KEMENTERIAN Jalan
KOORDINATOR 1
BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002
tentang Hak Cipta
Cerita Rakyat
Dayak Kenyah
Lepoq Jalan
RV Pustaka Horizon
ISBN: 978-602-60453-1-7
Cerita Rakyat
Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Penulis : Kelik Ismunandar
ISBN : 978-602-60453-1-7
Layouter : Musa
Sekapur Sirih
Ikhtiar Merawat Tradisi Warisan Leluhur 7
Seuntai Pinang
Pendokumentasian Pengetahuan Komunitas 11
Kata Pengantar
Pembelajaran dari Kearifan Tradisi Lisan 13
Cerita Satu:
Ksatria Apau Kayan
1. Lencau Sang Ksatria 26
2. Tamen Buring 37
3. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung 56
4. Uyau Tunyeng 74
Cerita Dua:
Pernikahan Bangsawan
1. Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan 86
2. Sigau Belawan 92
Cerita Empat:
Dongeng Fabel Lepoq jalan
1. Tang Tike dan Upit Saleng 134
2. Pelanuk dan Payau Betina 136
3. Pelanuk dan Pau 138
4. Pelanuk dan Seq 140
P
ada awalnya penulis merasa ragu ketika didaulat
oleh teman-teman Yayasan Desantara dan
Naladwipa Institute untuk mendokumentasikan
cerita rakyat Dayak Kenyah Lepo’ Jalan. Ada dua hal
yang melatarbelakangi keraguan itu. Pertama,
pemahaman penulis yang masih sangat minim tentang
budaya yang akan menjadi obyek penulisan (Dayak
Kenyah Lepo’ Jalan). Kedua, penulis sudah cukup lama
tidak terlibat dalam kegiatan literasi dengan beberapa
alasan.
Selamat Membaca!
Kelik Ismunandar
N
iatan merekam pengalaman keseharian atau hal-
hal yang dianggap penting, menjadi dasar bagi
banyak komunitas untuk menciptakan banyak
medium tutur. Baik yang berupa gambar seperti
lukisan purba di dinding kawasan batuan kapur,
ornamen, atau dalam media modern mulai dari koran
hingga media sosial. Namun satu medium yang penting
juga dalam menjaga tatanan sosial sebuah komunitas
adalah tradisi tutur (folklor) yang diwariskan dalam
berbagai kegiatan.
Selamat membaca!
Mokh. Sobirin
Yayasan Desantara
M
enurut tutur lisan, leluhur Dayak Kenyah berasal
dari migran keturunan bangsa Tiongkok
bernama Haka. Diceritakan Haka berniaga di
Borneo, dan suatu waktu ia singgah di sebuah
goa untuk beristirahat. Ternyata di dalam goa
dihuni seekor naga yang mempunyai batu permata di
kepala.
Haka sangat ingin memiliki batu permata itu, tapi
tak kuasa melawan naga yang sanggup mengeluarkan api
dari mulutnya. Niat untuk mengambil batu permata
diurungkan dan pulanglah Haka ke negeri Tiongkok untuk
meminta bantuan dari Kerajaan. Maka kemudian
dikirimlah pasukan dari Tiongkok untuk merebut permata
di kepala naga. Permata itu berhasil direbut ketika naga
sedang tertidur, namun dalam situasi terakhir ketika kapal
pasukan Tiongkok akan kembali, sang naga terbangun dan
mengejar pasukan Tiongkok. Malang bagi Haka, dia
tertinggal karena kapal telah angkat sauh berlayar ke
Negeri Tiongkok.
Akhirnya Haka dan sebagian prajurit yang masih
tertinggal masuk ke wilayah pedalaman, menyusuri sungai
dan tiba di perkampungan, kemudian mereka berbaur
dengan masyarakat hingga beranak-pinak. Setelah sekian
tahun kemudian, Haka membawa sebagian masyarakat
pindah ke Apau Ahe dan perkampungan itu berkembang
pesat serta diyakini sebagai cikal bakal leluhur Dayak
Kenyah
Tutur Riwayat Migrasi
Suku Dayak Kenyah sejatinya bermula dari daerah
Baram, Serawak yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan
Utara dan terpecah menjadi dua bagian, sebagian menuju
Sumber Naskah:
Heru Prasetia, “Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung
Anai, Kutai Kartanegara”, hasil penelitian Desantara dan Naladwipa
Institute for Social and Cultural Studies, http://www.desantara.
or.id/2013/09/sejarah-masyarakat-dayak-kenyah-lepoq-jalan-lung-
anai-kutai-kartanegara/
T
ersebutlah kisah seorang yang terkenal
kehebatannya. Ia mampu menyemburkan api untuk
mengalahkan musuh-musuhnya. Ia berumah di atas
pohon Beran Tanyit. Orang itu bernama Tamen
Bungan Apui Jupan. Namun banyak orang tidak
surut untuk mencoba kehebatannya atau menaklukannya.
Salah satunya adalah Tamen Awing Jiwen. Ia berencana
melakukan serangan kepada Bungan Apui.
Suatu ketika, Tamen Awing menyampaikan
keinginannya itu kepada istrinya yang sedang hamil.
“Tundalah rencanamu sampai aku melahirkan. Apalagi
dalam tradisi, ada pantangan suami tidak boleh pergi
perang ketika istrinya hamil,” kata Tinen Awing.
Peringatan itu tak mampu menggoyahkan
keinginan Tamen Awing. Ia tetap bersikeras melakukan
peperangan secepat mungkin, meski istrinya terus
berusaha menghalanginya. “Kalau engkau tetap berniat
pergi, mintalah nasihat terlebih dahulu kepada Pampoq
Umpen Atan. Pergilah ke rumahnya untuk meminta
nasihat,” ujar Tinen Awing.
Setelah didesak terus menerus, hati Tamen Awing
luluh juga. Beberapa hari kemudian, Ia pergi ke rumah
Pampoq Umpen Atan tetua adat di kampung. Setelah
mendengar maksud Tamen Awing, berkatalah Pampoq,
“Baiklah kalau itu maksudmu. Aku akan mencari petunjuk
dahulu. Pulanglah kamu sekarang, besok kembali lagi ke
sini.” Pampoq segera menggelar ritual meminta petunjuk
para dewa. Ia mepersiapkan sesaji dan mulai meminta
petunjuk.
Pada hari berikutnya, datanglah Tamen Awing
untuk mendengarkan hasil ritual yang telah dilakukan
Pampoq.
***
Beberapa bulan setelah peristiwa duka itu, Tinen
Awing melahirkan seorang anak laki-laki. Selaku Kepala
Adat, Pampoq melakukan ritual pemberian nama. Bayi itu
diberi nama Lencau.
Tinen Awing tidak pernah memberitahu Lencau
mengenai nasib bapaknya. Ia selalu mengatakan,
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 29
bapaknya sedang merantau dan akan pulang satu saat
nanti. Seiring perjalanan waktu, Lencau telah tumbuh
menjadi remaja. Pada saat ia pergi mencari burung
menggunakan sumpit, beberapa anak laki-laki mengolok-
olok kalau ia sudah tidak memiliki bapak. Lencau merasa
resah. Terlebih hampir setiap hari ia menerima olokan
seperti itu.
“Kenapa teman-temanku selalu bilang kalau amai
sudah mati,” tanya Lencau dengan wajah cukup serius.
Namun, mamak-nya tetap menjelaskan kalau bapaknya
sedang merantau. Lencau diminta untuk tidak
menghiraukan hinaan teman-temannya.
Pada suatu hari, Lencau kembali pergi berburu. Ia
merasa kehausan. Ia melihat nenek Pasung sedang
menjemur padi. “Pui ada air kah? Aku haus,” ujar Lencau.
“Ada, masuklah ke rumah dan ambillah,” ujar pui Pasung.
Lencau bergegas masuk rumah dan minum secukupnya,
sambil masih penasaran dengan apa yang disampaikan
teman-temannya dan jawaban mamak-nya.
“Teman-temanku bilang aku sudah tidak punya
amai lagi. Kata mereka, amai sudah mati dalam
peperangan,” kata Lencau pada Pui Pasung. “Apakah
mamak-mu tidak memberitahu hal itu?” tanya pui Pasung.
“Weq bilang kalau amai sedang pergi merantau,” jawab
Lencau. Nenek Pasung kemudian menjelaskan tentang
peristiwa sesungguhnya. Rasa penasaran dalam diri Lencau
terjawab sudah. Lencau segera pulang dan langsung
bertemu mamak-nya.
“Weq, Lencau baru saja berbicara denga Pui
Pasung. Ia mengatakan kalau amai sudah mati dan bukan
merantau,” kata Lencau. Mendengar hal itu, Tinen Awing
sudah tidak bisa lagi menyembunyikan peristiwa yang
sesungguhnya. Ia membenarkan apa yang sudah
disampaikan Pui Pasung.
A
lkisah pada zaman dahulu, hiduplah seorang
bangsawan bernama Bango’ Ingan dengan tiga
anaknya yaitu Buring, Iping dan Nyanding. Semua
anaknya perempuan. Bangsawan itu juga akrab
dipanggil Tamen Buring. Pada satu waktu, ia
terlihat sedang berbincang dengan istrinya, Suling
Belawan. Ia mengutarakan keinginannya untuk melakukan
balas dendam atas kematian bapaknya yang dibunuh
Jalung Buloq Atung. Bapak Bango' Ingan dibunuh ketika ia
masih kecil.
Suling Belawan sangat khawatir tentang rencana
suaminya. “Sebelum melakukan penyerangan, datanglah
ke Laking Kiok untuk minta nasihat,” ujar Suling Belawan.
“Wahai istriku, Aku rasa tidak perlu meminta nasihat.
Jumlah kita lebih banyak. Kita akan menang dengan
mudah,” ungkap Tamen Buring penuh dengan percaya
diri.
“Aku rasa, tidak ada salahnya kalau engkau datang
ke sana. Bukankah apa yang ia katakan, selalu benar,”
ungkap Suling Belawan. Setelah didesak dan dibujuk terus
menerus, akhirnya hati Tamen Buring luluh juga. Suling
Belawan merasa lega. Ia berharap, nasihat Laking Kiok
dapat merubah rencana suaminya.
Saat itu, Suling Belawan sedang mengandung anak
yang keempat. Menurut kepercayaan masyarakat,
pantang bagi seorang suami melakukan penyerangan
tatkala Istri sedang mengandung.
Sesuai janjinya, Tamen Buring beserta beberapa
orang dekatnya datang ke rumah Laking Kiok. “Begini,
Pui. Kami bermaksud menyerang Jalung Buloq Atung.
Bagaimana menurut Pui?” tanya Tamen Buring. Laking
Kiok terdiam dan merenung sejenak. “Kalian tunggu
sebentar di sini,” jawab Laking Kiok memecah
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 37
keheningan. Kemudian Laking Kiok pergi menuju tempat
ritual. Ia pejamkan mata dan membaca mantra untuk
mendapatkan petunjuk.
Tidak lama setelah itu, ia keluar berbicara dengan
Tamen Buring. “Begini, berdasarkan petunjuk dari para
leluhur, lebih baik engkau tunda penyerangan itu. Aku
melihat, akan banyak korban dari warga kita, termasuk
nyawamu. Kekalahan akan engkau dapatkan,” ujar Laking
Kiok menasihati.
Mendengar nasihat itu, raut muka Tamen Buring
tampak kecewa. “Jumlah kita lebih banyak. Kalau kita
menyerang sekarang, pasti akan menang mudah,” sergah
Tamen Buring. “Jika kalian tetap bersikukuh melakukan
penyerangan, terserah saja. Aku hanya menyampaikan
firasat yang aku dapatkan,” jawab Laking Kiok.
Nasihat Laking Kiok, tidak menyurutkan sedikit pun
keinginan Tamen Buring. Berbagai persiapan terus
dilakukan. Ratusan laki-laki yang dipandang kuat dan
memiliki kemampuan dikumpulkan. Semua persenjataan
dan baju perang juga sudah dipersiapkan. Namun nasihat
Laking Kiok memunculkan rasa ragu di antara pengikut
Tamen Buring. Mereka terbelah dua, antara yang sepakat
melakukan penyerangan dan menunda terlebih dahulu.
Kelompok yang ingin tetap melakukan penyerangan lebih
kuat.
***
Tibalah waktu penyerangan sesuai yang
direncanakan. Tamen Buring dan ratusan orang
pengikutnya bergegas berangkat. Keyakinan akan menang
mudah, memberi semangat pada diri mereka. Setelah
menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah
mereka di tempat yang dituju. Saat itu, terlihat beberapa
anak sedang bermain di ujung kampung. Melihat
rombongan yang datang begitu banyak, anak-anak itu
menghentikan permainannya.
38 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Salah seorang pengikut Tamen Buring datang
menghampiri mereka. “Beri tahu kepada kami, siapa
kepala adat di kampung ini?” ujarnya. “Jalung Buloq
Atung,” jawab anak-anak itu. Lalu anak itu diperintahkan
segera menyampaikan kedatangan mereka. Anak-anak itu
segera berlari menuju rumah Jalung Buloq Atung.
“Amai…., Amai, ada rombongan di ujung kampung
mencari amai,” teriak anak-anak itu serentak.
Jalung Buloq Atung langsung ke luar mendengar
teriakan itu. Ia berdiri tegak, kemudian berkata dengan
suara lantang, “Katakan pada mereka, jangan masuk ke
kampung dulu. Mereka harus menunggu dan membuat
tenda di sana, karena di kampung sedang dilaksanakan
ritual pengusiran roh.” Anak-anak itu kemudian bergegas
menyampaikan pesan Jalung Buloq Atung. Tamen Buring
mengikuti perintahnya. Lalu mereka mendirikan tenda
tepat di ujung kampung.
Keesokan harinya, dua orang diutus menemui
Jalung Buloq Atung. Pagi-pagi mereka pergi membawa
pesan ajakan berperang. Jalung Buloq Atung menemui
dua orang utusan dengan sopan. Setelah mendengar
pesan yang disampaikan, ia segera menjawab. “Lebih baik
kalian urungkan niat dan pulanglah. Meskipun jumlah
kami lebih sedikit, belum tentu kalian mampu
mengalahkan aku. Tapi kalau masih tetap mau
menyerang, silakan. Jangan menyesal.”
Dua orang utusan itu segera menyampaikan
jawaban Jalung Buloq Atung. Mereka tetap bersikukuh
untuk berperang. Penyerangan segera dilakukan. Mereka
langsung diperintahkan memasuki kampung. Jalung Buloq
Atung dan pengikutnya sudah siap menyambut
kedatangan Tamen Buring. Kedua kelompok saling
berhadapan. Semua orang terlibat pertempuran. Perang
pun tak terelakan hingga beberapa saat lamanya.
T
ersebutlah kisah dua kakak beradik, Sulimerang sang
kakak dan adiknya bernama Ujung Tunan Arung.
Sejak kecil mereka hidup tanpa kedua orang tuanya.
Mereka tinggal di hutan belantara yang sangat
terpencil. Tidak ada satu manusia pun yang pernah
mereka temui selama ini. Hanya sekumpulan binatang
yang mereka kenal. Mereka berperilaku layaknya seekor
hewan. Apa yang dimakan hewan, itulah yang mereka
makan.
Pada suatu hari, mereka terlibat dalam sebuah
percakapan. “Mengapa tubuh kita berbeda dengan
mereka?” ucap Sulimerang. “Ya, itu juga yang menjadi
pertanyaanku dari dulu. Kita tidak pernah bertemu
makhluk seperti kita di hutan ini,” jawab Ujung Tunan.
Mereka gelisah dan ingin ke luar hutan untuk menemui
manusia.
“Ke mana kita harus pergi?” tanya Ujung Tunan.
“Sebaiknya engkau pergi ke arah hulu dan aku akan pergi
ke arah hilir,” usul Sulimerang. Sesuai waktu yang
disepakati, mereka bersiap ke luar hutan belantara.
Sebelum berpisah, Sulimerang memberi adiknya sebuah
batu kecil seukuran ibu jari.
“Bawalah batu ini ke mana pun engkau pergi. Jika
nanti ada masalah, batu ini akan memberi tahu kepada
kita lewat mimpi. Kelak jika aku menghadapi masalah,
engkau akan datang kepadaku. Pun demikian sebaliknya.
Semoga semesta merestui dan kita akan bertemu
kembali,” pesan Sulimerang. “Baiklah,” jawab Ujung
Tunan Arung sambil melihat dan memegang erat batu
berkhasiat itu.
Kakak dan adik yang tidak pernah terpisah itu pun
ke luar dari hutan belantara menuju arah yang
berlawanan. Sulimerang telah berjalan melintasi tujuh
56 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
ratus gunung dan lima belas sungai. Ia mampu melintasi
tujuh gunung setiap harinya. Tibalah Sulimerang di
gunung terakhir yang di bawahnya mengalir sungai yang
besar. Pada saat berdiri, ia melihat kampung yang sangat
ramai.
Pada saat bersamaan, ia juga melihat sekumpulan
orang di lapangan saling berlarian dan berebut benda
bulat terbuat dari anyaman rotan. Sesekali terdengar
tepuk tangan dan teriakan. Ia tidak tahu apa yang sedang
dilakukan oleh orang-orang itu. “Mengapa mereka saling
berebut dan tidak bisa menangkapnya? Bodoh betul
mereka,” pikir Sulimerang dalam hatinya.
Sulimerang turun menuju tepi sungai. Segera ia
lompati sungai itu dalam satu kali ayunan. Padahal sungai
itu sangat lebar, memerlukan lima perahu untuk
menyambungkan antara tepi sungai hingga orang bisa
menyeberanginya. Pada saat bersamaan terlihat beberapa
gadis sedang mandi. Sulimerang mendarat tepat di sisi
mereka. Sontak mereka berhamburan. Diambilnya kain
yang ada di dekatnya lalu mereka kenakan dengan
tergesa-gesa.
Mereka kagum melihat sosok laki-laki nan gagah
perkasa berdiri di samping mereka. Warna kulitnya agak
kusam tampak jarang mandi. Rambutnya panjang tidak
terawat. Mereka belum pernah melihat Sulimerang
sebelumnya. Pun demikian Sulimerang. Ia belum pernah
melihat perempuan mandi telanjang. Sulimerang
mendekati gadis-gadis cantik itu tanpa rasa bersalah.
Sementara para gadis berdiri tertunduk malu berselimut
kain yang menutupi sebagian tubuhnya.
”Mohon maaf jika aku membuat kalian terkejut.
Bolehkah aku bertanya, siapakah pemimpin kalian?” tanya
Sulimerang. “Engkau siapa, dari mana asalmu?” tanya
salah seorang gadis. “Aku Sulimerang, berasal dari gunung
sebelah sana.” Jawab Sulimerang sambil menunjuk ke arah
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 57
hilir. Para gadis itu pun berpikir, kampung mereka sedang
kedatangan tamu istimewa dari kampung yang sangat
jauh.
“Pemimpin kami Tamen Lampang Mening. Apakah
engkau mau bertemu?” tanya salah seorang gadis
berambut ikal mayang. “Ya, aku mau bertemu,” jawab
Sulimerang. Sebelum gadis itu beranjak, Sulimerang
melanjutkan pertanyaan. “Aku melihat orang saling berlari
dan berebut benda bulat. Kenapa mereka tidak bisa
menangkapnya saja?” tanya Sulimerang. Mereka saling
tersenyum karena menganggap Sulimerang sedang
bergurau.
***
Maka, untuk mengalihkan suasana, salah seorang
dari gadis itu berkata “Ah, sudahlah, mari kami antar ke
sana. Kebetulan tamen sedang berada di sana.” Lalu
mereka berjalan beriringan. Beberapa gadis itu terlihat
mencuri pandang karena mengagumi ketampanan
Sulimerang. Begitu tiba di tempat, Sulimerang langsung
masuk lapangan tanpa menghiraukan warga yang ramai
menonton. Segera direbutnya benda bulat itu. ”Begini
caranya menangkap benda ini,” teriak Sulimerang. Mereka
yang sedang bermain dan warga yang menonton seketika
terbengong-bengong melihat perilaku orang asing di
hadapan mereka. Lalu mereka mengerumuni Sulimerang.
“Mana pemimpin kalian?” tanya Sulimerang
mereka. Salah seorang di antara mereka menunjuk ke satu
tempat di mana Tamen Lampang Mening sedang berdiri.
Sulimerang langsung datang menghampiri dan
memberikan benda bulat itu kepadanya. “Aku kasihan
melihat mereka saling berebut benda ini,” ucap
Sulimerang. “Siapa namamu, nak, dan darimana asalmu?”
tanya tamen Lampang Mening. Lalu Sulimerang
memperkenalkan diri. Melihat tubuh Sulimerang yang
sangat gagah, Tamen Lampang Mening berucap kepada
58 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
warga, “Kita kedatangan tamu istimewa hari ini. Sudah
selayaknya kita menghormati tamu kita.”
Tamen Lampang Mening kemudian mengajak
Sulimerang pergi ke rumahnya. Sulimerang pun mengikuti
ajakannya. Ia berjalan di belakangnya sambil melihat
sekeliling dengan penuh keheranan. Sepanjang jalan yang
dilalui, banyak orang terbengong melihatnya. “Gagah dan
tampan benar anak ini. Sangat pantas jika menjadi kepala
adat di sini,” ucap orang-orang yang melihatnya.
Tibalah mereka di rumah. Saat itu, Lampang
Mening, anak perempuan satu-satunya Kepala Adat,
terlihat sedang membuat seraung. Ia menyambut
kedatangan Sulimerang dengan menyorongkan tangan
untuk bersalaman. Tak lama kemudian, menyusul mamak-
nya dari belakang yang juga menyambut dengan ramah
kedatangan Sulimerang.
“Engkau datang dengan siapa. Apa tujuanmu?”
tanya teman Lampang Mening untuk mengetahui lebih
jauh tentang Sulimerang. Lalu Sulimerang segera
menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya.
Kepala Adat itu mengangguk-angguk mendengarkan
penjelasan Sulimerang.
“Baiklah, sekarang sudah sore. Sebaiknya engkau
istirahat. Malam ini akan ada tari-tarian untuk
menghormati kedatanganmu. Nanti engkau bisa menari
bersama warga di sini,” ucap Kepala Adat. Sulimerang
tampak kebingungan ketika diminta untuk mandi.
Tampaknya Kepala Adat cukup memahami situasi ini.
Dibimbinglah Sulimerang mandi, satu kebiasaan baru bagi
dirinya. Setelah mandi, Kepala Adat memberinya pakaian
yang layak. Ia tampak gagah luar biasa. Kulitnya terlihat
lebuh bersi. Rambutnya yang panjang terurai sangat elok.
Kemudian mereka makan bersama.
Pesta meriah penyambutan tamu segera digelar.
Kepala Adat memerintahkan segera membunyikan gong
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 59
sebagai pertanda acara menari dimulai. Segera
berdatanganlah warga ke rumah Kepala Adat. “Pada
malam ini, tepat saat pesta panen, kita kedatangan tamu
yang sangat luar biasa. Sulimerang namanya,” ucap Kepala
Adat kepada warga yang hadir. Sulimerang kemudian
berdiri dan warga bertepuk tangan untuknya. Ketika
berdiri, tubuh Kepala Adat tidak sebanding dengan
kegagahan Sulimerang. Warga berpikir, Sulimerang sangat
layak sebagai kepala adat.
“Sesuai dengan tradisi, kita harus menghormati
tamu. Maka kita persilakan Sulimerang menari
sepuasnya,” ucap Kepala Adat dengan lantang. Alat musik
segera dibunyikan. Orang-orang tidak sabar menunggu
Sulimerang menari. Ia membuka tariannya dengan
berputar-putar hingga hampir menyentuh tanah. Sesekali
ia melompat sangat tinggi. Warga yang menonton tampak
terperangah hingga mulutnya ternganga. Mereka sangat
mengagumi tarian Sulimerang.
Tak terasa, dini hari mulai menghampiri. Terdengar
suara ayam mulai berkokok. Sejak Sulimerang menari,
orang-orang tidak beranjak dari tempat duduknya hingga
akhir pertunjukkan. Warga bertepuk tangan riuh ketika
Sulimerang mengakhiri tariannya. Melihat kehebatan
tariannya, orang-orang berkeinginan mengambil
Sulimerang sebagai menantunya. Begitu juga dengan
Kepala Adat yang ingin menjodohkan dengan Lampang
Mening anak perempuan satu-satunya.
Kepala Adat kemudian berdiri dan berbicara ”Tidak
pernah kita mendapatkan tamu sehebat ini. Kita akan
adakan pesta besar-besaran. Aku akan menyembelih 10
ekor babi paling besar dan paling baik yang aku miliki.”
Orang-orang saling bersahutan begitu mendengar
penjelasan Kepala Adat. Mereka saling menyebut jumlah
babi yang mau mereka korbankan. Terdengar suara
P
ada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda
bernama Uyau Tunyeng. Ia hidup tanpa seorang
bapak, hari-harinya dilalui bersama dengan mamak-
nya. Uyau Tunyeng telah tumbuh dewasa. Tibalah
saatnya ia mencari pasangan hidup. “Aku sudah
cukup dewasa. Sudah saatnya aku mencari gadis untuk
dijadikan istri,” kata Uyau Tunyeng kepada mamak-nya.
”Jika engkau ingin mencari gadis, cobalah kamu
pergi ke hutan sana. Aku sering melihat empat orang gadis
yang tidak diketahui asal-usulnya sering mencari sayuran.
Cobalah kau ke sana,” ujar mamak Uyau Tunyeng.
Beberapa hari kemudian, Ia mengikuti anjuran sang
mamak. Ia lalu pergi ke hutan. Ternyata benar apa yang
dikatakan sang mamak. Tidak lama setelah Uyau Tunyeng
tiba, datanglah empat gadis yang sungguh cantik. Mereka
adalah Asung Beluluk Lung, Urai Beluluk Luai, Bungan
Lisiu, dan Awing Nyanding.
“Aku harus bisa mendapatkan satu di antara
mereka,” pikir Uyau Tunyeng. Dalam perjalanan pulang,
Ia berpikir keras untuk bisa mendapatkan gadis itu. Siang
dan malam Ia terus merenung dan berpikir akhirnya
menemukan gagasan. “Aku akan membuat lubang untuk
mereka. Aku akan gali tanah tepat di mana mereka biasa
mencari sayuran. Lalu aku akan tutup lubang itu dengan
semak belukar agar mereka tidak tahu.”
Tidak lama kemudian, ia menjalankan niatnya. Ia
berangkat pagi-pagi dari rumah agar tidak diketahui siapa
pun. “Ah, sudah selesai. Tinggal menunggu mereka
terperosok dalam lubang. Pasti mereka tidak akan bisa ke
luar,” ungkap Uyau Tunyeng dalam hati. Penuh kesabaran
ia menunggu kedatangan mereka seraya terus mengawasi
jebakan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Waktu yang
ditunggu tiba. Tampak empat orang gadis berjalan
74 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
menuju arah lubang. Uyau Tunyeng berjalan mendekat
dan bersembunyi di balik semak-semak. Sesekali terdengar
tawa canda di antara mereka memecah keheningan hutan.
Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh diikuti
jeritan minta tolong. Tampaknya keempat gadis itu sudah
masuk dalam jebakan. Lalu Uyau Tunyeng berjalan
mendekat seraya berkata, “Apa yang terjadi? Sedang apa
kalian di dalam lubang ini?” Lalu, Asung Beluluk Lung
berujar, “Tolong keluarkan kami dari sini.”
“Baiklah, aku akan menolong. Tetapi, apa yang
akan kalian berikan jika aku bisa membantu kalian keluar
dari lubang ini?” ucap Uyau Tunyeng. Sejenak para gadis
itu terdiam. Namun tampaknya para gadis itu tidak mau
berlama-lama dalam lubang. ”Jika engkau bisa menolong,
engkau boleh mengambil salah satu di antara kami
menjadi istri,” jawab Asung Beluluk Lung.
Betapa gembiranya Uyau Tunyeng. Satu per satu
ditariklah tangan gadis itu. Asung Beluluk Lung mendapat
giliran yang pertama. Begitu bisa naik, Ia langsung terbang
secepat kilat ke angkasa melupakan janjinya. Uyau
Tunyeng hanya terdiam terpaku dan tidak bisa
menangkapnya. Begitu pula dengan Urai Beluluk Luai dan
Bungan Lisiu. Mereka melakukan hal yang sama seperti
Asung Beluluk Lung. Uyau Tunyeng merasa tertipu.
Tinggalah Awing Nyanding. Lalu Uyau Tunyeng meloncat
ke dalam lubang dan meminta Awing Nyanding menepati
janjinya.
***
Setelah berhasil mengeluarkan Awing Nyanding
dari lubang jebakan, mereka berdua pulang ke kampung.
Awing Nyanding menepati janji dan mereka hidup
sebagai pasangan suami istri. Beberapa bulan kemudian,
Awing Nyanding hamil. Pada saat usia kandungannya
sudah cukup, Awing Nyanding meminta suaminya pergi
A
lkisah hiduplah seorang gagah perkasa, bernama
Jalung Ila Nyukak Sada Langit Magan. Pada suatu
hari, Jalung Ila melakukan perjalanan ke lepoq Suit
Lirung yang berada di atas gunung. Saat di tengah
perjalanan, ia bertemu seorang gadis yang cantik
menawan. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu
bernama Mpang Abun Suit Lirung.
“Cantik nian gadis itu. Usiaku sekarang sudah
cukup dan aku ingin menikahinya,” pikir Jalung dalam
hati. Sejak berjumpa Suit Lirung, pikiran Jalung Ila selalu
tertuju padanya. Ia sungguh jatuh cinta dan ingin segera
melamarnya. Maka beberapa hari kemudian, ia
menyampaikan isi hatinya kepada mamak-nya.
“Weq, aku bertemu gadis cantik. Aku ingin
meminangnya,” ucap Jalung Ila. ”Engkau sudah dewasa
dan sudah waktunya mempunyai istri. Siapa nama anak
gadis itu?” ujar mamak-nya. “Mpang Abun Suit Lirung,”
jawab Jalung. “Baiklah, nanti akan kusampaikan pada
tamam,” kata mamak-nya.
Beberapa hari kemudian, disampaikanlah niat hati
sang anak kepada bapaknya. “Anak kita sudah dewasa.
Kemarin ia menyampaikan keinginannya melamar gadis
dari kampung tetangga,” ujar Tinan Jalung Ila. “Ah,
begitukah? Aku memang berharap demikian, karena ia
sudah dewasa. Aku akan bicara dengan para tetua adat
terlebih dahulu,” ujar Tamen Jalung Ila.
Pada saat diadakan pertemuan dengan para tetua
adat. Tamen Jalung Ila menyampaikan maksud hati
anaknya. Mereka menyetujuinya lalu memutuskan akan
segera mengirim utusan untuk melamar Suit Lirung.
Persiapan kunjungan pun segera dilakukan.
***
T
ersebutlah kisah, seorang bangsawan dari kampung
Bambu Atung bernama Sigau Belawan. Ia memiliki
dua sahabat yaitu Laingtit dan Uyau Asang. Mereka
telah bersahabat sejak kecil. Ketiga sahabat itu telah
beranjak dewasa. Pada saat sedang berkumpul,
Sigau Belawan mengajak dua sahabatnya pergi ke
kampung hulu untuk menjumpai seorang gadis.
“Wahai teman, aku mendengar ada perempuan
cantik di tanah hulu. Bagaimana kalau kita berkunjung
melihatnya?” ucap Sigau Belawan. “Aku setuju, kapan kita
ke sana?” sahut Laingtit penuh semangat.
Beberapa hari kemudian, Mereka pergi menyusuri
sungai menuju tanah hulu. Mereka ingin melihat
kecantikan Awing Tiling dan sahabatnya Awing Nyanding.
Tiga hari dua malam mereka berjalan menyusuri sungai
dengan perahu. Mereka tiba di kampung menjelang
malam. Setelah beristirahat sejenak, mereka berjalan
memasuki kampung. Saat itu terlihat beberapa anak
sedang bermain.
“Hai, kemarilah! Kakak mau tanya, siapakah
Kepala Kampung di sini?” ujar Sigau Belawan. “Tamen
Awing kak,” jawab anak itu. “Bisakah minta tolong
panggilkan Awing Tiling,” lanjut Sigau Belawan. “Bisa,
kakak tunggu sebentar,” jawab anak itu sambil berlari
menuju ke rumah Awing Tiling untuk memberitahu
kedatangan tiga orang yang mencari bapaknya.
“Kakak, itu ada tiga orang mencari Amai. Kakak
diminta ke sana,” ucap anak itu. “Siapa mereka?” tanya
Awing Tiling. “Tidak tahu, sepertinya orang jauh,” balas
anak itu. “Baiklah, aku ke sana,” ucap Awing Tiling.
T
ersebutlah kisah seorang anak muda bernama
Lencau Kila. Ia sangat gemar berburu ayam hutan.
Demi kegemarannya, terkadang ia harus masuk ke
hutan untuk beberapa hari lamanya. Suatu ketika, ia
memasang jerat sepanjang satu pematang gunung
atau sekitar dua kilometer panjangnya.
Melihat hal itu, Pelusat Encuk ayahnya, memberi
pesan, “Engkau harus periksa jerat itu setiap dua hari
sekali.” Lencau Kila mematuhi pesan itu. Maka, ia rajin
menengok jeratnya. Dua hari pertama, ia susuri seluruh
jerat yang sudah dibuatnya. Ia berangkat seorang diri,
berharap ada ayam hutan masuk dalam jeratannya. Kerja
kerasnya belum membuahkan hasil. Tak seekor ayam
hutan atau hewan terperangkap. Hanya beberapa
potongan kayu dan daun yang berjatuhan menutupi
jeratnya. Lencau Kila pulang dengan tangan hampa.
Pada hari keempat dan keenam ia kembali lagi.
Hasilnya masih tetap sama. Tidak ada seekor ayam hutan
yang terperangkap. “Mengapa tidak ada seekor ayam
hutan atau binatang lain yang masuk dalam jerat ini?”
pikir Lencau Kila sambil berjalan pulang. Maka ia putuskan
akan menengok jeratnya dua hari lagi.
Tibalah hari kedelapan. Ia susuri kembali jeratnya.
Kali ini tampak ada hasilnya. Seekor binatang besar
terperangkap. Lencau Kila lalu mendekat dan melihatnya.
Seekor babi besar meringkuk dalam perangkapnya.
Namun ia biarkan babi itu dan segera ia menceritakan
hasil tangkapannya pada bapaknya.
Pelusat Encuk mendengarkan dengan saksama apa
yang disampaikan anaknya. Lalu ia memberi nasihat,
“Anakku, bawalah bujaq ini esok hari. Tombaklah babi
itu, lalu bawalah pulang.” Lencau Kila mengikuti perintah
bapaknya. Ia sudah persiapkan bujaq yang akan dibawa
100 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
esok harinya. Pagi-pagi benar ia berangkat menuju tempat
babi terkena jerat. Begitu tiba di tempat yang dituju, ia
mengamati babi tangkapannya. Tidak lama setelah itu, ia
tombak babi itu tepat mengenai pantatnya.
***
“Aduh….,” teriak babi itu sambil berlari membawa
bujaq yang tertancap di pantatnya. Lencau Kila tampak
kebingungan dengan suara babi itu. Ia bergegas pulang
dan menceritakan kejadian yang dialami pada bapaknya.
Pelusat Encuk memerintahkan agar Lencau Kila
segera mengejar babi itu dan mengikutinya ke mana babi
itu pergi. Konon babi jadi-jadian itu akan berubah wujud
menjadi manusia jika tiba di kampung. Lencau Kila
mengikuti anjuran bapaknya. Ia segera berlari mengejar
babi itu lalu menelusuri jejak kaki babi yang masih tampak
di tanah. Tidak lama setelah itu, ia tiba di satu kampung.
Ia melihat seseorang sedang berbaring di beranda rumah.
“Maaf, Amai, apakah ada babi yang lewat di sini?”
tanya Lencau Kila. “Aku tidak melihatnya. Tadi hanya ada
orang tua berambut putih yang lewat jalan ini,” jawab
orang itu. “Ke mana perginya orang itu, Amai?” tanya
Lencau Kila. Orang tua itu menunjuk ke arah seberang
sungai. Lalu Lencau Kila berjalan menyeberang sungai.
Bekas jejak kaki babi itu masih tampak. Tibalah ia di
kubangan berlumpur. Tampak beberapa hewan seperti
rusa, kera, kerbau, beruang, sapi sedang berkumpul di situ.
Sebelum rasa herannya terjawab, tiba-tiba tampak
seekor babi sedang mandi di kubangan itu. Terdengar
suara saling mentertawakan dari hewan-hewan itu, karena
yang lain tidak bisa ikut mandi. “Aneh betul suara itu.
Mengapa hewan bisa tertawa seperti manusia?” pikir
Lencau Kila. Ia benar-benar heran dengan kejadian yang Ia
alami. Tidak lama setelah itu, babi itu naik dan berkumpul
dengan hewan-hewan lainnya. Lencau Kila terus
A
Lkisah, hiduplah seorang perempuan bernama Usun
yang sedang jatuh cinta pada Jalung. Ia amat
terpesona oleh kegagahan dan ketampanan Jalung.
Hampir setiap malam, Usun selalu memikirkannya.
Namun Jalung tidak menghiraukannya. “Ia harus
jadi milikku, apa pun caranya,” gumam Usun dalam hati.
Usun berkehendak mengambil jalan pintas. Ia
kemudian mendatangi seorang kakek bernama Pejuta
yang memiliki kesaktian “Penakluk Sukma” dan meminta
agar Jalung terpikat olehnya. “Letakkan barang ini di atas
pintu rumahmu. Lalu, undanglah Jalung ke rumah. Karena
siapapun yang melewati pintu itu, ia akan jatuh cinta
kepadamu, dan kamu harus menikahinya,” pesan Pui
Pejuta.
Usun menyetujui syarat yang disampaikan sang
kakek. Ia segera pulang dan menjalankan anjurannya. Ia
letakkan barang yang sudah diberi mantra tepat di atas
pintu rumahnya.
***
Pada suatu hari, Usun melihat Jalung berjalan tidak
jauh dari rumahnya. Pintu segera dibuka dan ia
memanggilnya. “Kemarilah!” pinta Usun sambil melambai-
kan tangannya. “Ada apakah?” sahut Jalung. “Aku perlu
bantuanmu,” ujar Usun memohon.
Jalung pun luruh pada permintaan itu. Namun
nasib sial menimpa Usun. Saat pintu dibuka, tiba-tiba
seekor anjing menyelonong masuk. Anjing itu pun terjerat
mantra yang telah ia pasang di atas pintu. Sesuai syarat
yang sudah ditentukan, anjing itu jatuh cinta pada Usun.
Ia harus menikahinya dan tidak berani melanggar sumpah.
Jika tak menepati sumpahnya, ia dan keluarganya akan
tertimpa musibah kematian.
T
ersebutlah kisah seorang anak bernama Jalung. Sejak
kecil ia selalu bersama bapaknya yang bernama Bo’
Paren. Ia selalu diajak ke ladang maupun berburu
binatang sejak ia kecil. Bo’ Paren melihat Jalung
sudah tumbuh dewasa. Saatnya ia mencari
pendamping hidup. Maka Jalung diminta pergi ke
kampung hulu untuk menemui gadis bernama Bungan
Paren.
Jalung setuju dengan saran bapaknya. Ia panggil
keempat sahabatnya, Asang Lawai Ingan, Suwit Lirung,
Uyeau Anyiq Tukeng Nyampeq Mekelunan, dan Uyeau
Moq untuk menemaninya pergi ke hulu. Mereka
bersepakat pergi, lalu mereka mempersiapkan perahu dan
perbekalan, karena perlu waktu tiga hari untuk sampai di
kampung Bungan Paren.
Perjalanan dimulai. Mereka bergantian
mendayung. Setelah tiga hari dua malam menyusuri sungai
berkelok, mereka berjumpa seorang bapak yang sedang
mencari ikan. Lalu, Jalung menyapa seraya bertanya,
“Kami mau berkunjung ke rumah Bungan Paren. Berapa
jauh jaraknya dari sini?” Orang itu menjelaskan sekitar dua
jam lagi, ia mengajak mereka jalan bersama. Jalung dan
sahabatnya mengikutinya dari belakang dengan perahu-
nya. Tidak lama kemudian mereka tiba di kampung.
Bapak itu mengantar Jalung sampai di depan rumah
Bungan.
Jalung langsung naik ke rumah. Terlihat Bungan
sedang duduk bersama mamak-nya. Melihat Jalung
datang, mamak-nya berujar pada Bungan, “Jika pemuda
itu nanti duduk di atas gong, maka ia berniat untuk
melamarmu. Kalau ia duduk di atas kura-kura, berarti
tidak.” Ketika mereka dipersilakan masuk, Jalung langsung
duduk di atas gong. Melihat hal itu, mamak Bungan
108 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
langsung meminta seorang pemuda untuk memberitahu
warga kalau ada pemuda yang akan melamar Bungan
Paren.
Malam pun tiba. Orang-orang mulai berkumpul di
rumah Bungan Paren untuk melihat Jalung. Mamak Paren
meminta Jalung dan empat sahabatnya menari. Warga
kampung minta Jalung menari sendiri terlebih dahulu
yang dalam tradisi adat tarian itu disebut kancet lasan
lake, kemudian diikut empat orang sahabatnya secara
bergantian.
Musik sampeq sudah berbunyi. Jalung mulai
menari seorang diri. Ia tampil penuh percaya diri. Gerakan
tarinya sangat lincah dan mempesona. Orang-orang
terpukau melihatnya. Tak terasa, bangan yang dihidang-
kan habis. Empat orang sahabatnya kemudian menyusul
menampilkan tarian yang sama indahnya.
Tiba giliran Bungan Paren dan teman-temannya
unjuk diri. Bungan mulai menari kancet lasan letto
sendirian lemah gemulai dengan gerakan yang sangat
indah. Jalung dan empat sahabatnya sangat terpesona.
Tiga orang sahabatnya, Urei Beluluk Lu’ai, Asung Beluluk
Lung dan Bungan Sakai tampil bergantian setelah Bungan
Paren selesai menari. Tarian mereka sama indahnya.
Orang-orang yang hadir merasa puas terhibur.
Tatkala dini hari tiba, pesta adat diakhiri. Salah
seorang tetua adat mengumumkan rencana Jalung
melamar Bungan. Hari baik sudah ditentukan. Jalung
diminta kembali dua minggu lagi. Jalung dan sahabatnya
beristirahat semalam di kampung Bungan. Pada esok
harinya, pulang dengan perasaan bahagia. Setelah tiba di
rumah, Jalung menceritakan peristiwa bahagia itu.
Kemudian Bo Paren memberitahu warga mengenai
rencana pernikahan Jalung.
***
A
Lkisah, hiduplah pasangan suami-istri bernama Buy
dan Uyoq. Pada satu hari, mereka berencana
menugal di ladang. Sesuai dengan tradisi, menugal
dilakukan secara bergotong royong. Maka keluarga
yang hendak menugal biasanya mempersiapkan
hidangan untuk disantap saat usai menugal.
Buy meminta izin kepada istrinya pergi berburu ke
hutan. Sebelum berangkat ia menyantap makanan yang
telah disiapkan oleh istrinya. Ia makan sangat lahap.
Selesai makan, ia langsung menyiapkan peralatan untuk
berburu. Sementara Uyoq menyiapkan bekal perjalanan
untuk suami tercinta.
Pada saat berada di tengah hutan, Buy bertemu
seekor payau jantan. Ia urungkan niat untuk menangkap
payau itu, karena terlihat kurus. Buy melanjutkan
perburuan. Ia melihat seekor babi jantan yang gemuk
sedang berjalan mencari makan. Ia merasa babi itu cukup
untuk lauk saat usai menugal. Buy berjalan mengendap ke
arah babi yang tidak menyadari kedatangannya. Segera
Buy mengayunkan bujaq. Babi itu berusaha lari meski
sudah terkena bujaq, namun tidak lama jatuh terkulai
kehabisan darah.
Buy segera mengikat kaki itu, kemudian
mengangkatnya dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Buy melanjutkan perburuannya. Kali ini ia bertemu seekor
monyet bergelantungan di pohon. Monyet itu melihat
Buy. Ia ingin tahu apa yang sedang dicari dan dilakukan.
“Hai, apa yang sedang kau lakukan di hutan ini?” teriak
monyet itu. Buy terkejut lalu cepat menjawab, “Aku
sedang mencari binatang buruan untuk lauk menugal
besok. Tapi yang kucari, binatang yang gemuk.”
B
urui si anak yatim tinggal di kampung bersama
mamaknya. Mereka hidup miskin, sehingga
mamaknya harus bekerja keras memenuhi
kebutuhan hidupnya. Suatu hari, Burui menemani
mamak-nya menjemur padi. Tiba-tiba muncul
seekor burung ilang bertengger tidak jauh darinya. Burung
itu menantang Burui untuk menyumpit pantatnya.
“Wit iciu, nyumpit lubang burit (sumpit pantat
saya),” bunyi burung Ilang itu. Namun sayang, Burui
memiliki sumpit, namun tidak punya anak sumpit.
Mendengar suara burung ilang yang aneh itu, Burui tidak
tinggal diam. Ia berusaha mendapatkan anak sumpit
dengan berbagai cara. Usaha kerasnya berhasil. Ia
mendapatkan dua anak sumpit, satu berbentuk lurus dan
satunya bengkok.
Disumpitlah burung itu dengan anak sumpit
pertama, namun bidikannya meleset jauh dari sasaran.
Burui mencoba anak sumpit kedua. Bidikannya tepat
menembus leher. Burung ilang itu mati tersungkur di
tanah.
Burui mengambil burung itu dan segera
membersihkan bulunya lalu dimasaknya. Burui makan
sangat lahap dan meminta mamak-nya juga turut
menyantap. Namun tiba-tiba burung itu berbicara, “Tidak
usah kau berikan mamak-mu. Habiskanlah semua.” Burui
merasa heran. Namun, ia ikuti perintah untuk
menghabiskan semuanya. Tidak tersisa sedikit pun untuk
mamak-nya.
***
Usai makan, perut Burui terasa sakit luar biasa. Ia
lalu pergi buang air besar. Duduklah ia di atas sebuah
batang. Tidak terduga keluarlah kotoran dari perut Burui
berkelok-kelok seperti anak sumpit yang membunuh
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 123
burung tersebut. Hal aneh lain terjadi. Kotoran kedua
yang keluar berbentuk emas batangan. Namun ketika
hendak diambil, tiba-tiba raib. Burui gagal
mendapatkannya.
Perut Burui masih terasa sakit. Ia kemudian
mempersiapkan jerat agar jikalau kotoran ketiga keluar
emas batangan lagi, Ia akan langsung bisa
mendapatkannya. Namun apa yang terjadi? Kotoran
ketiga hanya kotoran biasa tanpa benda apa pun. Namun
sejak saat itu, Burui berubah menjadi kaya raya. Menurut
cerita warga, bapak Burui adalah orang yang kaya raya.
Sebelum ia meninggal, harta kekayaannya dititipkan
kepada burung ilang tersebut.
Kehidupan Burui dan mamaknya telah berubah.
Mereka yang semula sangat miskin berubah menjadi kaya
raya. Mereka hidup serba berkecukupan. Burui menginjak
dewasa dan berkeinginan mencari teman hidup. Ia
meminta mamaknya mencarikan jodoh. Mendengar
permintaan itu, mamak Burui mendatangi beberapa gadis
cantik di kampungnya. Didatangilah Asung Beluluk Lung,
Urai Beluluk Lu’ai, dan Bungan.
Pertama kali yang didatangi mamak Burui adalah
Bungan. Ia anak seorang bangsawan yang kaya raya.
Namun Bungan menolak karena jijik melihat luka
korengan sebesar daun keladi di bibir Burui. Padahal
Bungan belum mengetahui kondisi Burui yang sudah
menjadi orang kaya raya. Bungan masih berpikir, Burui
anak yang miskin dan korengan seperti yang ia lihat ketika
Burui masih kecil.
Mamak Burui kemudian menemui Urai Beluluk
Lu’ai dan menyampaikan hal yang sama. Tanpa disangka,
Urai Beluluk Lu’ai menerima permintaan itu, meski Urai
Beluluk Lu’ai juga tidak mengetahui kondisi Burui saat ini,
namun ia menerimanya. Mamak Burui sungguh bahagia.
Lalu ia memberikan cincin, kalung, dan gelang yang
124 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
terbuat dari emas sebagai tanda sukacita. Sebelum pamit
pulang, Mamak Burui menyampaikan pesan bahwa nanti
malam, Burui akan berkunjung ke rumah. Urai Beluluk
bersedia menunggu dan menjumpai Burui.
Setiba di rumah, Ia menceritakan hasil kunjungan-
nya. Burui terlihat sangat gembira mendengar hal tersebut.
Malam pun tiba. Burui memenuhi janji. Bersama empat
orang temannya, Ia berjalan menuju rumah Beluluk Luai.
Sambil berjalan, mereka memainkan sampeq. Musik yang
mereka mainkan sangatlah indah. Beluluk Luai sangat
tersanjung dengan alunan musik yang mereka mainkan.
T
ersebutlah kisah seorang anak laki-laki yang hidup
sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah meninggal
ketika ia belum menginjak dewasa. Padiu nama
anak itu. Selain hidup miskin, ia mengidap penyakit
yang tak kunjung dapat disembuhkan. Padiu benar-
benar menjadi anak yang malang sepanjang hidupnya.
Padiu merasa tersiksa luar biasa oleh penyakitnya.
Setiap kali mau buang air besar, Ia selalu kesakitan. Rasa
nyeri juga terasa ketika ia sedang duduk. Pada saat Padiu
dewasa, terpikir olehnya untuk pergi merantau agar nasib
bisa berubah menjadi lebih baik. Keinginan Padiu
merantau begitu kuat. Ia segera meninggalkan kampung
dan hanya berbekal baju yang melekat di tubuhnya serta
mandau peninggalan orang tuanya.
Siang dan malam ia berjalan sendiri. Sesekali
berhenti sekedar melepas lelah. Harapan akan nasib yang
lebih baik membuatnya tidak merasa letih. Setelah
beberapa hari berjalan, Padiu tiba di sebuah kampung. Ia
lalu membuat rumah sederhana di ujung jalan. Ia mulai
membuat lesung. Itulah keahlian yang diwarisi dari
bapaknya. Hampir setiap hari Ia disibukkan dengan
pekerjaan ini.
Pada suatu hari, saat ia sedang membuat Lesung,
Jalung beserta rombongannya melintas. Mereka sebenar-
nya satu kampung dengan Padiu yang sama-sama sedang
merantau. Rombongan Jalung berhenti. “Sedang
membuat apa, Engkau?” tanya Jalung. “Lesung laran,”
jawab Padui. ”Balangian (babi besar)?” tanya Jalung.
“Bukan, lesung laran,” jawab Padui. Tampaknya Jalung
tidak mendengar jawaban Padiu. Berkali-kali Jalung selalu
berucap seperti itu. Lantaran kesal, Padiu kemudian
menjawab seperti yang disampaikan Jalung.
T
ersebutlah satu kisah, di hutan belantara Tang Tike
(burung puyuh) berjumpa dengan Upit Selang
(burung pipit hitam). Keduanya belum pernah
bertemu sebelumnya. Mereka saling bertatapan,
melihat satu dengan yang lain. Sejak perjumpaan itu
mereka bersahabat. “Kenapa paruhmu hitam di atas dan
putih di bawah? Kecil lagi paruhmu?” tanya Tang
Tike. ”Meski paruhku kecil, tapi kuat,” jawab Upit Saleng
menjelaskan.
“Aku ingin pergi melihat rumahmu, bolehkah?”,
tanya Tang Tike. “Kalau kamu ingin melihat rumahku,
nanti kita pergi. Tapi aku juga ingin melihat rumahmu.
Ayo, ke rumah siapa duluan?” sahut Upit Saleng. Sore pun
tiba. Mereka berdua terbang menuju rumah Upit Saleng
yang terletak di ujung pohon pinang. “Wah, rumahmu
bagus sekali. Rapi, halus dan tidak bisa lihat ke mana-
mana,” puji Tang Tike. “Inilah bukti kalau paruhku kuat
meskipun kecil,” jawab Upit Saleng.
Pada saat mereka berdua sedang asyik berbicara,
tiba-tiba angin berhembus kencang. Angin kencang itu
menggoyang batang pinang ke kanan dan kekiri, sehingga
hampir roboh. “Takut aku tinggal di rumah ini,” kata
Tang Tike. “Ya beginilah kalau rumah di atas pohon.
Kamu tidak pernah terbang di atas pohon kayu jadi kau
tidak tahan seperti aku yang biasa tinggal di atas seperti
ini,” jawab Upit Saleng.
***
Keesokan harinya, Tang Tike mengajak Upit Saleng
pergi melihat rumahnya. Sesuai kesepakatan, mereka
bertemu kembali di tempat di mana mereka bertemu
sebelumnya. “Ayo, pergi dan lihat rumahku,” ajak Tang
Tike. Mereka berdua kemudian terbang menuju rumah
Tang Tike di sebuah padang rumput yang luas. “Di mana
134 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
rumahmu?” tanya Upit Saleng. “Tunggu dulu, nanti kita
masuk di lorong kecil,” jawab Tang Tike.
Tang Tike kemudian mengajak Upit Saleng terbang
menuju ke satu lorong. Tang Tike menunjukkan rumahnya
yang berbentuk lingkaran terbuat dari rumput dan
dedaunan.
Upit Saleng melihat beberapa telur di rumah
itu. ”Kenapa rumahmu seperti ini? Engkau malas, ya?”
tanya Upit Saleng.
Pada saat mereka sedang berbincang, datanglah
payau, kerbau, dan binatang besar lainnya. Melihat
kedatangan mereka, Upit Saleng ketakutan luar biasa. Ia
berpikir tubuhnya akan hancur jika terinjak binatang-
binatang itu.
“Ah, kau sering terbang ke mana-mana dan tidak
pernah bertemu dengan binatang besar. Aku yang tinggal
di padang rumput ini berteman dengan mereka,” ucap
Tang Tike pada Upit Saleng yang masih dicekam rasa
takut.
“Itulah sebabnya kita tidak bisa berteman seumur
hidup. Rumahmu berbeda dengan tempat tinggalku. Aku
bisa terbang jauh sedang kau tidak bisa,” jawab Upit
Saleng.
“Iya, kau bisa ke mana-mana mencari makan.
Engkau juga suka mencuri makanan manusia. Kau tidak
pernah kenyang. Makanya kau sering diusir dan dilempari
mereka. Kau hanya makan, buang kotoran, makan, buang
kotoran lagi, tidak punya lumbung untuk menyimpan
makanan,” ucap Tang Tike.
Akhirnya, mereka berdua kembali pada hidup
masing-masing. Upit Saleng terus terbang ke mana pun ia
mau dan tinggal di atas pohon. Sedangkan Tang Tike
tidak bisa pergi jauh dan tetap tinggal di padang rumput.
(*)
P
elanuk atau kancil adalah binatang yang sangat
cerdik. Tidak ada satu ekor binatang di hutan yang
mampu mengalahkan kecerdikannya. Pelanuk
sungguh banyak akal. Suatu hari, pelanuk bertemu
Payau betina. Mereka sedang mencari makan.
“Pelanuk, kau tidak mungkin bisa mengalahkanku. Aku ini
binatang yang tinggi, berbadan besar dan telinga lebar.
Sedangkan kamu kecil,” olok Payau meremehkan Pelanuk.
Pelanuk yang memang betubuh lebih kecil hanya
tertawa. Ia sudah menemukan akal untuk mengalahkan
kesombongan payau. “Engkau menantangku. Pikir baik-
baik dulu dan sadarilah bahwa kau adalah keturunanku!”
ujar Pelanuk. Payau betina tidak menyadari jebakan
Pelanuk. Ia tetap bersikap sombong dan meremehkannya.
***
Meyakini tubuhnya lebih besar, Payau betina tetap
saja meremehkan Pelanuk. “Mana mungkin aku
keturunanmu? Tubuhku lebih besar dan gagah daripada
tubuhmu,” ucap Pelanuk dengan sombong. “Kau mau
bukti?” tanya Pelanuk. Payau ingin segera menunjukkan ia
bukan keturunan pelanuk. Ia menantang berlomba.
“Ayo kita berlomba sekarang. Kita lompat-lompat
lalu tendang bandir itu. Siapa yang lebih kuat dan cepat
dia yang menang,” ujar Payau. Pelanuk merenung sejenak
mencari akal mengalahkan kesombongan Payau. “Siapa
duluan?” tanya Payau penuh percaya diri. “Aku duluan,”
jawab Pelanuk penuh semangat.
Pelanuk itu kemudian melompat-lompat dan
menendang. Kakinya berhasil menembus bandir. Ia
langsung berteriak, “Aku menang. Kakiku berhasil
menembus badir.” Payau hanya tersenyum melihat kaki
Pelanuk hanya mampu masuk sampai mata kaki saja.
P
ada suatu hari, Pelanuk terlihat berbicara dengan
binatang lain di tepi hutan. Hewan itu menjelaskan,
kalau Pelanuk berlomba dengan hewan yang lebih
kecil, pasti kalah. Pelanuk tertegun. Hewan itu
mengatakan, jika Pelanuk berlomba dengan Pau,
belalang yang tubuhnya lebih kecil, pasti kalah.
“Kecerdikanmu hanya bisa dikalahkan oleh hewan
yang tubuhnya lebih kecil,” ucap binatang itu. Pelanuk
yang sebelumnya terdiam, mulai berbicara. “Bagaimana
aku bisa kalah? Tiga ekor binatang besar bisa kukalahkan
dengan mudah. Mana mungkin aku kalah dengan Pau?”
bantah Pelanuk. “Kau memang cerdik kalau berbicara,
sedangkan belalang tidak. Ia hanya bisa menggigit,” balas
binatang itu.
Pelanuk tampak terlihat bingung. Ia mondar-
mandir sambil mengernyitkan keningnya. “Mengapa aku
bisa kalah dengan Pau?” tanya Pelanuk penasaran.
“Tunggu sebentar, aku panggil Pau. Kamu duduk atau
berdiri saja di situ,” pesan binatang itu. Tidak lama
kemudian, Pau datang dan bertanya, “Ada apa
memanggilku?”
Pelanuk lalu menjelaskan, ia hanya bisa menang
melawan binatang yang badannya lebih besar, sedangkan
jika melawan binatang yang lebih kecil pasti kalah. Pau
terus mendengarkan penjelasan Pelanuk sambil kedua kaki
depannya bergerak mengusap wajahnya. “Oh, begitu.
Ayo kita buktikan kebenarannya,” ucap Pau. Pelanuk
menyambut gembira tantangan itu.
Pau lalu menjelaskan persyaratan perlombaan.
“Kau duduk di sana menghadapku. Kita duduk
berhadapan dan saling bertatap mata. Siapa yang
bertahan tidak berkedip, ia yang menang,” ucap Pau.
P
elanuk sedang berjalan sendirian di tepi sungai kecil.
Saat melintas, ia melihat seekor seq (siput)
menempel di batu. Pelanuk lalu berhenti dan
mengamati Seq yang sedang berjalan lambat sekali
di atas lumut. “Ah, bagaimana ia bisa berlari?” pikir
Pelanuk dalam benaknya.
Pelanuk lalu menegur. “Berapa jumlahmu di
sungai?” Lalu Seq memberitahu jika ia hanya sendirian.
Mereka kemudian terlibat pembicaraan santai. Lalu
Pelanuk mengadu kepada Seq. “Aku dengar, hewan lain di
hutan membicarakanku. Mereka bilang kalau aku hanya
bisa mengalahkan binatang yang lebih besar. Kalau aku
bertanding dengan hewan yang lebih kecil, aku akan
kalah. Semakin kecil binatang itu, akan semakin mudah
mengalahkanku.”
“Memang benar apa yang mereka katakan. Kalau
tidak percaya, ayo kita berlomba lari!” tantang Seq penuh
semangat. “Ah, mana mungkin kau bisa lari secepat aku!
Jalanmu saja lambat. Sejak tadi aku perhatikan, kau tidak
beranjak dari tempat ini,” sergah Pelanuk. “Buktikan saja,
kita lomba lari ke hulu sungai!” tantang Seq.
***
Pelanuk sangat penasaran. Ia ingin membalikkan
apa yang dibicarakan para hewan di hutan sebelumnya. Ia
ingin membuktikan bahwa ia akan tetap menang walau
berlomba dengan hewan yang lebih kecil dari tubuhnya.
Perlombaan pun dimulai. Pelanuk dan Seq langsung
berlari menuju hulu. Pelanuk lari sekencang-kencangnya.
Sesekali ia menengok ke belakang untuk memastikan
apakah Seq mampu mengejarnya. Namun Seq semakin
tidak kelihatan karena jaraknya sudah terlalu jauh.
Pelanuk lalu santai sambil mencari makan. Setelah
dirasa kenyang, Pelanuk berjalan menuju tepi sungai
140 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
untuk melihat apakah Seq sudah ada di situ. Lalu Pelanuk
berteriak “Seq di mana kau?” Tak lama kemudian
terdengar jawaban “Aku di sini.” Pelanuk kaget luar biasa.
Padahal ia sudah berlari lima depa di depannya. Seq tidak
kelihatan, ketika ia menengok ke belakang, tapi sekarang
Seq sudah tiba mendahuluinya.
Pelanuk tidak percaya atas kekalahan itu. Ia tidak
puas dan menantang lomba lari lagi. Lomba lari dimulai
lagi. Pelanuk lari sekuat tenaga, lebih kencang dari
sebelumnya. Ia terus menengok ke belakang untuk
memastikan Seq tidak berhasil mengejarnya. Ternyata Seq
sudah tidak kelihatan, karena Pelanuk memang sudah lari
cukup jauh darinya.
Setelah dirasa aman, Pelanuk berhenti. Ia lalu
berjalan ke tepi sungai untuk melihat apakah Seq berada
di situ. Lalu Pelanuk bertanya “Seq di mana kau?”.
Seketika itu pula Seq menjawab “Aku di sini”. Pelanuk
terkejut karena tidak percaya.
Pelanuk memanggil kembali untuk memastikan
bahwa ia tidak salah dengar. Namun ia selalu men-
dapatkan jawaban yang sama.
Seperti perlombaan pertama, ternyata Seq telah
tiba terlebih dahulu. Seq memenangkan perlombaan lari.
“Ah, kau pembohong. Katanya kau sendiri, ternyata
tidak,” kata Pelanuk marah-marah.
“Kau juga pembohong,” sergah Seq sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Pelanuk terdiam.
Pelanuk yang selama ini dikenal sebagai hewan
paling cerdik, ternyata Seq lebih cerdik. (*)