Batik Pekalongan dikenal mulai setelah terjadi perpecahan di kerajaan Mataram yang
saat itu di pimpin oleh raja Panembahan Senopati. Peperangan tersebut melawan kolonial
Belanda dan perpecahan di lingkup keraton yang sering terjadi hingga menyebabkan beberapa
keluarga kerajaan yang hijrah sekaligus menetap ke daerah-daerah lain dan salah satunya, yaitu
Pekalongan. Keluarga keraton memiliki kebiasaan dalam hal membatik, di saat mengungsi inilah
pembatikan Pekalongan berkembang dan kemudian menyebar ke pelosok wilayah nusantara.
Akhirnya,Batik di daerah Pekalongan tumbuh dengan cepat dan pesat seperti daerah
Banyurip,Buaran, Medono, Simbang kulon dan simbang wetan dan Jenggot dan masih banyak
kampung- kampung sekitarnya yang menjadi pusat pusat produksi kerajinan batik. Keluarga
keraton yang menetap di pekalongan tersebut membawa pengikut dari daerah lain untuk pindah
ke daerah Pekalongan. Di Pekalongan para pengikut secara bersama sama meneruskan
kegiatan membatik dan menjadi salah satu mata pencaharian mereka. Motif batik di daerah
Pekalongan sendiri berbeda dengan daerah lain karena motif batik daerah ini disesuaikan dengan
keadaan daerah sekitarnya.
Proses pembuatan batik pekalongan di awal abad ke-20 yang dikenal adalah batik tulis dengan
berbahan dasar mori buatan dalam negeri maupun luar negeri. Pertama kali dikenal didaerah
Pekajangan, yaitu kegiatan menenun yang menghasilkan stagen sedangkan proses benangnya
dipintal secara manual. Barulah setelah perang dunia I selesai, proses pembatikan dengan batik
cap mulai dikenal di wilayah pekalongan dengan pemakaian obat-obatan luar negeri seperti
buatan Jerman dan Inggris
Perkembangan serta pertumbuhan pembatikan di pekalongan lebih cepat dibandingkan
pertenunan stagen. Bahan yang digunakan untuk kainnya ialah hasil tenunan sendiri dan bahan
untuk catnya di ambil dari pohon mengkudu, pohon soga, pohon tom, pohon jawa, dan lain-
lain.Sampai saat ini, batik Pekalongan tetap dan masih dikenal di seluruh Indonesia dan
bahkan menjadi andalan untuk mensuplay luar negeri sekalipun. Jadi, cintailah budaya
Indonesia, cintailah batik dengan itu anda telah melestarikan budaya Indonesia.
Gurda berasal dari kata garuda. Seperti diketahui, garuda merupakan burung besar. Dalam
pandangan masyarakat Jawa, burung garuda mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk
motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan di tengahnya terdapat badan dan ekor. Motif
batik gurda ini juga tidak lepas dari kepercayaan masa lalu. Garuda merupakan tunggangan
Batara Wisnu yang dikenal sebagai Dewa Matahari. Garuda menjadi tunggangan Batara Wisnu
dan dijadikan sebagai lambang matahari. Oleh masyarakat Jawa, garuda selain sebagai simbol
kehidupan juga sebagai simbol kejantanan.
Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya yang sederhana juga
gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak variasinya. Kata gurda berasal dari kata
garuda, yaitu nama sejenis burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya
Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua
buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta
burung ini dianggap sebagai binatang yang suci.
Dalam cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai burung Garuda. Burung
ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa maguru, yang artinya sakti tanpa berguru
kepada siapapun. Adapun cerita tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang
Wisnu, menurut salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda dengan
para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan , sehingga mereka meminta
bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu
terjadi perdebatan diantara keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka
burung Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja yang
nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu mengajukan permohonan
agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk mengantarkan kembali ke Sorga Loka
(tempat tinggal para dewa).
Menurut pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut sebagai Sang Surya yang
berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan peristiwa diatas, bahwa akhirnya Garuda
menjadi tunggangannya Sang Dewa Matahari, maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai
lambang matahari. Kecuali itu Garuda dianggap pula sebagai lambang kejantanan. Dasar
pemikirannya adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda dipandang sebagai
sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan lambang kejantanan, dan diharapkan
agar selalu menerangi kehidupan umat manusia di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang
Yogyakarta mewujudkan burung yang suci ini kedalam motif batik.
Batik Semen Rama
Sida Mukti meruapakan motif batik yang biasanya terbuat dari zat pewarna soga alam. Biasanya
digunakan sebagai kain dalam upacara perkawinan. Unsur motif yang tekandung didalamnya
adalah gurda.
Motif-motif berawalan sida (dibaca sido) merupakan golongan motif yang banyak dibuat para
pembatik. Kata sida sendiri berarti jadi/menjadi/terlaksana. Dengan demikian, motif-motif
berawalan sida mengandung harapan agar apa yang diinginkan bias tercapai. Salah satunya
adalah sida mukti, yang mengandung harapan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Sido Mukti Mengenal Berbagai Macam Jenis Batik
Sejarah Batik Solo
Dipublikasikan pada 3 November 2014, oleh admin
Sejarah batik Solo tidak terlepas dari pengaruh Keraton. Batik Solo bermula pada masa Kerajaan
Pajang lebih dari 4 abad yang lalu. Seperti diketahui, kerajaan yang merupakan kelanjutan dari
dinasti Demak tersebut memindahkan pemerintahannya dari Demak Bintoro ke Pajang.
Ki Ageng Henis yang dikenal dengan Ki Ageng Laweyan merupakan manggala pinatuwaning
nagari semasa Jaka Tingkir masih menjadi Adipati Pajang. Beliau adalah kakek dari Danang
Sutawijaya yang menjadi pendiri kerajaan Mataram .
Dari perintah itu masyarakat berlomba-lomba untuk membuat corak batik. Muncul banyak motif
batik yang berkembang di masyarakat. PB III pun mengeluarkan peraturan tentang kain batik
yang boleh dipakai di dalam keraton. Ada beberapa motif tertentu yang diizinkan untuk dipakai
di lingkungan keraton.
Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganingsun, bathik sawat, bathik parang lan bathik
cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik
cemukiran kang calacap lung-lungan, kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan
sentananingsun dene kawulaningsun pada wedhia.
Adapun jenis kain batik yang saya larang, batik sawat, batik parang dan batik cemukiran yang
berujung seperti paruh burung podang, bagun tulak, minyak teleng serta berujud tumpal dan juga
batik cemukiran yang berujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya izinkan
memakainya adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula (rakyat) tidak
diperkenankan.
Para abdi dalem bertugas untuk merancang batik yang diperuntukkan bagi kepentingan keraton.
Mereka banyak yang tinggal di luar keraton, sehingga terbentuklah komunitas perajin batik
seperti di Kratonan, Kusumodiningratan, Kauman maupun Pasar Kliwon. Bahan yang digunakan
serta pewarnaan masih tetap memakai bahan lokal seperti soga Jawa.