Anda di halaman 1dari 152

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq

KEMENTERIAN Jalan
KOORDINATOR 1
BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002
tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja


melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja
menyiarkan, memamerkan, menge-
darkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagai dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak
(lima ratus juta rupiah).

2 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Kelik Ismunandar

Cerita Rakyat

Dayak Kenyah
Lepoq Jalan

RV Pustaka Horizon

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 3


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


© Kelik Ismunandar
Samarinda, RV Pustaka Horizon, 2016
150 hlm.; 14 x 20 cm

ISBN: 978-602-60453-1-7

Cerita Rakyat
Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Penulis : Kelik Ismunandar

ISBN : 978-602-60453-1-7

Editor : Roedy Haryo Widjono AMZ

Kontributor Naskah : Kasmani Padjalang

Desain Sampul : Agus Ferdinand

Layouter : Musa

Cetakan ke- 1 : November 2016

Penerbit : RV Pustaka Horizon


Jl. Perjuangan-Alam Segar 4 No. 73
Samarinda, Kalimantan Timur
Email: pustakahorizon@gmail.com
SMS/WA: 085347456753
bekerja sama dengan:
- Yayasan Desantara
- Kemitraan-Partnership
- Program Peduli
- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun,
baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi,
merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya,
juga pemindaian (scan) komputer tanpa izin tertulis dari penerbit.

4 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Daftar Isi

Sekapur Sirih
 Ikhtiar Merawat Tradisi Warisan Leluhur 7

Seuntai Pinang
 Pendokumentasian Pengetahuan Komunitas 11

Kata Pengantar
 Pembelajaran dari Kearifan Tradisi Lisan 13

Dayak Kenyah Lepoq Jalan


 Jejak Migrasi dalam Aura Desa Budaya 17

Kosakata Dayak Kenyah Lepoq Jalan 22

Cerita Satu:
Ksatria Apau Kayan
1. Lencau Sang Ksatria 26
2. Tamen Buring 37
3. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung 56
4. Uyau Tunyeng 74

Cerita Dua:
Pernikahan Bangsawan
1. Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan 86
2. Sigau Belawan 92

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 5


Cerita Tiga:
Dongeng Pelipur Lara
1. Lencau Kila 100
2. Anyeq Wang 105
3. Jalung dan Bungan 108
4. Buy dan Monyet yang Licik 118
5. Burui 123
6. Padiu 128

Cerita Empat:
Dongeng Fabel Lepoq jalan
1. Tang Tike dan Upit Saleng 134
2. Pelanuk dan Payau Betina 136
3. Pelanuk dan Pau 138
4. Pelanuk dan Seq 140

Profil Narasumber 142

Biodata Penulis 149

6 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Sekapur Sirih
 Ikhtiar Merawat Tradisi Warisan Leluhur

P
ada awalnya penulis merasa ragu ketika didaulat
oleh teman-teman Yayasan Desantara dan
Naladwipa Institute untuk mendokumentasikan
cerita rakyat Dayak Kenyah Lepo’ Jalan. Ada dua hal
yang melatarbelakangi keraguan itu. Pertama,
pemahaman penulis yang masih sangat minim tentang
budaya yang akan menjadi obyek penulisan (Dayak
Kenyah Lepo’ Jalan). Kedua, penulis sudah cukup lama
tidak terlibat dalam kegiatan literasi dengan beberapa
alasan.

Perlu waktu beberapa saat untuk memutuskan


tawaran tersebut. Setelah melalui proses perenungan dan
diskusi dengan beberapa pihak, pada akhirnya penulis
menerima tawaran ini. Riset kecil penulis lakukan untuk
menggali informasi awal tentang tradisi Dayak Kenyah
dan cerita-cerita rakyat melalui beberapa literatur. Tidak
cukup banyak literatur secara khusus mengupas budaya
Dayak Kenyah yang penulis dapatkan. Hanya ada
sepenggal informasi yang tersebar dari beberapa
dokumen.

Kegiatan Workshop Penguatan Desa Budaya yang


digelar di Lung Anai akhir Juni 2016, mulai membuka
jalan untuk melakukan penulisan. Warga Lung Anai yang
merupakan komunitas Dayak Kenyah Lepo’ Jalan telah
merekomendasikan lima belas cerita rakyat beserta
narasumbernya. Kelima belas cerita itu antara lain: Suwit
Lirung, Uyeu Abing, Ulong Apa Ngan Ulong Ncam,
Anyeq Wang, Pelanuk Ngan Seq, Babui Palo, Kelep, Burui,
Uyau Upet, Alek Usun Batang, Sigeu Belawan, Tamen

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 7


Buring, Uyeau Tunyeng, Buy Ngan Uyoq dan Tang Tike
Ngan Upit Selang.

Proses selanjutnya, penulis fokus melakukan


wawancara untuk mulai menyusun lima belas cerita yang
telah direkomendasikan. Rencana kunjungan lapangan
disusun dengan berbekal hasil workshop. Satu persatu
narasumber dihubungi dengan bantuan local organiser di
Lung Anai.

Realitas di lapangan memberikan tantangan baru.


Tidak semua narasumber berhasil dihubungi untuk
wawancara. Beberapa alasan yang mengemuka di
antaranya: tidak cukup menguasai alur cerita, tidak
terbiasa dengan wawancara dan kesibukan kegiatan
berladang. Hanya ada beberapa narasumber yang
kemudian bersedia diwawancara sesuai dengan cerita
yang dikuasainya.

Berangkat dari sinilah, proses penggalian informasi


mulai mengalir. Beberapa orang yang tidak
direkomendasikan sebagai narasumber mulai muncul
dengan cerita-cerita baru di luar rekomendasi workshop.
Pada akhirnya tidak semua judul berhasil digali
informasinya, namun ada cerita tambahan seiring
munculnya narasumber baru. Jumlah cerita yang berhasil
digalipun justru melebihi dari rencana semula, dari 15
menjadi 16 judul cerita.

Tantangan lain yang dihadapi selama penulisan,


adalah sudah tidak ditemukan lagi penutur yang dapat
dijadikan rujukan dan tidak semua narasumber menguasai
bahasa Indonesia dengan baik. Beberapa narasumber
menggunakan bahasa Dayak Kenyah yang tidak penulis
kuasai. Maka penulis sangat berterimakasih kepada Yurni
8 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Lee dan Amai Uluk (Kepala Desa, Lung Anai) yang telah
bersedia menjadi penerjemah.

Enam belas judul cerita rakyat yang penulis berhasil


dokumentasikan bercerita seputar kehidupan keluarga,
perjalanan hidup seseorang, perkawinan hingga dongeng
binatang. Jika dalam beberapa tulisan dirasa mengandung
unsur kekerasan, bukan berarti penulis menyetujui hal itu
untuk penyelesaian masalah. Meskipun demikian ada
beberapa bagian yang menurut penulis tidak cukup layak
dikonsumsi oleh masyarakat, maka cerita itu kemudian
direka-ulang tanpa mengurangi intisari cerita.

Ucapan terima kasih perlu penulis sampaikan


kepada semua pihak yang telah mendukung proses
penulisan buku ini. Pertama-tama penulis perlu sampaikan
terima kasih kepada warga Lung Anai, khususnya kepada
para narasumber dan penerjemah, yang di tengah
kesibukan kerja bersedia penulis ganggu waktunya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada


Kemitraan-Partnership Jakarta yang telah memberikan
dukungan logistik terhadap seluruh proses penulisan buku
melalui program “Langkah Aksi menuju Masyarakat
Inklusif” (LAMIN). Juga kepada Yayasan Desantara-Jakarta
yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk
memegang tanggung jawab penulisan.

Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih


sedalam-dalamnya kepada sahabat Asman Azis, yang telah
mempercayakan penulisan buku ini. Juga pada Romo
Roedy Haryo Widjono AMZ yang sudi menjadi teman
diskusi sekaligus editor buku ini. Kasmani Padjalang yang
telah berkontribusi terhadap beberapa judul cerita. Erma
Wulandari yang telah membantu proses administrasi serta
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 9
Handika Bahaduri, Muhammad Salim dan Roni Maysandi
yang telah menemani penulis saat melakukan wawancara.

Penulis juga perlu mengucapkan terima kasih nan


mendalam kepada istri dan dua putri tercinta, Yosephine
Helsa Zahir dan Vincentia Naysa Primesty yang telah
memberi dukungan khusus. Tanpa dukungan mereka, sulit
rasanya menyelesaikan tulisan ini.

Penulis menyadari, tidak ada gading yang tak retak.


Buku ini bukanlah sesuatu yang sempurna masih banyak
kekurangan. Melalui buku ini, penulis mengajak kepada
seluruh pembaca untuk melestarikan tradisi lisan
masyarakat yang mungkin akan hilang jika tidak
didokumentasikan. Hikmah pembelajaran kiranya banyak
dapat kita petik dari tradisi warisan leluhur berkaitan
dengan tantangan kehidupan yang semakin kompleks.

Selamat Membaca!

Kelik Ismunandar

10 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Seuntai Pinang
 Pendokumentasian Pengetahuan Komunitas

N
iatan merekam pengalaman keseharian atau hal-
hal yang dianggap penting, menjadi dasar bagi
banyak komunitas untuk menciptakan banyak
medium tutur. Baik yang berupa gambar seperti
lukisan purba di dinding kawasan batuan kapur,
ornamen, atau dalam media modern mulai dari koran
hingga media sosial. Namun satu medium yang penting
juga dalam menjaga tatanan sosial sebuah komunitas
adalah tradisi tutur (folklor) yang diwariskan dalam
berbagai kegiatan.

Dalam tradisi Durkheimian, folklor merupakan


politik representasi yang dimainkan oleh komunitas untuk
menjadi acuan moral menjaga fungsi sosial setiap
masyarakat. Melalui tradisi tutur pula komunitas Dayak
Kenyah Lepoq Jalan memaknai sejarah pengalaman
mereka sejak hidup di Apau Kayan hingga di Lung Anai.

Komunitas yang memiliki pengalaman perjalanan


perpindahan sejak tahun 1960-an ini memberikan banyak
cerita tentang apa yang dihadapi selama ini. Simbol-
simbol digunakan untuk merepresentasikan alam spiritual
mereka ke dalam berbagai medium yang dirasa dapat
mewakili pengalaman tersebut. Berbagai pengalaman dan
pesan moral tersirat dalam melalui berbagai simbol yang
digunakan dalam tradisi tutur yang didokumentasikan
dalam buku ini.

Kumpulan folklor yang ada di tangan pembaca,


merupakan hasil dari penulisan yang dilakukan tim
Desantara bekerja sama dengan Naladwipa Institute atas

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 11


dukungan Kemitraan. Sebagai bagian dari kerja
kebudayaan, penulisan ini menjadi penting untuk
memberikan ruang bagi proses pendokumentasian
pengetahuan komunitas. Proses ini bagian dari kerja
pemaknaan terhadap proses perubahan yang terjadi
dalam komunitas dan bagaimana komunitas melakukan
adaptasi terhadap perubahan, termasuk dengan
menggunakan berbagai simbol.

Melalui buku ini, kami berharap apa yang


dikerjakan selama ini oleh berbagai pihak melalui program
Langkah Aksi Menuju Masyarakat Mandiri (LAMMIN)
dapat menjadi ruang pertemuan bagi banyak ide dan
gagasan menuju perubahan yang lebih konstruktif. Buku
ini sekaligus menjadi media dokumentasi proses kerja
sama yang sedang dan akan terus berjalan.

Selamat membaca!

Mokh. Sobirin
Yayasan Desantara

12 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Kata Pengantar
 Pembelajaran dari Kearifan Tradisi Lisan

ata tradisi berasal dari bahasa latin tradition yang

K berarti menyampaikan atau meneruskan. Dari akar


kata ini muncul kata bahasa Inggris tradition dengan
makna yang sama. Sementara itu, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata tradisi
diartikan sebagai hal yang disampaikan atau diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi juga dipahami sebagai adat kebiasaan yang
dipertahankan secara turun temurun dan dihayati oleh
komunitas pendukungnya. Pada masyarakat praaksara,
penyampaian kebiasaan dilakukan dengan cara bertutur
atau berbicara secara lisan. Maka, karena penyampaian-
nya dilakukan secara lisan, kemudian dikenal istilah tradisi
lisan.
Menurut Jan Vansina, pengertian tradisi lisan (oral
tradition) adalah kesaksian yang diwariskan secara lisan
dari generasi ke generasi.1 Dalam tradisi lisan terkandung
unsur-unsur peristiwa sejarah, nilai-nilai moral, nilai-nilai
religiositas, adat istiadat, peribahasa, nyanyian, mantra
serta cerita khayalan. Sementara itu, menurut
Kuntowijoyo,2 tradisi lisan merupakan salah satu sumber
1
Jan Vansina, Oral Tradition as History, Madison, University of
Wisconsin Press, 1985, diterjemahkan oleh Astrid Reza dkk, Tradisi
Lisan Sebagai Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2014.
2
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September
1943, wafat 22 Februari 2005 adalah seorang budayawan, sastrawan,
dan sejarawan. Sebagai sejarawan, analisis dan pemikirannya ditulis
dengan pendekatan disiplin ilmu sejarah dan bersifat kesejarahan telah
banyak diterbitkan menjadi buku, di antaranya Budaya dan
Masyarakat (1987) dan Pengantar Ilmu Sejarah (1995).

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 13


sejarah, lantaran dalam tradisi lisan terekam masa lampau
manusia yang belum mengenal aksara, yang terkait
dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai,
atau pengalaman empiris.
Tradisi lisan sejatinya terangkum dalam folklor.
Jejak sejarah masa lampau pada masyarakat pra-aksara
dalam bentuk dongeng, legenda, mitos, musik, upacara,
pepatah, lelucon, takhayul, lagu rakyat, kebiasaan,
kepercayaan, alat musik, pakaian, perhiasan, obat-obatan,
arsitektur vernakular, dan kerajinan tangan sejatinya
merupakan bagian dari folklor.
Folklor adalah bagian dari kebudayaan masyarakat
yang tersebar dan bersifat tradisional yang diwariskan
secara lisan. Sedangkan cerita rakyat sebagai subbagian
dari folklor merupakan cerita yang berasal dari
masyarakat dan berkembang pada masa lampau yang
menjadi ciri khas setiap bangsa. Lazimnya cerita rakyat
mempunyai ciri-ciri: disampaikan turun temurun; tidak
diketahui siapa yang pertama kali membuatnya; kaya
akan nilai-nilai luhur; bersifat tradisional; memiliki banyak
versi dan variasi; mempunyai bentuk-bentuk klise dalam
susunan atau cara mengungkapkannya; bersifat anonim
karena tidak diketahui nama pengarangnya; berkembang
dari mulut ke mulut; dan disampaikan secara lisan.3
Dalam buku ini, disajikan Cerita Rakyat yang
berasal dari komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang
bermukim di Lung Anai. Pada bagian pertama bertajuk
“Kstaria Apau Kayan” memuat cerita sage, yakni dongeng
beraura keperkasaan bercampur dengan fantasi mengenai

Danadjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama


3

Aksara, 1986, juga Bunandra, Murti. Penulisan Cerita Rakyat. Jakarta:


Balai Pustaka. 1998.
14 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Lencau Sang Ksatria, Tamen Buring, Sulimerang dan Ujung
Tunan Arung serta Uyau Tunyeng. Pada bagian kedua
bertajuk “Pernikahan Bangsawan” diceritakan mengenai
Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan dan Sigau Belawan.
Sedangkan pada bagian ketiga bertajuk “Dongeng
Pelipur Lara” memuat sejumlah cerita tentang Lencau Kila;
Anyeq Wang; Jalung dan Bungan; Buy dan Monyet yang
Licik; Burui dan Padiu. Selanjutnya pada bagian keempat
bertajuk “Dongeng Fabel” atau dongeng binatang me-
muat cerita tentang Tang Tike dan Upit Saleng; Pelanuk
dan Payau Betina; Pelanuk dan Pau; serta Pelanuk dan
Seq.
Pada semua cerita rakyat Dayak Kenyah Lepoq
Jalan niscaya memiliki tema tertentu yang menjadi dasar
cerita dan selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman
kehidupan yang diramu dengan elemen-elemen fantasi.
Selain itu, terdapat pula alur cerita, yaitu tahapan
peristiwa yang terjadi dalam cerita disertai dengan latar
atau keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam cerita. Pada semua cerita
niscaya juga terdapat tokoh yakni pelaku dalam suatu
cerita disertai penokohan sebagai pelukisan gambaran
tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh dalam
cerita. Selain itu, yang tak kalah penting adalah amanat
atau pesan moral yang terkandung dalam cerita.
Esensi dari cerita rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
sejatinya mempertegas tentang pengertian kearifan lokal
(local wisdom), pengetahuan lokal (local knowledge) dan
kecerdasan (local genious). Kearifan lokal juga dapat
dimaknai sebagai karya akal budi, perasaan mendalam,
tabiat, perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia
berbudi luhur. Maka, kearifan lokal merupakan kecer-
dasan manusia yang diperoleh melalui pengalaman
empiris.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 15
Selamat menimba kekayaan peradaban manusia
melalui cerita rakyat yang berisi pembelajaran dari
kearifan tradisi lisan warisan leluhur Dayak Kenyah Lepoq
Jalan. (*)

Roedy Haryo Widjono AMZ


Anggota Dewan Penasihat
Naladwipa Institute for Social
and Cultural Studies.

16 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Lung Anai
 Jejak Migrasi Dalam Aura Desa Budaya

M
enurut tutur lisan, leluhur Dayak Kenyah berasal
dari migran keturunan bangsa Tiongkok
bernama Haka. Diceritakan Haka berniaga di
Borneo, dan suatu waktu ia singgah di sebuah
goa untuk beristirahat. Ternyata di dalam goa
dihuni seekor naga yang mempunyai batu permata di
kepala.
Haka sangat ingin memiliki batu permata itu, tapi
tak kuasa melawan naga yang sanggup mengeluarkan api
dari mulutnya. Niat untuk mengambil batu permata
diurungkan dan pulanglah Haka ke negeri Tiongkok untuk
meminta bantuan dari Kerajaan. Maka kemudian
dikirimlah pasukan dari Tiongkok untuk merebut permata
di kepala naga. Permata itu berhasil direbut ketika naga
sedang tertidur, namun dalam situasi terakhir ketika kapal
pasukan Tiongkok akan kembali, sang naga terbangun dan
mengejar pasukan Tiongkok. Malang bagi Haka, dia
tertinggal karena kapal telah angkat sauh berlayar ke
Negeri Tiongkok.
Akhirnya Haka dan sebagian prajurit yang masih
tertinggal masuk ke wilayah pedalaman, menyusuri sungai
dan tiba di perkampungan, kemudian mereka berbaur
dengan masyarakat hingga beranak-pinak. Setelah sekian
tahun kemudian, Haka membawa sebagian masyarakat
pindah ke Apau Ahe dan perkampungan itu berkembang
pesat serta diyakini sebagai cikal bakal leluhur Dayak
Kenyah
Tutur Riwayat Migrasi
Suku Dayak Kenyah sejatinya bermula dari daerah
Baram, Serawak yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan
Utara dan terpecah menjadi dua bagian, sebagian menuju

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 17


Apau Kayan yang sebelumnya telah ditempati suku Dayak
Kayan, sedangkan sebagian lainnya menuju sungai Bahau.
Suku Dayak Kenyah terdiri dari beberapa subsuku
diantaranya adalah Lepoq Tepu, Lepoq Badeng, Lepoq
Bakung, Lepoq Bem, Lepoq Jalan, Lepoq Ke, Lepoq
Kudaq, Lepoq Kulit, Lepoq Maut, Lepoq Tau, Lepoq Tao',
Lepoq Timei, Uma Jalan, Umaq Alim, Umaq Baka, Umaq
Bakung, Umaq Lasan, Umaq Lung, Umaq Tukung.4
Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan semula hidup
berkelompok dalam sebuah sistem umaq (rumah panjang)
dan lepoq (huma). Semula mereka bermukim Long
Nawang dan Long Ampung yang kemudian bermigrasi ke
berbagai daerah di Kalimantan Timur.
Pergerakan migrasi Dayak Kenyah itu hingga ke
wilayah Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Kota
Samarinda, Kutai Timur, Berau, Bulungan dan Malinau.
Pemukiman suku Dayak Kenyah di Kabupaten Mahakam
Ulu berada di Batu Majang, Rukun Damai, Datah Bilang
Ulu dan Datah Bilang Ilir, sedangkan di Kabupaten Kutai
Kartanegara berada di Bila Talang, Buluk Sen, Long
Lalang, Ritan Baru, Tukung Ritan, Umaq Bekuai, Umaq
Dian, Umaq Tukung, Lekaq Kidau, Long Anai dan
Berambai. Sedangkan di Kota Samarinda mereka
bermukim di Pampang.
Pemukiman Dayak Kenyah di Kabupaten Kutai
Timur berada di wilayah Kecamatan Batu Ampar, Busang,
Kongbeng, Long Masengat, Muara Ancalong, Muara
Bengkal, Muara Wahau dan Telen. Sedangkan di
Kabupaten Berau di Kecamatan Kelay. Segah dan
Sambaliung, di Kabupaten Malinau berada di Kecamatan
Sungai Boh, Pujungan, Bahau Hulu, Kayan Hulu, Kayan
Hilir dan Kayan Selatan, adapun di Kabupaten Bulungan

William W Bevis. Borneo Log: The Struggle for Sarawak's Forests.


4

University of Washington Press, 1995.


18 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
berada di Kecamatan Peso, Peso Ilir, Sekatak, Tanjung
Palas dan Tanjung Palas Barat.
Peristiwa Ganyang Malaysia membuat gelombang
migran besar-besaran dari tanah leluhur mereka. Tidak
ada informasi akurat mengenai periodesasi migrasi dari
Apo Kayan. Ketika berpindah dari Apo Kayan menuju
Lung Anai, terdapat delapan titik tempat yang dilalui.
Umaq Lung Tisai ditengarai sebagai kelompok yang
pertama pindah berjumlah sekitar 200-an Kepala
Keluarga. Disusul kemudian Umaq Lulau dengan 50-an
Kepala Keluarga, Umaq Sungan dengan 50 Kepala
Keluarga, lalu berangsur-angsur dari kelompok lain
mengikuti perpindahan dalam jumlah semakin banyak.
Terdapat beberapa tempat yang menjadi jalur
perpindahan kolosal suku Dayak Kenyah. Salah satunya
jalur perjalanan yang ditempuh kelompok Lung Tisai.
Perjalanan itu diawali dari Apau Kayan mereka
menuju Jeng di wilayah Long Nawang, yang ditempuh
sekitar satu bulan menyusuri sungai Kayan dan sungai
Lamp ke hilir. Kemudian mereka bermukin di Jeng selama
tiga tahun dan berladang sambil membuat perahu sebagai
persiapan untuk perjalanan selanjutnya.
Perjalanan dimulai lagi menuju Lekaq Way dengan
menyusuri sungai Luy. Mereka berdiam di salah satu
pinggiran sungai Lekaq Way sekitar sepuluh tahun. Selain
berladang di Lekaq Way mereka mulai bekerja mencari
butiran emas. Pada saat di Lekaq Way mereka mulai
mengadakan kontak dengan pembeli hasil tambang emas
yang mereka sebut sebagai orang Cina (Tionghoa). Selain
itu mereka juga ada yang menjual emas sampai ke
Samarinda.
Lantaran dianggap tidak cocok lagi di Lekaq Way,
mereka melanjutkan perjalannya ke Belinau, melewati
Long Sule. Belinau adalah kampung yang dihuni suku
Dayak Punan, namun mereka diterima dengan ramah.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 19
Namun mereka masih tetap berkeyakinan perjalanan
harus dilanjutkan. Mereka lalu berjalan kaki ke hulu sungai
Tabang dan mereka mulai mengenal penebangan kayu
yang dulu dikenal dengan istilah Banjirkap.
Mereka terus bermigrasi hingga ke kawasan sungai
Pedohon dan bermukim sekitar dua tahun. Setelah itu,
mereka menuju Lulau Lupa yang mereka huni dua tahun.
Tak berhenti sampai di situ, kemudian menyusuri sungai
Atan menuju Gemar Lama dan menetap selama sepuluh
tahun. Lalu berpindah lagi ke Gemar Baru yang juga
dihuni selama sepuluh tahun.
Pada tahun 1985-1986 mereka melanjutkan
eksodus ke Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten
Kutai Kartanegara yang dihuni beberapa kelompok migran
Apo Kayan. Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai
masing-masing berasal dari Long Segar, Gemar Baru, dan
Sentosa.
Akhir bulan Mei 2006, warga Dayak Kenyah Lepoq
Jalan Lung Anai, menyambut kedatangan 26 KK dari
Datah Bilang Ilir, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten
Kutai Barat. Acara penyambutan berlangsung di Lamin
Adat dan pada kesempatan itu mereka saling menukar
mandau sebagai simbol saling membantu dalam
mengarungi kehidupan selanjutnya.
Desa Budaya Lung Anai
Kampung Lung Anai semula dikenal dengan Tanah
Merah. Kedatangan warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan di
hulu sungai Jembayan ini diawali oleh beberapa tetua
warga. Pada mulanya Pelujuk dan Pangit melakukan
survei sebelum memastikan Lung Anai layak dijadikan
perkampungan. Semula mereka memilih Gitan yang
berada di hulu Lung Anai dan mereka berjumpa orang
Dayak Basap yang sudah menghuni kawasan ini.
Gitan dianggap cocok untuk areal perladangan,
sedangkan Lung Anai dianggap cocok untuk
20 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
perkampungan, meski pada mulanya adalah dusun dari
desa Sungai Payang. Hunian Lung Anai diapit dua
kampung. Pada bagian hilir, kampung Kuntap yang dihuni
suku Dayak Tunjung Benuaq, dan di hulunya kampung
Sentuk yang didiami suku Kutai dan Banjar.
Kampung Long Anai tidak mengikuti pola ruang
mengikuti alur sungai, tetapi membentuk huruf T,
sehingga mereka tidak memiliki rakit jamban di sungai.
Aktivitas mandi dan mencuci tidak lagi dilakukan di sungai
setelah air dari pegunungan mengalir ke rumah masing-
masing sejak tahun 1994. Kampung Lung Anai berada di
ujung jalan raya bekas jalan perusahaan kayu PT. ITCI.
Jalan sepanjang 25 km ini menghubungkan Lung Anai
dengan ibukota Kecamatan Loa Kulu. Sejak Januari 2007,
warga Lung Anai lebih intensif menggunakan jalan raya ini
karena lebih efisien.
Predikat Desa Budaya yang disandang Lung Anai,
sejak 2007 lalu, ternyata tidak serta merta membuat desa
itu diperhatikan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
terutama pengembangan dan pelestarian budaya. Desa
Lung Anai seolah ditinggalkan begitu saja, setelah
ditetapkan menjadi Desa Budaya. (*).

Sumber Naskah:
Heru Prasetia, “Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung
Anai, Kutai Kartanegara”, hasil penelitian Desantara dan Naladwipa
Institute for Social and Cultural Studies, http://www.desantara.
or.id/2013/09/sejarah-masyarakat-dayak-kenyah-lepoq-jalan-lung-
anai-kutai-kartanegara/

Roedy Haryo Widjono AMZ, “Dilema Invensi Budaya dan Siasat


Penguasaan Sumber Penghidupan”, dalam buku Dilema Transformasi
Budaya Dayak, Nomaden Institute Cross Cultural Studies dengan
Lembaga Literasi Dayak, Tangerang, 2016.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 21


Kosakata
Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Amai : Bapak
Ayau : Ritual “perang suku” di masa lampau
Bandir : Akar pohon sangat besar yang berada di
atas tanah. Bandir berbentuk pipih.
Belaung : Anting-anting yang jumlahnya banyak,
lazim dipakai oleh orang Dayak untuk
memanjangkan telinganya.
Bangan : Buah hutan yang kulit luarnya berduri.
Beran Tanyit : Pohon Banggris tempat bersarang lebah
madu.
Bujaq : Senjata tradisional Dayak sejenis tombak
Bubu : Alat menangkap ikan terbuat dari bambu
dengan satu pintu yang diletakkan di
dalam sungai. Pintu biasanya diletakkan
pada arus yang berlawanan dengan
aliran sungai, sehingga apabila ada ikan
yang masuk, tidak akan bisa keluar.
Kiran Jangin : Kotak kecil terbuat dari besi atau
kuningan yang dalam kepercayaan orang
Dayak Kenyah berfungsi untuk
menyimpan roh.
Kiang : Tas punggung terbuat dari anyaman
rotan untuk membawa hasil ladang dan
hasil buruan.
Kubuq : Pondok di tengah hutan yang digunakan
untuk beristirahat saat seseorang
22 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
melakukan perjalanan. Di dalam kubuq
biasanya terdapat beras dan peralatan
memasak yang dapay digunakan oleh
mereka yang beristirahat di kubuq.
Lepoq : Kampung
Mamak : Ibu
Nyidau : Salah satu tradisi Dayak Kenyah untuk
mengungkapkan rasa sedih ketika sese-
orang yang dicintia meninggal. Nyidau
dilakukan dengan mengungkapkan kata-
kata sambil menangis.
Padoq : Tempat untuk menimbun api di beranda
rumah.
Pui : Kakek
Payau : Rusa
Pau : Belalang
Sanggar Pisang : Pisang goreng
Sepan : Sungai kecil yang dibendung, sehingga
air tergenang dan dapat dipergunakan
untuk mandi.
Seraung : Sejenis penutup kepala khas Dayak
berbentuk seperti caping berukuran
besar, lazim dipakai untuk bekerja di
kebun atau untuk melamar anak gadis.
Seq : Siput sungai
Sumpit : Senjata khas Dayak. Dalam tradisi
setempat, laki-laki yang sudah dewasa,
mulai dilatih oleh orang tuanya
menggunakan sumpit untuk berburu.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 23


Tang Tike : Burung Puyuh
Tajau : Tempayan atau guci yang terbuat dari
porselin. Dalam tradisi Dayak Kenyah,
tajau merupakan lambang kebangsawan-
an, selain itu tajau juga dipercaya sebagai
tempat menyimpan roh-roh kebaikan
Tamen : Panggilan untuk laki-laki yang sudah
memiliki anak. Panggilan lainnya adalah
Tamam. Lazimnya ia disebut dengan
menggunakan nama anak pertama.
Misalnya Tamen Lencau, yang berarti
bapaknya Lencau.
Temadau : Sejenis tumbuhan tebu namun berukuran
lebih kecil
Tiling : Sejenis serangga yang berbunyi di senja
hari.
Tinen : Panggilan untuk perempuan yang sudah
memiliki anak. Panggilan lainnya adalah
Tinan. Lazimnya ia disebut dengan
menggunakan nama anak pertama.
Misalnya Tinen Buring, yang berarti
ibunya Buring.
Ulong Pengetak : Raksasa pemakan manusia.
Upit Saleng : Burung Pipit Hitam.
Use : hal panjang yang ada di dalam rumah
panjang dari masyarakat Dayak Kenyah.
Uyau : Panggilan untuk anak laki-laki yang
belum menikah dan sudah tidak
mempunyai bapak.
Weq : Ibu

24 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Cerita Satu:
Ksatria Apau Kayan

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 25


1. Lencau Sang Ksatria

T
ersebutlah kisah seorang yang terkenal
kehebatannya. Ia mampu menyemburkan api untuk
mengalahkan musuh-musuhnya. Ia berumah di atas
pohon Beran Tanyit. Orang itu bernama Tamen
Bungan Apui Jupan. Namun banyak orang tidak
surut untuk mencoba kehebatannya atau menaklukannya.
Salah satunya adalah Tamen Awing Jiwen. Ia berencana
melakukan serangan kepada Bungan Apui.
Suatu ketika, Tamen Awing menyampaikan
keinginannya itu kepada istrinya yang sedang hamil.
“Tundalah rencanamu sampai aku melahirkan. Apalagi
dalam tradisi, ada pantangan suami tidak boleh pergi
perang ketika istrinya hamil,” kata Tinen Awing.
Peringatan itu tak mampu menggoyahkan
keinginan Tamen Awing. Ia tetap bersikeras melakukan
peperangan secepat mungkin, meski istrinya terus
berusaha menghalanginya. “Kalau engkau tetap berniat
pergi, mintalah nasihat terlebih dahulu kepada Pampoq
Umpen Atan. Pergilah ke rumahnya untuk meminta
nasihat,” ujar Tinen Awing.
Setelah didesak terus menerus, hati Tamen Awing
luluh juga. Beberapa hari kemudian, Ia pergi ke rumah
Pampoq Umpen Atan tetua adat di kampung. Setelah
mendengar maksud Tamen Awing, berkatalah Pampoq,
“Baiklah kalau itu maksudmu. Aku akan mencari petunjuk
dahulu. Pulanglah kamu sekarang, besok kembali lagi ke
sini.” Pampoq segera menggelar ritual meminta petunjuk
para dewa. Ia mepersiapkan sesaji dan mulai meminta
petunjuk.
Pada hari berikutnya, datanglah Tamen Awing
untuk mendengarkan hasil ritual yang telah dilakukan
Pampoq.

26 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


“Menurut petunjuk yang kudapatkan, tundalah
keinginanmu sampai istrimu melahirkan. Akan ada kabar
buruk jika engkau melakukan peperangan saat ini,” ujar
Pampoq. Tamen Awing tampak kecewa mendengar
nasihat yang disampaikan. Namun ia tidak goyah
sedikitpun. “Aku akan tetap melakukan penyerangan.
Kamu tidak perlu ikut campur urusanku,” sahut Tamen
Awing sambil meninggalkan Pampoq Umpen Atan.
Setiba di rumah, Tinen Awing sudah menunggu. Ia
ingin segera mendengar kabar dari suaminya tentang
nasihat yang diberikan Pampoq. “Apa yang disampaikan
Pampoq?” ujar istrinya.
“Ia meminta aku untuk menunda terlebih dahulu.
Namun aku akan tetap melakukan penyerangan,” ujar
Tamen Awing. Mendengar jawaban itu betapa kesal istri
Tamen Awing. Maka ia terus berusaha agar suaminya
berubah pikiran. “Jika Pampoq bilang seperti itu, tidak
seharusnya engkau nekat pergi. Ikuti nasihat dia!” ujar
Tinen Awing.
“Tidak, aku tetap mau pergi,” jawab Tamen Awing
sambil meninggalkan sang istri. Namun Tinen Awing tetap
tidak putus asa. Ia kejar suaminya dan meminta bertemu
kembali dengan Pampoq esok harinya. Meskipun dengan
berat hati, Tamen Awing mengikuti keinginan sang istri.
Kali ini Pampoq dipanggil ke rumah. Mereka bertiga
membicarakan rencana kepergian Tamen Awing.
“Ambilkan satu ekor ayam jantan warna hitam.
Ketika ayam itu aku sembelih dan darahnya tidak
berhambur kemana-mana, engkau tidak boleh pergi,” kata
Pampoq. Tamen Awing memenuhi permintaan Pampoq.
Dibawalah ayam jantan hitam dihadapannya. Pampoq
langsung mengadakan ritual sebelum memotongnya.
Ayam itu segera disembelih. Ternyata darahnya tidak
berhambur ke mana-mana ketika pisau Pampoq
memotong leher ayam itu.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 27
“Lihatlah, tidak satu setetes darah pun keluar dari
leher ayam ini. Itu pertanda, engkau harus menunda
rencanamu,” ujar Pampoq menasihati.
Tamen Awing sudah menduga apa yang akan
disampaikan Pampoq. Keinginannya tidak bisa dibendung
lagi. Tamen Awing tetap akan melakukan penyerangan.
Pampoq berpikir Tamen Awing tidak bisa melakukan
penyerangan sendiri. Ia harus ditemani karena jika terjadi
sesuatu tidak ada orang yang memberi kabar pada istri
Tamen Awing.
Pampoq memanggil semua laki-laki yang ada di
kampung untuk membicarakan hal ini. Rapat digelar pada
malam hari dengan pembicaraan yang tampak seru.
Pendapat warga terbelah dua, antara yang setuju
menunda dan setuju berangkat.
Pagi pun tiba. Warga yang setuju melakukan
penyerangan, ikut pergi dengan menggunakan perahu.
Tidak ketinggalan Pampoq. Ia merasa bertanggung jawab
terhadap keselamatan warganya.
Tubuh Pampoq sangat besar, sehingga perahu
selalu tenggelam ketika ia naik. Ia telah berusaha beberapa
kali, tapi selalu gagal. Maka orang-orang kemudian
menggabungkan lima perahu menjadi satu. Setelah itu,
Pampoq baru bisa menaikinya.
Berangkatlah rombongan Tamen Awing menuju
kampung Tamen Bungan Apui. Tiga hari dua malam
mereka menempuh perjalanan menyusuri sungai. Saat
tiba, mereka langsung mendirikan tenda tepat di bawah
rumah Bungan Apui.
Penyerangan mulai dilakukan. Orang-orang
termasuk Tamen Awing bergegas memanjat pohon
dengan peralatan perangnya. Namun Bungan Apui
mengetahuinya. Ia langsung mengeluarkan kekuatannya.
Disemburkanlah api ke arah orang-orang itu. Mereka
berjatuhan seperti semut terbakar api, bergelimpangan.
28 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Pampoq juga ikut melakukan penyerangan, namun
ia masih berada di bawah ketika Bungan Apui
menyemburkan api. Pampoq terjatuh namun tidak
terluka. Ia langsung lari menceburkan diri ke sungai karena
kepanasan, sehingga air di bagian hilir kering sedang di
bagian hulu banjir. Sedangkan mereka yang terjatuh
karena semburan api, sebagian besar langsung mati.
Bahkan yang terluka tidak lama kemudian meninggal
karena terluka parah.
Hanya tersisa enam orang yang selamat, salah
satunya Pampoq. Tubuhnya yang terlalu besar menjadi
masalah bagi orang-orang yang selamat untuk
membawanya pulang. Mereka harus bekerja keras
membawanya naik perahu. Sesampai di kampung,
Pampoq langsung menemui Tinen Awing. “Tamen Awing
tidak kembali. Ia mati, hanya kami berenam yang tersisa,”
ujar Pampoq penuh kesedihan.
Tinen Awing sungguh berduka mendengar kabar
itu. Ia menangis sejadi-jadinya sambil mengelus-elus
perutnya yang berisi jabang bayi, buah kasih sayangnya
dengan Tamen Awing. “Aku sudah katakan agar menunda
penyerangan. Apa yang aku takutkan sekarang benar-
benar terjadi,” ujarnya tersedu.
Pampoq pun tak kuasa menahan tangis. Namun ia
tetap berusaha tegar memberi nasihat kepada Tinen
Awing. “Apa boleh buat, sabar saja. Nanti ada waktunya
untuk membalas.”

***
Beberapa bulan setelah peristiwa duka itu, Tinen
Awing melahirkan seorang anak laki-laki. Selaku Kepala
Adat, Pampoq melakukan ritual pemberian nama. Bayi itu
diberi nama Lencau.
Tinen Awing tidak pernah memberitahu Lencau
mengenai nasib bapaknya. Ia selalu mengatakan,
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 29
bapaknya sedang merantau dan akan pulang satu saat
nanti. Seiring perjalanan waktu, Lencau telah tumbuh
menjadi remaja. Pada saat ia pergi mencari burung
menggunakan sumpit, beberapa anak laki-laki mengolok-
olok kalau ia sudah tidak memiliki bapak. Lencau merasa
resah. Terlebih hampir setiap hari ia menerima olokan
seperti itu.
“Kenapa teman-temanku selalu bilang kalau amai
sudah mati,” tanya Lencau dengan wajah cukup serius.
Namun, mamak-nya tetap menjelaskan kalau bapaknya
sedang merantau. Lencau diminta untuk tidak
menghiraukan hinaan teman-temannya.
Pada suatu hari, Lencau kembali pergi berburu. Ia
merasa kehausan. Ia melihat nenek Pasung sedang
menjemur padi. “Pui ada air kah? Aku haus,” ujar Lencau.
“Ada, masuklah ke rumah dan ambillah,” ujar pui Pasung.
Lencau bergegas masuk rumah dan minum secukupnya,
sambil masih penasaran dengan apa yang disampaikan
teman-temannya dan jawaban mamak-nya.
“Teman-temanku bilang aku sudah tidak punya
amai lagi. Kata mereka, amai sudah mati dalam
peperangan,” kata Lencau pada Pui Pasung. “Apakah
mamak-mu tidak memberitahu hal itu?” tanya pui Pasung.
“Weq bilang kalau amai sedang pergi merantau,” jawab
Lencau. Nenek Pasung kemudian menjelaskan tentang
peristiwa sesungguhnya. Rasa penasaran dalam diri Lencau
terjawab sudah. Lencau segera pulang dan langsung
bertemu mamak-nya.
“Weq, Lencau baru saja berbicara denga Pui
Pasung. Ia mengatakan kalau amai sudah mati dan bukan
merantau,” kata Lencau. Mendengar hal itu, Tinen Awing
sudah tidak bisa lagi menyembunyikan peristiwa yang
sesungguhnya. Ia membenarkan apa yang sudah
disampaikan Pui Pasung.

30 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Tak pelak rasa amarah Lencau mulai muncul. Ia
berjanji akan menuntut balas ketika dewasa nanti. Tinen
Awing sangat khawatir akan hal ini. “Lencau anakku,
engkau tidak perlu membalas dendam. Hal itu memang
menjadi nasibnya. Biarkan itu berlalu,” ujar Tinen Awing
agar Lencau mengurungkan niatnya.
***
Kini Lencau tumbuh dewasa. Keinginan untuk balas
dendam segera diwujudkan. Lencau berpikir, Tamen
Bungan Apui saat ini sudah tua sedangkan ia masih muda.
Lencau menyampaikan keinginan itu kepada mamak-nya.
Tinen Awing sangat khawatir nasib yang sama akan
dialami Lencau. “Mintalah nasihat terlebih dahulu kepada
Pampoq sebelum engkau pergi,” ujar Tinen Awing.
Lencau segera pergi ke rumah Pampoq, yang
letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Melihat
kehadiran Lencau tergopoh-gopoh, Pampoq sudah
menduga apa yang hendak disampaikan. Pampoq
mengajak Lencau duduk di serambi rumah.
“Ada apa cucuku, Engkau datang tergopoh-
gopoh?” tanya Pampoq basa-basi. Lencau langsung
mengutarakan keinginannya. “Aku sudah tumbuh dewasa
dan siap melakukan pembalasan atas kematian amai,” ujar
Lencau penuh keyakinan. “Oh, baiklah. Engkau tunggu di
rumah saja. Besok aku datang,” ujar Pampoq. Kemudian
Lencau bergegas pulang, meski dengan perasaan resah
menanti kedatangan Pampoq.
Keesokan harinya, Lencau dan Tinen Awing sudah
menunggu kedatangan Pampoq sejak pagi-pagi sekali.
Tampak sosok seorang tua berjalan terseok-seok menuju
rumahnya. Pampoq datang menjelang siang. Pampoq
sudah mendapatkan petunjuk dari para dewa. Ia
sampaikan petunjuk itu kepada Lencau dan Tinen Awing.
“Sebelum engkau berangkat, ambillah satu ekor
ayam putih. Mintalah dua gadis bangsawan Awing Tiling
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 31
dan Awing Nyanding untuk mengibas-ngibaskan
sayapnya,” ujar Pampoq. Lencau segera memenuhi
permintaan itu.
Ayam putih sudah dipersiapkan dan ritual pun
dilakukan. Dua orang gadis bangsawan diundang Lencau
datang mengibas-ngibaskan sayap ayam putih. Peristiwa
gaib terjadi. Lencau berubah menjadi lebih perkasa dari
sebelumnya.
***
Satu hari kemudian, Lencau berangkat menuju
rumah Bungan Apui. Ia pergi sendirian. Keinginan
membalas dendam kematian bapaknya sangat kuat.
Sampailah ia di rumah Bungan Apui. Lencau berdiri tepat
di bawah pohon besar yang sangat rimbun. “Inikah rumah
Bungan Apui itu?” pikir Lencau.
Lencau masih belum yakin. Ia berjalan mengitari
pohon itu. Sesekali ia menengok ke atas untuk
memastikan bahwa pohon ini memang rumah Bungan
Apui sesuai petunjuk Pampoq. “Betul ini rumah Bungan
Apui. Bagaimana saya harus berperang?” ujar Lencau
dalam hati.
Niat untuk segera membalas dendam semakin
menggumpal. Lencau bergegas memanjat pohon. Saat
hampir tiba di atas, Lencau mengeluarkan kekuatannya.
Namun Bungan Apui mengetahui adanya serangan yang
datang tiba-tiba. Ia segera membalas dengan
mengeluarkan kekuatannya.
Semburan api ia keluarkan untuk menghalau
Lencau. Setelah berkali-kali mendapat serangan, satu baju
penahan panas yang Lencau kenakan lepas. Lencau
terluka. Ia kemudian turun dan menghentikan
peperangan. “Pantaslah Bungan Apui disegani banyak
orang. Kekuatannya sungguh luar biasa,” ujarnya dalam
hati. Kemudian Lencau berlari pulang dan menceritakan
peperangan yang ia alami pada mamak-nya.
32 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
“Sudah kukatakan, tidak perlu kau pergi membalas
dendam. Bungan Apui orang kuat dan hebat. Biarlah
hanya bapakmu yang menjadi korban,” ujar Tinen Awing.
Namun, seperti bapaknya, Lencau tidak mudah menyerah.
Ia panggil Pampoq untuk datang ke rumah. Ia ceritakan
jalannya peperangan dan satu sisi baju anti panasnya yang
terlepas.
“Ambil ayam putih. Mintalah Awing Tiling dan
Awing Nyanding datang untuk mengibaskan bulu ayam ke
tubuhmu,” ujar Pampoq. Lencau menjalankan semua
perintah. Ritual dilakukan lagi. Lencau memperoleh
kekuatannya kembali.
Satu hari kemudian, Lencau berangkat kembali
mencari Bungan Apui. Begitu tiba, ia mengistirahatkan
tubuhnya sesaat. Setelah dirasa kuat, ia mulai melakukan
penyerangan. Lencau kembali naik pohon dan langsung
melakukan serangan. Bungan Apui tidak tinggal diam. Ia
membalas serangan Lencau dengan semburan api yang
menjadi andalannya.
Peperangan kali ini berjalan seimbang. Setiap kali
Bungan Apui menyemburkan api, Lencau bergerak
menghindar. Beberapa kali Ia berhasil menghindar. Pada
serangan ke empat, Lencau lengah. Semburan api
mengenai tubuhnya. Lencau jatuh dan terluka. Namun ia
masih hidup. “Hebat benar Bungan Apui,” ucap Lencau
sambil mengusap lukanya.
Lencau menghentikan peperangan untuk bertemu
kembali dengan Pampoq dan mamak-nya. Warga
kampung tidak satupun mengetahui peperangan yang
terjadi. Pampoq kembali diundang ke rumah. Seperti
biasanya, ia minta disediakan ayam putih untuk ritual.
Namun kali ini bukan untuk dikibas-kibaskan sayapnya,
tapi disembelih.
“Ayam ini akan aku potong. Jika nanti darahnya
berhambur kemana-mana, engkau boleh berangkat,” ujar
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 33
Pampoq. Ritual segera dilakukan. Tatkala pisau memutus
urat leher ayam, darah pun berhambur. “Segeralah pergi
sekarang. Engkau pasti menang,” ujar Pampoq penuh
keyakinan.
Lencau merasa lega, namun tidak bagi Tinen
Awing. Ia tetap khawatir, meskipun menurut ramalan
Pampoq, anaknya akan menang. Kematian sang suami
masih sangat membekas.
***
Esok paginya Lencau siap berangkat. Penyerangan
kali ini tidak dilakukan sendiri. Ia disertai beberapa orang
kampung yang dipilihnya. Mereka hanya akan
menyaksikan jalannya peperangan.
Setiba di kampung Bungan Apui, Lencau langsung
naik pohon dan melakukan penyerangan. Bungan Apui
sudah mempersiapkan diri. Ia langsung menyemburkan
api. Pertempuran kali ini lebih hebat dari sebelumnya.
Beberapa kali Bungan Apui melakukan serangan, tapi
Lencau mampu menghadang dengan baju anti api yang
mampu memadamkan serangan api yang datang bertubi-
tubi.
Lencau terus bergerak naik mendekat. Kekuatan
Bungan Apui tampaknya tidak mampu mengalahkan baju
yang dipakai Lencau. Lencau semakin mendekat. Saat
lengah, Lencau mengayunkan mandaunya. Bungan Apui
jatuh terkapar dan mati. Warga kampung yang
menyaksikan peperangan itu, terkagum dengan kekuatan
yang dimiliki Lencau.
Lencau tampak kelelahan setelah melakukan
peperangan yang sangat menguras tenaganya. Ia
beristirahat pada sebuah ranting yang mampu menopang
tubuhnya. Ia berkehendak naik untuk mengambil kepala
bapaknya. Lalu dengan sisa tenaga yang dimiliki, Lencau
naik ke atas dan masuk rumah Bungan Apui. Ia

34 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


menemukan sangat banyak tengkorak kepala manusia.
Hal ini menunjukkan keperkasaan Bungan Apui.
“Aduh, mana kepala amai?” ujar Lencau. Ia
kebingungan, tidak tidak tahu mana kepala bapaknya di
antara sekian banyak tengkorak. Selama ini Ia belum
pernah melihat bapaknya. Ia kemudian bersenandung
untuk memanggil arwah bapaknya,“Oh, Amai, mana
kepalamu, Lencau mau ambil. Lencau mau ajak amai
pulang. Di mana tulang amai jatuh, beritahu aku, biar
kupungut agar menjadi satu kembali.”
Usai bersenandung, tulang-tulang bapaknya berge-
rak saling mendekat, kemudian saling menyambung
menjadi satu tubuh. Raga bapaknya kembali utuh namun
rohnya belum, karena masih disimpan Bungan Apui dalam
kiran jangin.
Lencau berusaha menemukannya. Ia berputar-putar
mencari kotak penyimpan roh. Akhirnya, Lencau berhasil
menemukannya. Ia segera mengguncangkan peti itu agar
rohnya keluar. Tak lama kemudian roh Tamen Awing
keluar dan langsung bersemayam dalam raganya yang
sudah menyatu. Tubuh bapaknya kembali utuh seperti
sediakala. Lencau kemudian membawanya turun untuk
diajak pulang ke rumah.

Sementara itu, Tinen Awing sudah sangat gelisah.


Tiga hari lebih Lencau belum pulang dan tidak ada kabar
sama sekali. Ia terus menunggu di depan rumah. Tiba-tiba,
terlihat dua sosok laki-laki dan beberapa orang di
belakangnya datang dari arah hulu sungai. Ia langsung
berdiri melihatnya. Warga kampung bersorak-sorai ketika
rombongan Lencau lewat. Samar terlihat Lencau
menggandeng seorang laki-laki.
“Tamen Awing,” teriak Tinen Awing. Ia usap
matanya berulang kali agar penglihatannya lebih jelas. “Ia
betul Tamen Awing, suamiku,” ujarnya terbata-bata.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 35
Melihat suaminya pulang, Tinen Awing terdiam
tidak mampu berucap sepatah kata pun. Lalu, mereka
berpelukan penuh rasa haru. Tinen Awing sangat bahagia
karena Lencau berhasil membawa pulang bapaknya.
Kemudian, pesta kemenangan digelar untuk merayakan
kebahagiaan yang mendalam.
Keluarga Lencau kini kembali utuh. Beberapa bulan
kemudian, Lencau berencana mencari teman hidup. Ia
sudah berkeliling kampung, namun tidak menemukan satu
gadis pun yang diidamkan.
Lencau kemudian datang ke rumah Pampoq untuk
meminta nasihat. Pampoq menunjuk Awing Nyanding,
gadis terakhir yang mengibas-ngibaskan sayap ayam
sebelum Lencau pergi berperang, untuk dijadikan istri.
Lencau pun setuju. Awing Nyanding juga berkenan ketika
Lencau meminangnya. Kemudian, mereka menikah.
Genaplah sudah kebahagiaan keluarga Tamen Awing. (*)

36 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


2. Tamen Buring

A
lkisah pada zaman dahulu, hiduplah seorang
bangsawan bernama Bango’ Ingan dengan tiga
anaknya yaitu Buring, Iping dan Nyanding. Semua
anaknya perempuan. Bangsawan itu juga akrab
dipanggil Tamen Buring. Pada satu waktu, ia
terlihat sedang berbincang dengan istrinya, Suling
Belawan. Ia mengutarakan keinginannya untuk melakukan
balas dendam atas kematian bapaknya yang dibunuh
Jalung Buloq Atung. Bapak Bango' Ingan dibunuh ketika ia
masih kecil.
Suling Belawan sangat khawatir tentang rencana
suaminya. “Sebelum melakukan penyerangan, datanglah
ke Laking Kiok untuk minta nasihat,” ujar Suling Belawan.
“Wahai istriku, Aku rasa tidak perlu meminta nasihat.
Jumlah kita lebih banyak. Kita akan menang dengan
mudah,” ungkap Tamen Buring penuh dengan percaya
diri.
“Aku rasa, tidak ada salahnya kalau engkau datang
ke sana. Bukankah apa yang ia katakan, selalu benar,”
ungkap Suling Belawan. Setelah didesak dan dibujuk terus
menerus, akhirnya hati Tamen Buring luluh juga. Suling
Belawan merasa lega. Ia berharap, nasihat Laking Kiok
dapat merubah rencana suaminya.
Saat itu, Suling Belawan sedang mengandung anak
yang keempat. Menurut kepercayaan masyarakat,
pantang bagi seorang suami melakukan penyerangan
tatkala Istri sedang mengandung.
Sesuai janjinya, Tamen Buring beserta beberapa
orang dekatnya datang ke rumah Laking Kiok. “Begini,
Pui. Kami bermaksud menyerang Jalung Buloq Atung.
Bagaimana menurut Pui?” tanya Tamen Buring. Laking
Kiok terdiam dan merenung sejenak. “Kalian tunggu
sebentar di sini,” jawab Laking Kiok memecah
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 37
keheningan. Kemudian Laking Kiok pergi menuju tempat
ritual. Ia pejamkan mata dan membaca mantra untuk
mendapatkan petunjuk.
Tidak lama setelah itu, ia keluar berbicara dengan
Tamen Buring. “Begini, berdasarkan petunjuk dari para
leluhur, lebih baik engkau tunda penyerangan itu. Aku
melihat, akan banyak korban dari warga kita, termasuk
nyawamu. Kekalahan akan engkau dapatkan,” ujar Laking
Kiok menasihati.
Mendengar nasihat itu, raut muka Tamen Buring
tampak kecewa. “Jumlah kita lebih banyak. Kalau kita
menyerang sekarang, pasti akan menang mudah,” sergah
Tamen Buring. “Jika kalian tetap bersikukuh melakukan
penyerangan, terserah saja. Aku hanya menyampaikan
firasat yang aku dapatkan,” jawab Laking Kiok.
Nasihat Laking Kiok, tidak menyurutkan sedikit pun
keinginan Tamen Buring. Berbagai persiapan terus
dilakukan. Ratusan laki-laki yang dipandang kuat dan
memiliki kemampuan dikumpulkan. Semua persenjataan
dan baju perang juga sudah dipersiapkan. Namun nasihat
Laking Kiok memunculkan rasa ragu di antara pengikut
Tamen Buring. Mereka terbelah dua, antara yang sepakat
melakukan penyerangan dan menunda terlebih dahulu.
Kelompok yang ingin tetap melakukan penyerangan lebih
kuat.
***
Tibalah waktu penyerangan sesuai yang
direncanakan. Tamen Buring dan ratusan orang
pengikutnya bergegas berangkat. Keyakinan akan menang
mudah, memberi semangat pada diri mereka. Setelah
menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah
mereka di tempat yang dituju. Saat itu, terlihat beberapa
anak sedang bermain di ujung kampung. Melihat
rombongan yang datang begitu banyak, anak-anak itu
menghentikan permainannya.
38 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Salah seorang pengikut Tamen Buring datang
menghampiri mereka. “Beri tahu kepada kami, siapa
kepala adat di kampung ini?” ujarnya. “Jalung Buloq
Atung,” jawab anak-anak itu. Lalu anak itu diperintahkan
segera menyampaikan kedatangan mereka. Anak-anak itu
segera berlari menuju rumah Jalung Buloq Atung.
“Amai…., Amai, ada rombongan di ujung kampung
mencari amai,” teriak anak-anak itu serentak.
Jalung Buloq Atung langsung ke luar mendengar
teriakan itu. Ia berdiri tegak, kemudian berkata dengan
suara lantang, “Katakan pada mereka, jangan masuk ke
kampung dulu. Mereka harus menunggu dan membuat
tenda di sana, karena di kampung sedang dilaksanakan
ritual pengusiran roh.” Anak-anak itu kemudian bergegas
menyampaikan pesan Jalung Buloq Atung. Tamen Buring
mengikuti perintahnya. Lalu mereka mendirikan tenda
tepat di ujung kampung.
Keesokan harinya, dua orang diutus menemui
Jalung Buloq Atung. Pagi-pagi mereka pergi membawa
pesan ajakan berperang. Jalung Buloq Atung menemui
dua orang utusan dengan sopan. Setelah mendengar
pesan yang disampaikan, ia segera menjawab. “Lebih baik
kalian urungkan niat dan pulanglah. Meskipun jumlah
kami lebih sedikit, belum tentu kalian mampu
mengalahkan aku. Tapi kalau masih tetap mau
menyerang, silakan. Jangan menyesal.”
Dua orang utusan itu segera menyampaikan
jawaban Jalung Buloq Atung. Mereka tetap bersikukuh
untuk berperang. Penyerangan segera dilakukan. Mereka
langsung diperintahkan memasuki kampung. Jalung Buloq
Atung dan pengikutnya sudah siap menyambut
kedatangan Tamen Buring. Kedua kelompok saling
berhadapan. Semua orang terlibat pertempuran. Perang
pun tak terelakan hingga beberapa saat lamanya.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 39


Korban mulai berjatuhan. Bau anyir darah
menyebar di mana-mana. Suara jerit orang terkena
mandau saling bersahutan. Tamen Buring meninggal
dalam pertempuran itu. Melihat Tamen Buring mati, salah
satu wakilnya meminta perang dihentikan. Ia mengangkat
bendera putih tanda kalah. Lalu dengan satu aba-aba,
kedua kelompok saling menghentikan serangan.
Meskipun dengan jumlah yang lebih sedikit, Jalung
Buloq Atung memenangkan perang. Dibawalah kepala
Tamen Buring sebagai simbol kemenangan dan digantung
di tengah-tengah rumahnya. Para pengikutnya yang
terluka dan selamat kemudian dikumpulkan. Setelah
dihitung satu persatu jumlah yang selamat, mereka
sepakat untuk kembali ke kampung.
Lencau Tunyeng dan satu orang lainnya
diperintahkan pulang terlebih dahulu. Ia diminta memberi
tahu warga tentang peristiwa peperangan dan warga
diperintahkan mempersiapkan makanan bagi pasukan
yang akan pulang. Kabar datangnya Lencau Tunyeng
disambut warga. Ia menyampaikan berita kekalahan,
namun tidak menyebut nama-nama korban yang
meninggal. Warga mendesak agar Lencau Tunyeng
menyebutkan mereka yang meninggal. Namun ia tetap
bungkam sesuai perintah yang dipesankan.
Setelah pertemuan itu, warga mulai melakukan
kegiatan sesuai perintah. Waktu yang ditunggu telah tiba.
Warga kampung sudah menunggu di ujung jalan seraya
berharap anggota keluarganya pulang dengan selamat.
Rombongan mulai terlihat di ujung kampung. Mereka
tampak sangat lesu. Warga langsung berhamburan
mencari keluarga masing-masing. Hiruk pikuk suara orang
memanggil-manggil memecah keheningan sore itu seiring
ratap tangis kesedihan.
Suling Belawan terus mencari Bango’ Ingan
suaminya. Satu persatu orang didatangi. Suaminya tetap
40 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
tidak ditemukan. Rasa cemas yang mendalam, meng-
hantui pikirannya. Ia merasa ada firasat buruk. Ia me-
nunggu barisan paling belakang dengan suasana hati
berkecamuk gelisah. Tampak seorang kakek tua terlihat
berjalan tertatih-tatih. Suling Belawan mendekatinya.
“Pui, apakah masih ada orang di belakang,” tanya
Suling Belawan dengan suara lirih. “Sudah tidak ada lagi.
Aku yang terakhir,” jawab kakek itu dengan kepala
tertunduk. Wajah Suling Belawan mendadak pucat. Mulut
tidak bisa berkata apa-apa. Lalu kakek itu berkata,
“Relakan suamimu. Engkau tidak akan menjumpainya lagi.
Ia telah mati. Ayo kita pulang,” ujar kakek dengan suara
terbata-bata.
Tak pelak isak tangis pun tumpah. Lalu dengan
suara melengking nan menyayat, Suling Belawan meratap
nyidau, Waktu kita berdua hidup di dunia ini, engkau
sayang betul padaku. Apa yang aku minta, engkau selalu
memenuhinya. Tidak pernah engkau berkata tidak.
Engkau juga begitu sayang dengan anak-anak. Apa yang
mereka minta, engkau selalu memenuhinya. Ini yang
membuat aku sedih. Engkau kini sudah tidak ada lagi. Aku
tidak tahu bagaimana harus memelihara anak-anak.”
Sementara itu, ketiga anak Tamen Buring sudah
menunggu di depan rumah. Mereka berharap bapaknya
kembali dengan selamat. Ketiganya lari berhamburan
begitu melihat mamak-nya datang dengan derai air mata.
“Mamak, di mana Amai?” tanya Buring dengan rasa
cemas. Kedua adiknya memegang tubuh dan tangan
mamak-nya yang terasa bergetar. Lalu degan suara
terbata-bata Suling Belawan menyampaikan kabar buruk
pada mereka. Pecahlah tangis ketiga anak Bango’ Ingan
yang menambah kesedihan Suling Belawan. Ketiga
anaknya dipeluk erat-erat.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 41


“Bagaimana kita dapat hidup tanpa amai?” tanya
Buring sambil berurai air mata. “Kita harus sabar dan
tabah menghadapi semua ini. Aku akan bekerja demi
kalian semua,” ujar Suling Belawan kepada anak-anaknya.
***
Meski mengalami kekalahan perang, namun warga
tetap akan menggelar pesta syukur yang ditujukan bagi
mereka yang selamat. Pada saat pesta syukur digelar,
Suling Belawan dan ketiga anaknya tidak tampak. Mereka
masih hanyut dalam kesedihan luar biasa. Suling Belawan
mengajak anak-anaknya pergi ke hutan untuk mengusir
kesedihan. Sampailah mereka di satu sungai besar yang
memiliki pusaran air. Saat itulah, Suling Belawan melihat
satu sosok laki-laki gagah sedang berdiri di atas pusaran
air.
”Kalian bertiga tetaplah di sini. Mamak mau turun
ke sungai,” kata Suling Belawan. “Ada apa, mak?” tanya
Buring. “Tidak ada apa-apa. Kalian tunggu saja di sini,”
ujar Suling Belawan. Sebelum turun ke sungai, Suling
Belawan berpesan kepada Buring. ”Ketika mamak nanti
turun ke sungai, jika nanti engkau melihat air sungai
berwarna putih, itu pertanda mamak akan kembali.
Namun jika air berwarna hitam, itu pertanda mamak
tidak akan kembali”.
Buring dan kedua adiknya hanya berdiri termangu
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak tahu persis apa
yang akan dilakukan mamak-nya. Tidak lama kemudian,
turunlah Suling Belawan ke dalam sungai. Ketika turun dia
bertanya kepada anak-anaknya. “Sampai mana aku?”
Jawab Buring, ”Paha, mak.” Kemudian ia bertanya lagi,
“Sampai mana?” Jawab Buring segera “Pusar, mak”. Lalu
Suling Belawan menuruni sungai sambil bertanya lagi
“Sampai mana?”. Kini giliran Iping menjawab “Mulut,
mak”. Sejurus waktu kemudian, ia bertanya “Sekarang

42 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


sampai di mana?” Nyanding pun segera menjawab,
“Mata, mak”.
Seketika itu pula Suling Belawan tiba-tiba hilang.
Air sungai berubah menjadi hitam. Raiblah Suling
Belawan, ditelan air. Buring dan kedua adiknya dirundung
kesedihan mendalam. Isak tangis kembali pecah. Sekarang
mereka yatim piatu. Lalu Buring mengajak kedua adiknya
untuk pergi dari kampung karena mereka sudah tidak
memiliki orangtua lagi.
“Adikku, apakah kita mau pulang kampung, atau
kita berjalan saja menyusuri hutan belantara? Kita sudah
tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” tanya
Buring. ”Engkau saja yang memutuskan, kami ikut apa
yang engkau katakan,” jawab Iping. Akhirnya, mereka
bersepakat tidak pulang ke kampung. Lalu mereka
berjalan menyusuri rimbunnya hutan belantara tanpa
bekal apa pun.
***
Setelah berjalan beberapa lama, Nyanding mulai
kelaparan dan kehausan. Tiba-tiba samar terdengar suara
burung Merak dari kejauhan. “Itu ada suara burungnya.
Ayo kita ke sana,” ajak Iping. Sambil berlari-lari kecil,
mereka mendekat ke arah suara tersebut. Ketika
mendekat, burung itu sudah tidak ada lagi.
Buring melihat ada satu bunga tergeletak di bekas
burung Merak berdiri. Rupanya burung itu meninggalkan
sesuatu. Nyanding sudah sangat haus dan lapar. Ia makan
bunga itu dengan lahapnya. Tiba-tiba tubuhnya kejang-
kejang. Ia meninggal dalam pangkuan Buring. Pecahlah
tangis Buring dan Iping menyesali kematian adiknya,
namun tidak akan membuat adiknya hidup kembali.
Nyanding dikubur dengan galian makam yang
tidak terlalu dalam, sehingga sebagian tubuhnya tampak
menyembul. Kemudian, Buring dan Iping melanjutkan
perjalanannya. Tidak lama kemudian, burung Merak itu
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 43
kembali lagi. Ia berdiri tepat di atas makam Nyanding. Ia
melihat ada seonggok tubuh manusia. Ia kepakkan kedua
sayapnya untuk menyingkirkan tanah yang menyelimuti
tubuh Nyanding, sambil terus berkicau ”Kung kuwai anak
palo matai... Kung kuwai anak palo matai....”
Tanah yang menyelimuti tubuh Nyanding, lama
kelamaan terbuka. Tubuh Nyanding mulai kelihatan utuh.
Burung Merak itu terus mengepakkan sayapnya agar
Nyanding bisa bernafas. Tidak lama setelah itu, Nyanding
hidup kembali.
”Siapa namamu? Apakah engkau memiliki
saudara?” tanya burung Merak. ”Namaku Nyanding,
saudaraku Buring dan Iping,” jawab Nyanding. Kemudian
burung Merak itu berkicau dengan keras memanggil
binatang lainnya, “Hai, datanglah ke sini! Ini ada anak
manusia. Cobalah datang ke sini melihatnya!”
Tidak beberapa lama, beberapa binatang datang.
Satu persatu mereka melihat Nyanding. ”Apakah kalian
tahu anak ini?” tanya burung Merak. Namun tidak satu
pun yang mengenal Nyanding. “Kalau begitu, siapa yang
bisa mengantar anak ini ke saudaranya?” tanya burung
Merak. Semua terdiam. Tidak ada satu pun yang bersedia
mengantar. Tiba-tiba datanglah burung Gagak hitam
sambil berkata lantang, ”Aku bersedia mengantar anak
ini.”
Burung Gagak hitam itu lalu menggendong
Nyanding. Sambil terbang, ia berkicau di sepanjang
perjalanan, “Buring pekena sadim ading. Kelet Lucau Kelet
Lingau Abun Buding. (Buring, tunggu adikmu ini dulu)”
Terperangahlah Buring dan Iping tatkala mendengar suara
itu. “Dengarlah ada suara memanggilmu. Mungkin itu
suara Nyanding. Kita tunggu di sini” pinta Iping.
Suara itu terdengar semakin mendekat. Burung
Gagak hitam itu melihat Buring dan Iping. Lalu turunlah ia
dan menyerahkan Nyanding kepada mereka berdua.
44 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Buring dan Iping tampak kaget, adiknya hidup kembali.
Nyanding kemudian bercerita tentang pertemuannya
dengan burung Merak yang membuatnya hidup kembali.
Mereka kembali utuh seperti semula. Perjalanan pun
segera dilanjutkan. Suatu saat, mereka melihat rumah
tinggi dengan tiang yang panjang. Penuh rasa keheranan,
mereka melihat-lihat sekeliling rumah. Namun tak seorang
pun ditemuinya.
“Bagaimana kalau kita cari orang yang punya
rumah ini?” tanya Buring pada adik-adiknya. Iping dan
Nyanding mengangguk setuju. Mereka sudah terlalu lelah
dan ingin segera beristirahat. ”Siapa yang punya rumah
ini?” teriak Buring keras-keras.
Seorang gadis bernama Bungan Malai mendengar
teriakan Buring. Ia melihat Buring dan dua adiknya dari
jendela. “Ini rumah Ulong Pengetak,” sahutnya.
“Bolehkah kami singgah di rumah ini?” tanya
Buring. ”Boleh. Sebentar aku ambilkan tangganya,” jawab
Bungan Malai. Tidak lama setelah itu, mereka naik ke
rumah dan tidak mengetahui bahwa orangtua Bungan
Malai adalah raksasa pemakan manusia. ”Kecilkanlah
kedua adikmu, lalu masukkan ke dalam belaung. Kalau
orang tuaku melihat kalian bertiga, kalian pasti akan
dimakannya,” ujar Bungan Malai.
Buring tampak terkejut dan ketakutan mendengar
penjelasan itu. Tanpa berpikir panjang, Buring
mengecilkan kedua adiknya lalu ia masukkan ke dalam
belaung sesuai saran Bungan Malai.
“Kalian tentu lapar, ayo kita makan sekarang!” ajak
Bungan Malai. Kemudian Bungan Malai mengajak Buring
ke dapur. Ia sangat ketakutan ketika melihat beberapa
potongan tubuh manusia tergeletak di beberapa tempat.
Ia bertambah kaget ketika membuka periuk nasi, ia dapati
potongan tubuh manusia yang sudah direbus dan siap

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 45


dimakan. Tidak ada nasi sedikit pun di dalamnya. Selera
makan Buring langsung hilang.
Buring lalu pergi ke belakang untuk melihat situasi
rumah. Ia dapati banyak tempat untuk mengurung
manusia. Pada saat itu tampak ada beberapa orang yang
masih hidup. ”Mengapa kamu masuk rumah ini? Hati-
hatilah karena engkau pasti akan dijadikan santapan oleh
Ulong Pengetak,” pesan salah seorang yang ada di dalam
kurungan.
Mendengar nasihat itu, Buring amat ketakutan.
Jiwanya merasa terancam. Tubuhnya akan dipotong-
potong dijadikan santapan keluarga Ulong Pengetak,
seperti yang ia lihat di dapur. Buring berpikir dengan keras
mencari cara menyelamatkan diri. Pada saat pikirannya
masih berkecamuk resah, terdengar samar suara orang
berjalan dengan menggunakan tongkat. Dum..., dum…,
dum..,. bunyi tongkat yang menyentuh tanah. Lambat
laun suara terdengar makin keras. “Lihatlah mereka sudah
pulang,” ucap Bungan Malai kepada Buring sambil
menunjuk kedua orang tuanya.
Buring terpana kaget dan takut luar biasa. Seluruh
tubuhnya bergetar, melihat dua sosok raksasa berjalan
menuju ke rumah. Beberapa ekor anjing sebesar kerbau,
ikut mengiringinnya. Saat itu Ulong Pengetak dan istrinya
membawa satu tubuh manusia yang sudah meninggal.
“Bungan, tolong ambilkan tangga!” teriak Ulong
Pengetak. Setelah diambilkan tangga, keduanya bergegas
naik dan disambut Bungan Malai.
“Aku punya teman baru,” kata Bungan pada
mamak-nya. ”Oh, baiklah kalau engkau sudah punya
teman. Siapa namanya,” tanya mamak-nya. “Bungan
Sakay,” jawab Bungan Malai. Saat memperkenalkan diri,
Buring tidak memberikan nama aslinya. Ia mengaku
bernama Bungan Sakay.

46 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


“Oh baiklah. Masaklah untuk Bungan Sakay
sekarang,” pinta mamak Bungan Malai. Kemudian Bungan
Malai pergi ke dapur dan segera memasak di bak besar
seperti yang pernah Buring lihat sebelumnya.
Buring terus berpikir, mencari cara untuk keluar
dari rumah. Di tengah lamunannya, terdengar perintah
Ulong Pengetak kepada Bungan Malai ”Makanlah dulu
dengan temanmu.” Buring tentu saja tetap tidak mau
makan. “Kenapa engkau tidak makan? Tidak laparkah
engkau?” tanya Ulong Pengetak tanpa menunggu jawaban
Buring. Tidak lama setelah itu, Ulong Pengetak dan
istrinya hendak beristirahat, lalu ia berpesan kepada
Buring.
“Nanti engkau tidur berdua dengan Bungan Malai.
Engkau di sebelah sini dan Bungan Malai di dekat
dinding,” ujarnya. “Baik, Amai,” jawab Buring. Namun
Buring teringat pesan orang dalam kurungan yang ia
temui. Mata Buring terus terjaga agar ia tidak tertidur.
Tiba-tiba muncullah ilham.
***
Sebelum tidur, Buring mengambil selimut yang
dipakai Bungan Malai dan menukar posisi tidurnya.
Sekarang posisi berubah dan ia berharap, Ulong Pengetak
tidak mengetahuinya. Saat dini hari tiba, Ulong Pengetak
dan istrinya bangun. Satu kuali besar sudah dipanasi untuk
memasak Buring. “Ah, ini makanan paling enak untuk kita
berdua,” ucap Ulong Pengetak pada istrinya.
Ulong Pengetak bergegas pergi menengok tempat
tidur anaknya dan ingin segera mengambil Buring. Bungan
Malai tertidur pulas dan tidak menyadari kalau posisinya
sudah berpindah. Ulong Pengetak langsung masuk ke
kamar. Ia masih belum menyadari kalau Buring sudah
berpindah posisi tidur. Tanpa sadar, ia angkat anaknya
sendiri lalu dimasukkan ke dalam kuali yang mendidih.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 47


Seketika itu pula terdengar suara teriakan ”Ayai
Amai…, ayai Amai (aduh bapak…., aduh bapak)”.
“Mengapa kamu panggil aku amai? Kamu bukan
anakku,“ sergah Ulong Pengetak. Ia masih belum
menyadari kalau yang ia masak adalah Bungan Malai. Ia
terus melanjutkan merebus anaknya sampai selesai.
Sejurus waktu kemudian ia membangunkan Buring
yang disangkanya Bungan Malai “Ayo bangun, amai
sudah masak. Ayo makan segera,” ujarnya. ”Saya masih
kenyang, makanlah duluan,” jawan Buring dengan suara
perlahan.
Ulong Pengetak dengan istrinya segera makan
dengan sangat lahap hingga kekenyangan. “Kita sudah
kenyang, ayo tidur lagi,” ajak Ulong Pengetak pada
istrinya. Ketika keduanya terlelap tidur, Buring mencoba
lari. Ia turunkan tangga pelan-pelan agar tidak
membangunkan mereka. Pada saat itu Buring melihat
beberapa ekor anjing raksasa tertidur di bawah. “Kalau
anjing ini bangun, pasti aku akan langsung disantapnya,”
pikir Buring dalam hati.
Buring menuruni tangga dengan sangat hati-hati.
Ketika kakinya telah menyentuh tanah, ia berjalan
mengendap-ngendap pelan. Untunglah anjing raksasa itu
tidak terbangun. Setelah dirasa aman, ia langsung lari
sekuat tenaga menuju arah hutan. Buring berhasil lolos
dan selamat dari santapan Ulong Pengetak dan anjing
penjaganya. Ia terus berlari sekuat tenaga menembus
hutan belantara. Ulong Pengetak terbangun ketika Buring
sudah jauh.
“Malai..., Malai..., ayo bangun dan makan. Hari
sudah siang!”, panggil Ulong Pengetak membangunkan
anaknya. Namun tak ada suara jawaban sama sekali. “Ah
tidak seperti biasanya, Malai masih tidur hingga siang hari.
Aneh?” gerutu Ulong Pengetak. Namun mereka terus

48 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


memanggil anaknya beberapa kali. Namun tetap tidak
ada jawaban, lalu mereka pergi ke kamar Bungan Malai.
“Astaga, di mana Malai? Apakah anak yang aku
masak tadi Malai bukan temannya?” pikir Ulong
Pengetak. Kemudian mereka terus mencari Bungan Malai
hingga ke sudut-dudut rumah. Namun tetap tidak
menemukannya. Mereka tersadar bahwa yang mereka
masak adalah Bungan Malai, anaknya sendiri.
Kedua raksasa itu murka luar biasa. Mereka sangat
marah telah ditipu Buring. Mereka langsung turun dan
mengejar Buring sekuat tenaga. Anjing raksasanya juga
ikut mengejar. Buring terus berlari sekuat tenaga dengan
membawa dua adiknya yang masih ada dalam belaung. Ia
kemudian mengeluarkan kedua adiknya setelah agak jauh
dan dirasa sudah aman.
***
Tentu saja Iping dan Nyanding merasa bingung.
Mereka tidak tahu ada di mana. Saat mereka masih
dilanda kebingungan, terdengar suara kaki raksasa menuju
arah mereka. “Lari.....,” teriak Buring sambil menarik
kedua tangan adiknya. Mereka terus berlari menghindari
kejaran Ulong Pengetak yang sedang murka. Hingga
mereka tidak menemukan jalan untuk berlari lagi, karena
di depannya terbentang sungai besar dan dalam.
Mereka tidak putus asa, bergegas mereka susuri
sungai dengan perasaan cemas. Tak lama kemudian,
mereka melihat seseorang berperahu di seberang sungai.
“Amai..., Amai..., tolong. Kami dikejar raksasa. Cepat
seberangkan kami!” teriak Buring sekuat tenaga untuk
meminta pertolongan. Namun suara teriakan itu tidak
terdengar cukup jelas karena jaraknya cukup jauh.
“Tunggu dulu! Amai angkut padi ini dulu karena
mau hujan,” teriak orang itu sambil mengambil padi yang
baru dijemur. Buring dan kedua adiknya sangat ketakutan.
Anjing raksasa sudah semakin dekat, bahkan suara
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 49
teriakan Ulong Pengetak terdengar semakin keras.
“Tolong kami sekarang, Amai! Cepat kemari. Raksasa itu
mengejar kami. Mereka mau membunuh kami. Cepat,
Amai!” teriak Buring semakin lantang.
Teriakan Buring didengar dengan baik. Perahu
diarahkan menjemput Buring. Orang itu juga mendengar
suara dum..., dum…, dum... yang menandakan langkah
kaki raksasa itu kian mendekat. “Ayo cepat naik!
Cepat...cepat...!” perintah orang itu. Mereka langsung
melompat ke perahu, kemudian orang itu bergegas
mendayung perahu dibantu Buring. Saat mereka sampai di
tengah sungai, kedua anjing raksasa itu datang dan
menggonggong dengan suara keras. Ulong Pengetak dan
istrinya segera berlari menyusul. Namun wajah mereka
tampak kecewa, karena buruannya sudah menyeberang
sungai. Buring dan kedua adiknya selamat.
“Kalian mau ke mana?” tanya orang tua itu. “Kami
tidak tahu mau ke mana,” jawab Nyanding. Lalu Buring
menceritakan nasib yang mereka alami. Orang tua itu
merasa iba lalu menawarkan agar mereka bersedia tinggal
bersamanya. Namun Buring bersikukuh melanjutkan
perjalanan, meski orang tua itu berusaha mencegahnya.
Sementara itu, Iping dan Nyanding sudah terlalu lelah dan
mau menerima tawaran orangtua yang baik hati itu.
Mereka bersepakat istirahat satu malam. Saat pagi
tiba mereka sudah bersiap meneruskan perjalanan. Setelah
makan pagi, Buring memohon izin melanjutkan
perjalanan. Orang tua itu dengan berat hati mengizinkan
mereka meneruskan perjalanan. “Baiklah, aku tidak bisa
mencegahmu. Bawalah bekal ini. Jika engkau kembali, aku
menerima dengan senang hati,” ujar orang tua itu.
Kemudian mereka berjalan kembali menyusuri hutan
belantara tanpa tujuan.
Mereka sudah berjalan selama dua hari satu
malam. Tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Iping
50 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
meminta untuk istirahat. “Iping sudah capai. Nanti
istirahat saja jika bertemu dengan orang lagi,” pintanya.
“Iya, adikku,” jawab Buring sambil mengajak kedua
adiknya terus berjalan. Tidak lama setelah itu, samar
terdengar suara arus sungai. “Dengar, itu ada sungai. Ayo
ke sana! Siapa tahu ada orang di sana,” pinta Iping sambil
menggandeng Buring menuju ke arah sungai.
Mereka bertiga langsung pergi ke sungai. Tampak
terlihat sosok nenek perempuan sedang menjemur padi.
Iping dan Nyanding terlihat sangat bahagia. Nenek itu
terlihat kaget, melihat mereka tiba-tiba muncul dari dalam
hutan. “Hantu…., hantu!” teriak nenek ketakutan. Ia
amati serius ketiga anak itu. Buring, Iping dan Nyanding
tertawa melihatnya. “Maaf, kami sudah membuat nenek
ketakutan,” ucap Buring. “Oh iya, engkau dari mana dan
mau ke mana?” tanya nenek itu. Buring kemudian
memperkenalkan dirinya serta asal muasal mereka.
Mendengar penjelasan itu, nenek yang bernama Urei Iyut
sangat terharu dan iba.
“Bolehkah kami tinggal bersama nenek?” pinta
Buring. ”Baiklah, nenek akan angkat padi ini dulu.
Mungkin sampai sore. Kalian bisa tunggu di sini,” jawab
nenek Urei Iyut.
Kemudian Urei Iyut melanjutkan pekerjaannya.
Buring, Iping dan Nyanding menunggu sambil beristirahat.
Sejurus kemudian, nenek Urei Iyut berkata, “Ayo kita
pulang. Jika kalian mau tinggal bersamaku, nenek sangat
senang, karena nenek tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap
Urei Iyut. “Tapi Kami nanti tidak bisa membantu nenek,”
ucap Nyanding. “Janganlah berpikir tentang itu. Nenek
bisa bekerja sendiri. Apa yang nenek hasilkan cukup buat
kita,” jawab Nenek Urei Iyut. Buring, Iping dan Nyanding
sangat bahagia mendapat jawaban itu. Sejak saat itu,
mereka tinggal di rumah Urei Iyut.
***
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 51
Hari demi hari mereka lalui bersama Urai Iyut.
Buring dan dua adiknya sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Buring sekarang tampak sudah tumbuh dewasa.
Wajah cantiknya mulai terlihat. Pada suatu hari, saat
Buring dan kedua adiknya mandi di sungai, ada seekor
katak besar (wangkup) yang melihatnya.
”Wah, cantik betul anak-anak ini. Aku dengar Suit
Lirung dan Jalung Ila belum punya istri. Nanti aku akan
memberitahu mereka berdua,” kata wangkup dalam hati.
Kemudian wangkup berjalan ke kampung Suit Lirung dan
Jalung Ira untuk bertemu mereka. “Apakah kalian berdua
sudah beristri?” tanya wangkup ketika bertemu Suit Lirung
dan Jalung Ira. “Belum punya. Siapa yang mau sama
kami?” jawab Suit Lirung. Wangkup lalu bercerita kepada
mereka tentang Buring yang ia lihat ketika mandi di
sungai. ”Ah, seperti apa mereka itu? Ayo kita pergi ke
sana!” ajak Suit Lirung kepada Jalung Ila.
Beberapa hari kemudian, mereka pergi ke kampung
untuk menemui Urei Iyut. Mereka melihat Iping dan
Nyanding sedang bermain di luar. ”Maaf, dengan siapa
kalian tinggal di sini?” tanya Suit Lirung. “Tinggal dengan
nenek Urai Iyut,” jawab Iping. “Di mana beliau?” lanjut
Jalung Ila. “Nenek sedang mengambil kayu,” tambah
Iping. “Bisakah engkau panggilkan pui?” pinta Jalung Ira.
Iping kemudian menemui Urai Iyut dan ia segera
menemui dua tamunya setelah menyelesaikan pekerja-
annya. “Maafkan nenek karena kalian harus menunggu
agak lama. Nenek selesaikan dulu pekerjaan di belakang,”
ujar nenek Urai Iyut. Pada saat itu Buring sedang ada di
belakang. Nenek Urai Iyut memanggil dan minta kepada
Buring untuk mengambil nanas, tebu dan pepaya untuk
tamunya.
Buring lalu pergi ke belakang sesuai permintaan
Urai Iyut. Perbincangan lalu dilanjutkan. Urai iyut
memahami maksud kedatangan mereka. “Kalian berdua
52 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
sedang mencari teman hidup, bukan? Dari tiga anak gadis
ini, hanya Buring yang bisa. Dua adiknya masih terlalu
kecil. Bagaimana?” ujar nenek Urai Iyut. Suit Lirung dan
Jalung Ila saling berpandangan. Mereka berdua
tampaknya tertarik dengan kecantikan Buring.
Perbincangan terus berlanjut. Tidak terasa, malam
pun tiba. “Ini sudah larut malam. Tak baik kalian pulang.
Tidurlah di sini sambil menunggu pagi,” kata Urai Iyut
memecahkan kebekuan suasana. Maka, Suit Lirung dan
Jalung Ila tidur di rumah Urai Iyut untuk malam itu.
Buring mempersiapkan tikar untuk mereka berdua.
Suit Lirung dan Jalung Ila membicarakan
pernyataan Urai Iyut. Mereka saling berebut mendapatkan
Buring. Pada saat itu, Buring mendengar pembicaraan dan
Suit Lirung melihat tanpa sengaja. “Kemarilah, kami
berdua sedang berbicara tentang dirimu. Kami sama-sama
ingin meminangmu. Bagaimana ini?” ujar Suit Lirung.
Buring merasa bingung mendapat pertanyaan itu.
“Kalau kalian ingin meminang, tentu tidak bisa.
Harus ada yang mengalah. Nanti saya bicarakan dengan
nenek,” jawab Buring. Malam semakin larut, mereka lalu
beristirahat. Keesokan harinya, Buring menceritakan
pembicaraan semalam kepada Urai Iyut. “Nanti aku akan
berbicara dengan mereka. Kamu siapkan makan saja untuk
mereka,” pinta nenek Urai Iyut.
Buring mempersiapkan makan untuk Suit Lirung
dan Jalung Ila, sebelum mereka pulang. Saat bersantap,
nenek Urai Iyut bertanya, ”Apakah sudah ada keputusan?
Jika belum, pulanglah kalian dan berperanglah. Siapa yang
menang, berhak mendapatkan Buring.” Suit Lirung dan
Jalung Ila saling berpandangan. Tidak terbayangkan,
persahabatan yang terjalin lama, harus berakhir dengan
perang memperebutkan Buring. Namun, karena itulah
jalan satu-satunya, maka mereka sepakat untuk berperang.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 53


Kedua sahabat itu kemudian pulang ke kampung.
Selama perjalanan, keduanya bersikap biasa, seperti tidak
terjadi sesuatu. Padahal mereka pulang untuk berperang
memperebutkan tambatan hati. Suit Lirung dan Jalung Ila
tiba kembali di kampung. Mereka segera mengkabarkan
pada warga tentang rencana itu. “Ah, mereka mau
berperang? Bukankah mereka bersahabat”, gerutu
beberapa orang yang mendengar kabar itu.
***
Waktu terus berlalu. Pada hari yang sudah
ditentukan, warga berkumpul di lapangan yang terletak
di tengah kampung. Mereka tergerak untuk melihat
pertarungan antar dua sahabat. Jalung Ila dan Suit Lirung
berjalan dengan gagah memasuki lapangan.
Pertempuran dimulai. Keduanya saling menyerang
dan menghindar. Pertempuran berjalan seimbang sejak
awal. Sesekali keduanya saling melompat sampai di atas
awan. Pertarungan hari pertama selesai. Keduanya sama-
sama kuat. Pertempuran segera dihentikan menjelang
malam untuk dilanjutkan esok hari.
Warga kembali riuh memenuhi lapangan. Jumlah
warga lebih banyak dibandingkan hari pertama.
Kehebatan pertarungan di antara keduanya, sungguh
menarik perhatian. Pertarungan dimulai. Terjadi saling
serang silih berganti. Baju Suit Lirung pecah dan terjatuh di
tanah terkena tebasan mandau. Saat tengah hari,
pertempuran dihentikan atas permintaan Suit Lirung.
Pertempuran dilanjutkan esok hari. Suit Lirung
tampak terlihat lebih siap. Saling serang dan menghindar
terus terjadi. Saat Jalung Ila lengah, Suit Lirung
mengayunkan mandaunya dan pecahlah baju Jalung Ila.
“Apakah masih mau dilanjutkan?” tanya Suit Lirung.
“Sudah, kita akhiri pertempuran ini. Aku serahkan Buring
kepadamu,” ucap Jalung Ila. Keduanya mengakhiri

54 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


pertempuran dengan berjabat tangan dan saling
berpelukan.
Warga sangat puas melihat pertarungan antara dua
sahabat itu. Meskipun Jalung Ila kalah, warga tetap
menghormatinya. Kemudian, warga disibukkan dengan
persiapan pernikahan Suit Lirung dengan Buring. Pesta
besar-besaran sudah dipersiapkan.
Pada hari yang sudah ditentukan, Suit Lirung
disertai para tetua kampung pergi menjemput Buring.
Rombongan ini berangkat pagi hari menggunakan
beberapa perahu. “Nenek, aku datang menjemput
Buring,” kata Suit Lirung begitu tiba di rumah Urai Iyut.
“Aku sudah tidak berhak lagi atas Buring. Aku serahkan
kepadamu,” jawab nenek Urai Iyut. Melihat rombongan
yang datang untuk menjemput kakaknya, Iping dan
Nyanding pun sangat khawatir.
”Bagaimana dengan kami jika engkau pergi? Kami
sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap Nyanding
tersedu. ”Kakakmu sekarang sudah mempunyai teman
hidup. Kalian berdua bisa ikut kakakmu,” jawab Urai Iyut
menenangkan. Akhirnya, Buring dan Suit Lirung menikah
dengan pesta meriah. Iping dan Nyanding tinggal bersama
Buring hingga dewasa. Keluarga Suit Lirung dan Buring
hidup penuh kebahagiaan sampai akhir hayat. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 55


3. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung

T
ersebutlah kisah dua kakak beradik, Sulimerang sang
kakak dan adiknya bernama Ujung Tunan Arung.
Sejak kecil mereka hidup tanpa kedua orang tuanya.
Mereka tinggal di hutan belantara yang sangat
terpencil. Tidak ada satu manusia pun yang pernah
mereka temui selama ini. Hanya sekumpulan binatang
yang mereka kenal. Mereka berperilaku layaknya seekor
hewan. Apa yang dimakan hewan, itulah yang mereka
makan.
Pada suatu hari, mereka terlibat dalam sebuah
percakapan. “Mengapa tubuh kita berbeda dengan
mereka?” ucap Sulimerang. “Ya, itu juga yang menjadi
pertanyaanku dari dulu. Kita tidak pernah bertemu
makhluk seperti kita di hutan ini,” jawab Ujung Tunan.
Mereka gelisah dan ingin ke luar hutan untuk menemui
manusia.
“Ke mana kita harus pergi?” tanya Ujung Tunan.
“Sebaiknya engkau pergi ke arah hulu dan aku akan pergi
ke arah hilir,” usul Sulimerang. Sesuai waktu yang
disepakati, mereka bersiap ke luar hutan belantara.
Sebelum berpisah, Sulimerang memberi adiknya sebuah
batu kecil seukuran ibu jari.
“Bawalah batu ini ke mana pun engkau pergi. Jika
nanti ada masalah, batu ini akan memberi tahu kepada
kita lewat mimpi. Kelak jika aku menghadapi masalah,
engkau akan datang kepadaku. Pun demikian sebaliknya.
Semoga semesta merestui dan kita akan bertemu
kembali,” pesan Sulimerang. “Baiklah,” jawab Ujung
Tunan Arung sambil melihat dan memegang erat batu
berkhasiat itu.
Kakak dan adik yang tidak pernah terpisah itu pun
ke luar dari hutan belantara menuju arah yang
berlawanan. Sulimerang telah berjalan melintasi tujuh
56 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
ratus gunung dan lima belas sungai. Ia mampu melintasi
tujuh gunung setiap harinya. Tibalah Sulimerang di
gunung terakhir yang di bawahnya mengalir sungai yang
besar. Pada saat berdiri, ia melihat kampung yang sangat
ramai.
Pada saat bersamaan, ia juga melihat sekumpulan
orang di lapangan saling berlarian dan berebut benda
bulat terbuat dari anyaman rotan. Sesekali terdengar
tepuk tangan dan teriakan. Ia tidak tahu apa yang sedang
dilakukan oleh orang-orang itu. “Mengapa mereka saling
berebut dan tidak bisa menangkapnya? Bodoh betul
mereka,” pikir Sulimerang dalam hatinya.
Sulimerang turun menuju tepi sungai. Segera ia
lompati sungai itu dalam satu kali ayunan. Padahal sungai
itu sangat lebar, memerlukan lima perahu untuk
menyambungkan antara tepi sungai hingga orang bisa
menyeberanginya. Pada saat bersamaan terlihat beberapa
gadis sedang mandi. Sulimerang mendarat tepat di sisi
mereka. Sontak mereka berhamburan. Diambilnya kain
yang ada di dekatnya lalu mereka kenakan dengan
tergesa-gesa.
Mereka kagum melihat sosok laki-laki nan gagah
perkasa berdiri di samping mereka. Warna kulitnya agak
kusam tampak jarang mandi. Rambutnya panjang tidak
terawat. Mereka belum pernah melihat Sulimerang
sebelumnya. Pun demikian Sulimerang. Ia belum pernah
melihat perempuan mandi telanjang. Sulimerang
mendekati gadis-gadis cantik itu tanpa rasa bersalah.
Sementara para gadis berdiri tertunduk malu berselimut
kain yang menutupi sebagian tubuhnya.
”Mohon maaf jika aku membuat kalian terkejut.
Bolehkah aku bertanya, siapakah pemimpin kalian?” tanya
Sulimerang. “Engkau siapa, dari mana asalmu?” tanya
salah seorang gadis. “Aku Sulimerang, berasal dari gunung
sebelah sana.” Jawab Sulimerang sambil menunjuk ke arah
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 57
hilir. Para gadis itu pun berpikir, kampung mereka sedang
kedatangan tamu istimewa dari kampung yang sangat
jauh.
“Pemimpin kami Tamen Lampang Mening. Apakah
engkau mau bertemu?” tanya salah seorang gadis
berambut ikal mayang. “Ya, aku mau bertemu,” jawab
Sulimerang. Sebelum gadis itu beranjak, Sulimerang
melanjutkan pertanyaan. “Aku melihat orang saling berlari
dan berebut benda bulat. Kenapa mereka tidak bisa
menangkapnya saja?” tanya Sulimerang. Mereka saling
tersenyum karena menganggap Sulimerang sedang
bergurau.
***
Maka, untuk mengalihkan suasana, salah seorang
dari gadis itu berkata “Ah, sudahlah, mari kami antar ke
sana. Kebetulan tamen sedang berada di sana.” Lalu
mereka berjalan beriringan. Beberapa gadis itu terlihat
mencuri pandang karena mengagumi ketampanan
Sulimerang. Begitu tiba di tempat, Sulimerang langsung
masuk lapangan tanpa menghiraukan warga yang ramai
menonton. Segera direbutnya benda bulat itu. ”Begini
caranya menangkap benda ini,” teriak Sulimerang. Mereka
yang sedang bermain dan warga yang menonton seketika
terbengong-bengong melihat perilaku orang asing di
hadapan mereka. Lalu mereka mengerumuni Sulimerang.
“Mana pemimpin kalian?” tanya Sulimerang
mereka. Salah seorang di antara mereka menunjuk ke satu
tempat di mana Tamen Lampang Mening sedang berdiri.
Sulimerang langsung datang menghampiri dan
memberikan benda bulat itu kepadanya. “Aku kasihan
melihat mereka saling berebut benda ini,” ucap
Sulimerang. “Siapa namamu, nak, dan darimana asalmu?”
tanya tamen Lampang Mening. Lalu Sulimerang
memperkenalkan diri. Melihat tubuh Sulimerang yang
sangat gagah, Tamen Lampang Mening berucap kepada
58 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
warga, “Kita kedatangan tamu istimewa hari ini. Sudah
selayaknya kita menghormati tamu kita.”
Tamen Lampang Mening kemudian mengajak
Sulimerang pergi ke rumahnya. Sulimerang pun mengikuti
ajakannya. Ia berjalan di belakangnya sambil melihat
sekeliling dengan penuh keheranan. Sepanjang jalan yang
dilalui, banyak orang terbengong melihatnya. “Gagah dan
tampan benar anak ini. Sangat pantas jika menjadi kepala
adat di sini,” ucap orang-orang yang melihatnya.
Tibalah mereka di rumah. Saat itu, Lampang
Mening, anak perempuan satu-satunya Kepala Adat,
terlihat sedang membuat seraung. Ia menyambut
kedatangan Sulimerang dengan menyorongkan tangan
untuk bersalaman. Tak lama kemudian, menyusul mamak-
nya dari belakang yang juga menyambut dengan ramah
kedatangan Sulimerang.
“Engkau datang dengan siapa. Apa tujuanmu?”
tanya teman Lampang Mening untuk mengetahui lebih
jauh tentang Sulimerang. Lalu Sulimerang segera
menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya.
Kepala Adat itu mengangguk-angguk mendengarkan
penjelasan Sulimerang.
“Baiklah, sekarang sudah sore. Sebaiknya engkau
istirahat. Malam ini akan ada tari-tarian untuk
menghormati kedatanganmu. Nanti engkau bisa menari
bersama warga di sini,” ucap Kepala Adat. Sulimerang
tampak kebingungan ketika diminta untuk mandi.
Tampaknya Kepala Adat cukup memahami situasi ini.
Dibimbinglah Sulimerang mandi, satu kebiasaan baru bagi
dirinya. Setelah mandi, Kepala Adat memberinya pakaian
yang layak. Ia tampak gagah luar biasa. Kulitnya terlihat
lebuh bersi. Rambutnya yang panjang terurai sangat elok.
Kemudian mereka makan bersama.
Pesta meriah penyambutan tamu segera digelar.
Kepala Adat memerintahkan segera membunyikan gong
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 59
sebagai pertanda acara menari dimulai. Segera
berdatanganlah warga ke rumah Kepala Adat. “Pada
malam ini, tepat saat pesta panen, kita kedatangan tamu
yang sangat luar biasa. Sulimerang namanya,” ucap Kepala
Adat kepada warga yang hadir. Sulimerang kemudian
berdiri dan warga bertepuk tangan untuknya. Ketika
berdiri, tubuh Kepala Adat tidak sebanding dengan
kegagahan Sulimerang. Warga berpikir, Sulimerang sangat
layak sebagai kepala adat.
“Sesuai dengan tradisi, kita harus menghormati
tamu. Maka kita persilakan Sulimerang menari
sepuasnya,” ucap Kepala Adat dengan lantang. Alat musik
segera dibunyikan. Orang-orang tidak sabar menunggu
Sulimerang menari. Ia membuka tariannya dengan
berputar-putar hingga hampir menyentuh tanah. Sesekali
ia melompat sangat tinggi. Warga yang menonton tampak
terperangah hingga mulutnya ternganga. Mereka sangat
mengagumi tarian Sulimerang.
Tak terasa, dini hari mulai menghampiri. Terdengar
suara ayam mulai berkokok. Sejak Sulimerang menari,
orang-orang tidak beranjak dari tempat duduknya hingga
akhir pertunjukkan. Warga bertepuk tangan riuh ketika
Sulimerang mengakhiri tariannya. Melihat kehebatan
tariannya, orang-orang berkeinginan mengambil
Sulimerang sebagai menantunya. Begitu juga dengan
Kepala Adat yang ingin menjodohkan dengan Lampang
Mening anak perempuan satu-satunya.
Kepala Adat kemudian berdiri dan berbicara ”Tidak
pernah kita mendapatkan tamu sehebat ini. Kita akan
adakan pesta besar-besaran. Aku akan menyembelih 10
ekor babi paling besar dan paling baik yang aku miliki.”
Orang-orang saling bersahutan begitu mendengar
penjelasan Kepala Adat. Mereka saling menyebut jumlah
babi yang mau mereka korbankan. Terdengar suara

60 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


mereka saling bersahutan “Saya dua ekor.... saya tiga
ekor.... saya lima ekor.”
Kepala Adat langsung berbicara pada Sulimerang
yang tampak kebingungan. ”Kita akan adakan pesta
syukur. Aku akan menikahkan engkau dengan anak
perempuanku Lampang Mening,” ucap Kepala Adat.
Namun, Sulimerang tidak mengerti apa yang disampaikan
Kepala Adat. ”Apa itu menikah?” tanya Sulimerang.
Kepala Adat lalu menjelaskan dan Sulimerang
memperhatikan dengan saksama. Ia mengangguk-angguk,
meski tampaknya tidak sepenuhnya memahami.
***
Lampang Mening adalah bunga desa di kampung.
Kulitnya putih, tubuhnya langsing, hidung mancung,
suaranya lembut. Banyak laki-laki yang mengharapkan
bisa menikah dengannya. Kecantikan Lampang Mening
sudah menyebar ke kampung lainnya. Kabar tentang
rencana pernikahan Sulimerang dan Lampang Mening
cepat menyebar. Kabar itu menjadi pembicaraan di antara
para gadis yang saling memperebutkan Sulimerang.
Ketampanan Sulimerang telah membuat banyak
gadis terpikat olehnya. Selain secara fisik ia tampak
sempurna, kepandaianya menari menjadi salah satu
pertimbangan tersendiri. Setiap orang yang melihat
tariannya pasti akan jatuh hati. “Sudahlah Lampang
Mening, buat aku saja Sulimerang. Engkau yang lain saja,”
ungkap salah seorang gadis. “Amai sudah menjodohkan.
Aku hanya mengikuti apa keinginannya,” jawab Lampang
Mening.
Tibalah saat pernikahan. Pesta sudah diadakan
beberapa hari sebelumnya. Tamu undangan terus
berdatangan bak air yang mengalir tanpa henti.
Sulimerang dan Lampang Mening duduk di atas gong.
Sulimerang tampak gagah memancarkan aura
keperkasaan, Lampang Mening tampak anggun
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 61
memesona. Di hadapan mereka tergelar tikar rotan untuk
meletakkan tajau.
Sejak saat itu, Sulimerang resmi menjadi suami
Lampang Mening. Malam pertama yang ditunggu-tunggu
tiba. Tidak seperti layaknya suami istri pada umumnya,
Sulimerang tidak melakukan apa pun kepada istrinya.
Begitu juga dengan malam kedua dan ketiga. Sulimerang
tampak dingin. Padahal Lampang Mening sudah sangat
menginginkan keturunan.
Lampang Mening lalu menceritakan hal itu pada
bapaknya. “Suamimu memang tidak tahu tentang hal itu.
Selama tinggal di hutan, ia tidak pernah bertemu dengan
satu manusia pun. Ajarilah ia agar mengerti dan
mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Jika ia diam
saja, engkaulah yang harus memulainya,” begitu
nasihatnya.
Malam ke empat pun tiba. Lampang Mening
mengikuti saran bapaknya. Diraba-rabalah tubuh
Sulimerang dari atas sampai bawah agar merasakan
kenikmatan. “Mening, jangan pegang-pegang. Aku
panas,” sergah Sulimerang. Lampang Mening terus
menggoda untuk membangkitkan gairah. Berbagai upaya
ia lakukan agar Sulimerang menyentuhnya. “Kenapa
engkau bangunkan aku, ini masih belum pagi,” hardik
Sulimerang yang merasa tidurnya terganggu.
Keesokan harinya Sulimerang mengadukan perilaku
Lampang Mening kepada bapaknya. “Aku mau pergi dari
rumah ini. Lampang Mening menggangguku terus,” ucap
Sulimerang. “Engkau mau pergi ke mana? Bukankah kau
sudah menikah. Engkau tidak bisa pergi tanpa dengan
istrimu,” ujar Kepala Adat. Sulimerang masih tetap belum
memahami hidup sebagai pasangan suami-istri.
Keinginannya meninggalkan kampung, sudah tidak bisa
dicegah lagi. “Aku orang bebas yang bisa pergi ke mana

62 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


pun. Aku akan melanjutkan perjalanan ke kampung lain,”
pikir Sulimerang.
Rencana Sulimerang cepat menyebar. Lalu
beberapa warga meminta agar Sulimerang membatalkan
niatnya. Namun, tidak ada seorang pun yang mampu
mencegah Sulimerang pergi. Sebelum pergi, tamen
Lampang Mening berpesan “Kalau engkau tetap berniat
pergi, buatlah tanda di rumah ini, agar kami terus
mengingatmu.” Sulimerang mengambil bunga dan ia
tanam tepat di samping pintu rumah, lalu mengambil
payung yang dibuat dari daun biru yang diletakkan di
samping bunga yang ia tanam. Kemudian ia berpesan
pada Lampang Mening, “Ini bunga dan payung
kuletakkan di sini. Kalau bunga ini layu, segeralah buka
payung ini.”
Lampang Mening sedih luar biasa. Ia menangis
tiada henti karena harus berpisah dengan suaminya.
Seolah tidak menghiraukan kesedihan istrinya, Sulimerang
berjalan ke arah hilir. Kepergiannya diiringi derai air mata
istri, orang tua, dan warga kampung. Ia berjalan terus
hingga tidak terlihat. Orang-orang masih berdiri terpaku
melihat kepergiannya.
***
Peristiwa yang dialami Sulimerang, juga dialami
Ujung Tunan Arung. Setelah berjalan beberapa hari,
sampailah ia di suatu kampung dan dinikahkan dengan
anak Kepala Adat yang bernama Suling Baweq. Namun
berbeda dengan kakaknya. Setelah menikah, Ujung Tunan
Arung belajar tentang kehidupan berkeluarga. Ia mengerti
tanggung jawab sebagai suami. Mereka hidup berbahagia.
Suatu hari, kebahagiaan Ujung Tunan Arung dan
Suling Baweq terganggu, tatkala tiga puluh perahu dari
kampung hulu, Lepoq Tanyit datang. Mereka mengena-
kan pakaian adat dan senjata lengkap. Rombongan
tersebut membawa anak kepala adat yang akan
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 63
dinikahkan dengan Suling Baweq. Konon ceritanya, telah
ada kesepakatan antara mereka untuk menikahkan Suling
Baweq dengan anak Kepala Adat dari Lepoq Tanyit.
Rombongan ini datang untuk menagih janji yang sudah
disepakati.
Menyaksikan rombongan yang datang, tamen
Suling Baweq ketakutan luar biasa. Ia sadar telah
melanggar janji. “Bawalah istrimu pergi. Segeralah pergi
ke hutan atau ke mana pun yang engkau mau. Kalian
harus ke luar dari kampung secepatnya,” pesan Tamen
Suling Baweq. Namun Ujung Tunan Arung belum
mengetahui ancaman yang akan dihadapi. Kemudian
Tamen Suling menjelaskan maksud kedatangan orang-
orang dari kampung Lepoq Tanyit.
Orang-orang dari Lepoq Tanyit dikenal memiliki
kekuatan yang sangat ditakuti oleh kampung-kampung
lain. Mereka juga dikenal sebagai orang-orang kasar yang
tak segan-segan membunuh. Ujung Tunan Arung
menanggapi dengan tenang dan dingin. Tidak tampak
rasa takut sedikit pun. “Amai tidak perlu takut. Aku tidak
akan lari dari kampung ini. Aku akan hadapi mereka,”
ujar Ujung Tunan. Meskipun mendapat jawaban seperti
itu, rasa khawatir akan keselamatan anaknya terus
menghantui pikirannya.
Suling Baweq juga sangat ketakutan. Ia khawatir
kepala suaminya akan dipenggal dan dibawa ke hulu.
Selagi rasa takut masih menghantui, rombongan itu
mulai berjalan menuju arah kampung. Alunan musik
mengiringi langkah mereka. Anak Kepala Adat yang akan
dijodohkan dengan Suling Baweq, dipanggul dengan
tandu bak seorang raja. Sebelum rombongan masuk
kampung, Ujung Tunan Arung dan mertuanya meng-
hentikan mereka di tengah jalan. Warga bergerombol
berdiri tegak di belakang Ujung Tunan Arung.

64 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


”Sudah cukup sampai di sini saja. Tidak perlu
dilanjutkan masuk kampung. Anakku sudah menikah
dengan laki-laki yang sekarang berdiri di hadapan kalian,”
ujar taman Suling Baweq.
Mendengar penjelasan itu, anak Kepala Adat
langsung melompat dari tandu dengan wajah murka. Ia
merasa telah dikhianati dan tidak dihormati. Tanpa
berkata apa-apa, mandau langsung diayunkan ke arah
leher Ujung Tunan Arung. Mendapat serangan mendadak
seperti itu, warga berpikir Ujung Tunan Arung akan
langsung mati. Ia tidak membawa perlengkapan perang
apa pun. Namun secepat ayunan mandau, secepat itu pula
tangan Ujung Tunan Arung menangkapnya. Mandau itu
digulung-gulung seperti kain dan dilipat-lipat bak kertas
hingga kecil sekali. Lalu ia kembalikan mandau itu pada
pemiliknya. Anak Kepala Adat ternganga tidak mampu
berbuat apa-apa.
“Ini mandaumu kukembalikan. Jangan ganggu
kami lagi. Aku tidak akan menyakiti kalian. Segera bawa
rombongan pulang,” hardik Ujung Tunan. Semua orang
tercengang. Mereka tidak mampu berkata apa-apa. Lalu
mereka memutuskan pulang. Satu per satu mereka
bergegas berjalan pulang. Namun, mereka akan kembali
karena merasa terhina.
Situasi kampung kembali tenang. Namun mereka
tetap waspada akan terjadi serangan balas dendam.
Mereka yakin cepat atau lambat perang pasti akan terjadi.
***

Waktu terus berlalu. Hampir satu bulan tidak ada


gangguan sama sekali. Lalu terjadilah suatu peristiwa,
tatkala Ujung Tunan Arung dan Suling Baweq sedang
mandi di sungai. Pada saat itu sedang musim kemarau.
Tidak tampak hujan di wilayah hulu. Air tiba-tiba meluap

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 65


dan datanglah banjir. “Oh, mengapa banjir datang tiba-
tiba?” gumam Ujung Tunan dalam hati.
Ujung Tunan Arung langsung melihat arah hulu. Ia
tersontak kaget melihat perahu berderet seperti ular
dalam jumlah yang sangat banyak. “Oh, inilah yang
menjadi sebab terjadinya banjir,” pikir Ujung Tunan dan
langsung berteriak memberi tahu warga. Ia segera minta
istrinya pulang dan secepatnya memberi tahu bapaknya.
Tidak lama kemudian terdengar bunyi gong yang dipukul
sebagai tanda bahaya. Warga yang mendengar suara itu
ikut membunyikan gong dari rumah masing-masing.
Jejak kaki orang berlari dari segala penjuru mulai
terdengar. Sejurus waktu kemudian, warga sudah
berkumpul lengkap dengan peralatan perang. Mereka
sudah memperkirakan akan terjadi serangan. Rombongan
dari hulu sudah mulai menyandarkan perahu di dermaga.
Jumlah rombongan mencapai ribuan. Beberapa orang
sudah mulai naik. Mereka mengenakan pakaian perang.
Ibarat gerombolan semut, mereka terus bergerak masuk
kampung. Perang besar bakal terjadi.
Kepala Adat dari Lepoq Tanyit berdiri terdepan
mengenakan baju kebesarannya. Ia memimpin rom-
bongan penuh percaya diri. Selain membawa mandau, ia
juga membawa temadau. Begitu melihat Ujung Tunan
Arung, ia langsung berdiri di hadapannya. “Hidupmu
sudah cukup sampai di sini!” ucap Kepala Adat sambil
mengangkat temadau. Ujung Tunan Arung diam terpaku
tak berdaya. Sorot matanya tertuju pada tangan Kepala
Adat. ”Aku telah dikhianati,” ujar Ujung Tunan tiada
daya. Temadau adalah tumbuhan yang menjadi
pantangan Ujung Tunan Arung.
Kehebatan dan kekuatan Ujung Tunan akan luruh
dengan temadau. Tiba-tiba terdengar suara, “Prashhh…,”
satu tebasan mandau telah memotong temadau dalam
satu ayunan di depan Ujung Tunan Arung. Ia langsung
66 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
roboh tepat di samping Kepala Adat. Matilah Ujung
Tunan Arun di hadapan ribuan warga. Sosok yang begitu
gagah dan dihormati itu, kalah tanpa melakukan
perlawanan. Kekuatan yang ia miliki tak mampu
menyelamatkannya.
Usut punya usut, sepupu Suling Baweq telah
membocorkan rahasia ini. Suling Baweq telah
menceritakan pesan suaminya kepada saudara sepupunya.
“Istriku, jika engkau menginginkan aku mati, potonglah
temadau di depanku. Niscaya kekuatanku akan hilang dan
aku akan mati,” begitulah pesan Ujung Tunan.
Melihat kematian Ujung Tunan Arung, warga
kampung tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah
kalah. “Kalian urus mayat ini dalam tiga hari. Kami akan
pulang terlebih dahulu dan datang kembali untuk
mengawinkan anakku,” ujar Kepala Adat Lepoq Tanyit.
Warga kampung segera mengurus mayat Ujung Tunan
Arung. Beberapa orang membuat peti dari kayu arau
untuk peti jenazahnya. Kesedihan menyelimuti seluruh
warga, terlebih Suling Baweq. Ia menangis sepanjang hari
sambil memeluk peti jenazah.
Sementara itu, Sulimerang mendapat firasat buruk
menimpa adiknya. Saat tertidur, ia terbangun dan
berteriak ”Adikku Ujung Tunan Arung.” Ia langsung
bangun dan bergegas mencari adiknya. Namun ia tidak
tahu di mana adiknya berada. Ia terus berjalan
mengandalkan firasat yang ia dapatkan. Berbagai gunung
dan sungai telah ia lalui. Akhirnya, ia sampai di kampung
Suling Baweq tempat di mana adiknya disemayamkan.
Sulimerang melihat banyak orang berkerumun
dengan wajah murung. Satu peti mati diletakkan tepat di
tengah rumah. “Siapa yang ada di peti itu,” tanya
Sulimerang kepada salah seorang warga yang ia temui.
“Ujung Tunan Arung. Ia sudah meninggal tiga hari lalu.
Sebentar lagi peti jenazah akan ditutup dan kami segera
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 67
menguburnya,” ucap orang itu dengan suara lirih. “Sudah
kuduga sebelumnya, firasatku benar,” pikir Sulimerang.
Ketika Sulimerang hendak mencari Kepala Adat,
orang menunjukk pada seorang laki-laki yang sedang
duduk tertunduk lesu disamping peti jenasah. Terlihat pula
Suling Baweq lesu dalam isak tangis di samping bapaknya.
“Siapa perempuan yang menangis itu? tanya Sulimerang.
“Dia istri Ujung Tunan,” jawab orang itu. Lalu Sulimerang
menghampiri Suling Baweq. Ia terlihat kaget melihat sosok
laki-laki asing mirip suaminya. Pada saat itu Suling Baweq
tengah mengandung anak pertamanya.
Sejurus waktu kemudian Sulimerang berkata, “Tak
usahlah kau bersedih. Ia hanya tertidur. Sebentar aku
bangunkan. Aku kakak Ujung Tunan,” ucap Sulimerang
menenangkan perasaan Suling Baweq. Pecahlah tangis
Suling Baweq. Warga pun ikut larut dalam tangis.
Sulimerang lalu bertanya tentang batu yang dibawa
adiknya.
Suling Baweq langsung berjalan menuju peti
jenazah. Ia julurkan tangannya ke dalam peti. Tak lama
kemudian batu itu pun ia dapatkan dan langsung
menyerahkannya pada Sulimerang.
Dua batu dengan ukuran dan warna yang sama
sudah di tangan Sulimerang. Ia kemudian menjalankan
ritual dan membaca mantra. Kedua batu itu saling
didekatkan lalu digosok-gosokkan. Tangan Sulimerang
tampak berair. Lalu diusaplah muka adiknya seraya
berkata, ”Bangunlah, jangan engkau tidur terlalu lama.”
Seketika itu mata Ujung Tunan Arung pelan-pelan
terbuka. Ujung kakinya mulai bergerak-gerak diikuti ujung
tangannya. Lalu bangkit dan bangunlah ia dari peti
jenazah. Menyaksikan peristiwa itu, semua orang
terbengong tidak percaya. Bahkan ada sebagian orang
yang hampir lari karena ketakutan, sedangkan yang lain
berdiri termangu melihat keanehan ini.
68 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Tidak lama kemudian, Ujung Tunan Arung berkata
“Janganlah kalian takut. Kakakku sudah datang.” Seketika
itu pula dukacita berubah suka cita. Warga yang semula
dirundung kesedihan, berubah menjadi kegembiraan.
Kepala Adat kemudian memutuskan menggelar pesta adat
untuk Ujung Tunan Arung dan menyambut kedatangan
Sulimerang. Ia juga meminta warga bersiap-siap karena
rombongan dari Lepoq Tanyit akan datang esok hari
seperti yang mereka janjikan.
Pesta adat langsung digelar. Ketika pesta usai,
Kepala Adat langsung berdiri dan berkata, “Pesta sudah
berakhir. Hari ini orang-orang dari hulu akan datang. Kita
harus menghadapi mereka.” Sulimerang langsung berdiri
dan berkata, ”Biarlah kami berdua menghadapi mereka.
Kalian tetap tinggal saja di rumah seperti biasa, seolah-
olah tidak terjadi apa-apa.” Kemudian warga bergegas
pulang mengikuti perintah Sulimerang. Mereka kembali ke
rumah masing-masing sambil sesekali melihat ke arah
sungai.
***
Hari mulai beranjak siang. Suara riuh terdengar dari
arah sungai. Orang-orang dari hulu mulai datang. Satu per
satu perahu mulai bersandar. Dermaga kampung terlihat
penuh sesak dengan manusia. Mereka saling berhimpitan,
karena terlalu banyak jumlahnya.
Kepala Adat Lepoq Tanyit memimpin rombongan
memasuki kampung. Namuk Sulimerang dan Ujung Tunan
Arung sudah menunggu. Mereka terlihat kaget, melihat
Ujung Tunan Arung hidup kembali. “Kalau begini, kita
siap perang sekarang!” teriak Kepala Adat. Kakak beradik
itu sudah berhadapan dengan Kepala Adat.
“Lebih baik kalian pulang! Jika kalian tetap
memaksakan diri, jangan salahkan kami jika tidak ada satu
orang pun yang akan kembali!” hardik Sulimerang.
Namun mereka tak gentar, malah berteriak dengan suara
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 69
lantang ”Kami tidak akan kembali, apa pun risikonya.
Kami akan bunuh kalian berdua dan siap perang!” Lalu
Sulimerang berkata, “Baiklah, jika itu yang kalian
kehendaki.”
Seketika itu pula ribuan orang dari hulu menghunus
mandau masing-masing. Begitu pula Sulimerang dan
Ujung Tunan Arung, juga sudah siap dengan mandaunya.
Orang-orang langsung menyerang. Gerakan Sulimerang
dan Ujung Tunan Arung sungguh sangat cepat. Sekali
ayun, lima kepala langsung terpisah dari badannya. Belum
sempat mata berkedip, tubuh para korban sudah
terpotong menjadi empat bagian. Dalam waktu sekejap,
korban terus berjatuhan. Melihat kehebatan kakak beradik
ini, mereka memanggil orang-orang yang tersisa untuk
ikut berperang.
Perang sudah berlangsung selama empat hari tiga
malam. Air sungai telah berubah berwarna merah darah.
Begitu juga dengan tanah di sekitar dermaga. Sulimerang
dan Ujung Tunan Arung tampak terlalu tangguh.
Tinggallah Kepala Adat seorang diri. Sesuai janjinya
berperang habis-habisan. Ia bersiap menghadapi
Sulimerang dan Ujung Tunan Arung.
Pada saat itu, Sulimerang meminta kepada warga
untuk menyaksikan pertempuran terakhir. Namun warga
tidak bisa mendekat karena terlalu banyak mayat
bergelimpangan. Mereka hanya bisa berdiri dari rumah
masing-masing. Sulimerang dan Kepala Adat sudah
berhadapan. Masing-masing sudah memegang mandau
siap hunus. Tiba-tiba dari atas terdengar suara tiling,
“Merang...., merang..., merang.”
Sulimerang berdiri terpaku mendengar suara itu.
Pada saat bersamaan, Kepala Adat langsung lari
menyerangnya. Tubuh yang biasanya gesit, lincah,
menjadi lemah lunglai tidak berdaya. Dalam sekejap,
mandaunya menghujam ke jantung Sulimerang.
70 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Seketika Sulimerang rebah bersimbah darah dan
mati. Suara tiling adalah titik kelemahan kesaktian
Sulimerang. Melihat kakaknya meninggal, Ujung Tunan
Arung langsung menyerang Kepala Adat. Secepat kilat, ia
ayunkan mandau tepat di leher. Seketika itu pula matilah
Kepala Adat itu. Lalu ia ambil kepalanya untuk diserahkan
pada mertuanya dan disimpan di atas padoq yang lazim
untuk menyimpan kepala manusia yang berhasil di-ayau.
Warga kampung langsung berhamburan ke luar
setelah melihat pertempuran berakhir. Ujung Tunan Arung
mendekati jenazah kakaknya. Warga membantu
mengangkat jenazah agar bisa segera dibersihkan dan
disemayamkan. Selimerang kemudian dimasukkan ke
dalam peti jenazah yang telah dipakai adiknya.
Pada saat bersamaan, bunga yang ditanam
Sulimerang di rumah Lampang Mening layu. ”Amai,
bunga ini layu. Suamiku berpesan agar segera membuka
payung jika bunga ini layu,” ucap Lampang. “Lakukan
segera,” ujar tamen Lampang. Begitu dibuka, payung yang
semula kecil lambat laun membesar. Ia pegangi erat-erat
payung itu. Tubuhnya mulai terangkat. Semakin lama
semakin tinggi. Lampang Mening terbang menuju
kampung Suling Baweq.
Pada saat itu orang-orang masih berkumpul di
rumah Suling Baweq. Tiba-tiba terdengar suara teriakan
“Hoi, ada apa di atas sana?” Mereka langsung melongok
ke atas dan ternganga-nganga melihat benda kecil terbang
di angkasa. Benda itu terus mendekat menuju rumah
Suling Baweq. Semakin lama semakin tampak jelas. Ada
seorang perempuan berayun-ayun di bawah payung.
Mereka berpikir ada bidadari turun dari langit menjemput
Sulimerang.
Saat turun, payung langsung tertutup. Warga
langsung berlarian mendekat. Dilihatnya tubuh Lampang
Mening dari atas sampai bawah. Ada juga yang mencoba
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 71
memegang tubuhnya untuk memastikan bahwa yang
datang adalah manusia.
Mendengar keributan yang terjadi di luar, Ujung
Tunan Arung dan Kepala Adat mendatanginya. Begitu
melihat Ujung Tunan Arung, Lampang Mening langsung
tahu kalau ini adik suaminya. Wajahnya sungguh sangat
mirip, seperti yang pernah diceritakan suaminya. Maka ia
segera berkata, “Aku Lampang Mening, istri kakakmu.”
Ujung Tunan Arung langsung mengajaknya masuk melihat
jenazah kakaknya.
Ujung Tunan Arung langsung menceritakan ihwal
kematian kakaknya. Wajah Lampang Mening terlihat
tegar. Ia tidak menangis sedikit pun. “Apakah kakakmu
pernah bercerita tentang batu yang kalian bawa masing-
masing?” tanya Lampang Mening. “Ya betul. Sebelum
kami berpisah, ia memberi satu batu, tapi ia tidak
bercerita apa pun tentang batu itu. Pada saat aku mati,
tiba-tiba aku hidup kembali dan kakak sudah ada di
hadapanku,” jawan Ujung Tunan.
“Kakakmu pernah berpesan kepadaku. Jika di
antara kalian ada masalah, batu itu akan memberi firasat.
Jika salah satu dari kalian meninggal, batu itu harus
digosok-gosok dengan tangan, hingga keluar air. Setelah
itu basuhlah mukanya dengan tangan, kelak akan hidup
kembali,” begitu ungkap Lampang Mening.
Mendengar hal itu, Ujung Tunan Arung langsung
bergegas mengambil batu sakti itu. Ia pegang dua batu itu
di kedua tangannya sambil membaca mantra. Tangannya
kemudian bergerak ke atas dan ke bawah. tiba-tiba air ke
luar dari tangannya. Kemudian ia dekati jenazah
kakaknya, lalu diusaplah wajahnya sebanyak tiga kali.
Tiba-tiba mata Sulimerang terbuka pelan-pelan. Ujung
tangan dan kakinya mulai bergerak kemudian Sulimerang
bangun. Warga terpana, karena untuk kedua kalinya

72 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


mereka telah menyaksikan peristiwa luar biasa di
kampungnya.
Sejurus waktu kemudian, Kepala Adat meminta
warga menggelar pesta syukur. Namun sebelum pesta
digelar, warga diminta segera menguburkan mayat yang
masih bergelimpangan. Tak lama kemudian kampung
sudah bersih kembali. Pesta syukur digelar selama berhari-
hari. Pesta ini sungguh sangat meriah. Kemudian tamen
Suling Baweq meminta Sulimerang dan Lampang Mening
tinggal di kampungnya. Namun keduanya bersikukuh
kembali ke kampung.
Sekitar sepekan lamanya, Sulimerang tinggal
bersama adiknya. Ujung Tunan Arung mengajarinya adat
hidup berkeluarga. “Istriku sekarang sedang hamil dan ini
menjadi tanggung jawabku. Kelak kalau ia melahirkan,
keluarga kita akan bertambah banyak,” ujar Ujung Tunan.
Sulimerang mendengarkan dengan seksama apa
yang disampaikan adiknya. Akhirnya Sulimerang
memahami adat istiadat dan aturan yang berlaku bagi
manusia.
Tatkala saatnya tiba, Sulimerang dan Lampang
Mening bersiap-siap pulang. Warga berkumpul untuk
mengantarnya. Suara alunan musik mengiringi perjalanan
mereka. Terbanglah Sulimerang dan Lampang Mening
dengan payung saktinya. Tibalah mereka ke kampung
halaman. Banyak penduduk menyaksikan kedatangannya,
mereka sangat gembira karena melihat Sulimerang
kembali.
Terlihat kedua orang tua Lampang Mening berdiri
di depan rumah. Sulimerang langsung mendatanginya
meminta maaf atas perilakunya selama ini. Sulimerang dan
Ujung Tunan Arung hidup berbahagia. Suatu saat kelak,
kedua kakak beradik ini diangkat menjadi Kepala Adat di
kampung masing-masing. Mereka menjadi pemimpin yang
adil dan bijaksana. (*)
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 73
4. Uyau Tunyeng

P
ada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda
bernama Uyau Tunyeng. Ia hidup tanpa seorang
bapak, hari-harinya dilalui bersama dengan mamak-
nya. Uyau Tunyeng telah tumbuh dewasa. Tibalah
saatnya ia mencari pasangan hidup. “Aku sudah
cukup dewasa. Sudah saatnya aku mencari gadis untuk
dijadikan istri,” kata Uyau Tunyeng kepada mamak-nya.
”Jika engkau ingin mencari gadis, cobalah kamu
pergi ke hutan sana. Aku sering melihat empat orang gadis
yang tidak diketahui asal-usulnya sering mencari sayuran.
Cobalah kau ke sana,” ujar mamak Uyau Tunyeng.
Beberapa hari kemudian, Ia mengikuti anjuran sang
mamak. Ia lalu pergi ke hutan. Ternyata benar apa yang
dikatakan sang mamak. Tidak lama setelah Uyau Tunyeng
tiba, datanglah empat gadis yang sungguh cantik. Mereka
adalah Asung Beluluk Lung, Urai Beluluk Luai, Bungan
Lisiu, dan Awing Nyanding.
“Aku harus bisa mendapatkan satu di antara
mereka,” pikir Uyau Tunyeng. Dalam perjalanan pulang,
Ia berpikir keras untuk bisa mendapatkan gadis itu. Siang
dan malam Ia terus merenung dan berpikir akhirnya
menemukan gagasan. “Aku akan membuat lubang untuk
mereka. Aku akan gali tanah tepat di mana mereka biasa
mencari sayuran. Lalu aku akan tutup lubang itu dengan
semak belukar agar mereka tidak tahu.”
Tidak lama kemudian, ia menjalankan niatnya. Ia
berangkat pagi-pagi dari rumah agar tidak diketahui siapa
pun. “Ah, sudah selesai. Tinggal menunggu mereka
terperosok dalam lubang. Pasti mereka tidak akan bisa ke
luar,” ungkap Uyau Tunyeng dalam hati. Penuh kesabaran
ia menunggu kedatangan mereka seraya terus mengawasi
jebakan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Waktu yang
ditunggu tiba. Tampak empat orang gadis berjalan
74 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
menuju arah lubang. Uyau Tunyeng berjalan mendekat
dan bersembunyi di balik semak-semak. Sesekali terdengar
tawa canda di antara mereka memecah keheningan hutan.
Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh diikuti
jeritan minta tolong. Tampaknya keempat gadis itu sudah
masuk dalam jebakan. Lalu Uyau Tunyeng berjalan
mendekat seraya berkata, “Apa yang terjadi? Sedang apa
kalian di dalam lubang ini?” Lalu, Asung Beluluk Lung
berujar, “Tolong keluarkan kami dari sini.”
“Baiklah, aku akan menolong. Tetapi, apa yang
akan kalian berikan jika aku bisa membantu kalian keluar
dari lubang ini?” ucap Uyau Tunyeng. Sejenak para gadis
itu terdiam. Namun tampaknya para gadis itu tidak mau
berlama-lama dalam lubang. ”Jika engkau bisa menolong,
engkau boleh mengambil salah satu di antara kami
menjadi istri,” jawab Asung Beluluk Lung.
Betapa gembiranya Uyau Tunyeng. Satu per satu
ditariklah tangan gadis itu. Asung Beluluk Lung mendapat
giliran yang pertama. Begitu bisa naik, Ia langsung terbang
secepat kilat ke angkasa melupakan janjinya. Uyau
Tunyeng hanya terdiam terpaku dan tidak bisa
menangkapnya. Begitu pula dengan Urai Beluluk Luai dan
Bungan Lisiu. Mereka melakukan hal yang sama seperti
Asung Beluluk Lung. Uyau Tunyeng merasa tertipu.
Tinggalah Awing Nyanding. Lalu Uyau Tunyeng meloncat
ke dalam lubang dan meminta Awing Nyanding menepati
janjinya.
***
Setelah berhasil mengeluarkan Awing Nyanding
dari lubang jebakan, mereka berdua pulang ke kampung.
Awing Nyanding menepati janji dan mereka hidup
sebagai pasangan suami istri. Beberapa bulan kemudian,
Awing Nyanding hamil. Pada saat usia kandungannya
sudah cukup, Awing Nyanding meminta suaminya pergi

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 75


menjala. Ia mengikuti permintaan sang istri. Ia menebar
jala seharian di sungai dan mendapat ikan banyak.
Uyau Tunyeng bergegas pulang. Begitu sampai di
rumah, ia tunjukkan hasil tangkapannya kepada sang
istri. ”Ini bukan ikan, tapi daun bambu,” ujar Awing
Nyanding. Uyau Tunyeng terkejut bukan kepalang. Ia
usap-usap matanya. Ia bolak-balik hasil tangkapannya.
“Tidak, ini ikan, istriku!” sergah Uyau Tunyeng. Namun,
Awing Nyanding tetap bersikeras kalau itu daun bambu
dan bukan ikan seperti yang ia minta. Ia tetap meminta
suaminya pergi menjala esok harinya. Uyau Tunyeng
memenuhi permintaan istrinya.
Pada saat itu, usia kandungan Awing Nyanding
sudah memasuki bulan kesembilan. Tidak lama lagi, ia
akan melahirkan. Pagi sebelum matahari terbit, Uyau
Tunyeng berjalan ke arah sungai. Kemudian ditebarkan-
nya jala seperti sehari sebelumnya. Ia berada di sungai
satu hari penuh hingga malam tiba. Pada saat Uyau
Tunyeng menjala, Awing Nyanding meludah di banyak
tempat. Hampir setiap sudut ia ludahi. Saat Uyau Tunyeng
masih mencari ikan, Awing Nyanding melahirkan. Ia
tampak bahagia dengan kelahiran anak pertamanya.
Awing Nyanding tampaknya tidak cukup bahagia
tinggal di tempat Uyau Tunyeng. Ia ingin kembali ke
asalnya karena merasa sepi jauh dari saudara-saudaranya.
Sebelum Uyau Tunyeng kembali, Ia membawa terbang
anaknya dengan menggunakan seraung. Ditinggalah Uyau
Tunyeng seorang diri.
“Awing..., Awing..., di mana Engkau? Aku dapat
tangkapan ikan yang banyak,” teriak Uyau Tunyeng
memanggil sang istri. Tak lama kemudian samar terdengar
suara istrinya. ”Aku di sini,” ucap Awing Nyanding. Lalu
didatangilah tempat di mana suara itu, namun ia tidak
menjumpai istrinya. Ia terus berjalan sambil memanggil-
manggil istrinya. Jawaban yang sama ia dapatkan dari
76 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
tempat di mana Awing Nyanding telah meludah
sebelumnya. Lalu ia menyadari telah ditinggalkan
sendirian.
Uyau Tunyeng sedih tak terkira. Ia berputar-putar
dan berguling-guling di tanah dan menangis sejadi-
jadinya. Pada saat itu, terdengar suara burung
Kutilang, ”Sumpit langit, sumpit langit.” Uyau Tunyeng
langsung bangkit berdiri. Ia lalu membuat anak sumpit
sebanyak mungkin. Setelah dirasa cukup, ia menyumpit ke
arah langit terus menerus. Tiba-tiba anak sumpit itu saling
sambung-menyambung membentuk sebuah tangga.
Uyau Tunyeng lalu mengucap mantra sambil
menggoyang-goyangnya. Tiba-tiba rangkaian anak sumpit
itu menjelma menjadi tangga besi yang menjulang ke
angkasa. Uyau Tunyeng kemudian bergegas mengenakan
pakaian perang dan langsung menaiki anak tangga satu
persatu hingga sampai ke puncak tangga. Ia melihat satu
lubang kecil dan berusaha memasukinya namun selalu
gagal.
Tiba-tiba terdengar kembali suara burung
kutilang, ”Ilang pasung.,., ilang pasung..., ilang pasung.”
Lalu ia segera menguak lubang itu untuk melebarkannya.
Uyau Tunyeng berusaha masuk namun tetap saja gagal.
Pakaian perang yang menempel di tubuhnya telah
menghambatnya. Maka, ia tanggalkan semua perleng-
kapan perang itu, satu persatu. Ia tanggalkan topi
(beluko), pakaian untuk menari (besunung), baju yang
dipakai di belakang pantat (tabit), mandau, dan lain-lain
hingga tinggal pakaian di tubuhnya.
Ia terus mencoba masuk. Ia pegang erat-erat bibir
lubang dengan kedua tangannya. Pada akhirnya, kepala-
nya berhasil masuk ke lubang. Ia melihat satu hamparan
tanah yang sangat luas penuh dengan rumput. Ia pegang
rumput itu sekuat tenaga dengan kedua tangannya agar
tidak terjatuh. Tubuhnya digoyangkan ke kanan-kiri untuk
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 77
memperlebar lubang, sambil terus berupaya agar bisa
masuk ke dalam, namum tetap gagal. Meskipun belum
bisa masuk, lubang itu semakin membesar karena gesekan
tubuhnya.
Uyau Tunyeng kelelahan. Rumput yang ia pegang
tiba-tiba terlepas. Secepat kilat tangannya memegang bibir
lubang sehingga ia tidak terjatuh. Ia tetap tidak menyerah
untuk bisa masuk. Ia angkat badannya dengan kedua
tangannya sekuat tenaga. Sial, tangannya terjatuh karena
terdorong kedua kakinya. Tubuh Uyau Tunyeng
bergelantungan di awan tanpa penopang.
***
Uyau Tunyeng nyaris putus asa. Namun akhirnya
dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia angkat tubuhnya
pelan-pelan. Kedua tangannya menapak kokoh hingga
separuh tubuhnya berhasil terangkat. Ia beristirahat
sejenak memulihkan tenaga. Pada akhirnya, dengan satu
hentakan, seluruh tubuh Uyau Tunyeng terangkat dan
berhasil masuk ke dalam. Ia sungguh-sungguh kehabisan
tenaga maka ia baringkan tubuhnya di atas rumput hingga
ketiduran.
Pada saat itu, datanglah seekor burung
membangunkannya dan bertanya, ”Engkau mau ke
mana?” Terbata-bata Uyau Tunyeng menjawab, “Aku
mencari Awing Nyanding istriku dan anakku.” Lalu,
burung itu memberi tahu ada seorang menggendong
anaknya berjalan ke arah hulu. Uyau Tunyeng segera
berdiri lalu berjalan sesuai petunjuk. Ia ikuti terus berjalan
selama satu hari satu malam. Keesokan paginya, ia
bertemu seorang nenek.
“Apakah Pui melihat seorang perempuan dengan
seorang anak, lewat jalan ini?” tanya Uyau Tunyeng.
Nenek itu mengaku melihat orang berjalan menuju ke
arah hulu. Setelah istirahat sejenak, Uyau Tunyeng
berjalan kembali mengikuti petunjuk yang nenek tua. Lalu
78 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
ia menjumpai sebuah kubuq. Ia bermaksud beristirahat
karena hari sudah menjelang malam. Pada saat masuk, ia
dapati seorang perempuan yang sedang menyusui
anaknya.
Uyau Tunyeng mengetahui perempuan itu adalah
istrinya, namun ia kemudian pura-pura bertanya, “Engkau
dari mana dan mau ke mana?” ucapnya pelan. Awing
Nyanding tidak mengenal Uyau Tunyeng karena tatkala
berhasil masuk ke langit, Uyau Tunyeng berubah wujud
menjadi sosok laki-laki yang gagah perkasa. “Aku dan
anakku Lencau tinggal di kampung di hilir. Namun karena
tidak betah, aku mau pulang ke kampung,” jawab Awing
Nyanding.
Awing Nyanding merasa kelelahan. Lalu
menitipkan anaknya ke Uyau Tunyeng, karena ia akan
pergi mandi di sepan. Lalu, Uyau Tunyeng menggendong
anaknya dalam pelukan penuh rindu. Tak terasa air
matanya tumpah membasahi mukanya. Tak lama
kemudian Awing Nyanding datang dan terheran melihat
wajah Uyau Tunyeng berlinang air mata. Ketika pagi tiba,
mereka memutuskan berjalan bersama ke kampung yang
dituju. Pada saat mendekati rumah Awing Nyanding,
segera Uyau Tunyeng mengubah dirinya menjadi sosok
orang tua.
Ketika mereka tiba di rumah, warga mengetahui
bahwa ia suami Awing Nyanding. Namun kedua orang
tua Awing Nyanding tidak mengizinkan dan tinggal di
rumahnya. Ia diminta tinggal di rumah Balang Ngok,
janda tua yang tinggal di ujung kampung. Atas
persetujuan kedua orang tua Awing Nyanding, warga
kampung memberikan syarat kepada Uyau Tunyeng agar
bisa menjadi suami Awing Nyanding. Berbagai prasyarat
yang sulit diajukan. Mereka berharap Uyau Tunyeng tidak
mampu memenuhinya.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 79


Syarat pertama kemudian dibuat. Warga kampung
menebar biji sawi kemana-mana. Uyau Tunyeng diminta
mengumpulkan semua biji sawi itu hanya dalam satu
malam. Jika berhasil ia boleh menikahi Awing Nyanding.
Malam segera tiba. Uyau Tunyeng bersiap memenuhi
syarat pertama. Ia menggunakan kekuatannya dengan
meminta bantuan semut untuk mengumpulkan biji sawi.
Ribuan semut datang dari berbagai penjuru. Seolah sudah
tahu tugasnya masing-masing, semut-semut itu mampu
mengumpulkan biji sawi sebelum pagi tiba.
Syarat pertama berhasil dipenuhi. Kemudian
diajukan syarat kedua. Uyau Tunyeng harus menebang
pohon bambu di pinggir sungai sampai ke akar-akarnya
dalam semalam. Jika ada satu akar tertinggal, ia tidak
berhak memperistri Awing Nyanding. Malam yang
ditunggu pun tiba. Uyau Tunyeng kembali menggunakan
kesaktiannya, ia meminta bantuan banteng. Datanglah
banteng-banteng dalam keheningan malam tanpa suara.
Tanpa diperintah, banteng-banteng itu langsung
merobohkan seluruh pohon bambu yang ada di pinggir
sungai. Dalam sekejap, seluruh pohon bambu tumbang,
namun masih banyak akar tersisa.
Uyau Tunyeng kemudian meminta bantuan air
untuk membersihkannya. Datanglah banjir secara tiba-tiba
menyapu seluruh akar bambu tanpa tersisa. Uyau
Tunyeng berhasil memenuhi syarat kedua dengan
sempurna sebelum dini hari tiba. Kedua orangtua Awing
Nyanding dan warga kampung tercengang akan kehe-
batannya. Namun orang tua Awing Nyanding tetap
belum puas. Lalu, mereka menetapkan syarat yang ketiga.
“Wahai Uyau, kami akui kehebatanmu. Namun itu
belum cukup buat kamu untuk bisa menikahi Awing
Nyanding. Kami sudah putuskan, kita akan berlomba
perahu. Namun, perahu itu harus kamu buat sendiri,
panjang perahu delapan depa dan waktu pembuatan
80 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
hanya satu minggu,” ujar salah seorang warga. Uyau
Tunyeng menyanggupi, meski ia menyadari syarat itu
sungguh sangat berat. Meskipun dikerjakan bersama,
belum belum tentu mampu menyelesaikannya, apalagi
harus dikerjakan seorang diri.
Sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, Uyau
Tunyeng dan warga kampung bergegas membuat perahu.
Ia kembali menggunakan kesaktiannya dengan meminta
bantuan beruang untuk membuat lubang dan semut anai
untuk melicinkannya. Namun Uyau Tunyeng terlihat
bekerja sendirian. Siang dan malam Ia bekerja tanpa henti.
Warga kampung terus mengoloknya dan mereka tidak
yakin Uyau Tunyeng mampu menyelesaikannya.
Uyau Tunyeng kemudian menggunakan kesaktian-
nya. Ia meminta bantuan roh leluhurnya untuk meng-
hambat pekerjaan orang kampung. Terbuktilah orang-
orang kampung gagal menyelesaikan pembuatan perahu
meski dikerjakan orang banyak. Ketika waktu yang
ditentukan telah tiba, Uyau Tunyeng meminta bantuan
gajah dan monyet untuk mengangkut perahunya ke
pinggir sungai. Perahu pun berhasil diangkat ke pinggir
sungai.
Perahu yang ia buat tampak sangat indah dengan
dihiasi ragam ukiran warna-warni. Saat pagi tiba, ketika
orang-orang hendak mandi, mereka melihat satu perahu
tertambat di tepi sungai. Sementara itu, warga kampung
masih belum menyelesaikan pembuatan perahu. Uyau
Tunyeng berhasil menyelesaikan syarat ketiga dengan
sempurna. Ia kemudian meminta bantuan roh leluhur,
agar membantu warga menyelesaikan perahunya. Doanya
terkabul dan perahu itu pun selesai.
***
Tibalah saatnya untuk berlomba. Berbagai
persyaratan sudah ditetapkan. Perahu akan meluncur dari
arah hulu ke hilir lalu kembali lagi dari hilir ke hulu.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 81
Warga kampung berkerumun di sepanjang sungai untuk
menyaksikannya. Perahu warga diisi penuh para
pendayung yang kuat dan hebat. Sedangkan Uyau
Tunyeng hanya seorang diri. Sebelum perlombaan
dimulai, salah seorang utusan keluarga Awing Nyanding
bertemu Uyau Tunyeng dan menyampaikan pesan, “Jika
menang, engkau berhak memperistri Awing Nyanding.”
Menyadari kekuatan tidak seimbang. Uyau
Tunyeng kembali meminta roh penjaga sungai
membantunya. Begitu lomba dimulai, perahu Uyau
Tunyeng melaju sangat cepat dan meninggalkan perahu
warga kampung jauh di belakang. Uyau Tunyeng kembali
berhasil memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Namun
keluarga Awing Nyanding dan warga belum puas. Mereka
masih meminta syarat lagi. Uyau Tunyeng diharuskan
membuat lantai rumah Awing Nyanding dan dua rumah
di sisinya menjadi halus dan licin yang harus diselesaikan
dalam semalam. Uyau Tunyeng menyanggupi.
Saat malam tiba, ia kembali meminta bantuan roh
leluhur. Tatkala orang-orang sedang lelap tertidur. Saat
pagi tiba, orang-orang mulai terbangun, saat mereka
berjalan ke pintu langsung terjatuh. Mendengar orang
berjatuhan, beberapa orang berusaha menolongnya.
Namun mereka mengalami hal yang sama. Lantai rumah
Awing Nyanding dan dua rumah di sampingnya sangat
licin luar biasa.
Melihat hal tersebut, Uyau Tunyeng merasa iba,
lalu ia meminta bantuan roh leluhur agar lantai tidak
terlalu licin. Dalam sekejap, orang-orang dapat berjalan
dengan kembali seperti biasa. Setelah berbagai persyaratan
mampu dipenuhi, mereka mengakui kehebatan Uyau
Tunyeng. Mereka lalu meminta Uyau Tunyeng bertemu di
use Awing Nyanding.
Sebelum berangkat, Uyau Tunyeng mengubah
dirinya seperti wujud semula. Seorang laki-laki yang gagah
82 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
perkasa dan tampan yang dikenal oleh Awing Nyanding
selama ini. Warga terheran-heran dengan perubahan
wujud Uyau Tunyeng. Mereka terdiam. Lelaki bungkuk
dan tua yang telah mereka perlakukan dengan tidak baik,
ternyata adalah Uyau Tunyeng yang gagah perkasa.
“Coba kalau engkau tidak mengubah diri, tentu
mereka tidak memperlakukanmu seperti ini,” ungkap
Awing Nyanding. Mereka berdua akhirnya menikah. Sejak
saat itu, warga kampung memanggilnya Tamen Lencau.
***
Setelah menikah, Uyau Tunyeng berkehendak
pulang ke kampung. Namun warga kampung
mencegahnya dengan berbagai cara. Terlebih karena
kampung mereka akan diserang, sehingga perlu orang
yang memiliki kesaktian seperti Uyau Tunyeng. Lalu
Tamen Awing Nyanding membujuk agar Uyau Tunyeng
bersedia mengurungkan niatnya. Lantaran yang meminta
mertuanya, Uyau Tunyeng tidak bisa menolaknya.
Beberapa bulan kemudian, warga dari kampung
hulu datang menyerbu. Terjadilah pertempuran sengit.
Para penyerang tidak menyadari kehadiran Uyau
Tunyeng. Mereka berpikir, akan mudah memenangkan
perang. Di bawah kepemimpinan Uyau Tunyeng, mereka
berhasil mengusir para penyerang. Uyau Tunyeng dielu-
elukan sebagai pemimpin masa depan. Pesta digelar
sebagai tanda suka cita atas kemenangan. Uyau Tunyeng
kemudian dinobatkan sebagai pemimpin suku yang baru.
(*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 83


84 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Cerita Dua:
Pernikahan Bangsawan

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 85


1. Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan

A
lkisah hiduplah seorang gagah perkasa, bernama
Jalung Ila Nyukak Sada Langit Magan. Pada suatu
hari, Jalung Ila melakukan perjalanan ke lepoq Suit
Lirung yang berada di atas gunung. Saat di tengah
perjalanan, ia bertemu seorang gadis yang cantik
menawan. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu
bernama Mpang Abun Suit Lirung.
“Cantik nian gadis itu. Usiaku sekarang sudah
cukup dan aku ingin menikahinya,” pikir Jalung dalam
hati. Sejak berjumpa Suit Lirung, pikiran Jalung Ila selalu
tertuju padanya. Ia sungguh jatuh cinta dan ingin segera
melamarnya. Maka beberapa hari kemudian, ia
menyampaikan isi hatinya kepada mamak-nya.
“Weq, aku bertemu gadis cantik. Aku ingin
meminangnya,” ucap Jalung Ila. ”Engkau sudah dewasa
dan sudah waktunya mempunyai istri. Siapa nama anak
gadis itu?” ujar mamak-nya. “Mpang Abun Suit Lirung,”
jawab Jalung. “Baiklah, nanti akan kusampaikan pada
tamam,” kata mamak-nya.
Beberapa hari kemudian, disampaikanlah niat hati
sang anak kepada bapaknya. “Anak kita sudah dewasa.
Kemarin ia menyampaikan keinginannya melamar gadis
dari kampung tetangga,” ujar Tinan Jalung Ila. “Ah,
begitukah? Aku memang berharap demikian, karena ia
sudah dewasa. Aku akan bicara dengan para tetua adat
terlebih dahulu,” ujar Tamen Jalung Ila.
Pada saat diadakan pertemuan dengan para tetua
adat. Tamen Jalung Ila menyampaikan maksud hati
anaknya. Mereka menyetujuinya lalu memutuskan akan
segera mengirim utusan untuk melamar Suit Lirung.
Persiapan kunjungan pun segera dilakukan.
***

86 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Sesuai dengan waktu yang ditentukan, rombongan
Jalung Ila sebanyak lima puluh orang, pergi melamar ke
Suit Lirung. Rombongan memulai perjalanan selama enam
hari berjalan kaki. Mereka mulai masuk hutan belantara
tak berpenghuni. Menjelang siang, perjalanan dihentikan
untuk istirahat makan dan melepas lelah. Perjalanan
dilanjutkan sampai menjelang malam. Enam hari penuh,
mereka melakukan hal yang sama setiap harinya.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan,
tibalah mereka di kampung yang dituju. Pada saat akan
memasuki kampung, terlihat beberapa anak sedang
bermain. Pada saat mereka melihat rombongan Jalung Ila,
anak-anak berlarian masuk kampung. Mereka ketakutan
karena dikira ada rombongan orang jahat yang sedang
mencari kepala manusia. Lalu mereka berlari menuju
rumah seorang kakek yang tinggal di ujung kampung.
“Pui, kemarilah!” ujar seorang anak. “Ada apa
cucuku?” tanya Pui. “Itu ada rombongan ayau. Cobalah
Pui datang ke sana,” ujar anak itu. Bergegaslah kakek itu
pergi menjumpai mereka, kemudian berkata, “Maaf,
Saudara. Kalian ini dari mana dan mau ke mana? Apa
maksud kedatangan Saudara dengan pakaian lengkap
seperti itu? Apakah ada yang Saudara cari di kampung
kami?”
“Mohon maaf, kalau sudah membuat anak-anak
takut, karena kami tidak sempat memberi tahu
kedatangan kami terlebih dahulu. Kami mau bertandang
ke rumah Suit Lirung,” kata Tamen Ila sambil
memperkenalkan diri. “Oh, kalau begitu. Aku antar ke
rumahnya,” ujar sang kakek.
Tak lama kemudian, rombongan itu berjalan
mengikuti kakek menuju rumah Suit Lirung. Setiba di
rumah, mereka diterima dengan sukacita dalam suasana
penuh keakraban, meskipun mereka baru pertama kali
berjumpa. “Biasanya, kalau ada tamu dari jauh, kami akan
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 87
membuat tari-tarian sebagai penghormatan,” ujar Empang
Abun, ayah Suit Lirung.
Empang Abun adalah orang yang terpandang di
kampung itu. Dalam situasi penting seperti itu, apa yang
dikatakan Empang Abun adalah permintaan. Maka ia
meminta kakek pengantar rombongan untuk pergi ke
rumah Uyau Mok Me’e Loq Langan dan Laing Tit Tugan
Ait Ngeriman agar segera mempersiapkan warga
menggelar pesta dan tari-tarian. Maka bergegaslah warga
mempersiapkan segala sesuatunya untuk segera menggelar
pesta.
“Mohon maaf, kalau kedatangan kami tidak
memberi tahu sebelumnya, sehingga membuat kaget
keluarga di sini. Adapun maksud dan tujuan kami, hendak
meminang Suit Lirung untuk diperistri Jalung Ila,” ungkap
salah seorang tetua rombongan dengan penuh rasa
hormat.
Jalung Ila diminta berdiri agar keluarga Empang
Abun mengenalnya. Agak malu-malu Ia memperkenalkan
diri sambil disaksikan Suit Lirung dari balik dinding.
Empang Abun sudah memperkirakan sebelumnya. Melihat
Jalung Ila yang gagah perkasa, Empang Abun langsung
memberikan tanda persetujuan.
Pembicaraan diakhiri dengan perjamuan makan
bersama dengan berbagai macam hidangan. Hal itu
sebagai pertanda rasa suka cita dari tuan rumah terhadap
tamunya. Beragam tarian digelar dengan iringan musik
yang dimainkan Uyau Mok Me’e Loq Langan dan Laing
Tit Tugan Ait Ngeriman. Mereka menikmati malam itu
dengan penuh kegembiraan dalam kebahagiaan bersama.
Tak terasa, pagi hampir tiba. Maka sebagai
penghormatan, Jalung Ila dan Suit Lirung diminta menari
sebelum acara diakhiri. Jalung Ila sebagai tamu diminta
untuk menari terlebih dahulu.

88 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Jalung Ila langsung tampil dengan penuh percaya
diri, melenggak lenggok dan sesekali melompat dengan
indahnya. Semua orang terperangah kagum. Suara tepuk
tangan bergemuruh mengakhiri penampilan Jalung Ila
yang sempurna. Tiba giliran Suit Lirung. Ia meliuk-liuk
dengan gemulai. Tangannya bergerak lembut, tubuhnya
memutar penuh keindahan. Tarian Suit Lirung tidak kalah
hebatnya dengan Jalung Ila.
Rombongan Jalung Ila dibuat terperangah. Suit
Lirung tampil luar biasa malam itu. Mereka tidak bosan
melihatnya hingga pagi menjelang. Suara tepuk tangan
bergemuruh menandai pesta telah usai. Kepala
rombongan kemudian menyampaikan rasa terima kasih
atas sambutan yang telah diberikan keluarga Suit Lirung.
Pesta adat dan upacara penyambutan tamu telah berakhir.
Semua warga pulang ke rumah dengan rasa puas, meski
mereka tidak tidur satu malam penuh. Mereka akan
menunggu saat pesta perkawinan tiba.
Rombongan Jalung Ila beristirahat sepenuhnya hari
itu. Mereka akan mulai perjalanan esok harinya. Berbagai
bekal perjalanan telah dipersiapkan keluarga Suit Lirung.
Pagi-pagi benar rombongan mulai berjalan pulang
meninggalkan kampung. Meskipun lelah, mereka tampak
bahagia atas sambutan yang telah diberikan. Rombongan
akan kembali satu bulan kemudian untuk menggelar
upacara pernikahan.
Enam hari sudah rombongan menempuh
perjalanan pulang. Orang-orang sudah tidak sabar
menunggu kabar yang akan disampaikan. Berbagai
masakan sudah dipersiapkan keluarga Jalung Ila untuk
rombongan yang sudah pasti sangat kelelahan.
Rombongan tiba, sore menjelang malam. Mereka
disambut keluarga masing-masing dan diarak menuju
rumah Jalung Ila yang sudah penuh dengan hidangan
santapan.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 89
Sesekali terdengar orang saling bertanya tentang
hasil kunjungannya. Meskipun belum secara resmi
disampaikan oleh keluarga, warga sudah mengetahui hasil
pembicaraan dari mulut ke mulut. Diantara warga ada
yang menggerutu agar pernikahan secepatnya digelar.
Mereka sudah tidak sabar menunggu pesta paling besar di
kampungnya.
***
Waktu terus berlalu. Dua minggu sebelum
pernikahan, para tetua adat dikumpulkan kembali untuk
menentukan orang-orang yang akan mengambil Suit
Lirung. Semua hal sudah dipersiapkan. Tibalah saatnya
perwakilan rombongan yang sudah ditunjuk berangkat
menuju kampung Suit Lirung. Mereka harus menempuh
perjalanan yang sama, enam hari menyusuri hutan
belantara.
Keluarga Empang Abun sudah mempersiapkan
upacara penyambutan jauh hari sebelumnya. Mereka
sudah mengetahui kedatangan rombongan Jalung Ila
sesuai dengan kesepakatan yang sudah diputuskan
sebelumnya. Berbagai upacara adat sudah dilakukan.
Dengan diantar oleh keluarga dan para tetua adat, Suit
Lirung meninggalkan kampungnya. Wajah Suit Lirung dan
rombongan yang mengantarnya tampak berbinar-binar
bahagia. Padahal mereka akan menempuh perjalanan
panjang.
Warga kampung sudah tidak sabar menunggu
kedatangan Suit Lirung yang konon cantik luar biasa.
Mereka sudah menunggu di jalan yang akan dilalui
rombongan menuju rumah Jalung Ila. Rombongan mulai
tampak menjelang siang. Warga sudah mulai berkerumun
untuk melihat Suit Lirung pertama kalinya. Alat musik
gong langsung diletakkan tepat di pintu gerbang
kampung.

90 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Diiringi tarian sambutan selamat datang, Suit Lirung
diminta berjalan kaki di atas gong. Hal ini merupakan satu
tradisi penghormatan tertinggi menyambut seorang
bangsawan. Menjelang sore, proses penyambutan tamu
berakhir.
Suit Lirung dan rombongan beristirahat sesaat.
Mereka kemudian mandi di sungai, termasuk Suit Lirung.
Pada saat itulah, beberapa orang yang melihat Suit Lirung
sedang mandi sangat terpana. Kulitnya putih bersih tanpa
cacat. Rambutnya panjang terurai hingga sebahu. Suit
Lirung benar-benar gadis yang sepadan untuk Jalung Ila.
Pernikahan digelar esok harinya. Jalung Ila dan Suit
Lirung duduk di atas gong. Pesta tarian digelar sepanjang
hari sebagai ucapan syukur. Saat tetua adat memberikan
nasihat, Jalung Ila dan Suit Lirung mendengarkan dengan
saksama.
”Kalian berdua akan berpasangan untuk selamanya.
Jika malam tiba, kalian harus tidur bersama dan saling
berpelukan. Ingatlah, sebagai suami harus melakukan
tugasmu. Jangan lupa, ketika melakukan tugasmu,
lakukanlah dengan baik. Masukkan kepala biawak di
antara sela batang, sampai airnya keluar,”
Jalung Ila dan Suit Lirung tersipu malu. Mereka sudah
tidak sabar menunggu datangnya malam pertama yang
selalu ditunggu pengantin baru. Semesta pun merestui
pernikahan mereka. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 91


2. Sigau Belawan

T
ersebutlah kisah, seorang bangsawan dari kampung
Bambu Atung bernama Sigau Belawan. Ia memiliki
dua sahabat yaitu Laingtit dan Uyau Asang. Mereka
telah bersahabat sejak kecil. Ketiga sahabat itu telah
beranjak dewasa. Pada saat sedang berkumpul,
Sigau Belawan mengajak dua sahabatnya pergi ke
kampung hulu untuk menjumpai seorang gadis.
“Wahai teman, aku mendengar ada perempuan
cantik di tanah hulu. Bagaimana kalau kita berkunjung
melihatnya?” ucap Sigau Belawan. “Aku setuju, kapan kita
ke sana?” sahut Laingtit penuh semangat.
Beberapa hari kemudian, Mereka pergi menyusuri
sungai menuju tanah hulu. Mereka ingin melihat
kecantikan Awing Tiling dan sahabatnya Awing Nyanding.
Tiga hari dua malam mereka berjalan menyusuri sungai
dengan perahu. Mereka tiba di kampung menjelang
malam. Setelah beristirahat sejenak, mereka berjalan
memasuki kampung. Saat itu terlihat beberapa anak
sedang bermain.
“Hai, kemarilah! Kakak mau tanya, siapakah
Kepala Kampung di sini?” ujar Sigau Belawan. “Tamen
Awing kak,” jawab anak itu. “Bisakah minta tolong
panggilkan Awing Tiling,” lanjut Sigau Belawan. “Bisa,
kakak tunggu sebentar,” jawab anak itu sambil berlari
menuju ke rumah Awing Tiling untuk memberitahu
kedatangan tiga orang yang mencari bapaknya.
“Kakak, itu ada tiga orang mencari Amai. Kakak
diminta ke sana,” ucap anak itu. “Siapa mereka?” tanya
Awing Tiling. “Tidak tahu, sepertinya orang jauh,” balas
anak itu. “Baiklah, aku ke sana,” ucap Awing Tiling.

92 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Anak-anak itu kemudian membawa Awing Tiling
ke tempat Sigau Belawan dan dua sahabatnya. Saat
melihat Awing Tiling, Sigau Belawan langsung jatuh cinta.
Tatapan mata Sigau Belawan tak berkedip memandangi
paras cantik Awing Tiling. Begitu juga dengan Awing
Tiling. Tampaknya ia juga tertarik dengan Sigau Belawan
meskipun agak malu-malu. Mereka berempat kemudian
berbicara sebentar. Lalu Awing Tiling segera mengajak
pergi ke rumahnya.
“Kita sudah sampai. Ini rumahku. Sebentar aku
panggilkan amai,” ucap Awing Tiling. Kemudian Awing
Tiling bergegas memberi tahu bapaknya. Tidak lama
kemudian terdengar suara Awing Tiling memanggil
tamunya untuk naik ke atas. “Silakan duduk dan tunggu
sebentar. Amai segera ke sini,” ucap Awing Tiling.
Awing Tiling kemudian masuk untuk membuatkan
minum bagi para tamunya. Saat itu, mamak-nya sedang
berada di dapur. Ia berbicara sekilas mengenai kedatangan
tiga orang tamu bapaknya.
“Weq, ada orang jauh datang kemari. Ada apa
ya?” tanya Awing Tiling. “Mungkin mereka ada perlu
dengan Tamen-mu,” jawab mamak-nya. “Tapi aku
melihat, salah seorang dari mereka menatapku terus,”
sahut Awing Tiling. “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Tak
mungkin mereka menaksirmu. Apa mereka mau dengan
keluarga kita?” sahut mamak-nya.
Pada saat bersamaan, Tamen Awing Tiling mene-
mui mereka bertiga. Bincang ringan saling memper-
kenalkan diri terjadi antara mereka. Kadang terdengar
suara gelak tawa di sela perbincangan. Lalu Awing Tiling
datang menyajikan hidangan. Pembicaraan terhenti
sejenak.
“Silakan diminum. Ini hanya ada sanggar pisang
dan ubi rebus saja,” ucap Awing dengan suara lembut.
“Terima kasih,” sahut Sigau Belawan. Perjumpaan itu
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 93
membuat Sigau Belawan terpukau dengan kecantikan
Awang Tiling. Matanya tidak berkedip sedikit pun
menatapnya.
“Gadis yang sangat cantik luar biasa, tidak salah
aku datang ke sini”, ungkap Sigau Belawan dalam hatinya.
“Silakan dinikmati hidangannya. Sebentar kita ke dapur.
Awing dan mamak-nya sudah mempersiapkan santapan
untuk kalian yang datang dari jauh,” ucap tamen Awing
Tiling.
***
Waktu terus berlalu. Pembicaraan dilanjutkan
untuk memperjelas maksud kedatangan Sigau Belawan.
Bapak Awing memulai pembicaraan, “Apakah ada sesuatu
yang hendak kalian sampaikan?”
Laingtit dan Uyau Asang langsung memandang
Sigau Belawan. Mereka memberi isyarat agar Sigau
Belawan segera mengutarakan maksud kedatangannya.
“Mohon maaf jika kedatangan kami mengganggu
keluarga di sini. Terus terang, saat ini saya sedang mencari
teman hidup. Jika Amai mengizinkan, Saya ingin
mengambil Awing Tiling sebagi istri,” ungkap Sigau
Belawan. ”Oh, begitu. Awing Tiling adalah anak gadisku
satu-satunya. Nanti saya tanya dulu ke Awing, dia
bersedia atau tidak?” jawab Tamen Awing Tiling yang
sudah menduga apa yang hendak disampaikan tamunya.
Awing Tiling dan mamak-nya mendengarkan
pembicaraan dari balik dinding kamar. Awing tampak
bahagia mendengar pembicaraan itu.
“Baiklah, sekarang sudah larut malam.
Beristirahatlah dulu,” ujar Tamen Awing. “Terima kasih,
amai,” jawab mereka serentak. “Kalian bisa tidur di
bawah, atau di atas, terserah kalian,” ucap tamen Awing.
Mereka segera menyambut tawaran itu, terlebih karena
mereka memang sangat lelah setelah menempuh
perjalanan yang cukup jauh.
94 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Sigau Belawan mengajak dua sahabatnya untuk
tidur di atas seperti tawaran tamen Awing. ”Kamu tidur
saja di atas. Biar kami berdua di bawah,” ucap Uyau
Asang. Dua sahabatnya itu tampak ingin memberi
kesempatan pada Sigau Belawan agar lebih mengenal
Awing. Kemudian Sigau Belawan naik bersama Awing
Tiling yang sudah menunggunya.
Hampir sepanjang malam, mereka berbincang.
Keduanya tampak sangat akrab, walau baru bertemu
untuk pertama kalinya. Rupanya mereka saling berjodoh.
Pagi pun tiba. Sigau Belawan segera ke bawah menemui
sahabatnya.
”Bagaimana keputusanmu? Apakah mau
diteruskan?” tanya Uyau Asang kepada Sigau Belawan.
Belum sempat menjawab pertanyaan dua sahabatnya,
Tamen Awing Tiling tiba-tiba muncul.
“Ayo, silakan kalian mandi, setelah itu kita makan.
Awing sudah mempersiapkan makanan untuk kalian. Oh
ya, apakah kalian masih mau menginap atau pulang hari
ini?” tanya Tamen Awing.
“Kami akan pulang siang ini,” jawab Sigau
Belawan. Mereka bertiga kemudian pergi mandi sekaligus
bersiap-siap untuk pulang. Setelah selesai mandi, mereka
makan bersama sambil melanjutkan pembicaraan.
“Bagaimana Sigau, apakah engkau masih bersikukuh untuk
menikah dengan Awing?” tanya tamen Awing. “Saya
tetap mantap untuk menikahi Awing,” jawab Sigau
sepenuh hati.
”Baiklah. Aku juga sudah bicara dengan Awing dan
ia tidak keberatan. Kalau begitu, kapan rencana ini akan
dilanjutkan?” tanya tamen Awing. “Saya akan bicarakan
dahulu dengan keluarga. Nanti Saya kabari lagi,” sahut
Sigau Belawan dengan rasa bahagia. Begitu juga dengan
Awing, yang mengikuti pembicaraan dari balik dinding
kamarnya. Kemudian Sigau Belawan dan sahabatnya
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 95
berpamitan untuk pulang. Awing memberi beberapa ikat
tebu dan makanan, sebagai bekal di perjalanan.
***
Sigau Belawan tiba kembali di rumahnya. Ia segera
menemui mamak-nya yang sudah menunggu dan
menceritakan semuanya dengan wajah ceria. “Janganlah
terlalu lama, segeralah menikah. Aku sudah ingin
menimang cucu,” ujar Tinen Sigau.
Waktu terus berjalan. Setelah semua persiapan
dirasa cukup, Sigau Belawan kembali berbicara dengan
mamak-nya mengenai rencana pernikahan. Saat itu, padi
di ladang sedang menguning. Mamak Sigau meminta agar
pernikahan dilaksanakan setelah panen.
Rencana pernikahan itu sudah menyebar di warga.
Mereka sudah membicarakannya, meski mamak Sigau
Belawan belum memberitahu kepada warga. “Aku
dengar, setelah panen, Sigau akan menikah. Apakah kabar
ini benar?” tanya Tamen Buring, salah seorang tetua
kampung. “Kabarnya begitu. Tapi kita tidak tahu
kebenaran berita itu,” sahut Pampoq. “Tidak bisa mereka
diam-diam begitu. Lebih baik kita ke rumah Sigau
Belawan, untuk memastikannya,” ujar tamen Buring.
Beberapa hari kemudian, perwakilan para tetua
kampung datang ke rumah Sigau Belawan. Lalu mereka
berbincang dengan mamak Sigau Belawan. “Aku dengar,
anakmu akan menikah, setelah panen ini. Benarkah kabar
itu?” tanya Pampoq. “Iya, benar. Maaf, kalau kami belum
memberi tahu. Karena, kalau sudah mendekati hari
pernikahan, baru kami akan memberi tahu,” jawab Tinen
Sigau.
Maka mereka kemudian bersepakat mempersiap-
kan segala sesuatu untuk rencana pernikahan. Hari yang
ditunggu sudah tiba. Persiapan sudah dilakukan beberapa
hari sebelumnya. Para tetua kampung telah

96 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


mempersiapkan upacara adat. Bahkan Sigau Belawan siap
menjemput Awing Tiling.
Sigau Belawan membawa lima perahu untuk
mengiringinya. Pagi-pagi benar mereka sudah berangkat.
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat tibalah
mereka di kampung yang dituju. Ritual adat penyambutan
tamu sudah dipersiapkan warga.
Upacara penyambutan berlangsung sangat meriah.
Hampir semua warga keluar rumah untuk melihat
rombongan Sigau Belawan. Bertemulah dua keluarga
untuk membicarakan rencana pernikahan. Pada saat itu
pula, Laingtit bertemu jodohnya yakni Asung Beluluk Lung
dan Uyau Asang dengan Urai Beluluk Lu’ai.
Berdasarkan kesepakatan, pernikahan akan
dilaksanakan beberapa hari kemudian di kampung Sigau
Belawan. Kemudian pulanglah rombongan Sigau Belawan
esok harinya. Berbagai macam oleh-oleh dari keluarga
dibawanya. Muatan perahu bukannya berkurang, tetapi
semakin penuh dengan barang bawaan. Hal ini
menunjukkan, lamaran Sigau Belawan diterima dengan
sukacita.
Sejak saat itu, di kampung Sigau Belawan terlihat
ramai mempersiapkan acara pernikahan yang akan segera
digelar. Hampir semua warga terlibat mempersiapkannya.
Mereka menyambut bahagia rencana pernikahan Sigau
Belawan.
Upacara adat dan tarian penyambutan tamu sudah
dipersiapkan. Berbagai jenis makanan terbaik sudah siap
dihidangkan. Tibalah hari besar itu. Sigau Belawan
menikah dengan Awing Tiling. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 97


98 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Cerita Tiga:
Dongeng Pelipur Lara

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 99


1. Lencau Kila

T
ersebutlah kisah seorang anak muda bernama
Lencau Kila. Ia sangat gemar berburu ayam hutan.
Demi kegemarannya, terkadang ia harus masuk ke
hutan untuk beberapa hari lamanya. Suatu ketika, ia
memasang jerat sepanjang satu pematang gunung
atau sekitar dua kilometer panjangnya.
Melihat hal itu, Pelusat Encuk ayahnya, memberi
pesan, “Engkau harus periksa jerat itu setiap dua hari
sekali.” Lencau Kila mematuhi pesan itu. Maka, ia rajin
menengok jeratnya. Dua hari pertama, ia susuri seluruh
jerat yang sudah dibuatnya. Ia berangkat seorang diri,
berharap ada ayam hutan masuk dalam jeratannya. Kerja
kerasnya belum membuahkan hasil. Tak seekor ayam
hutan atau hewan terperangkap. Hanya beberapa
potongan kayu dan daun yang berjatuhan menutupi
jeratnya. Lencau Kila pulang dengan tangan hampa.
Pada hari keempat dan keenam ia kembali lagi.
Hasilnya masih tetap sama. Tidak ada seekor ayam hutan
yang terperangkap. “Mengapa tidak ada seekor ayam
hutan atau binatang lain yang masuk dalam jerat ini?”
pikir Lencau Kila sambil berjalan pulang. Maka ia putuskan
akan menengok jeratnya dua hari lagi.
Tibalah hari kedelapan. Ia susuri kembali jeratnya.
Kali ini tampak ada hasilnya. Seekor binatang besar
terperangkap. Lencau Kila lalu mendekat dan melihatnya.
Seekor babi besar meringkuk dalam perangkapnya.
Namun ia biarkan babi itu dan segera ia menceritakan
hasil tangkapannya pada bapaknya.
Pelusat Encuk mendengarkan dengan saksama apa
yang disampaikan anaknya. Lalu ia memberi nasihat,
“Anakku, bawalah bujaq ini esok hari. Tombaklah babi
itu, lalu bawalah pulang.” Lencau Kila mengikuti perintah
bapaknya. Ia sudah persiapkan bujaq yang akan dibawa
100 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
esok harinya. Pagi-pagi benar ia berangkat menuju tempat
babi terkena jerat. Begitu tiba di tempat yang dituju, ia
mengamati babi tangkapannya. Tidak lama setelah itu, ia
tombak babi itu tepat mengenai pantatnya.
***
“Aduh….,” teriak babi itu sambil berlari membawa
bujaq yang tertancap di pantatnya. Lencau Kila tampak
kebingungan dengan suara babi itu. Ia bergegas pulang
dan menceritakan kejadian yang dialami pada bapaknya.
Pelusat Encuk memerintahkan agar Lencau Kila
segera mengejar babi itu dan mengikutinya ke mana babi
itu pergi. Konon babi jadi-jadian itu akan berubah wujud
menjadi manusia jika tiba di kampung. Lencau Kila
mengikuti anjuran bapaknya. Ia segera berlari mengejar
babi itu lalu menelusuri jejak kaki babi yang masih tampak
di tanah. Tidak lama setelah itu, ia tiba di satu kampung.
Ia melihat seseorang sedang berbaring di beranda rumah.
“Maaf, Amai, apakah ada babi yang lewat di sini?”
tanya Lencau Kila. “Aku tidak melihatnya. Tadi hanya ada
orang tua berambut putih yang lewat jalan ini,” jawab
orang itu. “Ke mana perginya orang itu, Amai?” tanya
Lencau Kila. Orang tua itu menunjuk ke arah seberang
sungai. Lalu Lencau Kila berjalan menyeberang sungai.
Bekas jejak kaki babi itu masih tampak. Tibalah ia di
kubangan berlumpur. Tampak beberapa hewan seperti
rusa, kera, kerbau, beruang, sapi sedang berkumpul di situ.
Sebelum rasa herannya terjawab, tiba-tiba tampak
seekor babi sedang mandi di kubangan itu. Terdengar
suara saling mentertawakan dari hewan-hewan itu, karena
yang lain tidak bisa ikut mandi. “Aneh betul suara itu.
Mengapa hewan bisa tertawa seperti manusia?” pikir
Lencau Kila. Ia benar-benar heran dengan kejadian yang Ia
alami. Tidak lama setelah itu, babi itu naik dan berkumpul
dengan hewan-hewan lainnya. Lencau Kila terus

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 101


mengamati. Terdengar babi itu berbicara, “Jika nanti ada
kilat, kita akan berubah menjadi manusia.”
Tidak lama kemudian, terdengar bunyi kilat
menggelegar. Tiba-tiba, berubahlah wujud hewan-hewan
itu menjadi manusia. Lalu orang-orang itu memanggil babi
yang sudah berwujud manusia dengan sebutan Pelaran.
Lencau Kila gemetar karena takut luar biasa.
Namun ia terus mengikuti pembicaraan mereka. Pelaran
sedang menceritakan kejadian yang menimpa dirinya.
Semua orang mendengarkan cerita Pelaran. Tidak seorang
pun beranjak dari tempatnya. “Jika nanti ada orang
menyembuhkanku, tak seorang pun boleh melihatnya,”
ujar Pelaran. Semua mengangguk dan tidak ada yang
berani membantah. Kemudian Lencau Kila memberanikan
diri datang mendekati Pelaran. “Aku datang untuk
menyembuhkanmu,” ucap Lencau Kila.
Lencau Kila lalu mengambil tikar, dililitkan tikar itu
ke badan Pelaran dan dirinya. Terdengar sekilas
perbincangan di antara mereka. Tidak lama setelah itu,
Lencau Kila langsung menarik bujaq yang menancap di
pantat Pelaran. Terdengar suara lirih mengaduh kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara kilat menggelegar kembali dan
Lencau Kila menghilang tanpa bekas.
Pelaran lalu keluar dari tikar dalam kondisi segar
bugar. Orang-orang yang sedang berkumpul merasa heran
dan penasaran Pelaran sembuh dengan cepat. Tatkala
mereka bertanya siapa yang menyembuhkannya, Pelaran
diam tidak menjawab. Setelah itu warga mengadakan
pertemuan untuk menetapkan Pelaran sebagai Kepala
Adat. Pesta adat digelar dengan meriah dan Pelaran
memberi nasihat, “Jika nanti ada berbagai macam buah
yang jatuh dari langit, janganlah kalian berebut.” Esok
harinya banyak sekali buah yang berjatuhan seperti buing,
palan, keramok, dan lain sebagainya.

102 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Lencau Kila dapat menyaksikan semua peristiwa
yang terjadi di kampung itu. Kemudian ia bergegas pulang
dan menceritakan peristiwa itu sambil menyerahkan bujaq
kepada bapaknya. Pelusat Encuk menasihati agar Lencau
Kila tidak membuat jerat lagi dan dianjurkan segera
menikah. Pelusat Encuk kemudian bercerita tentang
seorang gadis yang tinggal di hulu sungai. Gadis itu dirasa
cocok untuk menjadi istri Lencau Kila.
***
Sepekan sudah waktu berlalu. Bapak dan anak itu
mudik ke hulu menggunakan perahu. Perjalanan ditempuh
dalam waktu dua hari dua malam. Gadis dari kampung
hulu itu bernama Ping Ule. Begitu tiba di kampung,
mereka langsung menuju rumah Ping Ule. Ternyata di
rumah itu mereka hanya menjumpai seorang nenek.
Pelusat Encuk memperkenalkan diri dan perbincangan
terjadi di antara mereka.
Tidak lama kemudian Ping Ule datang membawa
sayuran. Tubuhnya masih berkeringat. Melihat cucunya
pulang, nenek itu langsung memperkenalkan Ping Ule
kepada tamunya. Lencau Kila terpana dengan kecantikan
gadis yang sederhana itu. “Aku rasa, Ping ini cocok untuk
dijadikan teman hidup anakku,” ucap Pelusat Encuk pada
nenek itu. Kemudian Lencau Kila dan Ping Ule saling
bekenalan dan saling berbincang dengan ramah.
Sementara itu, Pelusat Encuk memohon agar nenek
itu bersedia menikahkah cucunya dengan Lencau Kila.
Ternyata mereka sepakat mengenai hal itu. Rupanya
Lencau Kila dan Ping Ule juga saling jatuh cinta. “Sesuai
dengan adat, pernikahan harus di tempat laki-laki. Jika
tidak ada halangan, dalam satu bulan ke depan
pernikahan dapat digelar,” usul nenek itu. Lantaran telah
terjadi kesepakatan, kemudian mereka beristirahat karena
malam kian larut.
***
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 103
Keesokan harinya, bapak dan anak itu kembali ke
kampung. Tidak lupa Ping memberikan makanan untuk
bekal perjalanan. Saat itu sungai terlihat mengalir dengan
deras karena hujan semalaman. Kampung mengalami
kebanjiran, namun Pelusat Encuk dan Lencau Kila tetap
berniat pulang.
Peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Sebuah
batu besar tak terlihat oleh mereka. Tanpa disadari perahu
mereka menabraknya. Terdengar keras suara benturan.
Perahu terguling. Pelusat Encuk dan Lencau Kila hanyut
terbawa arus. Naas bagi Lencau Kila, ia tewas tenggelam,
sedangkan bapaknya selamat. Jasad Lencau Kila
ditemukan tiga hari kemudian. Pelusat Encuk dengan rasa
sedih yang mendalam, membawa jasad anaknya untuk
dimakamkan.
Ping Ule dan neneknya semula tidak mengetahui
peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, kabar itu diterima
oleh mereka. Ping Ule dirundung kesedihan luar biasa. (*)

104 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


2. Anyeq Wang

A
Lkisah, hiduplah seorang perempuan bernama Usun
yang sedang jatuh cinta pada Jalung. Ia amat
terpesona oleh kegagahan dan ketampanan Jalung.
Hampir setiap malam, Usun selalu memikirkannya.
Namun Jalung tidak menghiraukannya. “Ia harus
jadi milikku, apa pun caranya,” gumam Usun dalam hati.
Usun berkehendak mengambil jalan pintas. Ia
kemudian mendatangi seorang kakek bernama Pejuta
yang memiliki kesaktian “Penakluk Sukma” dan meminta
agar Jalung terpikat olehnya. “Letakkan barang ini di atas
pintu rumahmu. Lalu, undanglah Jalung ke rumah. Karena
siapapun yang melewati pintu itu, ia akan jatuh cinta
kepadamu, dan kamu harus menikahinya,” pesan Pui
Pejuta.
Usun menyetujui syarat yang disampaikan sang
kakek. Ia segera pulang dan menjalankan anjurannya. Ia
letakkan barang yang sudah diberi mantra tepat di atas
pintu rumahnya.
***
Pada suatu hari, Usun melihat Jalung berjalan tidak
jauh dari rumahnya. Pintu segera dibuka dan ia
memanggilnya. “Kemarilah!” pinta Usun sambil melambai-
kan tangannya. “Ada apakah?” sahut Jalung. “Aku perlu
bantuanmu,” ujar Usun memohon.
Jalung pun luruh pada permintaan itu. Namun
nasib sial menimpa Usun. Saat pintu dibuka, tiba-tiba
seekor anjing menyelonong masuk. Anjing itu pun terjerat
mantra yang telah ia pasang di atas pintu. Sesuai syarat
yang sudah ditentukan, anjing itu jatuh cinta pada Usun.
Ia harus menikahinya dan tidak berani melanggar sumpah.
Jika tak menepati sumpahnya, ia dan keluarganya akan
tertimpa musibah kematian.

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 105


Selang beberapa waktu kemudian, Usun hamil.
Pada saat melahirkan, bayi yang dikandung Usun tidak
seperti manusia pada umumnya. Ia berkepala anjing
namun berbadan manusia. Ia memberi nama anaknya
Anyeq Wang. Waktu terus berlalu. Anyeq Wang
berperilaku aneh, suka menyerang dan memakan manusia
sehingga ditakuti warga kampung. Anyeq Wang dimusuhi
warga dan dianggap sebagai hama yang mengganggu
ketentraman warga.
***
“Korban telah berjatuhan begitu banyak. Kita tidak
bisa membiarkan Anyeq Wang seperti itu. Kita harus
bunuh dia,” ungkap beberapa warga yang sudah sangat
resah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memburu
dan membunuhnya. Seluruh kampung dipagari dengan
tiang bambu yang tinggi. Mereka juga membuat lubang di
pinggir pagar untuk menjeratnya.
Anyeq Wang selalu bisa lolos dari jebakan. Ia
mampu melompat tinggi dan berlari sangat kencang.
Warga telah kehabisan akal untuk menangkapnya. Mereka
putus asa karena tidak menemukan jalan keluar.
Pada suatu hari, Anyeq Wang tertidur di lubang
batang kayu di tengah hutan. Saat itu terlihat mamak-nya
mendatanginya seraya berpesan, “Berhati-hatilah anakku.
Seluruh warga kampung berusaha memburumu. Mereka
berniat membunuhmu. Tetapi mereka tidak akan bisa
membunuhmu dengan benda tajam kecuali dengan kayu
manyi lubang.”
Rupanya pembicaran itu terdengar oleh seseorang
yang sedang berjalan melintasi hutan. Ia segera
menyampaikan hal itu pada warga di kampung. Sejurus
waktu kemudian, beberapa warga pergi mencari kayu
manyi lubang. Tidak terlalu lama mereka mendapatkan-
nya. Satu hari kemudian, mereka beramai-ramai menda-
tangi tempat di mana Anyeq Wang biasa tidur. Ia tidak
106 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
menyadari kedatangan penduduk yang telah geram
dengan ulahnya. Anyeq Wang tertidur sangat pulas.
Beberapa orang mendatangi pelan-pelan agar
Anyeq Wang tidak terbangun. Sedangkan warga yang lain
memagari pohon, agar Anyeq Wang tidak dapat me-
loloskan diri. Begitu sudah dekat, warga kampung
langsung merajamnya beramai-ramai dengan kayu manyi
lubang. Anyeq Wang masih berusaha melawan.
Beberapa orang terluka terkena gigitan dan
cakaran. Namun warga kampung terus saja merajamnya.
Tak lama kemudian, Anyeq Wang terkulai lemas di tanah
dengan luka di sekujur tubuhnya. Matilah ia. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 107


3. Jalung dan Bungan

T
ersebutlah kisah seorang anak bernama Jalung. Sejak
kecil ia selalu bersama bapaknya yang bernama Bo’
Paren. Ia selalu diajak ke ladang maupun berburu
binatang sejak ia kecil. Bo’ Paren melihat Jalung
sudah tumbuh dewasa. Saatnya ia mencari
pendamping hidup. Maka Jalung diminta pergi ke
kampung hulu untuk menemui gadis bernama Bungan
Paren.
Jalung setuju dengan saran bapaknya. Ia panggil
keempat sahabatnya, Asang Lawai Ingan, Suwit Lirung,
Uyeau Anyiq Tukeng Nyampeq Mekelunan, dan Uyeau
Moq untuk menemaninya pergi ke hulu. Mereka
bersepakat pergi, lalu mereka mempersiapkan perahu dan
perbekalan, karena perlu waktu tiga hari untuk sampai di
kampung Bungan Paren.
Perjalanan dimulai. Mereka bergantian
mendayung. Setelah tiga hari dua malam menyusuri sungai
berkelok, mereka berjumpa seorang bapak yang sedang
mencari ikan. Lalu, Jalung menyapa seraya bertanya,
“Kami mau berkunjung ke rumah Bungan Paren. Berapa
jauh jaraknya dari sini?” Orang itu menjelaskan sekitar dua
jam lagi, ia mengajak mereka jalan bersama. Jalung dan
sahabatnya mengikutinya dari belakang dengan perahu-
nya. Tidak lama kemudian mereka tiba di kampung.
Bapak itu mengantar Jalung sampai di depan rumah
Bungan.
Jalung langsung naik ke rumah. Terlihat Bungan
sedang duduk bersama mamak-nya. Melihat Jalung
datang, mamak-nya berujar pada Bungan, “Jika pemuda
itu nanti duduk di atas gong, maka ia berniat untuk
melamarmu. Kalau ia duduk di atas kura-kura, berarti
tidak.” Ketika mereka dipersilakan masuk, Jalung langsung
duduk di atas gong. Melihat hal itu, mamak Bungan
108 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
langsung meminta seorang pemuda untuk memberitahu
warga kalau ada pemuda yang akan melamar Bungan
Paren.
Malam pun tiba. Orang-orang mulai berkumpul di
rumah Bungan Paren untuk melihat Jalung. Mamak Paren
meminta Jalung dan empat sahabatnya menari. Warga
kampung minta Jalung menari sendiri terlebih dahulu
yang dalam tradisi adat tarian itu disebut kancet lasan
lake, kemudian diikut empat orang sahabatnya secara
bergantian.
Musik sampeq sudah berbunyi. Jalung mulai
menari seorang diri. Ia tampil penuh percaya diri. Gerakan
tarinya sangat lincah dan mempesona. Orang-orang
terpukau melihatnya. Tak terasa, bangan yang dihidang-
kan habis. Empat orang sahabatnya kemudian menyusul
menampilkan tarian yang sama indahnya.
Tiba giliran Bungan Paren dan teman-temannya
unjuk diri. Bungan mulai menari kancet lasan letto
sendirian lemah gemulai dengan gerakan yang sangat
indah. Jalung dan empat sahabatnya sangat terpesona.
Tiga orang sahabatnya, Urei Beluluk Lu’ai, Asung Beluluk
Lung dan Bungan Sakai tampil bergantian setelah Bungan
Paren selesai menari. Tarian mereka sama indahnya.
Orang-orang yang hadir merasa puas terhibur.
Tatkala dini hari tiba, pesta adat diakhiri. Salah
seorang tetua adat mengumumkan rencana Jalung
melamar Bungan. Hari baik sudah ditentukan. Jalung
diminta kembali dua minggu lagi. Jalung dan sahabatnya
beristirahat semalam di kampung Bungan. Pada esok
harinya, pulang dengan perasaan bahagia. Setelah tiba di
rumah, Jalung menceritakan peristiwa bahagia itu.
Kemudian Bo Paren memberitahu warga mengenai
rencana pernikahan Jalung.
***

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 109


Warga kampung menyambut gembira rencana
pernikahan itu. Banyak sekali orang yang akan ikut
menjemput Bungan Paren sehingga perahu yang tersedia
tidak cukup. Jalung meminta bantuan sahabatnya untuk
memecahkan masalah ini. Mereka berunding, kemudian
bersepakat untuk membuat jalan darat agar semua orang
bisa ikut.
Jalung dan empat sahabatnya kemudian membuat
jalan yang dapat menembus kampung. Mereka juga
membuat pondok dan pancuran air untuk tempat
beristirahat. Mereka telah bekerja sekuat tenaga dan
pekerjaan itu berhasil diselesaikan selama tiga hari. Sejak
saat itulah, tersedia jalan tembus yang menghubungkan
kampung Jalung dengan Bungan Paren.
Sementara itu warga di kampung sibuk
mempersiapkan berbagai perlengkapan adat. Tidak lupa
pula membuat makanan untuk bekal di jalan. Pada hari
yang sudah ditentukan, mereka berangkat serentak.
Kampung yang biasanya ramai, sejenak menjadi sepi
tanpa penghuni. Rombongan berjalan beriringan sejak
pagi dan beristirahat menjelang malam di pondok.
Rombongan itu tiba di kampung Bungan setelah
menempuh perjalanan selama tiga hari.
Setelah beristirahat sejenak, rombongan itu menuju
ke rumah Bungan. Mereka disambut dengan meriah dan
menyantap berbagai hidangan seperti pitoh, lemang,
daging payau, daging babi, buah ngelamun, belong, setau,
isau, dan minuman jakan yang telah dipersiapkan keluarga
Bungan. Pada malam hari, digelar acara tari-tarian.
Mereka menari sampai pagi.
Keesokan harinya, pernikahan dilaksanakan.
Bungan tampak cantik luar biasa mengenakan kain ta’ah,
dihiasi kalung manik, baju manik dan tapung peq. Begitu
juga dengan Jalung yang mengenakan baju adat
berhiaskan sarung perang (tabit sua), bulu burung enggang
110 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
(beluko) yang menambah kegagahannya. Semua orang
yang hadir tampak kagum dan terpesona akan kecantikan
dan kegagahan kedua mempelai.
Sesuai tradisi, Kepala Adat memberikan petuah
diikuti tokoh kampung lainnya. Kedua mempelai
memperhatikan secara saksama berbagai nasihat yang
diberikan. “Cukup satu kali kalian menikah untuk seumur
hidup. Jangan pernah berpaling kepada yang lain.
Gangguan hidup pasti akan ada, namun keteguhan hati
akan mengatasinya dengan cinta yang sudah kalian
buktikan hari ini,” ucap Kepala Adat memberi nasihat.
Acara pernikahan berakhir. Sebelum warga pulang,
mamak Bungan bertutur kepada orang-orang yang masih
berada di rumahnya, “Mereka sudah menjadi suami-istri.
Besok Bungan akan dibawa pulang. Sebaiknya ada teman
Bungan yang ikut mengantarnya,” Namun Bungan
tampak tidak berkenan dengan mamak-nya, karena
merasa khawatir merepotkan sahabatnya.
“Jika nanti ada yang ikut, siapa yang akan
mengantar pulang. Aku tidak perlu diantar,” ujar Bungan
pada mamak-nya. Dalam rombongan Jalung ada seorang
perempuan muda bernama Utup Taup Balaluang. Ia
mencoba menengahi masalah ini kemudian berkata
“Cukup saya yang menemani. Tidak perlu ada yang
mengantar Bungan.” Mamak Bungan dan orang-orang
yang hadir setuju usulan itu.
***
Keesokan harinya, rombongan Jalung pulang ke
kampung. Dalam perjalanan itu, mereka beristirahat di
pondok seperti sebelumnya. Pada saat itu Bungan
berkehendak mandi di pancuran yang terletak tidak jauh
dari pondok. Utup Taup Balaluang juga punya keinginan
yang sama.
Pancuran hanya ada satu sehingga Bungan dan
Utup harus saling bergantian. Utup mendapat giliran
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 111
pertama. Pada saat Utup mandi, Bungan melepaskan
pakaiannya. Setelah selesai mandi, Utup secara sengaja
mengenakan baju Bungan. Lalu ia tinggalkan Bungan
sendirian. Setelah selesai mandi, Bungan kebingungan
karena pakaiannya sudah tidak ada lagi. Hanya baju Utup
yang tertinggal dan langsung ia kenakan. Bungan langsung
menyusul ke pondok menemui Utup.
“Utup, baju yang kamu pakai itu bajuku!” teriak
Bungan. “Bukan, ini bajuku!” sergah Utup. Pada saat
mereka memperebutkan baju, Jalung tiba-tiba masuk dan
berkata “Sudah istriku, engkau pakai baju Utup saja
dahulu.” Bungan setuju dengan saran suaminya. Ia
mengenakan baju Utup dan segera beristirahat untuk
melanjutkan perjalanan. Pada esok harinya, rombongan
kembali berjalan seharian penuh. Saat hampir tiba di
pondok kedua, Jalung berkata pada Bungan. “Istriku, kita
sudah hampir sampai di pondok kedua. Kita nanti
beristirahat dan bermalam.”
Begitu sampai di pondok, Bungan dan Utup
kembali ingin mandi. Di pondok yang kedua ini, pancuran
juga hanya satu, seperti di pondok yang pertama. Utup
dan Bungan harus bergantian untuk mandi. Pada saat itu
terpikir oleh Bungan untuk mengganti baju yang tertukar.
“Aku mandi dulu, ya?” ucap Bungan sambil memper-
siapkan diri untuk mandi. “Baik, Bungan. Aku tunggu di
sini,” jawab Utup.
Bungan segera melepas baju dan mandi. Sambil
menunggu Bungan mandi, Utup juga melepas bajunya
dan diletakkan di samping baju Bungan. Siasat Bungan
berhasil. Ia pakai kembali baju yang sudah tertukar setelah
selesai mandi. Utup juga mengenakan bajunya sendiri.
Perjalanan dilanjutkan esok harinya dan rombongan tiba
di kampung pada sore hari.
Jalung dan Bungan memulai hidup baru dengan
rasa bahagia. Tidak lama berselang Bungan mengandung.
112 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Jalung semakin mencintai istrinya. Ia selalu membawakan
sayur-sayuran dan buah dari hutan untuk istrinya. Usia
kandungan Bungan sudah hampir sembilan bulan. Pesta
syukur harus diadakan, namun tidak ada apa pun tersedia
di rumah. Lalu, Bungan meminta agar Jalung pergi ke
hutan mencari sayur dan berburu binatang. Jalung
memenuhi permintaan istrinya. Pagi-pagi sekali Jalung
sudah berangkat dan menitipkan istrinya pada Bo’ Paren,
bapaknya.
***
Jalung sudah selama satu minggu berada di hutan,
namun tak jua kembali ke kampung. Tibalah saat Bungan
melahirkan, namun di rumah tidak ada siapa-siapa karena
Bo’ Paren sedang di ladang. Utup datang tiba-tiba, lalu
membantu Bungan melahirkan. Bungan melahirkan
dengan selamat dan Utup berkata pada Bungan, “Ini
anakku, bukan anakmu!”
Bungan bingung dan tidak mengerti yang dimaksud
Utup. Sementara itu kondisi kesehatan Bungan masih
lemah, Utup bersikeras anak yang baru dilahirkan adalah
anaknya, dan Jalung adalah suaminya. Perilaku Utup tidak
berhenti di situ, dengan kasar ia mengusir Bungan.
“Daripada aku mati di sini, lebih baik aku pulang ke
kampung,” pikir Bungan dalam hati.
Bungan memutuskan pulang kampung, meski
kondisinya masih sangat lemah. Ia susuri kembali jalan
darat dan hanya berbekal satu butir telur ayam. Ia pulang
dengan derai air mata kesedihan. Tibalah ia di pondok
yang dulu ia singgahi. Saat ia hendak mandi dan minum,
pancuran itu sudah tidak ada lagi. Dalam kondisi haus dan
lapar, telur ayam yang ia bawa tiba-tiba menetas. Seekor
ayam jantan ke luar dari cangkangnya. Tidak seperti ayam
lainnya, ayam jantan ini tumbuh sangat cepat.
Ayam jantan ini tahu Bungan kehausan. Ia langsung
terbang menuju sungai mengambil air dan memberikan
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 113
kepada Bungan untuk diminum. Malam itu Bungan
beristirahat di pondok bersama ayam jantannya. Esok
harinya, ia melanjutkan perjalanannya dengan ditemani
ayam jantan itu.
Bungan tiba di pondok kedua dan bermaksud
istirahat. Namun ia mendapati pondok itu sudah rusak. Ia
lalu berjalan mengelilingi pondok dan melihat asap
membumbung di bawah sebuah jurang. Bungan minta
ayam jantan itu mendatangi sumber asap. Ayam jantan itu
melihat sumber asap berasal dari pondok yang terlindungi
pepohonan yang dihuni kakek dan nenek. Ayam jantan
itu kemudian memberitahu Bungan dan mengajak
mengunjungi pondok itu.
Setiba di pondok itu, nenek itu terkejut melihat
kedatangan Bungan. Selama ini, mereka tidak pernah
kedatangan tamu karena rumahnya jauh di tengah hutan.
Bungan kemudian menceritakan peristiwa yang menimpa
dirinya. Nenek itu merasa sangat iba dan meminta Bungan
beristirahat di pondoknya. Bungan menginap semalam
dan tenaganya pulih kembali. Setelah dirasa cukup kuat,
Bungan melanjutkan perjalanan. Kakek dan nenek itu
melepas kepergian Bungan dengan berat hati. Setelah
empat hari berjalan, Bungan tiba di kampung.
Mamak-nya terkejut melihat Bungan sendirian.
Bungan lalu bersimpuh di kaki mamaknya dengan derai
air mata. Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa
dirinya dengan penuh kesedihan. “Aku sudah curiga
sebetulnya, ketika Utup menawarkan diri menemanimu.
Tapi tidak apalah, nanti kita selesaikan,” ucap mamak
Bungan menenangkan hati anaknya.
***
Sementara itu, anak Bungan yang tinggal bersama
Utup menangis terus sepanjang hari. Ia tidak pernah
mendapatkan air susu dan kasih sayang dari mamak-nya.
Utup berpikiran membuang bayi itu karena telah
114 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
menyusahkannya. Maka, ia berencana membuang ke
sungai. Utup kemudian mencari labu putih besar (urung)
di hutan. Setelah dapat, ia belah dan mengeluarkan semua
isinya. Bayi itu kemudian ia masukkan dan diikat dengan
rotan, lalu bayi itu ia larutkan ke sungai. Utup kemudian
pulang sambil menunggu Jalung datang. Tidak lupa ia
memakai baju Bungan.
Tidak lama setelah itu, Jalung datang. Ia melihat
ada sesuatu yang berbeda pada perut “istrinya”. Ia
berpikir istrinya telah melahirkan saat ia masih berburu di
hutan. “Apakah engkau sudah melahirkan?” tanya Jalung.
Utup kebingungan, ia berpikir sejenak untuk menjawab
pertanyan itu. “Maafkan aku. Saat engkau pergi berburu,
aku jatuh dari tangga rumah. Bayi yang ada di perutku
tidak terselamatkan,” jawab Utup dengan terbata-bata.
Jalung sedih mendengar penjelasan itu. Ia merasa
bersalah telah pergi terlalu lama sehingga tidak bisa
menjaga istrinya. Ia peluk erat-erat Utup, yang dikira
istrinya, dan meminta maaf atas kejadian yang
menimpanya. Ia menangis dipelukan Utup.
Sementara itu, bayi yang dihanyutkan Utup
ditemukan oleh Pebudaq tersangkut di jaring ikan
(bading) miliknya. Ia melihat ada benda tersangkut di
jaringnya, lalu diangkatnya dan dibawa pulang untuk
diberikan kepada istrinya. Saat menerima benda itu,
istrinya mendengar ada suara tangis bayi. Betapa
terkejutnya mereka. Bayi itu kemudian digendong dan
berusaha untuk mendiamkannya. Mereka langsung
terpikir pada Jalung dan Bungan, karena saat itu ia ikut
rombongan mengantar Jalung ke rumah Bungan.
Meski benaknya masih diselimuti banyak
pertanyaan, Pebudaq memberi nama bayi itu Lencau
Jalung. Mereka mengasuh Lencau Jalung dengan penuh
kasih sayang. Singkat cerita, Lencau Jalung tumbuh
remaja. Pada suatu hari Lencau meminta izin untuk
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 115
berburu ke hutan. Saat itu, usia Lencau dua belas tahun,
sehingga ia dilarang berburu karena dianggap masih kecil.
Namun Lencau bersikukuh untuk pergi berburu. Pebudaq
akhirnya mengizinkan dengan syarat tidak boleh terlalu
jauh masuk ke hutan.
Pebudaq menyiapkan peralatan berburu sementara
istrinya menyiapkan bekal makan. Pebudaq khawatir jika
Lencau berburu sampai di kampung dan berjumpa Jalung.
Lencau menyusuri hutan selama tiga hari dua malam. Pada
perburuan pertama, ia membawa pulang seekor payau.
Merasa berhasil, Lencau ingin kembali berburu. Pada
perburuan kedua, Lencau berburu sampai hulu sungai
melewati kampung. Ia telah masuk terlalu jauh ke dalam
hutan. Setelah lelah berburu, ia beristirahat di sebatang
pohon besar. Tiba-tiba mata Lencau melihat pondok di
tengah ladang. Lencau lalu berjalan menuju pondok itu.
Begitu sampai, ia memanggil orang yang ada di dalam
pondok.
Tidak lama kemudian, seorang perempuan berusia
setengah tua ke luar pondok. Lalu, Lencau meminta air
karena ia kehausan. Lencau langsung naik ke pondok dan
minum segelas air yang diberikan untuknya. Kemudian
Lencau memperkenalkan dirinya. Mamak itu terkejut
mendengar nama Lencau Jalung. Ia termenung dalam
diam dan tidak berbicara apa-apa. Lencau terus bercerita
mengenai asal-usulnya dan orang yang mengasuhnya,
sebagaimana Pebudaq menceritakan asal-usul Lencau.
Mamak pemilik pondok mulai curiga, Lencau
adalah anaknya karena ada nama Jalung dibelakangnya.
Selain itu, wajah Lencau sangat mirip dengan suaminya.
Pada saat pikirannya masih berkecamuk dengan banyak
pertanyaan, tiba-tiba Lencau bertanya “Mohon maaf,
nama Weq siapa?” Perempuan itu masih terdiam,
kemudian berkata pelan “Bungan, Nak.” Lencau
mengangguk sambil meneruskan kisahnya.
116 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
Bungan sangat penasaran dengan anak yang datang
ke pondoknya. Tidak jauh dari tempat itu ada seorang
peramal bergelar Laking Kiyoq. Bungan meminta agar
Laking Kiyoq sudi datang ke pondoknya. Setiba di
pondok, Bungan meminta agar Laking menujumkan
riwayat dan nasib anak itu. Lencau hanya terdiam saja
ketika Laking Kiyoq mengelus telapak tangannya dan
menatap matanya.
Sejurus waktu kemudian, Laking Kiyoq berkata
“Menurut penglihatanku, ia anak Jalung dan Bungan. Ada
seorang bernama Utup yang mengacaukan, karena ingin
merebut Jalung. Utup mengambil bayi itu sewaktu lahir
dan mengusir Bungan. Tetapi, Utup tidak bisa
memeliharanya, lalu menghanyutkannya ke sungai.”
Mendengar penjelasan itu, Bungan langsung
memeluk Lencau dan menciumnya. Air mata bahagia
membasahi pipinya. Lencau masih belum paham apa yang
sedang terjadi. Ia hanya terdiam dan merasakan satu
kedamaian.
“Engkaulah anakku yang kurindu,” ucap Bungan
lirih.
Lencau terpukau sejenak.
Lalu terdengar suara ayam jantan berkokok
memecah kesunyian. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 117


4. Buy dan Monyet yang Licik

A
Lkisah, hiduplah pasangan suami-istri bernama Buy
dan Uyoq. Pada satu hari, mereka berencana
menugal di ladang. Sesuai dengan tradisi, menugal
dilakukan secara bergotong royong. Maka keluarga
yang hendak menugal biasanya mempersiapkan
hidangan untuk disantap saat usai menugal.
Buy meminta izin kepada istrinya pergi berburu ke
hutan. Sebelum berangkat ia menyantap makanan yang
telah disiapkan oleh istrinya. Ia makan sangat lahap.
Selesai makan, ia langsung menyiapkan peralatan untuk
berburu. Sementara Uyoq menyiapkan bekal perjalanan
untuk suami tercinta.
Pada saat berada di tengah hutan, Buy bertemu
seekor payau jantan. Ia urungkan niat untuk menangkap
payau itu, karena terlihat kurus. Buy melanjutkan
perburuan. Ia melihat seekor babi jantan yang gemuk
sedang berjalan mencari makan. Ia merasa babi itu cukup
untuk lauk saat usai menugal. Buy berjalan mengendap ke
arah babi yang tidak menyadari kedatangannya. Segera
Buy mengayunkan bujaq. Babi itu berusaha lari meski
sudah terkena bujaq, namun tidak lama jatuh terkulai
kehabisan darah.
Buy segera mengikat kaki itu, kemudian
mengangkatnya dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Buy melanjutkan perburuannya. Kali ini ia bertemu seekor
monyet bergelantungan di pohon. Monyet itu melihat
Buy. Ia ingin tahu apa yang sedang dicari dan dilakukan.
“Hai, apa yang sedang kau lakukan di hutan ini?” teriak
monyet itu. Buy terkejut lalu cepat menjawab, “Aku
sedang mencari binatang buruan untuk lauk menugal
besok. Tapi yang kucari, binatang yang gemuk.”

118 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


“Ambil saja aku,” jawab monyet itu. “Seberapa
gemuk dirimu?” tanya Buy. “Dua kali lipat setinggi langit
dan sedalam sungai,” sahut monyet itu.
***
Mendengar jawaban itu, Buy menyuruh Monyet
masuk ke dalam kiang yang dibawanya. Buy kemudian
jongkok agar monyet bisa masuk. Monyet itu kemudian
masuk ke dalam kiang. Pada saat masuk, monyet dan Buy
saling membelakangi.
Ketika Buy mencoba mengangkat, monyet itu
berpegangan erat di tunggul kayu yang ada di depannya.
“Ah, mengapa aku tidak bisa mengangkatnya?” gerutu
Buy dalam hati. Buy terus berusaha, tapi selalu gagal. Ia
tidak tahu kalau monyet itu telah berbuat licik kepadanya.
“Kamu tidak usah membawa aku, karena aku
terlalu berat. Sekarang begini saja, kamu yang masuk di
kiang ini dan aku akan mengangkatnya. Nanti kita lihat,
siapa yang lebih kuat di antara kita,” tantang Monyet.
Tanpa berpikir panjang, Buy menyetujuinya. Ia langsung
masuk ke dalam kiang dan monyet itu langsung
mengangkatnya. “Aku mau dibawa ke mana? Turunkan
aku segara!” teriak Buy keras-keras.
Monyet itu terus saja berjalan menuju pohon
beringin yang tinggi di tengah hutan. Terdengar suara
sangat riuh dan saling bersahutan dari sekawanan monyet.
Buy sangat gelisah. Beberapa monyet mendatanginya.
Mereka melihat-lihat Buy yang sedang meringkuk dalam
kiang. Buy langsung dibawa ke atas pohon secara
beramai-ramai. Buy melihat banyak sekali monyet di situ.
Ternyata pohon beringin itu rumah mereka. Sejak saat itu,
Buy menjadi tawanan sekawanan monyet. Ia tidak bisa
melarikan diri karena gerak-geriknya selalu diawasi.
***
Pada suatu hari, monyet yang membawa Buy,
pergi mencari buah. Adapun monyet yang lain tetap
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 119
menjaganya. Monyet itu pulang dengan membawa buah-
buahan yang cukup banyak dengan aneka rasa. Sementara
itu, Buy terus berpikir agar ia bisa lolos dan pulang ke
kampung. Ia menemukan rencana. Buy menyuruh
kawanan monyet pergi mencari buah lagi. Mereka pun
setuju.
Hingga hari pertama mereka mencari buah,
beberapa monyet masih terus menjaga dan mengawasi
Buy. Pada hari ketiga, Buy menyuruh kawanan monyet
mencari kulit kayu merah karena buah sudah banyak.
Mereka mengikuti perintah dan membawa kulit kayu
merah cukup banyak. Pada hari keempat, Buy menyuruh
monyet mencari buah lagi. Pada saat mereka pergi, Buy
membuat kulit kayu merah menjadi tali. Ia membuat tali
sepanjang-panjangnya hingga ke tanah tanpa diketahui
oleh mereka. “Ah, tinggal menunggu hari baik, aku akan
melarikan diri,” cetus Buy dalam hati.
Pada hari kelima, Buy menyuruh semua monyet
pergi mencari buah yang lebih banyak lagi. “Aku akan
menjaga sarang kalian,” ucap Buy. Namun mereka tidak
percaya. Lalu Buy berusaha meyakinkan mereka bahwa ia
tidak mungkin dapat melarikan diri. “Pohon beringin ini
tinggi dan besar. Aku tidak mungkin bisa turun dan
melarikan diri,” ucap Buy meyakinkan sekawanan moyet
itu.
Kawanan monyet itu masih ragu dan belum
percaya sepenuhnya. Mereka lalu berbicara satu dengan
yang lain. Seekor anak monyet akan ditinggal untuk
menjaga dan mengawasi Buy. Kawanan monyet itu
langsung bergegas pergi mencari buah. Buy menunggu
waktu yang tepat. Saat anak monyet itu mengantuk, ia
mulai bersiap-siap. Tatkala anak monyet itu tertidur, Buy
segera menurunkan tali pelan-pelan agar anak monyet
yang tertidur pulas tidak terbangun. Ia langsung berusaha

120 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


turun, saat kedua kakinya berhasil menyentuh tanah, ia
berlari sekuat tenaga dan berhasil meloloskan diri.
Tidak lama kemudian, sekawanan monyet datang
membawa buah-buahan, namun sudah tak mendapati Buy
di atas pohon. Suara teriakan sekawanan monyet saat
mencari Buy, saling bersahutan hingga menggema di
seluruh hutan. Suara itu mampu didengar sekawanan
monyet lain yang masih sibuk mencari buah. Mereka
langsung memutuskan kembali ke sarang. Tidak berapa
lama, mereka semua sudah berkumpul.
Tanpa diperintah, kawanan monyet itu langsung
mengejar Buy dengan mengikuti jejak kakinya. Saat
mengejar, mereka mengeluarkan suara yang sangat ribut
sehingga Buy dapat mendengarnya. “Mereka mengejar-
ku,” ucap Buy dalam hati dengan perasaan amat panik.
***
Buy segera berlari kencang. Ia melihat ada satu
rumpun pohon bambu yang sangat lebat di tepi sungai. Ia
memutuskan bersembunyi. Kawanan monyet tampak
semakin dekat. Buy semakin panik. Ia memanjat pohon
bambu hingga melewati batang tengahnya. Kawanan
monyet sudah berada tepat di bawah Buy. Mereka
melihat bayangan Buy di sungai. Mereka berpikir, itu Buy.
Kemudian mereka langsung terjun ke sungai satu per satu.
Ternyata di sungai itu terpasang bubu. Sekawanan
monyet yang terjun ke sungai terjerat dan mati. Namun
ada seekor monyet selamat karena tubuhnya terlalu besar.
Ia berusaha menangkap bayangan Buy, tapi selalu gagal.
Monyet besar itu kedinginan karena terlalu lama di air. Ia
lalu naik dan duduk di tepi sungai, sambil memperhatikan
bayangan Buy. Lama kelamaan ia menguap dan
mengantuk. Monyet itu berbaring di tepi sungai dan
mendongak ke atas. Terkejutlah ia melihat Buy sedang
berpegangan pada sebuah batang pohon bambu. Tanpa
pikir panjang, monyet itu langsung memanjat dan
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 121
berusaha menangkap Buy. Ia terus berusaha naik dengan
tubuhnya yang besar.
Buy berusaha menjauh dari jangkauan monyet.
Sekuat tenaga dengan kedua tangannya, ia berusaha
berpindah dari satu batang ke batang yang lain. Ia berhasil
sampai ke ujung bambu sementara monyet itu masih
berada agak jauh darinya. Satu batang pohon bambu yang
dinaiki monyet tiba-tiba pecah. Tubuh monyet itu terjepit
disela-selanya sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.
Buy bergegas turun dan menebang pohon bambu.
Begitu roboh, Buy menikam monyet itu hingga mati.
Setelah beristirahat sejenak, Buy turun ke sungai untuk
mengangkat bubu berisi monyet yang terjebak di
dalamnya. Ia angkat satu per satu ke tepi sungai, lalu
dibawa ke pondok ladang. Begitu selesai, Buy pulang
kampung dan memanggil warga untuk membantu
menugal di ladangnya.
Warga kampung berdatangan ke ladang. Seusai
menugal, Buy membagikan daging monyet dengan jumlah
yang cukup banyak. Ternyata daging yang tersisa masih
banyak. Buy membawa pulang dan orang-orang yang
tidak ikut menugal datang ke rumahnya meminta bagian.
“Kalian tidak ikut menugal, sehingga tidak berhak
mendapatkan daging ini,” kata Buy kepada orang-orang
yang terus berdatangan kerumahnya.
Warga kampung pulang dengan tangan hampa,
karena tidak mendapatkan daging monyet sedikit pun.
“Siapa bekerja, ia dapat,” ujar Buy menasihati mereka. (*)

122 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


5. Burui

B
urui si anak yatim tinggal di kampung bersama
mamaknya. Mereka hidup miskin, sehingga
mamaknya harus bekerja keras memenuhi
kebutuhan hidupnya. Suatu hari, Burui menemani
mamak-nya menjemur padi. Tiba-tiba muncul
seekor burung ilang bertengger tidak jauh darinya. Burung
itu menantang Burui untuk menyumpit pantatnya.
“Wit iciu, nyumpit lubang burit (sumpit pantat
saya),” bunyi burung Ilang itu. Namun sayang, Burui
memiliki sumpit, namun tidak punya anak sumpit.
Mendengar suara burung ilang yang aneh itu, Burui tidak
tinggal diam. Ia berusaha mendapatkan anak sumpit
dengan berbagai cara. Usaha kerasnya berhasil. Ia
mendapatkan dua anak sumpit, satu berbentuk lurus dan
satunya bengkok.
Disumpitlah burung itu dengan anak sumpit
pertama, namun bidikannya meleset jauh dari sasaran.
Burui mencoba anak sumpit kedua. Bidikannya tepat
menembus leher. Burung ilang itu mati tersungkur di
tanah.
Burui mengambil burung itu dan segera
membersihkan bulunya lalu dimasaknya. Burui makan
sangat lahap dan meminta mamak-nya juga turut
menyantap. Namun tiba-tiba burung itu berbicara, “Tidak
usah kau berikan mamak-mu. Habiskanlah semua.” Burui
merasa heran. Namun, ia ikuti perintah untuk
menghabiskan semuanya. Tidak tersisa sedikit pun untuk
mamak-nya.
***
Usai makan, perut Burui terasa sakit luar biasa. Ia
lalu pergi buang air besar. Duduklah ia di atas sebuah
batang. Tidak terduga keluarlah kotoran dari perut Burui
berkelok-kelok seperti anak sumpit yang membunuh
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 123
burung tersebut. Hal aneh lain terjadi. Kotoran kedua
yang keluar berbentuk emas batangan. Namun ketika
hendak diambil, tiba-tiba raib. Burui gagal
mendapatkannya.
Perut Burui masih terasa sakit. Ia kemudian
mempersiapkan jerat agar jikalau kotoran ketiga keluar
emas batangan lagi, Ia akan langsung bisa
mendapatkannya. Namun apa yang terjadi? Kotoran
ketiga hanya kotoran biasa tanpa benda apa pun. Namun
sejak saat itu, Burui berubah menjadi kaya raya. Menurut
cerita warga, bapak Burui adalah orang yang kaya raya.
Sebelum ia meninggal, harta kekayaannya dititipkan
kepada burung ilang tersebut.
Kehidupan Burui dan mamaknya telah berubah.
Mereka yang semula sangat miskin berubah menjadi kaya
raya. Mereka hidup serba berkecukupan. Burui menginjak
dewasa dan berkeinginan mencari teman hidup. Ia
meminta mamaknya mencarikan jodoh. Mendengar
permintaan itu, mamak Burui mendatangi beberapa gadis
cantik di kampungnya. Didatangilah Asung Beluluk Lung,
Urai Beluluk Lu’ai, dan Bungan.
Pertama kali yang didatangi mamak Burui adalah
Bungan. Ia anak seorang bangsawan yang kaya raya.
Namun Bungan menolak karena jijik melihat luka
korengan sebesar daun keladi di bibir Burui. Padahal
Bungan belum mengetahui kondisi Burui yang sudah
menjadi orang kaya raya. Bungan masih berpikir, Burui
anak yang miskin dan korengan seperti yang ia lihat ketika
Burui masih kecil.
Mamak Burui kemudian menemui Urai Beluluk
Lu’ai dan menyampaikan hal yang sama. Tanpa disangka,
Urai Beluluk Lu’ai menerima permintaan itu, meski Urai
Beluluk Lu’ai juga tidak mengetahui kondisi Burui saat ini,
namun ia menerimanya. Mamak Burui sungguh bahagia.
Lalu ia memberikan cincin, kalung, dan gelang yang
124 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
terbuat dari emas sebagai tanda sukacita. Sebelum pamit
pulang, Mamak Burui menyampaikan pesan bahwa nanti
malam, Burui akan berkunjung ke rumah. Urai Beluluk
bersedia menunggu dan menjumpai Burui.
Setiba di rumah, Ia menceritakan hasil kunjungan-
nya. Burui terlihat sangat gembira mendengar hal tersebut.
Malam pun tiba. Burui memenuhi janji. Bersama empat
orang temannya, Ia berjalan menuju rumah Beluluk Luai.
Sambil berjalan, mereka memainkan sampeq. Musik yang
mereka mainkan sangatlah indah. Beluluk Luai sangat
tersanjung dengan alunan musik yang mereka mainkan.

Sebelum singgah ke rumah Urai Beluluk Lu’ai,


Rombongan Burui sengaja melewati rumah Bungan.
Betapa terkejutnya Bungan tatkala melihat Burui berjalan
paling depan memimpin teman-temannya memainkan
musik nan indah. Bungan melihat Burui yang sekarang
sangatlah berbeda. Ia tampan dan gagah perkasa. Tidak
ada lagi koreng di bibirnya. Bungan menyesal telah
menolak permintaan mamak Burui.
***
Sebelum Burui tiba di tempat yang dituju, diam-
diam Bungan bergegas mendatangi rumah Beluluk Luai.
Mereka berdua terlibat percakapan. “Mengapa kau yang
dapat, padahal mamak-nya pertama kali mendatangiku,”
ucap Bungan ketus. “Aku tidak tahu tentang hal itu. Ketika
Weq datang dan menanyaiku, aku menjawab mau. Lalu
Weq memberikan hadiah padaku,” ucap Beluluk Luai.
Saat asyik berbincang, mereka tak menyadari Burui
datang dan mendengar semua pembicaraan itu. “Bungan,
engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini sudah
nasibmu, karena menolak lamaran dan menghinaku,” ujar
Burui. Seketika itu Bungan terdiam. Raut wajahnya
menampakkan penyesalannya yang mendalam. Lalu, ia
bergegas pergi.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 125
Beberapa hari kemudian, Mamak Burui mengum-
pulkan para tetua kampung untuk membicarakan rencana
pernikahan anaknya. Mereka menyambut gembira
rencana itu dan memberi tahu warga setelah ditentukan
waktunya. Warga kampung amat terkejut mendengar hal
ini, karena mereka juga belum mengetahui kondisi
keluarga Burui saat ini. “Mengapa Urai Beluluk Luai yang
cantik jelita mau menerima Burui yang miskin dan
korengan?” gerutu beberapa warga kampung.
Hari pernikahan telah tiba. Warga kampung
berbondong-bondong datang ke rumah Burui. Mereka
terkesima melihat keadaan rumah Burui yang sudah sangat
jauh berbeda. Pernikahan digelar sangat meriah. Upacara
adat dengan berbagai tarian digelar hingga beberapa hari.
Seluruh penduduk kampung menikmatinya.
Beberapa hari setelah pernikahan, Burui berke-
hendak memboyong Beluluk Luai ke rumahnya. Suatu
senja, Bungan datang menemui Beluluk Luai. Ia masih
belum bisa menerima kenyataan yang ia alami. Bungan
meminta agar diperbolehkan tinggal bersama keluarga
Burui. Meskipun mendapat penolakan, Bungan tetap
nekat ikut tinggal bersama mereka. Bungan terus
mengikuti ke mana pun Urai Beluluk Lu’ai pergi. Ia
khawatir akan ditinggal.
***
Saatnya pun tiba, Urai Beluluk Luai pindah ke
rumah Burui. Bungan tetap bersikukuh ikut serta. Pada
saat malam tiba, Burui tidur di samping Urai Beluluk Luai.
Bungan yang masih belum bisa menerima kenyataan, ikut
pula tidur di samping mereka. Pada saat mereka tertidur
lelap, Bungan memindahkan Urai Beluluk Luai di beranda
rumah. Ketika terbangun, Burui kaget terperanjat biasa. Ia
tidak mendapati istrinya tidur di sampingnya. Burui
langsung berdiri mencarinya. Tidak disangka, ia melihat

126 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


istrinya tidur sendirian di beranda rumah. Ia segera
memindahkannya.
Saat pagi tiba, Burui minta agar Bungan pergi dari
rumahnya dan tidak mengganggu keluarganya lagi.
Bungan akhirnya pergi dengan derai air mata kesedihan.
Sejak saat itu, Burui dan Urai Beluluk Lu’ai hidup
bahagia. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 127


6. Padiu

T
ersebutlah kisah seorang anak laki-laki yang hidup
sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah meninggal
ketika ia belum menginjak dewasa. Padiu nama
anak itu. Selain hidup miskin, ia mengidap penyakit
yang tak kunjung dapat disembuhkan. Padiu benar-
benar menjadi anak yang malang sepanjang hidupnya.
Padiu merasa tersiksa luar biasa oleh penyakitnya.
Setiap kali mau buang air besar, Ia selalu kesakitan. Rasa
nyeri juga terasa ketika ia sedang duduk. Pada saat Padiu
dewasa, terpikir olehnya untuk pergi merantau agar nasib
bisa berubah menjadi lebih baik. Keinginan Padiu
merantau begitu kuat. Ia segera meninggalkan kampung
dan hanya berbekal baju yang melekat di tubuhnya serta
mandau peninggalan orang tuanya.
Siang dan malam ia berjalan sendiri. Sesekali
berhenti sekedar melepas lelah. Harapan akan nasib yang
lebih baik membuatnya tidak merasa letih. Setelah
beberapa hari berjalan, Padiu tiba di sebuah kampung. Ia
lalu membuat rumah sederhana di ujung jalan. Ia mulai
membuat lesung. Itulah keahlian yang diwarisi dari
bapaknya. Hampir setiap hari Ia disibukkan dengan
pekerjaan ini.
Pada suatu hari, saat ia sedang membuat Lesung,
Jalung beserta rombongannya melintas. Mereka sebenar-
nya satu kampung dengan Padiu yang sama-sama sedang
merantau. Rombongan Jalung berhenti. “Sedang
membuat apa, Engkau?” tanya Jalung. “Lesung laran,”
jawab Padui. ”Balangian (babi besar)?” tanya Jalung.
“Bukan, lesung laran,” jawab Padui. Tampaknya Jalung
tidak mendengar jawaban Padiu. Berkali-kali Jalung selalu
berucap seperti itu. Lantaran kesal, Padiu kemudian
menjawab seperti yang disampaikan Jalung.

128 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Jalung berpikir, Padiu telah mendapatkan tang-
kapan babi besar. Lalu, Jalung meminta sedikit bagian.
“Tentu saja bisa. Nanti aku bungkuskan,” jawab Padiu
ketus. Kemudian Padiu pergi ke belakang untuk buang air
besar. Ia lalu membungkus kotorannya untuk diberikan
pada Jalung. Tidak lama berselang, Ia langsung
memberikan bungkusan itu sambil berujar, “Ambillah, dan
makanlah dengan rombonganmu.”
***
Setelah mendapat bungkusan, Jalung dan rom-
bongannya melanjutkan perjalanan. Padiu berpikir, Jalung
pasti akan marah, ketika melihat isi bungkusannya. Padiu
segera melarikan diri. Sementara itu, Jalung dan rom-
bongan berhenti sejenak untuk istirahat dan makan.
Jalung meminta agar segera membuka bingkisan yang
diberikan Padiu. Namun sebelum membuka bungkusan,
tiba-tiba terdengar teriakan dari salah seorang anggota
rombongan “Ah, di sini rasanya tidak enak. Ada bau
kotoran manusia. Ayo kita pindah tempat lain saja.”
Beberapa orang merasakan bau yang sama. Mereka
kemudian pindah ke tempat lain untuk menghindari bau
tersebut. Namun bau itu terus mengikuti. Jalung merasa
penasaran dan jengkel dengan bau yang tidak mau pergi
tersebut. Namun ia tetap memerintahkan rombongan
untuk berhenti dan segera memasak walau bau terasa
menyengat. Orang-orang mengikuti perintah Jalung. Ada
yang mencari kayu bakar, mempersiapkan api, dan ada
yang membuka bungkusan. Pada saat bungkusan dibuka,
terdengar satu teriakan. “Ooooohhhh, ini rupanya sumber
bau itu! Ini kotoran manusia bukan balangian.”
Jalung terlihat sangat marah. Begitu juga dengan
anggota rombongan lainnya. “Sudah, kita istirahat dan
makan saja dulu. Nanti kita cari Padiu dan kalau ketemu
kita beri pelajaran dia,” perintah Jalung. Mereka segera
membuang bungkusan itu. Beberapa orang terlihat sibuk
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 129
mempersiapkan masakan. Mereka sudah terburu-buru
ingin segera mencari Padiu. Selesai makan, mereka
langsung menuju rumah Padiu. Namun rumah terlihat
kosong tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padiu telah
pergi.
Padiu terus berlari agar rombongan Jalung sulit
mengejarnya. Pada saat di tengah jalan, Ia menemukan
satu lubang kepiting. Ia berencana sembunyi dan
beristirahat di situ. “Wahai kepiting, tolong kamu masuk
lagi. Aku mau sembunyi,” pinta Padiu kepada Kepiting.
“Ah, mana mungkin, ini sudah paling ujung,” jawab
Kepiting.
Padiu tetap memaksakan diri masuk walau
tempatnya sempit. Tubuh Padiu tidak bisa masuk
seluruhnya. Hanya bagian kepala hingga pinggang yang
bisa masuk, sedangkan pantat ke bawah berada di luar.
Jalung dan rombongan terus mengejar. Mereka tiba di
tempat persembunyian Padiu.
Udara sangat gerah, sehingga mereka kehausan.
“Kita istirahat di sini sebentar. Cepat cari air,” perintah
Jalung. Pada saat bersamaan, salah satu anggota
rombongan melihat sosok warna merah di lubang
kepiting. “Ah, bunga apa itu? Ayo coba kita cicipi, siapa
tahu bisa mengusir rasa haus,” ujar salah seorang di antara
mereka. Satu persatu anggota rombongan menjilati.
Mereka tidak tahu, kalau itu pantat Padiu yang terkena
penyakit. Tiba giliran seorang rombongan yang giginya
ompong menjilatinya. Padiu merasa geli tak tertahankan.
Ditariknya benjolan itu ke dalam.
“Kenapa engkau telan benda itu? Kami semua
masih haus,” teriak salah seorang. “Aku tidak
menelannya,” jawab lelaki ompong itu. Mereka tetap
tidak percaya, kemudian mencoba memukul-mukul
tengkuk lelaki ompong itu. Namun tetap saja tidak ada
benda apa pun ke luar dari mulutnya. Rombongan Jalung
130 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
terheran-heran. Mereka segera bergegas pergi
meninggalkan tempat itu. Melihat rombongan sudah
pergi, Padiu langsung ke luar.
Padiu langsung berlari sekuat tenaga. Di tengah
perjalanan, ia berjumpa beberapa anak bangsawan sedang
bermain gasing. Pada saat itu, salah satu gasingnya
terjatuh di sungai yang arusnya cukup deras. Mereka tidak
bisa mengambilnya dan meminta tolong Padiu
mengambilkan gasing. Padiu bersedia membantu, tapi ia
meminta hadiah. “Aku akan memberikan anak burung
enggang untukmu,” ujar anak bangsawan itu.
Mendengar janji itu, Padiu sangat bersemangat. Ia
langsung turun ke sungai. Pada saat itu, ia bertemu seekor
berang-berang dan meminta bantuan mengambilkan
gasing itu. Tak lama kemudian berang-berang itu datang
dan memberikan gasing itu pada Padiu. Lalu ia segera
menyerahkan gasing itu pada anak-anak yang sudah
menunggunya. Sesuai janji, Padiu mendapatkan seekor
anak burung enggang jantan.
Padiu sangat senang mendapatkan hadiah itu. Ia
menimang-nimang anak burung enggang itu, tiba-tiba
terdengar suara petir menggelegar. Ia sangat terkejut saat
menatap ke langit, terlihat samar wajah kedua orang tua
nya tersenyum. Padiu semakin terkejut tatkala melihat
anak burung enggang itu berubah menjadi besar. Padiu
berusaha naik ke punggung burung enggang. Ia pun
berhasil.
Burung enggang itu kemudian membawanya
terbang dan meliuk-liuk berputar mengelilingi kampung.
Hal itu menarik perhatian warga. Mereka bergegas ke luar
rumah dan langsung mendongak ke atas. Warga sungguh
takjub keheranan.
Tak lama kemudian, burung enggang itu terbang
menukik turun. Warga semakin terheran setelah melihat
Padiu. Seketika itu, Padiu menjadi buah bibir pembi-
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 131
caraan. Warga kampung dalam tempo sekejap ber-
bondong-bondong mengerumuninya.
Tatkala ditanya mengapa hal itu dapat terjadi,
Padiu hanya berkata, “Semesta pasti memberkahi, jika
orang mau bekerja keras.”
Beberapa waktu kemudian, rombongan Jalung
menyusul tiba di kampung. Mereka telah mendengar
cerita kehebatan Jalung saat berjumpa dengan warga yang
tinggal di ujung kampung. Namun mereka masih merasa
jengkel atas perbuatan Padiu, sehingga tetap berniat
membunuhnya.
Namun Padiu berusaha menghalangi dengan
menawarkan agar mereka ikut merasakan terbang
bersamanya. Mereka pun setuju, lalu mereka bersepakat
membuat keranjang dari anyaman rotan untuk diikat di
tubuh burung enggang. Kemudian mereka terbang
bersama Padiu.
Pada saat mereka terbang di atas sungai berbatu,
Padiu memutuskan tali ikatan keranjang. Satu per satu
keranjang itu jatuh ke sungai dan mereka hanyut ditelan
derasnya arus sungai. (*)

132 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Cerita Empat:
Dongeng Fabel
Lepoq Jalan

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 133


1. Tang Tike dan Upit Saleng

T
ersebutlah satu kisah, di hutan belantara Tang Tike
(burung puyuh) berjumpa dengan Upit Selang
(burung pipit hitam). Keduanya belum pernah
bertemu sebelumnya. Mereka saling bertatapan,
melihat satu dengan yang lain. Sejak perjumpaan itu
mereka bersahabat. “Kenapa paruhmu hitam di atas dan
putih di bawah? Kecil lagi paruhmu?” tanya Tang
Tike. ”Meski paruhku kecil, tapi kuat,” jawab Upit Saleng
menjelaskan.
“Aku ingin pergi melihat rumahmu, bolehkah?”,
tanya Tang Tike. “Kalau kamu ingin melihat rumahku,
nanti kita pergi. Tapi aku juga ingin melihat rumahmu.
Ayo, ke rumah siapa duluan?” sahut Upit Saleng. Sore pun
tiba. Mereka berdua terbang menuju rumah Upit Saleng
yang terletak di ujung pohon pinang. “Wah, rumahmu
bagus sekali. Rapi, halus dan tidak bisa lihat ke mana-
mana,” puji Tang Tike. “Inilah bukti kalau paruhku kuat
meskipun kecil,” jawab Upit Saleng.
Pada saat mereka berdua sedang asyik berbicara,
tiba-tiba angin berhembus kencang. Angin kencang itu
menggoyang batang pinang ke kanan dan kekiri, sehingga
hampir roboh. “Takut aku tinggal di rumah ini,” kata
Tang Tike. “Ya beginilah kalau rumah di atas pohon.
Kamu tidak pernah terbang di atas pohon kayu jadi kau
tidak tahan seperti aku yang biasa tinggal di atas seperti
ini,” jawab Upit Saleng.
***
Keesokan harinya, Tang Tike mengajak Upit Saleng
pergi melihat rumahnya. Sesuai kesepakatan, mereka
bertemu kembali di tempat di mana mereka bertemu
sebelumnya. “Ayo, pergi dan lihat rumahku,” ajak Tang
Tike. Mereka berdua kemudian terbang menuju rumah
Tang Tike di sebuah padang rumput yang luas. “Di mana
134 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
rumahmu?” tanya Upit Saleng. “Tunggu dulu, nanti kita
masuk di lorong kecil,” jawab Tang Tike.
Tang Tike kemudian mengajak Upit Saleng terbang
menuju ke satu lorong. Tang Tike menunjukkan rumahnya
yang berbentuk lingkaran terbuat dari rumput dan
dedaunan.
Upit Saleng melihat beberapa telur di rumah
itu. ”Kenapa rumahmu seperti ini? Engkau malas, ya?”
tanya Upit Saleng.
Pada saat mereka sedang berbincang, datanglah
payau, kerbau, dan binatang besar lainnya. Melihat
kedatangan mereka, Upit Saleng ketakutan luar biasa. Ia
berpikir tubuhnya akan hancur jika terinjak binatang-
binatang itu.
“Ah, kau sering terbang ke mana-mana dan tidak
pernah bertemu dengan binatang besar. Aku yang tinggal
di padang rumput ini berteman dengan mereka,” ucap
Tang Tike pada Upit Saleng yang masih dicekam rasa
takut.
“Itulah sebabnya kita tidak bisa berteman seumur
hidup. Rumahmu berbeda dengan tempat tinggalku. Aku
bisa terbang jauh sedang kau tidak bisa,” jawab Upit
Saleng.
“Iya, kau bisa ke mana-mana mencari makan.
Engkau juga suka mencuri makanan manusia. Kau tidak
pernah kenyang. Makanya kau sering diusir dan dilempari
mereka. Kau hanya makan, buang kotoran, makan, buang
kotoran lagi, tidak punya lumbung untuk menyimpan
makanan,” ucap Tang Tike.
Akhirnya, mereka berdua kembali pada hidup
masing-masing. Upit Saleng terus terbang ke mana pun ia
mau dan tinggal di atas pohon. Sedangkan Tang Tike
tidak bisa pergi jauh dan tetap tinggal di padang rumput.
(*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 135


2. Pelanuk dan Payau Betina

P
elanuk atau kancil adalah binatang yang sangat
cerdik. Tidak ada satu ekor binatang di hutan yang
mampu mengalahkan kecerdikannya. Pelanuk
sungguh banyak akal. Suatu hari, pelanuk bertemu
Payau betina. Mereka sedang mencari makan.
“Pelanuk, kau tidak mungkin bisa mengalahkanku. Aku ini
binatang yang tinggi, berbadan besar dan telinga lebar.
Sedangkan kamu kecil,” olok Payau meremehkan Pelanuk.
Pelanuk yang memang betubuh lebih kecil hanya
tertawa. Ia sudah menemukan akal untuk mengalahkan
kesombongan payau. “Engkau menantangku. Pikir baik-
baik dulu dan sadarilah bahwa kau adalah keturunanku!”
ujar Pelanuk. Payau betina tidak menyadari jebakan
Pelanuk. Ia tetap bersikap sombong dan meremehkannya.
***
Meyakini tubuhnya lebih besar, Payau betina tetap
saja meremehkan Pelanuk. “Mana mungkin aku
keturunanmu? Tubuhku lebih besar dan gagah daripada
tubuhmu,” ucap Pelanuk dengan sombong. “Kau mau
bukti?” tanya Pelanuk. Payau ingin segera menunjukkan ia
bukan keturunan pelanuk. Ia menantang berlomba.
“Ayo kita berlomba sekarang. Kita lompat-lompat
lalu tendang bandir itu. Siapa yang lebih kuat dan cepat
dia yang menang,” ujar Payau. Pelanuk merenung sejenak
mencari akal mengalahkan kesombongan Payau. “Siapa
duluan?” tanya Payau penuh percaya diri. “Aku duluan,”
jawab Pelanuk penuh semangat.
Pelanuk itu kemudian melompat-lompat dan
menendang. Kakinya berhasil menembus bandir. Ia
langsung berteriak, “Aku menang. Kakiku berhasil
menembus badir.” Payau hanya tersenyum melihat kaki
Pelanuk hanya mampu masuk sampai mata kaki saja.

136 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


“Ah, kekuatan kakimu hanya begitu saja. Kau tidak
mungkin mengalahkanku. Kekuatan kakiku jauh lebih
kuat,” ucap Payau. Kemudian Payau itu meloncat-loncat
dan menendang bandir sekuat tenaga. Kakinya menembus
bandir hingga pahanya.
“Lihatlah, tendanganku lebih kuat. Kakiku bisa
masuk tidak hanya sampai mata kaki, tapi sampai paha.
Aku menang,” teriak Payau membanggakan diri.
Mendengar ucapan itu, Pelanuk tertawa, lalu ia
berkata “Ha..., ha...., ha...., itu membuktikan kau
keturunanku. Pada zaman dahulu, orang tua kami
mengawini Payau yang pahanya tersangkut di bandir. Lalu
lahirlah anak-anak Payau sepertimu. Jadi kau
keturunanku.”
Pelanuk itu kemudian pergi sambil tertawa
terpingkal-pingkal. Sedangkan Payau menyadari dirinya
telah tertipu. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 137


3. Pelanuk dan Pau

P
ada suatu hari, Pelanuk terlihat berbicara dengan
binatang lain di tepi hutan. Hewan itu menjelaskan,
kalau Pelanuk berlomba dengan hewan yang lebih
kecil, pasti kalah. Pelanuk tertegun. Hewan itu
mengatakan, jika Pelanuk berlomba dengan Pau,
belalang yang tubuhnya lebih kecil, pasti kalah.
“Kecerdikanmu hanya bisa dikalahkan oleh hewan
yang tubuhnya lebih kecil,” ucap binatang itu. Pelanuk
yang sebelumnya terdiam, mulai berbicara. “Bagaimana
aku bisa kalah? Tiga ekor binatang besar bisa kukalahkan
dengan mudah. Mana mungkin aku kalah dengan Pau?”
bantah Pelanuk. “Kau memang cerdik kalau berbicara,
sedangkan belalang tidak. Ia hanya bisa menggigit,” balas
binatang itu.
Pelanuk tampak terlihat bingung. Ia mondar-
mandir sambil mengernyitkan keningnya. “Mengapa aku
bisa kalah dengan Pau?” tanya Pelanuk penasaran.
“Tunggu sebentar, aku panggil Pau. Kamu duduk atau
berdiri saja di situ,” pesan binatang itu. Tidak lama
kemudian, Pau datang dan bertanya, “Ada apa
memanggilku?”
Pelanuk lalu menjelaskan, ia hanya bisa menang
melawan binatang yang badannya lebih besar, sedangkan
jika melawan binatang yang lebih kecil pasti kalah. Pau
terus mendengarkan penjelasan Pelanuk sambil kedua kaki
depannya bergerak mengusap wajahnya. “Oh, begitu.
Ayo kita buktikan kebenarannya,” ucap Pau. Pelanuk
menyambut gembira tantangan itu.
Pau lalu menjelaskan persyaratan perlombaan.
“Kau duduk di sana menghadapku. Kita duduk
berhadapan dan saling bertatap mata. Siapa yang
bertahan tidak berkedip, ia yang menang,” ucap Pau.

138 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


“Wah, itu tidak adil. Kau tidak punya kulit mata, sehingga
kau tidak pernah berkedip,” protes Pelanuk.
“Kalau tak sanggup, berarti kalah,” jawab Pau.
“Aku tidak kalah,” sergah Pelanuk membela diri.
“Sekarang aku mau terbang. Kalau kau bisa, kejarlah aku!”
tantang Pau. Pelanuk terdiam. Ketika ia mau menjawab
tantangan itu, tiba-tiba Pau terbang meninggalkan
Pelanuk. Kali ini Pelanuk menyadari dirinya telah tertipu.
(*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 139


4. Pelanuk dan Seq

P
elanuk sedang berjalan sendirian di tepi sungai kecil.
Saat melintas, ia melihat seekor seq (siput)
menempel di batu. Pelanuk lalu berhenti dan
mengamati Seq yang sedang berjalan lambat sekali
di atas lumut. “Ah, bagaimana ia bisa berlari?” pikir
Pelanuk dalam benaknya.
Pelanuk lalu menegur. “Berapa jumlahmu di
sungai?” Lalu Seq memberitahu jika ia hanya sendirian.
Mereka kemudian terlibat pembicaraan santai. Lalu
Pelanuk mengadu kepada Seq. “Aku dengar, hewan lain di
hutan membicarakanku. Mereka bilang kalau aku hanya
bisa mengalahkan binatang yang lebih besar. Kalau aku
bertanding dengan hewan yang lebih kecil, aku akan
kalah. Semakin kecil binatang itu, akan semakin mudah
mengalahkanku.”
“Memang benar apa yang mereka katakan. Kalau
tidak percaya, ayo kita berlomba lari!” tantang Seq penuh
semangat. “Ah, mana mungkin kau bisa lari secepat aku!
Jalanmu saja lambat. Sejak tadi aku perhatikan, kau tidak
beranjak dari tempat ini,” sergah Pelanuk. “Buktikan saja,
kita lomba lari ke hulu sungai!” tantang Seq.
***
Pelanuk sangat penasaran. Ia ingin membalikkan
apa yang dibicarakan para hewan di hutan sebelumnya. Ia
ingin membuktikan bahwa ia akan tetap menang walau
berlomba dengan hewan yang lebih kecil dari tubuhnya.
Perlombaan pun dimulai. Pelanuk dan Seq langsung
berlari menuju hulu. Pelanuk lari sekencang-kencangnya.
Sesekali ia menengok ke belakang untuk memastikan
apakah Seq mampu mengejarnya. Namun Seq semakin
tidak kelihatan karena jaraknya sudah terlalu jauh.
Pelanuk lalu santai sambil mencari makan. Setelah
dirasa kenyang, Pelanuk berjalan menuju tepi sungai
140 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan
untuk melihat apakah Seq sudah ada di situ. Lalu Pelanuk
berteriak “Seq di mana kau?” Tak lama kemudian
terdengar jawaban “Aku di sini.” Pelanuk kaget luar biasa.
Padahal ia sudah berlari lima depa di depannya. Seq tidak
kelihatan, ketika ia menengok ke belakang, tapi sekarang
Seq sudah tiba mendahuluinya.
Pelanuk tidak percaya atas kekalahan itu. Ia tidak
puas dan menantang lomba lari lagi. Lomba lari dimulai
lagi. Pelanuk lari sekuat tenaga, lebih kencang dari
sebelumnya. Ia terus menengok ke belakang untuk
memastikan Seq tidak berhasil mengejarnya. Ternyata Seq
sudah tidak kelihatan, karena Pelanuk memang sudah lari
cukup jauh darinya.
Setelah dirasa aman, Pelanuk berhenti. Ia lalu
berjalan ke tepi sungai untuk melihat apakah Seq berada
di situ. Lalu Pelanuk bertanya “Seq di mana kau?”.
Seketika itu pula Seq menjawab “Aku di sini”. Pelanuk
terkejut karena tidak percaya.
Pelanuk memanggil kembali untuk memastikan
bahwa ia tidak salah dengar. Namun ia selalu men-
dapatkan jawaban yang sama.
Seperti perlombaan pertama, ternyata Seq telah
tiba terlebih dahulu. Seq memenangkan perlombaan lari.
“Ah, kau pembohong. Katanya kau sendiri, ternyata
tidak,” kata Pelanuk marah-marah.
“Kau juga pembohong,” sergah Seq sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Pelanuk terdiam.
Pelanuk yang selama ini dikenal sebagai hewan
paling cerdik, ternyata Seq lebih cerdik. (*)

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 141


Profil Narasumber
(1). Suriati
Lahir di Long Gemar, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai
Timur, 2 Maret 1970. Suriati menikah dengan Ding,
dikarunia dua anak bernama Marlina
(25) dan Aprianto (20) serta satu
orang cucu bernama Stepania. Suriati
menetap di Lung Anai sejak tahun
1986 karena ikut orang tuanya.
Pendidikan terakhir Sekolah Mene-
ngah Ekonomi Akhir (SMEA) jurusan
Perbankan (1990). Sejak tahun 2007, ia bekerja sebagai
guru honorer di Sekolah Dasar Negeri 04, Lung Anai,
Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dalam buku ini, Suriati menjadi narasumber cerita rakyat


berjudul ”Lencau Sang Ksatria”. Proses wawancara
dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2016, di Lung Anai.

(2). Apuk Dungau


Beliau akrab dipanggil Weq Pirin, lahir di Apau Kayan,
tanggal 24 Februari 1955. Perempuan yang sudah
ditinggal suaminya, sejak tahun 1987,
memiliki empat anak bernama, Suriati
(46), Hitamar (41), Yurni (38) dan
Martinus (37). Beliau juga dikarunia
tiga cucu dan 1 cicit yang semuanya
tinggal di Lung Anai. Weq Pirin
menetap di Lung Anai pada tahun
1984. Weq Pirin tidak sempat mengenyam pendidikan
formal, namun ia cukup fasih berbahasa Indonesia. Meski
usianya sudah tidak muda, Weq Pirin masih mampu

142 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


mengelola kebun karet dan kopi yang menjadi sumber
penghidupan utamanya.

Dalam buku ini, Weq Pirin menjadi narasumber untuk


cerita rakyat berjudul ”Lencau Sang Ksatria”, “Tamen
Buring”, dan “Sigau Belawan”. Proses wawancara dilaku-
kan pada 19 Juli 2016, 28 Juli 2016 dan 28 Agustus 2016
di Lung Anai. Weq Pirin belum sempat membaca buku ini,
karena beliau wafat pada tanggal 24 Oktober 2016 di
Lung Anai.

(3). Lahang Bilung


Beliau akrab disapa Amai Pelahang, lahir di Apau Kayan
sekitar tahun 1945. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak
diketahui secara pasti. Laki-laki yang
sudah ditinggal istrinya, Luing sejak
tahun 2004, memiliki empat anak
bernama, Nuryana (47), Igyn (46),
Lawai (44) dan Idok (42). Beliau juga
sudah dikarunia empat cucu dan dua
cicit.

Amai Pelahang menetap di Lung Anai


pada tahun 1983 setelah sekian lama menetap di Long
Segar, Kabupaten Kutai Timur. Beliau tidak sempat
mengenyam pendidikan formal namun memahami bahasa
Indonesia. Sejak tiga tahun terakhir, Amai Pelahang
membuka toko kelontong di rumahnya, karena ia sudah
tidak kuat lagi berkebun.

Dalam buku ini, Amai Pelahang menjadi narasumber


untuk cerita berjudul ”Anyeq Wang” dan “Padiu”. Proses
wawancara dilakukan pada 19 Agustus 2016, dengan
bantuan penerjemah karena cerita dituturkan dalam
bahasa Dayak Kenyah.
Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 143
(4). Peluaq
Beliau akrab disapa Weq Peluaq, lahir di Apau Kayan.
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran tidak diketahui secara
pasti, namun usianya sekitar 70 tahun.
Weq Peluaq dikarunia lima anak, namun
yang satu sudah meninggal. Keempat
anaknya yang masih hidup adalah
Samson (42), Anita (40), Nomiati (32)
dan Rosmiana (30). Weq Peluang
memiliki enam cucu. Beliau menetap di
Lung Anai tahun 1985, Beliau tidak
sempat mengenyam pendidikan formal dan bahasa
Indonesianya cukup terbatas.

Dalam buku ini, Weq Peluaq menjadi narasumber untuk


cerita berjudul, ”Uyau Tunyeng”. Proses wawancara
dilakukan pada tanggal 17 Agutus 2016, dengan bantuan
penerjemah karena cerita dituturkan dalam bahasa Dayak
Kenyah.

(5). Amai Usad


Beliau akrab disapa Pelusau, lahir di Apau Kayan 76 tahun
yang lalu. Tanggal, bulan dan tahun kelahiran tidak
diketahui secara pasti. Beliau adalah suami
Weq Peluaq. Amai Pelusau tidak sempat
mengenyam pendidikan formal dan
pemahaman bahasa Indonesianya cukup
terbatas.

Pekerjaan sehari-harinya berladang dan


berkebun yang masih ditekuni hingga sampai sekarang ini.
Dalam buku ini, beliau menjadi narasumber cerita
berjudul ”Uyau Tunyeng dan Buy dan Monyet yang

144 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Licik”. Proses wawancara dilakukan pada 17 Agutus 2016
dalam bahasa Dayak Kenyah.
(6). Tingai Bilung
Akrab dipanggil Amai Pati, lahir di Long Apung,
Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara pada 15
September 1953. Amai Pati adalah
bapak dari lima anak yang bernama
Lengken (45), Deris (43), Bisianto (41),
Jeu (37) dan Innok (35) yang
semuanya sudah berkeluarga. Amai
Tingai menetap di Lung Anai pada
tahun 1984.

Amai Pati mengenyam pendidikan formal hingga Sekolah


Dasar. Pemahaman bahasa Indonesianya cukup bagus.
Pekerjaan sehari-harinya berladang dan berkebun.

Dalam buku ini, Amai Pati menjadi narasumber untuk


cerita dengan judul, ”Lencau Kila”, “Tang Tike dan Upit
Selang”, “Pelanuk dan Payau Betina”, “Pelanuk dan Pau”,
“Pelanuk dan Seq”. Wawancara dilakukan pada tanggal 15
September 2016.

(7). Tingai Lawing


Beliau akrab dipanggil Tamen Leo, lahir di
Long Gemar, Kecamatan Busang, Kabu-
paten Kutai Timur pada tanggal 1 Mei
1971. Tamen Leo adalah mantan Kepala
Desa Lung Anai periode 2007–2013.
Beliau dikarunia tiga orang anak bernama
Leo (16), Natalia (13), dan Elia (6).

Tamen Leo pindah ke desa Lung Anai sejak tahun 1985.


Beliau mengenyam pendidikan formal hingga Sekolah

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 145


Menengah Ekonomi Atas, jurusan Perbankan. Pekerjaan
sehari-hari saat ini adalah berladang dan berkebun serta
membuka toko kelontong.

Dalam buku ini, Tingai Lawing menjadi narasumber untuk


cerita rakyat berjudul, ”Sulimerang dan Ujung Tunan
Arung”. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Agustus
2016.

(8). Tanyit Lahang


Beliau akrab disapa Pangit, lahir di Apau Kayan,
Kabupaten Malinau, 1 Januari 1946. Amai Tanyit adalah
bapak dari enam orang anak, namun
yang hidup empat orang bernama,
Luyang (40), Sidin (36), Alexander (28
dan Sertina (26). Ia pindah di desa Lung
Anai sejak tahun 1985 dari Long Segar.

Amai Tanyit sempat mengenyam


pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) dan
pengetahuan bahasa Indonesia terbatas. Pekerjaan sehari-
harinya berladang dan berkebun.

Dalam buku ini, Amai Tanyit menjadi narasumber untuk


cerita berjudul, ”Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan”.
Proses wawancara dilakukan pada tanggal 24 Juli 2016, di
Lung Anai.

146 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


(9). Uluq
Beliau akrab dipanggil Amai Uluq, lahir di Apau Kayan,
tanggal 26 Juni 1969. Amai Uluq dikarunia tiga orang
anak yaitu Sheny (27), Dina (24), dan Ade (17). Ia pindah
ke Lung Anai pada tahun 1985. Amai
Uluq adalah Kepala Desa Lung Anai sejak
tahun 2013 dan akan berakhir tahun
2019. Amai Uluq mengenyam pen-
didikan formal hingga Sekolah Mene-
ngah Pertama (SMP) di Muara Ancalong,
Kutai Timur, lulus tahun 1974.

Dalam buku ini, Amai Uluq memberikan


masukan dan pengkritisan terhadap
beberapa cerita yang sudah ditulis, misalnya untuk cerita
Tamen Buring, Tang Tike dan Upit Selang, dan beberapa
cerita lainnya. Amai Uluq secara khusus membantu
sebagai penerjemah untuk cerita berjudul “Uyau
Tunyeng”. Proses wawancara dilakukan pada tanggal 17
Agutus 2016.

(10). Yurni Lee


Beliau lahir di Gemar Baru, Kecamatan Muara Ancalong,
Kabupaten Kutai Timur, 1 Agustus
1978. Ia salah seorang tokoh
perempuan. Yurni pindah ke Lung
Anai pada tahun 1986. Beliau sempat
mengenyam pendidikan sederajat
Sekolah Menengah Atas di Sekolah
Teologia Atas di Tenggarong lulus
tahun 1989.

Ia juga pernah kuliah di Sekolah


Tinggi Teologi namun hanya sampai

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 147


semester II. Saat ini Yurni memegang jabatan sebagai
Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM),
pengurus Lembaga Kesenian dan Kebudayaan di Lung
Anai, dan aktif di organisasi Gereja.

Dalam buku ini Yurni memberi masukan untuk cerita


berjudul Sigau Belawan dan Tamen Buring. Yurni secara
khusus membantu sebagai penerjemah untuk cerita
berjudul, ”Jalung Ila Nyukak Sada Langit Megan”,
“Padiu”, “Burui”, dan “Anyeq Wang”. (*)

148 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Biodata Penulis
Kelik Ismunandar lahir di Jogjakarta,
16 Desember 1971. Gelar sarjana ia
peroleh dari Fakultas Sastra Jurusan
Sejarah, Universitas Negeri Surakarta.
Lulus tahun 2004 dengan skripsi yang
mengupas tentang Gerakan Mahasiswa
di Solo tahun 1989–1998 dengan nilai
A.

Kelik, demikian panggilan akrabnya, ayah dari dua anak


perempuan: Yosephine Helsa Zahir (4) dan Vincentia
Naysa Primesty (3), terlibat aktif dalam dunia gerakan
sejak mahasiswa. Ia pernah tercatat sebagai anggota
organisasi underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD),
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID),
dan Koordinator Pusat Perjuangan Buruh Indonesia
(PPBI), Kota Surakarta.

Maraknya berbagai aksi yang dilakukan mahasiswa di


Kota Solo sejak tahun 1990-an untuk mengangkat isu
nasional seperti Gerakan Anti Kuningisasi, Anti Dwifungsi
ABRI, Gerakan Buruh sampai Gerakan Reformasi 1998
adalah beberapa proses yang Kelik terlibat di dalamnya.
Peristiwa 27 Juli 1996, mengantarkan Kelik menjadi salah
satu mahasiswa yang diculik oleh aparat militer dalam
persembunyiannya di Kota Solo.

Meskipun pernah mengalami penculikan, tidak


menyurutkan langkahnya untuk tetap terlibat dalam
gerakan perubahan sosial. Ketika PRD dan organisasi
undewbow-nya dilarang oleh rezim Soeharto, Kelik
terlibat mengorganisasi gerakan bawah tanah, dengan

Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan 149


membentuk Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR)
untuk menjatuhkan Soeharto pada tahun 1998. SMPR
kemudian berubah menjadi Dewan Reformasi Mahasiswa
Surakarta (DRMS) setelah tumbangnya Rezim Orde Baru
tahun 1998.

Pasca kejatuhan Soeharto, Kelik bersama beberapa aktivis


Solo lainnya membangun Lembaga Swadaya Masyarakat
yang fokus pada isu perempuan pada tahun 1999 yaitu
Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi
Manusia (SPEK-HAM). Kelik aktif di SPEK-HAM sejak 1999
hingga 2006 dan selanjutnya berturut-turut aktif di
Perkumpulan Pikul Nusa Tenggara Timur (2006–2007),
Child Fund Indonesia (2008–2010). Pada saat ini, Kelik
menjadi anggota Badan Pembina SPEK-HAM sejak tahun
2009 sampai sekarang dan Direktur Naladwipa Institute,
Samarinda (2016–2020).

Beberapa tulisan telah dihasilkan dalam bentuk buku


maupun artikel di berbagai media. Masih dalam Posisi
Pinggiran; Membaca Tingkat Partisipasi Politik Perempuan
di Kota Surakarta adalah buku yang telah ditulis bersama
dua rekannya pada tahun 2005. Tulisan dalam bentuk
artikel di antaranya: “Memahami Kuota 30% bagi Perem-
puan” (Solo Pos, 2003); “Pilkada Langsung; Mampukah
Melahirkan Walikota Bersih” (Solo Pos, 2005); “Perem-
puan Molo; Pendobrak Kebisuan” (Kursor-Kupang, 2007);
“Otonomi Daerah dan Izin Pertambangan” (Kursor-
Kupang, 2007); dan “Koin untuk Prita; Simbol Perla-
wanan Publik” (Solo Pos, 2009). (*)

150 Cerita Rakyat Dayak Kenyah Lepoq Jalan

Anda mungkin juga menyukai