Anda di halaman 1dari 2

Claresta Prima Eliyan

12161113305
Semiotika – Kelas A

Filosofi Kopi, Madre, Smokol, dan Aruna dan Lidahnya adalah empat karya prosa
yang sama-sama mengangkat tema kuliner sebagai pokok. Dalam Filosofi Kopi, kuliner
utama yang diperbincangkan adalah kopi, Madre berbicara tentang dunia perotian, sementara
Smokol dan Aruna dan Lidahnya membahas kuliner dalam lingkup luas.
Filosofi Kopi menerangkan hidup seorang Ben yang terobsesi berat untuk
menciptakan kopi terenak dengan segala filosofi yang dikandungnya. Gara-gara kopi, ia
sampai rela untuk pergi ke luar negeri hanya untuk belajar cara meracik sekaligus
memperkaya diri dengan seluk-beluk dunia perkopian. Seiring perjalanannya, Ben
menciptakan Ben’s Perfecto, yang digadang-gadang olehnya sebagai kopi terenak di dunia.
Namun suatu ketika setelah mencicipi kopi Tiwus milik Pak Seno, Ben tiba-tiba terperanjat.
Ia sadar bahwa selama ini dirinya hanya membual tentang kopi terenak. Kopi Tiwus Pak
Seno serta merta membuatnya jatuh. Hal itu terjadi begitu saja namun Jody, sang sahabat,
kembali menguatkannya untuk berekspresi lewat kopi.
Dari paragraf di atas, Nampak bilamana sebuah minuman bernama kopi rupanya
mampu mempengaruhi hidup seseorang. Kopi mampu memberi segudang filosofi yang
membuat Ben ceria dan berbangga diri, namun juga jatuh terpuruk. Hal ini dikarenakan
perasaan serta kecintaan Ben pada kopi yang begitu mendalam. Di sisi lain dalam cerpen ini,
disebutkan juga bahwa akibat Ben yang bisa dibilang lebih dari mampu membagi-bagi
kecintaannya terhadap kopi pada pelanggan kedai, keuntungan kedai kopi mereka pun
meningkat pesat. Hal ini mengindikasikan bilamana orang-orang pada akhirnya juga
menyukai kopi berikut segala filosofinya hingga merasa tertarik untuk berkunjung lagi dan
lagi. Kopi menjadi hal yang digemari bukan hanya sebagai minuman, namun panggilan jiwa
yang harus dipenuhi. Lebih dari itu, gaya hidup.
Sementara itu, Madre bercerita tentang kehidupan seorang Tansen bersama sebuah
adonan biang berumur puluhan tahun. Dikisahkan bahwa Madre, adonan biang tersebut,
adalah rahasia dalam membuat roti legendaris. Roti-roti yang dibuat dengan ragi instan tidak
akan bisa menandingi roti dengan adonan biang yang umurnya sudah tua. Madre sendiri lahir
di tangan sosok yang memang berbakat dalam membuat roti, nenek Tansen.
Sama seperti Filosofi Kopi, dalam Madre, ada saja hidup seseorang yang dipengaruhi
oleh makanan. Pak Hadi beserta teman-teman sejawatnya adalah mereka yang digambarkan
memiliki perhatian, kepedulian, dan tahap hubungan yang tinggi dengan Madre, si adonan
biang. Pak Hadi terutama, digambarkan betul menyerahkan hidupnya untuk merawat dan
menjaga Madre. Kurang lebih, posisi kuliner dalam cerpen ini adalah sebagai sesuatu yang
dapat dijadikan teman atau anak atau saudara yang karenanya, semua orang dapat berkumpul
untuk berbagi kesenangan beserta cerita hidup.
Dalam Smokol, Batara dengan segala yang ia miliki diceritakan selalu mampu
mengajak tiga temannya untuk bersama-sama menikmati hidangan yang ia buat. Terhadap
“ritual smokol”, Batara selalu menyiapkan hal-hal yang baginya penuh esensi sekaligus
estetik seperti tatanan meja, waktu-waktu yang digunakan untuk bersantap, hingga ke menu
makanan smokol itu sendiri. Beberapa diksi “dewa” digunakan dalam cerpen ini yang mana
hal tersebut mengindikasikan “ketinggian”, “kekuasaan”, “keperkasaan”, dll. Batara juga
kerap menyajikan filosofi tentang keagungan makanan alih-alih menyediakan makanannya
saja. Batara juga nampak sangat memperhatikan orang-orang terhadap apa yang terjadi pada
mereka akibat kekurangan asupan. Di akhir cerita, ia dituliskan khawatir pada negeri ini
(yang tentu terkait dengan kuliner), hingga ia jadi kurus.
Posisi kuliner dalam cerpen ini agaknya lebih tinggi dibanding dua cerpen
sebelumnya. Jika Madre menjadi seorang sahabat, kopi menjadi sesuatu yang dibanggakan,
dalam Smokol, posisi kuliner menempati posisi sebagai sesuatu yang agung. Kuliner tidak
lagi berupa sesuatu yang mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani, lebih dari itu, kuliner
merupakan berkah yang semua orang harus mendapatkannya secara cukup. Makanan tidak
lagi menjadi suatu yang biasa, melainkan ada tata cara untuk memproduksi berikut
mengonsumsinya dalam rangka penghormatan.
Posisi kuliner Smokol ini kurang lebih sama dengan Aruna dan Lidahnya. Jujur saja,
saya tidak membaca novel secara keseluruhan dan hanya membaca ulasan (mohon maaf Bu
Adi dan Pak Bram). Yang saya bisa katakan adalah kuliner dalam novel ini mampu membuat
seorang tokoh bernama Aruna merasa excited. Walaupun masih sendiri, mungkin karena
kesukaannya pada kuliner itulah yang membuat dia betah menjalani hidup.
Dari keempat karya yang ada, masing-masing menempatkan kuliner pada taraf yang
kurang lebih sama, namun tetap memiliki perbedaan. Kuliner sama-sama memengaruhi hidup
tokoh pada masing-masing teks, sama-sama dicintai namun dengan posisi variatif. Filosofi
Kopi dan Aruna dan Lidahnya menempatkan kuliner sebagai sumber kekuatan, hobi. Madre
menempatkan kuliner sebagai sesuatu yang sarat makna, pengalaman serta kisah-kisah hidup,
sesuatu yang punya jiwa dan dapat hidup bersama para tokoh. Sementara Smokol,
menempatkan kuliner sebagai sesuatu yang terhormat karena esensi dan manfaatnya yang
beragam.
Bagi saya, penghadiran kuliner dalam keempat karya di atas merupakan sesuatu yang
agak unik sekaligus sarat ilmu. Untuk membuat karya bertema kuliner, seorang penulis harus
mengetahui pengetahuan yang cukup, dan dalam keempat karya di atas penulis sudah cukup
mampu mengajak pembaca untuk hanyut dalam kisah yang diperkarai tema yang satu. Tetapi
karena sebelumnya saya sudah banyak menonton animasi Jepang yang bertema kuliner juga,
ketika membaca teks-teks ini, saya tidak mempunyai kesan yang baru. Kurang lebih dalam
pandangan saya, semuanya normal. Bagus, tetapi tidak mengejutkan.

Anda mungkin juga menyukai