Anda di halaman 1dari 498

1

Menyelami
Batin Indonesia
RINGKASAN 176 PUISI ESAI, 34 PROVINSI,
ACEH- PAPUA

EDITOR: NIA SAMSIHONO


PENGANTAR: DENNY JA

CERAH BUDAYA INDONESIA


2021

2
Menyelami Batin Indonesia
Ringkasan 176 Puisi Esai, 34 Provinsi, Aceh- Papua

Editor: Nia Samsihono


Pengantar: Denny JA
Layout: Emmy Umasita

ISBN: 978-623-6346-15-0
Penerbit:

(PT Cerah Budaya Indonesia)


Menara Kuningan lLT. 9G
Jalan HR.Rasuna Said Kav V Blok X-7, Jakarta Selatan

3
Daftar Isi
PENGANTAR 6
Menyelami Batin Indonesia | Denny JA

PULAU SUMATRA 16
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Aceh 17
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sumatra Utara 34
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sumatra Barat 49
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kepulauan Riau 66
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kepulauan Riau II 81
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Jambi 94
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sumatra Selatan 108
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Bangka Belitung 123
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Bengkulu 135
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Lampung 145

PULAU JAWA 158


Ringkasan Puisi Esai Provinsi Banten 159
Ringkasan Puisi Esai Provinsi DKI Jakarta 172
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Jawa Barat 187
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Jawa Tengah 201
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 215
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Jawa Timur 223

PULAU KALIMANTAN 245


Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kalimantan Barat 246
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kalimantan Selatan 259
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kalimantan Tengah 271
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kalimantan Timur 284
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Kalimantan Utara 298

4
PULAU SULAWESI 311
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sulawesi Selatan 312
Ringkasan Puisi Esai Sulawesi Barat 327
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sulawesi Tenggara 342
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sulawesi Tengah 356
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Gorontalo 370
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Sulawesi Utara 382

PULAU BALI DAN NUSA TENGGARA 395


Ringkasan Puisi Esai Provinsi Bali 396
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Nusa Tenggara Barat 408
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Nusa Tenggara Timur 422

PULAU MALUKU 436


Ringkasan Puisi Esai Provinsi Maluku 437
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Maluku Utara 451

PULAU PAPUA 468


Ringkasan Puisi Esai Provinsi Papua 469
Ringkasan Puisi Esai Provinsi Barat 484

5
Menyelami
Batin Indonesia
Melalui 176 Kisah Nyata Yang Difiksikan dalam 176 Puisi Esai,
176 Penulis, 34 Provinsi, Aceh Hingga Papua

Denny JA

Banyak dari kita di masa kini tak lagi tahu. Tak lagi bisa menebak.
Apa arti kata itu? Slave Catcher! Itulah kata yang tertulis berulang-
ulang dalam salah satu novel paling berpengaruh dalam sejarah: Uncle
Tom’s Cabin. Apa itu slave catcher? Apa kerjanya? Mengapa ia penting?
Apa arti slave catcher bagi peradaban era itu?
Pengarang novel ini adalah Herriet Beecher Stowe. Ia pertama kali
menerbitkan novel di tahun 1852. Herriet secara detail menggambarkan
potret dan suasana batin zaman itu: era perbudakan. Ini era sebelum
budak dilarang di tahun 1863. Presiden Abraham Lincoln melarang
perbudakan sebelas tahun setelah terbitnya novel itu.
Membaca novel itu, kita seolah melakukan perjalanan waktu 250
tahun lalu. Mustahil kita mengetahui suasana batin era itu jika tak
melalui karya sastra atau dokumen sejarah.
Melalui novel Herriet pula, salah satunya, kita tahu profesi yang
bernama slave catcher. Ia tenaga ahli di zaman itu. Kerjanya tak lain
dan tak bukan menangkap budak yang melarikan diri. Slave catcher
mengembalikan budak yang tertangkap kepada majikan. 1
Bayaran seorang slave catcher cukup tinggi untuk ukuran era itu.
Apa daya sistem perkebunan di abad ke-15 dan 16 memerlukan tenaga
kerja murah. Tak ada yang lebih murah ketimbang budak. Bahkan
sang budak bisa dimiliki, dijual kembali, diperkosa, disiksa, jika perlu
dibunuh. Jika ada kesempatan dan keberanian, seorang budak yang kuat
memilih melarikan diri. Mana ia tahan melihat ayahnya dicambuk atau
kupingnya digunting. Mana Ia kuat melihat ibunya, kakaknya, adiknya,
atau istrinya diperkosa di hadapannya sendiri. Budak yang kabur, yang

6
lari, yang buron, menjadi bagian tak terhindari dari sistem perbudakan
itu sendiri. Akibatnya, sebuah profesi harus dikembangkan agar bisnis
perkebunan stabil, yaitu profesi menangkap budak yang kabur.
Seorang slave catcher yang kapasitasnya rendah perlu memiliki
anjing pelacak. Setelah mendapat kabar seorang budak kabur, ia hanya
meminta pakaian atau barang budak yang masih ada di dalam kamp
lalu mengarahkan anjing pelacaknya mencium bau sang budak yang
tersisa di barang itu. Segera sang anjing punya panduan melalui bau.
Anjing menjadi cekatan memburu budak, bersama tuannya.
Tapi seorang slave cather kelas tinggi cukup ditemani seekor kuda.
Insting perburuannya lebih tajam. Ia sudah memahami peta lokasi.
Sudah ia duga arah yang akan ditempuh oleh budak yang kabur. Ia juga
peka membaca jejak langkah di tanah atau melihat jejak orang yang
melintas dari rumput yang diinjak. Atau tahu arah pelarian hanya dari
ranting daun yang patah setelah dilalui budak. Dalam novel Herriet,
slave catcher itu bernama: Tom Loker. Ia dikenal ahli pelacak berdarah
dingin dan kejam. Bersama timnya, Marks, ia dapat meyakinkan pemilik
budak Haley bahwa budak bernama Eliza akan segera ia tangkap. Bahkan
Tom Loker berencana menjual Eliza sebagia pelacur jika tertangkap.
Betapa karya sastra menjadi medium yang kaya untuk memahami
satu masyarakat, untuk menghayati satu masa yang jauh sekalipun,
250 tahun lalu.

-000-

Novel Herriet menjadi pengantar yang baik untuk kisah nyata


yang difiksikan dalam 176 puisi esai di Indonesia. Bagaimana cara kita
memahami, menyelami kekayaan budaya, peristiwa besar di masa lalu,
tata nilai, dari 270 juta populasi Indonesia di 34 provinsi, 17.504 pulau
yang tersebar, dengan 225 budaya?
Buku Sejarah atau ilmu budaya hanya dapat memberikan data atau
penggambaran suasana keberagaman itu. Tapi kisah batin atau cerita
yang hidup dalam masyarakat jauh lebih mudah dicerna, dipahami, dan

7
tinggal lama dalam memori, jika ia diungkapkan dalam sastra. Persis
seperti buku Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe. Inilah
dasar komunitas puisi esai membuat kerja kolosal, yaitu merekam
kisah nyata yang difiksikan di seluruh provinsi Indonesia, 34 provinsi
dari Aceh hingga Papua.
Saya memperkenalkan genre baru dalam sastra: puisi esai di
tahun 2012. Apa itu puisi esai dan contohnya sudah dituangkan dalam
buku Atas Nama Cinta. Puisi esai itu semacam historical fiction, atau
lebih tepatnya: kisah nyata yang difiksikan. Puisi esai adalah puisi yang
panjang. Ia semacam cerpen atau novel pendek dalam bentuk puisi.
Berbeda dengan puisi biasa, puisi esai banyak catatan kaki. Fungsi
catatan kaki sebagai fasilitas tempat dipaparkan kisah sebenarnya
dalam sumber berita. Di era Google, catatan kaki dalam puisi esai
memberi fasilitas tambahan kepada pembaca untuk melacak sendiri
sumber berita, jika Ia ingin mendalami lebih lanjut.
Sampai tahun 2021 sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai.
Bahkan di tahun 2020, puisi esai resmi diadopsi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Saya sendiri sebagai pengagas puisi esai di
tahun 2021 mendapatkan penghargaan sastra tingkat ASEAN dari
Malaysia. Puisi esai dianggap inovasi dalam sastra dan kini meluas ke
negara Asia Tenggara dan Australia.
Buku yang saya beri pengantar sekarang bisa disebut hasil
kerja kolosal. Program ini melibatkan 176 penulis. Setiap provinsi
menyumbangkan 5-6 penulis. Mereka penyair atau jurnalis, aktivis,
dosen, pengusaha, politisi, ataupun penulis esai. Dari setiap provinsi
digali lima atau enam kisah nyata yang asli tumbuh di provinsi itu. Para
penulis di provinsi itu yang memilih sendiri kisahnya. Mereka lahir dan
tumbuh di sana. Mereka lebih tahu kisah mana yang unik dan penting
untuk provinsi itu. Kerja kolosal ini sudah disusun dan direncanakan
sejak tahun 2016. Kini di tahun 2021, lima tahun sudah kerja ini
rampung untuk babak satu. Sebanyak 34 buku puisi esai diterbitkan.
Semua buku puisi esai sudah diterbitkan dan bisa diakses di facebook
Perpustakaan Komunitas Puisi Esai. Masih ada lima tahun ke depan,

8
2021-2026. Sebanyak 34 puisi esai yang dipilih dari 176 puisi esai, 1
provinsi 1 puisi esai, akan difilmkan. Ini babak keduanya.
Kini 34 skenario untuk serial 34 puisi esai sudah pula selesai. Buku
yang diberi pengantar ini adalah ringkasan 176 puisi esai tersebut.
Agar mudah diikuti, ringkasan dibuat per provinsi. Begitu banyak pihak
yang terlibat behind the screen, termasuk para editor. Khusus ringkasan
176 puisi esai ini, saya menggunakan editor tunggal: Nia Samsihono.
Seperti kerja inovasi yang lain, yang kontroversial, selalu ada
penentangnya. Gerakan nasional puisi esai di 34 provinsi juga
melahirkan pihak yang protes dan menghambat. Mereka berkampanye
agar para penyair jangan terlibat.2 Tapi tak ada yang salah dengan
gerakan puisi esai. Ia swadaya. Tak dibiayai pemerintah, pihak asing,
atau oleh pabrik rokok misalnya. Gerakan ini murni gerakan masyarakat,
swadana.
Dengan membaca ringkasan 176 puisi esai ini, kita menyelami
batin Indonesia dari Aceh hingga Papua. Saya mencuplik beberapa saja.

-000-

Puisi esai dari Aceh karya D. Kemalawati berjudul: “Setelah Salju


Berguguran di Helsinski”. Dikisahkan di sini hal yang unik dalam sejarah
Aceh sendiri, yaitu fenomena Gerakan Aceh Merdeka.
Tahun 2005 Aceh memasuki sejarah baru. Ditandatangani
perjanjian Helsinki, yang menjadi judul puisi esai Kemalawati. Saat
itu Gerakan Aceh Merdeka akhirnya dapat mengembalikan Aceh ke
dalam pangkuan negara Indonesia. Namun drama baru justru dimulai.
Perpecahan telah terjadi di antara para eks elit dan pimpinan Gerakan
Aceh Merdeka itu sendiri. Sebagian dari mereka menjadi penguasa lokal.
Ada yang terpilih menjadi gubernur, walikota, dan bupati. Tapi sebagian
yang dianggap garis keras, bahkan teroris, tetap mendekam di penjara.
Mereka yang moderat dan garis keras dalam Gerakan Aceh Merdeka
dulu berada di satu kelompok. Kini mereka berhadapan, minimal tak

9
sejalan. Drama dieksplorasi dari kacamata satu elite GAM yang masih
di penjara. Ia, tokoh bernama Muda Balia yang merasa dikhianati oleh
teman seperjuangannya sendiri.
Dari Provinsi Sumatra Selatan, ada puisi esai karangan Linny
Oktavianny: “Lagu Seorang Duta”. Ini puisi mengisahkan budaya unik
yang tumbuh di Sumatra Selatan, khususnya Kayu Agung. Hidup
dan dihormati penduduknya saat itu: kultur Robin Hood. Ini kisah
bandit tapi dihormati oleh komunitasnya. Ia mencuri dari orang
kaya dan membagikan sebagian hasil curiannya kepada rakyat kecil
atau memberikan kepada kegiatan agama: termasuk sumbangan
membangun masjid.
Bandit ini juga mengembangkan etika. Mereka tidak boleh
mencuri di kampung halaman sendiri: Kayu Agung. Mereka bekerja
dalam tim. Bandit ini berlaku semacam duta masyarakat. Mereka yang
sudah melegenda mencuri di negara tetangga, dan yang lebih rendah:
mencuri di provinsi lain. Komunitas mengetahui kerja bandit ini dan
mengetahui ketika para bandit itu berhasil mencuri di dunia luar sana.
Sebagian dana mereka gunakan untuk menyantuni anak yatim piatu
atau memberikan untuk renovasi masjid. Pulang dari mencuri, mereka
kembali ke kampung halaman, salat di masjid, menjadi pengurus
organisasi pengajian, dan sebagainya. Namun di era modern, tradisi
Robin Hood ini mulai ditinggalkan. Puisi esai ini mengisahkan tokoh
bernama Wahid yang terdesak ekonomi menjalani hidup sebagai Robin
Hood itu.
Dari Provinsi DKI Jakarta ada puisi karya Elza Peldi Tahir: “Manusia
Gerobak”. Puisi ini menggambarkan realitas yang masih hidup di Jakarta:
kaum gelandangan. Ia bahkan tak punya tempat tinggal, dan hidup di
atas gerobak saja. Atmo seorang pekerja keras di desa. Karena ia tak
lagi punya sumber penghasilan di sana, Ia pun nekad pergi mencari
penghasilan ke Ibu kota: Jakarta. Ia terusir dari sana dan sini. Akhirnya
bersama istri dan anak, ia memilih berumah di atas gerobaknya
sendiri. Dengan gerobak itu, Atmo membawa keluarganya ke aneka
area yang aman.

10
Istrinya tak tahan. Suatu hari sang istri pergi entah kemana.
Bencana pun datang. Anak Atmo meninggal. Ia tak mempunyai uang
untuk membayar tanah kuburan. Tapi Ia ingin memakamkan anaknya
dengan hormat. Atmo berkehendak membawa mayat anaknya ke
desa. Ia pun naik kereta api membawa mayat anaknya yang mulai
membusuk. Tentu saja Atmo ditolak pekerja kereta api. Kembali Ia gagal
menguburkan anaknya. Untunglah rasa solidaritas kawan-kawannya
begitu kuat. Mereka bersama menguburkan anak Atmo dengan hormat,
memandikannya, dan melakukan ritus agama bagi pemakaman anak itu.
Dari Jawa Barat ada puisi esai Jojo Raharjo: “Kawin Kontrak”. Ini
juga khas fenomena di Cisarua, Jawa Barat. Orang asing mengontrak
seorang wanita untuk menjadi istri, tapi istri hanya untuk jangka
pendek saja. Selesai jangka pendek itu, selesai pula perkawinan. Sama
persis seperti seseorang mengontrak sebuah ruko, atau mobil, atau
perkakas mesin. Pada bulan tertentu, setiap tahun, Cisarua dipenuhi
wisatawan asing, terutama dari Timur Tengah. Mereka ingin juga wisata
seks. Namun mereka tak ingin zinah yang dilarang agama. Solusinya:
menikah tapi hanya untuk jangka waktu tertentu saja. Seminggu. Atau
Sebulan. Atau tiga bulan. Hal yang biasa di Cisarua.
Layla nama gadis itu. Ia dari keluarga miskin. Ayahnya sendiri
“menyerahkan” anaknya untuk kawin kontrak. Sang Ayah mendapat
imbalan tertentu. Tapi apakah sang Ayah menyadari derita psikologis
anaknya? Apakah sang turis asing peduli rasa nyaman istri kontraknya.
Aneh tapi nyata.
Dari Bali kita membaca puisi esai karangan I Nyoman Agus
Sudipta: “Kasta, Antara Cipta dan Cinta.” Masyarakat Bali saat itu, juga
sekarang, masih diwarnai oleh budaya kasta. Sebagian terlahir dari
kasta tinggi Triwangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya). Sebagian lagi
dari kasta yang dianggap rendah: Sudra.
Masalahnya di dunia modern, hubungan pribadi antarkasta terjadi
dengan intens. Tokoh “Aku” dalam puisi esai ini, mengalami sendiri.
Ayahnya berasal dari kasta Brahmana dan ibunya dari kasta Sudra.
Betapa “Aku” tak berada dalam posisi dihormati.

11
Apalagi jika yang menikah, wanitanya yang lebih tinggi. Maka sang
wanita dianggap tergelincir. Suami yang datang dari kasta lebih rendah
dianggap seperti hewan yang ingin naik status dengan dipangku oleh
wanita yang kasta lebih tinggi. Bahkan Adat Bali juga memiliki ritual
melepas kasta. Bagi yang menikah dengan kasta yang lebih rendah
berisiko Ia tak hanya kehilangan status kastanya. Ia juga terancam
kehilangan hak waris.
Bali kini tetap menjadi pusat parawisata dunia yang eksotis.
Namun sistem kasta semakin dirasakan tak lagi adil bagi mereka
terlahir dari kasta rendahan.

-000-

Dari Kalimantan Barat, kita tercekam membaca puisi esai Pradono:


“Jelaga Parit Setia”. Ini rekaman konflik berdarah yang terjadi berkali-
kali. Berhadapan: rakyat etnis asli: Dayak melawan suku pendatang
Madura. Lihat di Kabupaten Sambas. Lihatlah korban dan kerugian
yang disebabkannya.
Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri atas 1.189 orang tewas.
Sebanyak 168 orang luka berat. Juga 34 orang luka ringan. Soal
properti: 3.833 rumah dibakar dan dirusak. Sebanyak 12 mobil dan 9
motor dibakar/dirusak. Tak ketinggalan 8 masjid/madrasah dirusak/
dibakar. Juga 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak.
Lebih dari itu sebanyak 29.823 warga Madura mengungsi. Wahai,
apa yang terjadi. Parit Setia yang menjadi judul puisi esai Pradono itu
nama sebuah desa. Saat itu, tahun 1999, baru saja penduduk selesai
salat Idul Adha. Karena konflik yang terakumulasi lama, suku Madura
menyerang perkampungan etnik asli. Korban banyak jatuh di kalangan
suku Dayak, etnik asli.
Asal konflik selalu komponen ekonomi. Suku pendatang, Madura,
dianggap lebih berhasil. Namun penduduk pendatang dianggap kurang
mengajak dan bersosialisasi dengan suku asli. Padahal, menurut suku

12
Dayak, “Tanah ini tanah kami. Dari leluhur kami”. Dibalas oleh suku
Madura: “Tidak! Ini tanah Tuhan. Kami juga berhak mengolahnya”.
Namun suku Dayak terkenal dengan gelora primitifnya. Balas
dendam terjadi. Dengan parang di tangan dan alat pembunuh kejam
lainnya, mereka balik menyerang suku Madura. Kekejaman luar biasa
terjadi. Seorang anak terdiam dan terpana kaku. Ia melihat kepala
ayahnya terlepas dari badan, dibawa ke sana kemari oleh mereka yang
menyerang.
Dari Provinsi Sulawesi Tenggara, simaklah puisi esai La Ode
Gusman Nasiru “Kesaksian di Negeri Butuni.” Di Sulawesi Tenggara,
hadir kerajaan Buton atau Butuni sejak tahun 1365. Jejak kerajaan ini
masih bergema dalam budaya masyarakat Buton. Mereka yang lahir
sebagai keturunan bangsawan diberikan gelar La Ode, untuk pria dan
gelar Wa Ode untuk wanita. Ini bukan sekadar gelar yang dilekatkan
pada nama seseorang. Tapi gelar itu terkait dengan sebuah prestise
kelompok.
Puisi esai Gusman Nasiru mengisahkannya. Seorang pemuda
bernama Hamid datang dari perantauan. Ia jatuh cinta pada seorang
wanita. Sang wanita pun membalas. Masalahnya, wanita itu seorang
Wa Ode. Ia berdarah bangsawan. Namanya tak hanya Widarni. Tapi Wa
Ode Widarni.
Ayah Widarni tak bisa menerima Hamid. Seorang rakyat jelata
hanya membuat prestise keluarga Wa Ode merosot. Maka sang
ayah membawa anaknya ke luar negeri. Widarni sekolah di Paris. Ia
mendalami bisnis. Widarnipun menikah dengan pria asing. Tapi hati
Widarni selalu teringat Hamid, kekasih hati. Demikian pula Hamid.
Namun cinta terhalang oleh gelar kebangsawanan.
Dari Papua; ada puisi esai yang ditulis oleh Alfonsina Samber.
Judulnya: “Prahara Tolikara”. Hanya membaca judulnya saja, bagi yang
memperhatikan, pastilah teringat peristiwa di Tolikara, Papua pada 17
Juli 2015.
Alfonsina mengurai peristiwa itu dalam puisi esainya. Awalnya
miskomunikasi. Di hari yang sama, di lokasi yang sama, dua komunitas

13
dari agama yang berbeda melakukan ritus agama.
Himpunan gereja di sana, saat itu membuat semacam surat edaran.
Karena wilayah itu sedang digunakan untuk pertemuan komunitas
gereja, maka diimbau umat muslim untuk tidak salat Idul Fitri di sana.
Tidak lalu lalang di area itu menggunakan jilbab.
Siapa yang kuat menghalangi umat menjalankan perintah
agamanya untuk salat Idul Fitri dan mereka merasa bebas pula salat di
masjid yang ada, di mana pun lokasi masjid itu.
Polisi setempat mencari jalan tengah. Salat Idul Fitri dibolehkan
namun paling lambat sampai pukul 08.00. Kemarahan akibat sentimen
agama sudah keburu tersulut. Pecahlah itu kerusuhan saling membakar
dan melakukan kekerasan. Namun insiden hari itu sebenarnya tak
menggambarkan realitas Tolikara yang toleran.
Itu terbukti dengan peristiwa sesudahnya. Pemimpin Kristen
membantu Ustaz Ali membangun kembali rumahnya yang dibakar.
Masjid juga dipugar kembali. Menghadapi Idul Adha, hari raya se-
telahnya, pemimpin Kristen mengirimkan beberapa kambing untuk
ritus agama Islam.
Demikianlah ragam puisi esai dari Aceh hingga Papua. Saya hanya
menceritakan beberapa saja dari total 176 puisi esai itu.

-000-

Dari teks ke audiovisual. Demikianlah pergeseran perilaku publik


luas dalam mencerap pencerahan dan pengetahuan. Terutama generasi
milenial semakin bergeser kepada apapun yang audiovisual. Saya
selaku penggagas puisi esai juga sudah mencermati pergeseran itu.
Sudah selesai pula 34 skenario film yang memvisualkan 34 puisi
esai yang dipilih dari 176 puisi esai. Satu skenario berdasarkan satu
kisah nyata yang difiksikan dalam puisi esai.
Ini kali pertama dalam sejarah. Serial film dibuat berdasarkan
serial puisi, tepatnya puisi esai. Menghayati batin Indonesia, merasakan

14
keberagamannya, keunikannya, tak hanya bisa dinikmati melalui 34
buku puisi esai. Tapi juga 34 serial film yang segera dibuat.
Dulu ada profesi slave catcher, penangkap budak yang kabur. Kini
kita hanya perlu trend catcher, penangkap karya yang bisa menjadi tren.
Mengisahkan batin masyarakat dalam puisi esai potensial menjadi tren.

Agustus, 2021

CATATAN

1. Profesi yang sudah sirna: slave catcher: pemburu budak yang


melarikan diri
https://www.newsweek.com › u...’Underground Railroad’: How
Slave Catchers ...

2. Gerakan Nasional Puisi Esai ini juga menimbulkan aksi protes


yang menyeru penulis untuk jangan berpartisipasi. https://m.
liputan6.com/lifestyle/read/3234319/muncul-petisi-tolak-
proyek-antologi-puisi-esai-denny-ja

15
Pulau
Sumatra
16
Dendam Menuai
Bencana Aceh
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI ACEH

Judul Buku : Sisa Amuk


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 89 halaman
Penulis : D. Kemalawati, Nazar Shah Alam,
Ricky Syah R.,Risman A. Rachman,
Teuku Dadek
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-00-2

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini penting karena telah merangkai lima kearifan lokal dari
daerah Provinsi Aceh yang ditulis dengan menarik dalam bentuk puisi
esai. Karya ini menghadirkan berbagai peristiwa yang dialami dan
dirasakan oleh masyarakat Aceh pada saat konflik, tsunami, awal damai,
dan masa kini. Setelah konflik GAM dan pemerintah Republik Indonesia,
posisi penting di pemerintahan dan lembaga di Aceh diisi oleh para
pejuang GAM. Mereka melupakan tujuan perjuangan dan orang-orang
yang telah membantu perjuangan. Masyarakat Aceh juga hampir menga­
baikan alam dan kearifan lokal. Alam juga mempunyai kekuasaan yang
dapat menghacurkan kehidupan manusia. Buku ini mengisahkan dengan
menarik lima kearifan lokal Aceh yang telah menjadi tuntunan kehidupan
masyarakat sejak zaman dulu. Masyarakat sekarang hampir melupakan
kearifan itu.

LIMA INTI SARI BUKU


 Kayu api yang terjaga nyalanya akan merata sinarnya ke seluruh negeri.
 Kisah anggota GAM yang bagai kacang lupa akan kulitnya.
 Jangan melihat siapa yang berkata namun lihatlah apa yang ia kata.

17
 Bendera tak bertiang membuat hati pemuda berang.
 Smong menjadi kearifan lokal yang hampir pudar.

SATU
Sahabat, puisi esai pertama karya D. Kemalawati berjudul “Setelah
Salju Berguguran di Helsinki” menceritakan seorang tokoh bernama
Teungku Muda atau Muda Balia. Ia adalah tahanan politik yang dipenjara
karena menjadi salah satu anggota kelompok GAM. Digambarkan
bagaimana sang tokoh merasa resah dan menderita di penjara. Ia
tidak dibebaskan walaupun Aceh telah merdeka dan ia dianggap se­
bagai teroris membahayakan negara. Padahal dalam perjanjian telah
disepakati bahwa tahanan pejuang GAM akan dibebaskan. Perjuangan
anggota GAM sangat lama. Saat berjuang, mereka bersatu padu bersama
alam melawan pemerintah Indonesia lewat slogan sibak rokok teuek.
Pernyataan yang kerap didengungkan untuk membakar semangat
pengikut Gerakan Aceh Merdeka bahwa kemerdekaan hanya sesaat
lagi, paling lama hanya seperti mengisap sebatang rokok lagi (sibak
rukok teuek). Para pejuang itu berpedoman pada budaya berpegang
pada tali ikatan yang diyakini membuat tetap di tengah gelanggang
dan tidak untuk menjatuhkan tapi untuk saling meluruskan menjadi
satu. Mereka mempunyai sikap tegas dan mengatakan bahwa aturan
yang dibuat untuk dipatuhi jika tidak, perundingan tak ada lagi. Mereka
mengingat Aceh yang terus dianaktirikan dan dikambinghitamkan atas
segala kekacauan ketidakadilan. Perjanjian antara GAM dan Pemerintah
Indonesia disepakati dan Aceh mendapatkan haknya. Namun, faktanya
setelah beberapa anggota GAM duduk menjadi pejabat, mereka tidak
memperjuangkan anggota yang ditahan di penjara. Tokoh Teungku
Muda atau Muda Balia kecewa kepada kawan seperjuangan yang tidak
segera membebaskannya dari penjara. Dengan rekam jejak keluarganya
di masa lalu, kehilangan ayah dalam membela GAM, mungkinkah Muda
Belia tidak dendam kepada pejabat Aceh yang mantan pejuang GAM?
Dalam hatinya berkata bahwa ia siap melawan pemimpin Aceh dengan
cara apapun, karena mereka sudah tidak lagi amanah. Banyak pejuang

18
GAM dalam penjara. Mereka meninggalkan anak dan istri yang tidak
diperhatikan lagi oleh pemerintah karena pejabat pemerintah sibuk
dengan diri sendiri. Anak dan istri dari pejuang GAM yang masih ada
di penjara juga dikucilkan oleh masyarakat arena dianggap pembawa
bencana.
Teungku Muda berpikir tentang keadaan keluarganya. Ia ingat
ayah­nya yang pernah bercerita tentang Hamzah Fansuri yang me­
nganjurkan setiap orang untuk berbakti pada negeri. Kepada Muda
Balia, si ayah membacakan kayu api yang tersusun rapi dalam bait-
bait Hikayat Perang Sabil, hikayat yang isinya membicarakan tentang
jihad. Ayah Muda Belia juga mengajarkan cara menggunakan kayu
api agar nyalanya merata ke seluruh negeri. Muda Balia, layaknya
orang Aceh pandai membaca kata. Dalam hidup mereka sudah terbiasa
beradaptasi. Di sekolah, ia berbahasa Indonesia dengan para guru,
berbahasa Gayo dengan teman sebaya, dan berbahasa Aceh di dalam
keluarga. Begitu mudah merekam kata-kata untuk memahami apa
saja. Kayu api itu pedoman hidup, pembakar semangat, dan penerang
alam raya. Para elite GAM sepertinya hanya berbicara manis saat
mengunjungi tahanan di lapas. Mereka mengumbar janji dan faktanya
para tahanan tetap mendekam di dalam penjara. Kepada siapa Muda
Balia harus mendendam dan marah? Kepada teman-temannya yang
telah melupakan perjuangannya atau kepada pemerintah yang telah
memenjarakannya? Di ruang sempit dibatasi terali besi, Muda bergerak
ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu yang hilang tetapi
tak ada yang ditemui selain kelelahan dan rasa hampa yang begitu
dalam. Dia dianggap sebagai teroris yang membahayakan negara.
Kita mengetahui bahwa bibit perlawanan di Aceh telah ada sejak
1800-an ketika wilayah tersebut masyarakatnya menolak saat mau
dimasukkan ke wilayah jajahan Belanda. Masya­rakat Aceh bersikukuh
mempertahankan tanah leluhur. Aceh sangat sulit ditaklukkan oleh
Belanda. Saat Indonesia merdeka, Aceh menyumbang dana untuk
pembelian pesawat terbang Seulawah— pesawat pertama milik
Indo­nesia. Pada 1950, hal yang sangat mengecewakan rakyat Aceh,

19
yaitu status Aceh menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra
Utara. Sejak itu Aceh berjuang lepas dari Sumatra Utara menjadi
wilayah yang merdeka. Pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi
berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah
Indonesia di perbukitan Halinon, Pidie, dan mengangkat dirinya sebagai
Wali Nanggroe (kepala negara). Ia ingin Aceh berdiri sebagai negara
independen. Hasan Tiro berkata bahwa telah terjadi “penyerahan
kedaulatan tanah nenek moyang secara ilegal dari Belanda selaku
kolonialis lama kepada Jawa sebagai kolonialis baru.” Kekerasan di Aceh
dimulai akhir tahun 1999. Mereka membunuh pejabat pemerintahan
lokal dan penduduk pendatang dari Jawa. Walau pada akhirnya terjadi
kesepakatan berdamai melalui kesepakatan bersama di Helsinki,
kondisi keadaan Aceh tidak seperti yang diharapkan masyarakat.
Banyak yang menyayangkan sikap beberapa mantan petinggi GAM
yang rela membiarkan beberapa teman seperjuangan menderita.
Ada semacam gerakan dari sekelompok mantan pejuang GAM yang
kecewa dengan kondisi Aceh sekarang yang akan menuntut atas apa
yang telah petinggi GAM renggut dari mereka. Mereka kecewa dengan
kinerja pemerintah. Untuk sementara waktu. mereka memilih diam.
Beberapa janda yang suaminya terbunuh saat konflik harus
menghidupi anaknya sendiri. Ada juga beberapa suami dari mereka
bukanlah anggota GAM. Mereka rakyat biasa yang tidak tahu menahu
dengan perjuangan GAM. Situasi konflik telah membuat kekacauan,
tidak dapat dilihat itu anggota GAM atau rakyat biasa. Banyak rakyat
biasa yang terbunuh dalam peristiwa konflik itu. Dendam yang
panjang diderita rakyat Aceh. Perdamaian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak hanya menguntungkan pihak GAM yang berambisi untuk
kepentingan sendiri. Sementara kesejahteraan tidak merata pada
rakyat Aceh, apalagi mantan pejuang GAM. Situasi itu diikuti oleh
kerusakan lingkungan juga meningkat. Jumlah gajah dan harimau
yang mati dalam beberapa tahun terakhir makin tinggi. Matinya
gajah dan harimau adalah indikator bahwa hutan-hutan semakin
rusak karena penebangan pohon oleh beberapa pengusaha swasta.

20
Setelah perjanjian damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005, beberapa aturan
mulai ditetapkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Namun ada beberapa peraturan yang mengabaikan kearifan lokal
daerah Aceh. Berbagai tekanan sosial mulai dialami oleh masyarakat
Aceh tidak hanya dari kalangan minoritas nonmuslim, tetapi juga dari
kalangan muslim sendiri. Kontrol sosial masyarakat melemah. Kurang
adanya sinergi keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membina
moralitas anak. Ini akan menjadi kendala kehidupan masyarakat Aceh
yang sedang gencarnya menerapkan syariat Islam

DUA
Sahabat, puisi esai kedua ini bercerita tentang orang yang tidak
dapat menjaga martabatnya sebagai manusia. Orang yang kehilangan
martabat adalah orang yang lupa diri, seperti kata peribahasa “bagai
kacang lupa pada kulitnya”. Ia melupakan budi orang yang sudah
mengantarkannya menjadi sukses. Puisi esai Nazar Syah Alam “Takdir
Kayu Menjadi Abu” mencoba mengisahkan bagaimana tokoh Puteh binti
Abbas, mertua almarhum Abdullah Syafi’ie, menjalani kehidupannya
secara tertatih-tatih. Di tengah janji-janji perbaikan kesejahteraan hidup
bagi keluarga mantan anggota GAM dari para penguasa negeri saat ini
yang sebagian besar berasal dari kalangan eks GAM. Abdullah Syafi’ie
adalah salah seorang panglima perang Gerakan Aceh Merdeka.
Perjuangan Puteh saat masa konflik menjadi semangat para
pejuang GAM. Perempuan Aceh itu tegar menerima segala risiko ke­
hidupan. Ia memiliki menantu pejuang GAM yang diburu pemerintah.
Dengan diam penuh cinta, ia telah membantu perjuangan dengan segala
cara tanpa pamrih. Ia berani hidup penuh penderitaan dan penistaan.
Kegigihan mencapai suatu tujuan yang diyakini telah mem­buatnya hidup
penuh kekuatan. Puteh tidak menyesal telah menjadi tulang punggung
kehidupan para pemberontak pada masa yang lalu. Ia juga tak menyesal
melepas anak perempuannya untuk menikah dan hidup berpindah
dari satu rimba ke rimba lain karena harus mengikut suami yang jadi

21
pemberontak. Laki-laki Aceh haram pengecut dan takut meski bergelut
tercabut nyawa. Perempuan Aceh juga malu kecut, ia harus berani tanpa
pernah mencoba surut. Puteh tak menyesali ketika rumahnya dibakar saat
konflik panjang melanda Aceh. Rumah Puteh dianggap tempat berlindung
anggota GAM. Ia tak peduli kenal atau tidak pada pejuang yang perlu
pertolongan darinya. Puteh hanya merasa perlu memberi pertolongan,
“Ini anak bangsa, anakku juga. Anak-anak yang dibawa semesta untuk
menyelamatkan bangsa, untuk kuselamatkan.” Setiap mata perempuan
Aceh perih menampung dendam. Jiwa mereka menyimpan benci kesumat
tak berpenawar karena suami, saudara, anak, tetangga, atau teman telah
dibunuh oleh tentara Indonesia. Konflik seperti itu memang susah untuk
membedakan mana GAM atau mana rakyat biasa. Banyak rakyat bukan
GAM ikut terbunuh. Mereka yang terbunuh meninggalkan keluarga yang
sangat menderita. Puteh kini hidup sendiri. Dia juga tidak peduli pada
anggapan bahwa ia selalu membantu GAM berjuang, sehingga ia tidak
dihargai lagi ketika GAM sudah tidak ada. Sekarang Puteh ditinggalkan
oleh orang-orang yang pernah ia selamatkan.
Setelah situasi damai tercipta di Aceh, para anggota GAM yang
kemungkinan besar mayoritas terdiri atas orang muda usia harus
kembali ke masyarakat. Mereka harus mencari nafkah untuk dirinya
dan keluarganya. Beberapa mantan pimpinan GAM telah membentuk
unit usaha untuk menampung mereka yang baru keluar dari hutan
agar tidak mejadi pengangguran. Ada juga wilayah di pedalaman
di tepi pantai, penduduknya terisolir karena diduga mereka anggota
GAM. Di daerah itu terkenal dengan ladang ganja. Lalu ada investor
dari negara tetangga membantu untuk beternak ikan, tapi syaratnya
hasil ternaknya harus dijual ke negara tetangga itu dengan harga yang
telah ditentukan oleh investor itu. Pada kenyataannya, perkembangan
kehidupan ekonomi di Aceh berjalan lambat. Pada sisi lain, kondisi
masyarakat Aceh mengalami perubahan dalam berbagai bidang seperti
sosial-budaya, ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan. Petuah atau
kebiasaan yang dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai
dikesampingkan oleh generasi muda kita dalam kehidupan sehari-

22
hari. Pola pikir masyarakat Aceh sudah terpengaruh dengan kehidupan
global yang mementingkan harta dan mulai melupakan nilai-nilai adat
dan tradisi sosial budaya masyarakat Aceh. Perubahan-perubahan pada
kebiasaan masyarakat Aceh semakin terasa, masyarakat Aceh yang
sebelumnya bersifat kekeluargaan menjadi masyarakat individualis dan
tidak memedulikan orang sekitar. Kemerosotan moral dan kebudayaan
akibat globalisasi mulai merebak di Aceh semenjak tahun 2000-an,
namun semakin buruk pascatsunami. Kemungkinan besar ini karena
banyaknya NGO yang masuk ke Aceh dan menyebarkan pemikiran-
pemikiran mereka. Angka perceraian meningkat sejak masuknya LSM-
LSM yang mengatakan mereka adalah pejuang kesetaraan gender.
Hal-hal sepele dalam keluarga yang tadinya dapat diselesaikan secara
baik-baik saat ini bisa menjadi permasalahan besar dan berakhir pada
perceraian. Perang di Aceh telah lama selesai, kehidupan tetap terus
berlanjut dengan berbagai permasalahan yang baru.

TIGA
Sahabat, puisi ketiga karya Ricky Syah R. yang berjudul “Agam
Pungo” ini bercerita tentang kehidupan di negeri yang telah men­
deklarasikan diri sebagai negeri yang berlandaskan syariat Islam da-
lam berbagai aspek kehidupan. Tokoh “Agam” adalah salah seorang
korban tsunami yang menjadi gila karena ketidaksiapannya dalam
menerima realitas kehidupan pascatsunami. Cerita ini memanfaat-
kan warung kopi dengan berbagai hiruk-pikuk dan kemajemukan
pengunjungnya sebagai latar sekaligus objek penceritaan tentang
kecarutmarutan implementasi syariat Islam di Aceh dari waktu ke
waktu. Melalui monolog dan dialog tokoh Agam, cerita ini mencoba
mengungkap berbagai realitas kontradiktif dalam masyarakat Aceh
masa kini. Di satu sisi negeri ini menyebut diri sebagai negeri syariat
Islam, tetapi di sisi lain banyak perilaku warganya yang tak berse-
suaian dengan tuntunan syariat Islam itu sendiri. Agam setiap hari
duduk di warung kopi Tauke untuk meminum kopi sikhan, kopi hitam
setengah gelas. Agam dipanggil pungo yang dalam bahasa Aceh ada-

23
lah gila. Tutur kata yang disampaikan Agam mengandung pesan yang
sarat akan makna. Pesan yang mencerminkan keadaan negeri Seram-
bi Mekkah saat ini. Ia terus mengoceh tanpa henti, bertanya sana-sini,
dan juga sering prihatin pada keadaan manusia di bumi Teuku Umar
yang telah jauh dari kata islamiah. Ia tidak diperhatikan orang karena
dianggap gila. Apa yang dia katakan tidak pernah didengarkan orang.
Padahal semua yang ia sampaikan adalah kebenaran yang nyata yang
terjadi di daerah Aceh. Agam ingin agar semua orang sadar, bahwa
perilaku mereka saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan aturan syari-
ah Islam. Pertanyaan terbesarnya kenapa Agam bisa pungo? Kejiwaan
Agam menjadi terganggu karena bencana mahadahsyat yang terjadi
pada tanggal 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan Aceh. Ben-
cana tersebut adalah tsunami. Agam kehilangan semuanya, termasuk
orang tercintanya, dan semenjak itu ia mulai menyalahkan keadaan.
Hingga jiwanya terganggu, lalu gila. Apa yang harus dilakukannya?
Berdamai dengan situasi yang ada atau terus menyampaikan apa
yang dipikirkannya? Kegilaan yang disandangnya itu akibat peristiwa
dahsyat yang menimpanya. Sikap yang dianggap gila akan bertam-
bah ketika melihat situasi kehidupan tidak seperti yang seharus­nya.
Kehidupan ditata dengan aturan- aturan yang membuat manusia
memiliki pedoman. Orang itu melihat kehidupan di sekitarnya sudah
tidak sesuai dengan syariat Islam. Baginya, Aceh seharusnya menjadi
barometer penegakan syariat Islam. Realitas yang ada telah menun-
jukkan banyak perilaku warganya yang tak bersesuaian dengan tun-
tunan syariah Islam itu sendiri. Agam itu terlihat gila karena selalu
berkata sendiri. Walaupun ia gila, tetapi perkataan yang diucapkan
banyak benarnya. Ia terus mengoceh tanpa henti menatapi keadaan
manusia di Aceh yang telah jauh dari kata islamiah. Begitu banyak
pemuda dan pemudi yang belum suami istri bebas berpelukan.
Pada 26 Desember 2004, tsunami telah meluluhlantakkan tem-
pat tinggal masyarakat Aceh dan banyak orang menjadi korban. Setelah
peristiwa itu, orang-orang tidak mempunyai tempat tinggal. Pemerintah
menyediakan tempat tinggal di pengungsian berupa tenda-tenda

24
sementara sebelum dbangunkan rumah untuk tinggal. Mereka itu
hidup dari tenda ke tenda lalu kemudian pindah ke barak. Pemerintah
bersama para donatur membangunkan rumah untuk korban tsunami.
Untuk mendapatkan rumah hunian, ternyata para korban tsunami
yang hidup itu saling berebut dan saling serobot. Beberapa pengungsi
yang tinggal di barak banyak yang belum mendapat rumah karena
rumah untuknya telah diserobot orang. Petugas terkait tidak kuasa
mengusir orang yang menyerobot rumah itu. Lebih parah lagi, saat
para pengungsi di barak menunggu pengadaan rumah, barak mereka
digusur. Mereka meminta perlindungan hukum untuk hal tersebut.
Pada tahun 2017, pemerintah Aceh Besar berkeras membongkar semua
barak karena akan ada even nasional yang digelar di Banda Aceh, yaitu
Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA). Syarat
kegiatan itu diadakan di Aceh, antara lain pengungsi tsunami tidak ada
lagi yang masih tinggal di barak. Barak itu harus dibongkar. Musibah
tsunami yang menimpa rakyat Aceh pada tanggal 26 Desember 2004
merupakan bencana alam terbesar pada abad ini. Selain menyebabkan
kehilangan dan kematian ratusan ribu jiwa, juga meninggalkan
puluhan ribu anak yatim dan janda serta kerusakan infrastruktur
yang parah. Pascatsunami, lembaga NGO dan bantuan-bantuan sosial
kemanusiaan masuk ke Aceh dan kondisi masyarakat Aceh menjadi
pusat perhatian negara lain di dunia. Selain itu, budaya luar juga
masuk ke Aceh dibawa oleh orang-orang asing yang datang sebagai
relawan atau orang dari lembaga NGO untuk membantu pemulihan
kehidupan masyarakat Aceh pascatsunami. Mereka mempunyai adat
budaya yang berbeda dengan adat budaya masyarakat Aceh, Budaya
luar yang dibawa orang-orang asing itu tidak sesuai dengan standar
dan nilai budaya masyarakat Aceh. Sebelum tsunami, masyarakat Aceh
sangat mengedepankan nilai-nilai kebudayaan. Karakter masyarakat
Aceh hidup secara komunal dan aktivitas gotong royong ada di seluruh
wilayah. Selama ini Aceh sebagai salah satu daerah yang memegang
teguh agama sehingga nilai-nilai agama menjadi dasar dalam setiap
tindakan kebijakan. Selain dari itu, karakter masyarakat Aceh lembut

25
dan ramah sesuai dengat adat kebiasaan orang Aceh. Ada perubahan
karakter masyarakat Aceh, sebelum tsunami dikenal dengan sikap
militansi dan loyalitas. Namun pascatsunami terjadi perubahan yang
sangat berbeda pada watak masyarakat Aceh. Mereka lebih suka
menerima ketimbang memberi. Hal ini karena banyak bantuan sosial
yang membuat karakter masyarakat Aceh malas. Agam melihat itu
semua, ada ketakutan ketika melihat nilai budaya dan aturan syariat
Islam begitu longgar di kalangan generasi muda. Dengan semangat
tinggi ia menyampaikan pengetahuannya itu kepada orang-orang yang
berada di warung kopi, tempat setiap pagi dia duduk di situ. Ia berbicara
keras sendiri menyampaikan situasi yang terjadi di masyarakat.

EMPAT
Sahabat, puisi keempat karya Risman A. Rachman berjudul “Ben-
dera Tak Bertiang” ini memamaparkan keadaan sosial masyarakat di
Aceh setelah perjuangan GAM selesai. Kisah diawali oleh keadaan
setelah pasca-MoU Helsinki, yaitu persoalan bendera Aceh. Persoalan
bendera merupakan salah satu hal yang disepakati dalam MoU Hel-
sinki, namun perwujudan kesepakatan tentang bendera belum dilak-
sanakan. Meskipun peraturan daerah tentang bendera sudah ada, yaitu
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang
Aceh. Bentuk dan warna bendera Aceh yang akan disandingkan de­ngan
bendera kebangsaan Merah Putih belum juga disepakati oleh para
mantan pejuang GAM. Tokoh Marwan dan Rahmi berbeda pandang soal
bendera Aceh. Pemerintah belum memberi izin pengibaran­Bendera Bu-
lan Bintang. Ayah Marwan adalah pejuang GAM yang meninggal kare-
na berjuang mempertahankan bendera Bulan Bintang. Marwan merasa
harus membela ayahnya dengan mempersoalkan bendera yang belum
berkibar bersanding dengan bendera Merah Putih. Kekasihnya, Rahmi,
mencoba menyadarkan bahwa situasi sekarang sudah berbeda dengan
saat GAM masih belum melakukan kesepakatan dengan pemerintah
Indonesia. Rahmi mencoba memberi tahu Marwan, bahwa sebagai
generasi muda hendaknya Marwan mengisi kehidupan yang ada den-

26
gan kedamaian dan ketenangan agar dapat membantu membangun
wilayah Aceh. Rahmi berkata pada Marwan, “Tak elok menjadi penden-
dam duhai Abangku tersayang.”
Aceh adalah negeri yang sempat tercabik konflik panjang se-
lama 29 tahun sejak kemerdekaan Aceh dideklarasikan pada tang-
gal 4 Desember 1976. Perlawanan demi perlawanan telah membuat
masyarakat Aceh hidup dalam tekanan, bahkan hingga terbelah da-
lam perbedaan pandangan. Jalan yang harus ditempuh adalah perda-
maian, yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2005.
Selama proses perdamaian itu terjadilah gempa yang berujung tsu-
nami. Peristiwa itu telah menyadarkan masyarakat Aceh bahwa ada
kekuatan mahadahsyat yang bisa lebih menghancurkan dari sekadar
mesin perang. Pada akhirnya semua pihak menyadari bahwa hidup
dalam damai jauh lebih mungkin untuk mencapai tujuan. Syarat­
nya adalah perdamaian antara GAM dan pemerintah Republik Indo-
nesia. Perdamaian yang tercipta bukan kemenangan bagi Republik
Indonesia ataupun GAM. Rakyatlah yang wajib dimenangkan lewat
pembangunan. Sehingga konflik yang berkepanjangan tidak layak
untuk dipertahankan karena akan mengganggu pembangunan hidup
generasi ke depan. Marwan merasa sedih melihat hasil kesepakatan
pemerintah Indonesia dan GAM tidak dilaksanakan sesuai dengan
apa yang telah disetujui bersama. Anak itu menganggap bahwa ke­
sepakatan itu sangat prinsip. Ia melihat tiang bendera untuk bende­
ra GAM dibiarkan tidak ada benderanya. Hatinya menjadi gundah
karena ia ingat pesan orang tuanya agar bendera itu tetap berkibar.
Bendera Aceh dikibarkan bersama bendera Merah Putih dan po­si­s­inya
mesti di kiri. Tidak boleh lebih tinggi dari bendera Merah Putih. Hal
itu sebagai tanda bahwa bendera Aceh adalah bendera provinsi, bu-
kan bendera negeri. Keinginan menaikkan bendera Aceh ke tiang di
samping tiang bendera Merah Putih tidak disetujui oleh peme­rintah.
Pemerintah berpikir bahwa itu adalah bendera pemberontak ketika
masa konflik. Bendera itu tidak dapat mewakili rakyat Aceh dan men-
jadi perdebatan di masyarakat Aceh karena banyak bendera di Aceh

27
dimiliki oleh beberapa kelompok. Marwan menyesalkan keputusan
pemerintah yang tidak membolehkan pengibaran bendera GAM. Ia
ingat ayahnya sering bercerita dan mengatakan kamu harus menja-
di orang merdeka, merdeka di hatimu, merdeka di rumahmu. Sikap
seperti itu baru bisa memerdekakan negeri. Dendam pun muncul
karena ia ingat bagaimana orang tuanya dan kelompoknya berjuang
mati-matian untuk kemerdekaan Aceh. Dendam yang timbul harus
ditekan ke dalam hati yang dalam sehingga menimbulkan sikap
­apatis terhadap apa pun kecuali kepentingannya sendiri. Dia akhir­
nya menyadari sikap yang mempertahankan prinsip itu berten­ta­ngan
dengan kekasihnya, Rahmi. Rasanya sia-sia perjuangannya jika ia
ber­gerak sendiri dan harus kehilangan kekasihnya. Marwan akhirnya
memilih untuk mendengarkan kata-kata Rahmi untuk menatap masa
depan dan membangunnya.
Sampai saat ini, hasil paling nyata dari kesepakatan damai Helsin-
ki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh. Beberapa elite
GAM dan mantan pejuang GAM mendirikan partai dan mereka terjun
langsung ke dunia politik praktis.Banyak kekecewaan terhadap mere-
ka, karena mereka dianggap mengkhianati idealisme perjuangan GAM.
Mereka berebut proyek APBD Aceh. Sudah hilang idealisme ketika para
pejuang GAM ini masuk dunia politik. Pada peringatan hari GAM ta-
hun 2017, mantan Panglima GAM menyarankan agar masyarakat tidak
mengibarkan bendera bulan bintang. Ia meminta rakyat mengadakan
selamatan syukuran, doa, zikir, dan melakukan kegiatan sosial, seperti
menyantuni anak yatim. Peringatan hari GAM tersebut masih juga di-
warnai dengan pengibaran bendera bulan bintang di salah satu tiang
bendera di depan kantor Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh (DPW
PA) Bireuen. Namun bendera bulan bintang tidak berkibar lama, be-
berapa orang segera menurunkan kembali bendera itu. Kemerdekaan
yang akan menjajikan kesejahteraan bagi Aceh itu perlu dipertanya-
kan. Rakyat Aceh sudah bebas. Ke manapun mereka pergi, mereka tidak
lagi dihantui peperangan dan bunyi letupan senjata. Para mantan GAM
yang tadinya hidup di hutan kini kembali berbaur dengan masyarakat.

28
Kehidupan mereka semakin hari semakin berubah dengan ditandai
banyak mantan anggota GAM memangku jabatan di pemerintah saat
ini. Belum lagi sejumlah projek di tingkat provinsi dan kabupaten kota
banyak dikuasai oleh mantan anggota GAM. Aceh adalah bagian in-
tegral yang tak terpisahkan dari NKRI. Apalagi di dalam Piagam PBB
sudah tercatat bahwa dari Sabang hingga Merauke adalah bagian
wilayah Indonesia yang tak terpisahkan. Kita sekarang bersyukur su-
dah dapat menikmati suasana perdamaian. Kita berharap perdamaian
ini dapat terus terpelihara dengan baik.

LIMA
Sahabat, puisi esai kelima karya Teuku Dadek yang berjudul “Ratôk
Smong” menginformasikan kearifan lokal suatu daerah secara turun
temurun yang telah ada di dalam kehidupan manusia. Manusia diatur
melalui budaya agar dapat menata hidupnya dengan baik. Kearifan
lokal menjadi acuan sebuah identitas suatu suku atau bangsa di dunia.
Dengan alam, manusia bersatu untuk mengelola kehidupan. Manusia
hampir melupakan alam yang telah bersama-sama ada di dunia ini.
Selama ini, laku dan gerak manusia dipandu oleh suatu pengetahuan
yang ditemukan oleh masyarakat terdahulu berdasarkan pengalaman
hidup dengan alam. Pengalaman hidup diintegrasikan dengan
pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat. Kisah
dalam puisi esai ini diawali dengan cerita seorang pawang bernama
Mahmud yang menjadi juru kunci pesisir laut di Kampung
Pasie Karam. Ia sering mendengar ratapan laut yang marah atas
pelanggaran-pelanggaran ikatan spiritual antara manusia dan laut.
Pawang Mahmud sering menyampaikan ratapan laut ke masyarakat,
namun dia dianggap orang aneh dan gila. Penduduk menganggap
laut adalah laut. Mahmud juga menyampaikan bahwa nyanyian
anak-anak saat mandi laut adalah mantra yang menjadi salah satu
penyebab laut meratap dan melahirkan anak tuanya, smong.
Di Aceh terdapat masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang
sangat bermanfaat yang dituturkan melalui hikayat atau syair. Beberapa

29
di antaranya memberikan semacam panduan bilamana terjadi ben­
cana alam. Salah satunya adalah Syair Nandong yang dilafalkan
turun-temurun sejak berabad-abad lalu. Syair ini berbunyi:

anga linon ne mali


(jika gempanya kuat)
uwek suruik sahuli
(disusul air yang surut)
maheya mihawali fano me singa tenggi
(segeralah cari tempat yang lebih tinggi)
ede smong kahanne
(itulah tsunami namanya)

Istilah smong adalah istilah tradisional masyarakat di Pulau


Simeulue, Aceh, untuk menyebut gelombang laut besar yang melanda
daratan setelah gempa bumi terjadi. Istilah ini berasal dari bahasa
Devayan, bahasa asli masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue
memiliki syair tersendiri untuk memperingatkan datangnya smong,
yaitu: syair yang sering dilagukan sebagai cerita di wilayah itu dan
menjadi kearifan lokal Simeuleu. Pengetahuan tentang isi syair
itu menjadi populer sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
minimnya jumlah korban di Simeulue pada saat gempa bumi dan
tsunami Samudra Hindia 2004. Simeulue sendiri pernah dilanda
tsunami pada tahun 1907. Pengetahuan tentang smong dari syair
itu secara turun-temurun diwariskan kepada generasi selanjutnya
sebagai sebuah peringatan adanya bencana.
Kisah pawang Mahmud terus berlanjut. Dia melihat penduduk
yang mandi di laut dan bermain dengan gelombang, selalu me­
mancing kemarahan sang smong. Dia selalu mengingatkan agar
anak-anak tidak berteriak-teriak ke laut memanggil gelombang
dan melontarkan kata-kata menantang pada laut. Anak-anak itu
tidak paham bahwa nyanyian yang mereka lantunkan pada laut
itu adalah mantra. Orang-orang tua penduduk wilayah itu juga

30
tidak mengingatkan anak-anak. Hanya pawang Mahmud yang terus
berusaha menyadarkan bahwa menantang arus gelombang yang
sedang sunyi itu suatu pertanda dan perilaku buruk tak terpuji. Orang-
orang tidak memperhatikan ucapan Pawang Mahmud. Dia dilihat
sebagai orang gila tidak perlu didengarkan celotehnya. Akibat ulah
manusia yang tidak memperhatikan alam, terjadilah bencana. Korban
ratusan ribu orang terhempas smong, tsunami. Laut marah karena
manusia tidak lagi memperhatikan alam dan juga memperhatikan
peringatan dari Pawang Mahmud. Anehnya, kemarahan smong itu
belum juga memperbaiki persahabatan antara manusia dan alam.
Sekarang masyarakat Aceh masih saja menganggap peristiwa itu
adalah peristiwa alam biasa. Hingga kemungkinan sang smong akan
bertandang lagi di masa depan di waktu yang tidak pasti di tanggal
yang tidak bisa ditentukan untuk merenggut kebahagiaan dunia.
Kampung Pasie Karam memang belum juga jera akan kemarahan
smong. Ketika interaksi manusia dan alam terlaksana, kegiatan itu
dianggap sebagai hal yang biasa dan lama-lama tidak diperhatikan
lagi dan malah terlupakan bahwa pernah ada interaksi antara manusia
dan alam. Manusia menguasai alam dan bersikap semena-mena ter­
hadap lingkungan. Ketika kearifan lokal terjaga, orang membuang
sampah pada tempat yang semestinya, misalnya membuat lubang di
tanah untuk tempat sampah. Ketika tempat sampah itu penuh, ditutup
dengan tanah, dan manusia menggali lagi tempat sampah yang baru.
Manusia telah lupa pada alam. Ketika manusia semena-
mena pada alam, timbullah bencana. Sikap hidup manusia dalam
memperlakukan alam tidak diperhatikan oleh generasi muda karena
generasi tua tidak mengingatkan. Pergaulan remaja semakin terbuka
ditambah semakin berkembangnya sikap apatis dan permisif di
masyarakat Aceh. Mereka tidak merasa takut akan apa yang pernah
disebut dengan kemurkaan Allah. Para remaja bercanda-ria di pantai
seperti Uleleu, mengabaikan syariat Islam. Bahkan juga di kafe-kafe
yang semakin banyak bermunculan terlihat kian menjadi hal biasa.
Beberapa baliho dari Dinas Syariat Islam mengingatkan para orang

31
muda untuk tidak membudayakan pacaran, ternyata anak-anak se­
tingkat SMP saja ketika berkendara saling berpelukan bagaikan
sepasang suami istri. Pergaulan bebas muda-mudi tampaknya se­
makin berani dan tanpa kendali. Suatu hal yang menarik dari sikap
hidup masyarakat Aceh, yaitu masih ada beberapa penduduk yang masih
mempertahankan kearifan lokal. Hubungan batin antara manusia dengan
alam begitu kuat. Ketika generasi muda mencoba mengingkari kekuatan
alam yang harus selalu dijaga, bencana terjadi. Generasi itu punah.
Sedangkan yang tertinggal menyimpan trauma dan berusaha untuk
lebih memahami kearifan lokal di sekitar hidupnya. Dendam karena
terkena bencana gempa dan tsunami yang menyebabkan tempat
tinggal, saudara, anak, istri, dan keluarga hilang telah menyebabkan
beberapa orang menjadi gila, sakit jiwa. Trauma pada peristiwa itu
telah menghentikan kemauan hidup manusia untuk berkreasi. Untuk
hal itu, manusia harus menghapus dendam dan menyadari keadaan
dengan memperhatikan alam, mengenali, dan menjalani kearifan
lokal yang ada.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai ini merupakan salah satu hasil yang diga-
gas dengan pintar oleh Denny JA untuk menjaring informasi kisah ak-
tual dari setiap provinsi di Indonesia dengan berbagai permasalahan­
nya. Informasi itu dituliskan dalam bentuk puisi esai.
Bentuk yang baru di dalam dunia penulisan dengan menggu-
nakan kata sederhana dan ciri khas yaitu catatan kaki. Puisi esai telah
mengolah fakta aktual dan fiksi dalam suatu tulisan. Buku ini meng-
gambarkan 5 kearifan lokal yang ditulis oleh penulis Aceh. Ada garis
hubung antara kelima penulis itu dalam menarasikan kearifan lokal
dalam cerita. Pedoman hidup masyarakat Aceh digambarkan dengan
menarik, misalnya ungkapan tali yang diyakini membuat tetap di
tengah gelanggang dan tidak untuk menjatuhkan tapi untuk saling
meluruskan menjadi satu ikatan. Atau langkah hidup pun berpedoman
pada kayu api yang harus dijaga agar nyalanya merata ke seluruh

32
negeri. Kearifan lokal tentang fenomena alam ini mewujud dalam
berbagai rupa dan tujuan, dari mitos, legitimasi, hingga yang rasional
dan bermanfaat; sehingga sebaiknya disikapi dengan arif pula. Syair-
syair yang menggambarkan smong dan cara penyelamatannya sa­ngat
membantu masyarakat Aceh menghadapi tsunami. Kearifan lokal itu
telah tercatat di dunia sastra dalam bentuk syair yang dilagukan dari
hari ke hari. Hal itu dapat menjadi rujukan gene­rasi masa depan. Rasa
dendam masyarakat Aceh karena peristiwa GAM dan tsunami mulai
pudar dan hendaknya kearifan lokal berdasarkan syariat Islam dapat
hadir dalam kehidupan masyarakat Aceh.

33
Cinta, Tradisi,
dan Pengkhianatan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SUMATRA UTARA

Judul Buku : Merisik Jalan ke Percut


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 108 halaman
Penulis : Arie Siregar, Ay Harahap, Hasan Albana,
Rudiarjo Pangaribuan, Safrizal Sahrun
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-10-1

Sahabat, apa yang dapat dipelajari dari buku puisi esai ini?
Buku ini memuat lima kisah yang bertema tentang cinta, tradisi,
rasa kepedulian terhadap sejarah, kerusakan lingkungan, dan kuli per­
kebunan. Lima penulis menceritakan dengan menarik tentang adat,
budaya, bahasa, dan manusia di daerah itu sehingga menambah
wawasan kita tentang keadaan masyarakat di wilayah Sumatra Utara.

LIMA INTI SARI BUKU


 Dendam antaretnis mengandaskan cinta.
 Bakti anak melalui ritual gali kubur.
 Bangunan bersejarah yang diabaikan.
 Danau Toba tercemar.
 Perempuan kuli perkebunan.

SATU
Sahabat, puisi esai “Cinta yang Sia-Sia” karya Arie Siregar
mengisahkan percintaan dua manusia yang berbeda etnis. Fahrani
keturunan Tionghoa dan Dame keturunan Batak. Anak perempuan
Cina (keturunan Tionghoa) tidak bisa menurunkan marga, jadi ia harus
menikah dengan laki-laki Cina. Ayah Fahrani dendam pada orang

34
pribumi yang memerkosa adiknya saat konflik Cina dan pribumi.
Puisi ini merupakan sebuah renungan kecil tentang isu besar yang
tak pernah berhenti memanas di benak bangsa kita. Isu yang tetap
menjadi buah pahit tiada habis di ujung lidah yang tajam. Ini kisah
jalinan cinta yang hancur karena benturan perbedaan etnis, luka, dan
prasangka akibat peristiwa buruk di masa lalu.
Fahrani tidak boleh keluar dari rumah oleh ayahnya sampai ada
laki-laki yang pantas untuk menikahinya. Ia adalah Fahrani se­orang gadis,
yang arti namanya memang bunga dalam bahasa Tionghoa. Fahrani
mencintai Dame, ia anak dari suku Batak. Mereka satu universitas swasta
di Medan. Perbedaan etnis memang sering menjadi hal yang membuat
pertentangan. Perempuan Tionghoa selalu diharapkan menikah
dengan laki-laki Tionghoa juga, namun bukan dengan yang semarga,
agar keturunannya masih tetap memiliki marga Tionghoa.
Setelah selesai sarjana, Dame bertamu pada keluarga Fahrani.
Dame disambut keluarga Fahrani di lantai satu rumah toko. Dame
melamar Fahrani untuk dijadikan istrinya. Ayah Fahrani kepalang
murka menolak dan mengusir Dame. Mengapa sampai ayah Fahrani
murka? Ada kisah sedih yang melatari sikap orang tua Fahrani. Ketika
Fahrani masih berusia enam tahun, kakek, nenek, dan adik ayah Fahrani
pindah ke apartemen Fahrani di Singapura. Wajah adik ayah Fahrani
berubah menjadi perempuan berwajah hampa. Ia telah diperkosa
berkali-kali saat peristiwa konflik Cina-pribumi.
Fahrani dan orang tuanya baru berpindah ke Medan ke kawa­san
bisnis yang banyak dihuni pertokoan setelah presiden baru Indonesia,
Abdurrahman Wahid, mengizinkan Cina sebagai warga negara Indonesia
bukan rakyat negeri Cina. Mereka tinggal di rumah toko berdinding
setengah gosong di dalamnya. Fahrani sekolah SMA di sekolah Kato­
lik yang murid-muridnya kebanyakan Tionghoa. Kebanyakan orang tua
keluarga Tionghoa di Indonesia, terlebih di Medan, memilih menye­
kolahkan anaknya di sekolah Katolik atau Budhist. Hal itu beralasan
agar anaknya terdidik juga dalam hal agama. Mereka memilih sekolah
yang mayoritas bermurid Tionghoa: ada yang ingin agar anaknya tidak

35
mengalami diskriminasi karena menjadi minoritas di antara kelompok
mayoritas. Fahrani akhirnya menangkap kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi sejak ia kanak-kanak, kenapa papa dan mama selalu takut Fahrani
bepergian sendirian, bahkan dengan teman-teman? Adakah sangkut
pautnya dengan wajah hampa adik perempuan ayah? Ibunya bercerita
pada Fahrani bahwa di Indonesia, orang menjadi Tionghoa merupakan
malapetaka. Ketika bulan Mei tahun 1998 pernah ada amuk massa
ter­hadap orang Cina. Rumah, toko, dan bangunan dijarah dan dibakar
massa yang menyatakan bahwa mereka orang Indonesia, sedangkan
orang Cina perlu diusir dari wilayah Indonesia. Esok harinya ayahnya
bercerita tentang peristiwa pada bulan Mei 1998 di Medan. Kota Medan
adalah kota pertama yang dilanda kerusuhan Mei 1998 sebelum
Jakarta, Solo, dan kota-kota lainnya. Bahkan sejak akhir April, mendekati
peringatan hari buruh internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei,
Medan sudah memanas oleh emosi kaum buruh yang merasa semakin
tercekik oleh krisis dan ketidakadilan dalam sistem ketenagakerjaan.
Baru setelah itu aksi unjuk rasa datang dari kala­ngan mahasiswa se-
Kota Medan. Terhitung sejak tanggal 4 Mei 1998, di setiap sudut Kota
Medan, bahkan hingga ke beberapa daerah di sekitarnya, terjadi aksi
yang menuntut reformasi pemerintahan. Namun karena kalangan
masyarakat turut serta dalam demonstrasi, aksi yang dilancarkan
berbuntut kerusuhan. Pergudangan, pertokoan, perkantoran, beberapa
bank dan mesin atm, hingga showroom mobil dan sepeda motor jadi
sasaran amuk massa. Opa dan Oma Fahrani tinggal di Medan bersama
adik perempuan ayah Fahrani. Kaum Tionghoa menjadi sasaran amuk
massa. Namun, adik ayah Fahrani, gadis berusia 28 tahun, waktu itu
tengah disibukkan tanggung jawab pekerjaan di kota lain, di Sumatera
Utara. Gadis itu hilang kabar selama tiga hari. Saat akan pulang ke
Medan ia dihadang dan diperkosa oleh lima orang bergiliran. Adik ayah
Fahrani disekap di suatu bangunan dan kembali diperkosa berulang-
ulang. Akhirnya, adik ayah Fahrani bisa pulang ke rumah entah siapa
yang menyetir mobil mengantarnya pulang. Di dalam mobil, adiknya
hanya sendiri di jok belakang, bergelimang lebam dan luka. Lalu Opa

36
Fahrani menilpun ayah Fahrani berkata: “Ia terbaring tak berdaya,
tanpa busana”. Lalu mereka sekeluarga melarikan diri ke Singapura. Itu
mengapa sampai Ayah Fahrani menolak Dame saat melamar Fahrani.
Pemerkosa adik ayah Fahrani antara lain orang etnis yang sama dengan
Dame. Ayah Dame juga menentang Dame menikahi Fahrani. Ayah Dame
murka karena Cina menguasai ekonomi dan suka menghina kaum
pribumi. “Takkan mati aku, sebelum kuhabisi hubunganmu dengan
perempuan Cina itu, Dame! Kau camkan itu!”. Dame lelaki keturunan
Batak Toba yang harus meneruskan nama marga. Ayah­nya ingin Dame
beristri pe­rem­puan pilihan ayahnya. Perempuan yang akan menentukan
kehormatan sang ayah di mata keluarga besarnya. Dame dan Fachrani
tidak bisa menikah. Luka cinta mereka akan menjadi penawar luka
lama orang tua.

DUA
Sahabat, puisi esai “Mangokkal Holi” karya Ayu Siregar berkisah
tentang seorang anak yang akan menggali kuburan tulang ayah ibunya
untuk diletakkan dalam sebuah tugu. Upacara menggali kubur itu perlu
biaya banyak. Ia harus mencari uang dengan pergi ke kota untuk bekerja.
Ketika uang sudah terkumpul, ia segera pulang ke desanya. Mengingat
Sumatera Utara, tentu di pikiran orang-orang akan tergambar sebuah
pulau yang bernama Pulau Samosir, yaitu pulau vulkanik di tengah
Danau Toba dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut.
Udara di sekitarnya sangat dingin dan menusuk tulang. Akan tetapi,
sepanjang perjalanan menyusuri Pulau Samosir, khususnya di kepala
para pendatang akan muncul sebuah tanda ta­nya. Di sana terdapat
banyak makam yang megah, di menempatkannya dalam satu tugu.
Mangokkal Holi merupakan bagian dari tradisi Batak Toba.Memindahkan
tulang-belulang leluhur juga dilakukan oleh beberapa suku lainnya
tetapi dengan sebutan antaranya didirikan sebagai sebuah tanda
dari prosesi mangokkal holi. Itu merupakan sebuah tradisi untuk
menggali kembali makam keluarga dan menempatkannya dalam
satu area. Menjalankan tradisi mangokkal holi bukan hal yang mudah

37
karena butuh biaya yang besar dan dilaksanakan dalam beberapa hari.
Mangokkal Holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang
leluhur kemudian yang berbeda. Sebenarnya sebelum pembangunan
tugu, ada tradisi lain untuk menghormati ompu-ompu na jolo antara
lain tradisi kubur batu sarkofagus yang peninggalannya masih bisa
dilihat di Pulau Samosir. Walau membangun tugu ini bukan tradisi
awal orang Batak, tapi pembangunannya sendiri didasarkan pada rasa
hormat kepada ompu-ompu na jolo serta pelaksanaan kewajiban
untuk menghormati ayah dan ibu.
Di tepian Samosir itu, ia akan membangun tugu untuk ayah ibunya.
Bagi keluarga, mangokkal holii merupakan tradisi menggali kem­bali
ingatan pada orang tua atau saudara, atau leluhur dengan cara me­
ngumpulkan tulang-tulang leluhur dan menempatkannya dalam satu
tugu. Ia bekerja di kota yang jauh dari tempat kelahirannya. Ia pergi
meninggalkan Samosir untuk mencari nafkah di kota. Di kota ia selalu
ingat orang tuanya yang telah meninggal. Juga saudaranya yang turut
meninggal. Dengan kerinduan yang sangat, ia bekerja mengumpulkan
uang dan bercita-cita pulang untuk memberikan upacara yang layak
untuk orang tuanya dan saudaranya. Setelah dirasa cukup uang yang
didapat untuk memberikan upacara pada keluarganya, ia pulang ke
Samosir. Ketika sampai Samosir, ia bertemu dengan seluruh keluarga
yang lama tidak dijumpainya.
Sebagai perantau yang lama pergi, tentulah orang-orang ramai
menerka-nerka tentang kehidupannya, tentang apa saja yang telah
ia hasilkan, dan hidup seperti apa yang akan diceritakannya pada
keluarga besar. Baginya, ini pertarungan untuk amang dan inang, dari
timur ke barat. Persiapan pelaksanaan upacara dilakukan. Pertemuan
dilaksanakan untuk mempersiapkan upacara. Waktu pelaksanaan upa­
cara telah ditentukan. Marga yang menggelar mangokal holii harus
men­jamu seluruh keluarga besar dan tetangga untuk membawa me­reka
pada hidup yang tinggi, setinggi tugu yang telah kami rancang di kepala.
Tugu untuk mangokkal holi. Ia pastikan segala sesuatunya akan dibuat

38
dengan baik. Tak ada beban yang ditanggung keluarganya. Sebab ini
telah menjadi hutang dalam dirinya sendiri. Ia ingin mengusung amang
dan inang pulang sepanjang halaman rumah orang-orang, seperti
waktu yang mengusung matahari tetangga kampung yang ada. Bahkan
dalam pelaksanaan upacara ini biasanya dihidangkan daging kerbau.
Selain itu, dalam pelaksanaan upacara ini juga dibutuhkan hewan yang
akan dikurbankan. Tidak jarang masyarakat menggunakan kuda sebagai
hewan yang dikurbankan. Dalam upacara ini juga harus disediakan kain
ulos sebagai simbol harapan agar berkah selalu mengiringi keturunan
orang yang meninggal tersebut. Ketika mereka menuju makam amang
dan inang, sepanjang jalan mereka menyimpan duka masing-masing.
Doa-doa melangit, sebagai pembuka untuk meminta rasa damai yang
abadi. Mereka menyaksikan penggalian makam. Tulang-tulang dari
orang tua dibasuh hingga bersih terbungkus kain putih dan ulos
dan dibawa menuju rumah yang kokoh dan abadi di batu napir, yaitu
bangunan yang terbuat dari bahan batu dan semen yang berukuran
tinggi dan di dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan sejumlah
orang yang memiliki hubungan satu silsilah. Berakhirlah segala
tugas prosesi sang anak dalam tangis untuk cinta. Sudah menyatu
garis keturunan dalam darah pada bangunan tugu yang menjulang
tinggi. Kesedihan dan rasa bahagia sudah tunai dirayakan. Setelah
itu, mereka pulang ke rumah menyiapkan kebaktian yang dilakukan
pada malam hari. Pesta diadakan dengan memotong kerbau sebagai
rangkaian kegiatan upacara tersebut biasanya banyak kerbau yang
dipotong untuk disajikan pada saat seluruh kampung mendoakan
orang tuanya. Upacara mangokkal holi akan menemui akhir jika
tiang borotan, yaitu semacam tiang pancang bagi hewan yang akan
dikuburkan yang akan dipancangkan di depan rumah leluhur. Di
pucuk tiang, kain putih menari-nari melambangkan kesucian. Ulos
jadi pengiring pengganti doa keselamatan untuk semua keturunan.
Upacara mangokkal holi adalah upacara mempertahankan silsilah
garis keturunan marga di kehidupan suku Batak.

39
TIGA
Sahabat, puisi esai “Tanda Tanya-Tanda Tanya Seorang Lelaki di Titik
Nol Kota Medan” Hasan Al Banna ini mengisahkan lelaki yang selalu
bertanya. Masih adakah yang dapat dibanggakan dari bangunan dan
tempat di Kota Medan selain kisah-kisah bersejarah di tengah peradaban
modern? Mengapa masyarakat tidak melestarikan dan mengapresiasi
masa lampau untuk membangun peradaban kota masa depan? Masih
adakah yang dapat dibanggakan dari bangunan dan tempat tersebut
selain kisah-kisah bersejarah yang tercecer dan terhimpit oleh kemajuan
peradaban modern? Pertanyaan tersebut adalah muara besar dari banyak
pertanyaan—meski mungkin saja cuma dari segilintir orang—tentang
be­tapa sukar memahami makna melestarikan dan mengapresiasi masa
lampau untuk membangun peradaban kota masa depan. Kalimat-kalimat
penuh tanda tanya-tanda tanya dialami segelintir orang yang dimaksud
di atas, termasuk dari seorang lelaki yang boleh jadi mewakili seorang
perempuan, seorang orang tua, seorang anak muda, seorang yang waras,
bahkan seorang yang gila.
Lelaki itu berjalan di titik nol Kota Medan, dari bangunan ber­
sejarah yang satu ke bangunan lain dengan seribu tanda tanya.
Lelaki itu, senantiasa melangkah mengitari garis melingkar yang tak
berpangkal tak berujung. Tubuh ringkihnya melengkung, membungkuk
mirip tanda tanya yang acap kali tersesat di lingkaran yang itu-itu saja.
Lingkaran yang dulu besar dan telah melahirkan sebidang kota kecil
yang riuh membuat lingkaran makin terkucil. Adakah titik lahir secara
bersamaan senasib makna dengan titik nadir? Lelaki itu sejak lama
teguh pendirian, keras kepalanya disokong alasan baginya. Sekalipun
Tanah Deli tinggal sekepalan tangan, tetap saja mendasari riwayat
hidupnya. Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama
Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas
4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya
bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei
Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan,
dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

40
Tanah Deli dikagumi Belanda karena ladang tembakaunya. Barak-
barak kuli dan bangunan lainnya menjadi bukti bahwa tembakau
menjadi primadonanya. Jacob Nienhuys (1836-1928) adalah orang
Belanda pertama yang menjadi pengusaha perkebunan tembakau di
Hindia Belanda. Ia tiba pada tahun 1863, dan kemudian mendirikan
Deli Maatschappij pada tahun 1869 setelah mendapat konsesi dari
Kesultanan Deli. Dengan demikian, ia merupakan pionir budidaya
tembakau di pantai timur Sumatra, dan kemudian juga di Sumatra Utara.
Para kaum Tionghoa memenuhi kota yang tenang tanpa sengketa
suku dan agama. Tjong A Fie (1860-1921) adalah seorang pengusaha,
bankir, dan kapitan yang berasal dari Tiongkok dan sukses membangun
bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatra, Indonesia. Tjong
A Fie dikenal sangat berjasa dalam membangun kota Medan yang
pada saat itu dinamakan Deli Tua, terutama kawasan permukiman
etnis Tionghoa Beberapa jasanya dalam usaha mengembangkan Kota
Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai
Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup
Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, kuil Hindu untuk warga
India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin,
serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama
Tjie On Jie Jan. Tjong A Fie dikenal dermawan dan sangat dekat
dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa di Kota Medan sehingga ia
disenangi orang-orang. Ia sangat menghormati umat muslim, bahkan
berperan serta mendirikan tempat ibadah, yakni Masjid Raya Al-
Mahsyun dan Masjid Gang Bengkok, serta ikut merayakan hari-hari
besar keagamaan bersama mereka. Tjong A Fie merantau ke Medan
tahun 1875. Medan adalah muara pertemuan dan tempat berkumpul.
Bangunan yang berjejer berhadap-hadapan di sepanjang Jalan Ahmad
Yani Medan atau dikenal juga sebagai kawasan Kesawan. Daerah
pertemuan Sungai Deli dengan Babura ditengarai sebagai cikal
bakal Kota Medan, yakni berada di sekitar Wisma Benteng Medan.
Di tempat itu juga ada Lapangan Merdeka adalah sebuah alun-alun
di Kota Medan, Sumatra Utara, Indonesia. Letaknya di area Kesawan,

41
tepat di pusat kota, dan merupakan titik nol Kota Medan. Lapangan
ini aktif digunakan sejak tahun 1880. Pada zaman Belanda bernama
de Esplanade. Pada tahun 1942, nama de Esplanade berubah menjadi
Fukuraido yang juga bermakna “lapangan di tengah kota”. Pada 9
Oktober 1945, nama Fukuraido berubah menjadi Lapangan Merdeka
dan disahkan Wali Kota Medan, Luat Siregar. Saat ini sebagian areal
Lapangan Merdeka telah dialihfungsikan, di antaranya sisi barat yang
telah menjadi pusat kuliner Merdeka Walk, sisi timur yang berubah
menjadi areal parkir bagi Stasiun Medan, sisi selatan yang menjadi
kantor polisi dan lapangan parkir motor bagi pengunjung pusat
jajanan.
Laki-laki itu meringkuk seperti pesakitan di dekat Gedung Balai
Kota Lama. Ia tak lagi mendengar rintihannya sendiri, matanya melirik
kek kiri, ke arah Javasche Bank, sekarang menjadi Gedung Bank Indonesia
Medan. Tatapannya makin beku, lidahnya makin kelu. Lelaki itu merasa
seperti dicelurit orang. Lalu ada berita di koran, sesosok mayat laki-laki
Mr X ditemukan di jembatan penyeberangan, di Jalan Balaikota Medan.
Tepatnya di depan Hotel Inna Dharma Deli dan Kantor Pos Medan. Sampai
sekarang Mayat Mr X tersebut belum teridentifikasi karena tidak ditemukan
tanda pengenal apapun di mayatnya. Diduga kuat mayat Mr X ini adalah
pengemis, gelandangan, atau orang gila. Pihak kepolisian mengatakan
tidak ditemukan tanda- tanda kekerasan di tubuhnya. Penyebab kematian
diperkirakan karena sakit dan diduga telah meninggal beberapa hari lalu,
karena sekujur tubuhnya sudah dikerubuti belatung. Pihak berwajib juga
meminta bagi siapa saja yang merasa kehilangan anggota keluarganya
untuk datang mengambil mayatnya.

EMPAT
Sahabat, puisi esai “Cerita Duka dari Danau Toba” karya Rudiarjo
Pangaribuan ini mengisahkan kondisi Danau Toba dan Pulau Samosir
yang memprihatinkan. Danau Toba adalah danau vulkanik yang di
tengah-tengah danau itu terdapat sebuah pulau yang disebut Pulau
Samosir. Danau Toba merupakan salah satu danau terbesar di Asia

42
Tenggara yang terletak di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sumatra
Utara. Dari dulu hingga sekarang danau itu menjaditempat wisata
yang menarik baik bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.
Se­dangkan mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba dari suku
Batak. Mereka pada umumnya bersumber mata pencaharian sebagai
petani, pedagang, dan nelayan.
Kisah diawali ketika sang tokoh mengenang puisi yang meng­
gambarkan ada dua jalan batu menuju danau lewat Tarutung dan
Siantar. Keindahan danau terlihat luas dengan udara sejuk. Puisi
itu merupakan gambaran kondisi Danau Toba dan Pulau Samosir.
Tahun 1970, tempat wisata ini masih bersih dan elok. Hutan di Pulau
Samosir masih menghijau, air di danau masih bening. Ikan pora-pora
dan segala biota danau masih terjaga, demikian juga keadaan pantai-
pantainya. Dahulu ada dua jalan baru menuju danau Toba, melalui
Tarutung atau Siantar. Ia mengenang cerita tentang ayah Opung, yaitu
Ompu Babiat yang dibaptis Zending, namun tetap menjalankan ritus
agama Batak. Ompu Babiat tidak makan daging babi, berambut gondrong,
mengunyah sirih, dan tidak pernah menggunakan angkutan ke mana
pun pergi. Ia teguh mempertahankan budaya nenek-moyangnya. Opung
lahir di Harianboho, sebuah kota kecamatan Harian terletak ditepian
Danau Toba diantara Pegunungan Bukit Barisan di Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara. Usai Perang Batak, Sang Raja Batak Sisingamangaraja
XII mangkat. Ayah Opung, Ompu Babiat, pun menyerah pada Belanda
dan membangun kehidupan baru di Harianboho. Saat itu Danau Toba
tidak pernah sepi. Wisatawan silih berganti, datang dan pergi. Mereka
berkunjung ke rumah pengasingan sang Proklamator atau pergi bere­
nang di Pantai Kasih yang berpasir putih atau ke Pantai Ujung serta
Batu Gantung. Danau Toba juga kerap bermandi cahaya. Saat itu Danau
Toba seperti hari raya. Anak-anak sekolah, orang tua, wisatawan dari
negeri-negeri jauh datang berbondong-bondong membaca ayat-ayat
Tuhan pada air danau, hutan raya, dan Pulau Samosir.
Pada tahun 70-an, Danau Toba masih serupa lukisan. Tegur
sapa di mana-mana, orang bernyanyi di mana-mana. Sampai ketika,

43
pada suatu hari Danau Toba berubah wajah. Hijau hutan tinggal sisa
bukit gundul, air danau keruh warnanya, dan sampah di mana-mana.
Kebakaran dan pembalakan hutan telah merusak mata air dan
resapan air. Air hujan turun dari langit, tumpah langsung ke danau
membawa segala, termasuk lumpur kemarau panjang. Kabupaten
Samosir adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten
Toba Samosir sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada
tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Terbentuknya Samosir
sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal untuk memulai
percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Di Pulau Samosir tidak cuma ada Danau Toba di sekelilingnya. Ada
Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang. Di tepian Danau Toba
terdapat air terjun yang indah, pemandian air belerang, dan segala
tempat untuk bersenang-senang. Di pulau Samosir terdapat situs
peninggalan sejarah makam Raja Sidabutar, makam ini terbuat dari
batu alam berukir kepala manusia dan beberapa makam kerabat
raja di sekitarnya. Keunikan situs sejarah ini, yaitu makam tidak
tertanam di dalam tanah seperti makam umumnya, tetapi berada
di atas permukaan tanah. Makam atau kuburan batu berada di desa
Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir. Saat pembuatan
makam Raja Sidabutar dilakukan upacara khusus. Kalau makam
biasanya berhiaskan nisan, makam Raja Sidabutar dihiasi dengan
simbol. Ada gambar ukiran kepala yang besar melambangkan Raja
Sidabutar, sedangkan ukiran kepala yang ada di ujung satunya
dengan ukuran yang lebih kecil menunjukkan permaisuri, Boru
Damanik. Di sana tinggal orang Batak Toba. Amati juga arsitektur
tradisional rumah Batak Toba, keindahan alam Samosir juga
memesona.
Samosir mudah dijangkau dengan kapal feri dari Parapat. Ko­
ta Parapat merupakan sebuah kelurahan di kecamatan Girsang Si­
pangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Danau Toba
kurang pengelolaan serius dari pemerintah daerah. Kebersihan tidak

44
dijaga dan kenyamanan pengunjung tidak disediakan. Pungutan liar
dilakukan saat keluar dan masuk ke tempat wisata Parapat. Berwisata
ke Parapat dan Tomok seperti bukan berada di tepian danau, susah
mendapatkan air. Tomok adalah sebuah desa kecil yang terletak di
pesisir timur Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatra Utara. Dari Medan
tempat ini dijangkau kurang lebih 4-5 Jam sampai di Parapat dengan
mobil carteran atau bus antarkota. Ekstra satu jam lagi untuk menye-
berang dari Ajibata ke Tomok. Desa ini sangat menggantungkan ke-
hidupan para masyarakatnya pada bidang agraris, perdagangan, dan
pariwisata. Desa yang ukurannya tidak terlalu luas ini tampaknya
sudah cukup mendapat pengaruh modernitas yang cukup besar di
kalangan masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan persandingan an-
tara makam, gereja tua, dan becak motor. Masyarakatnya menguasai
bahasa Inggris pada saat bertemu dengan wisatawan asing. Semoga
Danau Toba bisa asri kembali seperti dulu.

LIMA
Sahabat, puisi esai “Merisik Jalan ke Percut” karya Syafrizal
Sahrun mengisahkan tentang Atun, perempuan Jawa, yang bekerja
sebagai kuli kebun tembakau Belanda di Deli, Sumatra Utara. Pada
waktu itu seorang Panglima Perang, Gotjah Pahlawan Panglima
Aceh—yang juga ditengarai pendiri kerajaan Deli, berlayar melalui
Selat Melaka dan masuk dari Kuala Lalang menyusuri Sungai
Lalang yang berada di wilayah Pertjut. Di Sungai Lalang inilah
mula-mula ia membuka ibu kota baru sebelum pindah ke Deli.
Pertjut merupakan sebuah wilayah di Sumatra Timur atau sekarang
Sumatra Utara. Letaknya berbatasan langsung dengan Selat Melaka.
Sebelum tahun 1794, wilayah yang juga merupakan kerajaan kecil
yang tunduk kepada Kesultanan Serdang. Saat itu, Tuanku Tarim
(Tarich) yang menjadi Raja Muda Percut Sei Lalang. Dia anak Tuanku
Djalaluddin gelar Kedjuruan Metar. Tuanku Djalaluddin itu anak dari
Tuanku Panglima Paderap (Pidali). Tuanku Panglima Paderap (Pidali)
anak dari Tuanku Panglima Perunggit. Sedangkan Tuanku Panglima

45
Perunggit anak dari Sri Paduka Gotjah Pahlawan Laksemana Kudja
Bintan. Di zaman putra Tuanku Tarim, Bernama Tuanku Malik me­
merintah Percut, maka Percut diserang oleh Deli dan ditaklukkan
pada 1794. Ia digelar oleh Deli sebagai Kedjuruan Indra Muda
Wazir Pertjut. Pada masa itu, Percut dicatatkan memiliki empat
buah kampung yang agak besar penduduknya, yaitu Percut, Kuala
Lalang, Kampung Luang Air, dan Si Gara-gara. Percut tempat yang
baik untuk berdagang lada dan cukainya rendah. Hasil utama ialah
padi, lada, kapas, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Di zaman
anaknya Tuanku Malik, T. Tan Syarif (Kedjuruan Diraja Serdang),
Percut dapat membebaskan diri dari Deli. Deli lalu tak henti-
hentinya ingin menguasai Percut. Hal ini tidak disenangi Serdang,
sehingga Sultan Basyaruddin lalu membantu Percut mengusir
kekuasaan Deli. Kejuruan Tan Syarif mangkat tanpa meninggalkan
putra, sehingga digantikan oleh adiknya yang bernama T.M. Daud. Di
tahun 1865, saat T.M. Daud berkuasa, Percut dirampas oleh Belanda
dari Serdang. Sebagian wilayah Percut ini kemudian turut menjadi
lahan perkebunan tembakau Belanda, antara lain Seintis dan
Sampali. Sedangkan sebagian lagi tetap menjadi perkampungan
dan sebagian hutan. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka, Percut
menjadi sebuah kecamatan setelah digabung dengan Sei Tuan, men­
jadi Kecamatan Percut Sei Tuan. Kecamatan Percut Sei Tuan meru­pa­kan
pusat pemerintahan dan pusat penanaman tembakau Deli yang terbesar.
Pada waktu itu, Atun perempuan Jawa datang ke Deli terhasut
mulut Belanda. Ia menjadi pekerja paksa. Keinginan pulang pun
menjadi harapan Atun. Namun, kontrak kerja diteken tanpa dibaca
yang membuat ia terperangkap politik kerja Belanda. Kuli-kuli Jawa
yang melarikan diri ke perkampungan, akan menjadi masalah bagi
penghuni kampung jika ketahuan pengusaha Belanda atau antek-
anteknya. Sesuai dengan pasal 11 dan 13 Koeli Ordonantie yang berisi
ancaman hukuman kepada barang siapa, baik orang Eropa maupun
pribumi yang memberikan pemondokan kepada kuli pelarian. Puak
Melayu pada saat itu, yang menghuni perkampungan, menganggap

46
kuli-kuli Jawa itu sebagai manusia hina karena suka melakukan
perbuatan yang dilarang oleh agama, misalnya minum arak, berjudi,
atau berzina.
Sebagai kuli Atun berangkat pagi bekerja dan membawa bekal
untuk makan siang. Orang-orang selalu mengatakan bahwa orang-
orang Jawa kuli kebun adalah masyarakat yang rajin, setelah subuh
orang-orang Jawa kuli kebun itu sudah berangkat ke kebun. Rumah
dan halaman mereka sudah rapi. Pagi ini Atun terlambat datang
karena semalaman diserang batuk dan panas badan. Jika ia tidak
berangkat maka gaji akan berkurang. Bangsal terlihat senyap ketika ia
sampai, yang lain sudah tenggelam dalam kerjaan dan sebentar lagi
mungkin kembali dengan pikulan. Atun masuk hendak meletakkan
bawaan sekalian mengambil bakul untuk memulai ke kebun. Ketika
sampai di dalam langkahnya tertegun. Di depan hidungnya, teman
perempuan sekerjaannya tengah digarap berahi oleh tuan besar. Ia
pun lekas keluar dan memulai kerjaan yang sudah terlambat. Untuk
melindungi diri dari pelecehan laki-laki di perkebunan tembakau itu,
Atun menikah dengan Sadeli. Atun dibawa Sadeli ke rumah batu di
tengah Pasar Jumat. Atun tinggal dengan Sadeli dengan satu syarat
diam tidak berbicara dan bersembunyi dari orang-orang di pasar. Atun
tidak boleh mengatakan kalau ia menjadi istri Sadeli. Beberapa waktu
kemudian, Sadeli membuka kedai nasi, Atun yang jadi koki. Ia sudah
boleh muncul di pasar. Atun dan Sadeli beranak pinak. Anak mereka
berjumlah 14 orang. Atun ingin pulang ke kampung di Jawa dan ia
minta izin ke Sadeli membawa satu anaknya. Sadeli mendengar Atun
di Jawa pernah bersuami sebelum jadi kuli kontrak di Deli. Sadeli
tetap menanti kepulangan Atun.

REFLEKSI
Sahabat,buku puisi esai Merisik Jalan ke Percut dari Provinsi
Sumatra Utara menarik. Penulis memaparkan kehidupan masyarakat
yang universal dilatari kearifan lokal di wilayah Sumatra Utara. Cinta
yang tulus harus berhadapan dengan pertentangan etnis. Keturunan

47
Cina masih mendendam perlakuan yang tidak manusiawi saat ada
konflik Cina dan pribumi di Medan; kearifan lokal tergambar dengan
indah dalam tradisi menggali kubur; kepedulian terhadap nasib
bangunan bersejarah yang tergerus modernisasi; keprihatinan
ketika Danau Toba kotor dan masyarakat tidak peduli; dan gambaran
perempuan kuli perkebunan tembakau di Deli zaman Belanda telah
menyadarkan kita bahwa persoalan etnis dalam kehidupan masyarakat
menjadi landasan perubahan kehidupan manusia Indonesia.

48
Mereka Yang Terus
Berjuang Mengubah Keadaan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SUMATRA BARAT

Judul Buku : Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 112 halaman
Penulis : Dellorie Ahada, Dodi Indra, Joel Pasbar,
Muhammad Subhan, Pinto Janir,
Sastri Bakry
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-09-5

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan perempuan yang mencari
se­suatu untuk dapat hidup bagi dirinya sendiri, menjadi pengemis,
guru honorer, penambang kapur, sumber sejarah, atau pun peningkat
martabat keluarga. Kondisi alam dan kehidupan budaya dapat menjadi
pedoman dalam melangkah menentukan kehidupan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Ia menjadi pengemis.
 Perjuangan guru honorer.
 Cita-cita yang kesampaian.
 Perempuan penambang kapur.
 Derita rakyat rumahnya digusur.
 Gagal mengubah keadaan.

SATU
Sahabat, puisi esai Dellorie Ahada Nakatama “Di Balik Redup
Mata Ibu” menceritakan perempuan Hartini. Di usia senja, ia sudah tak
kuat lagi bekerja menjadi buruh atau tukang cuci pakaian. Akhirnya
Hartini menjadi pengemis. Hartini ingin mendapat uang untuk ongkos

49
menemui anak dan cucunya. Namun, anak perempuannya tidak ingin
emaknya mengunjunginya.
Perempuan itu pada akhirnya terlunta-lunta kelelahan. Inikah hari
tua yang didamba? Dari pintu ke pintu, dari toko satu ke toko yang lain, ia
menadahkan tangan, berharap seribu dua ribu rupiah diberikan kepadanya.
Jilbab berbau matahari mengusam dan kusut serupa mukanya yang lindap,
tak bercahaya. Setelah ia mendapatkan cukup uang untuk ongkos, pergilah
ia ke rumah anaknya. Ternyata anaknya tidak menginginkan ia sering
berkunjung ke rumahnya.Anaknya tidak enak pada suaminya, Rais.Anaknya
tidak sanggup menanggung hidup emaknya berketerusan. Anaknya akan
mengantarkannya ke terminal biar emaknya pulang kampung. Padahal
Hartini rindu pada anak dan cucunya. Ia telah mengumpulkan uang untuk
bisa menemui anaknya dan cucunya. Ia merasa tersinggung dan tidak
mau diantar anaknya ke terminal. Hartini lalu pergi dari rumah anaknya,
berjalan di kota tanpa arah.
Hartini mengingat saat bersama suami dan anak-anaknya masih
kecil. Ia tidak pernah mengira hari tua akan menjadi begitu sia-sia.
Anak tak ada, suamipun tiada. Hartini pada waktu kecil tinggal di
Lintau bersama orang tuanya. Lintau, nama sebuah Nagari/Desa dalam
Kabupaten Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Lintau,
tanah yang melahirkan dan membesarkannya. Ia tumbuh seperti anak-
anak Minang pada umumnya. Ia mengaji di surau, bermain di lapangan,
mengenyam pendidikan walau hanya sebatas sekolah rakyat. Hartini kecil
hidup berkecukupan dan bahagia, walau ayahnya tidak kaya. Ayahnya
giat bekerja di sawah dan ladang. Ketika sudah cukup usia, ia dinikahkan
dengan Burhan, lelaki pilihan orang tuanya. Lelaki itu yang menjadi ayah
dari ke empat anak-anaknya. Ia hidup bersama dan merasakan cinta
pada keluarga. Ketika emak dan ayahnya sudah tiada, Hartinipun harus
rela sawah dan ladang diambil alih mamak-nya. Mamak adalah sebutan
ke saudara laki-laki ibu di Minang, yang berdasarkan kekerabatan
matrilineal. Kedudukan mamak memegang peranan yang penting.
Seorang mamak berperan sebagai pelindung anggota keluarga, mamak
juga bertanggung jawab terhadap kemenakan. Dalam kebudayaan

50
Minangkabau seorang mamak selalu mejadi bahan pembicaraan.
Apabila terjadi suatu terhadap seseorang, yang akan disalahkan dan
menjadi pertanyaan adalah mamak. Oleh karena itu, mamak memiliki
kedudukan yang penting dalam masyarakat Minangkabau. Adapun
pem­bagian tugas mamak di Minangkabau, yaitu mamak sebagai ke­pala
kaum, mamak sebagai kepala waris, dan mamak sebagai pembimbing.
Tanah yang selama ini digarap oleh ayah Hartini diambil ma­
maknya. Tanah itu tanah ulayat. Hartini memang tak ada hak kuasa.
Tanah ulayat, dalam pengertian khusus tanah ulayat nagari telah
dipakai dan menjadi hak rakyat asli menurut kaumnya masing-
masing, dan menjadi hak ulayat kaum masing-masing penghulunya.
Ada empat kategori dalam menentukan hak-hak ulayat dalam nagari,
yakni hak ulayat nagari, hak ulayat suku dalam nagari, hak pusaka
dalam nigari, dan hak tempelan. Pada dasarnya tanah ulayat tidak
bisa diperjualbelikan, dan masyarakat hanya ikut pada mamak sebagai
kepala waris. Ia merupakan pimpinan yang diberi amanat untuk men­
jaga tanah ulayat agar keberadaannya tetap berfungsi untuk kese­
jahteraan masyarakat adatnya. Akan tetapi sangat disayangkan amanah
yang telah diberikan kepada seorang mamak sering disalahgunakan
hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi belaka.
Sawah ladang yang semula dikerjakan ayahnya sudah diambil
mamak. Rumah gadang pun mungkin akan dilelang. Tak banyak yang
dapat dilakukan Burhan, semenjak Hartini dan anak-anaknya diusir dari
rumah gadang. Burhan tidak punya hak apa pun di atas rumah tersebut.
Hartini dan anaknya dibawa Burhan ke rumah orang tuanya. Kemudian
Burhan bekerja siang ataupun malam untuk mencari uang. Tubuh
tuanya yang sakit-sakitan tak ia hiraukan. Burhan tidak peduli hujan
ataupun panas, yang penting baginya anak dan istri tidak kelaparan.
Hingga pada akhirnya, Burhan harus menyerah pada keadaan, pada
sakit yang berkepanjangan, Burhan meninggal dunia. Hartini harus
sendiri berjuang membesarkan anak-anaknya. Ia bekerja apa saja
untuk dapat upah. Anak-anak sering libur sekolah karena sudah tidak
ada biaya. Sementara semua keluarga seakan menjauh. Hartini hanya

51
mempunyai anak. Anak perempuannya hanya satu, tiga lainnya laki-
laki. Mereka sering kelaparan karena tidak ada makanan yang dapat
dimakan. Hartini berusaha membawa makanan setiap pulang bekerja,
tapi anak-anak pada akhirnya berusaha untuk mencari makan sendiri.
Hartini senang dengan anak perempuannya. Kelak dia akan ikut ke
kota pergi dan merantau bersama anaknya, menua bersama cinta anak
dan cucu-cucunya. Namun, keinginan Hartini tidak dapat diujudkan.
Anaknya memolak ibunya tinggal bersamanya. Hartini pergi tak tentu
arah. Di antara deretan-deretan toko yang sudah tutup. Hartini terdiam,
ditajamkan penglihatan dan pendengaran. Sayup- sayup suara anak
berdendang melenakannya. Ia tertidur di emperan dan bermimpi
menjemput pagi. Malam itu Hartini menepi, menahan segala lapar,
berbaur di antara deretan gerobak jajanan. Matanya kian menerawang,
melayang-layang seperti kunang-kunang.

DUA
Sahabat, puisi esai Dodi Indra “Catatan Seorang Guru Honorer”
ini bercerita tentang Ayu sebagai guru honorer mendapat gaji
berbeda dari guru ANS tetapi pekerjaan dan tanggung jawab sama
dengan guru ANS. Gaji Ayu tidak sebanding dengan pekerjaannya.
Guru honorer kehadirannya seperti guru ANS dengan tuntutan, tugas,
dan kewenangan yang sama. Guru honorer tersertifikasi mendapat
tunjangan profesi tiap bulan, namun guru honorer yang belum
tersertifikasi hanya mendapat honor dari jumlah jam mengajar.
Ayu menjadi guru honorer di SMA di kota Pariaman. Bila ada
pekerjaan penting namun dipandang tidak menarik, itulah guru ho­
norer. Penting karena kehadirannya diperlakukan seperti guru pada
umumnya (guru yang berstatus pegawai negeri sipil, atau guru tetap).
Mereka hadir di kelas sebagai guru sepenuhnya, dengan tuntutan,
tugas, dan kewenangan yang sama. Di sisi lain, guru honorer dianggap
tidak menarik (bahkan memprihatinkan) bila dilihat dari perhatian
pemerintah atau pengelola sekolah terhadapnya. Masih mending
guru honorer yang sudah tersertifikasi, yang akan mendapat tunjangan

52
profesi guru tiap bulan, namun guru honorer yang belum tersertifikasi
hanya akan mendapat honor dari jumlah jam mengajar dikali honor
per jam. Ayu harus mematuhi aturan bahwa loyalitas itu nomor satu.
Kepatuhan menjadi tolak ukur. Dia harus menyiapkan bahan mata
pelajaran yang ia ajarkan. Kemudian membuat laporan Tindakan kelas
yang telah dilakukan. Ayu juga harus memberi nilai harian pada siswa
yang akan menjadi catatan harian. Ayu juga harus mencatat presensi
kehadiran siswa. Penyiapan bahan materi ajar sangat penting. Jika
dia menyampaikan materi ajar kepada siswa ti­ dak menarik atau
tidak dipahami siswa, itu akan mempengaruhi nilai kiner­janya. Dia
harus menjalani itu dari hari ke hari. Hingga suatu hari setelah
lebih setahun perjalanan menjadi guru honorer, terjadilah peristiwa
gempa yang besar. Gempa Bumi Sumatera Barat 2009 terjadi dengan
kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat pada
pukul 17:16:10 WIB, tanggal 30 September. Gempa ini terjadi di
lepas pantai Sumatera, sekitar 50 km barat laut Kota Padang.Gempa
menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera
Barat. Seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten
Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang,
Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut
data Satkorlak PB, sebanyak 1.117 orang tewas akibat gempa ini, yang
tersebar di 3 kotamadya dan 4 kabupaten di Sumatera Barat. Korban
luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban
hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah
rusak sedang, dan 78.604 rumah rusak ringan. Ayu berzikir di antara
suara riuh anak-anak yang kehilangan ayah, istri kehilangan suami,
dan entah berapa banyak lagi. Sebanyak 533 unit gedung sekolah,
rusak akibat gempa tektonik 7,6 SR yang mengguncang Sumatra
Barat. Gedung tempat Ayu mengajar juga hancur. Pascagempa dasyat
yang mengguncang Padang dan sekitarnya pada 30 September 2009,
masih menyisakan puing-puing reruntuhan bangunan serta fasilitas
publik, tidak terkecuali bangunan sekolah yang belum diperbaiki.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Habibul Fuadi menuturkan,

53
terdapat 40% dari 3.544 ruang kelas SD, 54% dari 912 kelas SMP dan
53% dari 655 ruang kelas SMA dalam kondisi rusak dan tidak dapat
digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Di tengah ketidakpastian
apakah Ayu mengajar lagi atau tidak karena gedung sekolah belum
dibangun, terbetik berita ada guru mengalami kekerasan yang
dilakukan oleh siswanya. Ayu bimbang. Sebagai guru honorer gajinya
tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang telah ia lakukan.
Sebagai guru honorer keselamatannya juga tidak terjamin jika ada
siswa melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Tidak hanya itu yang
Ayu takutkan dengan status yang honorer. Dalam beberapa bulan
terakhir marak diberitakan di berbagai media masa perselisihan
antara guru dengan orang tua murid. Kebanyakan perselisihan
terjadi karena orang tua tidak terima terhadap tindakan guru dalam
memberikan peringatan dan teguran pada siswa. Fenomena ini terjadi
akibat sistem pendidikan di Indonesia mengabaikan pendidikan
perilaku dan karakter.Menurutnya,pendidikan di Indonesia lebih
banyak menekankan pada aspek kognitif. Sementara itu, aspek
perilaku cenderung dilupakan. Betapa persoalan yang rawan itu
akan menyentuh guru honorer pada suatu waktu. Pemerintah
telah memberi semangat kepada guru honorer dalam memangku
tugas seorang guru. Dinas Pendidikan Sumbar terus mengupayakan
tenaga honorer agar dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) namun masih terkendala oleh Peraturan Presiden Nomor
48 Tahun 2005. “Dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 itu dinyatakan
pemerintah provinsi dilarang mengangkat tenaga honorer menjadi
PNS,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sumbar. Pemerintah provinsi
Sumbar akan melihat peluang pengangkatan itu pada 2018, yang
kabarnya dibuka oleh pusat. Untuk saat ini, setelah kewenangan
tingkat SMA pindah dari kabupaten/kota ke provinsi pada awal
2017 pihaknya tetap membayar gaji honorer. Tenaga guru honorer
ini sangat dibutuhkan, apalagi saat ini jumlah guru SMA sederajat
kurang jumlahnya.

54
TIGA
Sahabat, puisi esai Joel Pasbar “Perang Padri: Sejarah dan Air
Mata” bercerita tentang Abdul Gani, jurusan sejarah di universitas di
Malaysia. Kedatangannya ke Pasaman, Sumatra Barat, dalam rangka
mencari bahan untuk penyusunan tesisnya. Sebuah kisah kembali
muncul di relung ingatannya. Pada Januari 2007, ia berada di beranda
rumah tua tempat lahir ayahnya. Rao sebuah daerah berbukitan
yang membujur di lereng bukit barisan. Pada tahun 800 SM, orang-
orang India mendirikan pemukiman, baik di lembah maupun di atas
sungai Kampar, yang pada akhirnya daerah-daerah ini berkembang
menjadi pangkalan hulu sungai yang khas bagi perdagangan emas
Rao. Abdul Gani, mahasiswa pascasarjana semester akhir Jurusan
Sejarah, di University Kebangsaan Malaysia (UKM). Ia datang ke Rao,
Pasaman, Sumatra Barat. Pesan ayahnya padanya agar dia berhati-
hati di rumah saudara perempuan ayah. Ketika ia salat di masjid,
ia bertemu dengan Datuak Bandaro. Abdul Gani memperkenalkan
diri sebagai anak Somad yang tinggal di Malaysia dan bersaudara
dengan Pak Haji Kosim. Abdul mengatakan ia tinggal di Amai Idar,
saudara perempuan ayah. Ia bercerita bahwa sedang mendapat tugas
dari kampus untuk mengaji sejarah Perang Padri. Datuak Bandaro
bercerita tentang Engku Kanti, ayah Somad, kakek Abdul Gani, yang
menjadi teman karib seperguruannya belajar silat, sejarah pepatah
adat, ilmu kebatinan, dan agama.
Pada pagi harinya, Abdul Gani datang ke rumah Datuak Bandaro
yang ia sebut Nyiak Datuak. Perbincangan di surau mejadi jembatan
baginya untuk bertanya tentang sejarah Perang Padri kepada Nyiak
Datuak. Rumah beliau kecil tapi bukunya lengkap dan benda-benda
sejarah berjejer rapi dengan segudang cerita. Abdul bertanya pada
Nyiak Datuak seberapa dahsyatkah perang Padri yang pernah terjadi
di tanah ini? Nyiak Datuak menjelaskan bahwa banyak orang Rao
yang gugur dalam perang Padri tidak sedikit pula yang migrasi
ke negeri jiran. Abdul menyimak kata demi kata, merekam setiap

55
kalimat yang didengarnya. Seperti membaca lembar demi lembar buku
yang secara detail mengupas segala sisi realita orang Rao, Pasaman
sepanjang kobaran api Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Rao,
nama aslinya Fakih Muhammad. Ia berasal dari Koto Gadang, ibunya
orang Rao. Namun ada yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah
putra Batak bernama Na Ngol-ngolan Sinambela. Dalam perang itu,
semangat tiada surut juga dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol, nama
aslinya Muhammad Shahab yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra
Barat Tahun 1772. Juga Tuanku Tambusai bernama Muhammad
Saleh yang lahir di Dalu-dalu, Tambusai, Rohul, Riau. Mereka menjadi
pahlawan berkuda yang berani dan oleh Belanda diberi julukan “De
Padrische Tijger Van Rokan”. Mereka melawan penjajah. Tiada setapak
surut langkah, haram bumi dipijak jika menyerah. Abdul Gani juga
tak kuasa menahan haru, betapa dulu perjuangan para pahlawan
begitu gigih pun gagah mengusir penjajah dan penjarah dari bumi
tumpah darah. Sebagai keturunan asli Rao, Pasaman, bagi Abdul
Gani cerita sejarah itu bukan sekadar tesis, tetapi lebih ke filsafat
dalam menyelami jati diri. Dua minggu serasa belumlah cukup untuk
Abdul Gani menelusuri seluk-beluk kisah dan sejarah perang Padri.
Sebelum pulang ke Malaysia, Nyiak Datuak berkata kepada Abdul
Gani bahwa perang Padri bukan hanya perang kekuasaan, tapi harga
diri. Perempuan, anak-anak, orang tua disuruh migrasi ke pulau
seberang terpisah dari orang-orang yang mereka cinta. Lelaki remaja
berlatih pegang senjata untuk mempertahankan sejengkal tanah.
Mereka semangat untuk tidak melepaskan tanah tumpah darah ke
penjajah. Wajah Nyiak Datuak terlihat berduka. Ia kehilangan sanak
saudara dan kenangan itu mengental sebagai luka baginya. Di balik
pecahnya perang Padri gelombang dua dan tiga terdapat campur
tangan dari pihak Belanda yang bermaksud memprovokasi kedua
belah pihak (kaum agama dan kaum adat) sehingga terjadi perang
dahsyat yang menelan banyak korban. Namun akhirnya dua kaum itu
bersatu di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Keberadaan orang
Rao di Semenanjung Malaysia, salah satunya Negeri Sembilan hingga

56
kini jejaknya masih jelas dan terang dilihat dari bahasa atau lagu
mereka. Salah satu pejuang perang Padri (Tuanku Tambusai) juga
wafat di Negeri Sembilan. Keluarga besar Abdul adalah satu, dari
ribuan keluarga lain yang menetap di negeri orang, meski merah
putih telah mengangkasa. Nyiak Datuak berulang kali berpesan pada
Abdul Gani untuk mencari orang Rao di Malaysia untuk meneliti
puing-puing sejarah yang berserak sebagai bukti perjuangan dari Rao
hingga Negeri Sembilan. Sejarah itu harus diketahui dan dipahami
oleh generasi muda Pasaman.
Sepuluh tahun sudah berlalu, Abdul Gani. MBA, menjadi dosen
di University of Malaysia Sabah. Ia selalu ingat pada sosok yang
bagi Abdul Gani sangat berarti. Sosok yang banyak memberi cerita
tentang kisah yang mungkin tidak semua orang tahu. Betapa dulu
sebuah perseteruan pernah menimbulkan sejuta tangis dan banyak
orang yang harus kehilangan keluarga, harta benda, hingga nyawa.
Tiga bulan sekembalinya Abdul Gani dari Pasaman kala itu, sebuah
berita duka ia dapat melalui telepon tepat di hari wisudanya. Nyiak
Datuak telah berpulang.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Muhammad Subhan “Perempuan Kapur,
Gerbong Tua Mak Itam, dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit
Itu” menceritakan tambang batu kapur Bukit Tui Sumatra Barat
yang dieksplorasi oleh Belanda. Di penghujung abad ke-19, Kota
Padang Panjang, Sumatra Barat, menjadi sentra batu kapur yang
sumber kekayaannya dari perut Bukit Tui, salah satu bukit bagian
jajaran Bukit Barisan. Tambang dibuka Pemerintah Kolonial Belanda
dengan para pekerja budak-budak pribumi. Emas putih itu diangkut
ke Emmahaven (Pelabuhan Telukbayur) berton-ton banyaknya se­
belum diekspor ke negara-negara mitra dagang VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie). Untuk memudahkan pengangkutan,
Belanda membangun jalur kereta api yang terhubung dari Padang,
Padang Panjang, dan Sawahlunto. Tiga kota strategis ini menjadi pusat

57
keramaian pergerakan barang dan orang. Seiring perubahan zaman,
moda transportasi kereta api akhirnya mati, demikian pula dengan
industri kapur yang mulai redup. Sumber pencahariaan masyarakat
paling diandalkan itu mati suri seiring matinya jalur kereta api. Sungai
Andok, sebuah perkampungan di Kelurahan Kampung Manggis, Kota
Padang Panjang, Provinsi Sumatra Barat, memiliki sungai berair
jernih yang turun dari perbukitan dan menjadi sumber mata air
para penduduknya. Sejak awal tahun 2000, produksi batu bara di
tambang-tambang Kota Sawahlunto habis, sehingga kereta api di
Sumatra Barat tidak beroperasi lagi, termasuk di Padang Panjang.
Akibatnya stasiun di Padang Panjang menjadi museum mati dan
menyisakan rel-rel tua serta gerbong-gerbong lapuk dimakan usia.
Sementara di masa jayanya kereta api merupakan alat transportasi
paling diandalkan serta menjadi sumber ekonomi masyarakat.
Pembangunan stasiun ini sejalan dengan pembangunan jalur kereta
api sepanjang Padang sampai Sawahlunto yang dimulai pada tanggal
6 Juli 1889. Stasiun Padangpanjang mempunyai depo lokomotif, yang
digunakan menyimpan Lokomotif BB204. Stasiun ini dahulu menjadi
pemberhentian kereta api batubara dari pertambangan batu bara
Ombilin di Sawahlunto yang hendak menuju Pelabuhan Teluk Bayur.
Kota Padang Panjang dilingkari tiga gunung yang merupakan bagian
Pegunungan Bukit Barisan, yaitu Gunung Tandikat (Tandikek) dengan
ketinggian 2.438 m. Tandikat termasuk gunung api aktif dan meletus
terakhir pada tahun 1924; Gunung Singgalang dengan ketinggian
2,877 m, termasuk gunung api yang tidak aktif lagi dan terdapat
Telaga Dewi di puncaknya; berhadapan dengan Gunung Tandikat
dan Singgalang adalah Gunung Marapi dengan ketinggian 2.891 m,
terakhir meletus pada tahun 2004, namun hampir setiap hari meletus
dengan semburan debu kapasitas kecil. Masyarakat di sekitar kaki
gunung ini mensyukuri letusan-letusan Marapi karena debunya telah
menyuburkan ladang dan kebun.
Di Padangpanjang terdapat Bukit Tui, yaitu bukit kapur yang
berjajar di selatan Padangpanjang, letaknya berada antara Rao-

58
Rao hingga Tanah Hitam. Banyak kisah yang terjadi di bukit ini.
Mulai dari penduduknya, mitos yang beredar hingga tragedi yang
terjadi di bukit ini. Sebagian besar mata pencaharian warga adalah
penambang kapur. Perempuan-perempuan berpeluh dan bercucuran
air mata bergelut debu dan asap yang membubung di punggung
Bukit Tui. Bukit itu masih tersisa kapurnya, walaupun sebagian
besar kandungannya telah dikeruk Belanda. Para perempuan Bukit
Tui bermata pencaharian sebagai penambang kapur, sejak tambang
itu pertama dibuka hingga sisa-sisanya masih ada sekarang. Walau
tinggal beberapa pondok tungku kapur, para penduduk masih
mengambil kapur untuk dijual. Biasanya para perempuan yang
mengolah kapur untuk dijual. Perempuan-perempuan itu memecah
batu kapur, lalu mengemasnya dalam karung. Sedangkan para lelaki
bertugas membakar batu kapur. Mereka memasukkan batu kapur ke
tungku pembakar. Selain itu, sebagian besar kaum lelakinya bekerja
sebagai kuli angkut batu kapur yang memasukkan karung-karung
kapur ke dalam truk. Industri tambang itu mulai menurun sejak tidak
lagi beroperasi kereta api dan menurunnya kebutuhan kapur di pasar.
Ketika zaman perang, para perempuan itu bekerja sendiri. Tidak ada
pilihan lain buat mereka selain terus bekerja sembari menunggu para
lelaki pulang dari rimba yang bertahun-tahun bergerilya memanggul
senjata. Mereka tidak kenal menyerah walau tidak sekali dua tubuh
pulang dibawa keranda. Setelah kampung-kampung merdeka, dan
kompeni pulang ke negeri asalnya, bumi pertiwi menaruh harap
pada masa depan. Perempuan-perempuan perkasa itu masih teguh
menjaga kesetiaannya merawat bukit berdinding batu hingga beranak
pinak dan bercucu. Anak beranak berganti-gantian, lahir dan besar
disuburi kapur, hidup menahan sesak asma karena setiap hari dijejali
debu kapur. Asap dan debu kapur menjadi bala. Pada bulan November
tahun 2008, aparat setempat melakukan razia berupa penggusuran
tungku kapur dan menutup kawasan Bukit Tui bagian Utara. Konon
kabarnya warga menambang tanpa izin dan penutupan dilakukan
tanpa ganti rugi. Penutupan itu dilakukan karena melihat bahaya

59
yang ditimbulkan pada masyarakat. Masyarakat di perbukutan kapur
Bukit Tui itu pernah hampir musnah tergerus galado, yaitu bencana
longsor dan banjir bandang. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 4 Mei
1987, bertepatan bulan suci Ramadan terjadi galodo (longsor besar)
di Bukit Tui, Padang Panjang. Sebanyak 131 orang meninggal dunia, 9
orang hilang, 29 bangunan hancur, 9 rusak berat dan 9 rusak ringan.
Merujuk ke bencana alam itu warga dilarang menambang kapur
sebab labilnya kondisi tanah di bukit itu. Bencana alam galodo Bukit
Tui telah melahirkan trauma panjang bagi masyarakat sekitar Bukit Tui
yang kehilangan keluarga. Walau pun sudah terjadi bencana seperti itu,
ada saja masyarakat yang tetap tinggal di wilayah itu. Para perempuan
itu masih terus menyulam mimpi di punggung-punggung Bukit Tui,
meski punggung-punggung mereka sendiri rapuh dan patah payah
menanggung berat beban bertahun-tahun lamanya. Ancaman galado
pun tetap mengintai kehidupan mereka.

LIMA
Sahabat, puisi esai Pinto Janir “Di Gerbang Stasiun Penghabisan”
bercerita tentang penghuni pinggir rel kereta api digusur karena
menempati tanah PT Kereta Api Indonesia (KAI).Kementerian Perhubungan
dan pelaksana PT Kereta Api Indonesia akan meng­aktifkan kembali jalur
kereta api di lahan itu. Ini adalah kejadian pa­ling memilupan di tengah
keindahan Kota Bukittinggi yang berhawa sejuk. PT Kereta Api Indonesia
memiliki lahan di pusat kota. Penduduk setempat menamakan kawasan
ini stasiun, karena pada masa per­keretaapian masih berjaya di Sumatra
Barat, tempat ini adalah stasiun kereta api paling ramai. Jaraknya, tak jauh
dari Jam Gadang, sekitar 1 kilometer kurang.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan dan
pelaksana PT Kereta Api Indonesia melakukan sosialisasi untuk
mengaktifkan kembali jalur kereta api di lahan seluas 41.569 meter
persegi. Sejak berpuluh tahun silam, lahan itu oleh PT Kereta Api
Indonesia disewakan kepada sekitar 157 pengontrak 204 KK, 80% di
antara penyewa adalah rakyat kecil alias miskin. Keadaan terasa keruh

60
ketika masyarakat mengetahui bahwa di lahan itu akan dibangun
hotel mewah. Pengalihfungsian itu tanpa melibatkan masyarakat
untuk berunding. Masyarakat pengontrak merasa dibohongi. Mereka
memprotes. Mereka mengadu ke mana-mana, tapi eksekusi harus
tetap dilaksanakan walaupun di tengah derasnya linangan air mata
dan ratap histeris. Tokoh aku dalam puisi esai ini, tak hendak melawan.
Ia tahu diri. Lahan punya PT Kereta Api Indonesia, papan yang ia miliki
sewaktu perjanjian kontrak, ia teken; maka siap “angkat kaki” kapan
saja kalau lahan yang menjadi tempat tinggalnya dipergunakan PT
Kereta Api Indonesia. Ia gamang sendiri, tidak dapat ia menyurukkan
runtuhnya hati melihat anak bujangnya yang baru kelas satu SMA
dan si bungsu yang baru kelas satu SD. Apalagi, toko satu-satunya di
Pasar Atas (Pasa Ateh) tempat ia berdagang baru pula terbakar pada
30 Oktober 2017 silam. Ia kembali memulai hidup dengan berdagang
kaki lima, modalnya dari tetangganya yang merupakan grosis pakaian
di Pasar Auakuniang. Namun malang nian, pada 17 November 2017
kompleks pasar itu terbakar pula dan menghanguskan toko tetangga
sebelah rumahnya. Sejak itu ia runtuh dan jatuh. Ingin ia pulang ke
kampung asalnya di kaki Gunung Singgalang, namun rumah gadang
(rumah tua keluarga) itu juga sudah runtuh terguncang gempa
dahsyat yang menimpa daerah Sumatra Barat pada 30 September
2009. Kalau pun ingin ia berladang, tanah pusaka kaum yang ia
miliki juga sedang tergadai. Sumatra Barat memang kerap dijuluki
“etalase bencana”, karena berbagai macam bencana alam bisa terjadi
di sini bahkan kerap terjadi. Sebut saja banjir, longsor, galodo, gempa
bahkan tsunami telah terjadi dan masih terus berpeluang terjadi di
Sumatra Barat. Di satu sisi Sumatra Barat memiliki alam yang subur
dan panorama alam yang indah memesona.
Orang-orang itu tak pernah mengetahui bahwa rumah mereka
akan dirubuhkan. Ada perjanjian yang salah satu isinya bila sewaktu-
waktu negara, Kementerian Perhubungan, membutuhkan maka warga
harus meninggalkan lahan tersebut. Ratusan personel gabungan
Polri-TNI dan Satpol PP siaga di lokasi. Pembongkaran melalui surat

61
peringatan 1, 2, dan 3, hingga surat pemberitahuan pembongkaran.
Sejumlah warga stasiun histeris menyaksikan rumahnya dieksekusi oleh
PT Kereta Api Indonesia dengan cara merobohkan menggunakan alat
berat. Menurut Kepala PT Kereta Api Indonesia Divre II Sumbar Sulthan,
semuanya sudah diikat dengan perjanjian yang salah satu isinya bila
mana sewaktu waktu negara dalam hal ini Kementerian Perhubungan
membutuhkan maka warga harus meninggalkan lahan tersebut. Namun
meraka masih berkeras tidak mau mengosongkan lahan itu, karena
itulah pihaknya melakukan eksekusi tersebut. Eksekusi bangunan dan
rumah warga penyewa aset PT Kereta Api Indonesia di kawasan Stasiun
Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, berlangsung ricuh. Warga bahkan nekat
menggendong anak balitanya untuk menghalangi pembongkaran
dengan alat berat. Warga mengancam akan menginap di jalan raya, jika
PT Kereta Api Indonesia tetap melanjutkan eksekusi rumah. Menurut
warga, PT Kereta Api Indonesia tidak ada memberikan uang kompensasi
kepada penyewa rumah setelah pembongkaran. Salah seorang korban
penggusuran, Amelia namanya , warga Stasiun Kelurahan Auatajungkang
Tangahsawah, Kota Bukittinggi, nekat mendekati alat berat yang tengah
merubuhkan bangunan. Sambil menggendong anaknya berusia dua
tahun Ibu rumah tangga ini menghadang alat berat agar berhenti
membongkar rumah.
Manager Aset PT Kereta Api Indonesia Divisi Regional II Sumbar,
Dedi kepada pers mengaku tahapan yang dilakukan sudah melalui
proses dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. PT Kereta
Api Indonesia telah beberapa kali menunda pembongkaran dan telah
memberikan uang kerohiman sesuai aturan. Pembongkaran pun
dilakukan setelah ada surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3, hingga surat
pemberitahuan pembongkaran. Dia menambahkan, eksekusi lahan milik
PT Kereta Api Indonesia yang disewakan ke warga untuk mengoptimalkan
penggunaan lahan seluas 41.569 meter persegi. Pengosongan tersebut
merupakan tindak lanjut dari kunjungan Menteri BUMN Rini Soemarno
ke Bukittinggi pada 26 Februari 2017 , untuk mendukung sektor unggulan
di daerah ini, yaitu sektor pariwisata.

62
ENAM
Sahabat, puisi esai Sastri Bakry “Balada Siti Zainab” ini mengisahkan
perempuan yang ingin mengubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Siti Zainab berasal dari kampung Nagari Kurai Taji, Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat. Ia dibesarkan oleh keluarga yang sangat
demokratis tapi memegang teguh nilai kejujuran. Filosofi adat bersendi
syara’, syara’ bersendi kitabullah telah menjadi pandangan hidup dari
kecil yang ditanamkan oleh orang tua dan bako-bako-nya. Namun dalam
perjalanan hidupnya kemudian, banyak hal yang terjadi tidak sesuai
dengan filosofi hidupnya. Tidak sesuai dengan nuraninya. Ia terkaget-
kaget melihat sikap dan tingkah laku orang-orang sekelilingnya. Tidak
senada kata dan perbuatannya. Siti Zainab perempuan kampung,
tubuhnya tinggi semampai, wajahnya tidaklah tergolong cantik. Ia mem­
punyai mata tajam bak mata kucing. Dia yakin dengan dirinya, meski
orang sering membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya yang
berkulit putih susu halus bak pualam. Nagari yang penuh kekeluargaan,
segalanya sering dilakukan bersama-sama. Bako-nya, yaitu saudara dari
ayah memanjakan Siti Zainab hingga hampir-hampir ibunya marah
karena selalu bako-nya memenuhi apa pun kehendak Siti Zainab.
Kecuali hal-hal yang prinsip, bako-nya tak hendak kompromi, seperti
disiplin dalam waktu salat dan mengaji. Namun, jika mengeluarkan
pendapat di dalam keluarga semua bebas apalagi berbeda pandangan.
Ayahnya bahkan untuk memilih jodoh pun tidak pernah mendikte dan
memaksakan kehendak seperti kebiasaan orang-orang di kampungnya.
Pukul lima subuh Siti Zainab sudah harus bangun berangkat ke surau
bersama etek-nya mengikuti salat berjamaah, kemudian mengaji ber­
sama. Suatu hari Siti Zainab mencoba peruntungan menjadi pegawai
pemerintah. Hasil ujian sebagai calon pegawai negeri keluar sebulan
setelah ia mengikuti tes. Siti Zainab senang ketika tahu diterima sebagai
PNS. Dia akan mengangkat kembali kemegahan nama keluarga yang
tersembunyi atau telah lama hilang.
Siti Zainab mulai berhijrah ke Padang, sebuah kota yang sudah
maju dibandingkan dengan nagarinya. Siti Zainab mulai masuk kantor

63
sebagai CPNS. Semua orang memandang sinis padanya. Namun, ia tetap
berendah hati dan menyapa orang-orang dengan santun. Ia disuruh
menating air dan mengantar koran walau ia baru saja meraih gelar
sarjana. Suatu saat Siti Zainab disuruh diklat prajabatan bagi CPNS. Ia
harus membayar agar bisa lulus atau kalau tidak ia tidak akan jadi PNS dan
akan tetap menjadi calon untuk kemudian diberhentikan sebagai PNS.
Siti Zainab memberontak walau dalam hati. Ia tersenyum mengatakan,
“Saya baru masuk kerja, belum punya uang”. Sebelum menjadi pegawai
Siti Zainab sudah mempelajari syarat menjadi pegawai negeri dan untuk
mengikuti diklat prajabatan harus diusulkan oleh atasannya. Jika tidak
diusulkan maka atasannya akan dapat sangsi. Ia bersiap-siap jika tidak
jadi ikut diklat karena sogok yang tak diberikan, atasannya tentu akan
kena sangsi. Ternyata Siti Zainab ikuti prosedur lurus-lurus tetap saja
dipanggil diklat. Setelah diklat prajabatan Siti Zainab mulai mendapat
posisi sebagai pejabat eselon terendah, lalu meningkat menjadi pejabat
eselon berikutnya, dan kemudian menjadi pejabat eselon berikutnya
lagi. Kepercayaan atasan selalu didapatnya. Sekarang Siti Zainab
menjadi pejabat eselon puncak. Kalau di daerah jabatan puncak adalah
paling tinggi untuk sebuah perangkat kerja organisasi. Ia berpikir bisa
melakukan perubahan. Prinsip bako-nya ia terapkan, lurus, jujur, konsisten
dan disipilin walau ia tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya.
Siti Zainab berkutat dengan berbagai masalah. Ada saja yang harus dia
selesaikan permasalahannya. Bawahannya belum digaji oleh karena itu
mereka malas-malasan, sehingga parkir semrawut dan halaman kantor
kotor sekali. Alasan mereka belum digaji karena Surat Permintaan
Pembayaran yang diterbitkan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)
yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada Negara belum ia
tanda tangani. Itu membuat gaji tenaga satpam dan cleaning service
tertunda pembayarannya. Siti Zainab mendesak petugas administrasi
untuk menyiapkan semua administrasi pembayaran gaji honorer tepat
waktu.Ternyata tidak hanya itu, pihak ketiga pun berani mempertanyakan
pengadaan barang dan jasa yang tidak dibayar berbulan-bulan. Ada yang
tidak suka dengan ketegasan Siti Zainab karena kenyamanan mereka

64
terganggu. Mereka harus segera menyelesaikan proses administrasi,
padahal mereka sedang ingin bermalas-malasan. Ada dua kubu di kantor
yang dipimpinnya, ternyata masih banyak yang tidak tertib administrasi
bahkan melakukan penyimpangan dan penyelewengan keuangan. Dari
mulut ke mulut selama ini sudah beredar betapa bobroknya kantor
yang dipimpinnya. Di antara staf yang kelihatan sedemikan santun dan
hormat padanya, bahkan memberi saran agar ia tidak terjebak dengan
permainan staf lain yang mementingkan dirinya. Entah siapa yang kawan
di kantor ini sungguh tidak terlihat. Siti Zainab tekadnya satu, yaitu
melawan korupsi. Korupsi ternyata telah meraja lela sedemikian rupa
menggerogoti kantornya, Siti Zainab patut berhati-berhati melangkah,
apa yang terlihat bukanlah sesungguhnya terlihat. Siti Zainab menghela
napas panjang. Sebentar lagi ia selesai tanpa membawa perubahan
apa-apa. Ia hanya membangun integritas tertinggal di kertas kosong.
Pimpinannya mengatakan ”Jangan berharap mengubah orang lain, yang
penting kau tidak melakukannya, mereka sudah berkarat.” Siti Zainab pun
bergumam penuh harap pada dirinya sendiri, ia berdoa agar tetap bisa
berjuang meski ujungnya tak pernah selesai.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Di Gerbang Stasiun Penghabisan ini meng-
gambarkan kehidupan manusia di wilayah Sumatra Barat. Terlihat
peran perempuan begitu kuat dan menjadi tempat bergantung. Walau
pun kedudukan perempuan masih di bawah kendali dari saudara
laki-laki dari ibu, bagaimana pun perempuan di Sumatra Barat
berjuang dengan kesungguhan dalam mencapai sesuatu. Mereka dari
bermacam sifat manusia dengan beragam profesinya terus berusaha
dan berjuang untuk mendapatkan hidup dan kehidupan yang lebih
baik. Dalam meraih sesuatu yang dicita-citakan atau diharapkan,
perempuan itu menggunakan akal dan kekuatan tubuh dan jiwanya.
Perempuan pada buku esai ini mempunyai kekuatan yang membuat
dirinya mandiri dalam kehidupan.

65
Potret Ironi
Kehidupan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI RIAU

Judul Buku : Ironi Tanah Pungkat di Lambung Langit


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 109 halaman
Penulis : Abidah, Eko Ragil Ar-Rahman,
Muhammad De Putra, Suri Noviyanti,
Viola Marsha
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-21-7

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini mengisah kan persoalan pendidikan anak-
anak di desa tertinggal; kekayaan alam yang tidak dapat dinikmati
rakyat; konflik transmigran dengan warga lokal; komunikasi yang
kurang baik antara pengusaha sawit dan warga desa; serta sosok Raja
Ali Haji, pahlawan yang terabaikan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Kurangnya apresiasi terhadap karya.
 Suku Akit Nerlang Riau.
 Tidak ada hutan rakyat.
 Kerusakan alam secara global.
 Konflik tersimpan demi sedikit.

SATU
Sahabat, puisi esai Abidah “Ironi Raja Ali Haji” ini menceritakan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap Raja Ali Haji yang terkenal
dengan karya Gurindam Dua Belas-nya. Raja Ali Haji lahir di Selangor
tahun 1808, meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, tahun 1873.
Ia adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad ke-19. Ia me­rupakan

66
keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda
IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena Raja
Ali Haji (lahir di Selangor tahun 1808, meninggal di Pulau Penyengat,
Kepulauan Riau tahun 1873) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga
abad ke-19 keturunan Bugis dan Melayu. Dia terkenal sebagai pencatat
pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa;
buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar
itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928
ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Mahakaryanya,
Gurindam Dua Belas (1847) menjadi pembaru arus sastra pada za­
mannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu kamus
logat Melayu- Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama dan
merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia ditetapkan
oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada
5 November 2004. Sungguh sebuah ironi dari seorang pahlawan yang
sedemikian besar jasa-jasanya dalam hal kebahasaan. Awam barangkali
hanya mengenal Gurindam Dua Belas saja dari puluhan karya Raja Ali
Haji. Masih ada beberapa puisi lain yang sebetulnya bisa berdiri sendiri,
seperti pada karya prosa Raja Ali Haji berjudul “Ikat-Ikatan Dua Belas
Puji” yang terdapat pada Bustanul- Katibin; syair nasihat pada akhir
Thamarat al-Muhammah; beberapa syair dalam Kitab Pengetahuan
Bahasa; dan beberapa syair panjang dalam Silsilah Melayu dan Bugis.
Sebutlah Raja Ali Haji, tanah Melayu akan memujinya karena
ia milik Nusantara. Syair yang ia lahirkan berupa gurindam. Setelah
Riau menjadi dua provinsi: Riau dan Kepulauan Riau, Raja Ali Haji
tetap milik bersama. Raja Ali Haji telah menciptakan Gurindam Dua
Belas. Gurindam itu perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya,
sempurna perkataannya dengan satu pasangannya sahaja. Jadi sajak
yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab.
Gurindam Dua Belas ditulis oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau,
pada tarikh 23 Rajan 1263 Hijriyah atau 1847 Masehi dalam usia 38
tahun. Karya ini terdiri atas 12 fasal dan dikategorikan sebagai Syiar al-

67
Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisi nasihat dan petunjuk menuju
hidup yang diridai Allah. Selain itu terdapat pula pelajaran ilmu tasawuf
mengenai “yang empat”. Yatu, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Diterbitkan pada tahun 1854. Negara mencatatnya dalam sejarah.
Presiden memberi gelar pahlawan bagi Raja Ali Haji dan pahlawan
lainnya. Nama Sultan Mahmud Riayat Syah resmi dinobatkan sebagai
pahlawan nasional asal Provinsi Kepulauan Riau. Penganugerahan
gelar pahlawan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 115 TK
Tahun 2017. Penetapan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pahlawan
nasional menyusul nama-nama seperti Raja Ali Haji dan Raja Haji
Fisabilillah yang juga berasal dari Kepulauan Riau. Ada peristiwa,
karena pewaris Raja Ali Haji tidak diundang ke istana saat pemberian
penghargaan, maka pada waktu itu makam Raja Ali Haji dikunci.
Raja Ali Haji seorang terpelajar dan pandai seperti ayahanda
Raja Ahmad, yaitu pujangga termasyur dari Pusat Kebudayaan Melayu
Riau-Johor yang lahir di Selangor, Malaysia, tahun 1808. Bernama
asli Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-
Syahidu fi Sabillah bin Upu Daeng Celak. Beliau putra pasangan Encik
Hamidah binti Malik dan Raja Ahmad, Raja Bugis yang terkenal serta
cucu dari Raja Haji Fisabillilah, bangsawan dari kesultanan Lingga-
Riau. Ayahnya dikenal sebagai orang terpelajar yang juga termasuk
pengarang Kesultanan Lingga-Riau dan rajin menuntut ilmu. Bakat
menulis ayahnya menurun kepadanya. Raja Ali Haji pandai berbahasa
Arab. Ia belajar ilmu agama dari Mesir hingga Mekkah. Raja Ali Haji
menjadi ulama terkemuka di zamannya. Ia menjadi tumpuan dan
tempat bertanya. Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok
Imam Ghazali. Ini sangat terlihat dari karya-karyanya yang banyak
menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama besar tersebut.
Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji
menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan
diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan
mengurus umat. Selain dipengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran
politik Raja Ali Haji juga dipengaruhi ulama seperti Ibnu Taimiyah dan

68
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi. Pada usia empat
puluh karyanya lahir berbentuk prosa dan puisi. Karya-karya Raja Ali Haji
telah dipublikasikan dalam bentuk buku, kamus, dan kumpulan surat-
surat. Hampir semua karyanya telah dikaji oleh berbagai kalangan, dan
merupakan warisan intelektual yang berharga bagi masyarakat Melayu
khususnya, dan dunia pada umumnya. Karya-karya Raja Ali Haji secara
umum meliputi sastra, bahasa, etika, sejarah, filsafat, agama, dan politik.
Sungguh sangat disayangkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap
karya-karyanya masih demikian rendah. Sungguh ironis. Raja Ali Haji
ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan
Nasional, tetapi masyarakat mengabaikannya.

DUA
Sahabat, puisi esai Eko Ragil Ar-Rahman “Nerlang, Adakah Tuhan
Tinggal di Tepi Langitmu” ini menggambarkan suku Akit di Dusun
Nerlang daerah terpencil di bagian Sungai Tohor Kanan, Kecamatan
Tebingtinggi,Kepulauan Meranti,Riau.Mereka berburu binatang di hutan
dan memancing ikan di sungai. Puisi esai ini agaknya menjadi renungan
sekaligus pembelajaran bahwasanya di Riau masih ada banyak daerah
terpencil yang sama sekali belum sempurna dijamah dunia luar. Salah
satunya adalah Nerlang, sebuah daerah dengan lokalitas dan budaya
yang masih kental namun lumpuh akses ke dunia luar, daerah yang
membutuhkan bantuan modernisasi baik dari aspek ekonomi, sosial,
bahkan ideologi. Puisi esai ini menggambarkan bagaimana warga
tanah Nerlang menikmati hidup sederhana mereka meskipun dalam
satu sisi ada yang merindukan sebuah peradaban, dan sisi lain memilih
bertahan dengan ideologi nenek moyang mereka. Mengambil cerita
sebagai anak-anak Nerlang, mereka yang memiliki rasa ingin tahu yang
luar biasa, tetap bertanya-tanya seperti apa, bagaimana, dan di mana
Tuhan itu. Meskipun mereka percaya bahwa benda dan makhluk hidup
di sekitar mereka bisa disembah dan dipercaya, anak-anak Nerlang tetap
mempertanyakan seperti apa Tuhan. Mereka mendengar banyak cerita
dan kegiatan spiritual yang selalu dilakukan orang-orang asing yang

69
berkunjung ke tanah mereka. Orang-orang asing itu membantu mereka
baik secara materi atau secara pengetahuan, dengan memperkenalkan
sejarah Indonesia, mengajarkan pelajaran sederhana pada usia yang
beragam, bahkan mengajarkan bahwa kehadiran Tuhan ada pada
setiap makhluk ciptaan-Nya. Sebagai manusia, kita harus belajar pada
kesederhanaan mereka, yang begitu penasaran dengan keberadaan
Tuhan. Anak-anak itu bermimpi bahwasanya Tuhan tinggal di kota.
Hal itu memacu mereka untuk giat belajar agar mereka pandai dan
dilihat oleh Tuhan. Desa Nerlang yang didiami suku Akit masih berupa
belantara yang tenang dan sunyi. Jika malam terdengar dengungan
laron dan suara alam sekitar yang keluar dari pepohonan hutan.
Terkisahlah sebuah cerita tentang rubaiat Timbang Bahul, yaitu kisah
yang menurut kepercayaan suku Akit, di dusun Nerlang, Timbang
dan Bahul merupakan nama sepasang suami istri sebagai roh nenek
moyang yang tinggal di langit. Mereka percaya bahwa Timbang dan
Bahul selalu mengawasi mereka dari atas langit dan melihat semua
yang suku Akit kerjakan atau tentang mitos alam hantu, yaitu arwah
yang menempati alam di sekitar mereka. Suku Akit masih percaya
adanya roh yang hidup bersama mereka. Nerlang merupakan daerah
terpencil di bagian Sungai Tohor Kanan, Kecamatan Tebingtinggi,
Kepulauan Meranti, Riau. Daerah tersebut ditinggali oleh sekitar 264
jiwa yang merupakan suku Akit. Suku Akit sendiri merupakan salah
satu suku asli yang mendiami Riau, tepatnya di Kecamatan Bengkalis
Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Nama suku
Akit diambil dari kebiasaan mereka menggunakan rakit baik untuk
bekerja ataupun berpindah ke tempat yang baru. Suku Akit sendiri
merupakan suku nomaden yang mencari penghasilan dari hasil hutan,
berburu binatang, dan memancing ikan. Suku Akit percaya bahwa
benda-benda tertentu memiliki kuasa gaib yang dapat memberikan
kesejahteraan (seperti pohon, batu, gunung, atau sungai). Mereka pe­
nganut animisme menyembah pepohonan. Mereka percaya roh nenek
moyang yang tinggal di langit mengawasi dan melihat apa yang mereka
kerjakan.

70
Suku Akit dikunjungi pendidik agar anak-anak mereka dapat
membaca, menulis, berhitung, dan ilmu agama. Tempat belajar
anak-anak di Dusun Nerlang hanyalah berupa bangunan kayu yang
dilengkapi meja kecil dan papan putih kecil sebagai alat mereka
belajar. Anak-anak Nerlang hanya bisa belajar membaca. Tetua
mereka bernama Pak Alip, orang yang menjadi panutan dalam
beribadah, menyelesaikan permasalahan, dan membantu persalinan
dan pengobatan warga suku Akit. Mereka masih melakukan tradisi
pengobatan dikir, yaitu salah satu tradisi pengobatan suku Akit yang
dilakukan jika si sakit tidak dapat disembuhkan sakitnya walau
sudah diobati. Biasanya akan dilakukan pengobatan menggunakan
medium yang dipimpin oleh seorang bomo dan memerlukan banyak
persiapan khusus, seperti alat tetabuhan, gong kecil, dan miniatur
rumah adat Melayu yang terbuat dari pohon kelubi. Suku Akit
sendiri dulu juga dikenal dengan kemampuan mereka mengolah
dan memanfaatkan alam sekitar untuk menjadi ramuan, baik obat
ataupun racun mematikan. Pak Alip yang tubuhnya sudah renta itu
menyambut baik setiap pendatang yang membangun sekolah, yang
mengajari anak-anak tahu presiden dan lagu kebangsaan Indonesia.
Anak-anak hanya bisa membayangkan kata-kata yang diucapkan
pengajar, karena di sekitar kehidupan mereka tidak ada benda-
benda seperti yang diucapkan para pengajar itu. Mereka tidak pernah
melihatnya. Pak Alip mendengarkan pria tua yang selalu disebut
mereka wakil bupati, ketika orang itu datang di Nerlang. Wakil bupati
itu berbicara tentang pembaharuan wilayah, pemberdayaan tradisi
budaya, hingga pengenalan Tuhan mereka kepada orang-orang suku
Akit dan anak-anaknya. Anak-anak senang mendengar kata Tuhan.
Mereka mengatakan bahwa mereka akan dipertemukan dengan
Tuhan dari kota. Akankah mereka berjumpa Tuhan mereka di kota
sana atau Tuhan mereka yang datang bertandang bertemu Tuhan di
Nerlang. Pak Alip, tetua kami hanya mengangguk mendengarkan. Lalu
perlahan mereka berdiri, berjabat tangan sesekali tersenyum pada
warga suku Arkit lalu meninggalkan rumah Pak Alip.

71
TIGA
Sahabat, puisi esai Muhammad De Putra “Elegi Pungkat Kami” ini
mengisahkan konflik sosial antara warga desa dan perusahaan sawit
di Pungkat, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi
Riau. Desa Pungkat menjadi lahan konsesi sebuah perusahaan sawit
berskala besar. Kedatangan perusahan ini, membawa kesedihan bagi
penduduk desa Pungkat, sebab perusahan sawit ini telah membabat
habis hutan gambut. Bagi mereka, hutan dan pohon merupakan
sumber kehidupan di desa. Dengan habis dan rusaknya hutan telah
membuat warga susah dalam mengatasi kehidupan mereka, seperti
bekerja dan mencari uang untuk makan yang bersumber dari hutan.
Konflik dimulai, pada suatu malam, warga desa Pungkat mendengar
suara dari alat berat milik perusahaan sawit. Asap-asap bekas
pembakaran memenuhi langit. Warga desa Pungkat membakar alat-
alat berat milik perusahaan kelapa sawit. Lalu selepas peristiwa itu,
sekitar 200 polisi mendatangi desa Pungkat dengan bersenjata laras
panjang, memakai helm, pentungan dan perisai. Mereka menangkap
dan menahan bapak-bapak desa Pungkat. Situasi itu membuat anak-
anak Pungkat yang menyaksikan peristiwa itu akan berpikir bahwa
bapak mereka orang jahat. Setelah peristiwa penangkapan warga
desa, setiap malam para emak harus menjawab pertanyaan anaknya
tentang kabar bapak mereka.
Desa Pungkat berada di tepian Sungai Rawa yang merupakan
anak sungai dari Sungai Gaung. Sungai ini menjadi salah satu sumber
kehidupan bagi warga. Air sungai Rawa menjadi air minum warga desa
Pungkat. Tepian sungai Rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan yang
melindungi air sungai. Banyak tumbuhan yang mengandung obat-
obatan di tepian sungai itu. Seandainya orang-orang asing dari luar
desa itu tidak datang. Penduduk desa akan bercengkerama menyambut
malam. Anak-anak akan mendengar dongeng dari para emak, dan
aroma kopi akan menguar di bawah temaram cahaya lampu togok.
Lampu togok merupakan jenis lampu yang sudah lama menjadi alat

72
penerangan warga desa Pungkat, bila listrik sedang padam atau mati.
Ketika hari menjelang pagi, tidak terdengar lagi suara ramai perahu
robin yang biasa digunakan masyarakat desa Pungkat hilir mudik. Perahu
untuk alat transportasi, sebab di desa ini belum ada jalur darat. Jadi untuk
transportasi, semuanya dilakukan melalui jalur air. Perusahaan kelapa
sawit telah membabat hutan dan menjadikannya sebagai perkebunan
sawit. Semenjak perkebunan kelapa sawit berjalan, sungai tercemar
akibat pupuk, pestisida, dan limbah lainnya. Perusahaan itu juga
membuang limbah pengolahan sawit ke sungai yang menyebabkan air
sungai tercemar. Sungai tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber
kehidupan. Debit air sungai juga menyusut disedot akar kelapa sawit
yang tumbuh di bekas hutan belantara tepian sungai. Suasana sepi di
tepian sungai Rawa. Ibu-ibu yang pulang berkebun, pemanen pinang,
dan penjual sayur tak lagi berperahu di sungai depan rumah penduduk.
Pagi itu takkan terlihat lagi pohon-pohon di desa Pungkat yang tumbuh
subur berdiri tegak. Sebab orang-orang dari perusahaan datang
membawa senso, ekskavator, dan banyak alat berat menghancurkan
tanaman yang ada. Hari itu mereka datang bersama surat dari
pemerintah hendak menanam sawit-sawit di 5 desa: Simpang Gaung,
Belantaraya, Pungkat, Teluk Kabung, dan Lahang Hulu. Sejak itu mereka
terus datang dan bekerja di tanah desa. Perusahan sawit membabat
habis hutan gambut, hutan yang merupakan sumber kehidupan di
desa. Alat-alat berat perusahaan mengganggu kenyamanan kehidupan
penduduk. Desa Pungkat berada di tepian sungai Rawa. Penduduk
telah lama hidup dengan mengambil air dari sungai untuk keperluan
minum dan masak. Sekarang sungai itu tercemar karena perkebunan
kelapa sawit. Sungai juga menjadi sarana transportasi. Rumah-rumah
mereka menghadap sungai sebagai jalan. Semuanya berubah di desa
itu. Tidak ada lagi tempat untuk menumbuhkan benih-benih pohon.
Semua telah dibabat habis oleh alat-alat berat itu. Orang-orang desa
semula hanya tahu batas desa adalah sebuah pohon yang ditandai
yang berdiri tegak serta sedikit bekas tebasan di batangnya. Sekarang
tidak ada lagi hutan atau pohon untuk warga desa. Garis batas desa

73
tak menyisakan pohon. Pohon-pohon menjadi tempat berteduh dari
hujan dan terik panas matahari. Sekarang pohon-pohon itu musnah.
Seorang bapak yang pekerjaannya membuat perahu dan menghasilkan
uang untuk sekolah anak-anaknya dan makan sehari-hari kebingungan
melihat hutan dibabat pohonnya. Dia bingung harus bekerja apa di
desa itu.
Garis batas desa ditandai dengan sedikit pohon di ujung desa
yang bisa digunakan berteduh dari hujan dan panas matahari. Tidak
ada lagi hutan untuk rakyat. Orang-orang desa Pungkat berkumpul di
tempat Tuk Bujang. Ia dikenal sebagai tokoh masyarakat atau tetua
desa Pungkat, Kecamatan Gaung Anak Serka. Seorang pria dewasa
yang disegani di kalangan warga. Beliau adalah tokoh yang peduli
terhadap lingkungan. Mereka bertanya-tanya apakah tanah mereka
bisa kembali. Beberapa orang desa telah pindah dan meninggalkan
tanah kelahirannya. Para laki-laki berkumpul di rumah Tuk Bujang.
Mereka berencana merebut kembali hutan-hutan di desa Pungkat
ini. Hutan-hutan itu merupakan harapan hidup warga desa Pungkat.
Laki-laki desa itu membakar ekskavator milik perusahaan. Teriakan,
amukan, sumpah serapah di mana-mana. Seluruh pemuda berkumpul
menengadahkan tangan berdoa kepada Tuhan, berharap perusahaan
itu pergi meninggalkan desa Pungkat. Mereka berdoa, perusahaan
mengangkat kaki mereka dan tidak menyisakan apa-apa, mereka tak
akan kembali hingga pohon-pohon di hutan tumbuh lagi. Beberapa
orang yang tersangka sebagai pelaku pembakaran alat-alat berat
milik perusahaan semua divonis 6 bulan penjara.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Suri Noviyanti “Mati Ayam di Lumbung
Padi” ini menggambarkan Provinsi Riau yang kehidupan rakyatnya
tidak sejahtera. Riau kaya dengan sumber daya alam berupa
minyak dan gas bumi, hutan raya, serta humus. Kekayaan yang
berlimpah seharusnya menyejahterakan masyarakat, namun yang
terjadi kerusakan alam secara global. Kekayaan alam tersebut tak

74
berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat Riau. Rakyat Riau iba­rat
ayam mati di lumbung padi.
Tersebutlah Midah, Perempuan beranjak tua yang sebentar lagi
tenggelam bersama waktu. Ia tinggal di Pekanbaru, Riau. Ia lahir bersama
pantun dan puisi. Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak
di bagian tengah pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah
pantai timur Pulau Sumatra, yaitu di sepanjang pesisir Selat Malaka.
Hingga tahun 2004,provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau,sekelompok
besar pulau-pulau kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam
dan Pulau Bintan) yang terletak di sebelah timur Sumatra dan sebelah
selatan Singapura. Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri
pada Juli 2004. Ibu kota dan kota terbesar Riau adalah Pekanbaru.
Kota besar lainnya antara lain Dumai, Selatpanjang, Bagansiapiapi,
Bengkalis, Bangkinang, Tembilahan, dan Rengat. Provinsi Riau memiliki
empat aliran sungai besar yang membelah daratan yang juga dijadikan
sebagai nama-nama kabupaten di Riau. Empat sungai itu adalah Sungai
Kampar berada Kabupaten Kampar, Sungai Indragiri, Sungai Rokan, dan
Sungai Siak. Sungai-sungai itu memiliki peran penting asal mula Bumi
Lancang Kuning diberi nama Riau. Menurut sastrawan Hasan Junus yang
merupakan keturunan langsung dari Raja Ali Haji mengatakan bahwa
ada tiga kemungkinan asal usul penyebutannya Riau. Pertama, toponomi
Riau berasal dari penamaan orang Portugis “Rio” yang berarti sungai.
Midah, perempuan tua yang sebentar lagi terbenam bersama
senja pernah merasai memiliki negeri. Hutan yang masih rimbun
menghijau, musim masih terkendali Saat itu Riau masih karesidenan.
Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah
provinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an.
Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa kabupaten
(afdeeling). Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan.
Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok, dan Sulawesi
saja. Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak. Wilayahnya
masih luas lebar, hingga kepulauan Riau serta Pesisir Timur Sumatra
Bagian Tengah. Saat itu sudah ada mesin-mesin bor mengisap lumpur

75
hitam dari ladang-ladang minyak. Pertambangan adalah rangkaian
ke­­gi­atan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian),
pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral,
batubara, panas bumi, migas) dengan guna memenuhi hajat hidup
orang banyak. Pertambangan kini menjadi kegiatan strategis dan vital
bagi kelangsungan hidup suatu negara. Riau kaya akan minyak bumi.
Minyak bumi termasuk dalam bahan golongan A yang merupakan
barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk
menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan
untuk dimiliki oleh pihak pemerintah karena menyangkut hajat hidup
masyarakat luas. Minyak bumi sekarang ini sebagai sumber energi fosil
yang menggerakkan berbagai bidang terutama industri dan energi.
Sebelum melakukan pengeboran di Riau, Chevron Pasific Indonesia
yang pada saat itu merupakan perusahaan gabungan dari Standard
Oil Company of California (Socal) dan Texas Oil Company (Texaco)
membentuk sebuah perusahaan patungan di daerah Sumatera yang
bernama NV Nederlandsche Pasific. Mereka datang ke Riau melacak
jejak minyak sampai Minas. Tiga ribu buah lubang dibuat menggunakan
gurdi yang diputar keras-keras. Di Minas menunjukkan adanya minyak
yang menghasilkan minyak berbarel-barel, sampai 1 miliar barel.
Midah, perempuan tua yang masih menyisakan ingatan tentang
Riau. Kekayaan Riau bukan hanya minyak. Hutan menghasilkan kayu.
Ratusan, ribuan, jutaan rebah ke tanah. Hutan Riau dibabat habis.
Hutan Riau sejak puluhan tahun dieksploitasi secara besar-besaran
dan masif oleh perusahaan kehutanan untuk diambil kayunya, kini
meninggalkan persoalan baru. Riau adalah ironi. rakyat hidup di atas
ladang minyak tetapi hidupnya tak kunjung sejahtera. Para penguasa
dan pejabat mempertontonkan kekayaan. Rakyat tinggal di luar
sebagai penggembira bertepuk tangan untuk pidato pejabat. Riau juga
membuka perkebunan kelapa sawit, yaitu dengan membakar hutan
yang sering menimbulkan asap tebal, hingga ke negara Singapura
dan Malaysia. Di segala penjuru Provinsi Riau perkebunan kelapa
sawit terhampar luas. Dampak lingkungan akibat perkebunan kelapa

76
sawit menimpa alam Riau dan juga penduduknya. Pupuk kimia dan
pestisida untuk pohon sawit diserap tanah mengalir ke sungai-sungai
dan bermuara di laut. Sungai Siak rusak, eceng gondok tumbuh ber­
kembang biak, ikan mati dan nasib nelayan menjadi menderita.
Sebelum ada perkebunan kelapa sawit, nelayan dapat menangkap
ikan sehari 50 kg ikan. Setelah ada perkebunan kelapa sawit, ikan sulit
didapat. Midah berkata, menjelang matinya dia malu. Kabut asap sering
terjadi dan menyebabkan sesak napas. Jalanan sunyi, pedagang merugi,
anak sekolah tinggal di rumah, petani tak pergi ke sawah, dan udara
pengap serta gerah.

LIMA
Sahabat, puisi esai Viola Marsha “Meramu Pandang di Tanah
Me­la­yu” ini mengisahkan kedatangan warga transmigrasi dari Pulau
Jawa ke Ranah Melayu. Minah dan keluarga bertransmigrasi dari Jawa
ke Riau. Mereka ditempatkan di Desa Sungai Keranji, Kecamatan
Singingi, Riau. Sungai Keranji adalah salah satu Desa di Kabupaten
Kuantan Singingi yang resmi masuk dalam penambahan desa
baru karena kebijakan pemerintah Orde Baru dalam pemekaran,
pemberdayaan taraf hidup layak bagi masyarakat kurang mampu dan
pemindahan ini disebut transmigrasi. Transmigrasi diresmikan pada
14 Oktober 1993. Para transmigrant itu berlayar dari pulau Jawa ke
tanah Melayu Riau. Transmigrasi yang marak-maraknya dicanangkan
pada waktu pemerintahan Suharto, yang dianggap ampuh untuk
menyejahterakan taraf hidup masyarakat lebih baik. Para transmigran
dinyatakan resmi sebagai penduduk Sungai Keranji saat itu. Ada tiga
tahap keberangkatan para penduduk yang ikut program pemerintah
di tahun 1993 itu. Mereka dari Yogyakarta dan Jawa Timur. Saat itu
pemerintah Orde Baru memang membuka lahan besar-besaran
sebagai lahan pemukiman. Kesediaan Ibu Minah untuk merantau
menjadi pertimbangan tersendiri karena memang tidak ada terpikirkan
untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Suami yang menguatkan hati­
nya demi sebuah perubahan hidup, dengan menggandeng dua bocah

77
balita, ia menguatkan hati untuk berangkat ke Tanah Melayu yang
terkenal dengan pertambangan minyak terbesar dan tanah gambut
yang subur juga kaya kebudayaan negerinya. Keyakinan seorang
ibu atas kesuksesan anak-anaknya berawal dari perjalanan mereka
ke tanah Melayu Riau. Kesulitan untuk meraih impian sangatlah
pelik dengan bergabung bersama rombongan transmigrasi yang
sedang di gadang- gadangkan pemerintah Orde Baru. Di kecamatan
Singingi ini ada beberapa titik lahan transmigrasi dan Sungai Keranji
adalah tahap ke 9 dari 10 lokasi. Meski pertikaian dan pertentangan
menyertai perjalan hidup mereka. Bagi seorang ibu kebahagian
anak dan pendidikan adalah faktor utama yang diterapkan. Ini
kisah dari kehidupan kepala desa bersama istri dan anak-anaknya
yang sekarang sudah sarjana dan bekerja. Kegigihan ibu dan ayah
menjadikan anak-anaknya kuat menerjang badai bermain riak-riak
berbuih kemapanan hidup. Orang tua Minah bertransmigrasi beserta
keluarganya. Bersama seratus empat kepala keluarga turut hijrah ke
negeri Hangtuah. Mereka meninggalkan tanah Jawa, jadi pendatang
baru di desa buatan untuk menggarap hutan yang dicanangkan
pemerintah Orde Baru. Itu diharapkan dapat mengubah taraf hidup
layak untuk masyarakat. Mereka harus membuka hutan dan semak
belukar di tempat yang baru, Orang tua Minah mempunyai anak
sepasang, Kadrun dan Minah. Saat tiba di lokasi yang akan ditempati,
para transmigran melihat bangunan rumah-rumah bercat putih. Dari
rumah satu ke rumah lainnya berjarak seperempat hektar. Pertama
kali datang, Kardun anaknya kesurupan. Mantri kesehatan belum ada
di lokasi itu. Kardun digotong pakai tandu menuju ke tempat tetua
dusun sebelah. Ia diberi minum air yang dibacakan mantra dan air itu
diusapkan ke wajah dan telapak tangan. Kadrun sadar dan sembuh.
Awal masuk desa transmigrasi, mereka telah mendapat cobaan hidup.
Ketika sudah dapat menetap dan menyesuaikan dengan alam
lingkungan, para warga terpikir tentang pendidikan anak-anaknya.
Sekolah, sarana pendidikan, belum selesai dibangun, guru yang me­
ngajar bukanlah guru utusan pemerintah, tapi warga yang mengajar

78
anak-anak transmigran. Ayah Minah adalah warga yang aktif kegiatan
sosial dan mengajar MTSN di desa sebelah sampai merintis desa yang
mulai berkembang agar maju sumber daya manusianya. Ayah Minah
terpilih menjadi Kepala Desa selama tiga periode berturut-turut.
Saat ia menjadi kepala desa, ada warga asli menginginkan jabatan
tersebut. Orang-orang itu tidak berpikir tentang pendidikan. Mereka
melihat kesuksesan seseorang diukur dari rumah mentereng. Ayah
Minah mendidik anak-anaknya hingga lulus sarjana. Ayah Minah
dan ibunya tinggal di rumah sederhana. Minah kini menyandang
gelar sarjana dan lagi sibuk mencari kerja. Ibu dan ayahnya sangat
bangga, mereka merasa kerja keras mereka tidak sia-sia. Kegigihan
dan keuletan ibu Minah terlihat pada Minah, ia juga mengais harapan.
Minah rajin, pandai, dan pantang mundur. Ibu Minah keras dalam
pengajaran hidup.
Hidup baginya harus berjuang. Itu menjadikan manusia berguna
bagi negara dan bangsa. Sekolah dan pendidikan itu penting. Ayah
Minah bertahun-tahun menjadi kepala desa tidak memiliki rumah
mewah. Gaji dari mengajar habis untuk biaya anaknya sekolah. Ia ingin
anak- anaknya berpendidikan. Di dalam kehidupan di sekitar mereka
ada manusia yang iri dan dengki. Penduduk transmigran mempunyai
tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan
sebelumnya. Para penduduk transmigran setiap hari berusaha keras
mengolah tanah yang telah diberikan pemerintah. Mereka menanam
segala tanaman yang diperlukan untuk dapat meningkatkan
kehidupan. Banyak penduduk transmigran yang berhasil dan sukses
dengan usahanya. Anak-anak mereka dapat sekolah dengan baik
dari hasil olahan tanah yang diberikan pemerintah. Penduduk asli
merasa iri melihat peningkatan kehidupan pada pendatang yang
menjadi transmigran dari Jawa. Penduduk asli merasa suku Jawa tidak
membaur dengan penduduk suku asli. Mereka berada di tanah Melayu
membawa adat Jawa. Mereka tidak mengikuti adat lokal seperti turun
mandi bagi bayi yang baru lahir atau lempar tepung tawar pada
pengantin. Para tetua penduduk lokal tidak mengajarkan adat itu

79
kepada pendatang atau generasi muda. Adat itu hampir hilang. Hal
kecil menjadikan konflik yang tersimpan sedikit demi sedikit.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Ironi Tanah Pungkat di Lambung Langit
me­­nampilkan kehidupan masyarakat Riau. Pemahaman tentang pen­
didikan masih rendah. Penghargaan terhadap pahlawan daerahnya
masih kurang. Pejabat daerah dalam melakukan eksploitasi alam
tidak mengajak serta masyarakat untuk bermusyawarah sehingga
terjadi kerusakan alam secara global. Ketika pendatang merambah
kehidupan warga asli terjadi konflik karena pendatang tidak membaur
dengan budaya dan kehidupan penduduk asli.

80
Kisah Kehebatan
Negeri
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI RIAU

Judul Buku : Sergam


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 111 halaman
Penulis : Abdul Kadir Ibrahim, Harfan Min
Kitabillah, Irwanto Rawi Al Mudin,
Jonni Pakkun, Yuanda Isha
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-02-6

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan sejarah kerajaan Melayu ke­­
tika melawan penjajah. Perjuangan para raja mengusir kaum pen­jajah
agar tidak mengambil kekayaan alam diceritakan dengan menarik.
Kegigihan seorang pemuda menyelundupkan barang ke Singapura,
dan kondisi pengembangkan Pulau Batam sebagai pulau industri un­
tuk kesejaheraan penduduknya.

LIMA INTI SARI BUKU


 Kisah Sultan yang melawan penjajah.
 Peristiwa bersejarah di Sungai Carang.
 Tak kenal kata menyerah.
 Dualisme dalam pengelolaan Batam.
 Perempuan hebat.

SATU
Sahabat, puisi esai Abdul Kadir Ibrahim “Melangit Cinta Sultan”
ini mengisahkan Sultan Mahmud Syah III menjaga kedaulatan negeri
melawan sang penjajah dengan menerapkan strategi Perang Gerilya
Laut. Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) merupakan.

81
Salah satu di antara sultan di kerajaan-kerajaan Melayu-Islam Nusan­
tara yang ditakuti Belanda dan Inggris. Sang Sultan sigap berperang
dengan strategi Perang Gerilya Laut. Sultan Mahmud Syah III berujar
tegas, “Lebih patut menjadi lanun dan merayau di laut atau menemui
kematian syahid, daripada tetap bersinggasana di takhta kerajaan,
tetapi negeri dan rakyat kerajaan takluk dalam kuasa penjajah.”
Raja Mahmud ini disebut juga sebagai Yang Dipertuan Besar
Sultan Abdul Jalil Muazam Syah. Ketika berusia kurang dari dua
tahun sudah ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar Sultan
Kerajaan Riau-Johor-Pahang dan Lingga bergelar Sultan Mahmud
Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Beliau merupakan sosok yang
monumental, fenomenal, dan menakjubkan. Ketika beberapa kerajaan
di Nusantara sudah dapat ditaklukkan dan raja atau sultannya ditawan
oleh Belanda atau Inggris, hal itu tidak berlaku terhadapnya. Dengan
“Strategi Perang Gerilya Laut”—di laut Riau-Johor-Pahang-Lingga
hingga Melaka dan Selat Sunda—oleh Sultan Mahmud Syah III yang
dilakukan sejak tahun 1784-1795 telah membuat Belanda dan Inggris
benar-benar mati kutu. Karena kehebatan perjuangannya, pada
tahun 1795, dua bangsa penjajah dari Barat tersebut menghentikan
permusuhan dengan Sultan Mahmud. Mereka mengakui kedaulatan
Kerajaan Riau-Johor-Pahang dan Lingga serta kedudukannya sebagai
Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor-Pahang dan Lingga.
Belanda menegaskan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah adalah orang
yang paling bertanggung jawab bersama Raja Haji dalam perperangan
Riau, sehingga Belanda kalah dalam tahun 1782-1784. Dalam
perperangan lanjutan di perairan Tanjungpinang pada tahun 1787,
selepas Raja Haji gugur sebagi syuhada di Teluk Ketapang, Melaka; Sultan
Mahmud Ri’ayat Syah tampil sebagai pimpinan. Belanda pun sekali lagi
kalah dan terusir dengan wajah tertunduk dari Riau- Tanjungpinang ke
Malaka. Raja Haji dan pasukan Kerajaan Riau-Johor- Lingga serta Pahang
terus menggempur Belanda di Malaka. Syahdan, Belanda terdesak dan
melarikan diri ke darat, lalu menyelamatkan diri di dalam benteng-
benteng kukuh. Kesempatan tersebut dipakai oleh Raja Haji dan segenap

82
pasukannya untuk bergerak melawan, bahkan membumihanguskan
markas Belanda. Kemenangan hampir diraih, namun takdir Allah berkata
lain. Balatentara Belanda bantuan dari Batavia pun tiba menggempur
pasukan Raja Haji dari arah laut. Api menyala di angkasa, menjilat
awan, dan dentum meriam membadai. Raja Haji bersama pasukannya
menjadi sasaran tembakan senapan bombardir, sehingga terjadi perang
berhadap-hadapan satu lawan satu. Raja Haji akhirnya tewas di Teluk
Ketapang, kawasan negeri Malaka sebagai lelaki syahid di jalan Allah.
Kabar kematian Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau, membuat Yang
Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah sangat geram dan
murka. Segenap pasukan pun disiagakan di laut dan darat di ibu kota
negeri Riau. Amarahnya bagaikan selaksa serigala dan hantu laut siap
berperang habis- habisan. Pada Juni 1787, Belanda datang hendak
menggempur ibu kota negeri Riau, namun Sultan sudah siap dengan
kekuatan seluruh pasukannya, maka perang pecah lagi, yang akhirnya
Belanda kalah. Dalam peperangan babak kedua antara Belanda dan
Kerajaan Riau, lagi-lagi Belanda kalah. Dengan tewasnya Yang Dipertuan
Muda IV Riau, Raja Haji di Teluk Ketapang, Malaka, maka Sultan Mahmud
Riayat Syah bersumpah untuk menghabisi Belanda dari kawasan
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang hingga Malaka dan kawasan-
kawasan taklukan serta persekutuannya. Baginda mulai menyusun dan
menerapkan Strategi Perang Gerilya Laut. Menurut Taufik Abdullah
dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau
Melawan Belanda (1782-1784), selepas Raja Haji tewas, Sultan
Mahmud dengan ”perompak lanun” berhasil menghancurkan benteng
Belanda di Riau (1787). Pusat Kerajaan dipindahkan ke Lingga,
sehingga Lingga berkembang sebagai kota yang mencerminkan
capaian kebudayaan dan peradaban. Atas kegemilangan itu, Lingga
pun dikukuhkan sebagai Bunda Tanah Melayu. Mengingat kehebatan
perjuangannya, dua bangsa penjajah tersebut menghentikan per­
musuhan dengan Sultan Mahmud, dan mengakui kedaulatan Kerajaan
Riau-Johor-Pahang dan Lingga, serta kedudukannya sebagai Yang
Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor- Pahang dan Lingga.

83
DUA
Sahabat, puisi esai Harfan Min Kitabillah “Kisah Cinta di Arus
Sungai Carang” menceritakan Raja Kecik putra Sultan Mahmud Syah
II. Puisi esai berlatar sejarah ini berusaha mengangkat salah satu
kisah cinta yang ada di dalam sejarah Kerajaan Melayu: Raja Kecik dan
Tengku Kamariah yang indah tragis yang dipadu dengan percintaan
masa kini. Disebutkan dalam cerita itu tentang situasi masa kini yang
menampilkan konflik pernikahan dua orang anak manusia. Sang
suami sebagai pasangan saat malam pertama menyatakan kepada
istrinya yang bernama Purnama, bahwa ia terpaksa menikahinya.
Pernyataan itu sangat melukai hati Purnama dan membuatnya terte­
kan serta mengguncangkan perasaan. Purnama pergi dengan hati
hancur dan ia berjalan ke arah festival di Sungai Carang. Saat berada
di tepian Sungai Carang ia terjebur dan tenggelam. Purnama terseret
ke pusaran waktu, melihat tragedi dan perjuangan cinta di masa lalu,
alih-alih tersadar dia sudah bertukar posisi menjadi Tengku Kamariah
dan menyaksikan beberapa tragedi perang saudara, perebutan takhta,
dan kehormatan. Pelukisan sejarah Sungai Carang ini adalah untuk
mengenang sekaligus belajar dari perjalanan terbentuknya bangsa
Melayu. “Hati itu kerajaan di dalam tubuh. Jika zalim, segala anggota
pun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya
beberapa anak panah”. Sepatutnya kita belajar dari sejarah, bahwa
manusia adalah makhluk tempatnya salah. Sebagai anak cucu yang
hadir kemudian, harus belajar agar tak gamang menghadapi masa
depan. Meskipun begitu, sejarah tetap akan berulang, dengan tempat
dan tokoh yang berbeda.
Puisi ini mengangkat peristiwa sejarah pernikahan yang tragis
Raja Kecik dengan Tengku Kamariah, putri Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Kisahnya bermula dari pemindahan pusat Kesultanan Johor-Riau dari
Johor Lama (Batu Sawar) ke Riau (Tanjungpinang sekarang) sehingga
kerajaan itu dikenal pula dengan nama Kesultanan Riau-Johor. Dalam
perjalanan sejarah itu terjadi pertikaian, bahkan perang saudara, di
antara para pembesar kerajaan. Di antaranya, pertikaian Bendahara

84
Johor yang tak bersetuju pusat kerajaan dipindahkan ke Sungai Carang
dengan. Bendahara Johor bertikai dengan Laksemana Tun Abdul
Jamil. Saat itu, Laksemana Tun Abdul Jamil ditugasi oleh Sultan untuk
membuka Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan yang baru
Kesultanan Riau-Johor. Perang yang paling menggemparkan terjadi
antara Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dan Raja Kecik. Abdul Jalil, yang
awalnya adalah Bendahara, naik takhta menggantikan Sultan Mahmud
Syah II (Sultan Mahmud Mangkat Dijulang) yang dibunuh oleh Megat
Seri Rama. Sultan Mahmud tak memiliki anak sehingga Bendahara
Abdul Jalil yang menggantikannya menjadi Sultan Johor-Riau. Dalam
pada itu, Raja Kecik datang mengaku sebagai anak Sultan Mahmud dan
selanjutnya merebut takhta Johor-Riau melalui perang. Sultan Abdul
Jalil diturunkan pangkat menjadi Bendahara kembali karena Raja Kecik
hendak memperistrikan Tengku Tengah, putri Bendahara Abdul Jalil.
Akan tetapi, kemudian Raja Kecik jatuh hati kepada Tengku Kamariah,
adik Tengku Tengah, dan membatalkan pernikahannya dengan Tengku
Tengah untuk menikahi Tengku Kamariah. Setelah menikah dengan
Tengku Kamariah, melalui orang suruhannya Raja Kecik, justru,
membunuh mertuanya, Bendahara Tun Abdul Jalil. Pembunuhan itu
menimbulkan dendam Tengku Sulaiman, putra Bendahara dan saudara-
saudaranya. Mereka berikhtiar membalas dendam dan mengembalikan
marwah keluarga. Dengan bantuan bangsawan Bugis lima bersaudara,
dendam Tengku Sulaiman terbalaskan dan Raja Kecik dapat dikalahkan.
Akhirnya, Tengku Sulaiman menjadi Sultan Riau-Johor dan Raja Kecik
menjadi Sultan Siak.
Peristiwa bersejarah yang ditampilkan itu juga menyiratkan
bahwa pertikaian itu memecah belah bangsa, sehingga harus menjadi
pelajaran supaya tak terjadi lagi pada masa kini. Jelaslah bahwa puisi
ini berkisah tentang rangkaian peristiwa bersejarah yang terjadi
di Sungai Carang (Tanjungpinang) dengan suka-dukanya seraya
menyarankan upaya membangkitkan kebesarannya kembali pada
masa kini. Dengan mengembangkannya menjadi destinasi wisata dan
pelbagai pembangunan lainnya.

85
Kisah sejarah itu telah dirangkai dengan kehidupan masa kini dalam
puisi esai ini. Puisi ini diakhiri dengan kisah Purnama yang terbangun
selamat dari sungai. Ternyata suaminya hanya bercanda saat berkata
“aku terpaksa menikahimu.”

TIGA
Sahabat, puisi esai Irwanto Rawi Al Mudin “Smokel, Menyatu di
Selat Lalu Mendua” mengisahkan Yunus, pemuda pemberani yang me­
la­kukan perdagangan dari Kepulauan Riau ke Singapura tanpa doku­
men resmi. Sejak masih berstatus bagian dari wilayah Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang, Singapura menjadi bandar (kota) seka­
ligus pasar tujuan masyarakat Kepulauan Riau dalam aktivitas
perdagangan antarpulau. Dalam hal ini, masyarakat menjual hasil laut,
hasil hutan, dan hasil perkebunan ke pasar Singapura. Di Singapura
barang-barang yang dibawa itu ditampung oleh pedagang setempat.
Sepulangnya dari Singapura, masyarakat membawa barang-barang
keperluan sehari-hari seperti beras, gula, dan lain- lain, termasuk
pakaian, perabot rumah tangga, dan barang-barang elektronik
(pesawat radio dan televisi). Kegiatan yang disebut masyarakat
tempatan sebagai “berlayar” itu menggunakan sampan (perahu)
layar yang berkapasitas muatan (barang) 1—3 ton dengan muatan
orang 2—3 orang saja. Setelah Indonesia merdeka, Kepulauan Riau
menjadi bagian dari Negera Kesatuan Republik Indonesia, aktivitas
perdagangan antarpulau dengan kawasan Singapura (juga Malaysia)
tanpa dokumen resmi seperti itu menjadi terlarang. Akan tetapi,
masyarakat tak dapat dilarang untuk memenuhi keperluan bahan
makanan pokok mereka sehari-hari, kecuali ikan, yang memang
berlimpah di kawasan ini. Memang, ada kebijakan pemerintah
mendatangkan barang-barang keperluan sehari-hari seperti beras, gula,
dan sayur-mayur dari Pulau Sumatra dan Jawa ke Kepulauan Riau. Akan
tetapi, harga barang-barang itu jauh lebih tinggi daripada har­ga di
Singapura. Sejak itu, sekira tahun 50-an, aktivitas perdagangan antar­
pulau dengan tujuan Singapura, oleh masyarakat tempatan, disebut dan

86
dikenal dengan istilah smokel. Secara umum, kita mengenalnya dengan
istilah penyelundupan.
Setelah aktivitas berlayar ke Singapura tanpa dokumen resmi men­
jadi terlarang, para pesmokel harus berhadapan dengan polisi perairan,
patroli bea cukai, dan aparat. Dengan kata lain, jika melakukan aktivitas,
para pesmokel akan ditangkap dan diancam hukuman penjara. Namun,
sering juga terjadi permainan pungli (pungutan liar) dalam arti
pesmokel tak ditangkap. Sering pula terjadi peristiwa kejar-kejaran
antara kapal patroli perbatasan dan para pesmokel, bahkan sering
dilakukan penembakan. Ada juga pesmokel yang mati tertembak atau
perahu mereka tenggelam di laut. Ancaman lain yang juga sering
mengintai adalah terpaan angin ribut (topan) dan amukan gelombang.
Perahu kecil yang sarat muatan memang sangat riskan berhadapan
dengan terpaan angin ribut dan hempasan gelombang. Dalam pada
itu, tak jarang terjadi perahu- perahu pesmokel terlanggar (tertabrak)
oleh kapal-kapal kontainer yang berlalu-lalang di daerah perbatasan.
Pasalnya, perahu-perahu pesmokel berlayar pada waktu malam
dan tidak menggunakan penerangan apa pun. Jika menggunakan
penerangan mereka akan sangat mudah ditangkap oleh patroli laut.
Setelah barang-barang elektronik buatan Tiongkok dan Indonesia
serta barang-barang perabot rumah tangga yang didatangkan dari
Jakarta dan atau kota-kota lain di Pulau Jawa membanjiri pasar Kepulauan
Riau dan harganya mulai terjangkau oleh masyarakat, aktivitas smokel
tidak lagi membawa barang-barang seperti itu yang dibeli di Singapura.
Akan tetapi, barang-barang keperluan hidup sehari- hari tetap dibawa
karena harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan yang
dijual di pasar-pasar se-Kepulauan Riau, yang didatangkan dari Pulau
Sumatera dan Pulau Jawa. Smokel tidak dianggap kejahatan oleh
masyarakat Kepulauan Riau umumnya, karena mereka mengacu pada
keberadaan Kepulauan Riau dan Singapura pada masa lalu..
Dalam hal ini, tak ada pasar setempat yang membeli produk
masyarakat dengan harga yang sebanding dengan pasar Singapura. Den­
gan latar kehidupan smokel itulah, Irwanto menjalinkan kisah seorang

87
pemuda Kepulauan Riau, Yunus. Tak hanya suka-duka dan perjuangan
Yunus berniaga secara gelap (smokel) itu saja yang diceritakan, tetapi
juga kisah cinta Yunus terhadap Tini, gadis Singapura. Dara pujaannya
itu bukan pula sebarang gadis. Dia anak bos besar (orang yang
menampung barang-barang)-nya di Singapura. Batin pemuda pulau itu
berkecamuk. bahkan, dia sampai berniat kalau Tini menerima cintanya
dan direstui oleh ayahnya, smokelnya kali itu merupakan smokel
terakhirnya, yang untuk selanjutnya dia akan berkunjung ke Singapura
dengan menggunakan paspor pelancong (turis) untuk melamar Tini.
Sampai-sampai, karena cintanya, Yunus berniat juga untuk pindah
warga negara, menjadi warga negara atau sekadar penduduk tetap
Negeri Singa. Rupanya, Tini juga mencintainya. Setelah mengetahui
itu, Yunus berlayar dari Singapura menuju ke kampungnya. Namun,
apakah yang terjadi? Dalam perjalanan pulang, Yunus tenggelam di
laut: entah terlanggar kapal kontainer, entah sampannya tertembus
peluru aparat, entah tertelan gelombang malam; tak seorang pun
yang tahu. Anehnya, Tini masih beranggapan bahwa kekasih hatinya
itu masih hidup. Tini menunggu Yunus yang akan membawanya turun
dari rumah susun yang ditempatinya di Singapura untuk melancong
menikmati keindahan tempat-tempat di Kepulauan Riau atau di mana
pun berdua. Tak mungkin seorang Yunus, Si Pesmokel hebat dari pulau
itu, akan mudah tenggelam di laut. Tini percaya bahwa Yunus akan
muncul hidup di salah satu pulau..

EMPAT
Sahabat, puisi esai Jonni Pakkun “Batam Menjemput Masa Depan”
ini mengisahkan Ignatius warga asal Flores yang mengadu nasib di
Kota Batam, Kepulauan Riau. Kedatangan Ignatius ke Batam saat
pasca­reformasi. Dengan demikian, dia relatif baru menjadi penduduk
Batam jika dibandingkan dengan warga Batam lainnya. Pada tahun
1960, Batam menjadi basis logistik minyak bumi dan di Pulau Sambu
minyak itu berada. Satu dekade kemudian, Batam disulap mirip negeri
impian menjadi seperti negara tetangga, yaitu Singapura. Batam lalu

88
menjadi daerah industri didukung oleh Badan Otorita Batam, wilayah
itu bergerak serempak, bersolek, dan bergaya seperti Singapura.
Batam semula bernama Pulau Batang, nama itu dapat dilihat pada
sebuah peta pelayaran yang tersimpan di perpustakaan Universitas
Leiden. Pulau itu semula dihuni orang Laut atau Selat, ras suku asli
Batam, dan orang Melayu.
Batam tak hanya dikenal dalam era industri modern saja, tetapi
jauh sebelum itu. Pada masa Kerajaan Malaka, Batam merupakan
kawasan yang pengawasannya dipercayakan oleh Sultan Malaka
kepada Laksamana Hang Nadim, putra Hang Jebat dan menantu
Laksamana Hang Tuah, dua tokoh laksamana yang melegenda sebelum
munculnya Hang Nadim. Nama tokoh sejarah itulah yang digunakan
untuk nama bandar udara Batam, sebuah bandar udara terbesar kedua
di Sumatra. Selepas zaman Malaka, Batam berada di bawah Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang bersama-sama kawasan lain di Kepulauan
Riau, Riau, Singapura, dan sebagian Malaysia. Begitulah selanjutnya,
Batam memasuki masa Indonesia merdeka berada di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia bersama kawasan-kawasan wilayah
Kesultanan Riau-Lingga lainnya. Maka, Batam dikembangkan menjadi
pulau industri oleh Otorita Batam.
Kota Batam berbatasan di sebelah utara Selat Singapura, di se­
belah selatan Kecamatan Senayang Kabupaten Lingga, di sebelah timur
Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, dan di sebelah barat Moro,
Kabupaten Karimun. Sejak menjadi pulau industri, berdatanganlah
orang- orang dari seluruh Indonesia ke Kota Batam untuk mengadu
nasib di pulau harapan baru tersebut. Ramailah penduduk baru di
Pulau Batam, yang sebelumnya hanya dihuni oleh 6.000 jiwa. Pelbagai
fasilitas modern yang mendukung industri pun dibangun di Batam.
Konon pemerintah pusat tidak memiliki cetak biru (blue print) yang
jelas mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya sebagai kawa­
san yang letaknya di perbatasan.
Pembangunan Pulau Batam disesuaikan dengan kepentingan
penguasa di Jakarta, tanpa memperhatikan realitas kawasan dengan

89
kondisi masyarakat yang berbatasan langsung dengan negara Singa­
pura dan Malaysia. Pembangunan ekonomi politik di Pulau Batam
sebagai kawasan perbatasan berkonsekuensi negatif dengan berbagai
problematika yang tidak kunjung usai. Sejak reformasi digulirkan yang
berhasil menjatuhkan rezim otoriter dengan berbagai krisisnya, Pulau
Batam tidak banyak mengalami perubahan positif secara signifikan.
Bahkan muncul konflik baru dengan tampilnya arogansi daerah (atas
nama otonomi) berhadapan dengan pusat (atas nama sentralisasi).
Bergumulnya dua kekuatan tersebut, menyebabkan tidak produktifnya
perkembangan pembangunan di Pulau Batam sebagai kawasan
perbatasan.Batam juga menjadi tumpuan harapan orang-orang yang
berdatangan yang mengadu peruntungan dari hampir seluruh wilayah
di Indonesia seperti Ignatius yang berasal dari Flores. Suka-duka yang
dialami manusia yang mendiami pulau tersebut dalam berebut rezeki
memang tak terelakkan lagi. Alhasil, pembangunan Batam cenderung
membawa konsekuensi negatif dengan pelbagai masalah yang tak
kunjung selesai dan atau memang seperti tak mau diselesaikan.
Memasuki era MEA, Batam tak lagi memiliki daya tarik dari sudut
pandang investor, konon. Batam seolah-olah kalah dengan kawasan
lain yang memberikan pelbagai fasilitas yang lebih menguntungkan
investor. Kondisi itu semakin diperburuk dengan adanya dualisme
pengelolaannya: Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai kelanjutan
dari Otorita Batam di satu pihak dan Pemerintah Kota Batam di pihak
lain. Jadilah perkembangan Batam tak seindah harapan masyarakat,
khususnya masyarakat pendatang yang menyerbu Batam selama ini.
Bagi masyarakat asli Kepulauan Riau, perkembangan Batam memang
nyaris tak memberikan kontribusi apa-apa bagi mereka, kecuali
pelbagai masalah sosial.

LIMA
Sahabat, puisi esai Yuanda Isha “Gedabah Ibu” ini mengisahkan
perjuangan Engku Puteri Raja Hamidah menghadapi penjajah sekaligus
menghadapi persengketaan karena berebut kuasa di antara saudara-

90
saudaranya sendiri, yakni antara keturunan Melayu (dari dinasti Yang
Dipertuan Besar) dan keturunan Bugis (dari dinasti Yang Dipertuan
Muda). Dalam perjalanan hidup Engku Putri Raja Hamidah yang
dibesarkan di lingkungan para bangsawan, terdidik menjadi wanita
yang memiliki moral dan tanggung jawab tinggi terhadap daerah
kekuasaan keluarga dan rakyatnya. Engku Putri Raja Hamidah melihat
konflik yang mengakibatkan perang saudara di antara keluarga kerajaan
karena perebutan kekuasaan. Sampai sang ayahanda menghendaki
pernikahan Engku Puteri Raja Hamidah dengan Sultan Mahmud III.
Adapaun tujuan dari pernikahan tersebut ialah untuk meredam adanya
konflik dan jangan sampai terjadi pertumpahan darah sesama saudara.
Demi menghentikan perselisihan dalam kerajaan, semakin
rekatnya hubungan Melayu-Bugis khususnya, dan menjadikan kara­
jaan dalam keadaan damai, maka Sultan Mahmud Riayat Syah
memutuskan untuk menikah dengan Engku Puteri Raja Hamidah.
Dengan pernikahan tersebut, Engku Puteri Raja Hamidah sebenarnya
telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan dan politik. Dalam per­
nikahan kedua bangsawan tersebut, ada sesuatu yang sangat istimewa,
yaitu mahar berupa Pulau Penyengat. Sebagai istri Sultan atau Yang
Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor- Pahang, Engku Puteri
Raja Hamidah diamanahkan oleh suaminya untuk memegang Regalia
Kerajaan. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran kerajaan yang,
antara lain, digunakan untuk pengesahan penabalan (pelantikan)
sultan. Tanpa regalia penabalan seseorang sultan tidak sah. Regalia
juga merupakan simbol adat-istiadat dan menjadi simbol kerajaan.
Artinya, selagi masih ada regalia, Kesultanan Riau-Lingga masih eksis
dan pemegangnya merupakan penguasa yang sah. Dengan demikian,
oleh suami beliau, Engku Puteri Raja Hamidah diberikan tanggung
jawab yang besar. Beliau juga adalah putri Yang Dipertuan Muda IV
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, Raja Haji Fisabilillah, dan adik
Yang Dipertuan Muda VI, Raja Jaafar. Jabatan Yang Dipertuan Muda
merupakan jabatan yang setingkat di bawah sultan, orang nomer dua
dalam tata pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga. Pelbagai masalah

91
harus dihadapi beliau, termasuk harus ikut bersama rombongan aya­
h­anda beliau ketika berperang dengan Belanda ketika Raja Haji Fisa­
bilillah masih hidup dan Engku Puteri kala itu masih remaja. Dalam
konteks itulah, beliau tampil sebagai seorang Srikandi yang membela
marwah bangsa dan menyelamatkan keluarga besarnya.
Perjuangan Engku Puteri Raja Hamidah, pertama, ketika
menghadapi persengketaan karena berebut kuasa di antara saudara-
saudara, yakni antara keturunan Melayu (dari dinasti Yang Dipertuan
Besar) dan keturunan Bugis (dari dinasti Yang Dipertuan Muda).
Kedua, beliau harus berhadapan dengan kuasa asing, Belanda dan
Inggris, yang sesungguhnya pembuat skenario adanya pertikaian
saudara-saudara dan keturunan beliau. Di antara pertikaian itu
yang paling puncak sehingga Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang
harus terbelah dua terjadi antara Tengku Husin dan Tengku Abdul
Rahman, keduanya merupakan putra Sultan Mahmud Riayat Syah
atau anak tiri Engku Puteri sekaligus keponakan beliau. Untuk
mendapatkan regalia, Tengku Husin atau Sultan Husin Syah dilantik
oleh Inggris menjadi Sultan Singapura dengan menggunakan taktik,
yakni berupaya menyogok ibundanya itu dengan uang. Tujuannya
tiada lain supaya penabalan Tengku Husin sebagai Sultan Singapura
menjadi sah menurut adat-istiadat Diraja Melayu. Tentulah upaya
Tengku Husin dan Inggris itu dikutuk keras oleh Engku Puteri dan
beliau tak bersedia menyerahkan regalia kepada Tengku Husin dan
Inggris. Dalam pada itu, dengan tujuan mendapatkan regalia un­
tuk menyokong penabalan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I
menjadi Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang bertahta di Lingga,
Be­landa mengepung istana Engku Puteri Raja Hamidah di Penyengat
Indera Sakti. Bahkan, tentara Belanda menodongkan senjata kepada
beliau untuk mendapatkan benda keramat itu secara paksa. Dengan
tegar, beliau juga menolaknya dan mempersilakan tentara Belanda
menembaknya. Regalia akhirnya diperoleh juga oleh Belanda setelah
dilemparkan oleh Engku Puteri dari tingkap (jendela) istana beliau,
yang menurut beliau, begitu benda sakti itu diambil secara paksa

92
darinya, apalagi setelah dilempar beliau, tuahnya tiada lagi. Oleh
karena ketegaran, keteguhan hati, dan perjuangan gigih beliau dalam
menjaga keutuhan bangsanya serta keberanian beliau melawan
campur tangan pihak asing dalam pemerintahan negerinya, keteladan
Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah tetap dikenang
oleh orang Melayu sampai sekarang ini. Nama beliau senantiasa
harum dan dianggap sebagai satu di antara tokoh perempuan yang
paling hebat dan perkasa dalam sejarah Kesultanan Riau-Lingga-
Johor-Pahang. Makam beliau di Pulau Penyengat Indera Sakti setiap
hari dikunjungi orang dari pelbagai penjuru negeri dan senantiasa
mengesankan aroma semerbak wangi.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Sergam menggambarkan kehebatan ma-
nusia yang dapat dijadikan contoh kehidupan modern. Ketenaran pe-
nguasa kerajaan Melayu dalam menjaga kedaulatan negeri melawan
penjajah menjadi cermin kehidupan kita agar tidak dengan mudah
menyerahkan kekayaan kepada negara lain. Dengan cerita yang
menarik digambarkan pula bahwa seorang anak menuntut haknya
sebagai pewaris kerajaan kerajaan Johor. Hal seperti itu ada hingga
sekarang. Kegigihan seseorang dalam menggapai cita tercermin pada
cerita ini. Namun, kehebatan, kegigihan, dan kebesaran di masa lalu
ternyata tak bisa dipertahankan oleh masyarakat Indonesia di masa
kini. Ada yang dilupakan dalam membangun negara dan bangsa oleh
pemerintah, yaitu sejarah bangsa.

93
Mencari Harta
Mengatasnamakan Pembangunan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI JAMBI

Judul Buku : Raja Alam Barajo


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 134 halaman
Penulis : Ansori Barata, Arza S., Heri Mulyadi,
M. Rawa El Amady, Parmadi,
Putra Agung
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-01-9

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai enam kisah masyarakat Jambi menghadapi
pem­­bangunan. Masyarakat mengalami kegagalan dalam mengikuti
arus pembangunan karena mereka telah terbiasa mendapatkan sesuatu
dengan mudah. Alam berlimpah menyediakan kebutuhan hidup manusia.
Ada segelintir manusia yang serakah sehingga menguasai alam dengan
mengabaikan lingkungan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Pemimpin yang adil.
 Tidak tersentuh pembangunan.
 Buruh kelapa Parit Seribu.
 Damai di belantara.
 Konflik tak ada solusi.
 Pejabat mengecewakan.

SATU
Sahabat, puisi esai Ansori Barata “Akhirnya, Kita Akan Sampai
pada Kehidupan yang Wajar” menceritakan sekelompok masyarakat
yang tidak terpengaruh pada kekuasaan. Mereka mencari jalan untuk

94
mewujudkan kehidupan demokrasi yang baik. Provinsi Jambi gempar
dengan berita Operasi Tangkap Tangan KPK pada anggota dewan
dan beberapa pejabat daerah. Upeti diserahkan oleh pejabat daerah
untuk anggota dewan agar segera mengesahkan berkas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.Masyarakat lega karena penangkapan
itu merupakan cara membersihkan negara dari tindakan korupsi.
Jambi adalah tanah Melayu yang damai dengan sungai Batanghari
mengalir di wilayhanya menuju lautan. Jambi, negeri yang tanahnya subur.
Berbagai suku hidup damai, memeluk keyakinan masing-masing tanpa
tekanan. Itulah sebabnya pemilu atau pilkada yang diselenggarakan
selalu tertib dan aman. Sayangnya, para pemimpin yang mengelola
pemerintahan tidak memperhatikan kehidupan rakyat, hingga rakyat
Jambi tidak dapat menikmati kekayaan hasil alam, seperti buah kelapa,
pinang, kayu-kayu hutan, dan batu bara. Para pimpinan dan wakil rakyat
hanya memperkaya diri. Di Jambi inilah cerita diawali dengan informasi
yang dikatakan Ahmad bahwa tuannya ditangkap KPK. Ahmad pekerja
kuli bangunan pada seorang Tuan Roni. Ia mengerjakan sebuah
bangunan yang diperintahkan oleh Tuan Roni. Ia menggantungkan
hidup pada Tuan Roni. Siapa bisa menduga malang? Tuan Roni ditang­
kap KPK. Banyak pekerjaan ditunda dan rencana renovasi kamar
mandi Tuan Roni dibatalkan. sendiri. Ahmad kebingungan memikirkan
nasib anak dan istrinya. Mereka tidak menyangka bahwa tuan sumber
penghasilan keluarganya akan ditangkap. Itu berarti hidup keluarga
Ahmad akan semakin susah. Jika melihat perkembangan pembangunan
infrastruktur di Jambi, tidak ada yang salah dalam pemerintahan ini.
Jalan-jalan dan gedung-gedung dibangun. Pasar Angso Duo, pasar
tradisional rakyat yang diubah menjadi pasar modern. Satu sisi
pembangunan ini bergerak secara cepat tanpa kesiapan masyarakat
untuk beradaptasi, karena budaya dagang yang terbentuk di pasar
tradisional sudah berlangsung sejak lama. Begitu juga banyaknya mal
yang dibangun di Jambi, dikhawatirkan akan mematikan pedagang
kecil. Kompetensi SDM pelayanan masyarakat masih harus ditingkatkan
mengikuti pembangunan di berbagai bidang.

95
Mungkin Pemilu langsung telah mengakibatkan praktik korupsi
para legislatif maupun pemberian hadiah atau gratifikasi di wilayah
eksekutif. Anggota dewan harus mengembalikan modal pemilu yang
telah mereka lakukan. Mereka harus mengembalikan utang yang
digunakan untuk pelaksanaan kampanye dirinya pada Pemilu yang
sudah berlangsung itu secepatnya. Jalan yang paling mudah dan
cepat yaitu melakukan korupsi. Rakyat mengharapkan pemimpin
yang adil dan tidak mengadili rakyat. Pemimpin harus mendahulukan
kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Hal ini hanya
semacam utopia yang tidak akan pernah terjadi. Berkuasa adalah hal
yang menggiurkan, tetapi siapa yang dikuasai seharusnya diingat
oleh yang berkuasa. Kedudukan yang didapat oleh yang berkuasa
itu adalah hasil gerakan yang dilakukan oleh orang yang dikuasai.
Sesungguhnya, apa yang diungkapkan banyak pihak, jika pemilu
langsung memiliki daya rusak sangat hebat menjadi benar. Jual beli
suara sudah tidak menjadi rahasia umum. Baik dalam pemilihan kepala
daerah maupun pemilihan legislatif, hampir merata terjadi di seluruh
penjuru Indonesia dengan istilah serangan fajar. Sistem demokrasi
pemilihan umum (pemilu) langsung berpotensi merusak moral bangsa.
Pasalnya pemilu langsung membuat orang-orang yang ingin meraih
kekuasaan melakukan segala cara. Daya rusak ini dimungkinkan
oleh sistem pemilu yang bermodal besar mengakibatkan usaha
pengembalian modal dengan praktik cepat dan lewat jalan yang
melawan hukum. Lepas dari itu, demokrasi terus berjalan. Kehidupan
rakyat sebagai pilar utama demokrasi juga berjalan. Seadanya dan
dengan keadaan yang ada, penuh ketimpangan dan sebagian sungguh
miris, sebagian lain penuh dengan kemewahan.

DUA
Sahabat, puisi esai Arza S. “Sekoja, Tak Goyah Digoda Cantik
Kota” mengisahkan wilayah Seberang Kota Jambi yang biasa disebut
Sekoja. Nama Sekoja diubah oleh Pemerintah Daerah menjadi
Jambi Kota Seberang. Dinamakan seberang, oleh karena daerah ini

96
terbagi dua oleh Sungai Batanghari dan letaknya berseberangan
dengan perkantoran pemerintahan Jambi. Sekoja belum tersentuh
pembangunan di Provinsi Jambi. Kampung tua ini dihuni oleh orang
asli Melayu Jambi beserta adat istiadatnya. Konon, mereka berasal
dari Jazirah Arab. Di Sekoja ada peninggalan benda bersejarah yang
masih bertahan dan terjaga baik dari gerusan zaman. Bangunan di
perkampungan tradisional asli Jambi tidak ada gedung tinggi, apalagi
mal. Di situ hanya ada rumah-rumah panggung khas Jambi. Cukup
waktu 10-15 menit menggunakan getek menuju Seberang Kota
Jambi dengan ongkos penyeberangan untuk tukang getek, seharga
Rp2.000-Rp5.000 menyeberang Sungai Batanghari. Di Sekoja masih
ada Rumah Batu, yang konon merupakan bekas istana kesultanan.
Suasana Islam amat kental di wilayah Sekoja yang hampir tidak
tersentuh pembangunan itu. Pemerintah tidak memperhatikan
kondisi masyarakat di daerah itu. Sepanjang ruas jalan Sekoja masih
tergenang air kala hujan. Kendaraan yang melewati wilayah itu tidak
bisa lancar melaju. Harus hati-hati karena banyak lubang-lubang di
tengah jalan. Tidak ada bangunan bertingkat dari beton dan kaca.
Rumah-rumah panggung zaman kuna masih menghiasi sepanjang
kampung. Ada rumah panggung nyaris roboh. Pemerintah selalu
berkampanye: tradisi harus dilestarikan. Mengapa tidak ada sentuhan
pembangunan di wilayah itu?
Sekoja tak pernah berganti wajah. Irna tinggal di Sekoja. Pagi
hari ia bekerja di toko, siang sekolah, dan sepulang sekolah ia bekerja
kembali di toko hingga malam. Gadis Sekoja dididik agama ketat dan
setiap hari mengaji. Sekoja dihuni oleh keturunan Arab Melayu. Menurut
cerita, masyarakat Seberang Kota Jambi berdarah Arab. Mereka datang
ke sini mulanya untuk menyebarkan Islam. Mereka hidup sehari-hari
sebagai pedagang. Para pedagang itu sudah hidup berabad-abad di
tanah Jambi. Beranak-pinak, hingga layak disebut pribumi: Arab Melayu
atau Melayu Jambi. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung di tepian
Sungai Batanghari yang tumbuh begitu cepat bangunan rumahnya.
Sehari-hari mereka menaiki perahu atau gethek untuk ke pasar ataupun

97
ke kampung lain. Perahu itu bersuara klotok-klotok, lalu menjadi
sebutan perahu klotok. Perahu ini akan menyeberangkan orang atau
menyusuri Batanghari hingga ke hilir ataupun hulu. Sejak jembatan
Gentala Arasy dibangun, perahu-perahu klotok dan gethek nyaris tidak
berfunsi lagi untuk menyeberangkan orang di sungai Batanghari.
Warga memilih melewati jembatan, meskipun harus berjalan kaki
lima ratus meter. Mereka berjalan sambil menikmati pemandangan,
menyaksikan perahu-perahu lalu-lalang, kepulan asap dari cerobong
pabrik, atau para wisatawan berfoto di selasar jembatan. Walaupun
sudah dibangun Jembatan untuk menyeberangi sungai Batanghari,
warga merasa bahwa mereka dianggap warga pinggiran yang berada
di seberang sungai. Di seberang lainnya gedung-gedung perkantoran
menjulang tinggi, jalan di depan gedung-gedung itu diaspal halus.
Jika melihat pembangunan itu dan menengok ke seberang sungai
Batanghari, seakan kampung itu ada di seberang kota Jambi. Bukan
karena berada di seberang, lalu dianggap sebagai orang pinggiran atau
terasing. Mereka warga Kota Jambi juga, hanya berumah di seberang
terpisah oleh Sungai Batanghari. Akhirnya pemerintah mengubah nama
Seberang Kota Jambi menjadi Jambi Kota Seberang. Dengan nama
itu, pemerintah berharap warga Sekoja tidak merasa menjadi warga
pinggiran. Sebuah boks neon dipasang bertulis Jambi Kota Seberang.
Banyak yang mengkritik hal itu karena masyarakat sudah terbiasa
dengan nama Sekoja untuk wilayah itu. Sungai Batanghari di atasnya
dibangun jembatan Gentala Arasy. Di sekitar jembatan dipenuhi penjual
makanan dan sovenir. Seberang Kota Jambi ingin menjaga tradisi adat
turun-menurun. Masih dipertahankan rumah-rumah panggung, surau,
masjid, dan halaqah yang setiap malam digelar. Hal itu dilakukan untuk
menjaga agar tidak hilang tradisi karena datangnya budaya asing.
Sekoja, Kecamatan Pelayangan ini sering disebut sebagai kampung
santri. Sekoja menjadi sebuah kampung tua dihuni asli Melayu Jambi
beserta adat istiadatnya. Juga sebagai tempat peninggalan benda
bersejarah yang tidak tergerus oleh pembangunan. Ada sanggar batik
Jambi di daerah itu dan beberapa kios penjual makanan khas Jambi.

98
TIGA
Sahabat, puisi esai Heri Mulyadi “Bertaruh Nyawa di Parit Seribu”
menceritakan kehidupan pemanjat kelapa di KualaTungkal, Tanjung
Jabung Barat, Jambi. Kuala Tungkal dan Tanjung Jabung kadang
disebut sebagai “pulau kanal seribu”. Hal tersebut lantaran kedua
wilayah itu dikepung sejumlah sungai dan laut yang terhubung oleh
kanal-kanal satu sama lain. Parit Seribu adalah sebutan yang tidak
populer di kalangan warga karena mereka lebih banyak menyebut
Tungkal saja. Warga membangun parit-parit itu sebagai bagian dari
teknik budidaya kelapa yang telah lama mereka kenal sejak zaman
Belanda, guna meningkatkan produktivitas kebun-kebun mereka.
Selain sebagai penyubur dan penggembur tanah, parit-parit ini juga
berfungsi sebagai sarana memudahkan mobilitas pemindahan buah
kelapa saat panen dari lokasi kebun di pedalaman ke luar, karena
tidak semua lokasi kebun terhubung ke akses jalan darat. Parit Seribu
juga akrab disebut Kanal Seribu.
Pada musim hujan, panen kelapa lebih sulit dilakukan karena
batang-batang kelapa lebih licin bagi buruh pemanjat batang kelapa.
Para pemanjat kelapa kebanyakan keturunan orang Banjar yang
datang ke Jambi.Tersebutlah salah satu penduduk bernama Sapar
yang menetap di Parit 17 Desa Sungai Nibung, Kecamatan Tungkal
Ilir, Tanjung Jabung Barat. Sapar lahir di Banua Anyar, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan pada 15 April 1980. Ia menjadi anak yatim saat
berusia 10 tahun. Kemudian ia bermigrasi ke Parit Seribu pada umur
15 tahun. Sapar sekarang sudah menikah dan mempunyai anak. Istri
Sapar bernama Rusti yang sedang mengandung anak keempat. Anak
sulungnya berusia 10 tahun. Mereka hidup sederhana di tepian kanal.
Sapar bekerja sebagai buruh pemanen kelapa.
Sapar pagi itu menyiapkan pompong untuk ke hulu Parit 17
setelah tiga hari tak bisa bekerja karena cuaca hujan. Sapar bekerja
pada Nursam, agen besar pengumpul kelapa yang mempekerjakannya
selama empat tahun terakhir ini. Nursam berasal dari Lampung Timur.
Sebagai agen besar pembeli kelapa untuk tujuan ekspor, ia membeli

99
kelapa dari banyak tempat. Salah satunya, kelapa dari daerah Tanjung
Jabung Barat, Jambi. Sejak tiga hari lalu, Nursam berpesan agar Sapar
segera membereskan panen kelapa di kebun Haji Zuhdi. Sapar harus
memetik buah kelapa di kebun Haji Zuhdi seluas 20 ha kebun bersama
lima buruh lain. Lokasi dari tempatnya tinggal Sapar berjarak sekitar 20
kilometer ke hulu parit tempat kebun Haji Zuhdi berada. Sekitar satu
jam Sapar menyusuri parit yang terhubung dengan beberapa sungai
kecil menuju lokasi kebun kelapa Haji Zuhdi. Ia dan kelompoknya segera
memanjat pohon kelapa dan memetic buahnya. Usai menjatuhkan buah
terakhir, Sapar meluncur turun dari batang kelapa yang masih lembab
itu. Ia memberi aba-aba agar kawan-kawannya segera mengumpulkan
buah yang sudah jatuh dan menghanyutkan ke tempat pengupasan.
Mereka berpacu dengan hujan yang kemungkinan segera turun. Sapar
menyudahi panen siang itu walau masih banyak pohon lain belum
dipanjat. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Sapar dan lima rekannya
masih bergelut dengan buah-buah kelapa. Beruntung, meskipun langit
mendung hingga sore itu tapi hujan tidak turun. Mereka masih ada
waktu membereskan hasil panen hari itu hingga tuntas. Teknik budidaya
kelapa di daerah Tanjung Jabung Barat terhitung sudah cukup maju.
Di samping menggunakan teknologi parit untuk meratakan distribusi
air, mereka juga menanam pohon-pohon secara teratur, berbaris rapi,
sehingga memudahkan kontrol terhadap pohon-pohon yang siap panen.
Para pemanjat kelapa cukup menentukan dari baris mana mereka mulai
memanjat, dan berapa baris yang menjadi tugas mereka. Para buruh
pemanjat kelapa biasa memanen buah kelapa dari hulu parit. Buah-
buah yang jatuh mereka kumpulkan di lokan parit dalam keadaan utuh
belum dikupas lalu mereka hanyutkan ke hilir parit untuk selanjutnya
didaratkan lalu dikupas kulitnya. Dalam satu hari, satu pekerja bisa
mengupas hingga 1.500 butir buah kelapa. Kelompok buruh pemanjat
kelapa biasa menggunakan dua jenis pompong; pompong berukuran
kecil untuk hilir mudik dari rumah ke lokasi kebun, pompong berukuran
lebih besar—biasa ditambat di muara anak sungai, untuk mengangkut hasil
kelapa yang dipanen, setelah dikupas. Apabila air sungai surut, para

100
pemanjat dan pemetik kelapa tak bisa mengayuh pompon, lalu mereka
istirahat sampai air pasang. Sapar begitu terkejut saat mendapati kanal
yang biasa dia lalui dengan pompong sederhananya itu tiba-tiba surut.
Pompong sarat muatan kelapa itu pun kandas. Hari mulai gelap. Padahal
ia tengah berburu waktu melarungkan bawaannya ke kota demi me­
ngum­pulkan upah untuk persalinan Rusti. Sapar minta izin pulang kepa­
da teman-temannya lebih dulu karena istrinya akan melahirkan. Sapar
terlambat sampai di rumah. Istrinya meninggal karena pendarahan
saat melahirkan. Sapar sangat berduka tetapi ia harus tetap memanjat
pohon-pohon kelapa untuk biaya hidup anak-anaknya.

EMPAT
Sahabat, puisi esai M. Rawa El Amady “Sanak” memaparkan suku
terasing di hutan. Penduduk kampung menyebut mereka “sanak”. Mereka
lebih senang dipanggil Orang Rimba, manusia hutan. Mereka suku asli
yang ada di Jambi dan Rawas. Sering disebut Suku Kubu, Suku Anak
dalam dan Suku Rimba. Sebagai warga yang bersentuhan dengan suku
asli ini, hubungan suku asli dengan warga dusun berjalan harmonis
dan saling mengerti. Warga desa memanggilnya Sanak, begitu juga
sebaliknya. Warga dusun sangat menjaga perasaan dan hormat, karena
suku asli ini dikenal sakti. Jika warga desa salah bertindak bisa-bisa
warga tersebut ikut dengan mereka dan menjadi anggota komunitas
mereka, yang sering disebut Suku Kubu di belakang mereka.
Sekarang suku asli ini terpinggirkan, hutan tempat habitat aslinya
diambil oleh perusahaan pulp, perkebunan sawit, taman nasional,
transmigrasi, dan peladangan warga setempat. Mereka menumpang
di kebun sawit dan dianggap sebagai penganggu serta hama bagi
pemilik kebun. Pemerintah dan LSM menjadikan mereka sebagai
objek dari program pemerintah dan LSM. Bahkan dipolitisasi demi
mendapat citra untuk dukungan politik. Nasib suku asli ini memang
getir. Semakin hari semakin berkurang dan hanya menunggu punah.
Warga desa di tepi hutan hidup berdampingan dengan suku
asli yang tinggal di hutan yang telah menjadi perkebunan kelapa

101
sawit atau taman nasional. Mereka berumah di tempat itu. Rumah
mereka (sanak) bernama sudung, bertiang tinggi 4 meter, beratap
rumbia, tanpa dinding. Pada masa lalu sudung berupa pohon kayu
besar. Sudung adalah rumah, atau pondok di dalam hutan lebat yang
berisikan keluarga inti yang masih kecil. Jika anak sudah mandiri,
mereka akan memisahkannya dari keluarga inti dan membangun
sudung tersendiri yang jaraknya berjauhan antara sudung yang satu
dengan sudung yang lain. Beberapa sudung berdiri di jalan setapak
desa atau di dekat kebun sawit. Tak ada lagi hutan tempat mereka
berdiam. Bila musim berladang di desa tiba, sanak membantu tanpa
diminta. Mereka diberi makan dan ketika pulang diberi buah tangan
oleh penduduk kampung. Warga tidak pernah mengajak Suku Anak
Dalam ini membantu kerja di ladang, mereka inisiatif sendiri. Idiom
Anak Dalam yang mereka yakini, bahwa hutan milik semua bukan
milik seseorang. Sehingga apa yang ada di hutan boleh diambil tanpa
batasan dan tetap dengan menjaga alam untuk kelanjutan makan.
Ada juga sebutan Orang Terang, yaitu sebutan Suku Anak Dalam
terhadap orang luar yang hidup menetap di desa dan di kota, yang
dianggap semuanya beragama Islam, dan tidak makan makanan
haram seperti Orang Rimba. Di hutan, Sanak berdiam dan mencari
makan hasil hutan berupa madu, manau, rusa, atau rotan. Semua itu,
oleh mereka ditukar dengan beras, bumbu dapur, hingga pakaian
pada penduduk desa atau mereka pergi pasar. Mereka menganggap
itu semua hasil dari hutan milik Tuhan. Sanak disebut orang Kubu,
yang artinya tangguh kuat bertahan dan senang pada kebebasan.
Mereka keberatan disebut orang Kubu, karena dimaknai sebagai
orang yang terbelakang, jorok, dan bau. Mereka lebih suka dipanggil
Orang Rimba atau suku Anak Dalam. Pemerintah membuat program
pemberdayaan, mengeluarkan sanak dari hutan. Sanak diberi rumah
berlantai semen beratap seng. Mereka kelaparan tidak dapat berburu
dan menangkap ikan. Akhirnya sanak kembali ke hutan. Sanak merasa
damai di hutan belantara, terhindar dari keramaian, kebisingan, dan
keserakahan.

102
LIMA
Sahabat, puisi esai Parmadi “Bungku: Belenggu Kisah Yang
Tak Berurai” bercerita tentang Desa Bungku, Kecamatan Bajubang,
Kabupaten Batanghari yang mengalami konflik karena tanah adat
dialihfungsikan ke lahan poduksi negara. Desa ini berbatasan
langsung dengan hutan sebagai sumber kehidupan. Situasi mulai
berubah akibat adanya hak pengusahaan hutan yang dilegalisasi
oleh pemerintah. Keberadaan penduduk asli yang menghidupi dirinya
dengan sumber daya hutan yang diakui secara adat bukanlah sebuah
kebetulan. Sementara sumber daya itu kemudian menjadi milik negara
dan bersifat terbuka bagi semua orang. Adapun konflik yang tercipta
lebih didasarkan pada tuntutan akan pengakuan tanah adat dan lahan
masyarakat secara hukum. Inilah yang ternyata menjadi persoalan
inti penyelesaian yang berlarut-larut. Perbedaan kepentingan dengan
saling melemparkan bukti atas dokumen kepemilikan sumber daya,
antara perusahaan dan penduduk asli berujung pada terciptanya
konflik berkepanjangan. Penduduk asli yang awalnya diam, selanjutnya
berontak berkelanjutan. Akibatnya timbul korban intimidasi, pengusiran,
pembakaran dan penyerobotan atas hak adat yang tidak terelakkan.
Pada tahap ini, penduduk asli masih tetap berkeyakinan bahwa di lahan
dan sumber daya yang dipersengketakan, ada bagian dari hak milik
mereka sesuai bukti adat yang dimiliki desa. Piagam Bokor merupakan
salah satu dokumen dasar bagi penduduk asli yang akan tetap menjadi
akar perjuangan mengembalikan harga diri sebagai anak negeri di
Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Pada kenyataan
bahwa hutan rimba desa tidak bisa dipertahankan lagi dan hak milik
serta hak asasi masyarakat asli tidak diakui.
Terkisahlah pondok rampok Bungku,yaitu permukiman masya­
rakat yang berada di sepanjang tepian anak sungai. Bungku adalah
nama desa tua di wilayah hutan HPH Asialog dulu dan Hutan Senami.
Zaman dahulu, Depati Sinding Ikan Tanah punya anak bernama Bayan
Lais dan Bayan Riu. Sang cucu menikah dengan Semikat pendatang
dari Penukal Abad di Sumatera Selatan. Mereka mempunyai anak

103
bernama Depati Djentik. Mereka mendirikan rumah huma, rumah
di kebun yang dinamai Temidai. Mereka hidup damai di tengah
pepohonon dan rindangnya dedauan pohon bulian. Pohon bulian itu
biasa dijadikan bahan bangunan dan bernilai ekonomis tinggi serta
tahan lama. Itu terjadi beratus tahun yang lalu dan kemudian kini
menjadi hutan tanaman rakyat Senami. Keturunan Depati Sinding Ikan
Tanah pergi mendirikan rumah di pondok rampok di tepian sungai
di Bungku. Setelah pondok rampok ramai, ia kemudian pergi dan
menetap di pondok yang baru yang damai di tengah menjulangnya
pohon-pohon pinang dengan warna kuning merah dan lebat berbuah.
Hunian baru itu bernama pondok rampok Pinang Tinggi yang berada
dalam wilayah dusun Kunangan Jaya desa Bungku. Pemerintahan
Marga Pinang Tinggi bagian Marga Batin 9 menguasai aliran
sembilan anak sungai yang bermuara ke Batanghari. Depati Kelelek
sang penguasa menentukan wilayah adat yang tercatat untuk anak
keturunan. Hingga kini tersimpan dan terjaga rapi, harta bernama
Piagam Bokor. Masa berubah, zaman berganti, pondok rampok Pinang
Tinggi menjadi saksi. Kemudian datanglah tragedi akibat keserakahan
manusia. Lahan baru dibuka tanpa kompromi. Tanah adat yang sudah
terhuni diambil oleh orang luar mengaku hak resmi atas nama negara
dan modernisasi teknologi untuk lahan produksi. Atas nama negara
ada konsensi yang tidak dimengerti bagi orang asli Pinang Tinggi.
Tahun 1990, tanah adat berubah menjadi tanah konsesi. Warga
lalu membuat pemukiman di areal konsesi agar tanah tidak hilang.
Penduduk melakukan protes merebut hak waris dengan bermukim di
areal konsesi. Lahan di pinggir kawasan hutan bukan lagi tanah adat
yang dapat ditanami pohon karet, rambutan, atau cempedak. Tanah
itu milik perusahaan negara. Penduduk protes dengan situasi itu.
Abbas Subuk dan Tumenggung Amar memimpin perlawanan, akhirnya
mereka ditangkap dan dipenjara. Selepas dari penjara Tumenggung
Amar melihat kebun karet miliknya digilas buldoser. Ia terguncang
jiwanya. Orang-orang desa menemukan tubuhnya tergantung di
pintu. Konflik Desa Bungku itu hingga kini tak ada solusi. Warga desa

104
Bungku menjadi buruh di lahan milik mereka dengan upah di bawah
upah minimum provinsi.

ENAM
Sahabat, puisi esai Putra Agung “Raja Alam Barajo” bercerita
tentang pejabat di Provinsi Jambi yang melakukan tindakan korupsi.
Empat pejabat Jambi tertangkap OTT KPK. Selasa, 28 November 2017,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring beberapa pejabat
dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). KPK juga menyita uang miliaran
rupiah yang diduga berkaitan korupsi “uang ketok” pengesahan APBD
2018. Empat orang dinyatakan tersangka, Gubernur Jambi, Zumi
Zola ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima hadiah
atau janji (gratifikasi). Seharusnya seorang pemimpin, baik eksekutif
maupun legislatif yang mewakili Alam Barajo, yaitu tingkatan tertinggi
dalam pemerintahan di Jambi secara adat, idealnya memberikan
teladan dan menjadi tempat berlindung masyarakatnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring sejumlah
pejabat Jambi dalam operasi tangkap tangan KPK yang berlangsung
Selasa, 28 November 2017 di dua tempat yaitu di Jambi dan Jakarta.
Dalam peristiwa ini, sebanyak 16 orang terjaring dalam OTT KPK
tersebut. Mereka berasal dari unsur DPRD, pejabat Pemerintah
Provinsi Jambi, serta pihak rekanan swasta. Komisi Pemberantasan
Korupsi menyita total uang sekitar 4,7 miliar rupiah dalam OTT ter­
sebut sebagai barang bukti permulaan dalam dugaan korupsi “uang
ketok” pengesahan APBD 2018 ini. KPK telah menetapkan empat
tersangka kasus dugaan korupsi penerimaan suap terkait dengan
pembahasan dan proses Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) 2018 Pemerintah Provinsi Jambi. Keempat orang yang
ditetapkan KPK yaitu anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2009-
2014 Supriono, Plt Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Erwan Malik,
Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Jambi Arfan,
dan Asisten Daerah Bidang III Pemerintah Provinsi Jambi Saipudin.
Meski ada permintaan uang pelicin tersebut, KPK menyebut tidak

105
ada laporan sama sekali dari pihak Pemprov Jambi. Tindakan suap ini
merupakan kesepakatan kedua belah pihak, bukan tindak pemerasan
dari anggota Dewan. Hingga saat ini, kasus korupsi “dana ketok
palu” masih terus bergulir dan telah memasuki tahap persidangan
di Provinsi Jambi. Dari pengembangan kasus ini, Gubernur Jambi,
Zumi Zola juga telah ditetapkan sebagai tersangka KPK dalam kasus
gratifikasi sejak 24 Januari 2018. Dia diduga menerima hadiah atau
janji (gratifikasi) sebesar 6 miliar rupiah terkait proyek-proyek di
Jambi. KPK menyebut Zumi Zola menerima gratifikasi bersama-sama
dengan Plt Kadis PUPR Provinsi Jambi nonaktif Arfan.
Bujang dan Zaitun merasa kecewa dengan kejadian OTT KPK
ini. Banyak janji dalam kampanye yang dilakukan para pejabat
yang belum ada realisasinya. OTT KPK menjadi pembelajaran yang
berharga bagi masyarakat yang selama ini kerap tertipu dengan janji-
janji politik selama kampanye. Kejahatan korupsi itu telah mereka
jadikan pelajaran, agar kelak tidak salah memilih pemimpin di Jambi.
Sebagai seorang guru honor di sebuah sekolah, Bujang hidup penuh
kekurangan. Setiap bulan mengajukan kasbon bulanan sebelum gaji
turun. Ketika gaji turun akan dipotong kasbon dan uang sisa potongan
itu tidak cukup untuk hidup sebulan, Kembali ia akan melakukan
kasbon bulanan lagi untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Bujang sangat heran, mereka yang sudah kaya raya seperti itu masih
juga kekurangan hingga tertangkap KPK. Demikian mudah mereka
korupsi seakan yakin tidak akan mati meninggalkan belang dan caci
maki. Bujang juga heran, mengapa orang-orang itu berpidato sebulan
sekali di hadapan Bujang dan guru honor lainnya berkata tentang
kejujuran, transparansi, dan etos kerja. Bujang guru honor hidup
kekurangan merasa kecewa kepada pejabat yang berpidato tentang
kejujuran, transparansi, dan etos kerja. Para pejabat itu berkhianat
pada rakyat. Ada 4,7 miliar rupiah diamankan KPK dari jumlah yang
seharusnya 6 miliar rupiah.
Uang suap rekanan Pemprov Jambi itu untuk anggota DPRD
Provinsi Jambi menghadiri rapat pengesahan RAPBD Jambi 2018.

106
KPK menyebut Zumi Zola menerima gratifikasi bersama dengan Plt
Kadis PUPR nonaktif Arfan yang telah ditangkap KPK bersama-sama
Plt Sekda nonaktif Erwan Malik, Asisten Daerah III nonaktif Saifudin,
serta anggota DPRD Supriono. Zaitun dan Bujang berselisih paham
tentang mengapa mereka dahulu memilih pimpinan yang korup.
Zaitun ingat saat akan masuk ke bilik pemilihan suara, suaminya
mengingatkan untuk mencoblos calon pemimpin yang itu. Bujang
yakin, mereka akan memberikan kesejahteraan kepada rakyat.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Raja Alam Barajo ini merupakan hasil
tulisan enam penyair dari Provinsi Jambi yang mengamati kehidupan
sosial masyarakat. Enam permasalahan yang menjadi sumber penulisan
muaranya kepada pengungkapan kemiskinan rakyat Jambi yang dipicu
oleh pejabat Provinsi Jambi yang tidak amanah dalam mengelola
pemerintahan. Kemiskinan menjadi persoalan utama dalam kehidupan
berbangsa. Enam penyair menuangkan kepeduliannya atas kehidupan
ke dalam puisi esai dengan berbagai tema, yaitu pengungkapan pejabat
yang korupsi, penguasaan lahan tanah adat, pembangunan yang
tidak merata, dan pelestarian lingkungan kehidupan. Seluruh tulisan
mempertanyakan andil pemerintah daerah dalam menyejahterakan
masyarakatnya. Pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyatnya
yang miskin.

107
Gejolak Sosial Menyentuh
Relung Hati Manusia
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SUMATRA SELATAN

Judul Buku : Suara-Suara yang Terbungkam


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 147 halaman
Penulis : Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu,
Eko Sulistianto, Linny Oktovianny,
Tarech Rasyid
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-09-5

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima puisi esai tentang rakyat kecil. Tentang
tuntutan pembayaran gaji, penutur cerita yang tidak bercerita lagi,
maling pasar menjadi orang upahan, perampok di luar desa, dan
petani meminta sawahnya. Semuanya tentang rakyat yang berusaha
hidup dan diabaikan pemerintah.

LIMA INTI SARI BUKU


 Sulitnya sendiri.
 Tak boleh bertutur di depan orang ramai.
 Malu menjadi maling.
 Memajukan desa dengan merampok,
 Perjuangan petani yang sia-sia.

SATU
Sahabat, puisi esai Anto Narasoma “Orang Kecil di Tikungan” ini
berkisah tentang seorang pekerja hotel bernama Harun. Kekuatan cinta
yang telah terbina selama ini, ternyata tidak sejalan dengan harapan
Harun. Sebab, setelah menikah lebih dari lima tahun, akibat minusnya
keuangan rumah tangga, istrinya tega meninggalkan dirinya saat ia

108
sedang bekerja sebagai cleaning service di Hotel Sandjaja Palembang.
Sepeninggal istrinya yang sudah berjalan selama dua tahun lalu,
Harun hidup sendiri dengan segala macam kesulitan. Jika batinnya
tidak kuat menghadapi masalah itu, Harun bisa gila. Sebab, dengan
berbagai masalah yang muncul, sungguh melelahkan pikiran dan
perasaannya. Untunglah Harun sangat dekat kepada Sang Penciptanya
melalui salat lima waktu. Karena itu segala cobaan dan persoalan
hidup yang teramat pahit itu tetap menjadi kekuatan baginya untuk
menghadapi sulitnya kehidupan sehari-hari.
Harun, dikenal sebagai karyawan Hotel Sandaja Palembang yang
ramah dan baik hati. Ia jarang melakukan sikap tak simpatik kepada
sesama teman, apalagi kepada pimpinan dan pihak manajemen. Hotel
Sandaja merupakan hotel modern tertua dibanding lainnya. Ia berdiri
sekitar tahun 17 Oktober 1958 oleh pengusaha wanita berdarah Tionghoa
bernama Tan Ho Nio (Nellywati). Hotel ini sangat dikenal kebesarannya
sebagai hotel internasional. Namun setelah tahun dan zaman berganti,
saat ini keuangan pemilik hotel mengalami masalah setelah dinyatakan
tidak mampu mengikuti perkembangan dunia perhotelan di Palembang.
Manajer hotel diduga melanggar aturan Undang-Undang (UU) dengan
memecat atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa memberikan
pesangon terhadap puluhan karyawannya. Akhirnya Manajer Hotel
Sandjaja diadukan ke DPRD Palembang. Seminggu yang lalu, ada seratus
lebih karyawan Hotel Sandjaja yang diputus hubungan kerjanya (PHK)
oleh manajemen hotel tersebut. Jangankan uang pesangon, gaji Harun
yang selama dua bulan terakhir ia bekerja, belum dibayar manajemen.
Harun tak pernah mengeluh meski di-PHK sebagai cleaning service yang
berkutat sejak lima tahun terakhir di Hotel Sandjaja. Harun meminta hak
gajinya yang belum dibayarkan oleh hotel. Meski tidak dapat berbuat
banyak menghadapi masalah itu, akhirnya Harun ikut rekan-rekannya
melakukan aksi unjuk rasa. Ia bersama dengan teman-temannya yang
dipecat berunjuk rasa di depan Hotel Sandjaja. Dua bulan gaji terakhir
dari Harun tidak diberikan. Dengan keterbatasannya sebagai orang kecil,
tabungannya telah ia gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari. Harun

109
sebetulnya lulusan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hanya
pihak manajemen yang tidak mau tahu dengan pendidikan Harun yang
strata satu itu. Yang jelas, di Hotel Sandjaja ia adalah seorang petugas
cleaning service.
Ketika berdemonstrasi, ia berdiri di barian palingi depan berteriak
meminta gaji dan uang pesangon untuk segera dibayarkan oleh hotel
dengan suara keras melalui alat pelantang suara. Oleh karena ada
sejumlah rekannya yang nakal dan merusak fasilitas hotel, Harun pun
ikut digiring ke kantor polisi. Harun ditangkap polisi dengan tuduhan
merusak fasilitas hotel. Dalam pemeriksaan, pikiran Harun penuh
beban antara kepergian istri, gaji, dan uang pesangon, serta cercaan ibu
mertuanya. Meski tak dipenjara, tapi ia marah, rindu istri, dan kesepian.
Sudah dua tahun istrinya kabur.
Delia (istrinya) tak pernah ditemukan. Mertuanya berpura-pura
tidak tahu. Padahal mertuanya menyuruh Delia bekerja di Malaysia. Ibu
mertua Harun menganggap laki-laki itu tidak dapat membahagiakan
anak perempuannya. Padahal Harun sangat mencintai Delia, istrinya.
Delia perempuan lembut dan penurut. Ibu mertuanya melihat bahwa
Harun bukan laki-laki yang giat bekerja. Setelah Harun menikah
dengan anaknya lima tahun, ibu mertuanya melihat gelagat bahwa
anaknya akan kekurangan uang dalam kehidupannya. Harun dilihat ibu
mertuanya serbagai laki-laki yang tidak gesit mencari uang. Kata ibu
mertuanya, sudah lima tahun kau menikahi istrimu. Sudah sejumlah janji
terlontar dari ucapan memuakkan. Kau tak lebih dari seonggok daging
busuk di sudut rumah tanggamu yang berurai air mata. Kata-kata itu
tajam menyengat hati Harun. Tapi dengan penuh kesabaran kata-kata
itu ia dengarkan. Akhirnya, Delia, istrinya, kabur setelah digedor dengan
bermacam iming-iming ibunya yang mencairkan kekayaan di Malaysia.
Istrinya dulu adalah perempuan yang sangat bisa menyuburkan cintanya
dengan sikap menurut dan tunduk pada ijab kabul. Kini, Delia, istrinya
hanya catatan pinggir dalam tabir kehidupannya yang tidak mampu
berkompetisi dalam kehidupan modern sebagai orang kecil. Sang
pengacara hotel tak memberi ruang untuk menegakkan segala hak

110
pekerja yang dipecat. Itulah orang-orang kecil ketika dalam aksinya di
pelataran parkir Hotel Sandjaja telah membuatnya ditahan di kantor
polisi. Di depan penyidik ia dituduh merusak fasilitas hotel. Harun pun
membeberkan batasan upah sebagai hak-haknya hilang. Bahkan, nilai
upah dan pesangon tidak jelas. Harun dituduh memimpin merusak
fasilitas hotel. Meski tak dipenjara tapi jiwanya dikerangkeng kemarahan,
rindu istri dan kemeranaan dalam kesendirian. Bahkan, dalam berorasi
sebelumnya uang bukan lagi menjadi kepentingan mendasar tapi
ukuran harga diri telah hilang. Menurut Harun, antara pengacara dan ibu
mertuanya, sama-sama memiliki wajah kebencian yang membela sistem
kehidupan, terutama terhadap nasibnya sebagai orang kecil.

DUA
Sahabat, puisi esai Anwar Putra Bayu “Suara-Suara yang
Terbungkam ” berkisah tentang Salun, penutur cerita di Ogan Komering
Ilir. Salun belajar menutur cerita dari Jinak di dusun Rantau Alai,
Kabupaten Ogan Komering Ilir bersama tiga temannya, Jinut, Sadun,
dan Manan. Salun memiliki suara merdu dan mampu memukau
pendengarnya. Salun sering diundang/ditanggap oleh masyarakat
dibandingkan tiga temannya itu. Mereka belajar bagaimana cara
menuturkan prosa rakyat cerita “Bujang Jelihim”, yang dituturkan saat
panen padi sawah akan dimulai, atau ketika masyarakat melaksanakan
hajatan perkawinan dan khitanan. Biasanya, penuturan cerita “Bujang
Jelihim” dilaksanakan semalam suntuk, yang dimulai habis Magrib
sampai menjelang fajar tiba. Jika cerita dimulai dari awal sampai cerita
berakhir akan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Di antara
Jinut, Sadun, dan Manan, maka Salunlah penutur yang paling disukai
masyarakat pada zamannya. Dia memiliki suara yang merdu ditambah
kemampuan bertuturnya mampu memukau, bahkan menyihir para
penontonnya. Tidak heran bila Salun mendapatkan porsi terbesar
diundang/ditanggap oleh masyarakat pendukung sastra lisan di
zamannya ketimbang tiga temannya itu.
Seorang lelaki tua sederhana dan berwibawa sorot matanya tajam.

111
Ia berumah panggung di dusun Rantau Alai di sisi Sungai Ogan, anak
Batanghari Sembilan, Ogan Kemering Ilir. Daerah ini dialiri Sungai Ogan
dan merupakan satu dari sembilan sungai besar di wilayah Provinsi
Sumatera Selatan. Di sepanjang sungai ini dihuni oleh penduduk yang
terdiri dari berbagai etnis, antara lain etnis Ogan, Palembang, Jawa,
Pasemah, dan Musi. Mata pencaharian yang utama dari penduduk desa
Rantau Alai adalah bertani, yang mengandalkan dua jenis penggarapan
lahan, yaitu sawah dan ladang. Batanghari Sembilan yaitu penamaan
dari sungai-sungai yang ada di Sumatera Selatan , yaitu Sungai Ogan,
Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan,
Sungai Rawas, Sungai Rupit, Sungai Batang Hari Leko, dan sungai
terbesar Sungai Musi. Kabupaten Ogan Ilir adalah salah satu kabupaten
di Provinsi Sumatera Selatan. Ogan Ilir berada di jalur lintas timur
Sumatera dan pusat pemerintahannya terletak sekitar 35 km dari Kota
Palembang. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 37
tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten OKU Timur, Kabupaten
OKU Selatan dan Kabupaten Ogan Ilir di Provinsi Sumatera Selatan
yang disahkan pada 18 Desember 2003. Jinak, petani ladang gambut, ia
juga sebagai penutur cerita. Dia hidup dari zaman ke zaman. Pada usia
100, Jinak meninggal dunia di kampung halaman Dusun Sanding Marga.
Semasa hidupnya Jinak mewariskan ilimunya kepada Jinut, Salun, Sadun,
dan Manan. Mereka belajar jeliheman, tradisi penuturan di halaman
rumah. Jinut adalah satu-satunya perempuan dan dia berusia sebaya
Jinak sebagai murid. Sebagai penutur, Jinut sepanjang hidupnya dia
tak pernah menutur di hadapan khalayak. Karena pada masa itu tabu
bagi masyarakat Rantau Alai dan sekitarnya jika seorang perempuan
menuturkan cerita di depan orang ramai. Salun telah menguasai cerita
Bujang Jelihim dari awal hingga akhir, dia katam menutur, Tuhan telah
memberikan anugerah merdu suara. Sadun hijrah ke Bengkulu, Manan
pun pindah ke Palembang. Jinak meninggal dunia. Jinut bersuami dan
menetap di kampung. Salun menutur ke luar kampung Ogan, Bangka,
Bengkulu, hingga Lampung.

112
Sejak tahun 1940-an sampai tahun 1950-an Salun sang penutur
berkeliling dari dusun ke dusun, dari kampung ke kampung hingga ke
daerah Bangka, Lampung, dan Bengkulu. Nama Salun terus berkibar
dan populer di tengah masyarakat pendukungnya. Sampai akhirnya,
pada tahun 1965 meletuslah Gerakan 30 September PKI di Jakarta
dengan melakukan pembantaian terhadap tujuh jenderal angkatan
darat, yang kemudian mayat-mayatnya dimasukkan ke dalam sumur
tua di Lubang Buaya. Gerakan itu pada akhirnya dapat dipatahkan
oleh militer di bawah pimpinan Mayjen Soeharto. Pascapembantaian
tersebut Mayjen Soeharto melakukan pembersihan terhadap orang-
orang yang dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia sampai ke
daerah-daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Selatan, khususnya
di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Di masa-masa pembersihan antek-
antek PKI itu, Salun sang penutur adalah target yang akan ditangkap
oleh pasukan Corps Polisi Militer. Suatu hari di musim panen padi Salun
sedang menuturkan cerita “Bujang Jelihim” di pondok pesawahan.
Para petani hari itu sangat menikmati dan terhibur oleh alunan cerita
“Bujang Jelihim” yang disampaikan oleh Salun. Sebelum sampai pada
puncak cerita, dari jalan pematang sawah arah utara, selatan, dan
timur pasukan militer sekitar 20 orang mengepung Salun yang sedang
khusuk bertutur. Komandan CPM dengan pengeras suara meminta
Salun berhenti bertutur. Para petani yang menyaksikan peristiwa itu
tampak gugup ditangkap. Salun ditangkap dan dibawa ke markas
militer di Tanjung Raja. Kemudian dia pun ditahan, bersama beberapa
petani. Lama Salun di penjara, sampai pada akhirnya seorang Pasirah
Tanjung Raja yang dapat dipercaya oleh militer, kemudian menjamin
atas namanya agar Salun dibebaskan karena dia bukan anggota Partai
Komunis Indronesia. Akan tetapi, Salun tetap dituduh sebagai penyebar
agitasi ideologi komunis kepada para petani.

TIGA
Sahabat, puisi esai Eko Sulistianto “Reuni Maling Pasar” bercerita
tentang Uzuro yang semula menjadi maling pasar, menjadi mata- mata

113
pertemuan mahasiswa mempersiapkan demonstasi. Uzuro adalah mata-
mata yang menyamar sebagai penjaja koran. Ia dikirim laki-laki yang
menangkapnya sebagai maling Pasar Plaju. Uzoro tidak bisa menolak:
penjara atau uang. Saksi-saksi kuat melihat bahwa ia maling Pasar
Plaju dan ia akan dikirim ke penjara. Ia mencuri untuk menebus obat
ibunya di apotek dan juga untuk membayar tunggakan biaya sekolah
adik-adiknya. Lalu Uzuro merasa menerima tugas untuk memata-matai
para mahasiswa yang sedang mempersiapkan demonstrasi ke gedung
rakyat di Palembang. Uzuro saat melaksanakan tugas merasa tidak
nyaman dan takut. Apakah ada di antara mahasiswa yang tahu bahwa
ia maling Pasar Plaju yang sesekali maling pula di Pasar 16 Ilir, dan
Pasar Cinde. Tahukah mahasiswa-mahasiswa itu, uluran uang tanpa
amplop dari lelaki bersepatu bersol karet itulah yang membuatnya
mengendap-endap di balik dinding, pura-pura kerokan masuk angin,
pura-pura tertidur kelelahan, memepetkan tape-recorder kecil milik
lelaki berperawakan atletis untuk merekam obrolan-obrolan penting?
Uzuro menahan napas, ternyata maling dompet dan perhiasan di pasar
lebih mudah daripada maling informasi? Dalam diam orang lebih
mudah dipergoki. Bergerak adalah persembunyian yang terbaik. Jika
tertangkap maling di pasar berita cepat terlupakan. Sedangkan terciduk
maling info mahasiswa, beritanya beranak-pinak sebanyak mahasiswa.
Sisi lain batin Uzuro ingin memekik telah lama ia malu jadi
maling pasar, telah lama ia ingin berhenti. Maling informasi semoga
jadi jembatan. Uzuro berganti peran. Ia menyetir pick-up kosong dari
Terminal Plaju mendatangi kampus di tepi jalan, pura-pura beli rokok,
pura-pura belum dapat tarikan agar punya dalih dibayar murah meriah
oleh mahasiswa-mahasiswa yang belum terangkut. Saat pick- up-nya
menurunkan para mahasiswa di gedung rakyat. Utusan wong lamo itu
menepuk pundaknya. Uzuro tersenyum dompetnya terisi dan dapat
membeli obat ibunya lagi dan dapat mencicil tunggakan biaya sekolah
adik-adiknya. Uzuro bermimpi jadi sopir angkutan penumpang, tak
maling lagi. Ia tidak akan malu lagi memikat Kulaina, tetangganya.
Orasi-orasi para mahasiswa menuntut perbaikan ekonomi. Di

114
Jakarta, pada 12 Mei 1998, selain juga mendesak perbaikan ekonomi
yang kian memburuk, mahasiswa Universitas Trisakti yang melakukan
longmarch keluar dari kampusnya dan menggelar orasi di depan
Kantor Walikota Jakarta Barat juga mendesak reformasi politik, serta
perbaikan sistem hukum, dan menuntut pelaksanaan Sidang Umum
Istimewa MPR.
Saat para wakil rakyat justru tak berpihak pada rakyat terbentuklah
massa,mahasiswa dan bukan mahasiswa.Mereka mengamuk melempari
gedung rakyat. Mahasiswa menyeret kekecewaan di sepanjang jalan
pulang. Massa mengekor merusak gedung, kantor, bangunan yang
mereka lewati. Pasukan antihuru-hara memasang blokade di belakang
kawat berduri. Aparat melesakkan gas air mata. Di Palembang saat itu
transportasi lumpuh. Gelora mahasiswa semakin membuncah.
Uzuro siaga pula menanti orderan, apa pun, asal tak jadi maling
pasar lagi. Mahasiswa Palembang mengadakan longmarch untuk
menuntut keadilan atas kematian mahasiswa Trisakti. Lelaki bertubuh
atletis dan proporsional serta bersepatu bersol karet dan preman
berkasta wong lamo dinanti-nanti Uzuro untuk kembali membuka kran
rezeki baginya. Tapi yang datang justru lelaki yang sepatunya bersol
karet tebal yang bagian atas mata kakinya pun tertutup sepatu bertali
panjang. Ia memojokkan Uzuro ke gentong sampah Pasar Plaju. Laki-laki
itu dengan pongah menunjukkan foto polaroid pick- up mengangkut
mahasiswa yang bisa membuat Uzuro masuk penjara. Lalu laki-laki
itu menawari upah pada Uzuro agar Uzuro menunjuk sasaran sambil
berteriak di kerusuhan: jebol, bongkar, sikat, bakar! Uzuro belum kuasa
menolak karena obat ibunya masih harus ditebus tak henti dan cicilan
tunggakan biaya sekolah adik-adiknya masih ada. Kulaina tak cukup
dilamar dengan berjuta kata saja. Banyak keperluan.
Uzoro yang harus dicukupi. Batinnya meronta, tapi setidaknya
ia tak maling di pasar lagi. Setidaknya ia bisa menentukan toko-toko
mana untuk dirusak dan dijarah. Ia ubah tugas kejam ini jadi perjuangan
menegur pemilik toko yang lalai. Semoga Kulaina tak mencatat ini
jadi aib. para penjarah kemaruk pesta jarahan di Plaju maling-maling

115
keluar semua. Calon maling jadi maling yang malu-malu maling tak
lagi malu-malu. Jumlah dan kualitas jarahan jadi obrolan warung kopi,
jadi pameran di warung bandrek, bekas-bekas maling pasar maling
lagi. Uzuro memutuskan tidak ikut menjarah bahan pangan. Dimakan
tak nikmat. Bahan sandang barang elektronik dan perhiasan dipakai
jadi cibiran, dijual harga jatuh.Tetek-bengek barang jarahan memenuhi
bedeng di kolong rumah hanya malu yang mengekal. Pagi berikutnya,
Uzuro diminta mengantar beberapa jirigen dan botol minyak tanah
ke beberapa tempat. Semua itu dilaksanakan Uzuro dengan imbalan
uang yang cukup untuk hidup. Uzuro baru tahu, minyak tanah yang
dikirimnya bukan penimbunan untuk mendongkrak harga tetapi untuk
huru-hara. Akhirnya Soeharto lengser. Rakyat tetap menderita. Uzuro
dulu maling Pasar Plaju. Saat para maling pasar menggelar reuni,
Uzuro hadir. Reuni berikutnya Uzuro dipaksa hadir untuk bicara kiat
menghindari aib bagi para maling. Uzuro meninggal terkena angin
duduk. Orang-orang memakamkannya pura-pura tidak tahu bahwa
dulu ia maling pasar.

EMPAT
Sahabat, puisi esai yang Linny Oktovianny ini “Lagu Seorang Duta”
menceritakan bandit asal Kayuagung. Terkisahlah Wahid menikah
dengan Rogaya. Saat Rogaya mengandung empat bulan, Wahid tak
punya penghasilan. Warisan tanah sawah selalu gagal tanam karena
kiriman banjir dari perusahaan sawit. Berbagai unjuk rasa warga ke
perusahaan menuntut hak dan keadilan pada pimpinan perusahaan,
pada bupati, bahkan gubernur tidak ada hasil. Puisi esai ini ditulis
untuk menguak persoalan Duta Kayuagung, yaitu Wahid, putra mantan
Pasirah, Kayuagung.
Kayuagung sebuah kota yang terletak di lintas timur Sumatra,
merupakan salah satu Kabupaten dari Provinsi Sumatra Selatan. Ka­
yuagung berjarak 65 kilometer dari pusat kota Palembang dan menj­adi
ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).Nama Kayuagung secara
umum berasal dari sebuah sejarah. Pada zaman dahulu, daerah itu

116
terdapat pohon-pohon yang berukuran besar, bahkan ada yang sampai
berdiameter 4 meter, kemudian disimpulkanlah oleh para petua pohon
itu berarti kayu yang besar, kayu yang agung. Jika kita melihat pohon
berukuran besar, kemungkinannya itu merupakan pohon kayuagung.
Ciri khas pohon kayuagung itu berukuran besar memiliki urat pohon
yang timbul dan memiliki akar yang besar dan menjulur dari atas
kebawah. Daerah yang banyak pohon besar itu dinamakan Kayuagung.
Kota Kayuagung dikenal dengan Duta, yaitu istilah di masyarakat
Kayuagung Ogan Komering ilir untuk usaha seseorang untuk mencari
“penafkahaan secara khusus” di luar negeri. Konon di Singapura
dan Malaysia sendiri dikenal dengan istilah Duta Kayuagung. Oleh
masyarakat Kayuagung sendiri dikenal dengan istilah keratak. Konon
cara yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang puluhan juta
sampai miliaran rupiah di antaranya dengan menukar tas korban di
bank atau mencegat korban di perjalanan. Para duta biasanya mampu
dengan tepat menebak berapa juta uang yang ada didalam tas/ koper
calon korbannya. Para duta kebanyakan bekerja berkelompok, jarang
yang beroperasi sendiri. Menurut cerita di masyarakat, mereka pantang
beroperasi di negeri sendiri dan pantang menyakiti korban secara fisik.
Pada masa lalu mereka diidentikkan dengan Robin Hood.
Terkisahlah Namanya Wachid. Ia dipanggi Achid. Sejak kecil ia
bermain tak kenal lelah. Sembilan belas dusun Achid singgahi dari
Sukadana hingga Cahaya Bumi. Achid telah menjelma dewasa dan
menikah dengan Rogaya. Upacara midang mengelilingi kampung
pun dilakukan diiringi musik tanjidor. Kegiatan midang sudah turun-
temurun digelar warga dari sembilan marga (siwe morge) yang ada di
Kayuagung. Awalnya kegiatan ini hanya berlangsung saat perkawinan
saja. Ritual midang sendiri menggambarkan perjalanan sepasang anak
manusia hingga menjadi suami istri. Dimulai dari perkenalan antara
bujang dan gadis, lalu ada acara melamar atau bahkan kawin lari
dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang
pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang
remaja itu kini sudah berubah status. Pada ritual itu, setiap marga

117
diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin
khas Kayuagung diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja
sebagai pengiring. Pada zaman dahulu, dalam arak-arakan itu terdapat
bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya
ditempatkan di sungai dan juli (gerobak yang dihiasi seperti perahu
atau kapal) untuk mengangkut pengantin inti. Sepasang pengantin
Achid dan Gaya berkeliling kampung melewati rumah sanak saudara
untuk memberi tahu bahwa mereka sudah suami istri. Hari berganti
hari, bulan berganti bulan. Gaya mengandung empat bulan. Wahid tidak
tetap penghasilannya. Warisan tidak banyak didapat. Tanah sawah rawa
lima hektar selalu gagal tanam karena kiriman banjir dari perusahaan
sawit. Dahulu sebelum banyak lahan ditanam pohon sawit, panen padi
selalu berhasil karena tak banyak kanalisasi. Kini jangankan panen,
menanam benih padi pun gagal. Wahid harus mencari penghidupan.
Wahid memilih jalan hidup sebagai seorang Duta. Sesungguhnya,
Wahid sejak kecil tak memiliki cita-cita untuk menjadi seorang Duta.
Namun, setelah dewasa, terlebih dia sudah menikah dengan Rogaya,
dan memiliki anak bernama Radin, kebutuhan ekonomi sehari-hari tak
mencukupi. Betapa tidak, sawah gambut seluas lima rantai (hektare)
tidak menghasilkan apa-apa. Persoalannya, sawah yang diwariskan oleh
ayahnya itu mengalami gagal tanam disebabkan kanalisasi perusahaan
sawit yang merambah desanya. Wahid mendatangi temannya, Mareki
seorang bos Duta yang tinggal di desa Perigi. Wahid bergabung sebagai
Duta dengan syarat rela mati. Wahid pun dilatih oleh Mareki untuk bela
diri dan menembak, sehingga sampai suatu hari dia dinyatakan layak
untuk ikut melakukan operasi. Setelah melakukan syukuran yasinan
di keluarga Wahid untuk melepaskan kepergian Wahid dan kawan-
kawannya, maka berangkatlah mereka ke Jambi untuk melakukan
target pertamanya. Mereka berhasil merampok sebuah bank di Jambi,
dan menggondol uang ratusan juta. Hasilnya mereka berbagi rata.
Selanjutnya mereka merampok di berbagai tempat. Mulailah ekonomi
Wahid meningkat, dia pun mengirim uang banyak kepada istrinya
untuk keperluan sehari-hari hidup keluarga. Setelah sukses, Wahid

118
dan kawan-kawannya kembali pulang kampung. Kepulangan mereka
bukan untuk pensiun, malah untuk berencana beroperasi ke Malaysia.
Wahid dan kawan-kawan berhasil merampok pengusaha sawit di Putra
Jaya. Aksi perampokan yang dilakukan diketahui polisi. Mereka dikejar
oleh Polisi Diraja Malaysia. Sial nasib mereka, Wahid yang menyetir
mobil dengan kencang, tertembak di kompleks gedung merah, Gedung
Stadthuys. Wahid tak dapat mengelak takdir kematiannya, demikian
juga Maleki sahabatnya serta kawan-kawannya.

LIMA
Sahabat, puisi esai Tarech Rasyid “Kesaksian Wak Singa” ini
bercerita tentang perjuangan petani yang ingin mengambil kembali
tanahnya yang digunakan oleh pengusaha perkebunan di Sumatra
Selatan. Konflik lahan atau sengketa tanah terjadi di berbagai daerah
Sumatera Selatan, baik antara petani dengan pemilik modal maupun
negara. Tanah sebagai salah sumber daya alam ini menjadi arena
perebutan, dan petani atau warga adalah pihak yang selalu dikalahkan.
Namun, berbeda dengan petani Rengas yang berkonflik dengan PTPN
VII Unit Usaha Cinta Manis (negara) berlangsung selama 30 tahun, baik
di masa Orde Baru maupun Orde reformasi. Konflik sumber daya alam
ini telah menyeret sejumlah petani atau warga Rengas mengalami
kriminalisasi, bahkan menelan sejumlah korban. Wak Singa adalah
tokoh kesaksian (fiktif) sekaligus pelaku di dalam konflik sumber daya
alam di Rengas. Ia memahami tanah yang dikuasai oleh PTPN VII
Cinta Manis itu merupakan warisan keluarganya yang hidup di masa
pemerintahan marga, kemudian beralih pada masa pemerintahan
Orde Baru dan Orde Reformasi. Dalam peralihan orde itu konflik lahan
terus berlangsung dan menelan korban. Ada korban yang disiksa di
masa Orde Baru: sakit dan meninggal. Ada korban anak kecil ditembak
aparat keamanan di masa Orde Reformasi. Ada berbagai pelanggaran
terjadi, dan itu menyentuh pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kaitan
ini, konflik lahan di Rengas tidak hanya bersifat lokal dan nasional
melainkan internasional dengan dukungan organisasi gerakan petani

119
dunia (La Via Campesina). Wak Singa juga menyaksikan bagaimana
petani dan warga melakukan reklaiming tanah yang selama ini
dikuasai oleh PTPN VII Cinta Manis. Para petani atau warga Rengas
bercocok tanam di tanah yang kini mereka olah, dan telah menikmati
hasil. Namun, tetap saja mereka berada di bawah bayang-bayang
konflik yang mungkin sewaktu-waktu muncul di masa mendatang.
Dalam pemerintahan kesultanan di Palembang, marga itu di­
mak­nai sebagai serikat dusun-dusun yang berasal dari satu rumpun.
Pemerintahan marga adalah pemerintahan yang otonom yang
memiliki susunan dan kewenangan. Di bawah pemerintahan marga,
pe­tani hidup rukun dan damai meski ada kekurangan namun alam
men­ cukupinya. Jika rakyat ingin berkebun dan berladang cuku
pancung alas, yaitu membuka hutan untuk berladang atau berkebun
dengan seizin atau persetujuan kepala marga di masa pemerintahan
marga. Atau berkebun di tanah ulayat. Ulayat dalam bahasa Belanda
disebut bescchikkingsrecht yaitu lingkup kekuasaan tanah. Dalam
konteks pemerintahan marga di Sumatera Selatan, maka marga
memiliki lingkup kekuasaan atas tanah yang berada di dalam wilayah
kekuasaannya. Perubahan pemerintahan marga menjadi pemerinahan
desa disebabkan munculnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, kemudian disusul dengan surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No 142. KPTS/
III/1983, tanggal 24 Maret 1983. Surat Keputusan Gubernur Sumatera
Selatan ini telah mengambil beberapa keputusan penting mengenai
marga, yaitu semua peraturan pemerintahan marga dihapuskan dengan
seluruh perangkat-perangkatnya yang ada, kemudian dibentuklah pe­
mer­intahan desa yang lingkup kekuasaannya meliputi wilayah dusun
yang berada di bawah naungan bekas marga. Perubahan itu menghapus
Simbur Cahaya, yaitu undang-undang adat-istiadat yang di dalamnnya
juga mengatur marga (pemerintahan marga). Dengan dibubarkannya
pemerintahan marga praktis Undang-Undang Simbur Cahaya kehilangan
pijakan meski undang-undang tersebut tidak dicabut.
Wak Singa ingat sahabatnya diintimidasi dan dibungkam. Ia dituduh

120
PKI dan di penjara. Seorang tokoh petani yang diciduk dan dianiaya oleh
aparat Kodim pada tahun 1982. Kondisi dialami petani ini terjadi di masa
Oerde Baru yang memang otoriter yang didukung militer. Pemerintahan
Orde Baru yang otoriter dengan dukungan militer telah membungkam
protes-protes para petani Rengas terhadap PTPN VII Cinta Manis, tetapi
ketika seorang petani diculik maka beberapa petani melancarkan
protes di kantor Kodim Kayu Agung sebagai bentuk solidaritas petani
Rengas. Sumber konflik di desa Rengas karena tanah petani dirampas
oleh PTPN VII Cinta Manis. Di desa Rengas, sengketa lahan antara petani
Rengas dengan PTPN VII adalah lahan seluas 2.353 Ha. Lahan yang
dimiliki petani Rengas seluas 825 Ha ini mendapat ganti rugi dengan
cara pemaksaan, intimidasi dan ganti rugi yang dinilai tidak layak.
Sedangkan lahan seluas 1.529 Ha tidak mendapat gani rugi. Hal inilah
yang menjadi sumber konflik agraria di Rengas selama tiga pulah enam
tahun. Wak Kancil bersama teman-temannya menggelar perlawanan.
Mereka menembus kegelapan malam, berpencar masuk ke perkebunan
tebu membawa obat nyamuk yang telah dibakar. Lalu mereka cepat
kembali ke desa seperti tak terjadi apa-apa. Angin malam berhembus
kencang, api membesar membakar pohon-pohon tebu. Wak Singa
dan Wak Kancil ditangkap penjaga keamanan, namun dilepas karena
tidak ada bukti mereka membakar perkebunan tebu. Setelah beberapa
waktu kemudian terdengar berita mandor perkebunan tebu dituduh
menerima suap dari penjualan tebu curian. Mandor tebu itu jujur,
mungkin ia difinah karena menampik rencana pimpinan dan menolak
rekayasa saksi-saksi aspal yang membakar perkebunan tebu. Warga
tidak percaya karena Pak Mandor orang yang jujur, dan selalu berada
di jalan yang lurus. Malam itu Wak Singa, Wak Kancil, dan Wak Tiung
berbicara tentang cara untuk mendapatkan tanahnya. Ketiga orang
itu tiba-tiba ditembak dan jatuh tersungkur. Wak Singa, Wak Kancil,
dan Wak Tiung dibawa ke rumah sakit. Cerita tentang penembakan
Wak Singa, Wak Kancil, dan Mang Tiung menyebar ke desa–desa.
Warga desa marah. Mereka datang tergopoh-gopoh menuju lokasi
penembakan. Wak Singa meninggal dunia. Sedang Wak Kancil dan Wak

121
Tiung dalam keadaan kritis. Pejuang petani telah gugur. Pemerintah
tidak memedulikan nasib petani.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Suara-Suara yang Terbungkam ini me-
refleksikan nasib rakyat kecil, orang-orang pinggiran dalam gejolak
sosial masyarakatnya. Mereka selalu “kalah” atau mengalami nasib
kurang beruntung meski roda pemerintahan terus berganti. Meski
selalu mengalami nasib yang kurang beruntung, namun mereka tetap
dan akan terus berjuang menuntut hak-haknya yang dirampas oleh
pemilik modal, majikan, atau mereka yang sedang berkuasa. Bagi
mereka, menuntut keadilan yang telah dirampas dengan semena-
mena oleh mereka yang sedang berkuasa harus diperjuangkan entah
sampai kapan. Tampilan gejolak sosial yang sangat menyentuh
relung batin terdalam ini terkait erat dengan pencideraan harkat dan
martabat manusia dan sekaligus nilai-nilai kemanusiaan.

122
Permasalahan
di Penambangan Timah
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI BANGKA BELITUNG

Judul Buku : Nyanyian Perimping


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 89 halaman
Penulis : Andri Rusli, Eddy Salahuddin,
Najma Karimah, Rita Orbaningrum,
Sofhie
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-12-5 

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku penting ini menginformasikan perusakan moral dan ling­­­­­
kungan hidup di wilayah pertambangan karena pengambilan timah
dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan kehidupan dan alam.
Pen­didikan diabaikan oleh masyarakat sekitar pertambangan. Pe­
ngangguran dan kemiskinan terjadi di wilayah itu. Penambangan
ilegal tanpa izin dari pemerintah.

LIMA INTI SARI BUKU


 Hidup tidak bergantung pasir timah.
 Tambang timah mengganggu nelayan.
 Pendidikan mengabaikan nilai moral.
 Budaya Bangka tercemar.
 Jangan menjadi pencuri alam.

SATU
Sahabat, puisi esai Andri Rusli “Sajak Pasir” menggambarkan pe­
nambangan nonkonvensional di Pulau Bangka. Pasir hitam (timah)
digali di desa Kace, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Kisah
diawali dengan tokoh aku yang mengamati daerah Kace.

123
Penduduk Kace setiap hari terganggu suara mesin penambang.
Lubang-lubang tambang tercipta memenuhi daerah aliran sungai.
Keberadaan tambang inkonvensional di wilayah Pulau Bangka
dan sekitarnya telah mengakibatkan sejumlah warga masyarakat
mengeluh dan merasakan dampak yang ditimbulkannya. Dampak
yang ditimbulkan telah nyata mengakibatkan rusaknya hutan dan
daerah aliran sungai telah berlangsung sejak lama dan sepertinya
ada pembiaran yang masif dari para penguasa negeri. Ironisnya lagi,
penguasa negeri malah memberikan izin pada para penambang timah
itu sehingga semakin tambah parah kondisi pulau itu. Beroperasinya
tambang itu selalu melahirkan korban-korban jiwa dan harta
benda. Sejumlah warga merasakan langsung dampak terutama dari
segi pendidikan anak (banyak anak putus sekolah karena bekerja
di tambang inkonvensional). Berbagai langkah negosiasi dan
komunikasi kepada pemerintah setempat telah dilakukan, namun
lagi-lagi semuanya hanya sebatas janji yang tak pernah terbukti.
Kace, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka menjadi salah satu
kawasan yang lingkungannya rusak oleh pertambangan. Masyarakat
Kace, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka menggantungkan
diri pada hasil melimbang timah dengan bermodalkan mesin kecil.
Mereka mencari timah di pinggiran sungai. Anak-anak kecil juga
ikut mencari timah dengan menggunakan wajan bekas milik ibu
mereka. Daerah aliran sungai ini menjadi kawasan yang menyita
banyak perhatian dan sorotan media lokal, bahkan nasional karena
banyak pekerja tambang inkonvensional (TI) menjadi korban. Seperti
peristiwa saat 10 orang pekerja tambang meninggal dunia akibat
tertimpa tanah. Pekerja yang naas itu antara lain berasal dari warga
Kimhin, Limbong Jaya, Sungailiat Bangka. Ketika itu mereka asyik
menyemprot tanah, tiba-tiba tanah longsor. Para penambang spontan
kabur, namun beberapa pekerja terjebak, tertimbun longsoran tanah.
Tokoh aku dalam puisi esai ini melihat banyak anak tidak sekolah di
daerah itu. Mereka lebih senang melimbang pasir untuk mendapat
uang. Anak-anak tidak pergi ke sekolah menuntut ilmu.

124
Ketika ditanya mengapa tidak sekolah, mereka menjawab,
“Untuk apa sekolah, Pak, untuk apa pergi belajar di sekolah, dengan
begini kami dapat duit dari hasil melimbang pasir ini.” Mereka
senang mendapat uang dengan mudah tidak harus berpikir serius
dengan belajar yang belum tentu dapat uang segera. Mereka mudah
mendapatkan pasir hitam, walau kulit tambah hitam, dan hanya
bermodalkan dompeng minimalis (alat penyemprot tanah) dan
sakan (tempat pencucian timah, untuk memisahkan timah dengan
pasir). Mereka tidak berpikir jika pasir hitam itu sudah tidak ada lagi,
apa yang harus mereka lakukan? Pasir hitam atau timah akan habis
digali dan dilimbang banyak orang. Lahan daerah aliran sungai itu
berlubang-lubang karena digali, Tanaman yang ada sebelumnya
hilang dan tidak bisa ditanami lagi tempat itu Saat hujan deras tiba,
wilayah itu banjir.
Kehidupan di wilayah pertambangan timah sangat mencemaskan.
Anak tidak sekolah karena menganggap uang mudah didapatkan
dengan menambang. Setelah uang banyak mereka berpikir untuk
menikah. Mereka tidak membayangkan sumber tambang tidak
selamanya ada. Ketika sumber tambang habis, mereka tidak dapat uang
untuk kehidupan sehari-hari. Ketika penghasilan dari tambang timah
berkurang, banyak terjadi perceraian.Ternyata tambang inkonvensional
tidak hanya merusak tatanan tanah yang ada di Desa Kace. Ia juga
mengakibatkan banyak masyarakat melakukan pernikahan yang belum
cukup usia (pernikahan dini). Namun pernikahan itu tidak bertahan
lama karena suami sudah tak bisa lagi menafkahi istrinya karena
tambang timah sudah habis tidak dapat menghasilkan uang. Sehingga
banyak terjadi perceraian. Bahkan ada yang memelesetkan Desa Kace
sebagai Desa Ka(win)ce(rai). Pengangguran pun meningkat. Orang
sangat sulit bekerja di perusahaan atau kantor jika tidak mempunyai
bekal pendidikan. Daerah yang telah dikuras hasil tambangnya itu pun
berlubang-lubang. Tanaman tidak dapat tumbuh karena unsur hara
untuk tanaman di dalam tanah terkikis karena aktivitas penambangan.
Daerah itu ketika hujan, air tidak dapat menyerap ke dalam tanah. Ia

125
akan menggenangi daerah yang ditinggali penduduk dan banjir pun
menghanyutkan semuanya.

DUA
Sahabat, puisi esai Eddy Salahuddin “Nyanyian Perimping”
menceritakan Maryo dari Desa Perimping di wilayah Kecamatan Riausilip,
Belinyu, Bangka. Maryo menghidupi anak-istrinya dengan menangkap
ikan. Akan tetapi, sejak beroperasinya tambang inkonvensional apung,
ikan-ikan menghilang dari sungai. Biasanya hasil tangkapan ikan
banyak dan cukup untuk menghidupi keluarganya. Kehidupannya
juga terganggu karena tambang itu melakukan kegiatannya selama
dua puluh empat jam. Sejak lama Bangka Belitung menjadi penghasil
timah terbaik di dunia. Sepuluh negara, yaitu Perancis, Jerman, Amerika
Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, Thailand, Jepang dan
Singapura, menggantungkan pasokan timah dari Bangka. Namun
dampak buruk dari memasok timah itu, yaitu lingkungan rusak tak
terkendali, baik oleh tambang resmi maupun ilegal. Sebanyak tiga
perempat dari wilayah Kepulauan Bangka-Belitung yang seluas 1,6
juta hektar, masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar
dan inkonvensional. Sisanya dikelola oleh industri kehutanan dan baru
sebagian kecil untuk ruang hidup warganya.
Tambang di darat menghancurkan hutan, sementara tambang di
laut merusak ekosistem pesisir dan melenyapkan ikan. Dampaknya
dirasakan oleh 45.000 nelayan tradisional yang mengandalkan hidup
dari pesisir dan laut. Dampak itu dirasakan oleh warga Perimping,
Daerah Aliran Sungai di wilayah Kecamatan Riausilip, Belinyu,
Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sudah bertahun-
tahun, masyarakat memanfaatkan Daerah Aliran Sungai ini untuk
menghidupi anak-istrinya dengan mengambil hasil berupa ikannya.
Akan tetapi, sejak beroperasinya tambang inkonvensional (TI) apung
di wilayah DAS Perimping, pencemaran pun tak terkendalikan.
Maryo dan warga desa sudah protes ke pemerintah daerah
dan melapor ke pihak kepolisian untuk mengusir penambang ilegal

126
dari perairan sungai Perimping. Maryo dan beberapa penduduk
mengancam akan membakar peralatan tambang. Namun tidak ada
tanggapan. Pemerintah tidak memperhatikan penambang liar yang
merusak alam dan lingkungan. Para penambang liar tidak peduli
dengan kondisi alam. Maryo pasrah pada situasi itu. Entah sampai
kapan kehidupan keluarganya akan berubah. Masyarakat di desa-desa
di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Perimping menunggu realisasi
komitmen dari Polda Kepulauan Bangka Belitung (Babel), yang akan
memberantas tambang ilegal di wilayahnya. Untuk kesekian kalinya,
mereka bersuara. Rusaknya habitat di wilayah pencarian ikan mereka,
tentu menjadi alasan utama mengapa nelayan menjerit, karena
penambang ilegal tetap saja membandel. Mereka mengganggu
habitat ikan sehingga tidak ada lagi ikan yang dapat ditangkap oleh
nelayan di sekitar Sungai Perimping. Suara nelayan lokal perwakilan
dua kecamatan itu disampaikan kepada Ketua Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNSI) Bangka, Ridwan. Nelayan berharap, aspirasi
mereka ditindak-lanjuti oleh Ketua HNSI Bangka ke pejabat daerah,
khususnya Kapolda Babel. Intinya agar tambang liar di kawasan
Tirus-Perimping Riausilip-Belinyu, diberantas hingga ke akar-akarnya.
Saat ini, tambang inkonvensional apung dan modifikasinya semakin
marak memenuhi lautan Pulau Bangka. Jumlah kapal isap di laut
terus bertambah yang sebelumnya dikuasai oleh kapal keruk. Sistem
penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi
sangat rakus, berorientasi keuntungan jangka pendek dan berdampak
pada kerusakan lingkungan yang parah. Ironisnya, otonomi daerah
membuat pertambangan di laut seperti terkesan tidak terkontrol
karena unsur politis antara pengusaha tambang dan kepala daerah
atau pejabat daerah. Pengawasan, pemantauan dan penilaian
pengelolaan lingkungan dari aktivitas tambang di laut juga lemah.
Fungsi dari pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan
Lingkungan Hidup (BLHD) terkesan tidak tegas. Kurangnya koordinasi
antara sektor pertambangan, sektor perikanan, dan pariwisata bahari
telah berakibat panjang sehingga tambang inkonvensional apung

127
membuat nelayan tidak mendapat ikan di Sungai Perimping untuk
pemenuhan kebutuhan hidup mereka.

TIGA
Sahabat,puisi esai Najma Karimah“Derita Kota Tua”menggambarkan
pergaulan remaja di Kabupaten Bangka. Pergaulan bebas telah terjadi
pada remaja di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
sehingga banyak remaja yang kehilangan masa depan. Siswi putus
sekolah, terpaksa menikah akibat hamil di luar nikah menjadikan
pemikiran ada apa yang terjadi di Bangka Belitung. Hal ini dikisahkan
dalam puisi esai ini, yaitu Dewi anak penambang illegal. Orang tuanya
bekerja sebagai penambang timah. Kehidupan keluarga itu bergantung
pada pasir timah. Dewi anak satu-satunya dalam keluarga itu. Ibunya
adalah istri kedua dari ayahnya yang dinikahi secara siri. Istri pertama
ayahnya pergi meninggalkan ayahnya karena tidak tahan dengan kondisi
ekonomi. Ayahnya tidak sekolah sehingga mengharapkan anaknya dapat
sekolah tinggi dan dapat mengangkat martabat orang tua. Ayahnya ingin
Dewi menjadi dokter ahli bedah untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Keinginan ayahnya membuat Dewi bersemangat mengikuti pelajaran
sekolah. Dewi ingin memenuhi harapan ayahnya menjadi dokter bedah.
Tentu itu akan sangat membanggakan bagi keluarga.
Ketika remaja, Dewi tumbuh menjadi gadis cantik. Ia dikagumi banyak
teman laki-lakinya. Oleh karena pergaulan yang tidak dikendalikan dengan
baik oleh orang tuanya membuat Dewi lupa akan cita-cita awalnya. Cita-
cita Dewi berubah. Ia ingin menjadi artis terkenal. Ayahnya tidak tahu
perilaku Dewi. Ia menjaga sikap di sekolah agar bisa lulus dan dianggap
anak baik. Dewi dibelikan motor merek terbaru dan juga ponsel
termahal dengan alasan untuk mendukung cita-citanya, bagi ayahnya
Dewi akan menjadi dokter bedah. Padahal Dewi bercita-cita menjadi
gadis cantik yang fenomenal. Dewi merasa takkan dilirik dengan motor
keluaran tahun dua ribuan. Ia aktif di sosmed agar semakin terkenal.
Jika malam, Dewi pamit belajar bersama teman tetapi kenyataannya
ia pergi ke diskotek. Pada suatu hari, Dewi bertemu laki-laki yang

128
sedang ditugaskan di Bangka. Laki-laki itu bernama Doni. Ia pergi
ke Bangka ditugaskan kantor pusat menjadi manajer perusahaan
telekomunikasi. Doni mengaku belum beristri. Pergaulan keduanya
membuat Dewi hamil. Celakanya, Doni ditarik kembali ke Pulau Jawa
oleh perusahaannya. Dewi terpaksa menyembunyikan kehamilannya
dari orang tua, guru, dan teman sekolahnya. Doni tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban atas kehamilannya itu. Doni sudah ditarik kembali
untuk bekerja di perusahaan tempat asalnya dan tidak dapat dihubungi.
Klimaks kisah ini, Dewi melahirkan di toilet sekolah. Dewi siswi SMA di
Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka melahirkan di toilet sekolah.
Dewi yang terlahir dari keluarga sederhana terpaksa mengakhiri
masa depannya dengan tragis setelah mengenal lelaki bernama Doni.
Hubungan terlarang di antara mereka berdua mengantarkan keha­
milan Dewi. Orang tua Dewi terpukul malu atas kejadian itu. Guru-guru
terkejut karena selama ini melihat Dewi sebagai anak baik. Tak lama
kemudian ayahnya meninggal dunia, juga ibunya.
Dewi pergi dari rumah, pergi dari kota tempat ia dibesarkan. Ia
ditolong oleh perempuan yang baik di sebuah kota untuk menjadi
pembantu.Tuan dan Nyonya yang baik hati itu terharu melihat
perempuan yang masih muda belia beranak satu. Ia datang dari pulau
seberang tanpa tahu harus tinggal di mana di kota itu. Dewi ber­
sama anaknya diminta untuk tinggal di rumah Tuan dan Nyonya. Ia
membesarkan anaknya hingga berhasil menjadi anak yang mandiri
dan agamis. Puisi ini tak serta-merta menghakimi para pelaku
pergaulan bebas. Tapi lebih dari itu berupaya melihat secara jernih
akar masalah kerusakan moral remaja masa kini, yakni karena
jauhnya mereka dari nilai-nilai agama sebagai akibat sekularisme
dalam kehidupan yang meniscayakan liberalisme, konsumerisme,
per­misivisme, dan hedonisme yang telah mengabaikan peran Tuhan.
Kisah Dewi berakhir dengan optimisme berkat pertolongan keluarga
yang baik hati. Dewi bangkit menata hidup untuk membesarkan
putranya menjadi generasi yang agamis.

129
EMPAT
Sahabat, puisi esai “Harapan Menghempas Sejiran Setason” karya
Rita Orbaningrum menceritakan kehidupan masyarakat di daerah Muntok
yang tercoreng dengan peristiwa penangkapan mucikari Andry Pratama
berusia enam belas tahun. Andry Pratama tertangkap karena jebakan
komandan polisi di wilayah itu. Pekerjaan itu sudah lama dilakukan.
Ia mendapatkan uang dari hasil transaksi menjual teman-temannya.
Daerah Muntok, Bangka Barat terkenal semboyan Sejiran Setason
yang mengandung arti bahwa wilayah negeri itu mempunyai warga
yang berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan. Dengan adanya
peristiwa itu, masyarakat merasa terpukul. Muntok adalah kota tua
yang memproklamasikan diri sebagai kota budaya, berada di ujung
barat Pulau Bangka. Letak geografis memukau dan dikelilingi pantai
menawan meskipun tetap perawan. Beragam etnis berdampingan
dengan damai, aneka budaya berproses natural menjadikan Muntok
tempat nyaman bagi penghuninya. Sosial- ekonomi masyarakatnya
terdiri dari bermacam-macam strata tanpa membedakan jarak,
sehingga tidak menimbulkan jurang pemisah. Semua berjalan seiring.
Namun ketenangan itu semua terkoyak dengan ditangkapnya Adry
Pratama di daerah Pal Dua, Kelurahan Air Belo, Muntok di sebuah
rumah kontrakan. Ia ditangkap karena terbukti telah melakukan
penjualan manusia. Media online dan media cetak lokal memuat
berita itu. Pelaku adalah siswa SMK berusia 16 tahun menjual
teman gadisnya, dan menurut pengakuannya hal itu sudah berulang
kali dilakukannya. Menelusur ke belakang, ternyata ini hanya bom
waktu; di mana permasalahan sejenis sudah mendominasi sejak
beberapa tahun belakangan. Kondisi alam yang mulai rusak akibat
penambangan ilegal, budaya yang tergerus karena ketidakmampuan
menyerap secara benar teknologi informasi yang masuk ke dalam
kehidupan masyarakat, telah membuat perilaku generasi muda
mengalami kemerosotan moral. Ini semua menjadi pekerjaan rumah
yang cukup berat bagi pemangku negeri.
Deswita, salah seorang remaja, ditawarkan oleh Andry pada laki-

130
laki yang mempunyai uang untuk memuaskan hasratnya. Hanya karena
ingin mengikuti pergaulan yang lebih bergaya, Deswita mau melakukan
tindakan itu untuk beberapa rupiah yang dibagi oleh Andry dari hasil
transaksi dirinya. Deswita ingin membeli hape dan baju baru. Andry
menjual Deswita seharga dua juta rupiah sekali kencan. Oleh pembeli
(polisi yang menyamar) ditawar menjadi Rp800.000. Uang Rp800.000
yang diterima Andry menjadi alat bukti polisi untuk menangkap
Andry. Budaya Bangka telah tercemar. Betapa tidak, Andry siswa SMK
menjadi mucikari. Andry juga menjual tubuhnya ke para perempuan
yang kesepian. Ia mampu melayani siapa pun pemesan. Entah itu
kaum Adam maupun Hawa. Di dalam pikirannya hanya berisi pikiran,
“Harus bisa kurekrut temanku untuk mempercepat jumlah pundiku.”
Hasil yang ada dibagi dua. Seharusnya dua-duanya pelaku. Tidak
ada korban, keduanya sama-sama menikmati. Namun mereka masih
di bawah umur.
Andry ketika kecil sudah ditinggal ibunya. Ia dipelihara orang
lain bukan orang tua kandung. Kehidupannya menyimpang dari
kehidupan remaja seumurnya. Andry diancam hukuman lima belas
tahun karena memperdagangkan manusia, Namun, ia dihukum
beberapa bulan karena ia masih di bawah umur. Deswita dibebaskan
karena dianggap korban dan diserahkan kembali pada orang tuanya.
Apakah benar akan berubah sifat Deswita, atau akan menemukan
mucikari baru? Potret buram bagi Sejiran Setason. Muntok yang
malang. Dunia pendidikan tercoreng hal yang memalukan dan
menyayat hati. Muntok adalah salah satu daerah yang kaya akan
sumber daya alam, daerah penghasil timah yang andal, merupakan
mata pencaharian sebagian besar masyarakat. Tanahnya juga
berpotensi untuk tanaman lada, perkebunan sawit juga merupakan
mata pencaharian masyarakat, dan tak kalah pentingnya sebagai
kabupaten di ujung barat daerahnya dikelilingi laut yang berpeluang
besar memperoleh hasil laut seperti ikan, udang, kerang, maupun
cumi-cumi. Kekayaan tambang dan hasil bumi lainnya begitu
pesat dikembangkan, pemerintah lupa mengembangkan psikologi

131
masyarakat menghadapi kehidupan global yang laju informasi dan
teknologinya begitu kencang. Masyarakat terbata-bata menerima
kondisi tersebut. Lalu dengan pikiran serba instan, mereka menggapai
kehidupan melupakan etika moral dan agama.

LIMA
Sahabat, puisi esai Sofhie “Stambul Negeri Timah” menceritakan
kehidupan masyarakat di Bangka Belitung. Provinsi ini merupakan
provinsi ke-31 di Indonesia.Provinsi Bangka Belitung resmi memisahkan
diri dari Sumatra Selatan sejak tahun 2000. Bangka Belitung adalah
sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri atas dua pulau utama, yaitu
Pulau Bangka dan Pulau Belitung, serta ratusan pulau-pulau kecil,
total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah pulau, tapi
hanya 50 pulau yang berpenghuni. Bangka Belitung terletak di bagian
timur Pulau Sumatra, dekat dengan Provinsi Sumatra Selatan. Bangka
Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang
indah. Mayoritas penduduk kepulauan Bangka Belitung adalah suku
Melayu. Pada awalnya, Pulau Bangka hanya dihuni oleh sekelompok
penduduk asli pedalaman yang dikenal sebagai suku Lom dan Sekak.
Bangka Belitung merupakan salah satu daerah dengan penduduk
etnis Tionghoa yang besar di Indonesia selain di Jawa, Riau, Sumatra
Timur, dan Kalimantan Barat. Orang Hakka awalnya didatangkan dari
berbagai wilayah di Provinsi Guangdong, seperti Meixian, Prefektur
Huizhou, Prefektur Chaozhou menjadi tenaga penambang timah
pada tahun 1700—1800. Sebagian besar etnis Tionghoa di Bangka
Belitung didominasi oleh Orang Hakka dengan minoritas Orang
Minnan (Hokkian). Budaya Tionghoa di Bangka berbeda dengan
Tionghoa di Belitung. Orang Tionghoa di Bangka didatangkan pada
awal ke-18 ketika pertambangan timah resmi dibuka. Mereka pada
umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk asli,
sehingga Tionghoa di Bangka sebagian besar merupakan peranakan
yang berbicara bahasa Hakka yang bercampur dengan Bahasa Melayu.
Tionghoa Belitung dianggap “totok” karena datang pada abad ke-19

132
membawa istri. Mereka beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara,
antara lain dengan mengganti pakaian mereka dengan pakaian suku
Nusantara, seperti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung.
Mereka berbicara dengan bahasa Hakka yang asli. Dengan adanya
pertambangan timah yang beratus tahun adanya, alam Bangka dan
Belitung menjadi tereksplorasi begitu lama. Banyak kerusakan alam
yang ditimbulkan oleh keberadaan pertambangan timah di wilayah
yang juga dikenal dengan objek wisata alam yang sangat indah.
Hubungan harmonis antara pribumi dan Cina yang hidup ber-
dampingan telah terjalin sejak dulu hingga sekarang pada masyarakat
Bangka Belitung. Terkisahlah pada puisi esai ini hubungan antara
pemuda Melayu dan gadis Cina di Bangka Belitung. Amir dan Li Ming
adalah pemuda Melayu dan Cina yang menimba ilmu di Jakarta di
satu universitas. Mereka pulang bersama-sama ke Bangka. Li Ming
akan menemani Amir merayakan tahun baru Islam, merayakan tradisi
nganggung, yaitu budaya di Desa Kenanga yang terletak dalam
(daerah) Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka
Belitung. Pada acara tersebut, setiap keluarga menyerahkan satu
dulang berisi makanan untuk upacara adat nganggung yang juga
disebut Sepintu Sedulang. Acara itu diakhiri dengan menyantap isi
dulang bersama- sama. Pada kesempatan pulang bersama itu, Amir
juga akan menemani Li Ming menghadiri Cheng Beng, yaitu ritual
orang Cina bersembahyang dan ziarah kubur. Mereka menyebar kertas
perak dan kuning di atas makam sebagai tanda telah mengunjungi
makam. Setelah selesai berdoa, kertas itu dibakar. Amir ingin diterima
oleh keluarga Li Ming dengan mengikuti acara rtual tersebut.
Amir dan Li Ming saling menyukai. Hubungan keduanya ternyata
mengalam kendala. Keluarga Li Ming terkenal sebagai pembuat getas
tenggiri kemplang khas Bangka. Ayah Li Ming pernah berkata di depan
keluarganya dan Li Ming, agar keturunannya jangan bersuami dari
keluarga penambang timah, mereka itu pencuri alam. Li Ming baru
mengetahui bahwa Amir berasal dari keluarga penambang timah.
Hati Li Ming sangat sedih. Amir marah mendengar pendapat ayah

133
Li Ming terhadap keluarganya. Li Ming tidak mau berpisah dengan
Amir. Hati Amir sangat kesal dan marah karena keluarganya dianggap
sebagai perusak alam. Li Ming putus asa tak ingin berpisah dengan
Amir. Air mata Li Ming menggenangi pipinya yang putih merona.

REFLEKSI
Sahabat, puisi esai Nyanyian Perimping ditulis lima penulis dari
berbagai sudut pandang dan latar penceritaan. Kelima tulisan meng-
gambarkan kehidupan di wilayah pertambangan. Dampak tambang
timah telah memengaruhi kehidupan sosial dan lingkungan hidup.
Masyarakat juga tidak peduli pendidikan karena mereka mudah
mendapat uang dari melimbang pasir hitam untuk mendapatkan
timah. Kehidupan yang berorientasi pada uang mengakibatkan moral
kehidupan menurun. Tanah lingkungan rusak parah. Pertambangan
yang tidak memperhatikan faktor lingkungan kehidupan akan
berakibat fatal. Masyarakat menjadi miskin dan tidak berpengetahuan.
Masyarakat bersikap materialistis tanpa melihat kondisi kehidupan
yang ada. Tanpa dasar pendidikan formal orang tidak dapat bekerja di
pemerintahan atau swasta.

134
Persoalan Sosial Budaya
di Kehidupan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI BENGKULU

Judul Buku : Genderang Bumi Raflesia


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 90 halaman
Penulis : Bambang Irawan, Chut Ayu
Okpariani, Elvi Ansori, Haidar Ikram
Ramadhan, Suyati.
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-11-8

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini menggambarkan kehidupan masyarakat di Provinsi Beng­­
kulu. Kehidupan Soekarno di pengasingan, Dol yang menjadi ikon Kota
Bengkulu, orang yang berambisi pada jabatan tetapi melupakan tradisi
dan sejarah, generasi muda yang mencandu minuman keras, dan sosok
pimpinan yang memajukan Provinsi Bengkulu.

LIMA INTI SARI BUKU


 Orang besar memerlukan pengorbanan.
 Akhirnya dol menjadi ikon Kota Bengkulu.
 Janji hanya janji.
 Kekejaman karena tuak.
 Pimpinan selalu memberi contoh.

SATU
Sahabat, puisi esai Bambang Irawan “Sanksi Cinta di Tanah
Pengasingan” mengisahkan kehidupan Soekarno, Sang Proklamator
Indonesia saat diasingkan di Bengkulu. Bung Karno bersama ke­luarganya
dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Bengkulu pada 1938. Di

135
Bengkulu, Soekarno ditemani istrinya Inggit Garnasih dan dua anak
angkatnya Ratna Djuami serta Kartini dengan seorang pembantunya
bernama Riwu. Begitu mengetahui kalau Soekarno yang merupakan
seorang pemimpin pergerakan nasional dibuang ke Bengkulu, Hassan Din
yang juga keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur ini langsung
mendatangi kediaman sang orator ulung dan terkenal ini. Hasan Din
adalah ayahanda Fatmawati. Ia juga merupakan aktivis pergerakan
nasional bersama istrinya Siti Chadijah. Hassan Din bermaksud mengajak
Soekarno yang berpendidikan tinggi ini supaya mau mengajar di sekolah
Muhammadiyah di Bengkulu. Dalam pertemuan pertama itu, Hassan
Din mengutarakan maksudnya dan Bung Karno pun menyetujui untuk
mengajar di sekolah Muhammadiyah. Bung Karno juga mempersilahkan
Din untuk datang kembali jika ada waktu. Pada pertemuan kedua Hassan
Din mengajak serta istri dan anaknya Fatmawati. Ketika datang ke rumah
Soekarno, Fatmawati kelihatan sangat cantik mengenakan baju kurung
merah hati dan kerudung kuning dengan hiasan bordir. Karena itulah
Bung Karno yang telah beristri Inggit kala itu langsung jatuh hati dalam
pandangan pertama. Dari situ kemudian mulailah kisah cinta Soekarno
dan Fatmawati.
Cerita puisi esai ini diawali dengan perjalanan keluarga transmigran
dari Pungguk Blitar, Jawa Timur ke Bengkulu. Keluarga yang terdiri ayah
dan ibu beserta dua anak, laki-laki dan perempuan menaiki kapal menuju
Pulau Sumatra. Usia anak laki-laki itu enam tahun. Ibu anak laki-laki itu
pernah bercerita bahwa di Blitar ia bertemu dengan Soekarno kecil, saat
ayah Soekarno yang bernama Soekemi menjadi wedana di Blitar. Ibu anak
laki-laki itu rakyat jelata sedangkan Soekarna anak bangsawan. Namun
siapa yang menyangka takdir Tuhan bagi anak-anak manusia. Jodoh,
maut, dan pertemuan, Dia yang mengaturnya. Kelak di suatu waktu, anak
ibu itu dipertemukan- Nya dengan Putra Sang Fajar dan Ibu Pertama
negeri ini --Fatmawati. Anak laki-laki dan adik perempuan itu bersekolah
di Volkschool, Sekolah Rakyat - sekolah buat rakyat jelata. Setelah tamat
belajar, anak laki-laki itu masuk menjadi polisi abdi negara, Nederland
Indie, penguasa kolonial. Anak lelaki keluarga transmigran itu menjadi

136
polisi Belanda yang bertugas di Fort Marlborough, markas besar kolonial
di Bengkulu. Saat itu Soekarno dipenjara dan ditempatkan di sebuah
rumah di Jalan Sukarno Hatta, Bengkulu. Rumah tersebut milik pedagang
Lion Bwe Seng yang disewa Belanda untuk didiami Soekarno sebagai
tahanan. Anak lelaki yang menjadi polisi Belanda itu diminta mengawasi
Soekarno selama masa pengasingan.
Soekarno tertarik pada Fatmawati, anak Hassan Din, kepala
sekolah Perguruan Muhammadiyah tempat Soekarno mengajar. Saat
itu Soekarno telah menikah dengan Inggit Ganarsih. Istri Soekarno
yang bernama Inggit Garnasih adalah istri ke-2 setelah Soekarno
bercerai dengan Siti Oetari, putri HOS Cokro Aminoto. Soekarno dan
Inggit Ganarsih menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua
Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan
dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret
1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Inggit Ganarsih tahu
kalau Soekarno tertarik pada Fatmawati. Ia lalu minta bercerai agar
Soekarno dapat menikahi Fatmawati. Sekalipun bercerai tahun 1942,
Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk
melayat saat Soekarno meninggal. Soekarno menikahi Fatmawati dan
lahirlah 5 putra-putri Soekarno, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati
Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri,
dan Guruh Soekarnoputra. Anak lelaki yang menjadi polisi Belanda
yang diminta mengawasi Soekarno selama masa pengasingan di
Bengkulu itu Bernama Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Widji Pujiono.

DUA
Sahabat, puisi esai Chut Ayu Okpariani “Genderang Bumi Raflesia”
mengisahkan alat musik tradisional dol yang berhasil mengharumkan
nama Provinsi Bengkulu di tingkat nasional. Semula, menurut adat,
penabuh dol hanya keturunan Sipai yaitu orang Madras dari India yang
menetap dan berasimilasi dengan warga Bengkulu. Hentakan irama
ritmis dari tabuhan alat musik tradisional Bengkulu bernama dol ini
mampu memberikan kemeriahan tersendiri. Semangat tetabuhan dari

137
alat musik yang satu ini biasanya membuat setiap pertunjukan menjadi
hidup dan semangat. Ia memang merupakan gendang khas asal Bengkulu
yang biasanya dimainkan beramai-ramai. Puisi esai ini mencoba
mengisahkan bagaimana alat musik tradisional yang sempat terlupakan
ini kembali mendapatkan tempat di hati masyarakat Bengkulu, bahkan
mengharumkan nama provinsi ini di tingkat nasional. Sekilas, bila dilihat
bentuknya, dol terlihat seperti perkusi. Namun bunyi yang dihasilkan
dari alat musik ini tidaklah sama dengan perkusi. Pembuatan dol diawali
dengan pencarian pangkal batang nyiur atau bonggol batang kelapa.
Bonggol itu ditatah dibuat lubang. Pinggiran lubang dilekati dengan kulit
lembu lalu dijahit dengan jarum agar seluruh lubang tertutup sempurna.
Pinggiran diberi hiasan manik-manik. Dahulu dol dimainkan pada
acara-acara khusus seperti Perayaan Tabot yang dilakukan masyarakat
Bengkulu yang masih keturunan Tabot. Dol tidak bisa dimainkan oleh
sembarang orang, hanya orang-orang keturunan Tabot saja yang boleh
memainkan alat musik ini. Syukri, tokoh dalam puisi esai ini, harus
mendapatkan hukuman karena menabuh dol karena ia hanya keturunan
orang biasa yang tidak boleh menabuh dol.
Kisah diawali dengan cerita Syukri kecil. Ia melihat penabuh
dol berkeliling di kotanya. Syukri ingin sekali ikut menabuh dol itu.
Dol ditabuh dengan riang gembira dan tidak boleh sembarang orang
menabuh dol. Penabuh dol harus keturunan Sipai atau Tabot. Syukri
bukan keturunan itu, ia hanya orang biasa. Pada suatu ketika, Syukri
nekat menabuh dol di pantai seorang diri. Syukri menatap lidah ombak
yang menjilat kakinya. Di ambang sore yang sepi, Syukri menguatkan
hati menghimpun keberanian diri manabuh dol di pantai. Iramanya
menghentak dengan harmoni mendayu indah dengan aneka bunyi. Dia
tak peduli bahwa tidak sembarang orang boleh memainkan dol.
Jiwanya terus memberontak, “kenapa tidak boleh menabuh dol?”
Dia merasa sama-sama manusia tentu punya hak dan harkat yang sama
tak ada beda dengan yang lainnya walau dia terlahir sebagai rakyat
jelata. Syukri akan membuktikan bahwa ia bisa memainkan alat itu
lebih dari para Sipai atau yang lainnya. Sayup-sayup sesepuh kampung

138
mendengar indahnya irama dol ditabuh. “Tapi siapakah yang menabuh
dol itu?” Sebelumnya tak ada yang bisa menabuh dol dengan irama
seperti itu. Ketua kampung mencari arah suara, sambil bertanya kanan-
kiri. Dia berlari menuju sumber suara yang ternyata ada di tepi pantai.
Tercengang kepala adat memandang tangan terampil Syukri yang asyik
menabuh dol. Sejenak ia terdiam sambil menikmati alunan tambo itu.
Akhirnya ketua adat itu berteriak menyuruh Syukri berhenti menabuh
dol. Syukri menunduk diam. Dijatuhkannya pemukul dol itu. Ketua
kampung sangat marah seolah Syukri tak bisa dimaafkan. Beberapa
kali peringatan itu tak diindahkan oleh Syukri. Ia harus dihukum karena
kesalahannya bukan sekali saja tapi sudah berulang kali memukul dol
tanpa izin. Tragisnya dia terlahir sebagai rakyat biasa yang dilarang
menabuh dol. Syukri diarak beramai-ramai di tengah kampung dan
disandarkan tubuh kurusnya pada pokok nyiur. Dilecutnya tubuh itu
beberapa kali, wajahnya menegang menahan sakit. Punggung, tangan,
dan kakinya dicambuk. Syukri menahan air matanya agar tidak jatuh
karena dia merasa laki-laki. Ia harus kuat menahan sakit. Tidak boleh
menangis dan tidak boleh cengeng. Sebelum Syukri mereka tinggalkan,
diberinya semut merah di tanah dekat pohon tempat Syukri diikat. Semut
rangrang itu menggigiti Syukri hingga Syukri berteriak kesakitan. Syukri
dianggap telah melanggar tradisi. Ia dituduh telah merusak nilai sakral
yang hakiki, yaitu aturan leluhur.
Syukri hanya ingin seluruh dunia tahu bahwa ada perkusi merdu
di Bengkulu. Ketika ia sedang berteriak-teriak kesakitan digigitu semut
merah, Kakek bernama Binjay menolong dan membawa Syukri ke gubug
di tengah hutan. Syukri dirawat hingga sembuh. Sang kakek membuatkan
dol untuk Syukri. Dari balik pepohonan Kakek Binjay menggelindingkan
batang besar, berbulan-bulan tangan-tangan terampilnya membantu
kakek Binjay mewujudkan mimpinya. Akhirnya dol yang dibuatnya telah
sempurna. Syukri sangat senang. Syukri berlatih menabuhnya. Suara dol
yang ditabuh Syukri sangat merdu. Syukri berkeliling kampung menabuh
dol. Masyarakat senang mendengar tetabuhan dol dan akhirnya Syukri
terkenal sebagai penabuh dol yang indah.

139
TIGA
Sahabat, puisi esai Elvi Ansori “Balada Orang-Orang Lupa” ini ber-
kisah tentang manusia itu yang sering melupakan sejarah leluhurnya,
sejarah bangsanya. Cerita diawali dengan kisah Ridwan yang dianggap
linglung tidak melihat kehidupan yang ada di daerahnya. Lupa atau
tidak ingat adalah manusiawi. Namun bila lupa itu disengaja dan
dilandasi karena gengsi, malu dengan budaya sendiri, buta dengan
sejarah dan nasihat yang mengandung pesan dan kearifan lokal, itu
sangat disayangkan. Betapa luhurnya budaya lama. Betapa berlikunya
perjuangan pendahulu. Namun semua itu diabaikan, dilupakan, sehingga
kita kehilangan jati diri. Padahal ketika kita membutuhkan, ketika
ingin berkuasa, ingin menduduki jabatan, berkoar sebagai keturunan
ini, cucu ini, leluhurnya itu dan semua yang ia lupakan disebutkan.
Celakanya, belum tentu yang disebutkan itu, dipahami. Tak ada setitik
pun nasionalisme, jiwa pejuang, jiwa penuh pengorbanan leluhur
yang ia sandang, selain hanya ambisi demi sebuah kursi, demi suatu
jabatan tertentu.
Ridwan ingin menjadi wakil rakyat. Ia kampanye ke daerah- daerah
menebar janji yang belum tentu ditepati saat apa yang diinginkan
Ridwan tercapai. Dia berkelana dari lembah ke bukit. Dia berkelana
dari timur ke barat. Betapa cepat Ridwan mengubah warna hati. Begitu
cepat Ridwan berubah asa diri. Di mana hinggap dia menjadi benalu,
mengerogoti negeri tanpa malu dimakan cita- cita yang meninggi angan,
menjadi penguasa di negeri. Ia menginjak orang yang di bawah tanpa
rasa kasihan, menerjang orang yang di depan dengan kuatnya. Dengan
segala cara, ia harus mencapai apa yang diinginkannya. Setelah ia
menjadi penguasa negeri, ia bagai benalu menggerogoti negerinya.
Sebenarnya apa yang ia sebutkan dalam kampanye itu tak lain hanya
untuk ambisi pribadi atau demi mendapatkan jatah kursi atau jabatan
tertentu.
Ridwan melupakan petuah leluhur dan menganggap hina budaya
moyang. Bagi Ridwan kearifan negeri telah dianggap basi dan kuno. Ia

140
telah melupakan janji-janji pada waktu kampanye pemilihan dirinya.
Ketika kampanye, ia menyebut dirinya bagai si ini atau si itu leluhurnya.
Padahal tindak dan pikirnya jauh berbeda dengan leluhurnya. Ia tega
menjual tanah leluhurnya. Di podium Ridwan berteriak lantang tepuk
dada berbangga diri bahwa ia masih keturunan dari Pasirah Selebar.
Semua orang yang ingin berkuasa, setelah berkuasa menjadi berubah
prinsip melupakan sejarah. Betapa luhurnya budaya lama. Betapa
berlikunya perjuangan para pendahulu. Namun jika semua itu diabaikan
bahkan dilupakan, maka ia akan kehilangan jati diri. Banyak calon
pejabat bersikap seperti bunglon, baik-baik dalam kampanye pemilihan
dirinya, namun Ketika ia terpilih menjadi pejabat lupa akan kata-katanya,
janji-janjinya kepada rakyat yang telah mengantarnya ke kursi jabatan
tinggi. Setelah duduk di tempat tinggi dia tidak melihat rakyat yang
jauh di bawah kursinya dan ia melupakan apa yang telah dikatakannya
sebelumnya sehingga ia bisa duduk di kursi tinggi itu.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Haidar Ikram Ramadhan “Kabar Hitam dari
Bukit Barisan” menceritakan kekejaman memilukan pada Yuyun, gadis
14 tahun yang diperkosa secara bergilir oleh belasan pemuda. Seusai
pulang sekolah, Yuyun dicegat pemuda berjumlah 14 orang yang
selesai minum tuak. Yuyun mengenalnya sebagai tetangga dan teman
sekolahnya. Para pemuda itu menyeret Yuyun ke semak-semak kemudian
memperkosa dan menganiayanya beramai-ramai. Mereka membunuh
dengan memukul kepala Yuyun dengan balok, mengikat tubuh Yuyun
dan membuangnya ke dalam jurang. Hari itu, Sabtu 2 April 2016,
kejadian di sekitar perkebunan di jalan setapak antara tempat sekolah
Yuyun dengan rumahnya, sekitar 1.5 kilometer, yaitu di Desa Kasie
Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu. Yuyun masih sangat muda, ia berusia 14 tahun,
seharusnya masih panjang langkahnya, masih belia usianya mengarungi
kehidupan Orang tua Yuyun, Yakin dan Yana gelisah karena anaknya,
Yuyun, belum tiba di rumah. Hari telah malam, ke mana Yuyun pergi?

141
Itu pertanyaan yang mengusik pikiran kedua orang tua Yuyun. Hal yang
sama juga dirasakan oleh Yayan, saudara kembar dari Yuyun. Keluarga itu
lalu melapor ke kepala kampung bahwa anaknya, Yuyun, belum pulang
hingga malam itu. Akhirnya kepala kampung, orang tua Yuyun, dan warga
desa mencari keberadaan Yuyun. Malam itu, mereka tidak menemukan
Yuyun. Pada pagi hari, diteriakkan oleh warga bahwa Yuyun telah
ditemukan. Tubuh Yuyun ditemukan mengenaskan di jurang sedalam
15 meter oleh Dasri, seorang petani yang hendak ke kebun. Tubuhnya
telanjang, tangannya terikat ke belakang, kemaluannya sudah rusak
karena kekerasan; dan sudah tidak bernyawa. Hasil visum dari dokter di
Puskesmas Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong bahwa anus dan vagina
Yuyun sudah robek dan menyatu. Yuyun tetap diperkosa secara bergilir,
walaupun dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Di tubuh Yuyun banyak
ditemukan bekas penganiayaan, kepala dihantam dengan balok, tulang
rusuk patah, dan tulang pinggang sudah tidak pada tempatnya. Peristiwa
tersebut menjadi pemberitaan media. Masyarakat Bengkulu terhenyak
dengan peristiwa itu. Mengapa pelaku begitu brutal dan biadab? Mereka
hanya berteriak setelah ada bencana melanda. Mereka berkoar setelah
jatuh korban nyawa. Mereka ingin menjadi penolong ketika korban
sudah tak bernyawa. Tuak itu telah menjadi sumber perekonomian desa.
Tuak dijual murah kepada siapa saja asal mau membayar dengan uang.
Anak-anak remaja bebas membeli dan menenggak tuak di saat waktu
harus sekolah.
Orang tua Yuyun,Yakin dan Yana sangat sedih atas kematian anaknya
yang tidak terpikirkan oleh mereka akan seperti itu. Adiknya, Yana, juga
demikian. Para pemuda itu akhirnya menyerahkan diri atau tertangkap.
Keluarga Yuyun bertetangga dengan beberapa keluarga pelaku, juga
menjadi tetangga kebun, sering gotong royong dan berkebun bersama.
Sejak kejadian itu keluarga Yuyun merasa tatapan tetangga yang
anaknya menjadi pelaku semakin tak ramah dan ada sorot teror dan
kebencian. Keluarga pelaku layaknya setan yang akan menelan keluarga
Yuyun. Keluarga Yuyun merasa tak nyaman, sehingga rumah dan kebun
kopi mereka jual dan pindah dari desa Kasie Kasubun ke daerah Gunung

142
Kaba, yaitu di kompleks Sekolah Polisi Negara (SPN Gunung Kaba) dan
mendiami rumah dinas wakil kepala sekolah yang masih kosong di kaki
Gunung Kaba, wilayah Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang
Lebong. Keluarga Yakin dan Yana hidupnya belum jelas seperti apa dan
mau apa. Yayan saudara kembar Yuyun pun belum juga sekolah.

LIMA
Sahabat, puisi esai Suyuti “Sang Pendobrak” ini bercerita tentang
kepemimpinan beberapa gubernur di Provinsi Bengkulu. Cerita diawali
dengan sejarah wilayah yang kini disebut Provinsi Bengkulu. RM Ali
Amin adalah pejabat Gubernur Provinsi Bengkulu yang pertama (1968-
1973). Wilayah yang kini disebut Provinsi Bengkulu pada awalnya
adalah wilayah dari beberapa kerajaan kecil. Beberapa kerajaan
yang pernah berdiri di wilayah ini, antara lain Kerajaan Sungai Serut,
Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan
Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan
Marau Riang, yang pada hakikatnya merupakan negara-negara suku.
Tahun 1685-1824 Bengkulu termasuk dalam salah satu wilayah
yang berada dalam pendudukan penjajah Inggris. Pada 1685 Ralp
Ord dan William Cowley memimpin ekspedisi untuk membuka
kembali perusahaan pembelian lada dari Banten, yang dialihkan ke
Bengkulu. Traktat itu mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng
dan berbagai gedung. Benteng York didirikan 1685 di sekitar muara
Sungai Serut. Pada 1713 didirikan lagi sebuah benteng yang lebih
besar, tebal, dan kuat yang selanjutnya dinamai Fort Malborough.
Pembangunan benteng ini rampung pada 1719. Benteng Malborough
tersebut dilengkapi dengan 71 buah me­riam, untuk membuatnya
benar-benar menjadi sebuah benteng yang kuat sebagai basis
pertahanan. Tetapi sepanjang penjajahan, rakyat Bengkulu senantiasa
mengadakan perlawanan. Pada masa penjajahan Be­ landa (1824-
1942) dilaksanakan cultur stelsel tanaman kopi, kerja rodi, pungutan
pajak, eksploitasi tambang emas di Rejang Lebong, dan di­adakan
perbedaan klas antara pribumi, Eropa, dan Cina. Bengkulu juga

143
pernah dijadikan pemerintah penjajahan Belanda sebagai tempat
pengasingan Ir. Soekarno pada masa perang perjuangan merebut
kemerdekaan.
Tongkat kepemimpinan berpindah tangan dari RM Ali Amin pada
seorang pemimpin dari negeri seberang. Ia bernama Suprapto. Karier
kepemimpinannya diawali sebagai camat Nganjuk dan kemudian
menjadi Wedana. Pada akhirnya dia diangkat menjadi Bupati Nganjuk. Ia
menjadi Gubernur Provinsi Bengkulu selama 11 tahun. Suprapto, lahir di
Pulorejo, Jombang, Jawa Timur. Dia bertekad membangun jiwa aparatur
negara. Suprapto memerintah dengan memberi contoh kepada rakyat
dan bawahannya. Ia membangun disiplin dan sifat kerja keras dengan
menghilangkan kemalasan dan mental asal-asalan. Ia selalu menjaga
kerapian dan kebersihan. Suprapto, B.A., merupakan Gubernur Bengkulu
ketiga, setelah M. Ali Amin, S.H. dan Drs. Chalik. Masyarakat Bengkulu
mengakui pada masa Pak Prapto, Provinsi Bengkulu maju pesat. Karya
beliau yang monumental, yaitu membuka isolasi Bengkulu dengan
membangun infrastruktur perhubungan darat di dalam dan ke luar
Provinsi Bengkulu, mendirikan Universitas Bengkulu, dan membangun
Pelabuhan Samudra Pulau Baai.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Provinsi Bengkulu Genderang Bumi Raff­
lesia menggambarkan kehidupan manusia yang kompleks. Bengkulu
tempat proklamator kemerdekaan, Soekarno diasingkan telah mem­
buat rakyatnya bangga. Adat budaya yang mengakar dengan perlahan
dapat diubah sehingga menjadi ikon Kota Bengkulu dan diketahui
seluruh rakyat Indonesia bahkan dari negara lain. Dol menjadi terkenal,
karena rakyatnya melestarikan budaya itu. Manusia tak bisa lepas dari
beragam persoalan. Generasi muda yang menyimpang dari moral
aturan kehidupan hendaknya diberi hukuman yang menimbulkan efek
jera bagi anak dan orang tua.

144
Penguasa yang
Sewenang-wenang
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI LAMPUNG

Judul Buku : Penyelam dari Padang Hitam


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 95 halaman
Penulis : Endri Y., Fajar Mesaz, Isbedy
Stiawan ZS, Jafar Fakhrurozy,
Syaiful Irba Tanpaka
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-04-0

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan kehidupan miskin di wilayah
pro­
vinsi Lampung. Kampung begal yang miskin, orang miskin
membawa jenazah dengan angkot, warga miskin tanahnya diserobot,
kampung mis­kin di tengah kota, dan perempuan miskin yang jadi
pelacur. Kemiskinan yang menarik untuk dicermati.

LIMA INTI SARI BUKU


 Nila setitik rusak susu sebelanga.
 Risiko orang miskin.
 Kampung kumuh di tengah kota.
 Merebut Tanah Ulayat.
 Mencari nafkah dengan melacur.

SATU
Sahabat, puisi esai Endry Y. “Legenda Para Penyelam di Kampung
Begal” mengisahkan “Kampung Begal” di Jabung, Kabupaten Lampung
Timur, Lampung. Jabung adalah nama kecamatan di Kabupaten
Lampung Timur. Terdiri atas 15 desa, 103 dusun, dan 322 RT. Seluruh
desa di kecamatan itu berstatus desa swasembada, jadi pusat pertanian

145
yang subur dan penyumbang hasil panen terbesar di Lampung Timur.
BPS tahun 2017 melansir, sawah padi yang panen pada tahun 2016
seluas 12.687 hektare. Warganya juga tercatat sebagai orang yang
taat membayar pajak, saleh menjalankan perintah agama, desanya
damai dan permai. Meskipun demikian, oknum pejabat di kepolisian,
menyebutnya dengan stigma: kampung begal. Puncaknya, Tim Khusus
Anti Bandit (Tekab) 308 Polresta Bandarlampung menembak lima anak
remaja yang disebutnya terduga pelaku begal. Mayat anak-anak pelajar
SMA yang ditembak itu dijajar, lalu aparat polisi berfoto di belakangnya.
Foto itu menjadi viral di media sosial, dan menimbulkan pro-kontra di
kalangan netizen. Ada yang setuju, ada juga yang menilai bahwa pose
di depan jenazah, meskipun begal, tak manusiawi. Apalagi tidak ada
bukti yang menguatkan kelima remaja itu adalah pembegal.
Jika dilihat data bahwa Jabung berstatus desa swasembada,
jadi pusat pertanian yang subur, mengapa ada wilayah yang disebut
kampung begal? Konon kehidupan warga di Jabung sangat miskin.
Warga mengandalkan air tandon hujan untuk mandi dan mencuci.
Untuk minum, mereka harus membeli air mineral dengan galon.
Struktur tanahnya berbatu, hanya cocok untuk singkong dan pepaya.
Para pendatang di desa itu tekun mengolahnya sehingga bisa menjadi
lahan padi yang menghasilkan. Pemuda di desa itu tidak pernah
ikut mengolah tanah. Mereka hanya duduk-duduk dan merokok
dan menatapi tanah batu. Padahal para pendatang bisa mengolah
tanah menjadi lahan produktif yang dapat ditanami. Mereka tidak
mau bertani dan memilih cara lain untuk menghasilkan uang, yaitu
mencuri. Laki-laki di desa itu kebanyakan menjadi penjahat, begal
jalanan yang merampas kendaraan motor, dipereteli lalu dijual
menjadi barang rongsokan. Banyak yang ditangkap dan dipenjara.
Ketika keluar mereka melakukan kegiatan semula, menjadi begal.
Namun, ada juga yang mempunyai pekerjaan, seperti satpam atau
tukang parkir di kota. Mereka mengatakan bahwa sebagai penjahat
atau pencuri harus pandai bertransformasi dari mencuri televisi,
maling sapi, membegal sepeda motor, atau mencuri ponsel. Mereka

146
sudah diberi stigma tukang begal atau penjahat pencuri.
Mereka merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua
warga melakukan pembegalan. Ada warga yang melakukan hal
positif dan berhasil, misalnya mereka bisa menjadi juara MTQ, juara
silat, penulis buku, pematung dan masih banyak lagi. Ada juga warga
yang mengembangkan wisata desa, yaitu dengan memperkenalkan
potensi desa-desa yang ada di Jabung. Caranya dengan mengundang
warga dari berbagai daerah berkunjung ke Jabung. Dengan melalui
pariwisata itu, warga Jabung berharap dengan perlahan stigma
kampung begal yang tidak aman dan seram mulai terkikis. Objek
wisata desa yang telah dikembangkan warga bernama Way Guruh.
Tempat itu memiliki potensi untuk menjadi salah satu destinasi
wisata di Kabupaten Lampung Timur. Pemandian alam ini berlokasi
di Desa Negara Batin, Kecamatan Jabung. Way Guruh dikembangkan
secara swadaya dengan dukungan pemilik lahan, para tokoh
masyarakat, dan tua-tua setempat. Mereka bersemangat membuat
perubahan di wilayah desa itu. Mereka bergotong-royong melakukan
berbagai kegiatan di Way Guruh, mulai dari membersihkan, membuka
jalan masuk, menata beberapa titik di lokasi yang bisa membuat Way
Guruh menjadi semakin menarik bagi para pengunjung. Warga juga
mulai mempromosikannya melalui media sosial. Di objek wisata Way
Guruh terdapat di antaranya, batu sajadah, yaitu dua lempengan batu
berukuran besar terletak berdampingan. Di sekitaran batu itu ada
aliran air. Terdapat juga sungai dengan aliran air yang tidak deras yang
dapat dimanfaatkan pengunjung khususnya anak- anak yang gemar
bermain air. Selain itu, para pemuda di Kecamatan Jabung, Lampung
Timur telah menggagas program Jumat menanam di berbagai titik
lokasi. Jenis tanaman yang ditanam di antaranya, vanili, pohon-
pohon kayu. Program yang digelar setiap Jumat itu diharapkan dapat
menumbuhkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan. Selain
itu melalui menanam diharapkan akan meningkatan pendapatan
masyarakat desa. Hal-hal seperti itu lama kelamaan dapat mengubah
stigma bahwa yang dari Jabung itu tidak selalu identik dengan begal.

147
Selalu saja setiap pemberitaan kriminal, khususnya pembegalan
atau pencurian kendaraan motor dengan kekerasan, pelaku akan
disebut berasal dari Jabung, Lampung Timur. Stempel tersebut begitu
menyakitkan. Tidak dipungkiri, Kecamatan Jabung dikenal publik
mengarah konotasi negatif lantaran pelaku perbuatan kriminal kasus
pencurian kendaraan bermotor berasal dari wilayah tersebut.

DUA
Sahabat, puisi esai Fajar Mesaz “Masih Ada Angkot Pengganti
Ambulans” mengisahkan rakyat kecil yang merasa terabaikan
pelayanan rumah sakit karena tidak punya uang. Pasien-pasien
miskin harus berhadapan dengan pelayan administrasi dan birokrasi
berbelit saat berurusan dengan rumah sakit. Padahal, mereka adalah
para pemengang kartu berobat BPJS yang selalu menjadi slogan para
calon pemimpin atau wakil-wakil rakyat kala menjanjikan skema
kesehatan gratis di setiap ajang pertarungan apa saja. Pada suatu
hari, September 2017, Delvasari, warga kampung Gedung Nyapah,
Kecamatan Abung Timur, Lampung Utara, harus menjadi topik hangat
di berbagai jejaring media karena membawa anaknnya yang sudah
meninggal dengan angkutan kota (angkot) akibat ketiadaan biaya
menyewa ambulans.
Delvasari, warga Kampung Gedung Nyapah, Kecamatan Abung
Timur, Lampung Utara melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Abdul Muluk, Bandar Lampung, namun nyawa bayinya tidak
tertolong. Kotabumi adalah Ibukota Kabupaten Lampung Utara yang
berjarak sekitar 75 km dari Kota Bandarlampung, tempat Rumah
Sakit Umum Abdul Muluk (RSUAB) berada. Kotabumi terbilang ‘kota
tua’ yang ada di Lampung dan sudah ada jauh sebelum Lampung
Utara mengalami pemekaran menjadi beberapa kabupaten otonomi
seperti Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten
Tulangbawang, Kabupaten Tulangbawang Barat, Kabupaten Mesuji
dan Kabupaten Pesisir Barat. Delvasari melahirkan di rumah sakit itu
tetapi anaknya meninggal. Ia meminta bantuan rumah sakit untuk

148
membawa jenazah anaknya menggunakan ambulans. Penggunaan
ambulans dari rumah sakit ternyata tidak ada dalam tanggungan
BPJS, harus membayar sendiri. Bagi Delvasari, ongkos ambulans dari
rumah sakit ke rumahnya sangat mahal. Dua juta bagi Delvasari
adalah jumlah uang yang sangat banyak. Ia tidak memiliki uang
untuk membayarnya. Delvasari tidak memliki biaya untuk menyewa
ambulans, ia membawa jenazah anaknya dengan angkutan umum.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat RSUDAM mengakui,
biaya penyewaan ambulans tidak termasuk fasilitas yang didapat
melalui cara klaim BPJS Kesehatan. Pasien yang tidak mampu, bisa
mengajukan permohonan dan akan langsung dibantu. Rumah sakit
tersebut ada dana kemitraan untuk membantu pasien miskin atau
gelandangan dan dapat dipakai untuk membayar ambulans. Tapi
pada kenyataannya itu tidak terjadi. Delvasari naik angkutan umum
membawa jenazah bayinya pulang ke rumah.
Kejadian warga miskin membawa jenazah bayinya pulang dari
rumah sakit dengan angkot kembali terulang di Lampung. Hanya
berselang setengah bulan dari kejadian yang menimpa Delvasari,
terjadi pula di Kabupaten Lampung Tengah. Rakyat miskin dari
Kampung Kibang, Kecamatan Menggala, Tulangbawang Bernama
Hendra dan Emilia Sari harus membawa jenazah bayinya dengan
angkot dari Rumah Sakit Demang Sepulau Raya, Lampung Tengah
ke rumahnya. Sama dengan Delvasari, Hendra tidak bisa membayar
ongkos ambulans. Kata Hendra, “Kami berupaya memakai jasa
ambulans untuk membawa jenazah bayi, tapi dengan jarak 85
kilometer, nilainya hampir dua juta, itu sungguh berat. Pihak rumah sakit
melakukan klarifikasi bahwa penggunaan ambulans bisa dilakukan
oleh warga tidak mampu, yaitu dengan menunjukkan surat miskin.
Pascakejadian pulangnya Hendra dengan bayinya menggunakan
angkot, Kepala Bidang Promosi dan Sumber Daya Manusia RSUD
Demang Sepulau Raya, menjelaskan alasan mengapa pasien itu
harus pulang dengan angkutan kota. Kata beliau, “Bayi diagnosis
ataxia berat. Nyawa tak tertolong setelah menjalani penanganan

149
menggunakan BPJS Kesehatan. Mereka kira biaya ambulans gratis.
Padahal hanya pada pemberangkatan atau rujukan, ketika pulang
atau mengantar jenazah ada biaya sesuai peraturan BPJS Kesehatan,
masyarakat kurang paham fasilitas penyediaan ambulans. Hendra
dan anaknya yang meninggal itu tak ingin mendengar penjelasan itu.

TIGA
Sahabat,puisi esai Isbedy Stiawan ZS “Texas,Lorong dari Masa
Silam” menceritakan sebuah kampung bernama Texas dan Toblok.
Kawasan tersebut masuk Kelurahan Pesawahan, Telukbetung. Namun
daerah ini tak tersebut dalam peta Kota Bandar Lampung. Kedua
kampung padat ini dekat dengan Jumbo Seafood, Jalan Kakap,
Telukbetung. Baik Texas maupun Toblok, sampai kini menyandang
sebutan sebagai kampung pengemis; sampai-sampai ada anggapan
miring bahwa para pengemis dari daerah itu menyewa(kan) anak-anak
yang digendong atau disuruh meminta di perempatan lampu jalan. Di
masa lalu, di wilayah itu terdapat stasiun kereta api bernama Stasiun
Teloek Betoeng. Stasiun itu berujung di Stasiun Garuntang. Oleh karena
stasiun sudah tidak berfungsi lagi, tumbuhlah rumah-rumah kardus
yang dihuni para gelandangan dan pengemis. Dua kampung tersebut
masuk wilayah Kelurahan Pesawahan, Teluk Betung. Rel kereta api yang
menuju Garuntang sebagian tertimbun tanah dan bangunan, lainnya
sudah dibongkar orang. Stasiun Garuntang merupakan perhentian
pengangkutan karet yang kemudian akan disimpan atau dikirim dari
beberapa gudang pabrik karet. Selain itu, stasiun Garuntang juga sebagai
stasiun perhentian sesaat jika ada kereta masuk dari arah berlawanan:
Kertapati (Sumsel)-TanjungKarang- Panjang, dan sebaliknya. Sejarah
perkeretaapian itu kini lenyap ditelan pembangunan.
Kisah dimulai, ketika seorang ibu setengah baya sedang
memilih buah di pasar Gudang Lelang. Saat tawar-menawar, tiba-
tiba seseorang tak dikenal merampas dompet yang diselipkan di
ketiaknya. Dompet beserta uang pun raib. Lelaki penjambret itu
berlari kencang dan menghilang di kampung padat huni dan kumuh

150
itu. Lelaki penjambret itu seperti diselimuti rumah-rumah yang padat.
Layaklah jika kampung itu terkenal dengan sebutan Texas tempat para
penjambret dan pencopet berlari ke kampung itu untuk sembunyi.
Kampung sempit, dengan berbagai lorong, mudah menelan penjahat
pasar dari buruan. Apalagi orang-orang yang ada di daerah itu akan
membantu menyembunyikan penjambret atau pencopet di dalam
rumah atau di antara lorong yang gelap. Kehidupan masyarakat di
situ miskin. Untuk kebutuhan sehari- hari, mereka mengemis, atau
menjadi preman, atau pelacur. Kondisi penghuni di wilayah itu
menimbulkan stigma buruk yang terus melekat hingga sekarang.
Memasuki kawasan Texas sudah lebih dulu dirasuki khawatir dan
takut. Apalagi di daerah ini, dengan rumah-rumah yang padat, gang
yang hanya seukuran badan. Situasi itu menimbulkan rasa takut dan
tidak nyaman. Para perempuan berpakaian amat minim. Sementara
kaum lelaki, tampak di sekujur badannya berhias tatoo. Jika bukan
penduduk di daerah itu, makai a akan merasa gerah ditatapi mata
yang tajam dan sinis.
Warga Toblok dan Texas umumnya bekas pegawai perkerataapian.
Rumah-rumah kardus yang dihuni pendatang itu dibangun permanen
setelah bangunan stasiun dirobohkan. Lama-lama kawasan ini padat
penghuninya. Jarak antara satu rumah dan lainnya tak lebih satu meter.
Rumah-rumah itu dibangun berlantai dua terbuat dari kayu atau
bata. Beberapa warga yang berada di dekat Texas mengatakan bahwa
kawasan ini sekarang sudah aman. Namun, diakuinya, stigma masa lalu
belum pula terhapus. Warga menyarankan pemerintah harus berperan
agar stigma negatif itu terhapus,misalnya“menyulap”kawasan kumuh
menjadi tertata baik. Pembangungan mesti sampai ke kawasan
seperti itu. Penduduk di kawasan Texas maupun Toblok masih belum
sah kedudukannya secara hukum. Mereka berumah di lahan milik
perusahaan kereta api. Jika suatu ketika perkertaapian membutuhkan
lahan itu, apakah mereka harus meninggalkan tempat itu, lalu
mencari lahan baru untuk berlindung dari hujan dan panas sebagai
istirahat jika penat dan lelah. Warga itu akan berteriak bahwa itu

151
kampung mereka, pajak bangunan selalu lunas. Sebagaimana di atas
pintu tercatat nomor rumah, erte, lingkungan, dan nama kelurahan.
Artinya mereka bukan penduduk gelap dan bukan lagi pendatang.
Bandar Lampung tidak hanya dikenal sebagai kota ruko dan pasar
modern, namun mulai menabalkan gelar sebagai kota fly over. Jalan-
jalan dimuluskan, kampung diterangkan dengan aliran listrik. Namun,
Texas dan Toblok seperti diabaikan. Malam terasa temaram, jika
siang membakar badan. Wilayah itu seperti bukan berada di dalam
kota walau sudah ada penerangan. Wilayah itu layaknya di rumah-
rumahan. Orang-orang pergi dan pulang dengan langkah pelan.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Jafar Fakhrurozi “Tanah Ulayat Digerogoti
Ulat” ini bercerita tentang perjuangan warga menuntut pemerintah
menghentikan pencaplokan tanah ulayat. Warga melakukan audiensi
dengan Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tindakan
warga tidak mendapat respons dari pemerintah, mereka melakukan
unjuk rasa. Terkisah Bujang, pemuda kelahiran Bujung Tenuk pewaris
empat kebudayan, pemilik sah tanah adat Megou Pak Tulang Bawang.
Tanah adat Megou Pak Tulang Bawang adalah sebutan untuk
masyarakat adat pepadun di Kabupaten Tulang Bawang. Tanah adat
pepadun Megou Pak Tulang Bawang memiliki empat kebuayan yaitu
Buay Bulan (Kecamatan Menggala dan Kecamatan Tulang Bawang),
Buay Suwai Umpu (Kecamatan Menggala, Kecamatan Gunung Terang
dan Kecamatan Simpang Pematang), Buay Tegamoan (Kecamatan
Tulang Bawang Tengah dan Kecamatan Menggala), dan Buay Aji
(Kecamatan Gedong Aji). Masyarakat adat Megou Pak Tulang Bawang
memiliki mata pencaharian sebagai petani, pedagang, dan penangkap
ikan. Sejak tahun 1991, sejumlah korporasi menggusur tanah ulayat
yang dimiliki masyarakat adat Tulang Bawang. Mereka menggusur
dengan berbagai cara.Tak hanya tanah ulayat yang digusur, mereka
juga menyerobot lahan cadangan transmigrasi, menyerobot lahan
konservasi, serta menyerobot Register 47 melebihi Hak Guna Ulayat

152
(HGU) yang ditentukan. Lahan hasil penyerobotan kemudian ditanami
pohon tebu untuk produksi gula. Bujang akan pergi berjuang. Ia dan
orang-orang sekampung, tua muda akan berangkat meninggalkan
desa menuju ibu kota Provinsi Lampung atau sering disebut Sang
Bumi Ruwai Jurai. Ada juga yang menyebutnya Sai Bumi Ruwa Jurai.
Meskipun julukan itu berbeda, namun keduanya memiliki arti yang
sama yaitu satu bumi dua aliran adat budaya yakni saibatin dan
pepadun. Bujang dan orang sekampung akan mencurahkan segala
keluh kesah kepada para pemimpin daerah dan wali rakyat. Mereka
meminta belas kasihan sebagai sesama manusia dan menuntut
keadilan atas kesewenang-wenangan yang telah dilakukan kepada
mereka. Warga desa itu adalah pemilik hak yang sah atas tanah- tanah
yang dirampas oleh cukong dan penguasa. Sepuluh truk terbuka
digunakan untuk mengangkut orang-orang kampung. Juga bekal
dan peralatan, semua disiapkan dengan paripurna, tak lupa doa-doa
dan jampi-jampi. Sejumlah seratus orang akan berangkat mewakili
penduduk kampung. Mereka berangkat pukul tujuh dan tiba setengah
sepuluh di Tanjung Karang. Kota ini, berabad-abad silam telah jadi
tempat singgah, mulai dari pribumi hingga penjajah. Orang Jawa,
Bugis, Padang, Cina, Bengkulu dan suku lainnya datang dan pulang
silih berganti hingga Gunung Krakatau meletus menyapu rumah,
ladang, dan harta benda dan juga puluhan ribu jiwa manusia. Bujang
saksikan pembangunan jalan laying, gedung-gedung bertingkat.
mal, hotel, dan sepanjang keramaian yang meliputinya. Di sepanjang
jalan, Bujang menyaksikan wajah- wajah terpampang di baliho.
Senyum manis para pembesar negeri seakan menyambut kedatangan
mereka. Bujang menatap sinis, ia justru teringat wajah para centeng
yang saban hari mengintimidasi penduduk di kampungnya. Dengan
senyum pahit dan dahi yang tak berhenti mengernyit, para centeng
itu menyalak bagai anjing majikan yang baru dilepaskan. Mereka
menggedor-gedor rumah, membuat warga mati berdiri karena para
centeng mengacungkan parang dan bedil ke muka wajah penduduk.
Kawasan rawa Bujung Tenuk di kota Menggala merupakan daerah

153
rawa pasang surut yang menjadi tampungan air di musim hujan secara
alami, sehingga musim hujan terlihat seperti danau yang sangat luas
dan tentu saja pemandangannya sangat indah. Pada musim kemarau
kawasan ini menjadi padang luas yang dihinggapi oleh berbagai
jenis burung spesies langka di dunia dan dapat dijadikan untuk
menggembala ternak masyarakat. Kawasan itu juga telah diambil oleh
cukong. Di tanah itu, Bujang tidak akan melupakan kejadian malang
yang menimpa sanak saudaranya. Ayah dan anak terbunuh dengan
leher hamper putus. Dua orang itu Rebo dan Sodri dibunuh pada 19
November 2002. Dua warga Bujung Tenuk tersebut diduga dibunuh
oleh sekelompok orang yang tergabung dalam salah satu ormas
yang disewa oleh perusahaan. Berdasarkan keterangan warga dan
pemberitaan oleh media massa, ormas tersebut adalah PAM Swakarsa.
Warga diminta untuk merelakan tanahnya dipancangi patok-patok,
ditanami aneka tanaman yang tak akan lagi bisa dipanen. Mereka
mengatakan agar warga pasrah, tanah ulayat itu diambil cukong
perusahaan. Tanah Ulayat adalah tanah bersama-sama yang dimiliki
oleh para warga masyarakat hukum adat, yang di dalamnya melekat
serangkaian hak, kewajiban, dan wewenang dari masyarakat hukum
adat tersebut menurut hukum adat mereka, untuk mengelola dan
mengambil manfaat terhadap tanah yang mereka kuasai yang terletak
di dalam lingkungan wilayahnya. Direbutnya tanah nenek moyang
oleh pengusaha adalah penghinaan terhadap kehormatan. Oleh
karena itu adalah warisan dari perjuangan nenek moyang berabad-
abad yang telah membuka hutan yang gelap, sampai tercipta ladang-
ladang terang. Bujang dan orang-orang sekampung sudah berpuluh
tahun menderita hidup dengan trauma terusir dari rumah sendiri.
Sepanjang tanah membentang hanya tersisa kenangan membayang
di antara batang-batang tebu. Bujang terus berjuang bersama warga
kampungnya. Ini tanah Tuhan yang dianugerahkan kepada kami maka
akan terus kami perjuangkan, kata Bujang bersemangat. Meski harus
menghadapi desing peluru dan sabetan parang, mereka akan bertahan,
demi kembalinya tanah nenek moyang mereka.

154
LIMA
Sahabat, puisi esai Syaiful Irba Tanpaka “Seruni Tak Pulang ke
Desa” mengisahkan Nini atau Seruni yang lahir pada 18 Mei 1981
di daerah Jawa Barat. Ia terlahir di keluarga miskin. Ia sekolah sepeti
anak-anak lainnya. Di tahun kedua SMA ia tertarik pada laki-laki dan
ia dihamili laki-laki itu. Setelah mengetahui Nini hamil, laki-laki itu
pergi tidak mau bertanggung jawab. Nini harus mengurus anak dan
sekolahnya tidak selesai. Setahun ia merawat anaknya dengan kondisi
serba kekurangan. Untuk mengubah nasibnya, ia lalu pergi merantau
meninggalkan anak dan mencari pekerjaan di Lampung. Namun untuk
mendapatkan pekerjaan, apalagi ia hanya memiliki ijazah lulusan
sekolah menengah, tentu saja tidak mudah. Ia menjadi pelacur untuk
dapat mengirim uang ke anak yang ditipkan ke orang tuanya di
kampung. Menjadi pelacur bukanlah cita-cita tapi adakah nilai ijazah
sekolah lanjutan pertama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak
di zaman yang memuja profesionalisme dan massa globalisasi yang
didukung teknologi canggih. Maka demi hidup anak dan keluarganya,
Nini menerima tawaran seorang kenalan untuk menjadi pekerja seks
komersial di lokalisasi Pemandangan pada tahun 1999. Nini merasa
pedih. Dia merasa sebagai orang-orang kalah, tidak punya pilihan
yang dipaksa melupakan arti dosa dan pahala kecuali sepiring nasi
untuk dimakan. Nini tidak punya pilihan selain membiarkan tubuhnya
menjadi mata uang.
Lokalisasi Pemandangan merupakan lokalisasi atau kompleks
pelacuran terbesar di Kota Bandar Lampung bersama-sama lokalisasi
Pantai Harapan Panjang yang letaknya tidak berjauhan. Nini berubah
hidupnya seperti kelelawar. Kelelawar adalah mamalia yang dapat
terbang yang berasal dari ordo Chiroptera dengan kedua kaki depan
yang berkembang menjadi sayap. menyukai tempat yang gelap untuk
beristirahat seperti: gua, pohon berlubang, atau loteng. Kelelawar
beristirahat pada siang hari dan beraktivitas pada malam hari. Nini
seperti keleIawar, dari matahari terbit hingga senja hari ia tidur.
Setelah itu, ia akan melayani para lelaki yang menghamburkan

155
uang untuk menikmati tubuhnya. Pelanggannya mengantre untuk
mendapatkannya. Dia merasa sedih dan beruntung. Kesedihan
itu merambat turun bersembunyi di sudut hati yang terdalam.
Beruntungnya ia mendapat uang banyak dari tubuhnya. Paling
penting bagi Nini, yaitu mendapat uang untuk dikirimkan ke orang
tuanya di kampung. Orang tua Nini tidak tahu pekerjaan apa yang
dilakukan Nini. Kirimannya lancar dari bulan ke bulan dan cukup
untuk menghidupi orang tua dan anaknya. Nini menjadi primadona di
lokalisasi itu. Nini menggunakan nama panggilan Seruni. Dalam dunia
prostitusi maupun di ruang-ruang tempat hiburan, nama sebenarnya
harus disimpan rapat-rapat. Para pelanggan boleh memanggil nama
samaran, yang biasanya diberikan oleh “mami-mami” ataupun yang
bersangkutan. Hasrat untuk meraih kehidupan yang lebih baik bagi
diri dan keluarganya tidak pernah kesampaian.
Ketika Perda Kota Bandarlampung Nomor 15 Tahun 2002
tentang larangan perbuatan prostitusi dan tuna susila dalam wilayah
Kota Bandarlampung diumumkan, lokalisasi Pemandangan pun
ditutup. Ada ketentuan yang harus dipatuhi, yaitu disebutkan pada
Bab I Ketentuan Umum Pasal (1) ayat (f) yang dimaksud perbuatan
prostitusi adalah perbuatan yang dilakukan oleh siapapun baik laki-
laki maupun perempuan yang menyediakan diri sendiri atau orang
lain kepada umum untuk melakukan pelacuran, baik dengan imbalan
jasa maupun tidak. Sedangkan pada ayat (g) yang dimaksud dengan
Tuna Susila adalah seorang laki-laki/perempuan yang melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang
dengan bergantian pasangan di luar perkawinan yang sah dengan
mendapat uang, materi atau jasa. Ketika lokalisasi pelacuran ditutup,
ia malu untuk kembali ke kampung. Agar tetap bisa menghidupi diri
dan keluarganya, ia bekerja serabutan. Nini menjadi pemandu lagu,
pelayan warung remang-remang, menjadi terapis pijat tradisional,
hingga mangkal di pinggiran jalan. Saat lokalisasi pelacuran
beroperasi secara ilegal, ia kembali bekerja sebagai pelacur.
Bersyukur Nini kembali bertemu seorang teman yang masih setia

156
tinggal di lokalisasi Pemandangan. Ia mengajak Nini Kembali dan
berkata bahwa meski telah ditutup, Pemandangan tidak pernah bisa
tertutup. Ibarat pintu tak berkunci, meski ditutup bisa dibuka kapan
saja. Lely teman Nini berkata, ‘Ayolah temanku, jadi penghuni neraka
yang abadi, kembalilah kita bersama lagi.’ Tahun 2013 ketika itu, tiga
puluh dua tahun usia Nini, usia yang terbilang tak muda lagi. Namun,
Nini tidak peduli. Ia masih terlihat cantik dan seksi. Nini tidak mau
pulang ke kampung, dia bahagia tinggal di lokalisasi Pemandangan
bersama teman-temannya. Jadi, Nini pun kembali menjelma menjadi
kupu-kupu yang terbang di cakrawala malam. Nini mengepakkan
kedua sayapnya di tengah kegelapan dalam mabuk yang sempurna.
Ia merasa berada pada langit ke tujuh melayang-layang, sambil
bernyanyi, terus bernyanyi, dan bernyanyi. Razia demi razia dilakukan.
Para pelacur yang tertangkap dibawa ke panti rehabilitasi dinas
sosial untuk dibina agar beralih profesi. Namun tahukah para aparatur
negara itu bahwa diberi keterampilan saja tidak cukup? Seharusnya
mereka harus bertanggung jawab pula untuk membuka lapangan
kerja atas keterampilan yang telah diberikan kepada para PSK itu.

REFLEKSI
Sahabat,buku puisi esai Penyelam dari Padang Hitam menampilkan
fakta kehidupan miskin di wilayah Lampung. Mereka mencari peng-
hasilan dengan mencuri, merampok, ataupun melacur. Rakyat tidak
dapat berbuat apa-apa ketika menghadapi kemiskinan. Akhirnya
menyerah mengerjakan pekerjaan yang paling dasar untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia yang bahkan bertentangan dengan aturan
masyarakat atau pun agama. Mereka tidak tahu bahwa apa yang
mereka lalkukan itu melanggar hukum, yang mereka tahu bagaimana
mereka bisa makan. Hukum tidak pernah berpihak pada masyarakat
miskin. Pemerintah seharusnya hadir di kehidupan masyarakat miskin.
Bukan menekan dengan aturan-aturan yang semakin membuat rakyat
menjadi miskin dan tidak bisa melakukan sesuatu.

157
Pulau
Jawa

158
Kemiskinan Tak
Pernah Usai
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI BANTEN

Judul Buku : Baduy dan Tanah Luruh Benteng


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 93 halaman
Penulis : D. Pebrian, Fahruddin Salim,
Jodhi Yudono, Laora Arkeman,
Saefullah
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-13-2

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima tulisan puisi esai dari provinsi Banten. Ke­
miskinan tergambar dari setiap puisi esai yang dipaparkan. Ba­gaimana
kemiskinan itu bisa melingkupi sebagian orang? Oleh karena orang itu
tidak mau berubah mengikuti perkembangan zaman. Pola pikir akan
memengaruhi suatu kehidupan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Pribumi tersingkir di tanahnya.
 Ingin menjadi kaya.
 Hitam putih menghilang dari Suku Baduy.
 Penjajahan menimbulkan kemiskinan.
 Sawah mengering bukit lenyap.

SATU
Sahabat, puisi esai D. Pebrian “Seribu Industri di Tanah Benteng”
menceritakan pribumi di Tangerang, Banten. Banyak pribumi me­
nganggur karena para pendatang tinggal dan bekerja. Keberadaan
pribumi di tanah benteng, kini kota seribu Industri (Tangerang, Banten)
kondisinya lebih tertinggal dari ukuran pendidikan maupun materi.

159
Pendatang yang berpendidikan telah menetap di tanah benteng dan
mereka bekerja di pabrik-pabrik. Orang asli daerah itu lebih sering
menganggur dan rendah etos kerjanya dibandingkan dengan para
pendatang yang memang berniat bekerja. Oleh karena itu, sifat pri­
bumi dianggap semuanya sama perilakunya dan tidak dapat bekerja
dengan baik di pabrik. Orang asli Tangerang Banten sudah dianggap
pemalas dan tidak bisa bekerja,
Bustomi sekeluarga menjadi imbas kesalahan sebagian kecil
pribumi yang lain. Bustomi adalah takdir keluarga pribumi yang
tertinggal di kampungnya sendiri. Bustomi sebagai pribumi yang
tanahnya habis terjual dan hanya bertahan hidup menjadi buruh
di tanah benteng. Oleh karena tuntutan zaman yang tidak bisa
dibendung dan ia tergiur gaya hidup modern yang membutuhkan
uang banyak, dijuallah lahan kebun tempat tinggalnya dengan harga
tinggi. Ia tidak berpikir masa depan, yang penting punya uang banyak.
Padahal, ketika itu, Bustomi mendapatkan penghasilan untuk hidup
sehari-hari dari hasil kebunnya dengan menanam sayuran dan buah-
bahan. Ia tinggal dengan istri dan satu anaknya, bernama Toni. Setelah
lahan dijual, tanah bekas kebunnya itu dibangun pabrik. Bangunan
pabrik tinggi dan menutupi rumahnya yang kecil dengan tanah yang
tinggal sepetak terjepit di belakang pabrik.
Hidupnya Bustoni sekeluarga hanya mengandalkan uang hasil
penjualan tanah. Ketika uang itu habis, Bustoni melamar kerja ke
pabrik yang berdiri di atas bekas tanahnya. Bustomi sedih. Pabrik
bukan milik pribumi. Ratusan investor asing membeli lahan untuk
pabrik dan perumahan. Bustomi, istri, dan anak tunggalnya, Toni,
tinggal di sisa lahan yang dijual. Jalan utama dipagari tembok
pabrik. Sungai berbau karena limbah pabrik. Bustomi sekarang hidup
bersama mesin-mesin di pabrik. Itu menjadi masa depannya yang
harus ia alami. Dahulu ia bekerja di rimbunan pohon di kebun, kini
bergulat dengan gemuruh mesin yang panas. Ia bergumam dalam
hati, “Di sini, tempatku berpijak, kucuran keringat, sebab kerja dan
panas mesin pabrik. Aku lahir dan bermain semasa kecil. Lahan

160
temurun dari leluhur sebagai perkebunan sudah musnah, sudah lama
sekali”. Cita-cita sederhana Bustomi adalah anaknya, Toni, menjadi
buruh pabrik di kota itu dan segera menghasilkan uang. Namun
karena isu pribumi dan keluarga Bustomi adalah pribumi, maka hal
itu telah memberikan efek negatif. Toni, anak Bustomi tidak bisa
diterima sebagai pekerja pabrik. Perusahaan hanya menerima pekerja
dari pendatang dengan alasan kinerja pribumi tidak bagus. Para
pengusaha telah mempunyai stigma negatif pada pribumi, mereka
mengatakan kebanyakan pribumi itu pemalas, merasa punya kuasa di
kampung sendiri, lalu sesukanya jika jadi buruh. Mereka hanya akan
menghambat dan tidak mendukung kemajuan perusahaan dengan
banyak menuntut pada perusahaan. Setelah Toni tidak diterima
menjadi pekerja di pabrik itu, Bustomi menyuruh anaknya sekolah
lagi, Toni kuliahdan menyelesaikan kuliahnya sebagai sarjana di
Program Studi Planologi, Toni kembali ke kotanya memperbaiki hidup
keluarganya yang pribumi. Toni bertekad untuk membenahi ribuan
industri di tanah kelahirannya. Toni mewujudkan cita-cita ayahnya
menghilangkan diskriminasi antara pribumi dan pendatang untuk
bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di tanah kelahirannya.

DUA
Sahabat, puisi esai Fahruddin Salim “Balada Cinta Perawan Desa”
mengisahkan seorang wartawan yang bertugas di ujung Banten
Selatan. Tiada hari tanpa catatan kehidupan. Ini adalah sepenggal
kisah perjalanan menemukan sebuah desa, di ujung Banten Selatan.
Banten, sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat
di pulau Jawa yang berbatasan dengan ibu kota negara. Bandara
dan pelabuhan terbesar ada di wilayah itui. Namun, cerita tentang
ketertinggalan tak pernah lekang di Banten, khususnya daerah
bagian selatan. Pembangunan daerah Banten lebih didasarkan pada
orientasi hasil dibandingkan dengan pemerataan. Itu terlihat dari
kondisi antara Banten Utara dan Banten Selatan. Banten Selatan kaya
potensi sumber daya alam. Budaya masyarakatnya unik. Alamnya

161
indah penuh pesona dan masyarakatnya ramah. Banten adalah
provinsi yang dijuluki Serambi Madinah. Daerah itu memiliki warisan
Kerajaan Banten yang penuh kejayaan. Di bidang kesenian terdapat
debus yang dibanggakan, tetabuhan rebana, dan terbang besar untuk
mengarak pengantin. Di wilayah ini juga terdapat Suku Baduy yang
menghuni pegunungan Kendeng. Selain itu, provinsi ini penuh pesona
dan berlimpah sumber daya. Jika malam hari begitu sunyi. Desa
Cibeber, Rancapinang, Ujung Jaya, dan banyak lagi belum tersentuh
terang lampu. Jalan akses ke desa itu juga belum dibangun. Padahal
di wilayah itu terdapat Pantai Rancapinang yang menyuguhkan
keindahan. Alam desa menuju ke arah pantai itu begitu tertata secara
alami. Sepanjang sungai, ditumbuhi pagar tanaman bunga-bunga
yang bermekaran. Tumbuhan sayuran hijau terpampang di pedesaan.
Burung-burung yang bercericit di bawah langit biru hadir di wilayah
itu. Sayangnya model orientasi pembangunan ini memberikan dampak
pada melebarnya kesenjangan dan kemiskinan antarpenduduk dan
antarkota di Banten. Desa-desa yang indah dan kaya keindahan alam,
mewariskan persoalan: kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan
infrastruktur.
Dikisahkan pada puisi esai ini bahwa si wartawan jatuh cinta pada
perempuan yang ditemuinya di desa ujung Banten Selatan bernama
Surtini. Tempat tinggal Surtini adalah sebuah desa yang dilimpahi
kekayaan alam. Masyarakat yang ada di desa itu tidak mempunyai
keahlian untuk memanfaatkan alam yang ada di sekitarnya. Orang-
orang kota berdatangan ke desa itu menikmati keindahan. Orang-
orang desa di situ pergi ke kota mencari peruntungan. Orang desa
tergoda hiruk-pikuk dan keramaian kota yang tertata rapi. Orang desa
menikmati licin aspal Jakarta sambil memandang lalu-lalang mobil-
mobil mewah yang secara dekat dapat dilihat. Orang-orang desa
ingin seperti orang kota yang memiliki segalanya. Surtini mengikuti
kebiasaan orang-orang di desanya yang mencari penghasilan pergi
ke kota bekerja. Mereka bekerja sebagai buruh, pelayan toko, atau
pembantu. Surtini tidak punya ijazah, dia diterima bekerja di kota.

162
Surtini merasa harus bekerja untuk menjadi kaya. Surtini berpikir
bahwa menjadi kaya itu dihargai dan penuh sanjungan. Menjadi kaya
akan disebut dan dihormati oleh sanak dan famili. Ia pun jadi bagian
kota dan kemodernan dan ingin menaklukkan kejamnya kota. Surtini
berangkat ke kota berbekal restu dan doa, ajaran agama, petuah
ulama, dan juga nasihat orang tua yang tertanam dalam di hati.
Lima tahun tak terasa di kota. Surtini sudah bersimbah-simbah
keringat. Siang malam bekerja dan berdoa, tapi mukjizat tak kunjung
tiba. Ia juga belum menjadi kaya, belum dapat menaklukkan kota.
Bagi Surtini, ia tetaplah kaum pinggiran, dihantui kekerasan dan
pengangguran. Surtini menetapkan hati untuk kembali ke kampung
di desa yang hening dan menyejukkan hati. Ia lari dari wajah massal
kota meninggalkan keriuhan. Surtini merasa letih menggapai
kehidupan perkotaan. Ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
Dengan tekad yang kuat, Surtini berhasil mengubah nasibnya tidak
menjadi bagian orang kota. Ia pulang ke kampung, itulah hidupnya
sebenar-benar kehidupan. Surtini ketika belum ke kota telah menolak
pemuda desa yang melamarnya. Ia pergi ke kota bekerja mencari
harta. Setelah bertahun-tahun bekerja, Surtini pulang ke desa.
Sesampainya di desa, pemuda yang pernah mengharapkan cintanya
sudah bersama perempuan lain. Surtini merasa kecewa dan sedih.
Saat itu, ia bertemu dengan wartawan yang bertugas di desanya.
Surtini bercerita pada wartawan itu tentang kesedihannya. Ia juga
bercerita tentang kehidupannya saat bekerja di kota. Wartawan itu
merasa tertarik pada Surtini, namun perempuan itu memikirkan laki-
laki desa itu.

TIGA
Sahabat, puisi esai Jodhi Yudono “Baduy, Apa yang Terjadi?”
berkisah tentang suku Baduy yang seharusnya masih memegang
keyakinan mereka, yaitu keyakinan Sunda Wiwitan. Keyakinan itu
mengajarkan kepada mereka bahwa segalanya mesti selaras dengan
alam, hidup tidak berlebihan, yang pendek tidak boleh dipanjangkan,

163
yang panjang tak boleh dipotong. Hidup sebagaimana adanya. Namun
kehidupan berkembang dan berubah mengikuti perkembangan
zaman. Baduy kini telah berubah dan itu dapat dilihat dari pakaian
yang dikenakan, alat-alat rumah tangga yang digunakan, hingga
ke pola pikir dalam menghadapi kehidupan. Kita sekarang dapat
menyaksikan di Tanah Baduy orang-orang Baduy telah beraneka
warna pakaiannya. Sementara di rumah-rumah mereka, perkakas
orang modern juga telah menjadi bagian dari kehidupan orang
Baduy. Perilaku mereka sebagian tak lagi bisa dibedakan dengan
orang kota. Bisnis sudah mewarnai kehidupan sebagian anak muda
Baduy. Mereka menjual kerajinan tangan, hasil bumi, dan lain-lain.
Tersebutlah si Polan dari suku Baduy. Laki-laki berusia 35
tahun tinggal di Dusun Gajeboh, Kelurahan Kanekes, Rangkasbitung.
Polan memiliki telepon seluler dan laptop. Rumahnya dibangun
menggunakan alat gergaji, palu, dan paku. Barang-barang seperti
kasur, bantal, piring, gelas, ember plastik, dan lampu matahari ada
di rumahnya. Di sekitar rumahnya, warganya memeluk agama orang
kota. Polan masih memeluk adat Sunda Wiwitan. Adat Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang
pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha
dan Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari. Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) tersebut adalah
konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung
(panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh
disambung). Polan merasa bersalah pada leluhurnya oleh karena telah
meninggalkan adat. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes
Dalam antara lain: tidak diperkenankan menggunakan kendaraan
untuk sarana transportasi, tidak diperkenankan menggunakan alas
kaki. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah
sang Pu’un atau ketua adat). Larangan menggunakan alat elektronik
(teknologi). Harus menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai

164
pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang
disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes
Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes
Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Polan berjualan kerajinan suku Baduy di Pasar Tanah Abang. Ia
menampung hasil kerja saudara-saudaranya dari Baduy. Ia meng­
hidupi anak dan istrinya dari hasil kerjanya itu. Polan sedih melihat
kehidupan suku Baduy. Nilai-nilai kejujuran hampir punah. Keluguan
yang dikenal dari suku Baduy dimanfaatkan orang. Mereka disuruh
menjajakan madu sintetis yang diproduksi di Jalan Lontar, Jakarta
Pusat yang di dalamnya terkandung bahan berbahaya, seperti
boraks, alkohol, tawas, dan pengawet. Keyakinan Sunda Wiwitan yang
dianut Polan dalam hidupnya telah mengajarkan padanya bahwa
segalanya mesti selaras dengan alam, hidup tidak berlebihan. Dari
rumah yang dibelinya dari keuntungan menjual kain tenun Baduy
yang ditampungnya, Polan melihat dunia yang sedang berubah.
Ia menyaksikan anak-anak muda Baduy telah pandai membaca
gelagat zaman, menjalin relasi dengan orang kota. Sikap itu telah
menjauhkan orang Baduy dari pikukuh, dari puun. Kini di Baduy
telah lahir anak-anak zaman baru. Beberapa orang Baduy telah
menjadi pengusaha, menjangkau kota-kota besar di Indonesia untuk
menjual barang dagangan dari Suku Baduy. Polan sebagai keturunan
Baduy semakin gelisah mencari saudaranya sendiri yang tersesat
di silang peradaban. Pada awalnya, bangsa Baduy menyingkir ke
wilayah Pegunungan Kendeng, memeluk Sunda Wiwitan, bertahan
hidup dalam kebersahajaan, dan menepi ke bukit-bukit sunyi.
Tanah orang Baduy adalah pusat dunia. Dari sana semuanya berasal
sehingga tanah mesti dikeramatkan, tidak boleh bersawah sebab
tanah harus sebagaimana adanya, tidak boleh dibolak-balik dengan
cangkul. Tanah yang ditinggali awalnya di Cikeusik, lalu Cikertawana,

165
kemudian Cibeo. Di situlah orang Tangtu atau Urang Tangtu Tilu atau
Urang Girang yang kemudian disebut sebagai orang Baduy Dalam
yang ketat menjaga amanat dan tidak boleh melanggar pantangan
adat atau buyut. Inilah ajaran Sunda Wiwitan.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Laora Arkeman “Multatuli; Max Havelaar
adalah Eduard Douwes Dekker” bercerita tentang tentang kehidupan
Eduard Douwes Dekker yang dimulai dari kelahirannya, kepergiannya
ke Batavia, kemudian kehidupannya sebagai Asisten Residen di
Lebak, Banten. Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, 2 Maret
1820. Ayahnya Engel Douweszoon Dekker seorang nakhoda yang
menikah dengan Sytske Eeltje Klein. Eduard Douwes Dekker anak
kelima. Saudara lainnya, yaitu Antje, Chatarina, Pieter, Jan, dan Willem.
Pada usia delapan belas tahun, Eduard pergi ke Hindia Belanda, ke
Batavia dengan kapal Dorothea yang dinakhodai oleh ayahnya dan
saudaranya, Jan, sebagai juru mudi kedua. Eduard menjadi pegawai
negeri sebagai Dewan Pengawas Keuangan di Algemene Rekenkamer,
Batavia. Eduard berhenti bekerja karena patah hati dengan Caroline
Versteegh. Kemudian Eduard pindah ke Sumatra Barat dan pindah
lagi ke Natal di daerah Sumatra Utara sebagai kontrolir. Namun,
setahun kemudian Eduard dipecat dituduh korup. Di Padang Hulu, dia
ditahan, dirumahkan, dan dipaksa mengganti kerugian. Tuduhan itu
ternyata tidak terbukti dan akhirnya namanya direhabilitasi. Eduard
kembali bekerja sebagai Asisten Residen Purwakarta di Gubernemen
Karawang. Kemudian pindah di Residen Bagelen, Purworejo, dua tahun
lebih lamanya. Eduard Douwes Dekker bertemu calon istrinya, di
Parakan Salak. Mereka bertunangan, Agustus 1845. Eduard menikahi
Everdine Huberte van Wijnbergen alias Tine seorang gadis keturunan
bangsawan. Eduard Douwes Dekker satu-satunya pejabat yang tidak
menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk membiayainya.
Setelah cuti ke Belanda dan anaknya lahir, Eduard ditugaskan di
Lebak. Di Lebak dia bertemu dengan Raden Adipati Karta Natanegara,

166
Bupati Lebak. Pada waktu itu pemerintahan Bupati Lebak berjalan
sangat korup, rakyat hidup sangat sengsara. Hasil bumi dan ternak
milik rakyat dirampas. Sebagian dibeli dengan harga sangat murah.
Eduard Douwes Dekker melaporkan situasi di Lebak kepada C.P.
Brest van Kempen dan juga Pemerintah Belanda di Batavia tentang
perilaku Bupati Lebak. Laporan itu ditanggapi dengan pernyataan
bahwa bupati tidak bersalah. Eduard dianggap menyalahi hierarki.
Eduard mengundurkan diri dari Lebak pada 29 Maret 1856. Ia
kembali ke Eropa dan menulis kisah Saijah dan Adinda dengan nama
samaran Multatuli atau Max Havelaar. Tulisan itu telah membuka
mata orang-orang Eropa betapa buruk sistem colonial Belanda
yang mengakibatkan kemiskinan rakyat di Banten. Kisah Saijah
dan Adinda menggambarkan kehidupan rakyat Banten menderita
akibat pajak yang harus dibayar tinggi. Multatuli mengisahkan rakyat
menanam tanaman untuk pasar Eropa, yaitu kopi, teh, cengkih, pala,
tembakau, kakao, dan tebu. Tanam paksa sejak 1830 telah mencekik
kehidupan seluruh rakyat di negeri jajahan Belanda. Penderitaan
rakyat ditambah dengan pemerintahan Adipati Lebak dan Demang
Parangkujang yang membebani rakyat dengan pajak tinggi. Mereka
juga merampas ternak dan hasil bumi rakyat. Para pimpinan pribumi
ini menjadi tangan penjajahan Belanda menjalankan kekuasaannya.
Dikisahkan Saijah kecil memiliki kerbau kesayangan. Kerbau
milik Saijah diambil paksa atas perintah Bupati Lebak dan Demang
Parungkujang. Rakyat tidak berani melawan karena melawan artinya
berhadapan dengan golok pesuruh mereka para jawara. Pemerasan
tersebut terjadi terus menerus. Hingga akhirnya Ayah Saijah tak
punya apa-apa lagi, semua hartanya habis. Ibunda Saijah terpukul
perasaannya dan meninggal dunia. Ayah Saijah pun lari tidak kuasa
membayangkan betapa menakutkan kemarahan sang Demang andai
ia tiada bisa membayar pajaknya. Ayah Saijah hilang tak pernah
Kembali. Saijah tumbuh jadi seorang pemuda. Saijah mempunyai
sahabat sejak kecil bernama Adinda. Saijah pergi ke Batavia bekerja
sebagai pengurus kuda dan pelayan pada seorang Belanda. Ia

167
berencana mengumpulkan uang untuk melamar Adinda. Setelah
bertahun- tahun bekerja, ia kembali ke kampungnya untuk bertemu
Adinda. Namun, keluarga Adinda tidak dapat ditemuinya. Mereka lari
pergi dari kampung sebab tidak bisa membayar pajak penguasa. Mereka
bergabung dengan rakyat lain melawan tentara Belanda. Saijah pun
pergi mencari Adinda dan bertemu di sebuah pertempuran antara
Belanda dan rakyat. Adinda diperkosa tentara Belanda hingga mati.
Saijah marah dan dengan putus asa ia berlari ke arah sekumpulan
tentara yang menghunus bayonet. Ia menghujamkan tubuhnya pada
bayonet hingga mati. Adinda dan Saijah bersua dalam cinta.
Max Havelaar bukan saja sebagai sebuah novel yang sudah
berjasa menghentikan Tanam Paksa, namun juga kita mesti melihat
salah satu tokoh kontroversialnya, yaitu Bupati Karta Natanegara,
dari kacamata masyarakat lokal Indonesia. Multatuli tidak melihat
sejak 1830, rakyat Banten tak henti angkat senjata melawan Kolonial
Belanda. Multatuli tidak melihat Kesultanan Banten punya sejarah
gemilang. Mereka tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Raden
Adipati Karta Natanegara tadinya Demang Jasinga. Ia menjadi bupati
menggantikan Pangeran Adipati Senajaya. Sebagai Demang Jasinga,
Karta Natanegara menangkap Nyi Gamparan. Sebagai hadiah, Demang
Jasinga menjadi Bupati Lebak. Raden Tumenggung (RT) Adipati Karta
Natanegara adalah Bupati Lebak kedua. Karta Natanegara menjabat
tahun 1830 hingga 1865. Sebelum menjadi bupati, pada 1829 Karta
Natanegara menjabat Demang di Jasinga, Kabupaten Bogor. Saat
menjadi Demang, Karta Natanegara mengalahkan pasukan Nyimas
Gamparan yang menurut versi Pemerintah Hindia Belanda merupakan
pengacau keamanan. Saat itu, pasukan Nyimas Gamparan mau
masuk Lebak melalui jalur Cikande, Serang. Usaha Nyimas Gamparan
berhasil dihadang oleh Karta Natanegara. Berawal dari keberhasilan
mengalahkan Nyimas Gamparan akhirnya Pemerintah Hindia Belanda
menganugerahi Karta Natanegara untuk menjadi Bupati Lebak
menggantikan Pangeran Senjaya di tahun 1830. Karta Natanegara
adalah bupati pertama yang membuka Rangkasbitung menjadi

168
wilayah permukiman. Agar pusat pemerintahan Lebak dekat dengan
karesidenan Banten di Serang, Karta Natanegara membangun pendapa
di daerah setempat. Saat itu, Rangkasbitung adalah sebuah hutan
belantara. Di tengah hutan belantara terdapat sekumpulan pohon
bambu bitung liar dikelilingi rawa yang luas. Setelah daerah tersebut
ditempati Karta Natanegara, banyak warga yang turut bermukim di
daerah tersebut. Karta Natanegara menaruh perhatian besar terhadap
kehidupan rakyat. Saat melihat rakyat mengalami kesusahan, Karta
Natanegara segera membantu. Memasuki 1856 saat Karta Natanegara
masih menjadi bupati, Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist menunjuk
Edward Douwes Deker (Multatuli) sebagai Asisten Residen di Lebak.
Saat itu sempat terjadi kesalahpahaman antara Karta Natanegara
dan Multatuli. Kesalahpahaman dipicu saat Bupati Karta Natanegara
kedatangan tamu Bupati Cianjur, Jawa Barat. Untuk menjamu tamu,
Karta Natanegara memerintahkan rakyat gotong royong membersihkan
lingkungan pendapa dan jalan setapak yang akan dilalui rombongan
Bupati Cianjur. Perintah gotong royong diartikan oleh Multatuli sebagai
kerja paksa. Akhirnya Karta Natanegara dilaporkan ke Residen Brest
Van Kempen. Namun tuduhan kerja paksa tidak terbukti sehingga Karta
Natanegara tidak diberi sanksi. Lebak di bawah kepemimpinan Karta
Natanegara mengalami kemajuan.

LIMA
Sahabat, puisi esai Saefullah “Tanah Luruh Pasir Rokok”
menggambarkan bukit musnah karena dieksploitasi. Kawasan Pasir
Rokok kala itu masih terjaga kerimbunan pepohonannya, semak-
semak begitu banyak, pohon rotan berduri masih banyak, pohon kelapa
hibrida tumbuh menyelimuti bukit dengan buahnya yang begitu lebat.
Sawah-sawah telah diberikan banyak air yang mengalir di kaki bukit
menjadikan tetap ada air di pesawahan. Kalaupun terjadi kekeringan,
itu karena kemarau yang teramat panjang. Bukan di sana saja terjadi
kekeringan, di sawah yang lainnya juga kering. Belum lagi kaki bukit
yang masih miring ada yang dimanfaatkan untuk berladang menanam

169
padi darat bernama huma atau berladang dengan menanam umbi-
ubian, jagung, dan kacang panjang. Tetapi kini telah berubah. Bukit-
bukit itu sebagian sudah rata dengan tanah, sebagian menjulang
mengerikan dari sisa-sisa pengerukan alat-alat berat karena tangan-
tangan serakah. Dampak lainnya sungai-sungai jadi dangkal karena
endapan lumpur yang terus menerus dibuang ke sungai tersebut.
Padahal dahulu kawasan tersebut banyak menyimpan kisah
sebagaimana diceritakan para orang tua: mulai tempat berperang
para pejuang dari kawasan Pasir Rokok sampai ke Situ Palayangan.
Dulu selalu ada cerita tentang hutan di bukit itu yang menyeramkan.
Sore hari di sekitar bukit itu sudah sepi mencekam. Ada cerita tentang
begal atau harimau yang menghadang jalan. Harimau itu tinggal
di hutan Pasir Rokok. Namun setelah bukit itu diratakan diambil
pasirnya, harimau itu menghilang.
Bukit itu diambil pasirnya oleh sebuah perusahaan tanpa
memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Tanahnya dikeruk dan
diambil pasirnya. Pohon yang tumbuh di bukit itu ditebang. Kerusakan
alam benar-benar tak terhindarkan. Bukit yang biasanya menyimpan
air dan dialirkan melalui sungai ke bawah untuk sawah-sawah di
bawah bukit tidak ada lagi. Bukit itu lenyap meninggalkan tanah
gersang tak bertumbuhan. Bukit-bukit itu telah disemprot dengan
air, lalu pasirnya dialirkan ke sungai. Para penggali tampak sibuk
mengambil lumpur pasir di sungai. Truk mengangkut pasir basah
melewati jalan-jalan desa sehingga menjadi berlubang dan rusak
karena menahan beban truk yang mengangkut pasir basah setiap
hari. Jalananpun tambah basah lumpur berair membentuk lubang-
lubang di tengah jalan. Meski perbaikan jalan terus berjalan dalam
tiap tahun, jalan tetap rusak dan diperbaiki terus tanpa terlihat hasil
seperti yang diharapkan masyarakat. Di kala datang kemarau panjang,
lumpur-lumpur mengering jadi debu lalu diterbangkan kendaraan
dan hinggap di genting rumah, atau diisap orang-orang sekitarnya.
Kaca-kaca rumah buram dikotori debu, lantai-lantai rumah, daun-
daun tanaman atau pepohonan juga berdebu. Lalu muncullah, pungli-

170
pungli pasir di tiap-tiap jalan untuk alasan biaya retribusi. Dari mulai
truk pengangkut kayu hingga truk pengangkut pasir itu ada. Uang
dimasukkan ke pundi-pundi Pak Tua yang menjaga di tengah jalan.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Baduy dan Tanah Luruh Benteng me­
ngisahkan Banten dari masa penjajah Belanda hingga zaman modern.
Ketika industri gencar menggantikan kehidupan agraris, budaya
tidak terjaga. Ada diskriminasi pribumi dan pendatang. Ada Surtini
perempuan yang ingin kaya harus ke kota meninggalkan desanya. Lalu
tentang Polan yang keluar dari suku Baduy ingin hidup modern. Banten
dikenal karena kemiskinan rakyatnya terekam pada novel Saijah dan
Adinda karya Multatuli. Kemudian dilukiskan bagaimana sebuah bukit
hilang dari kehidupan. Gambaran kemiskinan terstruktur dari dahulu
hingga sekarang seharusnya menjadi pemikiran. Apakah manusianya
tidak mengubah perilaku atau alam lingkungan yang tidak dapat
menerima kehidupan modern?

171
Tersingkir Dari
Kota Sendiri
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI DKI JAKARTA

Judul Buku : Balada Ibu Kota


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 157 halaman
Penulis : Akhmad Sekhu, Elza Peldi Taher,
Exan Zen, Monica Anggi JR, Satrio
Arismunandar, Syaefuddin Simon.
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-21-2

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini mengisahkan kehidupan masyarakat di Jakarta.
Dari kisah perantau yang mencari pekerjaan; manusia bertempat tinggal
di gerobak; tentang konflik politik; tentang solidaritas antarmanusia
dalam beragama; tentang orang Betawi yang terpinggirkan; dan aliran
baru dalam agama yang menghilangkan identitas manusia sebagai
makhluk sosial.

LIMA INTI SARI BUKU


 Coba menaklukkan Jakarta.
 Nasib manusia gerobak.
 Hiruk-pikuk Pilkada.
 Kisah toleransi di Kampung Sawah.
 Orang Betawi tersingkir.
 Orang tanpa identitas.

SATU
Sahabat, puisi esai Akhmad Sekhu “Balada Bram Taklukkan -- Kota
Gelisah-- Jakarta” mengisahkan Abdul Malik Ibrahim, anak kampung
Semedo, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa

172
Tengah. Dengan berbekal ijazah sarjana, ia merantau ke Jakarta.
Abdul Malik Ibrahim merantau ke Jakarta berharap bisa menjadi “orang”.
Ia mengubah namanya menjadi Bram, ikutan nama keren dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia merasa nama itu baginya
pan­tas digunakan di Jakarta. Bram terpaksa harus meninggalkan
ibunya, Zubaedah, di kampung untuk bekerja di Jakarta. Di kota Ja­
karta, ia merasakan tantangan yang sebenarnya. Pekerjaannya berat,
namun dengan gaji tak seberapa. Bram masih harus memenangkan
pertempuran untuk menaklukkan “Kota Gelisah” Jakarta. Mampukah ia?
Bram sudah sepuluh tahun meninggalkan desanya. Ketika lulus
dari universitas swasta, Universitas Pancasakti Tegal, ia merasa sudah
cukup ilmunya untuk dapat taklukkan Jakarta. Berbekal doa ibunya,
Bram mantap melangkah ke Jakarta. Semula ia mempunyai kekasih
Bernama Warsih, namun Warsih menjadi TKI. Ia harus berpisah
dengan Warsih kekasihnya. Ia menganggap Warsih bukan jodohnya.
Sepuluh tahun tak terasa tinggal di Jakarta. Selama itu pula ia coba
taklukkan Jakarta. Ia ingin berhasil dalam pekerjaannya dan menjadi
kaya. Ketika kaya, ia akan membahagiakan ibunya.
Ada istilah, pantang pulang sebelum jadi orang. Ternyata tidak
mudah menaklukkan kota Jakarta. Meski telah ia kerahkan seluruh
tenaga dan pikiran, juga ilmu yang didapatkan di bangku kuliah
yang harus dipraktikkan pada kehidupan nyata, ternyata Bram belum
mendapatkan apa-apa. Jakarta telah membuat banyak orang frustasi
karena gagal menjadi tempat yang lebih baik untuk tinggal, meskipun
nyata-nyata ada kemampuan untuk itu. Sebagian besar warganya
hidup tunggang-langgang. Bram harus berlari mengejar cita-citanya
seperti orang kantor yang bekerja tanpa berdasarkan hati nurani
melainkan mengejar materi saja
Setelah sepuluh tahun bekerja, hasilnya terlihat di desa. Bram
selalu mengirimi ibunya uang setiap bulan. Uang itu digunakan
ibunya untuk merapikan rumah dan membeli perlengkapan rumah,
sehingga rumah itu nyaman untuk ditempati. Ibunya Bram, usianya
sudah lima puluhan. Rambutnya beruban dan ditutupi dengan jilbab

173
di kepala. Seusia itu di desa, Zubaedah merasa sudah sangat tua. Ia
mengharap Bram pulang untuk menggarap ladang saja. Bram tidak
mau pulang, hanya sesekali ia pulang menengok ibunya. Ibunya
bercerai dengan ayahnya sejak Bram masih kecil. Bram bukan anak
orang kaya berlimpah harta tapi punya prinsip untuk jujur dan apa
adanya. Ia terbiasa hidup sederhana dan bersahaja. Bekerja apa saja
yang penting halal dan berkah. Di Jakarta, Bram bekerja sebagai kepala
gudang sebuah perusahaan swasta. Bram ke Jakarta tidak untuk foya-
foya. Meski ijazah sarjana yang diidamkannya hanya dapat pekerjaan
sebagai kepala gudang, ia tekun bekerja ingin agar kariernya dapat
meningkat menjadi manajer. Ia menjalin hubungan dengan Marni,
seorang SPG (Sales Promotion Girls) di sebuah mal. Marni usianya
lebih tua dari Bram dan masih terlihat cantik. Bram mencintai Marni
begitu sebaliknya. Kehidupan Marni tidak sederhana, senang makan
di restoran, dan menggunakan pakaian bermerk. Marni suka bersolek
dan ia sudah tidak perawan. Bram berpikir ulang untuk menikahi
Marni karena gaya hidupnya tinggi. Bram akhirnya meninggalkan
Marni. Ia terus bekerja dengan tekun untuk mengumpulkan uang agar
ibunya bangga dia dapat berhasil bekerja di Jakarta.

DUA
Sahabat, puisi esai Elza Peldi Taher “Manusia Gerobak” bercerita
tentang kehidupan Atmo. Dia hidup sebagai manusia gerobak alias
pemulung yang berasal dari desa mengadu nasib di ibu kota dengan
membawa istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Atmo berpikiran
sederhana tak harus bergelimang materi. Cita-citanya hidup di desa
bersama istri hidup rukun, damai, dan bersahaja, Anaknya dua, laki-
laki dan perempuan. Itu sudah dikabulkan oleh Tuhan. Atmo sangat
menyayangi keluarga. Kasih sayangnya selalu tercurah setiap pagi,
siang, dan malam. Atmo tidak tamat sekolah dasar. Ia menjadi buruh
tani dengan menggarap sawah yang tidak terlalu luas. Atmo tekun
menggarap sawah. Hidupnya bergantung pada pemilik sawah. Sang
istri mengurusi dua anaknya. Mereka tinggal di tempat yang sempit.

174
Dapur dan tempat tidur menjadi satu. Tempat itu milik orang.
Situasi di desanya tiba-tiba berubah. Sawah-sawah dibangun untuk
pabrik. Atmo tidak dapat menggarap sawah lagi. Ia membawa istri dan
anaknya ke Jakarta. Ia hanya membawa uang tidak seberapa. Mereka
tingggal di kawasan kumuh Manggarai. Di wilayah padat, di kontrakan
milik ibu Sri di tepi Sungai Ciliwung yang berair coklat. Di tempat itu
Atmo dan anak istrinya mandi dan mencuci pakaian di tepi kali. Ternyata
mencari kerja di Jakarta tidak mudah. Buruh bangunan dia tidak bisa,
Atmo juga tidak mempunyai ijazah untuk kerja di kantor. Akhirnya Atmo
mengumpulkan barang bekas seperti botol dan gelas dari tempat
sampah dari rumah ke rumah. Barang-barang itu bisa dijadikan uang.
Sang istri mulai gelisah, karena uang yang dibawa suami tak pernah
cukup. Ia ingin membantu Atmo tapi anaknya akan terlantar. Tagihan
kontrakan bertubi-tubi mengganggu kehidupan keluarga Atmo. Meski
di kota berserakan sampah tidak bisa jadi simpanan. Hasil sehari
hanya cukup untuk makan anak dan istrinya hari itu. Tak tahan didesak
tagihan uang kontrakan, Atmo memilih menggelandang. Istri dan dua
anaknya dibawa kerja dengan gerobak mengembara di Jakarta. Kini
gerobak menjadi rumah. Tetangganya berubah-ubah dan tidak punya
alamat karena setiap hari berpindah tempat. Istri Atmo tidak tahan
dengan kondisi itu. Setiap hari harus berjalan terkena terik matahari
atau hujan dan malam terkena angin dan kedinginan. Kadang hari ini
makan kadang besok tidak makan. Mereka tidak punya masa depan.
Akhirnya istri Atmo pergi diam-diam di suatu malam meninggalkan
Atmo dan dua anaknya. Keesokan harinya, Atmo kebingungan mencari
istrinya. Anaknya menangis tak henti-henti.
Sampai suatu saat, Mawar anaknya yang masih kecil sakit. Ia
membawa ke rumah sakit dan Puskesmas tapi ditolak karena tak
punya biaya. Pihak rumah sakit menolaknya tanpa iba sedikitpun.Atmo
bingung dan sedih, apa lagi sang istri tercinta tiba tiba saja hilang
tanpa jejak. Akhirnya, Mawar, sang putri tercinta meninggal. Setelah
meninggal Atmo malah kebingungan anaknya akan dimakamkan
di mana karena biaya pemakaman di Jakarta amat mahal. Setelah

175
tidak ada jalan keluar lagi, akhirnya Atmo nekat membawa jenazah
Mawar untuk dikubur di kampung halamannya. Atmo bepikir biaya
pemakaman di kampung lebih murah. Ia akan berangkat pulang
naik kereta api dari stasiun Manggarai. Saat masuk stasiun itulah
Atmo ditahan petugas karena membawa jenazah anaknya yang
sudah membusuk. Atmo ditahan karena tak punya bukti keterangan
meninggal dan KTP sebagai identitas diri. Usaha Atmo meyakinkan diri
bahwa anaknya meningggal karena sakit sia-sia, karena tak ada surat
keterangan dari rumah sakit. Jakarta hanya untuk orang berpunya,
tak ada belas kasihan. Pegawai stasiun tak percaya pada penjelasan
Atmo. Ia ditangkap jadi tawanan, digelandang ke pos polisi ditanya
itu dan ini. Jenazah anaknya harus diotopsi dan penyebab matinya
mesti diselidiki. Atmo tercenung di pintu kamar jenazah rumah duka.
Hatinya gundah dan resah. Ia hanya ingin menguburkan anak tercinta
di kampung, mengapa begitu sulit. Ia ingin menangis melihat tak ada
satu pun yang peduli. Atmo hanya ditemani anak laki-lakinya.
Cerita tentang Atmo yang ditahan di stasiun karena membawa
jenazah anaknya yang membusuk akhirnya tersebar. Kawan-kawan
Atmo, sesama orang miskin, yang kemudian mendengar cerita
Atmo, mencoba membantu membebaskan Atmo dan menolong
menguburkan anaknya. Atmo membawa jenazah anaknya ke rumah
kontrakan Ibu Sri, karena Bu Sri mengenalnya. Mereka bersatu
bergotong royong mengurus jenazah, memandikan, mengafani, dan
menyalatkan. Mereka mengurus pemakaman lengkap dengan bunga-
bunga. Mereka mengarak jenazah Mawar ke kuburan. Orang-orang
miskin, orang-orang susah, sama-sama miskin dan susah mengiring
Atmo ke pekuburan.

TIGA
Sahabat, puisi esai Exan Zen “Nusapati dan Pilkada Jakarta”
menceritakan Pilkada DKI Jakarta. Secara rahasia, seorang Pengacara
Muda mengemban misi khusus, mendatangi Nusapati yang berada
dalam penjara. Nusapati adalah tokoh nasional yang dulunya

176
dikenal sebagai Singa Pemberantas Korupsi yang paling disegani
dan ditakuti. Bahkan salah satu anggota keluarga penguasa tinggi
negara kala itu dia bekuk karena ketahuan korupsi. Namun karena
itulah, karier Nusapati harus berakhir di balik jeruji besi karena
sebuah konspirasi politik “jala sutra”. Beberapa tahun yang lampau,
Nusapati dikenal sebagai Singa Pemberantasan Korupsi. Ia dihormati,
disegani sekaligus ditakuti dan dibenci. Ia dikenal sebagi orang
yang bersih, tanpa cela dan sangat pemberani. Tindakannya sangat
mengejutkan dalam pemberantasan korupsi. Namun pertemuannya
dengan Bintang Kejora membuatnya berubah. Bintang Kejora
adalah perempuan muda yang begitu cantik jelita, memikat dan
penuh gairah, serta memiliki kecemerlangan pikiran. Nusapati
menceritakan rahasia hidupnya kepada Bintang Kejora. Ia bercerita
saat mahasiswa menjadi agen politik untuk pergerakan demokrasi.
Nusapati memperjual-belikan gerakan mahasiswa dan melakukan
penculikan, pelenyapan, dan pembunuhan para aktivis prodemokrasi.
Ia juga mengatakan terlibat persekongkolan politik dengan negara
asing yang ingin mengeruk keuntungan di negaranya lewat gerakan
kebudayaan dan narkotika. Selama ini orang melihat Nusapati
orang paling bersih dan berani dalam gerakan penumpasan korupsi.
Dengan dukungan moril dan materiil dari Marimba dan kalangan
kaum muda satu persatu anggota Persekutuan Terkutuk yang sudah
pada tua itu ia ciduk, diseret ke pengadilan, dan dijebloskan ke
penjara. Bahkan salah satu anggota keluarga penguasa tinggi negara
kala itu dia bekuk karena terbukti melakukan perampokan uang
negara. Hal itu membuat Nusapati dielu-elukan sebagai pahlawan
oleh rakyat. Namun di kalangan Anggota Persekutuan Terkutuk, ia
dianggap sebagai pengkhianat dan ancaman. Nusapati menganggap
Bintang Kejora adalah kanvas putih di mana ia bisa menuangkan
coretan hidupnya secara gamblang. Namun, Bintang Kejora ternyata
kekasih gelap dari Marimba, sahabat mudanya yang selama ini
aktif mendukungnya. Marimba adalah pengusaha muda kaya raya.
Dia banyak menyokong gerakan lewat kebudayaan. Uang yang dia

177
keluarkan untuk kegiatan itu adalah uang dari pengemplangan
pajak, pembabatan hutan, dan uang haram lainnya yang dibersihkan
dengan istilah “cuci uang”. Sebagai orang muda yang ambisius,
Marimba merasa gerak-geriknya banyak dihalangi oleh kalangan tua.
Maka bersama perhimpunan para pengusaha muda lainnya, Marimba
ingin menggulingkan dinasti Persekutuan Terkutuk para seniornya
yang sudah makin menua itu, agar bisa digantikan kalangan muda. Ia
melakukan persekongkolan rahasia dengan Nusapati. Marimba sangat
terkejut dan marah memergoki Bintang Kejora sang kekasih sedang
memadu cinta dengan Nusapati. Marimba cemburu. Pertikaian pun
terjadi. Ketika Marimba nyaris membunuh Nusapati, muncul seorang
pria yang menembak Marimba tepat di kepalanya. Nusapati gemetar
gugup, Bintang Kejora terdiam beku menatap Marimba yang terkapar
mati. Sang pria penembak yang bernama Turangga itu dengan dingin
berkata pada Nusapati,“Sebagai kawan, sudah tugasku melindungimu
dari kematian tapi bukan tugasku untuk melindungimu dari penjara
karena aku juga akan masuk penjara”
Berkat upaya Pengacara Muda itulah, Nusapati mendapatkan remisi
dan dibebaskan dengan satu syarat: “membuat lecutan politik” untuk
mengimbangi konflik yang telah memuncak di Pilkada Jakarta, dengan
sebuah pernyataan terbuka di berbagai media. Pilkada Jakarta sangat
luar biasa. Hal yang berkaitan dengan agama dicampuradukkan dengan
politik untuk memancing emosi masyarakat. Sehingga masyarakat
memihak pada calon yang sudah di set untuk menjadi kepala daerah.
Ayat-ayat kitab suci dieksploitasi menjadi prahara di tengah warga
menimbulkan isu SARA untuk memecah belah. Saling menyinggung
antaragama, saling menghujat antarsesama serupa devide at impera.
Pernyataan Nusapati tentang “konspirasi penguasa terdahulu yang telah
dengan sengaja menzaliminya”, membuat suasana makin gaduh. Salah
seorang mantan penguasa terdahulu menjadi gundah karena merasa
dibuka semua borok-borok masa lalunya. Sang mantan penguasa
meradang, merasa digeruduk oleh berbagai tudingan sebagai salah
salah satu dalang kegaduhan politik Pilkada Jakarta.

178
Pernyataan Nusapati itupun membuat salah satu paslon
Gubernur Jakarta yang diusung oleh sang mantan penguasa itu
mengalami penurunan suara secara drastis sehingga kalah telak
dalam putaran pertama. Namun konspirasi politik yang dipimpin
Sang Imam Besar Ormas Islam, berhasil pula menjatuhkan salah satu
calon gubernur nonmuslim - nonpribumi yang berakhir di penjara
dengan dakwaan penistaan agama.
Pilkada Jakarta usai, gubernur muslim menduduki Jakarta seperti
yang diharapkan konspirasi Ormas Islam pimpinan Sang Imam Besar.
Sang Imam Besar pemimpin gerakan ormas Islam bangga dengan
keberhasilannya menggalang jutaan umat Islam. Namun ironisnya,
dia mengalami kasus yang hampir serupa dengan Nusapati, terjebak
skandal “jala sutra”. Bedanya Nusapati dulu harus mendekam di
penjara, tapi Sang Imam Besar berhasil kabur ke luar negeri dengan
visa wisata. Nusapati kini tak bersuara lagi di media. Ia menikmati sisa
usia dengan momong cucunya. Dalam hati ia kerap berdoa, “Semoga
apa yang telah terjadi dengan Pilkada Jakarta tidak pernah terjadi
dengan Pilkada di tempat lainnya.”

EMPAT
Sahabat, puisi esai Monica Anggi JR “Kasih di Kisah Kampung
Sawah” ini mengisahkan sejarah panjang toleransi beragama di
tengah kaum Betawi Kampung Sawah. Gereja Katolik, Yayasan
Pesantren, dan Komunitas Kristen Protestan berdiri berdekatan dan
saling membantu. Kisah nyata ini ada sejak Zaman Kristen Protestan
berkembang di Batavia zaman kolonialisme Belanda. Meester
Anthing, Belanda kristiani, rajin mengajarkan injil ke pribumi Betawi.
Pada waktu itu, masyarakat Betawi asal sudah menganut agama yang
bercampur kepercayaan zaman kuna. Lalu, Meester Anthing meminta
bantuan guru bumi putera dari Jawa Tengah untuk ikut menyebarkan
Injil dalam bahasa mereka. Guru itu bernama Kiai Ibrahim Tunggal,
seorang guru agama sinkretis yang memadukan ajaran kristiani Ilahi
dengan ngelmu Jawa. Akhirnya pada awal abad ke-19, masyarakat

179
Kristen dari lereng Gunung Muria dan juga Desa Modjowarno di
Jawa Timur melakukan bedol desa, hijrah ke Kampung Sawah. Para
pendatang Jawa akhirnya berkumpul dengan penghuni Kristen
setempat menjadi satu umat, Kristen Betawi. Jemaat Kristen mulai
muncul berinduk dari Gunung Puteri meluas ke Kampung Sawah.
Letaknya terpencil di tengah rawa, jaraknya tujuh kilometer ke arah
Pondok Gede Utara.
Pastor Schweitz dari Belanda berhasil melahirkan tanggal
bersejarah bagi umat Katolik di Kampung Sawah, yaitu 6 Oktober 1896.
Kini di sana berdiri dua gereja, gereja Kristen di sebelah barat jalan dan
gereja Katolik di arah timur jalan. Seorang Betawi asli, Markus Kadiman
Namanya, dibaptis bersama 17 orang lainnya menjadi umat pertama
Katolik, asli Betawi, asli Kampung Sawah. Ada kisah romansa (fiktif)
antara tiga sekawan yang membangun hangatnya jalinan toleransi di
Kampung Sawah. Sam beragama Katolik, Anas beragama Islam, dan
Nesi beragama Kristen Protestan. Sam merupakan anak satu-satunya
dari Markus Kadiman yang menjabat stasi di Kampung Sawah. Stasi
adalah istilah kewilayahan dalam Gereja Katolik. Stasi berada di dalam
Paroki dan di kapel atau gereja sebuah stasi tidak selalu terdapat pastor.
Ibadat atau misa di stasi masih tergantung dari jadwal imam dan diakon
di Paroki yang menaunginya. Selain stasi dikenal juga wilayah yang
kedudukannya mirip stasi namun biasanya tidak mempunyai gereja atau
kapel. Tiga orang yang berkawan di Kampung Sawah hidup di sekitar
stasi itu. Sam dididik ketat agama Katolik oleh ayahnya. Sedaangkan
Anas fam Pepe, anak dari Haji Tohir, seorang pengusaha kayu dari
Kampung Pedurenan. Di Kampung Sawah terdapat juga nama keluarga
hasil akulturasi hukum sipil Barat (pernikahan Kristen Inlander) yang
mengharuskan istri dan anak keturunan memakai nama keluarga Ayah.
Karena sebagian warga adalah keturunan budak dan buruh perkebunan,
maka yang dipakai untuk menjadi keluarga adalah nama-nama kecil
yang hingga kini dijadikan nama fam di Betawi Kampung Sawah. Sam
dan Anas masih bersaudara. Kedua ayah mereka saudara ipar. Keluarga
Anas lebih kaya sehingga hidupnya serba kecukupan. Sedangkan Sam

180
keluarga biasa saja. Sam selalu menjadi bintang karena cerdas. Sedang
Anas yang kaya itu wajahnya tampan bercahaya, penuh karisma. Satu
lagi yang terikat perkawanan itu adalah Nesi. Nama lengkapnya Nesi
Napiun. Ia yatim piatu dan pindah ke rumah neneknya. Nesi berkulit
kuning, bermata sipit. Ayahnya menjadi kepercayaan Tuan Lim dari
Kongsi Pondok Gede. Ayahnya menikah dengan gadis Betawi berparas
ayu. Ketika Ayah wafat ditembak perampok. Ibunya menjadi pemurung
dan jatuh sakit, lalu meninggal. Nesi lalu pergi ke rumah neneknya
yang bernama Mat Seot. Nenek Mat Seot tersohor di Kampung Sawah.
Ia punya sawah Gano yang selalu ramai oleh kegiatan warga. Setiap
pagi, Nesi pergi beribadat ke Gereja Kulon. Sedangkan sore hari pergi
ke sawah bersama Mak Seot. Sam, Anas, dan Nesi adalah tiga sekawan
asli Betawi di era sebelum Indonesia merdeka. Mereka bersahabat erat
walau berbeda agama. Di tepian sawah tebu, mereka sering duduk
bersama berbagi mimpi satu sama lainnya. Sam ingin jadi Pastor. Anas
ingin besarkan usaha ayahnya, Nesi ingin persahabatan mereka abadi.
Warga kini tak lagi asing dengan kehadiran tiga sekawan di tiap acara
kampung. Mereka aktif membantu berbagai kegiatan, baik di masjid
atau gereja.
Konflik terjadi ketika Sam dan Anas jatuh hati kepada sahabat
perempuan mereka, Nesi. Anas melihat Nesi memberikan surat cinta
kepada Sam. Anas naik pitam dan merasa dikhianati. Ia memutuskan
untuk pergi bergabung dengan oknum kelompok pelopor di awal tahun
1945. Saat oknum kelompok pelopor ingin membakar gereja, Nesi
terperangkap di dalamnya dan akhirnya meninggal dunia. Meninggalnya
Nesi mengingatkan Sam dan Anas tentang pentingnya persatuan dan
perkawanan antarkaum Betawi, terlepas apapun agamanya.

LIMA
Sahabat, puisi esai Satrio Arismunandar “Balada Mat Ropi yang
Terpinggirkan” ini mengisahkan nasib orang Betawi, warga lama di DKI
Jakarta, yang semakin lama semakin tersisih dan terpinggirkan. Sosok
orang Betawi yang dikisahkan bernama Mat Ropi. Ia anak tuan tanah

181
Betawi yang dulu pernah Berjaya karena tanahnya luas dan banyak
rumah kontrakannya. Sesudah orang tuanya wafat, Mat Ropi dan
keluarga terpaksa harus pindah dari tanah peninggalan orang tuanya.
Perluasan Jakarta membuat warga Betawi menjual tanahnya tersingkir
dari tanah kelahiran mereka. Mat Ropi juga menjual tanah orang tuanya
dan hidup di pinggiran Jakarta. Ia mencoba mempertahankan martabat
dan kehidupannya sebagai orang Betawi dengan mendirikan sanggar
budaya Betawi. Namun terbukti itu tidak mudah. Nasib belum berpihak
padanya. Kini orang Betawi seperti Mat Ropi jadi tersingkir, dan tidak
lagi merasa sebagai “tuan rumah” di Jakarta.
Mat Ropi anak tuan tanah Betawi pewaris tanah dan rumah-
rumah kontrakan harus menjual warisan didesak oleh pembangunan
Jakarta. Ia marah karena ada kontraktor mengapling tanah-tanahnya
agar dijual untuk pembangunan wilayah. Petugas yang datang itu
berkata bahwa tanah itu untuk proyek pemerintah. Seluruh warga,
pendatang baru, pendatang lama, asli Betawi harus mendukung dan
menurut. Jika membantah itu pamali. Harga tanah sudah ditetapkan
pemerintah. Anggaran pembebasan tanah sudah siap dan langsung
dibagikan ke warga. Mat Ropi dan keluarga pindah ke pinggiran
Jakarta membangun rumah kecil. Ia ingat pesan ayahnya sebelum
meninggal bahwa ia tidak boleh menjual tanah. Tanah itu dibuat
kontrakan. Mat Ropi akan menjadi juragan di tanah sendiri. Jadi
raja kontrakan di kawasan Kuningan. Tiap bulan tinggal tagih iuran
tidak repot, penghasilan aman. Namun roda nasib orang Betawi asli
berputar seolah tak terkendali. Ekonomi pun berubah sulit bagi Mat
Ropi, hidup tak lagi tertata rapi. Anak-anaknya tidak dapat membantu
usahanya, sehingga akhirnya tanah itu terjual untuk pembangunan
Mega Kuningan. Orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta dari
hari ke hari semakin terpinggirkan. Yang menguasai Jakarta adalah
orang dari luar Jakarta. Jakarta cuma menyisakan sedikit tanah
untuk kantong-kantong pemukiman Betawi, seperti Condet, Pasar
Baru, Palmerah, dan lain-lain. Sisanya, minggir ke daerah penyangga
seperti Tangerang, Depok, dan Bekasi. Mat Ropi terus berjuang untuk

182
hidup dengan mencari uang guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mat Ropi pun bikin sanggar seni melestarikan tradisi Betawi.
Dengan uang seadanya, sisa hasil jual Tanah Kuningan, ia
membuat sanggar seni di Depok. Mat Ropi membeli peralatan
lenong, marawis, hadroh. Ia memberi nama sanggarnya, Sanggar Seni
Betawi Bang Jampang. Di situ ditampilkan dan dilatihkan ragam seni
asli Betawi kepada anak-anak. Mereka diperkenalkan dengan seni
palang pintu, lenong, hadroh, marawis, dan silat cingkrik. Jumlah
murid yang belajar di sanggar lumayan banyak. Mat Ropi juga
mengadakan pentas di berbagai tempat hingga menjadi terkenal.
Hidupnya menjadi tenang karena uang mengalir cukup memenuhi
kebutuhan sejari-hari. Sayangnya Mat Ropi seperti berjuang sendiri.
Anak-anaknya tak membantu ayahnya. Mereka merongrong meminta
uang untuk kebutuhan mereka sendiri. Kehidupan terus bergulir dan
lama-lama order untuk kesenian Betawi berkurang. Sekarang ondel-
ondel tak lagi diperlukan untuk menolak bala atau menjadi pajangan
di gedung-gedung perkantoran di Jakarta. Mat Ropi pun harus putar
otak mencari kreasi, buat mengatasi pendapatan uang. Akhirnya
dibuatlah ondel-ondel yang di dalamnya ada orang yang berjalan
ke pelosok-pelosok kampung diiringi pemusik dan si pengumpul
uang melangkah dari Jatinegara sampai Prumpung. Mat Ropi harus
belajar hemat. Setiap hari wajib menghitung cermat. Satu kali
mengamen utuh itu artinya seharian penuh. Bisa meraih satu sampai
satu setengah juta itu pun harus dibagi merata. Pentas ondel-ondel
butuh dua belas orang. Empat orang mainkan ondel-ondel, delapan
orang untuk memainkan musik. Mat Ropi harus berpikir keras. Untuk
ngamen jumlahnya dipangkas cukup dua pemain, empat pemusik,
satu-dua untuk mengumpul uang di jalan. Alhasil anggota sanggar
kalau pulang harus dibayar. Sehari bisa membawa uang lima puluh
sampai tujuh puluh ribu. Tidak seimbang dengan lelahnya. Mat Ropi
dan senimannya bertahan karena ini seni budaya leluhur. Mata Mat
Ropi kini mulai agak lamur. Anak-anak Mat Ropi pun sudah menikah
semua, dan beranak pinak. Tiga anaknya tak jadi orang gedongan

183
dan gagal masuk pegawai negeri, tetap kelas rendah. Rojali kini kerja
jadi petugas satpam Tempat kerjanya berpindah-pindah. Sebagai
karyawan outsourcing, statusnya muram. Tak pernah jadi pegawai
tetap, ia pasrah. Rojali sering datang ke ayahnya sesudah petang untuk
minta pelunas utang. Zaenal jadi anggota Forum Betawi Kompak
kerjanya menarik “uang keamanan”. Atau jadi debt collector menagih
utang. Mat Ropi cuma bisa mengelus dada menyikapi anaknya, yang
tidak lagi muda. Ketika menetap di pinggiran kota rumahnya lebih
kecil dan harus berbagi. Sanggar pun tutup.

ENAM
Sahabat, puisi esai Syaefuddin Simon “Salman di Panti Orang
Gila” ini mengisahkan pemuda bernama Salman yang berpendidikan
tinggi dan mempunyai pekerjaan mapan. Ia dengan kesadaran
sendiri mempercayai dan mengikuti aliran yang dipimpin Lia
Eden. Kelompok aliran itu percaya Lia Eden diutus Tuhan untuk
mengembalikan manusia ke jalan yang benar. Orang-orang beriman
tersebut tergabung dalam Komunitas Eden yang bermarkas di Jalan
Mahoni 30, Bungur, Senen, Jakarta. Di sanalah Salman mengabdikan
jiwa raganya kepada Tuhan dan utusan.
Salman telah beristri dan memiliki dua orang anak. Mereka
bertempat tinggal di kawasan elite Jakarta. Istrinya Dewi Sinta
berasal dari Yogya. Orang tuanya kaya raya. Dewi Sinta merasakan
perilaku Salman aneh. Salman sudah tidak memperhatikan istri dan
kedua anaknya, yaitu Gunung dan Bayu. Salman telah meminta Sinta
menemaninya tinggal di Komunitas Eden, tetapi Sinta menolak. Gaji
dari kantor Salman tidak diserahkan ke Dewi Sinta tetapi diserahkan
ke Lia Eden. Salman merasa nyaman tinggal di tempat Lia Eden.
Dewi Sinta merasa tindakan Salman menyimpang dari akidah
agama Islam yang diyakini keluarganya dan mendapat tentangan
keras dari seluruh keluarganya. Mereka berusaha mengembalikan
Salman ke jalan agama yang benar. Tapi Salman menolaknya. Oleh
karena Salman dianggap telah murtad dari agama Islam, Sinta dan

184
dua putranya meninggalkan rumah mewahnya di Pondok Indah.
Mereka menetap di rumah orang tua Dewi Sinta di Timoho, Yogya.
Hasan Mustafa, ayah Salman, sangat malu kepada Bimo, besannya.
Salman dianggap berbohong oleh keluarga Sinta. Ke mana hasil
didikan agama Hasan kapada Salman. Kenapa Salman masuk aliran
sesat, menyimpang dari Alquran? Hasan kasihan melihat ibu Salman,
Farida. Berhari-hari Farida menangis memikirkan kesesatan iman
anak sulungnya. Ia memikirkan Salman kelak membuatnya masuk
neraka. Farida telah menyekolahkan Salman di sekolah Islam terbaik
di Jakarta, namun akhirnya Salman mengingkari Islam dan Alquran.
Hati Farida sangat sakit tak terkira. Salman di sekolah selalu juara
matematika dan bahasa. Ia lulus tanpa tes di universitas ternama di
Indonesia. Kuliah Salman cepat sekali, hanya tiga tahun sudah lulus
dengan nilai tertinggi. Ia bekerja di perusahaan IT yang terkenal.
Kepintaran Salman di tempat kerja memikat Sinta. Salman pun
tertarik kelembutan gadis Yogya. Hasan dan Farida minder ketika
melamar Sinta karena besannya, Bimo, kaya raya. Pernikahan mewah
dielenggarakan di hotel bintang lima. Ribuan undangan memenuhi
lobi Hotel Mulia. Semua biaya ditanggung keluarga Sinta. Bimo,
orang Yogya kaya raya yang memiliki kilang minyak dan gas bumi di
Indonesia. Hartanya berlimpah ruah, anaknya hanya satu, Dewi Sinta,
adalah pewaris tunggalnya. Salman sejak kecil telah tertarik dengan
Komunitas Eden yang menjadi tempat penelitian ketika ayahnya
mengambil program doktor. Salman sering ikut Hasan ke tempat Lia
Eden. Ketika dewasa dan sudah bekerja, tanpa sepengetahuan ayah
ibunya, Salman mendatangi Komunitas Eden dan dibaptis di sana.
Salman melakukan pengakuan dosa sebagai syarat untuk menjadi
murid Jibril yang setia. Baptis dan pengakuan dosa dilakukan agar
Salman lahir kembali sebagai manusia tanpa noda. Setelah pengakuan
dosa yang didengar semua jamaah, pancaindra Salman harus dibakar
api yang menyala-nyala.
Salman diambil paksa oleh ayahnya dari tempat Komunitas Lia
Eden dan dibawa ke Panti Rehabilatasi Jiwa karena dianggap gila.

185
Identitasnya seperti KTP, SIM, dan paspor diambil orang tuanya.
Salman menjadi orang tanpa identitas. Orang terbuang. Di sebuah
bukit sepi di Tasikmalaya, Salman tinggal. Hasan Mustafa, ayah Salman,
menganggap Salman sudah gila dan membawanya ke rehabilitasi
jiwa. Tiap hari Salman harus menahan rasa putus asa. Salman berdoa,
minta kepada Tuhan di Komunitas Eden menyelamatkannya. Dengan
berbagai cara akhirnya Salman bisa keluar dari panti. Salman kembali
ke Komunitas Eden dengan identitas baru. Berbagai upaya dilakukan
Hasan untuk mengeluarkan Salman dari Komunitas Eden. Termasuk
minta bantuan kepada Dino, pengikut Komunitas Eden yang sudah
bertobat. Percuma karena Salman telah iman, telah meyakini, bahwa
Komunitas Eden adalah pelabuhan hidup terakhirnya. Komunitas
Eden adalah semacam lingkaran suci dari komunitas penganut agama
barunya. Perenialisme – bertuhan tanpa nama agama formal – adalah
ajaran inti agama tanpa nama yang dianutnya. Salman mantap di
sana. Tak ada yang mampu mengubah keyakinannya.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Balada Ibu Kota menampilkan fakta ke­
hidupan di ibu kota negara Indonesia dengan segala problematikanya.
Hal Ini juga merefleksikan bahwa gambaran Jakarta sebagai ibu kota
negara tak selalu indah seperti yang dibayangkan orang selama
ini. Banyak orang bekerja dan hidup di ibu kota dengan harapan
mengubah nasib dari miskin menjadi kaya secara materi. Keahlian
tanpa pendidikan sangat sulit bersaing di ibu kota. Segala hal dikaitkan
dengan politik negara dan orang miskin tetap miskin jika ia tidak
bernasib mujur. Mereka yang sudah hidup turun temurun di ibu kota
tersingkir. Tergilas oleh arus yang berlindung di balik pembangunan..

186
Pilih Berbeda
atau Miskin
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI JAWA BARAT

Judul Buku : Lentera Pasundan


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 182 halaman
Penulis : Ahmad Gaus, Denis Hilmawati,
Jojo Rahardjo, Peri Sandi Huizhce,
Tri Sanyoto, Ummi Rissa
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-0812-22-9

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai enam permasalahan yang ada sampai se­karang
dan masih dialami masyarakat di beberapa wilayah. Permasalahan itu
membuat kita berpikir bagaimana dapat membantu orang-orang itu
keluar dari hal yang membuatnya sulit berkembang. Setidaknya menarik
membaca informasi kehidupan masyarakat yang terpinggirkan.

ENAM INTI SARI BUKU


 Tenggelam di sungai.
 Renovasi Gedung Juang Tambun.
 Istri kontrak.
 Sengkon Karta.
 Indramayu, sebuah ironi.
 Noni, gadis cilik menikah dini.

SATU
Sahabat, puisi esai Ahmad Gaus “Kutunggu di Cisadane” berkisah
tentang cinta sepasang muda-mudi, Agnes dan Ridho, yang berbeda
etnis dan agama. Agnes anak Tionghoa ortodoks beragama Kong Hu
Cu dan Ridho anak seorang haji terpandang di Kota Tangerang.

187
Mereka bertemu di tepian sungai Cisedane tempat dilangsungkan
festival Peh Cun. Festival itu menggambarkan pejabat negeri Chu
bernama Qu Yuan yang setia kepada negara difitnah dan diasingkan.
Ketika melihat negara hancur, ia menenggelamkan diri ke sungai.
Orang-orang mencari jasadnya namun tidak ditemukan.
Hubungan antara Agnes dan Ridho ditentang oleh orang tua
Agnes yang menginginkan Agnes menikahi pria Tionghoa juga. Itu
sesuai tradisi keluarga turun-temurun. Tampaknya orang tua Agnes
tidak tahu bahwa dunia sudah berubah, juga menyangkut status
agama Kong Hu Cu yang sudah diakui sebagai salah satu agama yang
sah; bahkan perayaan Imlek, tarian Barongsai dan Liong sudah bebas
dipentaskan di mana-mana. Orang tua Agnes masih berpikir bahwa
etnis keturunan Tionghoa harus hidup secara eksklusif karena ada
diskriminasi terhadap mereka oleh penduduk asli Indonesia.Pada masa
Orde Baru perayaan Tahun Baru Imlek dan Festival Peh Cun dilarang.
Rezim Orde Baru mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 yang melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya
perayaan Tahun Baru Imlek dan Festival Peh Cun. Sebelum dilarang,
perayaan festival Peh Cun di Tangerang adalah yang paling meriah.
Bahkan di era tahun 1960-an perayaan Peh Cun ini dihadiri wisatawan
mancanegara. Kegiatan perayaan ini sempat diabadikan menjadi lagu
dengan judul “Nonton Peh Cun”. Lomba perahu naga atau Festival Peh
Cun. Kata Peh Cun berasal dari dialek Hokkian untuk kata pachuan
yang berarti mendayung perahu. Di kalangan masyarakat Tionghoa
Indonesia festival Peh Cun dianggap penting karena merupakan
budaya yang terkait dengan sejarah negeri Tionghoa. Festival ini
dirayakan setiap tahun pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek
dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou.
Ketika pemerintah mencabut larangan dan memperbolehkan Festival
Peh Cun di Cisedane berlangsung Kembali, masyarakat Tionghoa dan
masyarakat di sekitar sungai Cisedane sangat senang dan membuat
perayaan Kembali di sungai itu. Masyarakat keturunan Tionghoa di
Indonesia mendapatkan kembali kebebasan merayakan tahun baru

188
Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Baba Liem ayah dari Agnes ketika itu sedang melihat televisi
ketika ada informasi bahwa perayaan Imlek diperbolehkan. Ia
menaikkan volume suara televisi mendengarkan seorang pembaca
berita mengatakan bahwa Presiden Indonesia memerintahkan
untuk mencabut peraturan yang melarang perayaan Imlek. Agama
Konghucu direhabilitasi, budaya Tionghoa dihidupkan Kembali. Tidak
ada lagi istilah pri dan non-pri. Lalu tarian barongsai ditampilkan
meliuk-liuk mendemonstrasikan kesaktian naga merah. Barongsai
melintas di depan kursi-kursi kehormatan tempat duduk presiden dan
para pejabat negara. Baba Liem tidak percaya. Lalu pembaca berita
menginformasikan ada gadis tercebur di sungai Cisedane. “Seorang
perempuan berciri fisik berkulit putih berambut lurus panjang hingga
sepinggang, diperkirakan usia dua puluh tiga berdarah Tionghoa
menceburkan diri ke Sungai Cisadane.” Baba Liem menyaksikan berita
itu di televisi. Ia merasakan firasat buruk dan memanggil-manggil
Agnes. Tetapi Agnes tidak muncul. Ternyata Agnes meninggalkan
surat salam perpisahan karena Baba dan Mama tidak merestui
cintanya pada Ridho. Oleh karena tidak ada jalan keluar, sementara
Agnes sangat mencintai Ridho, akhirnya Agnes bunuh diri dengan
menceburkan diri ke Sungai Cisadane. ia mengikuti jejak Qu Yuan
mengakhiri hidupnya di sungai.

DUA
Sahabat, puisi esai Denis Hilmawati “Lentera Cinta di Gedung Juang
Tambun” mengisahkan Pin Yin gadis Tionghoa keturunan dari pendiri
Gedung Juang Tambun. Ia kuliah di Belanda dan mencari jejak leluhur
pada zaman penjajahan. Sukses menyelesaikan kuliah sambil menanti
ijazah diserahterimakan, ia magang di bawah bimbingan Profesor Willy.
Pin Yin teringat pesan kakeknya untuk mencari jejak leluhur yang pernah
menetap di Belanda. Di antara waktu kerja dan mengurus surat- surat
kepulangannya ke tanah air, Pin Yin menelusuri jejak leluhurnya.

189
Leluhur Pin Yin bernama Khouw Tjoen migrasi dari Tiongkok.
Ia sukses berdagang hasil budidaya tanaman dan membangun
tempat yang sekarang bernama Gedung Juang. Letaknya di daerah
Tambun, Bekasi. Khouw Tian Sek sering disebut Teng Seck atau Teng
Sek, dikenal sebagai tuan tanah di Batavia. Ia seorang keturunan
Cina Indonesia yang dikenang sebagai kepala keluarga Khouw van
Tamboen. Ia lahir di Batavia pada akhir abad kedelapan belas. Ayahnya,
Khouw Tjoen, migrasi sekitar tahun 1769 dari provinsi Hokkien di
Tiongkok ke Tegal, dan kemudian ke Batavia. Khouw Tjoen sukses
berdagang, dan setelah meninggal usahanya diteruskan oleh putra
sulungnya, Khouw Tian Sek. Ia mengalihkan aset keluarga dari usaha
ke kepemilikan tanah, yang dianggap lebih terhormat di kalangan
para opsir Tionghoa (baba bangsawan). Di luar Batavia, Khouw juga
memperoleh banyak tanah- tanah partikelir (particuliere landerijen)
– termasuk, pada tahun 1841, tanah partikelir Tamboen (sekarang
melingkupi Tambun Utara, Tambun Selatan dan Lubang Buaya). Inilah
pusat kejayaan familie Khouw van Tamboen di mana dibangun pusat
pemerintahan mereka, yaitu landhuis Tamboen (sekarang Gedung
Juang Tambun). Beras, nila, gula, kelapa, karet dan kacang tanah semua
dibudidayakan di Tamboen. Di hari tuanya, Khouw Tian Sek menjadi
anggota pertama keluarganya yang akan diangkat oleh pemerintah
Belanda sebagai opsir Tionghoa dengan gelar Luitenant-titulair der
Chinezen. Pangkat tersebut bersifat kehormatan tanpa hak-hak atau
kewajiban-kewajiban ke pemerintahan lazimnya. Khouw meninggal
pada tahun 1843. Nama Luitenant Khouw Tian Sek dikenang sampai
hari ini sebagai nama daerah Kebon Tengsek di Pinangsia, Jakarta.
Pin Yin berkenalan dengan Dave di perpustakaan di Belanda.
Dave merasa tertarik pada Pin Yin. Kedua sejoli itu pergi ke Indonesia.
Pin Yin pulang karena sekolahnya telah selesai, sedangkan Dave
bertugas ke Indonesia. Mereka tinggal di hotel milik keluarga Pin Yin.
Rumah kuno di Jalan Gajah Mada 188, tepatnya di dalam superblok
Green City Square tersebut saat ini tampak rendah dibanding
bangunan hotel, apartemen, dan perkantoran yang mengelilinginya.

190
Namun, pada tahun 1800-an rumah yang kini dikenal dengan
nama Gedung Candra Naya tersebut merupakan yang paling “tinggi”.
Rumah tersebut adalah kediaman Mayor China Khouw Kim An,
pemimpin masyarakat Tionghoa di zaman pemerintahan Hindia-
Belanda. Disebutkan bangunan itu didirikan pada tahun 1807 atau
1867. Perjalanan hingga rumah tersebut menjadi bangunan yang saat
ini dikenal sebagai Gedung Candra Naya, cukup panjang.
Ketika di Indonesia, Dave juga melihat beberapa tempat,
antara lain Gedung Juang Tambun yang tengah direnovasi oleh
Pemda dengan sedikit bantuan dana Pin Yin. Dave ikut juga
menyumbang dana renovasi tersebut. Cinta keduanya berkembang
karena penelusuran leluhur keluarga. Pembangunan Gedung Juang
menarik untuk ditulis, karena masyarakat sekitar telah abai pada
keberadaannya. Pemda sendiri melupakan bahwa Gedung Juang
Tambun itu pernah menjadi tempat orang yang membudidayakan
beberapa tanaman yang menjadi komoditas perdagangan yang
unggul saat itu. Sejarah harusnya dipahami dan diketahui. Pin Yin
dan Dave membantu pemerintah daerah merenovasi gedung yang
akan menjadi bangunan pusat aktivitas daerah.

TIGA
Sahabat, puisi esai Jojo Rahardjo “Laylis istri kontrak: kisah
memilukan di Cisarua” mengisahkan kehidupan di wilayah Puncak,
Bogor. Sudah bukan rahasia lagi jika di beberapa kawasan di
Puncak, Bogor, dua kali dalam satu tahun dikenal apa yang disebut
sebagai “musim Arab”. Itu adalah bulan-bulan tertentu ketika banyak
ditemukan orang asing dari negeri Arab yang berwisata seks di
kawasan itu. Mereka memuaskan syahwat selama beberapa minggu
dengan menjalani kawin kontrak dengan perempuan yang datang dari
beberapa tempat di Jawa Barat. Kawin kontrak tersebut menggunakan
prosesi agama, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya
tak merasa bersalah melakukan hubungan layaknya suami istri. Ini
merupakan ‘pemelintiran’ terhadap kitab suci, yaitu menyelubungi

191
perbuatan haram di balik prosesi agama. Barangkali para orang tua
yang terlibat dalam ‘menjodohkan’ anak perempuannya dengan para
turis Arab di Puncak ini beranggapan bahwa yang mereka lakukan
sudah selaras dengan agama. Kawin kontrak seperti ini seharusnya
disebut pelacuran, sebab mereka melakukan transaksi untuk
“menguasai” perempuan dalam jangka waktu tertentu. Perempuan
yang dikuasai ini dianggap istri sah, karena telah melalui sebuah
prosesi pernikahan sebelumnya, lengkap dengan pemberian mahar
yang dibayarkan oleh pihak lelaki. Setelah ‘menikah’ selama beberapa
waktu sesuai perjanjian, mereka pun bercerai.
Pada suatu hari, Taufik mantan kekasih Laylis Bersama teman-
temannya melihat Pak Suryada ditangkap polisi di rumahnya. Pak
Suryada itu adalah ayah Laylis. Orang-orang sekampung mem­
bicarakannya. Laylis baru dinikahkan ayahnya dengan seorang lelaki
dari luar desa. Mereka juga tidak melihat seperti apa laki- laki yang
m­e­
nikah dengan Laylis. Warga des aitu hanya mendengar bahwa
Laylis dinikahkan oleh Pak Suryada. Semua bergegas keluar rumah
menuju rumah Pak Suryada yang jaraknya tak lebih dari 300 meter.
Dari kejauhan nampak puluhan orang berkerumun. Dua mobil polisi
berwarna abu-abu berada di depan rumahnya. Kerumunan orang makin
banyak yang melihat peristiwa yang terjadi di rumah Pak Suryada.
Taufik saat itu berdiri di dekat Pak Suswono. Ia tetangga sebelah rumah
Taufik. Kata Pak Suswono, Pak Suryada terlibat perdagangan manusia
di daerah Puncak. Pak Suryada orang kaya di Karangampel, Indramayu.
Ia memiliki tiga toko jual-beli motor. Ia juga membangun musala di
samping rumahnya tempat anak kampung mengaji dan belajar agama.
Penangkapan Pak Suryada, ayah Laylis di Desa Karangampel, Indramayu
karena perdagangan orang.
Pak Suryada mempunyai lima anak. Mereka bekerja dan menikah
di Jakarta. Ketika lebaran mereka menengok ayahnya sebentar dan
pergi dengan mobil minibus bagus. Ibu Laylis bercerai dengan
ayahnya. Saat itu Laylis masih kecil, Laylis baru saja naik kelas ke kelas
2 SD. Ibu Laylis adalah istri kedua Pak Suryada. Ibunya meminta cerai

192
karena Pak Suryada akan menikah lagi untuk ketiga kalinya. Sekarang
Pak Suryada memiliki empat istri. Mereka tinggal di empat rumah
berbeda. Dua rumah istrinya terletak di kampungnya, dua lainnya
berada di kampung lain. Laylis tinggal di rumah utama, ayahnya lebih
banyak tinggal di rumah utama. Laylis ingat saat terakhir ibunya akan
pergi, ia memohon untuk membawa Laylis. Pak Suryada menolak
dengan kasar Kaki ibu disepak hingga ibu kesakitan. Pak Suryada
menyuruh ibunya pergi segera. Paman Laylis bercerita jika Ibu Laylis
tidak menurut pada suami, itu diharamkan agama, kata paman.
Seharusnya perempuan menurut saja jika suaminya akan menikah
lagi. Jangan melawan agama, kata pamannya waktu itu.
Pak Suryada telah menikahkan anaknya, Laylis, 16 tahun, dengan
lelaki Arab bernama Utsman, 52 tahun. Dalam perkawinannya, Laylis
dijadikan budak seks oleh Utsman. Apabila Laylis menolak, Utsman
akan memukul Laylis. Utsman ingin Laylis selalu siap melayaninya
dalam keadaan apa pun. Jika tidak Laylis akan dipukul dan dipaksa
melayaninya. Ternyata Utsman sudah lebih 5 kali menikah mut’ah
atau kawin kontrak, yaitu pernikahan satu atau dua bulan. Laylis
terguncang mendengarnya. Di televisi diberitakan Laylis dari
Indramayu, tewas terjatuh dari lantai dua sebuah vila, Laylis diduga
korban perdagangan manusia di wilayah Puncak Bogor.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Peri Sandi Huizhce “Mata Luka Sengkon
Karta” menceritakan Sengkon-Karta sebagai orang-orang yang
salah vonis karena stigma masyarakat kepada mereka sebagai
orang melarat dan keturunan perampok. Sengkon-Karta berkali-kali
mengalami siksaan. Siksaan di masyarakat, siksaan di kantor polisi
yang semuanya mengharuskan Sengkon-Karta menjadi orang yang
seperti dituduhkan dalam aduan ke polisi. Sengkon adalah petani
desa yang sederhana. Ia hidup dari sawah yang dimilikinya. Ketika
zaman pemerintahan Soeharto kehidupan semakin susah. Petani
mencai bibit padi susah. Harga pupuk juga sangat mahal, tidak terbeli

193
oleh petani. Akhirnya Sengkon tidak bisa menggarap sawah karena
tidak ada sarana untuk menanam padi di sawah dan memeliharanya.
Situasi Bekasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda masuk
ke dalam Regent Schap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat
distrik, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang.
Distrik Bekasi dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang
terdiri atas tanah-tanah partikelir. Sistem kepemilikan tanahnya
dikuasai oleh tuan-tuan tanah partikelir, terdiri atas pengusaha Eropa
dan para saudagar Cina. Di tanah partikelir tersebut ditempatkan
kepala desa atau demang yang diangkat oleh residen dan digaji
oleh tuan tanah. Demang dibantu oleh juru tulis, kepala kampung,
amil, pencalang (pegawai politik desa), kebayan (pesuruh desa),
dan seorang ulu- ulu (pengatur pengairan). Sejak zaman itu, kakek
moyang Karta menggarap sawah, sebagai kuli di tanah partikelir.
Sekarang Karta yang melanjutkan menggarap tanah itu. Namun,
Karta mengalami kesulitan untuk mengolah, menanami, dan merawat
tanaman di tanah itu. Karta tidak punya dana untuk mengadakan bibit
atau pupuk untuk menanam dan memelihara padi di sawah. Perlu
ongkos yang banyak untuk sawah dan juga untuk kebutuhan makan
sehari-hari. Sekarang di tanah itu diberitakan akan jadi penyangga
ibu kota. Akan dibangun pabrik dan jalan tol. Karta dengan keadaan
yang serba kurang merasakan sekarat yang berlipat ganda. Ia harus
harus tetap hidup, pinjam uang, dan bayar utang. Karta mendatangi
Sengkon mau pinjam uang, ternyata Sengkon kondisinya juga lagi
tidak punya uang. Apakah harus pinjam ke Sulaiman. Kalau pinjam
ke Sulaiman harus melata dulu kepadanya. Lalu terjadilah peristiwa
perampokan dan pembunuhan, Sulaiman terbunuh beserta istri.
Masyarakat menuduh Karta dan Sengkon pelaku pembunuhan
dan perampokan itu. Sulaiman dan istri meninggal dibunuh oleh
perampok. Penduduk desa dan lurah menandatangani kesaksian
bahwa Karta dan Sengkon melakukan perampokan dan pembunuhan
karena keduanya pernah berselisih dengan Sulaeman. Kata saksi
bernama Nur Ali, ia pernah mendengar keributan di rumah Sulaeman.

194
Ketika ia datang ke rumah Sulaeman, ia melihat sekilas wajah Karta.
Nur Ali melaporkan hal itu kepada Ustad Siradjuddin. Beberapa hari
kemudian ada surat yang ditandatangani seratusan penduduk desa,
termasuk lurah bahwa yang membunuh Sulaeman dan istri adalah
Karta dan Sengkon. Sengkon dan Karta pun diadukan kepada polisi
sebagai perampok dan pembunuh Sulaeman dan istrinya. Mereka
meminta polisi segera menangkap keduanya. Hal ini diperkuat pula
oleh kakak ipar Sulaeman yang bernama Jatun. Menurut ceritanya,
menjelang mautnya di RS Cipto Mangunkusumo, Sulaeman sempat
berbisik kepadanya bahwa yang melakukan kejahatan itu adalah
Sengkon dan Karta. Hal ini lantas begitu saja dipercaya, apalagi ada
penduduk yang menceritakan, bahwa Karta dan Sengkon memang
juga pernah berselisih dengan Sulaeman.
Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-
kacir entah ke mana. Rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000
meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk
membiayai perkaranya di kantor polisi. Pembelaan mereka tidak
pernah didengarkan. Sengkon divonis 12 tahun dan Karta 7 tahun
penjara. Ketika itu ada seorang tahanan melihat saat Karta dan
Sengkon dimasukkan ke sel penjara dengan tubuh penuh luka.
Orang itu mendengar dari sipir penjara bahwa Karta Dan Sengkon
dimasukkan ke sel penjara karena merampok dan membunuh
Sulaiman dan istri. Tahanan di penjara itu sangat terkejut melihat dan
mendengar kedua orang yang babak belur itu dimasukkan penjara
dituduh membunuh Sulaiman dan istri. Dia merasa sangat bersalah
melihat Karta dan Sengkon dianiayai seperti itu dan dipenjara. Dia lalu
melapor ke sipir bahwa ada kesalahan menahan Karta dan Sengkon
di penjara. Tahanan itu mengatakan bukan Karta dan Sengkon yang
melakukan pembunuhan dan perampokan tetapi dia. Kepolisian
dan pihak kehakiman serta kejaksaan sangat terkejut mendengar
pengakuan tahanan itu. Kasus Sengkon dan Karta menggemparkan
tanah air. Saat keluar dari penjara, Karta tewas ditabrak truk. Sengkon
meninggal karena sakit. Kematian mereka misterius.

195
LIMA
Sahabat, puisi esai Tri Sanyoto “Indramayu, Sebuah Ironi” mengi­
sahkan Kirman yang mencari nafkah dengan cara berebut uang
lemparan di jembatan Kali Sewo, perbatasan Subang-Indramayu.
Di tempat itu,orang-orang di tepian menungu lemparan uang dari
pemakai jalan. Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dikenal dengan se­
butan daerah lumbung padi nasional. Daerah ini memiliki lahan seluas
204.011 hektare, dan 110.877 hektare atau 54,35 persen di
antaranya sawah tadah hujan. Melihat luasan sawah di Indramayu,
wajar jika daerah ini menjadi penghasil beras terbesar di Jawa Barat.
Produksinya setiap tahun rata-rata mencapai 1,7 juta ton. Beras
tersebut disebar ke beberapa daerah di Jawa Barat, terutama me­
menuhi kebutuhan Jakarta. Ironisnya, sebagai salah satu pemasok
beras terbesar, nasib petani Indramayu tidak mujur. Mereka mem­
produksi beras berkualitas, akan tetapi mereka tercatat sebagai
penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) terbanyak di Jabar. Angka
kemiskinan di Indramayu terbilang tinggi. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, angka kemiskinan Indramayu menduduki angka
14,99 persen atau tertinggi kedua di Jabar setelah Kota Tasikmalaya.
Kemiskinan telah membuat warga Indramayu, bahkan termasuk
anak-anak mereka, terpaksa menjadi pengemis dan pelacur. Ada
pula yang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) dan buruh kasar. Puisi
esai ini mengisahkan Kirman, seorang anak laki-laki, yang harus
menjadi pengemis, sementara kakak perempuannya terpaksa terjun
ke lembah hitam.
Berbekal mitos bahwa pengendara yang melewati jembatan
harus melemparkan uang recehan agar selamat perjalanannya, maka
Kirman beserta anak-anak dan penduduk di sekitar Jembatan Kali
Sewo, perbatasa Subang-Indramayu menunggu di tepian jembatan
menengadahkan tangan atau kantung kepada kendaraan yang
lewat. Kirman, bocah 14 tahun tiap hari mengantongi puluhan ribu
dari uang yang dilempar pemakai jalan. Pemandangan di jembatan

196
itu merupakan salah satu sisi potret kemiskinan di daerah lumbung
padi Indramayu. Kondisi ini menjadi sebuah ironi. Haruskah kegiatan
berebut uang recehan di jalan tersebut dianggap sebagai fenomena
biasa? Itu menumbuhkan budaya malas dan membahayakan jiwa
mereka dengan mengganggu kelancaran lalu lintas. Ayah Kirman
telah tiada, ibunya sakit terbaring di rumah, adik lelakinya meninggal
karena demam berdarah. Kakak perempuannya menjadi pelacur di
pantura. Setiap hari ia harus mencari makan untuk ibunya. Jika obat
ibunya habis, iya harus membelinya. Kirman tak pernah tahu kalau
daerahnya jadi lumbung padi nasional. Hasil panen padi di Kabupaten
Indramayu konon hampir dua juta ton per tahun. Indramayu menjadi
salah satu daerah prioritas untuk menyukseskan program kedaulatan
pangan nasional. Tetapi mengapa rakyatnya sangat miskin? Bagi
orang-orang di kampungnya, mengemis adalah satu-satunya peker­
jaan. Mereka tidak punya pilihan lain karena mencari pekerjaan tidak
mudah, memerlukan berbagai syarat pula. Tumbuh pesatnya jumlah
penduduk tidak seimbang dengan peluang pekerjaan. Kirman tak
pernah tahu dan tak ingin mengerti. Setiap pagi setelah subuh, ia
hanya menjalani kehidupan rutinnya pergi menuju ke Jembatan Sewo
berebut uang receh dengan teman-temannya. Kirman tak peduli
nasib itu kejam atau tidak, ia tetap bersyukur dan bisa tersenyum
ketika uang receh terkumpul di tangan.
Rumah Kirman dekat dengan musala, tapi kadang-kadang saja
ia ikut salat. Mungkin kehidupan yang keras membuat hatinya tak
begitu dekat dengan Tuhan. Namun dengan ibunya dan juga kakaknya
hatinya menyatu. Kirman sering mendengar pengajian dari pelantang
yang menggema di musala. Ustaz itu bagaikan menyindirnya.
Katanya, “Agama mengajarkan, tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah.” Itu artinya, agama melarang keras perbuatan meminta-
minta. Kirman sedih juga mendengar hal itu. Apalagi ada yang bilang
kalau dia mengemis bukan karena miskin tetapi karena malas bekerja,
mata Kirman berkaca-kaca. Ia ingin berhenti menjadi pengemis tapi tak
bisa, tak pernah bisa. Kirman pernah bekerja sebagai penyapu jalan.

197
Pernah juga sebagai pembersih kakus umum, tetapi tak bisa
bertahan lama. Karena mandornya kasar dan ringan tangan. Pe­man­
dangan di jembatan itu sebuah gambaran kehidupan rakyat mis­
kin. Penduduk Indramayu bekerja sebagai buruh di sawah, menjadi
pe­ngemis, atau pelacur. Ada yang merantau ke luar negeri tetapi
kompetensi mereka rendah sehingga tidak bisa bersaing di pasar kerja.

ENAM
Sahabat, puisi esai Ummi Rissa “Noni, Gadis Cilik Bermata Bulat”
mengisahkan tentang pernikahan di bawah umur di daerah Lubang
Buaya, Bekasi. Di Jawa Barat dikenal dengan tradisi menikah muda.
Beberapa daerah yang terkenal dengan pengantin cilik ini adalah
Indramayu, Cirebon, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Meskipun
demikian, publikasi hasil analisis data pernikahan anak yang dilakukan
pertama kali di Indonesia oleh BPS dan UNICEF menyebutkan, Jawa
Barat sedikit demi sedikit mengalami pemudaran citra sebagai
Lumbung Pengantin Cilik. Menurut BPS dan UNICEF. Di Jawa Barat,
empat dari lima kecamatan dengan prevalensi pernikahan anak
tinggi berada di kabupaten ini justru memiliki prevalensi 18 persen
yang lebih rendah dari rata rata nasional, yakni 23 persen. Artinya dari
47 kecamatan yang dimiliki oleh kabupaten seluas 4128 kilometer
persegi itu, hanya ada 4 kecamatan dengan rata-rata dua dari lima
anak di bawah 18 tahun, yang sudah atau pernah menikah. BPS dan
UNICEF pun mencatat hal berbeda dibanding data-data sebelumnya.
Di Jawa Barat, kabupaten yang punya prevalensi pernikahan anak
tinggi hanyalah Cianjur dengan 22 persen remaja perempuan sudah
atau pernah menikah.
Noni adalah murid kelas enam di desa Lubang Buaya, telah
menikah. Walau begitu Noni masih pergi ke sekolah dengan riang
dan bergurau dengan kawan-kawannya. Dia pun bercerita tentang
malam pertama dan tentang persetubuhan yang ganjil baginya.
Begitu polos ceritanya mengalir layaknya kran air, dan gelak tawa
di antara teman-temannya terdengar riuh. Noni gadis cilik bermata

198
bulat dengan rambut ikal terurai, siapa menyangka gadis berumur
12 tahun ini telah menikah. Pernikahan itu terjadi karena hasil
pertemuan seorang pria yang melihat ketika Noni kecil menari topeng
di sebuah acara hajatan. Noni kecil masih bersemangat untuk pergi
ke sekolah, dia tidak mengerti bahwa dia adalah seorang istri yang
sudah punya kewajiban kepada suami. Sifat polos dan kekanakannya
membuatnya nekat ke sekolah walau sudah menikah. Sampai suatu
hari, Noni pernah diseret oleh keluarganya saat upacara bendera hari
Senin. Mereka bahkan hampir menusukkan galah panjang ke leher
Kepala Sekolah yang pada saat itu menjadi pembina upacara.
Noni dikaruniai satu orang anak dari pernikahannya, seorang
bayi perempuan yang diberi nama Ratih dan mempunyai panggilan
Gendis. Genap tiga tahun usia pernikahannya, Noni kecil itu bercerai
dari suaminya, akhirnya gagal pernikahan dini itu. Kemudian dia
menikah untuk yang kedua kalinya. Dari pernikahan kedua, Noni
melahirkan satu orang anak diberi nama Bilqis. Tahun ketiga setelah
pernikahannya, Noni untuk kali kedua bercerai dari suaminya dengan
alasan Gendis anak dari musuh suaminya. Rumah tangganya diwarnai
pertengkaran dan percekcokan, alasannya hanya satu,”Gendis anak
dari musuh suaminya yang sekarang”. Noni belum jera juga. Dia
menikah untuk ketiga kalinya. Awal pernikahannya sangat manis,
suaminya seperti malaikat penolong yang menerima Noni dan anak-
anaknya apa adanya. Noni tidak pernah tahu bahwa laki-laki yang
dinikahinya adalah seorang bajingan. Diam-diam jika Noni tidak
di rumah, suaminya mendekati Gendis, masuk ke kamar Gendis.
Dia menerkam Gendis dengan seluruh nafsunya, memerkosa, dan
merenggut keperawanannya. Pada suatu malam ketika ayah tiri
Gendis hendak memperkosanya lagi, Gendis menghunjamkan pisau
dapur tepat ke ulu hatinya. Ayah tirinya itu jatuh terkapar dan tewas.
Noni menyelamatkan Gendis. Kepada polisi ia mengatakan telah
membunuh suaminya. Noni pun dipenjara’ tapi ternyata penderitaan
belum usai. Ia mendapatkan pelecehan seksual dari penghuni sel dan
sipir di sana. Dia hanya diam, semua menjadi sepi, sunyi, seperti angin

199
yang berhembus sepoi dan mengalirkan segala macam tanya dan
menyimpan ribuan rahasia tentang pernikahan dini di desa Lubang
Buaya, Setu, Bekasi.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Lentera Pasundan merupakan gambaran
kehidupan rakyat Indonesia di wilayah Jawa Barat. Enam tulisan
kebe­ragaman masyarakat dengan suku dan agama menjadi hal yang
mendasar penyebab timbulnya masalah. Kekuatan pendidikan agama
di ranah keluarga penting agar anak dapat melangkah sesuai tuntunan
agama. Pendidikan keluarga membuat generasi berikutnya menghargai
apa yang telah dilakukan leluhurnya. Jika manusia tidak memiliki dasar
pendidikan yang cukup, maka dirinya tidak dapat membela kebenaran
yang dilakukannya. Pendidikan juga mempengaruhi kompetensi
dalam bersaing di pasar kerja. Pemerintah harus melihat pentingnya
pendidikan agar generasi muda dapat lebih baik hidupnya dari para
leluhur yang telah meninggalkan jejak.

200
Rakyat yang
Ditelantarkan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI JAWA TENGAH

Judul Buku : Kidung Kelam


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 184 halaman
Penulis : Anggoro Suprapto, Gunoto Saparie,
Handry T.M., Kamerad Kanjeng,
Roso Titi Sarkoro, Sulis Bambang
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-0812-23-6

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai enam gambaran kehidupan di provinsi Jawa
Tengah yang ditulis dalam puisi esai. Keenam penulis menceritakan
be­ragam peristiwa pada masyarakat. Penggusuran penduduk miskin
dengan alasan pembangunan wilayah dan untuk kepentingan negara
telah menjadi sumber penceritaan yang menarik untuk dibaca.

LIMA INTI SARI BUKU


 Bermukim di bawah jembatan layang.
 Penggusuran rumah di tepi rel kereta api.
 Berharap keraton tidak runtuh.
 Protes mengecor kaki.
 Pelarian yang sia-sia.
 Rindu menjadi petani.

SATU
Sahabat, puisi esai Anggoro Suprapto “Balada Jembatan Layang
Cakrawala” menceritakan tentang kasus Cakrawala. Areal tanah di
Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang

201
terbengkalai tak terurus dan dimanfaatkan oleh oknum dengan
menjual per kaveling kepada penduduk. Kasus Cakrawala sangat
populer di Kota Semarang. Para penduduk miskin yang waktu itu rata-
rata usianya sudah 50 sampai 60 tahun, menempati tanah Cakrawala
di Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang,
yang luas dan terbengkalai. Setelah menempati lebih dari puluhan
tahun, dan rumah-rumahnya ada yang permanen, mereka harus
digusur. Mereka pun melawan. Akan tetapi, meskipun sudah dibantu
LSM, pers, dan para aktivis, pada akhirnya, mereka toh tetap kalah.
Penguasa dan para pemodal, ternyata lebih kuat. Mereka pun tergusur.
Sekian puluh tahun telah berlalu. Mereka yang terusir, sebagian ikut
program pemerintah dibuatkan rumah sangat sederhana di pinggiran
kota. Tetapi, sebagian lagi, sampai hari ini terus bertahan selama
puluhan tahun di bawah jembatan layang Cakrawala.
Ia bernama Sukimin, orang-orang memanggilnya Pak Min.
Usianya sekitar 57 tahun tetapi. Wajahnya cepat berubah menjadi tua
lebih cepat dari masanya. Ayahnya seorang pejuang bergerilya di kota
kecil Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. Saat Pak Min menjelang dewasa,
ayahnya tutup usia. Ayahnya ingin Pak Min sekolah yang tinggi.
Kalau lulus bisa jadi pegawai negeri mengabdi pada negara dapat
gaji sejahtera. Bukan seperti ayahnya mengabdi pada negara hanya
dikenang sebagai gerilya. Pak Min hanya mengangguk mengiyakan
ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Pak Min, ibunya, dan adiknya
pergi ke kota Semarang untuk mengadu nasib. Mereka tinggal di
rumah teman ibunya dari desa. Pak Min mencoba mencari pekerjaan,
tapi belum dapat juga. Akhirnya Pak Min diterima sebagai petugas
kebersihan dan Ibunya sebagai tukang cuci harian di kompleks
perumahan. Pak Min sangat rajin melakukan pekerjaannya. Perumahan
itu menjadi bersih karena Pak Min tepat waktu membersihkan
sampah yang ada di perumahan itu. Pak Min juga berinisiatif sebagai
pemulung di perumahan itu. Kehidupan mereka semakin mapan.
Mereka mengontrak rumah sendiri.
Beberapa waktu kemudian, Pak Min dan ibunya ingin memiliki

202
rumah dan akhirnya mereka mendapat rumah yang dijual oleh calo
dalam bentuk kavelingan di daerah Cakrawala. Oleh karena terletak
di kawasan Cakrawala sebelah barat kota maka dinamai Tanah
Cakrawala. Letak tanahnya strategis, luas terhampar di tepi arteri Yos
Sudarso jalan besar. Tanah tersebut sudah lama terbengkelai tidak
diperhatikan pemiliknya. Daerah itu ditumbuhi ilalang dan semak
belukar. Rakyat yang tidak punya tanah dan rumah ingin memiliki
tanah dan rumah. Ada beberapa oknum yang berani menjual dan
membangunkan rumah di daerah itu. Terjadilah proses jual beli
yang sebetulnya tidak resmi. Para pembeli merasa itu jual beli resmi.
Mereka membayar dengan uang dan diberi kuitansi yang dicap.
Tanah sudah di kapling- kapling kotak-kotak ukuran 7X15M. Tanah
Cakrawala yang kosong seluas 12,200 hektar, sejarahnya adalah,
ditinggalkan pemiliknya dan dibiarkan sebagai lahan kosong. Tahun
1998 – 1999, oleh beberapa oknum, tanah itu dijual 1—2 juta rupiah
perpetak kepada warga. Dalam waktu singkat ratusan rumah dan
fasilitas publik berdiri di sana. Pada tahun 2005, tiba-tiba tiga pemilik
tanah itu datang melihat tanahnya sudah menjadi perumahan yang
dihuni banyak warga. Mereka meminta Kembali haknya sebagai
pemilik tanah yang resmi. Perkampung dua kali digusur gagal dan
baru pada tahun 2006, Pemkot akhirnya sukses mengusir 300-an KK.
Sebagian dari mereka pergi tak menentu ke mana dan yang lainnya
menempati bawah jembatan layang Cakrawala. Pak Min atau Pak
Sukimin bersama 60 kepala keluarga bertahan tinggal di bawah
jembatan layang Cakrawala karena dekat dengan tempat mencari
nafkah. Pemerintah meletakkan bak sampah di dekat jembatan
agar penghuni bawah jembatan pergi, namun mereka tetap di situ.
Sebagian warga direlokasi di luar kota, sebagian berumah di bawah
jembatan layang Cakrawala. Pak Min tinggal di bawah jembatan itu.

DUA
Sahabat, puisi esai Gunoto Saparie “Darah Pun Menetes di Ke­bon­
harjo” mengisahkan konflik projek pembangunan rel baru di Semarang

203
karena penggusuran rumah-rumah di tepi rel kereta api di Dusun
Kebonharjo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota
Semarang. Projek pembangunan rel baru di Semarang harus menggusur
rumah-rumah yang berdiri di tepi rel kereta api. Namun pembebasan
lahan itu tidak sederhana, karena banyak warga yang tinggal di tepi rel
kereta api ternyata memiliki sertifikat hak milik. Padahal dalam peta
tanah versi PT Kereta Api Indonesia lahan itu berada di wilayahnya.
Persoalannya menjadi rumit dan berkembang menjadi konflik karena
masing-masing pihak ‘ngotot’ dan merasa paling berhak atas lahan itu.
Di wilayah Dusun Kebonharjo, Kelurahan Tanjung Mas, Keca­
matan Semarang Utara,Kota Semarang,konflik itu berkembang dan
tak kunjung selesai, bahkan memakan korban nyawa. Banyak warga
belum bersedia pindah karena belum ada kesepakatan terkait ganti
rugi. Sejumlah keluarga bertahan karena ganti rugi yang diputuskan
dianggap terlalu rendah, padahal mereka merasa memiliki sertifikat
sah atas lahan yang mereka tempati. Pengukuran terus berjalan
tak peduli keberatan warga. Bahkan warga ternyata sama sekali
tidak dilibatkan pengukuran untuk menentukan koordinat rel yang
dibangun karena bersifat teknis semata. Musyawarah mufakat
tidak tercapai, warga Kebonharjo melakukan upaya hukum. Mereka
mendaftarkan gugatannya ke pengadilan karena perundingan buntu
meski dimediasi ombudsman. Ombudsman Jawa Tengah menggelar
mediasi. Para pemangku kepentingan diundang dan dilibatkan tapi
tak ada warga Kebonharjo. Ombudsman punya alasan warga tak
dilibatkan supaya pembicaraan tak melebar. Pertemuan terbatas itu
menghasilkan tiga kesepakatan, pertama, ada musyawarah dengan
warga terdampak reaktivasi; kedua, mereka yang tak sepakat harus
melalui jalur pengadilan; ketiga, saat ada pihak menempuh jalur
hukum, pihak lain menghormati. Namun penggusuran tetap terjadi,
warga sakit terluka hatinya. Ombudsman tentu menyesalkan adanya
penggusuran. Apalagi sampai melibatkan aparatur negara yang
seharusnya melindungi semua pihak.
Saat itu seorang warga bernama Soleh 35 tahun tewas tertembak

204
di depan rumahnya di Gang Garuda,Kebonharjo,Semarang Utara.
Korban didatangi empat pria meminta Soleh mencabut laporan atas
kasus pencurian baut rel kereta api. Saat terjadi penembakan, Soleh
sedang menelepon pengacaranya untuk meminta perlindungan.
Sampai hari ini kepolisian belum berhasil mengungkap peristiwa
tersebut. Polisi mendalami rekaman di telepon seluler komunikasi
hari-hari terakhir Soleh. Polisi menelusuri pesan ancaman pada
telepon seluler tapi tidak dapat diketahui siapa penembak Soleh.
Apakah penembakan itu berkaitan dengan perkara reaktivasi rel
menuju Tanjung Emas sebagai projek? Ataukah terkait dengan
masalah pembuatan rel ganda sepanjang rel lama menuju Jakarta?
Projek itu meninggalkan luka batin warga dan mereka menderita
karena tergusur dari tempat tinggalnya. Sang pengacara minta polisi
bisa bergerak cepat untuk mengungkap kasus yang menurut dia
tak sulit. Keluarga Soleh siap memberikan keterangan-keterangan.
Mereka menemukan proyektil peluru kaliber 38mm dan itu dapat
dijadikan petunjuk awal penyelidikan. Tapi polisi begitu lambat
menyelidikinya. Pengacara menduga insiden dilakukan aparat
keamanan.Ada indikasinya, penembakan menggunakan revolver.
Namun pelaku masih belum tertangkap, ia telah menghilang di balik
layar. Projek pembangunan rel baru itu harus melewati rumah, sekolah,
dan musala tergusur. Warga tak berdaya saat rumah-rumah mereka
dihancurkan. Puluhan ribu jiwa yang telah menempati lahan puluhan
tahun, akhirnya terancam kehilangan tempat tinggal. Status tanah
Kebonharjo pada awalnya adalah tanah negara tapi mengapakah ada
ribuan sertifikat milik warga.

TIGA
Sahabat,puisi esai HandryT.M.“Kidung Kelam Kasunanan”bercerita
tentang perebutan kekuasaan di keraton Surakarta yang dilakukan
dua kakak-beradik beda ibu satu ayah. Masing-masing menduduki
wilayah keraton di Surakarta. Betapa rumitnya konflik monarki masa
lalu, peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang diwariskan di Pulau

205
Jawa bagian tengah ini. Surakarta Hadiningrat adalah Kerajaan Jawa
bagian tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian
Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak
yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana
III dan Pangeran Mangkubumi telah menyepakati bahwa Kesultanan
Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Konflik yang ujung-ujungnya soal masalah kepemimpinan ini
menjadi tonggak terpenting bagi potret demokrasi di Jawa Tengah.
Gendis (salah seorang putri keraton) sedih menyaksikan ‘ontran-
ontran’ atau konflik berkepanjangan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Konflik bermula dari dua kakak-beradik Raja Utama Paku Buwono XIII
Hangabehi dan Paku Buwono XIII Tedjowulan. Keduanya sama-sama
mengaku berhak bertitah sebagai raja. Kedua kakak-beradik beda ibu
tersebut saling berebut takhta dan kekuasaan, dengan menempati
masing-masing wilayah keraton di Kasunan Surakarta. Gendis, sebagai
putri keraton merasa terpukul menyaksikan konflik itu terus berlanjut.
Lebih lagi ketika keduanya bisa didamaikan, justru putri-putri PB XIII
Hangabehi yang tidak bisa menerima. Perseteruan ini menurut Gusti
Ayu Gendis, menjadi tidak masuk akal dan memunculkan luka. Bahkan
dalam kejadian tersebut, sikap permusuhan itu tidak mencerminkan
demokrasi dan merupakan permainan politik yang terbelakang di era
geopolitik yang kini melanda Indonesia. Putri Ayu Gendis mengkritisi
kebijakan jiwa para kerabatnya, yang semakin lintang-pukang dan
kurang mau belajar terhadap sejarah peradaban. Muara dari kisah
tersebut menjadi pembelajaran terhadap pendidikan politik yang
bijaksana bagi Indonesia.
Putri Ayu Gendhis, biasa dipanggil Gendhis. Dia anak Kasunanan,
berdarah biru meski bukan keturunan trah Pakubuwono XIII, Gusti
Hangabehi atau Tedjowulan. Ayah dan ibunya warga Kasunanan di
luar pagar yang agak berdekatan. Dahulu daerah ini adalah area yang
dipagari dengan tembok istana yang mengelilingi keraton agung
atau pusat istana, disebut juga njeron benteng. Putri Ayu Gendhis

206
menyaksikan konflik berkepanjangan di Keraton Kasunanan Surakarta
sejak tahun 2004 saat mangkatnya Paku Buwono XII pada 12 Juni.
Paku Buwono XII tidak memiliki permaisuri sehingga tidak
ada putra mahkota yang akan mewarisi takhta. Hangabehi (69),
putra tertua dari selir ketiga raja mendeklarasikan diri sebagai PB
XIII menggantikan ayahnya. Tiga bulan kemudian, Tedjowulan (63)
mengukuhkan dirinya sebagai PB XIII. Dua saudara yang masih
berikatan darah dari garis ayah beda ibu ini mengaku mendapatkan
perintah untuk bertakhta. Sudut-sudut Kasunanan menjadi lengang
tak lagi terdengar tembang atau gamelan di pendapa. Gendhis
menginginkan Keraton tidak runtuh. Konflik di Keraton Solo sudah
berlangsung sejak 14 tahun lalu, ada dualisme raja yang sama-sama
mengklaim diri sebagai pemimpin keraton Solo yang sah. Dua raja itu
adalah PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan. Hangabehi duduk di
singgasana Keraton Solo, Tedjowulan menempati Keraton Kilen. Kini
bertakhta dua saudara yang masih berikatan darah dari garis ayah
yang satu sama lain mengaku mendapatkan perintah untuk bertakhta.
Raja Sepuh (Hangabehi) duduk di singgasana karena garis keturunan
dari selir ketiga dan paling sepuh usianya, satunya lagi Raja Muda
(Tedjowulan) bersanding takhta karena merasa terpilih lantaran garis
kebijakan dan kebenaran tak terbantahkan. Raja Muda Tedjowulan
menguasai keratonnya di luar Kasunanan diikuti beberapa kerabat
dan sahabat yang menuntut agar Raja Sepuh Hangabehi beristirahat
segera. Sang Raja Sepuh tetap bergeming, bahkan tidak satu sentipun
menggeser duduknya di singgasana mahamulia itu. Ia bertitah bahwa,
“Lihatlah langit yang dibentang Gusti Allah di atas sana, namaku
ditulis panjang dengan warna perak emas, bukan namamu atau yang
lain.” Raja Sepuh berada di Sasana Narendra, sedang Raja Muda
berada di Sasana Purnama.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Kamerad Kanjeng “Ngrungkepi Ibu Bumi”
menceritakan Yukarti dari desa Tambakromo, Gunung Kendeng, Pati,

207
Jawa Tengah meninggal setelah mengecor kakinya dengan semen di
depan istana presiden di Jakarta untuk memprotes pendirian pabrik
semen. Pernah ada cerita seperti itu terjadi berpuluh tahun yang lalu.
Sangat lama, Gunung Kendeng, pesisir utara Jawa, Kamis
- Kliwon, 19 Desember 1907, lebih seabad silam. Kyai Samin
Surasentika dikeluarkan dari tempat penyekapan sebuah tobong
gamping tidak jauh dari rumah Asisten Wedana Randu Blatung,
Ndara Pranala, ndara Sten. Kyai Samin ditelanjangi hanya
menggunakan celana kolor. Darah mengering di atas luka-luka
yang banyak jumlahnya. Rambutnya digunting asal seperti kri­
minal, dan kedua belah tangannya diikat ke belakang. Ia digiring
polisi utusan tuan kontroleer ke rumah dinas ndara Sten. Kyai
Samin Surasentika menolak adanya eksploitasi gamping saat
itu di wilayahnya. Samin Surasentika dibuang ke pengasingan,
penjara Nusakambangan lalu Sawahlunto. Kyai Samin Surasentika
mati tidak pernah ditemukan lagi.
Pabrik semen milik negara diprotes masyarakat dan tidak
lagi beroperasi di Tambakrama,Kajen dan Sukolila tahun 2009.
Lalu ganti nama ganti lokasi ke sisi lain Gunung Kendeng di
Tegaldawa, Rembang. Setelah itu setahun kemudian pabrik semen
partikelir masuk lagi ke Tambakrama, Kajen dan Sukolila. Mereka
menyatakan rakyat setuju dengan adanya pendirian pabrik
itu. Semua orang Slening, Tambakrama menolak pabrik semen.
Diam-diam DPRD mengubah Perda RTRW gunung Kendeng dari
pertanian dan pariwisata menjadi industri dan pertambangan.
DPRD mengizinkan berdirinya pabrik semen di Tambakromo. Rakyat
Kendeng memprotes bupati Pati yang telah mengeluarkan surat izin
lingkungan untuk pendirian pabrik semen. Barisan rakyat Kendeng
memenuhi sepanjang jalan raya pantai utara Jawa. Lelaki dan
perempuan dengan pakaian hitam hitam dan ikat kepala, dengan
kain dan kebaya, caping gunung dan selendang. Mereka berjalan
kaki di bawah terik dan hujan. Mereka melakukan gugatan kepada
Gubernur dan akan diputuskan hakim Pengadilan Tinggi Jawa

208
Tengah. Yukarti, Mbah Marikem dan perempuan berkebaya berjalan
kali membawa bendera merah putih dan poster-poster protes.
Mereka tiba di depan Kantor Gubernur setelah aksi jalan kaki 4 hari
4 malam menjemput keadilan. Dari lereng Kendeng ke Semarang,
rakyat gunung Kendeng kembali protes. Pengadilan menolak
gugatan rakyat Kendeng pada Gubernur.
Keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Presiden tidak
menghentikan kegiatan pabrik semen di Gunung Kendeng. Rakyat
menutup gerbang pabrik dan mendirikan tenda untuk menjaga.
Namun, selepas tengah malam, preman bayaran membakar tenda
rakyat dan polisi diam saja. Rakyat Kendeng akhirnya pergi ke
Jakarta, ke Istana Merdeka menemui Presiden Jokowi meminta
keadilan. Rakyat Kendeng merasa diperlakukan tidak adil. Mereka
diserang preman, diadang polisi, dibodohi para ahli dari banyak
perguruan tinggi. Di pengadilan mereka dikalahkan. DPRD diam-diam
mengubah perda. Bupati dan Gubernur mengunci aturan agar pabrik
semen dapat beroperasi di Gunung Kendeng, oleh karena negara
telah mengeluarkan dana 5 triliun rupiah untuk pembangunan pab­
rik semen itu. Jadi pendirian pabrik semen harus tetap berjalan.
Padahal 10 triliun rupiah sekali pun tak akan mampu memulihkan
kerusakan lingkungan akibat pabrik semen dengan kapasitas 3 juta
ton pertahun. Bila bumi dikeruk
10.000 ton perhari apakah itu tidak menganggu lingkungan?
Rakyat merasa kata-kata tidak ada gunanya disampaikan kepada
pemimpin negara. Dua perempuan akhirnya mengecor kaki mereka,
Yukarti dan Mbah Marikem. Mungkin dengan begitu suara mereka
akan didengar. Presiden Jokowi lalu memberikan kebijakan dan
tidak mengizinkan pabrik semen beroperasi sebelum ada kajian
lingkungan. Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan PK bahwa
Gubernur Jawa Tengah harus mencabut izin pabrik semen. Gubernur
mengeluarkan izin baru mengganti nama PT Semen Gresik menjadi
PT Semen Indonesia. Yukarti dan teman-temannya mengecor kaki
untuk kedua kali di depan istana dan Yukarti meninggal dunia.

209
LIMA
Sahabat, puisi esai Roso Titi Sarkoro “Luka Lama Kabut Sindoro-
Sumbing” bercerita tentang masyarakat Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah yang memiliki pimpinan tidak amanah. Cerita diawali dengan
informasi pilkada secara kronologis pada tahun 2003. Bagaimana
pasangan calon Bupati Temanggung saling berusaha untuk unggul.
Pada malam 1 Juli 2003 itu dikisahkan bagaiman dua pasangan
menantikan hari saat mereka terpilih. Mereka akan berebut suara
pada 45 anggota Dewan Daerah Temanggung.Antara HM Bambang
Sukarno– Hj. Elly Dradjati dan Totok Ary Prabowo – HM Irfan. Akhirnya
saat itu, dengan melalui doa yang dilantunkan oleh dua belah kubu
ketika itu, pasangan Totok Ary Wibowo dan HM Irfan menang dalam
pilkada. Totok Ary Wibowo dan HM Irfan sangat senang dan lega,
akhirnya mereka bisa menang. Bambang dan Elly ikhlas menerima
kekalahan itu dan segera mereka mengucapkan selamat atas
terpilihnya Totok Ary Wibowo dan HM Irfan sebagai Bupati dan Wakli
Bupati Temanggung. Bambang kembali menjalani tugas di dewan
daerah dan Elly menekuni lagi pekerjaannya sebagai pengacara.
Totok-Irfan kukuh resmi menjadi bupati-wakil bupati Temang­
gung. Totok Ary Wibowo berusia 34 tahun tercatat bupati termuda
di Indonesia. Rakyat Temanggung berharap lebih sejahtera dalam
kehidupan. Ternyata untuk menjadi bupati, Totok Ary Wibowo memer­
lukan modal yang tidak sedikit. Para pendukung telah memberi ban­
tuan dana saat kampanye, Setelah Toto Ary Wibowo menjadi Bupati
Temanggung, mereka mulai meminta imbalan ganti bantuan dana
yang telah mereka keluarkan. Totok pun memangkas dana pen­
didikan dan dana pemilu untuk membayar pengeluaran yang telah
digunakan sebelumnya. Para guru memprotes bupati yang semena-
mena memotong dana pendidikan. Orang-orang yang protes ditawari
menjadi pejabat. Pejabat yang dianggap melawan dia diganti.
Bupati Totok harus segera mengembalikan dana yang digunakan
untuk kampanye Pilkada. Beberapa kerabat dan teman dekat bupati

210
dijadikan pejabat. Pada tahun 2005, Sekretaris Daerah Setyoadji
diberhentikan. Berpuluh pejabat eselon juga diganti. Beberapa camat
juga diganti. Beberapa pejabat yang diganti protes dan demonstrasi
menutup Kantor Bupati Temanggung. Akhirnya pemerintahan secara
darurat pindah ke rumah dinas Pengayoman. Ketika diadakan
pengukuhan berpuluh pejabat dan para camat baru, demonstrasi
terjadi. Penolakan pada acara pelantikan pejabat baru dan camat
terjadi. Mosi tidak percaya pada kepemimpinan Totok oleh masyarakat
dilakukan. Lalu diadakan penyidikan pada Bupati Totok. Totok terbukti
terjerat korupsi. Pada 8 Juli 2005, Jakarta mengirim surat edaran surat
edaran 862.1/00708. Surat Edaran Kemendagri yang memerintahkan
kepada para pejabat yang mundur dan diundurkan dari jabatannya
agar kembali ke posisi jabaan semula.
Totok dimasukkan ke penjara karena tindak pidana korupsi. Ia
menghuni Rutan Temanggung yang bersanding dengan rumah dinas
Pengayoman. Kemudian, ia dipindah ke rutan kelas satu Kedungpane
Semarang. Namun, tiba-tiba ia dirumahkan di rutan anak-anak nakal
di kaki Gunung Prahu, Plantungan, Kendal dan ketika berada di
Plantungan, Totok melarikan diri. Ia berganti nama menjadi Edy Kholil
dan melarikan diri ke Phnom Phen Kamboja. Ia menjadi buron polisi
terpidana korupsi. Totok hilang sejak 2010. Pada Selasa, 8 Desember
2015 di Phnom Penh ia ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta
Totok dimasukkan penjara di Bandung bersama berpuluh-puluh
koruptor setanah air. Mereka menghuni Rutan mewah Sukamiskin.
Baru dua hari mendekam di Sukamiskin, Totok mendapat berita duka,
ayahnya meninggal di Semarang. Totok diizinkan ke Temanggung
kampung halaman dengan pengawalan mengikuti upacara
pemakaman jenazah almarhum ayahnya. Setelah pemakaman, ia
kembali ke rumah tahanan Sukamiskin, Bandung. Akhirnya terungkap
Bupati Totok menggelapkan dana pendidikan. Ia melarikan diri sejak
2010 dengan nama Edy Kholil dan tertangkap Selasa, 8 Desember
2015 di Phnom Penh, Kamboja.

211
ENAM
Sahabat, puisi esai Sulis Bambang “Kisah Miliarder Korban
Projek Jalan Tol” menceritakan warga masyarakat yang terkena
dampak projek jalan tol Semarang-Batang. Mereka tadinya tidak
memiliki banyak uang, namun kemudian memegang uang yang tak
terhitung banyaknya karena mendapatkan ganti rugi tiga kali lipat
dari nilai jual yang berlaku. Memang banyak di antara mereka yang
kemudian menjadi miliarder mendadak. Mereka menjadi orang kaya
baru (OKB). Hal yang baik tersebut, ternyata malah menjadi buah
simalakama. Banyak dari mereka yang tidak mampu mengelola uang
secara benar, untuk kepentingan yang sifatnya produktif. Yang terjadi
adalah justru perilaku konsumtif. Akibatnya, uang miliaran rupiah itu
lama-kelamaan habis. Kisah tragis dan dramatis ini menjadi pelajaran
dan hikmah bagi kita ketika masyarakat ternyata tidak siap untuk
memegang uang banyak dan akhirnya berbuah derita.
Projek jalan tol membelah desa dan kota itu telah mengubah
nasib penduduk desa berbeda-beda. Ada yang menjadi kaya, tetap
saja, dan ada yang menjadi sengsara. Jalan tol jalan bebas hambatan
dibangun sebagai pemecah kemacetan dan sebagai penunjang
transpotasi penyangga perekonomian. Jalan itu melintasi kota-kota,
menerjang pedesaan, dan areal persawahan. Mega projek bernilai
triliunan ini dilaksanakan demi kemakmuran negara. Banyak rakyat
kecil menjadi korban karena tanah persawahan tempat dia mencari
penghasilan sehari-hari juga terkena pembangunan. Ada yang
cuma punya tanah sepetak saja. Kalau dijual mereka akan kerja apa.
Keahlian mereka hanya bercocok tanam saja. Uang pengganti, jika
dibelikan dibelikan di tempat lain belum tentu dapat dan jauh. Mereka
berduyun-duyun ke kecamatan. Mereka harus menunggu keputusan
di kantor kecamatan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Penantian
terasa lama sementara pekerjaan tak lagi ada, harus menunggu
dengan sabar. Penduduk yang belum lengkap surat-suratnya, belum
bisa terima bayaran, padahal rumahnya sudah dirobohkan. Kalau
uang belum di tangan, bagaimana mereka akan hidup bertahan.

212
Mereka belum bisa membeli rumah atau lahan baru tempat bercocok
tanam. Akhirnya ada yang mengungsi ikut saudara yang tidak terkena
dampak pembangunan jalan. Seumur hidup mereka adalah petani,
mengolah kebun dan persawahan. Hanya itu pekerjaan yang bisa
dilakukan sementara rumah dan sawah sudah diratakan, uang belum
dibayarkan, apa akan dikerjakan? Akhirnya demonstrasi dilakukan
menuntut agar ganti rugi segera dibayarkan. Saat alat berat dijalankan,
meratakan rumah, sawah, dan tegalan.
Penduduk marah dan bentrokan pun terjadi. Penduduk datang
sambil membawa senjata seadanya. Mereka berusaha agar alat-alat
berat disetop dan berhenti. Penduduk menuntut dibayarkan dulu uang
ganti rugi jangan disuruh menunggu. Tidak usah dipersulit, seharusnya
uang ganti rugi segera diberikan agar penduduk bisa mencari tempat
tinggal yang baru dengan segera. Akhirnya pembayaran ganti rugi
dilaksanakan. Satu persatu menerima pembayaran melalui bank di
rekening tabungan agar aman terhindar penipuan.
Satu persatu desa-desa berubah wajah. Pembangunan muncul
dimana-mana. Mereka berlomba membuat rumah mewah dan
membeli perabotan modern mengisi semua sudutnya. Wilayah yang
semula tidak banjir menjadi banjir. Lokasi sekolah yang dekat dengan
jalan tol terkena dampak debu pembangunan. Belum semuanya
menerima ganti rugi. Padahal semua berkas sudah dilengkapi. Projek
harus berjalan. Selokan ditutup dihancurkan. Debu beterbangan
berhamburan menyebabkan banyak anak sakit pernapasannya.
Sepanjang 75 Km jalan dibangun melintasi Semarang – Kendal –
Batang. Itu terbagi lima seksi poros jalan yang menelan korban 62
desa untuk membangun hampir 35 kilometer jalan bebas hambatan.
Di Kendal sendiri 27 desa akan dikorbankan agar projek besar ini bisa
diwujudkan. Megaprojek besar-besaran menelan hampir 1 triliun
rupiah dana anggaran negara untuk ganti rugi pembebasan tanah
jalan tol.Warga desa yang tanahnya menjadi korban menjadi kaya
dadakan. Rumah baru, mesin cuci baru, sepeda motor dan perabotan
bahkan mobil baru terparkir di halaman. Kampung lama yang

213
sederhana berubah seperti komplek perumahan. Semua berlomba
menampilkan yang terbaru, bangga jadi OKB, Orang Kaya Baru.
Belum lagi perhiasan, baju baru, dan kosmetik. Penampilan
mereka menjadi baru dan berubah. Dulu saat jadi petani sibuk kerja
di sawah dan ladang. Pulang ke rumah bisa istirahat dengan tenang
menikmati kopi dan rebusan ubi sambil merokok dan sarungan.
Sekarang hidup tak tenang, khawatir ada pencuri datang. Tidak
mudah mengubah kebiasaan yang turun-temurun diwariskan. Hidup
bertani yang tenteram dengan mengolah tanah bercocok tanam,
sekarang mereka mau membayar harus ambil uang di bank yang serba
ribet dan banyak aturan. Mereka adalah petani, mengolah kebun, dan
persawahan.Tidak mudah mengubah kebiasaan turun-temurun hidup
bertani. Mereka berangkat saat pagi, mengolah tanah sampai mentari
menyengat ubun-ubun kepala. Istirahat di dangau menikmati makan
siang berlauk sambal, ikan asin, dan lalap daun pepaya.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Kidung Kelam merupakan ide dari Denny
JA untuk merekam peristiwa di Provinsi Jawa Tengah. Penggunaan
puisi esai untuk sarana informasi merupakan bentuk baru di dunia
penulisan. Puisi esai menggunakan kata sederhana dan mempunyai
ciri khas, yaitu catatan kaki. Enam puisi esai dari penulis Jawa
Tengah menggambarkan rakyat yang tidak dibela oleh pemerintah.
Penggusuran pemukiman pada lahan yang diterlantarkan pemilik
kaya menjadi pemikiran bagi pemerintah. Rakyat seharusnya menjadi
utama sesuai isi Pembukaan UUD 1945, “… untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, ….”

214
“Kehilangan” Sesuatu
di Kota Yogyakarta
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Judul Buku : Di Balik Lipatan Waktu


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 160 halaman
Penulis : Ana Ratri Wahyuni, Dhenok
Kristianti, Genthong HSA.,
Isti Nugroho, Listyaning Aryanti,
Otto Sukatno CR.
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-24-8

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan Yogyakarta sebagai Kota Pen­
didikan tetapi masih ada warga yang tidak bisa membaca dan menulis.
Kota Yogyakarta dulu sangat menjunjung budaya dan nilai-nilai adi­
luhung, kini mengalami perubahan pada masyarakat. Tampaknya
‘gempuran’ modernisasi telah mengubah pola perilaku kehidupan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Ada yang buta huruf.
 Lelaki pengganti suami.
 Pasir alam ilegal.
 Kepemimpinan perempuan diragukan.
 Bunuh diri pulung gantung.
 Ia gila.

SATU
Sahabat, puisi esai Ana Ratri Wahyuni “Kudengar Kota Itu Ter-
pelajar (Jarik Simbok)” menceritakan Sariyem buruh gendong Pasar
Beringharjo. Sariyem lahir dan tinggal di Kulon Progo, kabupaten

215
yang terletak kira-kira 40 km sebelah barat kota Yogyakarta. Jumlah
buruh gendong pasar Beringharjo lebih dari 100 orang, sebagian
besar berasal dari Kulon Progo dan Gunung Kidul. Sariyem termasuk
salah satu warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya menjadi
penonton atas terbangunnya gedung sekolah dan kampus baru yang
tiba-tiba menjulang di tepi jalan raya yang setiap hari dilaluinya.
Sariyem tidak pernah tahu itu bangunan apa dan untuk apa. Tidak
berlebihan bila Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa karena
secara historis memang demikian istimewanya. Banyak sekali
sebutan membanggakan untuk kota ini, antara lain Kota Budaya, Kota
Seniman, Kota Gudeg, Kota Museum, Kota Batik, City of Tolerant, dan
Kota Pendidikan. Pada setiap tahun calon mahasiswa baru bak air
bah membanjiri setiap jengkal tanah di Yogyakarta. Setiap tahun
pula Yogyakarta melahirkan sarjana dan sarjana muda. Terbayang
sudah betapa eloknya hidup di antara orang-orang yang cerdas dan
terpelajar itu. Banyak kegiatan seminar, sarasehan, workshop,diskusi,
dll. yang poster dan balihonya terpajang hampir setiap hari di setiap
perempatan jalan utama. Sayangnya hiruk-pikuk semua kegiatan
tersebut tak selalu dimengerti oleh semua orang, bahkan oleh
penduduk asli kota ini yang setiap hari melihat [bukan membaca]
baliho dan spanduk-spanduk itu.
Adalah Sariyem, buruh gendong Pasar Beringharjo, lahir sebagai
perempuan asli Kulon Progo. Pendidikan rendah Sariyem dan
suaminya, bahkan menurun ke anak keturunannya, seolah kutukan
abadi yang harus disandang bersama ratusan warga lain.
Bagi Sariyem, hidupnya harus bermanfaat untuk orang lain, jika
tidak punya harta kita berikan tenaga, jika tenaga tidak mampu, kita
bisa mendoakan. Falsafah ini hidup dalam bermasyarakat, terutama
yang berada dikampung, pedukuhan, atau suatu desa. Kehidupan Pasar
Beringharjo yang secara historis dan filosofis tidak bisa dipisahkan
dari Keraton Ngayogyakarta itu yang menjadi ‘sawah’ sekaligus masa
depannya. Benarkah seorang buruh gendong punya masa depan;
sedangkan utang-utangnya terus beranak-pinak, sementara Sariyem

216
sungguh tidak tahu, kapan dan bagaimana melunasinya?! Hampir
setiap pagi, Sariyem mengenakan kain dan membawa kain (jarit)
gendongannya menuju Pasar Beringharjo. Meski Sariyem buta huruf,
ia tahu uang yang diberikan sebagai upah buruh gendong belanjaan
di Pasar Beringharjo. Buruh gendong adalah pekerja informal bidang
jasa yang memberikan layanan untuk mengangkut barang dengan cara
menggendong di punggung. Saat ini keberadaan mereka masih dapat
ditemukan di pasar-pasar tradisional, salah satunya Pasar Beringharjo
Yogyakarta. Pasar Beringharjo adalah pasar tertua di Yogyakarta.
Awalnya daerah ini berupa hutan beringin. Setelah berdiri keraton
Yogyakarta 1758, wilayah ini dijadikan tempat transaksi ekonomi
warga. Pada tanggal 24 Maret 1925 Sri Sultan HB VIII memerintahkan
Nederlansch Indisch Beton Maatschappi untuk membangun los-los
pasar. Pasar telah melewati 3 fase pemerintahan (kerajaan, penjajahan,
kemerdekaan). Arti Beringharjo adalah hutan beringin (bering), yang
diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo) Suami Sariyem
tidak mampu lagi bekerja, jantungnya bermasalah, bermacam penyakit
berulah. Ketika ia menikahkan anaknya yang bungsu, Sariyem dan
suaminya meminjam uang pada rentenir. Awalnya begitu mudah
meminjam uang itu. Ketika mengembalikan sangat berat. Setelah
acara pernikahan selesai, mulailah rentenir mendatangi rumah
Sariyem dan suaminya untuk menagih utang. Ketukannya di pintu
serupa kedatangan Izrail, ketukan perobek jantung pencabik dan
peluluh lantak hidup suami Sariyem. Suami Sariyem badannya
tidak tahan, ambruk jiwanya. Dia tidak tahu persis berapa jumlah
utangnya. Ia hanya tahu deretan angka makin panjang serupa lilitan
ular yang pelan-pelan membunuhnya. Sariyem tetap berdiri tegar
menyelempangkan jarik di tubuh kurusnya. Sariyem menjelma pejuang
wanita, siap menjemput rezeki bagi keluarga. Kewajiban orang hidup
adalah bekerja, harga diri seseorang melekat pada pekerjaannya.
Dengan kata lain seseorang yang mempunyai pekerjaan dipandang
lebih utama oleh masyarakat dibandingkan dengan yang tidak
punya pekerjaan. Suatu hari, ketika ia pulang dari pasar, di rumahnya

217
telah banyak orang. Ternyata suaminya meninggal dunia. Tinggallah
Sariyem hidup sendiri. Baju-baju dan celana ditinggalkan pemiliknya
serta sarung dan selimut mulai dilipat. Gelas blirik besar biasa untuk
minum suaminya kini masuk ke dalam lemari, sebagai peninggalan
berharga buat anak istri. Ya, hanya itu saja, tak ada lainnya lagi. Tak ada
rekening bank, tak ada deposito dan tabungan. Pun sudah pasti tak
ada surat wasiat. Sebab mereka sama-sama mengerti, tak ada yang
bisa menuliskan juga tak akan ada yang membaca. Tembang pangkur
sayup lirih, nyaris tak terdengar, seolah takut mengusik semut dalam
lubang. Tembang pangkur adalah salah satu tembang yang berbicara
tentang seseorang yang telah menginjak usia senja dimana orang
tersebut telah mungkur atau mengundurkan diri dari hal duniawi.
Tembang ini adalah karya dari KGPAA Mangku Negoro IV dalan serat
wedhatama. Sebagai penawar sunyi, sebagai penawar duka hati. Kini
ia mulai bisa mengeja sisa hidupnya, sisa hutangnya, dan nasibnya.
Berlalu sudah kepergian tapi hidup harus terus berjalan. Esok pagi,
matahari masih mengampiri, itu sebabnya Sariyem pantang berdiam
diri. Baginya takdir sudah ketetapan sang pemberi hidup. Sariyem
melakoni saja apa yang menjadi keputusan-Nya.

DUA
Sahabat, puisi esai Dhenok Kristanti “Dalam Belitan Selendang
(Tembang Megatruh Untuk Sari)” bercerita tentang seorang perempuan
Yogyakarta yang mempunyai anak bernama Sari Nagari. Ia dulu penari.
Suaminya meninggal dunia dan ia membesarkan anak perempuannya
seorang diri. Yogyakarta, sebuah kota yang dulunya dikenal sebagai
Kota Budaya dan Kota Pelajar, Kota Gudeg, serta sebutan lain yang
membanggakan. Sayang sekali, budaya adiluhung yang secara turun-
temurun telah menjadi jiwa masyarakat tersebut, di zaman globalisasi
ini mengalami banyak perubahan. Nampaknya ‘gempuran’ modernisasi
mengubah pola perilaku masyarakatnya, sehingga pada tahun-tahun
terakhir (2013 hingga 2017) Yogyakarta dikabarkan menjadi ‘surga’
aborsi, menduduki peringkat teratas dalam penyalahgunaan narkoba,

218
dan perilaku ‘kumpul kebo’ marak di rumah-rumah kos mahasiswa.
Pada tanggal 5 September 2017 yang lalu, misalnya, masyarakat
Yogyakarta kembali digemparkan oleh berita pengguguran bayi yang
dilakukan seorang mahasiswi di kamar kos dan bayinya dimasukkan
ke dalam almari. Peristiwa yang memprihatinkan itu bertolak-
belakang dengan moralitas ajaran/falsafah Jawa yang selama ini
menjiwai kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Perempuan Yogya ini berumur 41 tahun. Ia mengunakan segala
ajaran leluhur dalam hidupnya. Semboyan hidup yang dijadikan
darah daging dan menuntun Langkah mereka sehari-hari. Berbagai
peribahasa Jawa yang cukup mempengaruhi sikap hidup masyarakat
Jawa. Pada masa lalu Peribahasa tersebut, antara lain mengandung
arti, dalam mengerjakan sesuatu hendaknya penuh ketelitian, dengan
cara yang efektif dan efisien agar tujuan tercapai dengan baik. Apalagi
kodrat perempuan Jawa, baginya ke surga cuma numpang, ke neraka
juga ikut. Peribahasa ini di masa lampau dianggap wajar, tetapi pada
masa kini dianggap merendahkan peranan kaum perempuan. Ibunya
pernah berkata, bahwa lelaki bukan perempuan dan perempuan bukan
lelaki. Lelaki terkodrat sebagai penguasa rumah tangga perempuan
sebagai penolong tiada tara. Jangan sekali-kali membalikkan arah mata
angin, nanti bumi akan terganggu. Suami perempuan itu meninggal
saat anaknya masih kecil. Anak semata wayang yang dirawat dengan
kasih sayang. Sampai kemudian Yogyakarta beralih rupa. Anak-anak
tidak kenal huruf Jawa. Bahasa ibu terasa aneh di telinga mereka. Tak
ada lagi remaja belajar tari Bondan di Kepatihan, yaitu kompleks di
daerah Malioboro di masa lalu digunakan untuk berbagai kegiatan
kebudayaan, misalnya berlatih menari, berlatih gamelan, mengadakan
pertunjukan dan lain-lain. Saat ini kompleks Kepatihan dipakai
untuk kantor Gubernur. Anak-anak sekarang mencemooh istiadat
sebagai kuno tak berguna. Menurut hasil survei, Kota Yogyakarta
tahun 2017 menduduki peringkat pertama dalam hal pemakaian dan
penyalahgunaan narkoba. Yang membuat miris, pemakai terbanyak
adalah kalangan pelajar dan mahasiswa yang merupakan generasi

219
penerus. Kasus aborsi merajalela. Anak perempuan itu memasuki usia
remaja saat Yogyakarta berubah. Sari nama anaknya. Sari hamil oleh
Ryu, mahasiswa dari pulau seberang yang kuliah di Yogyakarta. Sari
meminta izin untuk menggugurkan kandungannya pada Mbah Kerti
dukun bayi. Sari mempunyai pemikiran menggugurkan kandungan
itu juga sudah dibicarakan dengan Ryu. Kata Ryu dia belum bekerja
dan belum sarjana. Dia juga bukan keluarga yang kaya dan Ryu
tidak mau menggantungkan hidupnya pada Mama Sari. Jadi mereka
berkeputusan untuk menggugurkan kandungan itu. Mama Sari tidak
setuju. Inginnya Sari menikah saja dengan Ryu apa pun kondisinya.
Sari mengatakan kepada Ryu agar idak perlu risau, baik buruk takdir
hidup, hanya perlu dijalani. Ryu diminta berkabar saja pada orang
tuanya, meski mereka tak bisa datang ke Yogyakarta. Ryu minta doa
dan restu saja. Ryu marah karena merasa Mama Sari mencampuri
kehidupannya. Ryu merasa sudah dewasa namun belum siap
berumah tangga. Ryu tetap tidak setuju dan menyalahkan Sari yang
merayunya setiap waktu hingga ia hamil. Ryu begitu asing bagi Sari
setelah Sari tahu pemikiran Ryu tentang kehamilannya. Ryu akan
terganggu dengan kehadiran bayi itu dalam hidupnya. Gara-gara
Sari yang selalu menggodanya, dia harus bertanggung jawab pada
bayi itu, Ryu tidak mau. Sari pada akhirnya sadar kalua Ryu tidak
mencintainya seperti dirinya mencintai Ryu. Semakin kuat niat Sari
untuk menggugurkan kandungan itu. Harus dibuang bayi itu, sama
seperti ayahnya membuang Sari. Bagi Sari, Ryu bukan lelaki sejati. Ia
tak pantas menerima hormat, apalagi jadi imam bermartabat.
Mama Sari mencari jalan keluar dengan mencarikan laki- laki
yang mau menikahi Sari hingga anaknya lahir. Mama Sari lalu
menelepon sepupu ayahnya yang tinggal di desa Semanu, Wonosari.
Mama Sari memintanya mencarikan laki-laki yang bisa dibeli untuk
menikahi perempuan hamil demi materi. Ia berstatus suami sampai
jabang bayi lahir. Cerai atau kontrak asal disepakati. Syukur jika takdir
menjodohkan. Pernikahan langgeng tak mustahil terjadi. Sari menolak
rencana mamanya. Sari telah tiada, bunuh diri dengan menggantung

220
tubuhnya. Polisi turun tangan, kemudian Ryu diringkus. Ryu ditangkap
polisi sebagai penyebab Sari bunuh diri. Namanya paling banyak
tertulis dibuku harian Sari. Terbongkarlah kisah cinta jahanam yang
mencekik Sari dengan selendang keemasan.

TIGA
Sahabat, puisi esai Genthong HSA “Begjo, Pasir Melimpah Pasir
Bertuah” bercerita tentang penambangan pasir di Kali Boyong
tempat aliran lahar dingin dari gunung Merapi. Kegiatan Begjo dan
penduduk desa terganggu oleh kedatangan para penambang pasir
ilegal dengan peralatan berat. Begjo si penambang pasir, penambang
tanpa surat izin hitam di atas putih. Ia mempunyai anak istri, yang
setiap hari harus ia hidupi. Sekian lama Begjo dan kawan-kawan
sedusun bekerja sebagai penambang pasir yang merupakan berkah
dari letusan Gunung Merapi. Sayangnya, kegiatan mereka dalam
mengais rezeki pemberian alam ini terusik oleh kedatangan para
penambang pasir ilegal yang menambang dengan peralatan berat.
Mereka mengeduk dengan rakus, sehingga merusak lingkungan dan
membuat penambangan pasir tak lagi aman. Begjo dan masyarakat
desa telah mengajukan protes secara tertulis, tetapi kebijakan untuk
menghentikan penambangan ilegal itu tak pernah terwujud. Pihak
yang berwewenang hanya berjanji dan berjanji, sehingga masyarakat
akhirnya marah dan mengadakan perlawanan. Bagaimanakah nasib
Begjo kemudian? Apakah ia dan warga desa mampu mempertahankan
hak-hak mereka sebagai ‘anak kandung’ Gunung Merapi?
Begjo kembali mengayunkan sekop membenamkan seng-
grongnya, menciduk pasir-pasir, pasir, dan pasir. Syukurlah masih
bisa menambang pasir menambang pasir menafkahi diri memberi
makan anak-istri. Janji Pemkab Magelang yang akan mempermudah
dan mempercepat pengurusan surat izin penambangan bagi rakyat
kecil hingga hari ini belum terealisasi. Para penambang itu telah
mengajukan izin berikut persyaratanya pada 29 September 2014,
namun kenyataanya izin belum turun juga.

221
Begjo tahu suatu saat nanti tak kan bisa lagi menambang
pasir, ia tak punya surat izin penambangan pasir, dan penambang
pasir liar harus diusir entah itu dari tanah pekarangan sendiri
yang diluberi pasir atau dari sungai dekat rumahnya, Kali Boyong.
Intinya menambang pasir tanpa izin disamakan dengan mencuri.
Begjo sadar ia wong cilik, yang harus punya malu, tanpa punya malu
Eyang Merapi bisa murka. Begjo tahu maksud pemerintah baik, agar
sungai-sungai dibersihkan dahulu bila Merapi meletus lagi. Saluran
lahar terbuka, muntahan gunung ada salurannya, tapi semua harus
pakai aturan. Butuh koordinasi tidak liar sembarangan. Bagi Begjo
paling tepat mengeruk pasir di lahan sendiri. Hanya berbahaya bila
lahannya dikeruk, hujan dapat mengalirkan pasir dingin dari atas dan
melongsorkannya menerjang rumahnya. Jika ia menambang pasir di
lahannya susah membawa turun. Kendaraan tidak bisa mengangkut
pasir itu, artinya dia yang harus turun menambang pasir di daerah
yang mudah dijangkau ramai-ramai bersama warga desa lainnya,
para tetangga Begjo masih harus menambang pasir untuk mencari
biaya sekolah anaknya yang akan segera tamat sekolah dasar, lalu
akan masuk SMP. Butuh biaya buat seragam sekolah, beli sepatu
dan kaos kaki baru, buat hadiah tas sekolah model paling akhir dan
buku- buku serta alat tulis-menulis serta semua kebutuhan anak
sekolah. Begjo perlu persediaan untuk uang saku. Anak sekarang tak
mau berangkat sekolah tanpa uang saku, mereka belum bisa paham
orang tuanya kurang mampu. Manusia harus bekerja mencari nafkah
bagi hidupnya. Celakanya setelah semua diserobot. Merapi tak bisa
seperti dahulu lagi, ia bekerja cukup di sekitar rumah setiap hari.
Memelihara kebun salak, menjaga ladang cabai, mengairi sepetak
sawah, memberi makan ayam, kambing, dan sapi. Kepada Eyang Kyai
Petruk, ia memohon izin untuk menambang pasir di Sungai Boyong,
meski secara administrasi negara tak pernah memberikan surat izin
ke tangannya, baginya tak menjadi masalah. Eyang Kyai Petruk telah
mengizinkan dan pasti mengizinkannya. Bukankah dahulu ia pernah
diselamatkan oleh Eyang Kyai Petruk? Memang hanya dia yang tahu,

222
karena hanya dia yang merasakan izin telah diberikan, itu sudah
cukup, tak ada lagi kesangsian.
Sebelum Merapi meletus, Begjo bekerja di kebun. Merapi telah
menghancurkan rumah dan kebunnya. Begjo tinggal sementara di
tempat pengungsian. Bebatuan dan tumpukan pasir dari gunung
Merapi melimpah ruah. Hampir menutupi seluruh desanya. Kehidupan
warga desa berubah, mereka tidak pergi ke kebun atau sawah. Begjo
dan warga desa menambang pasir. Material pasir dan batu erupsi
Merapi berperan menahan arus air. Pengerukan pasir menyebabkan
mineral tergerus dan tak mampu lagi menahan aliran air. Wilayah
di bawah Merapi kekeringan karena air tidak bisa meresap ke tanah.
Ketika itu, derak mesin-mesin raksasa, berbaris serentak berdatangan.
Tidak hanya satu dua, tidak hanya tiga empat, semakin berlipat.
Mereka menyerbu wilayah desa Begjo dengan truk-truk besar dan
panjang. Pasir dikeruk, pasir diciduk menggusur penambang manual-
tradisional, mereka tak peduli dan di lokasi itu suara mesin-mesin
memenuhi angkasa. Pemandangan kali pun hiruk pikuk seketika
bagaikan kawasan industri modern. Kendaraan hilir mudik. Truk
dan bego, sepeda motor dan pickup, berlalu-lalang. Penduduk
pun bertambah resah melihat kerusakan lingkungan yang dibuat
penambang liar, mereka gelisah lereng Merapi yang indah lenyap
ditelan sejarah.
Akhirnya warga melawan mengusir para penambang itu. Begjo
bersama ratusan lelaki warga seluruh desa lereng Merapi mengusir
penambang illegal yang meraja lela. Begjo pamit pada teman-
temannya pergi sebentar memenuhi pesanan pasir langganannya.
Gundukan pasir Begjo sudah siap diambil tinggal kurang beberapa
pikul lagi, menjelang magrib cukup satu pickup, bisa untuk uang
makan Remen istrinya dan uang saku Sri Rejeki, anaknya. Saat itu,
Begjo menggali pasir di tebing sungai itu ada begu tergelincir dan
meruntuhkan lubang pasir di atas tempat Begjo menggali pasir. Begjo
meninggal terkubur pasir.

223
EMPAT
Sahabat, puisi esai Isti Nugroho “Pembayun” mengisahkan
pewaris perusahaan Samudera Hindia Raya. Ayun atau Pembayun
mahasiswa tingkat doktoral di UGM. Ia tertarik pada dua orang dengan
nama Pembayun. Pertama, putri Raja Mataram yaitu Pembayun
Senopati; dan yang kedua, putri Sultan Hamengku Bawono X. Di luar
kesibukannya, Ayun memiliki ketertarikan pada bidang sejarah dan
budaya. Pembayun Senopati, misalnya, ia berhasil melanggengkan
kekuasaan ayahandanya dengan mengorbankan cintanya kepada Ki
Ageng Mangir. Persoalan kedua yang ditampilkan adalah masalah
budaya di Kota Yogyakarta dewasa ini. Sebagai daerah istimewa,
Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Bawono yang secara
otomatis menjadi gubernur. Selama ini Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) tidak mengalami persoalan yang meresahkan masyarakat
tentang kepemimpinan. Namun demikian, diprediksi ketenangan itu
akan terusik apabila putri Sultan Hamengku Bawono X, yang lahir
dengan nama Nurmala Sari, lalu menjadi Raden Ayu Pembayun
dan kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (GKR
Mangkubumi), menggantikan ayahandanya menjadi raja. Siapa pun
yang menjadi raja Yogya, otomatis akan menjadi Gubernur DIY. Ini
diperkirakan akan menyulut persoalan besar sebab bertabrakan
dengan budaya patriarki yang dijunjung tinggi. Dalam sejarah Keraton
Yogyakarta belum pernah perempuan menjadi raja. Pembayun, putri
Sri Sultan Hamengku Bawono X dipersiapkan ayahandanya sebagai
‘putra’ mahkota bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi.
Kelak ia akan menerima tongkat mahkota menjadi raja perempuan
yang pertama di Keraton Yogyakarta. Ayun namanya persis nama putri
Panembahan Senopati, Sutawijaya, pendiri kerajaan Mataram Islam.
Juga sama dengan nama putri Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku
Bawono X. Gusti Raden Ajeng Nurmalita Sari dan berubah menjadi
Gusti Raden Ayu Pembayun, bergelar GKR Mangkubumi.
Ayun memahami perjuangan Pembayun anak Raja Mataram
dan juga putri Raja Yogyakarta. Terkisah Senopati meminta putrinya

224
menjalani tugas kerajaan membujuk Ki Ageng Mangir menghadap
Raja untuk mengakui kekuasaan Kerajaan Mataram. Tunduk berbakti
pada Panembahan Senopati. Demi tugas itu, Pembayun berperan
sebagai penari. Ia menari dari desa ke desa menuju Desa Mangir.
Sebagai anak raja, Pembayun mejalankan perintah ayahandanya,
demi kejayaan Kerajaan Mataram. Peyamaran Pembayun sebagai
penari harus menarik hati Mangir. Pembayun lega dapat menjerat
Ki Ageng Mangir. Namun, Pembayun hatinya juga terjerat. Ki Ageng
Mangir bukan laki-laki jumawa, tidak kasar, juga bukan lelaki tak
beretika. Pembayun berkata kepada Ki Ageng Mangir bahwa ia
beserta rombongan harus kembali ke Mataram membawa serta Ki
Ageng menghadap ayahanda. Kalau Ki Ageng menolak, hukuman
akan menimpa Pembayun. Kemarahan Senopati adalah dendam masa
lalu karena kalah menghadapi Ki Ageng Mangir. Sang Senopati ingin
lebih dulu meludahi jasad Mangir sebelum dimakamkan. Begitu kata
Senopati kepada Ki Juru Martani penasihat raja sekaligus saudara
tua ayahnya. Juru Martani mencari cara mengalahkan Mangir tanpa
perang. Pembayun pun diminta jadi penari demi memikat hasrat
Mangir dan menaklukkannya.
Pembayun putri Senopati berbeda dari Pembayun putri Sultan
Hamengku Bawono X. Diceritakan Ayun tentang asal muasal
leluhurnya Emban loro, telu sampai sepuluh. Para emban selalu
tinggal di Keraton Yogyakarta mengasuh putra-putri raja. Turun-
temurun silih berganti pengabdiannya. Setelah menikahi Pangeran
Haryo Wironegoro, putri sulung raja, Raden Ajeng Nurmalita Sari
berganti nama menjadi Gusti Raden Ayu Pembayun. Dengan upacara
pergantian nama itu kuatlah posisi Raden Ayu Pembayun di Keraton.
Tapi setelah berumah tangga, beranak, dan bahagia ada yang belum
sempurna di Keraton Yogyakarta. Pernikahan Sultan Hamengku
Bawono dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas tidak dikaruniai putra
laki-laki. Bagaimana keberlangsungan Keraton Yogyakarta? Sejak raja
pertama: Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku
Buwono hingga Sultan kesepuluh bernama asli Herjuno Darpito

225
semuanya laki-laki. Akan menjadi perkara besar kalau Sultan yang
kesebelas perempuan. Apakah Pembayun yang bergelar Gusti Kanjeng
Ratu Mangkubumi akan menjadi raja Yogyakarta yang kesebelas?
Terbayang saudara tua dan adik-adik Sultan akan melakukan
upacara laku ndodok dihadapan GKR Mangkubumi alias Pembayun
Pembayun berikutnya adalah Ayun yang sedang belajar di UGM
itu diserahi memimpin perusahaan orang tuanya. Ayun mengelola
perusahaan keluarga turun-temurun. Cucu eyangnya yang perempuan
hanya satu, Pembayun, dipanggil Ayun, kandidat doktor. Ayun akan
memimpin perusahaan warisan keluarga. Apakah itu panggilan hati
Pembayun atau ambisi orang tua serta eyangnya? Ayun teringat
Pembayun putri Senopati, karena ambisi ayahandanya harus
jadi penari ledhek untuk memikat Mangir. Ayun juga mengalami
persoalan yang sama, ditentang saudara lelakinya menghadapi
ambisi orang tua dan eyangnya. Eyangnya, Sastro Hartomo menilai
Ayun mampu menunaikan tugas: memimpin perusahaan Samudera
Hindia Raya. Dalam dunia bisnis tidak ada penolakan publik terhadap
kepemimpinan perempuan. Seluruh karyawan Samudra Hindia Raya
tidak ada yang menolak Ayun. Kalau orang tua dan eyangnya merestui,
saudara lelakinya lambat-laun juga akan ikhlas mendukung. Tapi apa
yang kucari? Menjadi direktur utama menjadi yang nomor satu atau
menjadi diri sendiri - menjadi Pembayun?

LIMA
Sahabat, puisi esai Listyaning Aryanti “Bisikan Pantai Selatan
Memanggilnya Pulang” menceritakan masyarakat Gunung Kidul yang
warganya sering bunuh diri. Jika ada bola api, pulung gantung, di
malam hari jatuh ke wilayah tertentu, di wilayah itu terjadi peristiwa
bunuh diri dengan cara menggantung, terjun ke laut, terjun ke dalam
luweng (gua tanah), atau pun cara yang lain. Kehidupan masyarakat
Gunung Kidul sarat dengan kesederhanaan dan kedamaian, tetapi ada
kalanya harus digemparkan dengan kejadian bunuh diri warganya
yang mengusik ketenangan. Kasus bunuh diri yang banyak terjadi

226
di wilayah tersebut dipicu oleh berbagai faktor yang hingga kini
masih menjadi sorotan dan misteri. Kejadian bunuh diri ini sering
disertai mitos munculnya penampakan bola api di malam hari
yang disebut pulung gantung. Dikisahkan tentang Arja. Segelintir
pohon jati miliknya melayang dicuri orang seminggu lalu Pohon jati
yang hendak dipanen yang hasilnya diharapkan untuk membantu
keuangan keluarganya. Gabah telah lama habis, bahkan gaplek,
tak tersisa sedikit pun di lumbungnya. Gaplek yaitu ketela pohon
yang dijemur selama berminggu-minggu sampai kering, sehingga
bisa awet tersimpan. Gaplek digunakan sebagai makanan pokok
maupun tambahan. Dapat diolah dengan cara diparut atau ditumbuk,
kemudian dikukus dan disajikan dengan parutan kelapa yang disebut
sebagai tiwul. Arja berusaha tetap sabar meski hidup alangkah sukar.
Kebutuhan menghimpit mendesak menanggung dua remaja dan
sepasang orang tua yang beranjak renta.
Malam itu, bola berekor berselimut api warna hijau merah
berpijar tertangkap pandangan mata. Bintang pulung gantung, si
pencabut nyawa. Gerangan di rumah siapa ia bakal singgah? Pulung
gantung adalah sebuah fenomena berupa kejadian bunuh diri yang
salah satunya dilakukan dengan cara menggantung. Peristiwa ini
acap kali diawali dengan penampakan bola api sebesar bola tenis
yang menyala berwarna merah kekuningan dan berekor yang muncul
pada malam hari hingga menjelang fajar. Masyarakat Gunung
Kidul percaya bahwa bilamana penampakan pulung gantung ini
telah terjadi maka siapapun tidak akan mampu menolak keinginan
untuk mengakhiri hidupnya. Pada pagi harinya ada warga yang mati
menggantung diri. Dia Mbah Mujiyah dalam usia emas 80 tahun. Mbah
Mujiyah ditemukan tewas menggantung diri pada sebatang dahan
pohon nangka di kebun rumahnya. Menurut tetangganya kehidupan
Mbah Mujiyah tergolong berkecukupan bagi masyarakat sekitar, juga
tidak diketahui adanya penyakit menahun yang dideritanya. Kejadian
ini membuat para kerabat dan tetangganya bertanya-tanya apa
gerangan penyebab nekadnya Mbah Mujiyah melakukan tindakan

227
bunuh diri. Arja memandang dengan napas berat dan memelas pada
nasib Mbah Mujiyah. Namun terbersit rasa iri dalam hatinya: simbah
lebih dulu mendapat keberuntungan.
Dua puluh tahun silam saat dirinya masih muda begitu polos
dan penuh semangat. Ia mengembara ke kota sebagai tukang kayu.
Hatinya bangga sebagai anak desa terpanggil ke kota membuat karya
seni di atas bongkahan kayu jati di kota. Ia tertarik pada Kingkin,
gadis manis yang selalu membawakan segelas air penghilang
dahaga pelepas kerja. Niat Arja tulus membina rumah tangga dengan
Kingkin. Ia bekerja dengan tekun. Namun Kingkin tidak menanggapi
perasaannya. Arja patah hati dan pulang ke desa mengurung diri di
rumahnya. Simboknya melihat anaknya banyak melamun, membawa
Arja ke menuju Srimpi, yaitu salah satu pondok tertua di kawasan
Gunung Kidul berada di desa Srimpi, Karang Mojo. Mereka menemui
Pak Haji dan Arja ditinggal di pondok itu. Selepas diterimanya kerja
menatah kayu dari Pak Haji demi pembangunan gedung pesantren
baru dan juga gedung-gedung lainnya. Banyak permintaan untuk
kerja dari tempat lain. Kehidupan Arja berubah membaik. Gubug
simbok telah disulap menjadi indah, sepasang sapi menjadi hadiah
untuk bapak. Arja menikah dengan Ayu namanya, Rahayuningsih
nama panjangnya. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki. Kehidupan
berubah saat krisis moneter datang melanda. Perusahaan-perusahaan
roboh, PHK di mana-mana, dan usaha rakyat kecil gulung tikar.
Selepas tukang tak lagi menjanjikan uang, semua yang berkaitan
dengan Arja terkena imbas kebangkrutan. Bahkan istrinya harus
ikut bekerja berjualan makanan di pasar. Hidup tak cukup makan
minum seadanya. Biaya sekolah anak mahal dan merawat orang tua
juga perlu biaya. Ayu akhirnya bekerja di ibu kota, kehidupan Arja
dan keluarga terbantu. Namun, tatkala gempa melanda Yogya, rumah
tinggalnya ikut roboh rata dengan tanah. Ayu lebih giat mencari uang
membangun rumahnya yang runtuh terkena gempa.
Kesengsaraan Ayu dan Arja tidak berhenti. Pada suatu hari di
desa heboh, para tetangga Arja mengabarkan meninggalnya seorang

228
gadis, sakit mendadak, kata seseorang. Mati pendarahan, kata yang
lain. Beberapa waktu setelah si gadis dimakamkan ditemukan
bungkus jamu- jamu di kebon belakang rumah.Ayah gadis itu
berteriak dan menyumpah- nyumpah. Katanya, siapa pun penyebab
putrinya meninggal akan mati terkutuk dimakan dosa. Miris hati Arja
mendengarnya. Rasa simpatik sesama orang tua, terlebih dikenalnya
mereka sebagai orang tua teman sekolah si sulung. Setelah temannya
meninggal, si sulung berubah perangai menjadi pemurung. Suatu
pagi si sulung pamit pergi ke Krakal menenggok neneknya. Hingga
siang tak kunjung pulang hingga sore. Lalu datang kabar ke Arja
bahwa si sulung hilang, hanya jaket dan sendal yang ditemukan
nenek di tepi karang, jauh dari bibir pantai. Tim SAR bekerja menyisir
sepanjang pantai mencari tubuh si sulung, anaknya. Ayu kembali ke
pulang rumah setelah hampir sepuluh tahun merantau. Datang tanpa
kabar dengan wajah lembam. Istri Arja pulang. Arja ingin tersenyum
tapi sangat sulit. Pertanyaan Ayu mengunci bibir Arja. Didekapnyanya
si istri hingga sesak napas tidak hendak dilepaskannya. Ayu akhirnya
pulang dengan penuh kesedihan.

ENAM
Sahabat, puisi esai Otto Sukatno CR. “Sanimin: Lelaki Yang
Menghardik Waktu” menceritakan Sanimin gila telanjang berkeliaran
di Yogyakarta. Tubuhnya kotor tak pernah mandi. Tidur di sembarang
tempat. Puisi esai ini terinspirasi dari beberapa orang gila yang
berkeliaran di Yogyakarta. Sedikitnya satu juta orang di Indonesia
menderita gangguan jiwa dan diperkirakan 30.000 diantaranya
hidup dalam keadaan dirantai karena keluarga tidak tahu apa yang
harus mereka perbuat terhadap anggota keluarga yang gila. Bagus
Utomo, pendiri komunitas Skizofrenia Indonesia menjelaskan, selain
menghadapi stigma, para penderita skizofrenia yang sudah sembuh
memilki tantangan lain, yaitu kesinambungan pengobatan, dan
siapa yang mengurus penderita sehari-hari, kegiatannya apa dsb.
Para penderita, kalau tidak ada pekerjaan, akan melamun lagi dan

229
berhalusinasi lagi. Diharapkan masyarakat untuk tidak berpandangan
negatif terhadap mereka yang sudah sembuh, dan membantu mereka
untuk kembali hidup wajar di tengah-tengah masyarakat. Di antara
orang yang kehilangan ingatan itu, sosok Sanimin nampak berbeda.
Ada sesuatu dari hidup, nasib, dan prinsipnya, yang tidak biasa. Hasil
penelusuran, diketahui bahwa ternyata ia dulu seorang punggawa
negara. Pada suatu hari, terjadi peristiwa yang mengubah segalanya.
Saat itu ia masih muda dan sering harus meninggalkan keluarganya
karena tugas. Ketika ia sedang dinas itulah, istrinya diperkosa dan
dibunuh. Akibatnya, ia tertekan, stres, dan gila.
Sanimin, lelaki renta, stres dan penyakitan menyusuri kampung
demi kampung. Tanpa ideologi dan kitab suci, moral dan etika. Ia
menapaki jalanan-jalanan Yogyakarta tanpa alas kaki tanpa busana.
Sanimin menjalani laku tapa-tirakat. Ia basuh dendam kesumat,
berkerak-berkarat dari lubuk jiwanya yang pedih dan ringkih. Mereka
telah menghancurleburkan jiwa Sanimin. Juga kesadarannya. Sanimin
salah satu korban, bukti kekejaman zaman. Kesadarannya hilang,
benar-benar gila. Padahal dahulu ia aparat negara. Sanimin lupa diri,
jalanan kota Yogyakarta menjadi saksi, hari-hari yang ia susuri hingga
mati. Sanimin yang dikenal sebagai si gila, selalu berjalan-jalan
dan sering terlihat di berbagai tempat, misalnya di Jalan Bugisan,
di bawah jembatan layang, dan beberapa tempat lainnya. Pakaian
yang dikenakan lusuh dan tidak pernah berganti. Tubuhnya kotor
tak pernah mandi. Tidur disembarang tempat. Orang gila, bagi yang
merasa waras, tidak penting untuk diperhatikan. Orang gila adalah
orang-orang yang diabaikan. Mereka ada, tetapi tidak dianggap
sebagai ada. Pada waktu itu, Sanimin bahagia menikah dengan
Marlena. Oleh karena Marlena cantik, ia diculik dan diperkosa hingga
meninggal dan tubuhnya dibuang ke lautan oleh para pemerkosa
itu. Air mata pedih membobol pertahanannya mendengar Marlena
digagahi oknum entah yang mana. Ketika itu tugas memanggil, ia
rela meninggalkan Marlena, buah cinta yang dipupuknya sedari
muda, sedari SMA. Gingsul giginya membuat hati Sanimin terkesima.

230
Marlena menurut dibawa pergi dengan alasan dipanggil atasan, akan
diberi hadiah bulan madu. Marlena menyambut dengan suka cita,
wajah berseri-seri. Ternyata Marlena bukan dibawa ke atasan, tetapi
dibawa pergi ke pantai tempat para nelayan mendaratkan perahu.
Marlena diperkosa bergiliran di atas perahu yang sedang berlayar.
Marlena dibiarkan tidak sadarkan diri di atas geladak kapal, kemudian
tubuh Marlena dilemparkan ke lautan menjadi santapan ikan.
Dari sekian persen gaji bulanan mantan punggawa, yang
diurus sanak keluarganya yang diam-diam diberikan bagi siapa saja
yang mau ngurus jasadnya jika kelak ia tiada. Sanimin tak mampu
lagi mengenakan seragam dinas dengan plakat dan tanda pangkat
yang tersemat. Ia nekat membuangnya, melarung ke samudra. Lalu
demi negara yang selama ini dibanggakan, ia turun dari kapal,
melangkahkan kaki, berjalan seorang diri, ia desersi. Sejak itu ia
menyusuri jalanan, tak terperi, seorang diri. Niat hati, ingin pulang
ke kampung halaman ke Maguwa Yogyakarta, menjadi rakyat biasa.
Ia ingin menghibur diri menjadi petani, melupakan dendam dan
jejak hitam. Sayang, sebelum tiba di tujuan, mobil liar tak dikenal
menabraknya. Tubuhnya terpental, lama ia tak sadarkan diri. Sejak
itulah Sanimin kehilangan diri, hidup dalam kegilaan yang abadi,
sampai mati. Sanimin tetap menekur, mengukur jarak dan waktu
dalam keriuhan udara Yogyakarta yang kian tak nyaman. Hamparan
panjang jalan, itulah rumahnya. Ia bebas berbaring jika letih. Orang
menyebutnya: Sanimin gila. Orang mungkin tidak percaya dari
tubuh Sanimin si Alek yang hitam legam, tersimpan prinsip-prinsip
keluhuran. Meski semua orang menganggapnya gila, ia punya satu
prinsip yang aneh di nalar: Ketika ia meminta sesuatu, ia tak mau
dua jenis barang dari satu orang yang sama. Pamali, ujar Sanimin
tanpa suara. Artinya, jika ia minta nasi di satu warung, selalu cukup
satu bungkus. Jika masih lapar, ia minta nasi lagi ke warung lainnya
Juga lauk, teh, atau rokok. Untuk hidup sehari, ia berurusan dengan
banyak orang, banyak warung angkringan. Sanimin tak mengeluh
kalau orang-orang menghardiknya. Ia sadar, kata orang ia gila. Maka

231
jika engkau berpapasan dengannya, jangan beri sesuatu yang tidak
diminta. Jangan beri barang berbeda dari yang ia minta. Perbuatan
itu akan sia-sia malah membuatnya murka Sanimin sadar betul ke­
ikhlasan seseorang ada batasnya, ia tak ingin membuat kecewa para
pemberinya. Kini Sanimin atau Alek telah tiada pergi ia, bertemu
bersatu dengan belahan jiwa: Marlena kekasih abadinya.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Di Balik Lipatan Waktu menampilkan
fakta kehidupan di wilayah Yogyakarta. Lima cerita tentang manusia
Yogya dan masyarakatnya yang menarik untuk dicermati. Masih ada
penduduk Yogyakarta buta huruf dan tidak tahu apa yang terjadi di
lingkungannya. Ia hanya memikirkan bagaimana dapat uang untuk
makan dan memenuhi kebutuhan lainnya. Padahal Yogyakarta
dikenal sebagai Kota Pendidikan. Perubahan tata nilai Yogyakarta
yang menjadi kota yang heterogen penduduknya belum disikapi
dengan bijaksana oleh orang-orang terpelajar. Kaki satu melangkah
ke arah modern, kaki satunya terbelit budaya adiluhung yang sering
dibanggakan. Bentuk puisi esai mewadahi pemikiran dan perasaan
yang mudah dipahami pembaca.

232
Perusak Alam
Kehidupan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI JAWA TIMUR

Judul Buku : Menggugat Alam, Mengejar Sunyi


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 128 halaman
Penulis : Agoez Haryst, Endah Puspo Rini,
Itonk Mulyadi, Suyanto Garuda,
Viddy Ad Daery
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-24-3

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan kepedulian kelima penulis
pada alam yang dirusak pengusaha dan penguasa untuk kepentingan
dan keuntungan mereka. Pengusaha dan penguasa berdalih mem­
per­baiki taraf hidup masyarakat. Kerusakan alam terjadi hampir di
seluruh wilayah Jawa Timur dan sulit diperbaiki lagi.

LIMA INTI SARI BUKU


 Korban perdagangan manusia.
 Sumur amblas di Gunung Kelud.
 Bekerja baik disangka teroris.
 Sawah rusak dilewati truk pasir.
 Alam membalas dendam.

SATU
Sahabat, puisi esai Agoez Haryst “Sri, Mengeja Sunyi dalam Se-
nyu­man” mengisahkan perjuangan korban perdagangan manusia
(human trafficking) yang kemudian tampil menjadi perempuan tegar dan
disegani. Imamatul Maisaroh adalah gadis belia yang dipaksa menikah
oleh orang tuanya. Hilang sudah harapan, ketika harus drop out dari

233
sekolah. Oleh karena merasa tak mencintai suami hasil perjodohan itu,
ia pun memilih kabur dari suaminya. Nasib mengantarkan Maisaroh
mendaftarkan diri menjadi Tenaga Kerja Wanita. Hongkong yang dituju,
tapi sang penyalur TKI membawanya ke Amerika. Dari tangan satu ke
tangan majikan yang lain. Paspor pun ditahan majikan, bekerja selama
tiga tahun hanya dibayar siksa dan air mata. Rontok semua angan-
angan Maisaroh. Ia hampir putus asa dan merasa nasibnya tak lebih baik
dari budak belian. Untunglah kemudian seberkas cahaya pertolongan
meneranginya. Berkat belas kasih penjaga bayi tetangganya, Maisaroh
akhirnya dapat kabur dari majikan yang kejam itu. Dari perjuangannya
membebaskan diri dari jeratan perdagangan manusia, Maisaroh pun
menemukan jalan lapang hidupnya. Setapak demi setapak lorong-
lorong jalan kehidupan dilaluinya hingga ia dapat menggapai puncak,
menjadi penasihat khusus Presiden Obama.
Sri berasal dari Dusun Krajan Desa Kanigoro. Desa Kanigoro adalah
Desa tempat Imamatul Maesaroh dilahirkan, terletak di Kecamatan
Pagelaran Kabupaten Malang Jawa Timur. Desa ini terletak di Malang
Selatan. Desa Kanigoro merupakan desa yang berkontribusi besar
terhadap aset pembangunan negara, karena begitu banyaknya warganya
yang bekerja ke luar negri seperti Hongkong, Taiwan, Singapore, Korea
dan Timur Tengah. Desa ini merupakan desa yang peduli terhadap
persoalan TKI atau buruh migran yang mengalami permasalahan di
negara penempatan. Desa ini pada tahun 2006 menyosialisasikan ke-
10 desa se-Kecamatan Pagelaran tentang adanya Paguyuban Paseban
(Paguyuban Sambung Rasa Keluarga Buruh Migran) yang berjejaring
dengan Mekarwangi yang ada di Jakarta. Paguyuban ini mempunyai visi
dan misi pendampingan dan pengarahan terhadap TKI dan keluarganya.
Sri ketika itu sekolah di Tsanawiyah.Madrasah Tsanawiyah (disingkat
MTs) adalah jenjang dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara
dengan sekolah menengah pertama, yang pengelolaannya dilakukan
oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah ditempuh
dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9.
Derita dimulai ketika ia harus putus sekolah dan tinggal di rumah

234
tidak sekolah. Seperti yang terjadi juga dengan tetangga-tetangga di
kampung bahwa perempuan putus sekolah harus rela menikah untuk
meringankan beban keluarga. Akhirnya Sri menikah dengan lelaki yang
12 tahun lebih tua darinya. Hanya seumur jagung pernikahan Sri. Ia
bercerai. Lalu ia memberanikan diri mendaftar menjadi TKI. Dengan
tidak mempunyai pengalaman, Sri memilih menjadi pembantu di
Hongkong. Ternyata Sri ditawari bekerja di Amerika. Sri bekerja di
Amerika Serikat. Selama tiga tahun bekerja, ia tidak digaji. Sri kabur
dari majikan dan ditampung oleh Koalisi Penghapusan Perbudakan
dan Perdagangan Manusia. Sri menjadi aktivis di organisasi tersebut. Ia
sekolah lagi untuk meningkatkan kemampuan diri. Ia bertemu Presiden
Barrack Obama dan dijadikan anggota Dewan Penasihat Perdagangan
Manusia staf Khusus Presiden Bidang Perlindungan Buruh Migran
dan Perbudakan Manusia. Ia menyampaikan pengalamannya di depan
puluhan ribu delegasi dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat.
Sudah 19 tahun Sri berada di negara adidaya dan tak lagi menjadi
babu. Pada Konvensi Nasional Partai Demokrat Serikat, bersama
belasan senator dan pembicara top Amerika lainnya 26 Juli 2016, Sri
didaulat berpidato. Bersama belasan senator dan pembicara bergengsi
lainnya, Sri tampil di panggung utama Stadion Wells Fargo. Saat itulah,
Partai Demokrat AS secara resmi akan memilih Hillary Rodham Clinton
sebagai kandidat utama dan Senator Tim Kaine sebagai wakil presiden
dalam Pemilihan Presiden.

DUA
Sahabat, puisi esai Endah Puspo Rini “Kelud Gugat” ini men­
ceritakan eksploitasi alam dengan menebang pohon-pohon di hutan
dan mengeruk batu kerikil serta pasir di lereng Gunung Kelud. Jalan
desa rusak dan berlubang, ratusan sumur amblas. Pohon durian durian
tidak berbuah. Eksploitasi alam besar-besaran oleh masyarakat
kurang bertanggung jawab, mengakibatkan belasan sumur di Kediri
ambles, ribuan pohon durian gagal panen. Di Jombang, Malang, dan
Blitar banyak ditemukan bangkai hewan liar dari ketinggian gunung.

235
Tanda-tanda kemarahan alam diperlihatkan dengan berbagai
pertanda. Pemerintah daerah telah abai seolah tidak mengetahui
adanya kondisi tersebut. Pembangunan yang selama ini dilakukan
sepertinya hanya untuk kepentingan investor sepihak. Alam menggugat
dengan dahsyat dan manusia diterpa dendam alam.
Nenek Sulami tinggal di Dusun Nanas, Desa Manggis, Kecamatan
Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Des aitu berada di punggung
Gunung Kelud. Masyarakat yang ada di sekitar puncak Gunung Kelud
memang kebanyakan muslim, tetapi mereka menyebutnya dengan
muslim kejawen, artinya mereka tetap mengikuti rukun agama yang
dianut, tetapi tetap tidak meninggalkan ajaran leluhur tentang ajaran
ilmu kejawen dan hal itu diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Nenek Sulami dan masyarakat yang ada di daerah Gunung Kelud itu
merasakan jika akan terjadi sesuatu dengan Gunung Kelud. Saat itu
malam belum larut. Waktu menunjukkan pukul 20.30, tetapi kelopak
mata Nenek Sulami bagai diberi perekat. Suara jangkrik yang biasa
riuh, malam itu tak terdengar sama sekali. Angin bertiup biasa, tidak
terlalu dingin, tetapi langsung merasuk ke dalam tulang Nenek Sulami.
Desirnya seolah memberi pertanda, ada hal yang tidak biasa. Hatinya
sungguh terasa tidak nyaman, dadanya selalu berdebar-debar. Entah
mengapa kepalanya pusing. Dia melihat Patonah tetangganya keluar
dari pintu belakang rumah. Jaraknya tidak seberapa dari dirinya.
Sejenak mereka hanya diam berpandangan dalam keremangan.
Mereka telah merasakan tanda-tanda alam. Tiba-tiba mereka kaget
dan terkejut menyaksikan bibir sumur yang berupa jajaran bata merah
yang melingkar berdiameter 1,5 meter setinggi 1 meter beserta se­
bagian tanah di sekitarnya runtuh masuk ke lubang sumur. Dinding
bibir sumur itu ambles. Mereka tidak berani terlalu dekat, bukan
karena takut terjebur, tetapi tanah di sekitar menjadi agak gembur.
Sepanjang hidupnya belum pernah terjadi sumur ambles. Ternyata
tidak hanya di situ saja. Di tempat lainpun terdengar keributan susul
menyusul serupa. Sumur amblas karena lubang di bawah tanah yang
diakibatkan oleh susunan pasir yang kurang padat telah dikeruk oleh

236
penambang secara berlebihan. Menurut ahli Geologi IPB fenomena
sumur ambles yang ada di Kediri ini terjadi karena adanya lubang di
bawah tanah yang diakibatkan oleh susunan pasir yang kurang padat.
Tetapi ahli dari Mojokerto mengatakan bahwa hal itu disebabkan
karena adanya sungai di bawah tanah, yang alirannya tepat di bawah
sumur sumur itu, dan setelah diteliti kemudian ditemukan banyak lagi
sumur yang ambles, yang jika ditarik garis lurus bentuknya seperti
aliran sebuah sungai. Penduduk sekitar lain lagi ceritanya, hal yang
ada di Kelud ini dianggap sebagai isyarat, bahwa alam saat ini sedang
berulah karena marah, bahwa orang-orang telah memperdaya alam
secara serakah. Ternyata, di esok paginya telah dtemukan empat
puluh lima lagi sumur yang bibirnya ambles ke dalam bumi. Hingga
dalam hitungan minggu kedua setelah yang pertama muncul, telah
340 sumur mengalami hal serupa. Sumur-sumur di dua dusun yang
bersebelahan itu berguguran ambles ke dalam tanah.
Tidak hanya sumur yang ambles. Pohon-pohon durian yang ada
di lereng Gunung Kelud juga tidak berbuah seperti biasanya. Dampak
penambangan pasir dan pemotongan pohon yang berlebihan di
wilayah lereng gunung itu telah menyebabkan air untuk makanan
pepohonan yang ditanam tidak ada, sehingga buah tidak banyak
seperti tahun- tahun sebelumnya. Pemerintah daerah biasanya
membeli durian dari penduduk dan mengadakan pesta makan gratis
durian. Para petani durian sungguh bergembira uangnya banyak dari
hasil penjualan. Akibat eksploitasi alam berlebihan, pohon durian
tidak berbuah. Suara mesin gergaji kayu meraung-raung di puncak
gunung. Di dekat sungai, mobil truk pengangkut pasir memuat pasir.
Salahkah jika alam menggugat?

TIGA
Sahabat, puisi esai Itonk Mulyadi “Lelaki Kuning Dari Lembah
Lompongan” mengisahkan Lelaki Kuning yang bertempat tinggal
di Lembah Lompongan, lahan rawa-rawa dekat lokasi pantai wisata
Pulau Mirah, Banyuwangi Selatan, Ujung Timur Pulau Jawa. Lelaki

237
Kuning sejak kecil hidup menderita karena miskin. Orang tua dan
seluruh keluarganya tersapu tsunami. Dia harus menghadapi hidup
yang kejam. Kekejaman yang diciptakan manusia yang menjahati
manusia lain. Ketika dia tua sudah dapat menerima keadaan, dia
ditangkap aparat karena disangka teroris.
Orang tua dan seluruh keluarga Lelaki Kuning tersapu tsunami
yang pernah melanda Pantai Selatan Jawa Timur, Blitar, Malang,
Pasuruan, Jember dan yang terparah Banyuwangi, tahun 1987. Saat
ayah ibu dan saudaranya meninggal terkena tsunami, Lelaki Kuning
ditolong orang tua Menik, sahabatnya. Lelaki Kuning disekolahkan,
dibiayai sampai selesai kuliahnya. Setelah menikah, Lelaki Kuning
dan istrinya menjadi transmigran ke Kalimantan. Ia pergi ke daerah
pedalaman Tumbangtiti. Kendawangan, Ketapang. Ia menyusuri
sungai ke daerah Marau, dan sampailah ke wilayah Air Durian. Lelaki
Kuning beserta rombongan transmigran menempati wilayah itu.
Mereka mulai membuka lahan dengan ukuran yang telah ditentukan.
Mereka menamai tempat yang menjadi kampung itu dengan sebutan
Kampung Nusantara. Itu merupakan kampung alkulturasi, campuran
keberagaman suku bangsa. Orang-orang yang ikut transmigrasi itu
datang dari berbagai pelosok di Indonesia, dari Lampung sampai
NTT. Lelaki Kuning menjadi Kepala Desa. Ia membuka sekolah untuk
anak-anak transmigran dan penduduk asli di sekitar transmigran. Ia
mengepalai sekolah dasar rintisan. Kampung itu semakin maju dan
nyaman untuk ditinggali. Hasil hutan mulai dapat dinikmati. Namun,
di dalam kehidupan, melakukan hal yang baik belum tentu dianggap
baik. Ada beberapa orang yang tidak menyukai keberhasilan yang
dilakukan Lelaki Kuning. Kesuksesannya mengelola desa Nusantara
menimbulkan iri hati pada sebagian orang. Lalu ada yang mengatakan
bahwa Lelaki Kuning tak berhak berada di Kampung Nusantara.
Karena isu rasialis, Lelaki Kuning diusir dan kembali ke Pulau Jawa.
Kaveling kelapa sawit, berbagai posisi sosial, tabungan, dan tanah
pekarangan harus ditinggal. Lelaki Kuning sekeluarga harus pergi
dari Kampung Nusantara.

238
Lelaki Kuning kembali ke desanya di Jawa. Ketika sampai di
desanya, Lelaki Kuning dari Lembah Lompongan sudah tidak dikenali
lagi oleh warga di kampungnya. Kehadiran mereka sekeluarga
di pondokan nyaris tak dikenalinya. Ia telah lama meninggalkan
kampungnya. Kepulangan dari pedalaman Kalimantan tidak dikenali
dan dianggap sebagai warga baru. Lelaki Kuning pinjam dana masjid
di bagian sosial sebesar lima puluh ribu untuk memulai kehidupan
dengan usaha kue ‘jajan pasar’. Pekerjaan penjaja kue, bukan tanpa
tantangan. Sebagai pendatang baru butuh keberanian mengatasi
kontra tekanan jiwa. Kemudian, ia menjadi guru di sekolah swasta,
tetapi tidak lama. Ia dipecat oleh kepala sekolah karena menjadi
pekerja sambilan untuk menambah penghasilan. Lelaki Kuning yang
sudah mulai menerima keadaan ini justru ditangkap aparat keamanan
karena disangka teroris. Lelaki Kuning menunggu keputusan Mahkamah
Konstitusi. Lelaki kuning memprotes agar eksploitasi tambang emas
dihentikan karena limbahnya membunuh ikan di laut..Ia berkata
bahwa ratusan ribu nelayan akan kehilangan tangkapan ikan, dan
pasar ikan akan sepi. Di wilayah Gunung Tumpang Pitu, kandungan
emasnya menjanjikan, sehingga kini dieksploitasi, yang memungkinkan
berdampak lingkungan secara luas. Nelayan berkurang tangkapannya.
Lalu ada kabel-kabel besar berisi setrum getaran listrik meradiasi
penghuni rumah di bawahnya. Lelaki Kuning dituduh sebagai penulis
spanduk demonstasi yang berlatar partai terlarang.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Suyanto Garuda “Salim Kancil Tumbal
Tambang Pasir” mengisahkan sosok petani menjadi korban kegiatan
penambangan pasir ilegal. Salim Kancil penduduk Desa Selok Awar-
awar, Kecamatan Pasirian,Kabupaten Lumajang.Ia dibunuh karena
memprotes penambang pasir yang melewati lahannya saat membawa
hasil tambang. Ironis bahwa sikap arogan atas dasar kekuasaan,
akhirnya bermuara pada kefasikan, kejahatan, dan kekejian yang
dilakukan di sebuah desa yang terkenal dengan kesantunan dan

239
keterikatan antara warga satu dan lainnya. Sebagai kepala rumah
tangga ia berusaha menyelesaikan keadaan, segala upaya ditempuh
dalam rangka pembelaan atas hak. Istrinya sudah mengingatkan, agar
jangan menantang arus, karena makan tak harus dari mengolah lahan
(bertani). Menjadi pedagang atau nelayan pun bisa makan. Apa boleh
buat, Salim Kancil harus terbunuh pada 25 September 2015 pada
usia 46 tahun.
Salim Kancil bersama anak istrinya mengolah sebidang tanah
sebagai sumber mata pencahariannya. Mengolah tanah kering dan
tanah basah dari warisan orangtuanya. Salim Kancil tekun bertani
dan hasilnya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia menanam padi,
jagung, kedelai, semangka, melon, sayuran, bahkan mentimun berganti-
ganti sesuai cuaca yang sedang berlangsung. Baginya tanah itu harta
karun. Salim Kancil mengenakan caping gunung, membawa sebilah
sabit, sebatang cangkul, dan serantang makanan yang beraneka
menu buatan istri tercinta. Kata istrinya, itu untuk bekal seharian di
sawah. Ia mengandalkan lahan tanahnya untuk membesarkan anak-
anaknya. Salim Kancil membuat pematang. Batas-batas pematang
dibentuk serupa jalan setapak yang kokoh. Lalu ia menanam berbagai
tanaman. Panen tak pernah gagal di tanahnya, walau di tempat lain
tanaman tidak menghasilkan banyak. Keberhasilannya bertanam
juga membuat anak- anaknya makin giat belajar.Anak-anaknya
melihat orang tuanya Bertani dengan tekun, namun dalam hati Salim
Kancil tidak ingin anaknya Bertani seperti dirinya. Zaman sudah
berubah. Hari-hari semakin banyak kompetisi. Salim Kancil ingat,
ketika kecil, saat panen datang ayah dan kakek sibuk menganam
lembaran bambu menjadi kepang. Sepanjang enam hingga tujuh
meter, lebar satu setengah meter. Itu untuk menyimpan padi kering
sebagai persediaan di kala musim hujan panjang, Alat itu bernama
krembeng. Krembeng adalah wadah untuk padi kering yang dibuat
seperti tabung berukuran besar, dari kepang yang melingkar sekian
lingkaran mengikuti kere yang melingkar. Panjang atau tinggi dan
diameter mengikuti keinginan pemiliknya. Kere merupakan bilah

240
bambu yang dikupas halus dan dianyam dalam bentuk melingkar
untuk membentuk benda bernama krembeng. Padi ditumpahkan
ke dalam krembeng dengan menggerojokkan dari atas, bergantian
bersama dengan tetangga yang ikut membantu.
Gunung di desa Salim Kancil pada waktu itu diambil pasirnya
untuk bahan bangunan, Truk-truk berlalu-lalang melewati sawah
pekarangan milik penduduk membawa muatan pasir dan kerikil
melindas tanaman penduduk. Salim Kancil dan beberapa warga
memprotes kegiatan itu. Warga sangat marah karena truk-truk itu
melindas tanaman penduduk di kebun dan sawah. Pengusaha pasir
tidak meminta izin pada warga kalau sawah untuk bertanam mereka
dijadikan lintasan truk pengambil pasir. Kepala desa juga tidak
meberii tahu bahwa akan ada truk yang akan melewati sawah untuk
mengambil pasir. Harusnya itu izin atau diskusi dengan warga sekitar
tempat pengambilan pasir. Saat truk-truk melintas dengan arogan,
penduduk hanya dapat mentapi denngan geram dan sedih. Sebagian
warga mengintip dari jarak jauh, menggelengkan kepala, membuka
caping, dan memukulkan tangannya ke kepala ketika truk-truk pasir itu
berlalu-lalang melewati pekarangannya tanpa permisi. Salim Kancil
akhirnya melaporkan penambangan ilegal ke kecamatan, kabupaten,
provinsi, bahkan ibu kota. Segala upaya ditempuh untuk membela
hak- haknya sebagai petani. Akibatnya Salim Kancil dibunuh dan
meninggal di Balai Desa. Ia dianiaya dan dipukuli para penambang
yang ternyata adalah teman kepala desa. Setiap ada kabar tentang
Salim Kancil, baik di koran, majalah, televisi maupun media sosial
lainnya, orang-orang yang pernah terlibat dalam tekanan jiwa di
masa sebelum dan sesudah pembunuhan Salim Kancil sebagai tokoh
kontra terhadap penambangan pasir, pasti terseret emosinya. Mereka
sejujurnya membela pada Salim Kancil. Namun apa boleh buat, nasi
sudah menjadi bubur. Sekecil dan sebesar apa pun yang dilakukan
oleh Salim Kancil merupakan laku ikhlas untuk sebuah kebathilan
yang pernah dikekalkan di kampung halamannya. Ia patut dinobatkan
menjadi pahlawan. Hasil investigasi Tim Advokasi Tolak Tambang

241
Pasir Lumajang, menemukan fakta sadisnya penyiksaan para preman
tambang terhadap Salim dan Tosan, dua warga penolak tambang.
Salim disiksa hingga tewas, sementara Tosan berhasil diselamatkan
warga lainnya. Dalam rilis tertulis tim advokasi yang terdiri dari
Laskar Hijau, Walhi Jawa Timur, Kontras Surbaya, dan LBH Disabilitas
disebutkan, sebelum tewas dipukul dengan batu dan balok kayu,
Salim (46) atau akrab dipanggil ‘Salim Kancil’, sempat disetrum dan
digergaji. Tim advokasi menyampaikan, saat 40-an preman datang
menyerbu rumahnya, Sabtu (26/9/2015), Salim sedang menggendong
cucunya yang berusia 5 tahun.

LIMA
Sahabat, puisi esai Viddy Ad Daery“Lapindo: Alam yang Membalas
Dendam” ini menggambarkan lenyapnya Desa Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur akibat kecelakaan proyek pengeboran minyak
Sumur Lapindo yang belum selesai penanggulangannya hingga
kini. Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan
Lumpur Lapindo (Lula) atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa
menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas
Inc. di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan
lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya
kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan
di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur. Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena
kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu. Lapindo Brantas melakukan
pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awalMaret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra
Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International
Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari
Lapindo senilai US$ 24 juta.
Haji Mukidi memandangi danau lumpur yang dulu ada masjid,
kompleks pondok pesantrennya, kompleks rumah tiga istrinya, dan

242
kantor Bank Penyelamat Umat. Semua kini tenggelam di kubur lumpur
Sidoarjo atau terkenal Lumpur Lapindo. Puluhan desa kini terkubur
lumpur, ribuan rumah musnah, puluhan pabrik tenggelam, dan jutaan
rakyat miskin kehilangan harta dan tempat tinggal. Banjir lumpur tak
bisa dihentikan, makin meluber merambah desa demi desa hingga
tiga kecamatan tenggelam. Haji Mukidi sering dipanggil juga Kyai
Mukidi karena punya Pondok Pesantren dan sesekali ikut mengajar
pengajian. Ia juga dipanggil Bos Yai karena pemilik Bank Penyelamat
Umat. Ia tidak kikir dan loba karena usaha bank koperasinya untuk
membantu orang-orang miskin dan petani atau pengusaha kecil yang
kurang modal tanpa syarat berat. Ia beristri tiga dan hampir empat.
Banjir besar lumpur Sidoarjo adalah bencana paling dahsyat di
era modern berupa semburan lumpur panas beracun, juga amblesnya
retakan tanah dan bangunan. Semburan gasnya mencemari udara,
ancaman tanggul jebol dan digenangi lumpur akan menjadi
ancaman abadi sampai puluhan tahun. Puluhan desa kini terkubur
lumpur, ribuan rumah musnah, pabrik-pabrik tenggelam dan jutaan
rakyat miskin melata. Haji Mukidi begitu resah teringat nasibnya
yang ikut terampas bencana Lapindo. Ketika ramai koran dan televisi
memberitakan kecelakaan proyek pengeboran sumur Lapindo yang
berjarak hanya 2 km dari rumahnya dan pondok pesantrennya,
ia merasa biasa-biasa saja. Ia tak merasa khawatir bahwa luberan
bencana banjir lumpur Lapindo akan menjangkau kompleksnya
karena jaraknya cukup jauh bahkan dibelah jalan tol Gempol-Porong.
Haji Mukidi mengerahkan para santri pondoknya untuk bersalawat
dan berdoa bersama-sama. Namun perkembangan menunjukkan
bahwa banjir lumpur tak bisa dihentikan. Makin lama makin meluber
merambah desa demi desa hingga tiga kecamatan tenggelam.
Lumpur menerjang dan menenggelamkan semuanya. Tidak perduli
tempat maksiat ataupun kompleks rumah ibadat. Haji Mukidi berpikir
apakah dia salah? Mungkin perusahaan Bank Penyelamat Umat yang
diniatkannya untuk membantu ekonomi orang kecil, mungkin tidak
diridai Allah. Oleh karena bunga riba yang dikenakannya mungkin

243
memberatkan orang-orang kecil yang telah ditolongnya. Jadi Allah
menghukum dengan memusnahkan kerajaannya, dengan perantara
banjir lumpur Lapindo. Haji Mukidi geram terhadap para pengusaha
yang didukung pejabat yang tidak memedulikan nasib rakyat yang
dilanda musibah. Masih banyak korban yang belum mendapat
santunan, tapi justru ada rencana akan mengadakan pengeboran
Lapindo Dua. Danau Lapindo bagai kuburan raksasa yang sepi tanpa
tanda-tanda kehidupan. Pejabat korup tidak memedulikan nasib
getir rakyat yang dilanda musibah. Kasus Lapindo telah 11 tahun
terkatung-katung. Haji Mukidi merenung di kegelapan di sekitar
Danau Lapindo. Tempat itu bagai kuburan raksasa yang sepi tanpa
tanda-tanda kehidupan. Hanya di jalan raya yang terlihat jauh, ada
lampu-lampu jalan tol yang suram dan sorot-sorot lampu mobil yang
bergerak tanpa jiwa.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Menggugat Alam, Mengejar Sunyi meng-
gambarkan kegiatan eksploitasi manusia dan alam tanpa memikirkan
dampak lingkungan yang menyebabkan tempat kehidupan rusak parah.
Semestinya pemerintah daerah memahami kondisi wilayahnya yang
rusak akibat keserakahan manusia yang tidak bertempat tinggal di
daerah itu. Sumur yang amblas adalah bukti pemerintah daerah tidak
melihat dampak lingkungan yang disebabkan eksploitasi habis-habisan
pada sumber daya alam. Jika ada kritik, saran, dan usul dari penduduk
yang melihat kepentingan dan kegunaannya bagi keselamatan,
maka ia dianggap menentang pembangunan. Komunikasi antara
pemerintah dan rakyat seperti berhenti. Perlu perubahan dalam
melihat manusia di suatu wilayah untuk pengembangan kehidupan.

244
Pulau
Kalimantan

245
Lenyapnya Suatu
Kebudayaan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Judul Buku : Renjana Khatulistiwa


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 143 halaman
Penulis : Galuh Mairan Astiati, Pradono,
Sarifudin Kojeh, Wyaz Ibn
Sinentang, Yufita
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-0812-25-0

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima cerita dari Provinsi Kalimantan Barat
tentang konflik etnik Dayak—Madura, Melayu—Madura, warga--ok-
num aparat, warga--penguasa, dan guru—siswa. Kondisi masyarakat,
lingkungan, budaya mengalami perubahan yang mengarah pada
per- pecahan etnis. Bahasa sederhana dalam buku ini memudahkan
pembaca memahami berbagai permasalahan yang terjadi.

LIMA INTI SARI BUKU


 Dunia pendidikan menyedihkan.
 Ulah individu menjadi cap suatu etnis.
 Punahnya sebuah legenda.
 Seumur hidup menjadi orang hantuan.
 Sengketa berabad-abad lamanya.

SATU
Sahabat, puisi esai Galuh Mairan Astiati “Guru Di Balik Pintu”
menceritakan dunia pendidikan di Provinsi Kalimantan Barat. Berbagai
peristiwa diungkapkan menyangkut guru dan siswa. Puisi esai ini
ingin menyampaikan dilema seorang guru yang harus mengikuti

246
aturan tanpa menggunakan rasa nurani. Seorang guru yang harus
menghadapi siswa didik dan tugas yang harus dilaksanakan sesuai
target. Rasa yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru banyak yang
musnah hanya untuk kepentingan pemenuhan tugas. Di Kalimantan
Barat peristiwa ini terjadi. Dikisahkan tentang Murni yang mengantar
anaknya ke sekolah dan mengobrol dengan ibu-ibu lain yang juga
mengantar anaknya. Salah seorang ibu mengisahkan tentang salah
satu sekolah menolak untuk menerima anaknya sekolah di situ
karena anaknya berbibir sumbing. Padahal kemampuan anaknya
sama dengan anak normal pada umumnya. Murni juga mendengar
cerita, ada guru perempuan dianiaya orang tua siswa yang tidak
terima anak lelakinya dikenai sanksi karena berambut gondrong.
Guru itu disingkap kerudungnya dan digunting rambutnya oleh
orang tua si anak. Juga cerita tentang guru yang menghukum siswa
dengan denda seribu rupiah. Ada guru melarang siswa keluar kelas
untuk salat. Murni dan ibu lainnya adalah guru di balik pintu yang
menanamkan keberanian dan ketabahan di jiwa anak-anak mereka.
Guru adalah orang tua yang selayaknya mereka patuhi dan hormati.
Seorang guru SD di Sungai Badak, Kecamatan Terentang, Kalimantan
Barat mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua siswa.
Pasalnya, ibu guru ini menertibkan murid laki-lakinya yang berambut
panjang. Merasa keberatan atas perlakuan yang diterima anaknya
sebagai bentuk sanksi dari tindakan indisipliner, orang tuanya langsung
mendatangi guru tersebut dan merenggut serta melepas jilbab sang guru,
kemudian memotong rambutnya. Sesungguhnya perilaku seorang anak
disebabkan oleh keteladanan dari kedua orang tuanya sendiri, baik itu
tingkah laku yang terpuji maupun tercela, atau menyimpang. Beberapa
kasus, pelaku kriminal terhadap guru selalu melakukan pembenaran
dengan berdalih menggunakan pasal 77 huruf a UU Perlindungan
Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak. Pasal itu berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik
materiel maupun morel sehingga menghambat fungsi sosialnya

247
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak 100 juta. PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Perlindungan
Terhadap Profesi Guru. Pada PP Nomor 74, pasal 39 ayat 1 dijelaskan
bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta
didiknya yang melanggar norma agama, norma kesopanan, peraturan
tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat
satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses
pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Selanjutnya, pada
pasal 40 dan 41 dipaparkan pula bahwasanya guru berhak mendapatkan
perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman
dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan
pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Guru berhak mendapatkan perlindungan
hukum dari tindak kekerasan, diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan
tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat,
birokrasi, atau pihak lain.
Seorang pelajar kelas X SMA Negeri di Kubu Raya, tega
menganiaya gurunya hingga mengalami luka di bagian kening.
Pemantik kejadian tersebut adalah kekecewaan siswa karena tidak
naik kelas untuk yang kedua kalinya. Siswa tersebut beranggapan
bahwa nilai mata pelajaran yang diasuh oleh guru perempuan
ini yang menyebabkan dirinya gagal naik kelas. Usai pembagian
rapor siswa tersebut langsung mendatangi gurunya dan hendak
menghantamkan kursi ke belakang kepala guru perempuan tersebut,
yang kemudian dapat ditangkisnya hingga menyebabkan murid yang
merasa kecewa tersebut kembali menyerang dengan melayangkan
pukulan ke wajahnya hingga benjol. Kasus ini terjadi pada tahun
2016 di salah-satu SMA (Islam) di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat—yang salah seorang siswanya mendapat perlakuan tidak
menyenangkan/dihambat dalam hal pelaksanaan ibadah. Pihak
sekolah, khususnya sebagian besar guru yang mengajar di sekolah
tersebut, menganggap bahwa perilaku anak ini (permohonan izin
melaksanakan salat) mengganggu temannya yang sedang belajar,

248
lantaran berkali-kali mesti menyela proses kegiatan belajar-mengajar
yang sedang berlangsung di dalam kelas, setiap kali masuk waktu
salat zuhur. Orang tua siswa tersebut dipanggil oleh pihak sekolah
dan diminta agar memberikan arahan kepada anak mereka untuk
mengubah pola kebiasaannya yang memang telah ditanamkan sejak
dini dalam keluarga mereka. Tentu saja hal ini menjadi persoalan
yang tidak bisa ditolerir oleh pihak keluarga siswa. Lantas kemudian,
mereka mengambil keputusan memindahkan anak mereka ke salah
satu sekolah swasta (Islam) yang lebih menekankan kedisiplinan
dalam hal peribadatan, yaitu dengan mengadakan peraturan bahwa
seluruh kegiatan belajar-mengajar di sekolah berhenti pada saat saat
azan berkumandang dan mereka melaksanakan salat berjamaah.

DUA
Sahabat, puisi esai Pradono “Jelaga Parit Setia” mengisahkan
tragedi perang Madura-Melayu di Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.
Warga Madura menguasai lahan orang Melayu. Orang Madura selalu
mengatakan “Ini Tanah Tohan!”. Mereka arogan seakan-akan pemilik
lahan. Puisi esai ini ditulis berdasarkan peristiwa kerusuhan antar etnik di
Sambas. Pecahnya kerusuhan antaretnis di wilayah Kabupaten Sambas
dan sekitarnya sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun
yang terakhir pada tahun 1999 merupakan yang terbesar. Tampaknya
‘permusuhan’ ini seperti ‘api dalam sekam’ yang gampang tersulut seiring
embusan angin. Hal ini akibat dari akumulasi kejengkelan Melayu dan
suku Dayak terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura.
kibatnya sangat menyedihkan. Orang-orang keturunan Madura yang
sudah bermukim lama di Sambas sejak awal 1900-an, ikut menanggung
dosa perusuh. Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 orang
tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar
dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah
dirusak/ dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga
Madura mengungsi. Puisi esai ini tidak dimaksudkan membuka
luka lama, namun siapa tahu bisa menjadi cermin bagi masyarakat

249
dewasa ini agar tidak mudah terprovokasi. Dikisahkan tentang Parit
Setia, yaitu nama desa di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat. Di situlah terjadi pecahnya konflik sosial etnis
antara Madura dan Melayu tidak lama setelah usai Shalat Id 1 Syawal
1419 H atau bertepatan dengan 19 Januari 1999.
Orang-orang Madura dari Desa Sarimakmur menyerang desa
Parit Setia. Orang Madura berteriak ‘Allahu Akbar’ dibarengi dengan
teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0”.
Orang Melayu di Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun
orang Madura meninggal ataupun terluka. Misna berusia 11 tahun
melihat ayahnya mati ditombak, terpisah kepala dan lehernya lalu
kepala ayahnya di ujung tombak diarak di depan matanya. Berbagai
pertikaian berdarah pun terus saja terjadi. Misna melihat orang
berteriak-teriak berlarian ke sana ke mari saling serang, kejar-
mengejar, berhadap-hadapan, bacok-membacok, bunuh-membunuh.
Sapi-sapi piaraan dijagal begitu saja, lalu ditinggalkan. Kebun-kebun
dirusak, rumah-rumah terbakar. Asap tebal membubung pekat ke
angkasa. Misna lahir di tempat itu, besar tumbuh dan bergaul dengan
semua orang, beda suku, beda agama, mereka saling berkomunikasi
dengan senang dan ceria. Ayah Misna Madura, ibunya Melayu Sambas.
Mengapa ia harus mengungsi meninggalkan kampungnya? Ia harus
terpisah dari teman dan saudaranya.
Tidak semua Madura tak tahu adat dan adab. Namun, rusak susu
sebelanga lantaran nafsu kriminal oknum oleh karena pertikaian
pribadi. Oknum itu menjual-jual nama kaum dan tidak menghormati
adat istiadat. Seharusnya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Tapi oknum itu mengabaikan tata krama, diberi hati, minta jantung.
Lahan-lahan warga setempat diserobot. Saat ditegur si pemilik, selalu
saja dijawab, “Ini Tanah Tohan!”. Ketika si pemilik tidak terima, oknum
tersebut malah mengancam dan tetap menempati lahan hingga beralih
kepemilikan. Arogansi menguasai diri dan premanisme mengendalikan
perilaku. Oknum itu selalu membawa senjata di pinggang, bicara
selalu lantang menantang, berlagak ke sana kemari, bagai diri paling

250
berani. Ketika terjadi perselisihan, ujung clurit selalu menjadi solusi.
Sikap oknum yang mengaku orang Madura itu sudah berlebihan di
mata orang asli daerah itu. Maka terjadilah petaka berdarah. Setelah
perselisihan reda, Sultan Sambas dan para tetua mengunjungi Parit Setia
memberikan wejangan. Setelah kehadiran Sultan, warga memperoleh
kekuatan dan energi baru. Warga yang semula diam dan takut berubah
menjadi garang dan bengis. Warga Melayu Jawai menyerang kampung
Madura, membakar rumah, dan membunuh. Ayah Misna suku Madura,
ibunya Melayu asli Sambas. Ayahnya terbunuh, Misna dan ibunya lari
menyelamatkan diri. Misna melihat kepala ayahnya diacung-acungkan
seorang pemuda di jalanan. Seluruh orang Madura pergi dari Sambas.

TIGA
Sahabat, puisi esai Sarifudin Kojeh “Tuah Tiada Lagi Bertuah”
bercerita tentang pasir timbul di tengah aliran Anak Sungai
Kapuas yang kini hilang tenggelam. Banyak hal mistis dialami oleh
penduduk di sekitar itu. Penambangan atau pengerukan pasir oleh
suatu perusahaan atau penguasa telah merugikan rakyat dan tidak
memberikan kontribusi untuk kemajuan desa di Kabupaten Kayong
Utara. Tersebut legenda pasir timbul yang keramat dan bertuah. Pasir
timbul itu berada di tengah sungai Bumi Lelabi Putih, atau Durian
Sebatang. Letaknya, di antara Sungai Durhaka dan Sungai Bulan di
sebelah kiri dan Anak Sungai Kapuas di sebelah kanan. Ketika itu, ada
kapal pesiar dari Negeri Melayu menuju Negeri Kayong. Saat melintasi
Anak Sungai Kapuas terjadi angin ribut dan hujan badai. Kapal itu
tenggelam di Anak Sungai Kapuas. Seluruh penumpang tidak satu pun
yang selamat. Kecelakaan kapal itu menjadi cerita dari mulut ke mulut
dan menjadi legenda ke anak cucu turun temurun. Konon badan kapal
yang tenggelam menjelma pasir timbul. Cerobong kapal menjelma
legukan keramat. Legukan keramat adalah legukan yang menyerupai
sebuah sumur yang bentuknya bulat persegi yang airnya selalu bersih,
jernih, dan tawar, tiada asin atau payau. Letak legukan berada di kanan
pasir timbul keramat, Bumi Lelabi Putih, Kayong Utara. Tiang kapal

251
menjelma apong yang tiada jauh berada di dekatnya. Apong adalah
bongkahan pohon nipah yang terbongkar dari tanah akibat abrasi air
yang mengapung di air sungai di sisi legukan keramat. Penumpang
kapal raib jadi makhluk penghuni alam lelembut pasir timbul keramat
yang selalu membawa damai dan sejahtera yang berkah. Legenda
itu terus melekat di pikiran masyarakat Bumi Lelabi Putih tak pernah
lekang dihapus peradaban baru bertahun-tahun.
Saat itu yang dipercaya masyarakat setempat sebagai orang
tua penjaga pasir timbul, yaitu Datuk Abuk. Tubuhnya tinggi penuh
kharisma dan berperangai baik. Ia senang menolong orang yang
memerlukan bantuan.Tidak ingin menyakiti orang, ramah, dan berbudi
luhur pada siapa pun. Datuk Abuk adalah nama panggilan seorang
dukun kampung terbesar di kampung Durian Sebatang. Sebenarnya
nama lengkapnya adalah Raden Bujang Saheran. Ia dukun kampung
yang sangat disegani dan dihormati pada masa itu. Pasir timbul di
tengah aluran Anak Sungai Kapuas, tuahnya melimpah ruah dan
dianggap keramat. Orang-orang harus mendapat izin dari Datuk Abuk
atau kepala kampung setempat untuk mengambil pasir. Diciduk dan
dibawa pulang sesuai keperluan. Maka sedikit-banyak masyarakat
terbantu. Pasir timbul keramat bertuah itu seperti gunung menjulang
di tengah aluran air Anak Sungai Kapuas melampar berpanjang-
panjang dari hulu sampai ke hilir. Bahkan sampai rembesannya di
kedalamannya menuju kuala Sungai Kualan. Berlabirin-labirin di
aluran tengah Anak Sungai Kapuas, Bumi Lelabi Putih. Walau sering
diambil tiada berkurang-kurang. Sepertinya pasir di pasir timbul
keramat bertuah itu beranak-pinak setiap hari. Hingga para pemuda
dapat bermain bola setiap sore beramai-ramai. Tempat itu menjadi
tempat rekreasi anak remaja. Di sekitar tempat itu ditumbuhi
pohon nipah. Pasir itu juga dapat digunakan penduduk desa untuk
membersihkan badan dengan menggosokkan pasir ke seluruh tubuh.
Itu juga diyakini dapat menghilangkan kotoran diri. Legukan
keramat yang menyerupai sumur bulat dengan air bersih tiada asin
tiada payau, airnya diminum dapat melepaskan dari impitan hidup

252
dan memberikan apa saja yang diinginkan. Legenda itu melekat di
pikiran masyarakat Kampung Durian Sebatang.
Pada tahun 2012 pasir dikeruk penguasa bukan untuk kepentingan
masyarakat. Mereka terus mengeruk pasir setiap hari tanpa permisi
kepada pemiliknya, yaitu alam sekitar. Mereka mengeruk sedalam-
dalamnya pasir timbul keramat bertuah itu. Tidak pernah berhenti,
siang-malam terus bekerja tanpa letih. Seperti raksasa haus darah yang
menyedot mangsanya sampai lemas. Melalui kapal tongkang-tongkang
besi yang besar dan luas dimuati pasir hingga luber dan sarat penuh
muatan. Berkubik-kubik diangkut pasir timbul keramat bertuah menuju
tempat para penguasa menjualnya. Pasir timbul keramat bertuah susut
dan tidak muncul lagi ke permukaan air Anak Sungai Kapuas dan
tenggelam di kedalamannya. Hanya air mengalir di sungai itu.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Wyaz Ibn Sinentang “Keduaq (Orang Hantuan)”
mengisahkan seseorang yang kena tulah karena menghina leluhur
menjadi keduaq atau orang hantuan. Puisi esai ini ditulis berdasarkan
situasi masyarakat yang terkena dampak dari konflik sosial di daerah
Serengkah (Ketapang). Keduaq (Orang Hantuan) mengisahkan
tentang Mabang dan Meranti yang diusir ke hutan belantara karena
Mabang adalah orang Hantuan yang menjelma menjadi sosok yang
mengerikan dengan usus terburai dan dapat terbang. Kehidupan
Mabang dan Meranti dianggap aneh sehingga mereka dikucilkan di
hutan belantara. Orang Hantuan itu menjaga desa dari pendatang
yang merusak kehidupan dan alam desa. Penduduk desa tahu itu dan
melalui kepala desa selalu memberikan persembahan berupa ritual
doa dan pemberian sesaji. Kehidupan masyarakat Serengkang di
Ketapang wilayah Kalimantan Barat ini masih bersatu antara manusia
dan makhluk Keduaq sampai sekarang.
Mabang, namanya diambil dari nama sebuah pohon. Kayunya
terkenal untuk membangun rumah.Ia lelaki separuh baya yang malang.
Ia terbuang dari kampungnya sendiri ke hutan belantara yang angker.

253
Itu terjadi karena tulah, kualat atau durhaka. Ia menghina arwah
seseorang dan berakhir dengan pertarungan maut. Bukan hanya
ia sendiri, tetapi anak istrinya juga ikut diasingkan. Sebagai bentuk
hukuman yang berlaku, selamanya ia terpisah dari hiruk pikuk dunia
hingga ajal menjemput. Mabang menjadi keduaq di daerah Serengkah,
Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Saat-saat tertentu, lelaki paruh baya itu tiba-tiba menggelinjang,
tubuhnya mengeras, sorot mata memerah, gigi bergemeretak, dan
seisi rumah bergoyang. Saat Itu terjadi maka itu merupakan tanda-
tanda awal prosesi ujud Mabang akan berubah. Istri Mabang, Meranti,
tersentak bukan lantaran takut melihat perubahan ujud Mabang,
ia sadar kalau suami tercinta berubah jadi sosok Keduaq. Ia akan
melepaskan kepala dari tubuh dengan usus terburai, melesat bagai
kilat terang kemerahan, meninggalkan belantara mencari makanan
berupa darah segar manusia. Istrinya sadar bahwa jika itu terjadi,
maka akan ada bencana datang. Sebagai seorang istri ia tahu betul
tentang itu. Ia kemudian pergi mengabarkan kepada Demung Adat,
orang yang dituakan dalam masyarakat setempat, dan mempunyai
pengaruh (Serengkah) bahwa Mabang sedang berubah ujud menjadi
Keduaq. Setelah itu, di perkampungan akan terdengar lolongan
payau, binatang peliharaan Keduaq. Payau berbentuk anjing besar
menyerupai sapi. Payau tidak mengganggu dan memiliki kemampuan
memanjat pohon kayu seperti kucing. Lolongan panjang payau
menyayat hati. Payau, peliharaan Keduaq selalu setia menemani dan
menjaga majikannya dalam kegelapan dalam sunyi belantara. Payau
ikut menjelajahi belantara mencari makanan kegemaran Keduaq,
yaitu darah binatang dan ayam hutan. Tubuhnya besar sebesar sapi.
Namun gesit seperti kucing. Ia mampu memanjat pohon kayu setinggi
apapun juga. Loyalitas kepada tuannya tak diragukan lagi melebihi
kesetiaan manusia. Belantara dan kaki bukit selalu aman dalam
penjagaannya. Dia benteng utama belantara yang siap membela
tuannya. Tak satupun makhluk berani menantang apalagi melawan
keperkasaannya. Dia adalah karang dalam kesunyian yang selalu

254
menaklukkan penjarah yang coba merusak hutan. Saat itu sekelompok
pemuda berteriak sambil tangannya menunjuk ke arah langit dan
berseru “tuju! tuju!” Mereka serempak bergegas ke luar menatapi tuju
yang tidak jatuh ke bumi. Tuju adalah teluh atau santet yang dibuat
dengan menggunakan media telur diberi jarum. Kelompok anak mud
aitu menatapi seberkas cahaya merah bersinar terbang melintas di
atas perkampungan. Cahaya itu melesat cepat bagai kilat tanpa bisa
dicegah dan hilang dari pandang mata. Jika cahaya itu tidak jatuh ke
bumi berarti itu bukan tuju. Seorang di antara mereka berlari menuju
rumah Demung Adat menyampaikan apa yang dilihat. Demung
Adat mengangguk-angguk menerima laporan itu. Dalam hatinya
Demung Adat berkata, sebentar lagi Meranti istri Mabang pasti akan
melaporkan kondisi Mabang. Meranti datang melaporkan ke Demang
Adat bahwa Mabang sedang berubah menjadi Keduaq. Beberapa
saat kemudian terdengar kabar ada orang meninggal tidak diketahui
asalnya, tubuhnya terbujur kaku kehabisan darah.
Beberapa waktu kemudian, warga kampung gempar dan murka
mendengar sekelompok orang asing ingin menguasai lahan mereka
untuk dijadikan tambang emas. Warga bersama Demung Adat melakukan
protes untuk mempertahankan tanah di kampung itu. Orang asing
itu dilindungi oknum aparat. Warga tidak ingin kampungnya berubah
menjadi danau kotor dan rusak lingkungannya. Mereka tak sudi jika nanti
akan tumbuh menjamur tempat maksiat, lalu miras, judi, perempuan,
dan kekerasan muncul di wilayah itu. Akhirnya warga putus asa karena
tidak didengar kata protesnya oleh pemerintah. Warga menyeru kepada
Keduaq untuk mengusir para penambang itu. Kembali tubuh Mabang
menggelinjang, matanya merah. Ia marah tak tapi bersuara. Mabang
mengejang menjadi Keduaq dengan kepala serta usus berjuntai.
Keduaq itu mengisap darah penambang emas hingga meninggal. Para
penambang emas yang lain ketakutan dan pergi dari kampung itu.
Mabang tersenyum puas. Ia bisa membantu warga. Mabang telah ikhlas
menerima hukuman seumur hidup menjadi Keduaq, orang hantuan,
hatinya terhibur telah bisa membantu warga desa.

255
LIMA
Sahabat, puisi esai Yufita “Bulan Semangka Darah” bercerita
tentang konflik Melayu— Madura di Pontianak Kalimantan Barat.
Bagaimana konflik itu memecah belah persahabatan, hubungan cinta,
dan persadaraan yang selama ini telah dijalin. Tragedi kemanusiaan
yang terjadi di daerah Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun
1999 silam melibatkan dua etnis, Melayu dan Madura—tentunya,
menghadirkan berbagai dampak bagi warga yang mengalaminya,
baik dari sisi sosial maupun psikologis. Beragam persoalan yang
melatarbelakangi peristiwa tersebut, mulai dari kecemburuan sosisal
lantaran kesenjangan ekonomi, perbedaan adat-istiadat, dan gesekan
sosial lainnya yang kerap memicu tindakan kriminal murni yang tak
jarang diabaikan oleh aparat penegak hukum. Kejadian di Parit Setia
hanyalah salah-satu pemicu yang menyebabkan pecahnya kasus
tragedi kemanusiaan tersebut. Namun, alangkah celakanya, perangai
buruk segelintir manusia—tanpa membedakan dari mana mereka
berasal—menodai persaudaraan yang telah berurat-berakar itu. Sikap
permusuhan antarpribadi, rasa curiga-mencurigai yang menjalar
bak wabah penyakit di kalangan warga, hingga sikap tegas berupa
penolakan terhadap salah satu etnis (Madura) yang berujung pada
tragedi kemanusiaan, akhirnya mencorengi wajah ibu pertiwi.
Ghazali menatap pilu. Matanya kuyu oleh tangis. Ia kebingungan,
hendak ke mana ia tinggal. Seringkali terlintas apa yang pernah ia baca
pada kitab-kitab lama, yang acapkali dibacanya di bangku-bangku
tua, bahwa di bumi itu tempat orang sama berpijak, saling mengikat
diri, satu darah, satu tubuh, satu jiwa. Tapi semuanya itu seperti tidak
bermakna. Betapa sungguh amat mencengangkan, bagaimana api
melahap pintu dan jendela, bagaimana cercaan dan hinaan terdengar
di mana-mana. Mereka diseret paksa penuh luka, dipisahkan tubuh
dari kepala, dicincang, dikuliti, dan dikunyah mentah-mentah. Bahkan,
bocah belia tak kenal dosa tiada ampun dilibas juga. Kemudian
tubuh Ghazali rebah penuh cemas di pojok ruang penampungan. Ia
melawan rasa lelah dan lapar. Terlantar di antara kerumunan orang-

256
orang yang bernasib serupa. Tidak ada obat atau selimut tebal yang
dapat melindungi mereka dari gigitan nyamuk dan udara dingin yang
senantiasa mengirimkan tusukan nyeri. Tidak ada sesuatupun yang
dapat lagi dikunyah, selain suara-suara yang mengerikan di luar
pengungsian. Ghazali ingat adiknya Akbar yang telah terlebih dahulu
meninggal karena sakit sesak napas.
Ghazali lahir dan tumbuh di Pontianak. Ia mengungsi dari peristiwa
berdarah konflik antar etnis Melayu-Madura di penampungan. Ia ingat
Akbar, adiknya dan kedua orang tuanya yang meninggal menjadi
korban konflik. Di penampungan itu ada perempuan kehilangan anak
satu-satunya. Ada seorang bapak tua yang berdiam diri terkenang
anaknya yang dipenggal kepalanya. Para relawan menghibur orang-
orang di penampungan itu. Ghazali dan Rahima adalah potret
pasangan muda-mudi yang hidup berdampingan dengan penuh
keharmonisan. Kepolosan mereka menjadikan hubungan antarteman
sepermainan menjadi selaras dan berimbang. Ghazali, pemuda santun
berdarah Madura—yang seluruh anggota keluarganya menjadi korban
konflik sosial, berhasil menyelamatkan diri hingga terdampar di posko
penampungan. Baginya hidup seakan kehilangan tanda. Tambah lagi,
sikap Rahima—gadis yang diam-diam menjadi tambatan hatinya—
seakan ikut berpihak menjaga jarak. Ghazali merasa dirinya seakan
dibekuk remuk hingga tak lagi berbentuk, kemudian dilemparkan ke
sisi jurang yang berbeda. Pemuda itu dihantam ketidakmengertian
akan mengapa banyak orang memburu mereka; dirinya, keluarganya,
dan beberapa keluarga lainnya yang senasib dengannya—padahal,
mereka sedikitpun tidak memiliki andil akan persengketaan massal itu.
Ia merasa sama, tak beda dengan teman sepermainan masa kecilnya.
Mereka sama-sama dilahirkan di kampung halaman yang sama. Tanah
yang sama. Ghazali teringat Rahima gadis Melayu pintar mengaji
dan mencuri hatinya. Ia teringat percakapan terakhir dengan Rahima
tentang sengketa antaretnis yang terjadi. Rahima berkata bahwa
sengketa telah berabad-abad usianya dan sifat orang Madura tidak
pernah berubah. Rahima dan Gazali berada dalam pusaran sengketa

257
etnik yang memisahkan keduanya. Gazali harus terusir dari Pontianak.
Pemuda itu sedih dan marah. Ia terusir dari kampung kelahirannya.
Sementara Rahima merasa dunianya terbakar. Cintanya yang
mekar tersembunyi itu hangus menjadi abu, lantaran pergumulan
manusia di sekelilingnya. Rahima, si yatim piatu itu—terpaksa harus
menyembunyikan hakikat dirinya. Darah Melayu yang diwarisinya
dari sang ayah menjadi legitimasi keselamatannya, tapi dapatkah ia
mengabaikan begitu saja—bagaimana air susu yang ia sedot dengan
begitu rakusnya dari tubuh seorang perempuan berdarah Madura?
Ketakutan itu mencengkeramnya. Kemarahan juga membakar sekujur
tubuh Rahima. Ia merindukan kekasihnya yang direnggut paksa
darinya. Ia merindukan semua kenangan masa bocahnya. Kenangan
yang dirampas oleh mereka yang telah kehilangan akal sehatnya.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Renjana Khatulistiwa dari Provinsi Kali­
mantan Barat menggambarkan pertikaian antaretnis dan pengabaian
adat istiadat dan nilai budaya daerah. Konflik etnik telah menjadi sejarah
dan tersimpan abadi pada memori kolektif masyarakat etnis Melayu,
Dayak, dan Madura. Konflik warga yang tanahnya dikeruk sumber
dayanya atas nama pembangunan negara telah mengingatkan kembali
pada kepercayaan, adat-istiadat, mitos-mitos, dan nilai-nilai kehidupan
pada masyarakat di sebagian pedalaman yang musnah. Kelima karya
puisi esai yang tersaji di dalam buku ini adalah cermin realitas kehidupan
masyarakat dan daerah Kalimantan Barat yang kaya akan adat budaya,
cerita yang tak ada habisnya, dan sumber daya alamnya.

258
Potret Sosial Kemasyarakatan
di Banua Masa Kini
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Judul Buku : Bahana Bumi Antasari


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 96 halaman
Penulis : El Malka, Findi Filantara, Masrur
Ridwan, Nur Budi Yono,
Tuti Alawiyah
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-0812-26-7

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini menggambarkan kehidupan masyarakat di Kalimantan
Se­latan. Masuknya industri tambang dan perkebunan sawit telah me­
ngubah perilaku dan tata nilai kehidupan masyarakat yang semula
menggunakan tradisi dan budaya. Bagaimana masyarakat meng­
hadapi masuknya pendatang dan investor tergambar melalui lima
puisi esai berikut.

LIMA INTI SARI BUKU


 Kemana menanam padi?
 Tambang batu bara merusak kehidupan.
 Orang tua lupa merawat anak.
 Idham Chalid anutan rakyat.
 Tidak lagi menganyam.

SATU
Sahabat, puisi esai “Jerit Hati Petani Barito Kuala” El Malka ini
merefleksikan pemberitaan Kompas,17 Februari 2014 perihal sawah
produktif petani yang terancam dialihfungsikan ke lahan sawit. Hal
ini merupakan fenomena yang sering terjadi di daerah Kalimantan,

259
khususnya Kalimantan Selatan, terutama di kabupaten yang terkenal
dengan lahan pertanian subur seperti Kabupaten Hulu Sungai, Tanah
Laut, dan Barito Kuala (Batola).Bahkan terjadi di daerah yang notabene
ditetapkan sebagai lumbung padi oleh pemerintah pusat maupun
daerah. Berkaca pada kasus yang terjadi di Kecamatan Tabukan,
Kabupaten Barito Kuala, merupakan kejadian ironis, karena di sebuah
daerah yang telah lama ditetapkan sebagai area percetakan sawah,
para petani yang telah bertahun-tahun menggarap tanah mereka kini
harus terusik. Mereka sengaja diusik oleh kepentingan-kepentingan
kelompok yang mengatasnamakan kesejahteraan berasaskan ke-
kuasaan pemodal. Akibatnya, lahan pertanian produktif seluas
2.393 hektare terancam dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan
kelapa sawit. Sejak adanya izin rekomendasi kepada perusahaan
perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah Kabupaten Barito Kuala,
para petani menjadi resah karena hal itu bukan hanya beralihfungsi
tanah pertanian produktif sebagai areal kebun sawit, tetapi juga
mengancam sumber penghidupan petani. Padahal dari areal sawah
pertanian tersebut menghasilkan padi unggul dan gabah terbesar.
Dikisahkan, seorang petani bernama Amang marah karena
sawahnya dialihfungsikan ke lahan sawit. Ia berbincang dengan
Yanto, petani seperti Amang, tentang lahan sawah mereka. Hati
Amang merasa sedih teringat istrinya yang telah meninggal. Istrinya
berpesan agar menjaga tanah sawahnya sebagai peninggalan
leluhur. Amang dan Yanto tidak habis pikir dan tidak memahami
bagaimana pemerintah mementingkan pengusaha bukan rakyat.
Daerah Kecamatan Tabukan, Kabupaten Barito Kuala tempat Amang
dan Yanto menggarap sawah telah ditetapkan sebagai lumbung
padi oleh pemerintah pusat maupun daerah. Mengapa sawah itu
dialihkan menjadi kebun kelapa sawit? Nasib petani di negeri ini
khususnya di daerah-daerah terpencil semakin hari semakin terjepit
dan menyedihkan. Selain dipandang sebelah mata, status petani di
mata masyarakat modern di negeri agraris ini tidak lagi dihargai
dan menjadi kebanggaan. Nasib petani tak pernah benar-benar

260
diperhatikan. Berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan petani kenyataannya justru berbalik arah yaitu
menyengsarakan dan merugikan petani padahal dari “tangan mereka”-
lah kita dapat menikmati hasil panen bumi pertiwi. Banyak dari
kita berpendapat petani nasibnya lebih buruk daripada buruh. Kita,
pemerintah, nampaknya sudah lupa petani sudah ada jauh sebelum
bangsa ini merdeka. Namun, bersamaan masuknya industrialisasi
dengan berbagai sektor penunjang ekonomi, nasib petani tak lagi
diperhatikan. Sejumlah persoalan seakan tak berhenti menggerogoti
dunia pertanian. Mulai dari lemahnya pembangunan sumber daya
manusia (SDM) petani, pengolahan pascapanen yang tidak memadai,
masuknya produk hasil pertanian impor, harga produk pertanian yang
tidak pernah memihak petani, bibit dan pupuk disubsidi pemerintah,
tapi harga jual jatuh ketika panen raya tiba, sampai pada bantuan
dana untuk petani yang juga dikorupsi oleh oknum mantri tani dan
dinas pertanian. Hal itu menjadi pelengkap bukti tidak seriusnya
pemerintah melindungi, mengelola, dan membangun pertanian.
Sejak izin diberikan kepada perusahaan perkebunan kelapa
sawit oleh pemerintah Kabupaten Barito Kuala, para petani resah
karena sumber penghidupan petani terancam. Areal sawah tersebut
menghasilkan padi unggul dan gabah terbesar di Kalimantan Selatan.
Petani tidak dapat berbuat apapun kecuali mengeluh membayangkan
kehidupan yang akan mereka hadapi nanti.Tanah mereka dialihfungsikan
menjadi lahan sawit. Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian,
seharusnya segera menindaklanjuti laporan masyarakat, melakukan
investigasi dan evaluasi atas persoalan tersebut baik dengan
meminta informasi langsung di masyarakat petani, kelompok
tani, dan perusahaan sawit. Selain itu, dalam mengambil tindakan,
pemerintah tetap mengacu kepada peraturan perundangan-
undangan yang berlaku, khususnya UU No 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan. Pasalnya,perlindungan lahan
pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
penataan ruang wilayah dan merupakan sikap konsistensi terhadap

261
perlindungan para petani. Selain itu, kita berkewajiban melakukan
perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian
pangan baik meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan,
penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan,
pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan
petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan
kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai
kearifan budaya lokal serta hak -hak komunal adat, bukan malah
melakukan diskriminatif dan tidak berpihak pada kaum petani
apalagi terus menerus mengizinkan perusahaan untuk menginvasi
lahan milik petani secara tidak beradab.

DUA
Sahabat, puisi esai “Kampung Batang Banyu Tak Lagi Sunyi” Findi
Filantar menceritakan Hamarung, tetua adat Kampung Batang Banyu,
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Wilayahnya menjadi
lahan pertambangan. Kebun dan sawah yang menjadi andalan hidup
penduduk tercemar limbah pertambangan. Kampung Hamarung
banjir saat musim hujan. Jika musim kemarau sumur-sumur kering.
Penambangan batu bara di Kalimantan Selatan ternyata belum
menyejahterakan penduduk sekitar. Kampung yang sepi dan damai
itu terkoyak oleh hiruk pikuk penambangan batu bara. Puisi esai ini
berangkat dari tokoh Hamarung, salah satu tetua adat di Kampung
Batang Banyu, yang berkisah panjang lebar bagaimana kampung
halamannya yang dulu tenteram dan damai menjadi gaduh dan
gemuruh oleh berbagai kendaraan dan alat berat penambangan batu
bara. Tanah Kampung Batang Banyu yang subur itu digali, diaduk-
aduk, untuk disaring batu baranya. Tanah kebun dan sawah yang
selama ini menjadi andalan hidup penduduk pun tergerus habis.
Hamarung adalah tetua adat di Kampung Batang Banyu. Ia berusia
60 tahun. Beberapa tahun yang lalu kampung halamannya masih
tenteram dan damai. Tapi sejak para pengusaha batu bara datang
dengan membawa berbagai kendaraan alat berat, ia tahu bahwa

262
mereka akan menggali batu bara di kampungnya. Hamarung mencoba
percaya ketika pemerintah gembar-gembor bahwa para pengusaha
itu datang membawa dana untuk kesejahteraan ma- syarakat. Namun
kenyataannya tidak. Bumi Batang Banyu kini porak poranda. Tanahnya
diaduk-aduk untuk disaring batu baranya. Celakanya, tanah kebun dan
sawah yang selama ini jadi andalan hidup penduduk juga tergerus
habis. Padahal kampung itu subur menghijau. Di wilayah itu beroperasi
beberapa perusahaan pertambangan batu bara yang memegang izin
pengusahaan penambangan yang dikeluarkan pemerintah pusat.
Konsesi penambangan yang mereka pegang pun begitu luas. Selain
itu ada pula yang memegang izin dari pemerintah daerah. Tidak
hanya alam yang porak poranda, lingkungan pun menjadi bising dan
tercemar. Apalagi jarak pemukiman dengan lokasi tambang hanya
sekitar 500 meter saja. Kenyamanan kehidupan suasana desa Batang
Banyu kini hanya kenangan. Warga kampung harus membiasakan diri
dengan segala kesibukan dengan keriuhan pertambangan. Tiap kali
terdengar deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Juga suara ledakan
dinamit, dan debu yang beterbangan. Tidak terdengar lagi suara cericit
burung. Tidak ada lagi kesegaran embun pagi di dedaunan. Sumber
penghidupan berubah. Luas lahan tanaman pisang dan padi yang
menjadi andalan kehidupan warga semakin sempit diterjang perluasan
areal tambang batu bara. Lahan pertanian yang subur pun tercemar
limbah pertambangan. Air untuk mengairi sawah sudah beracun.
Bahkan keong pun sudah tidak bisa hidup. Kini Hamarung hanya bisa
mengeluh sedih tidak dapat berbuat banyak. Hamarung dan penduduk
yang ada di situ merasa sulit salat dengan khusyuk di kampungnya.
Perusahaan sering melakukan peledakan saat jam-jam sembahyang
Batang Banyu hanya salah satu kampung yang merasakan dampak
buruk penambangan batu bara. Lubang-lubang besar sedalam 50 meter
muncul karena penambangan batu bara. Bukit yang dulu ditumbuhi
pepohonan sekarang hilang dan menjadi lubang dalam bekas tambang.
Jika musim kemarau sumur-sumur penduduk kehilangan air karena
serapan air sudah musnah.

263
Hamarung memang tidak bisa mengingkari bahwa tambang
batu bara menghidupkan beberapa kota di Kalimantan Selatan.
Peningkatan ekonomi pun mulai terasa. Pemerintah daerah mendapat
porsi hasil keuntungan hasil batu bara. Kampung-kampung menjadi
gemerlapan dialiri oleh listrik. Peningkatan ekonomi terlihat di
wilayah, seperti Kecamatan Satui dan Batulicin di Kabupaten Tanah
Bumbu, Kecamatan Pegaron di Kabupaten Banjar, atau Kecamatan
Jorong di Kabupaten Tanah Laut. Kota-kota itu menjadi pusat kegiatan
pekerja tambang yang kebanyakan pendatang.

TIGA
Sahabat, puisi esai Masrur Ridwan “Keadilan itu Memang Bukan
untuk Atul” berkisah tentang Atul berusia empat belas tahun hamil
dengan seorang duda bernama Jani. Sebelum ditangkap polisi, Jani
berdamai dengan keluarga Atul tetapi kakek Atul tidak terima. Keluarga
besar Atul merasa dipermalukan. Mereka merasa aib seperti sengaja
ditimpakan ke salah satu anggota keluarga mereka. Oleh karena itu
pelakunya harus dihukum berat. Akhirnya Jani ditangkap dan diproses
pengadilan. Atul yang terjebak dalam sebuah hubungan dewasa, tidak
pernah menyangka, bahwa ia harus mengalami kegetiran panjang
dalam hidupnya. Gelegak birahi yang ia ekspresikan di rumah Jani,
mengharuskan kekasihnya berhadapan dengan aparat penegak hukum
karena usia Atul baru empat belas tahun. Upaya damai antarkeluarga
sudah disepakati, akta perjanjian sudah dibuat dan ditandatangani,
pinangan sudah diajukan, dan pernyataan Atul yang ingin segera
dikawini Jani atas dasar cinta, saling sayang dan suka sama suka sudah
di tangan Majelis Hakim. Akan tetapi, semua bukti persidangan itu
tidak ada gunanya. Jani harus tetap mendekam di penjara.
Atul yang merasa kecewa dengan proses peradilan yang akhirnya
menghukum Jani tiga tahun penjara dan denda puluhan juta, serasa
tak percaya, bahwa itu peristiwa nyata. Buat apa ada peradilan, jika
pada akhirnya hanya membuat dirinya lebih menderita? Keadilan
bagi Atul, jika ia segera dikawini Jani; keadilan bagi jaksa, jika ia

264
berhasil menyeret Jani ke muka persidangan, dengan bukti-bukti
yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi Sang Pengadil? Majelis
hakim tidak bisa berbuat lain selain memvonis Jani sesuai aturan
hukum yang berlaku. Hakim ketua yang ikut bersedih atas kasus yang
menimpa Atul, hanya bisa membacakan putusan sambil menitikkan
air mata. Apa yang dialami Atul dan Jani hanya salah satu peristiwa
dari banyak peristiwa serupa di Kalimantan Selatan. Atul ingin Jani
dibebaskan karena ia hamil. Atul membuat pernyataan ingin dikawini
Jani. Surat pernyataan itu diserahkan ke Majelis Hakim. Akan tetapi,
semua itu tidak ada gunanya. Jani harus dipenjara. Ia dan Jani tidak
tahu kalau seseorang bersetubuh dengan anak di bawah umur itu
akan dihukum. Majelis hakim memvonis Jani sesuai aturan hukum
yang berlaku. Melakukan persetubuhan dengan anak di bawah umur
diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat
(2) UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 yang kemudian diubah
dengan UU 35 Tahun 2014. Pelanggaran atas pasal itu diancama
hukuman minimal 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp 5 miliar (lima miliar rupiah). Pasal itu mengabaikan
faktor suka sama suka dan siapa yang mengambil inisitif.
Peristiwa seperti Atul dan Jani banyak terjadi di Kalimantan
Selatan. Atul hilang keperawanan saat berusia 11 tahun oleh teman
sepermainan berusia 13 tahun. Pengetahuan seks mereka dapat dari
internet. Ini berarti keluarga tidak perhatian pada pergaulan anaknya.
Lebih menyedihkan, pengenalan Atul akan teknologi informasi, tidak
dibarengi dengan pendidikan yang memadai. Ia hanya sekolah sampai
kelas VI sekolah dasar. Itu juga yang dialami perempuan-perempuan
seusianya, di provinsi tersebut. Kasus persetubuhan anak di Kalimantan
Selatan terjadi merata di hampir seluruh kabupaten dan kota. Ada
kemungkinan kasus persetubuhan anak di provinsi ini sangat korelatif
dengan angka pernikahan dini yang dalam beberapa tahun terakhir
masuk kategori tertinggi di Indonesia untuk anak berusia kurang dari
15 tahun. Ternyata Data BKKBN 2017 menunjukkan, ada korelasi positif
antara internet dan pernikahan dini di Kalimantan Selatan.

265
EMPAT
Sahabat, puisi esai “Si Tubuh Tipis dari Banjarbaru” Nur Budi Yono
berkisah tentang Idham Chalid, putra Setui, Banjarbaru, Kalimantan
Selatan. Idham anak sulung dari lima bersaudara dari keluarga H.
Muhammad Chalid. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya
hijrah ke Amuntai. Mereka tinggal di daerah Tangga Ulin kampung
halaman leluhur ayahnya. Siapakah ayah Idham? Ia hanya seorang lelaki
sederhana berprofesi sebagai penghulu di pelosok Amuntai Hulu Sungai
Tengah, 200 km dari Banjarmasin. Pada masa Perang Kemerdekaan,
Idham berjuang di Kalimantan Selatan bergabung dengan badan
perjuangan Serikat Muslim Indonesia Sentral Organisasi Pemberontak
Indonesia Kalimantan. Bersama Komandan Divisi IV ALRI Letnan Kolonel
Hassan Basriia mendirikan Fonds Nasional Indonesia Kalimantan. Ia ikut
bergerilya bersama anggota divisi bahkan diangkat sebagai penasihat.
Pada bulan Maret 1949, ia ditangkap oleh Belanda dan kemudian
dibebaskan pada bulan November. Setelah itu Idham terjun di bidang
pendidikan pada tahun 1940. Ia menjadi guru di Madrasah Pondok
Modern Gontor, tempat ia menuntut ilmu. Setelah kembali ke daerah
kelahirannya pada tahun 1944, ia memimpin Normaal Islam School.
Ia menghimpun sejumlah pesantren dengan mendirikan Ittihad Al
Ma’ahid Al Islamiyyah. Bahkan ketika telah menjadi pimpinan NU,
kegiatan di dunia pendidikan masih dilanjutkan. Pada tahun 1956, ia
mendirikan perguruan Islam Darul Ma’arif di Jakarta. Pada tahun 1960,
ia mendirikan Pendidikan Yatim Darul Qur’an di Cisarua. Kegiatan Idham
tidak berhenti di situ, Idham pun mendirikan Universitas Nahdlatul
Ulama bersama Subhan Z.E. dan teman-temannya.
Idham berperawakan tipis bagai pedagang batu permata pada
umumnya dari Banjarbaru. Ia memegang jabatan penting pada masa
Soekarno dan Soeharto. Pada usia sangat muda, 30 tahun, Idham
sudah dipercaya sebagai sekretaris jenderal PB Nahdlatul Ulama.
Empat tahun kemudian, 1956, menjadi ketua umum Tanfidziah PBNU,
sampai 28 tahun. Kepemimpinan Idham mematahkan mitos Jawa-luar
Jawa dan bahwa ketua umum harus berdarah biru keturunan ulama

266
besar. Keluasan pergaulan, kemahiran retorika, serta kepiawaian
dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh nasional. Idham
meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo.
Idham adalah seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air.
Laksana air, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni
sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan
akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam
yang diembannya.
Dalam perkembangan politik yang berlangsung sangat cepat,
Idham tetap mengambil peran penting. Ia dipercaya menjadi wakil
ketua MPRS (1963-1966), menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967;
1967- 1968; dan 1968-1973). Pada 1971-1977, Idham dipercaya
sebagai ketua DPR/MPR. Pada masa itu pula, 1973, Pak Idham
menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pertama.
Di NU, posisinya sebagai ketua umum berakhir pada 1984. Terakhir,
1978-1983, Idham menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung dan
Mudir’Am Jam’iyyah Ahlith Thariqoh al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah. Ia
mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis.
Idham Chalid merupakan salah seorang tokoh yang dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena
dianggap berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.
Sebagai ulama, ia berpegang pada tradisi dan prinsip Islam. Sebagai
politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan
pragmatis. Idham wafat 11 Juli 2010 dan dimakamkan di Pesantren
Darul Qur’an Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Setahun kemudian, Idham
diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Idham menjadi
panutan umat Islam Kalimantan Selatan dalam mencegah konflik
kerukunan umat beragama.

LIMA
Sahabat, puisi esai Tuti Alawiyah “Kisah Sedih Si Lampit Rotan”
menarasikan keprihatinan terhadap problematika sosial yang saat
ini dihadapi oleh para pengrajin lampit rotan yang berada di daerah

267
Amuntai, Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Lampit
rotan adalah kerajinan tangan yang menjadi ciri khas masyarakat
Kalimantan Selatan yang dibuat dengan cara mengolah jalinan
batang-batang rotan menjadi sebuah tikar. Pada tahun 1980-an
ratusan penjual lampit memadati kota Amuntai. Namun penjualan
lampit rotan mulai meredup sejak tahun 2005. Hal ini disebabkan
mulai berkurangnya permintaan dari luar negeri dan dibukanya keran
ekspor rotan bulat dan setengah jadi. Cina dan Jepang pada mulanya
adalah negara pengimpor kerajinan rotan asal Indonesia, namun
kini dua negara itu lebih mengandalkan impor rotan mentah dari
Indonesia lalu dijadikan produk kerajinan. Produk mereka kemudian
dipasarkan ke seluruh dunia sehingga menggerus pangsa pasar
produk sejenis dari Indonesia. Desa Palampitan Hilir, Kecamatan
Amuntai Tengah, merupakan pusat pengrajin dan penjual lampit,
namun kini sepanjang jalan desa telah terganti dengan berbagai
macam ruko, warung makan dan mini market. Hanya beberapa
pengusaha lampit yang bertahan, sedangkan yang lain gulung tikar
dan beralih usaha lain. Lampit rotan bagi masyarakat Amuntai,
bukan hanya tentang pekerjaan menghasilkan uang, namun tentang
menjaga tradisi. Mereka tetap bertahan di tengah ketidakpastian akan
masa depan, sambil berharap suatu saat ada perubahan. H. Syaifullah
merupakan salah satu orang yang masih menggeluti usaha kerajinan
lampit rotan hingga kini. Di tengah kelesuan karena tidak adanya
ekspor, ia memasarkan lampit di dalam negeri meskipun banyak
rintangan yang dihadapi, di antaranya kurangnya minat masyarakat
Indonesia terhadap lampit rotan dan sulitnya mendapatkan bahan
baku rotan sejak setahun terakhir yang disinyalir akibat banyaknya
ekspor bahan baku ilegal. Puisi ini menjadi bagian dari usaha agar
masyarakat Indonesia lebih menghargai dan membeli produk dalam
negeri, terutama lampit rotan asal Kalimantan Selatan
Haji Syaifullah atau Ipul adalah pengusaha lampit rotan di
Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Lampit rotan adalah
kerajinan tangan khas masyarakat Kalimantan Selatan yang dibuat

268
dengan cara mengolah jalinan batang-batang rotan menjadi sebuah
tikar. Lampit rotan dibuat secara homemade di rumah-rumah penduduk
di kota Amuntai dan pengrajinnya adalah penduduk dari kota itu
sendiri. Haji Syaifullah mempunyai karyawan. Semula berjumlah 40
kini tinggal 5 orang. Kebijakan pemerintah mengekspor rotan bulat
setengah jadi membuat usaha lampit rotan tidak seperti dulu. SK
menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan
Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan
rotan setengah jadi mengakibatkan industri pengolahan rotan di
dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Ekspor lampit rotan
kita semakin turun hingga sepuluh tahun ke belakang tak bersisa.
Tidak ada lagi lampit rotan yang diekspor ke Jepang, Cina, atau Eropa.
Malahan Cina mulai mengambil rotan mentah dari negara kita dan
membuatnya menjadi kerajinan, lalu memasarkannya dengan harga
lebih murah ke seluruh dunia. Permintaan dari luar negeri tak ada
lagi Sedang di negeri sendiri minim sekali.
Ipul seperti merintis usaha dari awal. Ia menawarkan lampit
rotan dari kota ke kota di Indonesia. Bahan pembuatan lampit sulit
didapat. Batang rotan berduri tajam. Petani rotan menggunakan
parang sepanjang 60 cm untuk menebang, membersihkan duri, dan
menguliti rotan. Rotan menjalar di pohon melilit cabang sehingga
sulit diambil. Ipul ingat orang bersama-sama menganyam rotan
dengan gembira. Mereka berangkat pagi ke tempat menganyam rotan.
Senja mereka pulang membawa upah. Anak-anak diajar menganyam
oleh orang tua agar tradisi menganyam tidak hilang dari kehidupan.
Sekarang pengrajin lampit tak mampu bertahan. Orang meninggalkan
pekerjaan menganyam dan menjadi pekerja di tambang batu bara
atau di perkebunan sawit.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Bahana Bumi Antasari menggambarkan
bahwa membangun karakter manusia penting. Pengalihan sawah pro-
duktif ke lahan perkebunan sawit dan pengeksplorasian tambang batu

269
bara membuat penduduk kehilangan mata pencaharian. Lingkungan
rusak parah. Pembangunan telah mempermudah akses informasi
melalui internet, namun orang tua tidak menjaga remaja. Pergaulan
bebas di bawah umur terjadi dan tata nilai kehidupan Kalimantan
Selatan luntur. Padahal masyarakat mempunyai acuan tokoh anutan
seperti Idham Chalid, tokoh legendaris Kalimantan Selatan. Tata
nilai kehidupan tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah. Tradisi
lokal menganyam rotan menjadi lampit punah. Pemerintah telah
mengekspor rotan mentah yang belum diolah. Kekhasan Kalimantan
Selatan hilang.

270
Mereka Menuntut
Perubahan Yang Berkeadilan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Judul Buku : Jejak Jerit di Tambun Bungai


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 110 halaman
Penulis : Elis Setiati, Imam Qalyubi, Lukman
Juhara, Mohammad Alimulhuda,
Noor Hadih
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-27-4

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan pejuang lingkungan me-
nginginkan Sungai Kahayan kembali menjadi sumber kehidupan, pe-
juang pendidikan mengharapkan Gerakan Literasi Nasional pemerintah
sampai pelosok negeri, sementara pejuang di bidang hukum meng-
harapkan yang tak bersalah dibebaskan, dan akta kepemilikan tanah
memiliki kepastian hukum.

LIMA INTI SARI BUKU
 Literasi belum sampai pelosok wilayah.
 Sungai Kahayan tercemar dan dangkal.
 Transmigran pejuang lingkungan.
 Pejuang keadilan dan kebenaran.
 Carut-marut pengelolaan tanah.

SATU
Sahabat, puisi esai Elis Setiati “Air Mata Literasi” menggambarkan
program literasi pemerintah ternyata hanya menyentuh wilayah per­
kotaan, belum menyentuh ke wilayah-wilayah terpencil di negeri ini.
Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun

271
2017 bertujuan agar masyarakat dapat baca tulis dan cerdas berliterasi.
Secara sederhana, literasi memang dipahami sebagai kemampuan
dalam membaca dan menulis. Membaca dapat diartikan sebagai proses
menerjemahkan lambang-lambang bahasa hingga diproses menjadi
suatu pengertian, dan menulis berarti mengungkapkan pemikiran
dengan mengukirkan lambang-lambang bahasa hingga membentuk
suatu pengertian. Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada
seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca,
menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat
keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga,
literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. Dalam bahasa
Latin, istilah literasi disebut sebagai literatus, artinya adalah orang yang
belajar. Selanjutnya, National Institute for Literacy menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk
membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan me- mecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan
masyarakat. Education Development Center (EDC) juga turut menjabarkan
pengertian dari literasi, yakni ke- mampuan individu menggunakan
potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis
saja. UNESCO juga menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat
keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam
membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan
yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh
dan bagaimana cara memperolehnya. Menurut UNESCO, pemahaman
seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi
bidang akademik, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya serta
pengalaman. Kemudian, di dalam kamus online Merriam—Webster, di­
jelaskan bahwa literasi adalah ke- mampuan atau kualitas melek aksara
di mana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis, dan
mengenali serta memahami ide- ide secara visual.
Di Tanjung Perawan, Bahaur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah, Direktur Polisi Air Kombes Polisi Badarudin membuka taman
baca ke-6 di bantaran Sungai Kahayan. Sosok Direktur Polisi air itu

272
ramah dan bersahaja. Patut jika beliau menjadi tokoh ideal duta baca di
wilayah Kalimantan Tengah. Beliau ikut memotivasi masyarakat untuk
giat membaca melalui pondok baca yang dibangunnya di tiap-tiap
daerah terpencil di daerah pesisir dan aliran sungai. Pondok baca itu
berada jauh dari ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Keberadaannya
sulit dijangkau karena harus melalui transportasi sungai. Di wilayah
Tanjung Perawan, buku tidak didapatkan dengan mudah. Masyarakat
di wilayah Tanjung Perawan sangat memerlukan buku-buku yang
dapat memberi informasi berbagai ilmu yang berkembang di dunia.
Buku yang diterbitkan di Jawa sangat bagus bentuknya. Direktur
Polisi air telah menyediakan buku- buku untuk masyarakat di Tanjung
Perawan. Masyarakat sangat senang, mereka menatapi buku-buku itu
dengan mata yang bersinar. Kegiatan Literasi Nasional yang menjadi
gerakan bersifat nasional tidak sampai ke wilayah pelosok pedalaman,
jadi harapan secara nasional belum sampai kepada masyarakat yang
jauh dari ibu kota negara. Gaung Literasi Nasional Indonesia tak sampai
kepada mereka. Bagaimana bisa berliterasi kalau buku saja terbatas
malah hampir tidak ada kecuali buku tulis dan buku pelajaran di sekolah.
Literasi menjadi penting dan kontekstual diterapkan saat ini karena
derasnya arus informasi. Semua harus cerdas dalam berbagai aspek.
Bukan hanya baca-tulis, tapi cerdas dalam bidang teknologi informasi,
hukum, politik, ekonomi, budaya, termasuk di media sosial. Kecerdasan
berliterasi itu diiringi pula dengan penguatan karakter untuk membentuk
kepribadian bangsa Indonesia. Kalau karakternya kuat, bangsa kita akan
bisa mengubah tantangan menjadi peluang. Jika banyak membaca buku
atau informasi, karakter akan terbentuk dengan sendirinya.
Orang yang buta aksara jumlahnya masih cukup banyak. Ada
aparat kepolisian yang bersedia memotivasi warga di pelosok desa agar
giat berliterasi merupakan hal yang sangat istimewa. Kombes Polisi
Badarudin, Direktur Polisi Air, telah membuka enam pondok baca di
bantaran Sungai Kahayan, Tanjung Perawan, Bahaur, Kabupaten Pulang
Pisau, Kalimantan Tengah. Pondok baca jauh dari ibu kota Provinsi
Kalimantan Tengah dan harus melalui transportasi sungai. Selain

273
mendirikan pondok baca, Kombes Badarudin juga ikut memberikan
motivasi kepada masyarakat untuk giat membaca. Inisiatif dan kepedulian
yang telah dilakukan Kombes Badarudin untuk meningkatkan minat
baca masyarakat perlu dijadikan contoh yang dapat ditiru pejabat
lain di daerah ini. Polisi peduli dengan masyarakat pesisir Kalimantan
Tengah agar ia dekat dengan masyarakat. Selama ini, polisi membuat
takut orang. Polisi Air ingin masyarakat tidak takut dengan polisi lagi.
Mereka ingin membangun kesadaran bagi masyarakat pesisir dan
aliran sungai dengan meningkatkan pengetahuan lewat membaca.
Pondok baca dibangun untuk menambah pengetahuan dan membuka
cakrawala anak-anak di daerah pesisir untuk lebih baik dalam berbagai
bidang. Dengan bertambahnya pengetahuan, kejahatan di wilayah
perairan Kalimantan Tengah diharapkan berkurang.

DUA
Sahabat,puisi esai Imam Qalyubi “Jerit Kahayan”bercerita tentang
Sungai Kahayan yang mengalami pendangkalan dan tercemar limbah
beracun. Sungai Kahayan merupakan penanda kehidupan masyarakat
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Ia adalah denyut nadi dan sumber
dari segala sumber pangan bagi suku Dayak Ngaju. Pada tataran nilai
ia adalah madrasah tempat segala kebajikan, kebaikan, dan ketulusan
diajarkan. Di era kolonial, sungai Kahayan menjadi kurusetra dan
menjadi medan para serdadu penjajah berlalu-lalang. Kapal-kapal
besar kolonial mengeruk kekayaan alam melewati sungai Kahayan.
Mereka melupakan peran Kahayan sebagai sebuah kehidupan. Semua
rekaman sejarah terdokumen rapi di sana. Namun kini, tritis miligram
merkuri telah mengubah fungsi Kahayan sebagai pusat kehidupan.
Tidak hanya merkuri yang telah meluluhlantakkan semua aspek
kehidupan di sepanjang alur Kahayan, komoditas sawitpun juga telah
mengo-optasi setiap jengkal tanah dan menjadi salah satu predator air
yang menyumbang dangkalnya sungai Kahayan. Dangkalnya Kahayan
adalah bencana dan nestapa bagi orang Ngaju yang mengandalkan
kehidupannya pada Kahayan. Lanting tak lagi menjadi identitas denyut

274
ritmis irama kehidupan. Masyarakat masa kini enggan bercumbu,
bersenda gurau lagi dengan Kahayan. Kahayan menjerit, meronta dan
terpasung dalam senyap di tengah manusia- manusia jumawa yang
dirasuksi syahwat duniawi semata. Kahayan kini terbelenggu dibiarkan
sendiri mengobati lukanya.
Cerita diawali dengan aktivitas Sipet yang pergi ke tepian sungai
Kahayan karena rindu sungai Kahayan. Sipet sudah mempunyai cucu.
Sipet adalah nama orang yang umum ditemukan di kalangan suku
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Sipet sendiri artinya adalah sumpit.
Di tepian sungai itu, Sipet mengenang berbagai hal dalam hidupnya
waktu dulu. Sipet menemukan tunggul bekas rumahnya. Di depan
tunggul itu, ia melihat bangunan sandung, yaitu tempat kerangka
jenazah yang telah dilakukan acara ritual tiwah yaitu ritual kematian
dalam suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah penganut Kaharingan.
Sandung indah berdiri kokoh dan eksotis dengan hiasan cat yang sudah
mulai luntur. Bangunan tersebut diterangi sekelebat matahari sore dan
bertengger gagah di depan reruntuhan rumah Sipet. Kepada cucunya,
Sipet menunjukkan berbagai tanaman dan buah-buahan yang ia makan
saat kecil. Antara lain, tumbuhan karamunting padang. Karamunting
dalam bahasa Latinnya Melastoma affine atau Melastomataceae adalah
sebuah tanaman yang tumbuh liar di kebun atau hutan yang memiliki
buah kecil rasanya manis warna buah seperti duwet atau berry yaitu
ungu. Kalau masih muda rasanya kecut. Karamunting itu berbunga
ungu dan pada jenis yang lain warnanya kuning. Ia juga menunjukkan
buah uwei. Uwei dari bahasa Ngaju artinya rotan. Buah uwei mirip
salak, namun bentuknya sebesar kelingking orang dewasa, rasanya
sepat. Sipet menunjukkan pohon kepada cucunya dari kejauhan, yaitu
pohon tambulus liar yang berbuah lebat. Buah khas Kalimantan ini
cukup langka, rasanya kecut, baik ukuran maupun warnanya mirip buah
sawo. Ia berkata kepada cucunya bahwa itulah buah-buahan di masa
kecilnya dulu. Alam memanjakannya dengan kebaikan. Tak ada kimia
dan petaka dalam buah itu. Alam tulus berbagi kasih dengan manusia.
Selain buah-buahan juga bunga. Terdapat anggrek kantong semar yang

275
menjalar di kekayuan lapuk. Di setiap cabangnya terselip kantong yang
menjuntai laksana perhiasaan anting. Sebuah hiasan alam yang indah
yang sekarang telah dimusnahkan manusia.
Di sungai Kahayan terpendam cerita para kesatria Dayak besar,
kenangan perjuangan leluhur para Biaju. Di setiap cabang anak sungai
terdapat tradisi tutur yang mengisahkan cerita-cerita sakral. Di sungai
ini ritual-ritual mistis dilakukan. Di sungai ini para Tuan Guru atau kyai
berlalu lalang mengajarkan kebaikan dan kebajikan. Di sungai ini pula
para zending dari Eropa mengayuh dari hulu ke hilir menyebarkan kasih.
Sungai Kahayan sebagai saksi ketamakan penjajah yang mengeruk emas,
pohon-pohon di hutan digunduli, batu bara dikeruk. Semua hasil diangkut
tongkang melalui Kahayan. Pascakemerdekaan, pabrik-pabrik kayu
tumbuh berserak di tepian Kahayan. Bansaw kecil, pabrik penggergajian
kayu yang berskala kecil dan menengah berjejer melawan raksasa
Sawmill, penggergajian kayu gelondongan umumnya berskala besar.
Cukong besar simbol superioritas kapitalisme yang angkuh, cukong
kecil simbol rakyat pribumi jelata. Deru mesin dongfeng, mesin
penyedot pasir di kalangan penambang emas semi modern menggema
berderet di lanting-lanting tepian Kahayan. Langit hitam pekat tertutup
asap bekas gas buang. Pasir, lumpur, dan batu dikeruk dari dasar batang
air. Air menjadi pekat dan keruh tak ada kehidupan. Matahari sinarnya
tidak dapat menembus ke sungai Kahayan. Ikan- ikan mati di situasi
air semacam itu. Pascareformasi perkebunan sawit merambah tanah
di sekitar Sungai Kahayan. Akar sawit telah merenggut air. Cadangan
air Kahayan menyusut tak terkendali. sehingga Kahayan dangkal. Selain
dangkal, air juga tercemar mercuri dari limbah pengolah tambang emas.

TIGA
Sahabat, puisi esai Lukman Juhara “Jejak Sumigran, Jejak Trans­
migran” berkisah tentang Sumigran. Ia keluarga kecil buruh tani,
usianya masih muda. Ia beranak satu berusia lima tahun. Di kampung
kelahirannya, Sumigran menjadi buruh tani. Upah hariannya hanya
cukup untuk sehari saja bersama anak istrinya. Ia tinggal di sebuah

276
gubuk. Pakaian hanya selembar yang ia gunakan dan selembar di je­
mu­­ran. Ia berpikir bagaimana caranya membesarkan anaknya. Sawah-
sawah di Pulau Jawa kian menyempit.
Proyek-proyek pembangunan gencar dilakukan. Buruh tani se­
makin sempit lahannya, apalagi traktor pembajak sawah sekarang
digunakan sehingga buruh upahan tidak lagi diperlukan. Jika musim
kering, musim paceklik tiba. Sawah kering tak perlu buruh penggarap.
Pemilik sawah menjual tanah liat untuk pabrik-pabrik genteng dan batu
bata. Sumigran beralih nenjadi penggali tanah liat demi asap dapur
agar mengepul. Sumigran mendaftar sebagai transmigran. Ia berpikir
transmigran akan membantu agar hutan tetap terjaga kelestariannya
dan hidupnya dapat sejahtera.
Setelah pertimbangan diputuskan, berangkatlah Sumigran dan
rombongan membawa harapan ke seberang lautan ke Pulau Kali­
mantan. Pulau Kalimantan adalah salah satu pulau besar di wilyah
NKRI. Bahkan pulau ini juga terbesar ketiga di dunia setelah Greenland
dan Pulau Papua. Pulau Kalimantan yang kini memiliki 5 provinsi,
yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara merupakan salah satu pulau
yang menjadi daerah tujuan transmigrasi. Pulau lain yang juga menjadi
daerah tujuan transmigrasi adalah Sumatra, Sulawesi, dan Papua. Para
transmigrant mendapat jaminan hidup berupa bahan makanan pokok
selama 12 bulan untuk lokasi transmigrasi lahan kering dan 18 bulan
untuk lokasi transmigrasi lahan basah atau daerah pasang surut.
Mereka juga dibagi beras dolog yang biasanya cukup lama tersimpan
di depot-depot logistik sehingga ketika dibagikan kepada masyarakat
(transmigran) kondisi beras sudah kurang baik, seperti berbau apak,
berjamur, dan berulat. Mereka juga mendapat ikan asin lima kilogram
dalam sebulan. Bersama masyarakat transmigran lainnya Sumigran
bekerja keras. Mereka juga bekerja sama dengan warga lokal meretas
jalan untuk membuka daerah terisolasi agar mudah dilalui oleh
semua pihak. Selain untuk memudahkan transportasi agar mudah
menjual hasil bumi, memperoleh akses kesehatan, dan memudahkan

277
pendidikan anak-anaknya di kota terdekat.
Upaya Sumigran tidak selalu berjalan mulus. Banyak kendala
yang dialami. Selain faktor alam yang berat untuk ditaklukkan,
minimnya fasilitas dari pemerintah juga menyebabkan sebagian warga
transmigrasi menyerah. Sebagian dari mereka meninggalkan daerah
transmigrasi kembali ke daerah asalnya meski tidak memiliki kepastian
pekerjaan. Sebagian lagi kabur untuk merantau mengadu nasib di
berbagai kota. Perjuangan Sumigran semakin berat. Warga transmigran
sering menjadi sasaran janji manis para calon politisi yang berambisi
duduk di DPR atau menjadi kepala daerah. Janji akan dibangun akses
dan sarana di lokasi transmigrasi hanya menjadi ajang pesta sesaat
menjelang pesta demokrasi yang tak pernah terbukti. Berkali diingkari,
berkali-kali percaya janji, dan berkali- kali lagi gigit jari.
Kondisi ini semakin parah ketika para transmigran dianggap
penyebab kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap
karena membuka lahan pertanian dengan cara membakar. Padahal, masih
ada pihak lain yang sesungguhnya lebih besar dalam mengeksploitasi
hutan, yaitu ekspansi perusahaan kelapa sawit. Pertentangan pendapat
pun terjadi. Apalagi masyarakat setempat yang sering dirugikan juga
ada yang menyuarakan keberatan terhadap program pemerintah yang
dianggap kurang mengakomodasi semua pihak. Penduduk asli ada yang
cemburu melihat keberhasilan para transmigran. Mereka lalu menuduh
bahwa para transmigran telah membakar hutan. Mereka berkata bahwa
transmigrasi hanya merusak lingkungan. Lahan subur menjadi tandus.
Hijau hutan menjadi padang ilalang. Mereka membabat, membakar,
dan merusak lingkungan.
Langit biru berubah hitam. Udara cerah dan bersih berubah
suram penuh polusi. Transmigran harus ditegur keras. Transmigrasi
pun dievaluasi, kebijakannya ditinjau ulang. Programnya terkena
moratorium. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah memutuskan
untuk melakukan moratorium (penundaan sementara) program
Pemukiman Transmigrasi Baru (PTB) berikut penempatannya di seluruh
wilayah itu mulai 2014. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menata

278
kembali transmigran yang sudah ada. Moratorium ini juga didasarkan
atas masalah yang berkembang di tengah masyarakat terkait kehadiran
warga transmigran, seperti kepemilikan lahan yang tumpang tindih,
masalah sertifikat lahan transmigrasi, hingga adanya kecemburuan
sosial penduduk asli. Oleh karena itu, moratorium terhadap program
transmigrasi pun sempat dilakukan meskipun program ini juga diyakini
sebagai upaya memperkuat integrasi bangsa.
Sumigran terus berjuang untuk yang terbaik bagi semua. Keles­
tarian lingkungan harus, dijaga. Seluruh lapisan masyarakat dan
semua pihak tidak boleh ada yang dirugikan. Kelestarian lingkungan
dan kebersamaan semua anak bangsa adalah mimpi yang harus
diwujudkan.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Mohammad Alimulhuda “Pleidoi” mengisahkan
Ulan yang melakukan pembelaan atas tuduhan perusakan gudang dan
lahan perkebunan kelapa sawit. Ulan merasa tidak melakukannya.
Ulan berurusan dengan aparat penegak hukum dan ia harus menjalani
sidang pengadilan. Ulan harus menjalani persidangan karena dituduh
telah melakukan tindakan perusakan gudang dan ladang sawit di
perkebunan sawit yang tidak jauh dari kampungnya. Ulan menolak
itu semua, dia melakukan pembelaan karena merasa dirinya memang
tidak melakukan perusakan seperti yang telah dituduhkan. Mana
mungkin, dirinya yang tak tahu cara mengemudikan traktor, tiba-
tiba saja mampu mengemudikan traktor dan mengobrak-abrik apa
saja yang ada di perkebunan sawit. Tak masuk di akal. Namun bukti
konkret dan para saksi telah menyatakan bahwa Ulan yang melakukan
perusakan gudang dan ladang kelapa sawit. Ulan tetap dipersalahkan
dan harus menjalani hukuman. Tapi, bagaimana dengan para pemodal
yang telah merusak dan membakar hutan yang selama ini dijaga oleh
warga kampung?
Pemodal yang seenaknya mematok tanah nenek moyang yang
sudah turun temurun diolah oleh anak keturunan. Salah satu cara

279
masyarakat tradisional (adat) untuk mengukur tanah/lahan/ladang
miliknya adalah diukur dengan sampai di mana suara gong dipukul
terdengar. Atau ada pula yang menyebut sejauh batu dilempar
dan jatuh, di situlah ditanam untuk menandai lahan tersebut milik
seseorang. Pemodal sebagai pengusaha yang biasanya dikawal pihak
penguasa untuk menyabot lahan milik masyarakat—bahkan tanah
ulayat—untuk dijadikan pabrik dan sebagainya. Para pemodal merusak
tatanan hidup masyarakat. Tingkahnya serampangan membuat onar.
Mereka membawa traktor menghancurkan kebun dan ladang rakyat.
Semak-semak dilindas sampai tonggak akar tercerabut, melindas tunas-
tunas hingga tuntas, bagai diterpa ribuan puting beliung. Pohon-pohon
tumbang tanpa ampun laksana diterjang banjir bandang. Seketika
belantara porak-poranda. Pohom karet, rotan, langsat, rambutan,
padi, durian, tengkawang, tenggaring yang dipelihara sejak nenek
moyang lenyap hilang. Pandangan mata menjadi tak berbatas, luas
memandang lepas. Pencaplokan lahan seperti ini begitu marak pada
saat rezim Soeharto, dan masih “dipertahankan” hingga era reformasi
ini. Lalu bagaimana pemerintah melindungi rakyatnya? Ulan berkata
lagi bahwa tiba-tiba diberi kabar akan didirikan perkebunan di tanag
yang terbentang itu. Tanah warga dipinggir hutan itu menjadi incaran
pengusaha karena masih kurang luas lahan untuk kebun itu. Warga
diminta untuk menjual tanahnya akan dijadikan bagian perkebunan
yang diberi nama plasma. Mereka ingin warga juga menanam tanaman
yang ia kehendaki, yaitu sawit yang bukan tanaman asli dari bumi
Kalimantan. Tanaman itu mengisap seluruh simpanan air di tanah.
Lahan dan tanaman lain akan rusak. Konon lahan sawit akan menjadi
padang tandus setelah pohon sawit itu mati.
Warga secara turun temurun telah diajarkan berladang. Pada
awalnya tanam padi. Jika tanah ladang padi tak lagi subur akan diganti
tanaman baru, seperti karet. Lalu membuka lagi lahan baru seluas satu
bahu untuk ditanami padi sebagai tanaman mula lagi. Saat ladang
padi tak subur lagi diganti dengan tanaman lain seperti buah-buahan
durian, dan lainnya. Lalu membuka lagi lahan baru satu bahu luasnya

280
untuk ditanami padi. Begitu seterusnya sampai kembali ke ladang yang
pertama kali untuk menanam padi. Lahan yang digunakan warga untuk
bercocok tanam tetap terjaga kesuburannya.
Di ruang persidangan Ulan dituduh melakukan perusakan ba­
ngunan gudang dan mengobrak-abrik lahan perkebunan sawit dengan
menggunakan traktor. Tentu saja semua tuduhan itu dibantahnya. Ulan
menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ulan warga
pinggiran kali dari pedalaman. Hutan adalah tempat penempaan jati
diri, mandau dan sampan menjadi pegangan. Kesederhanaan adalah
olah daya hidup utama membangun kemandirian menempa kepekaan.
Ulan berdalih, mana mungkin dirinya mengobrak-abrik bangunan
gedung dan lahan sawit, ia tak bisa mengemudikan traktor. Ia hanya
bisa mengemudikan perahu kelotok peninggalan ayahnya. Majelis
hakim dalam vonisnya tetap menjatuhkan hukuman bahwa Ulan
bersalah dan harus menjalani hukuman. Ulan mempertanyakan ulah
para pemilik lahan yang bermodal besar dan dilindungi oknum aparat
yang telah merusak dan membakar hutan untuk perluasan lahan
sawitnya. Segala argumentasinya tak didengar.

LIMA
Sahabat, puisi esai Noor Hadi “Senja Di Bumi Tambun Bungai”
ini mengisahkan tentang Ammah yang merantau ke pinggiran kota
Palangkaraya. Ketika Pemda melakukan pemekaran kota, Ammah
ikut berkiprah untuk ikut membuka lahan, membuka belantara
menjadi bagian dari kota. Dia menjadi saksi kota yang dulu sepi
menjadi seramai sekarang. Namun, di sela-sela keramaian kota yang
telah mulai bangkit dan tumbuh, ada persoalan-persoalan yang
belum selesai, yakni tentang kepemilikan tanah. Banyaknya terjadi
kasus surat tanah yang terbit lebih dari satu atas satu tanah. Hal ini
menjadi salah satu pemicu kericuhan yang kadang terjadi. Ammah
merupakan salah satu yang mengalami kasus dari sekian kasus tanah
yang belum terselesaikan secara hukum. Pada waktu itu, kasus belum
terselesaikan hingga akhirnya putusan pengadilan memenangkan

281
gugatan pada Ammah. Namun demikian, untuk mengatasi kasus serupa
agar tidak berkepanjangan pemerintah daerah sudah berupaya untuk
menyelesaikan persoalan tersebut dengan program Prona.
Adalah Ammah, ia merantau menuju kota berbekal niat dan
peralatan sekadarnya. Pada tahun 1970, Palangka Raya sebuah kota
yang menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah di wilayah Borneo.
Pahandut dan Bukit Batu menjadi wilayah administratif. Kota dibangun
pada tahun 1957 dari hutan belantara. Beribu pohonan dan semak
belukar ditebang dengan berbagai cerita. Wilayah itu dinamai Desa
Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Sebagian wilayah Palangka Raya
masih berupa hutan termasuk hutan lindung konservasi alam serta
Hutan Lindung Tangkiling. Pada saat kota ini mulai dibangun, Presiden
Soekarno merencanakan Palangka Raya sebagai ibu kota negara di
masa depan menggantikan Jakarta. Palangka Raya merupakan kota
dengan wilayah terluas di Indonesia, setara 3,6 kali luas Jakarta.
Kota ini mengubah nasib orang hulu menjadi hilir. Di situ terkenal
dengan gambut. Tanah gambut adalah tanah basah, berwarna gelap,
berasam tinggi, kurang subur, dan lembek-lunak di wilayah rawa. Tanah
gambut merupakan tanah yang terbentuk dari penumpukan sisa dari
tumbuhan yang setengah membusuk atau mengalami dekomposisi
yang tidak sempurna. Tanah gambut memiliki kandungan bahan
organik yang tinggi karena bahan bakunya tersebut adalah sisa- sisa
dari tumbuhan, seperti lumut dan pepohonan serta sisa- sisa dari
binatang yang telah mati.
Ammah berkenalan dengan gadis Kahayan dan akhirnya menikahi
gadis itu. Mereka dikaruniai sejumlah anak. Berkat kerja keras dan
ketekunannya, lahan hutan belantara kini menjadi lahan tempat hunian
dan bercocok tanam. Daerah yang dulunya sunyi, kini sudah berubah
ramai dan menjadi bagian dari kota. Banyak pendatang dari berbagai
daerah ke Palangkaraya. Mereka mencari tanah untuk tempat tinggal.
Harga tanah di Palangkaraya mahal. Ammah yang menua menunjukkan
kepada anak-anaknya tanah-tanah yang dimilikinya beserta surat
kepemilikan yang sah. Anak-anak pun telah dewasa. Ditunjukkanlah di

282
mana mesti harus diurus tanahnya dengan segala syarat persuratan
lahannya, Juga gambar-gambar dan denah-denah serta peta-peta.
Ammah juga menunjukkan surat-surat, kuitansi-kuitansi dari pembelian
hasil pekerjaan mudanya. Suatu hari ada laki-laki yang mengaku
bahwa tanah itu miliknya. Ammah menunjukkan bukti, laki-laki itu
meminta maaf. Keesokan harinya, anak Ammah berdebat dengan orang
yang mengaku tanah itu miliknya. Ketika Ammah datang, laki-laki itu
menebas tubuh Ammah dengan parang hingga meninggal. Surat tanah
yang dimiliki keluarga Ammah lengkap. Sidang memutuskan itu tanah
Ammah. Sia-sia Ammah meninggal karena orang angkara murka.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Jejak Jerit di Tambun Bungai ini meref-
leksikan bahwa beberapa program nasional belum sampai ke sasaran
di pelosok wilayah. Pengelola kegiatan belum melakukan penelitian
sebelum melaksanakan program. Perlu penelitian mendalam pada ke-
butuhan masyarakat yang akan menjadi sasaran kegiatan. Selain itu,
kondisi alam rusak di berbagai daerah sebagian besar disebabkan para
investor masuk daerah hanya untuk menguras sumber alam daerah.
Analisis dampak lingkungan terhadap wilayah tidak dilakukan dengan
maksimal. Program bagus seperti transmigrasi tidak dipelajari sisi
positif- negatif bagi kelangsungan hidup para transmigran. Pemerintah
kurang mengawal kegiatan. Kehidupan perlu administrasi untuk
menyatakan sah tidaknya eksistensi manusia di masyarakat.

283
Eksploitasi Alam
Yang Semena-mena
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Judul Buku : Luka Zamrud Khatulistiwa


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 134 halaman
Penulis : Agus Dwi Utomo, Karyani Tri Tialani,
Rahmi Namirotulmina, Yudianti
Herawati, Yustinus Sapto Hardjanto
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-14-9

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini mengisahkan masyarakat asli Kalimantan Ti­
mur yang tersingkir karena eksploitasi alam oleh para pengusaha. Gadis
dayak mengikuti para pendatang yang membawa budaya baru. Penduduk
sengsara, hutan habis dibabat dan sungai-sungai tercemar. Masyarakat
semakin miskin dan alam rusak parah.

LIMA INTI SARI BUKU


 Warisan moyang rusak.
 Eksploitasi Karst, ekspansi kebun sawit.
 Cagar Alam rakyat bukan bagi pengusaha.
 Upacara Kewangkey.
 Sungai tercemar di Samarinda.

SATU
Sahabat, puisi esai Agus Dwi Utomo “Tangis Ibu Masih Basah di
Pusara” mengisahkan kehidupan Suku Dayak Benuaq, Kalimantan
Timur. Penebangan pohon di hutan oleh korporasi besar membuat
hutan tidak lagi menyediakan kebutuhan hidup manusia.
Budaya tradisional, pertanian bercocok tanam di sekitar pinggiran

284
hutan,mulai terlupakan sejak tidak terkendalikannya penebangan hutan
oleh oknum. Baik personal atau secara kelembagaan oleh perusahaan
kayu yang disebut banjir kap. Banjir kap atau banjir kayu bundar adalah
masa-masa cerah di tambah dengan penemuan sumur-sumur minyak
dan gas alam menjadikan Kalimantan Timur menghadapi masa cerah
di kemudian hari. Masa banjir kap diawali sekitar tahun 1967 dan
awal tahun 1970-an. Kehidupan masyarakat pada masa banjir kap
hampir merata sejak dari pedalaman hingga ke muara Mahakam dan
sungai-sungai lainnya di Kalimantan Timur. Kesibukan penebangan
kayu, selain lewat RRI di umumkan berita panggilan kepada CV M
di Samarinda untuk si N di Tabang, harap kirimkan segera kayu yang
ada, kapal akan datang tanggal sekian, begitu sibuknya aktivitas pada
saat itu sampai lewat RRI mengumumkannya. Namun banjir kap itu
menampakkan akibatnya sekarang. Hutan-hutan gundul, tidak ada
lagi pohon yang dapat ditebang. Orang-orang menggerus tambang
hingga menyebabkan wilayah tercemar dan rusak. Hilangnya tradisi
ritual musim panen pada masyarakat Kalimantan Timur, hingga tragedi
korban tambang mencapai 27 orang anak yg meninggal di bekas
tambang, juga banjir yang nyaris setiap ada hujan telah menyebabkan
rakyat mengalami kesusahan. Penebangan hutan yang tidak terkendali
menyebabkan banjir di wilayah Kalimantan Timur.
Perempuan itu bertutur bahwa ia dilahirkan oleh seorang ibu
yang perkasa. Ia bermain dan besar di sini bersama delapan saudaraku
yang lain. Di balik meranti besar itu, ia sering bersembunyi dari kejaran
saudara-saudaranya saat bermainan petak umpet. Ada yang di balik
bengkirai atau di balik ulin. Hutan yang kekar memayungi belantara
ternyata hanya semusim, Ternyata hanya dalam dasa warsa hutan
rimba itu rata jadi semak belukar belaka. Tidak pernah terbayangkan
kalau semua itu begitu cepat musnah. Mereka harus mengolah lahan
dari sisa rusaknya lingkungan. Mengelola dari peninggalan yang
telah diwariskan yakni budaya nenek moyang. Perempuan itu belajar
menanam padi, jagung, singkong, juga palawija yang lain sebagai
kebutuhuan pokok kehidupan sehari-hari. Ia juga mengail, menjala,

285
atau cara lain mencari ikan. Selain itu juga memanah dan menjaring
burung. Tidak jarang, ia memburu binatang dengan anjing-anjing yang
setia menembus hutan semak belukar. Itulah budaya nenek moyang
untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang semua disiapkan alam.
Di situlah ia besar dan dewasa bersama alam dan kehidupannya.
Hutan belantara dengan burung-burung beraneka, binatang melata
bercengkerama bersama pepohonan yang menanunginya. Di dalam
kehidupan ya serba indah itu, ada saja perilaku orang yang jahat. Ia
diperkosa di tepian hutan tempatnya berada. Gadis Dayak itu hamil
diperkosa saat ke huma. Ibu perempuan itu mendatangi laki-laki yang
memperkosanya meminta pertanggungjawabannya karena anaknya
hamil. Laki-laki itu mau menikahi perempuan itu dengan membayar
cukup mahal dalam pernikahan itu. Ia juga harus membayar denda
adat yang berlaku karena perbuatan pelecehan terhadap seorang
gadis. Upacara adat denda ini disaksikan oleh masyarakat kampung
dan orang tua kedua calon mempelai. Upacara itu dipimpin oleh
Kepala Adat. Kepada siapa yang bersalah, baik pria atau pun wanitanya
akan ada sangsi hukuman dan denda dengan jalan menebusnya atau
menyerahkan antang (gong) kepada pihak yang tidak bersalah melalui
Kepala Adat. Jumlah antang yang diserahkan bergantung kepada
kemampuan dan beratnya kesalahan yang diperbuat pelakunya, jadi
bisa satu antang, atau dua antang dan seterusnya.
Akhirnya perempuan itu menikah dan tidak berapa lama ia
melahirkan anak perempuan diberi nama Genetika. Beberapa waktu
kemudian, laki-laki yang menikahi perempuan pergi meninggalkan anak
dan istrinya. Perempuan itu menikah lagi dan dikaruniai anak dua, laki-
laki. Ia beri nama Cahaya dan Surya. Sejak hutan dirusak dan digunduli
pohon-pohonnya, tidak ada lagi meranti yang menjulang tinggi. Tidak
ada lagi pohon lay tempat persembunyian anak-anak. Tidak ada lagi
ulin tempat perlindungan dari terik matahari. Semua sudah berganti.
Anak-anak bermain game on line atau chating. Hiburan mereka karaoke
di diskotik pup clubbing. Genetika terjerumus dalam kehidupan yang
dibawa orang asing ke tanah moyangnya. Ia tidak sekolah dengan

286
serius, hidupnya berpenampilan masa kini dan menjadi penghiburan
para mandor yang menebangi kayu-kayu di belantara. Genetika pun
terperosok di sana dan akhirnya dia hamil dan tidak jelas siapa yang
menghamilinya. Genetika bunuh diri minum obat serangga lantaran
malu hamil tidak tahu siapa ayah anak yang dikandungnya. Perempuan
itu sangat sedih mengalami semuanya. Ditambah lagi peristiwa yang
membuatnya tidak bisa apa-apa lagi, yaitu peristiwa tragis yang
menimpa kedua anak laki-lakinya. Daerah sekitar rumahnya banyak
lubang-lubang dalam bekas penggalian tambang berisi air. Cahaya dan
Surya meninggal tenggelam di lubang bekas galian tambang.

DUA
Sahabat, puisi esai Karyani Tri Tialani “Labuan Cermin Men-
dendangkan Luka” mengisahkan perlawanan warga Biduk-Biduk di
Ka- bupaten Berau Kalimantan Timur atas berdirinya pabrik semen
yang akan mengeksploitasi Karst Sangkurilang-Mangkalihat dan
ekspansi besar- besaran perkebunan sawit. Dampak pabrik semen
dan perkebunan sawit dikhawatirkan merusak ekosistem alam dan
sumber air, yang berakibat fatal terjadinya kerusakan lingkungan.
Maka, masyarakat melakukan aksi penolakan besar-besaran diikuti
para pegiat lingkungan dengan melakukan demonstrasi ke Kantor
Gubernur Kalimantan Timur, meminta pemerintah meninjau ulang
perizinan dan membatalkan berdirinya pabrik semen. Suara hati
masyarakat kecamatan Giring-Giring sampai ke Teluk Sulaeman dalam
demonstrasinya juga menyinggung rencana investasi pembangunan
wisata Labuan Cermin. Pabrik semen dan perkebunan sawit di
Kabupaten Berau Kalimantan Timur akan merusak ekosistem alam
dan sumber air, Demikian pula dengan rencana adanya investor yang
akan membangun Labuan Cermin sebagai tempat wisata andalan.
Mengingat dampak eksploitasi alam, maka warga masyarakat yang
wilayahnya berada di areal pembangunan melakukan aksi protes pada
penguasa. Dengan dibantu pegiat lingkungan, mereka memprotes
pemberian izin pendirian pabrik semen dan perkebunan sawit.

287
Penduduk Biduk-Biduk mengenalnya sebagai Ahmad dan Ramli.
Dua orang ini melihat kehidupan di sekitarnya semakin tidak ter­kendali.
Pemerintah membiarkan masyarakatnya tanpa peduli dan memberikan
kesempatan pada pengusaha dari luar daerah itu untuk mengeksploitasi
wilayahnya. Ahmad dan Ramli beserta warga masyarakat berdemonstrasi
ke Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Mereka meminta pemerintah
meninjau ulang perizinan dan membatalkan berdirinya pabrik semen
tersebut. Penguasa tetap mengizinkan berdirinya perusahaan, Ahmad
dan Ramli dipukuli polisi. Unjuk rasa yang dilakukan masyarakat untuk
menghentikan eksploitasi alam oleh korporasi besar dianggap hanya
angin lalu saja. Peserta aksi demonstrasi menolak pabrik semen dan
perkebunan kelapa sawit di Biduk-Biduk, Aksi dimulai berjalan dari
Tugu Perjuangan depan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Mulawarman menuju Kantor Gubernur Kalimantan Timur, di Samarinda.
Pada hari Selasa, 26 Oktober 2016, sekitar pukul 9.30, pukul 10.15
ratusan massa tiba di Kantor Gubernur, di bawah matahari terik
menyengat. Lima belas menit berselang truk molen semen melintas.
Seketika massa aksi menghentikan truk itu dan membentangkan
spanduk dan mereka berorasi bergantian. Pukul 10.45 terjadi pemukulan
terhadap Ahmad oleh Kepolisian dan Satpol Pamong Praja, Ahmad
ditendang, dipukul, dan diseret. Bibir memar, kuping dan leher lecet.
“Ini perjuangan, warga Biduk-Biduk berjuang agar sumber air terjaga,”
kata Ahmad. Bahkan Polisi tersulut emosi ketika massa mendesak
masuk ke Kantor Gubernur. Kepolisian lalu mengeluarkan anjing buas
untuk memecah aksi. Ramli dan warga Biduk-Biduk menyampaikan
kepada pemerintah bahwa di wilayahnya terdapat alam kehidupan,
petani, nelayan, pesisir pantai, dan sumber air melimpah. Kondisi alam
penopang dari objek wisata, harus dijaga. Tambang dan sawit akan
mematikan pendapatan warga. Labuan Cermin ialah satu objek wisata
air yang berlokasi di desa Labuan Kelambu, Kecamatan Biduk-Biduk,
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tempat wisata alam ini dikelola
oleh masyarakat sekitar dan bekerja sama dengan lembaga masyarakat
Labuan Cermin yang menanganinya. Ciri khas danau ini memiliki dua

288
rasa, asin di bagian dasar dan tawar dibagian permukaan. Dinamakan
Labuan Cermin karena airnya begitu bening dan mengkilap layaknya
cermin. Tempat wisata itu akan diserahkan pemerintah daerah ke salah
satu pengusaha dari luar daerah itu.
Ahmad berdiri di bibir dermaga. Tubuhnya luka-luka akibat
pukulan dari aparat pada saat demonstrasi. Hatinya sangat sakit, sesak,
dan nyeri karena terusir dari tanah sendiri. Ahmad membayangkan
kerusakan yang akan terjadi di alam ini mewariskan masalah besar
derita turun temurun. Maka ia bersama masyarakat lainnya menolak
pabrik semen yang akan dibangun dan perkebunan sawit. Beberapa
hari Ramli tidak melaut. Keadaan begitu genting, rapat demi rapat
dilalui. Ia ikut merumuskan tuntutan dan mendengarkan arahan dari
lembaga bantuan hukum. Sejak demonstrasi ke kantor Gubernur,
intimidasi mulai terasa, orang-orang tak dikenal memasuki kampung
mungkin ada yang menyusup sebagai mata-mata, ada juga wartawan
yang meminta konfirmasi. Mungkin juga dari perusahaan mengirim
tim untuk memecah kekuatan massa. Setiap orang yang dianggap
penggerak perlawanan diiming-imingi uang dan program-program
manis di masa yang akan datang. Kalau masih tidak mempan diancam
lewat oknum aparat. Dalam kondisi hidup susah ekonomi, pasti ada
yang tergoda menerima tawaran itu. Ada juga yang kukuh pada
keyakinan menolak sogokan. Ada juga yang diam- diam menjual
perkara. Hal sederhana menjadi rumit, Ahmad dan Ramli tercenung.
Mereka berdiri bingung seperti kambing dalam gerombolan harimau.
Diam mati lari pun akan mati

TIGA
Sahabat, puisi esai Rahmi Namirotulmina “Cagar Alam Abu-Abu”
menceritakan kondisi kawasan cagar alam Teluk Adang di kabupaten
Paser Kalimantan Timur. Desa Podong Baru yang merupakan kawasan
cagar alam terdapat kampung nelayan miskin yang tidak disentuh
pembangunan atau kegiatan apa pun selain konservasi. Tanah dan
rumah mereka juga tidak bersertifikat. Teluk Adang dan Teluk Apar

289
ditetapkan sebagai kawasan cagar alam melalui Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan Nomor 86 Tahun 1993. Dalam SK itu dinyatakan
cagar alam Teluk Adang luasnya 62.402 Ha dan cagar alam Teluk
Apar 46.900 Ha. Jauh sebelum Teluk Adang dan Teluk Apar ditetapkan
sebagai cagar alam, di kawasan itu sudah ada permukiman penduduk,
permukiman transmigrasi, dan bahkan pelabuhan nasional. Padahal,
suatu daerah dengan status cagar alam tidak bisa ada aktivitas apapun
kecuali konservasi. Sebelum Teluk Adang ditetapkan sebagai cagar alam,
Labatula dan penduduk desa Pondong Baru sudah lebih dulu beranak
pinak di sana. Hidup dan menghidupi alam sebagaimana mestinya.
Setelah desanya “terikut’ kawasan cagar alam, Labatula dan penduduk
desa lainnya tidak bisa mengurus surat kepemilikan tanah dan semua
aktivitas ekonominya terbatas pagar cagar alam.Selain itu desanya tidak
bisa dibangun oleh anggaran pemerintah manapun. Sebab lahan di
wilayah konservasi tidak boleh ada aktivitas apapun selain pelestarian
alam. Walhasil, desanya menjadi desa terbelakang dan penduduknya
dijerat kemiskinan. Begitu miskinnya Labatula sampai istrinya tidak
sanggup lagi menanggung kemiskinan. Istrinya pergi tanpa kata tanpa
bicara. Akhirnya Labatula menduda dan tinggal bersama tiga anaknya
di rumah panggung warisan nenek. Rumah panggung itu berdiri di
atas tanah yang tanpa payung hukum. Tanah tanpa hak kepemilikan,
tanpa sertifikat yang dicetak dinas pertanahan. Labatula tak punya
apa-apa. Cagar alam mencabut alas hak atas tanahnya. Labatula
berdiri di halaman rumahnya sambal merenung bahwa tanah halaman
itu adalah tanah tanpa alas. Tanah tanpa payung hukum yang jelas.
Di pihak lain, justru perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan
terus menerus merusak alam di atas cagar alam Teluk Adang. Bahkan
pemerintah membangun pelabuhan penumpang dan peti kemas untuk
memfasilitasi kelengkapan dan kemudahan transportasi perusahaan
tambang, perkebunan, dan kehutanan. Ironi, di saat penduduk “dipagari”
status cagar alam, justru pihak yang lebih berkuasa bebas di dalam
pagar cagar alam. Labatula menamainya cagar alam abu-abu. Cagar
alam bagi penduduk desa, namun bukan cagar alam bagi mereka yang

290
berkuasa. Mereka yang berkuasa memanfaatkan cagar alam untuk
eksploitasi kekayaan yang ada di tanah tersebut.
Labatula mengetahui ternyata ada tambang di atas tanah
cagar alam Teluk Adang. Perusahaan kehutanan memanfaatkan
kayu yang ada di cagar alam untuk ditebang. Labatula tidak sengaja
mencuri dengar pembicaraan bahwa pemerintah daerah punya peta
pertambangan yang diterbitkan namun disimpan, tidak dipublikasikan.
Di atas kawasan cagar alam yang tenang itu sangat lemah pengawasan
terhadap aktivitas apa saja yang berada di dalam cagar alam Teluk
Adang itu. Labatula adalah seorang nelayan di desa Pondong,
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Ia telah mendiami rumahnya,
mendiami pekarangannya, memaku hidupnya di sana semenjak nenek
moyangnya. Hanya saja, Labatula, seperti yang lainnya tak punya hak
kepemilikan lahan atas tanah yang menghidupi dan dihidupinya.
Tanahnya tak bisa dibangun ini itu, tak bisa diagunkan untuk modal,
tak bisa dijual. Cagar alam penyebabnya. Desa Pondong dan 29 desa
lain ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Penetapan cagar alam
telah membelenggu orang-orang yang telah mendiami tanah itu
jauh sebelum SK Penetapan Cagar Alam ditandatangani. Penetapan
cagar alam, sejatinya untuk melindungi ekosistem yang ada. Hanya
saja bila penetapan cagar alam dirumuskan melulu di atas meja, di
balik tembok kantor pemerintah pusat tanpa melihat kondisi riil,
banyak warga lokal ter”sandera”. Bahkan desa yang dilekati cagar alam
itupun, sulit menerima akses pembangunan. Mereka dijaga namun
sunyi dan sendiri. Labatula dan seperti yang lainnya, mematung
menyaksikan bahwa ia hidup di atas tanah tanpa alas hukum yang
pasti. Desa Pondong Baru adalah kampung nelayan miskin yang tidak
bisa disentuh pembangunan karena di wilayah cagar alam tidak boleh
dilakukan kegiatan apapun selain konservasi. Labatula lega ada berita
bahwa pemerintah kabupaten Paser Kalimantan Timur berencana
mengeluarkan desanya dan 15 desa lainnya dari status cagar alam
(enclave). Keputusan cagar alam yang ditetapkan membuat Pondong
Baru dalam garis kemiskinan, terisolasi akibat sulit pembangunan,

291
serta terbentur aturan dan perizinan. Desa akan dijadikan sebagai
kantong pemukiman atau enclave sehingga tidak akan mengganggu
kawasan cagar alam.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Yudianti Herawati “Gadis Dayak Dalam Tradisi”
ini mengisahkan kehidupan masyarakat Dayak Benuaq di Kutai
Barat, Kalimantan Timur. Orang-orang Dayak Benuaq berkulit sawo
matang, mata sipit, dan rambut lurus. Kata Benuaq berasal dari istilah
orang-orang Kutai yang membedakannya dengan kelompok suku
Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Pendapat beberapa ahli
mengatakan bahwa suku Dayak Benuaq berasal dari Dayak Lawangan
(langit ketujuh) bagian dari Dayak Ot Danum dari Kalimantan Tengah.
Lawangan juga merupakan induk dari Dayak Tunjung di Kalimantan
Timur. Kehidupan komunitas Dayak Benuaq sangat akrab dengan alam.
Mereka adalah pemburu binatang dan pencari buah-buahan hutan
yang andal. Mereka juga pandai meramu tumbuhan hutan sebagai
ramuan obat-obatan tradisional. Alam yang indah membuat mereka
bersahabat dengan lingkungan. Mereka lebih memilih hidup menjadi
petani, nelayan, dan berburu binatang di hutan (rusa, babi, dan tupai).
Mereka tidak membutuhkan pendidikan, barang-barang mewah. Dayak
Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Rumah tradisional
suku Dayak dikenal dengan sebutan lamin. Sebagaimana masyarakat
suku Dayak pada umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi
menempati rumah tinggal yang disebut lamin lou (rumah panjang
yang berbentuk panggung terbuat dari kayu atau ulin). Seperti halnya
dengan masyarakat lain, mereka juga memiliki telinga panjang karena
berat anting yang dipakai dan tato yang melekat di tubuh mereka.
Ukiran tato menunjukkan tingkat dan kedudukan sosial seseorang,
bergantung pada tingkatan golongan bangsawan atau bukan. Biasanya,
orang-orang suku Dayak Benuaq yang berumur di atas umur 30 tahun
gemar merokok dan makan sirih.
Laki-laki Dayak Benuaq dipandang sebagai sosok yang lebih kuat

292
dan lebih aktif, serta bersifat dominan, otonom, dan agresif. Sebaliknya,
perempuan Dayak dipandang sebagai makhluk lemah dan kurang aktif,
lebih menaruh perhatian pada mengasuh dan mengalah. Kondisi seperti
ini sangat memengaruhi ruang gerak, baik perempuan maupun gadis-
gadis Benuaq untuk mengembangkan jati diri secara mandiri. Agar
tidak tergantung pada laki-laki, mereka melakukan kegiatan dengan
cara membuat kerajinan tangan, seperti menyusun manik-manik pada
pakaian adat, mengayam tikar, tas, seraung, membuat kalung/gelang
dari batu dan manik.Ada tradisi upacara yang berlangsung secara terus-
menerus yang merupakan warisan leluhur hingga sekarang. Tradisi itu
masih dilakukan oleh generasi penerusnya. Tradisi upacara merupakan
pusat kehidupan orang-orang Dayak Benuaq. Setiap individu sejak bayi
sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia, harus menjalani ritual
upacara adat. Hal itu dilatarbelakangi oleh kepercayaan Kaharingan.
Kepercayaan Kaharingan bercirikan hal-hal yang supernatural, ritual
adat, dan praktik perdukunan tertentu. Upacara kwangkey, misalnya,
sebagai penghormatan terhadap seseorang yang meninggal dunia
yang terkait dengan kematian. Ini tradisi besar dalam kehidupan
masyarakat Dayak Benuaq. Tradisi kwangkey bertujuan melepaskan
roh dari jasad seseorang yang meninggal dunia untuk menuju alam
keabadian (surga). Pelaksanaan tradisi tersebut memang sangat lekat
dengan kehidupan masyarakat Dayak yang berkeyakinan Kaharingan.
Bahkan, dapat dinyatakan semua aktivitas kehidupan mereka selalu
diwarnai dengan keyakinan atas kekuatan mistis. Ciri khas dalam
ritual kwangkey yaitu semangat gotong-royong, tolong-menolong,
kekerabatan, dan kebersamaan.
Terkisahlah, di sebuah keluarga, ada seorang ibu menangis di
depan sebuah peti. Peti itu namanya lungun. Sudah satu tahun anak
gadisnya bernama Liung meninggal dunia ditelan buaya. Jasadnya
disimpan dalam lungun. Keluarga itu menggelar adat kewangkey, yaitu
ritual untuk anaknya agar rohnya damai di surga. Kehidupan seorang
gadis bernama Liung semasa hidupnya diceritakan dalam ritual adat
kwangkey. Dukun kematian sebagai pemimpin ritual merasa berhasil

293
mendatangkan roh Liung di tengah-tengah keluarganya. Sesajian
yang dihidangkan oleh keluarga, disantap secara gaib oleh roh Liung.
Perlengkapan pakaian dan alat-alat lain yang pernah dimiliki Liung turut
dipersembahkan dalam ritual adat sehingga warga setempat meyakini
kedatangan roh Liung. Ia gadis berwajah manis dan ceria. Tubuhnya
ramping, molek, cerdas, dan parasnya cantik. Orang-orang memberi
gelar bunga desa dan banyak pemuda desa ingin memiliki gadis manis
itu. Liung sangat dikagumi senyumannya. Semasa hidupnya, Liung
menjadi tumpuan keluarga. Ia mengasuh adik-adiknya, menganyam
tikar, dan mencuci pakaian. Liung rela tidak sekolah demi membantu
orang tua. Meskipun tidak sekolah, Liung pandai membaca dan menulis.
Ia juga terampil membuat tenunan dari ulap doyo dan mahir menyusun
manik-manik kecil pada pakaian adat. Liung juga pandai menari tarian
khas Benuaq. Saat Liung pergi ke sungai mencuci pakaian, ia ditelan
buaya. Buaya itu tertangkap dan warga mengeluarkan mayat Liung
dari perut buaya. Kini jasad Liung hanya berbentuk tulang-belulang.
Warga lamin suku Dayak Banuaq menggelar ritual adat mengantarkan
roh Liung ke Gunung Lumut, alam keabadian.

LIMA
Sahabat, puisi esai Yustinus Sapto Hardjanto “Dari Gumus Ke
Mumus” mengisahkan kehidupan di Samarinda, ibu kota Kalimantan
Timur. Kota yang tumbuh dari kesadaran geografis sebagai daerah
basah tak mampu menjaga adat dan adab. Semua itu tercermin pada
sungai Karang Mumus yang telah menjadi tempat sampah dan toilet
terpanjang. Kalimantan Timur mempunyai hampir semua materi
yang dibutuhkan warganya untuk sejahtera. Namun watak ekonomi
ekploitatif justru menyisakan beban ekologis yang membuatnya
kehilangan kedigdayaannya. Samarinda, kota yang tumbuh dari
kesadaran geografis sebagai daerah basah takmampu menjaga adat
dan adab. Semua itu tercermin pada wajah Sungai Karang Mumus,
sungai kebanggaan yang kini jadi tempat sampah dan toilet
terpanjang. Samarinda menyebut diri sebagai Kota Tepian, bermimpi

294
menjadikan sungai sebagai beranda ternyata sungai justru terus
menerus dinista hingga kehilangan sejarah jati dirinya. Kalimantan
Timur mendeklarasikan diri sebagai provinsi hijau, Samarinda
mendeklarasikan diri sebagai kota cerdas, sebuah selebrasi yang mesti
diuji dalam wajah sungainya, yaitu Sungai Karang Mumus. Samarinda
tidak mempunyai bahasa daerah. Bahasa yang dipakai dalam pergaulan
adalah percampuran dari beberapa bahasa daerah lainnya yang dibawa
orang bermigrasi ke Samarinda sejak lama. Salah satu yang paling
menonjol pengaruhnya adalah bahasa Banjar. Bekunyung, ciruk, betajun
dan behanyut adalah aktivitas di sungai yang berakar dari kata dari
bahasa Banjar. Bekunyung artinya berenang, ciruk artinya menyelam,
betajun artinya terjun ke air dan behanyut adalah menghanyutkan diri
mengikuti aliran air.
Tersebutlah seorang anak bernama Mustofa yang dipanggil
dengan nama panggilan Mumus. Ia tinggal di rumah yang berada di
tepi sungai yang semakin lama sungainya semakin sempit. Mustofa
sering mandi dan bermain bersama teman-temannya di sungai. Nama
sungai itu Karang Mumus. Kakek Mumus sering bercerita kepadanya
bahwa sungai di belakang rumahnya dulu airnya bening, airnya dalam
dan anak-anak bisa bermain petak umpet di dasar sungai bersembunyi
di balik bawah batang. Batang adalah sebutan untuk rangkaian kayu
gelondongan. Biasa dipakai untuk tambatan perahu dan diatasnya
dibangun bilik untuk mandi atau buang air besar. Di sungai itu masih
banyak ikan dan udang yang berbiak di bawah ilung, yaitu enceng
gondok. Ilung atau enceng gondok kerap dipandang sebagai gulma
atau tanaman pengganggu, tanaman yang tidak dikehendaki. Padahal
secara alamiah akarnya merupakan penyerap polutan dalam air, dan
ketika air surut akarnya akan menempel ke dasar sungai dan kemudian
saat air pasang, Ilung akan kembali mengapung dan meninggalkan
akarnya yang mengandung polutan di dasar sungai. Ilung juga bisa
dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan, pupuk, dan pakan.
Beragam binatang seperti burung, orang utan kadang ada di pepohonan
di tepi sungai. Saat itu bukit, lembah, dan sungai menyatu. Pada saat

295
itu banjir kap terjadi. Banjir kap adalah sebutan untuk masa-masa
keemasan ekonomi di Kalimantan Timur. Diawali pada tahun 1967
hingga tahun 1970-an. Saat itu perusahaan diberi hak untuk menebang
kayu di hutan dan menjual kayu gelondongan. Untuk menghayutkan
kayu dari hutan, penebang menunggu banjir datang. Pada masa itu ada
sekitar 99 perusahaan yang mendapatkan izin dengan luasan antara
5000 s/d 10.000 ha. Hutan dianggap tegakan pepohonan semata yang
dapat ditebas dan dijual sebagai kayu gelondongan. Lalu datanglah
pasukan pemotong pohon yang tidak ditanam di hutan. Mereka
mengubah rimba menjadi kebun dan permukiman. Dahulu saat kapal
pengangkut log Jepang memutar di muara Mahakam, pesut lari dari
Mahakam masuk ke Karang Mumus, hingga Sungai Dama. Anak-anak
terjun ke sungai berusaha memeluknya.
Sekarang, di sungai Karang Mumus hanya ikan cicak yang
hidup dan berbiak. Ikan putih, puyau, papuyu, berobok, dan haruan
menghilang. Samarinda adalah ruang pertemuan Kutai, Bugis,
Banjar, Jawa, Batak, Sunda, Cina, Madura, dan banyak yang lainnya.
Orang datang menempati lahan-lahan kosong lalu merasa memiliki
meski tanpa bukti. Tak peduli itu ruang sungai atau garis alir
drainase. Sungai tidak dirawat dengan baik. Pembuat tempe dan
tahu dan pemotong ayam selalu membuang limbah ke sungai.
Ketika itu, Kakek Mumus menyebut nama-nama pepohonan yang
hilang di sepanjang tepian sungai. Ada rumbia, putat, ipil, rambai
padi, kademba, bungur, rengas dan seterusnya. Itu sudah tidak ada.
Apakah generasi muda nanti tidak akan mengenal lagi pohon-
pohon itu? Bagaimana bentuk batangnya, daunnya, bunganya, dan
buahnya? Kini di tepian sungai hanya ditanami pohon trembesi.
Harusnya tepian sungai ditanami tanaman yang tahan terendam.
Tetumbuhan bukan sekadar menahan erosi tetapi menjadi filter
alami air hujan yang mengalir menjadi air permukaan. Pepohonan
juga menjadi habitat bagi berbagai jenis komunitas flora dan
fauna. Tanpa tetumbuhan, sungai akan kehilangan ikan dan udang,
akan kehilangan kicauan burung. akan kehilangan bekantan, akan

296
kehilangan keteduhan, dan akan kehilangan keasrian.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai luka Zamrud Khatulistiwa dari Provinsi
Kalimantan Timur telah membuat kita tahu bahwa pembangunan yang
bertujuan untuk menyejahterakan hidup dan kehidupan masyarakat
hanya untuk memperkaya oknum penguasa dan pengusaha. Masyarakat
hanya melihat pengambilan sumber daya alam di sekitarnya dan melihat
kerusakan wilayah setelah kegiatan tambang berakhir. Kehidupan
sosial juga berubah dengan masuknya para pekerja tambang dari luar
membawa budaya baru merusak tatanan adat dan budaya setempat.
Habitat hutan musnah dan pencemaran sungai mengakibatkan ikan
dan lainnya untuk lauk pauk menjadi tidak ada. Tanah garapan yang
selama ini mereka miliki diambil-alih oleh para investor dengan dalih
pembangunan.

297
Punahnya Sebuah
Suku Bangsa
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI KALIMANTAN UTARA

Judul Buku : Jiwa-Jiwa Yang Resah


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 138 halaman
Penulis : Eliasar, Muhammad Thobroni,
Rendy Ipin, Sapar Urotul Aliyah
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-03-3

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima tulisan tentang kehidupan suku Dayak
di perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, di Kalimantan Utara. Sa-
ngat menyedihkan suku Dayak yang kehilangan habitat hidup. Hutan
belantara lenyap. Bagaimana sebuah suku bangsa lenyap dari pe-
radaban dunia tergambar dalam tulisan di buku ini.

LIMA INTI SARI BUKU


 Lenyapnya tumbuhan dan hewan.
 Kesedihan suku Tidung.
 Dua sahabat berbeda pilihan.
 Garuda di dadaku, ringgit di kantongku.
 Permainan anak hilang.

SATU
Sahabat, puisi esai Eliasar “Air Mata Kayan” menceritakan Sei Kayan
di Kalimantan Utara. Sungai Kayan merupakan sungai terpanjang. Anak
sungainya meliputi Sungai Bahau dan Sungai Selor. Masyarakat Dayak
Kenyah di sepanjang tepian Sungai Kayan merupakan pewaris sah
kehidupan di sekitar sungai, termasuk hutan Kayan Mentarang yang

298
dijadikan taman nasional. Hutan ini menyisakan beberapa persoalan
bagi masyarakat adat Dayak. Hal lain, seperti pembabatan hutan
atau sawitisasi, serta pembuangan limbah ke sungai telah merusak
ekosistem sungai. Sungai sebagai sumber kehidupan masyarakat
dayak yang sehari-harinya mereka manfaatkan untuk mendapatkan
air minum dan yang lainnya. Tanah, sungai, dan hutan merupakan
tiga elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai
orang Dayak sejati. Selama berabad-abad, tiga elemen ini telah
membentuk identitas yang unik yang dikenal sekarang sebagai
orang Dayak. Orang Dayak dapat mempertahankan eksistensi dan
cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan tujuh prinsip
manajemen sumber daya alam, yaitu kesinambungan, kolektivi tas,
keanekaragaman, subsistensi, organik, ritualitas, dan hukum adat.
Orang Dayak hidup di belantara di rerimbunan daun-daun. Di tempat
tinggal pasti terdapat burung enggang. Di tepi sungai Kayan mereka
hidup damai dan tenteram bersama alam. Dulu di pedalaman Sei
Kayan hutan masih lebat dan banyak flora fauna. Sungai Kayan
menjadi tempat anak-anak Dayak bermain. Sungai Kayan adalah
sebuah sungai yang mengalir di pulau Kalimantan, dalam wilayah
provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. Anak sungainya meliputi Sungai
Bahau. Ini merupakan sungai terpanjang se-Kalimantan Utara. Sungai
Kayan ini berhubungan langsung dengan Selat Sekatak dan menjadi
napas kehidupan bagi warga sekitar. Dulu di pedalaman Sungai Kayan,
hutan masih lebat dan asri serta banyak flora dan fauna hidup. Di mata
anak-anak dayak, perusahaan-perusahaan menggunakan alat berat
merusak ekosistem di hutan Sungai Kayan, seperti perusahaan kelapa
sawit yang menggunduli hutan untuk proyek sawitisasi. Entah berapa
ribu dan juta hektar hutan Kalimantan tempat berdiam orang Dayak
dan berabad-abad dijaga kelestariannya oleh orang Dayak, sekarang
ini berubah menjadi kebun sawit dengan alasan kesejahteraan daerah
dan pusat. Perusahaan kelapa sawit menggunduli hutan untuk proyek
sawitisasi. Pengusaha perkebunan membabat batang ulin, lembaso,
meranti, dan juga rotan. Akar, daun, batang lapuk, ranting patah

299
terserak di sepanjang sungai Kayan, hanyut menuju muara menjadi
sampah. Dompeng dan poonton hilir-mudik menebar asap ke
udara membuat polusi. Perahu tradisonal masyarakat Sungai Kayan
semakin jarang. Semua mengunakan alat mesin tempel, sehingga
cara tradisonal mendayung punah. Sungai Kayan kian dangkal dan
gunung pasir menjulang di tengahnya. Sungai Kayan dulu sangat
bersih sekitar tahun 1990-an dan kini semakin banyak penduduk
tidak menghiraukan dampak telah membuang limbah dan sampah di
sungai, sehingga menyebabkan pencemaran. Kerusakan itu terutama
dipicu dan bersumber dari limbah perusahaan perkebunan sawit dan
penambangan. Masyarakat Dayak di sekitar sungai Kayan berharap
agar perusahaan yang telah membuang limbah dan merusak Sungai
Kayan sadar pentingnya Sungai Kayan bagi masyarakat yakni
sebagai sumber kehidupan yang utama. Sungai Kayan tepatnya di
Tanjung Selor bercabang, yaitu Sungai Selor. Pertemuan sungai itu
di daerah Kabupaten Bulungan. Kerusakan hutan tropis awalnya bisa
disebabkan banyak hal, misalnya karena pertumbuhan penduduk,
kemiskinan, masalah utang luar negeri,dan kondisi perekonomian
yang buruk. Namun, sebagian besar penyebab utamanya karena
perluasan lahan pertanian dan perkebunan, pembangunan berbagai
proyek swasta besar, serta eksploitasi berlebihan terhadap sumber
daya kayu. Sedangkan menyangkut penduduk asli disebutkan bahwa
selama berabad-abad, penduduk asli dalam memanfaatkan hutan
tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Bisa dikatakan bahwa
penyebab utama terjadinya kerusakan hutan ialah akibat sikap rakus
sebagian pendatang dalam mengeksploitasi lingkungan. Diperkirakan
penebangan hutan berlangsung dengan kecepatan sekitar 1 persen
per tahun, atau sekitar 20-40 hektar hutan hilang tiap menit.
Keberadaan hutan tropis, termasuk hutan di Kalimantan, terancam
oleh dua kegiatan, pertama adanya penebangan secara selektif,
terutama untuk menyediakan bahan baku industru kayu (Logs, sawn
wood, palywood); kedua adanya penebangan seluruh areal, baik
untuk kegiatan pertanian tebar bakar atau perladangan, membuka

300
perkebunan, peternakan, pertambangan atau industri kayu. Pada
era modern ini manusia berlomba-lomba mengeksplorasi kekayaan
alam di bumi. Di Indonesia juga tak luput dari hal itu, banyak sekali
perbuatan manusia pada saat ini seperti didaerah Kayan yang tidak
mempedulikan nasib lingkungan karena didorong oleh hasrat
keserakahan dan ketidakpuasan. Padahal mereka secara sadar
mengotori alam dengan membuang limbah-limbah di sungai yang
merusak ekosistemnya sehingga membuat air yang dulunya jernih
sekarang terlihat menjadi berwarna dan mengeluarkan bau yang
tidak sedap. Akibatnya flora dan fauna disungai mati dan menghilang.

DUA
Sahabat, puisi esai Muhammad Thobroni “Dongeng Sembakung”
mengisahkan kehidupan di tepian sungai Sembakung tentang punah­
nya tradisi mendongeng di kalangan masyarakat Tidung khususnya
masyarakat Tidung di tepian Sei Sembakung di Kabupaten Nunukan.
Masyarakat Tidung zaman dulu memiliki tradisi lisan cerita rakyat
yang luar biasa, dan digunakan sebagai sarana pewarisan nilai luhur
kepada generasi muda melalui berbagai cara. Namun, kini, cerita-
cerita kehidupan tentang masyarakat Tidung di Sembakung, Nunukan,
tampaknya lebih banyak menarasikan tentang kesedihan, kegetiran
dan ketidakberdayaan, yang bersumber pada makin menguatnya
eksploitasi alam seperti sawitisasi, dan juga bencana alam yang dipicu
oleh kerusakan hutan di hulu yang mengakibatkan banjir bandang.
Terkisahlah Kakek Ujang selalu bercerita tentang hal yang
membahagiakan kepada cucunya. Antara lain kisah tentang seorang
pemuda bernama Bentawol. Ia seorang pemuda yang miskin di
sebuah desa di tepian Sei Sibuku.Sungai itu terletak sekian ribu
depa dari beranda Sei Sembakung tempat kakek Ujang yang sedang
bercerita. Bentawol begitu menderita karena kemiskinannya itu.
Pekerjaannya mencari kayu bakar ke hutan di hulu, menangkap ikan,
dan mencari rotan serta damar jauh. Setiap hari Bentawol berangkat
pagi-pagi lalu pulang menjelang senja.Apa yang didapat hanya pas-

301
pasan untuk hidupnya. Pada suatu hari Bentawol pergi menyusuri
tepi Sei Sembakung mencari rotan damar dan madu hutan. Ia
beristirahat di tepian sungai lalu melihat ada Pelangi. Dari Pelangi itu
meluncurlah para bidadari dan mereka mandi bersuka ria. Bentawol
pergi menyembunyikan baju yang dikenakan salah satu bidadari itu
sehingga sang bidadari tidak dapat kembali ke atas langit melalui
pelangi. Bidadari itu menjadi istri Bentawol. Ujang sebetulnya ingin
sang kakek bercerita tentang kesedihan. Cerita Bentawol berakhir
bahagia, Bentawol memperistri bidadari. Selain dongeng Betawol
yang tak pernah berakhir jelas, kakek juga kerap berkisah tentang
Ibenayuk di kampung Menjelutung Sesayap. Dikisahkan dua kakak
beradik, laki-laki dan perempuan. Si kakak menjadi raja di hulu dan
Ibenayuk berkampung di hilir menjadi ratu. Pada zaman dahulu, adat
mereka, jika ada orang mati di kampungnya, maka orang beramai-
ramai memukul gong berpesta pora. Ada yang menari, ada yang
menangis. Orang kampung Ibenayuk tak kenal mati sebab, ada
pohon Tenggilang di sana. Setiap orang kampung sakit, dibawalah ke
bawah pohon itu. Sakitnya pun sembuh total. Bila orang sudah tua,
pergilah ia duduk di bawah pohon, maka ia akan muda kembali. Lalu
untuk apakah semua dongeng itu disampaikan hanya berisi tentang
kebahagiaan dan tidak ada kesedihan?
Ujang ingin kakeknya bercerita tentang kesedihan. Kali ini kakek
akan bercerita tentang kesedihan. Kata kakek, kehidupan sekarang ini
menurut kakek adalah kehidupan penderitaan. Di antara penderitaan-
penderitaan yang terus berbaris di sepanjang tepian Sei Sembakung,
masih pentingkah dongeng-dongeng tentang kesedihan? Kesedihan
tetaplah kesedihan, disampaikan ataukah tidak, kesedihan tetaplah
kesedihan. Kerusakan ekosistem alam sudah tidak terbendung lagi di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berkembang pesatnya perkebunan
kelapa sawit yang terus masuk ke berbagai daerah. Dampak negatif
mengenai hal tersebut pun mulai dirasakan pada dewasa ini.
Ancaman kepunahan satwa liar telah terjadi pada pengelolaan
lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan. Pertumbuhan sub-

302
sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan
ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya
untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan
area perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya
ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia. Konversi hutan
alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin menggila
karena keinginan pemerintah yang menjadikan Indonesia sebagai
produsen minyak sawit terbesar di dunia. Hutan adalah rumah bagi
keanekaragaman hayati dunia, jutaan binatang dan tumbuhan.
Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli yang bergantung hidup kepada
hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Program sawit di wilayah
perbatasan Indonesia – Malaysia di pulau Kalimantan tentu saja
sangat diminati oleh investor, karena lahan yang ditunjuk pemerintah
untuk perkebunan sawit adalah wilayah hutan. Sebelum berinvestasi
para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar, berupa kayu
dari hutan dengan mengurus surat Izin Pemanfaatan Kayu kepada
pihak pemerintah. Sei Sembakung sekarang selalu banjir. Sungai
penuh sampah ranting dan dahan- dahan pohon. Kata kakek, dahulu
ada gajah Sebuku, bentuknya kerdil dan berbadan bulat, bertelinga
besar, dan berekor panjang. Gajah kerdil menjadi penanda bahwa
suku Tidung pernah punya hutan luasnya tiada kira. Gajah Sebuku
melegenda dipercaya menolong manusia dan melindungi dari petaka.
Perkebunan sawit membumihanguskan pohon ulin, lembasong,
meranti, dan rotan-rotan. Hutan belantara suku Tidung disulap
menjadi kebun sawit. Kakek menepuk bahu Ujang mengingatkannya
tentang sejarah yang hilang. Kebun sawit menguras gizi tanah dan
mengirimkan banjir ke wilayah suku Tidung.

TIGA
Sahabat, puisi esai Rendy Ipin “Kemelut Yujang Dan Ancui” bercerita
tentang dua orang sahabat yang selalu bersama saat remaja dan
berpisah di usia dewasa dengan pilihan hidup masing-masing. Daerah
perkampung pesisir dihuni orang-orang Tidung yang kian tergusur

303
dan terusir oleh pembangunan dan kehadiran orang-orang rantau
yang terus merangsek demi kemajuan dan uang. Suku Tidung adalah
salah satu suku asli di Kalimantan yang juga mendiami sekitaran
pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Anak-anak muda
asli Kalimantan Utara resah karena tersisih pembangunan yang tak
pernah mengakomodasi kemampuan dan kebutuhan lokal mereka.
Mereka kurang terdidik secara akademi dan tidak mempunyai keahlian
khusus. Kebijakan pembangunan sejak Tarakan berdiri, bahkan
bertumbuh sebagai kawasan Bulungan yang menjadi bagian dari
Kalimantan Timur lampau, terus menggerus dan menggeser peran-
peran sosial ekonomi dan sosial politik orang-orang lokal Tidung di
Tarakan. Mereka kemudian banyak berpindah ke pedalaman, ke daerah
Tana Tidung dan Malinau sekarang ini. Sedangkan mereka yang terus
bertahan di Tarakan, seperti menghadapi tarik-ulur yang belum selesai,
antara dunia yang terus bergerak liar, pembanguan nasional dan lokal
yang terus berjalan tanpa pernah memedulikan kebutuhan batin
masyarakat Tidung. Kesulitan mengakses pekerjaan, ketidaksiapan
bersaing menempuh pendidikan setinggi mungkin, akses ekonomi
yang lemah, dan jaringan sosial yang rentan, menyebabkan anak-
anak muda Tidung Tarakan mengalami keresahan. Sebagian lantas
terjebak narkoba, pengangguran, dan persoalan sosial lain.
Yujang ingin berjumpa dengan Ancui sahabat lamanya. Dari
album foto, Yujang teringat kebersamaannya dengan Ancui. Mereka
bergiat di bidang seni di panggung. Ancui mahir bermain musik, Yujang
menjadi fotografer. Sejak terjadi konfik antara masyarakat Tidung dan
masyarakat Letta yang memakan banyak korban, Yujang dan Ancui
terpisah. Mereka tidak lagi bermusik dari panggung ke panggung.
Peristiwa silam pada tahun 2010 terjadi konfik antar dua kelompok
masyarakat, yakni masyarakat Tidung dan masyarakat Letta. Awalnya
hanya terjadi singgungan antarinvidu menyebabkan terjadinya
cekcok dan berakhir tewasnya satu orang. Dari sinilah pemicu
terjadinya konflik secara meluas. Selama sepekan kota itu mencekam.
Dentuman senjata berpelatuk dan senjata tajam digunakan di mana-

304
mana. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Seluruh keluarga,
anak, ibu, bapak, nenek mencari perlindungan aparat.
Saat Yujang dan Ancui menjadi dewasa, kebutuhan untuk hidup
meningkat. Saat pembangunan semakin berkembang, orang bekerja
mencari penghasilan untuk mendapatkan gaji yang besar agar
penghasilan itu dapat memenuhi kebutuhan hidup. Yujang harus
terus mengutamakan isi dapur, ia menjadi guru dan Ancui menjadi
pengedar sabu dengan dalih banyak saudara dan sanak keluarga yang
harus ditanggung. Yujang ingat kata-kata Ancui. Yujang diharapkan
tidak usah mengungkit masa lampau. Ancui sudah paham bagaimana
dapat menghasilkan uang yang banyak dengan cepat. Itu ia lakukan
karena keluarganya mengharapkan uang darinya untuk keperluan
hidup. Saudara-saudara Ancui memerlukan dana untuk pendidikan
yang begitu mahal. Ancui harus bekerja untuk mendapatkan uang
secara cepat dan banyak. Ia berani mempertaruhkan nyawa untuk
mendapatkan uang itu. Ia juga harus bertanggung jawab kepada
orang tua yang semakin hari semakin menua. Ancui ditangkap dan
dipenjara karena pekerjaannya. Yujang ingin bertemu dan mendatangi
lembaga pemasyarakatan di hari raya. Tetapi ada informasi Ancui
telah bebas. Yujang mencari Ancui tapi jejakmya tak kelihatan. Kata
orang, Ancui diburu petugas. Yujang diberi kabar melalui telepon
kalau Ancui ditangkap lagi.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Sapar “Sketsa Cerita Dari Ladang Kami” men-
ceritakan suku Dayak Kalimantan Utara di perbatasan negara In-
donesia-Malaysia. Kehidupan mereka bergantung pada hutan yang
kelestariannya dijaga agar hewan dan tumbuhan bisa berkembang
biak untuk keperluan hidup. Suku Dayak Belusu menetap di daerah
pedalaman Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Di hutan pedalaman,
di aliran Sei Menyeriot, dan di kampung terjadi pergolakan di tambang
emas tradisional. Perubahan terus terjadi dalam kehidupan masyarakat
Dayak Belusu di sekitar Sekatak, Bulungan. Problem hidup kekinian

305
adalah suara yang tersembunyi pada masyarakat Dayak tentang tarik-
ulur yang modern dan tradisional, yang merusak dan melestarikan, dan
yang menyerang dan bertahan. Masyarakat Dayak Belusu melakukan
perlawanan karena kesal, jengkel, sekaligus getir atas ketidakberdayaan
masyarakat menghadapi gempuran modernitas dan keserakahan modal
yang terus menggerus lingkungan hidup mereka. Baik lingkungan
fisik hutan dan sungai, maupun lingkungan sosial budaya yakni adat
istiadat dan tradisi yang kian susah bergerak. Kehidupan suku Dayak di
Kalimantan Utara bergantung padahutan. Mereka menjaga kelestarian
hutan bukan untuk mereka pribadi tetapi suku Dayak menjaga agar
hewan dan hutan yang ada di sekitar mereka bisa berkembang turun-
temurun. Tradisi ini sangat penting karena suku Dayak sudah terbiasa
hidup di dalam hutan hingga beranak dan bercucu dan kebutuhan
mereka sudah tersedia ada di hutan.
Waktu demi waktu berlalu, zaman ke zaman berubah, perubahan
silih beganti. Pohon besar menjadi bangunan besar. Jalan setapak
dan hamburan duri rotan kini menjadi menjadi aspal, semua berganti
drastis. Di hutan, pohon diganti dengan sawit. Katanya hanya butuh
sedikit lahan, namun realita mereka hanya menyisakan sedikit hutan.
Hewan-hewan liar lari mencari tempat untuk makan. Perubahan
besar telah terjadi dan nyaris menghapus kehidupan suku Dayak
seperti punahnya suku Indian di Amerika. Hutan ditebang kayu-kayu
habis dibabat. Kehidupan berladang tidak dapat dilakukan lagi oleh
suku Dayak. Berladang adalah tradisi mata pencaharian orang Dayak.
Mereka melakukan kegiatan ladang berpindah. Tujuannya memberi
kesempatan bekas ladang yang telah digunakan untuk kembali pulih
dan menormalisasi tanah ladang. Mereka memilih ladang baru yang
masih segar tanahnya. Hutan yang digunakan sebagai ladang baru
pun dipilih yang batang pohonnya sudah tua, tidak sembarang tebang
dan bakar. Dengan cara itulah orang Dayak melestarikan hutan
sebab hutan adalah kampung mereka, hutan adalah nyawa mereka.
Orang Dayak melaksanakan ritual terlebih dulu sebelum melakukan
kegiatan berladang. Kegiatan ritual dimulai dengan tarian dan doa

306
keselamatan agar ladang mereka panen baik. Selain itu, ritual juga
diyakini sebagai cara meminta izin kepada “penunggu” dan “yang
punya” lokasi berladang. Di sinilah penghargaan dan penghormatan
orang Dayak terhadap alam, sehingga mereka menyatu jiwa raga
dengan alam. Setelah itu diadakan kegiatan menugal, yaitu kegiatan
di awal berladang, setelah melakukan ritual lalu babat alas atau
menebang batang pohon dan membersihkan ilalang atau rumput liar.
Kemudan mengumpulkannya hingga kering untuk dibakar agar tanah
menjadi subur. Batang-batang besar yang sudah tua, digunakan
sebagai bahan membuat rumah semi-permanen di tengah hutan,
mereka akan berada di tempat tersebut selama musim tanam
hingga beberapa waktu panen. Mereka akan memutuskan berpindah
dalam beberapa waktu bila dirasa tanah ladang sudah saatnya
dinormalkan kembali.
Kondisi kehidupan itu dihancurleburkan dengan membongkar
seluruh ladang dan rimba untuk ditanami sawit. Para pengusaha
mengatasnamakan pembangunan negara menanam kelapa sawit.
Pohon sawit mengisap air tanah dan sungai sehingga tanah menjadi
gersang. Masyarakat Dayak yang biasa berladang mengubah hidupnya
dengan bertanam sawit. Lingkungan menjadi rusak, kering dimusim
kemarau dan banjir di musim hujan. Selain menanam sawit juga
marak penambangan emas ilegal. Ini terjadi tidak lepas dari masalah
ekonomi. Ladang bertanam musnah sehingga sebagian warga menjadi
penambang emas ilegal. Penduduk membawa sawit ke Malaysia karena
di Indonesia tidak ada tempat menjual sawit. Mereka kembali ke
Indonesia membawa barang kebutuhan pokok yang harganya murah.
Mereka bernyanyi “garuda di dadaku, ringgit di kantongku”.

LIMA
Sahabat, puisi esai Urotul Aliyah “Dalam Bayang-Bayang Cabang
dan Lain Permainan di Tengah Remang” bercerita tentang beberapa
permainan anak yang hilang dari kehidupan di wilayah Kalimantan
Utara. Itu adalah hasil pemotretan atas problem batin masyarakat

307
di Kalimantan Utara. Gambaran itu menyuarakan sisi lain keresahan
dan kegelisahan masyarakat Dayak rumpun Tidung di Salim Batu
dan Tanjung Palas di Bulungan. Khususnya terkait dengan makin
punahnya permainan tradisional. Bagi kaum tua, punahnya permainan
tradisional dianggap ancaman dan kemunduran, mengingat permainan
tradisional adalah modal sosial merajut kerukunan, keguyuban,
kebersamaan, dan kekeluargaan. Permainan tradisional seperti
cabang dan lepokan dianggap sebagai cara merayakan keragaman
dan kegembiraan. Namun, kini generasi muda lebih terlena dengan
hal-hal berbau modern seperti gadget dan game online. Gencarnya
arus globalisasi khususnya teknologi informasi terus menggerus
sendi bangunan adat budaya masyarakat Tidung yang memiliki nilai
luhur melalui permainan tradisional. Ini adalah bagian dari usaha
untuk mengenang kembali permainan tradisional yang kian punah,
dan berkeinginan untuk mengajak kembali masyarakat memainkan
permainan tersebut. Meski dengan segala keterbatasan, seperti
makin berkurangnya lahan permainan dan kesempatan waktu untuk
memainkan.
Bungan kecantikannya tersohor dari hulu hingga hilir Sei Kayan.
Ia duduk di tepian sungai yang pasang. Rumput-rumput dan ilalang
liar merangas. Di padang yang lapang, di tepian Kayan itulah dulu,
Bungan bersama dengan sanak sebaya bermain Kukkuwuk. Permainan
seperti apa itu? Kukkuwuk merupakan permainan tradisional suku
Tidung, serupa petak umpet di daerah lain. Cara bermainnya pun mirip.
Hanya saja, biasa anak-anak Tidung memainkannya di tanah lapang
di sekitar hutan atau tepian sungai. Setelah hitungan sepuluh atau
hitungan yang telah disepakati bersama, misalnya jika wilayahnya
terbuka, hitungan biasanya ditambah menjadi 15 atau 20.
Dikisahkan Bungan seorang perempuan berasal dari hulu
hingga hilir Sei Kayan mengenang beberapa permainan di masa
kecilnya. Tempat bermain itu sekarang telah digusur oleh bangunan.
Hutan tempat mencari bahan permainan tergantikan perkebunan
kelapa sawit. Bungan ingat di tepi hutan terdapat tanaman saled

308
yang diambil buahnya untuk dimasukkan ke dalam lubang. Juga
permainan yeyek, seperti lompat karet tapi karetnya dari rotan. Dulu
kakak-kakaknya bermain lepokan, yaitu bola tanah diluncurkan dari
atas ke bawah hingga bola yang tertimpa hancur. Ia ingat ranting-
ranting pohon digunakan bermain lele-lelean atau bentik. Sekarang
apa lagi yang tersisa? Kemanakah Bungan harus mengenalkan
keberanian, ketangkasan, dan kekompakan kepada anak. Mereka asyik
bermain gadget atau game online melalui internet. Anak-anak lahir
dari rahimnya direnggut oleh teknologi.
Kini Bungan hanya dapat terduduk di tepi Sungai Kayan yang
airnya surut. keberadaan permainan tradisional semakin sulit
ditemukan dalam kehidupan anak-anak. Anak zaman sekarang
cenderung lebih suka memainkan jenis-jenis permainan ‘modern’
yang lebih memfokuskan kepada pola berpikir atau kecerdasan otak.
Di sisi lain, karena keterbatasan lahan menjadikan anak semakin
jarang melakukan permainan tradisional, sehingga jenis permainan
tradisional pun semakin tidak dikenal dan asing baginya. Padahal di
satu sisi di dalam permainan tradisional sangat sarat dengan nilai-nilai
budaya yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan dan pendidikan
anak. Nilai kebersamaan, saling tolong-menolong, nilai kepemimpinan,
sebenarnya merupakan nilai budaya yang sangat penting untuk
menghadapi kondisi saat ini. Oleh sebab itu, keberadaan permainan
tradisional anak perlu untuk dilestarikan dan disosialisasikan kepada
anak sampai kapan pun. Teman-teman sebaya Bungan telah pergi
entah kemana. Sebagian telah sibuk beranak-pinak, sebagian lain
bertempat tinggal di Malaysia, negeri jiran negeri tetangga. Mereka
mendulang ringgit untuk anak cucunya. Tidak ada lagi Kukkuwuk,
hanyutlah ia bersama aliran Sei Kayan entah kemana berubah menjadi
ranting-ranting patah dan dahan- dahan yang lapuk merana. Lahan-
lahan telah tiada, kebun-kebun dijual pemiliknya, hutan-hutan berganti
perkebunan sawit. Sepanjang tepian Kayan telah berdiri megah beton-
beton atau pancangan tiang menggantikan kehidupan silam.

309
REFLEKSI
Sahabat,buku puisi esai Jiwa-Jiwa yang Resah hasil karya lima penulis
Provinsi Kalimantan Utara patut dibaca dan menjadi bahan perenungan.
Setelah membaca buku ini semoga kita dapat tergerak dengan cara apa
pun mengembalikan keindahan belantara di Kalimantan Utara. Kelima
puisi esai menggambarkan betapa parahnya hutan belantara dirusak
oleh manusia Indonesia yang berdalih pembangunan negara tetapi
menyengsarakan rakyat. Hampir seluruh wilayah suku Dayak musnah
budayanya. Hutan yang dibabat melenyapkan nilai-nilai kehidupan
suku Dayak. Pesan leluhur yang mengandung kearifan lokal suku
Dayak punah. Pemerintah ikut andil dalam memusnahkannya.
Pengerukan sumber daya alam yang membabi buta sampai saat ini
belum juga berhenti.

310
Pulau
Sulawesi

311
Soal Kepahlawanan dan
Kekerasan Terhadap Perempuan
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SULAWESI SELATAN

Judul Buku : Kisah Sang Penantang


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 129 + xii halaman
Penulis : Ahmad M. Sewang, Fahmi Syariff, Idwar
Anwar, M. Anis Kaba, Rusdin Tompo
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-06-4

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini memberikan informasi tentang perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangat kepahlawanan
dan nasionalisme muncul ketika kolonial bertindak kejam dan
sewenang-wenang. Raja dan raja kecil meninggalkan takhtanya demi
membela tanah air. Selain itu, kasus kekerasan terhadap perempuan
dikisahkan buku ini.

LIMA INTI SARI BUKU


 Sia-sia hidup di istana tanpa kemerdekaan.
 Mati membela tanah air.
 Jangan tergiur takhta dan kekayaan.
 Perjuangan pahlawan.
 Kekerasan terhadap perempuan.

SATU
Sahabat, puisi esai “Srikandi dari Mandar, Pemimpin KRIS Muda
Andi Depu” Ahmad M. Sewang mengisahkan pejuang wanita dari
Sulawesi Barat. Ia bernama Andi Depu, anak bangsawan Mandar,

312
permaisuri dari Raja Balanipa. Ia rela bercerai dengan suaminya
karena suaminya prokolonial. Andi Depu diusulkan sebagai pahlawan
nasional. Andi Depu pejuang Wanita yang lahir di Tinambung Sulawesi
Barat di awal abad ke-20. Ia anak bangsawan Mandar, permaisuri dari
Raja Balanipa. Ia berbeda visi dengan suaminya yang prokolonial. Ia
berpisah dengan suaminya demi perjuangan kemerdekaan. Andi Depu
mendirikan kelaskaran Kebaktian Rahasia Islam Muda disingkat KRIS
Muda. Laskar KRIS Muda ini lahir setelah proklamasi, kelanjutan dari
laskar pada zaman kolonial Belanda yang dipimpin oleh Amman
Wewang dan Ammana Pattolawali, kemudian menyusul pergerakan
Islam Syarikat Islam dan Muhammadiyah dan Jon Islaminten Bond
(JIB) masa pendudukan Jepang. Pada waktu itu Jepang mendarat di ibu
kota Afdeling Mandar, Majene, Februari 1942. Jepang awalnya diterima
hangat karena telah membebaskan rakyat dari kolonial
Belanda. Jepang pun sadar Sulawesi Barat mayoritas muslim.
Jepang mengirim Umar Faisal, muslim Jepang fasih bahasa Arab. Ia
mendirikan Jamiyah Islamiyah, organisasi Islam satu-satunya yang
disubsidi pemerintah ‘Negeri Sakura’. Jepang pun mendirikan sekolah
Islam, Kai Kyo Gakuin di kota Majene. Setelah kedudukan Jepang kuat,
mereka mulai bertindak semaunya. Jepang lebih ganas dari kolonial
Belanda. Gadis-gadis dibawa pergi dengan alas an disekolahkan tetapi
hanya jadi budak nafsu. Sikap itu mengundang antipasti dari ulama dan
tokoh adat. Kekecewaan lebih terasa lagi saat persiapan Perang Pasifik,
rakyat dipaksa menanam tumbuhan, hasilnya diserahkan ke penguasa.
Ternyata Jepang lebih ganas dari kolonial Belanda. Rakyat hidup
penuh derita di bawah kekejaman militer Jepang. Setelah Indonesia
mem­ proklamasikan kemerdekaannya, Jepang menerimanya lewat
Myasta Taico, Kapten Angkatan Darat Jepang. Berita itu segera me­
nye­bar di Mandar para pemuda gembira dan mengibarkan bendera
merah putih di mana-mana. Sementara unsur kolonial, para pejabat
di era penjajah melancarkan isu propaganda Belanda akan kembali.
Merekalah pemenang perang. Kemerdekaan Indonesia dianggapnya
khayalan. Dengan nada sinis mereka berkata, “Bagaimana mungkin

313
merdeka, jarum sendiri tak mampu dibikin”. Ucapan itu melukai hati
pejuang hingga menyebabkan terjadi pertikaian. Gerakan rakyat tak
terbendung. Perampasan senjata Jepang terjadi di banyak tempat.
Untuk mengoordinasikan perjuangan dibentuklah KRIS Muda yang
dipimpin Andi Depu dan dipusatkan di Balanipa. Para antek kolonial
percaya bahwa Belanda akan kembali. Para pejuang pun menghadapinya
melalui penyebaran pamflet yang bunyinya beraneka macam: “Pegawai
kolonial tak ada tempat dalam RI!”, “Awas, hai antikebenaran perhitungan
pasti datang!”, “Indonesia merdeka penjajah mampus!”, “Kalau tak mau
merdeka silahkan ke neraka!”. Tentara sekutu masuk di Mandar pada
bulan Oktober tahun 1945 dipimpin oleh Brigjen Iwan Dougherty.
Mereka bermaksud melucuti Jepang dan memulangkan ke negerinya.
Mereka akan membebaskan tawanan perang. Namun, kedatangan
sekutu disambut curiga oleh rakyat Mandar. Di belakang tantara sekutu
terdapat tentara NICA yang menginginkan kolonial Belanda berkuasa
Kembali. Rakyat Mandar menentang NICA. Namun sekutu menjamin
bahwa mereka datang hanya melucuti Jepang dan memulangkan
mereka ke negerinya. Kenyataan justru sebaliknya, ketika sekutu
memasuki Sulawesi Barat, atas bantuan sekutu NICA dapat menduduki
perkantoran dan mengisi tangsi dengan serdadunya. NICA mulai
melakukan politik adu domba. Pasukan NICA bersenjata lengkap
mengepung istana A. Depu ingin menurunkan merah putih yang
berkibar di halaman istana. Di tengah kepungan NICA, semangat heroik
A. Depu maju tak gentar. Ia menggeser kepungan NICA merangkul
tiang bendera sambil berteriak kepada NICA, Jika ingin menebang
tiang bendera, langkahilah mayatku lebih dahulu. Semangat heroik
A. Depu membuat tentara NICA ciut dan mengurungkan maksudnya.
Sejak peristiwa mempertahankan bendera merah putih oleh A. Depu,
perlawanan pada tentara NICA terjadi di banyak tempat.
KRIS Muda berubah jadi gerakan kelaskaran bersifat militer luar
tantara. Hal itu telah mendapat pengesahan dari Menteri Pertahanan.
Sebagai panglimanya adalah A. Depu. Kelaskaran itu dilengkapi
pengurus dan divisi untuk jaringan ke pemerintah pusat. A. Depu

314
mengutus dua aktivis, yaitu Abd. Malik dan Abd. Rauf untuk melaporkan
situasi perlawanan ke pemerintah pusat di Yogyakarta. KRIS Muda
pun memperluas jaringan membentuk aktivitas di luar Sulawesi
Barat. Abd. Malik dan Abd. Rauf ditugaskan aktif mengambil bagian
perjuangan bekerja sama badan perjuangan lain untuk mencegah
politik devide et inpera. KRIS Muda sejak awal berdirinya sampai
terbentuknya NKRI di bawah kepemimpinan A. Depu telah melakukan
serangkaian perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Andi Depu
dalam perjuangannya tak kenal menyerah. Lebih baik ia menderita di
penjara daripada menyerah pada penindas. Ia pun memilih jalan terjal
sekalipun sudah di zona nyaman sebagai seorang bangsawan Mandar
dan permaisuri. Ia pun harus mengorbankan rumah tangganya demi
idealism menuju Indonesia merdeka.

DUA
Sahabat, puisi esai “La Temmu Page” Fahmi Syariff mengisahkan
La Temmu Page. La Têmmu Pagê’ Daéng Parênring putra/putri bang­
sawan yang dipersiapkan menduduki jabatan penting dalam birokrasi
kerajaan Bone. Ia putra bangsawan dari Bontorihu bergelar Arung Labuaja.
Arumpone, Raja Bone puas melihat La temmu Page mendapatkan rusa
dalam perburuan.Raja Bone ingin La Temmu Page mengalahkan orang yang
telah membunuh satu orang istana Bone. Arumponé yang bertubuh kurus
itu mengangkat La Temmu Page menjadi panglima perangnya. Arumponé
bercerita bahwa ratusan tahun yang lalu, Belanda membantu kakeknya, La
Tênritatta’ Toappatunru’ Arung Palakka. Sesungguhnya bantuan itu jalan
untuk Belanda menguasai seluruh daratan untuk kepentingan mereka.
Mereka telah mengadu-domba kakek Arumponé untuk melawan Raja
Gowa, I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin. Arumponé
meminta bantuan La Temmu Page untuk menghadapi Belanda, karena
mereka akan datang lagi. Arumponé berpesan kepada La Têmmu Pagê, jika
ada sesuatu tentang kerajaan sampaikan saja pada To Marilalêng, perdana
menteri yang mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan dalam budaya
Bugis pada periode lontara’.

315
Arubbakka’ adik tiri Arumponé berkata pada La Têmmu Pagê
bahwa ia menyesalkan pemerintahan kakaknya yang tidak mau
menghimpun kerajaan lainnya untuk mengusir Belanda. La Têmmu
Pagê hanya mendengarkan perkataan itu. Arubbakka’ lagi-lagi
berkata bahwa ia terus menantikan kematian kakaknya agar ia dapat
menggantikannya menjadi raja Bone. Arubbakka’ meminta La Têmmu
Pagê’ datang ke rumahnya membicarakan rencana pembunuhan
Arumponé. La Têmmu Pagê’ kemudian menemui Tomarilalêng. Mereka
berbincang-bincang tentang rencana Arubbakka’, dan akhirnya mereka
sepakat akan membunuh Arubbakka’. Pada suatu malam, La Têmmu
Pagê’ mendatangi rumah Arubbakka’ sesuai kesepakatan. Di atas tikar
pandan beranyam halus, keduanya duduk berhadapan. La Têmmu Pagê’
mendengarkan rencana Arubakka’. Pada rencana itu dikatakan saat
Arumponé memanggilnya dia akan melaksanakan pembunuhan itu.
Menurut Arubakka’ semua orang istana tahu, jika ia bersama Arumponé
saya selalu berkisah tentang apa saja. Arumponé akan tertidur
karena kelelahan. Saat itu, Arubakka’ akan membekap mulutnya dan
menusukkan badik ke dadanya. Kematiannya tanpa keributan belum
cukup, tiap bekas harus dihapus. Karena itu pada saat yang sudah saya
bicarakan dengan teman kepercayaan akan terjadi kebakaran dan itu
tugasnya. Ia akan berkata meninggalkan raja saat pulas mendengkur.
Arubakka’ akan membunuh Arumponé dengan badik warisan ayahnya.
Arubakka’ memperlihatkan badik kepada La Têmmu Pagê dan
memberikannya untuk dipegang. La Têmmu Pagê mencabut badik dari
sarungnya dan menancapkan ke tubuh Arubbakka’ berkali-kali hingga
meninggal. La Têmmu Pagê lalu membakar rumahnya.
Pada awal 1905 Kompeni Belanda mengirim pasukan militer dari
Batavia dengan kekuatan 17 kapal perang. Beberapa utusan lantas
ke istana. Itu adalah utusan terakhir menghadap Arumponé disertai
ancaman untuk merebut pelabuhan Bajoé dan Pallimê’ secara militer
apabila tidak diberi izin. Tapi Arumponé tetap menolak dengan tegas.
Karena itu Adê’ Pitué atau Dewan Kerajaan bersidang membicarakan
ancaman Kompeni Belanda. Arumponé memutuskan dan me­

316
merintahkan Panglima Angkatan Perang Kerajaan mempersiapkan
per­tahanan. Tanggal 27 Juli 1905 perang berkobar, antara lain di: Bajoé,
Tippulué, Pékkabata, Pallimê’, Bênna’, Lalêngbata, sampai Watamponé.
Dan, 30 Juli 1905, Watamponé, ibu kota Kerajaan Bone, direbut tapi
istana sudah kosong. Belanda memasuki wilayah Bone akan menangkap
Arumponé, akan tetapi Arumponé tidak ada lagi. Seseorang mendatangi
kantor Belanda untuk menunjukkan tempat persembunyian Arumponé.
Belanda mendatangi persembunyian dan menemukan La Têmmu Pagê.
Saat itu, La Têmmu Pagê’ menjangkau badik dan membenamkannya
ke tubuh Tuan Pétoro’, pemimpin mereka. Rentetan tembakan
memberondong tubuh La Têmmu Pagê’. Tubuh itu perlahan terkulai tapi
tetap berdiri tersangga dari dalam dan dari luar diri. Bumi tempatnya
lahir besar dewasa menyambutnya kembali. Peristiwa itu terjadi
saat Belanda mengumumkan sayembara. Belanda menguasai istana
Raja Bone. Belanda membuat sayembara siapa yang dapat memberi
keterangan persembunyian Arumponé dan La Têmmu Pagê’, akan diberi
hadiah dua ratus ringgit. Sesaat kemudian datanglah pribumi bernama
Sampara’ Daeng Malewa. La Têmmu Pagê’ menyamar sebagai Sampara’
Daeng Malewa untuk bertemu dan membunuh langsung Tuan Pétoro’.
Setelah membunuh Tuan Petoro, ponggawa itu pun tewas ditembak
serdadu Belanda. Saat tubuh Tuan Pétoro’ menyentuh meja, tangan La
Têmmu Pagê’ yang terulur itu langsung menjangkau badik mencabut
lalu membenamkannya ke tubuh Tuan Pétoro’ berkali-kali hingga Tuan
Pétoro’mati. Rentetan tembakan menghambur dari tiga lop senapan.
Semuanya bersarang di sekujur tubuh La Têmmu Pagê’yang menyamar
menjadi Sampara’ Daeng Malewa.
Tubuh itu perlahan terkulai tapi tetap berdiri tersangga dari
dalam dan dari luar diri. Bumi tempatnya lahir, besar, dan dewasa
menyambutnya dengan senyuman. Masyarakat terinspirasi semangat
juang La Temmu Page dan anak cucunya pun menjadi tokoh publik
menjadi teladan dan panutan. Keturunan Latemmu Page yang menjadi
tokoh publik sekarang ini adalah Andi Alfian Mallarangang, Rizal
Mallarangang, dan Syafrie Syamsuddin.

317
TIGA
Sahabat, puisi esai “Takhta untuk Republik” Idwar Anwar ini be­
rcerita tentang perjuangan Andi Jemma, Datu (Raja) Kedatuan Luwu
dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun
ia bertakhta di Kerajaan Luwu pada tahun 1935, tetapi yang berkuasa
tetaplah penjajah Belanda dan kemudian Jepang.
Perjuangan Andi Jemma, Datu (Raja) Kedatuan Luwu dalam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia begitu me­nyeng­
sarakannya. Bagaimana ia harus meninggalkan Istana Luwu pa­da Pe­
ristiwa Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946.
Dalam pemahaman masyarakat Luwu kuno, tersebutlah Boting
Langi’ (Negeri Dunia Atas). Dalam kosmologi masyarakat Luwu
(Sulawesi Selatan) di kenal ada tiga pembagian dunia yakni Dunia Atas
(Boting Langi’), Dunia Tengah (Ale Lino) dan Peretiwi (Dunia Bawah).
Pada mitologi masyarakat Luwu, Sulawesi Selatan pada umumnya,
meyakini La Toge’ Langi’ sebagai manusia pertama yang diturunkan
di Luwu atau biasa disebut To Manurung. La Toge’ Langi’ merupakan
sebutan lain untuk Batara Guru saat berada di dunia. Bermunculanlah
kampung dan onggokan gunung-gunung berderet dan perbukitan
berbaris menyusun jarak dan lembah. Lalu menghampar laut laut,
danau, dan sungai. Andi Jemma dilahirkan di Salassa’, sebuah istana
dari kayu sangat kuat yang dibangun dengan segala perhitungan
keramat dan penuh dengan magis. Andi Jemma adalah adalah Raja
Luwu ke-36. Ia lahir dan tumbuh dari pergolakan ke pergolakan. Ia
tak pernah terpikir harus berhadapan dengan segala perdebatan dan
kelicikan saat dipilih menjadi raja. Benarlah harta, tahta, dan wanita
dapat menjadi perusak moralitas jika tak terkendali dengan ajaran
agama. Andi Jemma sebelumnya adalah cenning, yaitu jabatan yang
biasanya diberikan kepada seseorang yang nantinya akan menjadi
raja atau datu, menggantikan raja (datu) sebelumnya. Jabatan cenning
dalam pemerintahan di Kedatuan Luwu, khusus dijabat oleh keturunan
datu/pajung yang berstatus ana’ mattola. Pemilihan dan pengangkatan
cenning dilakukan oleh Dewan Hadat. Jabatan cenning dapat dianggap

318
seperti “putra mahkota” yang akan dipersiapkan kelak untuk diangkat
menjadi Datu/Pajung Luwu, jika Datu/Pajung Luwu yang sedang
berkuasa turun tahta karena mangkat atau mengundurkan diri.
Karenanya, pemilihan cenning sangatlah ketat dan penuh kehati-hatian.
Orang yang diangkat menjadi cenning haruslah memiliki pengetahuan
yang luas, utamanya tentang adat dan pemerintahan. Dan yang paling
pokok, seorang cenning harus mempunyai moral yang baik dan tidak
mempunyai catatan hitam sepanjang hidupnya dan keluarganya
(latar-belakang hidupnya dan keluarganya baik).Dalam melaksanakan
tugasnya cenning mempunyai hak/tugas untuk mewakili Datu/Pajung
dalam persidangan, bilamana Datu/Pajung berhalangan. Di samping
itu, seorang cenning juga berwewenang untuk menentukan keadaan
darurat atau perang, jika Datu/Pajung berhalangan. Andi Jemma
harus berhadapan dengan penjajah yang selalu mengadu domba dan
menciptakan intrik. Ia bertakhta di tahun 1935, tapi yang berkuasa
tetaplah penjajah Belanda. Para penjilat merajalela, kaki tangan mereka
merasuk hingga tulang sumsum kerajaan. Mereka menebar kecurigaan,
menyabung fitnah, dan mengaduk-aduk persatuan negeri. Andi Jemma
merasa hidup dalam bayang-bayang penderitaan rakyatnya, orang-
orang tak berdaya dalam cengkeraman ganas penindasan penjajah.
Jepang tiba di Luwu pada tahun 1942. Kekejaman yang dilakukan Jepang
begitu meresahkan rakyat Luwu. Di mana-mana terlihat kekerasan dan
kekejaman Jepang. Mereka menendang, memukul, menempeleng, dan
memperkosa wanita-wanita dengan tidak memandang bulu. Mereka
juga memaksa rakyat Luwu untuk menyembah bendera dan sujud ke
arah Matahari Terbit dengan maksud menyembah “Tenno Heiko”,
Mikado Jepang setiap pagi.Tindakan ini tentunya sangat
bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh sebagian besar
rakyat Luwu. Hal itu menumbuhkan kebencian dan dendam yang
sangat mendalam. Setelah itu kembali masuk penjajah Belanda yang
meminta untuk menurunkan bendera merah putih. Andi Jemma berkata,
jika bendera Belanda itu dikibarkan, pasti saya dibunuh oleh rakyat. Jika
bendera Merah Putih yang sedang berkibar di luar saya turunkan, saya

319
pun pasti dibunuh oleh rakyat. Oleh karena itu, saya lebih memilih mati
dari pada saya harus mati dibunuh oleh rakyat saya sendiri. Kalimat ini
yang membuat tentara Sekutu yang telah dipengaruhi Belanda tidak
bisa berbuat apa-apa dan membiarkan bendera di depan Istana Luwu
tetap berkibar saat itu. Pada tanggal 21 Januari 1946 satu brigade
tentara NICA atau KNIL menginjak-injak dan merobek- robek Alquran
di Masjid Jami Bua. Tomandjawani, sang penjaga masjid lelaki separuh
baya itu berlumur darah mulutnya dihantam sepatu lars. Beberapa
giginya jatuh dan kepalamya ditetak bayonet berkali-kali. Begitu
kejamnya penjajah pada waktu itu. Mengapa manusia begitu kejam
pada manusia. Beruntung penjaga mesjid ini tidak meninggal. Tapi
penderitaan yang menimpanya menjadi salah satu pemicul perlawanan
Rakyat Luwu 23 Januari 1946. Andi Jemma harus meninggalkan Istana
Luwu pada peristiwa perlawanan rakyat Luwu. Andi Jemma akhirnya
ditangkap dan ditawan dari satu penjara ke penjara lain selama 2
tahun dan akhirnya diasingkan ke Ternate selama 20 tahun. Andi
Jemma dibebaskan dan pada tanggal 23 Februari 1950. Kapal Kasimbar
mengantarkannya kembali ke tanah kelahiran. Kini ia hidup dalam
keadaan miskin di alam kemerdekaan. Jiwa yang merdeka jauh lebih
bermakna daripada raga yang merdeka tapi jiwa terpenjara. Hanya satu
yang didapat dari negeri yang selama ini dibela, yaitu selembar tanda
jasa Pahlawan Nasional.

EMPAT
Sahabat, puisi esai “Elegi buat Robert Wolter Monginsidi” M.
Anis Kaba mengisahkan perjalanan dan perjuangan Robert Wolter
Mongonsidi. Ia tergolong anak yang cerdas dan suka membaca. Ia
menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Jepang. Ayahnya
seorang peladang kebun kelapa di Malalayang. Siapa pun pasti
mengenal Robert Wolter Mongonsidi. Ia adalah pahlawan asal Sulawesi
Selatan yang mati ditembak oleh penjagal Westerling. Keharuman
nama Robert sudah terlihat sejak belia karena ia tergolong anak yang
cerdas dan suka membaca. Kecintaannya kepada buku didukung oleh

320
kemampuannya menguasai beberapa bahasa, seperti bahasa Belanda,
Inggris, Jerman, dan Jepang. Ia melanjutkan pendidikan sekolah
menengahnya di Makasar dan mulai berkenalan dengan para pejuang
kemerdekaan di masa sekolah menengah tersebut. Semasa sekolah di
Makasar tersebut itu pula, Robert muda mulai membuat huru-hara dan
terlibat dalam barisan kaum pergerakan melawan penjajah Belanda
(NICA). Perlawanan yang digerakan oleh Robert Wolter Monginsidi
kemudian menimbulkan peperangan yang dikenal dengan SOB, yakni
perlawanan rakyat Sulawesi. Ia sering lolos dari tahanan tapi akhirnya
tertangkap juga dan dijatuhi hukuman mati oleh Belanda, menyusul
korban 40.000 jiwa yang sudah dibantai oleh Westerling.
Robert Wolter Monginsidi ayahnya peladang kebun kelapa di
Malalayang, sebuah desa di tepi pantai di luar Kota Manado. Di saat
Belanda berkuasa. Robert sekolah HIS. Ayahnya hidup penuh disiplin
untuk bekal anaknya di hari mendatang. Robert diceritakan sebagai
anak yang cerdas, nilai rapor yang tinggi, sering kepala batu, tapi teguh
pendirian termasuk anak yang tampan dari saudara-saudaranya yang
lain. Namun penuh kesederhanaan dengan sepatu tua ke sekolah
dan pakaian yang sangat sederhana. Gurunya pernah belas kasihan
padanya. Robert, anak ketiga dari delapan bersaudara. Saudaranya
sebetulnya sebelas, tetapi tiga saudaranya sudah berpulang.
Robert mencintai bahasa dan kesusastraan. Ketertarikannya
pada bahasa dan sastra dilakukan karena ia ingin memperlancar
bahasa Inggrisnya. Ketika balatentara Jepang menguasai pedesaan,
segala aturan dikeluarkan untuk dilaksanakan. Barang siapa tidak
patuh akan ditawan. Hasil panen kebun, semua diambil Jepang. Robert
meninggalkan kampung halaman pergi ke Luwuk Banggai dalam usia
tujuh belasan menjadi guru bahasa Jepang. Ia tidak lama berdiam di
Banggai. Ia ingin meneruskan pendidikan dan berangkat ke Makassar
mencari sekolahan. Mulanya hendak masuk sekolah Jepang tetapi di
tolak karena bukan bangsawan. Lalu ia masuk ke sekolah Chugako tapi
tidak puas sehingga is berangkat ke Watampone dan Rantepao dan
bekerja di salah perusahaan Jepang.

321
Kemenangan tidak selamanya di tangan Dai Nippon “Saudara Tua”.
Mereka mulai melatih para pemuda Indonesia di bidang ketentaraan
yang nantinya akan dijadikan tameng melawan sekutu yang akan datang
ke Indonesia. Kekalahan Jepang telah di ambang pintu pada tahun
1945. Di mana-mana di medan pertempuran Jepang terus-menerus
menderita kekalahan. Kenyataan ini mendorong pimpinan tertinggi
Balatentara Jepang yang bermarkas di Delath, dekat Pnem Peng,
sebelah utara Saigon kembali mendengungkan janji Kemerdekaan.
Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1945 Panglima Tentara XVI, Kumakici
Harada, mengumumkan pembentukan Wadah Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan. Saat Hirosima dan Nagasaki dihancurkan dan
Jerman di Eropa telah dikalahkan, Kaisar Jepang menyatakan kekalahan.
Kemerdekaan Republik Indonesia pun diproklamasikan. Para pemuda
yang tergabung beberapa kelaskaran menyatakan mendukung Republik
Indonesia. Lalu armada sekutu di bawah pimpinan Australia mendarat
di Sulawesi Selatan. Para tawanan perang dari Jepang dibebaskan.
Namun Belanda masih ingin kembali menduduki Indonesia. Mereka
berada di belakang sekutu untuk menguasai lagi Indonesia. Pemuda
Robert, yang bekerja di perusahaan Jepang di Rantepao, kembali ke
Makassar. Robert mendengar berita, ada sekolah menengah didirikan,
yaitu SMP Nasional, oleh Dr. Ratulangi, Lanto Dg. Pasewang. Robert
berusaha masuk untuk melanjutkan pendidikan. Di sekolah itu Robert
berkawan dengan beberapa anggota kelaskaran. Kecintaan Robert
pada ilmu pengetahuan sangat tinggi. Buku tak pernah lepas dari
tangan. Sesibuk-sibuknya dalam perjuangan, ia sering menghilang
dari kumpulan, menyendiri, meneruskan bacaan. Robert menulis sajak,
sesuai zamannya, tentang kehidupan, tentang cinta tanah air, ia berkata
bahwa berkorban untuk tanah air itu mendekati pengenalan pada
Tuhan Yang Maha Esa. Pada waktu itu, Belanda kembali berkuasa. Di
tahun 1946 mereka mendirikan Negara Indonesia Timur dengan ibu
kota di Makassar, Sulawesi Selatan. Para pejuang lelaki dan perempuan
turun ke medan laga mengadakan perlawan. Huru hara terjadi di kota
dan pedesaan setiap hari dan setiap malam.

322
Robert dan kawan-kawannya, seperti Maramis, Aliman, Yuritman,
Anwar Said, dan Abdullah Hadade menghadang beberapa tentara
lawan dalam penyerbuan. Mereka gagah berani menghadapi lawan
yang menggunakan beratus senapan dilengkapi mobil tank dan
Meriam. Robert dan teman-temannya menggunakan tombak dari pe­
desaan. Panglima perang Belanda menerjunkan pasukan 5 Desember
1946, Westerling datang. Aksi pembantaian massal diadakan. Robert
Wolter Monginsidi telah membangkitkan semangat perlawanan
rakyat Sulawesi terhadap Belanda. Robert dikejar-kejar Belanda dan
ditangkap. Robert dijatuhi hukuman mati. Keesokan harinya, usai
penembakan hukuman mati, keluarga Robert menggali kuburnya
di tempat penembakan. Jenazah Robert dibawa dan dimakamkan
di Pampang, Sulawesi Selatan. Puluhan ribu rakyat mengantarkan
jenazahnya. Beberapa tahun kemudian Robert diangkat oleh Panglima
Tertinggi Indonesia sebagai Maha Putra dan Pahlawan Bangsa.

LIMA
Sahabat, puisi esai “Bunga Jalanan” Rusdin Tompo mengisahkan
seorang gadis yang hidup di jalanan kota Makassar. Sejak usia 6 tahun,
ia tumbuh di jalanan kota Makassar dalam beragam aktivitas: sebagai
pemulung, pengemis, menjual tisu, juga koran. Aisyah namanya. Ia
gadis berusia belum genap usia 6 tahun menjadi pengemis jalanan.
Sering hingga malam tangannya masih disuruh tengadah menanti
rasa iba orang di perempatan lampu merah. Usia anak-anak yang mulai
melakukan aktivitas di jalanan bisa masih sangat belia, beberapa data
menyebutkan anak-anak mulai mengemis pada usia 4 tahun.
Namun di sinilah duduk soalnya, ketika pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan pendefinisian berbeda terkait
batasan usia tersebut. Padahal, ini akan berdampak pada intervensi
program terhadap anak-anak jalanan tersebut. Departemen Sosial
(Depsos), pernah membatasi anak jalanan hanya pada mereka yang
masih berusia 7-15 tahun. Sedangkan, Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) menggunakan batasan usia 13-15 tahun untuk

323
bisa disebut sebagai usia anak jalanan. Apa pun sebutannya Aisyah
hidup di jalanan. Aisyah tidak sendiri. Adiknya yang berusia 5 tahun
ikut bersamanya. Namanya Anto. Aisyah senang bersama Anto karena
adiknya suka bercanda. Ayahnya menjadi pengayuh becak, namun
seiring banyaknya ojek, becak tersingkirkan. Ayahnya kehilangan
penghasilan dan sering melampiaskan kemarahan pada anak-anaknya.
Ibunya bekerja sebagai buruh cucian, tetapi sejak ramai penggunaan
mesin cuci dan laundry kiloan, pekerjaan ibunya berkurang. Itu
mengakibatkan pendapatan keluarga juga berkurang. Akhirnya ibunya
beralih pekerjaan menjadi payabo, yaitu istilah lain untuk menyebut
pemulung. Kata paboya (bahasa Makassar), berarti mencari sesuatu
yang berkaitan dengan pekerjaan. Payabo memang biasanya mencari
barang bekas yang masih bisa dijual. Mereka berkeliling menggunakan
becak atau hanya bermodalkan karung untuk menaruh barang dan
benda-benda yang dipungutnya dari tempat sampah. Awalnya, payabo
hanya dilakukan oleh lelaki, bisa terdiri dari satu atau dua orang. Satu
orang dewasa yang bertugas mengayuh becak, sedangkan anak-anak
bertugas memungut sampah atau barang bekasnya. Belakangan
dilakukan oleh ibu-ibu sembari membawa anak-anaknya yang masih
balita di atas becak yang sudah dimodifikasi untuk menaruh anak-
anaknya tersebut. Setiap kali bekerja, ibunya mengajak berkeliling
menggunakan becak ayah, memulung sampah mengais limbah sisa
buangan rumah tangga atau sampah ruko. Aisyah senang menemani
ibunya, tak ubahnya tengah bertamasya. Jalanan menjadi ruang
bermain sekaligus tempat mencari uang. Ibunya selalu mengawasinya
lantaran menjaga dari razia Polisi Pamongpraja. Pernah Aisyah terjaring
Satpol PP saat tertidur tak bisa menahan kantuk di trotoar atau median
jalan beralaskan kardus bekas atau lembaran koran. Ia dipaksa naik
ke atas mobil patroli kota dan dibawa ke panti sosial. Ia tidak bisa
sekolah karena tidak punya akte kelahiran. Ibunya pun bercerita, saat ia
dilahirkan hanya dibantu bidan. Setelah itu tak pernah resmi dicatatkan.
Jadilah anak yang tak punya kewarganegaraan.
Aisyah masih di jalan, juga Kadir, Rudi, Dian, dan Yuyu dengan

324
berbagai kisah mengapa mereka di jalanan. Kadir kabur dari rumah
karena tak betah terkena marah dari orang tuanya. Rudi sering
disundut rokok, badannya penuh bekas luka melepuh. Dian terbiasa
ngelem, katanya biar tak puyeng didera persoalan. Yuyu sering batuk,
ruang dadanya bertumbuh kerak dingin malam. Aisyah berganti
pekerjaan sebagai penjaja koran di perempatan jalan. Kadang Aisyah
berdagang tisu, atau menawarkan penyeka pada pengendara. Ayah
dan ibunya menganggap lumrah. ibunya terus menuntutku tabah
dan ayahnya mengatakan jangan resah. Ayah dan ibunya masih terus
bertengkar. Ayahnya sering mabok dan jika marah akan memukuli dan
menendang ibunya dan kadang dirinya. Di rumah Aisyah merasa tak
aman. Di jalanaan jadi mangsa preman, Uangnya sering dirampas dan
tubuhnya dijadikan bahan pelecehan. Aisyah juga merasakan jatuh
cinta. Ia jatuh cinta pada pengamen bernama Hamzah Sulaiman,
panggilannya Anca. Cinta Aisyah pada Anca tak bertepuk sebelah
tangan. Bersamanya selalu membuat Aisyah merasa nyaman. Namun,
ibunya menganggapnya masih gadis ingusan dan melarannya pacaran.
Ayahnya melarang dengan mengancam Aisyah dengan parang.
Kebutuhan hidup membutuhkan banyak uang. Ibunya meminjam
uang pada rentenir demi biaya pengobatan. Aisyah diminta ikut
mengangsur, biar mereka diizinkan menumpang di rumah kontrakan.
Terbiasa hidup susah membuat Aisyah kuat diterpa musibah. Ketika
ibunya menjual keperawanannya seharga sejuta rupiah Aisyah terpaksa
bersedia. Akhirnya lengkaplah Aisyah sebagai anak jalanan perempuan.
Anak jalanan perempuan punya siklus hidup berbeda dengan anak
jalanan laki-laki. Kecenderungan alih ‘profesi’ yang berbeda antara
anak jalanan perempuan yang bekerja sebagai pengemis dengan
anak jalanan laki-laki pada aktivitas yang sama. Bila anak jalanan laki-
laki berganti pekerjaan dari pengemis menjadi pedagang asongan,
sebaliknya anak jalanan perempuan berganti pekerjaan dari pengemis
menjadi pekerja seks. Aisyah sudah melakoni semua, meminta-minta,
ikut memulung, mengamen asal nyanyi asal bunyi, berjualan tisu serta
koran, kini ia menjadi pelacur.

325
REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Kisah Sang Penantang ini ditulis lima
penulis dari wilayah Sulawesi Selatan. Empat tulisan mengisahkan
perjuangan pahlawan di wilayah Sulawesi Selatan yang patut
diteladani. Para tokoh itu mengabaikan kepentingan pribadi demi
kepentingan kemerdekaan Indonesia. Para tokoh itu memilih terjun
dalam perlawanan menghadapi penjajah. Satu tulisan terakhir
mengisahkan anak perempuan yang sejak kecil sampai dewasa
mengalami kekerasan dalam hidupnya. Banyak anak yang menderita
karena orang tuanya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Akhirnya
si anak berjuang untuk dapat hidup membantu orang tuanya dengan
mengorbankan dirinya sendiri. Pemerintah tidak membantu situasi
yang dihadapi anak yang hidup miskin di jalanan.

326
Realitas Kehidupan Sosial
di Sulawesi Barat
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SULAWESI BARAT

Judul Buku : Mantra Laut Mandar


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 109 halaman
Penulis : Adi Arwan Alimin, As’ad Sattari,
Sri Musdikawati, Subriadi Bakri
Juhaepa, Syuman Saeha
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-05-7

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan realitas sosial, politik, dan
ke­manusiaan di Sulawesi Barat. Provinsi ini dihuni oleh Suku Mandar
yang memiliki mitos dan kearifan lokal pada cara hidup mereka. Laut
dan nelayan menjadi latar cerita tentang rakyat miskin yang sangat
menderita.

LIMA INTI SARI BUKU


 Keteladanan yang makin menjauh.
 Miskin dan sangat kurang gizi.
 Perilaku politikus yang hedonis.
 Si pemakan hati manusia.
 Gadis yang malang.

SATU
Sahabat, puisi esai Adi Arwan Alimin “Mata Air Mandar” berkisah
tentang Provinsi Sulawesi Barat setelah berpisah dengan Provinsi
Sulawesi Selatan. Sulawesi Barat merupakan provinsi ke-33 di Indo­
nesia. Tahun 2017, Provinsi ini berusia 13 tahun. Ini hikayat tentang
sebuah rumah Boyang berpetak 13, dikiaskan bahwa Boyang berpetak

327
13 itu menggambarkan Sulawesi Barat sebagai rumah (boyang) yang
berumur tiga belas tahun. Meski terbilang provinsi baru, budaya
Sulawesi Barat bukan lagi primitif. Ia telah berkembang jauh dari
adat istiadat kehidupan masyarakat Suku Mandar yang menjadi
salah satu ikon budaya peradaban masyarakat Sulawesi Barat.
Rumah Boyang rumah panggung terbuat dari dari kayu ditopang
tiang-tiang kayu balok berukuran besar dua meter tingginya. Tiang-
tiang itu menopang lantai, menopang atap rumah. Tiang-tiang itu
ditumpangkan pada sebuah batu datar agar kayu tak cepat melapuk.
Seluruh ornamen pada rumah itu menyimbolkan aturan kehidupan
yang ditaati warga suku Mandar. Sulawesi Barat mempunya anutan
yang menjadi pedoman hidup berasal dari suku Mandar.
Pascaperayaan HUT Provinsi Sulawesi Barat, 22 September
2017, beberapa harapan menjadi angan-angan. Setiap orang telah
menitipkan catatan tentang refleksi 13 tahun Sulbar. Pembangunan
fisik memang tampak di beberapa wilayah di Sulawesi Barat, meskipun
belum maksimal oleh karena waktu dan anggaran. Jembatan atau
jalan melewati hutan-hutan belum tersentuh pembangunan, dan
itu jauh dari ruh pembentukan provinsi. Sangat menyedihkan ketika
terdengar beberapa pejabat terjerat dugaan kasus korupsi. Padahal
Sulawesi Barat baru berdiri dan sedang menata kehidupan alam
dan masyarakatnya. Seharusnya Sulawesi Barat tidak lagi selalu
bersembunyi di balik pernyataan “Kita merupakan provinsi yang muda
di Indonesia, senantiasa masih harus terus belajar”. Bukankah seluruh
penduduk saat wilayah itu akan dimekarkan sudah siap dengan
konsekuensi berdiri sebagai provinsi sendiri dan menjadi baru sebagai
sebuah wilayah. Warga dan pemangku kepentingan pemekaran
provinsi pasti mempunyai visi dan misi. Mereka mempunyai rencana
bagaimana provinsi baru itu dapat segera berkembang dengan
kekuatan alam di wilayahnya itu.
Banyak persoalan sosial dan ekonomi yang harus dibenahi. Gene­
rasi muda seharusnya mempertahankan kearifan lokal dan mewarisi
keandalan pendahulunya sebagai nelayan ulung. Bagaimana mungkin

328
memiliki semangat bahari jika tidak ada bantuan pada nelayan dari
pemerintah. Nelayan terjebak ijon yang menjerat kehidupan. Jangan
sampai ‘bangsa’ pemakan ikan ini justru akan abai sumber ikan
yang dilahapnya setiap hari. Situasi Provinsi Sulawesi Barat seperti
kehilangan marwah dan semangat dari para penggagasnya, karena
penguasa atau para pejabatnya banyak yang telah menyelewengkan
kekuasaan dengan melakukan tindak pidana kejahatan korupsi.
Seharusnya, para pejabat atau penguasa bisa meneladani para raja
atau pemimpin masa lalu dengan menjaga dan menegakkan rasa malu
melakukan korupsi. Dengan ikhtiar untuk tidak mengabaikan, tidak
mengkhianati kearifan, tidak melukai rakyat.
Masyarakat Sulawesi Barat telah diingatkan Bapak Jusuf Kalla
saat itu. Beliau mengajak calon gubernur dan pejabat meniru sikap
Baharuddin Lopa, menjaga malu hingga di atas kepala. Emha Ainun
Nadjib juga berkata di Pendapa Mamuju menyitir ucapan para
pendahulu bahwa malu sudah menjadi adat sejak dahulu bagi orang
Sulawesi. Calon gubernur haruslah meniru para pendahulu dalam
memegang budaya malu. Seharusnya rakyat memilih seseorang yang
dikenalnya dengan baik dan memilih orang yang memiliki rasa malu.
Jika pejabat tidak memiliki rasa malu alamat rakyat akan tertipu. Jika
Bapak Jusuf Kalla merujuk ke Baharuddin Lopa dan Emha mengatakan
calon harus dikenal, itu karena mereka melihat contoh yang lebih
buruk di tempat lain. Pemerintah tidak mendorong generasi muda
untuk melaut di samudra yang dipenuhi kekayaan ikan. Nelayan di
tepi pantai di wilayah Sulawesi Barat masih mendorong lepa-lepanya
untuk segera menangkap ikan. Nelayan itu mengayuh perahu dengan
dayungnya ditelan samudra. Kehidupan para nelayan risau. Sebagai
contoh, seorang nelayan mempunyai anak yang bercita-cita menjadi
guru. Profesi guru hidup berdampingan dengan nelayan sejak turun
temurun di kampung nelayan. Kerisauan itu bukan karena pilihan
si anak. Nelayan itu risau, masihkah ada nanti di kampung nelayan
itu lahirkan para pelaut Tangguh? Akan seperti apa kampung itu
kelak? Masihkah akan disebut sebagai kampung bahari? Pemerintah

329
seharusnya merealisasikan dan memberikan alokasi anggaran untuk
nelayan agar dapat seimbang dengan orang daratan. Pelestarian bahari
di tanah Mandar seharusnya bukan sekadar ungkapan. Bagaimana
mungkin bicara tentang semangat bahari, jika tidak ada bantuan
negara kepada nelayan. Lalu di mana letak negeri pelaut. Nelayan
terjebak ijon yang menjerat kehidupan hari ke hari, bahkan bertahun
hingga berganti generasi. Setidaknya bantuan perahu sandeq untuk
dimiliki para nelayan melaut. Sandeq, jenis perahu bercadik, yaitu
perahu tradisional orang Mandar yang telah menyisir sebagian
besar pesisir Nusantara. Di masa lalu lambung perahu ini cukup
besar untuk menampung barang antarpulau. Horst Libnert seorang
arkeolog Jerman, yang meneliti sandeq belasan tahun, mengatakan,
inilah perahu tradisional yang paling tercepat dan tangguh di dunia.
Nelayan perlu memiliki sandeq, bukan lepa-lepa. Mereka akan lebih
leluasa mendapat tangkapan ikan jika menggunakan sandeq. Namun
harga sandeq mahal. Nelayan butuh bantuan pemerintah untuk
mendapatkannya. Jangan sampai ‘bangsa’ pemakan ikan ini justru
akan abai sumber ikan yang dilahapnya setiap hari.

DUA
Sahabat, puisi esai As’ad Sattari “Di Lumbung Padi Faizal Mati”
menceritakan tentang anak kurang gizi (stunting) di Polewali Mandar,
Provinsi Sulawesi Barat. Penduduknya banyak dan miskin. Salah satu
indikator kemiskinan adalah banyak anak penderita stunting. Hal yang
saat ini paling bisa disebut sebagai aib negara adalah kemiskinan.
Polewali Mandar menjadi bagian dari salah satu daerah yang ikut serta
menjadikan Indonesia hingga kini masih sulit disebut maju. Kabupaten
dengan penduduk terbanyak di Provinsi Sulawesi Barat ini terhitung
masih banyak keluarga miskin. Sebagai salah satu dampak dari itu,
gizi buruk banyak teridentifikasi. Seperti air, gelembung-gelembung
penyakit stunting itu bermunculan ke permukaan. Stunting adalah
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang

330
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Daerah ini, tanahnya sebenarnya
subur. Bahkan sebagian dekat dengan laut, tetapi di saat bersamaan
anak-anak kurang gizi justru beberapa berasal dari desa pesisir. Tentu
saja penyebab gizi buruk bukan hanya karena kemiskinan, tetapi
juga mungkin karena pola pikir masyarakat, lingkungan, atau bahkan
pelayanan kesehatan dari negara yang belum maksimal.
Terkisahlah sebuah desa, Pambusuang namanya. Pambusuang
adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Balanipa Kabupaten
Polewali Mandar. Desa ini terletak di pesisir wilayah Teluk Mandar.
Mayoritas penduduk Desa Pambusuang merupakan nelayan. Uniknya,
di Sulawesi barat, kampung yang paling banyak melahirkan ulama dan
tokoh besar adalah desa Pambusuang. Di antaranya Prof. Baharuddin
Lopa, Basri Hasanuddin, Purn Mayjen Salim S. Mengga. K.H. Muhammad
Thahir, K.H. Muhammad Shaleh, dan lain-lain. Di desa itu, tinggallah
seorang anak dalam sebuah keluarga. Namanya Faizal. Tubuh Faizal
kurus, kepalanya besar, ia selalu mengeluarkan suara semacam
rengekan. Ia tergeletak di atas tempatnya berbaring. Sementara itu,
mata Faizal terlihat menguning, perutnya membuncit, kulitnya kering,
badannya panas, batuk, dan sesak. Faizal sejak masih bayi sering diberi
mie instan oleh ibunya, karena makanan itu yang dapat dimakan
Faizal. Sejak bayi, Faizal tidak minum air susu ibunya. Faizal, nama yang
diberikan oleh orang tuanya dengan harapan ia menjadi anak yang
kuat. Orang tuanya ingin di dalam tubuhnya terdapat mandar, yaitu
sebutan wilayah Sulawesi barat sebelum menjadi provinsi pada tahun
2004. Mandar selain dikenal sebagai nama sebuah suku di Sulawesi
juga memiliki pengertian lain yaitu kuat. Dari kata tersebut dikenal
istilah sipamanda’, yaitu saling menguatkan. Sipamanda’ lahir untuk
tujuan saling menguatkan tujuh kerajaan yang ada di wilayah gunung
dan tujuh kerajaan yang ada di wilayah pesisir pada abad 18. Atas nama
keluarga, diharapkan Faizal akan menjadi anak yang berani. Namun
sebelum ia besar, Faizal terkena stunting, yaitu gizi memburuk. Masalah
gizi kronis disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan

331
gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat
anak berusia dua tahun. Menurut WHO, di seluruh dunia, diperkirakan
ada 178 juta anak di bawah usia lima tahun pertumbuhannya
terhambat karena stunting. Pada tahun 2016 pasien penderita gizi
buruk di Polman mencapai dua puluh sembilan anak. Delapan yang
dinyatakan sembuh, satu orang meninggal, dan dua puluh yang berobat
lanjut. Pada tahun 2017 dari bulan Januari hingga Agustus, dua puluh
ditambah sembilan pasien yang tercatat menderita gizi buruk. Sebelas
dinyatakan sembuh, satu orang meninggal, dan belum ada yang
berobat lanjut. Polewali Mandar lumbung padi Sulawesi Barat tetapi
ironisnya penderita stunting tak terhitung. Sulawesi Barat urutan kedua
kasus gizi buruk kronis terbanyak di Indonesia. Penyebab gizi buruk
selain miskin juga karena pola pikir masyarakat, faktor lingkungan, atau
pelayanan kesehatan. Pemerintah belum maksimal memperhatikan
masalah tersebut. Faizal kondisinya sudah cukup parah dan akhirnya
ia meninggal. Dengan bantuan dana yang terkumpul, Faizal dibawa
berobat ke kota Makassar. Faizal dirawat setengah bulan. Kondisinya
sangat parah. Tindakan apa pun yang dilakukan dokter, tidak dapat
membantu Faizal sembuh. Faizal akhirnya meninggal di rumah sakit
Wahidin Sudiro Husodo di Makassar di usia dua tahun tiga bulan. Di
beberapa tempat di Polewali Mandar ditemukan anak penderita gizi
buruk. Selain di Desa Pambusuang, juga ada di Desa Bala Kecamatan
Balanipa, desa Poda-Poda Kecamatan Tutar, Desa Galeso Wonomulyo,
Kelurahan Lontara Kecamatan Polewali dan lain-lain. Beberapa kasus
gizi buruk direspon oleh keluarga penderita dengan membawanya ke
dukun untuk berobat. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Polewali Mandar,“Penyakit gizi buruk ini butuh penanganan medis yang
cukup lama sedangkan kelurganya tidak betah di rumah sakit, ingat
rumahnya lah, ingat ternaknya lah. Jadi jangan heran kalau penyakitnya
tidak bisa sembuh karena salahnya sendiri. Masalah gizi buruk adalah
masalah yang sangat kompleks. Perlu pengajian mendalam terhadap
masalah ini karena tidak terlepas dari pola pikir, ekonomi, dan budaya
pola hidup bersih dan sehat.

332
TIGA
Sahabat, puisi esai Sri Musdikawati “Rumah Rakyat” ini men-
ceritakan tentang kehidupan Cicci anak politikus zaman dahulu yang
tidak kaya dan hidup sederhana. Berbeda dengan para politikus
sekarang yang harus punya modal berupa kekayaan materi yang
banyak. Pimpinan partai politik zaman dulu tidak harus yang berduit.
Hal itu berbeda dengan pimpinan partai politik sekarang yang
harus memiliki modal materi dan mapan. Dahulu anggota maupun
simpatisan partai akan selalu berpartisipasi saat ada kegiatan penting
di partai politik. Ada yang membawa beras, ikan, kelapa, pisang dan
lain-lain. Pada waktu itu istrinya dipecat bersama beberapa guru
lainnya dari tugasnya sebagai guru PNS. Istrinya korban kekuasaan
pemimpin saat itu karena ia memimpin partai politik yang bukan
partai pendukung pemerintah. Istrinya sangat berperan mendukung
perjuangannya untuk pendidikan anak-anaknya meskipun telah
kehilangan pekerjaannya, mereka tidak pernah gentar dan surut
semangatnya untuk berjuang membiayai hidup dan pendidikan anak-
anaknya sampai berhasil.
Terkisahlah Cicci pergi ke rumah kayu, rumah kenangan
keluarganya. Ayahnya seorang politisi dari partai oposisi yang sedang
berkuasa. Ibunya seorang guru. Saat itu seluruh pegawai negeri harus
menandatangani fakta integritas ikut partai yang sedang berkuasa,
ibunya menolak. Akhirnya ibunya dipecat dari pegawai negeri. Cicci
ingat bagaimana perjuangan ayah dan ibunya. Cicci menangis
menatapi rumahnya. Rumah yang terbuat dari kayu adalah bentuk
rumah yang dulu umum dipakai di daerah Mandar, terdiri dari tiang
kayu, dinding kayu dan lantai papan. Jika dibangun tiang yang telah
dirangkai biasanya ditarik dengan tali beramai-ramai. Ia ingat saat
rumah itu diangkat beramai-ramai oleh tetangga, simpatisan, dan
anggota partai berkumpul menarik dengan tali sehingga rumah itu
berdiri dengan kokoh. Rumah itu amat sederhana, tinggi tak seberapa.
Rumah itu sederhana karena saat membangun tidak punya biaya
lebih. Rumah seorang politisi zaman dulu berbeda tidak eksklusif

333
atau mewah. Cicci dari depan rumah itu menatapi bubungan rumah,
sudah terlihat rusak, atap seng juga sudah berkarat. Cat rumah juga
sudah rontok. Ia sedih ingat derita orang tuanya menjadi seorang
politisi. Cicci ingat sosok ayahnya, laki-laki yang tak berwatak keras
dan tak garang. Ayahnya tak berperawakan layaknya pelaut Mandar
yang tinggi besar dan kekar. Ia selalu mengenakan kopiah hitam,
sederhana dan bersahaja. Ayah Cicci ketua partai yang disegani. Ia
orator, konseptor, mediator. Ayahnya adalah politisi yang penuh
perhatian. Tujuan politiknya hanya mengangkat kehidupan rakyatnya,
meski harus melawan penguasa.
Dahulu hanya ada partai berkuasa dan partai oposisi. Partai
berkuasa mendominasi pegawai,pengusaha yang piawai,dan oportunis.
Cicci ingat, dunia politisi yang dijalani ayahnya telah mengorbankan
ibunya. Ibu Cicci adalah perempuan tegar bersahaja yang tegak berani
mempertahankan prinsip. Perempuan berpenampilan tradisional
yang berpikir rasional dan dan tidak emosional. Ibu Cicci dianggap
tidak loyal kepada partai berkuasa. Dia dikeluarkan dari PNS karena
tidak mendukung partai berkuasa. Saudara-saudara ayah pun
dilarang ayah ke rumah. Takut mereka juga dipecat dari pekerjaannya
karena bersaudara ketua partai oposisi. Ayahnya terus berjuang
menghidupi anak-anaknya. Kondisi keuangan boleh terbatas tapi
pendidikan anak tak bisa lepas. Kemiskinan tidak harus berbandingan
lurus dengan kebodohan, kata ayahnya. Laju waktu berputar. Karier
politik ayahnya harus berhenti. Sebagai pemimpin partai ia tidak
mendapat uang yang diperlukan untuk sekolah anaknya. Ayahnya
berhenti dan kembali menjadi pelaut. Seiring dengan itu partainya
di pusat pemerintahan pun mulai mengubah ideologi menjadi hanya
satu asas. Tekadnya jadi nelayan menguat sebab ia tak begitu setuju
dengan prinsip ini. Menjadi nelayan bukan hal asing, tapi ayahnya
lama tak melaut. Ia harus kembali mengenal asinnya laut walau
berhari-hari tidak akan bertemu anak-istri. Ayahnya pulang membawa
tangkapannya, dikelilinginya kampung menjajakan hasilnya. Ibunya di
rumah menenun sarung untuk dijual sebagai tambahan penghasilan

334
keluarga. Cicci dan saudaranya bisa bersekolah itu sebuah fakta. Ia
berjalan lebih dari 4 km untuk sampai ke sekolah, hal yang tidak
mampu dijalani anak-anak di perkotaan. Cicci tidak mempunyai uang
jajan, pulpen pun pinjaman. Mental mereka diasah, karakter kejujuran
dibangun oleh ayah ibunya. Dulu baju seragamnya lusuh dan kusam.
Terkadang uang SPP dibayarkan teman orang tuanya. Oleh karena
ingin anaknya belajar menulis, dulu ibunya meminta-minta kertas
bekas, belajar mengetik dengan mesin ketik pinjaman.
Cerita hidup Cicci dan orang tuanya itu kini hanya menjadi
dongeng. Cicci tidak dapat mempertahankan rumahnya yang dulu
ditempati bersama orang tuanya. Ia tidak mempunyai daya untuk
melawan hebatnya perkembangan kota. Sekapling tanah tempat
rumah itu berdiri tidak mampu ia beli. Dulu tanah itu hanya rawa, sang
pemilik tanah bahkan tidak memedulikannya. Tanah itu lalu ditimbun
bermobil-mobil untuk menghindari genangan air. Lalu ayahnya dan
beberapa keluarga mendirikan rumah di situ. Sekarang tanah itu
diambil oleh pemiliknya. Seorang ASN rendahan seperti Cicci tidak
sanggup membelinya. Untuk memindahkan rumah itu sudah tidak
mungkin, dibongkar pun hanya akan tersisa puing reruntuhan kayu
dan papan. Membiarkan rumah itu tetap berdiri adalah hal yang paling
bijak meskipun bukan lagi haknya. Tempat itu hanya akan menjadi
kenangan. Cicci berjalan pulang. Ia telah memindahtangankan rumah
rakyat itu pada orang lain. Tangis kehilangan tak akan pernah berhenti. Ia
meninggalkan rumah kayu itu. Ia kalah, tak berdaya menghadapi zaman.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Subriadi Bakri Juhaepa “Pakkande Ate” ini
menceritakan tentang I Putu Bunga Masagala, Panglima Kerajaan
Tie Tie di wilayah tanah Mandar. Kerajaan Tie Tie di wilayah Mandar
yang berdiri sekitar tahun 1400 SM sangat terkenal dengan panglima
perangnya I Putu Bunga Masagala. Keberanian dan kedigdayannya
sangat disegani lawan dan ditakuti musuh. Perilakunya yang awalnya
lembut berubah menjadi sadis dan kejam setelah putri kesayangannya

335
yang bernama Potowuna dan bergelar I Lakka Belua terbunuh. Amarah
dan dendam membuatnya bersumpah untuk memakan jantung sang
pembunuh anaknya. Tragisnya, memakan jantung manusia malah
menjadi kegemaran hingga ia diberi gelar Pakkande Ate.
I Putu Bunga Masagala adalah panglima kerajaan Tie Tie. Kerajaan
Tie Tie adalah kerajaan yang berada di wilayah Mandar diperkirakan
berdiri pada tahun 1300-1400 SM. Ia gagah perkasa dan sakti
mandraguna. Ia jatuh cinta pada Calla Kanuku putri panglima perang
Kerajaan Passokkorang. Calla Kanuku adalah nama gelar dari putri
panglima perang Kerajaan Pasokkorang yang terkenal kecantikannya.
Diberi gelar demikian karena kukunya yang berwarna merah.
Pasokkorang adalah nama kerajaan yang berada di wilayah Bugis
dan bertetangga dengan kerajaan Tie Tie. I Putu Bunga Masagala
menuju ke tanah Pasokkorang. Ada sayembara memperebutkan putri
Calla Kanuku. Di alun-alun istana tempat pertarungan berlangsung
telah disesaki penonton. I Putu Bunga Masagala mengambil posisi
di antara para petarung. I Putu Bunga Masagala seolah tanpa
berkedip menatap wajah Calla Kanuku yang duduk di sisi ayahnya.
Pertarungan pun dimulai. I Putu Bunga Masagala menumbangkan
lawan-lawannya. Di akhir pertarungan tinggal dua petarung, yaitu
I Putu Bunga Masagala dari Kerajaan Tie Tie ataukah I Totandiapa
dari Tabulahan. sebelum pertarungan penentuan dimulai panglima
Kerajaan Pasokkorang berdiri dari kursinya dan berkata,“akhirnya telah
sampai pada puncak pertarungan kali ini. Siapapun pemenangnya,
dari mana pun asal negerinya, dialah lelaki yang pantas mendampingi
putriku, Calla Kanuku. Maka bertarunglah kalian sebagaimana
layaknya seorang lelaki.” Penabuh gendang memukul gendangnya
tanda dimulai pertarungan akhir. I Putu Bunga Masagala melangkah
tegap memasuki area pertarungan tanpa senjata sedang I Totandiapa
maju dengan Sossorang I Lekkong Amessa, yaitu keris pusaka yang
mempunyai sembilan lengkungan yang pada ujungnya masih ada
bercak darah yang mulai mengering. Pada pertarungan itu I Putu
Bunga Masagala dapat membunuh I Totandiapa. Saat I Putu Bunga

336
Masagala berjalan ke arah panggung kehormatan, tapi dengan sigap
para pengawal panglima Kerajaan Pasokkorang mengadang langkah
I Putu Bunga Masagala bersiaga membentuk barisan perisai dengan
tombak. I Putu Bunga Masagala melanjutkan Langkah di hadapan
panglima perang Kerajaan Pasokkorang. Ia membungkuk sebagai
tanda penghormatan. Pemenang telah ditetapkan dan penonoton
bubar. I Putu Bunga Masagala memboyong Calla Kanuku. Segenap
rakyat Tie Tie larut dalam kegembiraan karena panglima perang sang
kebanggaan telah berhasil mempersunting wanita pujaan hati. Para
tetua dan sastrawan saling bergiliran menyampaikan kalindaqdaq
tentu saja berisikan pujian dan kesyukuran. Mereka hidup Bahagia
dan dikarunuai seorang putri.
Poktowuna adalah nama putri tunggal I Putu Bunga Masagala
dari pernikahannya dengan Calla Kanuku. Lakka Belua adalah gelar
yang diberikan pada Poktowuna karena rambutnya yang panjang.
Beberapa waktu kemudian terjadi kengerian di kerajaan Tie Tie.
Pasalnya, putro Poktowuna terbunuh oleh pembunuh bayaran dari
Tabulahan. Kepala putri itu dipenggal. I Putu Bunga Masagala sangat
marah ditatapnya tanpa kedip jenazah putrinya tanpa kepala itu.
Tangisnya membuncah dalam dada. bayangan tentang anaknya
selagi hidup bermain-main dalam ingatan. Poktowuna begitu manja
kepadanya. Ibunya teringat kata anaknya sebelum peristiwa itu
terjadi. Kata Poktowuna, ia baru saja menolak bangsawan muda
dari Tabulahan dan Tomadio. I Putu Bunga Masagala berkata, “Duhai
putra bangsawan Tabulahan dan Tomadio, aku tahu kalau kalian yang
melakukannya. Aku tahu kalau kalian bersekongkol menuntaskan
dendam atas penolakan putriku pada hasratmu. Aku tahu kalau kalian
menggunakan tangan bayaran karena ketakutan yang menciutkan
keberanianmu maka bersiaplah atas murka I Putu Bunga Masagala
yang gemar menunggang ombak mencumbui maut. Pelan-pelan
diangkatnya tangan I Putu Bunga Masagala tinggi-tinggi ke arah
langit. Urat-urat tangan membesar, kukunya berdesing bara amarah
yang berkobar seolah merontokkan dedaunan di sekitarnya. I Putu

337
Bunga Masagala bersumpah akan menuntut balas dengan mencari
para putra bangsawan yang telah membunuh anaknya.
Suasana mencekam di daerah perbatasan kerajaan Tie Tie dan
Tomadio. I Putu Bunga Masagala mempersiapkan pasukan perangnya.
Kali ini ia ingin menyerang Tomadio yang dianggap menyembunyikan
dan memberikan perlindungan kepada pembunuh bayaran dari
Tabulahan. Pembunuh putri kesayangannya, Potowuna I Lakka Belua.
I Putu Bunga Masagala amat marah. Ia mencari pembunuh itu dan
bersumpah akan memakan hatinya. Akhirnya ia berhasil memakan
hati pembunuh putrinya. Setelah ditaklukkan Kerajaan Tie Tie, situasi
Tomadio mencekam. I Putu Bunga Masagala membunuh orang dan
memakan hatinya. Ia dijuluki Pakkande Ate, pemakan hati manusia. Para
bangsawan Tomadio bermufakat untuk membunuhnya. Ia diundang
jamuan oleh bangsawan Tomadio. Ia melahap segala makanan hingga
kenyang dan tertidur. Para bangsawan Tomadio menebang pohon asam
dan menjatuhkannya ke kepalanya hingga tewas.

LIMA
Sahabat, puisi esai Syuman Saeha “Aborsi di Palippis” ini
mengisahkan pembangunan tanggul di wilayah Pantai Palippis.
Pantai Palippis yang terletak di jalan poros, Provinsi Sulawesi
Barat, tepatnya di Desa Bala, Kecamatan Balanipa ini sekitar 20 km
dari ibu kota Kabupaten Poliwali Mandar. Pantai Palippis dikenal
dengan keindahan panorama alam laut yang sangat eksotis. Pantai
ini menawarkan keindahan laut lepas sebagai pemandangannya.
Sebuah perusahaan diberi wewenang untuk membangun tanggul
di sepanjang pantai untuk menahan ombak. Mereka membangun
tanggul tanpa melakukan penelitian pada kebutuhan masyarakat
di sekitar pantai. Perusahaan itu mempekerjakan seorang gadis di
bagian administrasi. Gadis itu diperkosa pemimpin kantor dan hamil.
Ia diminta menggugurkan kandungannya tetapi gadis itu menolak.
Akhirnya dia diperkosa lagi secara bergantian dan mayatnya dibuang
di pantai. Pantai pasir putih Palippis merupakan tempat nelayan

338
melabuhkan perahu cadik. Di sana pula seorang gadis dibuang
dalam keadaan hamil besar, setelah diperkosa secara bergantian di
sebuah kantor tempatnya menjadi abdi. Ia dipaksa menggugurkan
kandungannya.
Pantai Palippis dulunya, sekitar tahun 1940-an oleh nelayan
setempat dijadikan sebagai pelabuhan kecil untuk menyimpan alat
perahu termasuk keperluan lainnya seperti garam. Di pantai ini juga
banyak hidup penyu. Tahun 2017 pantai ini menjadi tempat proyek
yang bernama tanggul, namun gagal karena nelayan setempat
menolaknya. Menurut kabar, proyek tanggul yang masuk ke Palippis
Desa Bala tersebut adalah pindahan dari tempat lain karena
mengalami penolakan yang sama dari masyarakat setempat. “Kalau
pantai ditanggul, ke mana perahu akan didaratkan”, kata para nelayan.
Dahulu Namanya Batu Silangga, dalam bahasa Mandar, batu silannga’
adalah batu berlapis, dapat juga ditafsir tersusun. Terletak di Dusun
Bala II Desa Bala Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar.
Tempat ini lebih dikenal dengan nama Palippis, sebagai jalan trans-
Sulawesi menjadi wilayah paling ditakuti untuk dilewati terlebih
lagi di malam hari. Sejak dulu makhluk halus sering menampakkan
wujudnya berupa gadis cantik berpakaian merah menyala, juga
seorang kakek- nenek berjubah putih sampai tahun 2000-an. Sama
halnya jembatan bolong Dusun Takande Desa Salletto Kecamatan
Tapalang di Kabupaten Mamuju. Batu silangga’ juga ditakuti karena
sejak tahun 90-an sering menjadi tempat para perampok, menjarah
kendaraan yang lewat. Hal yang sama juga sering terjadi di Topoyo
Desa Topoyo Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah. Juga di
Ku’bur Sawi-Sawi’ Dusun Pangimbalang Desa Galung Tulu Kecamatan
Balanipa Kabupaten Polewali Mandar. Ketiga tempat tersebut masih
sering terjadi perampokan sampai hari ini.
Pantai Palippis mulai dikunjungi sebagai tempat wisata
sejak tahun 2000-an. Kemudian, oleh Dinas Pariwisata kabupaten
Polewali Mandar dibangun sebagai wisata bahari sekitar tahun
2002-2003. Tahun 2016 seratus unit perumahan nelayan dibangun

339
dengan menggunakan anggaran APBN. Penerima manfaat bantuan
perumahan untuk masyarakat miskin berprofesi nelayan di Desa
Bala Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar. Seratus
unit perumahan nelayan tersebut semula akan dibangun di Desa
Tonyaman kecamatan Binuang kabupaten Polewali Mandar. Karena
lokasi yang diperlukan tidak mencukupi, selain pemilik tanah tidak
bersedia menyerahkan sebagai tanah hibah, akhirnya projek tersebut
dipindahkan ke Dusun Tallo Timur Desa Bala Kecamatan Balanipa
Kabupaten Polewali Mandar. Pantai Palippis merupakan pelabuhan
kecil untuk mendarat perahu-perahu nelayan. Di pantai tersebut juga
banyak penyu hidup dan bertelur. Pantai Palippis juga dikenal dengan
sebutan Kampung Tallo. Terletak di Dusun Tallo Timur Desa Bala
Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar. Tallo’ dalam bahasa
Mandar adalah telur. Sekitar tahun 60-an pantai ini banyak dihuni
penyu. Itulah asalan tempat ini disebut Kampung Tallo’, telur penyu
maksudnya. Sampai hari ini telur penyu masih sering ditemukan
warga sekitar. Pantai yang sama, juga ditembok adalah Pantai Mampie
Dusun Mampie Desa Galeso Kecamatan Wonmulyo Labupaten
Polewali Mandar. Salah satu pantai yang ada di Polewali Mandar,
oleh masyarakat setempat dijadikan sebagai hutan mangrove. Pantai
itu jika ditanggul, tidak bisa untuk mendaratkan perahu. Kehidupan
nelayan sudah dikuasai oleh Candakula’ sebutan lain dari rentenir.
Candakula ini banyak menguasai para nelayan dengan modal, berupa
perahu termasuk alat tangkap dan bahan makanan selama di laut.
Ketika tanggul akan dibuat mereka dikumpulkan oleh para’, yang
dalam bahasa Mandar adalah orang kepercayaan kepala kampung,
pemangku adat, atau raja pada masa lampau. Dahulu apa bila
kepala kampung, pemangku adat, atau raja hendak memanggil atau
mengumpulkan warganya, maka para’ inilah yang melaksanakan tugas
tersebut. Misal akan ada rapat atau pertemuan atau untuk bergotong
royong. Para’ kemudian menyampaikan titah tersebut dengan cara
keliling kampung atau berjalan sepanjang rumah warga sambil
membunyikan kentung yang terbuat dari bambu. Para’, juga dapat ditafsir

340
sebagai simbol kebijakan atau penyampai kebijakan pemerintah.
Proyek pemerintah telah dikerjakan asal-asalan oleh perusahaan.
Pembangunan tanggul di sepanjang pantai dimaksudkan untuk me­
ngatasi abrasi pantai dan menyelamatkan warga yang bermukim di
sekitar bibir pantai. Namun, proyek pemerintah tersebut mendapat
penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena proyek tersebut
dinilai justru merugikan masyarakat dilihat dari segi pendapatan
para nelayan.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Mantra Laut Mandar menggambarkan
masyarakat yang mempunyai kearifan lokal untuk membangun
karakter manusia di Sulawesi Barat, yaitu budaya malu yang secara
turun temurun menjadi pedoman hidup. Selain itu, nilai-nilai kehidupan
dalam cerita rakyat juga dapat dijadikan cermin masyarakat dalam
bersikap. Ketidaktahuan aparat pada potensi wilayah dan kesehatan
masyarakatnya telah membuat wilayah itu miskin dengan banyaknya
penderita kurang gizi atau stunting. Sangat disayangkan bahwa
potensi laut yang sangat kaya tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Buku ini menggambarkan bagaimana kemiskinan tercipta secara
terstruktur. Pemerintah daerah Sulawesi Barat belum membangun alat
pemenuh kebutuhan dasar, akses terhadap pendidikan, dan pekerjaan.

341
Keberagaman
Manusia Indonesia
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Judul Buku : Kesaksian Bumi Anoa


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 132 Halaman
Penulis : Deasy Tirayoh,
La Ode Gusman Nasiru, Mas Jaya,
Uniawati, Wa Ode Nur Iman
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN978-602-5896-23-1

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai kearifan lokal Provinsi Sulawesi Tenggara
yang ditulis dalam puisi esai. Kelima penulis menceritakan kehidupan
masyarakat Sulawesi Tenggara yang berdiam di pulau-pulau. Berbagai
suku tinggal di pulau-pulau dengan adat dan budaya yang beraneka
ragam yang bercampur dengan kehidupan modern.

LIMA INTI SARI BUKU


 Akibat yang sangat fatal.
 Sebagai bangsawan dan rakyat jelata.
 Perempuan menyimpan rindu di Kabaena.
 Manusia laut biru.
 Sejarah Masjid Muna.

SATU
Sahabat, puisi esai Deasy Tirayoh “Titian Patah Bumi Anoa” men­
ceritakan puluhan korban karena obat PCC (Paracetamol, Cafeine,
Carisoprodol) di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kota Kendari dijuluki
sebagai Bumi Anoa karena menjadi kawasan berkembang biaknya
binatang Anoa sehingga hewan tersebut menjadi ikon provinsi ini.

342
Pada bulan September 2017, puluhan orang di Kendari menjadi
korban penyalahgunaan obat PCC (paracetamol, caffeine, carisoprodol).
Para korban dibawa ke rumah sakit, bahkan ada yang dibawa ke rumah
sakit jiwa. Paling menyedihkan adalah korban yang masih kecil, anak
siswa sekolah dasar yang akhirnya meninggal dunia. Para pengedar
memberikan obat secara gratis kepada pengguna. Ketika sudah
ketagihan, mereka bisa membeli di toko tertentu.
Terkisahlah namanya Alina. Ia kehilangan ibunya. Ayahnya
bertengkar dengan ibunya hingga ibunya pergi. Alina kehilangan
sosok ibu dan membenci ayahnya yang telah menyebabkan ibunya
pergi meninggalkannya. Alina berlari mencari kebahagiaan dengan
menghirup inhalen. Inhalen (yang sering disebut anak jalanan
“ngelem”) merupakan senyawa organik berupa gas dan pelarut
yang mudah menguap. Inhalen banyak terdapat di produk-produk
seperti bensin, pernis, aseton untuk pembersih warna kuku, lem,
pengencer cat, tip-ex, semprotan, freon dan lem aica aibon (lem aica
aibon merupakan inhalen yang sering dipakai anak jalanan untuk
ngelem). Berbeda dengan jenis narkoba lain, lem sangat mudah
didapatkan serta dapat didapat dengan harga yang cukup murah.
Efek yang ditimbulkan dari menghirup uap lem itu sendiri hampir
mirip dengan jenis narkoba lain yakni menyebabkan halusinasi,
sensasi melayang-layang serta rasa tenang sesaat meski kadang
efeknya bisa bertahan hingga 5 jam sesudahnya. Efek lain yang bisa
ditimbulkan dari kegiatan “ngelem” ini sendiri antara lain adalah
tidak merasakan lapar meskipun sudah waktunya makan karena
ada penekanan sensor lapar di susunan saraf di otak. Alina larut
dalam dunianya. Pada suatu hari, ada yang menawarinya pil yang
lebih murah dan efeknya lebih dahsyat. Zat yang dapat mengubah
perasaan dan pikiran, seringkali dengan menciptakan daya pandang
yang berbeda. Alina mengonsumsi PCC. Dengan menelan PCC
ia mendapatkan sensasi indah seperti yang diharapkan. Korban
berikutnya adalah Amus. Ia mahasiswa yang sedang menyiapkan
skripsi. Ia harus berkutat dengan buku dan acuan yang dianjurkan

343
pembimbingnya. Ia harus bolak-balik menemui pembimbing yang
susah sekali ditemui dan harus menunggu lama. Ia ditawari pil untuk
menjernihkan otaknya dan mengembalikan kebugaran tubuhnya
karena kurang tidur. Dikatakan oleh pemberi itu semacam obat tidur
yang ampuh. Amus membutuhkannya apalagi gratis karena berhari-
hari tidak tidur menekuni skripsi. Amus mengonsumsi PCC dan tidak
bisa menyelesaikan skripsinya. Amus tergeletak di rumah sakit jiwa.
Ada lagi korban bernama Intan. Ia bersama teman-teman remajanya
pergi untuk minum-minum. Saat mamanya meneleponnya, ia
berkilah sedang mengerjakan PR dengan teman-teman. Pesta miras
itu ide Intan. Ia mengajak Natasha dan Misya. Anton teman Misya
menelepon dan akan ikut bergabung membawa barang baru. Barang
baru itulah PCC. Keempat remaja itu sampai tengah malam menjadi
zombie, keempatnya berhalusinasi. Zombie sejatinya ialah istilah
dari perwujudan sikap karena kerusakan saraf pusat otak yang serius
karena obat PCC secara spesifik memunculkan efek halusinasi dan
berlaku layaknya mayat hidup. Tingkah keempat remaja itu ada yang
merekam melalui telepon genggam dan diunggah di media sosial.
Rekaman tentang aksi anomali para remaja yang menjadi korban
PCC menjadi viral di media sosial Facebook dan Youtube. Korban
berikutnya adalah korban yang kondisinya sangat menyayat hati
para orang tua. Ia anak dari Ibu Moldy. Anaknya menjadi korban obat
PCC. Usianya masih muda, yaitu 11 tahun dan masih duduk di bangku
sekolah dasar. Ibu itu harus membawa anaknya ke rumah sakit jiwa
karena anaknya mengamuk. Para korban PCC mengalami gejala
kelainan seperti orang tidak waras, mengamuk, berontak, meracau
tidak karuan sehingga sebagian harus diikat di ranjang rumah sakit,
Ibu itu sangat sedih melihat kondisi anaknya yang terpapar PCC.
Perih batinnya dan air matanya menetes satu persatu membasahi
kaki anaknya yang meregang nyawa. Masih ada Resky dan Oni kakak
beradik, warga Jalan Bunga Palem, Kelurahan Watu- Watu, Kecamatan
Kendari Barat. Resky ditemukan tewas di Teluk Kendari. Awalnya,
korban bersama adiknya meminum obat jenis PCC beberapa butir dan

344
menyebabkan Resky kepanasan. Kemudian korban melompat ke laut
sekitar Teluk Kendari yang tak jauh dari rumahnya.
Ada lima orang tersangka yang ditangkap terkait kasus peredaran
PCC. Dua tersangka berprofesi sebagai apoteker dan asisten apoteker
yang ditangkap di TKP Apotek Qiqa Jalan Sawo-sawo Kota Kendari
dengan barang bukti obat jenis Tramadol sebanyak 1.112 butir.
Sementara barang bukti dari tiga tersangka lainnya yaitu 720 butir
dan 923 butir yang dibuang di belakang rumah, 988 butir di dalam
lemari baju plastik, uang sebesar Rp735.000, plastik klip sebanyak
2.800 pcs, dan 8 buah toples putih bekas tempat obat warna putih. Para
orang tua merasa kecolongan tidak mengawasi anaknya. Anak-anak
mereka menjadi cacat mental atau bahkan meninggal karena PCC.

DUA
Sahabat, puisi esai La Ode Gusman Nasiru “Kesaksian di Negeri
Butuni” mengisahkan percintaan berbeda tingkatan di Buton. Kisah
cinta tak sampai karena perbedaan kasta dan kelas sosial pernah
dan biasa terjadi di Tanah Wolio. Kisah antara perempuan atau laki-
laki bergelar Ode dengan mereka yang berasal dari kalangan rakyat
jelata. Meski sekarang hal itu tidak terlalu menjadi pertimbangan,
isu ini sempat mewarnai hidup orang Buton. Wolio merupakan pusat
pemerintahan kesultanan Buton pada zamannya Menurut mitos
Hikayat Sipanjonga, kedua kelompok yang menjadi pendiri cikal-
bakal Kerajaan Butuni, membangun permukiman di tepi pantai.
Mereka kemudian membuka suatu lahan permukiman. Kegiatan
membuka lahan baru dengan membersihkan belukar dan menebangi
kayu itu disebut welia. Dari kata itulah konon muncul kata Wolio. Di
daerah Buton sering terlihat simbol naga. Naga merupakan simbol
kekuatan masyarakat Buton. Replika hewan mitos ini sering dipasang
di atap rumah atau atap pintu gerbang. Naga merupakan sebuah
mitologi yang berasal dari Cina. Tentu hal ini merupakan alasan
penyimbolan naga sebagai bagian dari kultur masyarakat Wolio
sebab mereka percaya bahwa perempuan yang pernah menjadi raja

345
Buton pertama yang bernama Wa Kaa Kaa merupakan bagian dari
prajurit Kubilai Khan yang terdampar di tanah Buton. Nama Buton
berasal dari nama sejenis pohon, yaitu pohon butun (Barringtonia
asiatica). Pohon butun tumbuh secara bebas di kawasan pelabuhan,
pelayaran, dan perdagangan yang berada di pesisir selatan Pulau
Buton. Pohon butun banyak digunakan oleh masyarakat Buton pada
tradisi membuat upacara yang dikenal sebagai kaepeta. Masyarakat
setempat menggunakan daun pohon butun sebagai ganti piring untuk
makan dalam upacara tersebut. Daun pohon butun digunakan pula
sebagai bahan dasar membuat ketupat yang seukuran buah butun
oleh masyarakat setempat. Penamaan Buton merupakan penyerapan
bahasa Melayu dari kosakata butun.
Terkisahlah, delapan belas tahun silam, Hamid naik kapal dari
Tanah Ambon ke Butuni. Ayah dan ibunya meninggal karena kerusuhan
di Ambon. Ia mengikuti rombongan yang eksodus dari Tanah Ambon.
Rombongan itu diberi lahan di Wakonti, yaitu daerah yang terintegrasi
dalam Kecamatan Wolio, Kota Baubau. Sejak gelombang eksodus
besar-besaran dari Maluku masuk ke Baubau, daerah ini menjadi zona
penampungan para pengungsi. Hamid diambil pedagang Bugis dari
penampungan pengungsi dibawa ke rumahnya di kota. Ia disekolahkan
dan bekerja di rumah itu. Ketika remaja, Hamid jatuh cinta dengan anak
pedagang Bugis, namanya Wa Ode Widarni. Hamid merasakan cinta
mereka seperti Tanah Buton dan Pulau Makasar, begitu rapat tetapi
berjarak, terpisah satu dan yang lain. Laut hanyalah alasan kenapa
mereka mesti berlayar. Buih dan gelombang menghantam buritan
dan perahu mereka tak pernah karam. Itu harapan Hamid. Siapakah
yang dapat menebak takdir? Dalam riwayat segala silsilah seorang
hamba tetap sahaya. Terkutuk baginya jika ia mencintai majikan yang
bangsawan. Setiap tuan selalu dijunjung di altar suci dan sahaya tak
lebih mulia dari segala duli. Maka kisah percintaan Hamid dan Wa Ode
Widarni adalah kutukan sepanjang hayat.
Ayah Wa Ode Widarni mengirim anaknya ke Prancis belajar
bisnis demi harkat juga marwah sebab martabat dijunjung lebih

346
dari segala. Di Prancis, Wa Ode Widarni bertemu dengan laki-laki
bernama Mathew. Ia melupakan Hamid yang mencintainya. Ia juga
melupakan janji-janji yang telah diikrarkan bersama Hamid. Mathew
dan Wa Ode Widarni akan menikah. Mereka mengundang Hamid
untuk menghadiri pernikahan itu.Hamid menolak untuk datang.
Hatinya merasa dikhianati, namun ia juga tidak menyalahkan Wa
Ode Widarni. Dalam hati Hamid mengatakan bahwa Wa Ode Widarni
berhak bahagia. Selama itu Hamid telah pergi berlayar mengarungi
lautan mencoba melupakan cintanya. Ia ingin melupakan hubungan
dirinya dan kekasihnya. Ia menerima takdir yang menjadi ketentuan
hidup. Pertemuan tidak selamanya bahagia. Hamid tahu Wa
Ode Widarni ingin membagi kebahagiaan, tapi Hamid tidak bisa
bahagia dalam pertemuan itu. Ia kembali pulang ke tanah tempat
ia dibesarkan, ditimang dekap angin musim tandus yang menyesap
segala berkat dan karunia di atas kerontang Tanah Wolio. Hamid juga
menyadari bahwa dalam riwayat segala silsilah seorang hamba tetap
sahaya. Terkutuk baginya mengharap ningrat punya cinta kepada
hambanya. Setiap tuan selalu dijunjung di altar suci dan sahaya tak
lebih mulia dari segala duli. Kisah Hamid dan Wa Ode Widarni adalah
kutukan sepanjang hayat, sepanjang sejarah, dan angan-angan yang
disulam sekekal hikayat. Gelar ode yang disandang, pada setiap
awal atau akhir, dari nama sebagian besar orang Buton, La Ode,
atau Wa Ode., merupakan gambaran dari status sosial tertinggi
dalam silsilah dan sistem kekerabatan orang Buton. Sebab, gelar
ini diyakini sebagai warisan budaya Buton lingkaran istana. Orang-
orang yang menyandang gelar tersebut, merupakan kasta pertama,
ketika Buton tampil sebagai sebuah kerajaan bercorak maritim, di
wilayah Sulawesi Tenggara, pada abad ke-13, bersamaan dengan
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Orang Buton lain yang bukan
berasal dari keturunan ode, dulu dinggap sebagai orang-orang
pesuruh (budak). Mereka bekeja sebagai abdi, yang harus menjaga
dan melayani sang majikan di lingkungan istana kerajaan Buton.

347
TIGA
Sahabat, puisi esai Mas Jaya “Puncak Rindu Sabampolulu” bercerita
tentang kehidupan masyarakat di wilayah pertambangan ore nikel
Kabaena. Pulau Kabaena terletak di Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Presiden RI awalnya telah mengeluarkan kebijakan
tentang ekspor ore nikel. Kebijakan ini pun diamini dengan baik petinggi
provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa. Hal ini pun dimanfaatkan
para investor untuk mengelola perusahaan tambang di Kabaena.
Terkisahlah lelaki bernama Amin yang mempunyai anak empat
orang. Ia menikah dengan Masni. Keduanya hidup sebagai petani. Amin
juga menekuni pekerjaan lainnya sebagai pengumpul hasil kebun mente
dam Masni sebagai penjahit andal. Pada suatu waktu, panen mente tak
lagi menggairahkan karena pengaruh musim yang tak menentu. Jika
musim jambu mente bersamaan dengan musim penghujan, produksi
dan harga jambu biasasnya turun. Jambu muda jika terkena hujan akan
kering dan mati sebelum panen. Pada suatu hari, salah seorang kerabat
Amin baru saja pulang dari Malaysia. Ia telah lama menjadi TKI illegal.
Kerabat itu lumayan sukses. Ia membangun rumah orang tuanya dan
mengirimi uang bulanan yang cukup. Kerabat itu bercerita tentang
Malaysia, tentang gaji yang tinggi bekerja di sana, dan tentang bagaimana
caranya masuk ke Malaysia melalui jalan tikus yang aman. Banyak warga
yang tertarik tentang cerita upah. Amin pun tertarik untuk ikut bekerja
di Malaysia. Ia harus rela berpisah dengan anak dan istrinya. Amin lalu
meminjam uang kepada Pak Aji untuk bekal ke Malaysia. Pinjaman itu
berbunga dan Amin menyanggupi mencicilnya setiap bulan.
Enam bulan berlalu, Amin tidak berkabar ke Masni dan anak-
anaknya. Amin juga tidak mengirimi uang. Pak Aji telah datang
menagih uangnya bersama bunganya. Masni minta penangguhan
waktu bayar karena Amin belum ada kabar berita. Pak Aji sepakat
menangguhkan enam bulan lagi, tetapi bunganya tetap berjalan. Enam
bulan kemudian, Pak Aji datang lagi. Belum ada kabar dari Amin sedikit
pun. Masni akhirnya diam saja, ketika Pak Aji mengangkut lemari, meja,
kursi, mesin jahit, dan televisi dari rumah Marni. Pak Aji mengatakan

348
bahwa itu baru bunganya, pokoknya masih ada. Masni marah kepada
Amin yang tidak memberi kabar sedikitpun tentang keberadaannya.
Akhirnya Masni berusaha untuk mencukupi kehidupan dirinya dan
anaknya. Pak Aji datang lagi untuk mengambil rumah Masni dan Marni
minta waktu satu bulan untuk mencari uang membayar utang dan
Masni bisa membayarnya. Perlahan kehidupannya Masni membaik.
Ia kembali menjalani rutinitas sebagai penjahit. Mesinnya kembali
setelah ia tebus. Kabar suaminya sudah empat tahun tidak pernah ia
dengar. Bahkan terdengar bahwa suaminya telah meninggal. Lalu, pada
suatu hari, seorang pemilik wartel memberi kabar jika ada telepon
untuk Masni dari suaminya. Ia bersama anak-anaknya lalu bergegas
menuju sumber telepon berada. Amin masih hidup. Amin menjelaskan
keadaannya bahwa perjalanannya ke Malaysia berjalan lancar meski
harus menggunakan jalur gelap. Ia bekerja di sebuah perkebunan.
Tiga bulan bekerja ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup
untuk dikirim kepada Masni. Ketika itu, kebetulan ada warga Kabaena
akan pulang ke tanah air. Uang itu ia titipkan bersama sepucuk surat
rindu. Enam bulan setelah perpisahan, Amin kembali mengirim uang.
Jumlahnya cukup banyak dan cukup untuk membayar utang pada pak
Aji bersama bunganya. Juga cukup untuk kebutuhan Masni dan anaknya
di kampung. Setiap tahun Amin selalu mengirim uang ke kampung
halaman tiga hingga empat kali. Ia tak pernah menyia-nyiakan
kesempatan jika ada warga hendak pulang ke Kabaena. Lalu, mengapa
uang kiriman itu tak pernah sampai ke anak istrinya? Ternyata orang-
orang itu tidak menyampaikannya ke Masni dan anak-anaknya. Sebulan
setelah percakapan itu, Amin kembali menelepon dan memberi kabar
jika ia segera pulang. Masni melarang Amin pulang ke Kabaena. Masni
meminta Amin datang ke Pulau Bangka Belitung saja. Di sana banyak
warga Kabaena mengadu nasib dengan butiran pasir timah. Masni
akan menunggu di sana. Namun, tiga tahun kemudian Amin dan Masni
pulang ke Kabaena. Saat keduanya kembali, Kabaena sudah tidak
seperti dulu lagi. Wangi kebun jambu mente di gunung-gunung, sudah
berganti aroma cengkih. Beberapa waktu kemudian diketahui tanah

349
Kabaena mengandung biji nikel. Pelan tapi pasti wangi ore di tanah
Kabaena terdengar oleh banyak orang. Ore adalah endapan bahan
galian yang dapat diekstrak (diambil) mineral berharganya secara
ekonomis baik itu logam maupun bukan logam. Dalam hal ini, ore yang
dimaksud adalah tanah yang mengandung mineral biji nikel. Kabaena
diserbu inverstor yang berbondong-bondong datang. Mereka menemui
para pejabat dengan sekarung uang. Beberapa waktu kemudian,
gunung-gunung dikapling-kapling. Mesin-mesin asing berdatangan
menghancurkan hutan-hutan dan tanah di Kabaena. Lubang penggalian
dan kubangan ada di mana-mana. Kabaena mendadak jadi negeri
tambang dan memimbulkan kerusakan alam. Penduduk Kabaena tidak
lagi merantau. Mereka menjadi kuli di perusahaan tambang. Masni
menjadi buruh masak di sebuah perusahaan tambang. Bertahun-tahun
tambang beroperasi telah mengakibatkan banjir di perkampungan
Kabaena. Hutan dan gunung lenyap dari Kabaena,

EMPAT
Sahabat, puisi esai Uniawati “Manusia Sama di Laut Buton”
mengisahkan suku Bajo yang menetap di perahu di tengah lautan,
diprogramkan oleh pemerintah untuk dipindahkan ke Dusun Terewani,
Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton. Ketika itu, seorang
lelaki sedang merenung di bibir pantai. Ia sedang bingung. Ia dan
keluarganya secara turun-temurun mengarungi lautan di atas bido
bersama restu sang Mbu. Bido adalah perahu khas sebagai sarana
transportasi laut orang Bajo dalam mencari nafkah di laut sekaligus
tempat tinggal mereka sekeluarga. Mbu adalah makhluk gaib yang
memiliki kekuasaan di luat. Mbu dipercaya sebagai pelindung
sekaligus perusak bagi para pelaut yang sedang melaut. Oleh karena
itu, para pelaut Bajo biasanya tidak berani melakukan tindakan atau
perbuatan yang dianggap kurang sopan, seperti meludah dan berkata-
kata kotor, yang dapat menimbulkan bencana bagi mereka saat
melaut. Masyarakat Bajo memercayai adanya tiga mbu yang berkuasa
di dalam laut. Ketiga mbu itu adalah Mbu Tambirah, Mbu Duga, dan

350
Mbu Janggo. Di antara ketiga mbu itu, Mbu Tambira diyakini memiliki
kekuatan yang paling besar. Dialah yang dianggap pemimpin dari
semua mbu yang ada di laut. Pemerintah telah mengajak suku Bajo
untuk tidak hidup di atas perahu. Mereka harus hidup di tempat yang
telah disediakan oleh pemerintah. Padahal nenek moyang suku Bajo
mengatakan bahwa laut adalah takdir orang Bajo. Riak di permukaan
laut kadang menjelma menjadi ombak, gelombang, dan tsunami. Jika
tidak memiliki tiang layar yang kuat dan mantra pereda badai Mbu
Tambirah, nicaya akan binasa bersama bido.
Makulao lahir lima puluh tiga tahun lalu pada permulaan subuh.
Ia diupacarai dengan sebuah tradisi penyambutan kelahiran dalam
masyarakat Bajo untuk melarung ari-ari bayi yang baru lahir ke laut.
Ari-ari bayi itu diyakini sebagai kembaran sang bayi yang akan menjadi
pelindungnya kelak pada saat melaut. Upacara itu Dalam iringan magis
mantra para tetua yang berdoa pada mbu di lao lewat kepulan dupa
atas kehadiran penghuni alam yang baru. Makulao artinya kekuatan
semesta. Kini, tubuhnya ringkih berselempang sarung. Makulao harus
menentukan bertahan ataukah berturut. Masyarakat Bajo hendak
dipindahkan ke Dusun Terewani pada tahun 1986. Ketika itu, pemerintah
Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Kanada akan memindahkah
masyarakat Bajo dari Kampung Kaudani ke Dusun Terewani, Kabupaten
Buton, saat ini telah berada dalam wilayah pemekaran Kabupaten
Buton Tengah. Tujuannya adalah untuk menertibkan orang Bajo dan
mengajarkan cara hidup sehat. Semua fasilitas hidup standar disediakan,
antara lain rumah apung dan MCK untuk setiap kepala keluarga. Ironisnya,
program yang mengatasnamakan “keteraturan” itu rupanya mendapat
penolakan dari masyarakat Bajo, terutama dari kalangan tetua Bajo.
Dari bibir Makulao keluar ucapan, Oh Embu Madilao Pamopparahta
aku. Oh nenek penguasa laut, maafkan aku’. Mantra itu diucapkan
Makulao karena sudah terjadi pelanggaran terhadap berbagai aturan
nenek moyang. Makulao menyampaikan permohonan maaf agar
bencana tidak datang menimpa suku Bajo. Makulao berkata kepada
teman-temannya bahwa mereka bangsa Sama yang akan menerima

351
kelompok Sama secara terbuka. Akan tetapi, terhadap orang yang di luar
Sama, mereka cenderung menutup diri. Istilah Bagai disematkan bagi
orang atau kelompok di luar Sama. Makulao mengataka bahwa semua
lahir dan besar oleh tempaan ombak. Bido adalah nadi kehidupan
dan laut adalah nyawa. Pada suku Bajo tonggak tradisi diserahkan oleh
para leluhur. Di situlah pula awal suratan takdir dituliskan, menjadi
penjaga sekaligus penerus kebersahajaan leluhur orang Sama. Makulao
berkata bahwa atas nama leluhur dan para Mbu di Lao, Malukao tidak
akan membiarkan bido menyentuh daratan, baginya itu melanggar
pamali yang telah digariskan para leluhur. Salah satu pamali orang Bajo
adalah pantang membiarkan sampan kering karena dapat menyebabkan
celaka. Artinya, orang Bajo harus selalu melaut agar sampan itu tidak
kering. Makulao tetap melaut, diikuti oleh kelompoknya. Mereka tetap
mencari ikan di laut. Selain menangkap ikan, mata pencaharian utama
lainnya orang Bajo adalah mencari damar dan rotan yang tumbuh di
hutan-hutan dekat laut. Hasil itu kemudian dijual pada orang Bagai di
pasar-pasar tradisional. Hasil penjualan mereka kemudian digunakan
untuk membeli kebutuhan pokok mereka, seperti beras, gula, dan
lain-lain. Makulo akhirnya membawa kelompoknya dari Kaudani ke
Terewani,tetapi ia tetap menarungi lautan dan tidak mau terikat.
Setelah perpindahan orang Bajo dari Kaudani ke Terewani berhasil
dilakukan oleh pemerintah, Kampung Kaudani pun kosong. Mereka
akhirnya menempati rumah yang telah disediakan oleh pemerintah
secara cuma-cuma di Terewani. Namun, beberapa di antara mereka
memilih kembali ke Kaudani dan ada pula yang berlayar mencari tempat
tinggal baru setelah tinggal beberapa saat di Terewani. Sebagian besar
lainnya memilih untuk menetap. Hingga sekarang, Dusun Terewani, Desa
Terapung, Kecamatan Mawasanga menjadi tempat tinggal orang Bajo. Di
sanalah dapat ditemukan komunitas Bajo dalam jumlah banyak.

LIMA
Sahabat, puisi esai Wa Ode Nur Iman “Jejak Sunyi Di Masjid Muna”
mengisahkan masyarakat Islam Pulau Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

352
Di wilayah itu terdapat Masjid Muna yang menjadi tempat ritual sakral
dan wisata religi. Masjid itu dianggap suci oleh masyarakat di Pulau
Muna. Tempat yang dianggap sebagai lokasi yang mengesankan
kedatangan orang-orang dari luar Pulau Muna. Siapa pun yang
berkunjung ke Pulau Muna akan dianggap tidak sah kunjungan
yang dilakukannya sebelum menginjakkan kaki di masjid Muna dan
sekitarnya. Di sekitar masjid Muna terdapat banyak tempat yang wajib
dikunjungi, di antaranya makam para raja Muna, batu berbunga, dan
Sawerigading yaitu kapal karam yang sudah menjadi gunung batu.
Ada cerita tentang masjid Muna pada zaman dahulu. Muna
adalah sebuah pulau. Kehidupan rakyatnya makmur dan dipimpin
oleh seorang raja bernama La Ode Rahman bergelar Sangia Latugho.
La Ode Rahman adalah anak dari Raja La Ode Kadiri digelar Sangia
Kaendea. La Ode Kadiri memiliki permaisuri bernama Wa Ode
Wakelu dari Buton. Perkawinan La Ode Kadiri dengan Wa Ode Wakelu
menimbulkan kemarahan pihak Kerajaan Buton karena pihak kerajaan
ingin menjodohkan La Ode Kadiri dengan Wa Ode Sope. Keinginan
Kerajaan Buton sebagai bentuk siasat agar Kerajaan Muna berada di
bawah kekuasaan mereka. Pada saat itu Kerajaan Buton bersekongkol
dengan Belanda. Jelang akhir hidupnya, La Ode Kadiri berpesan
kepada anaknya agar menikahi Wa Ode Sope. Sebetulnya, Wa Ode
Sope adalah kekasih dari La Ode Kadiri yang tidak dinikahi. La Ode
Rahman lalu memenuhi wasiat ayahnya mempersunting Wa Ode Sope
sebagai permaisuri di kerajaan. Pada suatu hari di masa pemerintahan
Raja La Ode Rahman datanglah seorang Arab bernama Syaikh Abdul
Wahid atau Syarif Muhammad. Oleh masyarakat Muna dikenal dengan
sebutan Saidhi Raba (Syaikh Arab). Ia membawa ajaran Islam. La Ode
Rahman bersedia menerima Islam sebagai agama resmi di kerajaan
dengan suatu syarat dapat membuat permaisuri hamil. Pada saat itu
Wa Ode Sope, permaisuri La Ode Rahman menjelang menopause. Syarif
Muhammad bersedia memenuhi syarat itu. Ia kemudian menunaikan
salat dua rakaat dan meminta kekuasaan Allah agar permaisuri raja
dapat mengandung anak raja. Ketika itu Syarif Muhammad menghilang

353
dari pandangan raja dan yang ada di hadapannya hanyalah setitik air.
Tidak lama kemudian, Syarif Muhammad terlihat kembali. Seluruh
tubuh dan jubahnya basah kuyup. Syarif Muhammad berkata kepada
raja: “Dengan izin Allah, saya telah meletakkan roh anak laki-laki ke
dalam rahim permaisuri Tuan Raja. Bila dia lahir nanti, saya berpesan
agar anak itu diberi nama Husein.” Benar bahwa permaisuri raja
melahirkan anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama La Ode Huseini,
yang selanjutnya menjadi Raja Muna XVI. Ia memerintah pada 1716–
1757 Masehi diberi gelar Omputo Sangia. Demikianlah, akhirnya Islam
menjadi agama resmi di Kerajaan Muna.
Orang tua di Muna selalu menasihati anak-anaknya, antara lain
dengan ungkapan-ungkapan. Salah satu ungkapan dari orang tua di
Muna disampaikan kepada anaknya yang akan menempuh pendidikan
atau merantau di daerah lain adalah ungkapan betapa pun banyaknya
ilmu yang telah ditempuh di luar daerah, seseorang akan selalu
menyesuaikan dengan falsafah hidup sehari-hari masyarakat setempat.
Setiap Tahun Hijriah ada yang berbondong- bondong menuju kota Muna.
Walaupun dikatakan sebagai kota Muna, namun lingkungan sekitar
masjid Muna bukanlah sebuah kota. Sepi seperti kota mati. Panas terik
ketika siang hari dan dingin menggigil ketika malam telah tiba. Tidak
ada listrik. Tidak ada sumber air bersih. Satu-satunya sumber air adalah
sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 113 meter yang berhasil
digali oleh beberapa orang yang dipelopori oleh Bapak Prof. La Iru. Tak
heran, sumur tersebut diberi nama Sumur La Iru. Mereka yang datang
ke masjid Muna untuk berziarah ke makam para Raja Muna dan juga
kuburan para leluhur hampir seluruh orang Muna. Masjid megah yang
sepi itu akan menjadi ramai pada hari raya Idulfitri. Penduduk Muna
memenuhi masjid dengan niat masing-masing memohon keberkahan
Tanah Muna dan meminta restu dari para pejabat masjid Muna. Pejabat
di masjid Muna dibagi menjadi tiga bagian, yaitu imam, khatib, modi.
Para pengunjung yang merayakan lebaran di masjid Muna akan memilih
pejabat mana yang akan mendoakannya, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk semua keluarganya. Bagi yang masih memiliki darah

354
keturunan raja atau bangsawan, Kaomu dan Walaka, yang ditandai
dengan gelar kebangsawanan yang melekat di nama mereka, La Ode
untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan, akan memilih pejabat
tertinggi dalam masjid,yaitu Imam.Akan tetapi, strata sosial di masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari saat ini tidak lagi terlalu tampak. Tidak
jarang, mereka yang berpendidikan tinggi dihormati oleh masyarakat
karena status pendidikannya. Orang-orang berdesak memasuki masjid
menjadi biasa tanpa melepas alas kaki menjadi lumrah. Tak ada yang
saling mengurusi, meski ada beberapa menggerutu. Saat ini Masjid
Muna hanya digunakan pada hari Jumat, hari raya, atau perayaan hari
besar agama Islam seperti Maulid Nabi. Orang-orang dari luar wilayah
Kecamatan Tongkuno akan berdatangan untuk melakukan salat Jumat
di masjid megah tersebut. Itu pun jemaah yang hadir tidak akan lebih
dari dua saf atau barisan. Masjid Muna kesepian di wilayah luas nan
hijau. Dalam kemegahannya yang bersahaja, sesungguhnya ia terpencil.
Apakah orang-orang Muna sendiri yang tidak mau mendekatkan dirinya
kepada masjid tersebut atau masjidnya yang terlalu mulia dan menjadi
sayang untuk didatangi setiap hari.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Kesaksian Bumi Anoa ini menggambarkan
kehidupan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara. Lima penyair me-
ngangkat persoalan sosial dengan latar budaya di Sulawesi Tenggara.
Suku Bajo dipandang sebagai masyarakat terbelakang akibat kehidupan
mereka berbeda dengan masyarakat umumnya; pengungkapan derita
korban penggunaan obat PCC yang lepas dari pengawasan orang tua
dan pemerintah; perbedaan bangsawan dan rakyat jelata yang tersisa
di masyarakat; perjuangan perempuan mengatasi kemiskinan; dan
sejarah yang memudar di Pulau Muna. Puisi esai ini menjadikan kita
merenung tentang kehidupan rakyat di wilayah pelosok Indonesia
sehingga kita dapat berbuat sesuatu, menghargai perasaan, dan me­
nya­dari keberadaan manusia Indonesia yang beragam.

355
Pencemaran, Penggusuran,
dan Konflik
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SULAWESI TENGAH

Judul Buku : Palu


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 86 Halaman
Penulis : Abdul Hanan Muslaini, Bambang
Pujiyarto, Laila Kurniawaty, Novi
Puspitasari, Prima Novita Indriani
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-22-4

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini menggambarkan perjuangan masyarakat pedalaman
di hutan adat di daerah Sulawesi Tengah untuk mendapatkan status
legal kepemilikan tanah, tersingkirnya salah satu suku terasing, pen­
cemaran, penggusuran rumah tinggal, dan konflik di daerah Poso
yang berkepanjangan. Semua itu diungkap para penulisnya dengan
puitis dan indah.

LIMA INTISARI BUKU


 Nasib warga pedalaman hutan.
 Terusiknya kedamaian suku terasing.
 Pencemaran akibat pertambangan emas.
 Penggusuran rumah yang sewenang-wenang.
 Pelajaran dari konflik Poso.

SATU
Sahabat, puisi esai “Masewo, Desa di Punggung Bukit” Abdul
Hanan Muslaini mengisahkan hutan adat yang digarap penduduk
secara turun temurun. Masewo adalah nama sebuah desa di Kecamatan
Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ia merupakan salah satu

356
kampung di punggung bukit di pedalaman hutan Sulawesi. Akses
jalan menuju Masewo cukup terjal. Ketinggian kampung ini mencapai
1.662 meter di atas permukaan laut. Satu-satunya transportasi ke
Masewo dan wilayah Pipikoro lainnya adalah ojek motor. Sebelumnya
masyarakat di sana memakai kuda untuk berhubungan dengan dunia
luar. Selain kuda, tentu saja, masyarakat jalan kaki keluar kampung.
Salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat,yaitu munculnya
patok tata batas oleh negara, karena Masewo dianggap wilayah
hutan produksi terbatas. Bertolak dari masalah ini, kisah tentang
Masewo pun bergulir. Warga Masewo berjuang untuk mendapatkan
pengakuan kalau bumi yang ditempati merupakan kawasan hutan
adat. Masewo memang baru beberapa tahun ini dimekarkan sebagai
desa. Sebelumnya, Masewo adalah dusun dari Desa Banasu.Tapi sejarah
kampung Masewo sudah ada sejak lama sebelum Indonesia berdaulat
dari kolonialisasi bangsa kulit putih. Bahkan Masewo ikut merasakan
langsung zaman pergolakan Indonesia sebagai fase dalam bernegara.
Terkisahlah, Baharima salah satu penduduk di desa Masewo.
Warga Masewo adalah bagian dari masyarakat adat Topo Uma.
Dataran tinggi Pipikoro tepat di jantung Sulawesi adalah rumah besar
bagi masyarakat Topo Uma, yaitu sebutan bagi penduduk Pipikoro.
Mereka merupakan penutur bahasa Kulawi berdialek Uma. Pipikoro
secara harafiah diartikan sebagai daerah atau tempat di tepian
Sungai Koro. Koro adalah sebutan Topo Uma untuk Sungai Lariang.
Penamaan ini katanya, mengilustrasikan posisi geografis dan relasi
mereka terhadap Sungai Lariang, yang dianggap sungai terpanjang di
Pulau Sulawesi. Aliran sungai ini membelah dua provinsi, berhulu di
Sulawesi Tengah dan bermuara di Sulawesi Barat, kemudian mengalir
tepat di bagian tengah, di jantung Sulawesi. Baharima tinggal di
dataran tinggi Pipikoro itu. Ia bekerja sebagai tukang ojeg di desanya.
Sebagai pengojek, Baharima membantu warga yang akan pergi ke
pasar atau Kantor Kecamatan Pipikoro. Melintasi jalan di Masewo
sungguh membutuhkan keberanian luar biasa. Jalanan sempit dan
terjal tak terkira. Ketinggian kampung ini mencapai 1.662 meter di

357
atas permukaan laut. Sebelumnya masyarakat setempat memakai
kuda untuk berhubungan dengan dunia luar. Selain kuda, tentu saja,
masyarakat berjalan kaki keluar kampung. Kampung Masewo belum
memiliki listrik. Warga memanfaatkan potensi air sungai sebagai energi
untuk penerangan. Mereka bekerja bakti membuat kincir mikrohidro
untuk mendapatkan listrik yang dapat menerangi desa Masewo. Di
suatu siang yang panas Desa Masewo tiba-tiba dikejutkan dengan
kedatangan lima orang yang masih asing bagi warga. Mereka mengaku
dari Jakarta. Mereka mendatangi rumah Baharima yang tidak jauh dari
pintu gerbang kampung. Mereka datang akan memasang pal batas di
kampung itu. Semula Baharima menolak dan menyuruh memasang
pal batas jauh dari pemukiman. Namun orang-orang itu mengatakan
kalua tidak perlu khawatir karena setiap lima tahun pal batas itu akan
dipindah. Baharima merasa aneh mendengar pernyataan bahwa patok
bisa dipindah-pindah. Baharima lalu memberi tahu warga dan Pak
Kades. Warga Masewo akhirnya hanya mendiamkan saja pemasangan
pal batas itu. Warga hanya bisa menurut saja karena yang datang
mengatasnamakan negara. Ada juga warga yang beranggapan, jika
menolak pemasangan pal batas itu Masewo tidak akan maju. Ternyata
Masewo dimasukkan ke kawasan hutan produksi terbatas. Pal batas
hutan produksi terbatas itu pun ditancapkan di tanah warga. Pal batas
itu ada yang di lokasi dekat pintu gerbang Masewo. Ada pula yang
berada di belakang rumah milik warga. Dengan pal batas itu, sebagian
besar kampung Masewo menjadi kawasan hutan terbatas milik negara.
Setelah patok-patok terpasang, beberapa waktu kemudian datanglah
alat- alat berat merobohkan pepohonan yang ada di hutan di desa
Marewo. Baharima dan warga desa tidak bisa berbuat apa-apa melihat
hutan menjadi hilang menjadi tanah datar yang lapang. Masyarakat
yang hidup bergantung kepada hutan pun kehilangan wilayah napas
mereka. Hutan lebat subur itu cuma tinggal kenangan. Hutan rimbun
nan hijau hanya cerita masa lalu. Kampung Masewo tidak sendirian.
Saat itu ada sekitar 33.000 desa di sekitar hutan yang tanahnya
dimasukkan dalam Kawasan hutan terbatas..

358
Kepala Desa berjuang agar Masewo menjadi desa hutan adat.
Pak Kades menyadari, bahwa pengakuan hak-hak masyarakat dalam
pengelolaan hutan adalah prasyarat penting untuk menyelesaikan
pengelolaan hutan berkepanjangan. Pak Kades bingung karena
semua keluarga yang bermukim di pal batas itu masuk kawasan
konservasi dan harus keluar, pindah dari daerah itu. Pak Kades
berjuang untuk warganya, iya mengatakan fungsi konservasi harus
tetap dipertahankan oleh masyarakat yang mengelola hutan adat.
Hutan adat tidak boleh diperjualbelikan oleh masyarakat

DUA
Sahabat, puisi esai “Dunia Tersendiri Suku Wana” Bambang
Pujiyarto mengisahkan Suku Wana di pegunungan Tokala, Kabupaten
Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Mereka hidup berkelompok dan
berpindah-ladang. Mereka hidup bergantung pada hutan. Suku Wana,
sering disebut Tau Taa Wana atau orang Taa, hidup mendiami wilayah
hutan di pegunungan Tokala, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi
Tengah. Nenek moyang mereka berasal dari sekitar Teluk Bone.Wana
termasuk suku tertua di Sulawesi dan diyakini sebagai salah satu
suku pertama yang menghuni pulau itu sejak zaman Mesolitikum,
8.000 tahun lalu. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang
disebut Lipu yang terdiri dari beberapa keluarga dan rata-rata
memiliki hubungan keturunan langsung, mereka hidup berladang.
Sistem berladang mereka berpindah dalam rotasi, yang dalam sekian
tahun membawa mereka kembali ke lokasi yang pernah dibuka
sebelumnya, sehingga praktis hampir tidak ada lagi pembukaan
ladang baru. Mereka sangat tergantung pada hutan dan kekayaan
alam yang ada di dalamnya. Namun kedamaian kehidupan mereka
terancam tiba-tiba. Hal itu karena hutan yang mereka diami, oleh
pemerintah dijadikan sebagai wilayah konsesi.
Jane berada di dalam hutan pegunungan Wana Bulang. Ia tinggal
di tempat Suku Wana sudah satu minggu lamanya. Suku Wana adalah
penduduk asli di kawasan Wana Bulang yang berada di wilayah

359
kabupaten Morowali. Pemukiman mereka berada di kecamatan Mamo­
solato, Petasia, dan Soyojaya, dan tedapat juga di wilayah pedalaman
di kabupaten Luwuk Banggai. Suku Wana sering disebut sebagai Tau
Taa Wana, yang artinya orang yang tinggal di kawasan hutan. Namun,
Suku Wana sendiri lebih sering menyebut dirinya dengan Tau Taa.atau
orang Taa.Hal ini disesuaikan dengan bahasa yang mereka gunakan,
yaitu bahasa Taa. Kehidupan suku Wana memperlihatkan kepercayaan
terhadap Pue, yang berarti pemilik atau penguasa. Dalam pandangan
orang suku Wana dimensi ini adalah yang tersembunyi atau tidak
dapat dijangkau dengan mata. Bagian yang tidak kelihatan inilah
yang dipercaya mempunyai sumber pengetahuan, kekuatan bahkan
pengaruh lain yang sangat mempengaruhi kehidupan nyata suku Wana.
Dalam pandangan suku Wana, mereka dapat melakukan komunikasi
dengan dimensi di luar dunia mereka itu dengan perantara dukun,
yaitu individu yang mempunyai kemampuan menjangkau bagian dunia
yang tersembunyi untuk menghimpun ilmu dan kekuatan dari sana.
Mereka sering berpindah-pindah tempat dan bekerja sebagai petani.
Mereka menyukai alam pegunungan. Suku ini pernah disuruh Belanda
untuk pindah dan menetap di daerah pesisir. Dengan berbagai alasan
khususnya menyangkut keberlangsungan hidup, akhirnya mereka
diizinkan untuk tetap tinggal di pegunungan. Jane sangat menikmati
tinggal bersama Suku Wana, tinggal di hutan dan pegunungan, terasing
dari masyarakat luar. Sebenarnya bukan berarti mereka tidak bisa
beradaptasi dengan daerah luar, ataupun daerah pesisir. Masyarakat
Wanapun sangat bergantung kepada daerah-daerah pesisir sebagai
jaringan perdagangan. Di daerah pesisir ada pakaian, garam, atau alat-
alat logam. Masyarakat Wana akan mondar-mandir ke daerah pantai
guna transaksi ekonomi. Rumah mereka berbentuk panggung dengan
dinding bambu serta atap daun lontar. Mereka mendirikan rumah
yang tinggi di atas tanah sekitar dua sampai lima meter. Di bagian
tengah rumah ada perapian. Mereka sekeluarga tidur dengan menaruh
kaki di dekat perapian. Suku Wana hidup dalam kelompok-kelompok.
Kelompok itu disebut Lipu yang terdiri dari beberapa keluarga yang

360
memiliki hubungan keturunan langsung. Mereka hidup berladang dan
bersawah. Mereka berladang berpindah dalam rotasi sekian tahun,
mereka akan kembali ke lokasi yang pernah dibuka sebelumnya.
Kepemimpinan paling efektif dalam kehidupan sosial mereka adalah
tokoh yang disebut Tautua Lipu. Seorang lelaki senior berperan sebagai
kepala pemukiman sekaligus sebagai pemimpin tani dan syaman atau
dukun. Suku Wana sangat tergantung kepada hutan. Jika hutan dijadikan
wilayah konsesi, maka kehidupan suku Wana ter­ancam. Pemukiman yang
diprogramkan untuk Suku Wana tidak memadai. Dari sisi kesehatan
dan pendidikan tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah yang telah
menetapkan hutan tempat suku Wana berada sebagai hutan konsesi.
Mereka diberi rumah- rumah sederhana tanpa sanitasi, tidak ada jamban,
dan sampah pun berserakan. Mereka tidak dididik untuk bermukim
seperti masyarakat yang sudah biasa bermukim di suatu tempat.
Jane terkejut ketika kedamaian kehidupan suku Wana terancam.
Hutan yang mereka diami oleh pemerintah dijadikan wilayah konsesi.
Kehidupan suku Wana tidak sehat, tidak berpendidikan, dan kotor. Jadi
hutan mereka akan digunakan pemerintah untuk hal lain. Sebelum
kembali ke Amerika, Jane menyaksikan sekitar 100-an orang warga
suku Wana mengikrarkan dua kalimat syahadat. Semangat warga
suku Wana terlihat saat mereka bermunculan dari hutan sambil
menggendong anak mereka dalam rangka menghadiri acara itu.
Mereka harus melakukan itu jika akan bermukim dan berbaur di
desa-desa. Jane pun kali ini benar-benar menangis.

TIGA
Sahabat, puisi esai “Lembahku Merkuri” Laila Kurniawaty mengi­
sahkan keadaan lingkungan air, darat, dan udara yang tercemar
oleh kegiatan pertambangan emas di daerah Poboya, Palu. Kantor
Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah saat pembahasan Amdal beberapa
saat lalu mencatat bahwa ikan yang terdapat di laut sekitar kota Palu
sudah tercemar merkuri. Logam emas merupakan salah satu komoditas
tambang yang mempunyai nilai jual tinggi, sehingga menarik banyak

361
orang untuk mengusahakannya. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh peneliti di Universitas Tadulako dan beberapa peneliti Jepang
ditemukan bahwa ternyata penggunaan merkuri oleh para penambang
telah mencemari udara dan laut di kota Palu. Sudah sangat jauh di atas
ambang batas yang disyaratkan oleh WHO. Penambangan emas dengan
menggunakan merkuri dapat membawa dampak yang sangat buruk pada
berbagai sektor. Limbah merkuri tidak hanya dapat mencemari air, tetapi
juga bahan pangan, binatang ternak, hingga udara yang membahayakan
kesehatan manusia.Kantor Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah mencatat
bahwa ikan yang terdapat di laut sekitar kota Palu sudah tercemar
merkuri. Pelepasan senyawa merkuri paling cepat, yaitu melalui udara, air,
dan tanah. Jadi, masyarakat yang tinggal dekat Kawasan pertambangan
emas memiliki potensi lebih tinggi terkena dampak negatifnya dari pada
yang tidak. Dari paparan pelepasan senyawa merkuri tersebut itulah
kemudian yang banyak menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi
manusia. Merkuri atau sering disebut air raksa atau air perak merupakan
jenis logam yang tersebar di alam dan terkandung pada bijih tambang,
batu-batuan, air, tanah, hingga udara. Merkuri yang terkandung di dalam
udara, tanah, atau air sebenarnya berkadar sangat rendah, Namun,
banyak kegiatan manusia yang menyebabkan kadar merkuri menjadi
semakin meningkat, salah satunya seperti kegiatan penambangan emas.
Para penambang emas memafaatkan merkuri untuk menghasilkan emas
yang lebih banyak. Padahal melakukan kontak langsung dengan merkuri
dapat berdampak buruk menyebabkan berbagai penyakit berbahaya
bahkan bisa mengancam jiwa. Para penambang emas Sebagian besar
menggunakan merkuri untuk memisahkan bijih emas dari bebatuan
sampai dengan proses pemurniannya. Endapan merkuri dan bebatuan
akan disaring dengan kain untuk mengumpulkan bijih emas. Hasil
saringan tersebut akan disaring ulang dan sisa air penambangan
yang mengandung merkuri akan mengalir ke sungai dan laut yang
menyebabkan pencemaran. Penggunaan merkuri yang berlebihan
sebetulnya dilarang. Pada suatu hari, polisi menangkap seseorang
yang memiliki 5 kg bahan kimia berbahaya jenis merkuri di lokasi

362
pertambangan emas Poboya, Palu. Bahan kimia itu digunakan oleh para
penambang.
Lembah Palu adalah julukan Kota Palu yang sekelilingnya berupa
pegunungan dengan hutan yang hijau menyelimuti wilayah itu.
Kehidupan dengan lingkungan yang indah itu telah dicemari adanya
penambangan di wilayah itu. Penambangan itu telah mempengaruhi
kesehatan warganya yang menjadi sakit karena terkena merkuri, air
perak. Poboya adalah nama daerah penambangan yang terdapat di
sebelah timur kota Palu. Sejak mereka menemukan logam mulia di
wilayah Palu, sejak itu mereka menambang tanpa memperhatikan
lingkungan alam sekitarnya.
Merkuri telah merusak kehidupan warga sekitar penambangan.
Padahal penambangan dengan merkuri dilarang. Manusia bisa
mengalami keracunan merkuri dari proses penghidupan, seperti
menghirup udara dari merkuri secara langsung atau bisa melalui system
rantai makanan. Seseorang yang mengonsumsi jenis makanan seperti
ikan atau biota perairan lainnya yang telah terkontaminasi merkuri
bisa menyebabkan keracunan atau terserang suatu penyakit berbahaya
lainnya. Bahaya merkuri pada tubuh manusia bisa menyebabkan
berbagai masalah kesehatan yang cukup serius, meskipun dalam kadar
rendah. Keracunan merkuri nonorganik bisa menyebabkan gangguan
fungsi saraf, paru-paru, hati, ginjal, dan jantung. Polisi telah menangkap
seseorang atas kepemilikan 5 kg bahan kimia berbahaya jenis mercuri di
lokasi pertambangan Poboya Palu, sehingga diduga ada penyimpangan
yang dilakukan oleh perusahaan pemilik izin pertambangan di
Poboya dalam hal ini PT Citra Palu Minerals (CPM) Beberapa pekan
sebelumnya juga menyita 10 kg merkuri di lokasi tambang Poboya
dengan menetapkan sejumlah tersangkanya. Akhirnya tambang di
Poboya ditutup. Namun merkuri telah meresap ke dalam tanah selama
10 tahun adanya penambangan emas itu. Ada juga yang masih belum
menyadari bahaya pencemaran merkuri. Mereka mengatakan tambang
itu tambang rakyat. Rakyat berhak mencari hidup di Poboya. Orang
penambang itu sebagian besar datang dari provinsi lain. Mereka

363
merasa sudah membayar palang. Sudah ada izin dari pemerintah.
Bayar palang adalah sebutan para penambang yang membayar pajak
kepada pemerintah untuk melakukan kegiatan tambang. Namun aktivis
lingkungan bersuara agar tambang Poboya ditutup. Kapolda Sulawesi
Tengah Brigjen Polisi Rudy Sufahriadi akhirnya bertindak tegas dengan
menutup aktivitas tambang emas di Kelurahan Poboya, Kecamatan
Mantikulore, Kota Palu. Penutupan tambang Poboya disertai dengan
penghentian aktivitas penambangan emas di kawasan itu dilakukan
Kapolda Rudy Sufahriadi didampingi Direktur Reserse Kriminal Khusus
(Reskrimsus) AKBP Arief Agus Marwan, Kasat Brimob Kombes Polisi
Guruh Arif Darmawan, dan Kapolres Palu AKBP Mujianto.

EMPAT
Sahabat, puisi esai “Nyanyian Duka dari Tanjung Sari” Novi
Puspitasari mengisahkan warga Tanjung Sari, Kelurahan Keraton,
Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
menjadi korban penggusuran. Penggusuran itu merupakan perintah
Pengadilan Negeri Luwuk. Mereka menilai, penggusuran yang
dilakukan itu ilegal. Pasalnya, walaupun belum ada petunjuk ketua
Mahkamah Agung, namun rumah warga yang berada pada lahan
objek eksekusi telah rata dengan tanah. Bahkan dari 6 hektar tanah
berubah menjadi 7,5 hektar. Kemudian pada awal 2018, warga dan
petani kembali dihadapkan dengan rencana penggusuran lanjutan
yang akan mengancam tanah pertanian mereka. Sertifikat kepemilikan
yang dimiliki warga bahkan tidak diakui, karena masih dianggap
dalam sengketa hukum. Padahal telah terjadi kesepakatan jual beli
di antara pihak-pihak terkait. Petugas pemerintah daerah setempat
dan aparat menggusur rumah-rumah yang sudah puluhan tahun
ditinggali warga dan petani menggunakan alat berat. Warga korban
penggusuran paksa pun menuntut keadilan kepada pemerintah
daerah dan pusat atas penderitaan yang mereka alami.
Sudah berapa bulan ribuan warga Tanjung Sari bertahan di bekas
rumah mereka. Rumah mereka telah rata tinggal puing-puing. Kampung

364
Tanjungsari masuk wilayah Kelurahan Keraton Kecamatan Luwuk
Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Rumah dan bangunan
yang telah mereka tempati berpuluh-puluh tahun lalu telah rata dengan
tanah. Penggusuran Pengadilan Negeri Luwuk dirasa sepihak tanpa
keadilan. Penggusuran itu dikawal aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP.
Penggusuran ini berawal dari klaim oleh keluarga Salim Albakar yang
mengaku sebagai ahli waris dari tanah tersebut. Akibat penggusuran
tersebut, sedikitnya dua ratusan unit rumah warga dan 343 KK yang
terdiri dari 1.411 jiwa telah menjadi korban dari penggusuran sepihak
tersebut. Tuduhan penggusuran secara sepihak memang bukan tanpa
alasan. Betalino, lelaki tua, salah seorang korban penggusuran melihat
telah banyak terjadi pelanggaran administratif dan hak asasi manusia,
termasuk hak atas tanah. Pada mulanya sengketa ini berawal pada
tahun 1977. Proses gugatan ini diproses di PN Luwuk dengan keluarnya
putusan No. 22/PN/1977 tanggal 12 Oktober 1977 yang memutuskan
perkara tersebut dimenangkan oleh pihak Keluarga Datu Adam. Setahun
setelahnya, pihak ahliwaris dari keluarga Salim Albakar mengajukan
banding kepengadilan Tinggi yang waktu itu masih bertempat di Manado
atas putusan tersebut. Melalui putusan No. 113/PT/1978 tanggal 18
Oktober 1978 pihak PT memutuskan bahwa perkara tetap dimenangkan
oleh pihak keluarga Datu Adam. Tidak puas dengan putusan pengadilan
Tinggi, pihak keluarga Salim Albakar melanjutkan kasasi ke Mahkamah
Agung padatahun 1981. Dalam putusannya No. 2031/K/SIP/1980
tanggal 16 Desember 198I, MA menolak kasasi dari pihak keluarga Salim
Albakar dan memenangkan pihak dari keluarga Datu Adam. Ketika itu
warga dari luar mulai melakukan garapan mendirikan pemukiman di
lahan yang disengketakan kedua belah pihak.
Atas dasar fakta-fakta di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Front Masyarakat
Tanjung Bersatu (FMTB) dan Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR)
menuntut kepada: Komisi Yudisial untuk memeriksa dan menindak
hakim yang telah menyalahi aturan dengan mengeluarkan putusan
sebagai dasar penggusuran. Ombudsman agar segera menindak dugaan

365
maladministrasi dalam proses penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab
Banggai serta tindakan yang mereka lakukan dengan mengerahkan
semua perangkatnya. Komnas HAM agar segera mengusut dugaan
tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan
Polres Banggai sebelum,selama,dan sesudah penggusuran. Polda
Sulteng agar segera mengintruksikan kepada Polres Banggai untuk
memberikan jaminan keamanan kepada warga gusuran Tanjung Sari
dari intimidasi dan teror yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan
orang-orang suruhan pihak ahli waris Salim Albakar. Kementrian
ATR/BPN mengintruksikan kepada Kanwil dan Kantor Pertanahan
BPN di Sulawesi Tengah untuk segara melaksanakan gelar perkara
status hak atas tanah warga Tanjung Sari. Akhirnya, warga Tanjung Sari
direlokasi di tempat yang disediakan oleh Pemda. Tanah dan rumah
warga pada lahan gusuran telah dirobohkan. Sertifikat yang dimiliki
warga tidak diakui, karena tanah dalam sengketa hukum. Petugas
pemerintah daerah dan aparat menggusur rumah yang sudah puluhan
tahun ditinggali warga dan petani. Pemkab Banggai menyediakan
lahan seluas lima hektare untuk relokasi di bagian pegunungan di
Desa Bungan, Kecamatan Luwuk Timur. Lebih seribu warga korban
penggusuran menuntut keadilan kepada pemerintah daerah dan pusat
atas penderitaan yang mereka alami. Betalino, salah seorang dari
ratusan massa aksi yang melakukan unjuk rasa di depan kantor Bupati
Banggai. Ia ditangkap saat berlangsungnya aksi unjuk rasa. Eva aktivis
Hak Asasi Manusia akan membantu advokasi warga Tanjung Sari. Eva
akan berusaha membantu petani yang tanahnya tergusur. Desa Tanjung
Sari yang tenang kini terkoyak oleh konflik kepemilikan tanah.

LIMA
Sahabat, puisi esai “Merajut Kebinekaan di Poso” Prima Novita
Indriani mengisahkan konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik yang
bermula ditengarai pada aspek agama-etnis ini kemudian bergejolak
pada konflik politik, ekonomi. Perebutan akan kekuasaan yang
menjadikan konflik di Poso ini terus berlanjut tanpa menemukan

366
titik terang. Rendahnya moral serta norma yang dimiliki masyarakat
membuat konflik ini semakin agresif meluluhlantakkan seluruh
fasilitas umum bahkan menimbulkan korban sampai ratusan jiwa.
Perebutan kekuasaan hingga penguasaan wilayah yang dilakukan
oleh berbagai pihak semakin menambah arus berjalannya konflik
Poso ini. Konflik di Poso berulang sampai beberapa kali. Fase
pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di
kota Poso, meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok
tertentu dari daerah lain bergabung dalam keributan. Setelah lebih
dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum
pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.
Fase kedua berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang
sama dengan fase pertama. Baru tiga minggu sejak fase kedua
selesai, fase ketiga — yang menurut beberapa pengamat, merupakan
yang terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini didominasi oleh
gelombang serangan balasan oleh kelompok merah Kristen terhadap
warga muslim. Di samping bentrokan langsung dengan kelompok
putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-orang
yang tidak berkepentingan. Rampalino masih asyik mengunyah inuyu
ketika matahari mulai bergeser ke barat. Inuyu atau nasi bamboo
adalah makanan yang khas dari Poso, terbuat dari beras pulut yang
dimasak dengan santan kemudian dimasukkan ke dalam bambu
yang sudah dilapisi dengan daun pisang. Setelah itu dibakar sampai
matang. Inuyu atau nasi bambu ini sering dijumpai pada saat panen
raya atau padungku dan pada saat hari raya. Ia berada di tepian
Danau Poso, yaitu danau yang paling dalam di Indonesia. Pekerjaan
Rampalino adalah seorang guru Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan
Bolano Lambunu, Kabupaten Parigi Moutong. Kenangan dan
catatannya tentang konflik Poso membuat ia menjadi kritis terhadap
berbagai masalah sosial dan pendidikan. Konflik antarkomunitas
yang menimbulkan kekerasan, pembantaian, dan peristiwa berdarah
yang mencekam masih tersimpan dalam benaknya. Panorama alam
Poso yang indah harus ternoda oleh hawa nafsu manusia yang haus

367
akan darah dan tega menjadikan saudara sendiri sebagai mangsa.
Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e
dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan
sintuwu maroso (persatuan yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi
dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa berseteru
sengit. Era reformasi, sejak tahun 1998 merupakan akumulasi dari
ketidakadilan dalam proses politik dan distribusi pembangunan
pada masa Orde Baru. Banyak daerah yang tidak menikmati hasil
pembangunan karena sistem sentralistik. Masyarakat mudah terpro­
vokasi yang pada akhinya muaranya ke konflik bernuansa etnis dan
agama. Memang, dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, kon­
flik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena kawasan Indonesia
Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat
sebanyak 109 suku.
Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara
kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan, seorang pemuda yang
berasal dari kelurahan mayoritas Protestan di Lombogia bernama Roy
Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda muslim
dari kelurahan Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen
menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam.
Sedangkan versi Islam menggambarkannya sebagai serangan terhadap
seorang pemuda muslim yang tertidur di halaman masjid, dan dalam
beberapa versi menyebutkan bahwa korban sedang salat atau bahkan
menjadi imam. Para tokoh dan pemuka agama dari kedua belah
pihak kemudian bertemu dan menyepakati bahwa alkohol-lah yang
merupakan sumber masalah dan setuju untuk melarangnya selama
bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya mulai menyita ribuan minuman
keras untuk kemudian dihancurkan. Dalam sebuah kesempatan, saat
para pemuda Kristen berusaha melindungi sebuah toko miras milik
orang Tionghoa Kristen, mereka bertemu dengan para pemuda muslim
yang awalnya berniat untuk menyegel toko tersebut, dan bentrokan
antarkelompok pun tidak dapat dihindari. Rumor beserta kabar burung
yang beredar di pihak Kristen pada umumnya menyatakan bahwa ada

368
sebuah gereja yang dibakar. Pada tanggal 27 Desember, sekelompok
orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin
oleh seorang anggota DPRD Poso, Herman Parimo. Parimo diketahui
merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST),
bekas milisi pro-pemerintah yang bertempur melawan Permesta dan
DI/TII pada periode tahun 1950-an hingga 1960-an di Poso. Di sisi lain,
sedikitnya sembilan truk muslim tiba dari ibu kota Palu, Parigi, dan
Ampana. Laporan dari seorang narasumber muslim memperkirakan
bahwa 1000 orang muslim tiba dengan menggunakan 27 truk, mobil
pikap, dan kapal motor. Bentrokan meningkat, dan polisi tidak mampu
berbuat banyak, meskipun mereka mengaku telah menutup jalur-jalur
yang menuju ke Poso. Setelah seminggu, bentrokan kembali meruncing
di tengah hujan deras, dan mereka yang kehilangan tempat tinggal
memilih mengungsi di Tentena, Parigi, dan Ampana.

REFLEKSI
Sahabat, antologi puisi esai berjudul Palu mencoba menggambar­
kan kondisi di wilayah Sulawesi Tengah. Lima penulis puisi esai itu
berusaha memotret wajah Sulawesi Tengah. Ada nada protes ketika
pedalaman hutan diobrak-abrik, suku terasing terusir, sungai tercemar
akibat penambangan emas, dan masalah konflik Poso. Sejumlah
persoalan itu sangat kompleks. Hal prinsip dalam kehidupan bernegara
tentunya harus menomorsatukan kepentingan penduduk di setiap
wilayah. Dari buku puisi esai ini tergambar bahwa pembangunan
yang dilakukan pemerintah tidak melalui analisis dampak lingkungan
alam maupun sosial. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijujunjung.
Masyarakat yang tinggal di wilayah itu yang harus menikmati hasil
alam dan lingkungan.

369
Tradisi Serambi
Madinah
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI GORONTALO

Judul Buku : Serambi Madinah


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 104 halaman
Penulis : Bagus Setiawan S.,
Ihyaudin Jazimi, Ilham Ampo, Irvan
Arifin, Nurdin D. Siu
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-20-5

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan kehidupan masyarakat Goron­
talo dalam menjalankan ibadah keagamaan dan tradisi, yaitu memasang
lampu saat bulan ramadan, mencari hari untuk melaksanakan hajatan,
dan merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Sebagai provinsi de­
ngan julukan Kota Serambi Madinah masyarakatnya meneladani
Nabi Mu­hammad SAW.

LIMA INTI SARI BUKU


 Tradisi telah kehilangan makna.
 Mengapa disebut Serambi Madinah.
 Kisah perjuangan Wartabone.
 Tradisi dan agama kehidupan.
 Salah paham tentang Maulid Nabi.

SATU
Sahabat, puisi esai Bagus Setiawan S. “Tumbilotohe: Aku Bersa­
ma­mu” ini menggambarkan tradisi tumbilotohe di Gorontalo, kota
Serambi Madinah, yaitu memasang lampu untuk pergi salat tarawih
atau menyerahkan zakat fitrah ke masjid. Warga memasang lampu

370
minyak di halaman, teras rumah, dan masjid. Suasana malam hingga
subuh meriah penuh cahaya. Cerita diawali dengan menggambarkan
situasi orang di Gorontalo pada saat berpuasa di bulan puasa bersama
keluarga. Saat menjelang berbuka puasa banyak makanan yang
disiapkan yang menggugah selera untuk menyantapnya namun masih
belum diperbolehkan menyantap karena azan magrib belum terdengar.
Setelah azan magrib barulah keluarga itu berbuka puasa bersama
dengan senangnya. Setelah itu mereka bersama-sama melaksanakan
salat magrib. Hal yang sangat menyenangkan bagi anak-anak ketika
selesai magrib mengambil sebatang bambu hijau diisi minyak tanah
diberi sumbu dari serabut kelapa untuk bermain obor dengan teman-
temannya. Itulah yang terjadi di wilayah Gorontalo ketika bulan puasa.
Saat bulan puasa tiba, masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu
biasa menjalankan tradisi pasang lampu atau bahasa Gorontalo-nya,
tumbilotohe. Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 M. Tradisi
itu berawal dari keadaan Kota Gorontalo yang pada waktu itu gelap
gulita karena belum ada listrik, sehingga masyarakat Gorontalo yang
ingin melaksanakan salat tarawih ke masjid dan menyerahkan zakat
fitrah pada malam hari harus membawa penerangan atau lampu. Arti
kata tumbilo adalah ‘pasang’, dan tohe berarti ‘lampu’, maka tumbilotohe
dapat diartikan ‘pasang lampu’. Hal lain yang dilakukan masyarakat
menjelang berakhirnya bulan suci Ramadan, yaitu mereka serempak
memasang lampu minyak berderet di sepanjang jalan, di halaman, teras
rumah, dan di masjid. Suasana malam hingga subuh begitu menakjubkan,
meriah, dan penuh warna.Ya, tradisi ini merupakan tradisi langka dan
unik dari Gorontalo yang telah berjalan sejak abad XV. Tumbilotohe atau
lampu-lampu dinyalakan pada malam ke dua puluh tujuh Ramadan,
malam ganjil yang diyakini sebagai malam Lailatul Qadar. Malam itu
malam penuh kemuliaan, yang lebih baik dari seribu bulan, yang saat itu
dosa-dosa manusia diampuni. Pesona tumbilotohe dapat disaksikan dari
atas gunung, menara atau tempat tinggi lainnya. Dari tempat yang tinggi,
dapat melihat pesona keindahan bumi Gorontalo di malam hari. Tidak
tertinggal akan dipasang juga alikusu, yaitu kerangka pintu gerbang

371
yang terbuat dari bambu kuning, pohon pisang, dan daun kelapa muda
yang dibuat janur. Kemudian lampu-lampu botol yang sudah dibuatkan
pengaitnya digantungkan memenuhi alikusu tersebut. Alikusu ini
biasa dibangun tepat di pintu gerbang masjid-masjid, tapi ada juga
di jalan raya.
Di Gorontalo ada makanan khas yang tersedia saat berbuka puasa,
yaitu omu dan ilabulo. Omu adalah minuman yang terbuat dari air
kelapa dan daging kelapa muda yang dicampur gula aren. Di Gorontalo,
orang terbiasa menghidangkan omu daripada sirup manis atau
minuman lain untuk buka puasa. Kecuali lebih sehat dan lebih segar,
juga mudah dijangkau karena tinggal mengambil dari kebun milik
pribadi-bagi masyarakat yang tinggal di perkampungan. Sedangkan
ilabulo adalah makanan yang terbuat dari sagu dicampur kulit ayam,
kemudian dibungkus dengan daun pisang ketika dikukus. Pada
malam tumbilotohe dilakukan tradisi meminta zakat oleh anak- anak
dari rumah ke rumah. Anak-anak terus berjalan menyalami penghuni
rumah dari satu rumah ke rumah lain. Tradisi meminta zakat pada
malam tumbilotohe dilakukan anak-anak dari rumah penduduk yang
satu menuju rumah yang lain. Anak-anak ini biasa diberi pecahan uang
dua ribuan atau lima ribuan tergantung pemilik rumah yang mereka
datangi. Tumbilotohe menjadi pertanda dimulainya pengumpulan zakat
fitrah. Jumlah lampu di depan rumah, menunjukkan jumlah wajib zakat
yang ada di rumah itu. Saat sekarang ini dapat dilihat, ketika menjelang
akhir Ramadan, orang-orang tidak banyak yang pergi ke masjid untuk
salat isya dan tarawih. Mereka sibuk mempersiapkan lebaran. Sekarang
ada kecenderungan tumbilotohe hanya menjadi ritual formal saja.
Pada waktu-waktu akan berakhirnya Ramadan, orang-orang tidak
lagi memilih masjid sebagai tempat yang harus dikunjungi. Di akhir
Ramadan, masyarakat justru harus lebih memaknai lebaran yang bukan
hanya seremonial. Perlu upaya untuk mengembalikan tumbilotohe
pada pemaknaan yang sebenarnya. Ini menjadi tanggung jawab kita
semua. Masyarakat generasi muda sepertinya perlu diberi pemahaman
yang lebih mendalam tentang tumbilotohe.

372
DUA
Sahabat, puisi esai Ihyaudin Jazimi “Serambi Madinah: Dulu dan
Sekarang” menggambarkan Provinsi Gorontalo sebagai daerah yang
mendapat julukan Kota Serambi Madinah. Kota Gorontalo merupakan
salah satu kota tua di Pulau Sulawesi selain Kota Makassar dan Manado.
Diperkirakan, Kota Gorontalo sudah terbentuk sejak kurang lebih 400
tahun yang lalu atau sekitar tahun 1500-an pada abad ke-16. Kota
Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama
Islam di Kawasan Timur Indonesia, selain Ternate (sekarang bagian dari
Provinsi Maluku Utara).Menurut sejarah,Gorontalo telah mendeklarasikan
kemerdekaan jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamasikannya.
Adalah H. Nani Wartabone, seorang pejuang asal Gorontalo, pada tanggal
23 Januari 1942 di depan massa yang berkumpul mengatakan, “Pada hari
ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini
sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga.
Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia
Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional.
Rakyat Gorontalo akan tetap menjaga keamanan dan ketertiban
wilayahnya dan mempertahankan jika ada penjajah yang datang lagi.
Serambi Madinah adalah sebuah negeri yang penuh rahmat dan
berkat dari Allah yang ditandai dengan sifat dan sikap penuh kasih
sayang, saling menjaga, saling melindungi, dan menghormati. Siapa yang
kuat akan melindungi yang lemah. Gorontalo adalah sebuah negeri yang
penuh kedamaian dengan penduduk yang ramah dan menjadi kaum
penolong bagi siapapun yang berada dalam kesusahan sebagaimana
kaum Anshor menolong kaum Muhajirin. Seluruh pemeluk agama
yang ada seperti Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, Katolik, dan Islam
diberikan kesempatan yang sama untuk beribadat dan mendapatkan
perlindungan dari negara. Semua pemeluk agama hidup rukun dan
saling hormat menghormati. Di Provinsi Gorontalo kerukunan hidup
antarumat beragama sangat terpelihara dengan baik. Penduduk dengan
penganut agama Islam sebagai mayoritas yakni 95% memiliki karakter
yang sangat kuat sebagai masyarakat yang ramah dan sopan terhadap

373
kaum pendatang tanpa memandang suku, ras dan agama yang dianut.
Karakter ini sudah sangat membudaya dalam diri masyarakat Gorontalo
sehingga para pendatang di daerah Gorontalo akan memberi julukan
kota itu, “Serambi Medinah”. Keadaan ini membuat setiap orang yang
datang akan merasa nyaman melihat masyarakatnya yang rukun dan
aman. Sejak daerah ini masih menjadi bagian dari wilayah Provinsi
Sulawesi Utara hingga sekarang ini belum pernah terjadi keributan
atau perselisihan yang bernuansa suku atau agama. Kegiatan-kegiatan
keagamaan nonmuslim yang diselenggarakan baik di rumah pribadi
maupun di tempat-tempat umum seperti di lapangan terbuka, di jalan
raya, atau di gedung pertemuan tidak pernah mengalami hambatan
ataupun gangguan dengan dalih mayoritas dan minoritas atau pen­
datang dan pribumi sebagaimana lazim terjadi di tempat lain.
Sekarang ini terlihat nilai-nilai akhlak generasi muda merosot.
Tingkah laku masyarakat Kota Gorontalo bertolak belakang dengan
julukan Kota Serambi Madinah. Lantunan kalimat suci tergantikan
oleh dentuman musik. Bangunan masjid tertandingi oleh diskotek
dan tempatprostitusi. Anak-anak tidak menghormat kepada orang
tua. Sumpah serapah, caci maki, tawuran, dan penggunaan obat-obat
terlarang telah sampai di pelosok Gorontalo. Telah terdengar berita
bahwa Gorontalo sebagai daerah peringkat kelima penyalahgunaan
narkoba secara nasional.Hal ini terungkap dalam survei pusat penelitian
kesehatan Universitas Indonesia dengan Badan Narkotika Nasional
beberapa waktu lalu. Tentu saja hasil penelitian itu menghentak
kesadaran kita, bagaimana mungkin provinsi yang sudah mengikrarkan
diri sebagai Duluo Limo Lo Pohalaa (Bumi Serambi Madinah) ini mampu
meraih “prestasi” tidak membanggakan seperti itu.

TIGA
Sahabat, puisi esai Ilham Ampo “Pahlawan Nani Wartabone: Lapuk­
nya Keteladanan” mengisahkan pahlawan Nani Wartabone. Siapa se­
benarnya sosok Nani Wartabone? Ia adalah seorang pahlawan yang
dilahirkan di tanah adat Gorontalo. Bumi adat Gorontalo terbentuk

374
kurang lebih 400 tahun lalu dan kaya akan budaya adat istiadat dan
merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain kota Makassar,
Pare-Pare, dan Manado. Gorontalo sebagai salah satu dari 19 Daerah
Hukum Adat Indonesia, menurut Prof. Mr. C. Van Vollen Hoven, sangat
menghormati adat dan budaya. Itu merupakan norma yang ditaati dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebelum agama Islam masuk di Gorontalo,
tata cara kehidupan masyarakat Gorontalo sudah terkenal sebagai
masyarakat adat yang ramah-tamah, baik dalam bertutur kata, bersikap,
maupun bertindak. Sehingga tingkah laku menjadi pola utama dan
dasar penilaian dari kehidupan seseorang dan sesamanya. Dari segi
berbahasa dan bersikap untuk menyatakan perasaan kepada orang lain
atau menyampaikan informasi kepada seseorang, mereka menggunakan
bahasa ungkapan dari pada bahasa langsung.
Nani Wartabone lahir pada tanggal 30 Januari 1907 di Gorontalo
dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang cukup berada. Ayahnya
adalah Zakaria Wartabone yang bekerja untuk Pemerintah Belanda,
sementara ibunya adalah keturunan bangsawan di daerahnya.Meskipun
ayahnya bekerja untuk Belanda, sejak kecil Nani memiliki sentimen
yang buruk kepada pemerintah kolonial. Ia pernah membebaskan
tahanan orang tuanya, sebab ia tak sampai hati melihat rakyat kecil
dihukum. Bahkan, ia tak betah bersekolah karena pengajar-pengajarnya
yang berkebangsaan Belanda tersebut sering merendahkan bangsa
Indonesia. Diam-diam, Nani menanam sikap antipati terhadap penjajah.
Perjuangannya dalam merebut kemerdekaan Indonesia dimulai ketika
ia terlibat dalam pendirian organisasi kepemudaan Jong Gorontalo
pada tahun 1923 di Surabaya. Nani terlibat dalam kepengurusan dan
menduduki posisi sekretaris di Jong Gorontalo.
Jiwa perjuangan pada dirinya patut diteladani oleh generasi
bangsa hari ini, khususnya pemuda dan masyarakat Gorontalo. Tahukah
kita bahwa ada sosok yang lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia sebelum Soekarna-Hatta? Dialah Nani Wartabone,
seorang pahlawan yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
setelah memorakporandakan pasukan Belanda di Gorontalo pada

375
23 Januari 1942. Nani Wartabone bersama rakyat berjuang melawan
Belanda. Mereka berhasil menangkap Kepala Jawatan Tentara Belanda
sehingga Gorontalo terbebas dari pendudukan Belanda. Nani Wartabone
kemudian mendengar Jepang telah menduduki Manado. Orang-orang
Belanda melarikan diri ke Poso. Hal ini membuat orang Belanda di
Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi dengan terlebih dahulu
melakukan bumi hangus. Dia merasa waktu perlawanan terhadap
Belanda telah tiba. Pada tanggal 22 Januari 1942, Belanda membakar
kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan. Mengetahui hal ini,
Nani Wartabone menyiapkan senjata bersama-sama dengan pemuda
lainnya. Pada Jumat pagi, 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpinnya
langsung berangkat dari Suwawa menuju Gorontalo. Sepanjang
perjalanan, banyak rakyat ikut bergabung. Mereka dapat mengusir
Belanda dari Gorontalo saat itu. Nani Wartabone ditangkap pada 30
Desember 1943 dan dibawa ke Manado oleh tentara Jepang. Di sini,
Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan
Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo
hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam
ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang
Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala
Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Ia dijatuhi
hukuman penjara 15 tahun dengan tuduhan makar pada 23 Januari
1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai
dan dipindahkan ke penjara Cipinang di Jakarta selama sebelas hari.
Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai disiksa tentara Belanda. Ia
dikembalikan lagi ke Cipinang sampai dibebaskan tanggal 23 Januari
1949. Nani Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 10
November 2003 oleh Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota
Dewan Perancang Nasional dan anggota DPA itu, akhirnya menutup
mata bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat pada
tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil,
Suwawa, Gorontalo.

376
EMPAT
Sahabat, puisi esai Irvan Arifin “Thiyaroh Lowanga Nahati Wawu
Kalisuwa” bercerita tentang kehidupan yang dipengaruhi unsur agama
dan budaya leluhur di Gorontalo. Pada zaman agama langit belum ada,
orang percaya pada tanda yang berada di alam raya. Pepatah tua berkata,
di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Norma adat istiadat serta
budaya dipegang kokoh para tetua. Bila membangun rumah atau
menikah harus meminta nasihat para tetua kapan waktu yang tepat
untuk melaksanakan hajatnya itu. Ada kepercayaan tentang hal yang
telah digariskan para leluhur. Lowanga adalah hari atau tanggal yang
membawa kesialan dan menebar banyak masalah.
Sifat sial ini bisa hilang bila hari tersebut bertemu dengan tanggal
yang dianggap baik. Nahati berarti nahas atau panas. Masyarakat yang
mempunyai hajatan/keinginan besar apabila bertemu dengan hari ini
disarankan untuk menunda atau membatalkannya sebab menurut keper­
cayaan masyarakat Gorontalo, efek yang ditimbulkan sangat tidak baik.
Sifat panas pada nahati tidak bisa digugurkan meski bertemu dengan
tanggal yang baik di bulan tersebut. Kalisuwa adalah hari yang sifatnya
sial/apes karena bersambung dengan hari nahas (dalam penanggalan
kalender Qomariyah Gorontalo), biasanya satu hari sebelum dan satu hari
sesudah hari nahas. Sifat dari hari yang disebut kalisuwa ini dapat gugur
ketika bertemu dengan hari baik dalam kalender bulan yang sama. Ada
lagi, yaitu mata air Taluhu Barakati adalah air yang diberkati. Dinamakan
demikian karena di tempat ini terdapat sumber mata air yang konon
katanya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Menurut
legenda masyarakat setempat yang dipercayai bahwa mata air ini dulunya
adalah lokasi permandian permaisuri dan kerabat kerajaan yang ada di
Batudaa. Kultur kehidupannya telah bercampur antara pengaruh global
modernisasi namun masih tetap mempertahankan unsur budaya leluhur
telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu budaya yang hingga
kini masih terus dijalankan adalah memintakan tanggal baik kepada para
tetua adat maupun para imam, ketika ada keinginan maupun hajatan besar
seperti membangun rumah, menikah, membeli kendaraan, dan seterusnya.

377
Di pinggiran wilayah kabupaten di Gorontalo masih ada keper­
cayaan bahwa seolah tidak sah atau pembangkangan terhadap budaya
dan meninggalkan petuah orang tua bila ada masyarakat yang tidak
memedulikan hal ini ketika hendak menunaikan hajat atau keinginan
besarnya. Alih-alih kualat, bernasib sial, bahkan cap durhaka bisa
saja keluar ketika petuah keramat ini tidak diindahkan. Tersebutlah
Namanya Ibrahim. Ia melawan adat, ia menikah di hari pantangan.
Kehidupannya selanjutnya ternyata mengalami berbagai cobaan,
istrinya sakit dan keguguran. Mertua dan iparnya menggunjingkannya
karena Ibrahim tidak memilih hari yang baik saat menikah, sehingga
hidupnya susah. Ibrahim mengamuk karena setiap hari tak henti
menjadi bahan pergunjingan. Ia merusak barang-barang di rumahnya,
dan akhirnya ia ditangkap polisi.
Saat Ibrahim keluar dari penjara, dia merenung. Apakah harus
selalu mengikuti ajaran leluhur tentang Lowanga, Nahati, Kalisuwa?
Ia merenungi hidupnya dan ia akhirnya mencari pencerahan kepada
Hulango orang yang dipercaya, tapi dia mensyaratkan ada pembakaran
kemenyan. Lalu ia pergi ke Haji Karim, demikian mereka menyebutnya
sebagai ahli kitab agama Islam. Ia adalah nelayan ikan Dudepo,
Gorontalo Utara. Kemudian ia juga pergi ke Abah Yunus. Semuanya
memberikan jawaban yang berbeda dan membutuhkan perenungan.
Ibrahim akhirnya menyadari bahwa setiap hari itu telah diciptakan
Allah sama baiknya. Bergantung pada doa, ikhtiar, dan tawakal kita pada
kehendak Allah. Bila musibah tetap melanda, mungkin itu ujian, teguran,
atau cobaan karena Allah ingin mendengar doa kita. Oleh karena itu,
mungkin jalan keluarnya hanya dengan bersujud meminta pertolongan
kepada Allah. Apa gunanya salatmu, puasamu, hajimu bila masih ada
kalbu yang terluka oleh lisanmu, bila masih ada jiwa yang sakit karena
amarahmu. Berilah contoh dengan bersikap lembut namun tegas dengan
senyum. Bukan dengan muka kusut mengerut, bila menyampaikan suatu
kebenaran. Bila musibah tetap melanda, meski telah berikhtiar, mungkin
itu ujian teguran atau cobaan karena Allah ingin mendengar doa kita.

378
LIMA
Sahabat, puisi esai Nurdin D. Siu “Maulid Nabi Yang Mulia” ini
mengisahkan sebagian masyarakat tidak memahami pesan moral yang
terkandung dalam peringatan dan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Siapakah Nabi Muhammad? Nabi Muhammad adalah panutan setiap
umat. Tak ada sosok yang bisa menyamainya. Dialah manusia yang
sempurna, diutus Allah di tengah-tengah manusia. Dialah nabi penutup.
Kelahirannya mulia dan membawa berkah. Nabi Muhammad dalam
hidupnya memberi contoh bagaimana hidup bahagia. Hidupnya
sederhana, tidak mewah. Kemuliaan dan kebahagiaan diraih oleh setiap
orang yang mau mengikutinya. Apa makna dan tujuan peringatan Maulid
Nabi Muhammad? Ada sebagian kecil golongan atau kelompok Islam
tertentu yang tidak memahami apa pesan moral yang terkandung
dalam peringatan dan perayaan Maulid Nabi. Adat Gorontalo yang turun
temurun dirayakan oleh rakyat setempat salah satunya adalah perayaan
Maulid Nabi Muhammad. Biasanya kebiasaan masyarakat Gorontalo
dalam merayakan maulid mereka tidak pernah merasa berat dalam
mengeluarkan harta mereka.
Mereka mengadakan dikili, yaitu pembacaan syair-syair saat mem­
peringati kelahiran Nabi Muhammad satu malam penuh. Bahkan hingga
matahari terbit, ratusan laki-laki dan perempuan itu tetap lantang dan
semangat melaksanakan dikili sambil duduk bersila. Prosesi ini digelar
sejak semalam, selepas salat Isya. Dikili merupakan bagian dari Kitab
Barzanji ala Gorontalo, diambil dari kata zikir atau mengingat. Dikili
terdiri atas 13 Lato lo ayu atau bagian dan dibacakan semalam suntuk
di masjid-masjid setiap perayaan maulid Nabi Muhammad, 12 Rabiul
Awal dalam kalender Islam. Hikayat itu ditulis dalam huruf Arab-Melayu
(Pegon). Isinya mengisahkan teladan kehidupan dan kemuliaan sang
rasul pembawa ajaran agama Islam. Hikayat ini juga dilantunkan dengan
cara yang khas dalam tiga Bahasa, yaitu Arab, Melayu, dan Gorontalo.
Tak seperti di tempat-tempat lain di Gorontalo, peringatan maulid
Nabi Muhammad di Desa Bubohu-Bongo, Kecamatan Batuda’a Pantai,
Kabupaten Gorontalo ini jauh lebih meriah. Keramahan warga desa pun

379
sangat terasa, setiap rumah terbuka lebar, siap menyambut siapapun
yang datang. Tak ayal, momentum sekali dalam setahun itu bisa dipadati
oleh ribuan pengunjung dari daerah-daerah lain di Gorontalo untuk
datang menyaksikan langsung kegiatan di desa yang berada di pesisir
laut Gorontalo itu. Jalanan desa yang tak terlalu lebar itu pun seringkali
menjadi macet karena kendaraan yang berdesakan. Mereka menyiapkan
toyopo, yaitu tempat dari anyaman dedaunan yang tadinya dinamakan
lilingo yang di dalamnya berisi ikan, ayam goreng, dan kue. Juga tolangga,
wadah yang paling besar yang berbentuk bujur sangkar seperti meja yang
di bawahnya ada lantai terbuat dari bambu yang dibelah kecil-kecil atau
bahasa Gorontalo disebut tototahu. Tolangga adalah sebuah wadah besar
yang dihiasi dengan berbagai macam jenis kue dan makanan seperti
nasi putih, nasi kuning, nasi bilindi, telur, dan lain-lain. Tolangga inipun
ada yang khusus untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat, adapula
yang khusus diberikan kepada para imam, ulama, maupun pegawai
syara’, sebagai “imbalan” atas pengorbanan mereka melantunkan dikili
selama semalam suntuk. Di sinilah bagian yang paling unik dalam
prosesi peringatan Maulid Nabi di Gorontalo, menyaksikan indahnya
hasil kreativitas masyarakat dalam menghias tolangga-nya masing-
masing. Apalagi menyaksikan hiruk-pikuknya pembagian (mungkin lebih
tepat disebut perebutan) kue walima (walima berasal dari Bahasa Arab,
artinya perayaan). Sedangkan Kue walima sering diartikan sebagai kue
yang menghiasi tolangga. Mereka juga membuat walima berupa wadah
bambu yang menyerupai bentuk kubah masjid yang dihias sedemikian
rupa dengan aneka kue khas tradisional Gorontalo. Salah satu kue
khasnya adalah kolombengi, semacam kue bolu kering yang manis dan
gurih rasanya. Dalam satu walima, biasanya memuat hingga ratusan
kue ini. Walima dibuat oleh hampir seluruh kepala keluarga, kemudian
digotong menuju masjid pada pagi hari. Begitu prosesi dikili selesai,
aneka kue di dalamnya kemudian dibagikan kepada pembaca dikili serta
para pengunjung. Meski dipadati ribuan pengunjung, namun proses
pembagian kue selalu berlangsung tertib, tak pernah terjadi aksi saling
rebutan antarpengunjung. Maulid dan walima merupakan bagian yang

380
tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bongo, Gorontalo.
Arti makna dan hikmah maulid Nabi Muhammad penting dipahami
agar perayaan dan tradisi memperingati kelahiran Nabi Muhammad
tidak sebatas pada seremonial belaka. Kata maulid sama artinya dengan
milad dalam bahasa Arab yang artinya hari lahir. Peringatan kelahiran
Nabi Muhammad bukanlah tradisi yang ada ketika Nabi hidup. Perayaan
ini menjadi tradisi dan berkembang luas dalam kehidupan umat Islam
di dunia, termasuk di Indonesia, jauh sesudah Rasulullah Muhammad
wafat. Perayaan itu pertama kali dilakukan Raja Irbil dari Irak, yakni
Muzhaffaruddin al Kaukabri pada sekitar abad ke-7 hijriah. Orang Islam
yang berpaham radikal menentang tradisi ini, menurut mereka ini tidak
ada petunjuk dan tuntunan dari Nabi Muhammad SAW. Kebahagiaan itu
datang karena keberkahan, kebahagiaan itu lahir karena rasa memiliki.
Ada rasa tanggung jawab dalam jiwa-jiwa Islam penuh rasa cinta.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Serambi Madinah merefleksikan kepriha­
tinan sekaligus luapan keluh kesah tentang ironi yang tengah terjadi di
Provinsi Gorontalo yang dijuluki sebagai Kota Serambi Madinah. Julukan
Kota Serambi Madinah muncul sebagai manifestasi nilai adat, kesopanan,
dan norma agama yang dahulu dijunjung tinggi masyarakat. Berbagai
tradisi di Gorontalo yang berkaitan dengan agama Islam menjadi suatu
kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Bukan sekadar perayaan
tradisi dengan ‘hura-hura’. Nilai-nilai akhlak generasi muda mengalami
kemerosotan bertolak belakang dengan julukan Kota Serambi Madinah.
Pemerintah daerah harus memperhatikan bagaimana generasi muda
bisa menjauh dari tradisi agar budaya turun temurun dapat dilestarikan
sesuai dengan zamannya.

381
Perjuangan Rakyat
Melawan Penguasa Feodal
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI SULAWESI UTARA

Judul Buku : Gema Hati Mongondow


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 79 Halaman
Penulis : Deisy Wewengkang, Hamri Manoppo,
Muhammad Rifsan Makangiras,
Pitres Sambowadile, Sawiyah Al’Idrus.
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-07-1

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima tulisan dari Provinsi Sulawesi Utara
yang mengisahkan konflik sosial warga sekitar pabrik, para petani
pala dirugikan akibat permainan harga tengkulak dan peda gang,
bangsawan feodal yang masih diagungkan masyarakat, serta se­
mangat hidup diakibatkan masa kecil yang tidak mengenakkan.

LIMA INTI SARI BUKU


 Ikuti aturan adat daerah.
 Takut kutukan walau bangsawan berbuat cemar.
 Fitnah mengiringi jabatan.
 Menanam pala bernyanyi.
 Anak miskin menjadi dokter.

SATU
Sahabat, puisi esai Deisy Wewengkang “Andika Pahlawan Tanah
Adat” menceritakan sosok Andika melawan manajer pabrik semen
yang mendirikan pabrik tanpa izin. Andika bangga dengan kehadiran
pabrik PT Conh berskala besar milik pengusaha dari Tiongkok. Andika
berharap dirinya bisa bekerja di pabrik itu tetapi ditolak tanpa alasan

382
yang jelas Andika bangga dengan kehadiran PT Conh di desanya,
sebuah pabrik semen kelas dunia milik Cina. PT Conch adalah salah
satu perusahaan semen yang pusatnya ada di provinsi Anhui negara
Cina. Perusahaan ini membuka cabang di Indonesia setelah melalui
kesepakatan perjanjiaan Cina dan Indonesia. Salah satu yang ada
di Indonesia adalah PT Conch Nort Sulawesi Cement (CNSC) yang
ada di Solog 15 kilometer dari Lolak Ibu Kota Kabupaten Bolaang
Mongondow Sulawesi Utara. Sayangnya Andika dan kawan-kawan
sedesanya melamar kerja ke perusahaan itu banyak yang ditolak.
Perusahaan menolak para pelamar kerja tanpa alasan yang jelas.
Sebagian pekerja yang sudah diterima di perusahaan itu juga mengeluh
soal jaminan Kesehatan. Ketenteraman bekerja juga tidak dirasakan
oleh mereka, termasuk jam-jam beribadah tak diatur perusahaan.
Ketika pemerintah mau menertibkan bangunan-bangunan yang
tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), bangunan- bangunan
pabrik semen milik PT Consh ternyata belum memilikinya. Pemerintah
bertindak tegas dengan memberi peringatan sampai tiga kali tapi
ternyata belum juga diurus izinnya. Ketika dilakukan pembongkaran
bangunan, Andika bergabung dengan petugas, dan agresif bersama
teman-temannya sebanyak 28 orang. Mereka merusak pintu, jendela,
dan sebagainya sesuai perintah atasan. Andika dan teman-temannya
ditangkap petugas keamanan lalu dijebloskan dalam tahanan.
Pejabat Pemerintah Bolaang Mongondow membela mereka dengan
semboyan, “Mereka adalah Pahlawan Tanah Adat Mongondow”. Pe­
jabat pemerintah lalu terbawa arus turut menjadi tersangka, tapi
masyarakat adat Bolaang Mongondow membelanya.
Andika dituduh sebagai dalang pembongkaran bangunan-
bangunan pabrik semen PT Consh milik Cina. Tindakan penertiban
dituduh sebagai tindakan pelanggaran. Andika dikurung bersama 27
teman-temannya. Saat itu bulan ramadan, mereka sedang berpuasa.
Peristiwa penahanan para pendemo ini terjadi menjelang Hari Raya
Idul Fitri 1439 H. Andika sakit hati karena investor yang menjamah
tanah leluhurnya berkhianat atas janjinya. Para pekerja perusahaan

383
pabrik semen dengan mata sipit datang dari Cina tetapi dengan
administrasi imigrasi yang kurang jelas.Salah satu perjanjian awal
antara pemerintah daerah dan pihak perusahaan ialah bahwa tenaga
kerja 75% akan diambil dari penduduk setempat. Tetapi dalam
kenyataan ternyata tenaga kerja yang ada mayoritas dari Cina. Para
pengusaha Cina itu tidak tahu bahwa tanah yang mereka tempati itu
tanah adat. Mereka datang tanpa adat dan martabat. Andika adalah
putra asli Solog, yaitu sebuah desa yang ada di Kecamatan Lolak
Kabupaten Bolaang Mongondow. Di desa Inilah Cina atas nama PT
Conch bekerja sama dengan PT Sulenco mendirikan pabrik semen.
PT Sulenco adalah perusahaan pertama yang hendak mendirikan
pabrik semen di Solog sejak tahun 1996. Pada tahun 1997 mereka
membebaskan lahan seluas kurang lebih 600 ha dengan komposisi
300 ha Hak Guna Bangunan ( HGB) dan 300 ha Hak Guna Usaha (
HGU). Izin yang didapat PT Sulenco untuk 30 tahun. Namun PT
Sulenco gagal meneruskan usahanya dengan alasan yang kurang jelas
bagi orang awam. Akhirnya kehadiran PT Conch dari negara China
sebagai penghasil semen terbesar di dunia membangun kerja sama
dengan PT Sulenco. Dalam perjanjian kedua perusahaan ini urusan
izin adalah urusan PT Sulenco sedangkan aktivitas membangun dan
mengoperasikan pabrik tugas PT Conch. Di sinilah awal kericuhan
ditambah lagi dengan kendala-kendala lain termasuk masalah
imigran gelap dan pembagian jumlah tenaga kerja yang melecehkan
penduduk setempat karena dianggap SDM-nya belum mumpuni.
Pegawai pemerintah itu telah sembilan kali mengirim surat ke
perusahaan pabrik semen agar administrasi perusahaan dilengkapkan.
Tapi perusahaan itu tidak menjawab. Bukankah itu pelecehan?
Pemerintah tanah Bolaang Mongondow adalah tanah adat leluhur
subur dan Makmur. Para para konglomerat asing itu datang menabur
janji yang bertahun tak ditepati. Perusahaan pabrik semen tak
beradat itu harus ditindak. Bukankah di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung? Pabrik semen itu belum memiliki izin mendirikan
bangunan (IMB). Manajer pabrik juga tidak mengurus visa karyawan

384
yang datang dari negara luar. Pabrik itu tidak ada izin penambangan.
Aparat pemda melakukan tindakan berupa pembongkaran bangunan.
Andika bergabung dengan petugas membongkar bangunan yang
tak berizin itu. Andika ditangkap oleh petugas keamanan. Andika dan
teman-temannya akan tetap ditahan jika tidak mau mengatakan siapa
yang memerintahkan perusakan. Andika dan teman-temannya diam.
Saat itu seminggu lagi lebaran. Pejabat pemda yang ikut membela
Andika ditetapkan sebagai tersangka perusakan. Mengetahui
peristiwa tersebut, masyarakat dan tetua adat Bolaang Mongondow
berdemonstrasi mendatangi aparat yang menangkap pejabat pemda.
Pengusaha dan masyarakat bersepakat, Andika dan pejabat dilepaskan
dari penjara. Pengusaha diminta mengikuti aturan adat di daerah itu.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Perusakan mess pabrik
menjadi akumulasi kemarahan pemerintah daerah kerena banyak
hal yang sudah dianggap pelanggaran, termasuk laporan masyarakat
sekitar bahwa banyak perilaku yang diperlihatkan kepada masyarakat
yang kurang sesuai adat setempat. Perusakan itu pun sekaligus
pelajaran agar tidak terjadi bagi insvestor yang seenaknya datang
ke daerah setelah mendapat respon dari pusat lalu melecehkan
pemerintah daerah.

DUA
Sahabat, puisi esai Hamri Manoppo “Serpihan Darah Biru” berkisah
tentang Halima menjadi pembantu Abo’ Harun, bangsawan kaya raya
di Bolaang Mongondow. Halima dihamili oleh Abo’ Harun. Masyarakat
setempat membiarkannya karena percaya pada sumpah leluhur bahwa
yang berani melawan bangsawan akan mendapat kutukan.
Adalah Halima, gadis desa, bukan bangsawan. Ia hanya lulus
SD tapi pintar mengaji. Ia bekerja menjadi ata di keluarga seorang
bangsawan. Masyarakat Bolaang Mongondow mengenal golongan
masyarakat adat yang terdiri atas golongan bangsawan, golongan ko­
hongian, golongan simpal, golongan nonow, dan golongan ata (budak).
Penggolongan ini secara faktual berlaku beratus-ratus tahun sekitar

385
abab-XV hingga abad XX (1954), saat raja terakhir turun takhta. Ata
juga bisa dibeli oleh golongan bangsawan. Dalam aktivitas sehari-
hari, ata tunduk kepada tuannya karena mengingat sumpah paloko
dan kinalang. Sumpah paloko dan kinalang disebut perjanjian paloko
dan kinalang. Paloko sebutan bagi rakyat dan kinalang sebutan
untuk pimpinan atau bangsawan. Inti sumpah ini adalah dukunglah
saya agar engkau akan kutarik ke atas. Halima dijemput keluarga
bangsawan dengan mobil ke desa. Orang tuanya senang dan Halima
juga senang karena ia menjadi ata, mengabdi pada pemilik sumpah
paloko dan kinalang. Halima bekerja dengan tekun, memasak, mencuci,
membersihkan rumah, bahkan memijat majikan. Ia menuruti segala
perintah sang bangsawan. Adat menjadi alat, sumpah menjadi kata.
Siapa yang melawan bangsawan akan menjadi kuning seperti kunyit,
hitam bagaikan arang, meleleh seperti garam, meresap seperti air
tirisan. Itulah sumpah paloko dan kinalang. Abo’ Harun sang bangsawan
majikannya, angkuh dan pongah pada siapa saja. Halima tak gentar
dengan feodal majikannya, aa berpikir toh tangan yang kerja. Di rumah
bangsawan, Halima mempunyai teman bernama Mansur. Jika Halima
memasak, Mansur memotong kayu api. Jika Halima memijit tuannya.
Mansur menyuguhkan kopi. Suatu malam, saat Halima mengantar
makanan ke majikannya, ia harus melayani syahwat bangsawan. Halima
tidak berani melawan karena takut pada sumpah paloko dan kinalang.
Berulang-ulang itu dilakukan oleh majikannya hingga Halima hamil.
Ia dipulangkan ke desanya. Ia diasingkan jauh di pedesaan. Sembilan
bulan sepuluh hari Halima menanti, didampingi ayah ibu petani yang
sangat mematuhi perintah sang bangsawan. Mereka kaum Ata yang
terpuji dan sumpah itu tak boleh dilanggar. Ayah Halima petani desa,
Ibunya dukun bayi kampung. Mereka ikhlas dan diam saja anaknya
diperlakukan seperti itu oleh sang bangsawan. Halima hamil tanpa
suami. Menurut mereka tak perlu disesali, itu semua sudah kehendak
Ilahi. Lalu suatu malam, Halima melahirkan dan diberi nama Aisyah.
Halima membesarkan Aisyah bersama ayah ibunya dengan berladang,
beternak itik dan ayam, Aisyah tumbuh sehat bahagia. Halima bekerja

386
lagi sebagai pembantu tetapi tidak di tempat sang bangsawan Harun.
Aisyah tumbuh menjelma gadis jelita dan sudah 20 tahun usianya. Jika
Aisyah bertanya siapa ayahnya, Halima hanya tersenyum. Kakeknya
hanya berkata janganlah tanya, nanti melawan sumpah. Halima sang
ibunda memang cermin manusia desa. Tulus ikhlas bekerja dan itu
lebih dari sekadar sumpah, termasuk menyimpan rahasia. Di zaman
kerajaan sering ata hamil karena perbuatan majikan yang umumnya
kaum bangsawan. Bagi masyarakat Bolaang Mongondow menyadari
bahwa yang berbuat adalah bangsawan yang harus mereka hormati.
Tak jarang para bangsawan tersebut menikahinya sebagai gundik
sehingga dalam silsilah raja-raja Bolaang Mongondow Bolaang
Mongondow tergambar raja memiliki beberapa istri. Jika tak dinikahi
rakyat biasa pun tak berani menuntut karena mengingat sumpah
paloko dan kinalang yang digagas sekitar tahun 1500 M.
Setelah Aisyah besar, ia ingin bertemu ayahnya. Aisyah diberi
tahu oleh tetangganya bahwa ayahnya bernama Abo’ Harun
bangsawan di Bolaang Mongondow. Aisyah pergi mencari ayahnya.
Aisyah kelelahan dan terkapar di pinggir jalan. Kemudian tak
disangka ia ditolong oleh Abo’ Harun. Ia dibawa Abo’ Harun ke
rumahnya. Abo’ Harun tidak tahu bahwa Aisyah itu anaknya. Abo’
Harun tergiur dengan kecantikan Aisyah sehingga ia berpikir untuk
menjadikan Aisyah sebagai istrinya yang kelima. Hal seperti itu sudah
biasa dilakukan sebagai kebiasaan para bangsawan. Aisyah juga tidak
tahu kalau Abo’ Harun itu ayahnya. Suatu ketika Aisyah mendengar
ibunya sakit keras. Abo’ Harun mengantar Aisyah pulang ke desa.
Ketika sampai di desa, Abo’ Harun terkejut karena ibu Aisyah adalah
Halima yang pernah ia hamili 20 tahun silam. Abo’ Harun meminta
maaf sebelum Halima meninggal. Ibunda Aisyah perempuan tabah
itu telah tiada. Ketika hidup ia jujur, setia, suci, dan ikhlas. Abo’ Harun.
lelaki bangsawan itu tertunduk di pekuburan Halima. Ia merasa sedih
dan menyesal. Sifat feodalnya menjadi runtuh ketika tahu bahwa
Aisyah itu anak Halima, pembantu yang telah ia hamili. Ia tertunduk
di gundukan tanah merah menjadi tontonan orang-orang desa. Abo’

387
Harun namanya. Ia keturunan Raja Loloda, siraja pertama perkasa,
di tanah totabuan, Kerajaan Mongondow. Abo’ adalah gelar sebutan
untuk bangsawan laki-laki bagi suku Mongondow. Sedangkan bagi
wanita disebut Bua’. Gelar ini sesuai hasil Bakid (rapat adat bagi
orang Mongondow) di atas Gunung Bakid yang terjadi sekitar abad
XV. Tingkah laku Harun selama ini memang tidak baik. Bangsawan
semestinya mengayomi, menabur budi, menawarkan kelembutan
hati. Aisyah kini telah menyadarkannya. Si bangsawan yang kini luluh
hatinya, di sisa umurnya ingin hidup bersama anaknya, Aisyah. Tak ingin
lagi ada darah biru yang selama ini ia banggakan dan berbuat semena-
mena. Abo’ Harun mengajak Aisyah kembali ke kota. Aisyah bahagia
telah menemukan ayahnya. Harun pun menegur sapa penduduk yang
ada di desa Halima.

TIGA
Sahabat, puisi esai Muhammad Rifsan Makangiras “Mantra
Tut Wuri Handayani” berkisah tentang kehidupan guru dan dunia
pendidikan di Indonesia, terutama di Sulawesi Utara. Sri seorang guru
di Desa Kotabunan, sebuah desa di ujung timur Bolaaang Mongon­
dow berasal dari Gorontalo. Sri meninggalkan suami dan anak untuk
menjadi guru di wilayah transmigrasi yang lokasinya jauh dari tempat
tinggalnya.
Pada tahun 1994, Sri bertugas di desa Kotabunan, sebuah desa
di ujung timur Bolaaang Mongondow yang mekar menjadi enam
desa. Pada suatu hari, kepala sekolah tempat Sri mengajar dilantik
menjadi Pelaksana Tugas Kadis Pendidikan Daerah. Akhirnya jabatan
Kepala Sekolah SMA N 1 Kotabunan mengalami kekosongan. Jabatan
terlalu lama tak terisi, laksana kapal besar yang harus segera punya
nakhoda. Disaringlah manusia dengan alat penyaring pemerintah
dan terpilij tiga kandidat. Satunya adalah Sri. Akhirnya Sri terpilih
untuk menjadi Kepala Sekolah SMA 1 Kotabunan. Ia mengelola SMA
itu dengan berbagai permasalahan. Di atas etalase sekolah berjejer
piala-piala dari ekskul silat, pramuka, seni hingga sastra. Namun

388
hari bukan hanya tentang keberhasilan. menjelang ujian nasional
banyak hal terjadi. Sri diisukan melakukan pungutan liar untuk ijazah
dan nilai angka siswa. Dugaan pungli di SMAN 1 Kotabunan yang
terungkap pada saat rapat paripurna penyampaian Ranperda Laporan
Pertanggungjawaban Bupati tahun 2013. Menanggapi hal tersebut
Kadis Pendidikan Boltim, membantah jika ada pungli di SMAN 1
Kotabunan. Tidak hanya itu, Ujian Nasional Berbasis Komputer
membuat Sri mengalami masalah. Sebab desa yang bukan kota itu
lagi dan jauh sangat untuk mata Jakarta. Akhirnya, ketika menghadapi
Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk pertama kalinya
di SMA N 1 Kotabunan, pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah
Sriwati Napu terpaksa meminjam laptop dan peralatan komputer dari
guru, siswa hingga desa.
Permasalahan Sri tidak sampai di situ. Saat Pilkada 2015
Bolaang Mongondow Timur akan senantiasa melekat dalam benak
masyarakat hingga akhir hayat. Daerah otonom yang dimekarkan pada
tahun 2008 yang notabene baru melaksanakan dua kali pemilihan
kepala daerah secara langsung justru disuguhkan dengan permainan
politik kelas atas yang akhirnya susah untuk disederhanakan oleh
masyarakat awam. Sri ditumbalkan hasrat teman sejawat demi kursi
yang dia tempati. Tertulislah nama Sri sebagai otak perlawanan
penguasa lama. Sri terusir dari takhta kala SMA/SMK berubah kiblat
mementingkan orang daerah asli. Selain itu, perubahan peta politik
karena adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada), ternyata ikut
mempengaruhi kedudukannya. Sebagai kepala sekolah, Sri akhirnya
harus rela diganti dengan pejabat baru.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Pitres Sambowadile “Cerita Pala Siau, Derita
Ala Siau” berkisah pada abad-17 rakyat Pulau Siau dibawa untuk
menjadi budak perkebunan pala di Kepulauan Banda. Penduduk Siau
di Banda bekerja keras. Mereka tidak bisa pergi dari tindasan Belanda.
Berkat pengalaman di Banda, orang Siau memiliki pengetahuan

389
menanam pala berkualitas baik. Pulau Siau merupakan lokasi terbaik
untuk tanaman pala. Siau merupakan pulau yang teramat kecil, seperti
noktah di tengah samudra. Tanahnya subur oleh karena muntahan
gunung vulkanik. Siau adalah pulau kecil berjarak 85 mil laut dari
Manado, yang dapat dijangkau dengan 4 jam perjalanan kapal cepat
dari pelabuhan Manado. Dikenal sebagai salah satu pulau vulkanik.
Pulau ini terjadi akibat munculnya gunung api dari dalam laut, yaitu
Gunung Api Karangetang. Gunung ini dikenal sebagai gunung api
paling aktif di dunia. Alam telah membentuk watak orang-orang Siau.
Awalnya sebagai anak-anak laut bergulung-gulung dari tanjung ke
tanjung lantas berumah di dalam teluk. Orang-orang Siau selalu
bernapas dalam pusaran topan yang dihempas riak-riak laut. Tubuh
mereka diatur Tagaroa seturut dinamika pasang surut. Tagaroa adalah
nama dewa laut bangsa-bangsa dalam rumpun besar Austronesia dari
Madagaskar hingga ke Mikronesia dan dari Taiwan hingga Selandia.
Penguasa laut Tagaroa juga dikenal masyarakat Siau, Sangihe dan
Talaud. Sedang benak orang Siau dijejali sandi-sandi bahasa bahari
sasahara yaitu bahasa khas masyarakat Sangihe yang khusus dipakai
dalam percakapan di laut dalam rangka mengecoh para jin laut.
Pada tahun 1616 seluruh penduduk pulau Siau dipindahpaksa
oleh VOC ke pulau Ai di Banda sebagai tenaga kerja untuk menjalankan
perkebunan pala yang menjadi komoditas dagang utama dunia kala
itu. Jumlah orang Siau yang dibawa ke Banda 446 orang (laki-laki,
perempuan dan anak-anak). Pemindahan paksa ke Banda membuat
orang Siau jauh dari manusia laut. Namun, itu awal dari terbukanya
pengetahuan hidup orang Siau. Orang-orang Siau tercerabut dari
budaya lautnya dijadikan budak di perkebunan pala. Setiap hari tunduk
pada gertakan mandor serdadu Belanda dan harus pasrah hidup di
orang bahari Siau itu berubah jadi penanam pala yang ulung, piawai
mengurus bibit, hingga meramu formula panen biji dan kembang pala.
Banyak keturunan orang Siau meninggalkan Banda lewat pulau
Run pulang kembali ke pulau Siau berbekal ilmu rempah-rempah.
Erupsi Karangetang yang selalu memuntahkan bahan vulkanik menjadi

390
pupuk bubuk ke kebun-kebun pala. Lahan-lahan Siau sarat ditanami
pala, bahkan hingga tebing-tebing curam. Sampai di pedalaman pulau
dan hutan dibuka untuk perkebunan pala. Rakyat Siau menanam pala
diiring nyanyi rancak masamper, yaitu salah satu bentuk musik vokal
masyarakat Sangihe, Talaud, dan Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro)
yang dikembangkan terkait dengan proses penginjilan misonaris
Kristen Protestan di Siau. Orang-orang di pulau Siau dominan memeluk
agama Kristen Protestan. Pada masa raja Lemuel David (1890 – 1905)
memulai upaya pengolahan lahan perkebunan besar-besaran pohon
pala di Siau. Sistem perbudakan dihapus dan rakyat Siau diberi lahan
untuk menanam pala. Bagi penduduk Siau, pala sungguh berkah Tuhan.
Itu jawaban atas doa-doa di Banda dua abad lalu. Oleh karena pala,
pulau Siau terus dihuni penuh cinta meski berkali dihantam bencana,
penduduk tetap bertahan di sana.
Pala Siau di pasaran dunia dikenal sebagai pala dengan kualitas
terbaik. Uni Eropa (UE) telah memberikan Geographical Indication bagi
pala Siau dengan spesifikasi khusus yakni sebagai pala terbaik dunia
karena pas dengan standar kesehatan. Orang-orang Siau punya seribu
rahasia untuk menghasilkan pala yang unggul. Mereka membuat buah
pala ranum sempurna di ranting dan jatuh sebagai buah pala yang
matang sempurna. Petani pala di Pulau Siau hidupnya bisa makmur akibat
komoditas yang diusahakannya. Namun, kini para petani pala sering
dirugikan akibat permainan harga oleh para tengkulak dan pedagang.
Pemerintah tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi ini. Pemerintah
telah lama dibius agar tidak memperlihatkan mana pala Siau yang tulen.
Ada orang yang mencampur pala Siau dengan pala jenis lain saat dijual
agar mutu dan citranya rontok dan harganya jatuh. Orang Siau sudah tahu
bagaimana menjual pala yang benar-benar hasil perkebunan Siau.

LIMA
Sahabat, puisi esai Sawiyah Al ’Idrus “Maruatoy Anak yang Terbuang”
berkisah tentang Maruatoy. Orang tua Maruatoy menamai anaknya
berdasarkan sebuah legenda. Terkisahlah Maruatoy seorang anak yang

391
memiliki kesaktian. Ia memunyai kulit mulus, kuat dan bertubuh tegap.
Ia masih belia ketika harus terbuang karena orang tuanya tidak mampu
lagi mengasuhnya. Maruatoy mempunyai kebiasaan memakan besi sejak
usia bayi hingga seluruh peralatan rumah tangga dilahap tak tersisa.
Sejak bayi ia sudah memiliki kebiasaan makan besi. Besi itu diletakan
di atas kepalanya sebagai teman agar terhindar dari roh jahat. Akan
tetapi, besi yang dimaksudkan untuk penjaganya itupun dimakannya
juga dengan lahap. Akhirnya kedua orang tuanya memutuskan untuk
membunuhnya. Segala upaya dilakukan kedua orang tuanya untuk
melenyapkannya tapi Sang Khalik berkehendak lain dan Maruatoy
tetap hidup. Hingga satu ketika dia pergi meninggalkan kedua orang
tuanya dan tidak pernah kembali. Maruatoy masuk hutan keluar hutan
hingga seluruh dataran Totabuan dijelajahi. Seluruh penghuni hutan
takut padanya. Maruatoy kemudian membuka seluruh hutan belukar
yang dijelajahinya dan akhirnya menjadi tanah Totabuan yang sekarang
ini, Lopa Bolaang Mongondow.
Berdasarkan legenda itu sebuah keluarga memberi nama
anaknya Maruatoy yang kemudian menjadi seorang dokter. Masa kecil
Maruatoy terkadang tersisih dari teman-temannya karena namanya
diambil dari legenda anak terbuang. Kelompok anak-anak yang
melecehkannya terjebak pada kebiasaan memakai ehabond sehingga
sering mengkhayal.
Pemakaian ehabond ini merupakan salah satu fenomena sosial
yang ada di tengah-tengah anak Mongondow dewasa ini. Setelah
lulus sekolah dokter ia bertugas di kampungnya. Ia mempunyai pasien
dan pasien itu meninggal. Ternyata pasien itu teman sekolahnya.
Mayat di hadapannya itu adalah Sucipto anak konglomerat yang dulu
suka memukulinya. Tubuhnya membeku karena overdosis narkoba.
Orang tua Sucipto sangat sedih karena Sucipto anak satu-satunya.
Di pekuburan teman-teman almarhum melihat Maruatoy yang
merawat Sucipto. Dulu Maruatoy sering mereka hina di SMP. Mereka
mencandu Ehabond di kelas. Ehabond adalah sejenis lem yang ketika
dihirup dapat merangsang saraf sehingga bisa mengkhayal. Maruatoy

392
sering diolok- olok dan dipukuli oleh Sucipto dan kawan-kawannya.
Maruatoy tak membalas. Ayah Sucipto orang terkaya di desanya.
Sawahnya puluhan hektare, kebun kelapa tak terhitung jumlah
pohonnya. Ardi anak pejabat. Ke sekolah selalu di antar jemput mobil
mewah. Begitu juga Samsudin, Arfah, dan Dilla. Dibanding mereka,
Maruatoy anak yang paling miskin sehingga ia tak bisa ikut-ikutan
temannya membeli ehabond.
Dokter Maruatoy termenung memandang pasien yang telentang
yang telah meninggal. Pasien itu Sucipto anak konglomerat di
kotanya. Marutoy ingat masa silam. Pasien itu tubuhnya kini
membeku tak bernyawa, narkoba telah membunuhnya. Sucipto anak
satu-satunya dari konglomerat itu. Ayah Sucipto pingsan memikirkan
kepada siapa segudang kekayaan itu nanti akan diwariskan? Sucipto
telah meninggal dunia. Di sudut pekuburan teman-teman almarhum
bergerombol termenung. Sesekali mereka melihat dokter Maruatoy
yang sering mereka tertawai ketika di kelas semasa sekolah di
SMP dulu. Pada suatu pagi rumah sakit masih sepi datang pasien
ke dokter Maruatoy. Pasien itu Sucipto. Ia kaget bertemu Maruatoy.
Dari bibir yang pucat sempat keluar kata-kata maaf mengenang
masa sekolah SMP. Maruatoy termangu mengingat saat di SMP dulu
ehabon selalu ada di dalam saku mereka. Ardi dan Sucipto kala di
sekolah mencibirnya karena Marutoy tidak ikut menghirup ehabon
bersama mereka. Guru di kelas tidak tahu sama sekali. Tangan mereka
menggenggam ehabond dan sebentar- sebentar menghirup lem itu
lalu mata mereka menerawang menatap angkasa. Maruatoy tak berani
melaporkan kepada guru. Setelah tamat SMP, Sucipto disekolahkan di
SMA ternama di Jakarta. Tapi belum tamat sekolah, dia minta modal
buat usaha pada ayahnya. Teman-temannya anak konglomerat, artis-
artis papan atas. Di Jakarta dia diberi rumah mewah, mobil mewah,
pembantu pun cantik juga. Dia miliki segalanya. Dia terjebak narkoba.
Beberapa kali ia ditangkap karena kasus narkoba, tapi diselesaikan
oleh uang ayahnya. Bahkan yang paling mengejutkan, ia terlibat
prostitusi on line di Jakarta. Sucipto sakit oleh narkoba. Rehabilitasi

393
gagal dan akhirnya ia meninggal. Maruatoy dikejutkan dengan tamu
yang datang. Ia dokter Lisa teman Maruatoy kuliah di kedokteran.
Dokter Lisa pun terkejut melihat Maruatoy. Semula Lisa hanya ingin
bertemu dengan dokter yang terakhir merawat Sucipto hingga
meninggal. Lisa akhirnya bercerita kepada Maruatoy bahwa ia adalah
istri simpanan Sucipto. Lisa tahu bahwa Sucipto pecandu narkoba.
Kuliah Lisa tamat karena Sucipto yang membiayainya. Katanya dia
butuh dokter pendamping abadi. Sucipto sempat berkata bahwa akan
mengajaknya bulan madu ke Eropa. Tapi hingga Sucipto meninggal
tubuh Lisa belum disentuh oleh Sucipto. Maruatoy mendengarkan
Lisa bercerita, dalam hati Maruatoy berniat melamar doter Lisa, Ia
menetapkan niatnya dan melangkah ke luar ruang sidang setelah
usai menjadi saksi dalam sidang kematian Sucipto.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Gema Hati Mongondow dari Provinsi Su-
lawesi Utara menggambarkan kehidupan masyarakat yang menuntut
keadilan melawan pemilik modal, majikan, atau pejabat. Pengusaha
di daerah sering tidak memperhatikan budaya local tempat usaha.
Mereka lupa untuk menyisihkan sebagian harta dan kepandaian ilmu
yang diperolehnya bagi masyarakat desa yang sedang menderita dan
mengalami kesusahan. Memang tidak selalu mudah melakukan itu.
Selain itu ada hal lain tentang ukuran kesuksesan hidup. Umumnya,
sukses diukur dari kekayaan yang dimilikinya. Orang tua yang kehidupan
ekonominya biasa bisa berhasil mendidik anaknya sehingga bisa
lulus jadi sarjana dan bisa mandiri dalam kehidupannya, juga bisa
dikatakan sukses.

394
Pulau
Bali dan Nusa
Tenggara

395
Semua Atas
Kehendak Dewata
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI BALI

Judul Buku : Serat Sekar Tunjung


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 124 halaman
Penulis : I Gede Joni Suhartawan,
I Ketut Sandiyasa,
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-0812-19-9 

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima kisah dari Bali tentang kepercayaan
masyarakat pada Dewata dan kebudayaan masyarakat Bali, seperti
upacara pernikahan beda agama tidak diperbolekan. Informasi tentang
kasta membuat kita lebih mengenal masyarakat Bali. Wanita Bali ber­
kewajiban mengurus rumah tangga dan adat. Tentang reinkarnasi pada
kehidupan manusia masih dipercaya masyarakat Bali.

LIMA INTI SARI BUKU


 Gunung Agung meletus atas kehendak Dewata.
 Apakah cinta mengalahkan iman.
 Kasta menjadi pembeda.
 Perjuangan, doa, dan kesabaran.
 Reinkarnasi rangkai berangkai.

SATU
Sahabat, puisi esai I Gede Joni Suhartawan “Serat Gunung Agung”
mengisahkan perilaku masyarakat Bali terhadap dua hal. Pertama,
perilaku orang Bali sejak Pemeritah Hindia Belanda membuka Bali
sebagai daerah tujuan wisata (1924), hingga kini menjadi pusat

396
industri pariwisata. Kedua, catatan-catatan tentang perilaku orang
Bali terhadap fenomena alam gunung meletus yang secara umum
sering dikatakan sebagai bencana alam. Di Bali, pariwisata telah
ada sejak para pelancong Belanda melihat alam yang indah. Pantai
dengan nyiur yang melambai, budaya yang melingkupi kehidupan
masyarakat, dan manusia yang eksotis sangat menarik orang Belanda.
Sejak saat itu tanah pulau Bali dan orangnya dijual oleh Belanda.
Turis ke Bali mengagumi barisan nyiur, teras-teras sawah, gamelan
dan tarian, serta sesajen di atas kepala perempuan. Tiruan tari saklar
dipentaskan di hotel-hotel untuk turis, seperti Tari Barong atau Tari
Pendet. Tradisi dijual menjadi komoditas pariwisata. Bukit-bukit
diratakan dan dibangun vila, hotel, dan resor. Air murni disedot dari
sumber bawah tanah untuk kepentingan pariwisata. Pohon-pohon
ditebang untuk kepentingan pembangunan dan akhirnya Bali akan
mengalami krisis air untuk minum.
Gunung Agung yang dianggap sebagai tempat semayam para
dewata dan leluhur dan menjadi tempat pemujaan, dahulu didatangi
secara hikmat. Namun sekarang, langkah kaki para pendoa menapaki
tangga demi tangga, berdesak-desakan melupakan kesantunan, tak
lagi saling menyapa dengan senyuman. Orang-orang terkesan sepi di
keramaian. Perempuan tua tak lagi mendapat hormat dan kanak- kanak
tak lagi diberi tempat. Pada waktu itu, Pendeta Ida Pedanda Istri Mas
sedang membuat sesaji untuk upacara adat, saat Gunung Agung meletus
pada tahun 1963. Ratusan ribu penduduk percaya Gunung Agung
meletus atas kehendak Dewata, sehingga mereka tidak mengungsi.
Penduduk tewas terlanda lahar panas karena menyongsong lahar
turun dengan alasan ngiring betara (mengikuti perjalanan Dewata). Ida
Pedanda Istri Mas selamat. Ia wafat usia 111 pada tahun 2012. Umat
Bali mengenangnya sebagai putri pemberani, pembuat sesaji pada
upacara suci. Peristiwa tersebut membuat masyarakat berpikiran dan
beradu argumentasi, apakah itu merupakan anugerah atau bencana?
Faktanya, setelah Gunung Agung meletus, rakyat Bali diberi kelimpahan
material gunung seperti pasir dan batuan sebagai bahan tambang.

397
Orang-orang berkecukupan dan berkelimpahan dengan adanya mate­
rial gunung melalui lahar. Ketika peristiwa meletusnya Gunung Agung,
ada sebagian orang Bali mengungsi hingga ke Lampung dan sampai
sekarang menetap di Lampung.
Pada tahun 2017, kembali Gunung Agung berasap. Penduduk
dengan penuh kesadaran bergegas mengungsi. Keyakinan penduduk
seperti tahun 1963 telah surut. Kepercayaan ngiring betara (mengikuti
perjalanan Dewata) saat lahar Gunung Agung mengalir sudah memudar.
Asap dupa membubung, mengalun puja puji tembang. Para penduduk
berdoa agar Gunung Agung tidak menumpahkan lahar lagi. Senyum
para dewata melihat manusia masih memberi sesembahan dalam
situasi yang mencekam tersebut. Penduduk yang mengungsi dipandu
pemerintah untuk mengetahui kondisi Gunung Agung. Para pengungsi
riang gembira kembali pulang merayakan Hari Raya Galungan setelah
situasi diinformasikan aman oleh pemerintah. Tetap ada doa, tapi
orang BalI pergi mengungsi menjauhi bencana lahar dari Gunung
Agung yang erupsi. Alam mengingatkan umatnya agar selalu menjaga
keharmonisan antara alam dan manusia yang menempatinya.

DUA
Sahabat, puisi esai I Ketut Sandiyasa “Tenun Asmara Beda Iman
di Kaki Lempuyang” mengisahkan masyarakat Bukit Lempuyang,
Ka- bupaten Karangasem, Bali. Penduduk keturunan Datuk Bayan
dari ke- rajaan di Selaparang, Lombok yang ditundukkan Kerajaan
Karangasem beragama Islam, tinggal di Kampung Anyar sebelah
timur Pura Bukit. Bukit Lempuyang menjadi tempat persemayaman
para dewa, penuh aroma dupa dan lantunan mantra. Di Kampung
Anyar sebelah timur Pura Bukit berkumandang lantunan kebesaran
Allah dari sebuah masjid yang berdiri kokoh. Masyarakat di tempat itu
saling berbaur dan membantu satu dan yang lainnya. Ada upacara yang
dirayakan saling bekerja sama menyiapkannya, Terlihat keharmonisan
beragama di daerah itu. Orang Bali menyebut para pendatang itu
nyama selam artinya saudara Islam. Penggunaan kata nyama selam

398
menunjukkan pengakuan masyarakat Hindu di Karangasem terhadap
penduduk pemeluk Islam yang berasal dari Sasak. Penduduk dari
Sasak bertugas membersihkan Pura Bukit dan memikul bende
saat upacara sasih kelima. Pengakuan ini sebagai wujud toleransi
beragama. Bende adalah gamelan kuno yang digunakan sebagai
genderang perang di Kerajaan Selaparang, Lombok. Bende itu dibawa
ke Kerajaan Karangasem sebagai tanda kemenangan. Pada upacara
besar di Pura Bukit, keturunan Datuk Bayan di Kampung Anyar diberi
tugas memikul dan membunyikan Bende. Dua interaksi itu disebut
braya. Braya bahasa Sasak yang artinya saudara. Kata braya bermakna
persaudaran antara penduduk pemeluk Islam yang datang dari Sasak
dengan masyarakat Hindu di Karangasem.
Pergaulan antara orang Hindu dari Bali dan orang Islam dari
Sasak menimbulkan romansa di antara mereka, khususnya kaum muda.
Tersebutlah Siti Juleha dan Nyoman Jaya saling jatuh cinta. Siti Juleha
keturunan Datuk Bayan merupakan Kembang Desa Kampung Anyar.
Ia menjadi pujaan para pemuda seiman karena taat beribadah,
wajahnya cantik, dan mempunyai kepribadian yang kuat. Banyak yang
sudah meminangnya, tetapi Siti Juleha menolaknya. Ia terlanjur jatuh
cinta kepada Nyoman Jaya, pemuda Hindu dari Desa Bukit. Nyoman
Jaya anak keempat dalam keluarga. Ia pemuda Bali dari Desa Bukit.
Nyoman berbadan tegap dan pandai menembang. Banyak gadis
jatuh cinta padanya, tetapi Nyoman terlanjur mencintai Siti Juleha.
Kisah cinta keduanya mendapat halangan dari keluarga. Ayah
Nyoman Jaya menanyakan apakah tidak ada gadis Hindu yang jelita?
Ayahnya selalu berdoa agar Nyoman tidak terjerat cinta dengan gadis
yang berbeda agama. Ayah Nyoman berkata bahwa laki-laki Bali
memerlukan istri yang pandai membuat sesaji. Nyoman berkata pada
ayahnya bahwa ia mencintai Siti Juleha. Ayah Siti Juleha juga berkata
pada Siti Juleha, apakah cinta dapat mengalahkan iman Islam yang
dianutnya. Ayahnya menginginkan Siti Juleha mengakhiri cintanya.
Sementara itu, bibir ayahnya bergetar dalam amarah menanyakan
pada Siti Juleha apakah akan meninggalkan agama Islam? Siti Juleha

399
menjawab bahwa ia akan tetap hidup dalam tuntunan Islam. Siti
Juleha memberikan contoh beberapa pasangan yang beda agama
dapat hidup bersama. Ayahnya tetap mengatakan bahwa perjodohan
dengan beda agama tidak mungkin dapat dilakukan. Jadi Siti Juleha
harus menghentikan cintanya pada pemuda Hindu itu. Ayahnya
mengatakan bahwa biarlah braya tetap ada, itu baik bagi kerukunan.
Biarlah tradisi tetap membumi, itu sejarah yang harus dilestarikan.
Siti Juleha harus mengikuti kata ayahnya.
Akhirnya Siti Juleha menghindari pertemuan dengan Nyoman
Jaya. Ketika Nyoman melihat keberadaan Siti Juleha dari kejauhan,
gadis itu telah mengenakan kain panjang, jilbab menutup kepalanya.
Siti Juleha yang rambutnya berurai kini rapi bersembunyi di balik hijab
seperti banyak wanita di Kampung Anyar. Ketika bertemu, Siti Juleha
berkata kepada Nyoman Jaya bahwa ia masih mencintai Nyoman
Jaya. Kepastian hubungan mereka akan diberi tahu Siti Juleha hingga
purnama kelima mendatang. Nyoman Jaya hanya bisa menantikan
kabar Siti Juleha. Entah sampai kapan.

TIGA
Sahabat, puisi esai I Nyoman Agus Sudipta “Kasta Antara Derajat
dan Cinta” bercerita tentang kasta yang ada di masyarakat Bali. Puisi
esai ini mengisahkan tokoh Aku yang hidup dalam sistem pelapisan
sosial masyarakat Bali yang menimbulkan konflik berkepanjangan.
Mereka yang merasa sebagai keturunan Tri Wangsa (Brahmana,
Ksatria, dan Waisya) masih ingin mendominasi segala hal dan selalu
ingin dihormati. Kesalahan berabad-abad di masa lalu dalam wujud
kasta sesungguhnya seperti bom waktu. Seorang wanita dari kasta
tinggi tidak boleh menyatukan cinta dalam rumah tangga dengan laki-
laki pujaan yang berkasta lebih rendah. Apabila seorang perempuan
bangsawan menikah dengan laki-laki kalangan bawah akan disebut
nyerod (tergelincir). Semua hak di dalam keluarga hilang. Ia menjadi
anak yang terbuang dari lingkungan keluarga. Laki-laki berkasta
lebih rendah diibaratkan anjing (asu) yang digendong (pundung)

400
oleh wanita dari kasta lebih tinggi. Pernikahan itu disebut dengan
istilah asupundung. Beberapa istilah akan muncul menandai perilaku
beda kasta ini. Nama seseorang dapat memperlihatkan dia berasal
dari kasta mana dan bagaimana perilakunya. Agama diharapkan
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa fungsi manusia
itu dalam kehidupan tidak dilihat hanya dari kasta saja.
Tokoh aku terlahir menjadi orang yang tersiksa dengan adanya
kasta. Ia merasa diperlakukan beda dengan orang lain yang berkasta
tinggi. Jika ditilik kemampuan intelektual tidak jauh berbeda, tetapi
oleh karena kedudukan kasta, ia harus melata kepada orang lain.
Mereka yang berkasta lebih tinggi mendapat perlakuan istimewa di
masyarakat. Dalam acara-acara adat, orang-orang yang berkasta tinggi
dipersilakan duduk di tempat yang lebih utama dari mereka yang
berkasta lebih rendah. Makanan untuk mereka pun disajikan terpisah
dari yang berkasta lebih rendah. Tutur bahasa orang yang berkasta
rendah kepada orang yang berkasta tinggi harus selalu sopan dan
halus, sebaliknya orang yang berkasta tinggi boleh kasar kepada yang
berkasta lebih rendah. Tokoh aku lahir dari ayah Brahmana dan ibu
kasta di bawah Brahmana. Ibunya hamil terlebih dahulu. Tokoh aku,
bayi yang dilahirkan ibunya, disebut astra, tidak mendapatkan gelar
kasta Brahmana. Namanya sama seperti kasta kaum Sudra. Saudara-
saudaranya yang lahir kemudian setelah ayah ibunya menikah akan
mendapat gelar. Sedangkan tokoh aku diperlakuan keluarga berbeda
karena menanggung aib ayah-ibunya, aib sebagai anak babinjat, anak
haram yang lahir di luar pernikahan. Ia harus berkata halus kepada
saudaranya yang lebih muda. Meski tokoh aku lahir terlebih dahulu,
yang tertua, tetapi derajat sangat berbeda dengan adik-adiknya.
Pada upacara keagamaan, ia menjadi pelengkap saja, tidak boleh
mempersembahkan sesajen di merajan karena leluhur dan para dewa
akan murka.
Tokoh aku melihat ketidakadilan kasta, ketika seorang wanita
ber­kasta tinggi mencintai laki-laki dari kasta rendah. Wanita itu harus
menggelar upacara patiwangi, yaitu upacara menanggalkan nama yang

401
dibawa sejak lahir dan mengubah status kasta tinggi ke kasta suaminya.
Ia dikucilkan dan ditinggalkan keluarga. Orang-orang menyebut sang
wanita nyerod, tergelincir ke bawah. Hidup seharusnya tidak memuja
dan mengagungkan kasta. Demikian pula tokoh aku, ia akan menderita
seumur hidupnya bahkan mungkin sampai anak cucunya. Hujatan dari
orang-orang menjadikannya buah bibir yang tidak pernah berhenti
dari waktu ke waktu. Nama yang tidak sama dengan seluruh keluarga,
seperti bebek yang ditetaskan ayam. Sepintas terlihat sama, namun
sejatinya berbeda. Kasta mampu memutuskan ikatan keluarga: anak
dan orang tua tak lagi bertegur sapa, terjadi dendam dan pertentangan.
Tokoh aku ingin tidak ada ukuran kasta tapi warna di dalam kehidupan.
Warna (Varna) berasal dari bahasa Sanskerta dari kata vri yang berarti
memilih lapangan pekerjaan. Dalam konsep Catur Warna masyarakat
dikelompokkan menjadi empat profesi secara paralel horizontal yang
didasari sifat, bakat, dan pembawaan dalam bentuk keterampilan,
yaitu warna Brahmana sebagai rohaniawan (pendeta), warna Ksatria
sebagai pemimpin, warna Waisya sebagai petani dan pedagang yang
bergerak dalam bidang ekonomi, dan warna Sudra sebagai pengabdi
pada ketiga warna yang ada, karena kompetensi yang dimiliki hanya
mengandalkan tenaga fisik. Di dalam warna ada guna, yaitu sifat, bakat,
dan pembawaan. Juga karma yang berarti perbuatan dan pekerjaan.
Konsep Catur Warna itulah yang diharapkan tokoh aku secara filosofis
ada pada setiap orang. Setiap orang dalam bercita-cita hendaknya
menjadikan dirinya Brahmana, menjadi seorang Ksatria, menjadi
seorang Waisya memelihara kemakmuran, dan melayani semua itu
hendaknya menjadi Sudra. Keempat warna atau profesi itu unsur-unsur
dasarnya ada pada diri setiap orang. Bahkan satu orang dalam warna
bisa memiliki banyak profesi sesuai dengan bakat dan keterampilan
yang dimiliki. Manusia dinilai dari guna dan karma bukan keturunan,
tetapi bakat dan keterampilan diri yang menunjukkan kualitas, fungsi,
dan profesi. Pendidikan, cinta, harkat tak hanya milik Tri Wangsa.
Bahkan keturunan Sudra bisa berubah warna, jika kompetensi
ditempa dalam tungku pendidikan. Kita semua sama di mata Tuhan.

402
Semua mempunyai fungsi di setiap kehidupan. Seperti anggota tubuh,
manusia saling melengkapi saling membutuhkan dalam memaknai
kehidupan. Tokoh aku ingin dalam hidupnya tanpa kelas-kelas, tanpa
dengki, tanpa duga prasangka. Kesalahpahaman berabad-abad
menggunakan ukuran kehidupan dengan kasta, saatnya diluruskan.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Ni Luh Putu Sukma Awantari “Wanita Bali Antara
Nafkah dan Ajeg Bali” berkisah tentang wanita yang harus meme­
nuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga dan kewajiban adat. Dua
kewajiban ini menyita waktu, sehingga sulit bagi wanita Bali menduduki
posisi tinggi dalam pekerjaannya. Sistem kemasyarakatan di Bali
mewajibkan seseorang yang berumah tangga dan bertempat tinggal
dalam suatu wilayah desa adat untuk menjadi krama banjar, yaitu
anggota desa adat tanpa kecuali. Namun, bagaimana ketika istri
memiliki kesempatan menduduki posisi lebih tinggi dan memiliki
pendapatan lebih besar dibandingkan suami? Ajeg Bali memiliki
pengertian lestari dengan sifat yang dinamis, yaitu Bali yang bersifat
lentur terhadap perubahan, tetapi tetap kukuh. Ajeg Bali berarti Bali
tetap memiliki ciri khas Bali tetap mempertahankan budayanya.
Ketika si istri mempunyai kesempatan lebih dari suami, diharapkan
perilakunya tetap mengedepankan budaya leluhur.
Putu menikah dengan Made dan memiliki tiga anak laki-laki dan
sudah menginjak remaja. Keluarga itu tinggal bersama mertua. Made
bekerja di sebuah rumah tinggal milik tamu dari Eropa. Orang Bali
sering menyebut orang asing dengan istilah tamu. Istilah tersebut
tidak akan berubah walaupun tamu yang bersangkutan memiliki
rumah tinggal di Bali. Ini ditujukan khususnya pada orang-orang Barat
(non-Asia); se- dangkan orang-orang Asia yang sudah lama bertempat
tinggal di Bali, tidak disebut sebagai tamu lagi. Majikan Made itu
sangat baik, sering memberi oleh-oleh dari Eropa. Ia juga membantu
dana pernikahan Made dan Putu. Keluarga itu tercukupi ekonominya
oleh tamu dari Eropa itu. Putu juga bekerja. Ia menjadi karyawan di

403
sebuah hotel, awalnya menjadi tukang sapu, kemudian naik jabatan
menjadi pembersih kamar. Putu rajin dan tekun. Ia diangkat menjadi
penerima tamu dan pada akhirnya menjadi supervisor hotel. Setiap
hari, Made dan Putu menjalankan kewajibannya masing-masing.
Pada suatu hari, Kepala Bagian Front Office di hotel tempat Putu
bekerja mengundurkan diri. Pimpinan teratas Putu meminta Putu
menggantikan jabatan itu. Putu menerima pekerjaan itu karena Made
tidak bekerja lagi. Perjuangan Putu dalam bekerja dan mengurus
rumah tangga begitu berat. Ia harus berhadapan dengan mertuanya
yang selalu memandang sinis padanya karena pergi meninggalkan
rumah untuk bekerja. Putu harus bekerja karena kebutuhan biaya untuk
anaknya sekolah semakin banyak. Mertuanya tidak tahu kalau Made
sudah tidak menghasilkan uang lagi untuk kehidupan rumah tangga.
Ia tidak pernah menyinggung kondisi Made yang mengganggur. Pagi
buta ia harus menyiapkan makanan untuk sarapan keluarga. Lalu ia
segera pergi menuju tempat kerjanya. Oleh karena keloyalannya,
Putu diangkat menjadi Kepala Front Office di hotel itu. Semakin tinggi
jabatannya, semakin banyak yang harus ia kerjakan, dan semakin sering
Putu meninggalkan rumah, juga pekerjaannya mengantar sesaji ke
tempat pemujaan semakin jarang dilakukan. Suaminya marah melihat
Putu sukses di pekerjaan, ia menggunakan alasan marah dengan
mengatakan Putu tidak bisa ngurus rumah lagi. Tak disangka secepat
itu perubahan hidupnya. Menanggung tugas kantor, hadir dalam satu
pertemuan ke pertemuan lainnya. Setiap pagi, setiap saat bertemu
tamu-tamu penting, ia melayani secara tulus ikhlas. Pulang kerja, Putu
telah ditunggu pekerjaan rumah. Hal yang paling penting menyiapkan
makan malam. Kadang karena lelah, ia membeli makanan yang sudah
jadi di restoran atau pasar. Itu saja suaminya masih juga mengeluarkan
kata-kata yang membuatnya semakin lelah. Dicecar kata-kata yang
tidak memberikan semangat, seperti, “Jangan mengerjakan pekerjaan
tambahan. Kamu sekarang bangun terlalu pagi, pulang terlalu malam.
Kamu lelah, tak punya waktu untuk keluarga. Minta atasanmu mencari
pengganti. Jangan mau diperbudak seperti ini”.

404
Namun, dengan doa dan kesabaran Putu, akhirnya Made sadar
bahwa ia harus membantu Putu di rumah ketika Putu sedang bekerja.
Made berkata pada Putu, “Putu, aku akan membantu pekerjaanmu
di rumah. Tidak pantas aku menyiksamu.” Putu sangat senang
mendengar suaminya berkata seperti itu. Tapi Putu menjawab, “Peker­
jaan rumah tanggung jawab saya, Bli.” Made dengan tegas berkata, “Aku
membantumu menyelesaikan tanggung jawab itu. Aku tulang pung­
gung keluarga, kamu membantuku mencari nafkah. Sudah waktunya
kita bahu membahu.”

LIMA
Sahabat, puisi esai Ni Made Dwi Ari Jayanthi “Blanjong: Masa
Lalu” mengisahkan tentang karma pada manusia Bali. Bagi masyarakat
Bali, karma dan kelahiran itu tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan.
Dasar kehidupan manusia Bali selain percaya pada keberadaan Tuhan,
juga sangat meyakini adanya karma. Kepercayaan adanya karma
diceritakan melalui tokoh Ratri. Pergolakan perasaan Ratri dalam
kaitannya dengan karma yang terjadi pada masa lalu dan bereinkarnasi
pada keturunan berikutnya. Ketika itu, Ratri sering bermimpi hal yang
sama,yaitu melihat perempuan bernama Geg Anom yang datang
ke mimpi meminta tolong untuk dipertemukan segera dengan
lelaki yang tidak disebutkan namanya. Lelaki itu bermata sipit anak
saudagar candu. Ratri bermimpi berada di Blanjong. Ia melihat rumah-
rumah tua dengan atap ilalang memiliki dapur purba bertungku
tiga. Terlihat daun kelapa kering, ada anak ayam mematuk beras. Ia
melihat Bale Gede dengan ukiran karang, bale Bandung bertembok
bata, di halaman terdapat pohon kamboja berbunga lebat. Di tepian
Pantai Blanjong banyak pengunjung lalu-lalang. Lelaki-lelaki dari
Semawang hingga Sanur datang menawarkan cinta, berbekal janji,
berbekal warisan menggoda para perempuan. Dalam mimpinya,
Ratri melihat perempuan berambut panjang ikal mengurai, harum
tubuhnya wangi cempaka kuning dan minyak cendana. Perempuan itu
dengan selendang ungu membungkus dadanya berjalan sembunyi-

405
sembunyi menuju sisi pantai Mertasari. Berulang kali mimpi-mimpi
itu muncul dalam tidurnya. Sehingga akhirnya Ratri memutuskan
untuk datang ke Blanjong. Ia ingin melihat tempat yang ditunjukkan
Geg Anom dalam mimpi yang bertemu dengan laki- laki sipit anak
saudagar candu.
Hal ini menjadi cerita yang menarik. Peristiwa semacam ini
sering dijumpai di Bali. Blanjong merupakan sebuah daerah di Sanur
Bali. Berdasarkan sejarahnya, Blanjong adalah pelabuhan kapal Cina
di masa lalu. Ratri seorang perempuan yang lahir di masa sekarang,
namun memiliki ikatan masa lalu di Blanjong. Bayangan-bayangan
aneh, termasuk perempuan-perempuan asing kerap datang ke
mimpinya. Jiwa Geg Anom adalah jiwa yang sengsara. Geg Anom
meninggalkan laki-laki itu dan menikah dengan orang lain. Geg
Anom meninggal jatuh di karang terbawa ombak. Ratri berdoa
agar Geg Anom jangan muncul lagi di alam mimpinya. Ratri sangat
kebingungan, hingga pada akhirnya dia memutuskan menelusuri
jejak dalam mimpinya itu sampai kemudian ia menemukan masa
lalunya di Blanjong.
Putu Ratrining Apsari pergi ke Blanjong membuktikan mimpinya.
Di tempat itu tidak ada lagi balai purba, bangunan beratap ilalang, atau
pun ada saudagar candu. Bagaimana Ratri membuktikan mimpinya?
Senja menjelang malam, Ratri berada di pantai Blanjong. Ia duduk di
atas pasir sambil sesekali memotret. Kemudian Ratri samar melihat
Geg Anom yang ada di dalam mimpinya sedang bermain ombak
dengan seorang lelaki. Geg Anom mendekati Ratri dan membuat
Ratri berteriak. Lalu seorang laki-laki meraih tangan Ratri. Laki-
laki itu bermata sipit, kulitnya kuning mirip laki-laki yang bersama
Geg Anom di dalam mimpi, namanya Lian Gauttama. Ratri dan Lian
menikmati senja di pantai itu. Apakah Lian yang dicari Geg Anom?
Lelaki itu mencari tubuh Geg Anom? Geg Anom memilih tubuh Ratri
untuk tinggal. Ratri menjadi sarana pertemuan antara laki-laki Lian
Gauttama dan Geg Anom.
Ratri merasa tak pantas tubuhnya digunakan oleh Gek Anom.

406
Ratri bukan abdi di Dalem Pangembak. Dalem Pangembak adalah
nama sebuah kawasan suci di sekitar Pantai Mertasari Sanur, tempat
Gek Anom bekerja. Dahulu merupakan jejak perjalanan Danghyang
Nirartha (seorang pendeta suci yang konon datang dari Blambangan
Jawa Timur). Beliau menyebarkan ajaran Nusantara, berkeyakinan
pada kekuatan semesta, beragama kemanusiaan. Ratri bermohon dan
berdoa agar Gek Anom pergi, tidak menggunakan tubuhnya untuk
singgah dan bertemu dengan laki-laki yang pernah dicintainya.
Tubuh Ratri punya jiwa sendiri. Geg Anom adalah jiwa yang sengsara.
Ia ketika hidup meninggalkan kekasihnya menikah dengan orang lain,
membuat kekasihnya terus mencari. Kemudian Geg Anom merasa
bahwa Lian Gauttama yang ditemui Ratri di pantai itu adalah laki-
laki yang dicarinya.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Serat Sekar Tunjung dari Provinsi Bali
ber­kisah tentang kehidupan masyarakat yang penuh dengan adat
dan budaya Bali. Kelima penyair memberikan gambaran tentang
masyarakat Bali yang wilayahnya dimiliki beberapa orang asing
untuk perkembangan industri pariwisata. Ada nilai-nilai adat yang
dimodifikasi menjadi hiburan para turis yang berkunjung di Bali. Pada
dasarnya budaya Bali telah menyatu dalam kehidupan beragama
masyarakatnya. Industri pariwisata tetap berjalan dan budaya Bali
tetap menjadi acuan kehidupan. Keberadaan kasta di Bali dengan
segala efeknya, seperti fanatisme, arogansi, eksklusif, dan feodalisme
masih terjaga hingga kini dan mungkin itu yang mempertahankan adat
istiadat pada masyarakat Bali.

407
Kemelut Cinta
dan Konflik Sosial
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Judul Buku : Kidung Tambora


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 126 halaman + xvi
Penulis : A. Rahim Eltara, Aries Zulkarnain,
Fitriatunnisa, Muhammad Tahir
Alwi, Purna Aprianti
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-17-0

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima puisi esai dari penulis Provinsi Nusa Teng­
gara Timur yang mengisahkan persoalan cinta dan konflik sosial dalam
kehidupan masyarakat. Juga terdapat adat istiadat yang membuat warga
mendapatkan kesulitan. Selain itu, perbedaan agama sering memicu
persoalan ketika umat manusia saling berinteraksi.

LIMA INTI SARI BUKU


 Cinta mengubah adat.
 Perbedaan etnis memicu konflik.
 Tradisi yang memecah belah kehidupan.
 Kearifan lokal yang dilupakan.
 Kecemburuan sosial menuai konflik.

SATU
Sahabat,puisi esai A.Rahim Eltara“Potret Cinta,Lalu Dia dengan Lala
Jinis” ini bercerita tentang Lala Jinis putri Datu Seran. Ketika itu, tersiarlah
kabar acara perkawinan di Kedatuan Seran antara Ranpangantan dan
Lala Jinis. Datu Seran berharap Lala Jinis menikah dengan Ranpangantan
yang dapat menggantikannya sebagai Datu Seran. Ranpangantan adalah

408
panglima di Kedatuan Seran. Kedatuan Seran adalah kedatuan tetangga
dari kedatuan Alas Loka yang dipimpin oleh seorang Datu. Di Kedatuan
Alas Loka, tersebutlah Lalu Dia, seorang pangeran yang tampan putra
dari Datu Alas Loka. Lalu Dia adalah keturunan Raja Bugis yang menjadi
pewaris takhta Kedatuan Alas Loka, sekarang dikenal sebagai ibu kota
kecamatan Alas. Ia cerdas dan menguasai berbagai ilmu. Segala kitab
telah pelajari tentang bagaimana menata jalan kehidupan. Ketika Datu
Alas Loka meninggal dunia, Lalu Dia menggantikannya sebagai Datu.
Saat itu, ia memimpin wilayahnya dan membuat rakyatnya makmur
sejahtera. Lalu Dia mempunyai pengawal sekaligus pelayan bernama
Puntuk yang sangat setia kepadanya. Lalu Dia belum beristri dan
banyak putri yang terpikat kepadanya. Namun, tugas kedatuan telah
menyita kesempatan untuk mencari istri. Kesungguhan dalam menata
pemerintahan menjadikan dirinya dihormati, disayangi, dan disanjung
oleh rakyat di Kedatuan Alas Loka.
Ketika itu, tersiarlah kabar akan diadakan perkawinan Ranpa­
ngantan sang Panglima Datu Seran dengan Lala Jinis putri Datu Seran.
Lala Jinis terkenal cantik bagai bidadari. Kemudian Lalu Dia ingin
menghadiri acara itu sekaligus ingin melihat Lala Jinis yang dikatakan
cantik itu. Pinangan Ranpangantan pada Lala Jinis bukan didasarkan
rasa cinta kasih antara dua insan, tapi atas kesepakatan kedua orang
tua masing-masing. Datu Seran yang sudah tua tak sanggup memikul
tugas kedatuan. Sementara itu tidak ada pewaris tunggal sebagai
pengganti. Datu Seran menganggap Ranpangantan lah yang pantas
dan setara dalam kedatuan. Dia seorang panglima berdarah biru dan
berwibawa di mata Datu Seran. Sedangkan Lala Jinis sedih dipersunting
Ranpangantan. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mendambakan
dipersunting oleh Lalu Dia, laki-laki yang begitu tampan dan gagah. Ia
menderita dengan jodoh yang tidak dikehendakinya itu tetapi persiapan
perkawinan Lala Jinis telah dimulai. Ketika itu, Lalu Dia bersiap akan
berangkat ke Kedatuan Seran. Adik Lalu Dia yang bernama Supu Ike
berpesan pada kakaknya agar tidak teperdaya pada gadis-gadis Seran
yang terkenal cantik dan menawan. Di sanalah pertama kali Lala Jinis

409
dan Lalu Dia bertemu pandang. Mereka saling jatuh hati. Kedatangan
Lalu Dia disambut oleh Ranpangatan dengan baik. Ranpangatan begitu
bahagia karena sebentar lagi akan menikahi Lala Jinis. Ia mengajak Lalu
Dia bermain sepak raga dan sabung ayam. Mereka menikmati permainan
itu. Permainan itu dimenangkan oleh rombongan tamu dari Alas Loka
yang dipimpin Lalu Dia. Lala Jinis pun semakin mengagumi Lalu Dia.
Setelah memenangkan permainan itu, Lalu Dia dengan sembunyi-
sembunyi mengutus pelayannya meminta agar bisa bertemu dengan
Lala Jinis. Akhirnya mereka bertemu dan saling mencurahkan perasaan
hati. Mereka menyadari ada adat yang tidak boleh dilanggar. Ada
larangan atau tabu dalam pandangan masyarakat, apalagi terjadi antara
dua kedatuan, Alas dan Seran, dua kedatuan yang tidak diperbolehkan
warganya saling menjalin hubungan asmara. Lalu Dia dan Lala Jinis
adalah dua insan dari Kedatuan Alas dan Kedatuan Seran. Ketika itu, Lalu
Dia mengatakan akan menjemput Lala Jinis untuk dibawa pulang ke
Alas. Lalu Jinis pun bersedia. Namun, malam itu Lalu Dia gagal membawa
pergi Lalu Jinis, Lala Jinis tidak keluar menemuinya untuk berangkat ke
Alas. Akhirnya Lalu Dia pulang ke Kedatuan Alas dengan sedih. Lalu Dia
merasa tidak enak makan dan minum atas kejadian itu. Setelah dua hari
di rumah, pada malam hari ada yang mengetuk Kedatuan Alas. Ternyata
Lala Jinis dan Oneng pelayannya datang ke Kedatuan mencari Lalu Dia.
Lala Jinis menjelaskan kepada Lalu Dia bahwa ia tidak ingin Lalu Dia
dituduh menculiknya, maka malam itu ia tidak keluar menemui Lalu Dia
untuk diajak pergi ke Alas. Lala Jinis minta maaf. Dengan begitu, Lalu Dia
tidak bersalah ketika Lala Jinis datang sendiri ke Kedatuan Alas menemui
Lalu Dia. Warga kedatuan Alas merasa resah dan gelisah. Khawatir akan
terjadi sengketa martabat. Karena sebuah aib telah melanda Seran. Sang
calon pengantin putri menghilang ke Kedatuan Alas.
Ranpangantan menjadi sangat geram. Dia yakin calon permai­
su­­
rinya diculik Lalu Dia. Ranpangantan marah dan mendatangi
Kedatuan Alas. Ia menuduh Lalu Dia menculik Lala Jinis calon istrinya.
Ia minta Lala Jinis diserahkan kembali kepadanya. Lalu Dia menemui
Ranpangatan dengan baik-baik. Ia dan keluarganya mengatakan kalau

410
ia tidak menculik Lala Jinis. Gadis itu datang sendiri karena tidak mau
dinikahkan dengan Ranpangatan. Akhirnya penjelasan Lalu Dia dapat
diterima Ranpangatan. Saat itu Ranpangatan tertarik melihat Supu
Ike, adik Lalu Dia. Akhirnya Ranpangantan mengikhlaskan Lala Jinis
menikah dengan Lala Dia. Ranpangatan meminang Supu Ike untuk
menjadi istrinya. Dengan bergulirnya waktu, cinta Lalu Dia dengan
Lala Jinis telah berhasil menebas belukar adat dan tradisi. Di antara
dua kedatuan Alas dan Seran tidak ada lagi sekat adat dan tradisi yang
menyiksa batin jejaka dan perawan untuk saling mencintai. Lalu Dia
dan Lala Jinis telah menumbangkan adat itu dalam jalinan kasih yang
direstui Datu Seran menjadi pasangan yang serasi. Alas dan Seran pun
menjadi dua kedatuan yang rukun, damai, dan sejahtera.

DUA
Sahabat, puisi esai Aries Zulkarnain “Balada Tana Intan Bulaeng” ini
bercerita tentang etnis di Sumbawa, yaitu etnis Samawa, yang beragama
Islam taat dan fanatik. Secara tradisional, penduduk Kabupaten Sumbawa
dan Kabupaten Sumbawa Barat didiami oleh etnis Samawa yang karena
kemakmuran dari sumber daya alamnya disebut Tana Intan Bulaeng.
Orangnya disebut Tau Samawa. Seluruh Tau Samawa adalah pemeluk
Islam yang taat dan fanatik. Kalau sekarang penduduk Sumbawa dan
Sumbawa Barat ada yang beragama selain Islam, berarti mereka adalah
pendatang yang bermukim di Sumbawa sejak awal kemerdekaan
Indonesia. Ketika sorak-sorai kemerdekaan menyeruak dari Jawa, Sama­
wa tenang tenteram tanpa tahu bahwa sudah merdeka.
Kalau saja tidak ada Paiman anak Jawa bersama dengan temannya
prajurit pejuang utusan Sudirman, mereka tidak tahu bahwa mereka
harus menjaga wilayahnya dari gempuran Belanda yang ingin me­
nguasai kembali jajahannya. Jenderal gerilya Paiman Menyusun
kekuatan menghadang musuh anjing-anjing NICA. Para pemuda Tana
Samawa membantu melawan penjajah yang telah menguras lumbung,
telur, ayam, dan ternak dan memaksa rakyat berbusana karung goni
hingga rakyat berpenyakit koreng, borok, dan gatal. Ketika itu Sultan rela

411
tanpa mahkota demi NKRI. Perjuangan Sultan Sumbawa atas tegaknya
NKRI berkonsekuensi logis pada keterbukaan menerima para pendatang,
siapapun orangnya baik dari sisi agama dan ras yang berbeda, asalkan
mereka menjaga harkat dan martabat Tau dan Tana Samawa (orang/
masyarakat dan daerah Sumbawa). Hal itu didukung pula oleh pemeo
Tau Samawa:

Mana si Tau sabarang kayu Walau siapapun itu


Lamen to’ sanyaman ate Kalau dia mampu membahagiakanmu
Ba nansi sanak parana Maka dialah saudaramu

Kedatangan transmigrasi yang terdampak bencana letusan


gunung Agung tahun 1962, telah ditempatkan di kecamatan Lunyuk.
Hal itu menunjukkan betapa kemesraan Tau Samawa terhadap
pendatang. Mereka hidup aman,makmur,dan damai berkonstribusi pada
peningkatan taraf hidup Tau Samawa. Namun pendatang berikutnya
baik sebagai aparat maupun pengusaha (tambang emas/tembaga PT
Newmont Nusa Tenggara) yang tidak memahami kultur Tau Samawa
hampir merusak total tatanan yang telah ada. Dua kali kejadian konflik
etnik (Bali versus Sumbawa) yang disebabkan oleh ulah seseorang
sungguh sangat memalukan sekaligus menyedihkan, terlebih oleh
lambannya aparat memahami situasi. Padahal semua akibat kerusakan
yang ditimbulkan oleh amuk massa ditanggung oleh masyarakat
dalam merehabilitasinya. Mungkin juga berimplikasi pada tatanan lain
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di Lunyuk, konflik
horizontal tidak terjadi. Masyarakat asal Bali di kecamatan Lunyuk
saling menghormati dan menghargai antarwarga. Dalam pandangan
Tau Samawa, sebuah konflik etnis adalah suatu kesedihan massal.
Dikisahkan, Samawa (Sumbawa) sebuah pulau yang tenang dan
damai menerima pengungsi dari Bali akibat Gunung Agung meletus. Di
Lunyuk, kecamatan di selatan Sumbawa, di situlah orang Bali mengungsi.
Mereka menggarap tanah dengan syarat tanpa brem atau tuak Bali dan
babi. Tana Samawa beragama Islam. Kehidupan harmonis terjalin antara

412
masyarakat Islam dan Hindu. Mereka menikmati panen padi, kelapa,
pepaya, pisang, mangga, dan lainnya. Pada suatu hari, di kabupaten
terjadi amuk massa. Mereka membakar pura dan sanga, menjarah toko,
kios-kios, hotel, dan rumah milik orang Bali. Pemicunya yaitu peristiwa
kecelakaan yang terjadi pada polisi keturunan Bali yang membonceng
pacarnya setelah minum alkohol dan mabuk. Sang pacar meninggal.
Hari itu sejarah berulang malam Minggu awal Januari. Polisi muda
kelahiran Karangasem membawa kebiasaan dari kampung, Brigadir
Gede Eka Swarjana, minum alkohol hingga mabuk di deretan kafé
bibir di pantai Batu Gong. Ia sedang berpacaran dengan Aryati Bunga
Mayang. Setelah itu mereka pergi berboncengan. Di bawah pengaruh
minuman alkohol, Gede memacu motor dengan kencang dan jatuh di
jalan. Pacarnya meninggal. Gede pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
Keluarga Aryati mendengar bahwa Aryati meninggal karena dianiaya
hingga mati. Orang-orang bergunjing tentang sesuatu yang tidak benar.
Keluarganya mendengar kabar bahwa ia meninggal dianiaya orang Bali.
Lalu timbullah amuk massa merusak dan membakar bangunan milik
orang Bali. Lalu keluarga Aryati merasa tidak terima, mereka mengamuk
pada keluarga Gede yang berbeda etnis. Masyarakat ikut tersulut
dan mengamuk. Mereka merusak rumah dan tempat ibadah. Tercatat
dua puluh rumah rusak berat, dijarah dan dibakar, lima puluh lainnya
hanya terjarah. Sembilan puluh perusuh ditangkap, mungkin terjaring
provokator. Sebuah hotel dan toko hangus. Tetapi desa Lunyuk, Kanar,
Wanagiri negeri Wayan, negeri Made, Negeri Nyoman tidak tersentuh oleh
asap api huru hara, tenang dan nyaman. Meski ada debar yang mengintai.
Di atas Tana Intan Bulaeng bila kuat menjunjung langit berpijak bumi,
prahara tidak akan sampai. Warga bersatu padu mengobat luka tiada
berbekas. Pura dan hotel dibangun bersama mereka swadaya patungan
demi saudara yang bernasib malang, agar sejarah tidak berulang.

TIGA
Sahabat, puisi esai Fitriatunnisa“Mimpi-Mimpi Murni” mengisahkan
peperangan antardesa, Desa Ngali dan Renda di Kabupaten Bima yang

413
terjadi setiap tahun. Peperangan itu terjadi sejak zaman penjajahan
Belanda. Pasukan Belanda dibantu oleh masyarakat desa Renda, Sakuru,
dan Baralau menyerang desa Ngali. Ketika itu, tersebutlah Tuan guru H.
Abubakar yang terlibat langsung dalam perang Ngali. Ia bergerak di sektor
utara menghadang musuh yang datang dari desa Renda. Umi Saleha,
istrinya, bahu membahu bersama pemuda dan anak anak wanita lain
bergerak secara gerilya di dalam kampung. Belanda memasuki kampung
dan mencari penduduk dari rumah ke rumah. Mereka diserang tiba-tiba
dari sudut rumah dengan senjata keris, tombak, parang dan lainnya.
Umi Saleha menggunakan lira (alat tenun dari keras kayu) atau tombak
dilemparkan kepada Belanda dari atas rumah. H. Abubakar dan Umi
Saleha terbunuh dalam peperangan itu. Usai perang, desa Ngali diisolasi
dan dikenakan status sebagai desa ‘rampasan perang’. Sawah-sawah
mereka dibagikan kepada penduduk desa sekitar yang ikut membantu
Belanda. Para pemilik baru sawah itu setiap musim tanam datang ke desa
Ngali untuk menggarap dan mengolah sawah mereka. Setelah berjalan
beberapa tahun, pada saat pemilik sawah baru menggarap sawah hasil
rampasan perang itu, orang-orang Renda diusir dan masyarakat desa
Ngali berusaha merampas kembali sawah-sawah mereka, perkelahian
di tengah sawah tidak terelakkan lagi. Perkelahian antara desa Ngali
dan desa Renda serta desa Sakuru, desa Baralau berjalan setiap tahun,
dan dikenal dengan sebutan ‘Ndempa’. Peperangan antara desa Ngali
dan desa Renda masih berkelanjutan sampai hari ini, dengan penyebab
yang lebuh luas. Permainan sepak bola, suara bising kendaraan bermotor,
perkelahian antarpelajar, perkelahian remaja, bahkan sekadar tatapan
mata yang disalahpahami pun bisa menjadi pemicu peperangan.
Murni kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya. Orang tuanya,
H. Abubakar dan Umi Saliha meninggal sebagai korban peperangan di
kampungnya. Ia masih kecil ketika itu, masih berusia 11 tahun. Ia masih
teringat akan ibunya. Ibunya adalah perempuan yang baik dan tulus
hati. Setiap akan tidur, Murni selalu didongengkan kisah indah tentang
bidadari surga. Setelah itu, ibunya akan mengucapkan doa-doa agar
selamat. Ibunya berjanji mendampingi ayah hingga ke surga. Ia ingat saat

414
ibunya meninggal mengikuti jejak ayahnya sebagai pejuang. Ia akhirnya
dibesarkan oleh pamannya. Ia besar bersama sepupu-sepupunya yang
keras hati. Pada suatu hari situasi Ngali dan Renda mencekam. Pihak
kepolisian setempat pun tengah berupaya menghalangi terjadinya
perang saudara yang diduga kuat dilatari peristiwa pembacokan
pada malam setelah merayakan Hari Raya Idulfitri. Warga Renda yang
menjadi korban curanmor mengaku mengenali motornya dikendarai
oleh oknum warga Ngali. Sehingga warga Renda beranggapan pelaku
pencurian adalah warga Ngali. Tuduhan itu membuat warga Ngali marah
dan menyerang warga Renda. Ketika Murni berusaha mendinginkan
amarah saudara-saudaranya, ia malah dimarahi. “Berhenti menjadi
pecundang. Kau perempuan, tapi kau keturunan pahlawan. Jika kau
tak bisa memperbaiki keadaan, kau bisa memilih diam untuk bertahan.
Jangan sampai kami menyesal memeliharamu di rumah ini.” Napas Murni
seolah berhenti, tercekat bukan oleh kilatan belati, tapi kalimat yang
menghujam hati. Murni tak sekuat yang dia harap untuk coba wujudkan
mimpi menghentikan perseteruan antar desa, tapi Murni menyadari
perjuangannya baru dimulai. Murni berusaha untuk bangkit dan menepis
stigma negatif tentang kampungnya.
Murni tumbuh sebagai gadis pendiam. Dia kuliah di Makassar.
Di kampus tempat kuliahnya, ada juga pandangan negatif tentang
kampungnya, kampung suka berkelahi. Ada teman sekampung menjadi
sumber keributan di tanah Makassar. Bukan mereka penyebab keributan,
tetapi selalu saja mereka diikutsertakan sebagai penyebab keributan
itu. Murni hanya diam melihat itu semua. Ia harus menerima untuk saat
ini. Ada keinginan yang kuat untuk mengubah stigma seperti itu kelak.
Pada suatu hari, sekelompok pemuda Makassar terlibat perkelahian
dengan sejumlah mahasiswa asal Bima di Jalan Mamoa, Kec Tamalate,
Makassar. Asrama mahasiswa Bima, di Lorong IV Jalan Urip Sumohardjo,
Kecamatan Panakukkang, Makassar diserang puluhan warga, Murni ada
di antaranya dan terluka. Ia ditolong seseorang yang tidak diketahui
namanya yang membawanya ke rumah sakit. Murni masih ingat wajah
penolongnya itu. Beberapa waktu kemudian, sepupu Murni di kampung

415
memberi kabar bahwa pekan depan Tilongkabila akan singgah di pe­
labuhan Bima. Pamannya menyuruh Murni pulang naik kapal itu.
Tilongkabila adalah nama kapal Pelni yang diambil dari nama gunung
yang ada di pulau Sulawesi. Salah satu rute perjalanannya melewati
pelabuhan Bima. Walaupun Murni belum boleh pulang oleh dokter, ia
harus menuruti pesan pamannya itu. Pamannya selalu mengirimi uang
walau tidak seberapa. Murni kuliah sambil bekerja apa saja. Ia belajar
tekun dan berhasil mendapat beasiswa. Murni ingin mengubah stigma
negatif tentang kampungnya pada semua orang bahwa kampungnya
yang tercinta tidak hanya punya kisah perang saudara, tetapi juga
tentang orang-orang hebat yang bisa menjadi kebanggan Nusantara
bahkan dunia. Tugas kampus sudah ia selesaikan semua. Ia tinggal
menunggu waktu pelaksanaan wisuda. Saat itu, Murni tertarik pada
laki-laki bernama Fudi yang berasal dari desa Renda. Ketika Fudi main
ke rumahnya, sepupunya mengusir dan menghalangi Fudi bertemu
Murni. Fudi diusir dari Ngali. Murni menghadapi masyarakat yang
telanjur berpikir negatif tentang kampung Renda dan Ngali.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Muhammad Tahir Alwi “Maja Labo Dahu” men­
ceritakan kehidupan penduduk di Kampung Maria, Kecamatan Wawo,
Kabupaten Bima yang melepas kuda dan kerbau di kaki Gunung Sambu
tanpa kekang. Hewan itu tidak hilang. Para leluhur menurunkan sebuah
mestika tutur yang bernama Maja Labo Dahu. Mestika yang dipakai
untuk menjalani hidup dan kehidupan bagi penerusnya. Maja Labo Dahu
berarti malu dengan takut. Malu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan malu
kepada diri sendiri, dengan memiliki rasa takut hanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sifatnya diri sendiri dengan Tuhan. Masing-masing dengan
hati nurani diri sendiri. Maja Labo Dahu, malu dan takut adalah falsafah
kehidupan, yang mengandung nilai: biarlah aku menderita asalkan
rakyat dan negara aman dan tenteram; biarlah saya (Sultan), yang utama
dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan; yang diikrarkan
oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan

416
dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani; ikrar kerja wujud. Apa yang
telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Para orang
tua juga menasihati anak-anaknya yang masih kanak-kanak dengan
kalimat: “Tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa meminta.
Mengambil sembunyi- sembunyi berarti mencuri. Mencuri adalah dosa.
Perbuatan dosa, hukumannya api neraka. Api yang panasnya beribu-rbu
kali panasnya api di dunia ini.” Orang juga harus saling menghargai, yang
muda menghormati yang tua, dan yang tua menghargai yang muda,
santun dan mengakui kesalahan. Orang juga meminta maaf dan dan
memberi maaf. Semua itu adalah perbuatan bijaksana menuju Bahagia.
Pada tahun 1951, warga Kampung Maria melepas kerbau mereka di
gunung Sambu yang jaraknya 14 kilometer dari kampung. Beratus-ratus
ekor kerbau dilepas bebas tanpa pengembala dan penjaga tetap. Gunung
Sambu dipagar keliling dengan batu bersusun agar kerbau tidak keluar
dari wilayahnya. Tidak ada yang hilang. Tidak ada pencuri. Kenapa?
Penduduk memegang teguh mestika Maja Labo Dahu.
Belajar damai di Desa Maria, ada yang menggembirakan dan patut
dipelajari dari masyarakat Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten
Bima. Desa ini dinobatkan sebagai desa teladan tanpa konflik. Bahkan
masyarakatnya tidak membutuhkan sosialisasi penyadaran hukum. Ada
kesadaran individu dan kolektif yang tumbuh di tengah masyarakat
desa Maria. Masyarakatnya hidup rukun. Generasi mudanya diberi
ruang dan kepercayaan untuk melakukan sesuatu. Seperti halnya acara
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sepenuhnya dikelola anak
muda. Dari aspek keamanan, masyarakatnya sangat tertib. Tidak ada
konflik antardesa. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan
secara kekeluargaan. Tidak perlu bergesekan karena persoalan sepele.
Masyarakat Maria dan Wawo umumnya menjunjung kepribadian santun
dan ramah. Saling menghargai antara satu dan yang lain. Generasi
muda menghargai orang tua, sedangkan orang tua menyayangi dan
mau membimbing yang muda.
Berbeda kenyataannya dengan dua desa di Kabupaten Bima,
yakni Risa dan Dadibou. Sejak tahun 2016, dua desa ini terlibat bentrok

417
antar­kampung, hingga kini belum juga reda. Ketegangan kedua desa
kerap muncul seketika, hingga menimbulkan korban. Upaya damai yang
difasilitasi pemerintah, kepolisian dan TNI tidak membuahkan hasil.
Damai yang tidak tulus, sehingga timbul kembali konflik. Masyarakat
kedua desa mengaku tidak nyaman lagi terlebih tidak bisa menggarap
lahan pertanian yang dijadikan arena saling serang. Masyarakat
setempat harus belajar dari Desa Maria. Demikian juga dengan desa
lainnya dalam menyikapi dinamika sosial. Persoalan diselesaikan
dengan dewasa. Apalagi masyarakat Bima sesungguhnya memiliki
karakter yang sama. Masyarakat harusnya mengakui kembali “Maja
Labo Dahu” sebagai falsafah yang bersendikan Islam sebagai sebuah
kepatuhan akan nilai-nilai kemuliaan dan menjauhi sifat kerusakan
dan tegas pada kebenaran. Namun kearifan lokal tersebut tidak lagi
melekat pada seluruh masyarakat Mbojo. Maka patutlah kita kembali
belajar dan memaknai “Maja Labo Dahu” dari sikap warga Desa Maria,
Agar Bima benar-benar ramah dan tidak lagi marah-marah, karena jauh
dari nilai “Maja Labo Dahu” tersebut. Sekarang, di Kota Bima berubah.
Hampir setiap rumah memiliki satu atau dua buah sepeda motor. Jumlah
yang disesuaikan dengan kebutuhan keluarga. Anak-anak sekolah tidak
mau berjalan kaki lagi walau jaraknya hanya ratusan meter saja. Tetapi
hampir setiap minggu, dua atau tiga buah sepeda motor hilang. Kunci
atau gembok? Sebuah benda mati yang tidak bisa berteriak. Kenapa
pelaku-pelakunya tidak mau tahu dengan mestika Maja Labo Dahu?
Di dalam Maja Labo Dahu, antara lain berisi ajaran untuk “sabar dan
saling menghargai” tetapi seolah-olah sudah dilupakan sehingga
sering sekali terjadi silang pendapat lalu mengadu emosi. Terjadi
perkelahian yang awalnya antarperorangan menjadi antarkelompok
dan kampung. Hilanglah persahabatan, hilanglah nyawa. Nyawa
manusia jadi sangat murah karena emosi menguasai. Kemana larinya
kata khilaf dan maaf? Masyarakat mengabaikan pesan leluhur yang
melarang menebang pohon secara berlebihan. Akibatnya terjadilah
banjir bandang yang menghanyutkan rumah-rumah.. Orang tidak malu
mencuri, memerkosa, atau membunuh. Orang mudah emosi oleh hal

418
sepele. Perkelahian antara dua orang, bisa menyulut ke antarkelompok,
bahkan antarkampung. Maja Labo Dahu sudah dilupakan.

LIMA
Sahabat, puisi esai Purna Aprianti “Bara Cinta” menceritakan
konflik etnis Bali dan Samawa. Etnis Bali di Sumbawa unggul di
bidang ekonomi dan sosial. Mereka menduduki berbagai jabatan di
pemerintahan. Keberhasilan itu menimbulkan kecemburuan etnis
Samawa. Kekacauan yang melibatkan dua etnis, yaitu etnis Samawa
sebagai penduduk asli dan etnis Bali selaku pendatang. Hadirnya
etnis Bali di Sumbawa berawal dari transmigrasi yang terjadi tahun
1970. Banyak masyarakat pulau Dewata mencoba mengadu nasib
berpindah ke Pulau Sumbawa khususnya Kabupaten Sumbawa.
Layaknya peserta transmigrasi lainnya, masyarakat Bali berharap
hidup di Sumbawa jauh lebih baik dibandingkan hidup di kampung
halamannya. Hal inipun terbukti dari suksesnya etnis Bali merajai
segala sektor kehidupan di Sumbawa. Hanya butuh sepuluh tahun,
etnis Bali di Sumbawa sudah memperlihatkan eksistensi mereka di
bidang ekonomi, pertanian, pemerintahan, hingga pejabat BUMN.
Keberhasilan mereka tidak bersih dari kecemburuan beberapa oknum
etnis Samawa.Namun kecemburuan itu hanya fatamorgana yang
tak nampak keberadaannya. Hingga kehidupan berdampingan pun
tetap berjalan baik dan harmonis. Pada suatu waktu, keharmonisan
itu terusik oleh oknum etnis Bali yang tidak menghormati budaya
Samawa (Sumbawa). Mencoba membawa kawin lari perempuan
Sumbawa yang hubungannya tidak direstui keluarga. Merari atau
kawin lari yang menjadi budaya Bali adalah perbuatan tercela dalam
budaya Sumbawa. Hal inilah yang memicu kekacauan antara etnis Bali
dan etnis Samawa dan terjadi untuk pertama kalinya di tahun 1980.
Kecemburuan yang hanya berupa fatamorgana mendadak tergambar
jelas dan terekspresikan dalam luapan amarah. Hal serupa tak terjadi
sekali. Di awal tahun 2013 kekacauan antara etnis Bali dan etnis
Samawa kembali terjadi. Pemicunya pun sama persis dengan kekacauan

419
sebelumnya. Kisah asmara Romeo Bali dan Juliet Sumbawa yang selalu
berakhir tragis dan menyisakan penyesalan mendalam. Semestinya
dua kejadian cukup menjadi pelajaran untuk semua. Namun hingga
kini masih banyak Romeo Bali dan Juliet Sumbawa yang menjalin cinta
dan mencoba menyeberangi jurang pemisah yang ada.
Terkisahlah perempuan Sumbawa, yang mengenang kehi­dupan
masa lalunya saat di sekolah. Ada foto di ponselnya yang me­ngi­
ngatkannya pada seorang pemuda Bernama Agung. Ia berasal dari
suku Bali. Sudah lama mereka berpisah. Sudah lama tak bersua, lima
tahun lalu. Saat itu mereka hidup damai penuh keindahan, tetapi ada
kejadian pilu yang menghancurkan keindahan itu. Ia terbayang pada
wajah pemuda itu yang selalu tersenyum pada siapapun dengan ramah.
Tutur kata sopan menyejukkan dan tingkah laku baik tak tercela. Semua
orang suka padanya. Agung adalah kakak sekolahnya. Ia ingat, ketika itu
hari itu sabtu sore latihan Pramuka. Ia bertemu Agung yang menjadi
pembinanya. Dengan suara lantangnya, Agung membagikan tugas pada
grup dan mengajak untuk ikut kegiatan sosial besok bersama kelompok
pramuka lainnya, yaitu membersihkan beberapa kompleks pemakaman.
Kedekatan dalam kegiatan tersebut telah menjadikan ia dan Agung
akrab. Ternyata Agung menyadari kekaguman gadis itu padanya.
Mereka saling tertarik dan sering bersama. Bagai debu tertiup angin,
kebahagiaan itu hilang dihempas dendam menjadi suatu kesedihan
yang tak dapat dilupakan. Pada awal tahun 2013 kekacauan antara etnis
Bali dan etnis Samawa kembali terjadi. Sumbawa mencekam akibat
cinta antara Dewa keturunan Bali dan Nurma asli Sumbawa. Suatu hari
mereka berboncengan ke luar rumah. Mereka mengalami kecelakaan dan
Nurma meninggal. Dewa dituduh menganiaya Nurma hingga meninggal.
Akhirnya terjadilah amuk massa dari etnis Samawa ke etnis Bali. Rumah
ibadah dan toko-toko milik umat Hindu dibakar.
Di sudut lain kota Sumbawa, para pedagang bergegas di pasar
merapikan barang dagangannya dan menutup usahanya. Bukan tak
ingin rezeki, bukan tak harap untung. Mereka mengamankan diri adalah
keuntungan terbaik yang harus mereka upayakan sekuat tenaga.

420
Pedagang di pasar Seketeng yang sebagian besar merupakan orang
Hindu Bali. Pasar Seketeng adalah pasar induk di Kota Sumbawa yang
menjual berbagai bahan kebutuhan. Pedagang Hindu Bali umumnya
menjual kerupuk, bunga, dan memiliki toko kelontong. Jumlah mereka
cukup besar dan merupakan penduduk Sumbawa secara turun temurun.
Mereka berlarian tak tentu arah. Ada yang meneteskan air mata
kesedihan, ada yang berteriak meminta pertolongan, ada yang pucat
pasi menahan ketakutan, ada yang bergetar tak mampu berbuat apa-
apa. Bahkan, ada yang berlari pulang meninggalkan semua dagangan di
pasar. Suasana mencekam dan menakutkan melingkupi kota Sumbawa.
Udara kedengkian tercium ke sudut-sudut kota. Panas mentari tak seterik
panas amarah. Saat itu, ratusan orang berkumpul mencari rasa aman.
Sumbawa mencekam karena kisah cinta dua manusia, kisah cinta
terlarang anak manusia, kisah cinta tanpa restu dari orang tua. Gadis itu
menyadari perbedaan di antara mereka. Gadis itu mencintai keluarga
dan guru ngajinya. Sampai sekarang mereka terhubung melalui dunia
maya sebagai sahabat dan teman. Mereka sadar posisi masing-masing.
Sentimen kesukuan yang dipicu kisah cinta menjadi masalah bagi etnis
Samawa dan Bali.

REFLEKSI
Sahabat, manusia tak bisa lepas dari persoalan. Buku puisi esai
Kidung Tambora menggambarkan konflik yang terus menerus terjadi.
Interaksi ma- nusia yang berbeda etnis dan agama terkadang menyulut
emosi, bahkan berujung pada konflik sosial. Dibutuhkan kecerdasan
masyarakat dalam menyikapi kehidupan. Demikian pula persoalan
cinta. Rasa cinta seorang pria pada wanita adalah hal manusiawi.
Mereka bisa menjadi suami istri yang sah bila memenuhi syarat, antara
lain cukup umur dan disetujui orang tua. Persoalan menjadi rumit bila
kedua pasangan berbeda etnis dan agama. Mereka melakukan kawin
lari. Bagi etnis tertentu membawa lari gadis merupakan penghinaan
yang berujung konflik.

421
Adat dan Perbatasan
yang Membelenggu
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Judul Buku : Gemuruh Laut Timur


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 105 halaman
Penulis : Imelda Oliva Wissang, John Tubani,
Marsel Robot, Muhammad Safiin
Panara, Usman D. Ganggang
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-18-7

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima puisi esai provinsi Nusa Tenggara Ti­
mur yang menggambarkan potret batin dan isu sosial masyarakat.
Lima penulis menceritakan hal sama yaitu kehidupan yang menga­
nut tradisi berhadapan dengan modernisasi. Langkah manusia ter­
belenggu kakinya pada tradisi yang tidak dapat ditinggalkan

LIMA INTI SARI BUKU


 Perempuan mengurai kungkungan adat.
 Ketulusan sebuah cinta.
 Bertemu saudara di selokan perbatasan.
 Dendam yang tak pernah usai.
 Perpisahan penuh kesadaran.

SATU
Sahabat, puisi esai Imelda Oliva Wisang “Enu Molas Lesung”
menggambarkan keuletan perempuan Flores yang keluar dari kung­
kungan adat yang membelenggu. Enu Molas Lesung tinggal di
perkampungan yang disebut compang, yaitu kompleks perkampungan
yang berbentuk lingkaran dan dikelilingi oleh batu bersusun sebagai

422
batas antara halaman dalam dengan halaman luar perkampungan. Di
tengah compang selalu ditanam sebatang pohon taduk yang menjadi
titik pusat bagi pelaksanaan ritual dan pesta adat. Niang gendang
(rumah adat) biasanya disusun di pinggir compang.
Kisah ini bermula ketika orang sekampung memanggilnya Enu.
Ia tumbuh dalam lingkungan kerabat yang santun berpadu merawat
budaya ramah, patuh, melestarikan warisan temurun satu kampung
satu hati. Semakin hari Enu bertumbuh menjadi Enu molas. Molas
artinya cantik dalam bahasa Manggarai. Istilah molas juga digunakan
dalam ritual roko molas poco yakni ritual mengambil tiang kayu
utama niang gendang; rumah adat orang Manggarai. Tiang utama
tersebut diasosiasikan sebagai gadis cantik atau molas poco yang siap
disunting sebagai tiang utama niang gendang. Enu dengan tingkah
lincahnya semakin cantik dan aduhai. Kelihatan lesung di pipinya
yang merah delima tanpa polesan kosmetika produk terkini. Lesung
pipinya membuat Enu menjadi perhatian. Ia semakin molek dan pandai
bersolek bertambah lomes. Lomes adalah ungkapan yang menjelaskan
indahnya kerukunan dan kedamaian yang dialami warga di kampung.
Persatuan, kesatuan, kerukunan dan persaudaraan yang tetap dijaga.
Suasana ini asli belum terkontaminasi pengaruh luar. Enu mendapat
sebutan kehormatan dipanggil manis sebagai Enu Molas Lesung. Enu
tumbuh menjadi gadis cantik. Ia pandai menarikan sanda. Sanda ialah
tarian adat Manggarai. Sanda diringi gong dan gendang dengan syair-
syair dalam bahasa daerah. Sanda untuk merayakan pesta besar seperti
ritual adat, pesta keagamaan, penyambutan tamu. Peserta sanda
perempuan dan laki-laki. Biasanya perempuan yang menjadi penari
di tengah lingkaran besar peserta sanda. Sanda diringi alat musik
tradisonal gong, gendang dengan lantunan syair-syair dalam bahasa
daerah yang bernilai tinggi dan bercita rasa indah. Penari Sanda
biasanya perempuan yang mengenakan kain tenun khas Manggarai.
Ketika kelincahan menari sanda menjadi orbitan tetamu, Enu Molas
Lesung lalu semakin terkenal dan pergi keluar dari wilayahnya. Ia
hilang dari pusaran keanggunan yang santun lalu berubah perilaku

423
Sesanjung pujian semakin menjauhkan Enu Molas Lesung dari
kehidupannya di comang. Perlahan jarak terus memisahkan dirinya dari
dunia dan seakan menjadi asing. Kampung tua semakin jauh hilang
perlahan. Bayangannya semakin panjang memagari diri menjarakkan
Enu Molas Lesung dengan tanah kelahiran. Enu Molas Lesung sudah
jauh melintasi waktu, jauh pergi dari kampung tua berselimut damai.
Kini Enu Molas Lesung sudah di tanah seberang yang penuh cahaya
lampu di menara Kinibalu yang menyilaukan angan.
Semua sudah berubah dalam sekejap. Wangi kota terlampau
merebak dan semerbak. Deretan cerita tentang kampung menghilang
pergi, tak ada lagi bayangan meski samar-samar. Keadaan berbeda
dengan di kampung yang tenang, sekarang hiruk-pikuk banyak orang
bersaing di tengah tuntutan hidup. Laki-laki dan perempuan hidup
berjuang sendiri-sendiri. Kehidupan begitu keras tanpa kompromi
dan harus berjuang. Enu Molas Lesung ternyata sanggup menghadapi
kenyataan. Ia hidup melewati gelap malam menuju pagi, berulang
setiap hari. Walaupun kemolekan yang dulu pudar sudah dihapus
aneka kosmetika modern penuh topeng jadi bopeng, Enu hadapi
penuh semangat. Enu Molas Lesung terhempas jauh di gemerlap kota
beradu dengan kerasnya hidup. Pesona lenggak-lenggok Enu Molas
Lesung dipoles tuntas suasana kota yang megah. Ia memutuskan
yang penting untuk hidup yang genting. Ia bekerja sekuat tenaga.
Bertahun lamanya ia menabung keringat kerjanya. Tiba waktunya ia
harus keluar dari bilik keji kesenangan sementara pergi menuju dunia
luas. Ia mencari sekolah untuk mencapai cita-citanya mengarahkan
perempuan di daerahnya untuk pandai dan berkembang. Ia belajar
tentang kehidupan dan hak-hak manusia hidup. Setelah lulus kuliah,
ia pulang ke Kampung Pu’uu. Kampung Pu’uu merupakan kampung tua
di Ruteng, Manggarai yang dipercayai sebagai kampung asal orang
Manggarai di Ruteng yang kemudian mengembangkan diri hingga ke
perkampungan lain seperti Kampung Leda. Ia berusaha membawa kaum
perempuan keluar dari kungkungan adat-istiadat Flores. Pulang, hanya
itu yang terlintas di harapan. Enu Molas Lesung pulang kampung ingin

424
menuntaskan kuasa yang tertunda yang masih melilit rongga-rongga
kebebasan perempuan. Ia ingin mengajak perempuan maju sederap
zaman. Perempuan tidak sebatas raga yang nikmat seperti anggapan
lama. Bahwa perempuan muda belia yang bergerak seharusnya tidak
terbatas dengan keranjang di punggung, mengisi sisa-sisa hari yang
panjang dengan menetek buah hati anak-anak masa depan. Cemoohan
menerpa sepak terjang Enu yang tidak lazim di daerahnya. Ia ingin
menghapus cerita tentang perempuan belia yang bergerak terbatas di
rumah dan diranjang, dan yang hanya mengeluh dengan lirih.

DUA
Sahabat, puisi esai “Cinta yang Seharusnya” John Tubani mengi­
sahkan pemuda bernama Kristian (Kris) yang keluar dari seminari (sekolah
Katolik untuk menjadi pastor/imam) karena sakit. Ia meninggalkan
kampung halamannya di Ainan, Kabupaten Belu, pergi ke Kota Kupang.
Orang tua dan keluarga besar tidak terima dan mencurigai Kristian keluar
dari Seminari karena kasus perempuan. Daripada digosipkan dan diusir
dari kampung halamannya di Ainan Kabupaten Belu, ia menghilang
merantau mengadu nasib di Kota Kupang. Ia beruntung diterima di
perusahaan peternakan ayam buras milik seorang pengusaha sukses,
Haji Arsyad namanya. Kris dikenal sebagai pekerja yang tekun. Tidak
banyak ayam mati di tangannya. Meski dijuluki si tangan dingin, Kris
tetap rendah hati dan bersahaja. Pak Haji tertarik dengan cerita-cerita
Kris tentang tradisi orang Laban, yaitu sebutan untuk orang dawan,
orang gunung atau yang tinggal jauh dari lautan. Juga cerita tentang
Pah Koko. Dengan mudah Kristian bercerita. Pah Koko adalah sebutan
untuk seorang Misionaris Katolik yang disembunyikan di daerah Ainan
pada saat penjajahan Jepang. Hingga saat ini, tempat persembunyiannya
masih ada, lengkap dengan barang-barang peninggalannya seperti
panci air panas, tempat tidur, dan beberapa peralatan dapur lainnya.
Beliau menjadi simbol perkembangan gereja Katolik di Insana. Pak
Haji senang dengan pekerjaan Kris, malam itu Kris diundang ke rumah
Pak Haji untuk makan malam bersama keluarganya. Rumah Pak Haji

425
besar dan megah, tapi Pak Haji tetap sederhana. Tak heran bila beliau
dipanggili dengan sebutan Bang Ramah. Kristian berkenalan dengan
seluruh keluarga Pak Haji. Anak Pak Haji bernama Aisyah putri satu-
satunya Pak Haji yang telah bertunangan dengan Malih, seorang
perwira yang gagah. Mereka akan menikah nanti selepas lebaran.
Kris semakin bersemangat melewati hari demi hari setelah bertemu
Aisyah. Begitu banyak kata puja yang diurai kepada Aisyah. Maklum
baru pertama kali Kris jatuh cinta. Namun, Kris menyadari bahwa
Aisyah sudah bertunangan dengan Malih dan akan segera menikh.
Aisyah sama sekali tak mengira Kris menaruh perhatian terhadap
dirinya. Bagi Aisyah tidak ada beda, Kris adalah karyawan yang cerdas
dan ramah. Ia memperlakukan Kris apa adanya, tidak ada rasa curiga.
Sebab Kris pandai menempatkan diri, walau Kris terus diusik cinta
dalam hati. Kris pun dikuliahkan oleh Pak Haji di salah satu Univeritas
swasta ternama. Pak Haji menyayangi Kris karena ia tekun dan jujur.
Pak Haji menguliahkan Kris tanpa hitung untung- rugi, sebab ia ikhlas
bersedekah. Sakit hati hati Kris karena keluar dari Seminari dan tidak
diterima di keluarganya telah disembuhkan lewat keluarga Pak Haji
yang baik hati itu.
Hari itu Kris seakan melihat samudra luas di wajah Aisyah, ket­

duhan hatinya menyiratkan kepribadiannya. Betapa tidak Aisyah
menumpang kendaraan umum, rela berdesak-desakan, dan ber­
panas-panasan. Kris pura-pura tak melihat Aisyah, tetapi ia kaget
bukan kepalang. Gadis berhijab itu telah berada di sampingnya dan
tersenyum kepadanya. Ayahnya tidak bisa mengantarnya karena tidak
enak badan. Sedangkan Aisyah tidak bisa menyetir, ia naik angkutan
kota. Kris hanya mengangguk tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba
kendaraan yang ditumpangi Kris dan Aisyah terguling. Teriakan histeris
para penumpang, barang-barang yang tumpeng tindih, penumpang
yang berbenturan membuat suasana panik. Kris berusaha bangkit
setelah menghalau tumpukan karung yang menidih tubuhnya. Ia
mencari Aisyah dan menemukannya terkulai tak sadarkan diri di bawah
kursi. Sekujur tubuhnya berlumur darah. Dengan sekuat tenaga, Kris

426
mencoba memapah Aisyah. Ia tak lagi menggubris sakit pada tubuhnya.
Sebagian penumpang terkapar entah masih hidup atau mati. Kepala
Aisyah terus mengucur darah, hijab ungu kesayangannya terlepas. Kris
berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan. Seorang lelaki
paruh baya menawarkan bantuan dengan sepeda motor membawa
mereka menuju rumah sakit. Perawat dan dokter dipanggilnya, demi
memastikan keadaan. Walaupun jawabannya sama, Aisyah belum
siuman. Pak Haji datang bersama pelayannya. Dokter Faizal tiba di
rumah sakit. Pak Haji mendatangkannya dari Surabaya, khusus untuk
merawat Aisyah dan Kris. Luka di kepala Aisyah dijahit dua puluh
jahitan. Otaknya mengalami pendarahan. Kondisi Kris tidak seburuk
Aisyah. Ia hanya memar di bagian pelipis.
Kecelakaan lalu lintas membuat Aisyah hilang ingatan tidak mau
berpakaian, tidak bertemu siapa pun, kecuali Kristian. Kristian merawat
Aisyah. Bertahun-tahun Kristian merawat Aisyah yang selalu telanjang.
Pak Haji dan tunangan Aisyah bersepakat agar Aisyah menikah. Kristian
setuju untuk membujuk Aisyah menikah. Bukan dengan Kristian tetapi
dengan Malih, tunangannya. Sebelum akad, Kristian memberi kado
Aisyah jilbab ungu yang dikenakan saat kecelakaan. Aisyah berkata
bahwa ia berpura-pura sakit. Aisyah tidak mau menikah dengan
Malih, tunangannya. Malih telah memiliki anak sewaktu bertugas di
perbatasan. Kris kebingungan. Ia sudah berjanji pada ayah dan tuna­
ngan Aisyah agar membujuk Aisyah untuk menikah.

TIGA
Sahabat, puisi esai Marsel Robot “Batu Tumbuh Cerita” bercerita
tentang kehidupan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
pascajajak pendapat tahun 1999. Sesama orang Timor, bersaudara,
satu suku, satu bahasa, dan satu budaya dipisahkan oleh batas negara.
Hubungan saudara diputuskan secara paksa. Secara geografis dan
geneologis masyarakat kedua wilayah ini mempunyai hubungan
saudara sedarah. Perbatasan dijaga ketat. Jalan untuk bertemu saudara
jalan ilegal, jalan tikus. Manamas merupakan salah satu wilayah di

427
Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sebagian besar penduduk daerah ini berasal dari Oekusi (Timor Leste).
Mereka berasal dari nenek moyang yang sama, rumah adat yang sama,
dan budaya yang sama.
Pagi sekali, Sabita membangunkan anaknya Sabina agar segera
berjalan pergi berangkat ke sungai mencari udang, belut, kepiting dan
bintang. Udara dingin diserbu angin dari cela dinding. Sabina tergesa
membereskan pakaian, menuangkan air dari dalam periuk tanah.
Paman Sabina kemarin datang mengabarkan kalua neneknya sakit.
Mereka akan pergi menjenguk neneknya yang sakit. Soares, Sabina,
dan si kecil Sabita belum pernah sekali pun melintasi tebing Faunoem
yang begitu menakutkan. Soares menggunakan daun kusambi
membajak jejak. Soares mendahului mengintai para datu. Sabita dan
Sabina menapaki daun kusambi yang diletakkannya setiap 20 meter.
Jika pangkal daun kusambi balik ke arah belakang, ke arah datang,
maka mereka harus segera berbalik. Itu berarti ada penjaga perbatasan
kata Soares menjelaskan ketika belum mulai berjalan. Langkah Sabita
kelelahan. Ia bagai sedang menyepak bumi, menyepak kesunyian,
menyepak tembok perbatasan, menyepak ranjau. Terdengar sesekali
suara tembakan meriam. Telinga orang Manamas sudah terbiasa dengan
suara pistol. Kadang suara bedil seperti itu diperlukan biar mengetahui
umeke sedang ada di perbatasan. Umeke dalam bahasa Dawan (Timor)
adalah ular sawah. Kata ini merupakan salah satu bentuk metafora
untuk tentara penjaga perbatasan. Metofara yang relevan dengan sifat
ular sawah, menakutkan, menyakitkan dan mematikan. Demi cinta selalu
ada alasan melanggar batas. Sebuah pasar kecil ada di dekat kuburan di
Manamas. Pasar menggelar cerita dan menjajakan buah-buah rindu yang
ranum. Ke pasar hanya alasan untuk bertemu saudara. Pasar itu didatangi
orang-orang jauh, membawa nangka dan sebagainya. Barang dagangan
dipajang sekadar menyatakan pasar, tak dihitung laba-rugi. Keuntungan
diperoleh dari perjumpaan dan perjamuan. Perayaan kebersamaan terus
berkilau meliputi pasar menggenapi kerinduan di perbatasan.
Perjalanan Soares, Sabita, dan anaknya Sabina yang akan pergi

428
ke rumah nenek Sabina yang sedang sakit melewati tebing Faunoem
yang dijaga oleh tentara penjaga perbatasan. Perjalanan mereka
diketahui oleh penjaga perbatasan dan mereka tidak diizinkan
menemui neneknya. Akhirnya nenek meninggal dan mereka tidak
dapat melihatnya. Mereka hanya dapat meratap di bebatuan yang ada
di selokan perbatasan. Di sinilah mereka mulai bersahabat dengan
batu-batu kali untuk meneteskan air mata. Mereka merangkul batu
sebagai pengganti saudara yang telah wafat dan membatu. Setiap
peristiwa duka ditumpahkan pada serambi batu. Biar batu-batu tumbuh
ceritera tentang duka diluka batas negara. Setelah peristiwa itu, Soares
dirundung sakit, terkapar di kamar. Ia meminta Sabina dan Sabita ke
perbatasan menuliskan ceritera pada batu. Biar batu tumbuh ceritera,
mewartakan sesuatu kepada saudara sedarah. Soares meminta Sabina
ke Tapenit mengabarkan kepada keluarga bahwa dia sakit. Sabina
dan Sabita merasa sedih. Mereka teringat bahwa setahun lalu nenek
meninggal. Mereka hanya bisa menuliskan cerita kematian nenek
mereka di batu. Batu-batu telah menceritakan itu kepada saudara di
sana tanpa sepengetahuan laut, langit, dan pikiranmu. Sesekali saudara
yang di Nipani, Tapenit, atau Sakato akan datang ke batu memberikan
tanda salib. Tanda salib, dalam tradisi agama Katolik melambangkan
keselamatan. Mereka juga memasang lilin pada tanah pasir, seraya
mengucapkan kusamnya sunyi sungai perbatasan. Di batu, basah air
mata ini meneteskan lagu kematian. Ratapan naratif pada batu yang
tak pernah membisu. Dituangkan kesedihan pada batu-batu sebagai
piala keselamatan. Juga sebagai kenangan akan mereka yang telah
wafat jauh dari sanak saudara. Soares, merasa mendekati maut. Ia
mengambil tanah dan diludahi lima kali. Tiga sembilu dibakar jadi
abu ditiup ke arah Nipani (Tapenit). Soares berkata di hadapan Sabina
dan Sabita bahwa inilah tanah, tanah tumpah ketuban. Soares tidak
mengenal negara, ia tidak tahu batas negara. Soares hanya tahu saudara
sedarah. Soares juga berpesan, jika ia meninggal, ia minta dibuatkan
kubur seperti benteng. Kematiannya merupakan balas dendam atas
pembatasan hubungan keluarga di Nipani. Soares minta daun kusambi

429
sebagai karangan bunga diletakkan pangkalnya mengarah ke Tapenit.
Itu sebagai isyarat bahwa Soares tidak berhenti dan akan melintas
batas, melintas dunia, merengkuh cinta. Soares meminta jangan
berhenti di perbatasan. Tembok perbatasan adalah alis mata saudara.
Batu-batu di sungai perbatasan akan bercerita.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Muhammad Safiin Panara Ketiga “Belis yang Tak
Kunjung Sampai”, bercerita tentang cinta yang terhambat oleh dendam
nenek moyang di Pulau Alor Provinsi NTT. Terkisahlah kehidupan
penduduk Islam di wilayah pesisir, Nuh Atinang dan penduduk Kristen
Protestan atau Katolik di wilayah pegunungan, Nuh Mate. Kedua
kampung itu mempunyai riwayat perseteruan yang menciptakan
dendam turun temurun. Nuh Atinang dan Nuh Mate adalah dua istilah
pembagian wilayah Alor, Nusa Teggara Timur, secara kultural. Nuh
Atinang bermakna wilayah gunung kecil atau pesisir, dan Nuh Mate
bermakna gunung besar atau wilayah pegunungan. Masyarakat Nuh
Atinang umumnya beragama Islam dan Nuh Mate umumnya beragama
Kristen Protestan atau pun Katolik. Pada musim kering yang biasanya
dimulai pada bulan Agustus hingga Oktober, Alor dan Pantar menjadi
sangat kering dan nyaris botak dari tumbuhan hijau hingga puncak
dataran hanya terlihat seperti gundukan tanah kering tanpa pohon.
Kisah cinta kandas di tengah jalan karena dendam masa lalu antara
nenek moyang dua keluarga besar di Pulau Alor Provinsi NTT.
Lelaki Kapitang dari wilayah Nuh Mate (wilayah pegunungan,
sebagian besar penduduknya beragama Kristen/Katolik) jatuh cinta
kepada gadis Baoerae dari wilayah Nuh Atinang (wilayah pesisir,
sebagian besar penduduk beragama Islam). Sudah dua musim gadis
Baoerae menunggu pinangan lelaki Kapitang sang kekasih hati. Tatkala
Lelaki Kapitang dari Nuh Mate menuju Nuh Atinang untuk melamar
gadis Baoerae, betapa terkejutnya ia karena saudara dan paman sang
gadis Baoerae menghadang di jalan dengan tombak dan pedang hanya
karena dendam kesumat nenek moyang kedua belah pihak di masa

430
lalu. Sementara itu, seorang gadis sedang gundah di rumah adat Uma
Pelangserang di Alor Kecil. Gadis itu menanti Lelaki Kapitang yang
akan datang melamarnya. Ia tidak tahu kedatangan Lelaki Kapitang
dihadang saudara lelaki dan pamannya. Lelaki Kapitang keturunan
Nuh Mate yang telah memenggal kepala nenek moyang Nuh Atinang.
Lelaki Kapitang tidak diterima di kampung itu. Dengan langkah gontai
dan peluh di kening, Ia balikan badan menuju kampung Atimelang.
Ia meninggalkan cintanya di Nuha Atinang. Ia meninggalkan kekasih
yang menanti di balik jendela uma Pelang Serang. Tidak guna
berperang ketika hanya datang membawa badan seorang. Tidak guna
menumpahkan darah lagi meski harga diri sudah di injak di bawah
kaki. Lelaki Kapitang pulang tidak bisa melamar gadisnya. Pada
awalnya ia sangat marah dengan dendam turun temurun yang terjadi
antarkampung itu. Sebagai lelaki Atimelang ia sudah diludah atas
kepala. Hanya busur dan tombak yang bisa bicara. Hilang kepala bayar
kepala, hilang nyawa bayar nyawa. Tapi saat itu yang hilang adalah
harga diri juga cinta di hati. Lelaki Kapitang membatin dalam hati
“sudah patah cinta yang tumbuh di hati”. Tidak akan diinjak lagi anak
tangga di kampung ini. Tidak akan dibiarkan penghinaan ini terulang
kembali. Lelaki Kapitang akan menghapus jejak kaki di Nuha Atinang.
Akan dihapus kenangan menari lego-lego di depan mesbah Leffo kisu,
dienyahkan janji setia di halaman Kokoro Labahanji. Sebagai lelaki
Kapitang dari Atimelang ia merasa sudah dihina oleh para lelaki yang
seharusnya menerima belis dari Atimelang. Kemarahannya akhirnya
mereda. Cinta di hatinya tak surut oleh sejarah dendam. Ia mencari
waktu yang tepat untuk bertemu dengan kekasihnya.
Si Gadis Baorae masih duduk di balik jendela berharap kekasihnya
Si Lelaki Kapitang datang meminang dengan sirih dan pinang bersama
mama tua dan bapak tua lengkap dengan para tetua adat. Tetapi
kunjungan tak juga tiba. Ia masih duduk di balik jendela berharap ada
bayang Lelaki Kapitang sang tunangan datang menjelang. Si Gadis
Baorae tidak sadar sang kekasih sudah dihadang oleh saudara lelaki
dan juga paman. Hingga petang tetap belum juga datang. Ia berharap

431
kekasih pujaan menjemputnya dan sirih pinang segera dilumat. Juga
belis dan tenun sudah lengkap, kambing, padi, dan jagung juga menanti.
Akan dijadikan hantaran petahala bagi dirinya dari lelakinya. Petahala
adalah hantaran tebusan dari pernikahan yang berbeda agama. Itu
sebagai tanda membayar ganti diri ketika gadis Baorae dinikahi lelaki
Atimelang. Umumnya jika terjadi pernikahan beda agama seperti
orang dari suku Baorae yang mayoritas Muslim dengan suku Abui dari
kampung Atimelang yang mayoritas Katolik atau Kristen Protestan
maka salah satu pihak biasanya lelaki harus membayar hantaran
ganti rugi yang disebut dengan petahala. Lelaki Kapitang amarahnya
sudah surut saat mendengar lagu yang dinyanyikan Pak tua Abner di
rumahnya yang Menyanyikan lagu lama dalam bahasa Abui tentang
tiga pulau yang nampak dari Takpala. Pulau itu bagaikan tiga tungku
yang tersedia saling bersatu dalam persaudaraan meski berbeda.
Kampung adat Takpala terletak di desa Lembur Barat, Alor Barat Daya.
Kampung ini berada di ketinggian dan menjadi salahs atu kampung
adat favorit bagi pengunjung dari luar Alor termasuk turis manca
negara sering berkunjung ke Takpala. Pemandangan menghadap laut
di halaman rumah adat Takpala menjadi pemandangan sore yang
diminati oleh pengunjung. Lelaki Kapitang sadar bahwa hanya cinta
sejati yang mampu membasuh luka dalam hati. Cinta sejati tak butuh
busur ataupun belis, petahala, dan harta. Cinta hanya butuh keyakinan
dan iman bahwa besok pasti ada jalan. Dalam hati Lelaki Kapitang
berkata akan menjemput kembali Gadis Baoerae. Jika laut sudah
kembali tenang akan dibawanya ke pulau cinta tempat mereka berdua.

LIMA
Sahabat, puisi esai Usman D. Ganggang “Memori Cinta di Batas
Timor Leste”. melukiskan problema kemanusiaan sesama saudara di
perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Kisah dimulai dengan Aku yang
berada di Atambua. Aku merindukan perempuan mantan kekasihnya
yang tinggal perbatasan Timor Leste.
Dulu, perempuan itu mempunyai kekasih. Beberapa waktu ke­

432
mudian kekasihnya pergi dan meninggalkannya tanpa berita. Ia
ditinggalkan oleh kekasihnya karena perang Indonesia – Timor Timur.
Ketika itu, di salah satu desa di Baukau, ujung timur Timor, putusan
perempuan itu datang tanpa paksa meluncur indah keluar dari
mulutnya. Pinangan Aku usai hujan senja, diterima perempuan itu
dengan tangan terbuka. Aku akhirnya berpacaran dengan perempuan
itu. Saat Aku akan meminang perempuan itu, terjadi peristiwa
lepasnya Timor Timur dari Indonesia.Rencana meminang perempuan
itu akhirnya gagal. Ketika Indonesia harus melepaskan Timor Timur,
keluarga itu harus memilih menjadi warga Timor Timur atau Indonesia.
Balibo merupakan ibu kota Kabupaten Bobonaro di Timor Timur waktu
itu masuk menjadi provinsi ke -27 Republik Indonesia. Kota yang
terletak dekat perbatasan ini juga adalah sebuah kota yang penuh
sejarah. Menyedihkan dan menyakitkan, ketika PBB lewat Sekjen Kofi
Anan pada tanggal 4 September 1999 mengumumkan hasil jajak
pendapat di bumi Lorosae 30 Agustus 1999 lalu yang menunjukkan
bahwa mayoritas penduduk d idaerah itu menolak otonomi dari
pemerintah Indonesia. Tercatat 94.388 pemilih (21,5%) menerima
otonomi dan 344.580 pemilih (78,5%) menolak otonomi dan memilih
untuk merdeka, lepas dari Indonesia. Sungguh fenomena yang sangat
mengharukan sekaligus memprihatinkan, bahwa Timor Timur harus
lepas dari Indonesia setelah 23 tahun lamanya bergandeng tangan
dengan Indonesia. Perempuan itu dan keluarganya memilih untuk
menjadi warga Timor Timur dan tokoh Aku memilih menjadi warga
Indonesia. Mereka akhirnya berpisah. Saling menyalahkan adalah
sebuah tindakan fatal. Apapun yang akan dikatakan, nasi telah
menjadi bubur. Perempuan lepas dari rangkulan harus diterima Aku
dengan lapang dada. Dengan permainan diplomasi yang sangat prima
dan anggun, Portugal berhasil menawarkan pembahasan langsung
dengan pihak Indonesia dengan penengah Sekjen PBB (tripartit). Di
sinilah posisi Indonesia mulai terjebak (atau mungkin sudah terpojok),
pembahasan tripartit (Dare I dan Dare II) dengan cantik dimanfaatkan
Portugal untuk menekan posisi Indonesia. Tawaran Portugal memberi

433
kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri
akhirnya diterima oleh Indonesia. Dua opsi yang hasilnya sudah kita
ketahui, telah membuat diplomasi luar negeri Indonesia semakin
memprihatinkan. Selain itu, desain framework diplomat luar negeri
kita, terutama untuk masalah Timor Timur, begitu rapuh. Sehingga
Indonesia kesulitan mengeliminir (minimal menangkis) propaganda-
propaganda yang menyudutkan. Kegagalan kedua Indonesia: gagalnya
diplomasi luar negeri Indonesia. Diakhir tahun 1975, Majelis Umum PBB
mengeluarkan resolusi,“Agar Indonesia menarik mundur pasukannya dari
wilayah Timtim “. Resolusi tersebut didukung oleh 72 negara, 10 negara
menolak, dan 43 negara abstain. Jelas sekali pada waktu itu sudah
banyak negara yang tidak setuju Indonesia masuk wilayah Timtim.
Namun dalam perkembangannya, agenda Timtim selalu dipending dari
Sidang PBB dan dukungan kepada Indonesia terus meningkat.
Kamu pilih opsi kedua, mau berdiri di atas kakimu sendiri. Itu
artinya juga, aku kau tinggalkan dalam kesendirian. “Masih adakah cinta
di hatimu?” batin Aku dalam diam tak pernah diam. Kegagalan ketiga
Indonesia: gagalnya kontrol lembaga wakil rakyat di DPR-MPR kepada
presiden. Kalangan politik dikejutkan dengan keberanian Presiden
Habibie menggulirkan bola politik mengenai Timor Timur, yaitu
pemerintah memberikan opsi kemerdekaan atau otonomi. Langkah
Habibie ini tanpa persetujuan wakil rakyat di DPR dan MPR terlebih
dahulu, walaupun kemudian DPR-MPR menyetujuinya sebagai fait a
compli, karena bola opsi Timtim sudah terlanjur menggelinding. MPR
sebagai lembaga yang memberi mandat kepada presiden, seharusnya
“mencak-mencak” ketika presiden Habibie mengambil kebijakan
yang melampaui kewenangannya, dan kalau perlu membatalkan
kebijakannya serta memberi “kartu kuning” kepada presiden “nakal”
tersebut. “Pengadilan” terhadap Habibie dihadapan wakil rakyat di
DPR MPR, untuk mempertanggungjawabkan masalah Timor Timur,
21 September 1999, masih menunjukkan kuatnya posisi presiden
saat ini dihadapan DPR-MPR. Terbukti, “pengadilan” tersebut dapat
didesain Habibie agar tidak terjadi tanya jawab oleh wakil rakyat

434
yang hadir.Tetapi masyarakat Indonesia sudah mafhum, bahwa DPR-
MPR sekarang ini adalah hasil karya orde baru, sehingga wajar kalau
iklan mobil Panther, “nyaris tak terdengar”, masih melekat pada wakil
rakyat tersebut. Namun dikarenakan keheningan suara wakil rakyat
tersebut, Indonesia harus membayar dengan mahal, Timor Timur
lepas dari pangkuan Indonesia. Kalau kini, kau berotonomi berdiri
di atas kaki sendiri, tumpahkan rindu ke langit hatimu ketika awan
putih lewat di depan rumahmu. Rakitlah cinta bersamanya selama
hayat dikandung badan. Aku bangga engkau dan si buah hatimu
yang selalu mendampingimu, tapi jangan menghitung dollar di atas
lajunya motor menuju pasar.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Gemuruh Laut Timur menggambarkan
sosok manusia yang beragam. Keuletan perempuan muda Flores
yang berani keluar dari kungkungan adat-istiadat yang membelenggu
kaumnya merupakan cermin bagi kita bahwa adat masih membelit
sebelah kaki manusia Indonesia pada umumnya. Masyarakat Indonesia
terdiri atas beberapa suku yang mempunyai berbagai adat dalam
kehidupan. Menjadi Indonesia adalah hal yang sangat istimewa ketika
adat istiadat itu melekat erat pada sosok manusianya. Tulisan puisi esai
ini menyadarkan kita bahwa perbedaan adat istiadat dan agama dapat
dipersatukan dalam satu wadah negara Indonesia. Sejarah kelam atau
gemilang dari masing-masing suku menjadi sarana hubungan manusia
dalam kehidupan.

435
Pulau
Maluku
436
Kerinduan Terhadap Tanah Air,
Persaudaraan, dan Perdamaian
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI MALUKU

Judul Buku : Ambon Manise


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 90 halaman + xvi
Penulis : Denny Tulaseket, Rizky Umahuk,
Rudy Rahabeat, Stefy Thenu,
Yudit Tiwery Weldemina
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-16-3

Sahabat, apakah yang bisa kita dapatkan dari buku ini?


Buku yang berisi lima puisi esai ini menggambarkan situasi,
kondisi, dan permasalahan di Provinsi Maluku. Kita mendapatkan
in­
for­
masi tentang kerinduan orang terhadap kampung halaman,
pentingnya persaudaraan, perlunya keamanan, serta kearifan lokal
dari dongeng yang bisa dipetik hikmah dan amanatnya sesuai zaman.

LIMA INTISARI BUKU


 Di mana sekarang rumahku?
 Rindu kedamaian dan keindahan Maluku.
 Kita orang Indonesia.
 Ingin mati sebagai orang Maluku.
 Tidak samakah Tuhanmu?

SATU
Sahabat, puisi esai “Janganlah Lagi Ambon Manise Terkoyak”
Denny Tulaseket mengisahkan kehidupan Stenly, warga Ambon, setelah
terjadinya peristiwa pecah konfik sosial di kotanya. Rumah yang
ditinggalkan pemiliknya saat kerusuhan terjadi telah dikuasai orang
lain. Pascakonflik sosial di Kota Ambon ternyata menyisakan masalah

437
yang bukan mustahil akan menciptakan konflik baru, yaitu tanah dan
bangunan warga yang ditinggal mengungsi pemiliknya dikuasai oleh
pihak lain. Ketegangan dan konflik kekerasan sering terjadi akibat
penguasaan tanah dan bangunan ketika pemiliknya ingin kembali
ketempatnya semula. Penguasaan tanah dan bangunan yang ditinggal
mengungsi pemilik oleh pihak lain merupakan derita pengungsi yang
bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Timbul faktor-faktor yang
kemungkinan memicu dan mengeskalasi kembali konflik yang lahir
dari penguasaan tanah dan bangunan ini. Stenly adalah pengungsi
yang kembali ke kediaman tapi tak bisa masuk ke rumahnya. Ia
mempertanyakan upaya pemerintah dalam hal ini. Terdapat lima aspek
trauma sosial sebagai efek konflik Ambon. Pertama, tercerabutnya
struktur sosial. Kedua, trauma komunikasi. Konflik menjadikan pupusnya
komunikasi masing-masing pihak yang bertikai. Ketiga, hilangnya
kepercayaan satu dengan lainnya yang berdampak terputar baliknya
setiap informasi hanya untuk kepentingan masing-masing kelompok.
Keempat, ekskalasi konflik. Seringkali konflik sosial menjadi berlarut-
larut karena masuk dan ikut campurnya pihak luar. Terakhir, pihak-pihak
yang bertikai, khususnya para korban seperti orang tua, perempuan,
dan anak-anak akan sulit melupakan tiap rangkaian peristiwa yang
pernah dialaminya. Kekerasan yang menjadi pemandangan mata
di masa silam telah membentuk cara pandang, sikap dan perilaku
warga masyarakat terhadap orang lain. Pemerintah melakukan
penanggulangan trauma itu. Upaya-upaya itu belum sepenuhnya
sukses. Memang ada jaminan sosial dari pemerintah, tapi hal itu belum
dapat memperbaiki situasi. Bahkan justru sempat berdampak negatif
karena menciptakan ketergantungan pada pemerintah, masyarakat
menjadi pasif dan pemalas.
Stenly duduk di tepi jalan di depan rumahnya. Rumah itu miliknya,
tetapi ia tidak bisa masuk. Ada orang yang mengakui itu rumahnya dan
tinggal di dalam rumah itu. Ah, rumah itu kini bukan rumahnya lagi.
Panas di hati lebih panas dibanding matahari. Stenly ingat kemarin
ia menonton televisi di sebuah toko elektronik. Di layar kaca para

438
pejabat mulutnya berbusa-busa berbicara tentang pembangunan
pascakerusuhan. Stenly tak habis mengerti bagaimana bisa mandiri
kalau rumah dijarah? Bagaimana dapat memenuhi kebutuhan dasar jika
tanah dikuasai orang? Bagaimana mengembangkan diri jika situasi terus
begini? Stenly merasa kesepian karena teman- temannya pergi mencari
wilayah aman. Mampukah Stenly berjuang sendirian dan amankah ia dari
sasaran amuk massa lagi. Stenly selalu ingat pernyataan para pejabat
yang akan mencarikan tempat bagi pengungsi yang kembali tetapi
rumahnya ditempati orang lain. Stenly duduk di tepi pantai, menatap
laut tenang membiru. Teluk Ambon menyimpan sejuta rahasia. Stenly
memandangi Gunung Salahutu. Suasana terasa penuh kedamaian. Tapi
setelah kerusuhan terjadi, Ambon menjadi tidak nyaman.
Konflik yang terjadi di Maluku pada tahun 1999 sampai tahun
2002 pada dasarnya merupakan rangkaian konflik yang berakar dari
adanya ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan
pemerintah. Pada dasarnya lebih mengarah pada permasalahan
perebutan sumber daya politik, ekonomi, dan birokrasi. Akan tetapi
dalam prosesnya menyeret isu agama sehingga hal ini mampu
menghimpun kekuatan massa yang besar dan menyebabkan konflik
ini berlangsung berkepanjangan. Konflik Maluku berhasil diselesaikan
dengan adanya Perjanjian Malino II sebagai konsensus kesepakatan
perdamaian masyarakat Maluku. Namun demikian potensi konflik di
akar masyarakat dapat dikurangi melalui nilai-nilai kearifan lokal.
Stenly sedih karena rumahnya dikuasai oleh entah siapa. Stenly ingin
menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan. Penguasaan
tanah dan bangunan mereka, jelas tindakan melawan hukum.
Manusia hidup dan melakukan aktivitas di atas tanah, tapi kini
tanahnya tiba-tiba diambil orang. Rumah itu kini bukan rumahnya
lagi. Stenly menengok bunga mawar merah di halaman rumahnya.
Dulu Maria, anaknya, minta dipetikkan bunga itu. Kini sang anak telah
pergi. Stenly merasakan perih dadanya. Istrinya, Maya yang cantik
juga telah menjadi korban. Stenly merasa ada yang kurang dalam
penanganan situasi Ambon pascakonflik. Ia ingin hukum ditegakkan

439
di Ambon. Masyarakat Maluku, baik Islam maupun Kristen, selalu
hidup rukun satu dengan yang lain, saling bantu-membantu, dan
menjalin kerja sama dalam mengatasi masalah-masalah hidup. Nilai-
nilai ini merupakan cerminan kehidupan masyarakat Maluku. Namun,
kerukunan dan kebersamaan itu tiba-tiba terusik oleh peristiwa yang
tidak diinginkan. Konflik pecah, ribuan korban berjatuhan. Transportasi,
khususnya udara terhenti sementara, harga-harga sembako kian
melonjak dan persedian makanan menipis dan kegiatan pendidikan
terhenti. Berbagai upaya dilakukan untuk kembali rukun, aman dan
harmonis seperti sedia kala.

DUA
Sahabat, puisi esai “Maluku dalam Bayangan Nenek Luhu”
Rizky Umahuk mengangkat cerita rakyat setempat yang kontekstual
dengan masa kini. Maya menjadi yatim piatu. Ayah dan ibunya
tewas saat kerusuhan konflik Ambon. Maya ingat dongeng ibunya
tentang Negeri Luhu di Pulau Seram. Cerita rakyat yang pada
mulanya dilisankan selain berfungsi untuk menghibur, juga dapat
memberikan pendidikan moral. Begitu juga dongeng legenda Nenek
Luhu dari Maluku. Dongeng Nenek Luhu merupakan pencerminan
dari kehidupan masyarakat pada saat itu, pola pikir dan khayalan
yang menarik, sehingga masyarakat merasa tertarik dan memperoleh
keteladanan moral. Ia mengandung budi pekerti yang luhur sebagai
sarana untuk mengajarkan moral kepada anak. Kearifan lokal dan
keteladanan moral di dalam dongeng Nenek Luhu memberikan
pelajaran bagi upaya kebangkitan kembali Maluku dari puing-puing
akibat konflik horisontal beberapa belas tahun lalu.
Di zaman penjajahan Belanda dulu ada sebuah negeri di Pulau
Seram namanya Negeri Luhu. Negeri yang kaya dengan hasil cengkih.
Negeri itu dipimpin oleh Raja Gimalaha. Raja Gimalaha mempunyai
permaisuri bernama Puar Bulan dan mempunyai seorang putri Ta Ina
Luhu dan dua orang putra Sabadin Luhu dan Kasim Luhu. Putri Ta Ina
Luhu berperangai baik, berbudi luhur, dan rajin beribadah.

440
Ia mencintai ayah bundanya dan dua saudaranya. Kekayaan
Negeri Luhu tersohor di mana-mana. Belanda ingin menguasainya.
Tentara Belanda menyerang Negeri Luhu dengan persenjataan
lengkap dan modern. Raja Gimahala pun melakukan perlawanan.
Pertempuran itu dikenal sebagai Perang Pongi atau Perang Huamual.
Pertempuran itu tak seimbang karena persenjataan dari Belanda
begitu lengkap. Belanda pun berhasil menguasai Negeri Luhu dan
Raja Gimahala beserta keluarganya tewas, bahkan seluruh rakyat
Luhu dibunuh. Satu- satunya orang selamat adalah Ta Ina Luhu.
Ia ditangkap dan dibawa ke Ambon dan dijadikan istri panglima
perang Belanda. Setibanya di Benteng Victoria, Ta Ina Luhu menolak
nafsu sang panglima. Namun, Sang panglima lebih kuat dan perkasa.
Pemerkosaan pun tak terhindarkan. Ta Ina Luhu tak tahan menanggung
derita. Pada suatu malam ia berhasil mengelabui para penjaga dan
melarikan diri. Ta Ina Luhu sampai ke Negeri Soya. Ia diterima dengan
baik dan dianggap sebagai keluarga di istana Negeri Soya. Ta Ina
Luhu ternyata hamil akibat perbuatan panglima perang Belanda yang
memperkosanya. Ta Ina Luhu tak ingin merepotkan Raja Soya karena
kehamilannya tanpa suami akan jadi gunjingan. Akhirnya ia pergi dari
istana secara diam- diam naik kuda pergi dari Istana Soya menuju ke
puncak gunung. Keesokan harinya Raja Soya menyadari jika Ta Ina
Luhu menghilang dari istana. Raja memerintahkan pengawal untuk
mencari sang putri. Pengawal menemukan jejak sang putri ke arah
puncak gunung. Kedatangan pengawal Raja Soya diketahui sang putri.
Ta Ina Luhu lalu melarikan diri ke arah pantai Amahusu. Pengawal raja
dapat menemukannya dan meminta putri kembali ke Istana Soya. Ta
Ina Luhu pun terdesak dan turun dari kudanya. Ia berlutut memohon
kepada Tuhan agar rombongan pengawal raja itu tidak membawanya
pulang ke istana Negeri Soya. Keajaiban pun terjadi di atas bumi.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta
Ina Luhu lenyap secara gaib. Rombongan pengawal tersebut tersentak
kaget. Sejak itu penduduk Ambon mengalami hal aneh. Mereka sering
diganggu sesosok mahluk halus. Jika hujan turun bersama cuaca panas

441
seringkali ada anak-anak yang hilang. Makhluk halus itu penjelmaan
sang putri, dan dipanggil Nenek Luhu Maya ingat nasihat mamanya
setiap habis mengulang dongeng Nenek Luhu, “Jadilah pemberani
seperti sang putri.” Percuma jadi orang Maluku kalau penakut. Guru
Maya mengatakan juga bahwa manusia tak bisa memilih di mana
dan kapan dia dilahirkan. Tak bisa meminta untuk menjadi suku apa
pun. Berbanggalah jika dilahirkan sebagai orang Maluku. Konflik telah
mengubah karakter orang Maluku. Maya harus kuat menghadapi
kondisi itu. Pascakonflik, Kota Ambon berubah kumuh dan kotor. Maya
merindukan kedamaian dan keindahan Maluku seperti dulu. Konflik
sosial ini menempatkan orang Islam—yang dalam bahasa setempat
disebut Acang (dari kata Hasan)—berhadapan dengan orang Kristen—
yang biasa dipanggil Obet (dari kata Robert). Dalam konflik ini,
kelompok Acang menguasai permukiman di daerah pantai dan dataran
rendah. Sedangkan kelompok Obet menguasai dataran tinggi dan
perbukitan. Rumah, toko, dan segala bangunan milik kelompok Obet
yang dikuasai kelompok Acang saat itu, sebagian besar habis dijarah
dan dibakar. Demikian pula sebaliknya, bangunan dan harta kekayaan
kelompok Acang yang ada di daerah kekuasaan Obet, sebagian besar
habis dijarah dan dibakar. Sarana dan prasarana dasar, seperti kantor
pemerintah, sekolah, jaringan telkom, jaringan PAM, juga menjadi
sasaran. Tidak ada angka pasti berapa banyak korban jiwa yang jatuh
waktu itu. Masing-masing kelompok, Acang dan Obet, mengungsi ke
tempat yang dianggap aman. Acang mengungsi ke kawasan yang
dikuasai Acang, dan Obet mengungsi ke kawasan yang dikuasi Obet.
Gedung dan rumah yang pernah terbakar umumnya tidak segera
diperbaiki karena para pemiliknya masih mempertimbangkan situasi
keamanan. Ada perasaan marah, curiga, dan membenci orang-orang
yang menjadi lawan konfliknya. Terkadang kepribadian seseorang
lambat laun akan berubah menjadi seseorang yang diliputi kecemasan.
Ia tidak akan merasa tenang karena khawatir jika konflik akan terjadi
lagi. Ia diliputi rasa curiga jika kelompok yang dulunya berkonflik
dengan mereka kembali menyulut permasalahan.

442
TIGA
Sahabat, puisi esai “Benarkah Katong Samua Basudara?” Rudy
Rahabeat ini mengisahkan warga Maluku terdiri atas etnis berbeda-
beda. Orang Buton di Ambon menjadi penjual ikan di pasar Mardika,
pasar utama yang sebagian besar pedagangnya berasal dari Buton.
Orang Toraja membuka bengkel, orang Arab berdagang dan membawa
agamanya. Para pedagang Arab berhak juga tinggal di Ambon. Mereka
telah datang di negeri ini dari negeri Al-Mulukh, yang dalam bahasa
Arab artinya negeri raja-raja. Mereka membawa agama, mereka
hidup bersama di Ambon. Suka duka dilalui bersama. Bahkan sejarah
telah tergores bahwa di Maluku pernah ada peranakan Arab menjadi
gubernur. Banyak orang dari berbagai suku berdatangan ke Ambon
sudah menyatu dengan tanah Ambon menjadi orang Ambon.
Berangkat dari sebuah lagu yang liriknya menunjukkan bahwa
warga Maluku sejak dari “ujung Halmahera sampai Tenggara semua
bersaudara”, kisah berikut ini mengetengahkan keberagaman berbagai
etnis di Provinsi Maluku, Indonesia. Di Maluku ada etnis Cina, Arab,
Persia, Jawa, Makassar, Bugis, Toraja, Padang, Madura, Lampung, dan
Buton. Mereka, atas kemanusiaan yang hakiki, semua bersaudara.
Kemajemukan etnis, golongan, dan agama, adalah keniscayaan, yang
harus kita terima dari Tuhan. Jangan ada lagi iri dan benci, jangan
ada lagi perang dan diskriminasi. Identitas telah terbelah di sini,
merujuk pada kondisi ambivalen identitas seorang migran. Misalnya
seorang Buton yang sudah lahir di Ambon dan merasa diri sebagai
orang Ambon tapi masih mendapat penolakan (belum mendapat
pengakuan) dari orang Ambon sendiri. Pada lain pihak, ketika mereka
kembali ke tanah Buton, mereka sudah tidak lagi dianggap sebagai
orang Buton. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran suku-suku lain di
Maluku turut menggerakan berbagai sektor kehidupan. Bukan saja
sektor ekonomi tapi juga pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup
bahkan politik. Sudut pandang tentang suku-suku bangsa ini tentu
sangat terbatas, saya tidak bermaksud mereduksi peran mereka
yang beragam dan tidak hendak jatuh dalam stereotipe dengan

443
mengidentikkan mereka dengan satu pekerjaan tertentu saja. Sebab
orang Bugis misalnya bukan saja bekerja di sektor ekonomi, mereka
juga menggerakkan sektor pendidikan dan keagamaan di Maluku
Pada 19 Januari 1999, pertengkaran orang Bugis dan Ambon di
sebuah terminal telah membuat konflik berkobar di seluruh tanah
Maluku. Orang saling membunuh karena beda agama. Padahal
sebelumnya agama dan etnis tidak masalah. Sebagian orang Buton-
Ambon mengungsi ke Buton dan mereka kembali ke Ambon setelah
konflik mereda. Sebagian orang Buton-Ambon saat mengungsi
ke Buton tidak kerasan di sana. Orang-orang di sana merasa risih
dengan mereka. “Beta orang Ambon, beta mencintai negeri ini, beta
rela berkorban untuk negeri ini. Biar beta cuma penjual ikan, biar beta
cuma penjual sayur, beta cinta negeri ini. Beta sudah ganti beta punya
nama biar beta diterima, beta sudah ganti beta punya logat biar beta
diterima. Apakah beta musti ganti beta punya agama? Mereka yang
mengungsi akhirnya Kembali, karena Ambon merupakan tempat lahir
mereka. Bapak asal Toraja mulai membuka bengkelnya. Bapak berambut
panjang itu telah menetap lama di kota Ambon dan merasa menjadi
orang Ambon. Mereka juga menjadi jemaat setempat. Jemaat-jemaat
di Maluku anggotanya bukan saja berasal dari warga “asli” Maluku tapi
juga warga lainnya, yang biasanya dikategorikan sebagai pendatang
atau orang dagang. Gereja mengajarkan bahwa di mata Tuhan semua
sama, apapun suku dan agamanya. Bapak asal Toraja itu juga makan
kasbi (ubi kayu) dan papeda. Papeda adalah salah satu makan khas
Maluku, terbuat dari sagu yang diseduh dengan air panas. Orang Toraja
pun membuat kursi rotan di Ambon. Paimin, orang Jawa berjualan
sayur, ikan, serta daging ayam. Paijo berjualan bakso. Orang Padang
menjual rendangnya. Orang Madura menjadi tukang pangkas rambut
dan penjual sate madura. Pemilik pertokoan itu orang-orang Tionghoa
yang sudah ratusan tahun bermukim di kota itu. Kita orang Indonesia.
Berbeda agama, tapi satu Bhinneka Tunggal Ika. Itu sudah kita terima
tanpa bertanya tanpa koma. Ingatlah falsafah orang tua “di mana
langit di pijak di situ langit dijunjung”. Di mana pun engkau berada

444
cintailah tanah dan airnya. Terima semua orang sebagai saudara, terima
dengan hati yang terbuka dan engkau tak akan terluka jika jiwamu
terbuka. Seperti laut yang tak mengeluh kala kapal-kapal melayarinya.
Kehidupan di Ambon itu seperti kapal yang jangkarnya telah diangkat.
Dengan seisinya, kapal itu berlayar menuju tempat satu. Kadang tenang
kadang bergelombang. Ada pembagian tugas di dalam kapal itu. Ada
Nakhoda, dan ABK (Anak Buah Kapal) bekerja sama untuk terus berlayar.
Tak ada waktu untuk bertanya, “Anda dari mana?” Tapi biarlah menjadi
jawab,“Kita mau ke mana”. Sebab yang lebih penting adalah kita tiba di
tujuan. Bukan terkatung-katung dalam tanya, “Anda dari mana?”. Sebab
ini sebuah pelayaran, ketika badai tiba-tiba mengamuk, perahu kita
oleng, angin tak juga reda, air telah masuk di buritan, apakah masih
ada pertanyaan, “Benarkah katong samua basudara”? Jangan lagi ada
tanya, “Anda dari mana?” Tapi segeralah bersatu hadapi badai, keluar
dari badai itu. Ketika badai reda, kita pun lega dan berkata: “Benarlah
kita Bersaudara” sebab kita sudah berbagi rasa, bukan hanya kata-kata.

EMPAT
Sahabat, puisi esai “Satu Darah, Maluku” Stefy Thenu ini mengisahkan
Opa Wiem, mantan tentara KNIL Ambon asal Hutumuri yang hidup di
Belanda. Ia ingin mati dan dikuburkan di desa Hutumuri bukan sebagai
orang Belanda atau RMS, akan tetapi sebagai orang Maluku, bangsa
Alifuru di tanah Nunusaku. Dalam mitologi orang Maluku, Nunusaku
merupakan kerajaan kuno di Pulau Seram. Kegelisahan dan kerinduan
para mantan KNIL Ambon yang selama ini dituding menjadi pendukung
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) itu diwakili oleh tokoh rekaan
Opa Wiem, yang ingin mati dan dikuburkan di tanah kelahirannya, Desa
Hutumuri. Mati bukan sebagai orang Belanda atau RMS, akan tetapi mati
sebagai orang Maluku, bangsa Alifuru di tanah Nunusaku. Tetapi, apakah
kerinduan dan keinginannya itu terkabul, sedangkan orang-orang seperti
dirinya sudah telanjur dicap sebagai pemberontak dan pengkhianat
bangsa, termasuk oleh bangsanya sendiri, orang Maluku.
Mereka telah menghabiskan hidup puluhan tahun di negeri

445
orang, ternyata tidak membuatnya nyaman. Dia merasa terasing, di
negara yang selama ratusan tahun, berabad-abad merampok kekayaan
alam Maluku. Darah dan dagingnya tetap Maluku. Lahir sebagai orang
Maluku, maka mati pun harus sebagai orang Maluku, dan berkalang
tanah di tanah Nunusaku. Bukan di tanah pengasingan.
Kota Inten ialah nama kapal yang pertama kali tiba di Rotterdam
membawa ribuan orang Maluku ke Belanda. Opa Wiem termasuk
yang turun dari kapal itu menjejak tanah di negeri Belanda. Pada
1951, sekitar 12.500 Maluku diangkut dari Jawa ke Belanda. Mereka
sebagian besar prajurit yang telah bertugas di tentara kolonial
Belanda (KNIL) dan anggota keluarganya. Setelah penyerahan
kedaulatan dan pembubaran KNIL, pihak Indonesia, Belanda, dan
tentara Maluku (RMS) tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai
demobilisasi mereka. Akhirnya, diputuskan untuk memindahkan
tentara Maluku (RMS) sementara ke Belanda. Ternyata bagi sebagian
mereka sangat tidak mungkin untuk kembali ke Indonesia. Setelah
penyerahan kedaulatan, KNIL dibubarkan. Para tentara Maluku
ditawari pilihan antara pemindahan tempat atau bergabung dengan
tentara Indonesia yang baru.Beberapa memilih pilihan yang terakhir,
sementara yang lain menolak untuk membuat pilihan. Periode 1949
dan 1950 masih ada orang-orang Maluku yang bekerja untuk KNIL
Belanda, di Indonesia. Kebanyakan anggota KNIL keturunan Maluku
ini mendukung RMS (Republik Maluku Selatan). Serangan pertama
dilancarkan di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar. Seorang polisi
Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan
kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi
oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga
sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia
cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Terjadi pembajakan
kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar
di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan
marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan
enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978

446
ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Karena situasi
politik di Indonesia saat itu, sulit bagi mereka untuk tetap tinggal
di Indonesia. Solusi terbaik adalah mengirim tentara KNIL asal
Maluku dan keluarganya ke Belanda. Mereka beranggapan, hanya
akan tinggal di Belanda untuk jangka waktu singkat, mungkin sekitar
enam bulan, dan setelah itu akan dipulangkan kembali ke Maluku.
Rupanya Belanda hanya memberikan janji kosong. Sampai di Belanda
orang-orang Maluku ini ditempatkan di barak-barak atau kamp- kamp
yang jauh dari kota atau di desa terpencil. Mereka juga dikeluarkan
dari keanggotaan KNIL dan tidak mendapat gaji. Kedatangan mereka
adalah solusi sementara untuk masalah-masalah politik di Indonesia
yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dan pembubaran
tentara kolonial Belanda (KNIL). Dari tahun 1956 dan seterusnya,
Belanda membuat kebijakan yang ditujukan untuk pengintegrasian
komunitas Maluku. Aturan swadaya diperkenalkan dan kawasan baru
dibangun untuk komunitas Maluku.
Opa Wiem terasing di negara yang ratusan tahun merampok
kekayaan alam Maluku. Darah dan dagingnya tetap Maluku. Lahir
sebagai orang Maluku, maka mati pun harus sebagai orang Maluku,
dan berkalang tanah di tanah Nunusaku. Bukan justru di tanah
pengasingan. Opa Wiem menangis. Tekadnya mati dan dikubur di
Hutumuri, kampung halamannya tak tertahankan lagi. Jika mati di
Belanda, sederet prosesi penghormatan siap menyambutnya sebagai
eks KNIL. Anak, menantu, cucu, dan cicitnya kerabat dan sejawatnya
datang memberi hormat. Hanya satu permintaannya: mati sebagai
orang Maluku. Berkalang tanah Nunusaku. Di tempat para kepala
adat merapal mantra memanggil putra-putri kembali ke Pulau Seram
dan Pulau Ambon, Maluku.

LIMA
Sahabat, puisi esai “Natal 1990, Curahan Hati Gadis Kayeli” Wel-
demina Yudit Tiwery mengisahkan kerusuhan di Kayeli, Pulau Buru
pada Hari Natal, 24-25 Desember 1999. Gadis Kayeli bercerita tentang

447
konflik keagamaan yang dialami warga Kayeli di wilayah Kecamatan
Buru Utara. Kerusuhan massa yang terjadi di Kayeli, Pulau Buru,
sungguh sangat disayangkan. Apalagi hal itu terjadi di tengah suasana
peringatan Hari Natal, 24-25 Desember 1999. Kerusuhan dan konflik
horizontal itu bahkan berkembang dan melebar ke sejumlah desa dan
dusun di wilayah Kecamatan Buru Utara, termasuk Namlea. Situasi dan
kondisi pun menjadi tidak menentu. Perusakan wilayah pemukiman
dan konflik massa telah melebar ke sejumlah daerah sasaran baru.
Pemerintah diminta segera mengevakuasi anggota masyarakat mereka
mengingat suasana keamanan tidak lagi terjamin bagi orang Kristen
ataupun penduduk asli Buru yang beragama Kristen.
Desa Kayeli jauh dari Ambon, tidak terlalu dekat dengan Namlea.
Wilayah Namlea adalah sebuah kabupaten yang hampir mirip kota, di
Pulau Buru Utara. Sebuah kabupaten kecil dengan mayoritas muslim
jika disensus tahun 2000-an hingga sekarang. Namun lumayan banyak
penduduk dengan dengan agama lain seperti agama Kristen, maupun
agama lainnya. Kayeli merupakan sebuah desa yang berdekatan
dengan pulau-pulau kecil di sekitaran Pulau Buru, yaitu Pulau Manipa,
Pulau Ambalau, dan lainnya. Jaraknya sekitar dua kilo meter ke laut.
Sekitar tahun 1990 hanya ada berapa jiwa yang tinggal di Kayeli.
Mereka saling membantu mendirikan rumah. Mereka bukan pegawai
atau pekerja kantoran. Banyak dari warga desa itu adalah tukang, Baik
tukang kayu, tukang sayur, tukang ikan, dan tukang-tukang lainnya.
Bagi mereka, tukang hanya sebagai simbol bagi mereka yang suka
bekerja. Mereka belajar dan hidup dari alam sekitar. Sejak kecil
sampai sudah berkeluarga pun, guru mereka adalah alam. Orang-
orang desa itu tidak menggunakan telepon seluler. Di kampung
ada sekolah bagi anak-anak PAUD dan TK. Orang-orang di desa
pada hari Minggu pergi ke gereja. Setiap hari Senin sampai Sabtu,
mereka bekerja. Gereja mereka bernama Bethesda. Jemaat Kayeli
merupakan salah satu jemaat paling tua di pulau buru yang dibentuk
sejak zaman Protogis. Gereja Bethesda sudah di bagun dua kali. Pada
awalnya gereja jemaat Kayeli berada di Nametek Lama. Kampung

448
itu hanyut dibawa oleh banjir air bah yang meluluhlantakkan gereja
dan perkampungan. Sejak bulan November, warga desa Kayeli sudah
bersiap-siap untuk merayakan Natal di bulan Desember. Mereka
merencanakan membuat kue dan makanan lainnya untuk disajikan di
hari Natal. Mendekati bulan Desember aktivitas masyarakat semakin
banyak dalam mempersiapkan Natal. Mereka membersihkan rumah
dan mengecatnya. Beberapa dari mereka menunggu anak-anaknya
yang kuliah di Ambon untuk pulang merayakan Natal. Desember
adalah perayaan keluarga. Orang kampung yang di kota semuanya
pulang merayakan Natal bersama sanak keluarga. Pada tanggal
12 Desember tahun 1999, ada keluarga tetangga di Namlea yang
menyampaikan isu yang sulit dipercaya bahwa di Pulau Buru akan
terjadi kekacauan yang mengerikan, sebaiknya berhati-hati. Kabar ini
sulit dipercaya karena tidak diberitahukan kapan tanggal kekacauan
itu terjadi, hanya mengatakan di bulan Desember. Sepertinya ada
orang tetapi entah siapa yang telah menyusun persiapan untuk
menghentikan aktivitas Desember.
Pada tanggal 22 Desember 1999, seorang perempuan berenang
dari Namlea ke Kayeli mengabarkan ada para lelaki berjubah putih dan
berjenggot membakar rumah-rumah penduduk dan bangunan gereja
sambil meneriakkan nama Tuhan. Saat itu juga, penduduk Kayeli lari ke
hutan atau ke gunung tanpa membawa apa pun dari rumahnya. Setelah
hampir malam, datang seorang Babinsa bersama dengan beberapa anak
buahnya menyusuri hutan dan gunung. Begitu banyak warga Kayeli yang
bersembunyi di hutan dan gunung. Dari kejauhan di atas gunung, mereka
menyaksikan luasnya lautan merah, yakni kobaran api yang melenyapkan
desa. Dari gunung itu, tepat pukul 07.00 WIT, tanggal 23 Desember 1999,
Babinsa ditemani beberapa anak buahnya membawa para warga desa
turun menuju ke lautan. Ketika itu diberitakan bahwa di rumah sakit,
sudah ada lebih dari 100 orang yang dirawat karena luka parah, dan
juga sudah berpuluh-puluh orang yang kehilangan nyawa. Saat itu
tidak terdengar lagu Natal seperti tahun-tahun sebelumnya, yang ada
hanyalah suara tembakan di mana-mana. Warga Kayeli diselamatkan

449
Babinsa dengan naik kapal meninggalkan tempat kerusuhan.
Sejak saat itu, dan entah sampai kapan, warga Kayeli disebut pengungsi.
Tanggal 25 Desember 1999 merupakan Natal yang pahit bagi mereka.
Mereka duduk diam ketakutan di dalam kapal. Hari itu, sejarah baru
mulai terlukis, warga Kayeli kini tercerai berai. Ada yang tinggal di
daerah pengungsian, ada yang diterima di rumah para penduduk asli
Ambon. Mereka tidak yakin bahwa konflik itu berasal dari nurani. Sebab
nurani selalu menyimpan suara kebaikan. Orang tak mungkin berjihad
untuk menyakiti. Permasalahan diawali dengan kerusuhan menjelang
Natal 1999, yang terjadi di wilayah Waenibe,Waekose, dan Waepoti yang
dikabarkan berawal dari perselisihan antar dua karyawan PT. Wainebe
Wood Industry (WWI) dan kebetulan masing-masing beragama Islam
dan Kristen. Buntut dari perselisihan ini adalah aksi kekerasan massal
dan sangat traumatik bagi masyarakat setempat.

REFLEKSI
Sahabat, wajah Provinsi Maluku tergambar dalam buku puisi esai
Ambon Manise. Lima penulis berusaha dengan cermat menceritakan
situasi dan kondisi yang terjadi di Provinsi Maluku. Konflik etnis dan
keagamaan telah mengubah manusia Ambon dan wilayah Maluku
menjadi keras dan individual. Tenggang rasa yang ada menjadi meng-
hilang. Mereka hanya mementingkan urusan pribadi. Kota Ambon
yang terkenal bersih menjadi kumuh dan kotor. Sisa-sisa amuk konflik,
puing-puing bangunan yang terbakar tidak segera dibersihkan.
Masyarakat menjadi pasif karena pemerintah tidak cepat menangani
kasus kerusuhan dan pascakerusuhan. Maluku yang penuh sejarah
dan memiliki alam yang indah telah mengikat manusianya untuk
kembali ke wilayah itu.

450
Eksploitasi Alam yang
Berujung Konflik
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI MALUKU UTARA

Judul Buku : Gaung Moluku Kie Raha


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 128 halaman + xvi
Penulis : Alyn Wulandary, Ebin Eyzer Danius,
Evi Rianty Dias, Indra Bagus Susila,
Reza Fajar Bagus Putra Pattikupa,
Ricardo Freedom Nanuru
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-15-6

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan konflik di Maluku Utara di-
picu isu agama. Masyarakat semula hidup penuh kedamaian berubah
menjadi bermusuhan. Penambang yang mengeruk alam semena-mena,
rencana pemekaran wilayah, perjuangan warga mempertahankan
ta­
nah yang diambil pemerintah untuk kepentingan pembangunan
menjadi perenungan kita.

LIMA INTI SARI BUKU


 Pejuang pantang menyerah.
 Agama bukan sekat pemisah.
 Konflik antaragama.
 Dampak pemindahan ibu kota.
 Pejabat buron terlibat korupsi.
 Kuabang bergeming.

SATU
Sahabat, puisi esai Alyn Wulandary “Nuku, Putra Tidore” ini
mengisahkan perjuangan Sultan Nuku Muhammad Amiruddin, putra
kedua Sultan Jamaluddin dari Kerajaan Tidore, yang menjadi inspirasi

451
bagi generasi muda dalam membangun wilayahnya. Putra asli daerah
dari Pulau Tidore di Provinsi Maluku Utara ini, kegigihan dan kecintaannya
terhadap tanah kelahirannya membuat ia terus berjuang dan berjuang
demi membebaskan daerahnya dari penjajah Belanda. Hanya karena
keteguhan batin dan kekuatan imannyalah yang membuat ia berhasil
mengusir penjajah dari negerinya. Ia melakukan ekspansi ke beberapa
pulau di dalam negeri dan bahkan ke pulau di Lautan Pasifik dengan
tujuan menjalin hubungan baik. Ia adalah pejuang yang tak pernah
terkalahkan. Ia berjuang tanpa ada setetes darah pun. Semangat dan
perjuangannya tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai
dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan semangatnya tetap
berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun. Dia adalah Sultan
Nuku Muhamad Amiruddin, putra kedua Sultan Jamaluddin dari Kerajaan
Tidore, Maluku Utara.
Nuku Muhammad Amiruddin nama panjangnya Muhammad el
Mabus Amirudin Syah Kaicil Paparangan. Selain memiliki kecerdasan
dan kharisma yang kuat, ia bijaksana, humoris, dan berani. Di bawah
kepemimpinannya, ia dapat menyatukan Ternate dan Tidore. Kisah
keberhasilannya yang diceritakan turun temurun oleh warga Tidore
adalah saat ia memimpin armada Kora-Kora mengalahkan pasukan
Belanda yang akan menguasai Kepulauan Maluku. Rempah-rempah
telah menjadi daya tarik bangsa Eropa untuk datang ke Maluku. Tidore
memang hanya pulau kecil, bahkan sangat kecil, dan tidak tampak di
dalam peta wilayah Indonesia. Namun para penjajah rela jauh-jauh
datang demi buah merah tanaman pala dan harum aroma cengkih.
Nuku, pahlawan kepulauan berjuang habis-habisan, dari satu daerah ke
daerah yang lain. Dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang
lain. Semua hal yang dilakukan dengan tujuan membebaskan rakyat
dari cengkeraman penjajah. Cita-citanya adalah membebaskan seluruh
Kepulauan Maluku, terutama Tidore dari penjajah bangsa asing. Negeri
Tidore akan dikuasai dengan politik adu domba oleh para penjajah.
Mereka, para penjajah ini, turut campur dalam penentuan siapa yang
berhak bertakhta di pemerintahan kerajaan atau kesultanan.

452
Sosok yang dapat diajak kerja sama biasanya akan ditunjuk sebagai
penguasa. Sosok yang dianggap berbahaya, sekalipun pewaris takhta
akan disingkirkan. Sungguh licik permainan yang mereka buat demi
ketamakan. Untuk membebaskan tanah kelahirannya dari keserakahan
dan perbuatan semenan-mena para penjajah, Nuku melakukan
perlawanan dan menentang pengangkatan penguasa kerajaan oleh
Belanda. Berdasarkan tradisi Kerajaan Tidore, pengangkatan raja baru,
harus berdasarkan silsilah. Nuku menggalang kekuatan melawan
para penjajah dengan keberanian dan kecerdasan yang ia miliki.
Ia membangun armada Kora-Kora di sekitar Pulau Seram, Irian Jaya,
dengan mendirikan basis pertahanan di Seram Timur. Armada Kora-
Kora adalah sekelompok perahu yang bersatu padu menjadi satu
kesatuan. Pada zaman penjajahan dulu Sultan Nuku menggunakan
perahu sebagai armada untuk meluaskan kekuasannya dan menggalang
pertahanan untuk melawan penjajahan menggunakan perahu. Sultan
Nuku menggunakan perahu dan berlayar ke pulau-pulau di Papua,
Maluku, Seram Timur, Ambon, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, dan
Bacan. Nuku diserang Belanda di Seram Timur. Basis pertahanan Nuku
berhasil direbut Belanda dan Nuku berhasil meloloskan diri. Semangat
Nuku semakin berkobar. Ia tidak putus asa dan pantang menyerah.
Rakyat memberikan dukungan untuk terus berjuang. Nuku pun berhasil
mengalahkan orang-orang Belanda. Nuku dan pasukannya bolak balik
antarpulau dengan armada Kora-Kora-nya mengalahkan penjajah.
Sorak-sorak gembira rakyatnya didengarkan. Rakyat sangat bangga
kepada Nuku yang berperang tanpa memakan korban. Berjuta ide dan
taktik membuat ia tak kenal menyerah. Dengan rendah hati
Nuku menundukkan badan sebagai suatu penghormatan kepada
rakyatnya. Kemudian, ia bersujud syukur kepada sang pencipta. Nuku
diangkat oleh warga Tidore ke singgasana menjadi Sultan. “Sultan
Nuku”, begitu warga Tidore menyebutnya. Sultan Nuku pejuang yang
tak kenal menyerah. Kondisi fisik yang dimakan usia tidak menghalangi
semangatnya untuk berjuang. Ia meninggal dalam usia 67 tahun.
Perjuangan dan semangat Sultan Nuku menjadi teladan dan

453
kebanggaan bagi masyarakat di Tidore. Nuku tidak duduk manis menik­
mati takhtanya sebagai seorang sultan. Ia melakukan ekspansi ke be­
be­rapa pulau-pulau. Di Papua, Seram Timur, Ambon, Halmahera Timur,
Halmahera Utara,bahkan Bacan.Ekspansi wilayah kekuasaan Sultan Nuku
sampai Raja Ampat dan daratan Papua. Bagi Nuku, perjuangan tak pernah
usai. Gundah hatinya saat mendengar di Kepulauan Maluku lainnya
penjajah masuk merebut rempah-rempah. Diikuti para pasukannya, Nuku
membantu dengan armada Kora-Kora-nya berhasil sampai ke pulau
dikuasai oleh Belanda. Ia melakukan perundingan dengan para penjajah.
Para penjajah kalah dalam melakukan perundingan itu dan menyatakan
keluar dari Kepulauan Maluku.

DUA
Sahabat, puisi esai Ebin Eyzer Danius “Merajut Merah Putih”
menceritakan Menas yang tinggal di Pulau Gebe, di antara Pulau
Halmahera dan Papua. Menas mengalami masa kecil yang indah. Dia
merasakan agama bukanlah sekat yang memisahkan tetapi menyatukan
berbagai bentuk kehidupan. Dia belajar untuk mengerti dan menerima
perbedaan itu karena teman-temannyapun tidak menganggap perbedaan
agama sebagai sebuah jurang. Bahkan mereka menikmati kebersamaan
dalam perayaan keagamaan. Ia tinggal di Pulau Gebe mengikuti jejak
tugas ayahnya yang dipindah ke tempat yang bahasanya pun tidak
Menas pahami. Ia meninggalkan sahabat, lingkungan, dan orang-orang
yang dikenalnya ke pulau yang begitu jauh dan terpencil, di antara
Papua dan Halmahera. Mineral terkandung di daerah itu telah membuat
ayahnya dipindah tugas. Pulau Gebe wilayahnya kecil dikelilingi laut
indah. Alamnya kaya dengan nikel. Menas akhirnya mempunyai teman
di pulau kecil itu. Anto adalah tetangga di samping rumahnya, bapaknya
Bugis dan mamanya Toraja. Mama Anto seorang mualaf mengikuti
agama sang ayah, Islam. Demikian pula si Marto, ayahnya orang Kolaka,
tapi ibu Marto ada tiga orang, tak bisa Menas pahami bagaimana bisa ia
beribu tiga. Marto beragama Islam. Lalu ada si Udin anak pejabat kantor
yang pergi pulang sekolah selalu diantar mobil perusahaan. Ia tinggal

454
dengan orang tuanya di rumah dinas besar dan punya mobil tiga. Juga
si Ading, teman yang pandai dan selalu menerima penghargaan siswa
berprestasi. Begitu beragamnya teman-teman Menas tetapi itu tidak
memusingkannya. Ia berbahagia bersama mereka. Menas ingat betul
bagaimana Anto, Marto, Udin, dan Ading mengajaknya pergi ke masjid
saat bulan Ramadan. Kata mereka enak di masjid, dingin, dan nyaman,
cocok untuk beristrahat sambil menunggu buka puasa. Ah, tak ada yang
ditakutkan saat itu berada di masjid, berbaring di sana dan tidak ada yang
bertanya agamanya. Di pulau kecil itu semua orang saling mengenal.
Pastilah orang yang datang tahu kalau Menas anak Pak Matius yang
beragama Kristen. Pengurus gereja pula. Menas ingat betul, tidak ada
tatapan jijik, tak ada kata yang menghardiknya saat ia ikut berbuka
puasa bersama mereka di dalam masjid. Menas pun ingat bagaimana
dulu di rumahnya saat bulan puasa adalah waktu yang ditunggu. Meja
makan kecil tak mampu menampung kiriman makanan berbuka dari
tetangga yang berbagi kebaikan. Tak putus selama sebulan. Apalagi
saat Lebaran meja makan pun penuh tak cukup menampung kiriman
berbagai makanan dari tentangga. Jika Natal tiba, gantian ibunya yang
sibuk mengirim makanan ke tetangga. Tidak ada kata haram, apalagi
membuang makanan.Tak ada kecanggungan, tak ada kata najis, tak
ada penolakan. Semua menerima dengan terima kasih, memahami diri
sebagai keluarga.
Menas ingat ketika dia duduk di bangku SMA. Ada selebaran yang
datang dari kantor pos ditujukan ke masyarakat. Setelah masyarakat
membaca selebaran itu, tiba-tiba semua menjadi berbeda. Surat itu
menyatakan bahwa kami berteman untuk mengajak kalian ke agama
kami, kami punya niat untuk melenyapkan agama kalian, kami sedang
menggalang kekuatan untuk merebut negara, kalian harus bersiap, kalian
harus menjauhi kami, kalian harus berhati-hati terhadap persahabatan
kami. Surat itu membuat hubungan Menas dan teman- temannya
renggang. Surat itu telah membuat batas sekat yang bernama agama,
Islam dan Kristen. Jurang pembeda telah memutus jalinan akrab tanpa
batas. Anto, teman yang paling dekat dengan rumah Menas datang

455
bertanya penuh curiga, meminta jawaban kebenaran isi surat. Saat itu
Menas tidak busa menjawab. Surat itu, entah siapa yang menyebarkan.
Tahun itu belum ada mesin fotokopi, belum ada komputer dan printer.
Semua disebar melalui mesin stensil, diketik ulang dengan mesin ketik
dalam kantor-kantor pemerintah, distensil lewat mesin-mesin milik
negara, dan disebarkan kepada masyarakat. Lalu siapakah penyebarnya?
Pengalamannya masa kecil yang indah itu membawa Menas
kembali untuk mengabdi pada daerah yang dulu telah membe­sarkannya.
Meski dia bukan orang asli di wilayah itu, dia memilih kembali karena
dia telah menganggap Maluku Utara adalah rumahnya. Ia melayani
Tuhan melalui umatnya di daerah yang pernah ditinggalinya waktu
kecil. Menas menjadi pendeta seperti apa yang dicita-citakan sejak
kecil. Untuk menyandang sebutan pendeta, seseorang harus menempuh
pendidikan teologi dan mengikuti proses pengutusan sebagai seorang
vikaris. Status tersebut akan disandang selama beberapa waktu
sampai dianggap layak untuk ditahbiskan menjadi seorang pendeta.
Pentahbisan sendiri dilakukan dalam sebuah prosesi yang diatur dalam
aturan-aturan gereja dimana setiap gereja memiliki aturan masing-
masing yang terkadang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun
Menas menghadapi tragedi kemanusiaan. Tahun 1999, tepatnya tanggal
27 Desember, konflik antarmasyarakat pecah. Isu yang mula-mula
muncul adalah isu tentang penolakan pemekaran wilayah di Malifut.
Isu itu kemudian berkembang menjadi isu agama dan konflik menyebar
di hampir semua wilayah Maluku Utara. Pecahnya konflik dengan skala
kekerasan yang masif dan pengungsian besar- besaran membuat
Menas merenung tentang makna hidup bersama dalam kemajemukan.
Ia pun bertanya, “Mungkinkah perbedaan itu menyatukan masyarakat?”

TIGA
Sahabat, puisi esai Evi Rianty Dias “Merah Darah Maluku Utara”
menceritakan konflik dengan isu agama disebabkan oleh beberapa hal
yang menyangkut areal pertambangan emas. Perebutan wilayah agama
antara agama Islam dan Kristen - di Maluku Utara telah berlangsung lebih

456
dari 127 tahun sejak Misi Kristen untuk pertama-kalinya menginjakkan
kaki di Tobelo, Halmahera Utara. Pada tahun 1975, gunung Makian
meletus dan berdasarkan ramalan para pakar gunung api, gunung Makian
akan meletus lebih dahsyat lagi, maka pulau Makian tersebut harus
dikosongkan. Suku Makian yang terdiri atas 16 desa melakukan bedol-
pulau dan suku Makian dimukimkan di daerah yang sekarang dikenal
dengan nama Malifut, dekat tanah-genting Bobaneigo, yang merupakan
bagian terselatan dari Halmahera Utara. Selama dua puluh empat
tahun, status pemukiman baru yang terdiri atas 27 desa ini dibiarkan
terkatung-katung oleh Pemda Tkt II Maluku Utara. Selama waktu itu
pula telah terjadi pertikaian-pertikaian kecil, berupa pembabatan kebun
singkong, cengkih, dan kelapa milik pendatang suku Makian. Hal itu
terus terjadi dari waktu ke waktu. Pembabatan kebun milik pendatang
dilakukan penduduk asli yang cemburu dengan keberhasilan material
para pendatang. Para pendatang suku Makian terkenal ulet dan gigih.
Mereka sukses mecapai tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari
penduduk asli Kao dan Jailolo. Kecemburuan sosial antara penduduk asli
terhadap penduduk pendatang diperkuat dengan perbedaan suku dan
agama. Rasa cemburu itu mulai menggumpal dan menumpuk secara
perlahan-lahan.
Situasi tenang itu berubah ketika diketahui bahwa di daerah
yang ditempati suku Makian dan Kao terdapat emas. Dengan
menggunakan bendera PT Nusa Halmahera Minerals (NHM), mereka
membuka pertambangan emas. PT Nusa Halmahera Minerals (NHM)
bekerja sama dengan BUMN PT Aneka Tambang mulai melakukan
survei tahun 1998 dan melakukan eksplorasi di Kao tahun 1999. Pada
waktu itu ada ketentuan dari PP No.42/99 tentang pembentukan
kecamatan Malifut dan diumumkan pada masyarakat. Kecamatan
baru yang seyogianya diresmikan itu terdiri atas 16 desa suku Makian
pendatang yang beragama Islam, 5 desa asli suku Kao yang mayoritas
Kristen, dan 6 desa asli suku Jailolo yang juga mayoritas beragama
Kristen. Baik penduduk asli 5 desa Kao maupun penduduk asli 6
desa Jailolo menolak untuk bergabung dalam kecamatan baru yang mau

457
diresmikan itu sebab mereka jelas akan merupakan minoritas dalam 27
desa yang membentuk kecamatan Malifut. Minoritas yang dimaksud desa
Kao dan Jailolo itu adalah dari segi agama. Oleh karena penolakan ini,
peresmian kecamatan baru menjadi tertunda. Mengapa suku Kao dan
Jailolo menolak karena mereka tahu bahwa di wilayahnya ada kandungan
emas yang nantinya akan ditambang. Dua suku itu tidak ingin memasukkan
suku Makian yang beragama Islam dalam wilayah satu kecamatan.
Pertikaian di calon kecamatan Malifut untuk pertama-kalinya dipicu
oleh perkelahian anak-anak muda dari kedua suku, Makian dan Kao yang
bertikai. Saling serang menyerang terus berlanjut. Aparat keamanan
polisi dan tentara diturunkan ke lokasi pertikaian bersama-sama dengan
Muspida dan Sultan Ternate. Kesenjangan sosial-ekonomi antara kedua
kelompok yang tumpang-tindih dengan batas-batas sentimen agama
dan suku ini kemudian diperparah dengan ditemukan dan kemudian
diekploitasinya tambang emas di wilayah calon kecamatan Malifut.
Secara kebetulan, tambang emas ini terletak di desa-desa penduduk
asli Kao. Karena itu, penolakan pihak penduduk asli atas PP 42/99 selain
dilatar-belakangi oleh perimbangan kuantitas antarumat beragama,
juga didorong oleh keinginan untuk memonopoli tambang emas.
Bagi kecamatan Kao jelas berkah tambang emas dapat mendongkrak
pendapatan asli daerah. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Camat
Kao yang notabene beragama Islam justru memimpin penyerangan
suku Kao yang mayoritas Kristen atas suku Makian pendatang yang
beragama Islam. Pertikaian pun terjadi. Enambelas desa suku Makian
Pendatang diratakan dengan tanah, kebun cengkih dan kelapa dibabat
oleh penyerang suku Kao, Jailolo, dan Tobelo yang mayoritas beragama
Kristen Protestan. Masjid-masjid tidak dibakar hanya Alquran dikeluarkan
dari dalam mesjid dan diletakkan di jalan raya. Korban manusia yang
luka-luka dan meninggal berpuluh-puluh orang.
Seluruh suku Makian Pendatang dari 16 desa melarikan diri keluar
dari calon kecamatan Malifut dengan hanya berpakaian di badan saja.
Para pengungsi kemudian ditolong oleh Pemda dan aparat keamanan
untuk diungsikan ke Ternate dan Tidore. Upaya-upaya perdamaian pun

458
dilakukan dan semua pihak yang bertikai dihadirkan. Ada wakil pasukan
kuning (pasukan Sultan Ternate), wakil pasukan putih (pasukan Sultan
Tidore), gubernur, dan wakil aparat militer. Sultan Ternate tidak hadir.
Rakyat ingin Sultan Ternate memberi penjelasan mengapa pasukan kuning
menganiaya warga Ternate. Beruntung pasukan putih dari Sultan Tidore
dapat menghentikan kebrutalan pasukin kuning kepada rakyat Ternate.
Ratusan ribu pasukan putih turun ke jalan meneriakkan takbir,“Allahu akbar,
Allahu akbar, Allahu akbar!” sebagai tanda kemenangan atas kezaliman. Di
saat yang sama Sultan Tidore dan gubernur diarak ribuan pasukan putih
mengelilingi Kota Ternate. Mereka melihat sisa-sisa pembakaran yang
dilakukan oleh pasukan kuning. Puing-puing kehancuran yang memilukan
hati. Lokasi yang indah dan tenang itu kini berantakan. Banyak pohon
kelapa serta beringin hangus. Alam yang eksotis rusak berantakan.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Indra Bagus Susila “Elegi Lelaki Sofifi”
mengisahkan Djakaria yang terusir akibat pemindahan ibu kota
Maluku Utara. Pemerintah Provinsi Maluku Utara melakukan
pembenahan dan penertiban. Penertiban rumah permanen dan
semipermanen yang berdiri di atas tanah negara di Sofifi pun tak
terhindarkan. Sofifi adalah ibu kota Provinsi Maluku Utara. Sofifi
terletak di poros tengah Pulau Halmahera yang merupakan pulau
terbesar di Maluku Utara. Saat ini Sofifi masih menjadi bagian dari
wilayah administasi Kota Tidore Kepulauan. Sofifi merupakan salah
satu dari empat ibu kota provinsi di Indonesia yang belum bersatus
kota otonom, selain Manokwari (Papua Barat), Mamuju (Sulawesi
Barat), dan Tanjung Selor (Kalimantan Utara). Pembangunan Sofifi
harus dilaksanakan. Akibatnya, para penghuni yang menempati tanah
negara terusir dan menjadi korban atas pembangunan kota.
Rumah-rumah mereka ditertibkan karena dianggap melanggar
aturan. Penertiban merupakan upaya pemerintah setempat mem­
bersihkan kawasan tanah negara dari bangunan liar. Rencananya bekas
bangunan tersebut akan dibuat taman serta Ruang Terbuka Hijau (RTH).

459
Djakaria terpaksa kehilangan rumah, bahkan keluarganya harus
dipulangkan ke asal daerah di Madura, karena rumahnya di Sofifi
dibongkar paksa oleh petugas sebab melanggar peraturan daerah
(perda). Rumah Djakaria berada di wilayah yang akan dijadikan taman.
Rumah itu digusur pemerintah daerah. Tanah tempat bangunan rumah
Djakaria yang ditempatinya bertahun-tahun itu tanah negara. Ketika
itu Djakaria membangun rumah dengan pendapa rumah yang mirip
pendapa khas Jawa. Rumah itu rumah adat peninggalan leluhur suku
Sahu, tempat keluarga dan tetangga berkumpul. Suku Sahu merupakan
salah satu suku yang masyarakatnya masih sangat aktif melakukan ritual
adatnya. Suku ini mendiami dua wilayah administrasi di Kabupaten
Halmahera Barat, yaitu Kecamatan Suku Sahu Barat dan Sahu Timur.
Walaupun mendiami dua wilayah yang berbeda tetapi mereka selalu
menjunjung satu kesatuan adat yang sama. Djakaria tidak tahu
tanah yang ditempati itu ternyata milik negara. Djakaria selama ini
menganggap tanah itu miliknya sejak nenek moyangnya tinggal di situ,
sejak orang tuanya mengasuhnya di sana. Ia begitu terkejut ketika diberi
tahu bahwa tanah itu ternyata negara yang punya. Padahal ia memegang
sertifikat rumah dari orang tuanya. Penyebab terjadinya sertifikat ganda
bisa dikarenakan adanya unsur kesengajaan, ketidaksengajaan, dan
kesalahan administrasi. Timbulnya sertifikat ganda juga disebabkan
oleh kurangnya kedisiplinan dan ketertiban aparat pemerintah yang
terkait dengan bidang pertanahan dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam
implementasi kebijakan pertanahan, negara bisa saja membelokkan
tujuannya bukan untuk kemaslahatan rakyat. Tanah tidak lagi berfungsi
sebagai arena sosial dan adat tetapi lebih pada fungsi-fungsi ekonomi.
Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah
untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan.
Tanah tempat dari mana mereka berasal dan akan ke mana pula
mereka pergi. Dibunyikan dalam undang-undang bahwa,”Bumi dan
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Perkembangan penduduk dan kebutuhannya makin tidak sebanding

460
dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Oleh karena
itulah Djakaria merasa ngeri, ketika tanah dan segala sumber daya
alam yang terkandung di dalamnya selalu menjadi ajang perebutan
berbagai kepentingan kehidupan manusia.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula itulah nasib Djakaria, ia
ditinggalkan istri dan anak-anaknya pulang kembali ke Madura. Djakaria
mendengar istrinya menikah lagi.Cinta ternyata bisa mati,cinta yang dulu
ternyata bukan kini. Djakaria pun ingat kisah sepasang kekasih Manjojaru
dan Magohiduuru. Di belahan bumi utara Halmahera, tepatnya di
wilayah Galela dusun Lisawa, hiduplah sepasang kekasih, Manjojaru dan
Magohiduuru. Pada suatu hari Magohiduuru pergi meninggalkan rumah
merantau. Sebelum Magohiduuru pergi, keduanya telah berjanji untuk
sehidup semati. Setelah lebih dari enam bulan kepergian kekasihnya
itu, Majojaru tetap setia menunggu kedatangan Magohiduuru. Bagaikan
disambar petir di siang hari, Majojaru jatuh pingsan. Dia sangat tidak
percaya dengan berita yang baru saja ia dengar, bahwa Magohiduuru
telah menikah dengan perempuan lain. Majojaru pergi menenangkan diri
dengan duduk di bawah pohon beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air matanya tak terbendung, tumpah begitu saja, mengalir tiada hentinya.
Majojaru tenggelam oleh air matanya sendiri. Terbentuklah telaga kecil,
sebening air matanya. Itulah legenda asal mula Telaga Biru di Maluku
Utara. Djakaria pedih merasakan nasibnya. Ia kini menggelandang di
Sofifi tidak punya tempat tinggal. Ia berteduh di pasar. Tempat yang bisa
untuk tempat tinggal sementara.

LIMA
Sahabat, puisi esai Reza Fajar Bagus Putra Pattikupa “Sang
Buron Jelita” mengisahkan pejabat menjadi buron terlibat korupsi
dana harmonisasi Rancangan Tata Ruang Wilayah Pemerintah
Provinsi Maluku Utara miliaran rupiah. Mantan pejabat kepala
sebuah organisasi perangkat daerah (OPD) Provinsi Maluku Utara
menghilang. Ada surat putusan dari Mahkamah Agung (MA) RI
Nomor: 741 K/PID.SUS/2016 tanggal 7 November 2016. Surat MA ini

461
meminta Kejaksaan Negeri setempat melakukan eksekusi terhadap
pejabat tersebut sebagai terpidana kasus korupsi dana harmonisasi
Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov Maluku Utara 2011
senilai 2,2 miliar rupiah. Akan tetapi, keberadaan pejabat perempuan
jelita tersebut ternyata tidak kunjung terdeteksi oleh pihak berwajib.
Ia pun menjadi buron. Tokoh wartawan dengan seorang sahabatnya
mencoba mengungkapnya, mereka juga mencoba mengungkap
sejumlah kasus korupsi besar yang marak dan terhenti penyelidikan
maupun penyidikannya di Maluku Utara. Bahkan sejumlah perkara
korupsi di Maluku Utara mengundang perhatian serius dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus memantau penyidikan
kasus korupsi di wilayah ini.
Hasan seorang wartawan media baru saja menulis berita
bagaimana mantan pejabat yang jelita itu menjadi buron. Ia dinilai
tidak kooperatif, sehingga Mahkamah Agung menambah hukuman
baginya dari 3 tahun menjadi 6 tahun penjara. Sebelumnya, Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan
Negeri Ternate memvonis pejabat itu dengan hukuman tiga tahun
penjara dan denda 300 juta rupiah subsider tiga bulan kurungan. Vonis
tersebut jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa 8 tahun penjara
denda 300 juta rupiah subsider 1 tahun dan dikenai uang pengganti
2,4 miliar rupiah subsider 4 tahun. Sesungguhnya sebelum kasus ini,
ia pernah ditahan karena terseret dalam kasus dugaan korupsi dana
harmonisasi RT RW 2010 sebesar 2,183 miliar rupiah. Setelah empat
kali menjalani pemeriksaan, ia terindikasi menggunakan dana ranperda
untuk kepentingan pribadi. Ada 70 saksi diperiksa termasuk seluruh
kepala di kabupaten dan kota di Maluku Utara. Konon sejak ditetapkan
sebagai buronan keberadaannya juga belum berhasil dideteksi di mana
adanya. Putri mantan kepala daerah itu tidak diketahui rimbanya. Pihak
keluarga juga tidak membuka diri untuk berkomunikasi dengan pihak
berwajib. Para wartawan yang menunggu di rumahnya dan mencari
tahu keberadaannya belum berhasil menemukan dan mengonfirmasi
di mana perempuan itu berada. Padahal lembaran Daftar Pencarian

462
Orang (DPO) telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Polisi pun dimintai
bantuan untuk mencari keberadaan pelaku dan menangkapnya, Sang
buron itu diimbau untuk menyerahkan diri. Cepat atau lambat tetap
akan tertangkap.
Sebagai wartawan peliputan kasus korupsi, pekerjaan itu bagi
Hasan bukan pekerjaan yang mudah. Hasan sering terkena intimidasi
saat melakukan peliputan. Temannya menasihati agar dalam me­
lakukan peliputan harus tetap mengedepankan prasangka baik. Jangan
terprovokasi oleh narasumber. Bersikaplah hati-hati dan jika perlu
minta pengawalan polisi. Sepertinya negosiasi dan dukungan finansial
yang kuat seolah membuktikan kepada publik bahwa tatanan birokrasi
kita saat ini tak mampu mengalahkan uang. Telah terjadi persahabatan
yang indah dan harmonis antara korupsi dan birokrasi. Sumber
penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus,
yaitu internal dan eksternal. Sumber internal berasal dari kelemahan
dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri. Secara
internal, timbulnya perilaku korup dalam birokrasi juga disebabkan
lemahnya sistem pengawasan internal. Sistem pengawasan atasan-
bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara
bersama-sama. Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa
disebabkan oleh relasi antar-berbagai sistem yang terkait, misalnya
kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi birokrasi
di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Konon
harta sang buron sebesar 250 juta rupiah telah disita. Jumlah itu lebih
sedikit dari uang sitaan sebelumnya 1 miliar rupiah. Masih ada sisa 1
miliar rupiah lagi di tangannya yang harus disita.
Ayah dan anak semua tersangkut kasus korupsi. Ternyata ayahnya
yang kepala daerah pun terkena hukuman pidana dua tahun penjara.
Ayah sang buron terbukti melakukan korupsi anggaran dana tak
terduga (DTT) Pemerintah Provinsi Maluku Utara sebesar 6,916 miliar
rupiah. Konon sang ayah buron terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Sang ayah
sang buron pun memanfaatkan uang APBD-P yang seharusnya

463
digunakan untuk keperluan mendesak seperti darurat sipil menjadi
keperluan yang bersifat fiktif. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta memvonis mantan Gubernur Maluku Utara, Thaib Armaiyn,
pidana penjara dua tahun dan denda 150 juta rupiah subsider
tiga bulan kurungan. Dalam putusan yang dibacakan oleh ketua
majelis hakim Ibnu Basuki Widodo, Thaib Armaiyn terbukti bersalah
melakukan korupsi anggaran Dana Tak Terduga (DTT) Pemprov
Maluku Utara tahun Anggaran 2004. Perkara korupsi di Maluku Utara
mengundang perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa
penanganan kasus korupsi macet di Maluku Utara. Seperti dugaan
korupsi pengadaan kapal cepat Halsel Ekspres 2006 senilai 14,8
miliar rupiah di Halmahera Selatan. Ada juga dugaan penggelapan
dana CSR PT Nusa Halmahera Mineral dari tahun 2007 sampai 2014.
Cukup besar jumlahnya untuk masyarakat Halmahera,109 miliar
rupiah. Seperti kasus dugaan korupsi Dana Bansos senila 4,7 miliar
rupiah, pengadaan mesin genset Dinas ESDM Maluku Utara 2010
senilai 17,5 miliar rupiah. Begitu banyak pelaku korupsi di birokrasi
membuat miris perasaan.

ENAM
Sahabat, puisi esai Ricardo Freedom Nanuru “Impian Masa
Kecil Kuabang” ini bercerita tentang sosok Kuabang, pejuang
lingkungan yang ingin membebaskan daerahnya dari kegiatan usaha
penambangan emas yang telah merusak lingkungan. Ia berjuang
membebaskan daerahnya di sekitar Teluk Kao, Halmahera Utara, dari
kegiatan perusahaan penambang emas PT Nusa Halmahera Minerals
(NHM). Walaupun difitnah, ditinggalkan istri tercinta dan sendirian
membesarkan anak-anaknya, ia tetap setia pa da jalur perjuangannya.
Ia tetap gigih berjuang dengan mengedepankan isu kerusakan
lingkungan. Walaupun ditawari pekerjaan dengan gaji besar, uang
dan berbagai fasilitas oleh perusahaan, Kuabang tetap bergeming.
Meskipun pada akhirnya ia sadar bahwa perjuangannya sampai tua
tak membuahkan hasil signifikan karena terkendala aturan dan hukum

464
positif di negara ini, namun ia tetap teguh. Kuabang telah berusaha
sekuat tenaganya, apapun hasilnya yang penting perjuangannya
mempertahankan prinsip hidup tetap terjaga. Ya, Kuabang tetap
bergeming, ia ingin hidup dan matinya membuahkan contoh baik bagi
generasi penerusnya. Impian masa kecil Kuabang adalah ingin menjadi
tua, mati, dan dikuburkan di teluk permai kebanggaannya, Teluk Kao.
Air laut di bibir pantai itu tak lagi biru, airnya menguning
kecokelatan, kusam. Di permukaannya terlihat pantulan cahaya
menyilaukan. Sungai-sungai yang bermuara di teluk warnanya juga
kuning kecokelatan, udang yang biasanya dulu berlompatan juga
tak kelihatan. Pantai itu kini sunyi dan sepi. Jemuran teri, udang, dan
suntung tak kelihatan. Tidak ada yang dapat ditangkap karena semua
tidak ada yang hidup dengan air yang berwarna kecokelatan itu.
Teluk kecil itu sekarang penuh merkuri dan sianida. Sungai-sungai
yang membanjirinya juga bernasib sama. Makhluk penghuninya pun
terkontaminasi dan siap-siap mati. Kuabang melihat itu semua dengan
sedih. Kuabang hidup di tepi laut. Ayahnya nelayan. Ia bermain ombak
dan perahu di lautan. Kuabang melihat ayah dan ibunya bekerja
mendapatkan hasil dari alam. Ia ingat kata-kata ayahnya, yang dalam
setiap kesempatan, diajarkannya kesabaran dan ketekunan
“Bekerjalah dengan giat, anakku. Jangan pernah makan makanan
yang bukan hasil kerjamu. Bekerja dulu, barulah makan.” Demikianlah
pesan itu diulang-ulangnya bagi Kuabang dan saudara-saudaranya.
Kuabang mempunyai tiga saudara. Dua lainnya menjadi pelaut di
Buton. Kuabang menikmati hidup dari alam yang menyediakan
segalanya untuk dimakan bersama keluarga.
Lalu, bencana itu datang. Pada 1970-an orang-orang Makian
telah dipindahkan ke Malifut setelah ada isu gunung berapi
akan meletus dan akan menghancurkan tempat tinggal mereka.
Setelah menetap di Malifut, para pendatang dari etnis Makian ini
secara bertahap berhasil memperoleh posisi ekonomi dan politik
yang relatif kuat di wilayah Kao yang penduduknya relatif miskin.
Penduduk etnis Makian juga menduduki posisi-posisi birokrasi yang

465
penting. Para penduduk asli Kao juga merasa bahwa komunitas
mereka hanya mendapat sedikit pekerjaan di perusahaan tambang
NHM. Ketegangan ini semakin memanas ketika batas administratif
kecamatan baru harus diputuskan. Kecamatan Kao kemudian
dimekarkan setelah etnis Makian berhasil mendapatkan pengakuan
resmi untuk membentuk kecamatan sendiri bernama Malifut. Di
kecamatan baru inilah perusahaan pertambangan NHM terletak, dan
karena itu akses masyarakat Kao ke wilayah tambang pun terhalang.
Pada Agustus 1999, satu hari setelah pengesahan secara resmi
terhadap Kecamatan Malifut yang didiami etnis pendatang Makian,
kedua etnis tersebut, Kao dan Makian, mulai saling menyerang
desa-desa mereka. Konflik kekerasan itu menyebabkan pengusiran
masyarakat Makian dan kekerasan melanda seluruh Maluku Utara.
Pertambangan itu telah merusak alam dan lingkungannya. Manusia
di sekitar pertambangan itu pun terkena dampaknya. Alam yang
selama ini telah memberi bahan untuk makan bagi Kuabang dan
keluarganya, kini sudah tercemar karena pertambangan emas.
Kuabang dan keluarganya memakan ikan dan udang yang mati
di sungai dan teluk. Mereka minum air kekuningan mirip kencing
kuda. Truk-truk besar berseliweran menggilas bunga dan tanaman,
mempersempit lokasi bermain bocah-bocah. Kuabang yang dulu
hidup nyaman, kini pun mulai terusik. Ia tak mungkin diam membisu
di tengah penindasan. Kuabang penjaga martabat dan moral
keluarga tak lagi menunduk. Ia harus melawan atau mati terlindas.
Kuabang memimpin demonstrasi untuk memprotes pencemaran
alam dan lingkungan. PT NHM melalui Sultan Ternate, Mudafar Syah,
mengundang dan mengajak empat Sangaji dari Pagu, Boeng, Towiliko,
dan Modole serta beberapa tokoh adat lainnya pergi ke Manado.
Pertemuan tersebut difasilitasi PT NHM. Di Manado, empat Sangaji
diminta menandatangani persetujuan agar perusahaan segera
melakukan penambangan.
Tokoh-tokoh adat tersebut menolak. Mereka minta kembali
dan membicarakan hal ini dengan masyarakat di kampung. Namun

466
pihak perusahaan tidak kehilangan akal, tokoh-tokoh itu diberi
kesenangan duniawi, salah satunya dengan minuman keras (miras).
Dalam kondisi yang tidak normal lagi, mereka disodorkan kuitansi
kosong. Perusahaan mengatakan kuitansi itu untuk pembayaran
kamar hotel, tanpa bertanya lagi tokoh- tokoh tersebut langsung
menandatangani kuitansi yang disodorkan pihak perusahaan. Saat
masyarakat melakukan demonstrasi menuntut perusahaan segera
menghentikan operasinya, PT NHM mengatakan perusahaan sudah
mengantongi persetujuan empat Sangaji dan para tokoh yang hadir
saat pertemuan di Manado beberapa waktu lalu. Kuabang tetap terus
berjuang melakukan demonstrasi memprotes perusahaan tambang
yang melakukan pencemaran lingkungan.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Gaung Moluku Kie Raha ini menjadi
semacam gambaran situasi yang mendorong orang untuk memahami
konflik di Maluku Utara. Konflik besar pernah terjadi di wilayah ini,
salah satunya adalah akibat tidak bijaksanannya pihak penguasa dalam
memasukkan investor ke daerah untuk melakukan penambangan emas.
Seharusnya, sebelum melakukan kegiatan penambangan, semua pihak
harus diajak musyawarah dan melakukan sosialisasi pada masyarakat
yang wilayahnya dijadikan areal penambangan. Para pengusaha
secara arogan mengeruk alam dengan berdalih sudah mengantongi
izin dari pemerintah. Seharusnya pemerintah daerah sebagai pemberi
izin penambangan harus ikut mengawal dan mengawasi kegiatan
penambangan agar tidak terjadi konflik dengan masyarakat.

467
Pulau
Papua

468
Manusia Diciptakan Sama,
Mengapa Berbeda?
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI PAPUA

Judul Buku : Kepak Cenderawasih


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 97 halaman
Penulis : Alfonsina Samber, Anggia Budiarti,
Elisabeth Tukayo, F.X. Purnomo,
Ida Iriyanti
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-20-0

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku ini merangkai lima puisi esai provinsi Papua. Karya ini men­
ceritakan masyarakat Papua menghadapi kehidupan pada saat konflik
suku dan agama. Juga tentang hidup sebagai perempuan Papua dan
hidup di pedalaman yang jauh dari peradaban. Manusia sama, adat dan
alam membentuk karakter berbeda.

LIMA INTI SARI BUKU


 Kasih telah menembus perbedaan.
 Wanita amber tidak dapat dilindungi.
 Perempuan dibeli dengan mahar.
 Cinta yang tidak bisa dipaksa.
 Belantara Korowai.

SATU
Sahabat, puisi esai Alfonsina Samber “Prahara Tolikara” men-
ceritakan peristiwa di Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015. Tolikara
adalah nama kabupaten di pedalaman Papua. Di sini terjadi insiden
kericuhan yang terkenal dengan ‘Indsiden Tolikara’. Insiden ini terjadi
tepatnya di Karubaga sebagai pusat pemerintahan kabupaten Tolikara.

469
Menurut tokoh agama di daerah itu, insiden ini tidak akan
terjadi jika terbuka ruang komunikasi di antara pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama pihak keamanan. Rumah, kios, dan musala
dibakar oleh massa. Peristiwa berawal dari surat edaran Gereja
Injili di Indonesia (GIDI) yang meminta umat Islam untuk tidak salat
Idulfitri di Tolikara dan dilarang menggunakan jilbab. Alasannya, pada
tanggal 13 sampai dengan 19 Juli 2015 akan dilaksanakan Seminar
Internasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja
GIDI. Kapolres mengizinkan umat Islam melaksanakan salat Idulfitri
maksimal hingga pukul 08.00 WIT. Papua sempat menjadi bulan-
bulanan media massa ketika insiden di Distrik Karubaga, Kabupaten
Tolikara, telah menimbulkan terbakarnya sebuah musala dan ter­
tembaknya belasan pemuda GIDI. Papua dianggap sebagai daerah
intoleran, yakni tidak menghormati perbedaan keyakinan. Padahal
di tanah kristiani yang diberkati Tuhan dengan Injil-Nya ini, ratusan
masjid berdiri megah. Azan subuh dan magrib dilantunkan tanpa
hambatan setiap pagi dan petang. Bahkan tidak ada demo ataupun
pemalangan saat masjid hendak dibangun, termasuk IMB-nya lancar.
Insiden Tolikara terjadi akibat kesalahpahaman dua kelompok
umat beragama yang bersamaan waktu melakukan kegiatan. Upaya
pendamaian telah dilakukan dan kini umat beragama di Tolikara
hidup damai berdampingan. Ada dua pelajaran penting dari insiden
tersebut. Pertama, sikap saling menghargai dan menghormati
antarumat beragama sebagai kunci utama kehidupan yang damai.
Kedua,dalam konteks saling menghormati,pihak mayoritas sepatutnya
mengayomi pihak minoritas. Sebaliknya, pihak minoritas wajib
menghormati kekhasan pihak mayoritas. Massa mendatangi lokasi
salat dan meminta umat muslim untuk menghentikan aktivitasnya
itu tidak seharusnya terjadi. Massa tidak terkendali. Polisi melakukan
tembakan ke sejumlah orang yang melakukan penyerangan terhadap
petugas. Terdapat 12 korban dan satu meninggal tertembak. Massa
membakar musala, kios, dan beberapa rumah. Neri Yikwa, kepala suku
Yikwa, berdiam di distrik Poganeri, kabupaten Tolikara bertetangga

470
dengan distrik Karubaga. Neri Yikwa bersahabat dengan ustaz Ali
Mukhtar sejak ustaz Ali datang ke Karubaga sembilan tahun sebelum
insiden Tolikara pecah. Itu sebabnya Neri Yikwa segera bertindak
mengirimkan bantuan untuk menolong sahabatnya yang sedang
kesulitan. Ia segera mengirim beberapa pemuda adat suku Yikwa
dipimpin Diben. Anak-anak muda itu segera berlari melompat kilat
bagai kijang. Jalan pintas tebing curam bukan halangan. Dari kejauhan
tampak kobaran api membesar melahap rumah, toko, dan musala. Para
pemuda itu tiba di lokasi segera menyelamatkan orang-orang dan
mencoba memadamkan api. Batu, kayu, jubi, dan peluru mengudara
beterbangan dan berbenturan di mana-mana. Diben dan rombongan
penolong terpaksa berlindung. Amukan massa semakin menjadi.
Rentetan suara bedil bersahut-sahutan. Diben dan rombongan
terancam dan mereka berpencar cari perlindungan. Rumah ustaz dan
musala roboh hangus terbakar. Ustaz Ali diamankan dari amuk massa
segera. Uztaz Ali bersahabat dan kenal baik dengan para pendeta
dan para gembala sidang di Poganeri dan Tolikara. Kalau ada warga
Kristen yang meninggal, Ustaz Ali datang melayat. Mereka mengenal
ustaz. Masyarakat tradisional sangat menghargai persahabatan
dan itu dipegang teguh. Persaudaraan jauh lebih kuat, lebih erat,
meski harta ludes hangus tak berbekas. Jika nilai-nilai keberagaman
dipegang teguh niscaya tindakan brutal pasti terkendali. Mestinya di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung tinggi.
Setelah peristiwa Tolikara, Ustaz Ali Mukhtar semua Kembali
seperti semula. Ustaz merasa terharu mendapat kunjungan dari
umat Kristen. Mereka menyumbang lima ekor sapi untuk hari
raya Iduladha. Bupati Tolikara juga menyumbang lima ekor sapi.
Kerabat Kristen berdatangan ke rumahnya. Tampak persaudaraan
yang erat dari wajah mereka. Ada senyum, saling jabat tangan, dan
maaf. Betapa tidak, musala dan rumah ustaz ludes habis dilahap si
jago merah. Kini berdiri megah kembali dengan kokohnya. Dirinya
dan sesama warga muslim Tolikara yang nyaris terkapar amukan
massa, kini tersenyum lega: ada syukur. Nilai-nilai kerukunan masih

471
terpelihara. Kaum kerabat muslim-nasrani berdatangan memenuhi
tenda biru halaman rumah ustaz. Insiden Tolikara bukan insiden
mahadahsyat. Tapi didahsyatkan media massa nasional, dibesarkan
media sosial: facebook, twitter, dan lainnya. Semua dibombastiskan,
isu sepotong dibuat berkilo-kilo. Padahal Papua selama ini dibangun
dengan semangat toleransi dan kerukunan umat beragama di
bawah semboyan Kasih Menembus Perbedaan. Itu diungkapkan oleh
Lukas Enembe, Gubernur Papua. Semua dimohon jangan mudah
terprovokasi. Ciptakanlah keseimbangan dan saling menghormati.
Senantiasa berpikir positif, utamakan kedamaian. Sebab tak ada yang
sesempurna Sang Khalik.

DUA
Sahabat, puisi esai Anggi Budiarti “Kotaku Berdarah” mengisahkan
perempuan Jawa yang menikah dengan orang asli Papua. Dia menjadi
guru di sekolah Abepura, Papua. Anaknya tiga orang. Dikisahkan. pada
tanggal 13 Maret 1996 ibu guru itu mendengar berita, Dr. Thom Wanggai
meninggal di LP Cipinang. Dr. Thomas Wanggai adalah pencetus
ide Melanesia Barat Merdeka. Dialah yang memproklamasikan 14
Desember 1988 sebagai Hari Kemerdekaan Melanesia Barat dengan
melakukan pengibaran bendera Bintang Empat Belas di Stadion
Mandala Jayapura yang dihadiri oleh sekitar 60 orang. Dr. Wanggai
tidak menggunakan nama Papua Barat seperti para Pejuang Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Dia menggunakan nama Melanesia Barat
yang berarti tidak hanya meliputi Tanah Papua tapi seluruh wilayah
Melanesia Barat. Dia ditangkap dan divonis hukuman 20 tahun
penjara di LP Cipinang karena perjuangannya untuk Right to Self
Determination bagi bangsa Papua. Di dalam penjara, ia mengembuskan
napas terakhirnya pada tanggal 12 Maret 1996. Meninggalnya Thomas
Wanggai ini menjadi pemicu Abepura Berdarah. Kabar kematiannya
simpang siur. Ada yang mengatakan Thomas Wanggai diracun. Berita
itu membuat warga Jayapura marah. Jenazah awalnya diberitakan tidak
boleh dibawa terbang ke Papua, akan dikubur saja di Jakarta. Warga

472
Jayapura marah meminta jenazah dibawa ke Jayapura. Pada tanggal
18 Maret 1996, jenazahnya dikirim ke Papua. Ribuan rakyat Papua
menunggu sepanjang jalan arah Bandara Sentani. Rakyat Papua berniat
mengusung peti mati sepanjang 50 kilo meter ke rumah duka Dok 9. Di
depan Universitas Cenderawasih, mahasiswa menanti sepanjang jalan
berjam-jam lamanya. Namun jenazah tak kunjung datang. Rupanya
helikopter telah membawanya ke rumah duka. Amarah mahasiswa
pun meledak. Perangai mereka berubah bagai burung kasuari jahat,
siap menyerang. Kematian Dr. Thomas Wanggai menorehkan luka hati
dan mewariskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat pada para
masyarakat. Mahasiswa UNCEN bangkit dalam amarah. Pasar, rumah,
mobil dibakar, dan manusia pun dibunuh.
Pada tahun 1999, kembali ibu guru itu mendengar kabar Dortheys
Hiyo Eluay, pencetus dekrit Papua Merdeka akan mengibarkan bendera
Bintang Kejora di pusat kota pada tanggal 1 Desember 1999. Pada hari
Selasa 30 November 1999, Kota Jayapura seperti kota mati. Banyak
rumah ditinggal, para penduduk lari dari kota itu. Suami ibu guru itu
juga pergi membawa kedua buah hatinya. Sedangkan anaknya yang
bungsu tidak dibawa suaminya karena masih kecil perlu menyusu
ibunya. Ibu guru itu terpaksa ditinggal suaminya karena ia wanita
amber. Kata amber berasal dari bahasa suku Biak untuk menyebut
secara umum orang-orang yang bukan asli Papua, orang-orang Papua
yang berhasil, dan orang Papua yang lama tinggal di kota, ketika
datang ke kampungnya. Kata-kata suaminya itu menyakitkan hati,
mengapa ibu guru itu dulu menikah dengan orang asli Papua. Saat kota
terancam bahaya disintregrasi, suaminya menyebutnya wanita amber,
wanita pendatang. Ibu guru itu merasa telah melahirkan anak marga
Papua dan lebih setengah dari usianya telah dia baktikan untuk Papua.
Ibu guru itu merasa telah mencurahkan tenaga, pikiran, dan kekuatan
dirinya untuk tanah Papua yang sangat dia cintai. Sedikit sesal dalam
dirinya mengapa dulu mencintai orang asli Papua dan menentang
orang tuanya. Ibu guru saat itu sendirian di dalam rumahnya. Tidak ada
suara di sekitarnya, jalanan juga lengang. Pada waktu itu masyarakat

473
yang eksodus menjual harta bendanya dengan murah. Para pedagang
yang berani berspekulasi membelinya. Jika Papua jadi merdeka mereka
sudah siap rugi, jika tidak jadi mereka akan menjualnya lagi dengan
harga tinggi saat Papua sudah aman. Banyak pula rumah dan mobil
pendatang yang ditulisi nama diri oleh orang asli Papua (OAP). Jika
Papua merdeka berarti rumah itu nanti menjadi miliknya. Oleh karena
berita 1 Desember 1999 Papua akan merdeka, banyak PNS yang
mengajukan pindah, mereka takut dibunuh.
Malam menjelang 1 Desember 1999 banyak OAP turun gunung
untuk mengikuti pengibaran bendera Bintang Kejora. Ibu guru itu
merasa takut membayangkan apa yang akan terjadi esok hari. Anaknya
si bungsu didekap dalam gendongan. Dia rewel dan menangis, badannya
panas. Tangis anaknya membuatnya takut, kemana ia harus berlindung.
Hanya ia dan anaknya di rumah itu. Tetangga sudah lama meninggalkan
kota. Tiba-tiba ada ketukan di pintu. Ketukan pintu membuat jantungnya
berdetak kencang. Ibu guru itu menyibak tirai jendela dan jantungnya
terasa berhenti sejenak. Ada OAP dengan wajah brewok minta silet untuk
mencukur jenggotnya. Dengan sisa tenaga diambilnya silet jenggot
suaminya, lalu diserahkan lewat terali jendela. Kemudian tidak lama
setelah itu didengar lagi ketukan, ada OAP tepat di depan jendelanya
meminta sandal bekas. Ia serahkan sandal suaminya masih lewat terali
jendela yang sama karena dia tidak berani membuka pintu. OAP itu minta
makanan. Ibu guru itu memberikan nasi yang tersisa. Malam semakin
larut dan tangis anaknya tidak juga mau berhenti. Pintu kembali diketuk
berulang-ulang dan ada orang yang memanggil-manggil. Suaranya
ia kenal. Orang yang memanggil-manggil itu Minus, muridnya dari
Oksibil, salah satu kota Kabupaten di Provinsi Papua. Dengan gemetar,
perempuan itu membawa anaknya diantar oleh Minus ke rumah sakit.
Kota Papua bagai kota mati. Ia bermalam di rumah sakit. Hujan turun
sangat deras dan hingga subuh hujan belum juga berhenti. Ibu guru itu
berdoa memohon perlindungan Tuhan untuk segala hal yang akan terjadi
di pagi itu. Pagi itu sinar matahari tidak muncul, hujan masih menderas.
Bendera Bintang Kejora gagal dikibarkan karena hujan membubarkan

474
massa. Bendera gagal berkibar tapi kotanya telah mati. Hatinya sedih
setiap kali memikirkan anak didiknya yang butuh guru, butuh pengajar.
Jika melihat semangat belajar pada anak didiknya, hatinya ragu. Akankah
Jayapura dia tinggalkan, atau bertahan dalam amarah politik yang tak
kunjung reda.

TIGA
Sahabat, puisi esai “Khena Himi” karya Elisabeth Tukayo
menggambarkan kehidupan perempuan di Papua yang selalu tersakiti.
Perempuan Papua sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga,
bahkan derita yang dialami perempuan Papua pada umumnya sama.
Secara khusus derita perempuan asli Papua ini tetap dirasakan di
tengah penerapan otsus yang salah satu pasalnya menjelaskan
keberpihakan pada perempuan asli Papua. Perempuan Papua sering
dijuluki Anggrek Hitam Papua. Anggrek hitam Papua yang langka, perlu
dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena memiliki harga jual
tinggi. Perjuangan perempuan Papua dalam mewujudkan martabat
dan hak-hak dasarnya dihadapkan pada berbagai tantangan, baik dari
diri sendiri, maupun lingkungan adat Papua. Walaupun sudah banyak
peraturan yang keluar untuk melindungi perempuan Papua, namun
tindak kekerasan masih saja dialami perempuan Papua, bahkan masih
terjadi pada ranah politik dan juga adat. Beberapa waktu ini terdapat
beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti suami bunuh
istri, suami bakar istri, suami pukul istri. Hal seperti itu menuai banyak
protes, dan kecaman, namun tidak ada perubahan yang signifikan. Ada
pendapat yang mengatakan perempuan Papua harus balas dendam
dengan membunuh laki-laki, bakar dia juga, manusia seperti itu
jangan biarkan hidup, ada juga ajakan, perempuan harus demo agar
stop kekerasan dalam rumah tangga. Ada juga yang mengatakan itu
urusan keluarga mereka, tidak perlu ikut campur. Melihat kondisi
seperti itu, maka perlu ada penanganan serius supaya jangan ada
korban kekerasan. Biarlah anggrek hitam Papua mekar dan indah
dipandang. Terkisahlah seorang wanita Sentani yang berada dalam

475
wilayah budaya Tabi. Namanya Elis. Sebagai wanita Tabi, dia harus
mengikuti adat yang ada di tempatnya. Elis mengalami ketidakadilan
dalam kehidupan. Dalam rumah tangga beban berat harus dipikulnya
sendiri. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya di depan matanya,
dia harus pura-pura buta. Dia tidak boleh mengatakan capek. Karena
kata capek yang terucap dari mulutnya, akan dibalas dengan pukulan
ke tubuhnya. Dia tidak boleh mengeluh, karena keluhan akan berakhir
dengan tendangan. Dia juga tidak boleh marah, karena kemarahan
berarti pula neraka baginya. Elis hampir tidak bisa menikmati
kehidupan. Siang dan malam tidak bisa tidur nyenyak. Kadang
ia menyesali mengapa ibunya melahirkannya sebagai seorang
perempuan. Kepedihan hatinya itu hanya dapat ia ceritakan pada
angin, pada awan yang berarak, dan menitipkan duka pada burung
camar yang terbang. Ia telah diserahkan oleh orang tuanya kepada
Bapak Ondo yang menginginkannya. Kata Ondo kependekan dari
Ondofolo atau Ondoforo, terkadang juga meminjam kata dari Teluk
Numbay dan Yotafa. Ondoafi adalah pangkat atau gelar penghulu
suku/kepala suku. Kepangkatan atau gelar adat dimaksudkan dapat
sekaligus berfungsi sebagai kepala pemerintahan kampung. Elis tidak
mau dikawinkan dengan Bapak Ondo yang menurutnya sudah tua.
Tapi mamanya mengatakan bahwa semua sudah diputuskan dalam
adat, Elis harus mengikutinya. Semuanya menurut adat, keputusan
adat, berjalan berdasarkan adat, tidak ada yang dapat menentang
adat. Apalagi wanita seperti Elis, Mahluk lemah dalam adat.
Perempuan dalam adat suku Sentani bukan saja sebagai sebuah alat
untuk memuaskan gairah seksual laki-laki semata, tetapi perempuan
suku Sentani terbeban dan bertanggung jawab akan kepentingan
kelangsungan hidup keluarga dan kehadiran diri di tengah
kungkungan pilar-pilar adat dan kebiasaan yang kokoh. Maskawin
telah diserahkan Bapak Ondo, semua dibawanya dalam delapan
perahu menuju rumahnya di pinggir Danau Sentani. Maskawin yang
dibayarkan untuknya sebagai istri termuda, sehingga tidak ada lagi
kuasa keluarganya atas dirinya.

476
Bahkan dirinya mutlak di bawah kekuasaan suaminya. Elis tidak
bisa berbuat yang lain, juga untuk dirinya sendiri. Semua sudah
ditukar dengan maskawin yang sudah diterima orang tuanya dan
saudara- saudaranya.
Elis sudah menjadi ibu. Ia hanya sebagai alat pemuas nafsu.
Suaminya sebagai kaum penguasa menindas yang lemah, ke­
pasrahan tak sebanding nilai harga dirinya. Elis mengandung lagi.
Kandunganya sudah menginjak delapan bulan. Ini kelahirannya
yang ketiga. Sesungguhnya Elis sudah tidak kuat untuk melahirkan
lagi tapi kehamilannya tak bisa ia hindari. Menurut bidan desa.
satu bulan lagi ia akan melahirkan. Tubuhnya lemah dengan perut
terlalu besar, wajahnya menguning, bibirnya pucat, karena dia terlalu
letih. Seharian Elis harus bekerja di ladang, menyiapkan makan
suaminya dan keluarga besarnya. Ia tidak bisa menolak, semua
menjadi kewajibannya. Begitu banyaknya yang harus dikerjakan,
hilang sudah cantik mudanya yang dulu jadi bahan pembicaraan.
Suaminya sudah tidak suka lagi padanya dan sering tidak tidur di
rumah. Elis mendengar suaminya sering mengunjungi wanita amber,
Wanita pendatang bukan putra daerah di ujung jalan. Suaminya
menginginkan wanita nonpribumi yang berkulit putih. Suaminya
pulang saat sedang mabuk dan memukulinya. Suaminya berkata
pada Elis kalau ia mau mengawini perempuan amber itu. Elis disuruh
mencari uang untuk maskawin dan harus mendapatkannya, jika
tidak, leher Elis akan dipotong oleh suaminya. Elis berusaha keras
mengumpulkan maskawin yang diminta suaminya. Sekeras apa pun
ia bekerja tetap belum mendapatkan uang yang diminta suaminya.
Ketiika itu, seminggu kemudian, suaminya pulang dalam keadaan
mabuk, suaminya meminta uang maskawin ke Elis. Namun Elis
belum mendapatkan uang sesuai dengan permintaan suaminya. Elis
mengatakan pada suaminya bahwa suaminya telah melampaui batas,
ia sedang hamil. Suaminya marah dan membentak lebih keras lagi,
agar Elis takut padanya. Berdasarkan adat suku Sentani, perempuan
tidak memiliki hak untuk memberikan pendapat apapun dalam rumah

477
tangga maupun pemerintahan adat setempat.
Perempuan tugasnya hanya mengasuh anak dan bekerja keras
ikut berkontribusi dalam perekonomian keluarga seperti berkebun,
mencari ikan, dan menokok sagu. Suami Elis benar-benar marah. Ia
menampar Elis, menendang perutnya yang sudah semakin membesar.
Delapan bulan usia bayi dalam kandungannya. Elis mengerang
kesakitan, darah segar keluar dari selangkangan dan perutnya
bergejolak mengeluarkan bayi mungil yang tak sempat lagi menghirup
udara dunia. Elis mati, begitu juga bayinya.

EMPAT
Sahabat, puisi esai “Pelangi Tanpa Warna” karya F.X. Purnomo
mengisahkan perebutan wilayah tambang yang diakhiri dengan
cerita cinta segi tiga. Cinta, harta, dan harga diri saling berbenturan.
Terkisahlah Tablasupa, sebuah desa terapung yang letaknya berada di
pesisir pantai Depapre, Kabupaten Sentani. Desa ini merupakan nama
desa yang disebut-sebut sebagai identitas komunitas masyarakat
adat salah satu suku Tepera yang lama menempati wilayah Depapre.
Jarak tempuh wilayah ini sekitar 25 menit dari Distrik Depapre
dengan menggunakan speedboat. Sejak eksplorasi dilaksanakan dan
hasilnya menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengandung biji-biji
nikel, perselisihan antarsuku pun terjadi. Masing-masing suku justru
mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. Septinus, laki-laki
berumur 60 tahun yang notabene adalah ayah Naomi, adalah salah
satu kepala suku kampung Tablasupa mengajukan mosi tidak percaya
terhadap proyek penambangan yang segera akan dilaksanakan.
Baginya, masalah adat harus diselesaikan secara adat, dan kembali
ke adat. Tanpa campur tangan pihak luar. Marthinus, ayah Abraham
yang juga kepala suku di kampung Tablasupa berusia 70 tahun ini
mengajukan tuntutan pada pihak perusahaan, agar penambangan
nantinya melibatkan masyarakat setempat. Jalan penghubung dari
desa ke kota harus dibangun, Persediaan air bersih, penerangan listrik,
pembangunan rumah layak huni warga harus tersedia, dan bagi hasil

478
keuntungan pada masyarakat adat. Stevanus, ayah Joehanis berusia
65 tahun yang juga salah satu kepala suku kampung Tablasupa ini
menyetujui proyek penambangan dilaksanakan, dengan catatan
pembagian keuntungan dibagi atas dasar luas wilayah suku masing-
masing. Masalah bertambah runyam, saat gelar pertemuan di Para-
Para Adat, masing-masing kepala suku saling mempertahankan
pendapat. Di sisi lain polemik muncul ketika 3 muda-mudi dari
anak-anak mereka ini terjerat hubungan cinta segitiga. Abraham
(24 tahun), anak Marthinus menaruh hati pada Naomi (25 tahun),
putri Septinus. Namun perjalanan asmara kedua insan ini bertepuk
sebelah tangan. Naomi menolak cinta Abraham, dan lebih memilih
Joehanis (24 tahun). Melihat gelagat Naomi yang berpaling pada
Joehanis, Abraham segera atur strategi. Kabar tentang Naomi
terinfeksi HIV/AIDS yang sengaja diciptakan oleh Abraham menyebar
luas di kalangan masyarakat dan anak-anak kampus, tempat Naomi
menempuh pendidikan kesarjanaannya.
Terkisahlah waktu itu, Naomi kecil melihat perkelahian di
kampungnya Tablasupa. Ada dua kelompok saat itu, yaitu pengelola
tambang dan penolak tambang saling menumpahkan amarah yang
menyebabkan penderitaan pada warga kampung. Pada Januari 2008,
Pemda Kabupaten dan Pemda Provinsi Papua mengadakan rapat
bersama guna membahas keabsahan surat izin operasi tambang. Izin
operasi pengelola areal penambangan nikel Tablasupa merupakan
kewenangan wilayah Kabupaten, bukan kewenangan Pemda Provinsi.
Hingga terjadi dua kekuasaan pengelolaan, yang masih masing
direkomendasikan oleh pihak Pemda Kabupaten dan Pemda Provinsi.
Inilah yang kemudian menyulut konflik adat yang berkepanjangan.
Konflik adat kemudian pecah tak terelakkan. Pertumpahan darah
antarsaudara pun terjadi. Puluhan nyawa melayang dan ratusan anak
panah mencari sasaran. Tak seorangpun bisa menghentikan. Saat
peristwa itu terjadi,Naomi berlari mencari tempat perlindungan bersama
sahabatnya, Joehanis, dan Abraham. Penjarahan, perusakan terjadi di
mana-mana. Warga yang tak sepaham dengan keputusan Ondoafi

479
menuntut haknya, menentang eksplorasi pertambangan berjalan.
Ondoafi atau Ondofolo adalah kepala adat. Di kalanganasyarakat
asli Sentani penyebutan terhadap kepala adat ada dua, yaitu Ondoafi
atau Ondofolo. Ketua Dewan Adat mencoba mencari solusi, Tapi tak
ada lagi waktu untuk berembuk. Tidak ada lagi waktu untuk saling
menjelaskan. Emosi telah berkuasa. Ketua Dewan Adat Tablasupa
(wakil pemilik hak ulayat) menyatakan bahwa ia mempersilakan
perusahaan SIP melakukan aktivitas penambangan karena perusahaan
tersebut sudah mengantongi izin dari dinas Pertambangan Provinsi
Papua. Iapun menjelaskan kepada warga bahwa hasil pendekatan
yang dilakukan oleh perusahaan SIP pada warga di bulan Juli 2007
merupakan pendekatan yang tanpa paksaan, dan benar-benar murni
dari hati mereka. Oleh sebab itu, Ondoafi Tablasupa yang merupakan
pemegang hak batas-batas tanah adat suku besar Sorontou Okoseray
dan Kiswantau menolak perusahaan TMN melakukan aktivitas
eksplorasi dan eksploitasi tambang mineral nikel di wilayah pemegang
hak batas-batas tanah adat. Namun pemuda dan masyarakat lain yang
tidak puas dengan aktivitas perusahaan SIP melakukan penghadangan
aktivitas penambangan, bahkan terjadi huru- hara dan penyerangan
pada warga lain yang berujung pemblokiran wilayah. Rumah Ondoafi
Tablasupa pun tak luput dari perusakan dan penjarah oleh pemuda dan
masyarakat adat yang tidak sepaham dengannya.
Sekarang Naomi berumur 25 tahun, menjelma menjadi sosok
remaja cantik nan jelita. Ia mahasiswi terakhir fakultas kedoteran di
sebuah universitas. Sementara Joehanis yang gagah perkasa, selalu
setia menemani sang pujaan hati setelah kembali dari Belanda
menyelesaikan kuliah. Abraham cemburu melihat kedekatan Joehanis
dan Naomi. Abraham menyatakan cinta pada Naomi, tetapi ditolak
karena Naomi telah mencintai Joehanis. Naomi tidak senang, ketika
ibundanya memberi harapan pada Abraham. Ibunya tidak menyukai
Joehanis karena hanya anak nelayan. Naomi tetap bersikukuh.
Cintanya pada Joehanis tetap menyala di dada, tersimpan rapi di hati
tanpa cedera, tanpa cela dan tak akan terpisahkan oleh apapun.

480
LIMA
Sahabat, puisi esai “Ratapan dari Puncak Belantara Korowai”
karya Ida Iriyanti mengisahkan suku Korowai di hutan belantara Papua.
Suku Korowai adalah suku baru yang ditemukan keberadaannya
sekitar 30 tahun yang lalu. Suku terasing ini hidup di rumah yang
dibangun di atas pohon yang disebut rumah tinggi. Ketinggian rumah
mereka mencapai 50 meter dari permukaan tanah. Suku ini berlokasi
di selatan kaki pegunungan Jayawijaya di pesisir sungai Brazza,
tepatnya di wilayah kabupaten Mappi. Menuju tempat ini harus
ditempuh dengan perjalanan udara, menelusuri sungai, berjalan
kaki menembus belantara serta melewati rawa dan lumpur. Sehari-
hari laki-laki Korowai berburu binatang, sedangkan para perempuan
berladang di perbukitan. Papua adalah satu pulau terbesar di
Indonesia, memiliki kekayaan alam dan tambang yang sangat
terkenal di dunia. Namun, di tengah kemajuan dan kekayaan tambang
di wilayah Papua masih terdapat daerah yang sangat tertinggal dan
minim dari segala jenis pelayanan seperti layanan kesehatan maupun
pendidikan. Hal itu menjadi sebuah berita yang menghebohkan
warga Jayapura Papua ketika muncul artikel mengenai seorang anak
berusia 3 tahun bernama Puti Hatil. Ia digendong oleh ayahnya,
melakukan perjalanan selama 10 jam di tengah hutan belantara
menuju kampung Danowage demi mengobati sakitnya. Peristiwa itu
menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena keadaan suku
Korowai sangat jauh tertinggal dibandingkan kondisi daerah lainnya.
Pemerintah seakan tidak peduli dengan kondisi mereka, sebaliknya
justru misionaris asing yang hidup dengan mereka yang berusaha
membantu.
Terkisahlah Puti Hatil, anak lelaki berusia tiga tahun. Ia sakit
bisul di pipinya. Ibunya mengobati dengan ramuan dedaunan. Bisul
Puti pecah dan berlubang dan berbau. Puti semakin kesakitan,
setiap hari ia merintih kesakitan. Ayahnya, Daniel Hatil, tidak tahan
mendengar rintihan anaknya.Daniel pada subuh gelap berniat
mencari kesembuhan anaknya. Udara masih dingin dan belantara

481
masih gulita Ketika Daniel menggendong Puti pergi ke Danowage ke
klinik pengobatan.
Danowage adalah nama kampung yang terletak di Distrik Yaniruma,
Kabupaten Boven Digul, yang menjadi tempat tinggal Suku Korowai.
Kampung yang cukup terisolasi ini hanya bisa dijangkau dengan
transportasi udara dalam waktu tempuh 30 menit dari Tanah Merah.
Atau harus melalui sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai Digul.
Perjalanan darat dapat ditempuh dalam waktu 1 minggu. Tidak ada
fasilitas masyarakat seperti perumahan layak huni, puskesmas, sekolah,
balai kampung atau fasilitas lain yang dibangun pemerintah. Daniel
berjalan di antara semak melewati sungai, menembus gelantungan
akar-akar pohon. Tidak dirasakannya lelah bahkan keluhan saat
menggendong anak kesayangannya itu. Sesekali mereka berhenti
sejenak di bawah pohon, menghilangkan penat, haus, dan lapar
dengan bekal seadanya yang disiapkan oleh istrinya. Setelah cukup
beristirahat, diteruskannya langkah kakinya di tengah rimba. Setelah
sepuluh jam menembus belantara yang pekat, Daniel Hatil berhenti
sejenak di antara rimbunan ilalang, dan ia sampai di tepi jalan setapak.
Ditatapnya kampung Danowage di depannya. Dengan penuh kelegaan
dan mandi keringat, dipeluknya erat anak lelaki kebanggaannya, anak
lelaki pembawa marganya, penerus keperkasaan lelaki Korowai seperti
dirinya. Daniel telah sampai di ujung kampung menggendong anaknya.
Ia menuju tempat keluarganya karena hari menjelang malam. Ia tidur
dengan anaknya di situ.
Keesokan paginya, Daniel menuju klinik yang dikelola oleh Mr.
Trevor Christian Johnson. Itu klinik satu-satinya yang ada. Mr. Trevor
Christian Johnson, seorang misionaris yang memilih tempat-tempat
terpencil menjadi lahan pelayanannya. Selain sebagai mosionaris ia
juga menjadi perawat dan pendidik. Sebelum mengabdi di Korowai, ia
pernah hidup bersama suku terpencil di pedalaman Amazon, Amerika
Serikat. Hingga saat ini, ia sudah 10 tahun mengabdi di Korowai. Puti
diperiksa di klinik itu. Ternyata bisul di pipi Puti sudah parah. Di klinik
itu tidak ada alat atau obat untuk menyembuhkannya. Puti harus

482
dibawa ke ibu kota. Bapa Daniel pun siap membawa Puti ke mana pun
juga agar Puti sembuh. Mr. Trevor akan membantu Daniel membawa
Puti ke ibu kota. Puti ditangani dokter dan perawat dengan cepat di
ibu kota. Luka di pipi Puti dibersihkan dan diberi obat. Pipi Puti tidak
ada lubang lagi, telah sembuh dari infeksi bakteri yang masuk ke
luka di pipi Puti. Selama di ibu kota Puti tidak betah. Ia ingin pulang
ke rumahnya, di tengah rimba. Rumahnya sejuk dan nyaman. Di ibu
kota terasa sangat panas. Setelah sembuh, Puti kembali ke kampung
Korowai. Kampung itu menjadi terkenal karena belum tersentuh
pembangunan oleh pemerintah. Tidak ada sekolah di kampung itu,
Puti dan teman-temannya sekolah pada alam, pada belantara untuk
memaknai kehidupan. Akankah Korowai tersentuh oleh pembangunan
modern? Akankah kampung selain Korowai juga dikenal oleh penduduk
lainnya di Indonesia. Karena bagi Daniel Hatil dan Puti dan penduduk
Korowai, dan penduduk terpencil lainnya, APBD bukan urusan mereka.
Mereka sudah cukup diberi Tuhan dengan kekayaan alam yang hanya
milik Tuhan dan tidak dkuasai penguasa. Bagi mereka, kedamaian di
ujung rumah tinggi adalah kerinduan yang selalu memanggil pulang
untuk bercumbu dengan angin dan rimba.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Kepak Cenderawasih ini ditulis oleh lima
penulis dari Papua. Persoalan yang mereka tulis dalam puisi esai tentang
manusia yang diciptakan sama tetapi diturunkan di tempat atau wilayah
yang berbeda, sehingga itu yang membuat manusia berbeda. Alam
dan adat budaya menentukan perilaku manusia dalam kehidupan.
Perbedaan suku dan ras menjadi pemicu perseteruan di dalam
pergaulan sosial. Perempuan di Papua masih diperlakukan diskriminatif
di beberapa wilayah. Mereka layaknya barang yang dimiliki laki-laki
dan kehadirannya tidak dianggap penting untuk kehidupan. Sangat
menarik bahwa wilayah yang sulit dijangkau kehidupan modern masih
ada di Papua. Ini patut menjadi renungan kita.

483
Fenomena Sosial
di Papua Barat
RINGKASAN PUISI ESAI PROVINSI PAPUA BARAT

Judul Buku : Surat Cinta untuk Negeri Seribu Labirin


Tahun : Cetakan I, Agustus 2018
Tebal : 90 halaman
Penulis : Fitria Andriani Fakdawer, J. Edward T.,
Natalia Dessy, Rasid Woretma,
Wempi Moom
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia,
ISBN 978-602-5896-19-4

Sahabat, apa yang dapat kita pelajari dari buku ini?


Buku puisi esai ini menggambarkan kehidupan di Provinsi Papua
Barat. Bagaimana seorang anak kecanduan lem, penduduk yang me­
mercayai dukun di tengah modernisasi, semangat seorang anak
pelosok desa untuk belajar, kekayaan alam yang diambil oleh para
investor, dan adat y ang memberatkan masyarakat.

LIMA INTI SARI BUKU


 Terjerat candu lem.
 Ingin menjadi guru di desa.
 Semangat untuk terus belajar.
 Tanah hak ulayat yang tergadai.
 Terhalang maskawin.

SATU
Sahabat, puisi esai Fitria Andriani Fakdawer “Terjerat Candu Lem”
menceritakan anak-anak dari keluarga miskin Suku Kokoda di Sorong,
Papua Barat kecanduan mengonsumsi lem aibon. Di Kabupaten Sorong
terdapat beberapa suku, tetapi yang sering menggunakan lem aibon
adalah anak–anak dari Suku Kokoda yang rata-rata berusia antara

484
usia 5–10 tahun. Sedih, dan prihatin melihat hal ini, lem aibon seakan
membuat mereka melupakan pendidikan. Lem aibon memaksa mereka
bekerja siang dan malam mencari kaleng-kaleng di pinggir jalan
raya untuk dijual. Mereka juga menjaga parkiran motor/mobil demi
mendapatkan uang hanya untuk membeli lem. Orang tua mereka
hanya duduk diam, tanpa memedulikan pendidikan anak-anaknya.
Anak-anak suku Kokoda tidak sadar bahaya lem aibon dan bahkan
telah mengalami fase kecanduan. Mereka terpaksa mendapatkan uang
dengan berbagai macam cara demi bisa membeli lem aibon.
Di suatu pagi, terlihat sekelompok anak-anak tanpa memakai
alas kaki berjalan di tepi jalan raya. Mereka memikul karung lusuh
di pundaknya yang kecil. Anak-anak kecil itu seperti tidak pernah
mandi. Anak-anak itu menyapa para pejalan kaki yang ditemuinya.
Mereka adalah bocah-bocah hitam manis keriting rambut dari Kokoda.
Suku Kokoda adalah suku yang berasal di daerah Kabupaten Sorong
Selatan, tetapi juga salah satu suku yang berdomisili di Kota Sorong,
Provinsi Papua Barat. Mata pencarian suku Kokoda yang berdomisili di
Kota Sorong, salah satunya adalah mencari batu karang untuk dijual.
Mereka juga sering ke hutan mangrove yang tumbuh di pesisir pantai.
Hutan mangrove mereka sebut mangi-mangi. Suku Kokoda biasanya
memanfatkan hutan mangrove sebagai lahan mata pencaharian,
mencari ikan dari atas perahu pada malam hari. Di Kota Sorong,
menjelang siang hari di terik matahari, anak-anak itu tanpa mengenal
susah dan lelah, tanpa mengenal hujan, dan panas, bebas tanpa
pengawasan orang tuanya berkeliaran mencari kaleng- kaleng bekas
minuman bersoda yang bisa dijual, menjadi penghasilan anak-anak
pencari kaleng. Anak-anak itu memunguti kaleng apa saja yang bisa
dijual, yang penting menghasilkan uang, Mereka berharap mendapat
uang setiap harinya. Mereka rata-rata seusia anak SD kelas empat atau
lima yang harusnya masih di sekolah mendengar bapak dan ibu guru
memberi ilmu pengetahuan. Namun, mereka sudah meikirkan untuk
mencari uang. Tiada hari tanpa mencari uang. Mereka berjalan berkilo-
kilo meter jauhnya, masuk dan ke luar lorong-lorong kota.

485
Setiap lorong tidak luput mereka susuri, hanya untuk
mengumpulkan kaleng dan mendapatkan uang. Jika karung yang
dipikul terasa berat, mereka terseyum karena akan mendapat banyak
uang. Terbayang olehnya kesenangan yang akan diperoleh dari uang
yang didapat. Ketika ditanya kenapa sampai setiap hari jalan cari
kaleng, Jawab mereka, karena mama dan bapaknya juga sibuk cari uang
hanya cukup untuk hidup dalam keluarga. Ketika ditanya untuk apa
uang yang didapat, mereka diam lalu pergi meninggalkan orang yang
bertanya. Bocah-bocah hitam manis rambut keriting dari Kokoda itu
semua diam, seperti ada sesuatu yang disebunyikan dan itu terlihat
dari tatapan pada mata mereka. Saat malam, Bocah-bocah hitam manis,
keriting rambut dari Kokoda sibuk berlaku menjaga parkiran motor
dan mobil di tempat jualan tenda makanan. Mereka menantikan seribu
rupiah dari pemilik motor dan mobil yang telah dijaganya. Sebetulnya,
pemilik warung tenda makanan sudah berusaha mengusir anak-anak
Kokoda itu. Pemilik warung melihat anak-anak Kokoda kecanduan
lem. Mata mereka merah karena kecanduan. Mereka jadi tukang parkir
untuk mendapat uang yang akan dibelikan lem.
Kelakuan mereka tidak dipedulikan oleh orang tuanya. Anak-
anak Suku Kokoda pun tidak sadar tentang bahaya mengonsumsi lem
aibon. Mereka melakukan berbagai cara untuk membeli lem aibon.
Anak-anak itu mencari uang hanya untuk membel lem. Malam-malam
di tepian jalan remang, mereka mengisap lem dan teler. Mereka
tidak dipedulikan oleh orang tua mereka. Dinas sosial daerah juga
tidak mengawasi aktivitas anak-anak dari suku Kokoda. Organisasai
Perlindungan Anak juga tidak memedulikan anak-anak di bawah
umur yang berkeliaran dari pagi hingga malam. Pemerintah hanya
memasang spanduk imbauan tentang bahaya menghirup lem aibon
yang tidak begitu diperhatikan karena anak-anak suku Kokoda itu tidak
bisa membaca dan menulis, Mereka tidak bersekolah. Lem aibon adalah
lem serbaguna, untuk merekatkan berbagai alat atau barang. Lem
aibon untuk merekatkan barang dari bahan kulit binatang (tas, sepatu),
plastik, kayu, kertas, aluminium, karet, tembaga, besi dan lain- lain. Lem

486
aibon juga zat adiktif yang berbahaya. Zat adiktif adalah zat–zat kimia
yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, baik ditelan melalui mulut,
dihirup melalui hidung maupun disuntikkan melalui urat darah. Orang
tua mereka tidak peduli, mereka hanya berlayar sendiri, meninggalkan
dermaga, meyeberang lautan. Bocah-bocah hitam manis, tertinggal di
dermaga. Lem bagai makanan pokok yang tidak dapat dilepaskan dari
hidup bocah-bocah hitam manis dari Kokoda. Lem selalu membayangi
kehidupan mereka. Selalu lem dan lem dalam hidupnya.

DUA
Sahabat, puisi esai J. Edward T. “Kutitipkan Mimpiku Padamu”
menceritakan Basri dari desa Bintuni, Papua Barat. Basri bersahabat
dengan Joan walau berbeda agama. Sosok pribadi Basri unik. Ia
memiliki keikhlasan dan ketulusan hati tanpa membedakan siapapun.
Basri ikhlas memberikan pertolongan. Ia tidak melihat agama, suku, ras,
dan berbagai identitas orang yang akan ditolongnya. Basri mempunyai
rambut ikal kecil-kecil, bola mata dan giginya putih bersih berkilau.
Joan dan Basri bersahabat. Basri beragama Islam dan Joan beragama
Kristen. Basri tinggal di rumah kerabatnya yang beragama Kristen.
Setiap menjelang magrib, Basri bergegas menuju rumah panggung
di tepi pantai. Basri menjalankan salat sesuai dengan waktunya. Ada
saatnya ketika keluarga tempat Basri menetap mengadakan ibadah atau
persekutuan. Tanpa canggung, Basri pun turut membantu mengantarkan
minum atau menyajikan kue. Di akhir ibadah atau persekutuan
disuguhkan makanan ringan dan minum. Ketulusan dan keiklasannya
dalam membantu agama lain tidak melunturkan keimanannya.Dengan
bergulirnya waktu bertambah juga kedewasaan Basri. Ia memiliki
pandangan hidup yang berbeda. Ketaatan dan ilmu agamanya dibawa
keluar dan dipraktikkan dalam hidup. Ajaran-ajaran dalam lisan dan
tulisan menjadi nyata dalam lakunya. Ia lebih dewasa dari usianya.
Basri dan Joan bersahabat erat. Mereka bermain, bercerita, tertawa,
berbagi kesedihan bersama. Jika ada yang bertanya, ini siapa? Jawab
Basri dan Joan, saudara angkat.

487
Basri sering bercerita tentang Bintuni negeri asalnya. Bintuni
adalah sebuah Kabupaten baru di Provinsi Papua Barat dan berdiri atau
diresmikan sejak 11 November 2002. Kata Basri butuh berhari-hari
perjalanan dengan kapal laut. Ketika berlayar, gelombang dan angin
seringkali tidak ramah. Di Bituni ada kepala air terjun di atas hutan.
Basri juga bercerita tentang sungai Jagiro yang mengalir sepanjang
kampung. Ada rusa jantan yang saling beradu tanduk, ada buaya-
buaya di sungai yang menyerupai batang kayu mati. Ada juga kanguru.
Berbagai jenis unggas seperti kakaktua, nuri, taon-taon (rangkong).
Di Bintuni, burung taon-taon dipercaya jelmaan dewa dan pantang
diburu atau dipelihara. Ada juga kayu gaharu, kayu surga berwarna dan
beraroma.
Basri mempunyai adik. Suatu hari ayah dan ibunya membawa
adiknya menengok Basri yang sedang menimba ilmu itu. Joan
mengamati Basri yang sedang bercakap-cakap dengan adiknya. Basri
menjelaskan benda-benda yang belum pernah dilihat adiknya. Adik
Basri melihat lampu yang menggantung dan dapat menyala dengan
cepat. Kapan pun dapat menyala tanpa noda jelaga di langit-langit
rumah. Basri menunjukkan kabel-kabel listrik yang membentang yang
dapat menyalakan lampu secara otomatis.
Tahun berganti, Basri dan Joan berpisah memilih jurusan yang
berbeda untuk menempuh perkuliahan. Sebagai sahabat keduanya
saling mendukung dan terus menyemangati, saling mengingatkan
untuk segera merampungkan studi. Jika lulus, Joan tetap ingin di Yogya
sedangkan Basri ingin kembali ke Bintuni. Basri ingin menjadi guru di
Bintuni. Basri juga sudah mempunyai calon pendamping sebagai istri
kelak, untuk membantunya di kampung nanti. Cinta Basri dan Hayati
terhalang karena beda agama. Oleh karena latar belakang agama dan
budaya yang berbeda. Kedua keluarga tidak ingin mereka bersatu.
Mereka harus berpisah dan membunuh cinta dalam hati. Dalam
keadaan sedih itu, datang kabar dari kampung bahwa adik tercinta
telah tiada.Panas tinggi yang mendera hanya diobati dengan obat
kampung seadanya. Konon di kampung ayahnya mencalon diri menjadi

488
kepala kampung. Pihak lawan telah mengirimkan kutuk ditujukan untuk
sang ayah namun kena kepada adik tercinta. Berita kematian itu bagi
Basri tidak masuk akal. Seharusnya mereka tidak ke dukun,seharusnya
mereka segera mendatangi rumah sakit atau puskesmas terdekat. Basri
masih menyesali budaya yang dianut di kampungnya. Ketika itu Basri
datang naik pesawat langsung ke Bintuni, dan menempuh beberapa
jam dengan speed boat. Basri hanya bisa menangis di pusara adiknya.
Ia melampiaskan kesedihannya. Dicurahkannya kekesalannya tentang
percintaannya yang kandas karena perbedaan agama dan ia juga
kehilangan adik tercintanya yang tak pernah kembali.
Setelah kembali ke Yogya, ia masih sedih, namun ia harus
menyelesaikan kuliahnya yang tinggal sedikit. Bab terakhir dari
laporan ilmiahnya akan segera selesai. Lalu datang lagi kabar dari
kampung ibunda sakit keras. Dengan susah payah, ia memohon pada
ayahnya untuk segera membawa ibu ke dokter. Basri juga sakit saat itu
dan dadanya sesak. Ketika itu datanglah Hayati menemuinya. Hayati
ternyata sangat mencintainya. Perpisahan dengan Hayati membuat
Basri menderita TBC. Saat Hayati datang, Basri sudah tidak dapat
menahan sakitnya, ia meninggal di pelukan Hayati. Basri memiliki
kekasih yang mencintainya tanpa syarat, mencintainya tanpa alasan
apapun. Hayati, kekasihnya telah memohon izin dari keluarganya
untuk mengantarkan jenazah Basri kembali kekampung halaman
dan sekaligus ia mohon doa restu untuk dapat mengabdikan dirinya
sebagai pendidik lepas sementara waktu di kampung halaman Basri. Di
dekat kepala Air Sungai Jagiro, 3 nisan terpaku di sana 3 nama terpatri
Basri B Solehudin, Maryam Binti Solehudin (Adik Basri), dan Rahmawati
Binti H. Suaeb (Ibunda Basri). Papua tidak selalu mengenai alam, hutan,
gunung, laut, sungai, dan margasatwanya, tetapi di sana, ada manusia
dan adat istiadatnya, ada masyarakat dan mimpinya.

TIGA
Sahabat, puisi esai Natalian Dessy “Surat Dari Bonifasia”
menceritakan Bonifasia Magdalena Frabun yang gigih belajar

489
menuntut ilmu untuk meraih cita-citanya. Bonifasia berasal dari
Suku Sebyar di Kabupaten Teluk Bintuni. Bonifasia adalah anak yang
pintar dan memiliki daya juang tinggi untuk belajar. Kegigihan dan
perjuangannya mengantarkan gadis asli Teluk Bintuni ini menjadi duta
pelajar ke India. Tak lama berselang, Bonifasia menderita sakit menari
dan meninggal bulan Juli, 2017. Meskipun Bonifasia telah meninggal,
semangatnya untuk belajar dan memperbaiki nasib keluarganya masih
dikenang hingga kini.
Bonifasia tinggal bersama ayah dan ibunya. Setiap pagi ia berusaha
bangun pagi. Ia melihat ibunya sedang menyusui adiknya, ayahnya
masih tidur dengan anggur di pelukannya. Ia harus pergi sekolah
yang jaraknya 10 km dari rumahnya. Biasanya ia menumpang truk
pembawa koral dari pantai. Jika tidak ada truk itu, ia berlari ke sekolah
agar tidak terlambat. Bonifasia sampai di sekolah pukul delapan pagi
saat lonceng sekolah mulai berdentang. Bonafasia mendapat hukuman
untuk membersihkan halaman sekolah karena terlambat. Ia tidak bisa
naik ojek. Ongkosnya lima ribu rupiah. Mamanya tidak punya uang
untuk ongkos ojeg. Papanya menikah lagi dengan janda amber, wanita
non-Papua, dan jarang pulang mengurus keluarga. Mama dan ketiga
adiknya diurus oleh Tuhan yang mahakuasa. Mama mengolah ladang
jagung, namun sering gagal panen, Sambil membersihkan halaman, ia
membayangkan mamanya yang terbatuk-batuk menggendong adiknya
dan memberikan doa untuk Bonifasia supaya di sekolah bisa dapat ilmu
pengetahuan, supaya pintar dan mahir menggarap ladang jagungnya
kelak. Bonifasia hanya mampu memandang temannya dari balik pintu
kamar mandi sambil menyikat kloset. Selesai itu, kembali dia harus
bergumul dengan sampah. Ia mengamati beberapa ibu gurunya yang
sibuk bergosip sambil mengunyah pisang goreng. Bonifasia patah
semangat dan lari meloncati pagar sekolahnya. Guru piket yang
menghukumnya menangkap tubuh Bonifasia yang sudah kepayahan
tidak bertenaga dan membawa pulang ke rumah untuk konseling
keluarga. Mamanya marah mengetahui anaknya terlambat sampai ke
sekolah. Kata mamanya mengapa tidak minta uang ojeg kepadanya.

490
Bonifasia hanya diam karena tidak suka nanti mamanya akan mengemis
kepada mama amber, istri baru ayahnya. Mamanya memukulnya
dengan rotan. Memukul anak dengan kayu rotan merupakan hal yang
biasa. Budaya ini berakar dari kepercayaan umat kristiani di Papua
bahwa di ujung rotan ada didikan. Bonifasia hanya mampu terdiam.
Dia tak makan dan tak merasakan lapar. Berhari-hari dia tidak berbicara
tapi ia tetap dipaksa datang ke sekolah, meski di kelas sudah serupa
dengan patung. Bonifasia hanya mampu terdiam kadang kencing di
celana, kadang berak di kursi. Gurunya dan teman-temannya bingung.
Bonifasia tidak dibawa ke rumah sakit karena keluarganya memang
tidak ada dana untuk membawanya ke rumah sakit.
Bapa tua, kakak laki-laki ayah Bonifasia datang dan membawa
Bonifasia ke dokter juga dukun. Obat dan ramuan seharga selembar
kain Timor telah memulihkan Bonifasia. Keluarganya senang atas
kesembuhan Bonifasia. Bapak tua meminang Bonifasia untuk dijadikan
menantu bagi anak semata wayang. Obat dan ramuan seharga selembar
kain Timor dijadikan mas kawin untuk Bonifasia. Dengan lantang
Bonifasia bersuara bahwa dia harus kembali ke bangku sekolah. Ia
tidak mau dikawinkan dengan sepupunya. Bonifasia lantang berkata
bahwa dia harus sekolah. Akhirnya ia kabur bersembunyi di pasturan.
Ia gigih belajar hingga ia menjadi duta pelajar Indonesia dan dikirim
ke India. Bonifasia Magdalena Frabun terpilih sebagai duta pelajar
dalam rangka Asean Students Visit India 2015 yang diselenggarakan
oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Bonifasia terpilih karena
kemampuannya menyuarakan permasalahan anak dari perspektif
budaya Papua dalam bahasa Inggris.
Suatu hari yang malang, tiba-tiba tangan Bonifasia menjadi
bengkak. Ketika itu terpikirkan mungkin binatang yang mengigitnya
karena dia tidur tak beralas kasur. Namun, kemudian Bonifasia demam
dan sesak dadanya. Bonifasia pulang ke rumah mamanya dan dibawa ke
puskesmas. Mereka bilang Bonifasia hanya sesak napas, penyakit asma.
Bonifasia minum obat tradisional seperti ramuan kelapa, ketapang, dan
buah merah. Bonifasia juga diminta untuk minum ramuan daun serai.

491
Namun Bonifasia tak kunjung sembuh dan penyakitya tambah parah.
Kata mamanya, Bonifasia sakit menari. Istilah dalam medis adalah
stroke. Tangannya tak mau berhenti bergerak, juga kakinya. Tetangga
meminta Bonifasia dibawa ke rumah sakit tapi mamanya tidak berani
membayangkan kalau di rumah sakit tangan dan kaki Bonifasia akan
ditali, diikat. Mamanya meminta tolong pada bapak tuanya, namun
bapak tua tidak mau lagi membantu menyembuhkan sakit Bonifasia.
Mamanya akhirnya hanya bisa berdoa dalam tangis yang pedih agar
Bonifasia tidak tersiksa dalam sakitnya. Mamanya ikhlas jika memang
Bonifasia harus meninggal, Bonifasia akhirnya meninggal dunia.

EMPAT
Sahabat, puisi esai Rasid Woretma “Kuludahi Wajah Moyang” ini
menceritakan tanah yang dulu kaya sumber daya alam kini sudah
berubah dengan datangnya investor yang mengeruk kekayaan alam
Papua. Masyarakat Papua sebagai pemilk sah hak ulayat kini hidupnya
terpinggirkan. Hutan, pantai, dan sungai bukan milik mereka lagi,
karena tanah mereka sudah tergadai. Masyarakat Papua akan tergeser
oleh zaman. Kondisi ekonomi, sosial, buadaya, adat istiadat, lingkungan
hidup, sumber daya alam, sumber daya manusia dan kesempatan,
menjadi masalah klasik dan kompleks bagi orang Papua. Melimpahnya
kekayaan alam, mutlaknya kekuasaan kepala suku, budaya hura-hura,
dan polosnya orang Papua, membawa hidup ke jurang kehancuran.
Kehancuran tatanan nilai-nilai kehidupan manusia dan kehancuran isi
bumi Papua. Sebagian Orang Papua malas karena jargon kata-kata “kita
kaya” membuat terlena. Lebih senang “menikmati” dan “terima bersih.”
Saat ini, hampir sebagian besar masyarakat pribumi Papua, pemilik
hak ulayat mulai terpojok. Tinggal di pinggiran hutan, pantai, sungai,
yang bukan miliknya sendiri. Miris dan memilukan. Tanah telah terjual,
harta karun digadaikan, hutan tak ada lagi, laut dan pantai pun tak
bisa diarungi. Gugat menggugat, palang memalang, saat ini menjadi
pertunjukkan yang rutin terjadi. Kecemburuan antara orang Asli Papua
Tuan Tanah dengan orang Asli Papua Pendatang, kecemburuan orang

492
Papua dengan Pendatang (non-Papua) terang-terangan ditampilkan.
Muncul ocehan “Orang Papua hanya penonton.” Teriakan “Papua
Merdeka”, tak tersensor lagi. Hingga muncullah pertayaan klasik,“Semua
ini ulah siapa? Pemerintah, orang Papua, atau orang non-Papua?”
Beribu-ribu hektare hamparan hutan mangrove. Bintuni memiliki
hutan mangrove terluas di Papua Barat, yakni 225.367 hektar. Lukisan
nyata mengelilingi teluk dan sungai berair kabur, karena hampir
keseluruhan air sungai di daerah ini berwarna kecoklatan atau keruh,
meliuk-liuk penuh misteri yang dijaga raja rawa berabad-abad. Di
sebagian sungai atau perairan/rawa masih dihuni oleh buaya dengan
ukuran besar. Beribu-ribu hektare hutan belantara dengan pohon
merbau, gaharu, masohi, dan lawang (kayu manis) menghadang
tanah ulayat dari ancaman. Ribuan hektare ladang sagu menunggu
di pangkur, yaitu kegiatan mengambil/mengolah sagu/meramu mulai
dari menebang hingga menjadi tepung. Berbagai binatang air yang
dapat dimakan manusia beterbaran di alam Papua. Hingga batu bara
hitam, minyak mentah, serta gas bumi tersedia.
Pagi ini mentari indah bersinar di rumah-rumah panggung
sepanjang tepian sungai di tepian hutan pegunungan yang penuh
kedamaian dan kesahajaan. Wajah-wajah polos mengulum senyum
menanam harapan pada Bapak Suku tempat menumpahkan segala
persoalan dan kepastian hidup warga. Orang-orang berdasi telah
datang menyodorkan rencana berjilid-jilid dan menawarkan rupiah
berkopor-kopor menggoda iman siapapun. Pada akhir rayuannya,
mereka bermaksud mengambil apa yang ada di wilayah yang ditinggali
Bapak Suku dan warganya. Mereka akan mengambil batu bara, minyak,
gas, dan kayu. Mereka ingin Bapak Suku menyerahkan tanah hak
ulayat suku itu untuk dimanfaatkan, diolah, untuk kepentingan umum.
Anak cucu Bapak Suku, juga kepentingan daerah, anak-anak adat
akan disekolahkan setinggi-tingginya. Jika ingin bekerja tinggal pilih
di posisi mana, dengan gaji yang berlipat- lipat, dan jangan sampai
ada pengangguran. Uang akan mengalir deras ke daerah Bapak Suku.
Orang-orang akan datang meramaikan kampung Bapak Suku. Kampung

493
akan jadi kota seperti Jakarta, Batam, atau Singapura. Semua tersedia.
Bapak Kepala Suku terseyum membayangkan uang berkoper-
koper, Membayangkan hidup akan senang, bisa pergi ke ujung dunia dan
membeli semua yang ada di dunia. Hak kelola hutan berpindah tangan
dari hak milik ulayat menjadi milik investor. Dengan bujuk rayu dan
iming-iming berupa imbalan yang menggiurkan, para investor berhasil
meyakinkan para kepala suku untuk dapat mengelola hutan dengan
sumber daya alam seperti minyak bumi, batu bara, gas, dan kayu.
Dengan menggunakan peralatan modern canggih seperti
buldoser, alat pengebor tanah, wilayah yang semula hutan dengan
segala kekayaan alam di dalamnya kini berubah dengan munculnya
bangunan-bangunan modern, restoran, dan tempat hiburan yang asing
bagi warga setempat. Kawasan yang semula hijau dan dihuni beragam
jenis satwa ini, kini punah, telah berubah drastis. Tanah moyang
telah tergadai. Larangan-larangan terpampang di mana-mana. Warga
tidak bebas lagi melakukan sesuatu. Warga mulai merasakan semua
hidup dibatasi. Hak ulayat tidak tahu yang mana karena batas-batas
sudah beralih milik. Tidak ada lahan lagi bagi warga untuk menanam
ubi. Tidak ada lahan untuk berburu babi. Juga babi sudah punah dari
habitat. Sudah tergusur peralatan modern yang merusak hutan dan
habitat babi. Burung cenderawasih juga hilang karena pohon-pohon
tempatnya berkembang biak sudah rata dengan tanah. Para investor
yang semula datang menunduk-nunduk, sekarang menoleh pun tidak
kepada Bapak suku dan keturunannya. Mereka tidak akan berpikir
bahwa warga di sekitar tanah yang diolah mereka adalah petani,
pekebun, pemburu yang hidupnya bergantung pada alam yang telah
mereka rusak. Mereka semena-mena menyedot kekayaan alam yang
dimiliki warga Papua. Semua telah mengubah peradaban, semua telah
mengubah hidup. Tanah Papua semua telah tergadaikan.

LIMA
Sahabat, puisi esai Wempi Moom “Cinta dan Maskawin”
mengisahkan tentang cinta sepasang sejoli yang terhalang aturan adat

494
berupa maskawin. Di suku Biak Numfor, Papua, pria yang ingin menikah
dengan perempuan harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan.
Perkawinan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam
kehidupan setiap orang. Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat
fenomenal di seluruh dunia. Begitu pun di tanah Papua, salah satunya
adalah suku Biak Numfor menyadari perkawinan merupakan salah satu
peristiwa sosial yang sakral. Keseluruhan tahapan perkawinan hukum
adatnya wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Contohnya seperti denda,
dan pembayaran harta maskawin yang berwujud barang dan uang. Hal
ini yang membuat Niko lelaki dari Kampung Folley, Kabupaten Raja
Ampat selalu disindir, dicuekin, dikecilkan, serta mendapat larangan
untuk bertemu dengan Fitria, wanita yang berasal dari Biak Numfor,
oleh keluarganya karena masalah pembayaran denda dan maskawin.
Walau demikian Niko selalu bertemu dengan Fitria, karena kekuatan
cinta mereka begitu dahsyat. Maka terjadilah perkawinan di luar nikah.
Persoalan sosial yang dihadapi Niko dan Fitria tidak merupakan hal
yang statis, melainkan ada unsur-unsur yang dinamis. Sudah saatnya
tokoh-tokoh agama (para pelayan) dan pemerintah membuka diri
terhadap masalah-masalah sosial, serta membangun kerja sama
dalam melakukan tindakan pembebasan terhadap setiap pihak yang
mengalami penekanan, penindasan, baik secara fisik maupun spiritual.
Terkisahlah Niko, lelaki dari Kampung Folley, Kabupaten Raja
Ampat. Niko berpacaran dengan Fitria, mereka saling mencintai. Orang
tua Fitria meminta orang tua Nikodatang melamar Fitria. Kedua orang
tua Niko datang melamar dan membicarakan pernikahan anak mereka,
Orang tua Fitria meminta pembayaran harta mas kawin yang ketentuan
dan jumlahnya ditetapkan oleh keluarga Fitria berupa barang, uang susu,
dan uang pintu. Wujud barang dalam pembayaran maskawin suku Biak
Numfor seperti piring, guci, gelang kulit kerang, manik-manik, hasil laut
dan hasil kebun serta beragam harta benda lain. Menurut hukum adat
perkawinan tujuan pembayaran uang susu, untuk mengingat jerih payah
ibu mengasuh anak, dari dalam kandungan sembilan bulan hingga
beranjak dewasa. Tujuan pemberian uang pintu untuk memberikan

495
kesempatan kepada pihak laki-laki untuk bertemu dengan pihak
perempuan. Tujuan pembayaran maskawin suku Biak Numfor adalah
sebagai tanda atau syarat sah suatu perkawinan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan sekaligus dengan segala tanggung jawab orang
tua dan keluarga keret (keluarga besar) dialihkan kepada keluarga besar
laki-laki. Jika pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat tersebut, maka
tidak ada perkawinan kudus yang akan dilaksanakan. Pernikahan kudus
diteguhkan oleh Allah dalam pernikahan yang kudus, artinya disahkan
oleh Allah dalam acara peneguhan dan pemberkatan nikah oleh gereja.
Hidup sebagai suami istri yang belum diteguhkan oleh Tuhan melalui
gereja adalah tidak sah, tidak berkenan di hati Tuhan, dianggap suatu
bentuk perzinaan/kenajisan dan permusuhan dengan Allah. Ayah
Niko menjawab mau membayar sesuai kemampuan. Keluarga Fitria
menegaskan bahwa mempelai laki-laki harus membayar harta maskawin
sesuai yang ditentukan mempelai perempuan. Jika tidak akan dikatakan
sebagai orang tidak punya adat. Ayah Niko menjawab bahwa keluarga
Niko punya hukum adat, dan tahu hukum-hukumnya, tetapi ada batas-
batasnya. Keluarga Fitria menolak dan melarang keduanya bertemu lagi.
Niko dan Fitria tetap melanjutkan hubungan walaupun tidak
direstui keluarga. Setelah selesai kuliah, Fitria pulang dan secara
sembunyi-sembunyi bertemu dengan Niko. Cinta keduanya tidak surut.
Mereka saling mencintai dan berniat hidup bersama. Niko tiba-tiba
saja mengeluarkan sepasang sarak dan memakaikan di pergelangan
Fitria. Sarak dalam bahasa daerah suku Biak Numfor artinya gelang
perak, biasa dipakai untuk mengikatkan laki-laki dan perempuan. Itu
simbol ikatan cinta antara Niko dan Fitria yang tidak direstui orang
tua. Hanya dengan cinta. Karena Tuhan adalah cinta. Mereka terus
bertemu dan bercinta. Akhirnya Fitria hamil, Niko akan bertanggung
jawab. Mereka harus mengatakan pada keluarga, apa pun yang terjadi.
Niko pasti akan dedenda. Denda karena ia telah melakukan tindakan
yang melanggar ketentuan hukum adat, seperti kawin lari, hamil di
luar nikah, dan perselingkuhan dalam rumah tangga. Mungkin ia akan
dihukum berupa keharusan membayar dalam bentuk uang (karena

496
melanggar aturan, undang-undang dsb) atau ditahan di penjara karena
melanggar adat. Ini yang para orang tua inginkan. Jika mereka merestui
cinta Niko dan Fitria, maka
Fitria tidak akan mengandung di luar nikah. Para orang tua itu
tidak memikirkan kebahagian anak-anaknya. Mereka hanya memikirkan
maskawin, mereka bersembunyi di balik tradisi untuk mendapatkan
maskawin. Tradisi apa yang mereka jalankan? Sesuai dengan hukum
adat perkawinan atau tidak jika meminta harta maskawin di luar batas
kemampuan orang? Ke manakah tokoh agama, tokoh adat. Apakah
mereka hanya menjadi penonton? Sudah saatnya mereka turun untuk
berperan. Sudah saatnya pemerintah, para tokoh agama, tokoh adat,
pemuka masyarakat lebih membuka diri terhadap masalah-masalah
sosial yang berkembang di masyarakat.

REFLEKSI
Sahabat, buku puisi esai Surat Cinta untuk Negeri Seribu Labirin
merefleksikan persoalan sosial dan budaya di tanah Papua yang masih
perlu mendapat perhatian pemerintah. Hal yang mendasar yang
harus dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah adalah pengerukan
sumber daya alam yang dilakukan pengusaha berduit dengan dalih
membangun untuk menyejahterakan masyarakat, namun sebetulnya
adalah mengeksploitasi alam untuk keuntungan korporasi besar. Ma­
sya­rakat asli menjadi terpinggir. Generasi muda membutuhkan uluran
bantuan pengawasan dari pihak terkait agar tidak salah arah dan
terjerumus ke hal yang tidak seharusnya menimpa mereka. Selain itu,
persoalan adat yang memberatkan masyarakat harus menjadi diskusi
bersama antara masyarakat dan pemerintah.

497
CERAH BUDAYA INDONESIA

498

Anda mungkin juga menyukai