tapi dia tak suka
padaku. Sebagai putra mahkota Mandaraka, dia tak ingin memiliki
mertua buruk rupa seperti aku. Dia menginginkan kematianku. Aku
sudah berjanji untuk mengabulkan permintaannya. Jangan tangisi
aku, Nak. Aku tahu, Narasoma bakal menjadi suamimu yang sangat
setia. Bahkan saat dia menjadi raja pun, hanya kau satu-satunya
perempuan buatnya. Itu sebabnya Ayah menyanggupi perminta-
annya.”
Pujawati memandang muka ayahnya. Dia baru menyadari
bahwa muka sang ayah memang buruk sekali, mirip gambaran para
20
Narasoma setelah jadi raja di Mandaraka bernama Salya. Hingga kematiannya di Padang Kuru
(Kurusetra) dalam Perang Barata dia tak pernah memiliki selir selain seorang istri bernama Setyawati
(nama Pujawati setelah jadi istri Salya). Cerita ini, termasuk nama Narasoma dan Pujawati atau
Setyawati (istri Salya) hanya ditemukan dalam variasi kisah Mahabharata di Jawa atau Nusantara.
ASMARALARA-Saroni Asikin 22
raksasa dalam dongeng-dongeng. Tapi ketika memandang muka
buruk itu, air mata kesedihannya bercucuran. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 27 Mei 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 23
Asmaralara Erawati-Kartawiyoga-Kakrasana

“Oh Nek Jini, andai ada secuil saja rasa cintaku kepada pangeranmu
itu. Aku tahu dan bisa merasakan kesucian cintanya untukku. Aku marah
karena dia menculikku. Tapi selama saptahari di sini, aku merasakan
pangeranmu adalah gambaran seorang lelaki yang begitu tulus dan mulia
mencintai seorang perempuan. Sebagai gadis terculik, aku bisa saja dia
perlakukan sesuka hatinya. Tapi satu kata kasar pun tak pernah tercetus
untukku. Oh Nek, Nek Jini... andai ada seberkas saja cahaya cinta di dalam
diriku.... Haruskah aku menerima cinta pangeranmu dan belajar
mencintainya?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 24
KESUCIAN CINTA SANG PENCULIK

MATANYA menatapku lembut. Tak kuasa menantang tatapan


itu, kutundukkan mukaku.
“Pertimbangkanlah lagi, Putri Erawati. Ucapan cintaku kepada-
mu ini bukanlah kata-kata mati. Cinta itu sudah menjadi darah dan
dagingku, menjadi ruh dan sukmaku,” ujar Kartawiyoga.
Dia bergerak ke pintu, lalu kepada Sawijini, perempuan yang
menemani dan melayani semua kebutuhanku selama saptahari21 ini,
dia berucap, “Jini, selalu perlakukan Putri Erawati selayaknya ratumu
sendiri. Seekor nyamuk pun tak boleh menyentuh kulit ratumu.
Rapat-rapat kauselimuti ratumu. Dongengilah bila beliau kesepian
dan pijatilah kakinya agar ratumu nyaman.”
“Sendika, sahaya laksanakan, Pangeran.”
Sebelum menutup pintu, Kartawiyoga berkata lagi, “Selamat
tidur, Putri. Kuharap Putri bermimpi indah.”
Ketika pintu sudah tertutup, suaranya masih terdengar. “Kemit,
bila ratumu ingin keluar dan berjalan-jalan, iringi beliau. Tapi kalian
harus sangat waspada.... Oh, bulan sedang purnama rupanya. Betapa
berbahagia bila bisa menikmati malam seindah ini dengan sang
kekasih. Hei Kemit, sekali saja kalian menyentuh kulit sutra ratumu,
kepala kalian bayarannya.”
Hening beberapa saat. Kudengar nyanyian jangkrik dan katak di
kejauhan.
“Pukul berapa sekarang?”
“Belum juga sirep bocah22, Ratu.”
Aku mengernyitkan kening dan memandang muka keriput
perempuan yang tengah bersimpuh di lantai kayu di peraduan ini.
“Kenapa kau memanggilku Ratu? Aku bukan ratumu. Aku putri
tertua Raja Salya dari Mandaraka, putri yang terculik.”
21
Saptahari: tujuh hari atau satu pekan.
22
Waktu Jawa sekira pukul 22.00

ASMARALARA-Saroni Asikin 25
“Maafkan saya, Ra....”
“Panggil aku Putri. Panggil Erawati pun boleh.”
“Sahaya tidak berani, Ratu.”
Aku hanya mendesah. Dia hanya mematuhi perintah Pangeran
Kartawiyoga.
Aku menguap dan segera merebahkan tubuh. Sawijini segera
merapatkan selimut ke sekujur tubuhku sebelum dirinya kembali
bersimpuh.
“Kau tidur sajalah, Nek.”
“Sahaya belum mengantuk, Ratu. Saya ingin mengantar Ratu
pergi ke alam impian dengan nyaman.”
Aku terkikik sebelum kembali menguap. Udara dingin di kaki
gunung ini membuatku cepat mengantuk. Kupejamkan mata. Tapi
pikiranku tak bisa berhenti memikirkan Pangeran Kartawiyoga.
Kesucian cintanya, kelembutan sikapnya, perhatian besarnya kepa-
daku. Tapi aku juga memikirkan kelancungannya telah menculikku.
Waktu berlalu. Dari kejauhan kudengar suara khas kukuk beluk23.
Kulihat Sawijini terkantuk-kantuk dalam posisi tetap bersimpuh.
Sempat terlintas untuk memintanya ke peraduan, tapi yang keluar
dari mulutku hanyalah desahan panjang.
“Oh, andai ada secuil saja rasa cintaku kepadanya.”
Aku terkesiap ketika mendengar kata-kataku yang meluncur
begitu saja dari mulutku. Setelah mengunjal napas panjang-panjang,
aku menyibak selimut dan duduk di petilaman. Sawijini tergeragap
dan bertanya, “Apa apa, Ratu?”
Aku tersenyum.
“Entahlah, Nek Jini. Aku tak bisa tidur.”
Dengan takut-takut dia duduk di sisiku. Tangan keriputnya
segera memijit-mijit telapak kakiku sementara telinganya menyimak
kalimat-kalimat keluhanku yang keluar bak aliran sungai dari kaki
gunung ke muara. Kuceritakan betapa aku rindu ibuku Ratu Setya-

23
Kukuk beluk: burung hantu; manuk dares.

ASMARALARA-Saroni Asikin 26
wati, ayahku Raja Salya, kedua adik perempuanku, Surtikanti dan
Banowati, kedua adik laki-lakiku, Burisrawa dan Rukamarata.
Lalu nada kalimatku terasa pedih ketika aku menceritakan
tentang lelaki yang telah menculikku.
“Oh Nek Jini, andai ada secuil saja rasa cintaku kepada
pangeranmu itu. Aku tahu dan bisa merasakan kesucian cintanya
untukku. Aku marah karena dia menculikku. Tapi selama saptahari di
sini, aku merasakan pangeranmu adalah gambaran seorang lelaki
yang begitu tulus dan mulia mencintai seorang perempuan. Sebagai
gadis terculik, aku bisa saja dia perlakukan sesuka hatinya. Tapi satu
kata kasar pun tak pernah tercetus untukku. Oh Nek, Nek Jini...
andai ada seberkas saja cahaya cinta di dalam diriku.... Haruskah aku
menerima cinta pangeranmu dan belajar mencintainya?”
Sawijini menghentikan pijitannya dan menggeleng-geleng.
“Sahaya tidak tahu, Putri. Tapi menurut si tua bodoh ini, cinta bisa
datang karena terbiasa, seturut waktu.”
Aku mengangguk. Pada saat itu, kudengar kemit memanggil-
manggil Sawijini. Nadanya panik. “Nek, Nek Sawijini, keluarlah.
Ada kabar duka.”
Kuminta Sawijini membuka pintu. Lalu kudengar suara si kemit,
“Pangeran Kartawiyoga gugur, Nek. Beliau gugur di tangan Kakra-
sana, kesatria dari Mandura. Dia datang untuk membebaskan Putri
Erawati.”
Di pembaringan, mendengar itu, aku tak tahu apakah aku harus
bersedih atau bergembira.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 10 Juni 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 27
Asmaralara Indumati-Aja
“Saya berharap sajak seindah ini bukanlah suatu ramalan. Betapa
pedih, betapa merana!” ujar Indumati lirih.

ASMARALARA-Saroni Asikin 28
KETIKA AJA MENULIS SAJAK KEMATIAN24

INDUMATI selalu menyukai sajak-sajak Aja. Dulu pada


sayembara di Widarba yang diselenggarakan Raja Bhoja, kakaknya,
dia memilih lelaki itu karena kepiawaiannya meracik kata-kata yang
membuat dirinya terharu-biru.
Tapi tak ada sajak yang membuat dirinya sesedih saat itu. Sajak
tentang seseorang yang merana karena cinta, lalu bunuh diri.
Kenapa suaminya menulis sajak seperti itu pada saat mereka
semestinya menikmati suasana bersantai di hutan ini? Apakah itu
isyarat dia akan meninggalkanku?
Indumati jadi gelisah. Dia ingin menyangkal pikirannya sendiri
yang menganggap sajak itu suatu ramalan. Sayang sekali, Jayawaspa
tidak di sisinya saat itu. Dia ingin sekali mencurahkan
kegelisahannya kepada sida-sida kesayangan itu.
Aja yang mengetahui istrinya bermuram durja setelah membaca
sajaknya juga menangkap kesan lain. Perempuan yang telah membe-
rinya seorang putra yang mereka beri nama Dasarata itu tak pernah
memperlihatkan kemuraman seperti itu, betapapun sajak yang dia
baca adalah guratan kesedihan.
“Saya berharap sajak seindah ini bukanlah suatu ramalan.
Betapa pedih, betapa merana!” ujar Indumati lirih.
Aja berusaha melipurnya dengan menceritakan kisah jenaka
semasa dirinya kecil. Indumati sesekali tertawa, tetapi tawanya tak
pernah lepas. Bayang-bayang kematian dari sajak itu tetap
berkelindan di dalam benaknya.

24
Cerita ini merupakan resepsi saya terhadap salah satu bagian Kakawin Sumanasantaka karya Mpu
Monaguna (abad ke-13). Dalam cerita ini, saya sengaja menghentikan cerita pada saat Aja dan
Indumati pingsan setelah menghirup wangi bunga sumanasa karena saya sedang tidak ingin
mendeskripsikan adegan kematian. Dalam kakawin yang merupakan resepsi sastra Mpu Monaguna
dari Raghuvamsa karya Kalidasa, Aja dan Indumati terbangun. Hanya Indumati yang terbangun
sebentar untuk mengucapkan perpisahan sebelum mati.

ASMARALARA-Saroni Asikin 29
Aja dan Indumati tentu saja tak pernah mendengar kisah
tentang Harini yang tangannya menyentuh bunga sumanasa di
Taman Sriwedari sehingga bunga keabadian itu layu. Dia dihukum
Betara Indra untuk menggoda tapa Resi Ternawindu. Resi itu tak
tergoda dan justru mengutuk Harini akan menitis ke seorang
perempuan yang bakal mati oleh bunga sumanasa. Dalam kutukan
itu, Indumatilah titisan Harini.
Hutan sepi. Sang bagaskara yang baru saja lingsir ke barat masih
menyisakan rayon-rayon cahaya di dedaunan. Aja berlama-lama
memandangi muka muram istrinya. Dia jadi ikut bersedih. Pelipuran
apakah yang bisa mengembalikan keceriaannya? Lantas dia berpikir,
membacakan sajak-sajak karyanya bakal mengusir mendung
kemuraman di wajah istrinya. Bukankah dia selalu menyukai sajak-
sajaknya?
Aja meminta Kawidosa mengambil tumpukan karas25 berisi
sajak-sajaknya. Saat dia membaca itu, di tempat lain karawitan
sedang dimainkan. Narada ikut bermain di situ. Angin besar menda-
dak datang dan mengempaskan sebuah roncean bunga sumanasa yang
terikat di salah satu instrumen. Narada hanya bisa mendesah meman-
dangi roncean kembang yang terbang itu. Dia tahu, kabar kematian
bakal segera digaungkan. Dia tahu, kutukan Resi Ternawindu kepada
Harini bakal segera dilunaskan. Dan dia tahu, roncean bunga itu
bakal jatuh ke siapa.
Aja masih terus membacakan sajak-sajaknya ketika sesuatu
jatuh ke dada Indumati. Sebuah roncean bunga. Dia, dan juga
Indumati yang terkejut, tak tahu kembang apakah itu. Aroma wangi-
nya begitu keras menguar. Mereka menghirupnya dan segalanya jadi
25
Karas adalah medium yang ditulisi. Ada banyak perbedaan pendapat mengenai benda ini. Ada yang
menyebutnya bilah bambu, batu tulis, lontar, dan daun nipah. Saya memilih pendapat Zoetmulder
(penulis Kalangwan, 1981) yang mengatakan karas bisa dipakai untuk melindungi dari terik matahari,
portabel alias bisa dibawa-bawa dan bisa untuk bantal sehingga benda yang paling mungkin adalah
belahan bambu atau papan rata. Dalam konteks cerita ini, belahan bambu rata yang paling mungkin
dibawa Aja dan Indumati saat piknik ke hutan.

ASMARALARA-Saroni Asikin 30
gelap ketika mata mereka terpejam. Keretap dedaunan di pohon-
pohon ketika itu bagaikan tembang Yamadipati, sang dewa maut.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 1 Juli 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 31
Asmaralara Sagopi-Antagopa

Apakah aku mencintai Sayuda, ya Nyi Sagopi itu? Lebih baik kau
bertanya kepada istriku itu apakah dia berbahagia memiliki kekasih para
pangeran kakak-beradik. Tanyakanlah itu, pertanyaan yang tak pernah
sanggup kusampaikan kepadanya. Sebab, aku sering berpikir, dia, si
wiraswara cantik itu, hanyalah korban dari permainan syahwat anak-anak
raja.

ASMARALARA-Saroni Asikin 32
KISAH CINTA SENGKARUT

SEORANG kawan akrabku dengan berbisik-bisik dan penuh


ketakutan bertanya, “Antagopa, kenapa tak seorang pun anakmu yang
wajahnya mirip denganmu?”
Aku hanya tertawa, keras-keras, lalu sambil menunjuk ke arah
Udawa, Larasati, Pragota, dan Adimanggala yang sedang bermain-
main di halaman rumah, aku berkata, “Itu rahasia Tuhan, Kawan.
Tapi aku bersyukur telah dikaruniai empat anak yang sehat, tampan,
dan cantik.”
Bukan dia seorang yang pernah bertanya seperti itu. Aku
memang selalu hanya tertawa dan mengatakan rahasia Tuhanlah bila
wajah mereka tak seorang pun yang mirip denganku. Mulutku
tertawa keras, tapi hatiku selalu bagai disayat pelan-pelan dengan
bilah bambu yang ditajamkan. Betapa perih seorang lelaki yang
dipaksa menikahi seorang perempuan tanpa pernah bisa memiliki
raga dan jiwanya.
Ya, kubilang kepada semua orang di Widarakandang betapa
bangganya orang kampung seperti aku ini memiliki empat anak yang
berwajah bak putri dan pangeran. Mereka tak perlu tahu kepedihanku,
bujang lapuk yang tak bisa berlaku sebagai seorang lelaki dan suami,
dan tak mungkin punya keturunan. Mereka tak perlu tahu bahwa
pada suatu hari aku diminta menikahi seorang pesinden istana yang
sedang hamil. Mereka tak perlu tahu rahasia di antara aku, istriku,
dan ketiga pangeran dari Istana Mandura.
Ken Sayuda yang dikenal sebagai Nyi Sagopi, wiraswara Istana
Mandura itu memang sangat cantik dan merak ati. Suaranya bak
buluh perindu dan keelokan raganya mampu meruntuhkan lelaki
mana pun, bahkan sang raja. Basudewa, pangeran Mandura yang
segera menggantikan takhta Basukunti, ayahnya, gandrung kapirangu
kepadanya.
Haruskah aku marah ketika Sayuda yang hamil dibawa ke
Widarakandang dan aku diperintah untuk memperistrinya? Harus-

ASMARALARA-Saroni Asikin 33
kah aku marah kepada calon rajaku, Basudewa, yang tak mau meni-
kahi perempuan bukan putri raja betapapun si perempuan sedang
mengandung anaknya?
Tentu saja aku marah meskipun pada awalnya aku merasa itu
suatu karunia tak tepermanai. Aku, si bujang lapuk, diminta menikahi
perempuan cantik si wiraswara ternama? Siapa bisa menyangkal itu
suatu karunia?
Lalu lahirlah Udawa. Aku menyukai si orok dan berusaha
mencintainya sebagai buah hatiku sendiri. Kukasihi dia sebagai
pelipur hatiku yang setiap melihat Nyi Sayuda menjadi perih hati dan
lara pikiran, “Huh, jangankan jiwanya, raganya pun tak bisa kumi-
liki.”
Bukan lantaran perempuan itu menolakku. Bukan. Akulah lelaki
malang yang akibat kecelakaan saat remaja tak mungkin bisa bercinta
dan memenuhi kewajiban sebagai seorang suami.
Selanjutnya aku bisa menerima kenyataan memiliki istri semu.
Dia masih selalu ke Istana Mandura untuk nyinden. Setiap dia pergi,
aku didera kecemburuan bahwa dia akan bertemu Basudewa dan
melakukan kawin gandarwa. Aku keliru. Bukan Basudewa yang pada
suatu hari pulang bersamanya ke Widarakandang. Lelaki itu Rukma,
adik Basudewa. Saat itu, aku harus pergi ke tempat sunyi ketimbang
harus mendengarkan suara mesum mereka di dalam kamar, di
rumahku.
Lalu lahirlah Larasati, orok putri yang sangat cantik. Sama
seperti kepada Udawa, aku berusaha mencintainya.
Cukup sudah kisahku sebagai suami dan ayah semu? Belum.
Sayuda masih tetap ke istana untuk melipur orang dengan suara bida-
darinya. Aku selalu membayangkan, di istana itu diam-diam dia akan
kawin gandarwa dengan Basudewa dan Rukma.
Tapi pada suatu senja, dia pulang bersama seorang lelaki lain.
Ugrasena, adik Basudewa lainnya. Sama seperti saat Sayuda bersama
Rukma, aku keluar rumah. Malam itu aku menyepi di telaga dan
hampir-hampir aku menenggelamkan diri di situ.

ASMARALARA-Saroni Asikin 34
Lahirlah “anakku” yang lain: Pragota. Istriku masih sering
pulang bersama Ugrasena, dan dari benihnya aku memiliki “anak”
yang lain: Adimanggala.
Sudah kukatakan kepadamu dengan jujur bagaimana lelaki lapuk
ini menyimpan kepedihan. Tapi aku masih selalu tertawa ketika
orang mempertanyakan wajah keempat anakku.
Apakah aku mencintai Sayuda, ya Nyi Sagopi itu? Lebih baik
kau bertanya kepada istriku itu apakah dia berbahagia memiliki
kekasih para pangeran kakak-beradik. Tanyakanlah itu, pertanyaan
yang tak pernah sanggup kusampaikan kepadanya. Sebab, aku sering
berpikir, dia, si wiraswara cantik itu, hanyalah korban dari permainan
syahwat anak-anak raja.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 15 Juli 2018

PEREMPUAN YANG MEMAAFKAN PENGGUNJINGNYA

AKU pernah mendengar ujaran bahwa bergunjing itu bagaikan


makan mayat saudara. Bahkan bila sesuatu yang digunjingkan itu
tidak seperti kenyataannya, itu merupakan fitnah. Dan fitnah lebih
kejam dari pembunuhan.
Aku sudah kenyang jadi sasaran pergunjingan sejak sebagai
gadis aku belajar nyinden hingga kini empat orang anak telah lahir dari
gua garbaku.
Tapi kumaafkan mereka yang menggunjingkan diriku karena
mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku hanya
menyesali mengapa mereka tidak berusaha bertabayun kepadaku
ketimbang terus-menerus bergunjing.
Ya, sejak belajar nyinden di Keraton Mandura dan aku selalu
terpilih sebagai wiraswara yang menghibur keluarga dan kerabat raja,
teman-teman perempuanku selalu menggunjingkan diriku. Aku

ASMARALARA-Saroni Asikin 35
digunjing memanfaatkan pelet pengasihan karena kata mereka sebe-
narnya suaraku tak lebih baik dari mereka. Gunjingan itu semakin
santer ketika sang putra mahkota, Pangeran Basudewa, sering
mengundangku ke ruang pribadinya. Lebih-lebih ketika mendadak
aku dipulangkan ke Widarakandang dan dikawinkan dengan Anta-
gopa telingaku seperti pekak mendapat laporan soal gunjingan itu.
Lalu ketika aku melahirkan Udawa, janin yang tumbuh dari nutfah
sang pangeran, gunjingan tentang diriku bahkan mengalahkan deru
angin puyuh.
Gunjingan agaknya selalu melahirkan gunjingan baru. Mereka
yang suka bergunjing agaknya selalu punya bahan pergunjingan.
Ketika kedua adik lelaki Pangeran Basudewa selalu datang ke
Widarakandang, mungkin saja suara nyinyir tentang diriku
berdentang dari Mandura ke Wirata.
“Pelet pengasihan Ken Sayuda itu dahsyat rupanya. Tiga
pangeran Mandura takluk di bawah lututnya.” Itu salah satu
gunjingan yang sempat kudengar sendiri.
Yang paling menyakitkan adalah gunjingan ini: “Ken Sayuda
itu bak piala bergilir, dari Basudewa dipindahtangankan ke Rukma
lalu ke Ugrasena. Hmm, tapi apa bedanya dengan pelacur?”
Semua gunjingan itu tentu saja dilakukan dengan berbisik-bisik
karena sebenarnya mereka takut. Siapa yang tak takut terhadap para
lelaki penguasa seperti para pangeran dari Mandura itu?
Aku yakin suamiku juga menjadi sasaran gunjingan yang tak
kalah bengisnya dari diriku. Salah satu gunjingan yang secara tak
sengaja kudengar berbunyi begini: “Antagopa hanyalah suami jadi-
jadian yang bagaikan cicak kedinginan menyaksikan istrinya bercinta
dengan lelaki lain.”
Ah, sudahlah. Sekali lagi kukatakan, aku memaafkan mereka
dan hanya menyesali mereka tidak bertabayun kepadaku untuk
mengetahui seperti apa hubunganku dengan ketiga pangeran itu.
Tapi bila mereka bertabayun kepadaku, setidak-tidaknya aku
bisa bercerita, ya katakanlah aku bisa mencurahkan hatiku mengenai

ASMARALARA-Saroni Asikin 36
hal itu. Aku bisa menceritakan betapa aku sangat cemas ketika
Pangeran Basudewa mengundangku untuk bernyanyi di ruang
pribadinya. Itu tak biasa. Biasanya aku bernyanyi di hadapan raja dan
keluarganya di Sasana Handrawina.
Dan terjadilah apa yang kucemaskan. Apa yang bisa dilakukan
seorang perempuan abdi terhadap sesorang pangeran selain mematuhi
apa pun kehendaknya? Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan
abdi ketika dicampakkan dan dengan enteng diserahkan ke tangan
seorang lelaki kampung di Widarakandang?
Aku juga bisa menceritakan bagaimana Pangeran Rukma secara
sembunyi-sembunyi menggodaku karena takut terhadap kakaknya
yang calon raja. Dan ketika aku sudah diserahkan ke Antagopa, dia
merasa tak ada yang ditakuti lagi. Dan bagai sepah tebu, aku dibuang
setelah dicecap air gulanya.
Kupikir cukup sudah dua kali aku dicampakkan. Datanglah
Ugrasena. Rupanya sejak lama dia juga memendam hasrat kepadaku.
Kisah berulang. Setelah bosan mencecap nektarku, dia pergi untuk
mencecap nektar dari kembang yang lain.
Andai saja ada yang bertabayun kepadaku aku akan mence-
ritakan itu semua. Tapi sebenarnya yang paling kutakuti adalah
pertanyaan soal cinta. Apakah aku mencintai ketiga pangeran itu,
atau hanya salah seorang dari mereka? Kalau salah seorang, itu siapa?
Aku tak akan bisa menjawab. Bahkan, aku sendiri sering
meragukan bahwa diriku memiliki rasa cinta, cinta seorang perem-
puan kepada lelaki. Seingatku, sebagai manusia lumrah, aku punya.
Aku pernah tertarik kepada seorang lelaki. Tapi lelaki itu diam-diam
pergi dari kehidupanku begitu Pangeran Basudewa sering meng-
undangku ke ruang pribadinya.
Tapi satu hal tidak boleh kausangsikan: aku sangat mencintai
Udawa, Larasati, Pragota, dan Adimanggala, empat anakku dari tiga
lelaki bersaudara itu. Sangat!
Dan ketika usiaku menua, aku sangat bersyukur karena ketiga
anak Basudewa, yaitu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, mau

ASMARALARA-Saroni Asikin 37
mengakui semua anakku sebagai saudara mereka. Bahkan, mereka
memuliakan anak-anakku. Udawa jadi patih di Dwarawati milik
Narayana alias Kresna, Pragota jadi patih di Mandura milik Kakra-
sana alias Baladewa, dan Larasati bersama dengan Rara Ireng alias
Sembadra jadi istri Arjuna, dan Adimanggala menjadi patih di
Awangga.
Aku yakin, kemuliaan anak-anakku tumbuh dari rasa cintaku
kepada mereka, ibu yang selalu menahan diri dari segala pergunjingan
dan memaafkan para penggunjingnya.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 29 Juli 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 38
Asmaralara Gandari-Pandu-Destarastra

“Ibarat berjudi, kali ini aku kalah. Tapi penjudi selalu yakin suatu saat
dia akan menang.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 39
KEKALAHAN GANTALPATI

KUNTI, Madrim, dan Gandari berdiri berjajar di atas pa-


nggung. Muka mereka muram dan menguarkan kecemasan. Bunyi
lirih napas mereka yang gelisah terdengar oleh hadirin di ruangan itu.
Tak hanya ketiga putri itu, para kerabat mereka yang hadir atas
undangan Istana Astina itu pun begitu gelisah.
Sebelumnya Pandu, adik Destarastra, telah memboyong mereka
dari suatu sayembara dan pertarungan di tengah perjalanan. Tak hen-
dak menikahi ketiganya, dia ingin menyerahkan dua perempuan
kepada kedua saudara lelakinya. Tapi Widura, sang adik, menolak
lantaran dia telah memilih Padmarini. Destarastra bersedia. Sebagai
penghormatan kepada kakaknya, Pandu menyerahkan kepada Desta-
rastra untuk memilih seorang dari ketiga putri itu.
Bagaimana orang buta memilih calon istri? Itulah pertanyaan
semua orang. Dan mereka yang bertalian darah dengan ketiga putri
itu lebih menyukai Pandu memperistri semuanya. Tapi tak ada yang
bisa menolak seorang pemenang putri boyongan memutuskan
sesuatu.
Maka selain bunyi napas mereka yang cemas, ruangan itu begitu
hening. Jangankan saling berbicara, bisikan paling lirih pun tak
terdengar. Raja Basukunti, meskipun terlihat tenang, matanya selalu
memandang ke arah Kunti. Dia lebih suka putrinya itu dinikahi
Pandu. Narasoma, yang selanjutnya dikenal orang sebagai raja Salya
dari Mandaraka, juga lebih menginginkan sang adik, Madrim, jadi
istri Pandu, orang yang telah menaklukkan kehebatan Ajian Candra-
birawa-nya. Gantalpati, yang selanjutnya dikenal sebagai Sengkuni,
tak ingin kakaknya, Gandari, terpilih. Dia ingin Pandu menikahi
kakaknya karena kabar sudah beredar bahwa Pandu adalah putra
mahkota Astina dan ambisinya untuk menjadi patih kerajaan bisa
terwujud setelah Pandu naik takhta.
Gantalpati bahkan telah melakukan sesuatu yang dia sangka
begitu cerdas untuk menghindarkan kakaknya jadi calon istri terpilih.

ASMARALARA-Saroni Asikin 40
Dia telah membantu menyediakan sekeranjang ikan dan meminta
kakak perempuannya mengoleskan ikan-ikan itu ke tubuh. Maka, bau
amis di sekujur tubuh Gandari menguar dan membuat perut siapa
pun mual. Gandari bahkan telah muntah beberapa kali. Gantalpati
yang terbiasa menanam tebu di bibirnya itu melipur kakaknya dengan
kalimat-kalimat manis.
“Ah, bagimu kedudukan patih itulah yang penting, Gantalpati,”
jawab Gandari nyinyir.

***

KEHENINGAN ruangan itu pecah ketika Destarastra yang


buta tertatih-tatih dalam panduan Pandu dan Widura menuju
panggung. Hadirin mulai berbisik-bisik dan sebagian yakin Gandari
tak akan terpilih. Beberapa dari mereka mengakui kecerdikan Gan-
talpati yang telah menyarankan kakak perempuannya menguarkan
bau amis.
Di panggung, ketegangan dan kecemasan semakin tampak di
muka ketiga putri itu. Lalu ketika Destarastra sampai di depan Kunti,
dia berhenti sebelum meraba-raba untuk mencari tangan putri dari
Kuntiboja itu. Raja Basukunti memejamkan mata dan berdoa agar
Destarastra segera berlalu dari hadapan putrinya. Doanya terkabul.
Lelaki buta itu terlihat memegang matanya yang tak mampu melihat
apa pun. Di dalam kebutaannya, dia merasakan sengatan cahaya
matahari yang sangat menyilaukan.
Setelah menarik napas sejenak, Destarastra bergerak lagi dan
kali ini hidungnya disergap sengatan bau amis. Cuping hidungnya
bergerak-gerak ketika tangannya meraba-raba mencari tangan putri di
depannya. Madrim yang pasrah ketika tangannya terpegang Desta-
rastra hanya mampu memejamkan mata. Narasoma di kursi
undangan menatap tajam ke muka adiknya. Pikiran dan batinnya dia
satukan dengan doa agar Destarastra melepas tangan adiknya.
Tangan itu memang dilepas dengan gerakan kasar. Dalam kebuta-

ASMARALARA-Saroni Asikin 41
annya, Destarastra merasa tangannya memegang batang pohon
berduri dan bikin gatal.
Bau amis itu makin menyengat ketika dia telah sampai di
hadapan Gandari. Gandari memejamkan mata sementara Gantalpati
yang meriung bersama undangan lain terlihat menyunggingkan
senyum.
Destarastra merasakan perutnya mulas lalu muntah.
Muntahannya bahkan mengenai kaki Gandari. Gantalpati dan semua
yang meriung di ruangan itu sangat yakin, Destarastra akan menjauhi
Gandari.
Destarastra tampak berdiri limbung. Tapi sekejap kemudian,
ketika telah berhasil mengatasi rasa pusing setelah muntah, dia
bergeming beberapa saat di hadapan Gandari. Suasana menjadi
bertambah tegang dan penuh kecemasan.
Tak ada yang tahu bahwa pada saat itu benak Destarastra
teringat kegirangan hatinya ketika diajak Abiyasa, ayahnya, ke
sebuah kampung nelayan. Meskipun tak mampu melihat apa pun,
ketika itu dia sangat girang memegangi ikan di keranjang sementara
sang ayah sibuk menjelaskan nama ikan-ikan itu.
Keheningan ruangan itu mendadak pecah oleh desahan dan
geremengan saat Destarastra mencari-cari tangan Gandari. Begitu
terpegang, dengan lembut dia menarik tangan itu sambil mengucap,
“Inilah calon istriku!”
Gandari tercekat. Gantalpati tercekat. Mukanya mendadak
keruh. Kepada seseorang di sampingnya, dia berbisik, “Ibarat berjudi,
kali ini aku kalah. Tapi penjudi selalu yakin suatu saat dia akan
menang.” (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 12 Agustus 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 42
Asmaralara Durgandini-Sentanu-Palasara

Mungkin kebencianku kepada Dewabrata itulah pangkal segala


kehancuran di antara anak turunku.

ASMARALARA-Saroni Asikin 43
ISTRI YANG DISERAHKAN KE LELAKI LAIN

AKU tak pernah mampu memahami mengapa sebuah bisikan -


kau boleh menyebutnya wangsit- bisa membuat seorang suami
menyerahkan istri dan takhta kerajaannya ke lelaki lain. Itulah
Palasara, suamiku, atau mulai sekarang harus kusebut dia sebagai
mantan suamiku.
Dia telah pergi ke Bukit Sapta Arga membawa Abiyasa, bayi
lelakiku dan juga bayinya, meninggalkanku hidup bersama lelaki
asing bernama Sentanu, seorang duda malang yang sebelumnya ke
mana-mana menggendong anaknya yang masih bayi.
Aku ingat betul hari itu, hari dia datang ke rumahku di tepian
Hutan Gajahoya yang telah dibabat suamiku menjadi sebuah
kerajaan. Dipakiswara namanya dan kau akan mengenalnya sebagai
Astina yang terkenal itu.
Senja bermendung itu, aku mendengar tangisan kencang
seorang bayi pada saat aku menyusui Abiyasa. Palasara menemuinya
dan bertanya bayi siapa yang tangisnya menyayat hati siapa pun yang
mendengarnya.
“Ia Dewabrata, anak sahaya. Ibunya telah pergi. Sahaya telah
pergi jauh untuk mencarikan seseorang yang bersedia menyusuinya.”
Lalu dari mulutnya kudengar sebuah cerita yang membuatku
terjengit. Ganggawati, ibu si bayi Dewabrata, telah membuang tujuh
bayi yang dilahirkannya ke sungai.
“Sahaya baru tahu semua anak sahaya dibuang ke sungai setelah
tujuh kali dia melakukannya. Betapa bodohnya sahaya ini! Bagaimana
selama ini sahaya percaya begitu saja bahwa bayi yang dia lahirkan
itu mati dan dikubur tanpa sepengetahuan sahaya? Setelah yang
ketujuh, sahaya memintanya untuk tak melakukannya lagi bila dia
mengandung anak kedelapan. Dia bersedia tapi dia akan pergi dari
kehidupan kami.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 44
Tangisan Dewabrata tak pernah berhenti selama lelaki tersebut,
Sentanu namanya, menceritakan kisah pedih itu. Seselesainya, dia
memohon agar diriku bersedia menyusui Dewabrata. Ketika lelaki itu
menyerahkan anaknya untuk kugendong, tangan kami sempat
bersentuhan dan sekilasan kami bersipandang. Saat itulah aku
melihat pendar aneh di dalam riap matanya. Tentu saja pada saat itu
aku tak tahu bahwa pendar aneh itulah yang akan membuat diriku
menjadi seorang istri yang dilepaskan suaminya ke dalam pelukan
lelaki lain.
***
HARI-HARIKU menyusui dua bayi itu tak berbeda dengan
hari-hari sebelumnya. Selama itu, Sentanu ikut membantu Palasara
membangun kerajaan yang baru beberapa pekan berdiri. Tapi ketika
suatu hari suamiku melihat diriku menyusui Dewabrata, mukanya
mendadak mirip seseorang yang pipinya baru saja ditampar keras.
Dewabrata ini rakus menyesap air susuku dan itu membuat Abiyasa
tak pernah kebagian.
Suamiku marah. Dia merutuk-rutuk dan mengumpati anak
Sentanu itu. Ayah sang anak yang mendengar itu tidak terima. Mere-
ka berkelahi. Selama beberapa waktu, tak ada yang kalah, tak ada
yang menang, hingga mereka sepakat untuk gencatan.
Apa yang kulakukan pada saat mereka berkelahi? Aku menjerit-
jerit dan meminta mereka berhenti. Sebenarnya saat itu aku sangat
takut Palasara kalah dari Sentanu. Apa yang kudengar sebelum
perkelahian itu terjadi membuat hutan Gajahoya dan seluruh bumi
seolah-olah terguncang. Sentanu sesumbar akan mengalahkan
Palasara dan mengawini diriku karena dia telah jatuh cinta kepadaku.
Jagad Dewa Batara! Perkelahian itu memang terhenti dan kedua
lelaki itu pergi selama beberapa saat. Aku menangis tanpa air mata
sementara kedua bayi yang bersamaku itu tidur nyaman.
Mereka yang baru saja berkelahi itu tidak pulang dan
semalaman aku memikirkan ucapan Sentanu. Jujur saja kukatakan
kepadamu, Sentanu jauh lebih tampan dari Palasara, bertutur kata

ASMARALARA-Saroni Asikin 45
lembut dan dalam beberapa kesempatan secara mencuri-curi dia
memuji-muji diriku dengan kalimat-kalimat yang biasa diucapkan
para penyair, kata-kata yang tak lagi kudengar dari mulut Palasara.
Hingga fajar merekah dan aku disergap kantuk yang berat, aku tak
mampu menjawab pertanyaanku sendiri: apakah aku juga telah
terpikat kepada Sentanu?
Aku bangun bersamaan dengan kedatangan Palasara. Dari kesan
di mukanya, aku tahu, suamiku itu belum tidur. Wajahnya kuyu dan
riap matanya muram. Belum sempat aku bertanya di mana dia
semalaman, yang keluar dari mulutnya justru membuatku jatuh
bersimpuh dengan hati begitu pedih.
“Aku telah beroleh pertanda mahaterang lewat sebuah bisikan
suci. Aku harus membawa pergi Abiyasa ke Bukit Sapta Arga dan
menyerahkan dirimu dan kerajaan ini kepada lelaki itu. Selamat
tinggal, Durgandini.”
Begitu saja dia pergi membawa anak kami tanpa pernah
menanyakan kesediaanku, bahkan tanpa menoleh sedikit pun untuk
melihat mukaku telah basah oleh air mata.

***

BERPULUH tahun kemudian, aku adalah perempuan tua


berkeriput dan orang telah lupa bahwa semasa gadis tubuhku pernah
menguarkan bau amis dan busuk hingga orang menyebutku Lara
Amis sebelum Palasara menyembuhkanku dan membuat tubuhku
menguarkan wangi kesturi. Setua itu, aku, juga setelah Sentanu mati
dan Kerajaan Astina ini diduduki Pandu Dewanata, cucuku, aku
masih belum mampu memahami mengapa Palasara dulu begitu
percaya kepada bisikan. Tapi aku yakin, aku mencintai Palasara dan
perasaanku kepada Sentanu hanyalah kerjapan pesona yang mirip
gelembung sabun di udara.
Lalu ketika Pandu mati dan kerajaan harus diserahkan kepada
cucuku yang lain, Destarastra yang buta dan berputra banyak itu, dan

ASMARALARA-Saroni Asikin 46
inilah mungkin pangkal perseteruan tanpa henti di antara anak-anak
keturunanku, aku yang tua merasa ingin menimpakan beban dosa
perseteruan itu kepada Palasara.
Ya, dia meninggalkan diriku hanya oleh sebuah bisikan, dan aku
harus mau menerima Sentanu sebagai suamiku. Karena aku begitu
membenci Dewabrata (yang nanti lebih kaukenal sebagai Bisma),
bayi yang telah merampas air susu anakku, aku menerima Sentanu
dengan syarat: keturunankulah yang harus menjadi raja Astina, bukan
Dewabrata, anak tiriku.
Mungkin kebencianku kepada Dewabrata itulah pangkal segala
kehancuran di antara anak turunku. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 26 Agustus 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 47
Asmaralara dari Lembaran Serat Menak Cina
dia yang penuh cinta
tak pernah mati
karena cinta itu abadi.
- (Puisi Amir Ambyah di pusara Adaninggar)

Dalam cerita Wayang Menak, kisah hidup Adaninggar berakhir di


tangan Kelaswara, perempuan ketiga yang diperistri Amir Ambyah,
perempuan yang membuat kecemburuan Adaninggar begitu kalap. Lima
cerita dalam buku ini adalah resepsi saya atas Serat Menak Cina.

ASMARALARA-Saroni Asikin 48
ASMARA KANDAS OLEH KABAR DUSTA

JANGAN kau tanya seberapa besar asmaraku kepada Amir


Ambyah, lelaki yang telah memiliki dua istri itu. Dan untuk
mewujudkan rasa itu, aku adalah perempuan kasmaran yang mampu
melakukan hal-hal gila.
Mungkin aku salah langkah ketika melakukan kegilaan itu. Tapi
tolong kaucatat: aku tak pernah menyesalinya; aku bahkan rela mati
pada saat aku berjuang mewujudkan rasa cintaku.
Agar kau sedikit mengenalku, kugambarkan secara ringkas
tentang diriku: aku gadis yang molek, berkulit terang dan memiliki
senyum yang menggetarkan pandangan lelaki, berilmu dan kondang
memiliki kesaktian, dan putri Raja Hongtete di Cina. Adaninggar,
namaku.
Maka jauh-jauh aku datang dari Cina ke Yujana, ke tempat
lelaki yang telah membuatku bergedabikan oleh cinta. Aku
menghadap Raja Nusirwan, penguasa Medayin yang sedang
mengungsi ke Yujana, dan memaklumatkan kepada khalayak bahwa
akulah calon istrinya.
Itu tentu saja maklumat dusta. Ini siasatku. Raja tua itu mertua
Amir Ambyah. Jadi, kupikir lelaki yang kuasmarai itu akan terusik
kecemburuannya lalu akan melakukan sesuatu untuk menghalangi
perkawinanku dengan mertuanya.
Oh, aku telah keliru langkah. Amir kekasih hatiku itu tak
melakukan apa-apa. Mungkin pula tak pernah sedetik pun namaku
tebersit di dalam benaknya. O asmara, betapa sengkarut jalan-jalan
perwujudannya....
Kegemingan Amir Ambyah membuatku kalap. Kalau kabar
dusta yang kumaklumatkan tentang rencana perkawinanku dengan
Raja Nusirwan tak bertuah, aku harus melakukan sesuatu yang lebih
gila. Aku harus melakukan sesuatu yang nyata.
Dengan kesaktianku, aku menculik Amir Ambyah. Pada saat
dia tidur, aku menyelinap ke dalam kamarnya dan menotok jalan

ASMARALARA-Saroni Asikin 49
darahnya. Kuikat dirinya yang pingsan dengan tali yang telah
kupersiapkan, dan dengan berkuda kubawa lari dia ke sebuah gua.
Nah itulah dia, satu-satunya lelaki yang begitu kuinginkan
sebagai suamiku, terikat dengan mata terpejam sedang terbaring di
atas kepejalan batu gua.
Kutotok lagi dia untuk memulihkan kesadarannya. Dia
terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap, mirip seseorang yang baru
saja dirajam mimpi buruk. Ketika dia melihatku, dan aku yakin dia
mengenaliku, di dalam keremangan gua, kulihat sorot kemarahan di
dalam riap matanya.
“Tuan boleh marah kepada sahaya, Tuan Amir. Tuan juga boleh
menganggap sahaya gadis gila, perempuan majnun. Tapi sahaya ingin
hati Tuan yang bagai batu itu luluh bahwa sahaya sangat mencintai
Tuan. Dan inilah satu-satunya cara agar sahaya bisa berdekatan
dengan Tuan.”
Dia bergeming dengan sorot mata yang tetap menyiratkan
kemarahan. Lalu setelah unjalan napas yang panjang, dia berkata,
“Puan Adaninggar, lelaki mana yang tak ingin menyunting Puan
sebagai istri? Puan perempuan yang molek, bersenyum merak ati, dan
berilmu tinggi. Sahaya akui, Puan, sahaya pun terpesona kepada
Puan. Tapi sahaya adalah orang yang beradab. Puan adalah calon
mertua saya, bagaimana sahaya berani mendekati dan mencintai
Puan?”
Aku tertawa.
“Tuan percaya kabar dusta seperti itu? Sahaya memaklumatkan
diri sebagai istri Raja Nusirwan untuk mengusik kecemburuan
Tuan.”
“Dusta atau tidak, kabar yang telah dimaklumatkan tak
mungkin ditarik ulang. Apalagi ini menyangkut kehormatan dua
negara, Medayin dan Yujana. Puan telah memainkan kartu yang
keliru.”
Aku mendesah panjang. Kata-katanya menamparku dan
menyadarkan diriku hanyalah perempuan bodoh.

ASMARALARA-Saroni Asikin 50
Dengan marah aku keluar dari gua, dan dengan pedangku, aku
membabati sesemak dan peperduan sembari meneriakkan kata-kata
kutukan untuk diriku.
Setelah kelelahan, aku masuk kembali ke dalam gua.
“Betapapun cinta sahaya tak pernah Tuan terima, sahaya akan
tetap melakukan apa pun untuk tetap bisa menjadi istri Tuan, bahkan
bila kita sama-sama menua di sini tanpa sekali pun Tuan menerima
cinta sahaya.”
Dia tetap bergeming dengan sorot mata marah. Beberapa saat
kemudian tanpa berkata-kata, aku mendekatinya, membuka ikatan
tali di tubuhnya, lalu kutinggalkan dia.
Di mulut gua, aku menoleh ke arahnya sembari berteriak, “Perut
Tuan pasti lapar. Sahaya akan mencari bebuahan di hutan-hutan
sekitar. Di luar gua, ada kuda sahaya. Tuan bisa pergi dari sini kapan
saja. Tapi sahaya berharap Tuan menunda kepulangan ke Yujana
setelah sahaya membawakan bebuahan untuk penggajal perut Tuan.
Andai Tuan pergi sebelum sahaya kembali, tolong dengarkan kata-
kata sahaya ini: ada seorang perempuan yang cintanya kepada Tuan
begitu suci dan mampu melakukan apa pun demi mewujudkannya
betapapun langkahnya keliru-keliru.” (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 9 September 2018

PEREMPUAN DI BALIK IMPIAN AMIR AMBYAH

DI ATAS kuda milik Adaninggar yang kupacu untuk pulang ke


Koparman, aku merasa hatiku tertinggal di dalam gua. Jujur kuakui,
aku menyukai putri Raja Hongtete di Negeri Cina itu. Aku menyukai
langsat kulitnya, kerling mata sipitnya, dan bibirnya yang bak kuncup
mawar.

ASMARALARA-Saroni Asikin 51
Tapi apa kata orang bila aku menerimanya sebagai istriku yang
ketiga sementara dia telah memaklumatkan diri akan menjadi istri
Nusirwan, mertuaku? Orang-orang pasti akan semakin meng-
gunjingku sebagai lelaki thukmis, si mata keranjang. Selama ini, aku
selalu digunjing sebagai lelaki perayu perempuan, lelaki yang selalu
takluk oleh kerling mata perempuan. Ya, memperistri Adaninggar
akan lebih buruk lagi gunjingannya. Tak hanya perayu perempuan,
aku bakal dicap tak beradab: perebut calon istri mertua.
“Oh, Adaninggar, kau telah keliru memainkan kartu untuk bisa
bersanding denganku.”
Langit kulihat begitu mendung dan kuperkirakan hujan akan
segera jatuh. Ketika jalan hendak menurun, aku sempat menoleh ke
belakang, ke arah gua tempat Adaninggar telah menyekapku.
Rintik gerimis mulai jatuh. Aku segera menyendal kekang kuda
dan memacu kencang-kencang karena dalam jarak sekitar setengah
yojana26 aku melihat atap-atap rumah. Dalam kecepatan lari kuda, aku
masih mengingat-ingat Adaninggar.
Gerimis berubah menjadi hujan deras ketika aku memasuki
ujung hunian. Setelah mencencang kuda ke sebatang pohon, aku
berlari ke rumah yang tertutup pintunya untuk bernaung.
Dari balik tirai hujan yang tempiasnya mengenai muka dan
tubuhku, di façade sebuah rumah aku melihat ukiran berpola bunga
padma dan aku sadar diriku sedang berdiri di Negeri Kaelan, negeri
musuhku.
Sembari menunggu hujan aku memikirkan cara keluar dari
Kaelan. Dari tempatku berdiri, satu-satunya cara untuk ke Koparman
adalah melintasi Kaelan. Aku mematut-matut diriku dan baru kusa-
dari diriku terbungkus piyama. Adaninggar memang menculikku
pada saat aku tidur. Busana seperti itu menguntungkan untuk saat ini
karena penampilanku tak bakal menarik perhatian orang.

***
26
Yojana: satuan ukuran panjang dalam tradisi Weda India yang berkisar 12-15 km.
ASMARALARA-Saroni Asikin 52
HUJAN telah reda dan matahari yang masih berada di sisi
timur lamat-lamat muncul kembali. Aku meneruskan perjalanan
dengan pacuan pelan karena aku tak ingin menarik perhatian orang.
Memasuki Kotaraja Kaelan, hari masih siang. Di alun-alun
terlihat kerumunan orang dan bunyi kendang dan alunan rebab
terdengar dari tenda besar di tengah alun-alun. Ada pertunjukan,
pikirku.
Aku masih berada di tepi jalan dengan memegangi tali kekang
kuda ketika terdengar bunyi terompet panjang dan derap kuda.
Rombongan orang berkuda melintasiku dan seorang penunggangnya
melecutkan cemeti ke tubuhku sambil berteriak, “Minggir! Putri
Kelaswara mau lewat!”
Untung saja aku sigap menghindar dari lecutan cemeti. Tapi
omongan si pencemeti tadi membuatku penasaran. Selama ini aku
telah mendengar cerita-cerita mengenai kehebatan dan kesaktian
putri Raja Kaelan itu. Juga cerita tentang kecantikannya yang tiada
tara. Sepintas tadi aku melihat seorang perempuan yang menunggang
kuda putih. Diakah Kelaswara?
Rombongan kuda berhenti dan para penunggangnya segera
memasuki tenda dan teriakan selamat datang untuk Kelaswara
terdengar.
Seharusnya saat itu juga aku harus pergi menjauh. Tapi
kepenasarananku akan rupa Kelaswara membuatku berjalan ke
kerumunan orang setelah menitipkan kuda ke pemilik warung. Aku
meyakinkan diriku bahwa di Kaelan ini tak seorang pun akan menge-
naliku. Dan kau tahu, mendatangi tempat musuh itu mirip ikan lele
yang menjemput tongkat penggebuk.
Keyakinanku keliru. Seseorang mengenaliku dan berteriak,
“Amir Ambyah dari Koparman!”
Aku yang terjebak di dalam kerumunan lalu dikeroyok puluhan,
ah mungkin belasan orang. Tapi aku membuktikan diri sebagai kesa-
tria perkasa yang bisa lolos dari sergapan mereka, berlari ke tempat
kuda, dan memacu satwa itu kencang-kencang.

ASMARALARA-Saroni Asikin 53
Ketika kurasa aku tak terkejar, aku berhenti di suatu tempat
yang sunyi. Saat aku mengunjal napas, lamat-lamat kudengar detak
kaki kuda mendekat. Kusimak dan aku lalu yakin, hanya seorang pe-
nunggang kuda yang masih memburuku.
Aku menunggunya karena aku yakin aku akan mampu
menghadapinya.
Dan datanglah si penunggang kuda putih. Perempuan. Kelas-
warakah dia?
Dia turun dari kuda. Begitu juga diriku. Gerakannya gesit tapi
anggun. Langkahnya tegas dan mantap. Aku berdiri menantinya
dengan tetap bersiaga.
Dalam jarak satu depa, dia berhenti. Bergeming.
Oh Tuhan, cerita tentang kecantikan Kelaswara itu bukan berita
dusta. Tapi bukan itu yang membuat jantungku mendadak berdegup
kencang. Aku seperti telah akrab dengan wajah itu. Ya, aku pernah
beberapa kali bertemu dengan pemilik wajah di depanku. Di dalam
beberapa kali mimpiku.
Aku ingin bertanya apakah dirinya memang Kelaswara, tapi
lidahku kaku. Lalu ketika dirinya tersenyum, kurasakan diriku, Amir
Ambyah yang digunjingkan sebagai perayu perempuan, saat itu
hanyalah lelaki yang gemetaran dengan jantung berdegup kencang.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 23 September 2018

APA YANG KAUMENANGKAN, KELASWARA?

TANGAN kanan Kelaswara masih mengacungkan pedang


ketika kedua kakinya mulai gemetaran. Sekilas dia melihat ke ujung
pedangnya yang masih meneteskan sisa darah segar. Darah
Adaninggar. Tapi ketika matanya beralih ke dua sosok di depannya,
dia mendesah. Dadanya sontak sesak dan kakinya makin gemetar.
ASMARALARA-Saroni Asikin 54
“Lalu apa yang kubanggakan dari pedangku yang telah merobek
lambungnya?” Kelaswara membatin ketika pelan-pelan menurunkan
tubuhnya, merunduk, dan menjadikan ujung pedang itu sebagai
tumpuan.
Dua depa di depannya, Amir Ambyah memeluk erat tubuh
Adaninggar yang berlumuran darah. Kelaswara bahkan mampu
menangkap napas tersengal suaminya. Bahkan sengalan napas itu
berubah menjadi isakan tipis ketika Adaninggar benar-benar
mengatupkan mata. Sekilas, Kelaswara melihat seguris senyum
Adaninggar tersungging untuk Amir Ambyah, suaminya.
“Ya Allah, apa arti pertarunganku dengannya? Musuhku mati
oleh pedangku, tapi aku lunglai menyaksikan bukti cinta suamiku
kepada musuhku,” rintih Kelaswara di dalam batin.
Cinta suamiku? Sejenak Kelaswara meragukan simpulannya
sendiri. Ah, tidak. Amir Ambyah tak pernah mencintai Adaninggar.
Kelaswara telah mendengar cerita tentang penolakan Amir Ambyah
kepada Adaninggar sebelum menyunting dirinya sebagai istri ketiga.
Dia juga mendengar kisah kemarahan Adaninggar yang menculik
suaminya.
Dan saat terpenting adalah ucapan Amir Ambyah sebelum
dirinya bersedia dia sunting: “Ah Puan Wara, kau mencemburui
Adaninggar?”
“Beberapa hari di dalam gua hanya berdua saja....”
“Hei, jangan keliru, ada kambing gunung juga yang bernaung di
dalam gua.”
“Aku tak mencemburui kambing, Tuan Amir.”
“Dia penculik, aku terculik.”
“Ada perawan yang jatuh cinta kepada penyamun yang
menyekapnya.”
“Aku bukan perawan. Aku lelaki dewasa dengan dua istri dan
sedang merayu seorang puan nan elok dari Negeri Kaelan. Dia putri
yang sempurna. Namanya Kelaswara.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 55
Kini mengingat percakapan itu, hati Kelaswara makin pedih.
Dia membuktikan semua omongan Amir Ambyah sebelum dia benar-
benar menerima pinangan lelaki itu hanyalah bualan seorang perayu.
“Lihat, ayo lihat, kini di depanku, suamiku menciumi muka
pucat si mati dan bibirnya lirih menyebut-nyebut gadis Cina itu.
Dengar, ayo dengar, rintihan tertahan suamiku meratapi jasad tanpa
nyawa perempuan yang begitu kucemburui. Kalau kau menyaksikan
sendiri bagaimana suamiku yang perkasa berubah menjadi anak
kucing di dekat bangkai induknya, kau tak akan menyangkal bahwa
ada cinta di dalam hati suamiku, si Amir Ambyah, Putra Mahkota
Kerajaan Koparman.”
Dengan gerakan kecil Kelaswara menegakkan tubuh. Dia benar-
benar ingin lari dari situ tapi kakinya seolah-olah kaku. Dia ingin
pergi dari Koparman, dari kehidupan Amir Ambyah. Mungkin dia
akan pulang ke Kaelan. Ah tidak, itu tak mungkin. Ayah beserta
seluruh rakyat Kaelan akan menyebutnya perempuan nista. Tak
hanya itu, bila benar-benar dia lari ke Kaelan maka permusuhan
Kaelan-Koparman yang telah berhenti sejak pernikahannya dengan
Amir Ambyah itu akan berkobar lagi.
Akhirnya Kelaswara hanya mampu bersimpuh. Sekejap Amir
Ambyah menoleh ke arahnya dengan tatapan seekor banteng yang
terluka.
Ya Allah, tatapan itu lebih mengerikan ketimbang godam api
malaikat penjaga neraka....
Kelaswara menarik napas panjang lalu mengenang adegan
sebelum lambung Adaninggar terobek ujung pedangnya.
Sebenarnya dirinya sedang terdesak oleh serangan Adaninggar.
Bahkan bila dia terlambat menelengkan kepalanya, mata pedang
Adaninggar akan menebas lehernya.
“Puji Allah,” batinnya ketika menyadari mata pedang
Adaninggar hanya sempat meretas sejumput rambutnya dan helai-
annya terserak oleh angin.

ASMARALARA-Saroni Asikin 56
Ya, Adaninggar sedang unggul ketika terdengar seseorang
menyerukan namanya.
“Adaninggar!”
Kelaswara menoleh ke sumber suara. Adaninggar pun begitu.
Itu suara Amir Ambyah.
Sekerdipan mata setelah menoleh ke arah suaminya yang
hendak menghambur ke arena pertarungan, matanya kembali tertuju
kepada lawan. Kelaswara melihat peluang bagus untuk menusukkan
pedang ketika Adaninggar terlihat lena. Dan ujung pedang itu tepat
menusuk bersamaan dengan teriakan Amir Ambyah, “Kelaswara,
ja....”
Terlambat. Kelaswara yang sedang melihat peluang bagus
memenangkan pertarungan melawan perempuan pengganggu rumah
tangganya itu dengan yakin menusuk lambung Adaninggar.
Tapi apa penghargaan untuk perempuan yang yakin sedang
mempertahankan harkat keluarganya?
Tatapan marah suaminya dan kebisuan suaminya hingga
beberapa candra berikutnya. Setiap dia bersitatap dengan muka
suaminya, dia seperti mendengar kalimat tanya yang diulang-ulang:
apa yang kaumenangkan, Kelaswara? (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 21 Oktober 2018

DI DEPAN PUSARA ITU AMIR AMBYAH SESENGGUKAN

DI DEPAN pusara itu Amir Ambyah membisu dan


sesenggukan. Aku, tentu saja, ikut merasakan kepedihannya. Jasad
berkalang tanah di bawah pusara itu, yang mungkin telah hancur,
adalah perempuan yang akan aku terima sebagai istri suamiku. Dia
akan jadi istri ketiga setelah aku dan Rabingu Sirtupeleli. Dialah
Adaninggar dari Cina.

ASMARALARA-Saroni Asikin 57
Poligami pada zamanku bukan hal yang didebat-debat. Ada
yang setuju dan tentu saja ada yang menolak. Tapi ups, siapa
sebenarnya diriku ini? Aku tahu, dalam seluruh kisah tentang Amir
Ambyah, namaku dan nama Rabingu Sirtupeleli jarang disebut.
Orang lebih suka membicarakan Muninggar, istri pertama suamiku
yang telah tiada. Orang juga lebih suka kisah cinta pelik antara Amir
Ambyah dan dua perempuan yang pada suatu hari berbaku bunuh:
Adaninggar dan Kelaswara.
Baiklah, namaku Sudarawreti, putri dari Negeri Parangakik
yang dinikahi Amir Ambyah ketika lelaki itu dalam kepedihan
ditinggal mati Muninggar. Ah, tapi aku tidak sedang menceritakan
diriku, bukan? Aku ingin bercerita tentang kepedihan berlarat-larat
suamiku sepeninggal Adaninggar. Aku ingin bercerita tentang
kebisuannya, mata muramnya, dan sesenggukannya di depan pusara
Adaninggar.
Aku ingin engkau yakin, kemenangan Kelaswara atas
Adaninggar yang dia yakini sebagai kemenangan cinta itu semata
kesia-siaan. Dia tak memenangkan cinta Amir Ambyah. Si matilah
yang memenangkannya.
Ah, aku memang membenci Kelaswara. Ya, aku sangat marah
ketika Amir Ambyah pulang dari Negeri Kaelan dan membawa putri
negeri itu sebagai istri. Orang bercerita, suamiku sangat mencintai
perempuan Kaelan itu, bahkan ada yang menyebut dialah perempuan
impian Amir Ambyah. Omong kosong! Hatiku lebih suka
memercayai bahwa Amir Ambyah menikahi Kelaswara hanya untuk
menaklukkan Kaelan yang berpuluh tahun menjadi musuh
Koparman, negeri suamiku.
Oh maaf, aku kok bercerita macam-macam padahal aku ingin
menceritakan kebiasaan Amir Ambyah ketika menziarahi pusara
Adaninggar di atas bukit di Parangakik?
Ya, atas perintah Amir Ambyah dan persetujuanku, Adaninggar
dimakamkan di negeriku. Pusara itu indah dari marmer hitam. Di
sekitarnya, tumbuh beragam pohon bunga: semboja, kacapiring,

ASMARALARA-Saroni Asikin 58
asoka, dan kesumba. Aku tak tahu mengapa suamiku memilih bunga-
bunga itu tapi aku tak pernah menanyakannya. Yang kutahu, pusara
itu kini sudah berada dalam keteduhan pepohonan. Yang juga kutahu,
Amir Ambyah melarang siapa pun menyingkirkan daun dan bunga
yang jatuh ke atas pusara.
Dan kau tahu, di satu sisi badan pusara, ada tatahan berupa sajak
pendek ciptaan suamiku: dia yang penuh cinta/tak pernah mati/karena
cinta itu abadi.
Oh, aku ingin tertawa ketika membayangkan Kelaswara mem-
baca sajak pendek itu....

***

AMIR AMBYAH sering mengajakku menziarahi pusara itu.


Aku tak tahu mengapa hanya aku, bukan Rabingu Sirtupeleli, atau
bahkan Kelaswara. Ah, mungkin karena aku orang Parangakik.
Biasanya sebelum sampai di Kotaraja Parangakik, Amir
Ambyah meminta kusir untuk berbelok ke jalan menuju bukit tempat
pusara Adaninggar berada. Biasanya Amir Ambyah berkata, “Kau
boleh tetap di kereta, Dara. Tapi bila engkau ingin berdoa untuknya,
mari kugandeng untuk sampai ke atas.”
Meski tak panjang, mendaki memang berat. Tapi aku bahagia
ketika suamiku menggenggam tanganku erat-erat dan berhenti ketika
tahu aku sedikit kepayahan.
Di depan pusara Adaninggar, kami khusyuk berdoa. Setelahnya,
dia berbisik kepadaku, “Kau boleh ke kereta duluan, Dara. Aku masih
ingin berlama-lama di sini.”
Aku mengangguk dan bangkit. Aku tidak turun menuju ke
kereta dan memilih berteduh di bawah sebatang pohon kecacil. Dari
situ, aku masih bisa melihat ke pusara. Sesekali aku melihat ada
gerakan kecil di kepala dan bahu suamiku. Ketika kucermati, aku
yakin itu gerakan orang sesenggukan. Menangiskah Amir Ambyah,
pangeran yang dipuja-puja seantero negeri?

ASMARALARA-Saroni Asikin 59
Ketika kami turun, aku tak berani menanyakan ihwal
sesenggukan itu. Tapi aku selalu melihat matanya agak basah dan me-
merah.
Pada perziarahan yang keenam, setelah aku menjauh dari
suamiku yang tetap bergeming di depan pusara, aku mendengar derap
kuda menuju ke atas bukit. Aku segera bersiaga. Ketika penunggang
kuda itu muncul, o-oh, Kelaswaralah yang datang.
Aku agak terkesiap. Dia tak memedulikan diriku. Pandangannya
langsung tertuju ke sosok yang sedang bergeming di depan pusara.
Alih-alih turun dari kuda, Kelaswara menarik kekang dan memutar
balik kudanya.
Aku ingin tertawa tapi kutahan karena tak ingin kesunyian
bukit dan kebergemingan suamiku terganggu. Tapi di dalam hati aku
tetap ngakak. Aku ngakak karena baru saja menyaksikan roman
Kelaswara sangat mirip muka orang kuat yang dirobohkan oleh anak
kecil yang baru bisa berjalan.
Kau boleh menghujatiku karena sikapku kepada Kelaswara yang
seperti itu. Kau boleh menyebutku sedang menertawakan kepedihan
orang lain. Hanya untuk soal Kelaswara inilah aku akan ikhlas
kauhujat-hujat. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 4 November 2018

MONOLOG KELASWARA

KETIKA melintasi kamar Kelaswara, kudengar suara isak


tangis. Aku menghentikan langkah dan mencoba menyimak bunyi
isakan itu secara lebih saksama. Siapa yang sedang menangis?
Bukankah pemilik kamar sedang pergi ke Parangakik menyusul
kepergian Amir Ambyah bersama Sudarawreti?

ASMARALARA-Saroni Asikin 60
Ya, sebelumnya aku memang mendengar kabar dari para biti
perwara bahwa Kelaswara menyusul suamiku yang sedang bersama
Sudarawreti di Parangakik untuk berziarah ke pusara Adaninggar.
Telingaku makin kutajamkan untuk menyimak bunyi isakan
tangis itu. Benar, itu isakan Kelaswara dan itu sungguh meng-
herankan aku.
Dia kesatria perempuan dari Kaelan yang begitu digdaya di
medan peperangan. Jauh sebelum Amir Ambyah, suamiku,
memboyongnya ke Koparman sebagai istri, kecempiangannya dalam
pertempuran telah beredar tutur-tinular. Bahkan, Adaninggar yang
namanya juga moncer karena kedigdayaannya, tak berdaya dan mati
dari ujung pedangnya. Nah, orang seperti itu bisa terisak-isak? Dia
yang tampak tegar dan kuat bisa menangis juga?
Aku tertawa di dalam hati menyadari kebodohan pertanyaanku.
Kelaswara tentu saja bisa menangis ketika sangat bersedih. Dan
kupikir, untuk orang seperti dia, kesedihan yang mampu mem-
buatnya terisak-isak pastilah tak terperikan.
Aku jadi penasaran dan ingin tahu apa yang membuat
Kelaswara dirundung kesedihan.
Perlu kau tahu, sejak Kelaswara menjadi salah seorang istri
suamiku dan hidup di Koparman, tak sekali pun aku, Rabingu
Sirtupeleli, berbicara kepadanya. Sama seperti Sudarawreti, aku
marah saat tahu Amir Ambyah memboyongnya dari Kaelan sebagai
istri. Saat kudengar dia terlibat pertarungan dengan Adaninggar,
hatiku pun berharap Putri Cina itu yang unggul. Dan ketika tahu
Kelaswaralah yang unggul, kedengkianku kepadanya makin besar.
Dan ketika Sudarawreti bercerita bahwa Amir Ambyah tak lagi mau
berbicara kepada Kelaswara setelah kematian Adaninggar, hatiku
mensyukurinya dan ikut mengutuk-ngutuk kemalangan perempuan
Kaelan itu.
Tapi isakan yang kudengar ini entah mengapa membuat hatiku
ikut merasakan kepedihan. Maka, pelan-pelan kusibak tirai penutup
pintu. Dan perempuan yang selama ini kubenci itu sedang bersimpuh

ASMARALARA-Saroni Asikin 61
di atas karpet dengan kepala tertunduk dan bahu bergerak-gerak kecil
akibat isakan tangisnya dalam posisi membelakangi pintu.
Aku membuka tirai pelan-pelan dan masuk, lalu bergeming.
Kulihat kepalanya bangkit dan dengan gerakan pelan menoleh ke
arahku. Di bawah keremangan cahaya damarsewu, aku tak mampu
melihat wajahnya dengan jelas. Dia bangkit dan berdiri. Setelah
menarik napas panjang-panjang dan mengusapi mukanya, dia berjalan
pelan dan berdiri satu depa di depanku.
Kali ini aku sedikit lebih jelas melihat mukanya. Sisa-sisa
leleran air mata masih jelas terlihat.
“Silakan masuk, Kak Rabingu,” ujarnya lirih sembari
mengisyaratkan agar aku duduk di atas karpet.
Aku mandah dan duduk bersimpuh di atas karpet. Dia segera
melakukan hal serupa.
“Aku tahu,” dia berkata, “selama ini Kak Rabingu, juga Kak
Sudarawreti, sangat membenciku. Kalian berdua makin membenciku
setelah kematian Adaninggar.”
Bibirku komat-kamit tapi lidahku kelu.
“Aku tak mempermasalahkan kebencian itu. Aku tahu, kalian
berdua berhak tidak menerimaku sebagai salah seorang istri suami
kita. Aku sudah biasa tidak disukai. Aku sudah biasa jadi sasaran
kebencian.”
Lidahku masih pejal untuk kugerakkan, lalu kupikir biar
Kelaswara saja yang berbicara.
“Baru saja Kak Rabingu melihatku menangis terisak-isak. Kakak
berhak merasa senang melihat orang terbenci sedang bersedih.
Silakan.... Tapi tahukah, Kak, sejak datang ke Koparman, aku sangat
ingin berhubungan baik dengan siapa pun di sini, terutama semua
istri suamiku. Aku ingin bersantai, mengobrol angin lalu dengan Kak
Rabingu dan Kak Sudarawreti. Bahkan, Kak, sebenarnya aku akan
menerima Adaninggar menjadi salah seorang istri suami kita. Aku
ikhlas. Aku sudah pernah mengutarakan hal itu kepada Amir Am-

ASMARALARA-Saroni Asikin 62
byah, suami kita. Tapi apakah Kak Rabingu tahu jawaban suami
kita?”
Lidahku masih tetap kelu untuk digerakkan sehingga aku hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
“’Tidak, Wara, Adaninggar telah memaklumatkan diri akan jadi
istri Raja Nusirwan, mertuaku. Bagaimana bisa aku menikahi calon
istri mertuaku sendiri?’ Itulah jawaban Amir Ambyah, suami kita.”
Aku menarik napas dan memandang nanap ke sosok Kelaswara
yang bercerita dengan tetap menundukkan muka.
“Itu sebabnya ketika Adaninggar melakukan berbagai upaya
untuk merebut Amir Ambyah dengan memusuhiku, aku tak bisa
diam. Aku menghadapinya. Aku yakin apa yang kulakukan itu adalah
cara seorang istri mempertahankan harga diri dan harkat keluarganya.
Tapi aku keliru, Kak....”
Dia tak melanjutkan kata-katanya dan terguguk. Isakannya kali
ini terdengar lebih keras dengan senggukan yang cepat daripada yang
sebelumnya kudengar dari luar kamar. Setelah isakan tangisnya dia
paksa berhenti, dia berkata lagi, “Aku keliru membaca hati suamiku.
Aku ternyata hanya perempuan pongah yang tak mampu membaca
mata dan hati suami sendiri. Bibir suamiku, ya suami kita, berkhianat
terhadap hatinya sendiri. Adaninggar adalah perempuan istimewa di
dalam hati Amir Ambyah. Dia tak mau lagi berbicara kepadaku
sepeninggal Adaninggar. Dan kau tahu, Kak Rabingu, suami kita
sering tercenung dan selalu terisak-isak ketika berada di depan
pusaranya.”
Hening sejenak. Kudengar dia menarik napas panjang.
“Kau sudah tahu alasanku terisak-isak, Kak. Setelah ini, aku tak
meminta Kak Rabingu, juga Kak Sudarawreti berhenti membenciku.
Aku sudah cukup lega dengan mengutarakan isi hatiku sekarang ini.
Tapi aku masih menyimpan harapan bahwa suatu hari aku bisa
mengobrol santai dengan semua istri suami kita.”
Dia kembali menarik napas panjang. Aku melakukan hal serupa
sebelum bangkit dan berjalan pelan-pelan keluar kamar.

ASMARALARA-Saroni Asikin 63
Di balik tirai kamar Kelaswara, sebelum melangkah menuju
kamarku sendiri, aku menyadari bahwa selama ini aku, juga
Sudarawreti telah bersikap tidak adil kepada Kelaswara. Oh, selama
ini aku melupakan ucapan yang pernah disebut guruku mengenai
kebencian yang membuat seseorang berbuat tidak adil. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 18 November 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 64
Asmaralara Rengganis-Julusul Asikin-Repatmaja

“Oh siapa yang tak silap oleh kecantikan dan pesona, Tuan
Repatmaja? Apakah istri Tuan si Putri Julusul Asikin tidak cantik dan tak
memesona lagi hingga Tuan tak lagi mau bersamanya?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 65
CARI NAMAKU DI DAUN-DAUN

AKU tahu orang-orang mulai menggunjingkan apa yang


kulakukan di Taman Banjaransari. “Pangeran Repatmaja si putra
Baginda Amir Ambyah telah menjadi majnun. Dia telah gila dan suka
berbicara kepada kembang-kembang.”
Aku tahu siapa penyebar gunjingan itu. Si Juru Taman. Kulihat
mukanya tidak cerah ketika kuminta dirinya menanami lahan kosong
di taman dengan kembang-kembang dari seluruh pelosok negeri. Dia
juga satu-satunya orang di area taman pada saat aku berada di situ.
Ah, tapi aku tak akan melakukan sesuatu terhadapnya. Aku
punya kuasa terhadapnya, bahkan aku bisa membuatnya berhadapan
dengan algojo pemenggal kepala. Tapi, selain berkuasa menghukum,
aku juga berkuasa mengampuni. Aku memaafkannya. Bahkan, aku
tak peduli apabila gunjingan tentang kegilaanku sampai ke telinga
ayahku.
Aku juga tak merasa perlu memaklumatkan ke seluruh rakyat
bahwa bukan kembang-kembang yang kuajak bicara melainkan
seorang gadis. Ya seorang gadis yang kecantikan dan pesonanya telah
membuat tidurku bergedabikan dirajam bayang-bayangnya.
Siapakah dia? Kali pertama bertemu dengannya di taman itu,
aku telah menanyakan namanya. Dia hanya tersenyum lalu terkikik
sembari mengatakan, “Bila kita ditakdirkan saling mengenal, Tuan
akan tahu siapa namaku.”
“Tak hanya ingin mengenalmu, aku bahkan sangat ingin selalu
bersamamu, Gadis.”
Dia terkikik lagi. “Kenapa, Tuan?”
“Kau cantik. Kau memesona.”
“Oh siapa yang tak silap oleh kecantikan dan pesona, Tuan
Repatmaja? Apakah istri Tuan si Putri Julusul Asikin tidak cantik
dan tak memesona lagi hingga Tuan tak lagi mau bersamanya?”
“Kau tahu namaku, juga nama istriku. Tapi siapa namamu?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 66
Kali ini dia terkekeh, dan setelah mengibaskan selendang ungu
yang melilit pinggangnya, tubuhnya segera mengambang di atas
kelopak-kelopak kembang. Dia berseru, “Bila memang kita
ditakdirkan saling mengenal, Tuan akan tahu namaku.”
Tubuhnya terbang makin tinggi hingga hilang di balik awan dan
hanya dua ujung selendangnya yang terlihat.
Ketika ujung selendang itu lenyap dari mataku, aku sontak
menyadari bahwa dia bisa terbang. Kesadaran itu hanya membuatku
makin ngungun oleh tanda tanya.
Hanya burung yang bisa terbang, atau kupu-kupu atau lebah.
Apakah dia penjelmaan hewan-hewan itu? Dia suka menyesap nektar
kembang, dan kupu-kupu dan lebahlah penyuka nektar. Tapi bukan,
dia benar-benar sesosok manusia seperti diriku. Atau dia gadis jin?
Bukankah jin bisa menyaru sebagai manusia?
Setelah pertemuan pertama itu, kulewatkan waktu untuk
memikirkannya dan melewatkan hari berlalu di taman itu. Kepe-
nasarananku terhadap dirinya yang bisa terbang terjawab pada kali
kedua kami bertemu bahkan sebelum aku menanyakannya.
Hmm, hanya bikin tambah penasaran saja karena ternyata dia
pembaca pikiran orang yang cempiang.
Setelah puas menyesap-nyesap nektar, dia berkata, “Apakah
hanya kupu-kupu dan lebah yang suka sari kembang? Aku juga, Tuan.
Boleh dibilang aku mencandu nektar kembang sedari usiaku enam
tahun komariah. Aku ingat kali pertama melakukannya ke sekuntum
mawar hutan. Dan ketika tahu aku suka sari kembang, ayahku
membuat taman kecil di tepi hutan yang ditanami aneka bunga. Aku
sering ke hutan itu. Sayang sekali taman itu tak ada lagi. Hanya ada
pusara ayahku di sana.”
Dia berhenti sejenak. “Jadi terjawab sudah kepenasaranan Tuan.
Aku bukan kupu-kupu atau kembang atau burung, dan bukan pula
jenis jin. Jin tak perlu pusara untuk menandai jasadnya yang mati,
bukan? Aku memang bisa terbang. Bila kita ditakdirkan saling
mengenal, dan Tuan berkenan, nanti aku ajari Tuan cara terbang.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 67
Selama dia berkata aku hanya bergeming. Setiap melihat dirinya
aku memang bagai terkena tenung.
“Tapi kalau aku bukan jenis manusia seperti Tuan, apakah aku
masih cantik dan memesona menurut Tuan? Apakah Tuan masih
ingin selalu bersamaku?”
Aku tergeragap dan terbata-bata menjawab, “Bahkan bila dirimu
itu jelmaan tukang sihir jahat....”
Dia tertawa. “Nah, Tuan masih ingin tahu namaku? Sudah
kutuliskan nama itu di selembar daun di rumpun kembang yang ada
di taman ini. Tuan bisa mencarinya di antara daun-daun itu. Tuan
akan menemukannya bila kita memang ditakdirkan saling mengenal.”
Dia terbang, seperti yang sudah-sudah. Ketika tubuhnya telah
hilang di balik awan, aku mulai menyigi daun demi daun. Aku terus
melakukan itu hingga kurasakan sengatan matahari.
Ups, telah tengah hari, padahal matahari baru sepenggalah
ketika daun pertama kusibak.
Masih belum juga kutemukan namanya. Aku hampir putus asa
ketika terdengar kikikan dari atas taman. Kulihat sosoknya yang
terbang dan melempar sesuatu. Selembar daun. Daun itu melayang
dan aku mengejarnya.
“Tuan segera tahu namaku dan bila kita ditakdirkan saling
mengenal, kita akan bertemu lagi. Bila tidak....”
Aku ingin berteriak padanya bahwa tentu saja aku sangat ingin
bertemu dengannya. Selalu. Tapi daun itu harus kutangkap dulu.
Setelah berada di tanganku, nama yang tergurat di daun itu
tertulis: Rengganis.
Oh, Rengganis! Tak pernah kudengar nama itu. Aku punya
kuasa untuk menggerakkan orang-oramg satu kerajaan untuk
mencarinya, tapi apakah itu harus kulakukan?
Sembari menggenggam daun bertuliskan nama Rengganis, aku
mendesah dan tercenung.
Oh andai manusia bisa membaca takdirnya, maka aku akan tahu
apakah aku akan bertemu lagi dengannya atau tidak. Ketika sudah

ASMARALARA-Saroni Asikin 68
melangkah keluar taman, aku sadar: bila orang telah mengetahui
takdirnya maka tak akan ada lagi misteri dan rahasia. Apa asyiknya
hidup tanpa misteri dan rahasia?
Rengganis, kau adalah misteri yang layak untuk kusingkap....(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 2 Desember 2018

SEBUTLAH NAMA JULUSUL ASIKIN, BUKAN RENGGANIS...

DALAM keterpejaman matanya, dia menggumamkan sebuah


nama. Berulang-ulang, terutama saat demamnya meninggi dan bulir
keringat memenuhi dahinya. “Rengganis... Rengganis... Rengganis....”
Duduk di samping petilamannya, kupandangi dirinya lekat-
lekat. Dalam timpaan cahaya dari kandil besar di kamar itu, mukanya
begitu muram, seperti kemuraman orang yang menderita siksaan
batin menahun. Sesekali terdengar bunyi kelesah dari bibirnya dan
bunyi napasnya memberat, disusul gumamannya menyebut nama itu.
Begitu gumamannya hilang, dengan pelan-pelan kusekakan sapu
tangan ke keringat di wajahnya, bulir demi bulir. Matanya tetap
terpejam dalam tidurnya yang tak nyaman, bahkan ketika aku
menempelkan kain basah di dahinya.
Perlu kau tahu, setiap menyeka bulir-bulir keringatnya, diriku
dihumbalangkan oleh perasaan antara kasih, sayang, benci, dan
marah. Aku tahu, pada saat seperti itu kedua mataku memberat oleh
leleran air mata yang sekuat dayaku kutahan untuk tidak meleler.
Tapi bila air mata itu tetap meleler, cepat-cepat kuusap, dan
sembari menarik napas panjang, di dalam hati aku berkata, “Hei
Julusul Asikin, masih adakah sisa air matamu setelah berbulan-bulan
kautumpahkan ke atas bantalmu? Masih tersisakah tangisanmu
setelah malam-malam kaulalui dengan tidur gelisah dan kau selalu
dirajam mimpi buruk? Masih mampukah kau menangis setelah

ASMARALARA-Saroni Asikin 69
kesepian hari-harimu di sebuah kamar mewah di Puri Pangeran
Kaelan? Masihkah seekor burung dalam sangkar emas seperti diriku
mampu mencuit betapapun itu cuitan pedih?”
Ya, lelaki yang terbaring itu, yang terdera demam tinggi dan
bibirnya selalu menggumamkan nama yang sama sekali tak kukenal
itulah penyebab segala penderitaanku. Ya, dialah lelaki yang
membuatku telah beberapa kali berpikir untuk pulang ke Jamintoran,
ke pangkuan ibuku, ke hadapan ayahku Sang Raja Sadarsalam. Dialah
pula lelaki yang telah membuatku sempat berpikir untuk mengakhiri
hidup dengan menenggelamkan diri ke dalam telaga di tengah Taman
Banjaransari.
Kadang-kadang di puncak penderitaan dan kesepianku, aku
menyalahkan takdirku. Kenapa dulu Pangeran Repatmaja, si putra
Amir Ambyah yang terkenal itu harus tersesat ketika berburu hingga
ditangkap prajurit Jamintoran? Kenapa dulu kami harus bertemu dan
bisa saling jatuh cinta, lalu dipertunangkan, lalu dibuhulkan dalam
ikatan perkawinan? Tapi kenapa rasa cintanya hanya bertahan tiga
purnama sementara cintaku kepadanya tetap bersemayam dan
mengerak di hatiku, bahkan hingga kini? Hingga kini setelah
berbulan-bulan dia mengabaikanku. Ah, mengabaikan itu ungkapan
yang terlalu halus karena bahkan tersenyum atau mau memandang
sekejap wajahku pun dia sudah tak mau. Hanya seseorang yang mati
hati saja yang bisa melakukannya.
Apakah karena aku tidak cantik lagi? Apakah karena aku tidak
memesona lagi sehingga gairahnya kepadaku lenyap begitu saja?
Tidak mungkin bila alasannya seperti itu. Tanya saja setiap
orang di Kaelan atau Jamintoran. Tanyakan seperti apa gambaran
perempuan bernama Julu Sulasikin, atau ada yang menyebutku
Julung Sulasikin atau Julusul Asikin. Beberapa pujangga istana
bahkan sering menulis puisi tentang diriku, dan sebagian besar
mereka menggambarkan diriku serupa bidadari dari surga.
Ah, sudahlah, sudahlah! Buat apa segala puja-puji tentang diriku
ketika diriku sebenarnya telah mati bagi Pangeran Repatmaja, satu-

ASMARALARA-Saroni Asikin 70
satunya lelaki yang kucintai di dalam hidupku. Sebenarnya pula aku
tahu, penderitaanku ini akan berakhir bila berakhir pula cintaku
padanya.
Tapi seperti sudah kukatakan kepadamu, hingga kini setelah
berbulan-bulan aku terdera penderitaan oleh sikap si lelaki yang
sedang sakit itu, cintaku kepadanya telah mengerak di dalam hatiku.
Tak berkurang bahkan seukuran sebutir debu sekalipun. Dan sudah
ratusan (ah mungkin ribuan) kali, aku mengucapkan kata-kata kepada
diriku sendiri, “Kau bertahan di dalam penderitaan karena kau
memiliki cinta, Julusul. Dan kau telah memilih cinta di atas segala-
galanya, bukan?”
Kuakhiri renunganku ketika kudengar lagi gumaman nama
“Rengganis” berulang-ulang dari bibirnya. Kuseka bulir-bulir keri-
ngatnya dan kuganti kompres di dahinya.
Aku tak ingin tahu siapa pemilik nama itu. Aku yakin itu nama
perempuan. Mungkin juga itu perempuan yang telah membuatnya
mengacuhkanku. Mungkin juga ada seribu perempuan lainnya.
Mungkin pula ada ribuan “Rengganis”.
Cemburukah aku? Marahkah aku? Ah, perempuan yang telah
mampu menanggung penderitaan selama berbulan-bulan itu sudah
kehilangan kata cemburu dan marah. Yang ada hanya kata cinta. Dan
aku yakin, cintaku punya kekuatan. Kekuatan itu berupa harapan, ya
harapan seredup apa pun bahwa suatu hari Pangeran Repatmaja akan
kembali mencintaiku.
Dan ketika memandanginya menggumamkan nama Rengganis,
batinku berbisik, “Ayolah Pangeran Repatmaja, ayolah suamiku,
sebutlah sekali saja namaku, sebutlah nama Julusul Asikin, bukan
Rengganis atau lainnya....”
Tapi semalaman aku menungguinya, masih juga nama itu yang
dia gumamkan.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 16 Desember 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 71
UJIAN UNTUK REPATMAJA

PAGI ini kami bertemu lagi di Taman Banjaransari. Mukanya


begitu pucat dan tubuhnya begitu kurus. Tentu saja aku tahu
penyebabnya. Hampir sepekan lamanya dia terbaring dirajam demam
dan tak mau makan. Beberapa tabib yang telah didatangkan ayahnya,
Amir Ambyah, hanya berkata lirih, “Pangeran Repatmaja tidak sakit,
Paduka Tuan Amir. Tak ada tabib yang akan bisa menyembuhkan
orang yang sakit kasmaran. Penyembuhnya hanya perempuan dalam
igauan Sang Pangeran.”
Amir Ambyah, penguasa Kaelan itu segera menjatuhkan titah,
“Kerahkan orang-orang, cari Rengganis, bahkan bila dia di kerajaan
para jin.”
Hingga hampir sepekan tak seorang pun berhasil. Padahal sejak
titah itu dijatuhkan, perempuan yang mereka cari itu berada di
Taman Banjaransari ini.
Sesekali aku tertawa ketika membayangkan betapa orang-orang
belingsatan mencari diriku ke seluruh pelosok negeri, sementara
orang tercari itu ada di dekat pembaringan si penderita kasmaran.
Mengapa aku tahu semua itu? Mengapa aku tahu igauan
Pangeran Repatmaja, ya Pangeran Iman Sumantri yang menyebut-
nyebut namaku? Mengapa aku tahu tangisan pedih dan gumaman
lirih Julusul Asikin, si istri terabaikan itu? Mengapa aku tahu semua
percakapan di kamar si sakit antara para tabib dan Raja Amir
Ambyah?
Aku, Rengganis, si putri pertapa dari Hutan Argapura, pertapa
yang dulunya Raja Jamineran itu selain bisa terbang bagaikan kupu-
kupu juga dikaruniai telinga tajam yang mampu mendengar bisikan
angin dari jarak seribu yojana. Dari mana aku punya kemampuan itu?
Jangan kautanya padaku karena aku sendiri tak pernah tahu dan aku
lebih suka menyimpulkannya sebagai rahmat Tuhan.
Pagi ini aku kembali ke Taman Banjaransari, dan ketika melihat
Pangeran Repatmaja berjalan tertatih-tatih lalu duduk di bangku

ASMARALARA-Saroni Asikin 72
taman, aku bersembunyi di balik rimbunan kembang. Sejak
pertemuan pertamaku dengannya, kuakui aku menyukai dirinya. Tapi
aku telah memutuskan untuk menguji seorang lelaki yang kasmaran
pada pandangan pertama. Yap, kuanggap ini permainan perasaan
yang mengasyikkan.
Maka meskipun sebenarnya sejak pertemuan pertama itu aku
selalu ada di taman dan melihat dirinya menungguku dari pagi hingga
senja, kujadikan diriku tidak tampak dari penglihatannya. Untuk
kemampuan menghilangkan tubuh dari pandangan orang juga tak
perlu kautanya dari mana karena akan kujawab itu juga rahmat tuhan.
Ya, selama beberapa hari melihatnya gelisah menunggu
kedatanganku, aku telah memikirkan untuk membalas kasmarannya.
Bahkan bila dirinya meminangku sebagai istrinya, aku pun akan
menerimanya. Tapi aku punya satu syarat, syarat yang kemungkinan
akan diterima lelaki manapun dengan suka cita. Siapa pun yang mau
menikahiku harus pula bersedia menikahi Kadarmanik. Jangan
kauragukan kecantikan gadis dari Mukadam itu. Banyak pangeran
telah datang meminangnya. Bahkan sekarang ini, saat aku berada di
taman ini, dia sedang sangat bersedih karena dia telah dipaksa
bertunangan dengan Pangeran Hirman, putra Raja Medayin.
Ya, aku mau jadi istri Pangeran Repatmaja dengan syarat dia
juga memperistri Kadarmanik. Hahaha, kau boleh menyebut hal itu
bukan syarat melainkan tambahan berkah....
Tapi untuk itu, si pangeran harus diuji. Aku akan mengatakan
hal-hal buruk tentang Kadarmanik, hal-hal yang kemungkinan besar
membuat lelaki bergidik membayangkan memiliki istri seperti yang
akan kusebutkan.

***

MAKA kubuat diriku tampak di mata Repatmaja. Dia begitu


gembira. Mukanya yang tadinya mirip rona mayat mendadak tampak
bercahaya dalam timpaan mentari pagi.

ASMARALARA-Saroni Asikin 73
Begitu melihatku, mulutnya berkali-kali mengucapkan kalimat
syukur dan segera dari bibirnya keluar repetannya untuk tak mau lagi
berpisah denganku. Dan inilah saat untuk mengujinya.
Kukatakan kesediaanku. Dia kembali mengucapkan kalimat
syukur.
“Tapi aku punya syarat: Tuan juga harus menikahi
Kadarmanik.”
“Siapa dia?”
“Gadis yang tak bisa dipisahkan dari kehidupanku.”
“Tapi aku hanya mencintaimu, Rengganis.”
“Tapi itu syaratku. Menerima, Tuan beroleh dua istri. Tidak
menerima....”
“Kuterima apapun syaratmu.”
“Jangan terburu-buru memutuskan, Tuan. Kadamanik ini buruk
muka, bermata picak, dan berbibir sumbing. Tubuhnya hitam dan
kurus kering. Tangan dan kakinya berbulu sampai-sampai orang
menghinanya sebagai putri iblis.”
Aku berhenti sejenak untuk melihat reaksinya. Dia tampak
terkesiap dan mengernyitkan kening.
“Tak hanya itu. Dia juga menderita lepra, makanya dia
diasingkan. Begitulah dia. Bersedia, Tuan?”
Dia tak menjawab. Kepucatan mukanya kembali tampak.
“Itu syaratku. Pikirkan itu, Tuan. Kuharap Tuan sudah
memberikan jawaban pada pertemuan kita berikutnya, itu bila Tuhan
memperkenankan kita bisa kembali bertemu.”
Aku terbang meninggalkan Pangeran Repatmaja. Di antara
awan-gemawan, aku tertawa melihat sosoknya yang mirip seonggok
pakaian lungset. Apakah dia akan menerima Kadarmanik? Entahlah.
Yang pasti, aku akan menemui Kadarmanik, dan kami yakin akan
tertawa-tawa saat aku menceritakan hal ini kepadanya. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 30 Desember 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 74
Asmaralara Renuka-Citrarata-Jamadagni

Kalian tak perlu tahu apakah aku menyesal atau tidak. Cukup kalian
tahu, beberapa saat bersama Citrarata mampu mengubur penderitaanku
selama lebih dari tiga warsa. Sesaat bersama Citrarata, kebahagiaanku tak
sebanding dengan isi semesta. Bila setelah kematianku, namaku akan selalu
disebut bila ada yang kawin gandarwa, para peselingkuh, para pelancung,
dan aku akan dihujat-hujat, aku akan menerimanya.

ASMARALARA-Saroni Asikin 75
PENGAKUAN PEREMPUAN PESELINGKUH
SEBELUM DIHUKUM MATI

SENJA itu di bawah kerindangan pohon brahmastana kuakui


perbuatanku: aku telah kawin gandarwa dengan Citrarata. Aku telah
beberapa kali menyerahkan tubuhku kepada penguasa Martikawala
itu di tepi Telaga Ngringin.
Begitu kalimatku purna, kudengar desahan dan geremengan dari
enam lelaki di hadapanku. Kudongakkan wajah dan kupandangi
mereka satu per satu. Jamadagni, suamiku, memandang kosong ke
ujung horizon, tempat pendar cahaya jingga memenuhi langit.
Keempat anakku menatapkan sorot mata seekor banteng yang
terluka. Hanya Bargawa, anak bungsuku yang bersila dengan muka
menunduk. Tapi aku tak silap: di dalam kebergemingannya, ada
magma amarah di dalam dadanya.
“Kalian sudah mendengar sendiri. Dan kalian tahu hukuman
apa untuk seorang istri dan ibu penoda kesucian keluarga.”
“Aku tak sanggup, Ayah,” kudengar suara Rumawan, sulungku.
Ketiga adiknya -Susena, Wasu, dan Wiswawasu-pun bersikap
sama. Yang tak kuduga sama sekali, bungsuku si Bargawa, anak yang
paling dekat denganku, yang paling kukasihi, berkata dingin, “Aku
yang akan membasuh kotoran di keluarga kita. Kapakku akan jadi
pengadilnya. Tapi aku meminta syarat, Ayah.”
“Katakan, Bargawa!”
“Aku tak akan mengatakannya di hadapan Ibu dan keempat
kakakku. Ayah seorang waskita yang mampu membaca pikiran dan
relung hati orang. Silakan Ayah memandangku dan membaca syarat
yang kuminta sebelum kapakku menetak leher Ibu.”
Bargawa bangkit dan bersila di hadapan ayahnya. Kupandangi
Bargawa dengan kecamuk pikiran dan hati: mengapa harus si anak
terkasihku yang akan menghukumku?

ASMARALARA-Saroni Asikin 76
“Suamiku,” lirih aku berkata, “izinkan istri dan ibu penuh dosa
ini bercerita sebelum kepalaku menggelundung oleh kapak putra
tercinta kita, Bargawa.”
***
SUAMI dan anak-anakku, ceritaku ini bukan untuk membela
diri melainkan untuk mengurai beban hatiku sejak diriku diboyong ke
Istana Kanyakawaya. Aku tak butuh pembelaan karena aku memang
telah berdosa, dosa yang kulakukan sepenuh kesadaranku.
Aku hanya ingin kalian tahu bahwa aku telah mampu berpura-
pura bahagia lebih dari tiga warsa, dan tentu saja itu lebih lama dari
usia Rumawan.
Ketahuilah, di istana ayahku Raja Prasnajid, aku adalah putri
raja yang periang dan lincah seperti seekor prenjak. Dan hari ketika
Jamadagni, Raja Kanyakawaya memboyongku sebagai istri, itulah
hari kepura-puraanku dimulai. Aku sering membasahi bantal pada
malam-malam aku kesepian dan bersedih. Sudah ratusan kali aku
terguguk di bahu para biti perwara. Tapi begitu keluar kamar, aku
harus berperan sebagai ratu yang terlihat bahagia.
Ke mana suamiku ketika aku butuh bahu untuk bersandar dan
telinga untuk menampung suara batinku?
Dia tak peduli. Sejak menjadi istrinya, kalimat yang kudengar
darinya hanyalah kalimat perintah. Dia tak pernah mau berbicara
kepadaku. Dia hanya datang kepadaku ketika ingin menuntaskan
berahinya. Masuk ke kamar, membuka seluruh busana, dan aku sudah
harus tahu apa yang dia inginkan.
Waktu berlalu dalam kepura-puraanku sebagai perempuan
paling mulia di seantero Kanyakawaya. Sementara suamiku menua,
mengeriput kulit tubuhnya, dan kelima anakku tumbuh dewasa, aku,
Renuka si putri Raja Prasnajid tetap bertubuh gadis dengan gairah
berahi seorang perempuan muda. Perempuan mana yang tak ingin
kemudaan tubuhnya lestari? Aku tentu saja mensyukurinya sebagai
karunia. Tapi karunia itu pula yang membawaku ke langkah yang
menerabas tata susila.

ASMARALARA-Saroni Asikin 77
Harus kutegaskan pada kalian, aku mampu menindas perasaan
dan gejolak berahi itu lebih dari tiga warsa. Lalu keputusan suamiku
lengser keprabon dan menjadi pertapa di Hutan Dewasana ini makin
membuatku menderita. Tanpa pernah membicarakannya denganku,
juga pasti dengan kalian berlima, Jamadagni memutuskan
menyerahkan kerajaan kepada orang lain dan hidup berlarat-larat di
sini.
Lalu datanglah hari yang akan kalian sebut sebagai hari terlak-
nat, tapi buatku adalah hari kelahiran kembaliku.
Suatu pagi, saat aku mencari reranting kayu, kudengar tawa
kecil dari Telaga Ngringin. Dari balik dedaunan, kulihat seorang
lelaki muda tampan bersama lima perempuan yang semuanya cantik.
Mereka asyik mandi.
Mendadak kepalaku pusing dan entah drubiksa mana
merasukiku. Ada bisikan agar aku ikut mencebur ke telaga.
Aku mampu bertahan dengan tetap bersembunyi. Kakiku
gemetaran. Lalu saat mereka selesai, kubuat diriku seolah-olah tak
sengaja berpapasan dengan mereka.
Tak perlu kuceritakan lebih rinci, yang pasti, Citrarata meminta
kelima istrinya pulang ke istana beserta para biti perwara dan
pengawal. Maka terjadilah yang semestinya tak terjadi. Dan itu
berulang beberapa kali sebelum aku disidang di hadapan kalian.
Kalian tak perlu tahu apakah aku menyesal atau tidak. Cukup
kalian tahu, beberapa saat bersama Citrarata mampu mengubur
penderitaanku selama lebih dari tiga warsa. Sesaat bersama Citrarata,
kebahagiaanku tak sebanding dengan isi semesta.
Bila setelah kematianku, namaku akan selalu disebut bila ada
yang kawin gandarwa, para peselingkuh, para pelancung, dan aku akan
dihujat-hujat, aku akan menerimanya.
Tapi aku harus meminta maaf kepada kalian lantaran
perbuatanku telah membuat kalian marah, kecewa, dan bersedih. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 13 Januari 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 78
Asmaralara Jonggrang-Bandawasa

“Jonggrang, aku bisa mati tapi tidak asmaraku kepadamu. Kapan


kaubuka hatimu?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 79
KIDUNG RARA JONGGRANG

RAJA Baka tersungkur. Saat ujung kerisku masih meneteskan


darah segar, seorang gadis menyeruak ke Sasana Sumewa, menubruk
tubuh si mati dan menjerit pilu. Ketika wajahnya menoleh ke arahku,
sontak diriku seperti dihantam pesona dahsyat. Inikah si putri Raja
Baka yang cerita tentang kecantikannya telah beredar dari
Prambanan, Baka, hingga Pengging? Hmm, kabar tentang kecantikan
sang putri itu ternyata bukan warta dusta.
Lekat-lekat kutatap dirinya: wajahnya bulat, bermata buah
kenari dengan alis menggaris tipis, berhidung lurus yang selaras
dengan bibir kecilnya berwarna kelopak bunga katirah, dan ada setitik
tahi lalat kecil di atas ujung bibir sebelah kanan.
Dia bangkit. Rambut panjangnya yang tergerai itu berkibar.
Tubuhnya tinggi, langsing, dan semampai. Pantas saja orang-orang
menyebut dirinya Rara Jonggrang, si gadis bertubuh langsing. Sebelah
tangannya bergerak ke pinggang dan mencabut cundrik di lipatan
kainnya. Lalu dengan sorot mata kemarahan, dia menghambur ke
arahku. Ujung cundriknya tertuju ke dadaku. Dia terkesiap ketika
ujung gamannya tak mampu menembus dadaku. Beberapa kali dia
menikam-nikam tanpa hasil hingga dia kelelahan, lalu duduk
bersimpuh di lantai.
“Bunuhlah aku dan sempurna sudah kaukuasai Kerajaan Baka,”
ucapnya.
Aku menghela napas panjang dan berkata, “Kenapa aku harus
membunuhmu ketika kau bisa menjadi istriku dan permaisuri di
kerajaan ini?”
“Aku tak sudi menjadi pendamping lelaki yang telah membunuh
ayahku,” ucapnya dengan nada bengis, “Mati buatku lebih baik.”
Aku menyarungkan kerisku setelah membesut sisa darah Raja
Baka dengan kain yang kupakai.
“Aku punya kesabaran seluas langit untuk menunggumu
bersedia menjadi istriku. Benar, aku datang ke sini untuk menghabisi

ASMARALARA-Saroni Asikin 80
kalian semua, Tapi melihatmu, entah mengapa, diriku tertikam
asmara. Aku merasa kau belahan jiwaku, Jonggrang.”
Kudengar dia tertawa kecil. “Bahkan bila aku kaupenjarakan
seumur hidup, aku tak akan pernah mau menjadi istrimu.”
Beberapa saat hening.
“Apakah kata-kata seorang pembunuh bisa dipercaya?” dia
bertanya.
“Tentang apa? Tentang asmaraku kepadamu? Kau perlu
pembuktian seperti apa?”
Lagi-lagi hening beberapa saat. Lalu dia bangkit dan dengan
pandangan tak semarah sebelumnya, dia berkata, “Kudengar kabar
kau orang digdaya. Kau sendiri yang menawarkan pembuktian rasa
asmaramu kepadaku. Dengarkan, Bandawasa! Buatkan aku sumur
yang dalam dan dilengkapi dengan taman kolam petirtaan dari batu-
batu Gunung Merapi. Itu harus selesai selama matahari tidur. Aku
ingin juga kaubuatkan seribu candi yang indah dalam semalam. Bila
kau gagal, aku tak akan pernah sudi menerimamu.”
Dalam hati aku tersenyum. Kedua permintaannya bukan
perkara sulit untuk orang yang menguasai ratusan ribu jin seperti
diriku, si Bandung Bandawasa.
“Hanya itu? Aku akan mewujudkannya meskipun aku akan
berbahagia bila hatimulah yang menerima rasa asmaraku.”

***

SEPERTI yang kukatakan, membuat sumur dan taman kolam


petirtaan bukan perkara sulit untukku. Belum juga gagat wengi27,
kolam dan taman itu sudah kelar. Jonggrang lalu memintaku untuk
turun ke sumur untuk memeriksa kebeningan airnya. Aku mandah
saja. Ketika aku sudah di dasar sumur yang airnya setinggi
pinggangku, kudengar dia memanggil seseorang. Tak berapa lama
kemudian, batu-batu besar menimpa tubuhku.
27
Gagat wengi: waktu Jawa sekira pukul 22.00

ASMARALARA-Saroni Asikin 81
Sebenarnya mudah buatku untuk menghancurkan batu-batu itu.
Tapi ketika kusadari bahwa Jonggrang tak akan pernah menerima
asmaraku dan lebih menginginkan aku mati, maka dengan
kemampuanku, aku menembus tanah dan keluar dari dalam bumi
pada jarak seratusan depa dari orang-orang yang terlihat masih terus
menimbuni sumur buatanku. Mereka tak tahu aku telah tak ada di
dasar sumur. Dari tempatku bersembunyi kudengar tawa keras
Jonggrang.
Orang-orang bubar ketika sumur buatanku telah benar-benar
tertimbun batu. Aku mencari pohon yang lebat dan tidur di antara
dahannya. Sebelum lelap aku tersenyum membayangkan muka
terkejut Jonggrang saat aku menemuinya nanti, pada hari terang.
Dia memang terkejut tapi segera menagih seribu candi yang
harus kubuat dalam semalam. Aku hanya tersenyum dan berkata,
“Aku tahu kau akan mengkhianati janjimu. Tapi aku akan tetap
membuat seribu candi untukmu. Oh aku akan berbahagia andai
hatimulah yang menerima asmaraku, bukan mulutmu. Mulut bisa
setiap kali berdusta.”
Sekali lagi kukatakan, membuat seribu candi bukan perkara
sulit. Ketika 24928 candi telah rampung, kudengar suara Jonggrang
berkidung: “Akulah penghamba asmara, tapi kenapa hatiku membatu?
Kenapa hatiku membatu untuknya? Dan hati batuku akan abadi hingga
dunia purna.”
Kusimak kidung itu. Suaranya merdu. Tapi hatiku begitu perih
ketika menyadari dirinya tak akan pernah menerimaku. Aku
mungkin akan memiliki tubuhnya, tapi tidak hatinya. Ya, Jonggrang
tak akan pernah bisa kumiliki jiwa dan raganya. Lalu kuperintah
semua jin bubar dan menghentikan pembuatan candi. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 27 Januari 2019

28
Meskipun sering disebut Candi Sewu, candi di Kompleks Prambanan berjumlah 249.

ASMARALARA-Saroni Asikin 82
CERITA CINTA DI DALAM PATUNG DURGA

KABAR tentang ratusan candi di suatu tempat di Prambanan


segera menyebar. Orang dari berbagai tempat datang untuk me-
nyaksikan keelokan pahatan batu-batunya.
Jonggrang yang tetap tinggal di Istana Baka sesekali datang.
Para pengiringnya harus sangat bersabar karena Jonggrang selalu
berhenti lama untuk mencermati setiap cerita yang terpahat di
dinding-dinding candi. Sida-sidanya sering melihat sang putri me-
nangis tanpa suara dan membiarkan leleran air matanya mengering di
wajahnya.
Sekira lima saptahari sejak kabar pertama tersiar tentang ratusan
candi itu, orang-orang kembali dihebohkan oleh sebuah patung besar
yang kukuh berdiri di sekitar candi-candi itu. Orang bilang itu patung
Durga Mahisasuramardini. Orang juga bilang, wajah patung itu
sangat mirip wajah Jonggrang.
Malam itu rembulan purnama. Sepi. Hanya ada bunyi kesiur
angin dan percakapan lirih empat prajurit Baka yang diperintah
Jonggrang menjaga candi.
Duduk di cabang kalpataru yang tak jauh dari patung Durga,
dua ekor jin bercakap-cakap.
“Aku sering mendengar cerita cinta dari bangsa manusia, tapi
tak ada yang membuatku begitu terharu seperti kisah dalam
pembuatan patung Durga itu. Kau ingin mendengar cerita sebenarnya
tentang patung itu?”
“Kisah cinta? Bukankah manusia bilang Durga itu sesembahan
mereka? Itu patung pemuliaan, bukan kisah cinta.”
“Karena itu, Kalpika, kau akan bersepakat denganku setelah
mendengar ceritaku ini.”

***
INILAH cerita jin yang terlibat dalam proses pembuatan patung
Durga.

ASMARALARA-Saroni Asikin 83
Setelah meminta kita tak melanjutkan pembuatan candi, Tuan
Bandawasa pergi dan menyepi di sebuah gua. Setiap hari dari saat
matahari muncul hingga lenyap di barat, dia berdiri di suatu tempat
dengan pandangan mengarah ke Istana Baka. Selama saptahari dia
begitu. Lalu pada hastahari29 dia memanggilku. Aku yang saat itu
sedang menghadiri perkawinan keponakanku di Samarkand segera
terbang menemuinya.
“Rucika, bawakan aku batu besar dan setinggi pohon kalpataru.”
Seperti yang sudah-sudah, aku menyatakan kesediaan tanpa
bertanya, tanpa membantah apa pun. Saat itu aku hanya perlu
beberapa kejap untuk ingat di mana pernah melihat batu yang
dikehendaki Tuan Bandawasa.
Aku terbang dan kembali ke hadapan Tuan Bandawasa dengan
memanggul sebongkah batu besar dan tinggi. Tuan tersenyum dan
memintaku memberdirikan batu itu di bawah kerindangan
brahmastana. Dia lalu memintaku mengambilkan peralatan memahat.
“Pergilah ke Istana Baka. Tunggu hingga malam. Sirep Putri
Jonggrang lalu bawa kemari. Kalau sampai putri itu terbangun
sebelum dia berada kembali di pembaringannya, kau akan kuhukum.”
Lagi-lagi tanpa bertanya apa pun, kupatuhi perintahnya. Uuh,
ketika memandangi Putri Jonggrang yang tertidur dengan kain yang
agak tersingkap, aku hampir saja tergoda untuk memerkosanya.
Hmm, kalau aku tak takut terhadap hukuman dari Tuan
Bandawasa....
Lalu kulakukan apa yang diperintahkan. Aku agak terkejut
ketika melihat ratusan obor menyala menerangi sebuah dangau kecil
di dekat pohon brahmastana. Ada tilam terbungkus kain dan Tuan
Bandawasa memintaku membaringkan Putri Jonggrang di situ. Dia
lalu berlama-lama memandangi wajah si putri yang lelap itu sebelum
dia mulai menatah batu besar itu. Beberapa saat setelah menatah batu,
Tuan Bandawasa kembali berlama-lama memandangi si putri. Lalu

29
Saptahari: tujuh hari; hastahari: delapan hari

ASMARALARA-Saroni Asikin 84
sebelum celeret jingga membias di langit timur, dia memintaku
membawa kembali sang putri ke kamarnya di Istana Baka.
Begitulah setiap malam. Aku ingat, pada malam pertama, Tuan
Bandawasa hanya berhasil menatah dua mata yang terbuka. Kalau
dipandang dengan saksama, kedua bola mata itu seolah-olah hidup.
Dan kalau aku tak keliru menghitung, itu berlangsung selama lima
saptahari hingga patung itu kini berada di tempat yang kita lihat
sekarang.
“Tapi mengapa sosok itu Durga yang berdiri di atas seekor
kerbau, lengkap dengan empat tangan dan segala peralatan milik sang
betari sesembahan tersebut?” tanya Kalpika.
“Aku tak berani menanyakan hal itu kepada Tuan Bandawasa.
Bukankah kita para jin yang tunduk kepadanya tak pernah
menanyakan sesuatu selain memenuhi perintahnya?” balas Rucika.
“Aku hanya menduga, patung Durga berwajah Jonggrang itu
ungkapan cinta tuan kita.”
“Kalau tuan kita mencintainya, mengapa tak memperistrinya
saja? Itu bukan perkara sulit.”
“Aku pun bertanya-tanya seperti itu. Aku tak tahu mengapa.
Tapi tuan kita pernah berkata kepadaku, 'Rucika, aku sangat
mencintai Jonggrang. Tapi dia menampikku. Memaksa memper-
istrinya hanya membuatnya menderita. Seorang pencinta sejati tak
mungkin menyakiti yang dicintainya. Tapi aku tetap menyimpan
harapan: suatu hari dia akan menerimaku. Aku akan menunggunya,
bahkan bila itu tepat pada saat kematianku tiba.” (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 10 Februari 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 85
SELEMPIR LONTAR DARI BANDAWASA

AKU kecewa dan menghentikan kidungku ketika Gupala


mengabarkan kepergian Bandung Bandawasa sebelum purna
pembuatan seribu candi.
Kecewa? Bukankah seharusnya aku bergembira dan
meneriakkan kemenangan? Tentu saja aku menang karena dia gagal
memenuhi permintaanku membuat seribu candi. Itu artinya dia gagal
menyuntingku. Seperti kautahu, begitulah yang kukehendaki pada
mulanya.
Pada mulanya? Ya, pada mulanya aku memang tak sudi hidup
bersama lelaki pembunuh ayahku. Tapi kemarahanku meluruh pada
pagi setelah malamnya aku meminta Gupala dan para prajurit
menimbuni sumur buatannya dengan batu-batu agar dia mati
berkalang bebatuan.
Pagi itu aku menyaksikan mata suci seorang pencinta. Pagi itu
aku merasa cintanya kepadaku adalah cinta yang sejati, dan aku
gemetar ketika dia mengatakan, “Aku tahu kau akan mengkhianati
janjimu. Tapi aku akan tetap membuat seribu candi untukmu. Oh aku
akan berbahagia andai hatimulah yang menerima asmaraku, bukan
mulutmu. Mulut bisa setiap kali berdusta.”

***

WAKTU berlalu dan tak pernah lagi kudengar kabar mengenai


dirinya. Aku menghibur diriku dengan pergi setiap hari ke candi-
candi buatannya yang kuakui begitu indah sembari bertanya-tanya,
“Bagaimana bisa dalam sepenggalah malam dia mampu membuat
ratusan candi dengan tatahan kisah yang elok di dinding-din-
dingnya?”
Sebagai putri raja (oh Ayah, semoga engkau damai di alam
kelanggengan....), aku tentu saja mengetahui cerita yang terpahat di

ASMARALARA-Saroni Asikin 86
dinding candi. Dharmadyaksa ring Kasaiwan30 beberapa kali
menceritakannya, dulu ketika Keraton Baka belum dihancurkan
Bandawasa. Itu kisah Sinta yang diculik Rahwana dari Alengka,
penculikan yang memicu perang besar yang melibatkan bala tentara
kera31. Aku ingat, aku sering membayangkan kemungkinan hati Sinta
pada akhirnya luluh dan menerima asmara penculiknya.
Setiap memandangi pahatan yang menggambarkan penculikan
Sinta, ingatan tentang kemungkinan Sinta bisa menerima asmara
Sang Rahwana itu selalu menyergap benakku. Aku tersenyum dan
tersipu-sipu sendiri ketika menyadari sebenarnya itulah diriku yang
akhirnya luruh oleh asmara sejati Bandawasa.
Tapi setelah itu, aku kembali bertanya-tanya mengapa
Bandawasa menatahkan cerita itu pada dinding candi? Apakah dia
ingin mengingatkanku bahwa dirinya tak ingin melakukan seperti
yang dilakukan Rahwana? Ah, sudahlah! Yang pasti, setelah
kepergian Bandawasa itu, si Rara Jonggrang ini, bukan lagi gadis
periang. Dia melewati hari-harinya dalam kepedihan dan penyesalan.
Dia melewatkan hari-harinya dengan menyimpan harapan: suatu hari
Bandawasa akan datang.
Tapi dia tak datang-datang juga. Yang sampai kepadaku adalah
kabar tentang sebuah patung besar Durga Mahisasuramardini, yang
wajahnya menurut orang-orang adalah wajahku. Itu lima saptahari
setelah dia menghilang. Dan ketika aku menyaksikan sendiri, aku
terpesona sekaligus heran saat melihat wajah patung itu. Itu benar-
benar wajahku, dan aku yakin siapa pembuatnya. Lelaki itu. Tapi
bagaimana bisa dia menatah wajah sepersis wajahku sementara kami
hanya bersua dua kali dan hanya sekilasan bersipandang? Oh,
Bandawasa, apakah sebenarnya kau itu angin yang selalu berada di
sekitarku? Apakah kau sengaja menghilangkan sosokmu dan
sebenarnya kau selalu berada di dekatku?
30
Dharmadyaksa ring Kasaiwan adalah sebutan untuk pemuka Hindu Siwa.
31
Relief di Candi Prambanan menatahkan nukilan kisah Ramayana dan Kresnayana.

ASMARALARA-Saroni Asikin 87
Kukatakan kepadamu sekali lagi, segala pertanyaan tentang
dirinya membuatku bukanlah gadis yang sama. Kepedihan dan
harapan yang terus meredup mengenai kedatangannya kutumpahkan
ke dalam lontar-lontar dan kidung. Hari terang kulalui dengan
menggurat lontar yang aksaranya menyuarakan kerinduan tak
berujung. Dan pada hari kelam, aku melantunkan kidung-kidung
asmara yang perih.
Lalu pada pagi aku bangun setelah tidur yang gelisah dan penuh
mimpi buruk, di petilamanku selempir lontar tergeletak. Kuambil
lempir lontar itu dan bertanya-tanya siapa yang telah kurang ajar
masuk ke kamarku saat aku tidur dan meninggalkan selembar daun
tal itu. Aku hampir berteriak kepada biti-biti perwara, tapi
kuurungkan ketika mendadak benakku berpikiran bahwa dialah
pengirim lontar ini.
Kupanggil biti perwara dan kuminta dia mengambilkan tingkih.
Beberapa saat kemudian ketika telah kuolesi lempir lontar itu dengan
tingkih32, apa yang tergurat dengan jelas kubaca: “Jonggrang, aku bisa
mati tapi tidak asmaraku kepadamu. Kapan kaubuka hatimu?”
Aku gemetar dan air mataku meleler begitu saja. Aku tahu, aku
bisa menggurit lontar berisi tentang hatiku yang telah terbuka
untuknya. Tapi ke mana aku harus mengirimkannya? (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 24 Februari 2019

32
Tingkih adalah minyak kemiri untuk mengolesi lontar agar bisa dibaca. Ada juga yang
menggunakan bubuk kapur atau jelaga.

ASMARALARA-Saroni Asikin 88
Asmaralara Mendut-Wiraguna-Pranacitra

“Andai saja aku tidak jatuh hati sejak melihatmu, saat ini juga aku
akan memerintahkan pengawal untuk menyeret dan melemparkan tubuhmu
ke kandang buaya.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 89
PANGLIMA PERANG YANG TAKLUK DI HARIBAAN CINTA

MUKA Tumenggung Wiraguna memerah ketika aku menjawab


sembari menatap wajahnya. “Tidak, Paduka. Sahaya tak pernah bisa
menjadi selir Paduka.”
Kulihat kumis tebalnya bergerak-gerak sebelum dia menghela
napas panjang. Mendadak dia agak limbung lalu duduk di kursi.
Sekali lagi helaan napasnya terdengar. Aku bisa merasakan
kemarahannya, atau mungkin kekalutannya. Barangkali inilah kali
pertama kata-katanya dibantah orang, oleh seorang perempuan pula.
Dan perempuan itu sosok yang jadi bagian dari rampasan perang,
perempuan hadiah dari Sultan Agung Hanyakrakusuma, sang
penguasa Mataram.
Dia seorang panglima perang yang digdaya dan unggul di
banyak palagan dan tak pernah takut dan tunduk kepada siapa pun
selain kepada Sultan Agung. Bagaimana bisa seorang perawan dari
kampung nelayan seperti diriku berani membantah dan menantang
tatapannya?
“Kenapa kau begitu keras kepala, Mendut?”
Suaranya tak setegas sebelumnya, bahkan nadanya terdengar
agak perih. “Oh Mendut, Mendut.... Betapa aku telah
memperlakukanmu dengan sangat baik, bukan sebagai perawan
tawanan. Andai kautahu, aku punya kekuasaan untuk
memperlakukanmu sesuka hati....”
Sebenarnya saat itu aku ingin menyergah. Akan kukatakan
bahwa kutahu dirinya pemilik kuasa di seluruh jagad Mataram.
Hanya Sultan Agung yang lebih tinggi darinya. Tapi kupikir lebih
baik aku diam. Mendadak di dalam benakku terlintas keinginan nakal
untuk mendengar bagaimana seseorang yang sangat berkuasa itu
merintihkan keluhan bagaikan macan terimpit kayu besar yang
tumbang.

ASMARALARA-Saroni Asikin 90
“Jangan samakan aku dengan Pragola. Lelaki pembangkang
yang kini berkalang tanah Sendang Sani itu dengan kekuasaannya
telah merampas kau dari keluargamu.”
Mendengar ucapannya, aku tak tahan untuk tidak menyergah.
Apalagi mendadak aku memiliki keberanian besar untuk menentang
kata-katanya. Bila dia macan terimpit kayu besar, aku si rusa cantik
yang akan bersenandung di hadapannya.
“Jadi ke bumi Mataram dan terkurung di Puri Ketumenggungan
itu atas kesediaan diri sahaya? Jadi sahayakah yang memohon-
memohon untuk diboyong ke Tanah Mataram?”
Tumenggung Wiraguna kembali menghela napas panjang. Tiga
kali dia berdeham lalu batuk-batuk seolah-olah tenggorokannya
tercekat sesuatu yang sangat pahit.
“Pati Pesantenan membangkang, dan si pembangkang harus
dihancurkan. Semua miliknya menjadi milik si pemenang, dan
kamilah si pemenang.”
“Tapi sahaya bukan milik Pragola. Paduka sudah pasti telah
mengetahui bahwa sahaya belum juga menjadi selirnya. Bahkan satu
kalipun sahaya belum bersua dengannya.”
Dia memandangku dalam tatapan keheranan. “Tak sekalipun
menyentuhmu?”
Aku mendengus.
“Aku pun tak sekalipun menyentuh tubuhmu.”
“Dan sahaya tak akan pernah membiarkan Paduka menyentuh
tubuh sahaya selama nyawa masih dikandung badan sahaya.”
Mendadak dia bangkit dari duduknya lalu memukul meja.
Terdengar bunyi kayu patah. Meja itu sempal. Tak pelak aku terkejut
dan gemetar. Tanpa memandangku Tumenggung Wiraguna bergegas
menuju pintu keluar. Tapi di ujung pintu, dia berhenti. Timpaan
cahaya matahari menciptakan bayang-bayang di lantai yang ketika
kupandangi memperlihatkan sosok seseorang yang lemah. Lalu tanpa
menoleh ke arahku, dia berkata lirih, “Andai saja aku tidak jatuh hati

ASMARALARA-Saroni Asikin 91
sejak melihatmu, saat ini juga aku akan memerintahkan pengawal
untuk menyeret dan melemparkan tubuhmu ke kandang buaya.”
Jujur saja, aku gemetar mendengar ucapannya.
“Oh andai ketika berhadapan dengan rasa cinta, si Wiraguna ini
lelaki yang sama dengan yang ada di medan laga....”
Kudengar langkahnya menjauh. Aku segera duduk lalu
membaringkan tubuh di petilaman. Pikiranku berkecamuk antara
kebencian buta kepada Tumenggung Wiraguna dan perasaaan
kasihan kepadanya. Tapi bagaimanapun aku harus mengakui, dia
telah mengatakan semuanya dengan jujur. Aku merasakan ketulusan
di dalam ungkapan cintanya. Tak terasa air mataku meleler. Leleran
itu semakin deras ketika mendadak aku merasa ragu-ragu bahwa
kekasihku, Kakang Pranacitra akan membuktikan cintanya dengan
mencariku.
Keesokan harinya Tumenggung Wiraguna datang lagi. Tak
seperti sehari sebelumnya, kulihat mukanya tampak agak riang.
Begitu duduk, kalimat-kalimatnya segera meluncur, “Mendut, kau
masih tetap bersikukuh?”
Aku mengangguk.
“Baiklah, Wiraguna bukan lelaki pemaksa. Aku telah
mengungkapkan perasaanku. Lega rasanya. Kupikir sebaiknya kau
kukembalikan ke keluargamu. Tapi aku lalu ingat, Kanjeng Sultanlah
yang memberikanmu kepadaku sebagai hadiah atas jasaku ikut
menaklukkan Pati Pesantenan. Beliau akan murka bila tahu kau
kupulangkan. Aku akan dianggap tak menghormati pemberian
seorang sultan. Jadi... baik-baiklah kau di sini hingga beberapa waktu
lagi, hingga aku menemukan cara terbaik untuk memulangkanmu.
Hmm, tapi aku akan lebih suka bila kau jadi betah di sini....”
Dia tertawa kecil. Entah mengapa, mendengar tawanya itu aku
merasa lelaki itu bukan lelaki kemarin yang tulus mengungkapkan
cinta. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 10 Maret 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 92
PEREMPUAN YANG MEMILIH
BERJUALAN ROKOK LINTINGAN

AKHIRNYA aku yakin untuk membebaskan Mendut dan


memulangkannya ke Pati Pesantenan. Benarlah, aku begitu
mencintainya dan sangat ingin memperselirnya. Seperti kautahu, di
Tanah Mataram aku punya kuasa atas tanah dan orang yang tinggal
di atasnya. Memperselir Mendut itu semudah engkau mengerdipkan
mata.
Tapi dirinya, juga rasa cintaku kepadanya, menyadarkanku
bahwa ada yang lebih agung dan luhur dari kekuasaan. Apakah itu?
Cinta. Ah, kau bisa menertawaiku bak anak remaja. Sebangkotan aku
bicara soal cinta? Tumenggung Wiraguna si lelaki paling wira se-
Mataram, yang angkuh dan selalu jemawa itu berbicara tentang cinta?
Silakan tertawai aku. Tapi Mendut, dan desir batinku
kepadanya telah menyadarkan aku bahwa lelaki bangkotan ini, yang
jaya dari satu palagan ke palagan lain, yang pongah menebah dada
menyerukan kemenangan, yang mabuk kekuasaan itu tak pernah
berbahagia. Lalu Mendut, dengan sikap keras kepala dan
keberaniannya menentang kehendakku, telah mengajariku bahwa
bahasa cintalah jalan menuju kebahagiaan. Dia menyadarkanku,
selama ini aku hidup tanpa mencintai, dan mungkin juga tanpa
beroleh cinta. Aku punya istri dan sekian selir (yang maaf, jumlahnya
pun aku lupa), tapi apakah aku mencintai mereka? Mungkin tidak.
Aku hanya selalu meneguhkan kekuasaan atas mereka. Bukankah
sebagian selirku itu berada di Ketumenggungan Wiragunan tanpa
kehendak mereka sendiri? Dan apakah mereka mencintai aku?
Entahlah. Mungkin sebaliknya, mereka memendam kebencian
kepadaku.
Ada satu pelajaran mahapenting dari Mendut: rasa cinta tak bisa
dipaksa. Mendut tidak mencintaiku sementara cintaku kepadanya
jangan kautanya lagi. Ya, ya kaubilang itu bertepuk sebelah tangan.

ASMARALARA-Saroni Asikin 93
Tapi aku begitu berbahagia karena mencintainya. Itu karunia Allah
yang begitu besar untukku. Dan karena itu, aku tak akan lagi
memaksa Mendut untuk menerima diriku. Aku tak akan mem-
buatnya menderita. Mengembalikannya ke Pati Pesantenan adalah
wujud rasa cintaku, seperih apa pun hatiku kehilangan dirinya dari
pandangan mataku. Aku bahkan akan siap menanggung beban
cemburu bila dia nanti bersuami. Aku mendengar kabar dia memiliki
kekasih seorang pemuda anak saudagar dari Pekalongan. Aku akan
siapkan hatiku untuk merelakannya bersanding dengan pemuda yang
kudengar bernama Pranacitra.
Ya, nanti saat menemui Mendut, aku akan mempersilakan
dirinya pulang. Aku juga telah meminta bendahara Ketumenggungan
untuk memberinya bekal hidup selama beberapa waktu. Aku juga
telah meminta beberapa orang kepercayaanku untuk mengawal
perjalanan pulangnya.
Tapi, oh Gusti Allah, mohon ampun. Manusia memang tak bisa
menerka cakrawarti kehidupan. Keputusan yang telah kuambil itu
harus kutarik kembali. Betapa sakitnya. Tapi ini juga menunjukkan
bahwa ternyata Tumenggung Wiraguna selalu kalah oleh kekuasaan.
Ya, sore itu, tak lama setelah aku memutuskan akan
memulangkan Mendut pada keesokan harinya, seorang duta dari
Keraton Karta di Plered datang menyampaikan kabar agar aku
menghadap Kanjeng Sultan Agung.
Tak perlu kuceritakan panjang lebar soal penghadapanku di
keraton. Tapi aku pulang dengan hati masygul dan setiap derap kaki
kuda yang kupacu bagaikan pukulan tanpa henti ke batinku. Kanjeng
Sultan bertanya tentang Mendut dan meyakinkanku bahwa
perempuan itu akan menjadi kembang di Ketumenggungan
Wiragunan.
“Itulah mengapa dulu aku menganugerahkannya untukmu. Kau
orang paling kupercaya dan layak beroleh anugerah yang baik. Jangan
sia-siakan dia.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 94
Ya, kalimat-kalimat itu menderu-deru di dalam hatiku
bersamaan dengan derap kaki kudaku.
Malam itu sepulang dari keraton aku tak bisa tidur. Keesokan
paginya, sebelum menemui Mendut, aku harus beberapa kali ke
kamar kecil. Aku jadi ingat kegelisahan dan kecemasan kali pertama
aku akan terjun ke palagan saat aku masih prajurit rendahan. Oh
Gusti, keberanianku luluh lantak di hadapan Mendut....
Lalu aku memang bisa menyampaikan segalanya: tentang
rencana pemulangannya yang gagal hanya karena aku khawatir
dianggap mengingkari anugerah seorang raja. Betapa perihnya hatiku
mengingat muka piasnya saat kusampaikan semuanya dengan disertai
tawa kecil. Oh, andai kaupercaya, aku tertawa hanya untuk
menyelubungi beban perih di dadaku....
Dan yang lebih perih lagi datang beberapa hari setelahnya ketika
dia berkata dengan nada keras saat aku menemuinya. “Karena sahaya
tetap menolak menjadi selir Paduka, sahaya tak ingin hidup sahaya
ini ditanggung Ketumenggungan. Izinkan sahaya mencari
penghidupan sendiri. Sahaya bisa berjualan seperti dulu sahaya ikut
menjual ikan tangkapan ayah sahaya. Sahaya hanya memohon
Paduka sudi memberikan pinjaman untuk modal sahaya berdagang.
Seorang biti perwara memberi tahu sahaya bahwa orang di sini sangat
suka mengisap rokok. Sahaya yakin tangan sahaya ini sanggup
melinting tembakau yang bisa sahaya jual.”
Oh, Mendut, Mendut, andai semua perempuan seperti dirimu,
masihkah para lelaki bisa menyombongkan diri? Oh Gusti Allah,
haruskah kupenuhi permintaannya? (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 24 Maret 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 95
PRANACITRA DAN LANGIT YANG RUNTUH

PAGI itu aku berpamitan kepada kedua orang tuaku untuk pergi
ke Semenanjung Muria. Tak seperti biasa, kali ini kepergianku tidak
untuk urusan mencari barang dagangan. Aku akan pergi ke rumah
orang tua Mendut, dan kedua orang tuaku sangat berharap aku
kembali ke Pekalongan bersama menantu mereka.
Menantu? Ah, aku pun belum yakin Mendut, kekasihku, akan
bersedia kunikahi dan kuajak ke rumah orang tuaku. Namun aku
sangat yakin, aku sangat mencintainya. Kalau dia bersedia menjadi
istriku dan memintaku tinggal di desanya, aku akan bersedia. Toh
aku bisa ikut mencari ikan dengan bapaknya. Aku yakin, tangan
pedagangku akan mampu melakukan pekerjaan berat di laut.
Dari Bandar Pekalongan, tak ada kapal dagang yang siap
berlayar. Karena itu, aku menumpang perahu nelayan yang mencari
ikan hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar Semenanjung Japara.
Mereka menurunkanku di Bandar Japara sebelum melanjutkan
pelayaran ke utara. Aku tinggal melanjutkan perjalanan darat dengan
pedati yang ditarik kerbau. Ada begitu banyak bajingan33 yang
mengangkut ikan-ikan ke wilayah pedalaman.
Di Bandar Japara, begitu menjejakkan kaki di pasir pantai,
kuhirup udara asin sambil membayangkan wajah kekasihku, nun di
sana di bagian timur pulau semenanjung ini. Rindukah dia kepadaku?
Ketika seembusan angin pekat menerpa wajahku, entah
mengapa aku digoda oleh keragu-raguan. Masihkah dia menungguku
seperti janjinya sebelum aku balik ke Pekalongan? Ya, sekira tiga
candra lalu, kapal barang besar yang kutumpangi dari Bandar
Kambang Putih34 dihantam badai. Kapal kandas dengan lambung
patah. Sebagian besar barang muatan tumpah dan terbawa ombak,
33
Bajingan: penarik pedati yang lalu memiliki makna lain sebagai bramacorah, kriminal, dll.
34
Kambang Putih: nama lama Tuban.

ASMARALARA-Saroni Asikin 96
termasuk barang-barang daganganku. Alhamdulillah, semua
penumpang selamat. Lalu puluhan perahu kecil milik nelayan di
kampung terdekat membawa kami ke tempat mereka.
Kami harus tinggal di rumah-rumah penduduk hingga datang
kapal dagang berikutnya yang melintas di sekitar perairan tersebut.
Namun bila kapal itu terlalu lama, mereka menyarankan para
penumpang menempuh perjalanan darat dengan pedati menuju
Bandar Japara.
Sebagian besar orang melanjutkan perjalanan dengan pedati,
sementara aku memilih tinggal beberapa lama. Kau tahu mengapa?
Pada hari pertama aku ada di desa itu, dan seorang penduduk
menampungku tinggal di rumahnya, anak gadis si pemilik rumah
membuatku memiliki alasan kuat menunda kepulangan.
Kali pertama melihatnya aku tak yakin dia benar-benar seorang
gadis dari bangsa manusia. Bagaimana dari dusun nelayan yang
berudara pekat dan bau busuk ikan memenuhi udara, dengan air yang
payau, ada gadis secantik Mendut? Ya, akhirnya aku tahu namanya:
Mendut.
Sebagai anak saudagar kaya, aku telah banyak pergi untuk
membeli dan menjual barang. Di Buleleng, Sumberwangi35, Hujung
Galuh36, Gresik, Kambang Putih, Laosam37, atau di bekas kotaraja
Trowulan atau Demak Bintara, atau di Kotaraja Mataram di Plered
atau Karta, aku telah melihat banyak gadis, tapi tak ada yang
membuat jantungku berdegup kencang seperti saat aku melihat
Mendut kali pertama.
Sekira satu candra aku tinggal di rumah Mendut hingga kami
pun saling membuhulkan janji untuk hidup bersama. Hmm, betapa
indah dunia. Hmm, betapa kemalangan kapal dagang yang
35
Sumberwangi: nama daerah pelabuhan di Kerajaan Blmbangan sebelum berganti nama menjadi
Banyuwangi.
36
Hujung Galuh: nama lama daerah delta yang sekarang menjadi Kota Surabaya dan Sidoarjo.
37
Laosam: Lasem.

ASMARALARA-Saroni Asikin 97
kutumpangi menjadi berkah buatku. Dan, alhamdulillah, ketika
kusampaikan niatku menikahi Mendut kepada ayahnya, lelaki
nelayan itu memberi restu. Lalu aku pulang untuk meminta restu dari
kedua orang tuaku.
Teriakan seseorang membuatku tergeragap dari pijar-pijar
harapan di dalam benakku akan segera bertemu Mendut.
“Bukankah anak muda ini Pranacitra dari Pekalongan?”
Kupandangi lelaki yang muka cokelatnya telah berkeriput itu.
Aku agak merasa aneh ada yang mengenaliku karena aku jarang
membeli dagangan di Bandar Japara. Aku akhirnya tersenyum
sembari mengangguk dan bersoja ketika ingat dialah Sadek, penarik
pedati yang pernah membawaku dari desa Mendut ke Bandar Japara.
Lelaki itu orang sedesa dengan Mendut. Dari percakapan kami dulu
selama perjalanan, aku sedikit mengenal siapa dia.
Belum sempat aku bereaksi, dia sudah mencerocos. Cerocosan
yang membuat langit seolah-olah runtuh tiba-tiba.
“Nak Pranacitra hendak menemui Mendut? Seharusnya Anak
pergi ke Plered, ke Kotaraja Mataram. Dia sudah tak ada di wilayah
semenanjung ini, Nak.”
Pada awalnya kuanggap omongan Sadek adalah igauan pada
siang bolong lantaran dia mabuk oleh tuak. Tapi lalu dia bercerita
tentang Mendut yang dibawa paksa oleh penggawa Puri Pati
Pesantenan untuk diperselir Adipati Pragola. Namun lalu serangan
Mataram terhadap Pati dengan kehancuran kadipaten yang disebut
terakhir itu menggagalkan rencana perseliran itu. Mendut diboyong
ke Kotaraja Mataram.
Selama beberapa waktu, langit biru, laut biru, kapal-kapal
nelayan yang terlihat kecil, juga kapal-kapal besar yang bersauh di
dermaga, terlihat kabur. Aku hanya diam. Haruskah kupercayai
omongan lelaki yang dari mulutnya menguarkan aroma tuak? (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 7 April 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 98
PEREMPUAN DI BALIK TIRAI PUTIH

TUMENGGUNG Wiraguna memerintahkan aku untuk


mengawasi orang-orang yang meriung di depan rumah kecil di sebe-
rang Pasar Wiragunan.
“Jangan sampai gadis penjual rokok lintingan di dalam rumah
itu diganggu dan dilecehkan.”
Mengawasi orang-orang itu bagian tugasku sebagai telik. Dan
aku tak pernah memandang rendah kepada siapa pun yang harus
kuawasi, bahkan kepada gadis yang kudengar diboyong dari Pati
Pesantenan itu.
Rumah yang kuawasi itu kecil, berdinding bata, bekas milik
pedagang Tiongkok yang menurut kabar telah pindah ke Laosam. Di
halamannya yang cukup luas ada dua pohon besar, bungur dan
tanjung yang kerimbunan dedaunannya menjadi payung dari
sengatan matahari. Berandanya telah disekat dengan dinding bambu
dan di bagian depannya terjurai selembar kain putih transparan. Di
situlah si gadis duduk, dan cahaya dua damarsewu di belakangnya
menciptakan bayangan sosoknya. Gambarannya persis seperti engkau
menonton wayang dari layar yang dibentangkan di depan dalang.
Kuceritakan kepadamu secara singkat cara si gadis menjual
rokok lintingannya. Ketika senja datang dan damarsewu di balik kain
itu menyala, aku segera duduk di atas lincak di bawah pohon bungur.
Dari situ apa saja yang berlangsung di depan rumah berada dalam
pengawasanku.
Orang-orang yang umumnya para pedagang lalu berdatangan
dan meriung di depan beranda. Mereka duduk beralaskan daun
pisang. Satu per satu merapat ke depan bayangan Mendut yang
melinting-linting rokok sebelum menjilati dan menyelipkan ke
mulutnya. Lalu dengan sebuah tangannya Mendut mengangkat
ceplik38 untuk menyalakan rokok. Setelah embusan asap pertama, dia
38
Ceplik: (Jawa) dian, lampu kecil tanpa penutup dari embusan angin.
ASMARALARA-Saroni Asikin 99
membuka sedikit bagian bawah kain dan menyerahkan rokok yang
menyala kepada lelaki di depannya. Aku selalu melihat lelaki
penerima rokok itu dan segera mengisapnya dengan isapan dan em-
busan panjang setelah melempar beberapa picis39 ke balik tirai.
Begitulah seterusnya dan pada saat sirep wong40, damarsewu
dipadamkan. Mereka yang belum sempat menikmati umumnya
hanya menggerutu. Aku masih bertahan di tempatku hingga orang-
orang bubar dan Mendut telah masuk ke dalam rumah.
Dua pekan berlalu dan tak ada gangguan atau pelecehan
terhadap Mendut. Hanya guyonan cabul dan rayuan nakal, tapi tak
pernah ada tangan lelaki yang melakukan gerakan lain ke balik tirai
selain melempar picis. Beberapa kali ada yang meminta Mendut
membuka tirai agar lelaki di depannya bisa memandang wajah si
gadis. Hal itu dipenuhi, tapi hanya dalam tiga kerdipan mata, tak
lebih dari itu.
Dan selama dua pekan itu sebenarnya aku tergoda untuk ikut
menikmati rokok lintingan jilatan Mendut. Jujur saja, perempuan
yang kuawasi, yang hanya bisa kulihat bayangan sosoknya itu telah
hadir ke dalam beberapa kali mimpiku. Tapi aku tak berani melanggar
tugasku dan kukatakan kepada diriku sendiri untuk cukup dengan
membayang-bayangkan sosok nyata si gadis menurut gambaranku
sendiri.
Pada hari kelima belas, seorang pemuda asing terlihat mondar-
mandir di depan rumah kecil itu. Saat itu matahari baru saja lengser
ke barat. Sebentar lagi Mendut akan mulai berada di balik tirai putih.
Sikapnya yang mencurigakan membuatku harus segera
bertindak. Tapi aku tidak boleh gegabah. Dengan sopan kusapa dia
dan kuajak duduk di atas lincak.
Dia pemuda yang tampan. Saat kami mengobrol, dia bercerita
bahwa dirinya berasal dari Pekalongan dan telah melakukan
39
Picis: uang.
40
Waktu Jawa sekira pukul 23.00

ASMARALARA-Saroni Asikin 100


perjalanan panjang ke wilayah Muria sebelum tiba di wilayah yang
dekat dengan Kotaraja Mataram.
“Sahaya mencari seorang gadis, Bapak. Tunangan sahaya.
Sahaya dengar dia berada di sekitar kotaraja,” ujarnya.
“Wah, luar biasa engkau sebagai anak muda. Melakukan
perjalanan panjang untuk mencari orang yang dicintai itu tindakan
wira,” ujarku sebagai pemanis obrolan meskipun aku harus tetap
waspada.
“Dan tahukah Bapak, tunangan yang kucari itu kudengar
menjual rokok lintingan di rumah itu.”
Aku sungguh terkejut tapi sebagai telik teruji, tak ada perubahan
di mukaku. Lalu dengan tersenyum kubilang, “Wah jadi semakin luar
biasa kisahmu itu. Bila benar, perjalananmu tak akan sia-sia. Tapi
engkau harus hati-hati, Anak Muda.”
Pemuda itu tak menunjukkan keterkejutan meskipun nada
kalimat terakhirku berisi peringatan. Dia bahkan berkata, “Sahaya
tahu, Bapak. Tunanganku berada di tangan Kanjeng Tumenggung
Wiraguna. Tapi aku akan mencari cara membawa si gadis pergi,
apapun risikonya.”
Aku terdiam beberapa saat. Aku bisa saja segera meringkus si
pemuda dan membawanya ke hadapan Tumenggung Wiraguna. Tapi
aku harus tetap menjalankan garis tugasku: bertindak hanya saat si
gadis diganggu atau dilecehkan.
“Siapa namamu, Anak Muda?”
“Pranacitra, Bapak.”
Ketika damarsewu mulai menyala dan orang-orang mulai
berdatangan, aku mendadak gelisah. Entah mengapa aku berpikiran
untuk membiarkan saja pemuda itu melakukan sesuatu yang
dikehendakinya. Mungkin saja aku terharu oleh perjuangannya
mencari orang yang dicintai. Mungkin. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 21 April 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 101


LELAKI YANG MEMPERTANYAKAN KESUCIAN

MENJELANG tengah malam, damarsewu di teras rumah itu


dimatikan. Para pengisap rokok lintingan Mendut sudah bubar.
Setelah menggulung tirai, Mendut masuk dan menutup pintu rumah.
Dari tempat duduknya di sisi seorang lelaki yang ditugaskan
Tumenggung Wiraguna untuk mengawasi Mendut berjualan,
Pranacitra tampak gelisah. Kesiur angin dan keretap dedaunan
berpacu dengan debur jantungnya.
“Bersabarlah sebentar, Nak. Beri waktu kekasihmu untuk
setidak-tidaknya mencuci muka,” ujar lelaki pengawas bernama
Wirana saat mengenalkan dirinya pada Pranacita.
“Bapak Wirana yakin mengizinkan sahaya menemui Mendut?”
“Kalau tidak yakin, kau sudah kuringkus dan kuhadapkan ke
Kanjeng Tumenggung pada saat kali pertama kita bertemu. Tapi kau
harus berjanji bahwa kau tak akan membawanya lari dari rumah itu.
Aku tak ingin dihukum karena lalai dalam pengawasan. Carilah cara
agar kau bisa membawa kekasihmu pergi dari rumah itu. Kekasihmu
biasa mandi di sungai pada sore hari. Tentu saja dalam pengawasan
beberapa prajurit. Rayulah dia dulu apakah mau kauajak pergi. Kalau
kau melarikannya pada saat dia di sungai, itu bukan tanggung
jawabku. Aku berjanji akan membantumu dengan melumpuhkan
prajurit yang mengawasinya di sungai.”
Pranacitra bangkit dan mulai melangkah menuju rumah itu.
Baru dua langkah dia menoleh ke arah Wirana yang bergeming di
tempat duduknya.
“Boleh tahu mengapa Bapak melakukan ini?”
“Panjang ceritanya, Nak. Cukup kautahu, pada saat aku seusia
kau, aku tak mampu menyelamatkan nyawa kekasihku yang diculik
dan dibunuh beberapa perampok,” ujarnya lirih sembari melepaskan
napas panjang, “Bersegeralah, Nak, dan hati-hati.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 102


Pranacitra melangkah lagi hingga sampai di depan pintu. Pada
saat itu sesuatu yang mendadak melintas di dalam benaknya
mengurungkan jari-jemarinya mengetuk pintu. Dia berdiri ngungun
dan mengingat kecamuk pikirannya beberapa hari sebelumnya, saat
dia baru sampai di Pasar Wiragunan. Di pasar itulah dia tahu
keberadaan Mendut dan kisah tentang kekasihnya di Puri
Ketumenggungan Wiragunan. Dengan berbisik-bisik para pedagang
menggunjingkan laku mesum Tumenggung Wiraguna dan nama
Mendut disebut-sebut. Hati Pranacitra tertempelak ketika itu. Dia
merasa perjalanan panjangnya dari Pekalongan ke Pulau Seme-
nanjung Muria dan dilanjutkan ke Mataram adalah perjalanan
menuju kesia-siaan. Dia sempat berpikir untuk pulang ke Pekalongan.
“Buat apa merayah sisa Tumenggung Wiraguna? Mendut pasti
sudah tidak lagi suci. Tak mungkin dalam kandang si bandot tua, dia
masih perawan.”
Dia telah berusaha mengibaskan semua persangkaannya itu.
Tapi beberapa malam menyaksikan cara Mendut berjualan rokok
lintingan, persangkaannya justru menguat. Dia merasa kekasihnya itu
bukan lagi gadis nelayan di tanah semenanjung yang dia kenal. Polah
Mendut mirip para perempuan yang dia jumpai di rumah-rumah
hiburan.
Pranacitra sendiri heran mengapa setelah beberapa malam
mengobrol dengan Wirana sembari mengawasi adegan di teras rumah
Mendut, dia selalu mengungkapkan keinginannya untuk membawa
lari Mendut. Pada saat Wirana akhirnya memutuskan mengkhianati
tugas demi membantu dirinya, Pranacitra justru ragu-ragu.
Akhirnya lelaki muda itu urung mengetuk pintu dan kembali ke
tempat Wirana.
“Ada apa, Anak Muda?” tanya Wirana begitu Pranacitra duduk
di sisinya.
Dia tak segera menjawab. Setelah menarik napas panjang,
Pranacitra berkata, “Sahaya akan kembali saja ke Pekalongan, Bapak.
Buat apa merayah sisa orang lain....”

ASMARALARA-Saroni Asikin 103


Belum habis ucapan Pranacitra, sebuah tamparan keras di pipi
membuat dirinya terhuyung dan terjerembap ke tanah. Selanjutnya
dengan sangat cepat Wirana menarik tangan Pranacitra untuk berdiri
dan menyeret lelaki muda itu menuju ke pekarangan yang agak jauh
dari hunian. Di situ dua tamparan kembali mendarat ke pipi
Pranacitra disertai berbagai makian dari mulut telik utama
Ketumenggungan Wiragunan itu.
“Aku membantumu dengan taruhan jabatan dan nyawaku
karena aku menghargai orang-orang yang memburu cintanya. Kau
ternyata cuma seekor anjing yang telah dikebiri. Enyah saja kau dari
hadapanku, enyah kau dari wilayah ini!”
Wirana pergi setelah memberi Pranacitra satu tamparan lagi.
Dengan menahan sakit di wajah dan rasa pusing yang mendera
kepalanya, Pranacitra berdiri sejenak. Lalu sembari mengusapi
mukanya yang memar, dia menuju rumah Mendut. Tapi menjelang
sampai teras, dia berbalik arah dan duduk di tempat biasa Wirana
mengawasi polah Mendut.
Setelah duduk itulah Pranacitra melihat kelebat orang dari balik
pohon bungur. Dia (juga Wirana) tak tahu, sosok berkelebat itu telah
ada di balik pohon tanjung sejak Mendut masih melinting-linting
rokok.
Sontak Pranacitra mengejar sosok itu. Dia sampai ketika sosok
itu sedang melukar tali cencang kuda dan menoleh ke arah dirinya.
Dia lelaki tua. Pranacitra pernah melihatnya satu kali saat melintas di
depan pasar dan orang-orang menyembahnya sembari mengucapkan,
“Selamat sentosa, Kanjeng Tumenggung....”
Lelaki tua itu telah melesat dengan kudanya ketika bibir
bergetar Pranacitra berucap, “Oh bandot tua itu....”(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 5 Mei 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 104


LELAKI BODOH DI HADAPAN MAUT

MALAM itu, Mendut merasa sangat lelah. Tapi sudah beberapa


saat di pembaringan, pikirannya masih diamuk pertanyaan yang
setiap kali dia tepis sendiri.
Apakah dia Kakang Pranacitra? Ah, pasti bukan. Mungkin dia
belum tahu aku sudah lama sekali tak di rumah sejak dibawa paksa
penggawa Pati Pesantenan. Dia belum tahu aku diboyong paksa ke
Mataram, terkurung di Puri Wiragunan, dan sekarang menjadi
pelinting rokok yang melayani para lelaki genit. Ah, bahkan mungkin
saja dia sudah melupakan aku dan telah kawin di Pekalongan. Mulut
manisnya yang menjanjikan kedatangannya bersama keluarganya
hanyalah mulut lelaki pedagang yang kesepian di tempat jauh.
Beberapa malam lalu ada seorang pembeli yang memaksa
membuka tirai penyekat. Dari tirai yang terbuka itu, dia sempat
memandang jauh dan matanya menangkap sesosok lelaki yang berdiri
di samping lelaki lain. Dia seperti mengenali sosok itu. Sosok itu
menuding-nuding ke arah dirinya dan mengucapkan sesuatu. Meski
lamat-lamat, Mendut sempat mendengar suara yang juga merasa dia
kenali.
Malam-malam berikutnya, sesekali dia sengaja membuka tirai
lebih lebar dan dia masih melihat sosok itu di tempat sama, tetap
bersama seseorang.
“Kalau dia Kakang Pranacita, mengapa dia tak segera
menemuiku? Aku memang diawasi penggawa Wiraguna. Tapi
setidak-tidaknya dia meriung bersama para penikmat rokok lintingan
itu. Ah, itu pasti karena dia bukan Kakang Pranacitra.”
Ketukan lembut terdengar di pintu. Mendut mendesah dan
merutuk-rutuk. Sejak dia meminta Tumenggung Wiraguna mem-
bolehkannya berjualan rokok lintingan, dia tahu dia diawasi. Tapi tak
pernah ada yang mendatangi rumahnya pada malam selarut itu.

ASMARALARA-Saroni Asikin 105


Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras. Mendut bangkit dari
petilaman tapi tidak segera beranjak ke pintu. Tapi saat dia
mendengar si pengetuk memanggil namanya diikuti dengan
menyebut namanya sendiri, Mendut terkesiap.
“Tak mungkin. Ini tak mungkin.”
Si pengetuk pintu kembali memanggil namanya dan menyebut
namanya sendiri. Maka seperti orang linglung, Mendut bangkit,
menyalakan damar di ruang depan, dan membuka pintu dengan
gemetar. Teriakannya terdengar disusul tubuhnya yang menghambur
ke sosok di balik pintu begitu dia mengenalinya. Tangis Mendut
begitu saja pecah ketika dia memeluk tubuh Pranacitra.
Ketika sadar mereka masih di ambang pintu, buru-buru Mendut
melepas pelukan dan melangkah ke luar. Dia mengitari pandangan ke
sekitar rumah. Ketika tak melihat bayangan para penggawa yang
mungkin mengawasinya, dengan cepat dia mendorong tubuh
Pranacitra masuk sebelum dia mengunci pintu.
Di bawah bayangan damar yang temaram, Mendut melihat
pakaian Pranacitra penuh tanah. Dia juga melihat darah kering di
sudut bibir dan beberapa lebam di wajah kekasihnya. Mulutnya ingin
menanyakan sebab luka-luka itu, tapi tak satu kata pun terucap. Dia
justru segera meminta Pranacitra duduk di risban sementara dia
bergegas ke dapur, dan kembali dengan membawa dulang yang telah
dia isi dengan air dan selembar kain. Masih tanpa kata-kata dia
bersihkan tanah di pakaian Pranacitra dan setelah membasahi kain
dengan air di dulang, dia membesut darah dan lebam-lebam di muka.
Pada saat melakukan itu sebenarnya dia ingin menderaskan
kata-kata: pertanyaan, keluh-kesah, ungkapan kegembiraan, apa saja.
Dia ingin bercerita tentang penderitaannya selama di Pati Pesantenan
dan Puri Wiragunan. Dia ingin meminta Pranacitra segera
membawanya lari menjauh dari Wiraguna dan Mataram.
Tapi di rumah itu, di bawah temaram damar, hanya terdengar
kelesah napas Pranacitra dan gesekan lirih kain ke muka si lelaki.

ASMARALARA-Saroni Asikin 106


Ketika pada akhirnya sebuah suara terdengar, suara si lelaki,
suara untuk kali pertama sejak dirinya masuk ke dalam rumah, itu
membuat Mendut seolah-olah terjatuh ke jurang yang dalam dan
berisi lumpur bacin.
“Katakan padaku, Mendut, apakah Wiraguna tak menyentuhmu
sama sekali?”
Mendut segera menghentikan besutan ke wajah Pranacitra dan
menghambur ke kamar. Tangisnya pecah lagi. Kali ini suara
tangisnya terdengar bagai auman seekor macan betina yang tubuhnya
sedang terjepit batu besar. Bersamaan dengan tangisan itu terdengar
teriakan dari luar rumah disusul bunyi pintu yang terdobrak.
Mendut masih menangis ketika telinganya mendengar teriakan,
“Siapa pun yang menganggu milik Kanjeng Tumenggung Wiraguna
itu harus mati.”
Mendut menghentikan tangis secara mendadak begitu
mendengar suara mengaduh dari mulut Pranacitra. Dia segera
bangkit. Tapi di ambang pintu kamarnya dia berdiri dengan gemetar.
Dia melihat Prancita terkulai memegangi dadanya yang
mengeluarkan darah segar sementara di sekitarnya meriung empat
lelaki yang salah seorang sedang menggenggam keris yang teracung.
Mendut sempat melihat tetes darah di ujung keris itu dan ketika
kembali melihat Pranacitra, lelaki itu sudah terkulai dengan mata
membelalak.
Seketika Mendut panik. Dia melihat ujung keris bergantian
dengan tubuh terkulai kekasihnya.
“Jangan mendekat, Puan Mendut!”
Mendut mengabaikan teriakan itu dan menatap ke ujung keris
yang masih meneteskan darah itu, menarik napas panjang, dan.... (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 26 Mei 2018

ASMARALARA-Saroni Asikin 107


Asmaralara Dyah Kasmala-Windusana

Maka gunjingan bahwa aku perempuan pembunuh suami mulai


kudengar setelah kematian suami keduaku. Putri Kasmala menanggung
karma buruk dalam pusaran reinkarnasi sebagai laba-laba betina yang
memangsa pejantannya. Putri Dyah Kasmala bersekongkol dengan drubiksa
untuk menyebar kematian lelaki yang mendekatinya. Sang Putri menganut
ilmu pengiwa dengan tumbal para lelaki yang menjadi suaminya. Putri
Majapahit itu lahir sebagai perempuan bahu laweyan dan pasti ada toh di
dekat alat kelaminnya.

ASMARALARA-Saroni Asikin 108


ULAR DARI BALIK BANTAL DYAH KASMALA

KABUT dari puncak Mahameru makin tebal ketika hari


memasuki sirep wong. Kutawindu merapatkan kain dan menahan gigil
udara ketika berjalan menuju sebatang ketapang kencana. Dia segera
bersila di situ, menghadap ke arah barat. Setelah tarikan napas
panjang, dia memejamkan mata dan membisikkan nama adik
lelakinya: Windusana.
Di padepokan di lereng Merbabu, Windusana baru saja keluar
dari sanggar pemujaan dan mendengar bisikan kakaknya yang dibawa
angin. Dia segera ke umpak batu di tengah taman kecil di depan
sanggar pemujaan. Beberapa saat berikutnya dia sudah bersila di atas
umpak itu menghadap ke arah timur. Begitu matanya terpejam, dia
melihat wajah kakaknya yang tersenyum.
Setelah keduanya bertukar salam, Kutawindu segera
mengungkapkan maksudnya memanggil sang adik. Dia bercerita
tentang seorang penggawa Majapahit yang menemuinya dan
meminta dirinya untuk menyembuhkan penyakit aneh yang diderita
Dyah Kasmala, putri raja. Perempuan itu telah beberapa kali menikah
dan tak seorang suami pun yang mampu melewati malam pertama.
Semua mati dengan tubuh kaku dan membiru seperti orang yang
terpagut ular sangat berbisa. Dengan alasan malu, raja tak membuat
sayembara terbuka untuk para penyembuh. Karena itu, puluhan duta
secara rahasia dikirim ke padepokan-padepokan untuk mencari orang
yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit sang putri. Si
penyembuh akan diganjar menjadi suami perempuan itu.
“Datanglah ke Trowulan dan sembuhkanlah Putri Dyah
Kasmala. Nanti kuberitahu rahasia penyakitnya dan cara
penyembuhannya,” ujar Kutawindu.
“Kenapa bukan Kakak saja?” balas Windusana, “Jarak
Mahameru dengan Trowulan lebih dekat ketimbang dengan
Merbabu.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 109


“Kau lupa aku telah bersumpah wadat? Aku tak bisa menikah.
Kalau aku bisa menyembuhkannya, bagaimana aku bisa menjadi
suaminya? Aku tak mau mengulangi kisah Bisma yang telah
membuat hidup Amba merana.”
“Baiklah, Kakak.”
“Sesaat setelah duta pergi, aku segera mencari tahu apa penyakit
sang putri. Dia dikuasai jin yang sering menyaru sebagai ular berbisa.
Jin itu telah menguasainya sejak dirinya remaja. Pada suatu senja dia
berlama-lama melamun di taman keputrian, dan ketika seekor jin
melintas, ia terpesona dan jatuh cinta kepadanya. Setelah itu si jin tak
mau pergi dari kehidupan si putri. Dia akan membunuh siapa pun
yang mendekat kekasihnya itu. Dan para suami sang putri yang telah
mati itu terlalu terburu-buru pada malam pertama. Putri itu memang
sangat cantik dan memiliki pesona yang sangat sulit ditolak lelaki
mana pun.”
Kutawindu berhenti sejenak. “Sebenarnya jin itu mudah
dikalahkan siapa pun yang bisa melawan pesona sang putri. Aku
yakin kau mampu melakukan itu. Pesanku: pada malam pertama,
lawanlah pesona sang putri dan sireplah dia agar tertidur. Ular
jelmaan jin itu akan muncul dari balik bantal petiduran sang putri.
Kau harus membunuhnya karena dengan kematiannya sang putri
akan terbebas dari kekuasaan si jin. Bawalah keris peninggalan ayah
kita yang kausimpan di padepokanmu.”

***

DUA bulan setelah itu, pada Bulan Bhadrawada 41 yang cerah,


Windusana sudah diterima di Istana Majapahit. Dia segera
dibuhulkan dalam perkawinan dengan sang putri. Windusana ingin
memprotes karena berdasarkan isi sayembara, ganjaran hanya
diberikan untuk si penyembuh sementara dia belum melakukan apa-
apa. Tapi akhirnya dia bisa menerima hal itu.
41
Bhadrawadra: bulan Jawa Kuno (Tahun Saka) antara Agustus dan September.
ASMARALARA-Saroni Asikin 110
Pada malam pertama, kali pertama Windusana melihat Putri
Dyah Kasmala di dalam peraduan yang berdamar redup, dia hampir
tak kuasa menahan diri. Tubuh sang putri bagaikan memiliki ribuan
tangan tak terlihat yang membuat siapa pun di dekatnya tak akan
kuasa bertahan dari rengkuhannya. Dan senyum si putri, senyum dari
bibir kecil yang dipercantik tahi lalat kecil di sudut kiri atas membuat
jantung Windusana berdetak lebih cepat. Tapi dalam satu tarikan
napas, Windusana segera ingat pesan kakaknya, dan segera dia
membaca mantra Atulak Goda, diikuti mantra penidur Aturu Lilih42.
Mata Dyah Kasmala pelan-pelan mengatup dan dia segera
membaringkan diri, dan lelap. Windusana memusatkan pandang-
annya ke bantal sang putri sembari tangannya memegang gagang
keris.
Kepala ular muncul dari balik bantal dan dalam gerakan sangat
cepat melesat ke leher Windusana. Tapi patukan si ular kalah cepat
dari tusukan keris Windusana. Darah si ular muncrat dan sebagian
menciprat ke pipi Dyah Kasmala yang sontak tergeragap dan
terbangun. Ketika matanya melihat ujung keris yang terpegang
Windusana, perempuan itu berteriak, “Kau mau membunuhku?”
Si putri berlari keluar kamar. Windusana mendengar teriakan si
putri yang memanggil-manggil ayahnya sembari mengatakan dirinya
hendak dibunuh. Windusana agak kalut tapi dia hanya bergeming,
satu tangan memegang keris dan satunya tubuh mati si ular. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 9 Juni 2019

42
Mantra Atulak Goda dan Aturu Lilih ini nama mantra ciptaan penulis hanya untuk kepentingan
cerita ini.
ASMARALARA-Saroni Asikin 111
PERCAKAPAN TANPA KATA-KATA

AKU tak pernah merasa menjadi perempuan yang menanggung


kutukan seperti gunjingan orang-orang mengenai diriku. Tujuh kali
aku menikah dan ketujuh suamiku mati setelah malam pertama.
Mereka mati bahkan tanpa pernah menyentuh bahkan seujung
rambutku. Dan cara mereka menuju kematian, juga kondisi tubuh tak
bernyawa mereka pun serupa: jasad membiru seperti yang biasa
dijumpai di tubuh orang yang mati akibat patukan ular yang sangat
berbisa.
Maka gunjingan bahwa aku perempuan pembunuh suami mulai
kudengar setelah kematian suami keduaku. Putri Kasmala
menanggung karma buruk dalam pusaran reinkarnasi sebagai laba-
laba betina yang memangsa pejantannya. Putri Dyah Kasmala
bersekongkol dengan drubiksa untuk menyebar kematian lelaki yang
mendekatinya. Sang Putri menganut ilmu pengiwa43 dengan tumbal
para lelaki yang menjadi suaminya. Putri Majapahit itu lahir sebagai
perempuan bahu laweyan dan pasti ada toh di dekat alat kelaminnya.
Begitulah mereka bergunjing dan tentu saja aku mendengarnya,
terutama dari laporan para biti perwaraku. Aku tak memedulikannya.
Aku bahkan tak perlu merasa harus membuktikan benar-tidaknya ada
toh di dekat alat kelaminku.
“Puan Putri harus memberi pidana kepada penggunjing,” usul
Sarindri, salah seorang dari biti perwaraku.
Aku hanya tertawa kecil. “Kau bilang mereka bergunjing dengan
berbisik-bisik?”
“Benar, Puan Putri.”
“Ah kau, bisik-bisik akan kupidanakan? Dengar kau, Rindri,
biarlah mereka bergunjing tentang diriku. Aku tak merasa terganggu.
Dengar ya, ketika sebuah bisikan kaupidanakan, ribuan lainnya akan

43
Ilmu pengiwa: ilmu hitam, yang di Bali dikenal sebagai pangleakan.

ASMARALARA-Saroni Asikin 112


muncul. Sudah berkali-kali kubilang kepadamu, kematian ketujuh
suamiku itu kehendak Hyang Mahadewa. Apalagi aku tak merasa
kehilangan atas semua kematian itu. Aku tak mengenal mereka selain
namanya yang disebut saat upacara pernikahan. Jangankan
mencintai, mengenal lelaki yang pada suatu hari menjadi suamiku
pun tidak. Bagaimana aku akan merasa kehilangan karena kematian
mereka?”
“Tapi gunjingan itu akan menjadikan Puan....”
Aku tertawa dan menyergah kalimat Sarindri. “Tak akan ada
lelaki yang berani melamarku? Begitu? Aku akan menjadi perawan
abadi? Dengar hai Sarindri, aku ini pemuja cinta sejati. Dan hingga
tujuh kali menjadi janda, aku belum pernah merasa bertemu lelaki
yang kucintai. Aku belum pernah jatuh cinta. Jadi aku tak akan
bersuami lagi, itu pasti kehendak Hyang Mahadewa. Boleh jadi aku
akan meneladani Yang Suci Kilisuci yang memilih menghabiskan
hidup di Gua Selamangleng44.”
“Tapi Paduka Raja, ayahanda Puan Putri, juga Paduka Ratu,
sahaya dengar sangat bersedih hati karena....”
“Aku tahu, Sarindri. Aku juga tahu Ayahanda Raja telah
mengundang seorang brahmana tua yang pintar menujum. Aku
dinujum menderita penyakit yang hanya bisa disembuhkan oleh
seorang resi dari sebuah gunung di Jawadwipa. Ayahanda bahkan
sudah mengirimkan puluhan caraka45 untuk pergi ke gunung-gunung.
Sudahlah, Rindri, mungkin sebentar lagi aku akan menikah kedelapan
kalinya. Sama seperti tujuh kali sebelumnya, aku tak akan menolak
pernikahan itu. Dan camkan dalam dirimu, Sarindri, nasib suami
kedelapan itu juga berada di tangan Hyang Mahadewa.”

***

44
Yang Suci Kilisuci: sebutan untuk putri tertua Airlangga bernama Sri Sanggramawijaya yang
menolak takhta dan memilih menjadi pertapa.
45
Caraka: duta, utusan.

ASMARALARA-Saroni Asikin 113


WINDUSANA, suami kedelapanku dari Lereng Gunung
Merbabu itu tidak mati ketika aku bangun tidur. Tak seperti ketujuh
suamiku sebelumnya, begitu memasuki peraduan kami pada malam
pertama, mereka semua terburu-buru ingin meraih tubuhku tetapi
mereka langsung menguap dan tidur lelap. Windusana, tidak. Dia
berdiri di bibir pintu, bergumam-gumam, dan justru aku yang merasa
terserang kantuk dahsyat hingga tak ingat apa-apa lagi. Aku pasti
terlelap tanpa impian.
Ketika aku bangun pada pagi hari, kulihat dia berdiri di tepi
petilaman dengam sebelah tangan mengacungkan keris. Aku yang
sontak panik bersicepat bangkit dan berlari keluar peraduan sembaru
berteriak-teriak bahwa diriku akan dibunuh.
Para prajurit yang berkemit di sekitar situ segera merangsek ke
dalam peraduanku. Beberapa saat kemudian, di hadapan ayahku dua
orang prajurit mengaturkan bangkai ular dengan kepala terpisah.
Mereka melaporkan bahwa hanya bangkai ular yang mereka jumpai
di lantai dekat petilamanku. Windusana seolah-olah memuai menjadi
angin karena bahkan semua jendela di ruang peraduan itu masih
terkancing. Ayah segera memerintahkan pengerahan prajurit untuk
memburu Windusana.
Beberapa malam berikutnya aku tidur ditemani Sarindri.
Ayahku telah memerintahkan beberapa prajurit perempuan berkemit
di depan peraduanku dan di sekitar area Keputren.
Lalu pada suatu malam, saat aku lelap, kudengar bisikan lirih
menyebut namaku dengan sebutan “istrinda”. Tergeragap aku
terbangun dan melihat Windusana berdiri di tepi petilaman. Dia
tersenyum. Aku ingin berteriak tapi gerakan tangannya seolah-olah
memusnahkan suaraku. Di sisiku Sarindri lelap. Dia bahkan
mendengkur keras.
Tangan Windusana memberi isyarat aku duduk di atas
petilaman. Sesaat setelah aku bersila, dia juga bersila. Kami berhadap-
hadapan dalam jarak sekitar satu jengkal. Mata kami bersitatap.

ASMARALARA-Saroni Asikin 114


Dalam keremangan cahaya damarsewu aku melihat kedua matanya
beriap-riap.
Hingga saat jago kluruk pisan46, di peraduan itu tak ada suara
selain dengkuran Sarindri. Lalu Windusana bangkit, turun dari
petilaman, dan berjalan pelan-pelan menuju pintu peraduan. Pada saat
itulah aku merasakan geletar aneh di dadaku. Aku merasa telah
tertikam panah asmara. Aku ingin meneriakkan namanya dan
memintanya untuk tak pergi. Tapi hingga tubuhnya lenyap di balik
pintu, tak sedesis pun bunyi dari lidahku. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 23 Juni 2018

46
Waktu Jawa sekira pukul 04,00

ASMARALARA-Saroni Asikin 115


Asmaralara Durga-Siwa

“O Angin, sampaikan kepada penghuni Marcapada, ada seorang


perempuan yang harus menanggung hukuman di tempat orang-orang
membuang mayat, terkucil, menderita, dan satu-satunya yang membuat
dirinya bertahan adalah rasa cinta kepada suaminya, suami yang telah
menghukum dirinya. Cinta itu membuat dirinya begitu yakin bahwa pada
suatu hari dia akan kembali ke hadapan suaminya. Cinta itu membuat
dirinya yakin bahwa pada suatu hari ada seorang pemuda, bungsu dari lima
bersaudara, yang membebaskan dirinya keluar dari Setra Gandamayu.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 116


PEREMPUAN YANG BERCERITA KEPADA ANGIN

KETIKA kelam turun di daun-daun pohon di Setra


Gandamayu, dia tetap duduk menyandar batang pohon kepoh besar.
Tak jauh dari tempatnya, beberapa mayat buangan telah membusuk.
Bau bacinnya lebih tajam pada hari kelam ketimbang saat matahari
masih bertakhta di langit.
Tapi dia tak lagi terganggu oleh bau busuk itu. Setelah melewati
tiga hari pertama di Setra Grandamayu, saat sengatan bau busuk itu
menguras isi perutnya, hidungnya jadi tabal.
Dia masih menyandar batang kepoh ketika dari kejauhan dia
mendengar geremeng bunyi doa yang ditingkahi tetabuhan. Dia
merasakan angin yang menampari mukanya menjadi lebih sejuk, dan
dari balik dedaunan dia melihat bulan sepotong semangka yang pucat.
Ketika kesiur angin semakin sering menampar mukanya,
mendadak dia ingin meluapkan semua kesedihannya sebagai
perempuan terkucil, perempuan yang dibuang suaminya karena
dianggap tidak setia. Maka berceritalah dia kepada angin.
“O Angin, sampaikan kepada penghuni Marcapada, ada seorang
perempuan yang harus menanggung hukuman di tempat orang-orang
membuang mayat, terkucil, menderita, dan satu-satunya yang
membuat dirinya bertahan adalah rasa cinta kepada suaminya, suami
yang telah menghukum dirinya. Cinta itu membuat dirinya begitu
yakin bahwa pada suatu hari dia akan kembali ke hadapan suaminya.
Cinta itu membuat dirinya yakin bahwa pada suatu hari ada seorang
pemuda, bungsu dari lima bersaudara, yang membebaskan dirinya
keluar dari Setra Gandamayu.
“O Sang Bayu, nama perempuan itu Durga, berwajah buruk dan
menyeramkan sehingga siapa pun yang memandangnya akan lari atau
meludahinya. Kau tahu, wahai Angin, sebelum bernama Durga, dia
adalah Uma, berparas molek, bertubuh wangi, dan siapa pun yang

ASMARALARA-Saroni Asikin 117


melihatnya akan merasa sedang bermimpi. Dialah Uma, istri yang
sangat setia, perempuan yang begitu mencintai suaminya.
“Tapi kadangkala aku tak bisa memahami pikiran lelaki, o
Angin. Lelaki seolah-olah makhluk yang tak pernah merasa cukup
terhadap apa pun. Dia selalu meragukan sesuatu. Dan soal kesetiaan,
agaknya itulah ihwal yang paling sering diragukan seorang lelaki.
“O Sang Bayu, aku harus bercerita kepadamu agar engkau bisa
menyampaikannya ke orang-orang di Marcapada.
“Pada suatu hari suamiku sakit. Aku merawatnya dengan
pengabdian yang tak terbandingkan dengan perawat mana pun.
Sakitnya tak kunjung sembuh. Lalu dia mengatakan bahwa obat
kesembuhannya hanya bisa didapat di suatu tempat dengan syarat
diriku sendirilah yang memperolehnya. Itu sebenarnya bukan obat
yang terlalu sulit diperoleh. Hanya secawan susu yang diperas dari
seekor sapi putih. Tapi tempat aku harus memperolehnya bukanlah
tempat yang kukenal.
“Ya, aku tak pernah mengenal tempat yang dia sebutkan. Aku
membayangkan perjalanan yang berlarat-larat. Tapi rasa cintaku
kepadanya membuat diriku yakin mampu melakukannya.
“Tak perlu panjang lebar kuceritakan kisah perjalananku yang
memang tak mudah. Di tempat yang disebut suamiku, aku bertemu
seorang pengembala sapi yang di antara puluhan sapi miliknya,
seekor berwarna putih. Aku bersyukur karena sapi putih itu betina.
Kepada si penggembala kuutarakan maksudku. Tak ternyana olehku,
dia menolak memeraskan susu untuk kubawa.
“O Angin, dia seorang lelaki yang tampan, ketampananannya
bagaikan sebanding dengan orang yang kukenal di lingkungan kami:
Kamajaya. Tapi aku perempuan setia yang tak ada rupa lain selain
rupa suamiku. Dengan berbagai cara kurayu dia agar mau
memberikan susu sapinya. Dia tetap menolak.
“Ketika aku nyaris putus asa, dia tersenyum dan berkata,
‘Kuberikan susu itu asal kau mau bermalam di rumahku, dan tidur
denganku.’

ASMARALARA-Saroni Asikin 118


“O Angin, aku marah, sangat marah. Tak sebersit pikiran pun di
dalam diriku akan mengkhianati suamiku. Aku telah melakukan
perjalanan panjang dan lama demi rasa cinta dan kesetiaanku kepada
suamiku. Bagaimana aku tak marah terhadap tawaran si
penggembala?
“Dia tetap kukuh: aku harus membayar secawan susu putih
dengan semalam tidur dengannya. Saat itu terbayang muka pucat
suamiku yang terbaring. Aku ditikam keragu-raguan. Suamiku
meyakinkanku bahwa satu-satunya penyembuh dirinya adalah susu
seekor sapi putih.
“Aku duduk diam beberapa saat sementara si penggembala
dengan senyum nakalnya bersiul-siul menyenandungkan nada-nada
asmara. O Angin, akhirnya aku penuhi permintaannya.
“Setelah selesai kami melakukan sesuatu yang tak pernah
kuinginkan, si penggembala membelakangiku yang masih terbaring
dengan air mata membasahi pipi. Betapa terkejutnya diriku ketika si
penggembala membalikkan tubuh. Kujumpai sosok Siwa, suamiku.
Dia terkekeh. Aku mengunjal napas panjang dan merasa lega bahwa
diriku ternyata tidak berselingkuh.
“Tapi apa yang terjadi selanjutnya, O Angin? Suamiku berkata,
‘Uma, kau bukan perempuan setia. Kau tak kukuh menggenggam
kesetiaan. Kau telah berselingkuh, Uma. Maka, aku tak sudi lagi
menerimamu sebagai istriku. Kau harus menghuni Setra Gandamayu,
dan namamu harus kauubah menjadi Durga.’
“O Angin, tak cukup dia menghukumku dengan mengucilkan
diriku. Dia memang sakti. Selain mampu menjelma banyak sosok, dia
mampu mengubah wujud seseorang. Maka aku dibuatnya menjadi
buruk rupa.
“Dia membawaku ke Setra Gandamayu. Sebelum pergi, dia
berkata, ‘Kau akan kembali molek dan bisa kembali kepadaku bila kau

ASMARALARA-Saroni Asikin 119


telah dibebaskan pemuda bungsu dari lima bersaudara. Selamat
tinggal, Durga.’47
“Dan di sinilah aku. Entah sudah berapa aku di sini. Tapi kau
harus tahu, o Angin, aku tak marah kepada suamiku yang telah begitu
kejam menguji diriku. Aku masih sangat mencintainya...” ()*

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 7 Juli 2019

Dalam pewayangan, khususnya lakon Sudamala, Durga dibebaskan oleh Sadewa, bungsu
47

Pandawa.

ASMARALARA-Saroni Asikin 120


Asmaralara Pramodhawardhani-Pikatan

“Buhul jiwa raga antara aku yang Siwa dan dia yang Buddha
membuktikan bahwa yang berbeda bisa bersanding dan bersisian, dan saling
mencintai.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 121


BUHUL CINTA PRAMODHAWARDHANI-PIKATAN

KABUT memuai bersamaan sang bagaskara di langit mulai naik


sepenggalah. Meski begitu, udara Bhumisambara48 masih sejuk dan
silirnya mengantarkan aroma pudak ke hidung Pikatan. Lelaki itu
sedang berdiri di dekat pagar taman dan memandang ke arah
Pramodhawardhani yang sedang memetiki jeruk kingkit. Dari bibir
istrinya itu lamat-lamat terdengar senandung kidung Smaradahana.
“Kidung yang menggambarkan hatiku kepadanya,” batin
Pikatan, “Sejak aku jatuh cinta kepadanya, tak setipis kulit bawang
pun asmaraku berkurang.”
Pikatan kembali tersenyum ketika melihat dua ekor kupu-kupu
berbeda warna terbang beriringan melintasi kepala Pramodawardhani
sebelum keduanya hinggap di atas bunga kacapiring.
“Bahkan kupu-kupu beda warna pun bisa selalu beriringan,
tamsil untuk kita berdua, Istrinda.”
Seolah-olah mendengar bisikan batin Pikatan, Pramo-
dawardhani menoleh ke arahnya dan tersenyum. Senyum itu
menyempurnakan kecantikannya. Perempuan itu memang sangat
cantik. Pikatan selalu memuji wajahnya bak cahaya purnama dan
ketika berjalan, lenggangnya bak tarian angsa putih.
“Bila bila aku bukan perempuan cantik, masihkah kau bersedia
menikahiku, Suaminda?” Pramodhawardhani pernah bertanya seperti
itu ketika dirinya memuji-muji sang istri.
“Tapi suaramu semerdu burung kalawingka, Sri Kahulunnan.”
Perempuan itu terkikik. Dia selalu senang dipanggil Sri
Kahulunnan, sang pemberi. “Aku suka kaupanggil begitu, panggilan
yang diberikan kawula Medang untukku. Dan aku lebih suka
memanggilmu Mpu Manuku.”

48
Sambarabudhara adalah Candi Borbudur.

ASMARALARA-Saroni Asikin 122


Pramodhawardhani masih terus bersenandung. Pikatan duduk
di umpak batu panjang dan memandang ke arah selatan, ke puncak
Sambarabudhara.
“Dulu demi Sri Kahulunnan itulah aku membangunnya, bahkan
tanpa sedikit pun kuterakan ciri dari keyakinanku sendiri, bahkan
harus kusamarkan namaku sebagai orang yang membangunnya. Tapi
dia layak diperjuangkan meskipun aku harus meyakinkan ayahnya
dan juga wangsaku. Dia memang layak diperjuangkan meskipun itu
harus dengan meretas pagar perbedaan keyakinan, perbedaan yang
telah membuat wangsanya dan wangsaku bertikai terus-menerus.
Buhul jiwa raga antara aku yang Siwa dan dia yang Buddha
membuktikan bahwa yang berbeda bisa bersanding dan bersisian, dan
saling mencintai.”
Pikatan mendesah panjang ketika mendadak terbetik keinginan
di dalam dirinya untuk mengabadikan kisah percintaan mereka.
“Mungkin bukan bangunan semegah Sambarabudhara atau
Prambanan,” pikirnya, “tapi bangunan itu harus memadukan dua ciri
keyakinan kami.”
Dia ingat, sekitar seribu hasta di sebelah tenggara Prambanan
ada tanah kosong, tanah di bawah kekuasaan wangsanya, Wangsa
Sanjaya.
“Itu lahan yang tepat untuk mengabadikan kisah cintaku kepada
Pramodhawardhani.”
Dia lalu menoleh ke arah istrinya. “Kahulunnan,” panggilnya.
Sang istri menoleh.
“Kemarilah.”
Perempuan itu segera beranjak dan dengan lenggang gemulai
menuju ke tempat suaminya. Pikatan lalu mengajaknya duduk
bersisian. Setelah meletakkan dulang bambu berisi jeruk kingkit,
Pramodhawardhani duduk di sisinya sembari memandang ke kelimun
awan di atas Merapi.
“Kahulunnan, pernahkah kau berkeinginan mengabadikan kisah
cinta kita?”

ASMARALARA-Saroni Asikin 123


Pramodhawardhani menoleh ke suaminya yang sedang menatap
lurus ke arah Merapi. Dia lalu tersenyum dan berkata lirih,
“Keinginan itu sudah muncul sejak kali pertama aku jatuh cinta
kepadamu, Mpu Manuku, dan masih tersimpan di lubuk hatiku.”
“Kadang-kadang,” lanjut Pramodhawardhani, “aku ingin
meminta pujangga istana menuliskannya dalam lempiran rontal, atau
mendirikan prasasti di tempat kita dulu bertemu.”
“Kenapa tak kauwujudkan, oh Sri Sanjiwana?”
“Sri Sanjiwana, oh aku juga suka kaupanggil begitu,” ujar
Pramodhawardhani dengan terkikik.
“Kenapa belum kauwujudkan?”
Masih dengan terkikik, Pramdodhawardhani menjawab,
“Mungkin karena aku terlena oleh kebahagiaan bersanding
denganmu, Mpu Manuku. Lalu ketika lahir buah hati kita,
Gurunwangi dan Kayuwangi49, kupikir itulah lontar dan prasasti
hidup yang lahir dari cinta kita.”
Pikatan tersenyum. “Ya, mereka berdua adalah lontar dan
prasasti yang hidup. Tapi seperti kautahu, kita tidak hidup abadi.
Gurunwangi dan Kayuwangi dan anak turun mereka juga tidak hidup
abadi. Coba kaulihat Sambarabudhara, ia akan abadi bersama waktu.”
“Apakah Suaminda akan membangun Sambarabudhara kedua?”
Pikatan menggeleng-geleng. “Butuh waktu lama dan biaya tak
sedikit. Yang paling mungkin hanyalah bangunan yang jauh lebih
kecil. Tapi aku ingin bangunan itu mencirikan keyakinanku dan
keyakinanmu50.”
“Apakah bangunan seperti itu mungkin?”

49
Nama lengkap kedua anak Pramodhawardhani-Pikatan adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
50
Bangunan yang dimaksud Pikatan kemungkinan Candi Plaosan yang tak jauh dari Candi
Prambanan dan disebut mencirikan Hindu-Buddha dan dipercaya dibangun pada masa
Pramodhawardhani dan Pikatan berkuasa di Medang (Mataram Kuno)

ASMARALARA-Saroni Asikin 124


“Mengapa tidak? Kita yang berbeda terbukti sampai hari ini
masih bersisian dan saling mencintai. Bagaimana kita saling
menghargai perbedaan itu perlu dikabarkan ke semua zaman.”
Mereka terdiam. Pikatan memeluk istrinya sembari
memejamkan mata. Bibirnya menyunggingkan senyum. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 21 Juli 2019

ASMARALARA-Saroni Asikin 125


Asmaralara Sri Huning-Wiratmaya

“Oh andai perempuan yang kuasmarai itu bukan Sri Huning, adik
kandungku sendiri,” batin Wiratmaya.

ASMARALARA-Saroni Asikin 126


BUKAN ASMARA TERLARANG

PEREMPUAN tua itu menggeleng-gelengkan kepala meman-


dangi anak lelakinya yang duduk bersimpuh dengan kepala menun-
duk. Dia lalu melepeh sirih terakhir dan membuang ludah ke batok
kelapa.
Tadi dia melihat muka muram putranya saat masuk ke Ruang
Penginangan sebelum mengatakan ingin mengungkapkan sesuatu,
lalu duduk bersimpuh. Tapi hingga satu kali penginangan, si anak
belum mengucapkan apa pun. Dari bunyi napas lelaki muda itu, si
perempuan menduga putranya itu sedang dirundung kegelisahan.
Perempuan itu mengunjal napas, terkekeh kecil sebelum berkata,
“Ada apa, Wiratmaya? Sejak kapan kau yang selalu riang dan suka
bicara menjadi mirip arca Dwarakala? Bicaralah, Nak.”
Wiratmaya masih bergeming. Kepalanya semakin dia tekurkan.
Perempuan itu bangkit dan berjalan ke jendela yang terbuka.
Sekilas dia memandangi tarian dedaunan kacapiring sebelum
memandang langit yang hitam. Dia yakin saat itu belum masuk tibra
layu51 tapi mendung tebal di langit membuat hari seolah-olah cepat
menjadi petang.
“Wiratmaya, belum pernah aku melihat dirimu mirip langit
yang bermendung. Apakah terlalu berat sesuatu yang sedang
kaupendam sehingga kepada ibumu sendiri kau masih ragu-ragu
mengungkapkannya?”
Di tempatnya bersimpuh, Wiratmaya menggeleng-gelengkan
kepala dan membuang napas dengan sentakan yang keras.
“Ibunda....”
Hanya itu sebelum dia kembali bergeming.

51
Waktu Jawa sekira pukul 17.00.

ASMARALARA-Saroni Asikin 127


Sambil terus memandangi mendung di langit, perempuan tua itu
berkata, “Kalau kau belum sanggup mengatakannya sekarang,
janganlah kaupaksakan.”
“Ibunda....”
Lagi-lagi hanya satu kata itu yang diucapkan Wiratmaya.
“Apakah kau sedang dirundung gandrung, kalau Ibunda boleh
menerka?”
Wiratmaya terjengit mendengar ucapan terakhir ibunya. Dia
sama sekali tak menyana ibunya akan mengatakan hal itu.
Wiratmaya menggerakkan kepalanya dan memandangi sosok ibunya
dari belakang. Dia ingat tujuannya menemui sang ibu memang untuk
mengungkapkan soal asmara yang dia tanggung. Dia juga ingat,
keputusannya untuk bercerita kepada ibunya mengenai hal itu dia
ambil setelah dirinya menanggung kegelisahan dan keragu-raguan
selama berhari-hari.
Tapi tadi begitu duduk bersimpuh, dia kembali diserang keragu-
raguan.
“Oh andai perempuan yang kuasmarai itu bukan Sri Huning,
adik kandungku sendiri,” batin Wiratmaya. Kelesah napasnya
kembali terdengar.
“Jadi memang soal asmara yang membuat lidahmu tak bisa
kaugerakkan?” tanya ibunya lagi.
Dengan tetap menekur, Wiratmaya menjawab, lirih dan agak
terbata-bata, “Memang so... soal i... tu, Ibunda.”
Perempuan tua itu tertawa kecil sembari membalikkan tubuh
dan memandangi anak lelakinya yang masih tepekur.
“Asmara memang luar biasa. Lelaki yang sangat perkasa pun
sering tak kuasa berhadapan dengannya. Lelaki yang piawai berbicara
pun sering mati wicara soal asmara.”
Sembari masih terkekeh perempuan itu berjalan dan kembali
duduk di tempat tadi dia menginang. Wiratmaya masih tetap saja
menekur di lantai.

ASMARALARA-Saroni Asikin 128


“Ibunda bisa mengerti betapa berat seseorang ketika
mengungkapkan soal asmara. Kau yang tampan, perkasa saat olah
senjata, putra seorang adipati, dan anak muda yang pandai berbicara,
juga tak mampu dengan enteng mengungkap soal asmara. Nah, kalau
kau belum mampu menceritakannya sekarang kepada Ibunda, tak
usahlah kaupaksakan. Kapan pun kau siap, Ibunda selalu siap menjadi
telinga untuk itu. Tapi bolehkah Ibunda tahu perempuan mana yang
kaugandrungi, Wiratmaya?”
Hening beberapa saat sebelum akhirnya dari bibir Wiratmaya
keluar ucapannya yang lagi-lagi sangat lirih, “Asmara Ananda ini
asmara yang terlarang, Ibunda.”
Kali ini si perempuan yang terjengit di tempat duduknya.
“Terlarang? Apa maksudmu?”
“Apakah Ibunda berjanji tak akan murka dan bersedia
menyimpan apa yang akan Ananda katakan sebagai rahasia?”
“Wiratmaya, Wiratmaya! Aku ini ibumu. Kenapa kau
memandang aku seolah-olah aku ini raseksi yang akan menelan
anaknya sendiri? Apa yang kaumaksud sebagai asmara terlarang?
Apakah dia perempuan yang sudah bersuami? Atau dia bukan dari
bangsa manusia?”
Wiratmaya bertambah gelisah mendengar kata-kata ibunya. Dia
tahu, ibunya memang perempuan yang keras. Dia tahu, di balik
keanggunannya sebagai seorang istri adipati, orang yang telah
melahirkannya adalah perempuan yang tak suka berbasa-basi ketika
berbicara.
Ketika gerimis pertama jatuh, Wiratmaya bangkit dan
berpamitan.
“Ceritakanlah kepada Ibunda kapan pun kau siap, Nak.”
Di bibir pintu, lirih Wiratmaya berkata, “Perempuan itu Sri
Huning. Putri Ibunda sendiri.”
Ketika memandangi sosok anaknya yang berjalan dengan
lunglai sebenarnya dia ingin berteriak untuk memanggilnya kembali.

ASMARALARA-Saroni Asikin 129


Dia ingin mengatakan bahwa asmaranya tak terlarang karena Sri
Huning bukanlah adik kandungnya sendiri.
Mulutnya hampir saja akan memanggil pemuda kasmaran itu
ketika dia ingat, suaminya sudah mengirim utusan ke Kadipaten
Bojonegoro untuk meminang putri sang adipati untuk diperistri
Wiratmaya. (*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 4 Agustus 2019

DEMI WIRATMAYA

SEKELUAR Ibu dari kamarku, aku bagaikan seekor burung


mungil yang berhasil lepas dari jerat jaring seorang pemburu tetapi
ketika kugerakkan sayapku, sayap itu tak bisa mengepak sehingga aku
terjerembap ke semak-semak di hutan.
Tadi, seusai hujan reda, sekira waktu saput wengi52, Ibu datang ke
kamarku. Setelah bertukar salam dan berbasa-basi, kami duduk
bersisian sebelum Ibu memintaku merebahkan kepala ke pang-
kuannya.
“Ibu sudah lupa kapan kali terakhir Ibu membelai-belai wajah
dan rambutmu. Empat atau lima warsa sudah ada? Ah, itu pasti sesaat
setelah darah perempuan yang keluar dari dirimu sebagai tanda kau
bukan kanak-kanak lagi.”
Aku tak menjawab dan tak ingin bertanya-tanya mengapa Ibu
berkata seperti itu. Kesyahduan menikmati kehangatan pangkuan Ibu,
kemesraan belaiannya di muka dan rambutku, saat itu kurasakan
bagaikan impian indah yang sudah berwarsa-warsa hilang itu hadir
kembali. Dan sedari kecil, aku selalu senang menikmati belaiannya.

52
Saput wengi: waktu Jawa sekira pukul 19.00.

ASMARALARA-Saroni Asikin 130


“Tak terasa, si anak perempuan kecil itu kini sudah menjadi
gadis yang mekar, yang pasti sudah mulai merasakan getar-getar
asmara dari seorang jaka. Oh Huningku, jaka mana yang ketika kau
melihatnya ada geletar di dalam dadamu? Ceritakanlah kepada Ibu.”
“Ah, Ibu....”
Hanya itu jawabanku. Tapi mendadak dadaku seperti tertusuk
cundrik. Apa yang Ibu katakan soal geletar asmara itu sudah
kurasakan kepada seorang jaka, seorang lelaki muda yang bahkan
kepada diriku sendiri pun kusangkal.
Ya, aku selalu menyangkalnya dengan berkata kepada diri
sendiri, “Huning, oh Sri Huning, itu bukan asmara perempuan
kepada lelaki melainkan rasa cinta dan kasih kepada seorang saudara.”
Bagaimana tidak kusangkal karena dia adalah Wiratmaya, kakak
lelakiku sendiri.
“Huning, Ibu akan mengatakan sesuatu yang sungguh berat.”
Ibu berhenti sejenak dan menundukkan kepala untuk meman-
dangi wajahku. “Tapi Ibu harus mengatakan, Huning. Kau mencintai
Wiratmaya?”
Aku terkesiap oleh pertanyaan tak kunyana-nyana itu. Tapi
dengan berusaha tersenyum, aku menjawab, “Tentu saja, Ibu, dia
kakakku.”
“Maksud Ibu, bukan cinta adik kepada kakaknya melainkan
asmara seorang gadis kepada seorang pemuda.”
Aku terjengit dan bangkit dari rebahan di pangkuannya, lalu
menggeleng-gelengkan kepala. “Huning tak mengerti maksud Ibu.”
“Ke sinilah, Nak,” ujarnya sembari menggamit bahuku dan aku
kembali rebah di pangkuannya.
Kata-kata Ibu selanjutnya membuatku bagaikan dipusar-pusar
puting beliung dan ketika pusaran itu reda, aku tetap melayang-
layang di angkasa. Ya, Ibu menceritakan kegalauan kakakku Wirat-
maya yang memendam asmara kepadaku, juga keputusasaannya
karena menganggap itu asmara terlarang. Itu juga yang kurasakan.

ASMARALARA-Saroni Asikin 131


Saat mendengar kalimat itu dari Ibu, aku nelangsa tapi juga gembira
karena aku tahu asmaraku tak bertepuk sebelah tangan.
”Kalau kau juga mencintainya dengan asmara perempuan
kepada lelaki, bukan antara adik dan kakak, itu bukan asmara
terlarang.”
Ibu berhenti beberapa saat sebelum melanjutkan, ”Ya, itu bukan
asmara terlarang karena... karena kalian... kalian tak punya pertalian
darah. Oh maafkan, Ibu, Huning... maafkan ayahandamu Sang
Adipati... karena aku terpaksa membuka rahasia ini.”
Aku sangat terkejut hingga terjengit dari rebahanku. Diriku
bagaikan kembali diterbangkan angin dan dipusar-pusar di angkasa
seolah-olah tanpa kesudahan. Perempuan yang pangkuannya nyaman
untuk kurebahi, yang selama ini kupanggil ibu mendadak mengatakan
bahwa dia bukan perempuan yang telah mengandung dan
melahirkanku.
Anak siapa aku?
”Tapi Huning, sampai kapan pun kau tetap anakku, anak kami.
Sejak kami menerimamu pada saat kau baru belajar berjalan, kau
adalah anakku, seperti Wiratmaya dan kakakmu satunya, Wirat-
maka.”
Aku masih tak mampu mengucap satu kata pun dan memilih
merebahkan kepala ke pangkuannya. Kali ini dengan mene-
lungkupkan muka.
”Ibumu meninggal setelah melahirkanmu dan ayahmu perwira
perkasa yang membela junjungannya Sang Arya Ranggalawe sampai
tetes darah terakhir saat berperang melawan Nambi dari
Wilwatikta53. Kau putri orang terhormat. Tapi setelah kematian
ayahmu, kau adalah putri kami, sampai kini, sampai selamanya. Ibu
terpaksa membuka rahasia ini karena kegelisahan dan keputusasaan
anak muda kasmaran, ya kakakmu. Dia tak perlu gelisah karena
sebenarnya kalian bisa bersatu dalam buhul istri-suami karena tak ada
ikatan darah di antara kalian.
53
Wilwatikta:nama lain Majapahit

ASMARALARA-Saroni Asikin 132


“Tapi oh Huning, Sri Huningku, semua ini datang pada saat
yang tidak tepat. Ayahandamu Sang Adipati telah melamar putri
Adipati Bojonegoro untuk kakakmu Wiratmaya, tanpa sepenge-
tahuan kakakmu sendiri. Karena itu, oh Duhita54, aku harus memohon
sesuatu kepadamu....”
Ibu berhenti dengan tangan terus membelai belai rambutku
sementara aku telah terisak-isak dan memenuhi kain di pangkuan Ibu
dengan air mata.
Hening beberapa saat sebelum kudengar suara lirihnya,
”Huning, jawablah meski berat, apakah kau juga memendam asmara
seorang perempuan kepada kakakmu Wiratmaya?”
Aku tak menjawab dan semakin membenamkan kepala ke
pangkuannya.
”Nah, Ibu mohon kausimpan rasamu itu dalam-dalam dan
kepada Wiratmaya apalagi setelah nanti dia tahu bahwa kau bukan
adik kandungnya, tunjukkanlah bahwa rasa sayangmu adalah rasa
sayang seorang adik kepada kakaknya. Lamaran kepada putri
Bojonegoro tak mungkin dibatalkan. Seperti kautahu pembatalan
akan menciptakan peperangan. Kita tak ingin ada darah tumpah lagi
di tanah Kambang Putih55 ini. Ya lakukan itu untuk Wiratmaya,
untuk kita semua.”
Setelah itu Ibu diam hingga keluar dan aku seperti sudah
kukatakan bagaikan seekor burung kecil yang terbebas dari jaring
tetapi terperosok ke semak-semak dan tak mampu bahkan
menggerakkan sebelah sayapnya.
Kulihat langit begitu murung tanpa gemintang dan aku seolah-
olah melihat muka kakakku Wiratmaya yang semurung langit malam
itu. (*)
Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 25 Agustus 2019

54
Duhita: (Jawa Kuno) panggilan sayang untuk gadis.
55
Kambang Putih: Nama lama Tuban.

ASMARALARA-Saroni Asikin 133


Asmaralara Ahalya-Indra-Gautama

Apakah aku telah benar-benar menjadi seorang istri? Aku tak tahu.
Yang aku tahu, aku harus selalu mematuhi perintahnya. Dan hanya kata-
kata itu yang kuterima, hanya kalimat perintah dari mulutnya yang mengisi
kehidupanku bertahun-tahun.

ASMARALARA-Saroni Asikin 134


AHALYA DAN TEMBANG TERLARANG

JARI-JEMARI gadis itu lincah meronce kembang: mawar,


anyelir, asoka, semboja, dan melati. Kuraup tumpukan melati di
dulang bambu miliknya, menghirup aromanya yang sangat wangi,
lalu duduk bersila di hadapannya. Dia memandangku sekilas sebelum
kembali ke roncean kembangnya.
Setelah itu hening. Tak ada di antara kami yang mengucapkan
sesuatu. Tapi lalu kudengar dia mendengus dan membuang napas
beberapa kali. Dia seperti sedang memendam sesuatu dan ingin
mengempaskannya jauh-jauh.
“Bolehkah...,” dia tak melanjutkan kata-katanya. Lalu setelah
unjalan dan empasan panjang napasnya, dia melanjutkan, “Boleh aku
bertanya, Ahalya?”
Kuberi isyarat agar dia tak ragu-ragu mengungkapkan
pertanyaan.
“Orang desa bercerita tentang tuah Rama yang membuat dirimu
awet muda. Mereka bilang kau sebenarnya telah hidup pada zaman
jauh sebelum Ayodya dperintah Sang Rama. Benarkah itu, Ahalya?”
Aku hanya terkikik lalu kembali meraup melati dan menghirupi
aromanya.
“Mereka juga menggunjingkan hal buruk tentang dirimu.”
“Tentang aku perempuan peselingkuh, bukan?”
“Begitulah. Maaf....”
Aku hanya terkekeh kecil. “Aku tahu itu, Damayanti. Mereka
bercerita, sebagai istri Maharesi Gautama aku telah berselingkuh
dengan Indra dan aku dikutuk jadi patung batu yang dilempar ke
sebuah hutan. Lalu berabad-abad kemudian kaki Sang Rama
menyentuh tubuh patungku. Sentuhan itu membuatku hidup lagi,
dan sekarang tinggal di sini. Begitu yang kaudengar?”
“Tapi ada yang bilang, kau diperkosa Indra saat suamimu pergi
ke sungai untuk bersuci.”

ASMARALARA-Saroni Asikin 135


Aku mendesah. “Hmm, cerita orang... kau ingin aku bercerita
tentang itu dari mulutku sendiri? 56”
Dia mendongak. Kulihat wajahnya menyemburatkan binar yang
riang mirip anak kecil yang menunggu pemberian hadiah. “Kalau kau
bersedia, Ahalya.”
***
SEBELUM dibawa ke rumah Maharesi Gautama dan diminta
menerima status sebagai istrinya, aku telah mendengar orang-orang
di lingkungan rumahku bercerita mengenai lelaki tua itu. Dia telah
memenangkan hati dan ujian dari Brahma, orang yang telah
merawatku dan ingin menikahkanku dengan lelaki yang lulus dari
ujiannya. Aku tak tahu apa ujiannya tapi katanya lelaki tua itulah
pemenangnya.
“Dia sudah tua, Ahalya. Tapi dia luar biasa, bijak dan berilmu
tinggi. Menjadi istrinya itu suatu anugerah,” ujar sida-sida tua yang
bersamaku di kereta pada saat Brahma mengirimkan rombongan yang
membawaku ke rumah lelaki tua itu.
Ketika itu aku gadis yang lugu, yang hanya tahu cara meronce
kembang, memilah-milah bebungaan untuk sesaji, bisa menari
beberapa tarian, hafal beberapa seloka, sesekali menulis seloka di daun
pandan, dan tak sedikitpun tahu soal lelaki.
“Ahalya yang dapat anugerah atau lelaki tua, ups maaf,
maharesi itu yang beroleh anugerah?” tukas sida-sida yang lain, yang
lebih muda.
“Hush!”
“Nek, apa kau menyangkal betapa muda dan cantik Ahalya kita?
Kecantikannya bahkan bikin iri Dewi Ratih.”
Begitulah, kehendak Brahma sudah terpenuhi. Tahun-tahun
berlalu. Apakah aku telah benar-benar menjadi seorang istri? Aku tak
56
Cerita ini merupakan resepsi saya atas sepenggal kisah dalam Ramayana karya Walmiki seperti
dalam percakapan awal cerita ini. Di Jawa, kisah ini dikenal dalam cerita Cupu Manik Astagina dengan
Ahalya yang diganti namanya menjadi Dewi Windradi, dan resepsi ceritanya jauh berbeda. Ahalya
dalam tradisi Hindu di India adalah salah seorang dari lima perempuan dalam konsepsi Panchakanya
atau lima gadis yang disucikan dan namanya diucapkan perempuan Hindu sebagai doa pelebur dosa.
ASMARALARA-Saroni Asikin 136
tahu. Yang aku tahu, aku harus selalu mematuhi perintahnya. Dan
hanya kata-kata itu yang kuterima, hanya kalimat perintah dari
mulutnya yang mengisi kehidupanku bertahun-tahun.
Ah, akan panjang cerita ini, dan kau bisa saja bosan, Damayanti.
Cukup kau tahu, aku sendiri tak tahu apakah aku berbahagia atau
tidak. Aku tak pernah memikirkan hal itu. Kadang-kadang aku
memang merasa sangat kesepian. Lalu kuhibur diriku dengan menari
atau menembangkan seloka yang kuhafal. Sesekali aku menulis seloka
itu di lembaran pandan putih dan menembangkannya.
Damayanti, kau masih mau mendengar ceritaku? Suatu malam
aku bermimpi tentang seorang lelaki. Semuda diriku. Dia datang ke
taman di rumah Brahma, ayahku. Entah mengapa ketika bangun dan
Maharesi Gautama pergi ke sungai untuk bersuci sebelum
sembahyang pagi, aku memikirkan lelaki dalam impian itu. Aku
bertanya-tanya apakah aku pernah melihatnya di rumah Brahma.
Aku tak yakin. Tapi dia datang beberapa malam di dalam mimpiku.
Aku gelisah dan menuliskan seloka yang agak panjang dari biasanya.
Lalu aku menambangkannya. Inilah awal petaka itu. Lelaki yang
disebut sebagai suamiku itu mendengarnya. Dia marah dan
memintaku menghentikan tembangku. Selama ini aku tak pernah
membantah atau menyangkal kalimat-kalimatnya. Entah mengapa
kali itu aku membalasnya dengan bertanya, “Mengapa?”
Dia tak menjawab dan pergi. Tak lama kemudian datang
beberapa orang yang aku tahu mereka adalah siswa-siswanya. Mereka
membawaku dalam kereta menuju ke desa ini. Di sinilah aku,
bertemu denganmu, dan hidup dari menanam bunga yang sedang
kauronce, juga bunga-bunga untuk sesaji. Cerita-cerita yang
kaudengar itu, Damayanti, aku tahu siapa yang menyebarkannya.(*)

Blencong, Pamomong, Suara Merdeka, 19 Juli 2020

ASMARALARA-Saroni Asikin 137


Saroni Asikin, lahir di Brebes, 17 Agustus 1972. Selulus SMA
dia menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa
Prancis IKIP Semarang (kini Unnes). Semasa kuliah dia aktif
menulis di bidang sastra dan seni dan menjadi wartawan lepas
untuk beberapa media massa. Setelah lulus kuliah, dia bekerja
sebagai wartawan di beberapa media seperti Mingguan
Perspektif dan Suara Merdeka (yang dia lakoni hingga sekarang).
Selain menjadi wartawan, sejak 2011 hingga sekarang dia
mengajar di beberapa perguruan tinggi sebagai dosen luar biasa
untuk mata kuliah Jurnalistik, Penyuntingan Bahasa Indonesia, Jurnalisme
Media Cetak, Bahasa Indonesia, Pengantar Sastra Prancis, Semiotika,
Komunikasi Lintas Budaya, dll. Dia telah banyak menulis karya sastra di media
massa, tetapi belum banyak yang diterbitkan sebagai buku. Salah satu novelnya
yang sudah diterbitkan berjudul Gandayoni (2019). Dia tinggal di Pati bersama
istri dan dua anak perempuannya: Cahyani Wijanarsih, Elok Bunga
Cahayasutra, dan Molek Dara Cahayamata.

ASMARALARA-Saroni Asikin 138

Anda mungkin juga menyukai