Anda di halaman 1dari 286

Kumpulan Cerpen

Pengakuan
Jalak
Rarawe
Rosyid H. Dimas, dkk.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan


Kabupaten Lebak
i
Pengakuan Jalak Rarawe
© Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak

ISBN: 978-602-52709-5-6

All right reserved


Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penulis/penerbit.

Cetakan Pertama:
September 2019
Editor:
Siti Nuraisyah
Penyelaras:
Desma Yuliadi Saputra
Desain Sampul:
Uthera Kalimaya
Layout Isi:
Komunitas Aing

xviii + 268 hlm.: 14 x 21 cm

Diterbitkan pertama kali oleh


Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak
Jl. Siliwangi, Pasir Ona, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten 42313

ii
Kata Pengantar

Uthera Kalimaya
Manager Tim Penerbitan Festival Seni Multatuli 2019

Gunung Teu Meunang Dilebur


Lebak Teu Meunang Diruksak

Memandang Kabupaten Lebak secara umum


pada jarak yang tepat, membuat semuanya
terlihat jelas. Apa saja yang menjadi kekaya-
an Bumi Multatuli ini? Sepertinya tak bisa
dijabarkan dalam kata pengantar yang sing-
kat ini. Namun, kekayaan yang tak ternilai,
yang mesti dijaga dan dirawat adalah kekaya-
an sejarah dan budaya masyarakatnya.
Dari segi Sejarah, Kabupaten Lebak me-
miliki sejarah yang bisa dikatakan sangat
utuh. Jika kausedang iseng dan banyak waktu
luang, silakan ikuti jejak Kasundaan di
wilayah ini. Artefak sejarah masih ada di be-
berapa wilayahnya, semisal ciri makam yang
kami lihat di kampung yang sebentar lagi

iii
akan tenggelam oleh Waduk Karian. Situs-situs bersejarah baik
yang sudah tercatat maupun belum tercatat atau terbuka, kami
yakini melebihi angka yang dituliskan dalam catatan peme-
rintah Kabupaten Lebak.
Belum lagi kekayaan budaya yang dimiliki. Bukan hanya
budaya suku Baduy, tetapi budaya masyarakat Kabupaten
Lebak pada kesehariannya pun menjadi ciri bahwa Kabupaten
yang memiliki luas wilayah 3.427 km² ini, kaya raya dan pernah
berjaya pula di zamannya.
Pertanyaannya, mengapa Kabupaten yang memiliki 28 ke-
camatan, dengan 340 desa, dan 5 kelurahan ini sempat-sem-
patnya menyandang status daerah tertinggal sebelum akhirnya
berganti status tahun ini? Memang benar tertinggal atau diting-
galkan? Ini menjadi pertanyaan dengan jawaban yang hanya
dapat dijawab oleh para stakeholder di Kabupaten Lebak. Kami
tidak memiliki kapasitas untuk menjawabnya.
Festival Seni Multatuli melalui Tim Penerbitan, berusaha
membantu mendata kekayaan sejarah, budaya, dan kearifan
lokal melalui Undangan Menulis. Setelah tahun 2018 kami me-
milih gendre puisi bertema Mutatuli, tahun 2019 ini kami
mengambil cerita pendek (cerpen) dengan tema, yang pada
tahap persiapan, terus berubah-ubah. Tema menjadi bagian
yang paling menyita pikiran kami. Pintu masuk untuk para pe-
serta ini harus disiapkan dengan sungguh-sungguh.
Setelah berbagai perenungan dan perdebatan, kami se-
pakat mengambil pikukuh urang Baduy “Gunung Teu Meunang
Dilebur, Lebak Teu Meunang Diruksak” sebagai gerbang dan
jalan agar para peserta dapat masuk untuk menuliskan sejarah,
mitos, dan kearifan lokal masyarakat Kabupaten Lebak.
Di gerbang ini, kami tidak membubuhkan aturan peserta
wajib menuliskan segala sesuatu mengenai empunya pikukuh,
suku Baduy. Kami juga tidak mewajibkan mereka untuk melaku-

iv
kan riset dengan melihat dari dekat kehidupan urang Baduy.
Meskipun dari sisi kepariwisataan hal ini dapat menambah
panjang daftar kunjungan ke suku Baduy. Tapi kami menyilakan
peserta membebaskan diri dalam memandang tata nilai sejarah,
mitos, dan kearifan lokal yang ada di Kabupaten Lebak pada
umumnya. Termasuk di dalamnya suku Baduy itu sendiri. Bukan
hanya latar yang mesti berada di Kabupaten Lebak, tetapi ber-
bagai unsur pun harus sangat Lebak.
Banyak di antara para peserta memberikan keluhan bahwa
pintu itu terlalu berat dan terkunci rapat sehingga mereka ke-
sulitan untuk masuk. Kami menjawab mereka dengan nada can-
daan bahwa sesungguhnya kami tidak membuatkan daun pintu
dan kunci sebab kesucian hati adalah daun pintu dan kunci itu
sendiri.
Setelah melalui jangka waktu yang ditetapkan, akhirnya
terkumpul 85 naskah cerpen yang kami terima dari peserta
yang menjawab Undangan Menulis Cerpen dan 19 naskah cerpen
yang kami terima dari peserta praevent Workshop Menulis
Cerpen Festival Seni Multatuli 2019. Seluruh naskah yang sudah
kami sisihkan nama dan biodatanya, kami serahkan kepada 3
kurator, yaitu Arip Senjaya, S.Pd., M.Phil (Akademisi Univer-
sitas Sultan Ageng Tirtayasa); Ni Komang Ariani, S.Sos.,
M.Hum., (Sastrawan dan Akademisi Universitas Pamulang); dan
Zen Hae (Sastrawan). Para kurator bertugas memilih 20 naskah
dari Undangan Menulis Cerpen dan 10 naskah dari peserta
workshop Menulis Cerpen, hingga menghasilkan 1 naskah
terbaik. Kami meyakini kapasitas ketiga kurator sangat mum-
puni sehingga kami merasa tidak perlu meragukan keputusan
yang dibuatnya.
Oleh karena itu, buku kumpulan cerpen dengan judul “Peng-
akuan Jalak Ranggalawe” karya Rosyid H. Dimas, dkk., ini dapat
kami hantarkan dengan penuh keyakinan dan kebanggaan

v
bahwa inilah hasil kerja Tim Penerbitan selama Januari-Oktober
untuk Kabupaten Lebak dan sumbangan untuk Indonesia.
Pada pascaevent yang kami jadwalkan bulan Oktober, kami
akan menyebarkan kumpulan cerpen tersebut ke-250 TBM dan
perpustakaan se-Indonesia. Hal ini dilakukan agar buku ini
dapat dibaca dan diapresiasi oleh masyarakat dan para elit,
sehingga dapat menjadi rujukan untuk melihat saripati tata nilai
budaya lokal untuk nantinya dapat ditransformasikan dan di-
adopsi dalam perilaku dan tutur kata masyarakat beserta elit-
nya di zaman milenial ini. Sebab sesungguhnya, bahan perde-
batan yang sangat menggelitik hati sanubari adalah daya tang-
gap kita dalam menghadapi revolusi industri 4.0 menuju Indo-
nesia 5.0 yang menitikberatkan pada tata nilai humanisme dan
kualitas Sumber Daya Manusia yang berlandaskan kearifan
lokal.

Mari kembali ke nilai-nilai luhur warisan para leluhur kita.


Mupusti lain migusti.

Rahayu Ing Bhuana

Uthera Kalimaya
Manager Tim Penerbitan Festival Seni Multatuli 2019

vi
Catatan Kuratorial

Membaca 85 cerpen peserta Undangan


Menulis Cerpen dan 10 cerpen hasil loka-
karya menulis cerpen Festival Seni Multatuli
2019, kemudian kami harus memilih satu
pemenang dan 19 unggulan, bukan perkara
mudah. Pertama, waktu yang disediakan
panitia untuk melakukan pembacaan terha-
dap cerpen-cerpen itu cukup singkat. Hanya
seminggu. Kedua, menyatukan selera tiga
orang terhadap cerpen-cerpen yang ada
bukan pula perkara gampang, apalagi kami
masing-masing berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda. Namun, semua ini bu-
kanlah penghalang bagi kami untuk bekerja
secara sungguh-sungguh untuk memilih yang
terbaik dan layak dibukukan sebagaimana
terangkum dalam bunga rampai ini.

vii
Secara umum bolehlah kami katakan bahwa cerpen-cerpen
yang masuk dalam Undangan Menulis ini masih banyak yang
belum layak disebut sebagai cerpen. Cerpen yang baik akan
menunjukkan kemampuan bertutur si empunya cerita. Para
penulis cerpen ini sebagian besar masih gagal mentransformasi-
kan ide yang ada di kepala mereka menjadi sebuah cerita yang
bisa dinikmati pembaca. Kelemahan elementer dari beberapa
cerpen tersebut adalah si penulis belum menguasai tata tulis
yang sesuai kaidah bahasa Indonesia, meskipun kita telah me-
miliki Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)—vesri
terbaru dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang diper-
kenalkan sejak 1972. Masalah ini sangat mengganggu proses
pembacaan kami.
Kelemahan lain adalah para penulis itu banyak mengem-
bangkan ide “tamasya ke Baduy” sebagai jalan cerita, yang
menyebabkan cerpen-cerpen ini menjadi lemah secara tematik.
Selain itu, kadang para penulis ini kelewat ingin menjejali cerita
dengan kalimat-kalimat puitis, tetapi kalimat-kalimat puitis itu
tidak mendukung dan tidak mengalir bersama jalan cerita.
Kelemahan yang terakhir adalah jalan cerita yang dipaksakan,
mengenai sebab akibat takhayul atau ceramah moral yang lebih
terkesan sebagai opini daripada sebuah cerpen.
Beberapa cerpen yang tergolong lumayan, tidak kami pilih
karena tidak sesuai dengan tema Undangan Menulis kali ini.
Selain itu, ada juga beberapa cerpen yang sudah mengalir
dengan baik sampai pertengahan cerita, kemudian berlanjut
dengan pergantian sudut pandang yang membingungkan,
sehingga sulit mencernanya sebagai cerita yang utuh. Menulis
cerpen yang baik, tidak semata-mata membuat cerita yang
“wah”, tetapi bagaimana menyajikan cerita itu agar mudah di-
ikuti oleh pembaca. Serumit apa pun cerita yang hendak ditulis,
sedahsyat apa pun suasana yang hendak dibangun, si penulis

viii
harus memperhitungkan dan mempermudah pembaca untuk
mengikuti jalan cerita. Jika menggunakan bahasa daerah,
penulis wajib untuk memperhitungkan pembaca yang tidak
dapat memahami bahasa daerah tersebut dengan menyediakan
terjemahanannya.
Kecenderungan menggunakan bahasa daerah dalam des-
kripsi maupun dialog untuk mengejar lukisan yang realistis ten-
tang alam Banten bagi kami juga masalah tersendiri yang layak
diberi catatan tambahan. Banyak sekali cerpen dalam Undangan
Menulis kali ini yang mencoba membunyikan tema sebagai-
mana yang tercatat dalam maklumat Undangan Menulis. Ke-
arifan lokal masyarakat Baduy yang dinyatakan dalam ungkap-
an “Gunung teu menang dilebur, lebak teu menang diruksak”
benar-benar dinyatakan secara harfiah dalam cerpen, sehingga
sebuah cerpen menjadi serupa naskah advertorial sebuah pro-
gram. Kita sebenarnya membutuhkan cerpen yang berhasil me-
lebur apa yang tampak sebagai iklan menjadi semesta cerita.
Jika ia berhasil kita tidak perlu lagi mengait-ngaitkan cerita itu
dengan apa yang secara harfiah dinyatakan sebagai tema.
Cerpen yang baik memberi lebih dari apa yang dimaksudkan
pengarangnya.
Pada akhirnya, menulis cerpen adalah perkara mengolah
isi dan bentuk. Jika kita sudah bisa memastikan isinya—kata-
kanlah “kearifan lokal masyarakat Baduy”—tinggal kita mencari
bentuk yang pas untuknya. Sebuah cerpen yang mengusung
cerita tentang kearifan lokal bisa memilih bentuk apa saja,
sejauh bentuk itu diolah dengan keterampilan yang cukup. Ia
tidak perlu membebani dirinya dengan bentuk catatan etno-
grafis atau laporan antropologi—kecenderungan umum yang
muncul dalam cerpen-cerpen undangan kali ini. Kemungkinan
bentuknya bisa banyak sekali.

ix
Cerpen-cerpen yang kami pilih sebagai unggulan dalam
Undangan Menulis kali ini berusaha hadir sebagai dirinya sen-
diri. Artinya, fiksi adalah fiksi, bukan salinan dari catatan seja-
rah atau laporan antropologis atau catatan etnografis. Meski-
pun belum sepenuhnya berhasil menonjolkan watak fiksi se-
bagai alternatif dari narasi kehidupan kita sehari-hari, cerpen-
cerpen ini sudah berusaha hadir sebagai cerita yang bisa
dinikmati. Bahwa mereka masih dirundung sejumlah masalah—
sebagaimana telah kami paparkan di paragraf-paragraf sebe-
lumnya—adalah kenyataan yang mestinya disadari oleh para
penulis. Bahwa segi keperajinan (craftsmanship) pada penulis
kita masih perlu ditingkatkan.
Yang kami pilih sebagai pemenang dalam Undangan Me-
nulis kali ini adalah cerpen nomor 76 “Pengakuan Jalak Rarawe”
karya Rosyid H. Dimas. Cerpen ini dituturkan dengan sudut pan-
dang “aku”, makhluk gaib yang mendampingi Prabu Pucuk Umun,
wakil Kerajaan Sunda yang berkuasa di Banten Girang. Meskipun
ia telah membantu Pucuk Umun dengan berbagai cara, akhirnya
kalah juga oleh siasat Sultan Hasanudin dari Kesultanan Banten.
Kekalahan ini yang membuat Pucuk Umun dan pengikutnya
menyingkir ke Banten Kidul yang kelak menurunkan orang-
orang Baduy.
Secara umum takluknya Kerajaan Sunda oleh Kesultanan
Banten sudah menjadi sejarah sekaligus mitos yang dikenal
masyarakat Banten. Namun, cerpen ini mencoba menampilkan
semacam fiksi sejarah dengan sudut pandang yang sangat
pribadi sehingga sejarah itu menjadi sangat dekat dengan kita,
apa yang menjadi sejarah sebuah kaum berubah menjadi seja-
rah pribadi. Kita menikmati narasi sejarah tak ubahnya men-
dengar pengakuan seorang yang kalah dan mencoba memberi
harga pada apa yang masih tersisa.

x
Meski dituturkan dari sudut pandang yang pribadi, cerpen
ini tidak kehilangan alusinya terhadap fakta-fakta sejarah yang
ada dan alegorinya terhadap kehidupan kita hari ini. Terutama
sifat koersif paham keagamaan yang cenderung merisak kaum
minoritas—dalam konteks ini masyarakat Baduy. Dengan watak
seperti ini cerpen “Pengakuan Jalak Rarawe” berhasil bermain
sebagai versi bawahan atau “subversif” atas sejarah atau mitos
tentang masyarakat Baduy yang dikenal selama ini. Ia memain-
kan watak ganda dan bolak-balik antara fiksi dan sejarah.
Kami kira masalah yang belum sangat lebur dalam cerpen-
cerpen yang tidak menjadi pemenang kali ini adalah mereka
masih merusak tokoh-tokoh dan alur dengan tujuan pesan se-
hingga banyak tokoh kehilangan ketebalan manusia. Secara ke-
betulan tema lomba kali ini adalah sebuah kalimat pesan dari
kearifan lokal masyarakat Baduy. Tanpa pembacaan transforma-
tif dan kreatif atas kearifan lokal tersebut sebuah cerpen akan
berhenti sebagai perpanjangan tangan kalimat pesan. Tokoh
cerita mengucapkan pesan secara harfiah dalam dialog-dialogn-
ya. Padahal, pesan sebuah cerpen tidak identik dengan kalimat.
Pesan dari tema itu dapat dibangun melalui detail deskripsi
seperti pada cerpen “Jarong Kalimaya”. Deskripsi adalah sebuah
gambar dan gambar yang baik mengandung cerita, kemungkinan,
keluasan, kedalaman, ketinggian, tanpa kalimat pesan.
Kami menganjurkan para peserta untuk memperluas
wawasan kesusastraan dengan membaca cerpen-cerpen karya
Kuntowijoyo, Budi Darma, Nura Amin, Leo Tolstoy, Roberto
Bolaño, Gabriel García Márquez, Ben Okri, Franz Kafka, Rudyard
Kipling, Émile Zola, Feng Jicai, Anton Chekov, Edgar Allan Poe,
Jorge Luis Borges dan lain-lain. Para cerpenis kelas dunia ini
ternyata menyajikan masalah-masalah besar secara deskriptif
dan ringan. Ringan tidak berarti tanpa tema besar dan tema-
tema besar sebenarnya inspiratif. Hampir semua cerpen peserta

xi
Undangan Menulis kali ini berlomba-lomba menyajikan penge-
tahuan tentang Lebak, Baduy, Banten dan bukan tentang
manusia.
Pada intinya kami melihat bahwa wawasan kesusastraan
sangat menentukan dalam penulisan cerpen. Pengarang yang
memahami dengan baik sejarah, filsafat, ilmu budaya, teori sastra
dan lain-lain tidak otomatis berhasil dalam menulis cerpen—
jika wawasan yang dimaksud tidak setinggi gunung dan selebar
lembah. Wawasan kesusastraan adalah wawasan pergaulan
dengan karya sastra—dalam hal ini cerpen—terbaik dari ber-
bagai belahan dunia. Bahkan, pergaulan dengan bidang seni
lainnya dan ilmu pengetahuan.
Akhirulkalam, selamat untuk pemenang dan unggulan yang
karya mereka dimuat dalam bunga rampai ini. Semoga pada
kesempatan berikutnya kualitas cerpen-cerpen yang masuk akan
semakin baik. Harapan ini sebenarnya membuka peluang baru.
Yang diperlukan bukan hanya undangan menulis atau sayem-
bara, tetapi juga lokakarya penulisan untuk para penulis muda.

Lebak, 12 Agustus 2019

Arip Senjaya
Ni Komang Ariani
Zen Hae

xii
Pemenang:
Cerpen “Pengakuan Jalak Rarawe”
karya Rosyid H. Dimas

Nomine Terpilih Undangan Menulis


Cerpen (tanpa ranking):

1. Ade Ubaidil - Beruk Gantarawang


2. Alda Muhsi - Kemelut Pasca-Seba
3. Alif Nurul Fazri - Bukit Keramat yang Tamat
4. Andi Makkaraja - Api di Tangan Perempuan Baduy Itu
5. Anggarian Andisetya - Seba Jiwa
6. Annisa Anita Dewi - Terkisah Antara Leiden dan Banten
7. Apip Kurniadin - Pasir Tanjung
8. Daniel Yudha Kumoro - Satu Halaman Buku Lagi, Kutuntaskan
Kesentimentalanmu
9 . Eka Nurul Hayat - Aku Tidak Bisa Pulang Malam Ini
1 0 . Fyan F. Fendi - Bardi Mencari Dirinya di Aliran Sungai
1 1 . Iswadi Bahardur - Hutan Lembah yang Menyusup ke Kepala
Asep Kureng Segeral Air Keruh
12 . Kevin Alfiarizky - Pohon Durian
13 . Sri Utami - Manikam Sepuluh
14 . Rahmat Heldy HS - Rambi, Kakek Sajra dan Burung-Burung
Cangak

xiii
15. Rori Surosowan - Segelas Air Keruh
16 . Supadilah - Mimpi Jaro Kasmin
17. Udiarti - Tubuh Ayi
18 . Wahyu Rusnanto - Jarong Kalimaya
19 . Wisnhu Bagas Murtolo - Jaro

10 Naskah/Nomine Terpilih Peserta Workshop Menulis Cerpen:


1 . Ahmad Khudori – Mencari Kalung Hitam untuk Bayi Terakhir
2. Dede Nurhalimah – Dilema
3. Hj. Alpinah - Hibatku Untukmu Cahaya dan Kalimaya
4. Junaedah – Ketupat Qunut Terakhir
5. Mardiana – Nyai Putri dan Harta Keramat Gunung Malayu
6. Muhammad Nanda Fauzan – Bagaimana Tando Melintas di
Pikiran Orang-orang Tahun 2120
7. Nurbeti – Bantal Kapuk Cadas Ngampar
8. Salwa Rubia Darussalam – Genetika Lara
9 . Saroh Jarmin – Memasung Cinta Ramadan
1 0 . Silvia Zahotun Nisa – Dosa di Tanah Pancer Bumi

xiv
Daftar Isi

Kata Pengantar iii


Catatan Kuratorial v ii
Pen gumuma n xiii
Daftar Isi xv

Cerpen Festival Seni Multatuli 2019


Pengakuan Jalak Rarawe
Rosyid H. Dimas 1

Beruk Gantarawang
Ade Ubaidil 11

Kemelut Pasca-Seba
Alda Muhsi 19

Bukit Keramat yang Tamat


Alif Nurul Fazri 27

xv
Api di Tangan Perempuan Baduy Itu
Andi Makkaraja 35

Seba Jiwa
Aras Andisetya 41

Terkisah Antara Leiden dan Banten


Annisa Anita Dewi 49

Pasir Tanjung
Apip Kurniadin 59

Satu Halaman Buku Lagi,


Kutuntaskan Kesentimentalanmu
Daniel Yudha Kumoro 67

Aku Tidak Bisa Pulang Malam ini


Eka Nurul Hayat 75

Bardi Mencari Dirinya di Aliran Sungai


Fyan F. Fendi 85

Hutan Lembah yang Menyusup


ke Kepala Asep Kureng
Iswadi Bahardur 95

Pohon Durian
Kevin Alfiarizky 1 07

Rambi, Kakek Sajra,dan Burung-Burung Cangak


Rahmat Heldy Hs 115

xvi
Segelas Air Keruh
Rori Surosowan 125

Manikam Sepuluh
Sri Utami 133

Mimpi Jaro Kasmin


Supadilah 139

Tubuh Ayi
Udiarti 14 7

Jarong Kalimaya
Wahyu Rusnanto 15 5

Jaro
Wisnhu Bagas Murtolo 163

Cerpen Peserta Workshop 1 73

Mencari Kalung Hitam untuk Bayi Terakhir


Ahmad Khudori 175

Dilema
Dede Nurhalimah 181

Hibatku untukmu Cahaya dan Kalimaya


Hj. Alpinah 189

Ketupat Qunut Terakhir


Junaedah 199

xvii
Nyai Putri dan Harta Kramat Gunung Malayu
Akin Baong 207

Bagaimana Tando Melintas


di Pikiran Orang-orang Tahun 2120
Muhammad Nanda Fauzan 215

Bantal Kapuk Cadas Ngampar


Nurbeti 22 3

Genetika Lara
Salwa Rubia Darussalam 231

Memasung Cinta Ramadan


Saroh Jarmin 241

Dosa di Tanah Pancer Bumi


Silvia Zahotun Nisa 251

Biodata Penulis FSM 2019 25 9


Biodata Peserta Workshop 26 5

xviii
Pengakuan Jalak Rarawe

Rosyid H. Dimas

eharusnya saat itu aku memintamu mem-


S bawa pergi pengikut yang tersisa ke selatan
dan tidak memintamu untuk menantang
Maulana Hasanudin. Tapi kesombongan
benar-benar telah mengambil alih nuraniku,
Pucuk Umun. Aku terlalu meremehkan anak
Syarif Hidayatullah itu hingga melalaikan
wahyu yang sebenarnya telah diturunkan
Batara Tunggal kepadaku bahwa Hasanudin
kelak akan menjadi Raja Pakuan.
Saat Kerajaan Sunda—kerajaan utama
kita—runtuh, Batara Tunggal memberikanku
wahyu tentang nasibmu dan para pengikut-
mu di Banten Kidul. Seseorang akan datang
ke Pakuan dan menggantikanmu sebagai
raja. Ya, dia Hasanudin. Dia akan menyebar-
kan agama yang dibawa ayahnya dan dianut
oleh orang-orang di Kesultanan Banten.

1
Setelah mendapat wahyu itu, seketika sesuatu merambah dada-
ku. Barangkali karena aku masih marah atas kekalahan Kerajaan
Sunda, sehingga aku tidak menyerap inti dari wahyu yang
diberikan Batara Tunggal, yaitu untuk menjaga keyakinan yang
telah diturunkun oleh para leluhur kita. Aku justru terjebak
dengan pikiranku sendiri. Yang kupahami dari wahyu itu justru
hanya sekadar kulit.
Begini. Jika Hasanudin menjadi raja di sini sebagai wakil
dari Kesultanan Banten, itu berarti kita tunduk dengan serta
merta. Sedangkan, aku masih tidak menerima kekalahan kera-
jaan kita. Aku tidak ingin tunduk begitu saja kepada Hasanudin
dan menerima ajaran agamanya. Karena tidak ingin kalah se-
belum berperang, maka aku ingin menjajal kesaktian anak
ingusan itu. Saat itu aku berpikir barangkali dengan mengalah-
kannya, kita bisa mengubah ketentuan Batara Tunggal. Bukan-
kah kau sebagai keturunan Batara Cikal memang punya andil
menentukan kelangsungan kehidupan di dunia ini? Serta se-
bagai yang ditugaskan untuk menyertaimu meski kita berbeda
wujud, dengan penuh keyakinan aku percaya kalau kita akan
menang melawan Hasanudin. Kesaktian yang kuberikan kepada-
mu tentu lebih hebat ketimbang dia. Bukankah karena kesaktian
itu juga kau akhirnya diangkat sebaga wakil dari Kerajaan Sunda
dengan menjadi raja di Pakuan, di Banten Girang? Oleh karena
keyakinanku, aku akhirnya memintamu untuk menantang
Hasanudin.
Hari itu Hasanudin tiba di Pakuan. Dia menghadap kepada-
mu dengan ditemani dua orang pembantunya yang mengenal-
kan diri dengan nama Agus Jo dan Mas Lei. Kautahu, aku me-
nyeringai saat melihat perawakan anak itu. Dalam benakku,
aku percaya bisa mengalahkan dia dengan sangat mudah. Sete-
lah berbasa-basi, Hasanudin lalu mengatakan maksud ke-
datangannya ke Pakuan. Ya, dia memintamu menyerahkan

2
kekuasaan dan tunduk kepada Kesultanan Banten serta me-
meluk agamanya. Maka, saat dia selesai dengan kata-katanya,
aku segera memintamu untuk membuat kesepakatan bahwa
kau bersedia tunduk kepadanya dengan syarat dia bisa menga-
lahkan kesaktianmu.
Hasanudin kemudian berunding dengan kedua pembantu-
nya. Mereka berunding cukup lama. Kupikir mereka mulai
ketakutan dengan syarat adu kesaktian itu. Aku kegirangan saat
Hasanudin akhirnya menerima tantangan yang kita buat.
Kautahu, diam-diam hatiku bergejolak. Diam-diam aku ingin
membunuh anak Syarif Hidayatullah itu untuk membalaskan
kekalahan kerajaan kita. Tapi, dasar anak sialan, saat kau me-
minta adu tanding di gelanggang, dia justru meminta adu ke-
saktian dengan sabung ayam. Katanya, dia tidak ingin ada darah
yang mengalir di Pakuan sebab ayahnya menginginkan per-
damaian. Anak itu benar-benar meremehkanmu, Pucuk Umun.
Namun, meski begitu, kita akhirnya menyepakati permintaan
Hasanudin. Meski aku tidak bisa mencabik-cabik tubuhnya, tapi
aku masih bisa mempermalukannya di hadapan banyak orang.
Maka, sesuai permintannya agar pertandingan kita disaksikan
banyak orang, kau lalu menyuruh bawahanmu untuk menye-
barkan berita adu tanding itu ke seluruh penjuru Banten Kidul.
Tibalah hari yang telah kita sepakati untuk melakukan adu
kesaktian. Kita berkumpul di sebuah tempat lapang yang di-
kelilingi pepohonan. Di tengah-tengah tempat itu ada sebuah
arena sabung ayam yang biasa digunakan orang-orang untuk
melakukan taruhan. Rupanya banyak yang tertarik dengan adu
kesaktian yang kita buat. Kupikir mereka ingin menyaksikan
rajanya, yaitu kau, beradu ilmu dengan utusan dari Kesultanan
Banten. Kerumunan orang-orang itu membentuk lingkaran
mengelilingimu dan Hasanudin. Mereka semua memakai baju
jamang sangsang dan ikat kepala berwarna putih. Saat itu kau

3
menenteng sebuah patung ayam. Itu patung yang kita ciptakan
bersama pada malam hari sebelum pertarungan dihelat. Dengan
tangan kosongmu—tentu saja dengan bantuan ilmuku—kau
membentuk besi baja paling keras di Pakuan menjadi sebuah
patung ayam jantan.
Karena kau adalah tuan rumah, Hasanudin memintamu
melemparkan ayam terlebih dahulu. Maka kugerakkan tangan-
mu. Patung ayam besi itu terpelanting ke dalam gelanggang
sabung. Aku melihat orang-orang kebingungan saat melihat
yang kaulempar hanyalah sebuah patung besi. Kemudian mulai-
lah aku beraksi. Melalui mantra yang kaubaca, aku melesat
masuk ke dalam patung yang tergeletak di tanah itu. Patung itu
kemudian berkelejatan, lalu berdiri sebelum akhirnya menge-
luarkan suara kokok yang melengking. Patung yang sudah
kurasuki itu telah sepenuhnya berubah menjadi seekor ayam
jantan yang gagah dan bertaji panjang. Sontak orang-orang
bersorak-sorai. Dengan gegap gempita mereka mengelu-elukan
namamu, “Hidup Prabu Pucuk Umun!”
Aku, di dalam tubuh ayam, berdiri dengan membusungkan
dada. Kau memperkenalkan namaku kepada semua orang. “Per-
kenalkan, dia adalah Jalak Rarawe,” katamu. Lalu namaku di-
teriakkan oleh orang-orang. Namaku melengking di udara. Saat
itu aku mengira kalau Hasanudin akan gentar, tapi ternyata
tidak. Dia masih tetap bersikap tenang dengan tangan ber-
sedekap di depan dada. Dia lalu melepas kain serban putih yang
melilit lehernya. Dengan satu sentakan tangannya, kain itu ber-
ubah menjadi seekor ayam jago berwarna putih bersih. Dia
memperkenalkan ayam itu dengan nama Jalak Putih. Sial,
rupanya dia memiliki pengikut yang wujudnya sama sepertiku.
Saat melihat ayam itu melompat masuk ke dalam gelanggang
sabung, kulihat orang-orang mulai mempertimbangkan ke-
saktian Hasanudin. Mata mereka seperti sedang bertanya,

4
siapakah di antara kau dan Hasanudin yang paling sakti dan
pantas memimpin Pakuan?
Tanpa basa-basi aku segera berlari menyongsong Jalak
Putih. Aku memasang kuda-kuda beberapa saat sebelum akhir-
nya melompat mengarahkan taji ke kepalanya. Percobaan per-
tamaku gagal. Jalak Putih berhasil mengelak dan menangkis
tajiku dengan tajinya. Kami lalu beradu pandang berusaha men-
cari titik celah masing-masing. Bulu-bulu kami mengembang
seperti bunga sedang mekar. Ketika aku menemukan titik incar-
an untuk menancapkan taji, tiba-tiba Jalak Putih melompat dan
menendang dadaku. Aku terpelanting. Sebenarnya taji Jalak
Putih saat itu berhasil mengenaiku. Namun, karena tubuhku
terbuat dari besi, maka tidak ada luka gores sedikit pun yang
timbul di kulitku. Aku berdiri dan segera menyongsong Jalak
Putih kembali. Kali ini aku mengincar bagian bawah lehernya.
Aku melompat. Jalak Putih sempat menangkis. Tapi, taji pan-
jangku yang seperti anai-anai tetap berhasil menebas tubuhnya.
Dia tersungkur di atas tanah. Bagian bawah lehernya berdarah-
darah. Sorak-sorai penonton lalu kembali memenuhi udara.
Jalak Putih bangkit. Dia kembali memasang kuda-kuda. Aku
bersiap menerima serangannya. Kami saling menyongsong dan
melancarkan serangan. Taji kami beberapa kali beradu dan
mengenai sasaran. Tubuh besiku tentu saja tidak bisa ditembus
taji Jalak Putih. Sementara itu, tajiku banyak menimbulkan luka
di tubuhnya. Aku di atas angin. Aku benar-benar yakin bisa
mengalahkan Jalak Putih dan membuat Hasanudin pulang
dengan membawa bunga malu.
Sebelum Jalak Putih kembali memasang kuda-kuda, aku
sempat melirik kepada Hasanudin. Aku ingin menyaksikan air
mukanya berubah layu. Tapi dasar bocah, rupanya dia tetap
memasang wajah tenang. Saat itu kulihat ia mendongakkan
kepala beberapa saat. Wajahnya dijatuhi cahaya matahari yang

5
menerobos rimbun pepohonan. Dia lalu memandang Jalak
Putih yang sedang mengumpulkan tenaga. Mulut Hasanudin
komat-kamit. Entah mantra apa yang dia rapalkan. Tapi, yang
jelas, saat itu luka-luka di tubuh Jalak Putih tiba-tiba mengering.
Jalak Putih yang sudah kehilangan tenaga lalu kembali mema-
sang kuda-kuda. Pijakan kakinya kuat dan pasti, seakan-akan
baru saja ingin memulai pertarungan.
Sebenarnya aku mulai sedikit gentar. Rupanya Hasanudin
bukan orang sembarangan. Meski begitu, aku tetap yakin bisa
mengalahkannya. Aku lalu kembali memasang kuda-kuda dan
berhadap-hadapan dengan Jalak Putih. Kali ini aku mengincar
mata kanannya. Aku ingin membuat dia picek. Kami lalu me-
lompat bersamaan. Taji kami beradu. Jalak Putih kembali me-
lompat mengarahkan tajinya ke kepalaku, tapi serangannya
berhasil kutepis. Dia melompat lagi. Sungguh, gerakan Jalak
Putih saat itu menjadi sangat gesit sampai aku kewalahan
menyambut dan menangkis serangannya. Aku tidak tahu pada
lompatan ke berapa ketika taji Jalak Putih akhirnya mengenai
kepalaku. Benturan antara tengkorak kepalaku dan taji Jalak
Putih menimbulkan bunyi seperti batu yang saling diadu.
Kepalaku saat itu benar-benar terasa seperti dijatuhi sebuah
gunung. Bersamaan dengan itu, tubuhku terpelanting keluar
dari patung ayam yang kurasuki. Ayam yang sebelumnya hidup
dan gagah itu kini tergeletak di tengah arena sabung. Wujudnya
berubah kembali menjadi patung besi.
Di tengah arena sabung itu—karena berhasil memenangkan
pertandingan—Jalak Putih juga kembali berubah wujud menjadi
kain serban. Hasanudin lalu mengambil kain serbannya. Saat
itu aku akhirnya sadar bahwa sabung ayam ini rupanya akal-
akalan Hasanudin. Dengan disaksikan banyak orang, itu mem-
buat berita penyerahan tahtamu akan lebih mudah tersebar.
Orang-orang yang datang di arena sabung mau tidak mau harus

6
menerima agama yang dibawa Hasanudin. Itu artinya, Pucuk
Umun, orang-orang kanekes pengikut agama Adam akan lenyap.
Maka aku teringat wahyu yang telah diberikan oleh Batara Tung-
gal sebelumnya. Aku lalu menangis. Beberapa kali aku memohon
ampun kepada Batara Tunggal karena telah berusaha mengubah
takdirnya. Saat sedang bersedu-sedan, tiba-tiba aku mendengar
bisikan. Suara itu memintaku untuk membawamu pergi ke selat-
an. Sebab aku yakin kalau itu suara Batara Tunggal, maka segera-
lah kuberitahukan hal itu kepadamu.
Akan tetapi, bukankah kita hanya akan menjadi pengecut
karena melanggar perjanjian dengan Hasanudin? Itu yang kau-
tanyakan kepadaku. Aku sebenarnya setuju dengan ucapanmu.
Namun, jika kita tidak pergi, orang-orang kanekes akan lenyap
seluruhnya. Akhirnya, aku menemukan satu cara yang bisa
menjauhkan kita dari sifat pengecut. Aku lalu memintamu me-
nantang Hasanudin untuk adu kesaktian lagi. Kali ini aku ingin
dia bisa menemukan dan menangkapmu. Jika dia berhasil, kau
akan tunduk kepadanya. Hasanudin menyanggupi tantangan-
mu. Kau lalu membaca sebuah mantra. Dengan mantra itu aku
masuk ke dadamu dan mengubahmu menjadi seekor burung
beo. Kita yang telah bersatu dan berubah menjadi seekor
burung segera terbang melesat ke selatan. Sesuai kesepakatan,
sebelum mencari, Hasanudin menunggu kita lenyap dari pan-
dangannya terlebih dahulu.
Kita lebih banyak terbang menembus hutan ketimbang ber-
ada di ketinggian udara. Itu memang siasatku. Sebab di hutan,
pohon-pohon akan mempersulit pandangan Hasanudin. Kita
berhenti di sebuah pohon besar, bertengger pada dahannya
yang terlindung oleh rimbun daun-daun. Di sanalah aku mem-
beritahumu bahwa di selatan ada rakyat yang masih setia ke-
padamu dan menyembah Batara Tunggal. Ke sanalah kita akan

7
pergi untuk mempertahankan agama yang telah diturunkan
oleh para leluhur.
Saat sedang bercakap-cakap, tiba-tiba hidungku meng-
endus bau yang tidak asing. Itu bau tubuh Jalak Putih. Aku
sudah mengenali bau tubuhnya saat bertarung di arena sabung.
Tapi, Pucuk Umun, rupanya dia tidak sendirian. Di belakangnya
masih ada belasan mahluk yang berwujud sepertiku. Se-
konyong-konyong kita melompat dari dahan dan kembali ter-
bang. Kita masuk ke dalam jantung hutan. Di sana pepohonan
semakin besar dan rimbun. Beberapa cahaya matahari menye-
linap melalui celah daun dan membuat garis cerah menjuntai
ke tanah.
Saat itu, Pucuk Umun, aku berpikir kalau kita tidak mungkin
bisa lolos dari kejaran Jalak Putih dan kawan-kawannya. Sebab,
dalam wujud seekor beo kita tetap akan diserang lelah. Lagi
pula teman-teman Jalak Putih pastilah tidak sedikit. Maka aku
meminta petunjuk dari Batara Tunggal. Sebuah suara lalu kem-
bali menggaung di telingaku. Suara itu menyuruh kita bersem-
bunyi di balik pohon besar untuk kembali berubah ke wujud
semula lalu masuk ke dalam tanah. Maka turunlah kita di balik
sebuah pohon beringin yang daun-daunnya seperti petapa. Saat
kaki kita menapak tanah, seketika itu kita terpisah dan berubah
kembali ke wujud semula. Kausegera membaca mantra. Mulut-
mu komat-kamit. Beberapa saat kemudian kita lesap amblas ke
dalam bumi.
Dari dalam tanah, kita mendengar Jalak Putih dan teman-
temannya saling melempar pertanyaan. Dimanakah beo Pucuk
Umun? Aku yakin mereka berusaha menghidu aroma tubuh
kita. Tapi itu sia-sia belaka. Sebab tanah mampu memudarkan
segala aroma tubuh. Keberuntungan benar-benar memihak
kita, Pucuk Umun. Batara Tunggal melindungi kita. Alih-alih

8
Jalak Putih berusaha mencari ke dalam tanah, dia justru meng-
ajak teman-temannya kembali kepada Hasanudin.
Kita keluar menyembul ke permukaan setelah memastikan
bahwa Jalak Putih dan teman-temannya benar-benar telah
pergi. Kita lalu kembali menjelma burung beo dan terbang ke
selatan keluar dari hutan. Sampailah kita di atas hamparan pasir
berwarna keemasan yang pada saatnya nanti disebut dengan
Cikeusik. Rupanya di sanalah rakyat yang dimaksud oleh Batara
Tunggal, Pucuk Umun. Kita lalu turun dan kembali ke wujud
semula. Saat melihatmu, orang-orang itu segara berhamburan
menghampirimu dan menghaturkan sembah-sujud.
Kau lalu membawa mereka pergi ke tempat yang lebih jauh,
bersembunyi dari jangkauan kekuasaan Hasanudin. Bersama
mereka, di tempat yang terpencil, kau mendirikan sebuah per-
kampungan kecil. Kampung itu kauberi nama Cikartawana. Saat
itulah status prabu yang kausandang akhirnya tanggal. Kau
berubah menjadi seorang pemimpin suku yang pada suatu hari
nanti, oleh para pengikutmu, disebut dengan pu’un.
Begitulah rupanya takdir yang ditentukan Batara Tunggal,
Pucuk Umun. Kau akhirnya menjadi leluhur bagi para pu’un
orang kanekes. Namun, sungguh, aku mengakui kesalahanku,
Pucuk Umun. Seharusnya saat itu aku memintamu membawa
pergi pengikut yang tersisa ke selatan dan tidak memintamu
untuk menantang Maulana Hasanudin. Andai saja kesombong-
an tidak merasukiku, tentu orang-orang kanekes masih ber-
tebaran di bumi Banten. Demi Batara Tunggal yang memegang
seluruh napasku, Pucuk Umun, maafkanlah aku. (*)

9
10
Beruk Gantarawang

Ade Ubaidil

adrun tak henti-hentinya melompat ke sana


B kemari. Jari-jarinya yang kasar dan kokoh
sesekali mengeruk-ngeruk tanah di bawah
kakinya. Tak ayal kuku-kukunya kotor terisi
butir-butir pasir dan tanah. Ia kemudian me-
nendangi cangkul, mesin bor, kayu, besi-
besi, dan apa saja yang ada di dekatnya. Ia
tampak tak peduli dengan rasa sakit setelah
menendanginya. Suasana gaduh itu meng-
usik seorang mandor yang sedang berteduh
di sebuah pohon rindang. Akhirnya, ia datang
menghampiri kerumunan para buruh di
bawah sana.
“Bagaimana awalnya dia bisa begini?” ia
tampak begitu geram. Matanya terbuka lebar
dan alisnya berkerut meminta penjelasan
kepada Arief, teman kerja Badrun. Namun,
ia jelas tak mengetahui mengapa hal itu bisa

11
terjadi. Ia hanya melihat Badrun turun dari mobil beko, kencing
di semak-semak, menyalakan sebatang rokok, menghisapnya
kuat-kuat, lalu semua terjadi begitu saja: Badrun seperti men-
jelma seekor beruk jantan. Bola matanya pun mendadak merah.
Kemudian kini, ia tengah berguling-guling di tanah kerukan.
Gilanya, ia memakan tanah itu lalu menyemburkannya ke wajah
si Baplang!
“Berengsek! Singkirkan dia dari wajahku!”
Lengan Badrun yang kekar lekas dipegangi teman-teman-
nya yang tadi sedang ngopi. Ini hari baru menjelang siang,
matahari pun sedang terik-teriknya. “Keparat betul Si Badrun,
benar-benar ganggu waktu kita ngaso saja!” dengus Iwan, teman
Badrun yang berkepala plontos. Waktu istirahat adalah barang
langka bagi mereka. Apalagi kalau sudah ada mandor berkumis
baplang itu. Ia akan sangat detail menilai setiap pekerjaan yang
dilakukan. Di matanya, semua hal yang dikerjakan buruhnya
adalah kesalahan.
“Kau yang tak lulus SD, apa kauyakin begitu cara meme-
gang cangkul yang benar? Bapakmu, kan, buruh juga, kaumesti
banyak belajar dari dia,” ucapnya suatu kali pada Badrun. Saat
itu kejadiannya, kalau tak salah ingat, lima hari lalu di bawah
bukit. Badrun diam saja, memang. Tetapi, ia lekas melemparkan
cangkulnya itu ke sembarang arah, lalu dengan lagak sok berani
mendatangi si Baplang. Ia tidak melakukan apa-apa kecuali
menatap si Baplang lekat-lekat.
“Percuma, kau tidak akan berani melakukan apa-apa
padaku. Lihat bapakmu, sudah berapa tahun ia bekerja menjadi
buruh. Sebaiknya kaubelajar tata krama darinya.” Mendengar
kalimat itu, ingin rasanya aku menarik kumisnya yang lebat itu
hingga tercerabut dari atas bibirnya.
Badrun dibawa ke sebuah gubuk. Di mata si Baplang, Badrun
kembali baik-baik saja seperti semula. Ia berpikir kalau Badrun

12
hanya sedang mempermainkan dirinya. Dengan sisa-sisa pasir
yang masih melekat di wajahnya, ia lekas ke gubuk untuk me-
labrak Badrun. Namun, kali ini dengan cara mengendap-endap.
Ia tampak betul seperti hansip yang ingin menangkap basah
maling jemuran.
Aku tak tahu benar apa yang menimpa Badrun. Pagi tadi,
semua tampak normal-normal saja. Kami mengobrol, ia mem-
buatkan kopi, menyodorkan rokok pada teman-temannya dan
menghisap bersama sebelum jam kerja dimulai. Aku masih me-
mikirkan hal apa yang membuatnya kesurupan? Apa karena ia
merusak sesuatu? Atau karena kencing sembarangan di semak-
semak tadi?
Entahlah, yang jelas, kami memang berada di tempat yang
boleh dibilang terkenal mistis. Banyak sekali perusahaan yang
kemudian mundur tak jadi ambil proyek ini. Berbeda dari me-
reka, pemilik perusahaan kami memang kelewat keras kepala.
Sekalipun mesti menghadapi demo masyarakat setempat.
“Ini akan jadi lahan basah untuk meraup banyak keuntung-
an. Daerah ini seksi bila dijadikan tempat wisata dan perumah-
an. Kalian mesti pandai melihat peluang,” ucap manajer per-
usahaan suatu hari.
Ada satu-dua pegawainya memasang wajah resah. Mereka
tampak ragu ingin membuka mulut dan menyela atasannya
bicara. Tapi melihat gerak-geriknya, si Manajer seolah tahu
apa yang hendak mereka sampaikan. “Kalian tak perlu khawatir
soal demo-demo itu, bagi-bagikan uang atau makanan pada
mereka, mulut mereka pasti bungkam. Biar saya yang urus.
Tugas kalian kerja! Dan kamu!” ia menunjuk para mandor,
“kamu juga, pastikan para buruh ini bekerja dengan benar dan
tepat waktu. Kalau saya dengar ada yang tidak serius bekerja,
kalian lihat saja konsekuensinya nanti.”

13
Begitulah mengapa kemudian aku bisa berada di sini. Aku
tidak berani mendekat atau memberi kode kepada Badrun kalau
Si Baplang sedang berjalan ke arahnya—meskipun aku tak paham
Badrun betul kesurupan atau hanya sandiwara.
Hal yang terjadi kemudian justru di luar dugaan. Siang itu,
tak ada pertanda apa-apa. Kami semua yang berada di tempat
kerukan panik. Sebab Iwan, Jali, dan Arief yang tadi membo-
yong Badrun ke gubuk kini juga kesurupan. Bersamaan! Tingkah-
nya tidak jauh beda dengan yang terjadi pada Badrun sebelum-
nya. Badrun yang masih terlihat lemas berusaha bangkit meng-
hidari mereka. Ketiganya sangat liar dan menggila. Gubuk bambu
mereka bergoyang-goyang, bahkan Jali menaiki atapnya. Iwan
berjingkrak-jingkrak lalu memanjat pohon kelapa sembari se-
sekali menggaruk-garuk kepala. Sementara Arief, dia berteriak
hingga melengking lalu melempari batu ke segala arah.
Suasana siang di tempat pengerukan benar-benar kacau-
balau. Ditambah, pagar seng yang dibuat mengitari tempat
kerja kami roboh, didorong oleh warga yang demo di luar. Se-
bagian dari kami tunggang-langgang mencari tempat persem-
bunyian. Kami takut menjadi sasaran kemarahan warga, meski
sebenarnya kami bekerja di sini pun terpaksa. Bekerja untuk
perusahaan ini karena memang tak ada pilihan lain. Kami mesti
bertahan hidup. Hanya melalui pekerjaan ini kami bisa men-
dapatkan gaji untuk membiayai keluarga kami.
Aku berlari ke sebuah semak-semak di bawah pohon
rindang yang tadi jadi tempat istirahat mandor. Bicara soal
mandor, ke mana si Baplang itu sembunyi? Aku sampai lupa
mengintai langkahnya. Aku juga sudah tidak bisa menemukan
Badrun. Yang masih jelas bisa kulihat dari gubuk ini hanya tiga
orang buruh yang kerasukan itu.

14
“Taneuh urang teu bisa dibeuli, indit dararia! Geura mabur
kaditu! Ulah coba-coba daratang deui kadie!”1 Teriakan warga
menyebar rata ke tempat galian. Mesin dan alat berat milik peru-
sahaan mereka lempari dengan apa pun yang mereka genggam.
Gubuk tempat tiga orang malang itu pun jadi sasaran empuk.
Ada warga yang membawa korek api dan bensin. Ingin aku ber-
lari keluar dari kampung ini, tetapi entah apa aku akan selamat
dari amuk mereka kalau sampai tertangkap. Warga akhirnya
menemukan Iwan, Jali, dan Arief yang bertingkah aneh. Tawa
warga kampung puas sekali, aku bisa mendengarnya jelas meski
dari jarak yang lumayan.
“Deuleu, kan, kokolot geh moal cicingeun. Kabeh nu di-
ruksak pasti aya balesanna!” 2 Tiga orang buruh malang itu
jadi bulan-bulanan warga. Mereka ditertawai dan dikelilingi
sambil dipermainkan. Aku kesal! Mestinya para keparat dari
perusahaan ada di sini. Mereka kudu merasakan bagaimana
berada dalam situasi genting macam ini!
Selagi aku menyusun strategi untuk kabur dari kepungan
warga, aku melihat si Baplang muncul dari dalam tanah galian.
Apa sejak tadi ia bersembunyi di sana? Kaki-kakinya membawa
ia berlari lintang-pukang ke tempat persembunyianku. Gawat,
warga bisa melihat ia berlari ke sini. Aku mesti bagaimana? Si
Baplang sudah makin dekat. Tubuhnya yang tambun membuat
langkahnya tak lebih lebar dari lompatan babi hutan.
“Di situ kau rupanya. Awas, minggir!” ia mendorongku dari
semak-semak. Sementara warga sudah mengendus persem-
bunyiannya. Tak ayal mereka melempari kami dengan batu dan
bambu. Aku berusaha menghindar, tetapi akhirnya habis juga
keberuntunganku.

1
“Bumi kami tak dapat dibeli. Pergilah kalian! Pergilah ke muasal kalian! Jangan coba-
coba kembali lagi ke sini!”
2
“Lihat saja, leluhur tidak akan tinggal diam. Semua yang dirusak pasti ada balasannya.”

15
Brukk!
Sebongkah batu mendarat di keningku. Sesaat suasana
hening. Lalu sewaktu kubuka mata semua tampak berputar.
Tangan kananku memegang dahi, lalu saat aku lihat, darah
segar mengalir darinya. Mataku kemudian kunang-kunang saat
warga sudah semakin dekat.
Namun, aku tak melihat ke mana Si Baplang pergi. Ke mana
ia lenyap? Terakhir aku hanya melihat ia melompat di semak-
semak. Sisanya hanya gelap yang kulihat. Kepalaku terasa berat
melebihi dua sak semen yang biasa kupanggul di punggung.
***

Aku terbangun dengan kepala yang masih pening. Suasana


rusuh dan riuh tadi seketika lenyap. Aku berada di sebuah
tempat yang sangat asing. Apakah ini akhirat? Sewaktu aku akan
berdiri, seseorang dari belakang menepuk bahuku.
“Darimana kau berasal? Apakah kau tersesat di sini?”
Aku tak mengenal ia siapa. Aku betul-betul terkejut men-
dapati wajahnya berwarna merah padam dengan tanduk di
kedua sisi kepalanya. Ke mana Badrun anakku? Anak satu-satu-
nya dan hanya ia yang aku miliki. Aku menyesal mengajaknya
bekerja ketika semestinya ia melanjutkan sekolah.
“Pergilah segera sebelum kau dan bangsamu binasa,” Lelaki
berjubah di hadapanku memperingati, setengah mengancam.
“Bagaimana caranya keluar dari sini? Aku sedang berada
di mana?”
“Dunia para roh. Negeri Gantarawang. Tempat makhluk-
makhluk terkutuk berkumpul. Hanya manusia dengan perilaku
dan pikiran tersesat yang bisa masuk ke sini dan tidak akan bisa
kembali.”
Aku sungguh takut. Bagaimana kalau aku terjebak di sini?
“Lihat kerumunan di bawah sana, lelaki itu datang ber-

16
samaan denganmu. Bawa ia pergi dari sini. Gerbang gantara-
wang ada di sana. Cukup menyebut nama Tuhanmu maka kau
akan bisa kembali ke tempatmu semula.”
Kutatap lekat-lekat, apakah lelaki yang ia maksud adalah
Badrun?
“Kauingat dengan empat manusia yang bertingkah aneh
siang hari itu?” Aku mengangguk. Menyimak kalimat apa yang
akan ia sampaikan berikutnya. “Para leluhur dan roh di Negeri
Gantarawang ini merasa terusik dengan keberadaan kalian.
Kalian para perusak, datang hanya untuk menghancurkan tempat
kami. Empat orang tadi hanya sebuah peringatan. Kalau kalian
tak lekas pergi maka para roh penghuni kampung ini akan murka.
Lekas sampaikan pada bangsamu itu!”
Aku menyesali mengapa sampai aku terlibat sejauh ini.
Dalam hati aku terus menyebut asma Allah. Lalu aku berlari ke
arah gerbang yang ia tunjukkan tadi. Lelaki yang berada di ke-
rumunan tadi aku yakin bukanlah Badrun. Ia tak pernah me-
makai pakaian serba hitam semacam itu di tubuhnya. Ia malah
mirip seekor beruk?
“Bapak! Bangun, Pak. Bapak!” Sayup-sayup aku mendengar
suara. Kubuka perlahan mataku yang berkunang-kunang.
Kulihat sekitar tampak diselimuti kabut. Apakah tadi aku hanya
bermimpi?
“Pak, Bapak. Ini Badrun. Sadarlah!” aku mendengar isak-
tangis. Saat aku benar-benar sadar, ternyata ia Badrun anakku.
Lekas ia memelukku.
“Taneuh adat mah teu meunang diopenan, teu meunang
dikukumaha, teu meunang digali sembarangan, kunaen urang
kota sarakah jasa?”3

3
“Tanah adat tak boleh diganggu. Tak boleh diapa-apakan. Tak boleh digali sembarang-
an. Kenapa orang kota begitu tamak?”

17
Amukan warga mulai terdengar lagi. Tubuhku dibantu
Badrun untuk duduk dan bersandar pada sebuah pohon rindang.
Suara-suara protes tadi masih menggaung, terus meninggi
hingga ke langit. Kami selamat, pikirku.
Lalu, di depan gubuk yang terbakar, aku melihat warga
menyumpah-serapahi seseorang yang meringkuk tanpa pakai-
an. Kuperhatikan baik-baik siapa ia yang berjongkok di sana?
Mulanya kukira tiga orang teman Badrun. Tapi dugaanku salah.
Dalam pandanganku, sosok yang berada di tengah kerumunan
itu adalah seekor beruk. Persis. Ia beruk yang aku lihat di Negeri
Gantarawang.

Depok, 31 Juli 2019

18
Kemelut Pasca-Seba

Alda Muhsi

eorang lelaki berseragam mencampakkan


S koran yang baru saja dibaca ke atas meja ker-
janya. Kemudian ia memijat-mijat dahi yang
lembab oleh keringat, seolah-olah dahinya
baru saja bertempur di medan laga. Geprakan
itu membuat beberapa orang di ruangan me-
nyorotinya. Kebanyakan mereka menoleh
sebentar, kemudian melanjutkan pekerjaan-
nya kembali. Akan tetapi, seorang teman
dekat menghampirinya.
“Sepertinya ada persoalan berat, kau-
mau kopi? Aku bisa membawakannya.”
Lelaki berseragam dengan name tag yang
tergantung di dada kirinya bertuliskan Agus
Ginanjar itu menegakkan kepalanya. Ia me-
nyingkirkan kedua tangan dari dahinya yang
lembab, kemudian menyekanya.

19
“Aku rasa lebih baik kita menggunakan waktu makan siang
sekarang.”
Agus Ginanjar beranjak, diikuti karibnya, Awan Kinara.
Tentu saja setelah Awan mengintip koran yang baru saja dibaca
Agus sehingga membuatnya suntuk bukan main. Judul berita
tersebut adalah, “Suku Baduy Tolak Pembangunan”.
Mereka mendaratkan tubuh yang penuh masalah di warung
tempat biasa. Persis hanya berjarak 50 meter di sisi sebelah
kiri kantor.
“Gila, orang-orang Baduy memang gila!”
“Stt... jangan keras-keras.”
“Harusnya kontrak itu sudah kudapatkan, tapi meleset cuma
gara-gara orang Baduy sialan itu enggak mau pohon-pohon
mereka ditebangi. Padahal kalau mereka menyadari potensi
wisata di sana memiliki nilai jual dan prospek yang bagus, tentu
saja akan sangat menguntungkan bagi mereka. Bagaimana mau
banyak wisatawan yang datang kalau aksesnya saja buruk sekali.”
Awan Kinara terdiam sejenak, ia menyayangkan respons
sahabatnya itu. Sebenarnya siapa yang pantas dikatakan gila,
orang yang memegang teguh prinsip kehidupan atau orang yang
mengutuki prinsip kehidupan orang lain? Orang-orang Baduy
memang dikenal sangat menjaga lingkungan dan kearifan lokal
mereka. Mereka juga pantang menaiki kendaraan. Itu sebabnya
kehidupan mereka yang suka berpindah-pindah selalu diisi
hanya dengan berjalan kaki, bahkan tanpa alas.
“Gus, pada taraf kebudayaan tidak semuanya mesti kita
ukur dengan uang. Mungkin saja bagi mereka apa yang dimiliki
saat ini sudah lebih dari cukup. Mereka bisa mengisi sendi ke-
hidupan dengan berladang, bertani, bercocok tanam, dan ber-
bagi dengan sesama di lingkungan mereka yang asri.”
“Yah, begitulah pemikiran kolot, tolol, dijanjikan kebaha-
giaan jangka panjang tidak mau!”

20
“Stt… Gus, jangan keras-keras. Kauharus ingat setiap or-
ang memiliki alat ukur terhadap kebahagiaannya sendiri.
Kebahagiaan tidak memiliki rumus tetap seperti dua tambah
dua sama dengan empat. Kebahagiaan itu elastis, tergantung
siapa dan bagaimana cara memaknainya.”
“Aku curiga mereka menghasut Pak Gubernur supaya
proyek pembangunan itu tidak dijalankan. Waktu Seba mereka
datang beramai-ramai sembari nyembah sama gubernur. Sial-
nya, buah tangan yang mereka bawa berhasil bujuk gubernur.”
Seba memang selalu dilakukan oleh suku Baduy untuk me-
ngunjungi pemerintah setempat dengan maksud silaturahmi
antara pemimpin adat suku Baduy dengan pemimpin pemerin-
tahan daerah, dalam hal ini bisa camat, bupati, dan gubernur.
Silaturahmi dimaksudkan untuk mempersembahkan laksa dan
hasil bumi lainnya dari tanah adat Baduy kepada pemerintah.
Tidak hanya itu, pertemuan juga diisi dengan penyampaian
pesan-pesan dari tokoh adat Baduy kepada gubernur, seperti
pentingnya menjaga kelestarian alam, hutan, dan lingkungan
sebagai kunci untuk menghindari bencana alam.
Seba digelar dalam kurun waktu setahun sekali. Ritual ini
merupakan kegiatan yang memancing kunjungan para wisata-
wan lokal maupun mancanegara. Dalam perayaannya selain
diisi oleh gelaran acara kesenian dan kebudayaan, seperti musik,
tari, dan pertunjukan-pertunjukan tradisional, dipamerkan
pula produk-produk kerajinan masyarakat Baduy. Tahun kema-
rin Agus Ginanjar dan Awan Kinara menghadiri perayaan Seba
Baduy guna pendekatan kepada masyarakat Baduy. Dari
sanalah mereka berinteraksi dengan beberapa orang masya-
rakat Baduy sehingga setidaknya sedikit banyak tahu bagai-
mana adat istiadat suku Baduy. Seba merupakan kegiatan ter-
akhir dari serangkaian acara adat masyarakat Baduy setelah
Ngawalu dan Ngalaksa.

21
Seperti yang dibaca di koran digital pada ponsel pintarnya,
Awan Kinara memang mendapati gubernur mengabulkan
permintaan orang-orang Baduy agar membatalkan seluruh
proyek pembangunan di sana. Pertimbangannya adalah keste-
rilan wilayah tersebut. Orang-orang Baduy tidak membutuhkan
modernisasi yang hanya akan menimbulkan konflik. Mereka
khawatir pembangunan akan berdampak kontaminasi terhadap
adat-adat mereka, sehingga menyebabkan hilangnya nilai-nilai
kearifan lokal yang selama ini mereka yakini dan jalani dengan
baik. Mereka juga tidak ingin lingkungan rusak dan tercemar
oleh polusi dari alat-alat industri. Begitulah amanah luhur
gunung. Bahkan untuk membangun rumah adat saja mereka
tidak menggali lubang untuk ditanami pondasi. Maklum saja,
mata pencarian mayoritas masyarakat Baduy adalah bertani
dan berladang, tentu mereka tidak ingin alam mereka dirusak.
“Ya mereka orang-orang Baduy memang seperti itu. Mereka
akan berjuang mati-matian mempertahankan tanah adat.”
“Tapi awalnya gubernur telah memberi mandat kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembangunan.”
“Ah, kau ini, gubernur berapa? Orang Baduy berapa?”
“Maksudmu apanya? Ada suap-menyuap?”
“Tentu saja bukan, jumlahnya populasinya.”
Agus Ginanjar menghela napas sambil menggeleng-
gelengkan kepala.
“Jumlah populasi orang-orang Baduy sekitar 4 juta lebih,
sementara gubernur hanya seorang diri, paling, ya, cuma
sepuluh orang ditambah oleh para pembantunya. Lagi pula
bukankah selama ini orang-orang Baduy terbiasa hidup
berdikari tanpa minta bantuan kepada pemerintah? Nah, apa
salahnya mereka minta tolong dalam hal ini? Gubernur juga
pasti telah mempertimbangkan agar tidak terjadi kesenjangan.”

22
“Tapi kan tidak semuanya patuh terhadap adat-adat yang
ketat. Pastinya ada orang-orang Baduy Luar yang bisa mem-
pengaruhi masyarakat Baduy Dalam agar mereka mau mengem-
bangkan wilayah mereka.”
“Kauharus tahu, mereka punya pikukuh yang kuat, yang
mereka anggap sudah seperti kitab suci. Mereka tidak seperti
kebanyakan manusia yang rela menggadai ayat-ayat kitab suci
demi memuaskan diri sendiri. Kepatuhan mereka terhadap
pikukuh sangat tinggi, apalagi mereka punya Pu’un yang bijak-
sana dan dihormati.”
“Ah, apa sih itu pikukuh, pu’un, paun, piun….”
Agus Ginanjar terlihat semakin resah dan gusar mendengar
penjelasan Awan Kinara. Alih-alih mencari pembelaan, yang
ada ia malah mendapat pertentangan yang semakin menyudut-
kannya.
“Pu’un itu pemimpin mereka loh, Gus, biasanya keturunan
karuhun, leluhur. Sudah pasti orang suci yang mampu meng-
ayomi warganya. Makanya masyarakat Baduy sangat meng-
hargai Pu,un mereka.”
Agus Ginanjar membuang pandang dari hadapan Awan
Kinara. Melihat reaksinya begitu, Awan Kinara menyelesaikan
pembicaraannya. Bukan karena telah habis bahan, melainkan
ia tidak mau membuat Agus Ginanjar jadi semakin kesal.
***

Sekembalinya ke kantor, Awan Kinara mendatangi meja


kerja Agus Ginanjar. Ia masih berusaha menemani lelaki yang
ia tahu pikirannya sedang kacau itu. Ia masih beranggapan Agus
Ginanjar membutuhkan teman cerita, walaupun beberapa saat
sebelumnya ia hanya membuat Agus Ginanjar bertambah
gundah. Tapi kali ini ia bertekad untuk tidak banyak bicara dan
membantah.

23
Kemudian, tidak berapa lama, Agus Ginanjar mengutara-
kan rencananya kepada Awan Kinara untuk membakar per-
kampungan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak.
“Kauyakin Gus? Berapa uang yang akan kauhabiskan untuk
melakukannya? Bukannya ini malah memperkeruh masalah?”
“Ah, biar saja, biar orang-orang udik itu tahu kalau hidup
ini memang kejam.”
“Gus, negeri ini sedang krisis perdamaian, orang-orang
sibuk mempertahankan kepentingan pribadi daripada kepen-
tingan masyarakat luas. Kau tidak perlu melakukan itu.”
Agus Ginanjar meninggalkan Awan Kinara dengan kebenci-
an yang berkumpul memenuhi jiwanya. Awan Kinara hanya
menggeleng tanpa bisa menghentikan niat temannya itu. Ia tak
habis pikir. Agus Ginanjar saat itu tidak seperti Agus Ginanjar
yang biasa ia kenal. Apa yang membuat Agus Ginanjar begitu
marah dengan keputusan gubernur yang mengabulkan per-
mintaan suku Baduy menghentikan pembangunan? Mungkin
bukan hanya soal uang, sebab Agus Ginanjar memiliki banyak
proyek yang bisa didapatkannya dari anggota-anggota dewan
yang lain.
Ketika hendak menyusul sang pemilik kebencian, tiba-tiba
saja tanpa sengaja ujung mata Awan Kinara melihat sebuah
amplop lusuh di bawah tumpukan berkas Agus Ginanjar.
Amplop lusuh itu sedikit ganjil, menjorok keluar, sehingga men-
curi perhatian, seperti amplop yang baru saja dibuka kembali
setelah sekian lama terpendam di dalam laci. Sejurus kemudian,
ia membukanya dan seketika mendapat jawaban atas per-
tanyaan yang muncul di benaknya belum lama ini.
Gus, kita tidak akan bisa kawin lari. Orang-orang suku kami
akan mencariku ke mana pun aku pergi. Mereka tak ingin suku
kami habis. Maafkan aku, Gus.

24
Awan Kinara buru-buru memasukkan kembali secarik kertas
tersebut ke tempatnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal
dalam amplop. Ia memeriksa dan mengeluarkannya, terdapat
sebuah gelang kanteh yang terbuat dari akar pohon. Penolak
bala? pikirnya dalam hati.
Ia berlari mengejar sahabatnya. (*)

Medan, Juli 2019

25
26
Bukit Keramat yang Tamat

Alif Nurul Fazri

ika kalian hendak bertandang ke desaku,


J selain urusan cuci mata dengan alamnya
yang menawarkan keindahan dan tanpa
hiruk-pikuk perkotaan. Di seberang jalan
sebelum memasuki gapura selamat datang,
Anda akan disambut bentangan luas tanah
perbukitan. Tempat peraduan yang sunyi
dan sepi. Di bukit hijau itu juga menjadi ku-
buran nenek-moyang, para pendiri wilayah
ini. Sejak kecil hingga sekarang, tanah itu
terlindungi dan dijaga. Tak berubah. Pohon-
pohonnya menjulang tinggi dan tetap asri.
Bukan tanpa sebab bukit itu masih te-
rawat dan selamat. Sebutlah Wak Gebog,
lelaki tua yang menghabiskan waktu dan
hidupnya untuk mengurus makan-makam
tua itu. Dialah yang menjaga bukit itu hijau
dan tetap disegani.

27
Sudah puluhan tahun lelaki-senja itu mengurus makam-
makam tua, terutama makam leluhurnya. Tak sedikit orang
menganggap Wak Gebog sebagai orang aneh, kurang waras, dan
berkomplot dengan dedemit. Nyaris tak ada yang pernah ber-
bicara dengannya, kecuali para peziarah dari kota-kota besar
dan petugas desa yang tiap bulan sekali memeriksa bukit ter-
sebut.
Sebagai penjaga makam, Wak Gebog memperoleh imbalan
berupa sekarung beras dan beberapa lembar uang yang diantar
ke gubugnya. Dua minggu sekali perwakilan desa akan me-
nyambangi dan memberikan haknya. Meskipun sudah cukup
sepuh untuk tugas ini, Wak Gebog tetap bertahan. Tak ber-
geming. Ia seperti menemukan kehidupan hakiki meski berada
di samping orang mati. Menyendiri di bukit sepi. Seorang diri.
Hukum dasarnya, manusia tak bisa berkarib dengan waktu.
Namun, apa yang dilakukan Wak Gebog seolah-olah dia sendiri
adalah hamparan waktu itu. Tak terbatas. Dia seperti tertolak
dari kematian atau barangkali tulang-belulang di alam sana
senantiasa mendoakan si kakek untuk tetap tegap supaya nisan-
nisan mereka selalu terjaga dan terentas dari penyakit lupa.
Sayang, bukit rimbun yang hijau itu akan segera digusur
demi kepentingan pariwisata. Lahan hijau yang ditinggali
puluhan nisan itu akan berganti nama: taman desa. Otomatis
tulang belulang yang sudah bertahun-tahun ditanam akan segera
di-pindahkan. Nisan-nisan yang menonjol akan dicabut dari akar-
nya menjadi kursi-kursi cantik. Pohon-pohon kamboja yang
gagah berdiri akan ditebang dan digantikan oleh lampu-lampu
taman yang kerlap-kerlip. Semua ihwal yang menakutkan akan
berganti kegirangan dan kesenangan.
***

28
Waktu itu menjelang Ramadhan, pemakaman umum biasa-
nya banyak dikujungi sanak-kerabat ahli kubur untuk men-
doakan atau mengingat kembali masa lalu. Kebetulan saat itu
saya memutuskan untuk tidak ziarah ke makam umum, me-
lainkan ke makam leluhur yang ada di Bukit Munjul. Setibanya
di sana, aroma bunga segar menyambut ventilasi pernapasan,
utamanya wangi bunga kenanga. Sungguh menyengat.
Sore semakin berpendar, saya masih membaca surat Yasin,
yang katanya, sangat dibutuhkan para mayit di alam baka. Ham-
pir tak ada kehidupan manusia lainnya di bukit ini. Sekeliling
mata memandang hanya pohon-pohon yang bergerak diterpa
angin. Daun-daun mereka saling bersentuhan. Di bawah pohon
tak jauh dari makam, berdiri gubug kecil yang sederhana. Itulah
rumah Wak Gebog. Omong-omong Wak Gebog, sedari tadi saya
belum melihatnya. Tak seorang pun kudapati di sana, selain
saya. Seorang diri.
Sejenak rasa penasaran mengalir di sekujur tubuh, ke mana
gerangan kakek tua itu? Bukankah sore hari adalah momen
tersyahdu dalam hidupnya? Apakah si kakek sudah melupakan
makam-makam kinasihnya? Atau jangan-jangan si kakek sakit?
Rasa penasaran semakin merajam-mendera dan akhirnya
mendorong untuk mencari tahu keberadaannya.
Usut demi usut, Wak Gebog tengah terbaring di gubugnya.
Entah apa yang dia rasakan. Antara kesedihan dan rasa senang
tak bisa kita tangkap dari raut mukanya yang dipenuhi jalur-
jalur usia. Namun, sorot matanya yang kosong meyakinkan
saya, bahwa dia sedang bermuram-durja. Sebelumnya, tak
pernah saya bertatap langsung dengan Wak Gebog. Inilah per-
tama kali berhadapan dengannya. Semua tentangnya melulu
kupahami dari mulut ke mulut.
Entahlah, rasa takut yang nyaris selalu tertanam sejak men-
dengar cerita si kakek itu menghilang, lenyap entah kemana.

29
Hingga saya berani untuk bersapa dan bertanya. Awalnya, Wak
Gebog masih tak memindahkan sorot matanya. Namun, setelah
beberapa sapa dan tanya kulontarkan bertubi-tubi, ia mulai
melirikku.
“Wak Gebog?”
“Wak kenapa? Sakit? Wak sedang memikirkan sesuatu?”
Tanyaku tak mengundang Wak Gebog untuk menjawab.
Mengakrabkan diri. Seolah-olah semua ucapanku bergema,
kembali lagi. Wujud manusia yang ada di hadapanku seperti
sebatang pohon yang mati dilahap zaman. Rapuh dan layu.
Beberapa saat kemudian.
“Kau siapa, hendak apa ke sini?” tanyanya dengan datar
“Saya habis ziarah kek.”
“Kakek tua, penjaga makam belum lama pergi.”
“Pergi?’’
“Ya, Pergi. Meninggalkan makam leluhurnya,” sambil me-
nunjuk ke makam di sebelah sana.
“Saya, Indun. Penjaga Makam baru. Baru tiga hari di sini
dan tubuhku mulai sakit-sakitan. Di sini angin malamnya terlalu
kencang, menyayat pori-pori,” jelas Kakek Indun sambil meme-
luk tubuhnya sendiri.
Melihatku duduk, Kakek Indun tiba-tiba bangkit dan ikut
duduk. Ia menyandarkan tubuhnya di bilik-bilik gubug. Dia
mulai bercerita.
“Sebelum meninggal Wak Gebog datang menyambangiku
dan memintaku menggantikan posisinya. Setahuku dia begitu
mencintai bukit dan makam-makam leluhur wilayah ini. Entah
angin apa yang membawanya dan merelakan semuanya. Sampai
akhirnya di satu malam, saya menemuinya dan mencoba me-
nanyakan apa gerangan yang terjadi.”
Pada saat itu Wak Gebog pun menceritakan tentang Kanjeng
Leluhur datang dalam bentuknya yang nyata, “Aku tak sedang

30
bermimpi atau mengigau. Kanjeng Leluhur yang kusembah-
kasih benar-benar hadir. Ia keluar dari makam itu, dengan jalan
membelah makam dan kepulan asap menghantarkan wujudnya.
Parasnya tak banyak berubah, gagah dan wangi, kecuali pada
beberapa titik; wajahnya tampak pucat pasi. Aku tak disergapi
rasa takut secuil pun. Justru kehadirannya adalah kehormatan
bagiku. Ialah leluhur kita, manusia yang amat berjasa bagi wila-
yah ini. Meski zaman sekarang banyak yang sudah lupa jasa
leluhur-leluhurnya. Manusia-manusia sekarang sudah tidak
tahu balas budi. Susah berterima kasih.”
“Bagaimana kabarmu Gebog?’’ suaranya bergetar-terlontar.
“Baik, Kanjeng.”
“Aku sudah mendengar semuanya. Tentang tanah ini,
makam ini, dan juga orang-orang di sini. Lantas apa yang kau-
bingungkan? Bukankah benda mati seperti makam dan tanah
harus menerima segala rencana manusia?”
“Iya Kanjeng, tapi saya ingin mempertahankan bukit ini.”
“Dengan apa Gebog? Tenagamu? Kausudah ringkih, untuk
berjalan saja kausudah payah. Biarkan saja mereka menggusur
tanah ini. Tak mengapa. Di sinilah kenangan dan jasa tak lagi
berharga.”
“Aku mau mempertahankannya, Kanjeng. Saya ingin bukit
ini tetap hijau dan lebat pohonnya, dengan sungai jernih meng-
alir di bawahnya.”
Kanjeng leluhur terdiam. Ia memejamkan matanya. Tak
lama senyum tipis mencuat di bibirnya. Matanya kembali ter-
buka dan langsung menatap Wak Gebog. Wak Gebog ikut
sumringah. Ia tersenyum pula.
“Bagaimana, Kanjeng?”
“Carilah tempat lain! Jangan buang waktumu di tempat ini.
Masih banyak tempat di dunia ini yang lebih layak untuk kau-
tinggali. Bukan di bukit seperti ini!”

31
“Maksud, Kanjeng?” Daun beringin tersibak seiring embus-
an udara yang berkelebatan.
“Kita berdua saja tidak akan sanggup. Terlalu lemah! Hampir
seluruh warga menyetujui alih fungsi lahan ini. Makam keramat
akan dibangun menjadi taman yang menyenangkan,” ucap
Kanjeng Leluhur dengan sedih.
“Kanjeng, sudah puluhan tahun saya hidup dan makan dari
bukit ini. Bila bukit ini beralih fungsi, bagaimana hidup saya?”
“Kau bisa mencari tempat lain atau memulai hidup dengan
wajar. Berkeluarga dan semacamnya. Dengan begitu kau tak lagi
tergantung dari bukit ini. Kaubisa punya rumah sendiri, lengkap
dengan tetangga-tetanggamu,” ucap Kanjeng Leluhur tegas.
“Saya tak bisa, Kanjeng. Saya hidup di tanah leluhur yang
subur dan hijau. Saya tidak akan bisa menggarap tanah lain
selain di tanah leluhur ini. Tanah yang kurawat sejak dulu. Kan-
jeng, percayalah padaku, tenagaku masih kuat untuk menghalau
mesin-mesin dari kota, suaraku masih lantang untuk mem-
buyarkan warga, dan ajimatku masih banyak untuk menolak
keputusan serakah ini. Ingat, Kanjeng, bukit ini hanya akan
menjadi ladang dosa jika berubah menjadi taman. Banyak pe-
muda-pemudi yang akan lupa diri. Kita tidak bisa membiarkan
itu terjadi, Kanjeng,” ucap Wak Gebog dengan yakin.
“Tak cukup kuat untuk melawan keserakahan, Gebog. Kau-
hanya dihadapkan pada dua pilihan. Pergi atau kauakan men-
jadi pengurus taman. Pikirkanlah baik-baik. Seminggu lagi aku
datang,” ucap kanjeng leluhur sembari pergi. Hilang. Lenyap
dalam malam.
***

Beberapa minggu kemudian, truk-truk dari kota nampak


sudah bolak-balik mengangkut alat-alat berat. Warga berduyun-
duyun memasuki bukit. Membabad semua yang menghalangi.

32
Rumput dan ilalang-ilalang dibakar. Tenda-tenda pekerja segera
dibangun. Beberapa pemuka agama memimpin pembongkaran
makam guna dipindahkan. Lalu ke manakah Wak Gebog? (*)

33
34
Api di Tangan Perempuan Baduy Itu

Andi Makkaraja

erempuan Baduy yang kini berdiri meman-


P dangi hutan dengan gamang itu bernama
Lilis. Matanya lekat menuding satu per satu
batang pohon yang ia duga menjadi tempat
bersarang lebah dengan dada tak tentu. Api
yang membara pada obor di tangannya tak
juga menyentuh sebatang pohon pun, pada-
hal sebelum berjalan menembus kekar-kekar
batu tekadnya sudah kuat.
“Aku harus membakar pohon-pohon
itu, lebah-lebah itu,” rencananya bulat.
Akan tetapi, yang terjadi kemudian ha-
nyalah kegamangan dari perempuan Baduy
yang baru saja menjalani ritual bobo-gohan 1
itu. Begitu berada di tengah-tengah keasrian
hutan dan di antara dengung para lebah,
langkahnya perlahan surut. Obornya hanya
membara tanpa menyasar suatu apa pun.
Entah sampai kapan.

35
Ketika itu, ia tak henti bertanya kepada dirinya sendiri,
apakah ia akan membakar hutan dan lebah-lebah itu hanya demi
melancarkan rencana pernikahannya dengan Musril? Pertanya-
an yang baru terpikirkan olehnya begitu berdiri di tengah hutan.
Suara Ambu2 seminggu lalu yang memberitahunya tentang
pernikahan membuka bilik kenangannya yang lain. Pesan Ambu
bahwa keluarga Musril akan datang bertandang untuk bobogoh-
an seketika membuatnya meninggalkan sarung tenunan yang
baru setengah jadi. Ia berjalan ke belakang sulahnya3, menjenguk
kenangannya yang kini membeling dan tertanam di tanah.
Beling-beling itu tak dalam ia tanam sehingga mudah saja
baginya untuk menggali dan melihatnya kembali. Kali ini ia
memang harus melihat beling-beling botol itu seperti ia kembali
harus mendatangi kenangan yang setahun lamanya susah payah
ia kubur dan tak pernah sungguh-sungguh berhasil.
Beling-beling itu tampak di permukaan, dan satu hal yang
ia tahu, pengkhianatan itu masih sangat jelas tergambar. Peng-
khianatan yang membuatnya merasa gagal menjadi seorang
perempuan Baduy. Lantas apakah ia harus menerima lamaran
Musril? Ia takut pengkhianatan itu kembali akan terulang. Ia
tak mau menjadi perempuan Baduy yang terus-terusan gagal
dalam pernikahan.
Ambu yang melihatnya menatap beling-beling itu sesung-
guhnya paham apa yang tengah kisruh di hati putrinya itu, tapi
ia terus saja mengingatkan perihal rencana kedatangan keluarga
Musril.
“Sama saja. Kalau kau tak menerima lamaran Musril, kau
adalah perempuan Baduy yang gagal. Perempuan mana pun di
Kanekes ini harus menjalani pernikahan dalam hidupnya. Tak
usahlah pecahan-pecahan botol itu merusak pikiranmu. Musril
belum tentu akan membuatmu merasa terkhianati sekali lagi,
bukan?”

36
Memang benar apa kata Ambu, Musril belum tentu akan
melakukannya, tapi yang ia tahu, lelaki Kanekes itu juga lekat
dengan hutan dan lebah-lebah dalam hari-harinya. Kenangan
perih pada masa lalu memang selalu pelik untuk ditampik.
***

Kenangan perih pada masa lalu memang selalu pelik untuk


ditampik, tapi perempuan berkacamata dengan rambut bob
itu, yang dahulu selalu mendekam sendiri dalam ingatan-
ingatan perihnya kini memilih untuk melawan. Ia tak lagi men-
jadi pendiam sebagaimana kebiasaannya sejak berbulan-bulan
lalu, menghabiskan waktu di kamar dengan air mata yang terus
berderai. Ia sekarang berani melihat dunia. Trotoar-trotoar,
taman-taman, dan mal-mal Jakarta secara rutin ia datangi.
Foto-foto yang mengekalkan ingatan tentang suaminya,
satu per satu juga mulai ia hilangkan dari kehidupannya. Di
ruang tamunya yang besar dan luas, di kamarnya yang mewah,
di ponselnya yang menderet foto mesra mereka, di album-al-
bum keluarga yang menyimpan foto pernikahan meriah ia dan
suaminya, dan di dompet, satu demi satu ia tanggalkan.
“Dia tidak akan kembali. Percuma aku terus mengingatnya.”
Tak hanya foto, semua barang-barang peninggalan suami-
nya berusaha ia hilangkan dari rumahnya dan sebagian lagi ia
ganti dengan barang baru—yang sama sekali tak ada hubungan-
nya dengan suaminya, atau yang bisa memantik ingatannya
kepada lelaki itu. Buku-buku, pakaian, sepatu, sandal, mug ke-
sukaan, kursi yang paling sering suaminya duduki, ranjang
tempat mereka selalu menghabiskan malam yang birahi dan
panas, channel kesukaan, makanan kesukaan, dan warna cat
tembok kesukaan—satu per satu tanggal agar tak tinggal me-
nyisakan ingatan-ingatan luka. Ia memang berusaha keras
untuk melawan.

37
“Dasar laki-laki bodoh, mau saja dibunuh oleh obsesi gila-
nya.”
Suatu ketika, ia berada di ruangan pribadi mendiang suami-
nya. Ia merutuk pada lelaki yang kini tinggal tulang berbalut
belulang itu. Matanya menyapu ruangan dengan pajangan tiruan
karya-karya Titian, Vicasso, Da Vinci, Michelangelo, Van Gogh,
Raphael, dan Massacio. Suaminya terinspirasi dan terobsesi
membuat lukisan seindah karya-karya seniman itu, yang lantas
membuatnya tidak peduli pada cara hidupnya sendiri. Ia lebih
banyak berkhayal dan berpikir daripada makan, bersantai, dan
menjalani rumah tangganya dengan normal. Ia kemudian me-
regang nyawa dengan banyak penyakit dalam tubuhnya. Pe-
nyakit otak dan maag akut adalah dua di antara yang disebutkan
dokter. Perempuan itu bersumpah tidak akan pernah lagi
melewati ambang pintu ruangan yang merampas hidupnya itu.
“Seharusnya jam enam pagi kita tetap menyesap kopi sama-
sama. Makan roti berdua. Menertawakan pejabat-pejabat lucu
di berita pukul tujuh pagi. Alangkah manis kehidupan kita, tapi
kau malah lebih suka berada di sana. Sialan.”
“Seharusnya kau tak pernah membiarkanku tidur sendirian
di kasur yang baru saja kubakar itu. Suami macam apa kau.”
Rutuknya macam-macam sembari berusaha menerbitkan
benci pada mendiang suaminya yang kini terkubur, alih-alih
rindu lagi, alih-alih kenangan-kenangan lagi.
Satu hal yang kemudian menjadi lompatan besar dalam
hidupnya, ia berani kembali jatuh cinta. Di trotoar pada suatu
pagi, ia bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang memijak jalan-
jalan Jakarta dengan kaki telanjang.
***

Lelaki itu sudah lama paham bahwa kesetiaan hingga ajal


menjemput adalah pengikat paling utama dalam pernikahan

38
Baduy. Sehingga di tempat itulah sekarang ia berada, di tempat
asing yang sepanjang hidupnya tak pernah sama sekali ia alami.
Sebuah rumah berdinding tembok dengan taman-taman asri
di sekelilingnya. Seorang perempuan berkacamata dengan
rambut bob tengah duduk di hadapannya dan hanya dipisahkan
meja berukuran lebar paling tidak dua jengkal.
Perempuan itu menatapnya lekat dan berkata, “Aku meng-
inginkanmu menjadi suamiku. Aku mencintaimu.”
Lelaki itu tak menanggapi, melainkan dengan menyeret ke-
dua kaki telanjangnya ke bawah kursi. Kakinya merasa canggung
menginjak lantai ubin, sebagaimana ia canggung terhadap per-
kataan perempuan itu barusan. Namun, jauh di dalam hatinya,
itulah ucapan yang paling ingin ia dengar dari perempuan itu.
Ia merasakan hal sama, sehingga di tempat itulah ia berada—
meninggalkan pernikahannya dengan seorang perempuan
Baduy yang selalu setia menunggunya pulang dari Jakarta.
Pertemuan lelaki itu dengan perempuan yang baru saja
menyatakan cinta kepadanya—yang sebenarnya sudah ke seki-
an kali itu—barulah dua bulan terjadi. Dua bulan lalu, bersama
dua teman sekampungnya, ia menyusuri bukit-bukit dengan
kaki telanjang menuju Jakarta. Di kepalanya tersampir koja 4
berisi botol-botol madu. Madu-madu yang ia peras dan ambil
dari hutan desanya.
Itu kali pertama ia ikut berjualan madu sejauh itu. Lebih
tepatnya ia melakukannya untuk rumah tangganya yang baru
saja ia bangun. Tapi yang ia temukan di Jakarta, tak hanya uang,
tetapi juga cinta yang baru.
Bagi pertemuan yang singkat, tentu tak butuh banyak alasan
untuk cinta. Lelaki itu terpikat pada cerita-cerita perempuan
itu tentang bagaimana ia berjuang melawan kenangan. Perem-
puan itu menyukai lelaki itu yang sedia bekerja demi sebuah
pernikahan, yang tentu saja tak ia temukan pada mendiang

39
suaminya yang gemar menghabiskan waktu dengan hal-hal
yang menurutnya sendiri tak berguna.
Tepat di atas meja dua jengkal itu, lelaki itu semakin yakin
akan meninggalkan desa dan pernikahannya, demi pernikahan
yang lain.
***

Pagi tadi, suara kecapi dari salah satu kerabat Musril me-
nandakan bobogohan akan segera dimulai. Pihak keluarga Lilis
dan Musril saling berlibat bicara begitu kecapi usai mengalun.
Dan acara hari itu ditutup dengan seserahan daun sirih dari
keluarga Musril kepada keluarga Lilis pertanda lamaran telah
diterima. Di balik dinding, di balik bilik tepasnya 5, Lilis mem-
bayang-bayangkan beling-beling yang masih tertanam di bela-
kang sulahnya. Akankah Musril tak membuatnya kembali me-
mecah-mecah botol madu dan menanam beling untuk kali kedua?
Pertanyaan itu ingin ia tuntaskan sendiri dengan membakar
lebah-lebah dan hutan desanya. Tapi hingga api di tangannya
perlahan meredup, ia tak juga memutuskan apa-apa. (*)

Bulukumba, Juli 2019

Catatan:
1. bobogohan : lamaran
2. ambu : panggilan ibu dalam suku Baduy
3. sulah : rumah
4. ko ja : tas khas suku Baduy
5. te pa s : ruangan tengah rumah adat Baduy

40
Seba Jiwa

Aras Andisetya

nton kampret! Dasar sompret! Kutu kupret!


A Ya, berbagai -pret kulontar kepadanya
di dalam hati. Titisan kunyuk Mbah Darwin
yang satu itu sepertinya harus diazab dulu
supaya pensiun menjahili orang.
“Nanti kita lewat Gajeboh aja baliknya.
View-nya bagus. Sekalian biar lebih tahu
trek ke Baduy. Eggak jauh kok.”
Eggak jauh kok. Aku mencatat lekat-
lekat bagian itu di kepalaku. Nyatanya?
Entah berapa kali Yudi, Yessy, dan Ganes
menertawaiku sejak berangkat dari rumah
Wadi hingga kini entah sudah masuk kam-
pung mana ini. Belasan kali terpeleset dan dua
kali nyaris njlungup[1] membuatku semakin
yakin trek ini tidak akan ‘semudah’ kemarin.
Dan dengan santainya makhluk tengil itu cuek
dan asyik berbincang dengan Ijal si Gen-Y

41
dari Kanekes yang menjadi tour guide kami. Tiga orang Kanekes
lainnya setia menemani di belakang dengan ransel kami. Pun
Jaim dan Ical, dua bocah lima tahunan yang terkekeh berkejar-
an paling depan.
“Masih jauh, Ton?”
“Bentar lagi,” ujarnya tanpa beban.
“Sejam lalu juga bilangnya bentar lagi.” Terdengar gelak
tertahan Anton.
“Masih kuat?” tanya Wadi, Baduy Dalam pemilik rumah yang
kami inapi. Aku mengangguk malu-malu. Di samping, Ganes
terkekeh meledekku.
“Semangat, Guys! Bentar lagi sudah Ciboleger kok,” seru
Anton bak angin surga.
“Memang berapa lama lagi sih?” tanya Yessy si anggota
baru Kemang Backpack, komunitas kelayapan yang didirikan
Anton setahun silam, seperti mendukungku.
“Ya, sebelum magrib kalau kita jalan terus,” ujar Masi, teman
Wadi, membuat kakiku seperti mau mati. Arloji mencibirku
dengan ibu jarinya nangkring di angka dua.
**

Seminggu sebelumnya
“Weekend mau kemana? Do you have an appointment?”
“Nope. Kenapa?”
“Ikutan ke Baduy, yuk?”
Aku mengerutkan kening.
“Sama komunitas. Kebetulan ada tiga anak baru belum di-
ospek-in. Kalau minat gabung aja. Ada kursi kosong,” ujarnya
memperjelas. Aku tercenung berpikir.
“Kita berangkat Sabtu pagi. Perkiraan Sabtu siang kita be-
rangkat dari parkiran Ciboleger. Seru kok. Minggu sore sudah
balik ke Jakarta.”

42
Tak ada sahutan dari bibirku. Ingatanku terbang pada sosok
beberapa lelaki yang kutemui di Gambir dengan udeng putih
dan madu jajakan mereka.
“Jangan takut. Kita ambil trek aman kok. Akomodasi full
service and free,” bujuk Anton. Aku tak tahu apa persetujuanku
setelah itu adalah keputusanku terbaikku atau justru kekhilafan
terbodohku.
Sesuai rencana, Sabtu siang kami tiba di pelataran Cijahe.
Belasan urang Kanekes sudah menunggu untuk membantu
membawakan barang-barang kami. Sepertinya mereka sudah
hafal kalau orang kota seperti kami adalah masyarakat paling manja
yang tidak betah dengan sedikit lelah dan sedikit beban di pung-
gungnya. Bukankah orang kota lebih tahan dengan macet dan
polusi dibandingkan keram kaki karena berjam-jam jalan kaki?
“Kang.” Seorang lelaki, sekitar lima belas tahunan, men-
dekati dan menyalami tangan Anton.
“Sudah tadi?” tanya Anton dijawab anggukan anak lelaki itu.
“Tiga cukup kan?” tanya Anton. “Eh, ini Ijal. Dia biasa
nganterin pengunjung ke Baduy Dalam.”
Ijal hanya tersenyum sesaat sebelum dengan bahasanya
meminta tiga orang mendekati kami. Ransel-ransel kami ber-
pindah ke punggung dan dada mereka. Aku seperti kerbau yang
tahu-tahu mengikuti kaki Anton berjalan meninggalkan par-
kiran; meninggalkan beberapa warung bambu hingga tiba di
sisi jembatan.
“Kita akan jalan dari sini. Sekitar satu setengah jam begitu-
lah,” ujar Anton. Aku terkesiap sedikit pilon. Durasi perjalanan
yang kudengar dari Anton membuatku merasa telah mengambil
keputusan paling bloon.
Ketika Anton memimpin berdoa, hanya aku yang menun-
duk tanpa melafalkan apa-apa. Bayangan penatnya perjalanan
menjauhkan doa dari bibirku.

43
Sepanjang jalan aku tak habis berpikir apa yang disenangi
dari perjalanan semacam ini? Aku jadi teringat pada lelaki itu.
Ya, lelaki yang sempat kupanggil Papa sebelum kemudian ia
kehilangan nyawa di salah satu lereng gunung saat memberikan
bantuan kepada korban longsor di sana. Lelaki itu nyaris tidak
ada waktu sebagai papa. Pun sebagai suami bagi perempuan
yang masih kupanggil Mama. Karena merasa menikahi orang
yang salah, kata Mama suatu ketika saat kutanyakan mengapa
Papa jarang berada di antara kami berdua.
Papa (mungkin) ditakdirkan seperti Sinbad yang suka ber-
tualang walaupun bukan tipikal lelaki yang doyan berpindah
ranjang. Pernikahan dengan Mama lahir dari perjodohan (paksa)
kedua orang tua mereka dan (mungkin) membuat Papa kehilang-
an setengah jiwanya. Tiga tahun dia berhenti mendaki dan
menjelajahi gunung; tiga tahun ia berhenti menjadi pengarung
karena ia harus menjadi petarung untuk seorang perempuan
dan jabang bayi perempuan yang saat itu sedang nyenyak di
dalam kandungan.
Papa merintis bisnis mebel berbahan rotan yang lantas
sohor hingga ke Johor. Namanya mencuat. Ketika bisnis rin-
tisannya dipandang cukup kuat, ia memutuskan untuk kembali
ke dunianya. Ia ‘wariskan’ bisnisnya kepada Mama.
“Titip buat Lola,” demikian wasiat Papa sebelum ia mulai
semakin jarang di rumah. Tanpa perlu membicarakan bagai-
mana perasaan Mama, kehidupan harus berjalan dengan aku
yang mulai lancar berkata-kata. Melewati masa balita, sekolah,
lalu ranum di masa SMA. Tidak ada hari tanpa Mama dan nyaris
tidak ada hari dengan Papa. Pertemuan kami seperti kawan
silam yang lama berpisah dan sekali berjumpa hanya untuk
berkata ‘hei, sehat?’ lalu tangan berjabat dan kemudian kembali
menyesatkan diri dengan kehidupan sendiri-sendiri.

44
Ketika takdir itu datang dan peti jenazah didamparkan di
ruang tamu rumahku, nyaris tidak ada air mata dari sudut mata-
ku, kecuali karena terenyuhku melihat Mama yang matanya
basah meratapi pergi suaminya. Agak heran ada perempuan
yang biasa ditinggalkan untuk ‘bersenang-senang’ masih bisa
bersedih seperti itu.
“Bagaimanapun bukan salah Papa jika tidak bahagia dengan
pernikahan ini.”
Apa berarti bukan salahku jika aku tidak bahagia dengan
memiliki Papa?
Sekian tahun kemudian baru aku tahu kenapa Papa seperti
itu.
“Mamamu anak rumahan. Karena naksir Papamu, Mama-
mu cari akal supaya Papamu putus sama pacarnya. Mamamu
pandai mengambil hati nenek kamu, ibu Papamu. Ketika tahu-
tahu mereka dijodohkan, kebayang orang yang biasa ber-
tualang secara tidak langsung disuruh betah jaga kandang?
Prinsip Papamu, yang penting sudah membekali Mama kamu
buat hidup. Selebihnya dia mau hidup dengan dunianya.”
Mama tak membantah dan tak berkata-kata saat aku kon-
frontasi. Hanya air matanya yang mengalir.
“Mama ingin jadi perempuan itu. Perempuan yang dijagain
Papa kamu di puncak Semeru walau Mama enggak doyan hiking
seperti mantan pacar Papamu.”
Aku diam membisu.
Perjalanan ke Baduy Dalam mengingatkan aku tentang
alasan Papa ketika dulu pernah kuprotes kenapa sering tidak
ada di rumah.
“Papa sibuk jagain rumah kita.”
“Rumah kita ya ini, Pa.”
Papa menggeleng. Senyumnya masih begitu jelas tak ber-
tedeng.

45
“Rumah kita yang besar.”
“Memang kita punya rumah yang besar?”
Papa mengangguk.
“Bumi ini rumah kita. Lola tahu kan kemarin Papa ikut
nanam pohon di hutan yang gundul? Kalau bukan Papa yang
jaga, terus siapa?”
“Terus yang jaga rumah kita siapa, Pa?”
“Kan ada Mama. Ada Lola. Mas Tarjo juga tuh sering ronda.”
“Tapi Lola mau Papa ikut jaga,” protesku. Papa tersenyum
begitu meriah. Diciumnya pipiku hingga basah.
“Terus yang jaga Bumi siapa?”
“Lola. Gantian sama Papa.”
Papa tertawa.
“Nanti kalau Lola gede dan bisa bantuin Papa jagain Bumi,
janji deh Papa akan jaga rumah juga.”
Janji itu tidak pernah tunai.
*

Setelah berpayah ria dan berbelas kali rehat, kami tiba


dengan kaki yang sangat penat. Pada sebuah rumah bambu kami
akan menjadi tamu yang untuk berjam-jam lamanya terkucil
dari jaringan 4G atau bahkan sinyal sekalipun; kami akan me-
ringkuk di bawah atap tanpa lampu tidur apalagi lampu PJU. Di
seberang, suara gemerincik air kali memanggil kami sore ini dan
esok pagi untuk mandi. Aku mengutuk perjalanan ini. Aku ingin
mengutuk Anton yang mengajakku pada perjalanan ini. Aku
menoleh pada tas kecil berisi peralatan mandiku. I’m sorry,
Dear. I’ve no power to use all of you, batinku penuh sesal.
Kuputuskan tak mandi hingga esok pagi kami kembali.
“Kumaha? Loba nu datang?”[2]
“Ya, kumaha katingali.”[3]

46
Telingaku menguping dengan badan seolah-olah sudah
terlelap ke samping. Kulihat Anton, Yessy, dan Wadi duduk
berbincang di dekat tungku. Setelah itu pembicaraan mengalir.
Soal panen gogo. Soal kehebatan leuit[4]. Soal pikukuh Baduy[5].
“Tahu kan ada pikukuh ‘Gunung teu meunang dilebur,
lebak teu meunang diruksak’?” suara Wadi bertanya. Tak ada
sahutan. Kuyakin bukan berarti tak ada anggukan walau sekadar
basa-basi kesopanan.
“Pikukuh itu bukan soal gunung dihancurkan, digali atau
lebak yang dirusak. Ada buyut [6] buat kita dari nenek moyang
kita. Urang Kanekes percaya kalau gunung dan lebak itu harus
dijaga karena kita dan anak cucu kita mendapat penghidupan
dari sana. Pu’un dikasih amanat dari Tuhan untuk menjaga.
Sama kayak Kang Anton, Teh Yessy. Teman-teman yang lain.
Bukan berarti kalau tinggal di luar Baduy lalu buyut itu tidak
ada. Hartina mah sami. Kumaha oge ngalaksanakeun éta [7] .
Semisal tidak boleh mengubah fungsi tanah yang sudah sesuai
tujuannya. Buat lapangan ya dibuat lapangan supaya air hujan
bisa masuk ke tanah. Kalau manusia sudah suka mengubah-
ubah, ulah ambek lamun Jakarta [8] banjir.”
Telingaku masih setia menguping. Seperti ada memori yang
melenting.
“Tuhan kasih Bumi cuma satu. Kalau bukan kita, siapa yang
pelihara?” tutup Wadi membuka rindu yang tiba-tiba tumbuh.
Ah, kenapa ada air mata di pipiku?
*

Jajaran leuit memancing minatku. Di depan, membentang


jembatan bambu dan pemukiman Baduy Luar.
“Sudah bisa foto-foto,” kata Ijal kepada kami. Kulihat Anton
mengeluarkan DSLR-nya dan mulai mengabadikan berbagai
citra menarik di tempat ini. Satu, dua orang menjajakan suvenir.

47
Tiba-tiba Anton mendekati Wadi. Urang Kanekes itu menyerah-
kan sebuah bungkusan dari daun kepada Anton.
“What’s that?” tanyaku. Anton membuka bungkusan itu.
“Buat Bapak sama Ibu.” Tampak beberapa gelang dan tiga
helai udeng Baduy. “Lagi kurang fit mereka. Coba lagi sehat,
I’m sure they’ll follow with us. Sejak kuliah mereka sudah jatuh
cinta sama Baduy. Kamu enggak bawa oleh-oleh?”
Aku diam.
Kulihat Ijal yang membawa beberapa suvenir di tas tenun
selempangnya.
“Ijal, boleh kain iketnya tiga?”
“Buat siapa aja tuh?” tanya Anton meledek.
“Dua buat aku sama Mama.”
“Satunya?”
“Papa.”
Suara hentak kayu penenun menenung lamunku. Seperti
kulihat Papa berdiri di seberang jembatan dengan gitar ke-
sayangannya. Menyanyikan Satu Bumi seperti tiap kali ia ada
di rumah. (*)
***

Catatan:
[1]
Jawa: Jatuh terjungkal (jatuh ke depan)
[2]
Sunda: Bagaimana? Banyak yang datang?
[3]
Sunda: Ya, bagaimana kelihatannya.
[4]
Lumbung penyimpanan hasil panen gogo masyarakat Baduy.
[5]
Petunjuk atau petuah atau peraturan adat yang berlaku bagi masyarakat Baduy.
[6]
Pantangan atau hal-hal yang dipandang tabu.
[7]
Sunda: “Maknanya (sih) sama. Bagaimana menerapkannya.”
[8]
Sunda: “... jangan marah kalau Jakarta ...”

48
Terkisah Antara Leiden dan Banten

Annisa Anita Dewi

ekar menyusuri jalanan yang membelah


S Leiden, dibiarkannya butiran salju meng-
hempas mantel tebal yang dikenakannya.
Musim dingin tak menyurutkan niat perem-
puan berkulit kuning langsat dan bertubuh
tinggi kecil itu untuk mengunjungi Koninklijk
Instituute voor Taal Landen Volkenkunde
(KITLV) yang kini menyatu dengan Perpus-
takaan Universiteit Leiden. Sekar merekatkan
mantel pada tubuhnya, menahan dingin yang
menusuk hingga ke tulang. Sudah lama ia tak
pulang ke Indonesia. Semenjak ibunya me-
ninggal, Sekar meminta izin Ayahnya untuk
melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda.
Berharap dapat melepas perasaan luka
dan kehilangan atas kepergian ibunya yang
setiap malam selalu merangsek masuk me-
lukai hati dan pikirannya. Namun, bukan itu
alasan utamanya menyambangi Belanda.

49
Kecintaannya ter-hadap bahasa dan budaya kesundaan
membawa Sekar untuk mengambil Program Master di
Universiteit Leiden, universitas tertua di Belanda yang
didirikan oleh Pangeran Willem van Oranje pada tahun 1575.
Ketertarikan Sekar bermula dari cerita ayahnya, Hadi-
ningrat. Orang Banten pertama yang menuntut ilmu di Belanda
tepatnya di Universiteit Leiden adalah Hoesein Djajadiningrat,
lelaki dengan perawakan yang gempal itu menulis kajian teks
dan historis Sadjarah Banten sebuah babad yang mengisahkan
riwayat Banten sejak zaman kuno.
Ayah Sekar, Hadiningrat adalah keturunan dari masyarakat
Baduy Luar yang memiliki keterbukaan terhadap kehidupan
yang modern. Seperti mengenal sekolah dan penggunaan tekno-
logi. Setiap libur semester Sekar pulang menemui ayah dan ke-
luarganya di Babakan Jaro yang sekaligus menjadi pusat peme-
rintahan Desa Kanekes.
Senyumnya selalu mengembang, setiap kali mengunjungi
KITLV. Tidak ada sosok ayah ataupun keluarga yang ia temui
di sana. Sosok Hoesein Djajadiningrat yang seringkali dicerita-
kan ayahnya, menjadi motivasi yang sangat kuat bagi Sekar.
Hampir setiap hari Sekar mengunjungi KITLV. Perpustakaan
KITLV memiliki koleksi yang lengkap, buku-buku, naskah-naskah
manuskrip, dan dokumentasi lainnya. Ada 26 ribu naskah dan
manuskrip tentang Indonesia dan kesundaan di KITLV, sedang-
kan arsip perpustakaan nasional RI hanya memiliki 10,3 ribu
yang tidak sampai separuhnya.
Baginya, mengakrabi himpunan sejarah tentang kesundaan
yang terarsip rapi dan lengkap di KITLV ini mampu meng-
hangatkan hatinya. Menghidupkan ingatan tentang kebiasaan
yang biasa dilakoni keluarganya di Lebak, Banten. Membayang-
kan bagaimana dulu ibunya selalu mengajak dan mengajari
Sekar kecil dan teman-temannya bermain permainan tradisio-

50
nal, seperti Terompah Panjang dan Gobag Sodor. Kedua per-
mainan tradisional ini membutuhkan teman bermain lebih dari
dua orang. Terbayang hingar bingar keasyikan bermain di masa
lalu yang membias pada mata Sekar dan senyum simpulnya.
“Sekar!” panggil seseorang yang tiba-tiba duduk di samping
Sekar.
Sekar mengangkat kedua alisnya sambil memandang laki-
laki bertubuh tinggi, berambut lurus, dan berkulit kuning langsat
yang memanggil namanya barusan.
“Hmmm, kamu orang Indonesia juga? Ada apa?” kata Sekar
tanpa basa-basi.
“Iya, kenalkan namaku Amer. Beberapa hari ini aku sering
melihatmu membaca karya Hoesein Djajadiningrat. Kamu ter-
tarik dengan rekam jejak Hoesein?” kata Amer sambil mengukir
senyum di wajahnya.
Sekar tersenyum mendengar penjelasan Amer. Dugaannya
benar, kalau belakangan ini bukan hanya sekedar perasaannya
saja yang merasa sedang diperhatikan setiap kali ke KITLV.
“Sebelumnya terima kasih sudah mencari tahu namaku,
Amer. Bagiku, Hoesein Djajadiningrat adalah inspirasi besar
dalam hidupku. Dia adalah doktor pertama di Indonesia, lulus-
an terbaik Universiteit Leiden dengan summa cumlaude, di-
sertasinya mengagumkan Cristische Beschouwing van de
Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis Atas Sadjarah Banten) dengan
pujian bagus dari...,” Sekar belum sempat menyelesaikan
penjelasannya, Amer memberi isyarat menyimpan telunjuk di
bibirnya.
“Pujian bagus dari Prof. H. Kern. Dan Hoesein Djajadiningrat
adalah orang pertama dari Banten sekaligus angkatan pertama
di Indonesia yang belajar di Belanda. Hoesein adalah pembel-
ajar yang hebat dan berbakat luar biasa menguasai bahasa-
bahasa Timur. Snouck Hurgronje menjadi promotor Hoesein

51
sekaligus konsultan akademik selama di Leiden dan Snouck
Hurgronje adalah orang yang paling berjasa menyelamatkan
naskah, buku-buku, dan manuskrip tentang Indonesia, khusus-
nya kesundaan yang mungkin saja tidak akan pernah terbaca
dan terselamatkan hingga kini,” jelas Amer puas melihat
senyum simpul Sekar.
Mendengar penjelasan Amer yang lengkap menghadirkan
perasaan bahagia tersendiri bagi Sekar. Ia sangat menyukai
laki-laki yang cerdas selain dari pekerja keras.
“Aku kira kamu tidak hanya menyadari keberadaanku
setiap di KITLV, tapi kamu juga menyadari detak jantungku
yang berdegup kagum ketika kamu memberikan penjelasan
yang sempurna,” kata Sekar tegas sambil mengukir senyum
tipis berusaha mengendalikan keadaan.
Amer tersentak kaget mendengar jawaban Sekar yang
mebuat hatinya berdesir. Diam-diam ia meraba jantungnya
yang berdegup cepat begitu saja di luar kendalinya. Amer tidak
menyangka dengan jawaban Sekar yang begitu jujur tapi di-
ucapkannya dengan tegas.
“Amer…,” panggil Sekar sambil mengibas-ngibaskan
tangannya di depan wajah Amer.
“Ya, kenapa Sekar?” tanya Amer berusaha tetap tenang
sambil menoleh. Ia tidak mau salah langkah karena Sekar bisa
menerka setiap usahanya untuk menarik perhatian.
“Kamu belum melengkapinya sempurna, ada yang keting-
galan. Sepanjang hidupnya, Hoesein Djajadiningrat sangat di-
segani Belanda sebagai intelektual Indonesia karena kecerdas-
annya. Menjadi juara kompetisi penulisan ilmiah di Universiteit
Leiden. Sebagai bentuk penghargaan terhadapnya saat ini
berdiri patung Hoesein di aula Universiteit Leiden,” kata Sekar
menjelaskan yang ikut hanyut dalam obrolan yang menurutnya
menyenangkan dan berkualitas.

52
Amer bukanlah laki-laki romantis. Tapi, Sekar tak bisa
memungkiri kalau ia jatuh hati pada kedalaman kata dan luasnya
pengetahuan Amer. Meski ini adalah kali pertama pertemuan-
nya dengan Amer. Sekar berharap tidak pernah terjebak dalam
situasi yang salah bersama Amer.
“Hatur nuhun, sudah menyempurnakan penjelasannya.
Maaf, sebelumnya telah membuatmu jatuh pada kata-kataku.
Aku tidak bermaksud, tapi aku berharap kita satu frekuensi
mewujudkan cita-cita,” kata Amer dengan jawaban yang tak
kalah membuat Sekar tercekat.
“Kapan mau pulang ke Banten?” tanya Amer kemudian.
Sekar tersentak mendengar pertanyaan Amer. Kejutan
apalagi? Sejak awal Amer sudah tahu namanya. Sekarang ia tahu
dari mana asalnya. Sekar menarik napas panjang. Ia membenar-
kan letak buku di hadapannya.
“Kenapa, Mer? Ternyata kamu orang Banten juga? Ya, ren-
cananya libur semester ini aku mau pulang,” kata Sekar lembut
sambil mengembalikan buku yang dipegangnya ke sebuah rak
besar yang berdiri kokoh di belakang mereka.
Sekar berusaha menekan rasa penasarannya. Membunuh
setiap keinginannya untuk melemparkan banyak tanya kepada
Amer. Laki-laki asing yang baru dikenalnya dalam hitungan jam,
tapi rasanya seperti teman dekat yang sudah saling mengenal.
“Benar Sekar, aku juga dari Banten. Pergi ke Leiden, karena
aku ingin belajar lebih banyak tentang kesundaan di sini. Meski-
pun begitu, aku tidak pernah lupa kearifan lokal masyarakat
Banten. Jadi, Sekar, maksudku di Pagelaran Seni Budaya Indo-
nesia dan Pertemuan PPI Dunia nanti kamu mau tidak mene-
maniku dan yang lain untuk menyajikan tari Grebeg Terbang
Gede?” kata Amer berusaha memberikan penawaran yang bijak.

Meski sebenarnya ada alasan lain, Amer ingin menjadi satu

53
gelombang frekuensi dengan Sekar bukan hanya cita, tapi juga
rasa. Sudah cukup beberapa waktu ke belakang bagi Amer mem-
perhatikan dan mendapatkan informasi tentang Sekar. Gadis
yang anggun, ramah, lembut, pembelajar, dan cerdas. Pertemu-
an pertamanya dengan Sekar memberikan kesan yang dalam
untuk Amer. Ia bisa merasakan inner beauty Sekar yang mem-
buatnya berkali-kali merasakan decak kagum.
“Baiklah, aku mau. Kapan latihannya? Nanti tolong kabari
ya, ini nomor Whatsapp milikku,” kata Sekar antusias sambil
menyodorkan secarik kertas yang berisi belasan digit angka.
Amer menerima secarik kertas dari Sekar, ia kemudian me-
lipatnya dan meletakkannya di saku celananya. Amer terse-
nyum puas dengan perasaan yang mengudara. Berharap mem-
buka kesempatannya mengakrabi Sekar terbuka luas.
Selama hampir tiga minggu Amer, Sekar, dan teman-teman
lainnya berlatih tari Grebeg Terbang Gede untuk persiapan
Pagelaran Seni Budaya Indonesia. tari Grebeg Terbang Gede
merupakan tarian selamat datang yang memiliki ciri khas adat
istiadat di dalamnya yang dipadu padankan dengan silat,
biasanya tari kreasi ini digelar untuk penyambutan.
Sambil menunggu waktu pagelaran tiba, Sekar mendalami
tari Grebeg Terbang Gede. Bukan hanya sekadar gerakan tarian
yang dihayatinya, Sekar juga mempelajari filosofinya. Ia men-
coba mengingat dengan baik dan membaca berbagai literasi.
Ternyata “Grebeg” diambil dari logat bahasa Jawa Banten yang
memiliki arti “disetujui”, grebeg atau rempug menjadi lambang
religius, keramahan, dan keterbukaan masyarakat Banten. Se-
dangkan Terbang Gede adalah alat musik yang terbuat dari kayu
berbentuk silinder yang rupanya nyaris sama dengan rebana.
Semuanya Sekar pelajari secara detail agar saat pagelaran nanti,
Sekar dapat menyajikannya dengan penuh penghayatan. Sesekali
Sekar juga bertanya kepada Amer tentang tarian ini.

54
Malam ini adalah malam pagelaran, ada perasaan gugup
yang menyelinap di hati Sekar.
“Sekar,” panggil Amer setengah berbisik.
Sekar menoleh, keduanya saling pandang. Bola mata ke-
duanya beradu beberapa saat di bawah sinar lampu yang redup
di belakang panggung.
“Tenang Sekar, semuanya akan baik-baik saja. Jangan lupa
berdoa dan tetap optimis, aku yakin ini bukan hal yang sulit
buat kamu,” kata Amer seolah bisa membaca kegelisahan yang
menerkam hati Sekar.
Sekar tersenyum dan mengangguk pelan. Seandainya ibuku
masih hidup dan ada di antara mereka yang menghadiri page-
laran ini, ia pasti bangga melihat anak gadisnya menampilkan
tari budaya Banten di depan sejuta mata. Lirih Sekar dalam
hatinya.
Suasana pagelaran seni dan budaya ini kiranya tak terlukis-
kan oleh sekedar kata-kata. Gemerlap lampu yang menyorot
silih berganti dan tepukan meriah dari tamu undangan ter-
dengar menggema membuat takjub. Sekar, Amer, dan teman-
temannya berhasil membuat para tamu undangan terpesona
dengan tari Grebeg Terbang Gede. Banyak sekali yang men-
dokumentasikan penampilan mereka. Penampilan tari Grebeg
Terbang Gede yang dimainkan mendapat apresiasi dari Ke-
dutaan Besar Republik Indonesia, bukan hanya menakjubkan
tetapi telah memperkenalkan kearifan lokal Provinsi Banten di
mata dunia.
Usai pagelaran Amer mencari-cari sosok Sekar yang meng-
hilang sejak selesai menampilkan tari Grebeg Terbang Gede.
Berulang kali Amer bertanya kepada setiap orang, berharap
mendapatkan jawaban tentang keberadaan Sekar. Amer sudah
merencanakan dengan matang, malam ini ia hendak melamar
Sekar dan menyampaikan rencana masa depan untuk mereka

55
berdua. Sebuah cincin emas yang elegan dibelinya dua hari
lalu lengkap dengan kotak kecil yang melindunginya ditatapnya
dengan penuh binar. Amer yakin, Sekar memiliki perasaan yang
satu frekuensi dengannya.
Amer sudah berdandan rapi dengan balutan jas berwarna
abu dan sebuah dasi yang terulur di kemeja putihnya, usai me-
nampilkan tari Grebeg Terbang Gede tadi ia langsung bergegas
mengganti pakaiannya. Amer sudah tak sabar mengutarakan
keinginannya menggenapi Sekar. Tanpa berbicara sepatah kata
pun pada Sekar usai penampilan tadi Amer langsung pergi ke
ruang ganti mempersiapkan diri untuk memberikan kejutan-
nya pada Sekar.
Kini, wanita yang hendak dilamarnya tak kunjung ia temui.
Ke sana kemari berulang kali Amer mencari Sekar ke setiap
penjuru, tapi tetap tidak berhasil ditemuinya. Bukan hanya
rencananya yang berantakan. Amer merasakan hatinya seperti
tercabik-cabik.
“Kamu di mana Sekar? Aku mencarimu. Aku mencarimu,
Sekar,” batin Amer melangit.
Amer mengepalkan tangannya kuat dengan mata yang
nanar. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya sebelum
mempersiapkan kejutan Amer membuat janji dengan Sekar,
mungkin kehilangan itu tidak pernah ada. Mungkin sekarang ia
sedang membicarakan kata-kata cinta dan masa depan bersama
Sekar.
“Amer!” panggil seorang perempuan dengan napas ter-
sengal-sengal.
“Ya, ada apa?” kata Amer dengan suara parau.
“Aku Bela, temannya Sekar. Tadi Sekar menitipkan pesan
buat kamu,” kata Bela kemudian sambil mengatur napasnya.
“Sekar? Apa? Apa pesannya? Teleponnya kenapa tidak aktif?”
kata Amer dengan jantung berdebar.

56
“Sekar mungkin lagi di pesawat jadi teleponnya mati. Tadi
usai penampilan tari Sekar mencari-cari kamu, lebih dari 30
menit Sekar mencari tapi kamu enggak ada. Dia mau pamit kalau
libur semester ini pulang ke Indonesia, Sekar terburu-buru
karena pesawatnya adalah penerbangan terakhir malam ini.
Dia menitipkan amplop ini buat kamu,” kata Bela menjelaskan
panjang lebar.
Amer mengambil sebuah amplop dari tangan Bela. Dengan
penuh cemas ia membuka amplop itu. Ada sepucuk surat di
dalamnya. Amer menarik napas panjang, Sekar meninggalkan
pesan singkat berisi sepintas perasaan dan alamat rumahnya
di Banten.

Aku jatuh hati pada caramu berpikir, kutunggu kedatang-


anmu di rumah orang tuaku.
-Sekar

Amer tidak ingin lagi merasakan sakitnya kehilangan. Ia


langsung mempersiapkan keberangkatannya ke Banten me-
nyusul Sekar. Terangnya lazuardi kalah berbinar dengan pe-
rasaan Amer yang hendak meminang Sekar menjadi pendam-
ping hidupnya. (*)

57
58
Pasir Tanjung

Apip Kurniadin

enja mulai turun ketika Dewi tiba di Pasir


S Tanjung. Rumahnya agak jauh, terpacak
sendirian di atas bukit. Sementara, rumah-
rumah tetangganya hilang entah ke mana,
seperti ditelan bumi. Tak ada jejak-jejak ter-
sisa. Semua berubah menjadi tegalan yang
baru dibersihkan. Bekas-bekas roda besi me-
ninggalkan tapak-tapak yang menakutkan
seperti sebitan dan cacahan daging. Bau
tanah tercium, lalu hilang dibawa angin yang
bertiup kencang.
Rumahnya, kini sekadar ditemani pohon
jarak yang tumbuh di halaman dan semak-
semak setinggi pinggang yang mengintari se-
kelilingnya. Pagar bambu tua terlihat doyong,
nyaris roboh, seperti tersenggol kendaraan.
Tidak ada lagi kelelawar yang biasanya ber-
terbangan menyambut datangnya malam.

59
Lembayung yang berwarna keemasan sudah tak nampak indah,
seperti kobaran api membakar langit Pasir Tanjung. Tidak ada
lagi suara binatang malam. Tidak ada kampung yang teduh oleh
rupa-rupa pepohonan. Tidak terdengar suara azan di musala.
Tidak ada anak yang mendendangkan selawat nabi. Tidak ada.
Sepi.
Setelah berdiri mematung agak lama dengan mulut ter-
kunci rapat, Dewi melangkah lagi. “Kampungku...,” ratapnya
dalam hati.
Ia memutar tubuh sekali lagi. Memperhatikan keadaan
sekeliling yang terasa menjadi asing. Mencoba mengingat-ngingat
kembali letak rumah-rumah tetangganya yang hanya ada dalam
ingatan. Membayangkan anak-anak kecil bermain sebelum di-
suruh pulang oleh ibunya. Membayangkan gadis-gadis dan
pemuda-pemuda kampung yang hendak pergi mengaji.
Dewi kembali berjalan sambil sesekali memutar tubuhnya.
Pandangannya dilemparkan jauh ke arah langit yang tiba-tiba
terlihat menjadi kelabu. Senja tenggelam, hilang tersapu malam.
Ke mana Pasir Tanjung? Kampung tercinta, tanah kelahirannya.
Ke mana? Gelap merangkak. Menelan bumi, menerkam senja.
*

“Mak, Bapak ke mana?” tanya Dewi sambil sesekali mengusap


air mata. Suaranya hampir tak terdengar.
“Ke kota,” jawab Emak pendek, seperti putus asa.
Wajah Emak terlihat masam. Wawan, adiknya, tertunduk lesu
di sudut ruangan. Fatimah, si bungsu, terkulai dalam pang-
kuan emak.
“Sepulang dari kota, mau ke mana lagi katanya,” Dewi terus
mendesak.
“Tak tahu.”
“Kenapa sudah larut begini belum pulang?”

60
“Tak tahu.”
“Mak....”
“Tak tahu. Kamu sudah tuli?”
“Bapak ke Jakarta,” Wawan yang menjawab. Suaranya
terdengar bergetar. Wajahnya tetap tertunduk.
“Ke Jakarta? Mau bertemu siapa?”
“Tak tahu. Dengan Kang Opik, Mang Karta, Mang Sura, Pak
Nano...”
“Mengapa banyak? Mau apa?”
“Tak tahu, HAM katanya, dengan dewan-dewan.”
“Ke dewan? Dewan apa?
“Tak tahu.”
*

Dewi memeluk lutut di depan rumahnya. Di atas hamparan


rumput, di halaman dekat semak-semak. Di sampingnya, Wawan
meluruskan kaki. Menyandarkan tubuh yang ditopang kedua
tangannya. Bintang-bintang berkedip. Angin tetap mendesir
kencang.
Dewi asyik bercengkrama dengan ciptaannya. Berceng-
krama dengan kenangan. Bercengkrama dengan hati dan pikir-
annya. Pasir Tanjung kini tinggal nama. Tak ada yang tersisa,
kecuali rumahnya dan pohon jarak di halaman. Tinggal semak
dan pagar bambu. Tinggal lahan yang gersang. Perlahan, ter-
dengar suara Wawan mengisahkan berbagai peristiwa yang ter-
jadi di kampung itu selama Dewi pergi.
Setengah tahun yang lalu, Pasir Tanjung gempar. Mulanya
kampungnya didatangi rombongan survei. Mereka menancap-
kan patok, menancapkan bendera merah, mengukur sawah,
kebun, dan pekarangan.
Tidak lama kemudian, datang berita dari Pak Lurah, di Pasir
Tanjung akan dibangun bendungan besar. Bahkan, terbesar di

61
negeri ini. Lahan-lahan kampung akan digusur. Orang-orang
harus pindah. Katanya, demi pembangunan. Tak boleh ada yang
membantah. Pak Lurah lalu mengumumkan harga tanah, me-
ngumpulkan warga, memberi pengarahan ditemani rombongan
survei.
Seminggu kemudian, semua warga berkumpul di balai desa.
“Mau dibagi uang gusuran?” tanya Dewi penasaran.
“Bukan,” jawab Wawan.
“Lalu?”
“Mencari Pak Lurah.”
“Kenapa?”
Wawan melanjutkan kisahnya.

Dipimpin oleh Pak Nano, orang kampung mencari tahu me-


ngapa harga tanah yang ditawarkan begitu murah. Semeter
tanah disamakan dengan harga sebungkus rokok. Tapi, Pak
Lurah tidak ada. Orang kampung lalu mencari ke kecamatan,
kemudian mencari ke kabupaten. Pak Lurah tetap tidak ditemu-
kan. Pak Camat juga menghilang. Juragan Bupati sedang ber-
libur ke luar negeri. Ketika hendak mendatangi kantor dewan,
mereka dihalang-halangi.
“Siapa yang menghalangi?”
“Tak tahu,” jawab Wawan, pendek.
Esoknya, warga kampung kembali mencari Pak Lurah, men-
cari Pak Camat. Esoknya pergi lagi ke kecamatan, ke kabupaten,
entah ke mana lagi. Kebun mulai diratakan, sawah-sawah di-
buldozer. Kampung mulai digali.
“Saat itulah Kang Dayat meninggal,” kata Wawan.
“Kenapa?”
“Tertabrak alat berat.”
Dewi tertegun, sorot matanya kosong.

62
Dalam sebulan kebun, sawah, dan rumah-rumah, sudah
tak ada lagi jejaknya. Pasir Tanjung seperti dataran baru. Bukan
hanya Pasir Tanjung, tetapi juga kampung-kampung yang lain,
desa-desa yang lain. Semuanya rata dengan tanah. Hampir setiap
malam suara mesin alat-alat berat terdengar bergemuruh, meng-
hancurkan apa saja yang dilewatinya.
Dewi mendongakkan kepala seperti ingin menahan laju air
mata. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Bintang-
bintang membayang dalam kelopak matanya. Dahulu, ia suka
bernyanyi di bawah bintang atau bulan. Langit Pasir Tanjung
dengan baik hati menemani anak-anak bergembira memainkan
permainan kesukaan mereka atau sekadar menggoda bulan.
Bulan tok.... bulan tok...
Aya bulan sagede batok
Pasir Tanjung, kampung terpencil. Letaknya jauh dari per-
kotaan. Dikelilingi kebun dan pesawahan. Sekarang sudah meng-
hilang. Anak-anaknya, orang-orangnya, rumah-rumahnya,
sudah tak ada lagi. Mereka semua terkubur zaman, tergilas derap
pembangunan. Sebentar lagi terbenam dalam bendungan yang
konon airnya akan digunakan untuk minum orang Jakarta. Pasir
Tanjung, kini hanya tinggal nama dan sebentar lagi terlupakan.
“Besok rumah kita akan dirobohkan,” suara Wawan ter-
dengar lagi.
“Kata siapa?”
“Kata Pak Mandor.”
“Goblok.”
“Padahal, sebaiknya kita pindah saja, tapi Bapak tidak mau.”
“Bapak itu orang Pasir Tanjung.”
“Tapi, kampungnya sudah tidak ada.”
“Masih ada. Itu rumah kita.”
“Besok rumah itu akan dibongkar.”
“Pasir Tanjung masih ada, di hati Bapak, di hati Wawan.

63
Coba raba. Dalam hati Kakak. Dalam hati Kang Opik, Mang Karta,
Mang Sura, dan Pak Nano.”
Pasir Tanjung tidak bisa dibongkar sebab tempat yang lain
bukan Pasir Tanjung. Pasir Tanjung walau pun diratakan dengan
tanah atau ditenggelamkan, tetap di sini,” kata Dewi.
“Kenapa kampung kita digusur, Kak?” Dewi menghapus air
mata yang tak dapat lagi dibendung dengan punggung tangannya.
“Kalau nanti Wawan sudah dewasa, jangan lupa, itu bukan
perbuatan orang-orang Pasir Tanjung.”
Di langit, bintang-bintang berkedip. Malam bertambah
malam. Bintang terlihat bertaburan. Bulan sabit, betul, bulan
sabit, mulai menampakkan diri lagi. Seharusnya malam itu sepi,
tapi sepi kini entah berada di mana. Suara mesin terdengar se-
makin jelas, terbawa angin musim kemarau. Mendesir di antara
luasnya tegalan. Mengikuti angin, mengikuti sunyi.
Dewi menatap rumahnya yang berdiri sendirian. Kosong.
Suara Ibu yang sedang meninabobokan adiknya tak terdengar
lagi. Mungkin Fatimah sudah mengembara ke alam mimpi,
bisiknya dalam hati. Mimpi punya kampung baru. Mimpi punya
teman baru. Ia sendiri sudah lama meninggalkan Pasir Tanjung,
mengembara ke negeri-negeri asing, menjadi TKW. Dan, kini
tanah kelahiran yang selama ini dirindukan itu akan hilang
untuk selama-lamanya. Dewi tengadah ke langit, bintang ber-
taburan. Ke mana Bapak? Tanyanya dalam hati.
*

Besoknya, Dewi sudah berdiri di depan pagar. Barangkali


benar hari ini rumahnya akan dibongkar. Tetapi, walaupun hari
sudah menjelang siang, rumahnya masih tetap utuh. Monster-
monster itu mendadak kehilangan suaranya. Teronggok di ke-
jauhan. Dewi termangu, memandang tegalan yang luas mem-
bentang.

64
Bayangan kampungnya kembali muncul, ramai oleh anak-
anak yang berlarian. Ramai oleh orang-orang yang akan pergi
ke sawah atau ke kebun. Ramai oleh suara burung di pepohonan.
Tidak lama kemudian, Dewi melihat ada orang yang datang.
Beriringan melintasi tegalan. Setelah dekat, barulah jelas, ter-
nyata yang datang itu polisi. Diikuti beberapa orang. Tidak ada
seorang pun di antara yang datang yang Dewi kenal.
“Pak Jaya ada?” Tanya polisi yang berada paling depan.
Dewi nampak takut. Ia mundur beberapa langkah.
“Maaf, Pak Jaya ada di rumah?” Kata polisi yang lain, meng-
ulang pertanyaan. Kali ini suaranya terdengar lebih ramah.
“Bapak? Bapak sedang ke Jakarta,” jawab Dewi gugup.
Polisi itu saling pandang. Sambil membuka topinya, salah
seorang polisi kemudian bicara, “Pak Jaya sedang ada di sini.
Tadi malam, ia telah membunuh mandor proyek.” (*)

65
66
Satu Halaman Buku Lagi,
Kutuntaskan Kesentimentalanmu

Daniel Yudha Kumoro

ngkau duduk terdiam, bersandar di bantalan


E kursi kayu kesukaanmu itu. Jam di dinding
menunjuk pukul 01.25. Di bawahnya ada
keranjang sampah dengan kantong plastik
hitam yang belum diikat. Aku termangu.
Napasmu terhela, memandang layar
laptop yang dari tadi kosong. Ada apa? Apa
engkau sulit menemukan kata-kata indah lagi?
Sebagai penulis buku, hampir tiap malam
engkau mengalami ini. Ingin sekali kucabut
kabel itu dari stop kontaknya. Tapi buat apa?
Sedang aku berdiri di sini, di belakangmu,
sambil membolak-balik halaman bukumu
yang belum sempat kubaca semua. Bagai-
mana sempat membacanya? Dari pagi aku
sibuk memanggang adonan roti!
“Ma, buatin teh hangat lagi, ya?” pintamu.

67
“Ini sudah yang ke berapa, Pa?” jawabku ketus.
“Ayolah, Ma. Aku kan sudah tidak minum kopi lagi?”
Engkau memang sudah tidak pernah minum kopi lagi, sejak
dokter menyatakan engkau positif mengidap penyakit hiper-
tiroid. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi dokter pernah me-
ngatakan kalau kalenjar gondokmu memproduksi hormon
tiroid secara berlebih. Sehingga membuat metabolisme tubuh-
mu bekerja dengan sangat cepat. Termasuk kerja jantung. Dalam
keadaan santai saja, detak jantungmu seperti orang usai lari
maraton! Apalagi kalau dimasuki kafein, bisa tambah runyam
jantungmu!
“Tapi nggak pakai gula, ya?” sahutku.
“Jangan gitulah, Ma. Aku butuh kalori untuk tenaga. Mama
tahu sendiri kan kalau energiku habis karena penyakit ini?”
Ah, sudahlah! Aku tak mau berdebat lagi denganmu. Dari
kemarin sudah aku ingatkan untuk mengurangi gula. Aku tak
ingin ada penyakit lain yang hinggap di tubuh kurusmu itu.
Aku sambar begitu saja gelas keramik putih itu dari meja-
mu. Lantas melangkah pergi ke dapur menyeduh teh hangat
untuk yang kesekian kalinya. Aku kurangi saja takaran gulanya
menjadi satu sendok. Lantas kuaduk-aduk. Asap putih menge-
pul dari dalam gelas. Lamunanku terbayang dengan apa yang
engkau tuliskan dalam bukumu.
Engkau bercerita, setahun yang lalu, saat engkau mengirim-
kan puisimu ke Festival Seni Multatuli, tak disangka, engkau
mendapatkan undangan untuk datang ke Lebak, mengingat
puisimu yang lebay itu lolos proses kurasi dewan juri. Setelah
sampai di Tanah Abang, engkau membeli tiket komuter jurusan
Rangkasbitung. Waktu itu pukul 12.05, saat KRL arah Rangkas-
bitung datang di peron 5. Engkau amati penumpang-penumpang
yang masuk gerbong semakin banyak. Mereka membawa dus-
dus dan plastik besar berisi barang dagangan dan belanjaan.

68
Perlu waktu 15 menit menunggu kereta untuk berangkat.
Dengan jarak tempuh 72,7 km, engkau memperkirakan sekitar
dua jam akan sampai di Stasiun Rangkasbitung. Meski kereta
berhenti beberapa menit lebih lama di tiga stasiun besar Serpong,
Parung Panjang, dan Maja, engkau mengatakan kalau menikmati
perjalanan itu. Terutama saat melihat pemandangan sawah yang
hijau beserta para petani yang bekerja di sana.
Tepat pukul 14.05, kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung.
Penumpang berjubel di pintu kereta. Mereka antre turun dengan
menggunakan bancik. Sembari keluar dari stasiun, engkau sem-
pat menggunakan kamera ponselmu untuk mengabadikan gam-
bar rumah dinas perkeretaapian, menara air tua, serta bengkel
kereta api. Vintage, katamu.
Keluar stasiun, engkau langsung mencari angkot nomor
04 tujuan Ona. Selang lima menit, kendaraan warna merah bata
tersebut sudah berada tepat di depan Alun-alun Rangkasbitung.
Lagi-lagi, engkau mengambil ponsel barumu itu. Ponsel
canggih yang kaubeli dari honor menulis di media cetak besar
beberapa minggu yang lalu. Aku ikut senang. Engkau mengambil
gambar dari depan RSUD Adjidarmo, penjara, Masjid Agung
Al Araaf, kantor DPRD, dan tentunya Museum Multatuli. Dari
gambar-gambar yang aku lihat di gawaimu, tidak pernah aku
temui satu pun gambar dirimu di depan spot-spot yang kamu
kunjungi itu. Ini aneh menurutku. Apa salahnya sih berswafoto
di situs-situs yang menarik tersebut? Dirimu sudah jauh-jauh
datang lho!
Engkau melangkahkan kaki ke Museum Multatuli. Di situ
terdapat rumah tua peninggalan Multatuli. Katamu itu nama
pena yang digunakan Eduard Douwes Dekker untuk menulis
buku yang fenomenal, Max Havelaar. Sebuah nama yang sangat
aku ingat saat Bu Yanti, guru SD-ku, menerangkan pelajaran
IPS.

69
Engkau melanjutkan langkahmu ke Perpustakaan Saidjah
Adinda yang terletak bersebelahan dengan Museum Multatuli.
Katamu bangunan itu bergaya arsitektur modern campur tradi-
sional. Seperti lumbung padi tapi memiliki atap lobi yang tinggi
dengan banyak kaca di sekitarnya.
“Ini tehmu,” ucapku sambil menaruh gelas itu di atas mejamu.
“Makasih, Sayang,” tapi matamu masih tertuju di layar laptop.
Aku kesal.
“Aku mau tidur,” lanjutku langsung menuju ke kamar.
Aku masih ingat dulu bagaimana kita bertemu. Engkau
sangat menyukai jaket warna kuningmu. Saat itu engkau masih
bekerja di sebuah lembaga pendidikan swasta di pinggir kota,
sedang aku duduk di bangku kuliah. Aku butuh biaya. Aku
berjualan roti buatanku sendiri, bahkan sampai detik ini. Kalau
tidak karena roti, mungkin aku dan dirimu tidak akan bertemu.
Suatu pagi, seorang pria datang ke rumah memesan roti tart.
Kata pria itu, ibunya sedang berulang tahun. Aku langsung jatuh
cinta saat pertama kali melihatnya. Pria dengan jaket warna
kuning kesukaannya. Ia terlihat sangat tampan waktu mengena-
kan baju hangat bermotif cerah tersebut. Pria itu adalah dirimu!
Beberapa hari kemudian, engkau dan ibumu datang ke
rumah. Engkau melamarku. Aduhai! Aku terkejut. Mantra apa
yang telah kutiupkan pada roti tart itu? Apa karena doa-doa
yang kupanjatkan setiap malam? Padahal yang kuminta adalah
pangeran tampan berambut pirang dan berkuda putih. Ampun!
Selang beberapa waktu lewat, akhirnya pesta kecil-kecilan
itu usai. Meninggalkan tidak sedikit tagihan yang harus kita bayar
sendiri di sana sini. Tapi, ya sudahlah, yang penting kita sudah
menikah.
Bulan keempat engkau mengatakan ingin memiliki anak
perempuan. Mengapa tanyaku? Mengapa anak pertama tidak
laki-laki saja? Ia yang akan jadi pelindung bagi adik-adiknya.

70
Tidak katamu! Sekali lagi tidak. Engkau sangat ingin anak perem-
puan. Biar engkau sendiri yang akan mendandaninya kelak. Aih!
Bukan ibunya? Bukan! Bukan jawabmu. Engkau sendiri yang
nanti mengepang rambutnya. Lantas mengikatnya dengan tali
pita warna merah marun. Ya ampun, Pa, sampai segitunya?
Engkau akan membelikannya anting, kalung, dan gelang
emas beberapa karat. Lantas memakaikan pakaian yang be-
rumbai. Itu karena dia masih kecil. Tapi nanti. Nanti ketika dia
sudah sedikit lebih besar. Engkau akan menjuntaikan padanya
kerudung panjang hingga ke kedua lutut kakinya! Aduh, Papa,
sampai segitukah rencanamu? Bukan. Bukan itu rencana besar-
nya! Rencana besarnya adalah engkau akan memberikan kepada
kami tempat bernaung yang lebih layak dari rumah ini, serta
sedikit ruang untukku berjualan roti di depan rumah.
Malam itu pukul 22.35 saat engkau meneleponku. Katamu
acara launching buku di Museum Multatuli sudah selesai. Engkau
juga baru saja sampai di penginapan.
“Enggak jalan-jalan dulu?” tanyaku.
Engkau mengatakan tidak. Sudah larut malam, besok saja
katamu. Ada seorang teman penulis yang sudah berjanji akan
membawamu jalan-jalan besok pagi.
“Jadi besok enggak langsung pulang?” tanyaku lagi.
Belum katamu. Besok temanmu itu akan mengajakmu
belanja oleh-oleh ke sebuah tempat. Engkau berjanji akan segera
pulang setelah mengunjungi beberapa lokasi di sana. Katamu
sebagai bahan untuk tulisan di bukumu itu. Jalan-jalan terus!
Geramku dalam hati. Setiap kali pergi sendiri, dirimu selalu ber-
lama-lama. Sedang bila jalan-jalan denganku, jarang sampai harus
menginap.
“Ya sudah, hati-hati, ya, Pa. Jangan lupa obatmu diminum.
Jangan capek-capek!” pesanku padamu sebelum kaututup
teleponmu.

71
Pukul 02.10 engkau sudah berdiri di depan pondokan
tempatmu bermalam yang terletak di dekat Pasar Rangkas itu.
Tak lama kemudian, sebuah mobil kijang abu-abu datang meng-
hampirimu.
“Sudah lama?” tanya temanmu.
“Baru saja, Kang,” jawabmu.
Engkau bercerita bahwa dirimu dan temanmu harus be-
rangkat lepas tengah malam agar tidak tertinggal momen me-
narik di awal pagi. Mau ke mana? Tanyaku penasaran.
Sekitar satu setengah jam, engkau sudah sampai di depan
sebuah rumah di kawasan Banjarsari. Tepatnya di Desa Kerta,
Jalan Raya Saketi. Waktu itu hampir subuh, ketika seorang laki-
laki berumur 40-an menyambut kedatanganmu. Ia memper-
silahkan dirimu masuk di kediamannya yang sederhana. Laki-
laki itu mengantarmu sampai ke dapur. Tepat di depan seorang
perempuan tua yang yang terlihat sibuk memasak.
Ia adalah Emak Surti. Wanita berusia 74 tahun. Aku hampir
tidak percaya karena usia ibuku tidak sampai segitu. Ia dibantu
menantunya, Neng Ina, usia 39 tahun, istri dari laki-laki tersebut.
Mereka menyiapkan bahan makanan beserta bumbu-bumbunya
seperti beras ketan, garam, santan, bawang merah, dan kacang
kedelai. Bahan-bahan tersebut kemudian dibungkus dengan
daun pisang, lalu dimasukkan ke dalam batang bambu dan
dibakar.
“Mereka sedang membuat apa?” tanyaku tertarik.
“Oh, mereka akan membuat lemang! Makanan khas warga
Malingping. Salah satu makanan favoritku.”
Tapi kenapa harus jauh-jauh ke sana?
“Dadaku sesak, Ma!” keluhmu.
“Terlambat minum obat lagi?” tanyaku gregetan.
“Tidak. aku minum obat tadi sore,” jawabmu terengah-engah.
“Ayo, aku antar ke dokter!” ajakku.

72
“Malam-malam begini tidak ada dokter,” katamu perlahan
sembari menarik napas dalam-dalam.
“Ya sudah, kalau begitu kita ke rumah sakit!” jawabku
seraya bergegas mengambil kunci mobil.
Malam ini tidak biasanya engkau seperti ini. Mau saja eng-
kau aku antar ke rumah sakit. Padahal biasanya engkau lang-
sung berangkat sendiri dengan matic cokelat kesayanganmu
itu. Beberapa jam kemudian engkau sudah pulang kembali ke
rumah dengan wajah yang berseri.
Tapi tidak untuk malam ini. Malam ini malam yang lain
dari biasanya. Engkau merasakan nyeri yang lebih dari sebelum-
nya, sedang katamu engkau sudah rutin minum obat hari itu.
Aku terpaku melihat di dadamu terpasang elektroda-elek-
troda panjang yang melilit. Seolah-olah dadaku ikut sesak di-
bebat kabel-kabel itu. Dibelit kuat oleh perasaan-perasaan yang
tidak menentu. Perasaan takut akan kehilangan dirimu!
Detak jantungmu terekam di layar monitor. Disertai bunyi
“bip-bip” yang perlahan namun memekakkan telinga. Ingin se-
kali kusiram air alat detektor itu. Seakan-akan ia menjadi penghi-
tung mundur untuk mempersiapkan sesuatu yang buruk terjadi.
Aku juga sangat benci memperhatikan grafik irama jantung
yang naik-turun di skrin tersebut. Sepertinya jantungku ikut
melonjak naik hingga ujung kepala lantas terhempas jatuh turun
ke lutut. Begitu seterusnya.
Aku benci semua itu. Terlebih aku benci ragamu yang ter-
baring lemah di ranjang ICU. Aku benci dirimu yang mengingat-
kanku pada mendiang ibuku. Rasa sesal mulai menyembul ke-
luar dari dalam hati. Mengapa tidak kauhentikan kebiasaanmu
begadang hingga tengah malam itu? Mengapa tidak kautinggal-
kan minum-minuman manis kesukaanmu itu? Serta berjuta
pertanyaan lainnya mencuat menusuk kalbuku. Sebenarnya aku
tahu. Saat aku mogok tidak mau membuatkanmu teh hangat,

73
diam-diam engkau pergi ke dapur dan membuat teh manismu
sendiri. Tapi, ya sudahlah. Air mataku terlanjur meleleh.
Dari Desa Kerta, tempat Emak Surti membuat Lemang, eng-
kau melanjutkan perjalanan ke Desa Kersaratu yang berjarak
36 km dari Jalan Raya Saketi. Di sana engkau melihat proses
pembuatan gula aren atau gula beureum. Lalu, engkau membeli
sebanyak dua toros.
Setalah merasa cukup membawa beberapa buah tangan
khas Lebak, tepat pukul tujuh lebih dua menit, engkau bertolak
54 km ke arah tenggara. Tepatnya di Desa Sawarna, Kecamatan
Bayah. Itu adalah perjalanan favoritmu. Betapa tidak? Hampir
selama satu setengah jam engkau disuguhi pemandangan laut
selatan yang biru membentang! Wuih! Bagaimana aku tidak
cemburu padamu? Engkau menyusuri wilayah Banten Selatan
yang disebut juga dengan Tanah Pakidulan itu hanya berdua
dengan temanmu, bukan dengan keluargamu!
Dalam catatanmu menunjukkan pukul 08.29 saat engkau
sampai di Pantai Tanjung Layar. Beberapa meter setelah me-
lewati pintu gerbang, di sisi kanan lapangan parkir terdapat
makam yang bertuliskan ‘Jean Louis Van Gough, Arheim: 07
Nov 1883 – Sawarna : 29 Marc 1930’. Menurut warga setempat,
nama yang terdapat pada prasasti itu adalah milik seorang Be-
landa yang pertama kali menginjakkan kaki dan menemukan desa
wisata itu. Ingatanku langsung terbayang pada sosok Belanda
yang membangun Jalan Raya Daendels kala itu. Mungkin.
Sepanjang mata memandang, pasir berwarna putih ter-
hampar luas. Ombak datang silih berganti berdeburan meng-
hantam karang. Waterblow, katamu. Tampak sepasang batu
cadas dengan ukuran sangat besar berdiri berjejer. Konon, dua
buah bukit karang itu adalah perwujudan dari dua layar perahu
dalam legenda Sangkuriang. Dalam kisah itu, Sangkuriang dan
Dayang Sumbi ditakdirkan berpisah, seperti engkau dan aku. (*)

74
Aku Tidak Bisa Pulang Malam ini

Eka Nurul Hayat

amu pernah melihat seorang ratu menangis?


K Tidak, maksudku terus menerus mengeluar-
kan air mata tanpa henti walau hanya dalam
satu tarikan napas. Aku pernah dan yang aku
lihat bukanlah ratu di film-film kartun. Ini
mungkin akan terdengar sedikit konyol dan
seperti dongeng, aku juga yakin kalian tidak
akan memercayainya, tetapi aku tidak tahan
memeluk cerita ini sendirian. Tak apa jika
kalian ingin tertawa, tetapi aku mohon, to-
long dengarkan ceritaku ini sampai selesai.
Cerita ini dimulai saat aku berlibur ke
rumah Kakekku yang ada di kampung. Kam-
pung yang dikelilingi oleh sebuah sungai
besar. Kata Kakek, dulu sungai itu airnya
jernih sekali, itulah kenapa sungai itu di-
namakan Ciberang, berasal dari kata herang
yang berarti bening. Batu-batu koral masih

75
terlihat dengan jelas di dasarnya. Setiap pagi, sambil mandi
atau mencuci, orang-orang kampung membawa sair 1 untuk
mengambil ikan-ikan kecil untuk sarapan.
Akan tetapi, kini sungai itu tidak sebersih dulu. Sampah-
sampah plastik bekas pembalut dan popok bayi menggunung di
tepi semua tampian2 sungai. Tidak ada lagi ikan-ikan yang nya-
man berenang di antara sela bebatuan, orang-orang tidak lagi
sarapan dengan ikan-ikan yang diambil dari sungai saat mandi
pagi, tetapi dengan nasi uduk atau lontong sayur dan gorengan.
Untungnya, walau sekarang ikan-ikan itu susah sekali di-
dapat, Kakek dan Nenekku masih tetap bisa sarapan dengan
ikan-ikan seperti dulu. Sebab setiap pagi aku selalu terbangun
dari tidur dengan suara Nenek yang sedang menggoreng ikan
di hawu3, kadang aroma kehkel4 yang tercium oleh hidungku,
kadang juga aroma regis5 yang membuatku buru-buru menying-
kirkan selimut dan bergegas ke dapur. Mungkin di kampung itu
hanya Nenekku yang tidak pernah membeli nasi uduk buat
sarapan. Entahlah, mungkin Kakekku itu punya semacam ilmu
atau jampi-jampi pengasihan sehingga jala atau osom 6 yang
ditaruhnya di sungai selalu penuh oleh ikan-ikan.
Pernah suatu hari, aku ikut Kakek menaruh osom di sungai.
Itu adalah pertama kalinya aku ikut menaruh osom di sungai.
Dia membuatkanku sebuah osom saat di kebun. Aku yang biasa-
nya mandi sore bersama Nenek, kali itu aku ke sungai bersama
Kakek.

1
wadah terbuat dari bambu berbentuk melengkung
2
tempat yang biasa dipakai mandi dan mencuci di sungai
3
tungku dari batu bata
4
Anggota keluarga ikan lele yang hidup di sungai berarus deras
5
Nama lainnya Genggehek adalah sejenis ikan air tawar anggota suku Cyprinidae
6
Perangkap ikan yang terbuat dari bambu seperti bubu tapi lebih kecil
7
Sianida yang dipakai untuk membersihkan emas

76
Dengan penuh semangat kutenteng osom yang bambunya
masih hijau, tidak seperti osom Kakek yang sudah terlihat ke-
coklatan. Pertama-tama kami menyeberang melewati bebatuan
yang menghampar ke arah seberang, kami menyusuri tepian
sungai menuju hulu yang agak jauh dari tampian. Setelah Kakek
menemukan tempat yang menurutnya cocok untuk menaruh
osom, yaitu aliran sungai yang masuk ke celah-celah di antara
dua batu besar. Ia menyuruhku menaruhnya agak ke hulu. Lalu
ia menaruh osom miliknya di tempat, di antara dua batu kecil
tapi lebih hilir dari tempatku. Sebelum pergi ia memeriksa kem-
bali letak osom itu apakah sudah kokoh atau belum, baru setelah
itu kami pulang.
Semalaman aku hampir tidak bisa tidur karena ingin segera
esok hari. Aku penasaran ingin melihat ikan-ikan yang terpe-
rangkap di dalam osom milikku. Saat kokok pertama ayam jago
terdengar, aku langsung turun dari kasur dan membangunkan
Kakek untuk mengajaknya ke sungai. Tetapi yang bangun malah
Nenek. Nenek bilang masih terlalu pagi untuk memeriksa osom
itu, azan subuh saja baru akan berkumandang setengah jam lagi.
Aku ditariknya kembali ke pelukannya supaya tidur lagi.
Entah karena pelukan Nenek yang hangat, aku terlelap
kembali dan baru bangun saat sinar matahari masuk melalui
jendela kayu yang telah terbuka. Burung-burung pipit sudah
terdengar di atas pohon mangga di depan rumah. Aku langsung
berlari ke dapur mencari Kakek, tetapi yang kulihat hanya
Nenek yang sedang mananak nasi. Kata Nenek, Kakek baru saja
pergi ke sungai. Aku kesal kenapa Kakek tidak membangunkan-
ku, lalu aku langsung berlari ke sungai.
Dari tangga tampian yang kuturuni kulihat sosok Kakek
dari kejauhan di seberang sana. Aku memanggilnya keras sekali,
ia menoleh dan melambaikan tangannya padaku. Aku langsung
bergegas menyusulnya.

77
Setelah sampai, kulihat Kakek sedang memeriksa osom
miliknya. Aku berdecak kagum, belasan ikan seruas jari terpe-
rangkap di sana dengan pasrah. Beberapa masih ada yang
bergerak-gerak lincah mencoba kabur dari dalam osom. Lalu
Kakek menyuruhku memeriksa osom milikku. Dengan se-
mangat aku langsung mengambil osomku dan memeriksa isinya,
aku goyang-goyangkan beberapa kali tetapi tidak ada satu pun
ikan yang muncul. Aku mencoba mengintip melalui celah-celah-
nya dan kulihat hanya ada satu kehkel yang bergerak lincah di
dalam sana dan aku sedikit kecewa.
Sampai sekarang setiap aku menaruh osom di sungai, osom-
ku tidak pernah dijejali ikan seperti halnya osom milik Kakek.
Begitu juga dengan osom-osom milik temanku dan osom-osom
milik bapak-bapak mereka. Itulah kenapa orang-orang kampung
sekarang lebih memilih alat setrum untuk mengambil ikan di
sungai, bahkan saat musim kemarau warga kampung bersema-
ngat iuran untuk membeli tua7 dan beramai-ramai nua8 sungai.
Kebetulan liburanku saat itu bertepatan dengan musim ke-
marau. Sudah berminggu-minggu hujan tidak turun, awan hitam
yang sesekali terlihat di atas langit kampung seakan mencandai
kami, seperti seseorang yang mencandai anak kecil dengan
berpura-pura mengulurkan permen lalu menariknya kembali.
Awan-awan hitam itu masih enggan memberikan air hujan.
Sawah-sawah kering, sumur-sumur kering, air sungai ter-
lihat semakin kurus, batu-batu besar terlihat menonjol, batu-
batu koral licin oleh lumut, dan sampah semakin membuat
wajahnya kotor. Tapi teman-temanku malah terlihat riang tadi
pagi. Kata mereka nanti sore warga kampung akan nua air
sungai, mereka tampak sibuk membuat sambet dadakan dari

8
Kata kerja dari tua (bahasa sunda)

78
saringan langseng9 yang dijait dan ditempelkan pada kawat atau
bambu. Sambet itu seperti alat yang dipakai Spongebob untuk
menangkap ubur-ubur. Aku juga ingin membuat sambet seperti
halnya mereka.
“Nek, Nenek punya kain saringan langseng?”
“Untuk apa, Ara?”
“Untuk membuat sambet seperti teman-teman, Nek. Kata
teman-teman mengambil ikan pakai sambet jauh lebih mudah
daripada pakai sair”
Nenek yang sedang menggiling adonan opak dengan kayu
bulat berhenti sejenak dan menatapku, “Zahra, tadi pagi Kakek
berpesan kamu tidak boleh ikut nua sore ini.”
“Tapi aku ingin ikut, Nek, tadi aku sudah janji sama teman-
teman, aku juga penasaran nua itu seperti apa,” aku merajuk
pada Nenek.
“Tidak boleh, Ara. Nenek tidak akan mengizinkan, batu-
batu di sungai sedang licin, itu berbahaya, kamu bisa terpe-
leset,” jawab Nenek sambil terus menaruh opak di dalam sair
yang dibalik.
“Aku akan berhati-hati, Nek. Aku janji.”
“Nenek tetap tidak akan mengizinkanmu,” jawab Nenek
kembali manatap tepat ke dalam mataku. Aku jengah dan lang-
sung memalingkan muka, Nenek tidak pernah menatapku dengan
sorot mata seperti itu, aku benar-benar tidak bisa membantah
lagi. Lalu aku ke halaman rumah, duduk di bale-bale bambu.
Matahari sudah makin condong ke arah barat, sebentar
lagi Haji Adung akan mengumandangkan azan Asar. Biasanya
teteh-teteh 10 tetangga sudah mulai pergi ke sungai membawa

9
Alat untuk menanak nasi/mengukus
10
Kakak perempuan

79
piring-piring kotor dalam bakul, tetapi yang kulihat sore itu
orang-orang beramai-ramai membawa sambet ke arah hulu.
Ibu-ibu, anak-anak sepantaranku juga anak-anak yang lebih
kecil terlihat bersemangat membawa besek plastik berjalan
mendahului ibu-ibu mereka yang hanya membawa sair bambu.
Beberapa menoleh ke arah rumah Kakek. Dan saat mereka me-
lihat ke arahku mereka tampak berbisik-bisik sambil melirikku
lagi. Mereka tidak mungkin mengasihani aku yang tidak boleh
ikut nua kan? Tanyaku dalam hati. Aku tahu kata teman-teman-
ku tiap rumah dipinta iuran dua puluh lima ribu untuk membeli
tua itu. Apa mungkin karena Kakek tidak ikut iuran, ia melarang-
ku ikut nua?
“Ara, kok masih duduk-duduk, tuanya akan segera ditabur,
loh. Ayo kita ke sungai sekarang,” Aisah membuyarkan lamun-
anku.
“Kakek melarangku, Sah, mungkin karena Kakek tidak ikut
iuran?” jawabku dengan suara yang lemah.
“Oh, ya? Tapi ibunya Siti juga tidak ikut iuran dan ibunya
tidak melarangnya ikut. Iya, kan, Sit?” tanya Aisah pada Siti yang
berdiri di sampingnya.
“Iya, ibuku sedang tidak punya uang waktu Mang Hamid
datang ke rumah memungut iuran, tapi ibuku tidak melarangku,
bahkan ia mencarikanku besek plastik ke tetangga.”
“Ayo, Ra, tidak apa apa tidak iuran juga,” ajak Aisah
“Tapi aku tidak punya sambet. Sair Nenekku dipakai buat
menjemur opak.”
“Ya sudah kita gantian saja,” kata Aisah dan Siti berba-
rengan. Aku berpikir mungkin tidak apa-apa jika aku ikut nua
tanpa sepengetahuan Nenek. Toh, Kakek sedang pergi. Lalu
kami pun pergi ke sungai.
Sesampainya di hulu, sungai sudah tampak seperti pasar.
Semua warga kampung turun semua ke sungai, kecuali Kakek

80
dan Nenekku tentu saja. Bahkan orang-orang di luar kampung
kami pun berdatangan. Kata Aisah tuanya akan ditabur tepat
di bawah jembatan sana. Aku melihat jembatan yang ditunjuk
Aisah, ada sebuah batu besar di bawah jembatan itu. Kata Aisah,
jika setelah tua ditabur terdengar suara bergemuruh seperti
batu yang menutup, itu berarti penguasa ikan tidak memberi
izin ikan-ikannya untuk diambil. Aisah berharap semoga saja
hari itu tidak ada suara gemuruh dari dalam batu yang menye-
rupai piramida itu.
Tidak lama, orang-orang yang tadi hanya berdiri di tepi
mulai merangsek ke tengah sungai. Suara-suara teriakan mulai
terdengar, teriakan bahwa ikan sudah mulai weureu.11. Aisah
dan Siti langsung turun pula ke sungai, mereka tampak lincah
dan gesit mengambil ikan-ikan kecil yang mengambang. Ke-
banyakan ikan kehkel dan regis. Aku bertugas memegangi hasil
tangkapan mereka berdua atau sesekali memberitahu mereka
ikan-ikan yang terlewat dari perhatian mereka.
Tiba-tiba seekor ikan sebesar paha lewat di depan mataku,
aku mencoba menangkapnya dengan kedua tanganku, tetapi
karena aku memegangi plastik hasil tangkapan ikan Aisah dan
Siti ikan tadi lepas kembali. Ia masuk ke dalam sungai dan muncul
kembali ke permukaan di hilir sana. Aku bergegas ke hilir mening-
galkan Aisah dan Siti untuk mengejar ikan bersirip keemasan
itu.
Beberapa kali aku terjatuh karena bebatuan sungai yang
licin tetapi aku langsung bangun kembali. Ikan itu sungguh gesit.
Mungkin karena badannya yang besar ia tidak ikut weureu se-
perti halnya ikan-ikan kecil yang tadi kami tangkap. Aku terus
menuju hilir, menuju leuwi12 Nyi Sarinem yang pernah dicerita-

11
keracunan
12
lubuk

81
kan Kakek padaku. Hanya ada beberapa orang di dekat leuwi,
itu pun hanya ibu-ibu tua yang malas ke hulu dan menunggu
ikan-ikan yang weureu di tampian saja.
Kulihat ikan itu masuk ke leuwi, aku mengejarnya ke sana.
Seorang ibu meneriakiku supaya jangan ke sana, tetapi karena
aku menginjak batu yang licin aku terjatuh. Aku berhasil me-
nangkap ikan bersirip keemasan itu dengan kedua tanganku. Aku
senang bukan main, aku akan memamerkan ikan ini pada Aisah,
pada Siti, pada Nenek, dan tentu saja pada Kakekku. Ah, aku
bahagia sekali. Liburanku kali ini benar-benar menakjubkan.
“Kau akhirnya berhasil menangkap ikan itu, nak.”
Aku mencari sumber suara, tetapi yang kulihat hanya
seekor ikan bersirip keemasan yang jauh lebih besar daripada
ikan yang aku tangkap.
“Kau, kau, yang berbicara padaku?” tanyaku gemetaran.
Ia seperti tersenyum mengiyakan.
“Lepaskan anak itu, Caung, biarkan ia pulang,” suara se-
orang wanita terdengar memohon. Aku menoleh ke sumber
suara, terlihat seorang wanita berambut panjang mengenakan
mahkota bebungaan di atas kepalanya. Ia begitu cantik tetapi
terlihat sendu. Matanya terus menerus mengeluarkan bulir-
bulir bening yang menganak sungai di pipinya yang putih.
Ikan caung menghampiri sosok ratu itu lalu mereka terlibat
perdebatan sengit. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka
perdebatkan, tapi sepertinya Sang Ratu ingin agar aku dilepas-
kan tetapi ikan caung yang beraura penguasa itu menolaknya.
Aku melihat ke sekeliling, ini seperti di dalam gua, di belakangku
tampak beberapa kurungan entah dari besi entah dari apa. Di
dalam setiap kurungan yang menyerupai sel itu, terdapat satu
orang anak. Ada anak laki-laki usia sepuluh tahunan, ada anak
perempuan berambut keriting usia tujuh tahunan, ada sepasang
anak kembar, dan ada seorang anak laki-laki yang sepantaran

82
denganku. Sel-sel itu dijaga oleh seekor ikan kehkel sebesar
betis orang dewasa.
Apakah ini mimpi? Aku bertanya-tanya dalam hati. Jika
ini hanya mimpi tolong sampaikan pada Nenekku untuk segera
membangunkanku dari tidur. Jika ini bukan mimpi, tolong siapa
saja yang telah selesai membaca cerita ini, katakan pada
Kakekku, sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini. (*)

83
84
Bardi Mencari Dirinya di Aliran Sungai

Fyan F. Fendi

eputusannya mencari tanaman dan air untuk


K Ambu memang setengah terpaksa. Tiga kali
ia mengabaikan mimpi tentang petunjuk itu.
Ia tolak tawaran Mang Sanip untuk mem-
bantunya. Meskipun tak minta imbalan, tetap
saja Bardi harus mengupahi tenaga dan waktu
tetangganya itu, karena dapur Asih—istri
mang Sanip—harus tetap mengepul.
Ah, aku akan menemukannya sendiri
dan kembali sebelum petang, gumamnya.
Pagi itu Bardi berangkat, tanpa berterima
kasih kepada Asih yang memaksa ingin me-
nemani dan menjaga Ambu di gubuk yang
masih beralaskan tanah itu.
Perempuan berumur lebih dari setengah
abad itu terbaring di atas dipan reyot. Suhu
tubuhnya terus naik, meluap seperti sungai
di belakang gubuk jika musim hujan. Betapa
tak nyaman mencium bau menyengat dari

85
sungai yang tersendat. Dan kini Ambu tak berdaya membersih-
kannya seperti yang rutin ia lakukan selama ini, sendirian.
Di pinggir sungai, ia bimbang harus memilih antara berjalan
ke sebelah kanan, yaitu menuju hulu sungai atau ke arah sebalik-
nya. Ia mengingat lekat mimpi itu lagi. Masih jernih suara-suara
di dalam mimpinya, “Penawar untuk penyakit Ibumu ada di
sepanjang aliran sungai. Terserak di antara daksina hingga
paksina…,”
Akhirnya, ia memilih jalan setapak ke selatan tak jauh dari
tubir sungai, ke tempat yang lebih terjal menuju perbukitan. Ia
telah terbiasa keluar-masuk hutan. Dugaannya melenceng, ter-
nyata perjalanannya sulit. Beda dengan kebiasaannya sepuluh
tahun terakhir bekerja sebagai perintis, meneroka lahan. Pihak
kontraktor telah memberi blue print termasuk jalur retasan.
Ia tinggal kemudikan buldoser, merambah segala yang ada di
depannya. Jika dihitung dari awal, mungkin ia telah menggun-
duli ratusan hektare.
Hingga bayangannya mulai condong ke sebelah timur,
Bardi masih saja berjalan. Sesekali ia berhenti, memerhatikan
tiap tumbuhan dengan saksama. Dari arah depan, tampak sese-
orang berpakaian lusuh. Mereka akan berpapasan di jalan se-
tapak itu. Ia malas bertegur sapa dengan orang asing. Tapi, ini
kesempatan untuk bertanya.
Ia menyeka keringat dan merasa letih. Tak ada salahnya ia
mengikuti anjuran si Bapak untuk duduk beristirahat. Si Bapak
menyodorkan bungkusan berisi kentang rebus, sisa bekalnya
mengurus huma. Bardi mengeluarkan sebotol air mineral,
hanya itu yang ia bawa.
Bardi bertanya perihal tanaman yang tumbuh di dekat
sungai—ia tak tahu namanya— yang ia cari. Bapak itu malah
bercakap tentang kaitan laku hidup dan makanan yang sehat
niscaya dapat meminimalisir penyakit.

86
“Tapi Ambu biasa hidup sehat. Makanannya pun baik!”
Bapak itu menjawab, “Jodo, pati, bagja, cilaka sudah jadi
ketetapan.”
“Terus saya harus bagaimana?” Bardi mengernyitkan dahi.
“Balikkeun deui cau ka amisna, tangkal ka na hejona,”
sambil tersenyum, si Bapak lalu bertutur, “jangan lupa kepada
purwadaksi!”
Apa yang dikatakan Bapak itu di luar jangkauan pikirannya.
Baginya, itu omong kosong yang rumit. Bardi tak sadar ketika
si Bapak itu pergi. Ia tengah bernalar atau melamun, barangkali.
Setelah itu ia ke pinggir sungai dan menyadari, airnya tak terlalu
keruh dan berbau. Ia berani membasuh muka di sana.
***

Kali pertama Ambu terjatuh saat pulang jualan gula kawung.


Ia hampir pingsan. Dua orang dari kampung sebelah, meng-
antarnya ke gubuk. Ketika Bardi memutuskan pulang karena
pihak kontraktor menipunya—empat bulan gajinya tak dibayar-
kan—Ambu sudah terbaring sakit. Satu hal yang bikin Bardi
malu, ia tak bisa bantu biaya pengobatan Ambu.
Jarak ke tempat mantri kesehatan cukup jauh, itu pun
dengan sarana yang minim. Dua kali berobat, mendapat rujuk-
an ke rumah sakit. Kendati ada tawaran semacam program ban-
tuan kesehatan, tetap saja harus punya duit pegangan. Mereka
memilih pulang. Mantri memberi obat yang itu-itu saja; peng-
hilang rasa nyeri. Ambu tak kunjung pulih. Hingga sejak dua
pekan belakangan, Ambu cenderung memaksa menyuruhnya
untuk mencari tanaman obat itu.
Ambu semakin sedikit bicara, hanya sesekali. Itu pun jika
meminta Bardi untuk ambilkan sesuatu. Ambu tak pernah me-
ngeluh dan mengutuk keadaan meski sakit kepala, tulang pung-
gungnya mati rasa, terkadang semacam nyeri yang begitu me-

87
nyiksa, sekali waktu Ambu pernah bilang apa yang dirasanya
itu, ia tetap bersyukur dan menerima.
Menurut Ambu, hidup bukanlah beban. Justru kehidupan
harus menjadi beban jika kita tak bermanfaat bagi sesama.
Pernah juga sekali waktu, ia malah merasa bersalah kepada para
pelanggan gula kawungnya. “Karunya mereka yang butuh gula.
Kejauhan jika harus nyusul ke sini,” lirih Ambu di antara tarikan
napasnya.
Bardi bersikeras tak mau gantikan Ambu jualan gula di Pasar
subuh. Sungguh menyebalkan jika harus bertemu orang-orang
yang akan menyindirnya. Semisal, “Katanya kerja di proyek.
Mana hasilnya? Sudah sengsara, baru ingat pulang….”
Bayangan timurnya memanjang samar dan meredup. Petang
menjelang saat ia menyeberangi rawayan, penasaran untuk
mencarinya di sisi lain sungai itu. Ia takjub melihat ikan-ikan
kecil di dasarnya. Air mengalir jernih. Awalnya ia mengira itu
hanya ilusi karena kelelahan dan ngilu di betisnya mulai terasa.
Bardi semakin ke selatan, menuju ke hutan yang lebih
rimbun.
Malam bergumam di antara suara bermacam serangga;
langgam yang menyelimuti kelam ketika bulan sabit sesekali
muncul di antara rapatnya pepohonan. Hutan gelap dengan
wangi humus dan lembap paku-pakuan. Saat itu mustahil bagi-
nya melanjutkan pencarian. Ia keluarkan kain sarung dari dalam
tas untuk dijadikan alas berbaring.
Semoga Asih tetap sudi menjaga Ambu. Titik-titik gerimis
tanpa ia sadari muncul di sudut kelopak. Telah berjam-jam ia
belum juga bisa tidur. Pikirannya sarat oleh perkataan si Bapak
yang ia temui tadi siang.
Haruskah ia kembali pulang dengan tangan kosong? Meski
telah sejauh ini? Bagaimana jika tengah malam nanti seekor
ular mematuk ubun-ubunnya? Atau kalajengking atau tubuhnya

88
jadi menu makan malam penguasa rimba? Aku tak peduli. Ia
lebih memikirkan hal lain. Jika ia tak temukan tanaman itu,
besok ia akan meminjam uang dan membawa Ambu berobat
lagi ke mantri di balik bukit. Ambu harus sehat! Pekik di relung
terdalamnya.
Belum pernah Bardi merasa begitu mengkhawatirkan Ambu
seperti sekarang. Sepuluh tahun ia tak pernah melawat, tak
mengirim uang apalagi merawat Ambu. Ratusan nyamuk ber-
seliweran, mengingatkan kesehariannya yang tidur di bedeng
tengah hutan demi proyek perumahan atau jalan tol. Segala
hasilnya habis untuk berfoya-foya di kota orang. Pikirannya ber-
kecamuk, merepih dalam gulita. Perasaan bersalah menyudut-
kannya, ia berusaha menyesali banyak hal.
***

Cahaya pagi muncul terpaksa dari balik semak. Ada yang


meningkahi betisnya berkali-kali, membuatnya terbangun. Angin
bertiup lebih kencang menyahut kicauan burung. Gemercik air
sungai. Aku masih dekat dengan jalur sungai. Bardi terperanjat
saat membuka mata. Di dekatnya telah berdiri seorang lelaki,
mungkin seumuran.
“Geura hudang! Keur naeun dia di dieu?” seru orang itu
saat menarik ranting dari kaki Bardi.
Sejurus kemudian Bardi sudah berdiri, berancang-ancang
jika orang itu berniat jahat dan perkelahian satu lawan satu tak
terhindarkan. “Siapa kamu?”
Bardi melihat ada delapan orang di belakangnya, semua
menatap ke arahnya. Mereka memakai baju putih lengkap
dengan lomar serupa. Sebagian terlihat membawa golok. Bardi
sontak meredam emosinya.
“Sebelum Bardi menjawab (lebih tepatnya tak diberi ke-
sempatan menjawab), seseorang dengan tatapan tajam lang-

89
sung menimpali, “siapa pun tidak boleh sembarangan memasuki
leuweung larangan!”
Lelaki itu mengatakan bahwa mereka telah membuntuti
Bardi sejak kemarin sore. Mereka mencurigainya hendak me-
nyusup ke hutan larangan, terlebih tak minta ijin saat masuk ke
wilayah kampung. Bardi kaget. Ia tidak terima. Lalu ia men-
desak mengutarakan musababnya sampai berada di tempat itu.
“Harus bisa membedakan! Apa yang boleh, apa yang tidak
boleh!”
Setelah mereka berunding, seorang kakek—pemimpin
mereka— menyerahkan sesuatu kepada si pemuda tadi, sambil
menunjuk ke arahnya. Bardi menerima sejumput lumut. Kata-
nya berasal dari batu di pusat dunia.
“Lumut ini mujarab, Ki?” Tanya Bardi kepada sang Kakek.
“Sebenarnya, obat paling mujarab ada di dalam diri. Manusia
wajib ikhtiar, nanti hasilnya kembalikan lagi kepada-Nya.”
“Pulanglah! Kau tak boleh terus ke selatan! Entah masih
ada atau tidak, air kahuripan adanya di sana!” seru seseorang
yang lain, sambil menunjuk ke arah utara.
“Kau juga takkan temukan tumbuhan air itu! Kautahu? Tum-
buhan itu namanya rumput bardi.”
Bardi tercengang. Tubuhnya gemetar.
Lalu sang kakek itu melanjutkan, “Leuweung itu titipan.
Manusia, termasuk kamu… bisanya hanya merusak. Gunung
dilebur, lebak diruksak, moro suka-moro duga, ngagugu napsu
bari teu disiar ngarawat-ngajaga-ngariksa kasaimbangan na!
Tinggal tungguan….”
Bardi tersentak dengan teguran dan penjelasan itu. Ia mulai
belajar mengucapkan terima kasih kepada mereka. Sejatinya,
ia masih memikirkan bagaimana mereka mampu menerawang
apa yang telah ia kerjakan selama ini.
“Nu hade lalampahna, nyah!”

90
Sembari berkemas, Bardi menoleh hendak menjawab.
Sekelompok orang itu sudah tidak ada.
***

Asih membungkuk, mendekatkan kupingnya. Suara parau


itu mulai mereka-ulang tentang suatu dini hari, dua puluh lima
tahun lalu.
Ketika itu Ambu mendengar samar tangisan bayi dari arah
sungai yang masih jernih di belakang gubuk. Tanpa rasa takut
sedikit pun, menjinjing lampu minyak mencari sumber suara.
Di usianya itu, Ambu tak pernah punya anak. Suami Ambu telah
lama tiada. Ambu bergumam dalam hati; jika benar itu adalah
orok, berarti rezeki untuknya dari Sang Hyang. Ambu percaya
bahwa setiap kehidupan adalah titipan yang sesungguhnya.
Remang cahaya lampu minyak menerangi wajah bayi—di
dalam keranjang beralaskan gelagah. Makanya Ambu memberi
nama Bardi— itu melintaskan kisah leluhur tentang arus sungai
Nil yang mengantarkan Musa kecil ke pangkuan Permaisuri
Fir’aun. Ibunya memberi pelajaran pertama kehidupan si anak
dengan ilmu menaklukkan sungai? Entahlah. Tetapi, bukankah
sumber dan juga saripati kehidupan itu ialah air? Sebaiknya
mulai berenang sebelum terhanyutkan arus derasnya?
“Asih… sengaja Ambu menyuruhnya pergi, biar ia mengerti
hukum menabur dan menuai. Bukan untuk kepentingan Ambu
saja, ia harus lebih peduli pada sesama! Terlebih ke alam. Manu-
sia bagian dari alam! Jika kita tak merawat alam dan membiar-
kannya rusak, kita akan tinggal di mana?”
Sesudah itu, Ambu membisikkan sesuatu. Dingin telah me-
nyergap dari bawah. Asih mencipta tanggul di kelopaknya.
Ambu perlahan mengatupkan bibir dan matanya. Asih
menyaksikan embusan terakhirnya. Mulus. Damai. Bening. Asih
melekapkan kedua tangan Ambu, kemudian menutup tirai bilik.

91
Jalan setapak itu adalah jalan pintas. Semak belukar di kedua
sisinya diselingi pokok kayu. Bardi berjalan sambil menghirup
aroma hutan. Halus zefir di lembah itu mengantar Bardi untuk
segera sampai ke gubuk, tempat kembali berpulang. Seperti
hidup, perjalanan itu sungguh sementara, meski banyak
kejutan-kejutan di dalamnya.
Apa yang dikatakan sekelompok lelaki di hutan itu benar,
sungguh peluangnya temukan tumbuhan dan air kahuripan itu
sangat kecil. Di manakah sungai jernih yang airnya dapat ia
minum? Kenyataan justru sebaliknya; semakin menuju muara,
aliran sungai malah kian tak layak bagi tumbuhan, apalagi untuk
diminum! Sampah, limbah rumah tangga, garis air surut-
kering-kotor ketika kemarau tapi meluap tatkala hujan, meng-
genangi sawah yang mustahil untuk dipanen.
Sungai manakah yang masih dapat menjadi sumber per-
adaban? Yang menjadikan gemah ripah karta raharja wibawa
mukti loh jinawi tak hanya sebagi slogan? Ia ingat Ambu pernah
mengatakan; kualitas air sungai itu bukti dan cerminan suatu
bangsa yang lebih luhung daripada sekadar tempat munculnya
riak-riak dari kedalaman, tempat di mana kail melemparkan
umpan di suatu sore akhir pekan?
Bardi telah sampai di gubuk, beberapa orang tetangga me-
nyambutnya dengan wajah muram. Mereka hanya menunduk
dan menenggang batin masing-masing. Di mulut pintu bilik,
Asih menarik napas panjang, tak ada sepatah kata pun. Bardi
menangkap isyarat itu. Ia menghambur ke dalam.
Asih dan suaminya keluar dari gubuk. Lalu para tetangga
pun mengikutinya.
Bardi masih menggenggam sejumput lumut itu sembari
menyangga kehilangan terdalam. Lama ia menatap teduh wajah
Ambu dan sedikit lengkung senyum itu. Ia menyesal tak mene-
mani detik terakhir di detak Ambu.

92
Pikirannya kacau. Debar jantung menderu di antara napas
yang memburu. Bardi terguncang. Ia lari keluar. Tak ada se-
orang pun di luar gubuk. Bardi tergesa-gesa masuk kembali ke
gubuk. Entah apa yang akan ia lakukan. Selalu ada peluang
menemukan keajaiban!
Di dalam bilik, yang ia temukan hanyalah dipan kosong.
Ambu menghilang! Bilik sekatan itu mendadak dipenuhi ratusan
tunas. Pucuk-pucuk padi bermunculan, menjadikan bilik itu
serupa huma. Di dekat kakinya, tanaman merambat… menjalar-
kan sulur-sulurnya menyelusup ke celah-celah dinding sekat
dari anyaman bambu, menjangkau arah cahaya.
Ia memejam. Merentangkan kedua tangannya, mengilhami
sayatan tarawangsa yang tercipta di kepalanya. Di kedalaman
ruang, ia meneriakkan Ambu! Bahana itu begitu panjang. Suara
nyaring menggubah gaung yang menerus menggetarkan se-
genap dinding ruangnya. Bertahan lebih lama seperti keabadian
dengung lebah-lebah laksaketi? Ataukah siklus kehidupan
adalah lingkaran yang senantiasa menjalarkan sebuah akhir
untuk kembali ke titik sebermula?
Pucuk-pucuk padi dengan cepat menangkupi halaman,
juga di sekeliling gubuk. Lalu hijau merimbun di sehampar
saujana. Sementara Asih, Mang Sanip, dan orang-orang itu tak
kaget melihat tunas-tunas yang tumbuh di antara langkah ringan
mereka yang mengarah ke selatan. Dan Ambu telah menunggu
mereka di persimpangan, di depan sana.
***

93
Keterangan:
- Daksina, selatan; paksina, utara.
- Jodo, pati, bagja, cilaka, segala ketentuan, maut, kebahagiaan, musibah.
- Balikkeun deui cau ka amisna, tangkal ka na hejona, (ungkapan) kembalikan
lagi pisang kepada manisnya, pohon kepada hijaunya.
- Purwadaksi. Purwa=wiwitan, permulaan; Daksi=wekasan, ujung/ tujuan akhir.
- Lomar, ikat kepala khas Baduy; leuweung, hutan.
- Bardi (ark n), pohon kecil yang tumbuh di tepi sungai Nil, batang seperti tebu atau
bambu cina, daunnya seperti sapu (sejenis gelagah)
- Gunung dilebur, lebak diruksak, moro suka – moro duga, ngagugu napsu bari teu
disiar ngarawat-ngajaga-ngariksa kasaimbangan na!
- : Gunung dikeruk, lembah dirusak, seenaknya mengikuti nafsu, mengejar keingin-
an tanpa memikirkan cara merawat, menjaga, memelihara keseimbangannya.
(adaptasi dari Dongeng Kekhawatiran Alam oleh Ayah Karmain).
- Nu hade lalampahna, hati-hati di perjalanan.

94
Hutan Lembah yang Menyusup ke Kepala
Asep Kureng

Iswadi Bahardur

elaki itu mendadak muncul kembali. Kemun-


L culannya sungguh tak masuk akal setelah
setahun ia menghilang. Ia muncul dengan
membawa sebuah wejangan yang menjadi
petaka besar di tanah kelahirannya. Lelaki
itu bernama Asep Kureng. Dia teman masa
kecilku yang tetap kukenal sampai di batas
kepergiannya yang sangat misterius.
Sesungguhnya tak ada hal yang isti-
mewa dari seorang Asep Kureng. Selain sen-
sasi berita kemunculannya kembali, lain dari
itu, semua tentang Asep Kureng adalah hal
yang tidak menarik sama sekali. Mungkin
Anda tidak percaya kalau kukatakan bahwa
rupa Asep Kureng tidaklah menarik, khusus-
nya bagi perempuan. Benar. Kulitnya hitam.
Tubuhnya tidak berdegap dan tidak tinggi.
Rupa yang barangkali paling menjatuhkan

95
pamor fisik Asep Kureng di mata perempuan, khususnya, adalah
giginya yang tonggos. Bagiku sendiri, hal yang paling kucatat
dari kedirian seorang Asep Kureng adalah dia lelaki pemalas
bekerja.
Setahun lalu Asep Kureng ikut rombongan lelaki dari
Kampung Lembah Ciboleger untuk berdagang sampai ke desa-
desa dan kota lain di Pulau Jawa bagian barat. Pekerjaan itu
sudah menjadi tradisi tidak terpisahkan dari kaum laki-laki di
tanah kelahiranku ini sejak berpuluh tahun silam. Kami adalah
bangsa pedagang berjalan yang mencari sambungan hidup dari
menjajakan hasil kerajinan tangan. Sekali berjalan para lelaki
akan membawa cendera mata berupa ukiran, gelang, cincin,
dan berbagai kerajinan tangan lainnya dalam jumlah banyak.
Mereka akan kembali pulang ke Kampung Lembah Ciboleger
kalau dagangan itu telah habis terjual.
Begitulah, pada waktu Asep Kureng ikut dagang berjalan
setahun lalu ada tujuh orang lelaki lain yang berangkat ber-
samanya. Sayangnya di perjalanan, Asep Kureng menghilang
entah kemana. Berusaha mencari, tetapi rombongan tersebut
tidak bisa menemukan Asep Kureng. Dia hilang seperti menyu-
sup ke perut bumi.
Kini Asep Kureng muncul kembali secara semena-mena
pada saat seluruh warga baru selesai melakukan upacara per-
ibadatan yang jatuh pada bulan kelima setiap tahunnya. Kam-
pung Lembah Ciboleger masih diliputi hawa kesucian per-
ibadatan, menghadap kiblat suci di selatan bumi. Pada siang
itu, ketika di ujung jalan mendekat ke lokasi arca Domas pemuja-
an, muncul Asep Kureng. Warga yang berada di jalanan terkejut
karena mendapati seorang laki-laki kira-kira berusia sekitar
kepala tiga berdiri di ujung jalan dengan penampilan yang jauh
berbeda. Semua mata yang ada di sana tak ayal serta merta
menyorot tajam kepada lelaki aneh itu. Kalau saja bukan karena

96
giginya yang tonggos, tak akan ada yang mengenali dia sebagai
Asep Kureng.
Bagaimana tidak, dia sama sekali tak memiliki ciri khas
pakaian lelaki di kampung ini; ikat kepala. Sebaliknya, tubuhnya
ditutup dengan celana gombrang warna hitam sepanjang se-
tengah lutut. Kakinya ditutupi dengan sepatu hitam yang run-
cing ujungnya, sementara badannya dibalut baju kemeja ber-
motif-motif gambar perempuan cantik. Rambutnya berjambul
dan seperti begitu keras lancip menonjok ke langit. Di atas
hidungnya bertengger kaca mata warna hitam. Menambah
keasingan dirinya di tengah kami, di punggung Asep Kureng
terdapat sebuah tas cukup besar dengan model lonjong.
“Hallo! Aku pulang tepat di perayaan! Akulah utusan Batara
Cikal yang diturunkan untuk menyampaikan rencana besar!”
ujarnya lantang.
Setelah bicara begitu ia berjoget-joget seperti orang yang baru
saja mendapat kemenangan. Sungguh luar biasa aneh. Aku
menyeruak ke depan memastikan bahwa dia adalah Asep Kureng.
“Kau Asep Kureng, bukan?” tembakku tepat sembari me-
nunjuk ke gigi tonggosnya.
**

Kepulangan Asep Kureng membawa kegemparan yang


hebat di kampung kami. Bukan hanya karena perubahan drastis
pada dirinya, tetapi juga pada perdebatan seluruh warga yang
menyaksikan kemunculannya tepat di hari perayaan peribadat-
an wiwitan. Bagi kami warga Kampung Lembah Ciboleger dan
juga warga kampung-kampung yang berleluhur sama, upacara
peribadatan wiwitan yang dilaksanakan sekali dalam setahun
adalah hari yang sangat suci dan mulia. Kami sangat meyakini
bahwa pada hari itu Batara Cikal, Tuhan kami, akan menurunkan
kebahagiaan dan keberuntungan pada orang-orang yang me-

97
muja dengan hati tulus. Masalahnya menjadi rumit ketika di
hari peribadatan Asep Kureng muncul dan mengaku mem-bawa
pesan suci dari Batara Cikal— sebuah rencana bahagia yang
akan mengubah hidup warga Kampung Lembah Ciboleger ber-
tahun-tahun kemudian.
**

Aku dan belasan lelaki lainnya dikumpulkan oleh Asep


Kureng di rumah milik ayah dan ibunya. Dalam kebingungan
yang dahsyat aku merasa menjadi sapi yang dicocok hidungnya
oleh Asep Kureng; kami hanya mengangguk-angguk dan meng-
ikuti setiap ucapannya.
Kami semua telah duduk melingkar di dalam rumah Asep
Kureng. Aku merasa pertemuan yang dirancang si tonggos ini
luar biasa mendebarkan dada; ada rasa dan harapan yang ber-
dobrakan, mendatangkan kejut-kejut kecemasan.
“Kalian semua beruntung dapat bertemu dengan saya hari
ini. Kalian patut mendengarkan wejangan dari hasil perjalananku
yang suci selama setahun lalu. Kelak kalian semua akan men-
dapat keberuntungan bila mengikuti wejanganku ini,” ia me-
lanjutkan pernyataannya dengan sangat berapi-api. Urat-urat
di lehernya kadang bertonjolan saat kata demi kata keluar dari
mulutnya. Sesekali ia membasahi giginya yang ngotot selalu
nongol melebihi kuasa bibirnya.
“Aku membawa kabar tentang pembangunan—moderni-
sasi. Kalian pasti tidak tahu dan tidak mengerti tentang mo-
dernisasi, kan?”
Semua lelaki, termasuk aku mengangguk tanda mengakui
bahwa kami memang tidak tahu dengan modernisasi. Mata Asep
Kureng demikian berbinar-binar.
“Nah, modernisasi pembangunan itu sama dengan keme-
wahan. Kalian harus percaya, aku bisa menciptakan kemewahan

98
itu dengan cepat. Tapi ada syaratnya. Syaratnya, semua pohon-
pohon besar, semua hutan rimba di lembah ini harus diratakan
terlebih dulu,”
Diratakan? Pernyataan Asep Kureng mengagetkan aku. Bah-
kan lelaki lainnya yang hadir di ruangan ini juga terkejut. Bagai-
mana mungkin semua hutan dan pohon di lembah ini harus
diratakan?
Syarat yang diajukan Asep Kureng itu gila! Dia pasti sudah
tahu bahwa selama puluhan tahun, semua warga yang hidup di
lembah ini sudah mengikuti dan percaya dengan keyakinan para
leluhur. Lembah-lembah dan gunung-gunung beserta hutan-
hutannya tidak boleh dirusak, apalagi dihancurkan. Alam dan
sumber-sumbernya tidak boleh diubah, apalagi diratakan.
Wejangan gila! Aku merutuk dan mengutuk Asep Kureng dalam
diam.
“Kalian tidak lama lagi akan melihat hutan-hutan di lembah
ini berubah menjadi rumah-rumah dan gedung-gedung mewah,”
tambahnya. Seraya berkata begitu ia mengibas-ngibaskan ber-
lembar-lembar uang puluhan ribu di tangan kanannya. Hei,
betapa kayanya Asep Kureng setelah ia menghilang selama se-
tahun lebih.
Astaga, tak dapat kupungkiri kibasan puluhan lembar uang
di tangan Asep Kureng mengubah ekspresi semua lelaki yang
berada di ruangan ini. Bisa kutebak, selanjutnya kami telah men-
jadi pendengar sejati yang begitu dungu ketika Asep Kureng terus
mengoceh panjang lebar tentang modernisasi. Ada kata yang
muntah dari mulutnya dapat kupahami, sebaliknya ada yang
tidak dapat kupahami.
Napasku terasa sesak membayangkan hal yang tak mampu
kubayangkan. Asep Kureng menyebutkan, jika hutan telah
diratakan dan disulap menjadi bangunan-bangunan mewah, dia
dapat menyediakan semua yang bernama kemewahan.

99
Kosakata aneh dan asing berluncuran sambung menyam-
bung dari mulut Asep Kureng. Spa, sauna, kuliner, menu cepat
saji, mall, barbershop, grand hotel, butik, plaza, dinner, launch-
ing, kafe, saham, home coffe, dan puluhan kata asing lainnya
menggelontor dari mulut Asep. Sepanjang kosakata itu ia luncur-
kan berganti-ganti, dia memberikan deskripsi arti dan tujuannya
dengan begitu berapi-api. Kami yang duduk melingkar menjelma
menjadi mahkluk bodoh yang dicucuk hidungnya.
Sampai pertemuan itu diakhiri oleh Asep Kureng, aku me-
rasa ketololan tersebut masih menggantungi diriku. Kutinggal-
kan rumah dan Asep Kureng dengan pertanyaan besar di
kepala; haruskah mulai kini kutinggalkan keyakinan leluhur
akan kesetiaan pada alam dan keutuhannya?
**

Kedatangan Asep Kureng membawa rencana pembangunan


modern telah menggemparkan semua orang. Rencananya
untuk menggusur semua hutan di kampung lembah ini seperti
palu godam yang menghantam kami dari tidur panjang dalam
dekapan Batara Cikal. Selama ini kami hidup dalam makna ke-
bahagiaan berdasarkan kepatuhan kepada alam semesta. Ke-
bahagiaan telah tercipta ketika semua orang yang hidup di
lembah ini berhasil hidup berdampingan dan menjaga keutuhan
apa pun di sekelilingnya. Kini Asep Kureng datang membawa
makna kebahagiaan yang baru, sama sekali tidak sama. Ketika
sampai pada pemahaman kata “tidak sama” semua orang ter-
cengang dan bimbang.
Kurasa pesona wejangan Asep Kureng sungguh biadab.
Bagaimana tidak, tanpa dapat kuatasi, semua wejangannya itu
perlahan-lahan mulai membiusku. Pada malam hari setelah
pertemuan itu aku tak dapat tidur sekejap pun. Mataku nyalang
dan dihinggapi bayangan keindahan hal yang dituturkan Asep

100
Kureng. Tetapi sungguh logika nalarku belum mampu mener-
jemahkan secara konkret semua kemewahan itu. Kurutuki diri-
ku yang begitu bodoh, tak memiliki pengalaman dan kehebatan
seperti yang dimiliki Asep Kureng. Seumur hidupku, sampai
kini usiaku sudah kepala tiga, aku hanya menjadi lelaki setia
pada tanah kelahiran. Ketika laki-laki lain memilih menjadi pe-
dagang cendera mata ke kota-kota lain, mereka mendapatkan
keuntungan uang banyak dan pengalaman takjub seperti Asep
Kureng. Dalam hidup mereka sudah tercatat pengertian dan
konsep mewahnya kota besar. Sementara aku, manut dan turut
pada tanah kelahiran. Kupilih menetap di sini, di Kampung Lem-
bah Ciboleger, menjadi petani yang patuh pada alam. Aku ikuti
tradisi dan kepercayaan nenek moyangku; tanah tak boleh di-
rusak, lembah-lembah yang menyimpan deretan hutan rimba
di kampung ini tak boleh ditebang, bercocok tanam tak boleh
menggunakan bajak dan bahan pestisida.
Aku, seperti petani lainnya, hanya bergantung pada alam,
menunggu alam berbaik hati memberi kami hujan dan embun
yang dapat menyuburkan sawah dan ladang. Tak kutanggalkan
ikat kepala sebagai bukti kebanggaanku akan keyakinan kukuh
pada tanah kelahiran. Kini kepulangan Asep Kureng tiba-tiba
saja memorak-porandakan semua keyakinanku akan tradisi.
Ternyata ada yang tak pernah kuketahui. Ternyata ada yang
tak pernah kumiliki; kemewahan dan uang berpuluh lembar.
Asep Kureng, teman bermain sejak kecilku itu nyata-nyata telah
mengalahkan aku. Dia bukan hanya membanggakan segunung
rencana besar yang dia bawa pulang, tetapi juga dengan hikmat
sangat, melindas harga diriku saat mengibas-ngibaskan puluh-
an lembar uang puluhan ribu.
“Hei, Sahar, kau berhasil kukalahkan, bukan? Mana pernah
kaupunya gepokan uang sebanyak ini,” kalimat bernada cemooh
itu seolah ditamparkan Asep Kureng ke wajahku.

101
“Jangan, Asep! Jangan kaubakar ladang-ladangku! Jangan,
Sep! Aku mau ikuti rencanamu, asal jangan bakar ladang dan
sawah-sawahku!”
Aku mengacung-acungkan bambu runcing yang biasa
kugunakan untuk mengolah tanah di sawah. Asep Kureng dan
kawanannya sedang merobohkan pohon-pohon besar di hutan
dekat petak-petak sawah dan ladangku. Saat dia memerintahkan
anak buahnya mengarahkan mesin besar itu menuju ke ladang-
ku, aku berteriak kencang. Aku berusaha mencegah sambil
menodongkan bambu runcing ke arah Asep Kureng.
“Bangun, Kang! Kang, kau kenapa?”
Aku tersentak dalam kondisi terduduk lemas. Sekujur
badanku basah oleh keringat. Rupanya aku mimpi.
“Kang, kaumimpi karena terbujuk kata-kata Asep Kureng
itu ya?”
Aku tercenung. Ucapan istriku seperti gunting yang me-
robek rahasia yang kusimpan sejak bertemu Asep Kureng.
Tangan istriku mengelus punggungku untuk menenangkan,
namun kupalingkan wajah. Benarkah aku tergoda dengan semua
ucapan Asep Kureng?
Pagi harinya aku kembali dikejutkan oleh kemunculan Asep
Kureng. Tetiba saja ia telah berdiri di depan pintu rumahku. Ia
seolah tahu aku bangun kesiangan. Seringai senyumnya seperti
mengejak kelelakianku yang rontok sejak ceritanya kemarin.
“Tepat sekali!” serunya sambil berjoget-joget seperti
orang yang mabuk. “Ceritaku pagi ini akan menjadi pengusir
kemalasanmu, Sahar,” lanjutnya seraya memainkan jari te-
lunjuk ke arah wajahku.
“Maaf, Sep, pagi ini saya tak bisa mendengar ceritamu. Saya
harus kerja,” tolakku halus. Aku melangkah menuruni tangga
rumah, namun dihalangi oleh Asep Kureng. Ia bentangkan
tangan dan kakinya selebar mungkin di hadapanku.

102
“Eit, tunggu dulu kawan. Sabar. Aku akan menolongmu.
Hayo, dengar ceritaku kali ini. Ini benar-benar akan terwujud.
Kalau kaumau berpihak pada ceritaku, pasti nanti kau adalah
orang pertama yang akan kuberikan modal untuk membuka toko
cendera mata dan emas paling besar di kampung ini.’
“Jangan langgar keyakinan leluhur kita, Sep. Kau temanku
sejak kecil, kaupasti tahu keyakinan itu. Apa kaumau kena tulah?”
Aku tak ingin meminta jawaban dari Asep Kureng. Tanpa
permisi kudorong tubuhnya. Ia terjatuh. Kulanjutkan langkah-
ku meninggalkan halaman rumah. Seharusnya aku tak ikut-
ikutan mendengarkan ocehan Asep Kureng. Ia membawa racun
yang merusak pertahanan keyakinan yang selama ini kutanam
dalam hati.
**

Entah dari mana kabar berita itu bersumber, kini hampir


semua warga kampungku memberitakan bahwa Asep Kureng
sengaja kembali untuk rencana besar proyek industri kota
besar. Kabarnya, lelaki itu disokong dengan modal yang sangat
besar oleh orang penting di perkotaan. Ada yang menyebutkan
pemilik modal itu adalah milik mertua Asep Kureng. Dia tak
main-main, seluruh kawasan perkampungan Lembah Ciboleger
ini akan dijualnya kepada investor asing untuk dijadikan pusat
hunian kota yang baru.
Tak dapat kubayangkan jika puluhan kepala keluarga di
kampung ini kehilangan tempat tinggal. Lebih mengerikan dan
tak mau aku membayangkan hancurnya hutan dan bukit-bukit
di lembah ini karena ulah Asep Kureng.
Asep Kureng memang tidak main-main. Berita yang telah
diketahui oleh warga tersebut juga bukan hisapan jempol
belaka. Ia memang mewujudkan semua rencana yang diucap-
kannya dengan lantang di depanku.

103
Warga Kampung Lembah Ciboleger gempar. Dua buah
mesin pengeruk dan penghancur begitu saja telah menggasak
hutan-hutan di sebelah area ladang dan sawah warga. Entah
bagaimana cara Asep Kureng mendatangkan alat-alat berat itu.
Entah bagaimana pula cara yang ia tempuh untuk menundukkan
kerasnya penolakan para tetua kampung dan semua warga
sehingga memiliki keleluasaan membawa masuk alat-alat itu.
Pukul enam sore, alat berat pengeruk tanah itu mengaung-
ngaung dari kejauhan. Sudah memasuki hari kedua orang-orang
yang berada di bawah perintah Asep Kureng bekerja merontok-
kan hutan. Luar biasa kekuasaan yang dibawa lelaki tonggos itu
setelah pengembaraannya setahun lalu. Kini ia menghancurkan
keyakinan leluhur dan keutuhan tanah ke-lahirannya sendiri.
Dari kejauhan terdengar suara perintah bercampur denan
raungan suara mesin. Asep Kureng tengah menyusupkan hutan
dan seisi lembah jauh ke dalam kepalanya dan menggantinya
dengan kedurjanaan.
Malam merangkak turun mengusir cahaya senja. Suara-suara
binatang malam berdendang dari belakang rumahku. Dalam
kegaduhan pikiran dan perasaan, aku duduk bersila. Aku tak
tahu apa kalimat yang harus kuucapkan. Tetapi aku ingin berdoa
pada Tuhan. Aku tak ingin menunggu tahun depan untuk me-
lakukan peribadatan agar Tuhan mendengar doaku.
Dalam mata terpejam aku bersila menghadap arah selatan.
Kubayangkan di depanku ada arca Domas, arca sembahan per-
ibadatan sejak masa leluhurku. Kubayangkan ada tangan Tuhan
Batara Cikal yang menyentuh kepalaku dan mengabulkan per-
mintaan. Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang
diruksak, bisikku lirih dalam hening. Tak terasa air mataku
menghangat di pipi. Di pelupuk mataku membayang hamparan
ladang dan sawah yang hijau.
**

104
Aku terjaga setelah fajar. Istriku menepuk-nepuk bahuku.
Suaranya menyadarkan aku dari lelap. Rupanya aku tertidur
sejak berdoa semalam. Sayup kudengar ada suara bising dari
arah depan rumah.
“Kang, si Asep terlindas mesin keruk itu.”
Aku terhenyak. Ucapan istriku barusan seperti gedoran
yang menghantam telingaku. (*)
**

Padang, 2019

105
106
Pohon Durian

Kevin Alfiarizky

ak lama lagi, pohon durian itu akan segera


T ditebang. Orang-orang berkerumun datang
menyaksikan. Satu di antara mereka ditun-
juk untuk mengayunkan kapak setelah Pu’un
menganggukkan kepala tanda bahwa semua
telah disetujuinya. Tapi tidak untuk Komong,
pria yang kewarasannya kini dipertanyakan
banyak orang. Ia tak ikut berada di antara
kerumunan, hanya karena pohon durian itu
telah menitipkan pesan padanya. Pesan yang
terdengar seperti delapan kata tentang per-
janjian manusia.
Bertahun-tahun lalu, pohon durian itu
tumbuh dengan sendirinya di tengah hutan.
Tiap jelang musim panen tiba, semua orang
rajin berkunjung dan menanti barang satu
atau dua buah durian yang jatuh dari pohon.
Mereka tak memanjat dan memetik durian,

107
tetapi durian yang melepaskan diri dari dahan hingga jatuh ke
tanah. Nenek moyang kami sebelumnya telah mengajarkan
untuk menikmati apa yang sudah diberi, bukan apa yang telah
dicari. Maka seiring berjalannya waktu, muncullah pohon-
pohon durian baru yang tumbuh hingga hutan penuh akan
durian bila musim panen tiba.
Mereka yang sengaja pergi ke hutan akan mengumpulkan
beberapa buah untuk dibawanya pulang. Sekali pikulan bisa
berisi puluhan jumlahnya. Bila panen berlimpah, urang-urang
kanekes akan membawanya keluar desa, menjual dan men-
jajakan durian pada siapapun yang ditemuinya.
***

Iteh merintih kesakitan, orok berusia tiga bulan di tubuh-


nya seakan tak mau lagi lama menunggu. Komong yang baru
saja pamit berangkat pergi mengambil nira terpaksa dimintanya
untuk segera pulang kembali. Salah seorang tetangga yang
kebetulan akan pergi ke hutan juga diminta menyusulnya. Tak
butuh waktu lama, Komong telah kembali dengan wajah penuh
kecemasan. Kecemasan yang bercampur aduk dengan kete-
gangan. Sementara Iteh terus menerus merintih memegang
perutnya dan berkata durian! durian! durian! Tolong ambilkan
aku durian! Melihat istrinya yang kesakitan, Komong segera
bergegas pergi ke hutan setelah tahu entah istrinya yang tengah
berbadan dua atau orok di tubuhnya itulah yang menginginkan
buah durian.
Matahari terik di tengah hari. Sesampainya di hutan, tak
ada satupun barang buah durian yang ditemuinya. Komong
heran, orang-orang desa bilang musim panen durian telah tiba
dan kemarin mereka pergi ke luar desa sembari memikul puluh-
an durian yang ada. Tetapi sepanjang penglihatannya ia tak
melihat apa pun, bahkan untuk kulit duriannya sekalipun tak

108
tersisa. Komong berniat memanjat pohon durian, tiba-tiba ter-
henti dan teringat aturan adat yang melarang siapa pun me-
manjat pohon durian. Ia hanya terdiam di antara pohon-pohon
yang mengelilinginya serta sesekali mendongak ke langit ber-
harap barangkali ada buah yang akan runtuh saat itu juga.
Alih-alih menanti durian runtuh, ia justru seperti men-
dengar gesekan angin yang beradu dengan ranting, dedaunan,
dan segala yang tak bisa dikiranya. Sebatang pohon di dekatnya
seolah memiliki sepasang mata dan tengah berjaga mengawasi
dirinya yang terlihat kebingungan mengamati segalanya. Angin
yang berhembus terasa semakin kencang, di sela-sela pohon
durian terdengar seperti sebuah bisikan. Lirih seolah pohon itu
sedang ikut berbicara. Mungkin memang terdengar tak masuk
akal tapi begitulah yang dirasakan Komong ketika berdiri di
antara pohon-pohon durian di dekatnya. Ia ragu untuk meyakin-
kan dirinya, ketika dalam hati terus menerus bertanya. Pohon-
pohon itu saling berbicara atau salah satu di antara mereka telah
berbisik di telinga.
***

Bapak adalah satu-satunya junjungan keluarga Komong yang


ia sayangi setelah kematian ibu yang tak pernah Komong tahu
ceritanya, Bapak hanya sekali bercerita jika ibunya berparas
cantik dan jadi kebanggaan banyak orang di desa. Komong yakin
apa yang Bapak ceritakan itu ada benarnya. Meski hingga ia
dewasa kematian ibunya tak pernah sekalipun ia tahu.
Kini, ia tak lagi tinggal bersama Bapak usai pernikahannya
dengan perempuan delapan bulan yang lalu. Tepat di bulan
pertama usia pernikahan mereka. Bapak meninggal dunia.
Semua terjadi begitu cepat, mulai dari pemakaman hingga se-
lamatan yang berlangsung selama tiga malam. Saat itu, Komong
merasa hancur. Seolah hidupnya berakhir saat itu juga.

109
Seminggu usai pemakaman Bapaknya. Tangisan Komong
selalu terdengar dari balik rumah. Ia teringat masa-masa keber-
samaannya bersama Bapak. Tiap kali Bapak pulang memancing,
ia selalu memberinya seekor ikan besar hasil tangkapannya.
Bapak selalu berpesan untuk memakan bagian kepalanya ter-
lebih dahulu. Konon, memakan bagian kepala ikan terlebih
dahulu dapat membuat urang kanekes jadi kuat dan pemberani.
Tapi nyatanya tidak bagi Komong. Ia tak cukup kuat menghadapi
kematian Bapaknya yang terjatuh dari pohon aren.
***

Komong kembali pulang ke rumah dengan tangan hampa.


Tidak, ia tidak benar-benar pulang tanpa membawa apa-apa.
Dari raut wajahnya terpampang jelas ketakutan dan kecemasan
melekat di tubuhnya sepulang dari hutan.
Komong bergegas menemui Iteh istrinya. Ia pasrah dan
membiarkan tubuhnya terkena hujan kekesalan Iteh sebab ia
gagal membawa pulang durian yang dijanjikan. Tapi sesuatu
justru berbalik, Iteh justru tampak baik-baik saja. Ketegangan
tak lagi menghantui orok di balik balutan kain yang melekat di
tubuhnya. Meski begitu, rasa takut tetap terbayang-bayang di
pikiran Komong. Ia ceritakan seluruh kejadian tentang pohon-
pohon yang mengepung jalannya pulang ke rumah. Pohon
durian yang sama sekali tak ada yang berbuah serta suara-suara
bisikan yang masih jelas terdengar di telinganya.
Iteh tak benar-benar memperhatikan cerita suaminya, apa
yang ia dengar seolah hanya berlalu begitu saja. Sebab tak mungkin
pikirnya sebuah pohon durian mampu bicara, tak pernah sekali-
pun ia dengar cerita semacam itu di pohon-pohon lainnya juga.
Tapi Komong berani bersumpah, bahwa memang begitu
kedengarannya. Ia bahkan meyakini bahwa pohon durian itu
benar-benar mengajaknya bicara meski samar ia dengar maksud

110
ungkapannya. Tapi setelah ia ingat-ingat kembali. Pohon itu baru
saja menitipkan pesan padanya. Delapan kata yang terdengar
seperti tentang perjanjian manusia.
Iteh tetap kukuh tak percaya akan cerita suaminya, dan
mengatakan bahwa Komong mungkin kelelahan, atau teringat
kematian bapak lagi. Ia pergi begitu saja meninggalkannya
seorang diri. Iteh sibuk menyiapkan makanan untuk sore hari.
***

Pohon durian itu jadi gunjingan tiap obrolan. Semua or-


ang tak mau tahu menahu tentang keberadaan pohon yang jadi
banyak incaran. Pasalnya, hanya Komong yang bersumpah
mengenai pohon durian yang bisa bicara. Selebihnya orang-
orang menganggap itu hanyalah khayalan belaka. Sebagian
yang lain mengatakan bahwa Komong telah kehilangan ke-
warasannya setelah ditinggal mati oleh Bapaknya.
Sungguh tak butuh waktu lama bagi urang kanekes untuk
mengucilkan Komong yang kini tak banyak bicara. Bahkan
istrinya yang kini telah hamil tua memilih pasrah jika memang
benar suaminya itu telah kehilangan kewarasannya.
Kisah pohon durian yang bisa bicara ramai jadi perbincang-
an warga, banyak yang menyayangkan mengapa cerita itu
mesti ada. Karena cerita itu, kini semua pohon durian di hutan
tak lagi berbuah. Bahkan di musim panen tiba, pohon-pohon
itu hanya berguguran daunnya.
Orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada pohon
durian terpaksa harus kehilangan sebagian pekerjaannya. Tak
ada lagi urang kanekes yang keluar desa menjajakan durian
dengan memikul puluhan di pundaknya. Keluh warga begitu
riuh, sampai suatu ketika terdengar oleh Pu’un desa.
Ia hanya mendengar dan terus menerus mendengar keluh
warga yang kehilangan durian mereka. Sampai di suatu ketika

111
seluruh kepala rumah tangga di desa dikumpulkannya dalam
satu pertemuan untuk membahas kisah pohon durian yang bisa
bicara. Tentu Komong tak diajak Pu’un ikut dalam perkumpulan
itu. Di antara orang-orang yang datang di sana, Puun hanya
memberi satu pertanyaan pada mereka. Siapa di antara kalian
yang telah mengetahui delapan kata yang diucapkan pohon
durian itu? Semua orang terdiam, membenamkan kepala masing-
masing. Tak ada yang menjawab dan tak ada yang berani ber-
suara. Hingga satu di antara mereka berdiri dan memberi masuk-
an kepada Pu’un.
“Pohon durian itu bikin resah warga, banyak dari mereka
yang mendapat musibah karena pohon-pohon itu tak lagi ber-
buah. Bisa jadi semua karena ulah satu di antara pohon durian
di hutan. Mungkin bisa jadi pohon durian yang paling besar
ukurannya, yang tingginya tidak lagi terkira untuk dipanjat
orang. Mungkin... mungkin bila Pu’un menyetujui upacara pene-
bangan pohon durian itu. Semua pohon durian akan kembali
berbuah dan tak ada lagi huru-hara kisah pohon durian yang
bisa bicara,” ucap pria yang sedari kemarin paling getol menan-
tang kebenaran pohon durian itu.
Semua orang ikut andil menyamakan suara, tak heran per-
temuan yang semula khidmat menjadi sangat ramai tak karuan.
Orang-orang sepakat dan setuju bila pohon itu segera ditebang.
Mereka tak sabar menunggu pohon-pohon itu berbuah kembali.
Namun, semua tetap pada persetujuan Pu’un dan tentu ia akan
membicarakannya kepada nenek moyang terdahulu. Menebang
pohon memang dilarang, apalagi jika pohon yang ditebang
usianya sudah sangat tua dan masih bisa berbuah. Tetapi, boleh
jadi karena pohon-pohon itu tak lagi berbuah belakangan ini,
hukum untuk menebang pohon bisa jadi pilihan terbaik dan
semuanya kembali menunggu persetujuan Pu’un.
***

112
Tak lama lagi, pohon durian itu akan segera ditebang.
Orang-orang berkerumun datang menyaksikan. Satu di antara
mereka ditunjuk untuk mengayunkan kapak setelah Pu’un meng-
anggukkan kepala tanda bahwa semua telah disetujuinya. Tapi
tidak untuk Komong, pria yang kewarasannya kini dipertanyakan
banyak orang. Ia tak ikut berada di antara kerumunan, hanya
karena pohon durian itu telah menitipkan pesan padanya. Pesan
yang terdengar seperti delapan kata tentang perjanjian manusia.
Seseorang dengan balutan kain menutup wajahnya telah
bersiap akan menebang pohon durian ukuran paling besar di
hutan. Pu’un berada di tengah kerumunan merapalkan mantra
dan mengelus-elus pohon itu dengan telapak tangannya.Orang-
orang jadi keranjingan tak sabar menanti kapak itu mendarat di
batang pohon durian. Hingga tiba saat nya Pu’un memberi isyarat
bila pohon itu boleh ditebang, orang yang wajahnya dibalut kain
itu membuka identitasnya.
Sontak semua orang tercengang untuk beberapa waktu,
ternyata pria itu adalah Komong yang kewarasannya diper-
tanyakan banyak orang. Ia berdiri di antara kerumunan orang-
orang yang meminta pohon durian itu tumbang. Tetapi dengan
tenang Puun memberinya kesempatan untuk bicara. Maka di
hadapan semua orang itu Komong berkisah mengenai delapan
kata yang dititipkan pohon durian kepadanya. Lojor heunteu
beunang dipotong, pendek heuntue beunang disambung. Pan-
jang tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa disambung.
Komong tak mampu meneruskan kisahnya, semakin ia ber-
cerita, semakin menderu ketegangan yang ia rasa. Hari itu ia
merasa tak hanya sepasang mata yang tengah mengawasinya.
Tapi ia melihat lebih dari jutaan mata pohon durian tengah
menjaganya dari kejauhan. Telinganya bising, penuh bisikan
yang tak lagi dapat didengar. Sementara orang-orang terus ke-
ranjingan berharap pohon itu segera tumbang. (*)

113
114
Rambi, Kakek Sajra,
dan Burung-Burung Cangak

Rahmat Heldy Hs

Ngaaaaaak! ngaaaaaaak! Ngaaaaaak!”


“ Suara itu kembali terdengar. Menjauh tak
berapa lama terdengar pilu dan menyayat
hati. Berputar di bubungan rumah orang
Kampung Badur. “Ngaaaaak! Ngaaaaak!”
mereka seperti sedang berdialog tentang ke-
jadian besar di tengah malam. Jika mende-
ngar suara itu harus bersiap. Harus waspada.
Kampung-kampung dan tempat apa pun
yang disinggahi kawanan burung itu akan
men-dapat musibah besar; kebanjiran,
kebakaran hutan, atau akan datang musim
paceklik, bala, dan penyakit. Sekawanan
burung cangak itu matanya seperti bola-bola
api yang dikirim dari neraka dengan warna
merah menyala, sengaja dikirim ke Kampung
Badur untuk memberikan kabar buruk, bah-
kan kematian. Bila sudah dekat suara-suara

115
itu, buru-buru orang tua membawa anak dan harta mereka
masuk ke dalam hutan, khawatir ada sekelompok orang tak
bertanggung jawab datang mengambil padi, ayam, kerbau dan
hasil panen lainnya. Pesta pora kata-kata di malam buta. Di
dahan-dahan dan ranting pohon, di bubungan rumah, bahkan
di pucuk-pucuk pohon bambu. Kemudian hilang di tengah
gelapnya malam. “Ngaaaaaak! Ngaaaaaaak! Ngaaaaaak!”
***

Kisah burung-burung cangak itu sudah lama menghilang.


Sirna. Tertelan bumi. Seiring hilangnya sepasukan knil1 didam-
pingi para jawara kiriman Adipati Parang Kujang memasuki
Perkampungan Badur. Kampung Saijah dan Adinda dengan
romansa cintanya. Senjata laras panjang dan bayonet 2 melekat
dalam ingatan. Para jawara yang memakai ikat kepala dan pakai-
an serba hitam mirip seperti kelelawar malam. Itu dulu, kisah
masa lalu. Kisah di daerahku yang ditulis oleh seorang Belanda
bernama Eduard Douwes Dekker.
“Kau takkan mendengar kisah itu lagi, apalagi kisah burung-
burung cangak,” kata Kakekku, Sajra suatu sore sambil tangan-
nya dengan cekatan merangkai dan menyulam daun-daun
pandan. Walaupun usianya uzur tapi ia kuat ingatannya tentang
masa lalu daerahnya. Ya, daerah Lebak. Jangan sekali-kali di-
tanya tentang kisah cinta Saijah-Adinda pasti yang mendengar-
nya akan berurai air mata.
Kadang para pemuda Kampung Badur jika malam minggu
tiba, datang ke rumah Kakek membawa gula aren, madu, pisang,

1
knil singkatan dari bahasa Belanda Het Koninklijke Nederlands atau secara harfiah
Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Sumber: Wikipedia.org
2
Bayonet (dari Bahasa prancis baiionnette) bisa disebut dengan mata sangkur atau
pisau belati.

116
dan hasil panen lainnya untuk pembuka pintu meminta Kakek
bercerita raja-raja zaman dulu. Biasanya Kakek Sajra akan mem-
buka cerita tentang Sultan Banten dan para keluarganya, para
selirnya, bahkan juga makanan khas sultan seperti rabeg juga
dibahas. Jika sudah selesai cerita berlanjut asal-usul orang
Baduy yang katanya masih ada kaitan dengan Prabu Siliwangi.
Setelah beberapa malam pertemuan. Cerita diakhiri dengan
kisah Saijah dan Adinda. Dititik klimaks ini para pemuda itu
bersemangat mendengarkan. Karena di dalam cerita ini ada
cerita Saijah pemuda miskin yang berani nekat pergi ke Batavia
untuk kerja kuli menjadi pengurus kuda milik orang Belanda.
Tujuannya pulang membawa banyak uang untuk dapat memi-
nang Adinda, kembang desa yang cantik dan jelita.
Walaupun takdir memisahkan keduanya. Sebagai kenang-
kenangan di akhir pertemuan, mereka meminta kepada Kakek
Sajra untuk membagi mantra welas asih, jampi-jampi, dan kemat.
Mereka, para pemuda itu, meyakini kenapa Saijah dipercaya kerja
di kandang-kandang kuda milik orang Belanda dan Adinda begitu
kuat merindukannya. Tak lain adanya mantra pengasihan yang
dimiliki oleh Saijah. Kalau sudah demikian permintaannya, biasa-
nya Kakek Sajra akan kebingungan. Ia akan merenung lama sam-
bil menarik napasnya dalam-dalam. Lalu kesadarannya muncul
seiring dengan usianya yang sudah uzur. Jika tidak diberikan
khawatir maut menjemputnya lebih dulu. Akhirnya dengan
berat hati ia menyeleksi para pemuda yang gila asmara itu.
Mereka yang diberi adalah yang sudah dewasa dan siap
menikah, yang belum siap menikah maka tidak diberi. Ada juga
yang meminta wafak dan ilmu kebal. Tapi biasanya kakek tidak
memberinya. Khawatir untuk kesombongan dan timbul masalah.
Aku khatam semua kisah yang diceritakan kakek. Sebab, setiap
tamu yang datang akulah yang menyuguhi mereka dengan teh
atau kopi yang dicampur dengan gula aren. Aku duduk di sam-

117
ping kakek sampai larut malam. Sampai menjelang subuh. Tapi,
ada satu cerita yang membuatku penasaran. Ya, kisah itu adalah
burung-burung cangak yang meninggalkan Kampung Badur dan
menghilang di Gunung Kencana.
“Lalu ke mana burung-burung cangak itu, Kek? Apakah
kembali naik ke langit atau tinggal di gunung dan hutan belan-
tara?” tanyaku pada kakek sambil menyeruput kopi yang di-
campur dengan gula aren.
Kakek Sajra berdiri meninggalkan pekerjaan anyaman daun
pandan yang sedang dibuat jadi tikar. Setelah ia duduk di amben
lalu tangannya menunjuk sejurus pandangan mata.
“Burung-burung cangak itu berkumpul di atas Gunung Ken-
cana itu,” kata kakek. “Makanya gunung itu tidak ada yang berani
menjamah kecuali para sesepuh atau tokoh dari masing-masing
kampung. Dahulu para knil sering tersesat di gunung itu. Ber-
hari-hari tidak bisa keluar lalu mereka ditemukan dalam ke-
adaan lemas. Di gunung itu banyak para penunggunya termasuk
burung-burung cangak ada di sana. Mereka akan mengganggu
siapa saja yang merusak area pegunungan. Sangat angker karena
di dalamnya banyak mayat orang-orang Belanda saat penjajahan
dulu yang ingin mengambil hasil hutan dan menguasai lahan di
gunung itu,” kenang Kakek Sajra.
“Lantas kakek mempercayai ada banyak penunggunya di
Gunung Kencana itu?” tanyaku penasaran
“Ya, sepasukan burung-burung cangak itu menurut cerita,
tidak lain adalah anak buah Putri Kidang Kencana, anak dari
Bah Payung Sapunegara pemilik keraton di Gunung Kencana.”
“Wah! Cerita ini yang belum pernah aku dengar dari Kakek,”
Aku memotong suaranya karena rasa penasaranku yang tak
terbendung.
“Pada cerita masa lampau. Putri Kidang Kencana pun akhir-
nya disukai oleh Prabu Surya Kencana karena kecantikannya

118
yang luar biasa. Dia adalah seorang Raja dari Pajajaran yang
hendak mempersuntingnya. Di Gunung Kencana itu ada Ki
Buyut Gayung penasehat sang putri yang sakti mandraguna.
Ada batu-batu kramat, ada batu lingga, batu nangtung, batu
gamparan yang menyimpan banyak kekuatan supranatural.
Di puncak Gunung Kencana juga ada petilasan yang berfungsi
untuk semedi juga bisa digunakan untuk memantau musuh.
Tak sembarangan orang masuk ke gunung itu,” suara kakek ter-
tahan sejenak, lalu ia melanjutkan kembali ceritanya, “kau pun
dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Rambi. Alam di se-
kitar Gunung Kencana ini makmur. Panen padi kita selalu me-
limpah, karena tidak kekurangan air. Buah-buahan makmur tiap
tahun, air melimpah ruah berkat gunung itu.
Setiap pagi warga kampung kita ini menjual hasil panennya
ke Lebak, ke Kota Rangkasbitung, bahkan ada juga yang dikirim
ke Pasar Induk Rau dan Jakarta. Itulah Rambi, kenapa kita perlu
memahami sejarah dan menjaga alam. Karena selagi kita baik
dengan alam, maka alam jauh akan membalas kepada kita dengan
balasan yang lebih baik. Biarlah para penunggu gunung itu tinggal
nama. Tinggal nisannya dan tinggal ceritanya. Tapi kewajiban
kita adalah merawat dan menjaganya,” kata Kakek Sajra menutup
cerita sore ini ketika senja mirip kuning tembaga.
***

“Ngaaaaaak! ngaaaaaaak! Ngaaaaaak!”


Rambi tergagap dan terperanjat kaget. Didengarnya suara
burung-burung cangak samar terdengar di kejauhan. Suara itu
semakin lama semakin mendekat mengitari Kampung Badur.
Rambi bocah ingusan tidak ada ibu dan bapaknya semakin
takut. Suara burung-burung cangak itu mengingatkan lima
tahun silam kematian ibu dan bapaknya yang tragis. Persis se-
belum maut menjemputnya burung-burung cangak itu ber-

119
putar-putar selama tujuh malam di bubungan rumahnya. Rambi
melompat menuju kamar kakeknya.
“Ada petanda apakah ini, Kek?”
“Memang beberapa malam terakhir ini burung-burung
cangak itu selalu datang. Lalu kemudian tak berapa lama mereka
semua pergi lagi.”
“Oh, jadi kejadiannya sudah berulang kali?”
“Ya, Kakek tak tega membangunkanmu malam-malam.”
Rambi memeluk Kakek Sajra.
“Tak usah bersedih. Semua akan baik-baik saja. Ayo balik
lagi ke kamar. Besok kamu akan Kakek ajak melihat dari dekat
Gunung Kencana itu. Sambil menghirup udara pagi dan menik-
mati indahnya alam pegunungan.”
***

Sambil mengayuh sepeda, Sajra membonceng Rambi me-


ninggalkan kampungnya. Sepeda ontel itu ia naiki hingga me-
nuju jalan umum yang terjal dan berbatu. Di jalanan sudah
banyak yang mengenderai sepeda motor, sebagian besar tidak
ada plat nomornya. Sebagian lagi cukup banyak sepeda motor
baru dari menjual sawah, lading, dan hutan mereka. Mobil-
mobil truk dan bak terbuka membawa hasil hutan dan sawah
untuk dijual ke kota. Jaraknya jauh untuk bisa sampai di kaki
Gunung Kencana. Semakin jauh bersepeda, semakin banyak
yang berubah. Sawah-sawah pinggir jalan sudah banyak berdiri
warung, tapi tak kenal siapa pemiliknya.
Jalanan sedang diperlebar dan diuruk pakai batu. Banyak
berpapasan orang bertampang borjuis menikmati pemandang-
an. Air sepanjang pematang sangat jernih. Ikan-ikan berkecipak
gembira. Setelah empat jam perjalanan barulah sampai di
bawah Gunung Kencana. Sajra melakukan penghormatan se-
belum masuk. Rambi merasa takjub dengan eksotisme gunung

120
tersebut. Wajahnya dibasuh dan menikmati segarnya air yang
jatuh dari tebing dan akhirnya mengalir ke seluruh sawah-sawah
penduduk. Akar-akar pohonnya mencakar perut bumi seperti
jari-jari raksasa. Batangnya tinggi menjulang ke langit dan suara
berbagai burung terdengar merdu di sana.
“Di mana sarang burung cangak itu, Kek?”
Dengan cepat Sajra memberikan isyarat dengan menutup
mulutnya dengan jari telunjuk.
“Jangan bertanya sembarangan. Nanti saja di rumah,”
katanya.
“Kalau kuburannya Putri Kidang Kencana juga di mana?”
“Ada di atas, tapi kita tak hendak mendakinya bukan? Ayo
kita keluar lagi, tempat ini kramat. Kakek khawatir para penung-
gunya bisa marah,” ajak Sajra pada cucunya yang mulai pensar-
an dan keingintahuannya yang tinggi.
Sajra ke luar dari gunung itu. Tapi dalam pikirannya ia dise-
limuti dengan tanda burung-burung cangak yang saban tengah
malam di atas bubungan rumahnya. Rumahnya yang jauh dari
keramaian kampung membuatnya berkeringat mengayuh
sepeda. Semakin siang, semakin ramai orang di jalanan. Tapi
Sajra tahu, kalau mereka adalah orang-orang luar kampungnya.
Sepanjang perjalanan Sajra mendengar isu tak sedap. Isu
tanah dan sawah yang sudah mulai berpindah tangan ke orang
luar. Pembagian harta warisan, jual sawah yang mengakibatkan
putusnya hubungan kekeluargaan. Sampai akan dibangunnya
pabrik-pabrik yang nanti menopang pembangunan desa dan
menyejahterakan warganya.
***

“Pak Sajra tidak usah khawatir Kampung Badur akan kami


cukupi kebutuhan warganya. Bahkan wajib diterima kerja di
pabrik kita,” kata Sulaeman menjelaskan, “bahkan kata bos

121
kami, siap memberi dana kas masyarakat setiap bulan dari
keuntungan pabrik ini, Pak,” Sulaeman menjelaskan sambil
meletekan amplop coklat tebal isinya di atas tikar pandan, tepat
di tengah-tengah mereka berdiskusi.
“Pak Sulaeman. Saya tetep keukeuh tidak setuju kalau
Gunung Kencana itu diganggu, apalagi sampai ada penebangan
hutan dan sebagainya. Bisa kualat seluruh warga yang ber-
dekatan dengan gunung itu. Gunung itu kramat dan di dalamnya
banyak yang menjaganya, pokoknya saya tidak setuju,” kata
Sajra tetap pada pendirian semula.
Sulaeman dengan tiga kawannya keluar dari rumah orang
yang dituakan di Kampung Badur itu dengan hati kecewa. Amplop
yang sudah disiapkan terpaksa dibawa pulang. Sementara Sajra
membatin di atas tikar pandannya.
“Apakah ini petanda suara burung-burung cangak tengah
malam itu,” katanya dalam hati.
Akhirnya setiap malam di rumah Sajra pemuda yang kumpul
bukan lagi meminta diceritakan tentang sejarah para sultan dan
kisah cinta Saijah dan Adinda. Tetapi merayu tetua kampung
untuk merestui mereka menjual tanah, sawah, lading, dan hutan.
Awalnya mereka banyak yang patuh terhadap Pak Sajra. Lambat
laun mereka ada yang tergoda diiming-imingi uang dan gemer-
lapnya perabotan kota yang pindah ke rumah-rumah mereka.
Mulailah pelebaran jalan, diberi batu, besi, dan dibeton. Drainase
diperbaiki, sawah-sawah diuruk. Bunyi belalang dan katak ber-
ganti deru bulldozer dan mesin pemotong kayu. Semuanya ber-
buru dengan waktu. Tak kurang dari hitungan bulan semua
sudah rata dengan tanah. Tiang-tiang pancang mulai dipasang.
Mobil-mobil truk hilir mudik di jalanan mengangkut bahan
material. Para pemuda kampung berganti profesi, dahulu men-
cangkul di sawah kini berubah menjadi kuli bangunan. Semua-
nya gegap gempita menyambut perubahan.

122
Sajra sudah semakin tua. Ia sudah tak dihargai lagi sebagai
sesepuh kampung. Omongannya dianggap angin lalu. Hal yang
paling ia takuti adalah bala bencana yang akan menimpa kam-
pungnya. Apalagi sebagian dari Gunung Kencana itu digusur
untuk perluasan pabrik. Ia menyadari suara burung-burung
cangak sudah lama pergi, digantikan suara televisi, motor dan
mesin pabrik setiap hari. Kampung bersinar terang dengan
lampu-lampu sorot yang tajam. Tetapi lambat laun suasana
panas, udara kotor, dan bising. Warga berebut air di musim
kemarau. Ongkos menjadi kuli tak cukup untuk anak dan istri
karena semua kebutuhan dibeli dari kota. Sebagian yang tua
diputus kerja. Dulu mereka bisa kerja di ladang atau sawah.
Kini mereka jadi pengangguran dan beban keluarga. Seluruh
warga dihimpit persoalan. Tenaga kerja baru didatangkan dari
kota, mereka layak bekerja dianggap memilik skill. Sampai
akhirnya tangis Rambi pecah malam itu untuk mengiringi ke-
pergian kakeknya.
***

Ngaaaaaak! Ngaaaaaaak! Ngaaaaaak!


Kini burung-burung cangak itu terdengar lagi. Entah dari
mana asalnya. Toh, Gunung Kencana sudah kehilangan hutan-
nya. Warga yang tahu pun tak menghiraukannya karena di-
anggap mitos dan tak pernah ada. Ngaaaaaaak! Ngaaaaaak!
Suara burung itu menutup malam di musim panas yang akan
berganti ke musim hujan. Tiba-tiba udara lembab. Awan hitam
bergulung di langit. Sesekali suara guntur dan kilatan halilintar.
Para warga masuk ke rumah. Ini hujan pertama di musim ini.
Mereka mulai mendengkur, nyenyak. Tapi, di luar hujan enggan
berhenti. Guntur menggelegar dan kilat membelah langit. Lampu
padam. Hujan semakin deras bercampur angin. Terdengar suara
seng, genting, dan pohon tumbang. Semua bangun dan ter-

123
peranjat kaget. Air dari Gunung Kencana seperti ada yang men-
dorong untuk ditumpahkan semuanya ke penduduk kampung.
Malam semakin histeris. Bercampur dengan erangan dan
lolongan minta tolong. Tanah, pohon, air, sampah semua me-
rangsek masuk ke rumah-rumah. Bahkan sebagian banyak dari
mereka lebur jadi satu. Lebur dalam duka dan pilu kembali
kepada sang pemilik alam yang maha tahu. ***

Serang, 25 Juli 2019

124
Segelas Air Keruh

Rori Surosowan

ku sangat menyesal karena tidak sempat


A menghadiri pemakaman Bapak, dan aku
benar-benar tidak menyangka kalau Bapak
meninggal sesuai dengan hari yang ia katakan
padaku seminggu lalu. Hubunganku dengan
Bapak sudah lama hancur, ia kecewa karena
aku memilih untuk bekerja di Jakarta. Mung-
kin karena aku anak satu-satunya, Bapak tidak
ingin kalau aku meninggalkan Lebak. Ia se-
makin marah ketika tahu kalau aku bekerja di
perusahaan tambang batu bara, katanya pe-
kerjaanku itu merusak alam. Ia bahkan tidak
sudi menerima uang yang kukirimkan setiap
bulan. Ia bahkan tidak mau bicara denganku
walau Ibu sudah membujuknya agar mau
memaafkanku, tapi Bapak tetap keras kepala
hingga pada saat aku akan berangkat ke Ma-
laysia, tiba-tiba untuk pertama kalinya, Bapak
meneleponku.

125
“Satib, ini Bapak,”
“Iya, Pak. Wah tumben Bapak menelepon Satib. Apa kabar,
Pak? Bapak sehat, kan?”
“Cepat pulang, Nak. Tanggal 14 Juni nanti kamu tidak akan
bisa lihat bapak lagi.”
“Hus! Bapak jangan bicara sembarangan, Satib pasti pulang.
Tapi, sekarang Satib mau ke Malaysia dulu, ada urusan peru-
sahaan, Pak. Nanti tanggal 16 Satib pulang.”
Benar saja tepat pada tanggal 14 Juni Bapak meninggal
dengan posisi duduk sila, kata mantri Bapak terkena serangan
jantung. Anehnya orang-orang kampung malah meyakini kalau
Bapak punya ajian pancasona, ajian yang bisa membuat orang
kekal abadi hingga hari kiamat tiba. Kabar itu semakin heboh ke-
tika dua hari setelah Bapak meninggal ada warga yang melihatnya
sedang berjualan sayuran di desa tetangga. Tentu saja aku tidak
memercayainya. Aku bahkan tidak pernah percaya dengan hal-
hal mistis walau Bapak selama ini menghidupi keluarga dari hal-
hal mistis. Iya, semasa hidupnya selain bertani dan berjualan
sayuran, Bapak juga adalah dukun terkenal. Banyak orang yang
berkonsultasi padanya soal perjodohan, bisnis, dan kesehatan.
Aku sempat menanyakan perihal ajian pancasona itu ke
Ibu, ia juga meyakini kalau Bapak memang tidak mati. Katanya,
orang yang punya ajian pancasona akan meninggalkan jasad-
nya ketika ia sudah merasa sangat sedih. Aku mengakui kalau
Bapak pasti sedih karena aku, apalagi saat perusahaan tambang
tempatku bekerja memulai penggalian di kampungku. Lahan
penggalian itu dulunya bukit tempat aku dan Bapak bermain
ayunan, memungut cengkeh, dan membuat kerbau mainan dari
batang daun kelapa.
“Perusahaanku akan menggali Bukit Balangandang, Pak.”
“Berarti kauakan membunuh orang-orang kampung kita,
Satib. Bapak menyekolahkanmu bukan untuk merusak alam!”

126
“Jaraknya jauh dari kampung, tidak akan merugikan warga
kita. Bapak harus tahu kalau hasil batu bara itu buat kepentingan
manusia juga, Pak. Listrik yang kita gunakan itu dari batu bara.
Berapa banyak manusia yang akan mati di rumah sakit kalau
tidak ada listrik. Percayalah Pak, apa yang Satib lakukan itu
untuk kepentingan manusia.”
“Menyelamatkan nyawa manusia tidak harus dengan cara
membunuh manusia lain!” Bapak langsung menutup teleponnya.
Beberapa bulan kemudian penggalian Bukit Balangandang
tetap dilakukan. Sebenarnya, aku sendiri yang menyuruh pihak
perusahaan untuk meneliti potensi adanya batu bara di bukit
itu. Benar saja, ternyata di dalam rahim Bukit Balangandang
tersimpan batu bara yang melimpah ruah. Setelah enam bulan
penambangan bukit itu sempurna rata tidak terlihat seperti
bukit lagi, menyisakan lubang besar bekas penggalian. Melihat
keadaan Bukit Balangandang hancur, Bapak semakin marah dan
memutus aliran listrik di rumahnya menggantinya dengan lilin.
Tentu hal ini membuat Ibu kesulitan, ia harus menggunakan
kerek untuk menimba air.
Setelah Bapak meninggal, banyak sekali penyesalan dalam
diriku termasuk perihal lubang itu. Aku sadar kalau aku bukan
hanya membuat lubang di Bukit Balangandang tapi juga di dada
Bapak. Dulu ia pernah membujuk agar aku tinggal dan bekerja
di kampung saja tapi tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan
ilmu yang kupelajari selama kuliah. Ambisiku sangat tinggi
untuk sukses, bekerja di perusahaan besar dan tinggal di kota.
“Kamu tinggal di kampung saja, Nak. Kerja di sini.”
“Aku mau kerja apa di kampung? Empat tahun aku belajar
pertambangan dan sekarang kesempatanku untuk mengamal-
kan ilmunya, Pak. Aku ingin jadi orang sukses.”
“Di kampung juga kamu bisa sukses Nak. Kita bertani dan
bertenak kambing.”

127
“Kalau seperti itu kuliahku sia-sia, Pak.”
“Dari awal kamu kuliah Bapak takut kamu malah menyalah-
gunakan kepintaranmu untuk membodohi orang.”
“Aku akan menolong banyak orang, Pak.”
Sampai detik ini aku tidak tahu apakah aku menolong banyak
orang atau membunuh banyak orang. Perusahaanku banyak
menggali lubang yang memang membuat sengsara warga sekitar-
nya, bahkan kasus kematian setiap tahun semakin meningkat
sebab lubang-lubang bekas tambang menjadi danau dan mem-
buat banyak anak-anak mati tenggelam di sana. Belum cukup
sampai di situ, kapal-kapal Vessel yang mengangkut batu bara
ke PLTU juga menyebabkan kerusakan ekosistem laut membuat
nelayan menderita. Belum lagi asap PLTU yang perlahan mem-
buat warga sekitar terkena penyakit bengek, iritasi kulit, sakit
mata, bahkan ada yang sampai meninggalkan rumahnya karena
debu PLTU. Selama ini aku menutup mata dari semua itu.
***

Aku berdiri di samping kuburan Bapak sambil menangis


karena tidak sempat meminta maaf atas semua kesalahanku.
Kalau saja ajian pancasona itu benar ada dan Bapak masih hidup,
inginku bertemu dengannya sekali lagi dan memeluknya. Di
sela isak tangisku, terdengar suara ranting getas terinjak, aku
menoleh sambil menyeka air mata. Seorang lelaki paruh baya
mendekatiku, dari pakaiannya dapat dikenali kalau ia adalah
suku Baduy Luar. Ia mendekat dengan membawa sapu lidi tanpa
berkata apa pun dan langsung menyapu daun-daun yang ber-
serak di sekeliling kuburan Bapak.
“Maaf, Abah ini siapa?”
“Aku Karman, setiap sore aku ke sini untuk membersihkan
kuburan sahabatku Pak Sidik,” ia berbicara sambil sibuk me-
nyapu tanpa menoleh padaku.

128
“Pak Sidik itu bapak saya.”
Tangannya berhenti menyapu, kedua matanya menatapku,
rambut putih mengelilingi bagian kepala tengahnya yang botak,
jenggotnya hitam berselang putih. Ia menatapku seolah menge-
nalku. Aku tidak pernah tahu kalau Bapak punya sahabat dari
suku Baduy Luar. Pastilah hubungan Bapak dengan Abah Karman
sangat dekat sampai dia rajin sekali membersihkan kuburan
Bapak. Tapi anehnya tanpa berkata apa pun lagi ia melanjutkan
pekerjaannya. Setelah dirasa semua bersih, ia balik badan dan
pergi. Buru-buru aku mengikutinya.
“Bah, boleh aku main ke rumah Abah?”
“Bukan rumah tapi saung.”
“Iya boleh kan, Bah?”
Ia tidak menjawab tapi aku tetap mengikuti langkahnya
menyusuri jalan setapak, melewati bekas pertambangan batu
bara, menuruni medan yang terjal sehingga aku harus menang-
galkan kedua alas kaki karena jalannya becek dan licin. Aku
sempat tertinggal beberapa meter dari Abah Karman hingga
akhirnya di antara batang-batang pohon jengjeng aku melihat
tiga saung. Kupercepat langkah untuk mengejar Abah Karman.
Saung-saung itu terletak dekat dengan bekas pertambang-
an, Abah Karman tinggal bersama istri dan ketiga anaknya
sedangkan dua saung lainnya dihuni oleh saudara Abah Karman.
Ternyata Bapak memberikan lahan untuk Abah Karman garap
menjadi huma1. Ia dan saudaranya sudah tiga tahun menggarap
lahan Bapak.
“Semenjak ada tambang batu bara, sumur kami menjadi
keruh,” kata Abah Karman sambil menyuguhkan singkong bakar
dan segelas air keruh.

1
Ladang padi

129
Aku tertunduk, merasa sangat bersalah.
“Dulu, saat Pak Sidik masih hidup, ia berbaik hati membawa-
kan air minum dari rumahnya untuk kami. Sumur di rumah
Pak Sidik jauh dari pertambangan jadi tidak terkena dampak.
Tapi sekarang kami terpaksa memasak air keruh ini, tidak ada
mata air lagi yang bisa kami temukan.”
“Pak Sidik sering bercerita tantangmu.”
Ia mencubit singkong bakar itu, meniupnya sebelum
dimakan. Aku semakin tidak nyaman, aku yakin ia tahu kalau
akulah otak dari penambangan itu.
“Kata Pak Sidik kamu bekerja di lembaga lingkungan. Ketika
tersebar kabar kalau akan ada pertambangan di sini, Pak Sidik
selalu bilang kalau anaknya akan mencegah pertambangan itu.”
Ia meneguk segelas air keruh dan mencomot singkong
bakar. Aku tak tahu harus berbicara apa sekarang.
“Bulan depan akan menjadi panen terakhir, kami akan pulang
ke Baduy sebelum terbunuh oleh air keruh ini. Aku sangat
berterima kasih padamu dan bapakmu walau aku sempat kecewa
saat tahu kalau kamu gagal mencegah pertambangan itu, tapi
tak apa-apa teruslah berjuang.”
Tanpa mengomentari perkataannya, aku meneguk secangkir
air keruh itu, rasanya sangat buruk hambar sedikit pahit.
“Bah, boleh aku minta segelas lagi?”
“Tentu saja,” ia menuangkan air keruh dari dalam teko.
Kuteguk kembali rasanya seperti meneguk penderitaan ribuan
orang yang menderita karenaku.
Setelah meneguk air itu aku pamit, ada hal yang ingin aku
tanyakan ke Ibu. Setibanya di halaman rumah tak sengaja aku
mendengar suara Ibu sedang bercakap, entah membicarakan
apa, suaranya tidak jelas. Yang aku tahu Ibu jarang sekali
kedatangan tamu. Dengan penuh rasa penasaran aku langsung
masuk tanpa salam terlebih dahulu, tetapi tak kutemukan siapa

130
pun di dalam rumah kecuali Ibu. Kulihat di atas meja tersaji
kopi hitam dan rokok kretek yang masih mengepulkan asap
seperti baru dihisap.
“Ibu bicara sama siapa?”
“Bapak.”
“Ibu, Bapak sudah tidak ada. Ibu sepertinya terlalu lelah
dan berhalusinasi,” aku menuntun ibu ke sofa.
“Bu, nanti kita pasang listrik lagi ya. Tidak perlu memutus
aliran listrik, kita hanya perlu menghematnya.”
“Iya, Nak.”
“Bu, aku mau tanya, apakah orang-orang di kampung kita
tahu kalau aku bekerja di perusahaan batu bara?”
“Tidak, Nak. Semua orang di kampung kita hanya tahu kalau
kamu bekerja di Lembaga Pelestarian Lingkungan, Bapak yang
menyebarkan informasi itu.”
Selama ini aku tidak menyangka ternyata bukan hanya
Abah Karman yang tidak tahu tentang pekerjaanku, bahkan
semua warga kampung ini tidak ada yang tahu. Mungkin Bapak
tidak mau kalau aku sampai dibenci oleh warga kampung. Setelah
Bapak tidak ada, ingin sekali rasanya aku berlama-lama di rumah
menemani Ibu. Namun, waktu cutiku sudah habis. Aku harus
segera pulang ke Jakarta, mengurus kerjaanku kembali.
Hari berikutnya aku pamit pada Ibu, ia melepas kepergian-
ku sambil menahan air mata. Aku tahu hatinya remuk, ia pasti
akan merasa sangat kesepian atau mungkin Ibu akan kembali
berhalusinasi menyajikan kopi dan menyalakan rokok kretek
kesukaan Bapak. Aku sudah merayu Ibu untuk ikut denganku
ke Jakarta, tapi ia menolak. Jadi, aku harus sering pulang mene-
ngok Ibu. Dan tentang Bapak masih hidup atau sudah meninggal,
hatiku tetap pada pendirian kalau Bapak benar-benar sudah
meninggal. Ajian pancasona itu pastilah hanya mitos.

131
Tidak terasa mobil yang kukendarai sudah melewati bebe-
rapa desa. Sesekali mobilku bergoyang-goyang karena melintasi
jalan yang rusak berbatu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Ketika melintasi jalan lurus beraspal mulus, langsung kutancap
gas. Pada saat itu pula dari arah berlawanan tiba-tiba mataku
menangkap seorang pria berkemeja cokelat lusuh, mengendarai
motor bebek dengan dua keranjang sayuran di jok belakang.
Wajah itu sangat kukenali, itu Bapak! Buru-buru kuinjak rem
dan keluar dari mobil, tapi sejauh mata memandang jalanan
lurus itu kosong melompong, tidak ada siapa pun. Aku yakin
tadi itu Bapak dan dia menghilang secara tiba-tiba.
***

132
Manikam Sepuluh

Sri Utami

au berpura pulas kembali di bale yang dilapis


K kasur tipis berwarna hijau telur asin. Aroma
cendana menguar dari lapisan kasur yang
kautindih. Kepalamu rebah pada bantal tipis
beraroma rempah. Terang saja karena kau-
tahu bantal itu sengaja diisi daun-daun rem-
pah kering yang membuat dirimu semakin
lena di sana.
Rumah ini tidak berubah, masih berupa
rumah kayu kuno, tidak ada sentuhan cat
sama sekali. Wanita itu, maksudmu wanita-
mu, juga tidak banyak berubah, masih sama
seperti saat pertama kau dekap dia, hangat
dan menenangkan. Dia tak menolak pun
membalas pelukanmu, tentu saja kau yang
bersalah, beraninya mengingkari janji yang
telah dengan sangat sadar kaubuat sendiri.
Kepalamu pening!

133
Wanitamu, mengenakan gaun selutut dari kain tenun ber-
motif garis berwarna gelap, rambutnya digelung satu dengan
tusuk kayu kecil. Kau memperhatikanya dengan puas wanita
yang kini membelakangimu. Ada satu tamu wanita paruh baya
yang sedang dipijat kepalanya oleh tangan terampil wanitamu
ini.
Ah, ya, lupa. Kau bercerita sejak dua tahun lalu wanitamu
ini membuka biro, ya. Kalau boleh dikatakan, bukan salon pe-
rawatan kecantikan, wanitamu hanya memijat kepala, tengkuk,
dan leher serta bersedia menjadi kotak sampah, jangan kotak
sampah terlalu jahat, wanitamu bersedia mendengar dan me-
nyimpan rahasia para pelanggannya yang datang. Semacam
konseling tapi disertai pijatan di kepala. Hei, siapa yang bisa
menolak hal menyenangkan seperti ini? Wanitamu hebat, harus-
nya kaupuji dia. Sudah banyak orang yang datang untuk me-
rasakan sensasi pijat dan pelayanan spesialnya, walau sehari
dia hanya menerima satu tamu dan tidak pernah mematok tarif.
“Ingin minum apa, Nyonya?” wanitamu mulai bersuara.
“Jangan panggil Nyonya panggil saja namaku, aku lebih
senang, Nyimas.”
Serupa nama wanitamu, baru kali ini kaubegitu tertarik
dengan kegiatan wanitamu ini. Kaupasang baik-baik pen-
dengaranmu, semoga mereka berdua tidak ada yang menoleh
ke arahmu. Wanitamu kembali membawa minuman yang di-
taruh di dalam sebuah bambu yang telah dipotong menye-rupai
gelas.
“Minumlah selagi hangat dan kepala masih terasa basah.”
Wanita itu menurut, langsung disesapnya ujung gelas
bambu itu.
“Sembari aku memijat, kauboleh bercerita apa saja, Nyimas,”
wanitamu memijat dahi wanita itu dengan perlahan.

134
“Sulit kupercaya, bahwa aku bisa mendapatkan seseorang
yang mau mendengar segala keluh kesahku.”
“Kauharus percaya sekarang,” jawab wanitamu pendek.
“Suamiku seorang pemburu hewan dan aku adalah seorang
pecinta hewan. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa semesta
mempertemukan dua orang yang bertolak belakang untuk saling
mencintai. Satu lustrum sudah kunikmati hidup manis bersama-
nya, dia sangat memahamiku. Tak pernah sekalipun dia mem-
bawa ataupun bercerita tentang hewan yang mati karena pem-
buruanya itu.
Pada malam-malam tertentu timbul amarah dalam diriku,
saat melihatnya sedang tertidur muncul gambaran nyata saat
dia memegang senapan dan menembakan peluru. Malam-malam
itu muncul hasrat untuk mengakhiri hidupnya, tapi tak pernah
kulakukan. Hingga suatu malam yang tenang aku kembali ter-
jaga, tidak untuk memandangnya, tapi mendoakanya saat tanpa
sengaja ada suara kecil dalam lubuk hatiku yang memintaku
untuk berdoa, aku yang bahkan lupa caranya berdoa.
Dan keesokan harinya dia pulang dengan air mata mem-
bajiri wajahnya. Ia menggendong seekor bayi Owa 1 yang ke-
takutan. Dia berjanji untuk mulai berhenti berburu saat itu juga
dan menyerahkan bayi Owa itu padaku. Katanya padaku, dia
pergi ke gunung dan menembakan peluru tepat di atas kepala-
nya, di atas sebuah pohon kokoleceran yang berdaun. Mata
jelinya menangkap sesosok makhluk kecil berbulu.
Terdengar jeritan lirih seperti menangis saat didapatinya
induk Owa yang berlumuran darah turun menghampirinya dan
menyerahkan anaknya pada suamiku, seekor bayi Owa berbulu
abu-abu bercampur merah darah induknya. Mampukah kau-

1
Owa: fauna khas Banten yang hampir punah populasinya.

135
bayangkan seekor induk binatang yang sekarat menyerahkan
anaknya kepada seseorang tak berhati yang telah menembak-
nya.
Harusnya aku bersyukur, karena suamiku tidak lagi mau
berburu. Sejak itu juga kesehatanya mulai terganggu dan kemu-
dian dia mati. Aku tidak merasa terlalu bersedih akan kematia-
annya, yang membuatku nyeri saat aku tidak lagi menemukan
Owaku di rumah. Dua tahun aku merawatnya dan menganggap-
nya sebagai anakku. Sudah seminggu aku mencarinya seperti
orang gila. Tak ada seorang pun yang mengerti perasaanku saat
ini..,” wanita itu tersedu. Wanitamu tetap memijat kepalanya.
Tanpa komentar.
“Apa kau menganggapku aneh? Aku gila?” lanjut wanita itu
dengan terbata.
“Tentu saja tidak, aku mengerti perasaaanmu karena aku
juga pecinta hewan sepertimu, Nyimas.”
“Aku berharap Owaku kembali.”
“Aku pun berdoa untuk itu. Sudah pegal tangan ini memijat-
mu, sembari menunggu rambutmu kering kaubisa berbaring
di sana.”
Wanitamu membimbingnya untuk rebah di atas bale bambu
sama sepertimu. Selang berapa menit wanita itu nampak pulas.
“Sekarang giliranmu, Tuan.”
Wanitamu menyentuh lenganmu. Kau tergeragap tak me-
nyangka bahwa wanitamu tahu kauhanya berpura semata.
“Kau satu-satunya pria yang pernah dan boleh kupijat.”
“Ya, aku tahu.”
“Tapi, kauharus membayar mahal untuk semua ini.”
“Aku mengerti.,” jawabmu cepat.
“Baguslah,” jawabnya pendek.
Kau merasakan sensasi pijat yang tidak biasa. Aroma rem-
pah memburu hidungmu membuat nadimu berdetak lebih cepat.

136
Minuman yang disuguhkan dalam potongan bambu langsung
kaulesap dalam sekali teguk. Kau berjanji pada dirimu untuk
mengembalikan Owa yang kautemukan di gunung tempatmu
mendaki kemarin. Berjanji untuk tidak mengambil apa pun di
gunung itu, meskipun kau seorang petugas satwa. Walaupun
sebenarnya kau tak yakin Owa itu milik wanita itu dan wanitamu
belum pasti mau kembali padamu. (*)

Lubuklinggau, 31 Juli 2019

137
138
Mimpi Jaro Kasmin

Supadilah

aro Kasmin membuka jendela rumah lebar-


J lebar. Setelahnya dia termenung. Bukan
karena bangun jauh sesudah azan berku-
mandang. Dia sudah biasa meninggalkan
salat Subuh. Juga bukan karena matahari
pagi telah menghangatkan pucuk-pucuk
daun dan rerumputan. Dia lupa entah berapa
kali kesiangan. Namun, karena tidurnya kali
terputus karena sebuah mimpi yang mena-
kutkan baginya. Abah datang dalam mimpi-
nya. Padahal selama ini jarang sekali Abah
hadir dalam mimpi atau lintasan pikirannya.
Dari arah belakang, istrinya mendekat.
“Sudah bangun rupanya, Kang. Mau dibikin-
kan kopi atau teh?” sebuah pertanyaan ru-
tin setiap pagi.
“Barusan aku mimpi aneh sekali,” Kas-
min tidak menjawab pertanyaan istrinya,

139
malahan mengatakan mimpinya barusan, “aku jadi takut.”
Lalu Kasmin menceritakan mimpinya. Istrinya mendengar
dengan saksama. Terasa benar perubahan perasaan Kasmin
pada saat bercerita itu. Semacam ketakutan yang dibalut ke-
sedihan. Wajar, sebab Abahnya merupakan sosok yang sangat
dekat. Bahkan perjalanan Kasmin sejauh ini juga berkat sosok
sang Abah.
“Mungkin Abah ingin dijenguk, Kang,” ingat istrinya.
Begitu kebiasaan orang di kampung. Mimpi didatangi or-
ang yang sudah meninggal bisa diartikan sebagai undangan
untuk didatangi. Biasanya bisa dibayar dengan membersihkan
kuburannya atau mengadakan kenduri.
Maka, itu pula yang dianjurkan istri Jaro Kasmin. Namun
anjuran itu lantas terputus oleh suara deru mobil di halaman
rumah mereka.
“Ada tamu. Aku harus temui dulu,” gegas Kasmin.
“Jangan lupa cuci muka dulu, Kang,” ingat istrinya. Meng-
hela napas. Ah, jika urusan bisnis, suaminya itu selalu memen-
tingkan dari segalanya. Begitu sejak beberapa tahun ini. Tepat-
nya ketika perekonomian mereka sudah semakin membaik.
Kontras dengan sebelum suaminya jadi jaro.
Di ruang tamu, Kasmin tengah bercengkerama seru dengan
sang tamu. Adalah Pak Jauhari, sang pengusaha tambang ter-
kenal. Keduanya terlihat akrab. Kedatangan Pak Jauhari me-
rupakan kesekian kalinya. Kali ini obrolan mereka adalah
tentang tambahan armada yang akan dioperasikan. Tanpa me-
minta persetujuan dulu, Pak Jauhari telah menyiapkan tam-
bahan armada itu.
“Nantinya ada enam truk lagi ditambah. Supaya pekerjaan
itu semakin lancar, semakin banyak pula setiap harinya kita
lakukan pengangkutan,” katanya.

140
Kasmin tidak mengiyakan, tidak pula menggeleng. Namun
dalam hatinya sedang menghitung-hitung berapa lagi bagian
yang layak menjadi jatahnya.
Jika sebelumnya dengan jatah yang dia dapat bisa menem-
patkan mobil mewah seharga ratusan juta di garasi rumahnya,
ditambah beberapa petak sawah dan kebun sawit, tambahan
jatah kali ini bisa untuk mengoleksi apa lagi. Tak ada pengorbanan
berarti yang harus dia lakukan. Tidak lelah atau waktu yang dia
korbankan. Tidak juga keluarganya yang harus melakukan se-
suatu. Hanya, untuk itu, Bos Jauhari dibolehkan menambang
pasir di wilayah kepemimpinannya. Saat itu, hanya Bukit Nga-
hejo yang diminta Bos Jauhari. Cukup luas, kisaran belasan hek-
tare, tapi cukup tinggi. Meskipun belum habis benar, tapi telah
ratusan truk bermuatan penuh tiap hari hilir mudik dari sana.
Bos Jauhari menyodorkan beberapa lembar kertas. Isinya
kontrak terbaru mereka. Di atas perjanjian itu, Jaro Kasmin akan
mendapat komisi 15%, naik 5% dari kontrak yang sebelumnya.
Saat mengemasi kertas-kertas perjanjian itu, terbayang
oleh Kasmin, beberapa petak rumah minimalis di bilangan
Aweh sana. Pekan lalu saat ada keperluan ke Rangkasbitung
dia sempat membaca brosur perumahan yang diletakkan begitu
saja di swipper mobilnya. Brosur tentang perumahan elit yang
harganya tidak kalah mahal dari mobilnya. Setelah urusannya
selesai, Jaro Kasmin pun meninjau ke lokasi. Belasan menit
memutari komplek dengan pegawai pengembang sana, dia ter-
pikat dengan perumahan itu. Dan kini, kesempatan untuk me-
milikinya semakin gamblang.
Bos Jauhari hendak pamit saat Nita, putri semata Mayang
Jaro Kasmin keluar, pamitan hendak berangkat kuliah. Maka
Bos Jauhari pun urung pamit. Lantas menawarkan tumpangan,
hendak mengantarkan Nita. Nita menampik tawaran itu. Dia
sudah ada janji dengan Rizal, kekasihnya. Lima bulan lamanya

141
mereka telah dekat. Ke mana pun Nita ingin, Rizal dengan senang
hati mengantar. Termasuk mengantar kuliah Nita seperti hari
ini.
“Anakmu sudah besar. Cantik sekali dia,” kata Bos Jauhari,
mengalihkan pembicaraan dari urusan bisnis semata.
“Tahun depan kuliahnya selesai,” jawab Jaro Kasmin.
“Aku berharap dia pintar berbisnis seperti ayahnya. Siapa
tahu sewaktu-waktu dia bisa menggantikan ayahnya, hahaha,”
tukas bos Jauhari, lalu tertawa lebar. Nadanya penuh harap.
Mendengar itu, jaro Kasmin jadi geram. Namun hanya di
hati. Sebab dia tidak berani menunjukkan ketidaksukaannya.
Dia tahu, sebagaimana orang-orang juga tahu, sosok gendut di
hadapannya itu suka main perempuan. Dia punya tiga istri. Itu
yang diketahui orang. Belum lagi yang ramai di kabar burung
lainnya.
Matahari semakin naik. Bos Jauhari sudah pulang. Jaro
Kasmin baru keluar rumah menuju kantor desa. Satu dua tahun
belakangan Jaro Kasmin sering telat masuk. Kontras dengan
awal-awal dia sebagai jaro dulu. Dia sering sebagai orang kedua
yang datang ke kantor, setelah Abah Husen, sang penjaga kantor
yang telah datang paling awal.
Dua tahun setelah dia menjabat sebagai jaro. Dia didatangi
serombongan orang dari kota. Halaman kantor desa yang luas
pun penuh dengan mobil-mobil. Dari belasan mobil mentereng
itu turun orang-orang, salah satunya Bos Jauhari yang kemu-
dian semakin sering datang, baik ke kantor desa atau pun ke
rumah Jaro Kasmin.
Satu dua orang pegawai desa bisik-bisik saat kantor desa
rutin dikunjungi orang asing. Namun tidak ada di antara mereka
yang berani buka mulut. Justru Abah Husen yang pernah sekali
mengingatkan.

142
“Tong caket jeng jalma eta, Abah merasa ada sesuatu yang
tidak baik.”
Jaro Kasmin tercenung. Tapi hanya hitungan detik. Setelah
itu, wajahnya cerah. Dicerah-cerahkan tepatnya.
“Abdi akan hati-hati, Abah.”
Setelah itu, Abah tidak lagi mengingatkan Jaro Kasmin.
Persis saat Jaro Kasmin masuk ke ruangannya, Bos Jauhari
sampai di halaman kantor desa. Pegawai sudah mafhum. Siapa
lagi yang dicari kalau bukan Jaro Kasmin. Maka mereka diam
saja saat sosok pengusaha yang menguasai banyak bisnis itu
masuk ke ruangan pimpinan mereka, tanpa permisi barang
sedikit pun. Seperti masuk ke rumah sendiri saja.
Sebentar kemudian, ruangan Jaro Kasmin penuh dengan
asap dari kepulan rokok Bos Jauhari. Namun kedatangan Bos
Jauhari kali ini membawa sedikit beban untuk Jaro Kasmin.
Meskipun masih seperti biasa, lembaran kertas berisi tawaran
bisnis, tapi isinya kali ini sungguh berbeda. Bos Jauhari meng-
hendaki Bukit Cirokok sebagai target tambang pasir selanjutnya.
Bukan karena Bukit Cirokok lebih luas yang memberatkan,
namun di tempat itu, bersemayam jasad Abahnyalah yang mem-
buatnya tidak segera memberikan persetujuan. Telah belasan
tahun kuburan Abah di sana terawat baik. Meskipun tak selalu
tiap bulan Jaro Kasmin menziarahi, dia mengupah orang untuk
merawat kuburan Abahnya. Dan sekarang, jika ada orang yang
akan mengusik kuburan Abahnya, tentu dia akan sangat keberatan.
Tentu saja Jaro Kasmin geram. Dia tahu, Bos Jauhari tahu
pasti jika di wilayah itu ada makam Abahnya. Pernah Bos Jauhari
meninjau beberapa lokasi yang memiliki volume pasir yang
potensial. Dulu, mereka ke Bukit Cirokok itu juga. Perkara di
sana ada makam Abahnya telah pula menjadi topik pembicaraan
mereka. Lantas, jika kedatangan Bos Jauhari kali ini, dapat
diartikan apa kecuali bentuk pemaksaan?

143
Tahu kalau Jaro Kasmin ragu, Bos Jauhari memberikan
penawaran yang kemudian membuat Jaro Kasmin bimbang.
“Jika proyek kita sepakat, ada tiga miliar menjadi bagianmu.”
Daun telinga Jaro Kasmin serasa berdiri. Uang sebanyak
itu tentu membuat mata silau. Tak terkira apa saja yang bisa di-
belinya. Selama ini, total bagiannya hanya sepertiga tawaran
yang sekarang, namun telah banyak kemewahan yang dia dapat.
Apatah lagi yang sekarang?
Namun persoalan kuburan Abah itu sangatlah pelik. Pamali
mengusik ketenteraman orang yang sudah meninggal. Apalagi
dia merupakan keluarga sendiri. Maka berkecamuklah perang
di kepala Jaro Kasmin. Bos Jauhari tak mau menunggu lama. Dia
merupakan orang yang tidak mau ditolak keinginannya. Maka
kemudian dia berkata, “Aku beri waktu dua hari ke muka. Kabari
aku jika ada berita bahagia. Kautentu tahu maksudku,” katanya.
Lantas berpamitan. Meninggalkan ruangan dengan asap
yang masih membumbung. Dan Jaro Kasmin yang masih ter-
menung, menimbang-nimbang banyak hal. Pilihannya sulit. Jika
ditolak, tentu dia harus berhadapan dengan Bos Jauhari yang
akan memaksakan keinginannya. Jika diterima, terbayanglah
siapa-siapa yang akan dia hadapi. Bukan hanya istrinya atau
keluarganya, tapi pastilah orang-orang kampung siap pasang
badan.
Sebetulnya sejak lama orang-orang kampung memiliki
pandangan yang berlawanan dengan Jaro Kasmin. Tambang
pasir itu memang membawa banyak bagian untuk warga sekitar.
Namun kerugiannya pun tidak bisa dibilang sedikit. Akibat truk
bermuatan over tonase tiap hari yang melintas menimbulkan
kepulan debu yang membuat udara tidak lagi bersih, akibatnya
banyak warga terserang asma, terutama anak-anak.
Rumah-rumah berubah cat warnanya dan tanaman-tanam-
an yang menguning warna debu. Jalan aspal yang rusak dan

144
berlubang di sana-sini. Desa mereka yang tadinya tenang, sunyi,
dan damai menjadi kian ramai. Pendatang baru bermunculan.
Lingkungan pun tercemar. Sungai-sungai tidak lagi jernih. Keruh.
Ikan-ikan tidak lagi hidup bebas. Warga pun tidak bisa meng-
gunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari seperti dulu lagi.
Namun karena masih ada yang mereka dapatkan, seperti peng-
hasilan yang semakin bertambah, mereka masih bungkam.
Pusing, Jaro Kasmin keluar ruangan. Menuju warung depan
kantor desa. Di halaman bertemu Abah Husen. Ah, ini kesem-
patan untuk meminta bantuan pendapat Abah Husen. Siapa
tahu Abah Husen tahu jalan keluarnya.
“Bapak kudu ludeng ngahadeupanna, sebelum semuanya
semakin rumit. Akui kesalahan, saatnya berubah. Apapun risiko-
nya harus berani Bapak tanggung.”
Spontan Abah Husen memberikan petuah begitu Jaro
Kasmin rampung bercerita. Seperti air yang menemukan celah
untuk mengalir, setelah terbendung sekian lama. Termasuk
Abah Husen memberikan langkah-langkah bagaimana meng-
hadapi Bos Jauhari. Abah Husen memiliki banyak pengalaman.
Uban di kepalanya menggaransi bahwa dia telah kenyang makan
asam garam kehidupan.
“Kita akan menuai apa yang kita tanam. Bapak harus meng-
akui jika jalan Bapak selama ini salah. Maka, semua akibatnya
harus ditanggung.”
Jaro Kasmin sedikit lebih tenang. Dia telah memegang kunci
AS dari Bos Jauhari. Jika memang kunci itu bekerja dengan baik,
dia dapat lolos dari kejaran. Meskipun memang tidak mudah,
dia yakin bisa menang dari pertaruhan itu. Dia siap dengan ber-
bagai konsekuensi. Bahkan jika harus mengembalikan semua ke-
mewahan yang selama ini didapat. Keberanian kali ini, lantaran
kedatangan Abah di mimpinya itu. Seakan hardikan itu masih
terasa.

145
“Hirup ngan ukur samentawis, anjeun tong nyimpang tina
anu Abah ajarkeun. ngan janten isin wungkul. Abah kecewa.”
Tak berani dia melawan Abahnya. Apa pun yang terjadi
dia lebih memilih menghadapi Bos Jauhari dengan segala yang
akan ditanggung ketimbang melawan Abah, sosok yang mem-
buatnya jadi seperti sekarang ini. (*)

146
Tubuh Ayi

Udiarti

ore itu, saya membuat pengakuan. Sebelum-


S nya, saya merasa tidak pernah punya teman
yang mampu menggetarkan tanah-tanah
ketika ia sungguh merasa senang. Saya pun
belum pernah merasakan guncangan pada
tubuh saya yang begitu dahsyat. Bukan,
bukan goncangan dari angin yang sepoi di
persawahan Lebak ini. Saya justru akan me-
nari-nari ria jika angin menerpa muka saya.
Saya terlihat memesona dan seksi.
Oh, ya, kembali pada teman saya. Jadi,
tanah akan terguncang jika ia lewat. Saya
akhirnya mengakuinya pada teman-teman
saya yang lain, bahwa saya berteman cukup
dekat dengan Ayi. Ayi adalah perempuan
bertubuh bongsor. “Bukan bongsor lagi!
Bengkak!” kata Huma, tapi sebenarnya kami
sangat menyayangi Ayi.

147
Saya ceritakan bagaimana saya bisa bertemu dan dekat
dengan Ayi. Suatu sore yang lain, Ayi datang. Kedua matanya
sembab, saya tahu itu ciri-ciri orang yang habis menangis. Tidak
hanya itu, pipi kirinya terluka, seperti luka bakar yang masih
baru. Merah dan sedikit berair. Ayi menyusup pada tinggi badan
saya yang menghijau rimbun. Persawahan Lebak saat itu belum
waktunya dipanen, jadi saya masih segar-segarnya. Ayi menun-
duk pada kedua dengkulnya dengan tangan yang melingkar
pada dengkul, saat itu ia masih mungil.
“Saya sudah tidak tahan lagi,” kata Ayi, “saya mau cerai
saja.”
Mendengar kata cerai, saya pun menyahut kaget!
“Cerai?”
Ayi memandang pada saya. Dilihatnya kami yang hijau dan
bergoyang. Lantas Ayi tersenyum, rombonganku pun turut malu-
malu tersenyum. Ayi tidak jadi menangis lagi. Namun ia tetap
memilih untuk bercerai dengan suaminya. Saat itu Ayi barangkali
berusia 30 tahun. Badannya langsing, putih, dan berlesung pipi
manis. Perempuan tercantik di Rangkasbitung memang. Setelah
itu, Ayi senang mengunjungi kami.
“Beruntung tidak saya berikan pula sawah ini pada mantan
suami saya yang pemabuk itu. Ahh, hanya kalian yang saya
miliki. Teman-teman yang selalu mengerti saya.”
Setiap Ayi berkunjung, Ayi akan mendapatkan butir-butir
beras dari limpahan kesuburan kami. Kami memang diciptakan
dalam wujud padi, kemudian menghasilkan beras-beras kualitas
terbaik di Lebak. Pertumbuhan kami tidak pernah sekarat, karena
kami selalu senantiasa dijaga oleh Dewi Kesuburan kami, Dewi
Nay.
Dewi Nay selalu turun di malam hari. Bernyanyi dan meni-
mang-nimang kami agar esok pagi kami kembali tumbuh.
“Lebak tidak boleh kekurangan nasi,” katanya. Tapi, usai ber-

148
nyanyi Dewi Nay akan menangis. “Saya tak mau kembali ke
kayangan,” katanya.
“Kenapa Ibu? Bukankah kayangan tempat yang nyaman,”
Huma bertanya. Ibu adalah panggilan kami untuk Dewi Nay.
“Saya tidak mau bertemu dengan ayah tiri saya, Dewa Guru.”
“Kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan Dewa Guru? Bukan-
kah ia menjaga dan membesarkan Ibu di kayangan?” Huma ber-
tanya lagi.
“Kamu tidak tahu ya? Dewa Guru membesarkan saya untuk
diperistri olehnya. Di kayangan saya akan sakit-sakitan jika ber-
temu dengan dia. Kalau sudah begitu saya harus segera turun
ke tanah Lebak, saya ingin terus membuat kalian subur. Maka,
lara saya akan hilang dengan melihat kalian tumbuh menguning
dan gemuk-gemuk. Hanya ini yang bisa jadi pelipur lara saya.”
Maka, begitulah Dewi Nay menemui kami setiap malam.
Sedangkan esoknya, ketika sore perlahan muncul, Ayi akan
dengan senang gembira memungut anak-anak kami yang subur.
Kisah Dewi Nay memang sangat terkenal di tanah Lebak.
Orang-orang Lebak sangat menyayangi Dewi Nay. Namun saya
yakin, mereka tidak tahu betapa di kayangan Dewi Nay juga
tersiksa. Meski tersiksa, Dewi Nay bahagia melihat masyarakat
Lebak tak henti-hentinya menjaga tanah dan persawahan
mereka. Juga tak berhenti untuk hidup sebagai petani dan ber-
cocok tanam. Dengan begitu, Dewi Nay tak pernah kehilangan
tempat untuk menuntaskan kebahagiaannya di bumi Lebak.
Oh, baiklah, kita kembali pada teman baik saya. Ayi hidup
bukan sebagai petani, ia dulunya ibu rumah tangga biasa yang
mengurus suaminya. Namun, setelah bercerai ia pun bekerja
sebagai tukang rias panggilan untuk pengantin. Ia merias pe-
ngantin-pengantin dengan status ekonomi menengah ke bawah.
Ayi memang pandai merias diri. Ia menikmati pekerjaannya,
tapi kadang-kadang ia merasa berat juga menjadi perias dengan

149
modal seadanya, belum lagi ini zaman sudah penuh dengan
tekanan sosial media. Warga miskin, sederhana, juga kaya
sama-sama berpengetahuan soal sosial media. Ayi sedikit
tertinggal soal ini.
Akan tetapi, Ayi percaya, sesuatu hal yang baik akan selalu
menemukan rezekinya. Ia selalu mencontoh pandangan hidup
orang Baduy Dalam yang sungguh terlepas dari hiruk pikuk
aktivitas kota. Rezeki juga segala kebutuhan hidup dibantu tuntas
oleh alam. Tidak mengikuti perkembangan infrastruktur yang
dikoarkan oleh negara, tidak membuat manusia jadi benar-benar
miskin. Ayi memandang sawah-sawah hijau di Lebak sembari
berangan.
“Andai saja semua manusia hidup seperti orang-orang
Baduy Dalam. Maka, kita akan lebih seimbang.”
Ayi yang polos. Ayi yang mengguncang-guncang tanah
persawahan.
Maret itu, ketika Ayi memulai harinya dengan bangun tidur.
Ayi merasa badannya begitu berat. Sangat berat. Sampai napas-
nya tiba-tiba tersengal hilang. Tubuhnya tiba-tiba saja terasa
menggelembung. Entah sejak kapan. Tapi saya dan teman-
teman menyadari perubahan itu. Sejak Ayi bercerai, sejak Ayi
dengan mudah mendapatkan beras dari pertumbuhan anak-
anak kami. Sejak panggilan merias makin sepi. Maka, Ayi doyan
makan nasi setiap waktu, ketika ia merasa sendiri di rumahnya
yang sepi itu.
Ayi menatap pada kaca yang lengket dengan pintu lemari
bajunya. Ahh ini siapa? Ayi heran dengan pipinya yang mem-
bulat. Susah payah Ayi menuju kamar mandi, berganti pakaian,
sarapan nasi, lalu keluar rumah.
“Makin subur rupanya janda kita ini,” tukang sayur di depan
menggoda bentuk tubuhnya.

150
“Kamu terlalu gendut untuk keluar dari pintu itu Ayi,”
seorang ibu yang mengutang pada tukang sayur pun menimpali.
Ayi sadar, sudah dua bulan ia mendapat ocehan yang sama.
Tentang badannya yang tiba-tiba menggemuk. Lalu sore hari
itu, ia berlari ke sawah. Menangis karena orang-orang tak per-
caya dengan kemampuan meriasnya, orang tak percaya perem-
puan gendut dan tak berbentuk dapat merias dengan hasil yang
cantik. Ayi frustrasi.
“Ini pasti gara-gara kalian! Padi-padi yang memberikanku
nasi berlimpah! Saya tidak mau lagi makan nasi!”
Ucapan Ayi sampai ke telinga Dewi Nay. Kami hanya me-
longo, antara sedih dan juga bahagia. Kami tidak akan digun-
cang-guncang dan pusing lagi kerena Ayi yang gendut berlari
dengan badan yang bulat kini memutuskan tidak akan makan
nasi lagi!
“Siapa yang bernyali melakukan sumpah seperti itu?” Dewi
Nay dari kayangan bertanya-tanya dalam hati. Ia ingin menuju
bumi, tetapi Dewa Guru, ayah tirinya, tak mungkin mengizin-
kannya turun ke Lebak di jam-jam hasrat ayahnya yang begitu
puncak.
Ayi benar-benar tak lagi makan nasi. Sudah satu bulan ia
tak mendatangi kami. Dewi Nay bersedih karena manusia meng-
ubah pola makannya, karena nasi ternyata tak cukup membawa
kebahagiaan manusia. Kesedihan Dewi Nay turun ke Lebak,
menjadi wabah kekeringan di sawah-sawah Lebak. Beruntung
panen padi sudah kami lewati, namun pemerintah di kota besar
sana memutuskan mengimpor beras dari luar negeri. Takut jika
kekeringan berlanjut dan beras tak lagi mudah diperoleh.
“Padahal perempuan-perempuan itu yang membatasi diri-
nya untuk menerima anugerah dariku,” Dewi Nay berkeluh
pada kami yang sudah tidak menguning lagi.
“Celakalah kita ini!” Huma menjerit.

151
“Belum, kita masih punya kesempatan.”
“Kesempatan untuk apa? Selain Ayi, perempuan-perempu-
an lainnya mulai menjauhimu padi! Kami ini sudah tidak
dibutuhkan lagi! Dewi Nay bukan hanya mitos, tapi juga sudah
dilupakan!” Huma menumpahkan kekesalannya. Lalu tertidur,
entah sampai kapan. Katanya sampai rintik hujan turun kembali.
Sekarang hanya tinggal saya, yang sudah makin menunduk.
Bukan karena terlalu berat menyimpan biji padi, tapi karena
kepala saya sudah layu. Sudah lama tidak disiram hujan. Sudah
lama pula tak dipetik dan dimakan. Anak-anak saya berhenti
reinkarnasi.
***

Rumah dengan dinding yang sengaja dicat warna hijau di


pinggir persawahan Kabupaten Lebak. Atapnya sudah cokelat
kehitaman, sepertinya sudah lama tidak diguyur hujan. Halam-
an depan dihiasi pucuk-pucuk padi yang melengkung karena
layu. Juga daster berwarna hijau tua tersampir di atas kursi
rotan yang berdebu, seperti seminggu tidak ada pantat yang
duduk di sana. Rumah yang terasa kesepian.
Aroma itu muncul. Sesekali anyir bangkai. Sesekali pengap
daun-daun padi yang menua, aroma orang tua. Janda itu sudah
lama tak muncul lagi. Sekali saja ia berada di depan rumah, me-
renggut aroma-aroma padi yang ajaib selalu menguning. Janda
itu hilang, barangkali mencari mantan suaminya. Tapi makin
dirasa hilang, makin terasa dekat aroma bangkai dari rumahnya
yang kesepian.
“Sudah berapa hari bau busuk begini?”
“Seminggu mungkin. Baunya kadang padi kadang bangkai.
Hari ini terasa busuk sekali.”
“Perlu kita gedor rumah janda gendut itu?”

152
Warga berbondong mendorong pintu rumah yang kaku.
Ketika pintu dibuka, bau bangkai itu makin menyeruak. Pada
kursi kayu, tubuh gemuk yang kaku dan menghitam tertidur
pulas di sana. Di meja, segala macam obat diet bertebaran.
Tubuh itu adalah Ayi.
“Duh, janda gemuk ini diet sampai mati. Lagian, mana bisa
manusia hidup tanpa nasi?” warga melepaskan tubuh Ayi pada
kematian. Angin bertiup, membawa aroma bangkai mayat Ayi
sampai ke kayangan. Dewi Nay menciumnya, membaca riwayat
kematian seperti mantra. Dewi Nay turut bersedih. Maka, sore
hari pada pemakaman Ayi, hujan lamat-lamat turun dan mengu-
ningkan persawahan kembali. Berharap tak perlu lagi harus mati
kekurangan nasi. (*)

153
154
Jarong Kalimaya

Wahyu Rusnanto

ak lama lagi, tubuh Nedi akan ditemukan


T dalam lubang tertutup tanah yang meme-
luknya sedemikian hangat di kedalaman
sumur berpuluh meter itu. Angin berkesiur,
hujan turun. Lalu, dedaun yang berkecipak
terhunus rintik air itu seperti berkejaran
menyentuh tanah dan berlomba merajut
hening. Di atas tubuhnya yang kini masih
saja hangat dipeluk tanah, Mang Ujang
yang dikerubungi banyak orang itu terus
menghantamkan ujung cangkulnya ber-
harap memperoleh keajaiban, mulutnya
komat-kamit seperti merapalkan mantra.
Sementara mulut Mang Ujang tak kun-
jung berhenti bergumam, di dalam dadanya
ada sesal yang berkecamuk. Sejak tiga
minggu lalu, Mang Ujang sudah berkali-kali
mengingatkan Nedi bahwa ia bisa saja mati

155
serupa bapaknya apabila enggan berhenti untuk mencari batu
kalimaya di sumur tambang ter-kutuk itu—lubang sama yang
merenggut nyawa bapaknya. Namun, setiap pagi ia masih saja
berangkat dengan membawa sebuah palu, pahat, dan bebe-
rapa lembar karung ke sumur tambang. Mang Ujang tak habis
pikir bahwa kejadian yang menimpa bapaknya tidak sedikitpun
mengecilkan nyalinya untuk terus mencari batu kalimaya. Mes-
kipun sebenar-nya Mang Ujang mengerti alasannya bersikeras
pergi ke sumur tambang adalah untuk memulihkan nama
keluarga yang ter-coreng akibat sesumbar bapaknya di hari-
hari sebelum ia mati.
Dan benar saja, apa yang ditakutkan Mang Ujang terjadi.
Tubuh Nedi kini tertimbun tanah yang dahulu juga mengubur
tubuh bapaknya. Kemudian Mang Ujang mesti mengangkut
sak demi sak tanah dengan cangkulnya lagi. Ah, barangkali
ujung cangkul yang kini menghantam tanah berdentam-den-
tam itu, serupa dadanya yang berdetak-detak tidak mengenal
jenak. Bukan! Cangkul itu bukan untuk mencari sebongkah
batu atau sebecak tanah yang bisa saja ia jual, melainkan
seonggok manusia yang ia ragukan masih bernyawa.
Padahal sejak kematian bapaknya yang membuat heboh
seantero kampung itu—yang bahkan membuat pemerintah
desa melarang para penambang untuk mencari kalimaya
selama seminggu—, Mang Ujang berjanji pada dirinya sendiri
untuk enggan bersentuhan lagi dengan batu maupun tanah
yang di dalamnya menguburkan bongkahan kilau kalimaya
berkerlip jarong itu. Ah, namun, siapalah Mang Ujang yang
harus mempertahankan janjinya ketika ponakan satu-satu-
nya itu bernasib sama dengan bapaknya. Dalam detak dada
yang terus berdentuman serta rintik hujan yang menhantam
sekujur tubuhnya itu, Mang Ujang tetap menggali tanah se-
cangkul demi secangkul dan tak mengizinkan siapapun mem-

156
bantunya. Sebab ia berkeyakinan kejadian yang menimpa
keluarganya itu adalah kesalahan yang disebabkan olehnya.
***

Barangkali dadamu yang kini berdetak-derak tak kunjung


henti serupa denting hantaman palu pada pangkal pahat yang
kini kaugenggam itu, tak akan sekosong-melompong seperti
sekarang apabila sebulan lalu bapakmu tidak mati tertimbun
tanah di sumur tambang kalimaya terkutuk ini. Lelaki tua itu
mati setelah balok kayu dan bilah bambu yang disusun sedemi-
kian rupa di dalam sumur itu tidak kuat menahan dinding dan
menopang langit-langit tanah. Namun, meski hal itu telah dike-
tahui olehmu juga ibumu—yang meratap tanpa henti dalam
kamar menangisi bapakmu—kauseolah tak peduli dan tetap me-
ngikis dinding tanah dalam sumur itu selembar demi selembar.
Peluh akibat pengap dan panas lampu cempor yang mene-
rangi lubang tak lebih dari satu meter persegi itu luruh bersama-
an air matamu yang juga sebenarnya jatuh, serta Endin, kawan-
mu yang juga rekan penambang di sumur itu hanya bisa men-
dengar isak tangismu yang tersamarkan oleh denting besi. Ber-
ulang kali Endin menyarankan padamu agar tidak mencari
kalimaya terlebih dahulu dan fokus saja kepada bapakmu yang
baru saja dikuburkan serta sedang dipanjatkan doa-doa melalui
tahlilan tiap malam. Tapi kau tak peduli dan bersikeras menam-
bang, bahkan di lubang yang sama tempat bapakmu meregang
nyawa.
Ah, kautentu saja tak ingin begitu saja menghentikan ayun-
an tanganmu yang sedari kemarin sudah menghantamkan palu
pada pangkal pahat itu—ya, sudah sehari-semalam kau dalam
lubang itu dan tidak berhenti kecuali untuk minum dan me-
nyantap nasi dengan angeun lodeh atawa jojorong yang sudah
disiapkan istrimu—sebab kauingin membuktikan perkataan

157
bapakmu yang diucapkannya sebelum mati. Kalimat bapakmu
tentang mimpi Mang Ujang yang disampaikan padanya, yakni
mengenai mamangmu yang tinggal di sebelah rumahmu itu
menemukan sebuah bongkahan batu kalimaya berwarna hitam
besar yang di dalamnya terdapat jarong kembang gerimis,
kembang kotak, bahkan golebag malang-melintang bekerlipan
serupa gemintang di langit malam.
Duh, siapa yang tak tergiur dengan bongkahan kalimaya yang
di dalamnya terdapat semua jarong malang-melintang itu. Dan
mimpi adalah pertanda yang pasti bagi orang seperti bapakmu
dan penambang-penambang lain di Kampung Ciburuy, Curug
Bitung ini. Sebab, telah enam bulan lamanya bapakmu tidak me-
nemukan kalimaya sebutir kerikil pun. Meski ia telah menggali
sumur itu lebih dari dua puluh meter. Padahal dahulu sekali,
kausering didongengkan ninikmu, tentang asal-usul kampung
yang sebenarnya adalah perbukitan yang di dalamnya berse-
mayam ular besar melingkar-lingkar dengan sisik penuh batu
permata dan berlian. Maka dari itu, tak heran apabila sebagian
besar mata pencaharian warga di desamu adalah sebagai penam-
bang batu mulia, sebab barangkali yang ditambang mereka itu
adalah sisik ular besar yang melingkar-meliuk di dalam tanah
yang di atasnya berdiri kampungmu.
Ah, maka kau pun mengerti apabila akhirnya setelah ucap-
an pamanmu tentang mimpinya itu, raut wajah bapakmu yang
sehari-hari murung—sebab, mesti memikirkan asap dapur yang
harus mengepul, sementara kalimaya tak kunjung muncul—
ketika itu sumringah-bungah, dan mengabarkan kabar baik ini
kepada tetangga-tetanggamu. Bahwa, mimpi itu adalah titik
tolak kehidupan keluargamu menuju kekayaan.
Aih, sebetulnya di dalam lubang hatimu yang bahkan lebih
gelap dari lubang tambang yang sekarang sedang kaumasuki
ini, kau pun enggan untuk mencari batu terkutuk itu. Tapi

158
bagaimanapun kaumesti melakukannya demi memulihkan
harga diri keluargamu yang telah tercoreng oleh sesumbar
bapak mengenai bongkahan kalimaya sialan itu. Sepeninggal
bapak, tetangga-tetanggamu yang juga bekerja sebagai penam-
bang, sering kali menggunjingkan sebab-musabab kematian
bapakmu. Mereka mengatakan bahwa bapakmu mati akibat
terkubur kesombongannya sendiri tentang mimpi yang sering
ia katakan pada orang-orang itu, atau lantaran ia tak pernah
memanjatkan doa-doa kepada demit-demit penghuni hutan-
penghuni tanah sebelum menggali lubang tambang, atau sem-
barang saja menentukan lokasi galian tanpa mempertimbang-
kan kelestarian alam. Duh, berbagai gunjing yang akhirnya di-
terima pula oleh telingamu itu tentu saja membuat dadamu
panas dan bergejolak, lantas ingin membuktikan bahwa bapak
tak salah dengan mimpinya.
Dan kauterus menghantam pahat itu pada dinding tanah,
menimbulkan gema trek-trek-trek -di sumur yang kini mem-
bentuk cekungan ke dalam itu. Sumur yang menelan tubuhmu
itu, seperkiraanmu sedalam dua puluh lima meter menembus
bumi dan enam meter memanjang ke samping. Balok kayu dan
bilah bambu kaubentuk sedemikian rupa untuk menahan din-
ding dan langit tanah. Ah, kautentu saja belajar dari kejadian
yang menimpa bapakmu, maka kayu dan bambu itu kini kau
perbanyak dengan seutas tambang yang kauikat kuat-kuat.
Sedangkan Endin bertugas untuk membawa sisa-sisa tanah
dengan karung ke permukaan agar sumur itu tetap terasa luas
dan nyaman untukmu.
Sementara rintik hujan mulai menyentuh kepalamu dan
angin kencang menerpa daun-daun mahoni sehingga menim-
bulkan bunyi yang mengerikan itu, kau merasakan sesuatu keras
di ujung pahat yang kaugenggam. Dan di sana dengan cahaya
lampu cempor yang asapnya membuat batang hidungmu meng-

159
hitam, pada dinding tanah di hadapanmu kau melihat sebuah
benda keras berwarna hitam yang berkilau, namun di dalamnya
terpancar berbagai warna merah, ungu, biru, putih, kuning,
yang berlarian-menari-berlompatan ketika terpapar cahaya
lampu cempor yang sengaja kaudekatkan. Ah, kausenang bukan
main. Dalam dadamu berkecamuk berbagai rasa yang mengge-
jolak sehingga membuatmu ingin teriak. Rasa itu seperti tiga
burung merpati yang mengepakkan sayapnya bersamaan di
dalam ruang dadamu. Dan kau pun berteriak sejadi-jadinya,
meluapkan segala bahagia yang dirasakan ruang dada, me-
manggil-manggil Endin yang kini sedang berada di permukaan
untuk membuang sisa tanah bekas pahatan serupa memanggil
kekasih menuju ranjang perkawinan, duh.
Namun, sebelum Endin sempat menengokkan kepalanya
ke dalam sumur atau bahkan sebelum ia sempat menyahut pang-
gilanmu. Tiba-tiba kau merasakan getaran hebat yang meng-
guncang tanah di sekelilingmu. Kemudian disusul suara trak-
trak kayu dan bambu yang patah satu persatu. Alih-alih menye-
lamatkan dirimu, karena tahu sebentar lagi sumur ini akan
runtuh kembali, kauterus saja menghujamkan pahatmu pada
dinding tanah yang memendam bongkahan kalimaya itu, sebab
kau melihat sesuatu yang membuat dadamu mendidih. Kemu-
dian sebelum semuanya benar-benar kausadari, cahaya tak lagi
terpantulkan bola matamu dan kauhanya bisa mendengar dan
merasakan deru napasmu yang panas.
***

Barangkali, memang bukan maksud Mang Ujang untuk


menjadi pemicu segala malapetaka yang telah terjadi. Sebab,
bagaimanapun mimpi yang ia ceritakan pada bapak Nedi itu
hanyalah untuk membuat lelaki tua itu kembali bersemangat
dalam menjalankan hidup. Sebab, sejak kalimaya susah untuk

160
ditemukan bahkan hingga di dalam tanah berpuluh-puluh
meter itu, setiap penambang—termasuk Mang Ujang dan
Bapak Nedi—harus berhutang kepada setiap warung yang ia
temukan guna menjaga dapur rumahnya tetap mengepul.
Tidak ada yang mengetahui mengapa batu kalimaya
yang dahulu sangat mudah untuk didapat dan bahkan bisa
membuat para penambangnya kaya raya itu kini susah untuk
ditemukan. Apalagi, ketika para penambang dari kampung
seberang—yang rumahnya kebetulan terkena proyek waduk
karian yang konon menenggelamkan tiga belas desa itu—ikut
menambang di lahan sekitar sumur-sumur tambang yang
digarap Mang Ujang dan kakaknya itu. Namun, sebagian
orang menganggap, barangkali, proyek waduk karian itu
telah membuat leluhur murka dan mempersempit rezeki anak
keturunannya.
***

Hujan masih terus berjatuhan, langit menghitam, dan di


kejauhan lalay-lalay ribut beterbangan keluar sarang. Semen-
tara Mang Ujang dengan cangkul yang belum juga terlepas
dari genggamannya mengayunkan lengan dan menghamtam
ujung besi cangkul itu untuk mengoyak tanah. Ia menggali
dan menggali. Dan sesaat lagi, tubuh Nedi akan ditemukan
dalam lubang tertutup tanah yang memeluknya di kedalaman
sumur berpuluh meter itu, lalu dalam dekapan tangannya
yang telah dipenuhi coklat tanah dipeluknya bongkahan batu
kalimaya berwarna hitam besar yang di dalamnya terdapat
jarong kembang gerimis, kembang kotak, bahkan golebag
malang-melintang bekerlipan serupa gemintang di langit
malam, dan di dalam lubang hidungnya itu menguar embusan
napas yang panas. (*)

161
162
Jaro

Wisnhu Bagas Murtolo

ati siapa yang tidak pecah berantakan. Kala


H suatu hari, kau menemukan sanak keluarga-
mu dalam keadaan tak bernyawa. Dengan
tubuh perlahan membiru dan mulai menge-
luarkan bau busuk di tepi sungai. Tentu, kau
menangis histeris, kemudian mengalirkan
sungai-sungai dari kedua matamu. Atau pal-
ing tidak kau terhenyak kaget dan langsung
memeluk jasad beku yang kautemukan itu
dengan begitu erat. Dengan harapan bahwa
hal yang kausaksikan itu, semata hanya
mimpi. Sebuah mimpi di siang bolong!
Akan tetapi, harapan itu nihil. Kenyata-
annya yang ada di depan mata kepalanya
sendiri berkata lain. Asep, lelaki mungil ber-
umur empat tahun itu, hanya diam memaku
di sudut pohon karet tak jauh dari sungai.
Rambutnya yang diikat kain putih, menyiur

163
di terpa angin. Tak sadar jemarinya mulai mengucek ujung kain
yang mengikat tubuhnya. Bersamaan dengan apa yang disaksi-
kannya siang itu, ia terdiam, entah untuk berapa lama. Menyak-
sikan Jaro 1 itu, ayahnya sendiri, terbujur kaku di seberang
matanya.
“Jaro maut!”
Teriak seorang warga setengah baya, yang belum lama me-
nemukan sesosok tubuh terbujur kaku di bawah pohon kapuk.
Tengkurap dengan darah yang membercak di kening. Air yang
mengalir seakan membawa teriakan ke setiap sudut Desa Ciker-
tawarna. Menghantarkannya ke telinga semua warga. Jaro Asep,
seorang kepala dusun, mati mengenaskan! Semua warga Ciker-
tawarna geger seada-adanya. Belum pernah terjadi yang seperti
ini di desa itu. Hingga kini belum diketahui penyebabnya.
Meski sudah masuk ke liang lahat. Asep tak terlihat murung
atau menampakkan tanda-tanda kesedihan lainnya di depan
pusara ayahnya. Matanya sesekali memandang wajah ibunya.
Sekali waktu matanya juga menatap rimbun pohon-pohon di se-
kililingnya. Memperhatikan tingkah burung yang berpindah tem-
pat mendarat dari terbangnya, dari dahan satu ke dahan lainnya.
Burung apa saja. Itu sangat mengusik perhatiannya. Ketimbang
pemakaman yang tak satu arti pun ia tahu apa maksudnya.
Sementara Mak Nok, istri Jaro Asep, masih terisak mena-
han pedih yang lahir menjadi bulir tangis dan tak pernah ia
duga datangnya. Sambil membelai rambut anaknya, sesekali ia
seka matanya dengan kain putih yang membalut tubuhnya.
Upacara pemakaman Jaro Asep terkesan ragu-ragu. Bagai-
mana tidak, dalam kekhidmatan itu, ada kasak-kusuk. Banyak
yang mempertanyakan kematian Kepala Dusun Cikertawarna itu.

1
Jaro, merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan

164
Mengapa baru kali ini ada pembunuhan di desa sedamai ini?
Semilir angin mengantarkan kepulangan para pelayat per-
lahan. Tepat setelah seorang panghulu2 menyelesaikan kalimah
doa yang terakhir. Asep dan ibunya pun membungkus sisa air
mata mereka pulang ke rumah, meninggalkan gundukan tanah
yang menimbun jasad jaro malang itu. Sekali waktu risik daun
berbisik tanpa kata. Menyiur melahap suara langkah kaki warga
desa berpulang.
“Bapakmu sudah tak ada, Sep!” ucap ibunya dalam per-
jalanan yang begitu letih terasa.
Asep hanya menekuni jalan berbatu menurun ke halaman
rumah tanpa menghiraukan perkataan ibunya. Sesekali melom-
pat kecil dari batu kecil ke batu yang lebih besar. Ia belum
betul-betul mengerti arti kehilangan atau perpisahan itu. Se-
sekali tangan kanannya menggaruki pangkal betisnya yang di-
hinggapi nyamuk. Tepat di depan leuit3, di sebuah dipan, Asep
dan ibunya mengambil duduk. Ibunya bercerita bagaimana
bapaknya itu bisa menjadi seorang jaro.
“Bapakmu itu orang jujur, Sep! Pekerja keras pula. Meski
membawa titah Pu’un4 untuk merawat desa ini, ia tak lupa pula
memenuhi leuit ini. Menghidupi kita, istri dan anaknya.”
Meski panjang lebar bercerita, istri Jaro Asep tahu betul
anaknya belum mengerti tentang apa yang ia bicarakan. Apa
yang ia katakan semata-mata hanya usaha mengingat kenangan
lama yang tertimbun jerami di leuit itu. Kenangan yang baginya
begitu berarti.

2
Panghulu, dukun khusus mengurus orang yang meninggal
3
Leuit, lumbung padi
4
Pu’un, merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu
5
Baresan, petugas keamanan kampung dalam bidang keamanan dan ketertiban.

165
Rumah panggung mendiang Jaro Asep, tertutup kelambu
malam. Gerimis tak terasa telah menyentuh ujung pelipis mata
istrinya. Asep hanya membiarkan hujan membias di kulit wajah-
nya. Pecah menjadi serbuk-serbuk air. Kemudian mereka naik
dan masuk ke rumah. Berselang, seribu jarum hujan turun me-
nusuki halaman dan rumah mereka dengan tak terkira.
***

Tak lama setelah kematian orang kepercayaannya kema-


rin, Pu’un telah memberi perintah kepada Baresan 5 untuk me-
nyebarkan sebuah pengumuman. Pengumuman tentang setiap
warga yang akan menyusuri kebun bagian belakang sungai, agar
mencari jalan lain. Memutar agak ke utara melewati mulut Sungai
Cikertawarna. Sebab, tidak jauh dari jalan masuk ke kebun adalah
tempat ditemukannya seorang jaro yang meregang nyawa. Juga
tempat ditemukannya galian yang masih misterius. Ini akan
menjadi suatu penyelidikan pihak pama-rentah 6, titahnya.
Di kediaman Pu’un Cikertawarna, yang rumah panggung
jua, hanya lebih besar sedikit, berkumpul para pejabat pemerin-
tahan. Lengkap dengan ke sebelas jaro desa. Hanya Jaro Asep
saja yang tidak.
Setelah meminum seteguk teh dari gelas bambu, Pu’un ber-
kata bahwa ia ingin kejadian ini selesai. Setiap pemangku jabatan
mesti cari tahu kenapa jaro kepercayaannya meregang nyawa
dengan mengenaskan.
“Soal tanah yang digali, tepat di samping mayat Jaro Asep
ditemukan, juga adalah kejadian yang fatal daripada kematian
pejabat desa itu,” tuturnya.

6
Pamarentah, pemerintah

166
“Mengenai hal itu,” ia menyambung pembicaraan yang sem-
pat terputus, “alam harus lebih dulu kita rawat! Alam tak boleh
diubah, tidak pula ditambah-tambah, dan barang siapa yang
berani melanggarnya, hukuman berat baginya. Begitu titah
pendahulu sebelum kita ini,” ucap Jaro Imat menggebu-gebu.
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar haruslah dibenarkan 7

Begitu panjang lebar ia berkata. Seakan-akan mengajari


bagaimana menjaga amanah nenek moyang kepada Pu’un dan
yang lainnya. Jaro Imat mengingatkan, mana yang lebih dulu
harus diurus. Padahal Jaro Asep adalah kakak iparnya sendiri.
Entah apa yang merasuki kepala Imat. Begitu tega.
Sebagai Girang Seurat 8, Abidin hanya bersila sambil sese-
kali memarut janggut tipis dengan telunjuk dan ibu jarinya.
Menyimpulkan apa yang perlu disimpulkan.
“Saya berpikir bahwa Asep-lah, yang menggali tanah moyang
kita itu!” tuduh Jaro Imat.
Kontan saja, semua mata tertuju pada wajah Jaro Imat.
Seakan menunggu kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulut
tipisnya itu. Beberapa jaro di ambang pintu mengambil duduk
sila sedapatnya.

7
Pepatah kepercayaan tangtu
8
Girang seurat, merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun bertugas sebagai
“sekertaris” puun atau pemangku adat

167
“Bukankah benar, hanya ia yang berada di sana!” sambung-
nya.
“Kita boleh saja berpendapat, kita boleh saja berucap, dan
kita boleh saja berisyarat. Namun, tentu harus benar-benar
dan cermat.” Dingin di kediaman Pu’un tambah dingin. Hampir-
hampir beku. Setelah Tangkesan 9 ikut ambil ucap.
“Lalu bagaimana Abidin?” tanya Pu’un kepada bawahannya
itu.
Girang Seurat itu membetulkan posisi duduknya. Mende-
kat ke sisi Pu’un. Lebih dekat dari yang tadi, lebih rapat, hingga
tak satu bawahan pun mendengar bisik yang keluar dari mulut
Abidin, yang seorang Girang Seurat itu. Satu sama lain, jaro-
jaro saling menatap. Ada pula yang tetap menunduk menatapi
kayu lantai kediaman Pu’un, sambil menyimak sesekali pem-
bicaraan genting itu.
Girang Seurat merenggangkan kembali posisi duduknya
dengan Pu’un. Setelah satu bisikan melesat ke telinga Pu’un.
Suasana hening. Risik pohon yang biasanya ribut saling tampar
tak terdengar. Tak ada juga bunyi kicau burung yang mence-
racau pagi itu. Hanya hening mengedar di kediaman Pu’un.
“Kalau begitu, penyelidikan harus dilakukan!”
Begitulah titah terlontar. Tak satu mata berkedip. Ia ber-
anjak, melihat jauh ke arah sungai, lewat jendela yang meng-
hadap utara. Membuka perasaan kesedihan, akan kehilangan
jaro kepercayaannya. Jaro Asep.
“Kumpulkan palawari 10, Tangkesan!”
“Baik, Pu’un”

9
Tangkesan, “menteri kesehatan” atau dukun kepala baduy
10
Palawari, bertugas sebagai pembantu, pesuruh dan perantara dalam berbagai
kegiatan upacara adat.

168
“Sebar mereka, ke empat penjuru Cikertawarna!” sambung-
nya.
Para jaro mulai bertanya-tanya, apa yang akan terjadi se-
telah ini? Baru seumur-umur, aku menjadi jaro, ada kejadian
seperti ini. Ungkap seorang jaro yang duduk di ambang pintu
kepada jaro lain.
“Hampura 11 Pu’un, untuk apa para palawari itu wahai,
Pu’un? “ tanya Jaro Sarpin
“Carilah pertanda atas kematian Jaro-ku!”
Cari pertanda itu di alir-alir sungai, pada embun-embun
yang menempel di dedaunan, di leuit-leuit, di bawah-bawah
rumah panggung. Kemana saja cari! Sampai kita menemukan
ke semua inti. Jaro Imat menatap kosong. Ia merasa dikhianati.
Tak seorang pun mengamini ucapannya. Bahkan Pu’un tak me-
nimbang kata-katanya! Perasaannya jengkel bukan kepayang.
***

Setiap palawari berpencar ke empat penjuru seperti apa


yang dititahkan Pu’un mereka. Mencari bukti di alir-alir sungai,
pada embun-embun di dedaunan, di rumah-rumah panggung,
bahkan di leuit-leuit para tangtu12. Palawari dibagi menjadi 4
kelompok. Setiap kelompok tediri dari 4 orang palawari. Tak
hanya itu, para jaro pun berinisiatif memainkan perannya
masing-masing. Membantu sebisa mereka.
Telah dua hari sekelompok palawari merambah hutan dan
sungai. Namun, tak menemui tanda-tanda adanya kejanggalan
yang berhubungan dengan kematian Jaro Asep atau dengan
adanya galian tanah yang ganjil itu. Hingga letih mulai mengu-
cur, menjelma biji-biji keringat di kening mereka.

11
Hampura, mohon maaf
12
Tangtu, baduy dalam

169
“Deng, lebih baik kita kembali,” ujar seorang palawari ber-
janggut kepada temannya.
“Betul, Deng, kita sudah tiga hari dalam ketiadaan cahaya
di hutan.”
“Baiklah, kalau begitu, urang ngahadap Pu’un heula13!” ujar
Adeng.
Tangan kosong. Begitu pencarian yang menjenuhkan bagi
palawari yang berpencar ke hutan. Dalam perjalanan, nan lebat
pohonnya, mereka berjumpa dengan kelompok lain. Juga
dengan tangan hampa. Mereka memutuskan untuk kembali ke
desa, menghadap ke Pu’un mereka.
Pu’un hanya mengernyitkan dahi. Melihat para palawari
datang mengantarkan tangan kosong kepada Girang Seurat. Tiga
dari empat kelompok hasilnya sama. Kosong. Ini membuat Pu’un
patah arang akan musabab kematian kepercayaannya itu. Jika
saja kelompok terakhir datang dengan keadaan yang sama.
Mungkin perkataan Imat ada benarnya juga. Batinnya demikian.
Esok sore hari kelompok terakhir datang. Dari empat orang
itu, seseorang memanggul sesuatu. Tangkesan menyambut
mereka, beberapa jaro juga ada di muka rumah sang Pu’un.
“Hei Palawari, apa yang kau bawa itu?”
“Ini sebuah cangkul. Tangkesan.”
“Cangkul? Dari mana itu, kang?”
“Kami temukan di leuit!”
“Leuit siapa kang?”
“Punya Jaro Imat!”
“Jaro Imat!”
“Betul Mat!” tegas Pu’un.
Orang-orang terheran-heran. Mata mereka semua sama,
memantulkan bayangan wajah Jaro Imat.
“Aku iri kepada Asep. Ia menjadi kepercayaanmu. Mengua-
sai sepertiga wilayah hutan. Padahal sudah lebih dua puluh tahun

170
aku menunggu posisi itu,” air matanya berlinang. Mulut-nya
seperti terkena kutukan arwah Jaro Asep. Ia berkata sejujur-
jujurnya, mengenai apa yang tengah terjadi. Disaksikan semua
pemangku jabatan Cikertawarna. Entah bagaimana kaget di muka
orang-orang pemerintahan nampak.
***

Warga Desa Cikertawarna sungguh tak menduga dengan


apa yang telah dilakukan Jaro Imat. Sungguh tega nian, ia begitu
keji menghabisi nyawa adik iparnya sendiri demi tanah. Demi
kekuasaan wilayah. Mulutnya telah berdalih. Akibat ulahnya
itu, Nok, istri mendiang Jaro Asep, menjanda dengan satu anak.
Setelah Seba14 esok, Pu’un memerintahkan girang seurat
untuk menjalankan hukuman bagi Imat. Tentu bukan ia saja
yang mendapatkan hukuman. Akibat lakunya, semua saudara-
nya yang berada di Desa Cikertawarna mendapatkan hukuman
yang sama. Selain itu, tujuh turunan Jaro Imat, tidak dapat lagi
tinggal di Baduy. “Begitu hukum adat yang berlaku di sini,”
ucap Pu’un kepada para tangtu dan bawahannya.
Seba yang dilakukan adalah mengumpulkan hasil panen
seluruh desa. Kemudian memberikannya kepada seorang pe-
nguasa negeri luar. Pamarentah bersama Pu’un desa meng-
hadap mnyerahkan hasil panen. Bersama dengan itu pula, Imat
berserta keluarganya, juga Nok dan Asep, anak mendiang Jaro
Asep juga ikut dihukum. Mereka dilepas keluar Baduy untuk
selama-lamanya. Telah dikatakan pula selama tujuh keturunan-
nya, Jaro Imat tidak diperbolehkan kembali ke Baduy!

13
Urang ngahadap Pu’un heula!, kita menghadap Pu’un dahulu!, Bahasa sunda
14
Seba, upacara adat, bentuk penghormatan kepada pemerintah di luar suku

171
Di deretan macam pohon yang serupa gerbang itu, puluhan
tangtu dan pejabat pamarentah melepas Imat dan keluarganya
pergi. Hari itu seperti mengingatkan pemakaman Jaro Asep.
Beberapa orang terdengar kasak-kusuk. Sementara gerimis
mulai turun menempa wajah orang-orang yang meninggalkan
desa. Anak-anak hujan pecah, di wajah Asep yang tengadah.
***

172
Cerpen
Peserta
Workshop

173
174
Mencari Kalung Hitam
untuk Bayi Terakhir

Ahmad Khudori

i satu saung yang kayu-kayunya sudah lapuk


D dimakan usia, seorang perempuan tengah
berjibaku melahirkan anaknya dibantu wa-
nita tua. Sore yang murung. Seekor burung
gagak yang melintas di langit keemasan hing-
gap di pematang sawah dan menyaksikan
kejadian itu dengan masyuk.
Seperti kita tahu, hidup dan mati ber-
kelindan dan acapkali datang tanpa permisi.
Pada kasus ini, seorang ibu membawa kehi-
dupan untuk anaknya sekaligus membuka
babak baru bagi dirinya sendiri; kematian.
Tak ada yang bisa mencegah hal semacam
ini datang. Seekor burung gagak tadi yang
turut menengadah ke saung tua, hanya da-
tang membawa isyarat bahwa petaka akan
terjadi dalam waktu dekat.

175
Saat ajal tiba di haribaan istrinya, Sumar tengah berlari
dari telaga menuju saung dalam keadaan tubuh penuh lumpur.
Ia terjang rumput dan ilalang, tak peduli benar pada piuh angin
sore. Anak pertama, bagaimanapun nasibnya, harus dirayakan
dengan suka cita, doa-doa dan mantra, juga sepercik harapan.
Meski hatinya berkabung juga setelah tahu bahwa istrinya tak
bisa menjadi seorang Ibu, bahkan sebelum sempat benar mem-
beri setetes susu untuk bayi mereka.
“Kau harus memberi sesuatu yang bisa menjaganya, se-
macam azimat begitu.”
Dengan air muka penuh kebingungan Sumar bertanya,
“Untuk apa, Nek?” Sesungguhnya ia tak cukup terampil untuk
menjadi Ayah, sebab hal sepele semacam ini pun mesti bertanya.
“Setiap insan yang dilahirkan, kodratnya dijaga oleh satu
makhluk yang tidak terlihat” ujar Nenek, lalu ia pergi berse-
nandungkan padi ditiup angin dan burung gagak yang segera
terbang menuju entah. Sumar mengedarkan pandangan ke
seluruh sudut arah angin, mencari barang yang pernah ditun-
jukkan istrinya, berbentuk kalung dari kain hitam.
“Aku sudah siapkan kalung hitam ini untuk anak kita nanti.
Di dalamnya tersimpan urutan keluarga dari Ibu mertuamu.
Para manusia sudah mulai melewati batas saling menindas satu
sama lain. Jawara hadir di mana-mana, kita harus menjadi or-
ang kuat. Kejahatan juga bisa bersembunyi, atau datang dari
hal-hal tak terduga.” Ucap istrinya kala itu, tetapi karena Sumar
lelah sekali setelah mencangkul tiga petak sawah tetangga,
Sumar tidak terlalu memperhatikan perkataan istrinya.
*

Saat dibaringkan, aku melihat perempuan hamil tua meng-


hampiri kami. Hidungnya mancung, bola matanya bulat penuh
menandakan ketulusan, lengannya sIbuk menggondol sayuran

176
segar. Kemudian dia menghampiri Tuan Penjaga. Setelah setuju
dengan harga yang ditawarkan, dia membawaku, diletakannya
aku dekat dengan beberapa alat yang belum aku kenal. Baru
pertama kali aku melihat mereka. Disayat tubuhku oleh mata
pisau, tangannya sIbuk menyampul tubuhku masuk sana masuk
sini. Entah akan dIbuat apa aku ini.
Awal kehidupan, semua yang di miliki harus menurut ke-
pada Sang Pemilik. Aku yang dipunya tidak hendak memberon-
tak. Penciptaan diriku melewati beberapa tahap cukup rumit.
Ada enam langkah bila tuan ingin membentuk tubuhku yang
mungil ini. Banyak serupa di dunia ini seperti wajah para pesisir
nasib yang tersingkir oleh hidup.
Dalam ruangan pengap ini aku tidak sendiri, melainkan di-
temani kertas-kertas yang aku tak tahu apa yang tertulis di
dalamnya. Aku berteriak, apakah ada yang mendengar? Sunyi,
gelap, dan berharap dibukanya mata kembali melihat dunia.
Sudah empat bulan berlalu aku di dalam tanah.
Perempuan itu, dia menggali bongkahan tanah yang digali
benar-benar dalam, di atas permukaannya diletakkan kain
hitam sebagai pertanda bertuliskan “harapan”.
Atas penciptaan, aku belum sempat mengira-ngira untuk
siapa aku dihidupkan. Aku dinisbahkan kepada Tuan Kecil. Aku
mendengar bahwa aku akan dijadikan anak-anak mereka. Aku
diperlihatkannya kepada lelaki dengan kumis sangat lebat, otot-
nya menonjol di tangan kanan dan kirinya, tubuhnya begitu
gagah dan bertenaga. Dengan dada bidang dan tubuh tegap se-
perti pokok pohonan, jelas belaka ia pekerja keras. Namun dia
tak begitu tertarik melihat aku. Aku menunggu cahaya disingkap.
**

177
Di atas tubuh perempuan tak bernapas di sudut kamar yang
lapuk, rohku memandang jasad itu dengan penuh keibaan. Ia
benar-benar kaku seperti getah pohon mapel, kau tahu?
Sekitar dua jam yang lalu, aku sedang duduk di pekarangan
setelah mengantar makanan ke sawah. Aku rebahkan tubuhku
dan tiba-tiba ketubanku pecah. Karena sore menjelang magrib,
orang yang lalu lalang sepi sekali. Nyatanya pertolongan datang
terlambat, aku panik. Tapi aku akan memberikan yang terbaik
untuk bayi pertama ini walaupun nyawa sekalipun taruhannya.
Aku melayang di sekitar rumah perempuan tua. Oh, indah
sekali melihat malaikat kecil kami lahir. Namun roh juga perlu
untuk bersedih. Kami punya rencana berlIbur bersama keluarga
kecil, melihat angsa-angsa di sisi sungai sedang menunggu buru-
annya. Tapi siapa yang bisa menolak suratan Ilahi. Aku melihat
suamiku sedang mencari sesuatu entah apa, dicarinya tempat
yang tidak terjamah, ia tampak setengah putus asa di tengah
pencarian itu. Ingin aku tunjukan tempat itu, dalam wadah
kotak berisi buku pernikahan kami dan kalung hitam. Sial benar
bahwa ia melupakan apa yang pernah aku ucapkan sebelum
bayi kami lahir. Aku menyentuhnya namun raga ini tembus
melewati raga suamiku.
***

Setelah tumbuh dalam perut Ibu serupa gumpalan darah,


aku sudah mulai tumbuh menjadi manusia. Aku melewati
terowongan. Waktu demi waktu dilalui.
Ibuku sangat mempersiapkan penyambutan hari lahirku.
Dari asupan makanan, hingga memperhatikan perkembanganku
setiap harinya. Dia sering mengajakku berbicara “Apakah kau
lapar, Nak?” Ibu memanggil hingga tiga kali, walaupun dia tahu
aku tidak akan memberi jawaban selain tendangan kecil di
perutnya.

178
Tapi Ibu selalu senang melihat reaksiku. Kadang setiap
malam jika Ayah tidak cukup lelah setelah bekerja, ia mengelus-
elus perut Ibu. Sungguh membuatku ingin segera mengisi
waktu-waktu bersama kedua manusia ini.
Suatu ketika Ibuku membeli kain hitam dengan senandung-
senandung dan jampi-jampi. Dia memotong-motong kain hitam
itu menjadi beberapa bagian, disusunnya potongan kain hitam
itu sehingga menjadi kalung hitam utuh. Sisi kalung tersebut
diisi oleh beberapa rempah-rempah hasil kebun yang rupanya
bermacam-macam: jahe, kencur, merica, hingga bawang. Rapi
sekali Ibuku membalut rempah-rempah itu dengan kain hitam,
hingga kau akan mengira itu hanya tonjolan-tonjolan batu kecil.
Rempah-rempah itu mempunyai arti sendiri untukku. Jahe
diartikan sebagai pelindung. Kencur diartikan sebagai pene-
ngah. Merica diartikan sebagai ketegasan. Sementara bawang
diartikan sebagai pelengkap kegembiraan.
“Kau akan menjadi kesatria desa kita, Anakku.” Ujar Ibuku
saat suatu ketika dia melihat dua orang lelaki bertengkar di
tengah perjalanan menuju pulang.
****

Sudah cukup lama mencari hingga berjam-jam dan diham-


piri keputusasaan, Sumar menerjang keluar memegang sebuah
senter dengan keadaan bergetar. Seluruh isi rumah sudah di-
carinya tanpa ada yang terlewati sedikitpun. Ia mencari begitu
telaten; kolong ranjang, dapur, hingga sudut-sudut lemari, te-
tapi kalung hitam tak benar-benar tampak. Dia tak bisa ditemu-
kan sama sekali. Dalam keadaan panik, begitu sulit melakukan
hal-hal semacam ini, atau memang Sumar tak benar-benar
peduli pada kalung yang dititipkan istrinya itu. Penyesalan
hinggap di dada Sumar.

179
Di tengah keputusasaan, ia kembali menuju tempat istrinya
melahirkan. Setelah sampai di rumah perempuan tua yang
membantu istrinya melahirkan, betapa dia dengan sangat jelas
melihat bayinya yang mungil di samping jenazah istrinya, sudah
tidak bernafas lagi. Tertanda di lehernya kalung hitam itu ber-
semayam lengkap dengan buku pernikahan dia dengan istrinya.
Entah siapa yang melakukan itu, entah. (*)

180
Dilema

Dede Nurhalimah

ebuah tangisan. Kencang dan nyaring.


S Tangisan yang berasal dari ruangan yang
hanya tersekat dinding dari tempatmu ber-
ada. Ada perasaan haru yang menyeruak.
Sebuah tangisan yang telah lama kau damba-
kan. Tak lama berselang, puji-pujian samar
terdengar. Tak sekencang tangisan yang kini
mulai mereda. Entah apa yang tengah me-
reka lakukan dibalik dinding itu. Rasa takut
mengalahkan rasa ingin tahu hingga akhirnya
kau hanya duduk menunggu. Menunggu se-
seorang yang akan menghampiri untuk mem-
persilakan kau masuk.
“Selamat Wan, anakmu laki-laki. Cepat
masuk!” Ujar seseorang membuyarkan semua
yang kau pikirkan.
“Iya.” Hanya itu jawaban yang mampu
kau ucapkan untuk kemudian bergegas ma-

181
suk. Rasanya seolah kau memasuki sebuah ruang yang begitu
menakjubkan, tapi hebatnya kau bisa fokus untuk satu tujuan.
Bayi itu. Bayi yang tangisan pertamanya kau dengar dari balik
dinding.
“Kenapa tadi keluar?” Suara lemah dari perempuan yang
telah membuatmu jatuh hati padanya di detik pertama kalian
bertemu. Ada rasa kecewa dari suaranya dan ya, mengapa tadi
kau meninggalkannya saat dia berjuang antara hidup dan mati
demi bayi yang belum tentu berumur panjang pula.
“Saya, saya tidak tega melihatmu.” Bodoh. Jawaban macam
apa yang kau berikan itu.
“Pak, ini bayinya.” Bidan yang membantu proses persalinan
istrimu menyerahkan bayi merah yang masih menutup mata-
nya. Kau tahu apa tugasmu. Kau tunaikan hingga selesai. Kau
pandangi mahluk mungil tak berdaya yang ada di tanganmu
dengan perasaan yang lebih haru dari saat kau mendengar suara
tangis pertamanya di balik dinding tadi.
“Jika kondisinya memungkinkan, beberapa jam lagi Ibu bisa
dibawa pulang.” Ucapan Bidan mengembalikan kesadaranmu.
Bidan berbincang dengan seseorang yang baru saja mema-
suki ruangan. Kakak dari istri yang begitu kau kasihi, yang baru
saja menemani perjuangan hidup dan matinya.
“Semuanya sudah siap. Saya baru saja telepon Mak di rumah.”
Ujarnya.
“Baki 1 sudah di isi beras? Kain Panjang yang baru jangan
lupa dipasang. Sama itu tuh, panyandaan2 jangan terlalu tinggi.”
Mak memberi instruksi kepada seorang kerabat yang membantu-

1
Tempat untuk meletakan bayi yang baru lahir, biasanya terbuat dari kayu
2
Sandaran yang biasa digunakan oleh orang yang baru saja melahirkan, biasanya
berupa kasur yang dilipat

182
nya menyiapkan tempat ternyaman untuk istri dan anakmu yang
baru saja lahir dan akan segera tiba ke rumah.
“Tos siap, Mak. Aseupan, hihid, bedog, sapu nyere, jeung
kaca atos aya. Arek make batu teu, Mak?” 3 tanya seseorang
yang membantu ibu mertuamu itu.
Di kampung tempat istrimu tumbuh, meski zaman telah
maju, perlengkapan untuk penyambutan bayi dan ibu yang baru
saja melahirkan masih saja sama sejak dahulu. Padahal kau telah
tahu benda-benda seperti itu tak seharusnya ada. Hal ini telah
kau bahas bersama istri yang begitu kau sayangi, tapi hasilnya
ibu mertuamu tak memuluskan pendapatmu.
“Itu untuk tolak bala, penjaga supaya tidak diganggu oleh
yang tidak terlihat. Kundang 4 harus ada dari sejak awal ke-
hamilan sampai bayi dilahirkan.” Itu penjelasan yang kau dapat
dari ibu mertuamu, dan hari ini, kau dengan mata kepalamu
sendiri tak lama lagi akan segera melihat apa yang akan dilaku-
kan oleh ibu mertuamu terhadap istri dan bayimu yang baru
saja melihat dunia. Sesampainya di rumah, tak berapa lama,
apa yang baru saja kau pikirkan terjadi.
“Kamu duduk sandaran di sana,” kata ibu mertuamu kepada
istrimu, “jangan lupa kaki diluruskan, dan ujung kaki harus
sampai batu.” Lanjutnya.
Kau merasa bingung dengan semua benda-benda yang ada
di dekat bayi kecil yang ringkih itu. Raut wajah istrimu bisa
pula kau baca. Dia tidak setuju tetapi juga tidak bisa membantah.
Sementara, kau hanya bisa menyebut kebesaran Tuhanmu dan
memohon ampunan-Nya dalam hati.

3
Sudah siap, Mak. Kukusan, kipas, golok, sapu lidi, kaca, sudah ada. Mau pakai batu,
Mak?
4
Benda-benda yang dipercaya bertuah dan dapat mengusir makhluk halus
5
Plasenta bayi

183
“Saya tahu ini tidak ada dalam ajaran agama tapi ini sudah
dilakukan turun temurun.” Ujar istrimu seolah tahu apa yang
tengah kau pikirkan.
“Iya, saya tahu.” Kau hanya menjawab singkat.
Kau pernah menyaksikan kakak perempuanmu melahirkan,
tetapi tak pernah kau lihat hal-hal yang saat ini kau lihat, seperti
bali5 bayimu yang harus dikubur di belakang rumah dan diberi
lampu penerang. Lalu hal yang membuat kau merasa heran
adalah kipas bambu dan kukusan yang diberi tapak jala 6 yang
berada tak jauh dari bayi kecilmu. Dan hal yang tak kalah mem-
buatmu heran sekaligus ngeri adalah sebuah golok yang juga
berada tak jauh dari bayimu. Ya, walau golok tersebut berada
dalam sarangka 7 bagaimana jika terjadi hal yang tak diingin-
kan? Bagaimana jika golok tersebut melukai bayi kecilmu?
Bagaimana jika….
Selain benda-benda di sekitar bayimu, yang membuatmu
lebih terheran lagi adalah buntalan kain kecil yang disematkan
di kain bedong. “Ya Tuhan, apa lagi itu?” Jerit kau dalam hati.
“Kanjut kundang8 , sama seperti yang lain. Penjaga, pengu-
sir lelembut.” Jawab istrimu saat kau bertanya benda apa itu.
“Kau tahu, ini tidak sesuai syariat. Ini termasuk syirik, walau-
pun masih taraf syirik kecil, tetapi akan sama bahayanya dengan
praktik syirik lain. Menyekutukan Tuhan termasuk ke dalam dosa
besar. Saya tidak mau anak kita diajari hal yang tak sesuai syariat
sedari kecil.” Kau melampiaskan rasa kesalmu. Apa yang akan
keluargamu katakan jika mereka tahu anakmu dikelilingi benda-
benda yang tak seharusnya. “Saya akan bicara dengan Ibumu.”
Kau melanjutkan.

6
Garis melintang seperti tanda plus atau tanda tambah
7
Sarung golok
8
Kantung kecil tempat menyimpan kundang

184
“Saya mohon jangan. Kasihan Mak. Saya juga tahu ini tidak
baik dan ini salah. Saya terlalu lelah untuk berdebat.” Jawab
istrimu.
“Kita tahu ini tidak baik, tetapi mengapa kita hanya diam
saja? Ibumu harus tahu bahwa ini semua tidak sesuai.” Kau masih
melanjutkan.
“Sepertinya kamu perlu istirahat. Tidurlah barang sebentar
agar pikiranmu kembali tenang.” Saran bijak istrimu.
Kau diam. Tapi hatimu bergejolak. Kau merasa telah salah
besar. Terutama dalam hal menyetujui istrimu pulang ke rumah
ibunya setelah proses persalinan.
“Makan dulu, Mak sudah buatkan bakakak9 dan congcot10,
setelah selesai makan jangan lupa peupeuh11 dimakan juga supaya
perut dalammu tidak sakit.” Ibu mertuamu kembali ke dapur
untuk melanjutkan aktivitasnya.
Kau mendengarkan apa yang baru saja ibu mertuamu kata-
kan kepada istrimu dari balik selembar tembok yang memisah-
kan ruangan dimana istrimu berada dalam posisi duduk tegak
dengan kaki terjulur lurus ke depan dan kau merebah.
Tiga hari sebelum istrimu melahirkan, perdebatan tentang
di mana tempat untuk melahirkan mampir di telingamu. Tapi
kau hanya diam menyimak. Kau merasa terlalu lelah untuk ikut
berdebat. Perjalanan lebih dari lima jam menuju tempat seka-
rang kau berada bisa jadi adalah penyumbang lelah yang luma-
yan.
“Paraji saja, supaya kamu tidak perlu ke mana-mana.”

9
Ayam yang dimasak atau dipanggang secara utuh tanpa dipotong-potong, biasanya
ayam jago
10
Nasi tumpeng
11
Obat untuk yang baru melahirkan berkhasiat juga untuk mengerutkan rahim karena
setelah melahirkan biasanya terjadi pembengkakkan rahim. Biasanya bahan yang
di gunakan adalah kunyit, jahe, kencur, sereh, terasi, garam dan gula secukupnya.
Semua bahan ditumbuk hingga halus dan langsung disantap

185
“Di Bidan saja, Mak.”
“Bidan tidak tahu apa-apa. Mereka kebanyakan masih muda
dan belum banyak pengalaman. Berbeda dengan paraji yang
sudah puluhan tahun dan berpengalaman.”
“Tidak apa-apa, Mak. Saya memilih melahirkan dibantu
Bidan saja.”
“Terserah kamu, tapi kalau ada apa-apa, Mak tidak mau
ikut campur.”
“Iya, Mak. Tidak apa-apa.”
Kau merasa serba salah. Hatimu belum sepenuhnya tega
mendebat juga membantah ibu mertuamu. Di satu sisi, kau ingin
mengatakan kepadanya bahwa itu semua hanyalah tradisi turun
temurun dan tidak ada hubungannya dengan keselamatan bayi
dan ibunya. Di sisi lain kau tidak ingin terlalu keras kepadanya,
sebab apapun upayamu selalu saja tak pernah didengarkan. Tra-
disi yang telah berakar turun temurun, bahkan sebagian masya-
rakat masih percaya bahwa akan terjadi mara bahaya dan hal
yang tak diinginkan jika semua tidak dilaksanakan.
Ini hanya perihal kelahiran dan segala macam hal yang kau
sadari atau tidak, adalah hal yang baru bagimu. Bagaimana
dengan hal lain? Kematian misalnya? Apakah akan juga ada tra-
disi yang tak pernah kau ketahui sebelumnya? Terlepas dari apa-
pun kau harus tetap menghargai apa yang telah ada sejak dahulu.
Menghargai dan menghormati, tetapi tidak untuk meyakini.
Ibu mertuamu bilang bahwa bayi yang belum berusia empat
puluh hari adalah sesuatu yang sangat disukai oleh mereka yang
tak terlihat.
“Orok nu umurna tacan opat puluh poe mah masih seungit,
loba nu resepeun.”12 Itu yang ibu mertuamu katakan. Pernah

12
Bayi yang umurnya belum empat puluh hari itu masih wangi, banyak yang suka

186
juga dia mengatakan hal yang membuat hatimu merasa ini adalah
kesalahan yang telah berlangsung secara turun-temurun.
“Kudu dipakean kundang, meh salamet teu aya nu nga-
ganggu. Kundang ulah nyampe teu dipakekeun ka orok.” 13
Hal yang bisa kau lakukan adalah tak henti meminta ampun-
an kepada Tuhanmu untuk semua hal yang telah dan akan
terjadi. Pun kau selalu meminta pertolongan kepada-Nya. Lalu
permohonanmu selanjutnya adalah semoga keluargamu selalu
dalam lindungan dan cinta kasih-Nya. Karena sebagaimana ke-
percayaan dan keyakinanmu, bahwa benda-benda bertuah itu
tidak akan ada apa-apanya di hadapan Tuhanmu.
Kau bukan tak bisa melawan. Kau hanya merasa bahwa yang
akan kau bantah bukan hanya ibu mertuamu saja, tetapi menyoal
banyak hal. Lalu yang bisa kau lakukan saat ini adalah sekadar
melihat apa yang seharusnya tak perlu kau lihat dan tak butuh
penjelasan.
Samar kau dengar apa yang tengah dibahas oleh istrimu dan
ibunya. Tapi kau terlalu lelah. Bukan hanya ragamu saja yang
lelah. Ada yang lebih lelah dari itu, hatimu. Sebuah tangisan.
Kencang dan nyaring. Tapi kau telah berada diambang batas
sadarmu untuk terlelap.

Sobang, Juli 2019

13
Harus dipakaikan kundang, supaya selamat dan tidak ada yang mengganggu. Kundang
jangan sampai tidak dipaakaikan kepada bayi

187
188
Hibatku untukmu Cahaya dan Kalimaya

Hj. Alpinah

muk debu embun menggila, aku melihat


A lukaku pada awan hitam dan api yang mem-
bara. Namun ada lukamu juga kah di sana
saudaraku? Membenci pagi menghindari
ranting, agar akar pohon sedang mengais
nutrisi. Tanah panas semakin ganas dan
kepak sayap kunang-kunang tak lagi ber-
tebaran di malam hari. Senja perlahan turun
menuju peraduannya, meninggalkan langit
nila penuh jingga. Azan Magrib berkuman-
dang memecah riuh dan hening perkam-
pungan. Aku dan Kakek duduk di tikar be-
ranyam rotan, tentu saja setelah melaksana-
kan salat Magrib berjemaah di masjid. Ke-
tika tiba waktunya, kaududuk di atas ham-
paran sajadah, kauhapus semua sangka. Tak
akan kauulang salah yang sama. Bukan hanya
sebutan ataukah hanya kehadiran dan bukan
pula karena paksaan hadirmu dalam kekalut-

189
an. Sungguh ironis saat ini, hati sungguh merasa menganga
dalam lubang yang tak lagi kaututupi.
“Gencar luka membabat rasa, mencampuradukkannya
dengan tawa. Gencar perih meracik jerih menjadikannya
makhluk tanpa jiwa yang tertatih.”
“Nuri, kau cucu Kakek satu-satunya.Malam ini kakek ingin
menceritakan tentang sebuah batu yang indah, sebelum kaul-
ahir ke dunia ini. Ada sebuah batu yang akhir-akhir ini sering
dibicarakan dan diburu semua orang yang ada di Kabu-paten
Lebak,” sambil menatap ke sebelah utara. Terlihat sinar kecil
yang perlahan masuk melalui lubang mata bilik, dia meng-
angguk-anggukkan kepalanya.
“Nur! Beginilah Kakek. Kakek teringat dulu, ketika itu…
bentuk tubuhmu yang indah molek membuat semua orang
kagum. Dengan gaya magnet cahayamu yang sungguh menawan,
menarik perhatian semua orang.”
“Kakek, bias saja! Betul, Nuri.”
“Oh! Siapa yang tak kenal dirimu, dari anak kecil, remaja,
dewasa, tua-muda, ibu-bapak, bahkan banci pun suka dengan-
mu. Sekalipun kauhanya datang dari kampung, tapi kausangat
istimewa selalu menjadi pujaan banyak orang yang mengenal-
mu dari dulu hingga sekarang. Kamu tahu, Nur! Coba kautebak!”
“Apa itu?” Nur menjawab dengan sumringahnya.
“Batu atau apa?” tandas Kakek!
Nuri menjawabnya, “Batu apa itu, Kek?”
Tangan kakek mengaduk-aduk kopi hitam tanpa gula dengan
sendok terbuat dari batok kelapa. Aku mengangguk, tentu saja
aku tahu. Selepas Magrib inilah rutinitas aku dan Kakek, bertukar
cerita. Di rumah ini hanya ada aku dan Kakek. Orangtuaku sudah
lima tahun yang lalu wafat karena sebuah kecelakaan kebakaran
lading. Aku anak tunggal dan Nenek wafat sebelum aku lahir, di

190
tengah malam ketika ada gempa bumi berkekuatan 5,2 skala
richter terjadi di Kabupaten Lebak.
“Batu kalimaya kan, Kek!” aku antusias menjawab, memer-
hatikan wajah Kakek yang tersenyum dengan wajah sumringah-
nya.
“Yaaaa, betul sekali. Batu kalimaya dikenal dengan sebutan
batu opal di dunia internasional. Batu ini banyak ditemukan di
Australia dan India.”
Kakek menunjukkan batu kalimaya berwarna hitam sambil
menyorotkan lampu ke dalam batu. Lampu baterai pun menyo-
rot tepat pada batu kalimaya itu.
“Lihat itu, Nur!” tunjuk Kakek.
“Waaaaaah, ada warna hijau dan ada warna-warna lainnya,
Kek. Eh, eh, itu ada warna kuningnya juga bisa menyala-nyala
begitu, ya, Kek! Wiihihihi.”
Aku kegirangan melihat keunikan batu satu ini. Sungguh
luar biasa, pantas banyak sekali orang yang suka memburunya.
“Harganya sungguh fantastis untuk dipakai sebagai per-
hiasan yang melingkar dijari jemarimu yang manis, Nur!” Kakek
berkata dengan pelan pada, Nur.
“Inikah, batu kalimaya pertama yang pernah Kakek temu-
kan?”
“Ia Nur! Kakek temukan waktu Kakek menambang 40 tahun
yang lalu. Ketika kamu pun belum ada, Nur! Nur, Nur, bagus
kan?” Kakek menaruh batu kalimaya itu di tanganku.
“Bagus banget, Kek!”
“Nur saja kalah umurnya dengan batu ini,” ujar Kakek sam-
bil menyeruput pelan kopi hitam tanpa gula, ditemani empat
buah kue jojorong yang terhidang di piring kaleng sebagai ciri
khas Lebak untuk sarapan pagi. Sambil duduk di tepas beralas
tikar yang terbuat dari menong. Kakek sesekali menatap Nur.

191
Sesekali Kakek membenahi posisi duduknya, siap untuk ber-
cerita lagi.
“Batu ini memiliki cerita panjang yang unik sekali. Dua puluh
dua tahun usia Kakek saat menemukan batu ini. Siang itu buyut-
mu yang tak lain, bapak Kakek sendiri, sedang sakit keras. Sudah
tua, kulitnya keriput, tulang-tulangnya bertonjolan nampak satu
persatu dapat dihitungnya. Kakek adalah anak ke empat dari
lima bersaudara. Semuanya perempuan kecuali Kakek sendiri
yang paling tampan saat itu. Kakekmu ini menjadi tulang pung-
gung keluarga, Kakek tidak pernah sekolah sepertimu, tapi Kakek-
mu ini bukan orang bodoh, Nur!” ucap Kakek sambil tertawa.
Sejak itulah, ketika usia Kakek delapan tahun, Kakek sudah
berkebun dan mengembala kambing sampai delapan ekor
anaknya. Dua belas tahun kemudian berdagang dari hasil panen
di jual ke pasar sampai bisa mendirikan sebuah warung kelon-
tongan di kampong ini. Suatu hari Kakek didatangi seorang pen-
jual batu akik. Ia menawari Kakek dan kami berbincang banyak
sekali sambil duduk di kursi kayu yang tersedia di depan rumah.
Penjual batu itu ternyata orang berilmu tinggi, maklum nama-
nya juga orang Jakarta, pastilah anak kuliahan.
“Ya, sebut saja namanya Mas Ilham.”
Senja itu, lembayung mulai terlihat perlahan pergi keper-
aduannya, tak terasa suasana senang dan tenang, Kakek saling
bertukar cerita dengannya lalu sambil mengisap rokok lisong
dengan tanpa ragu sampai satu dua batang rokok pun habis di-
isapnya. Keesokan harinya, dia mengajak Kakek mencari batu
kalimaya, batu pada saat itu belum banyak orang tahu keber-
adaanya,” Kakek kembali menyeruput kopi hitam tanpa gula
yang selalu ditemani kue jojorong khas kampung ini.
“Aaahhh! Tak kusangka nasibku akan seberuntung ini hanya
karena sebuah batu,” ujar Kakek sambil sesekali menyeruput
kopi paitnya.

192
“Kek! Kakek! Kakek, percaya tidak dengan takhayul?”
“Tidak”
Aku protes saat itu.
“Memangnya kenapa begitu, Nur?”
“Bukannya begitu, Kek. Kehidupan itu selalu memiliki
perantara. Nah! Contohnya batu ini salah satu perantara untuk
Kakek.”
“Kakek tetap percaya hanya kepada Gusti Allah, Kek” bela-
nya.
“Lalu bagaimana Kakek menemukan, batu itu? Kok bisa
mengubah nasib Kakek? Apa menggunakan bahasa Indonesia
saat di rumah juga karena batu itu?” tanyaku, sedikit menyindir.
“Nur, Nur! Kamu itu kalau nanya seperti detektif saja.”
“Kaupintar sekali! Nur, Nur, seperti burung Nuri. Hahaha,”
Kakek tertawa, wajahku masam. Ya, bagaimana tidak masam,
habis setelah seminggu Kakek menambang tapi tidak men-
dapatkan apa-apa, selain lelah dan tubuh yang kotor, rambutnya
sudah mulai beruban dan tak terurus, dibiarkan begitu saja
berantakan, lalu kuambil segelas kopi hitam tanpa gula dengan
satu dua seruputan yang menghangatkan badan di suasana
hujan turun.
“Ia tak usah khawatir, sekalipun kucabik tanah merah
berbukit, bahkan batu yang menghimpit badan di dalam lubang
berukuran dua meter kali dua meter persegi dengan berpuluh-
puluh meter kedalamannya, namun kan kukejar,” tandas Kakek!
Sungguh miris tak akan menyangka ada satu dua orang di
dalam lubang, suara obrolan gurandil pun nyaris tak terdengar
ke atas bibir lubang yang kaugali, siang dan malam bahkan tak
mengenal lelah untuk mencari sesuap nasi untuk menghidupi
keluarga bersama cucunya, Nuri.
Gelap malam dan udara dingin sulit menahan rasa kantuk
datang silih berganti ketika saling bergantian posisi dengan

193
teman sesama gurandil untuk menarik serpihan batu cadas,
berwarna keputihan dengan pertanda galian tanah sudah
dalam. Pahatan demi pahatan ditemani balencong tajam untuk
mengeruk batu cadas, agar kausegera nampak apa yang kucari
setiap hari, seakan segera terlihat bentuk tubuhmu yang dihiasi
indah cahaya kemilau, beraneka warna, hanya sinar lampu petro-
maks yang selalu menemani di sepanjang malam, saat ada di
lubang untuk mencari hibatku, untukmu Cahaya dan Kalimaya.
“Waktu itu, negara kita sedang kacau-balau, Nur! Walaupun
sudah merdeka, Belanda masih ada, dan banyak lagi ormas
bermunculan dengan paham yang berbeda-beda. Demo di
mana-mana dan harga bahan pokok naik, terjadi inflasi. Itulah
yang membuat Kakek libur berdagang untuk sementara waktu
dan beralih profesi.”
Sambil mengangkat tangan Kakek yang sudah keriput kulit-
nya bahkan sudah bergaris-garis dengan lembutnya, “Kakek,
boleh Nur tahu, apa inflasi, itu?”
“Kamu itu memang anak yang pintar dan ingin serba tahu,
yang sekiranya Nur tidak tahu pasti langsung kautanyakan,”
Kakek sambil mencubit pipi Nur yang menggemaskan dan sese-
kali kakek di sela candaannya dengan Nur.
“Inflasi itu apa, Kek?” tanyaku yang dijawab suara tawa
oleh Kakek. Usiaku sepuluh tahun saat ini. Langit malam mulai
dihiasi bintang-bintang dan bulan berbentuk sabit telah terbit
dengan cahaya khasnya, sedangkan suara-suara binatang
malam mulai terdengar bersahutan.
“PLAKKK!! PLAK!! PLAKK!” Aku menepuk lengan, betis,
dan jidatku. Gatal rasanya di gigit nyamuk jahat ini.
“Kau ini, oleh nyamuk saja terganggu, lanjut tidak cerita-
nya?” tawar kakek yang kembali menyeruput kopinya. Aku
mengangguk, mengubah posisi, kembali meperhatikan Kakek.

194
“Selama seminggu, Kakek menambang di lubang. Mas Ilham
rutin dua hari sekali mengunjungi Kakek, sambil membawakan
makanan dan berita-berita Nasional. Maklum! Saudara-saudara
Kakek satu per satu sudah meninggalkan rumah orang tuanya,
sudah tinggal bersama keluarganya masing-masing. Hanya
Kakek, si bungsu dan orang tua Kakek di rumah itu.”
“Tiba-tiba di siang hari saat kakek berada di lubang untuk
mencari hibatku untukmu Cahaya dan Kalimaya, sedang me-
mukul-memukul cadas terjadi sebuah keributan. Kabarnya
salah satu ormas yang berpaham kapitalis dikepung, para
anggota ormas itu mencoba bersembunyi di rumah penduduk
salah satunya rumah Kakek. Ormas itu mempunyai paham yang
tidak baik, Nur!”
“Dia membunuh Mak dan Abahmu, ketika Kakek berada di
lubang untuk mencari batu kalimaya dan menemukan batu kali-
maya ini saat hendak keluar lubang. Betapa senangnya Kakek
saat itu, bentuknya indah dan warnanya kemerlip yang setiap
orang memburu dan ingin memilikinya,” ucap Kakek yang
sudah tahu harganya sangat mahal. Begitu juga sangat mena-
wan, hitam pekat. Namun bercahaya.
Saat Kakek sampai dipermukaan lubang, tiba-tiba Mas Ilham
meloncat ke dalam lubang bersama seorang wanita cantik ber-
jilbab.” Kakek tersenyum, “Dia itu Nenekmu, Nur,” ucap Kakek.
Aku menutup mulut, terkejut dengan cerita pertemuan yang
aneh.
“Ketika situasi sudah aman, kami bertiga keluar dari lubang,
Kakek dikenalkan dengan Nenekmu yang ternyata adik Mas
Ilham. Diajaknya Kakek pindah ke ibu kota Jakarta setelah tahu
rumah Kakek diobrak-abrik terjadilah huru-hara dan jasad
orang tua Kakek tergeletak penuh bersimbah darah,” Kakek
menghebuskan napasnya dengan berat. Aku sedih melihatnya.

195
“Lalu batu itu gimana?” tanyaku tak sabaran. Kakek men-
yeruput kembali kopi hitamnya tanpa gula yang tinggal se-
tengah.
“Batu kalimaya hitam ini menjadi mahar pernikahan Kakek
dengan Nenek, harga dulunya kalau dijual sekitar tiga ratus
ribu harganya, ketika itu. Namun, walaupun mahal harganya
ketika itu tapi, Kakek tetap tidak tertarik sedikit pun untuk
menjualnya. Sekalipun sangat mahal harganya.”
“Bukannya dijual saja, Kek. Kan lumayan tuh harganya.
Mahal pasti deh kita hidup senang, banyak uang, tapi kalau
banyak uang harus banyak sedekah juga kan, Kek!”
“Iya, iya, Nur!” jawab Kakek sambil mencubit pipi Nuri!
“Ia begitu, dong, Kek! Baru itu Kakeknya Nur yang Is The
Best.”
“Weleh, Nur, Nur! Kamu memang cucu Kakek yang suka
menghibur Kakek saja, hehe,” tawarku sambil menggoda Kakek,
lagi.
“Oh, begitu! Tentu saja sudah banyak yang tawar-menawar,
tapi sejarahnya bahwa batu ini menjadi saksi perjalanan hidup
Kakek itu lebih berharga, tak ternilai harganya. Kautahu, Nur,
pernah ada orang yang ingin mencelakai Kakek juga, tetapi
malah berbalik santetnya. Ada lagi, saat Kakek ingin melamar
Nenekmu, Kakek menjadi korban tabrak lari tapi selamat sehat
walafiat padahal mobilnya benar-benar menabrak Kakek tepat
sasaran, namun tubuh Kakek seperti kebal. Dan, satu lagi saat
Abahmu menggunakan cincin batu kalimaya milik Kakek ini,
Abahmu selalu sakit tetapi setelah diperiksa tidak ada penyakit
apapun,” pungkas Kakek.
Kalimaya itu banyak kegunaanya selain dikagumi banyak
orang dari segi keindahan warnanya yang kemerlip dan banyak
lagi orang memaknai cara menggunakannya sebagai untuk asih
pengasihan pada orang lain yang memakainya.

196
“Lalu Abah sakit apa?” tanyaku serius.
“Abahmu ternyata tidak sakit, Nur! Dia hanya tidak cocok
memiliki batu kalimaya hitam, ini. Pernah Kakek tanyakan peri-
hal ini kepada Mas Ilham, bahwasannya batu kalimaya hitam
itu bisa memberikan keberkahan dan kerugian bagi pemiliknya
bergantung pada cocok dan ketidakcocokannya.”
Kakek meneguk habis kopinya sambil mengambil kue
jojorong yang terakhir dimakannya.
“Jadi Abah tidak cocok ya, Kek?” kataku sambil meng-
angguk-anggukan kepala, “Kek, berarti batu itu jimat, ya, Kakek?”
tanyaku tetap sambil berpikir.
Kakek tersenyum hangat sambil menatap tajam pada Nuri,
“Nur, Nur, kau memang anak yang serba ingin tahu, apa yang
kakek ucapkan selalu kautanyakan. Terlepas dari apakah batu
kalimaya hitam ini sebuah jimat atau bukan? Apakah bisa men-
datangkan berkah atau rugi? Semua itu, Nur, kehendak Gusti
Allah, kita kan hanya manusia biasa. Kepercayaan orang harus
kita hormati tapi tak harus kita ikuti, seperti takhayul, mitos,
atau lainnya. Semua itu diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Terlepas dari itu semua, hendaknya kita selalu bersyukur,” nasi-
hat Kakek sambil aku menundukkan kepala, sedikit teringat
sesuatu.
“Nur rindu, Kek! Ingat sama Abah dan Mak. Terkadang Nuri
rindu, rindu dirinya. Rasanya, Nuri ingin punya orang tua,” ucap-
ku dengan suara lirih yang semakin serak terdengar, “melihat
teman-teman lain, orang-orang bahagia berkumpul bersama
keluarganya di setiap waktu, siang ataupun malam selalu ada
menemaninya, tapi Nuri, membuat dada Nuri sesak, Kek!”
Setetes air mataku jatuh, akhirnya unek-unek yang selama
ini kupendam tersalurkan.
“Nuri kan masih punya Kakek,” Kakek mengelus puncak
kepalaku sambil membelai lembut rambut panjang sebahuku

197
itu. “Iri boleh saja, tapi kalau itu membuat hatimu jadi sedih dan
dendam itu tidak boleh. Nuri tetap harus bersyukur masih bisa
makan, punya rumah, bisa sekolah apalagi mendapat rangking
ke satu bahkan memiliki otak yang pintar dan cerdas bahkan
masih banyak lagi yang Nuri punyai. Sadar kan, Nur! Di luar
sana masih banyak orang yang tidak seberuntung dirimu, Nuri.”
“Jangan bandingkan Nuri dengan orang lain ya. Semua
orang memilki kisah hidup masing-masing,” ucap Kakek mem-
buatku tersenyum lega, Kakek selalu bisa menjawab pertanya-
an yang membuatku menangis dan teringat orang tua.
“Terima kasih, Kek! Kakek lebih dari segalanya,” ucapku
sambil memeluk Kakek dengan eratnya.
Waktu terus berlalu, hingga akhirnya tak terasa sudah hari
sudah sore. Tampak di langit hitam, bintang-bintang menam-
pakkan diri sedangkan sesabit bulan terlihat mengurung diri,
tertutupi arak-arakan awan kelam. Malam yang cerah bertabur
bintang di angkasa raya hingga sang Raja siang menjemputnya,
tatkala mentari tersenyum indah di pagi hari ditemani suara
ayam berkokok dengan merdunya.
Setelah lulus, Nuri tetap melanjutkan sekolahnya sambil
tinggal di pesantren untuk lebih menimba ilmu agama agar bisa
mawas diri ketika kelak, setelah Kakek sudah tiada, hingga
akhirnya, Nuri bisa hidup dengan mandiri di masyarakat. (*)

198
Ketupat Qunut Terakhir

Junaedah

eumpama candu, rindu selalu membuat ngilu.


S Ia akan terus merayu, menagih temu. Meski
acap kali, sua tak mungkin menjelma.
***

Afrida sengaja tidak langsung masuk


rumah. Ia memilih duduk di kursi teras. Me-
nikmati kilauan cahaya rembulan pada ujung
dedaunan basah, sisa hujan tadi sore. Me-
nunggu anak lelaki yatimnya yang masih di
musala, ikut riungan selepas tarawih.
Pandangannya menengadah. Sesaat ber-
sitabik dengan wajah purnama yang bulat
penuh, memancarkan senyumnya yang ce-
merlang. Lalu diputarnya pandang ke arah
pintu pagar. Berharap yang ditunggu segera
tiba.

199
Seperti biasa, rekaman tragedi itu kem-bali berputar di
ruang memorinya.
“Jeggeer! Bruk!” Terdengar suara memekakkan telinga,
disusul pekikan tertahan.
“Aaah...”
Tubuh tegap lelaki yang telah mendampinginya selama
hampir delapan tahun itu ambruk. Bersamaan dengan mentok-
nya sebuah truk bermuatan tanah galian pada tembok pintu
pagar. Darah mengalir dari kepala belakangnya, membuat baju
koko putihnya berubah warna. Merah. Bau amis menguar. Me-
ngalahkan bau menyengat air comberan dari selokan. Wadah
plastik merek favorit ibu-ibu yang dibawanya terpental. Selu-
ruh isinya berhamburan, karena tutupnya dipaksa terbuka oleh
benturan keras. Ketupat, lauk, dan sayurnya tertimbun gumpal-
an tanah yang tumpah dari punggung truk. Sekejap, para te-
tangga ramai berkerumun.
Afrida berdiri kaku. Tegak bagai patung batu. Tak percaya
dengan kejadian di hadapannya. Semua berlangsung begitu
cepat. Ribuan kunang-kunang menyerbu penglihatannya. Ke-
palanya berputar, melayang, dan semua menjadi gelap.
Peristiwa nahas yang merenggut nyawa suaminya itu telah
lima tahun berlalu. Namun, selalu tampak nyata berlangsung
di depan mata, setiap kali purnama Ramadan muncul. Berlintas-
an dalam pentas memorinya tayangan peristiwa itu satu per-
satu, saling susul-menyusul.
“Hari ini Umi tampak beda deh, lebih cantik!” Goda Abrar
yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya siang itu.
“Uh, Abi genit. Mengganggu saja! Aku lagi sibuk nih.” Afrida
cemberut, meski binar matanya tak dapat menyembunyikan
bunga-bunga yang spontan bermekaran. Hatinya menjadi
merah jambu. Kakinya serasa tak menyentuh tanah. Bau asap
tungku yang di atasnya ada rebusan ketupat, hilang menguap

200
tak tersisa. Berganti aroma keindahan seribu bunga, wangi yang
tak tertandingi.
Ia sungguh sangat senang. Memasak ketupat hari itu terasa
begitu ringan. Seperti ada energi ekstra yang menyusupinya.
Semangat hendak memberi sedekah terbaik bagi keluarga,
kerabat, dan tetangga. Tak disangka, ternyata itu adalah ketupat
qunut terakhir bagi Abrar.
Sebelumnya ia sering merasa malas jika disuruh memasak
ketupat beserta sayur dan lauk pelengkapnya. Kalaupun mema-
sak, hanya karena ingin menyenangkan Ziyad, anaknya. Itu
pun sering sambil menggerutu karena lelah dan kerepotan.
Ia kerap mengeluhkan kebiasaan di kampung suaminya
ini. Memasak ketupat pada hari ke-15 setiap bulan Ramadan.
Bahkan pernah mempertanyakannya secara khusus kepada
seorang Kyai.
Flash!
Ingatannya kembali terlempar. Semakin jauh ke belakang.
Masa ketika dirinya baru memasuki tahun kedua tinggal di kam-
pung Abrar.
“Aneh, masih puasa kok sudah masak ketupat. Di daerahku
masak ketupat itu ya kalau udah lebaran.” Ujar Afrida ketika
Abrar membawa seikat janur untuk membuat cangkang ketupat.
“Lain ladang lain belalang, Neng. Masih ingat pepatah itu
kan?” Abrar menangkis perkataan istrinya dengan tanya.
“Iya, iya. Ingatlah! Lain lubuk lain ikannya.” Afrida sewot.
“Nah, itu dia! Pintar juga ternyata.” Seru Abrar sambil iseng
menjawil hidung istrinya.
“Yee, orang aku pintar dari dulu, kok!” Afrida memanyun-
kan bibirnya.
“Pasti pintar bikin ketupat juga, kan?” Abrar terus meng-
godanya.

201
“Enggak usah merayu, ah! Bisa sih, tapi males. Bikin ketupat
itu repot. Kerjaannya banyak, waktunya juga lama. Mana lemas,
lagi puasa. Terus kalau udah matang mesti diantar ke sana-sini.
Fiuuh!”
“Ya, niatnya yang ikhlas buat sedekah atuh, Neng. Biar
enggak malas.”
“Sedekah kan enggak harus ketupat, Aa. Banyak cara yang
lebih gampang dan lebih praktis. Lagian sedekah itu buat yang
butuh, yang enggak punya. Lah ini, semua pada bikin. Jadinya
malah tukar-tukaran. Lucu ih!” Akhirnya Abrar terdiam sendiri.
Merasa kalah telak.
Abrar mendapat undangan reuni dan buka bersama dari
pondok pesantren yang ia tempati semasa SMP dan SMA. Abrar
mengajak serta Afrida ke sana. Reuni tersebut sekaligus mem-
peringati Nuzululquran pada tanggal 17 Ramadan.
Sebelum acara dimulai, Abrar menyempatkan diri bertemu
dengan Kyai pimpinan pondok. Pak Kyai menyambut mereka di
ruang tamu kediamannya. Sebuah ruangan yang cukup luas.
Sepertinya sengaja disiapkan untuk menerima tamu yang sering
datang berjumlah banyak. Tak ada kursi ataupun barang lain
sebagai asesoris ruang tamu pada umumnya. Hanya sebuah
lemari kaca besar, yang penuh dengan buku dan kitab-kitab tebal
di salah satu pojok ruangan, merapat ke dinding, di dekat jendela.
Mereka duduk bersila di atas karpet beledu biru navy
dengan motif gelombang. Di hadapannya berjejer aneka makan-
an dan minuman sebagai suguhan.
“Ayo silakan dicoba.” Pak Kyai menggeser wadah dari
anyaman rotan berisi ketupat ke arah Afrida. Juga mangkuk
sambal kacang tanah yang di sebelahnya. Dalam pikirnya, Afrida
mungkin menginginkan ketupat itu. Karena dipergokinya Afrida
berkali-kali melirik ke arah wadah. “Sisa kemarin, tapi Nyai mah

202
rajin. Dihangatkan terus, jadi enggak basi. Cuma sudah enggak
ada lauknya.” Sambung Pak Kyai.
“Ehm! Eh....” Afrida salah tingkah. Ia lalu berkata, “Maaf Yai,
melihat ketupat, saya jadi ingat mau tanya sesuatu. Bolehkah?”
“Tentu saja boleh, Teteh. Tentang apa?” tanya Kyai.
“Soal bikin ketupat qunut Yai. Bukankah itu tidak ada
tuntutannya dari Rasul?”
“Waduuh, pertanyaan berat ini.” Pak Kyai tersenyum, me-
nepuk jidatnya. “Memang benar Teh, di zaman Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tidak ada yang namanya ketupat,” lanjutnya.
“Berarti bid’ah dong, Yai.” Cecar Afrida.
“Plak!” Pak Kyai menampar pipinya sendiri. Seekor nya-muk
yang belum sempat menghisap darahnya jatuh menjadi korban.
“Hehehe.” Kyai terkekeh pelan, sambil menggaruk pipinya
yang gatal. “Kalau dibilang bid’ah, ya memang bid’ah. Tapi bukan
yang dhalalah. Karena tidak berhubungan dengan ibadah. Hanya
berupa kebiasaan saja.” Lanjutnya.
“Maksud Pak Kyai?” Abrar ikut bertanya, karena dia sendiri
pun sebenarnya kurang begitu paham mengenai hal ini.
“Kebiasaan ngupat qunut ini termasuk ‘urf shahih, atau
kebiasaan baik. Karena di dalamnya banyak nilai-nilai kebaikan
yang bisa kita peroleh. Kebiasaan ini juga sudah mengakar kuat
di masyarakat. Sehingga kalau tidak dilakukan serasa ada yang
kurang. Padahal tidak berdosa apa-apa. Semacam norma sosial,
begitu. Ketika orang-orang bikin ketupat, lalu kita sendiri tidak,
rasanya tak enak sama orang lain. Meskipun sebenarnya mereka
tidak apa-apa sama kita.”
Afrida manggut-manggut. Benar juga, pikirnya. Selama ini
dia suka malu sendiri setiap kali ibu mertua mengantarkan ke-
tupat ke rumahnya.
“Terus tadi kata Pak Yai, tradisi ini mengandung nilai-nilai
kebaikan. Apa saja itu?” Afrida menjadi semakin penasaran.

203
“Ketupat merupakan simbol rasa syukur kita kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Karena kasih sayang-Nya kita masih bisa
bertemu dengan bulan Ramadan. Tradisi ngunut ini juga berupa
peralihan dari tanggal 15 ke tanggal 16. Perpindahan dari witir
tanpa doa qunut ke witir yang pakai doa qunut. Pertanda kita
telah melewati separuh kewajiban puasa kita, atas izin Allah.”
Pak Kyai menyeruput teh manis yang tinggal setengah dan
hampir dingin di cangkirnya. Afrida semakin khusyuk men -
dengarkan. Dia tak berani menyela lagi.
“Setelah dimasak, ketupat diantarkan kepada kerabat yang
lebih tua. Sebagai lambang kebersamaan dan penghormatan
antar anggota keluarga besar. Malamnya diadakan riungan oleh
bapak-bapak dan anak-anak lelaki. Maksudnya untuk memper-
erat ukhuwah Islam di antara para jemaah. Sekaligus, mengajar-
kan kepada anak-anak untuk senang ke masjid atau musala. Agar
nanti mereka menjadi anak-anak saleh yang hatinya terpaut pada
masjid.” Jelas Kyai selanjutnya.
“Jadi begitu ya, Pak Kyai. Sebelumnya yang saya tahu, ke-
tupat itu makanan khas lebaran saja. Sebagai tanda hari raya.”
Ujar Afrida. Dilihatnya Abrar tersenyum, seolah berkata kepada-
nya, “Tuh kaan!”
“Iya, kurang lebih begitu Teteh. Wallahu a’lam.” Pak Kyai
menuntaskan penjelasannya.
“Terima kasih, Pak Kyai. Saya paham sekarang. Insyaallah
tahun depan saya ikut bikin.”
“Sama-sama, Teh. Mari kita ke aula sekarang. Acaranya
sudah mau mulai,” ajak Pak Kyai.
Afrida benar-benar menunaikan janjinya. Ikut memasak
ketupat setiap qunutan. Bahkan terus setelah tragedi malam
qunut tahun itu. Setelah Abrar berpulang untuk selamanya.
Ziyad yang selalu ikut riungan, membawa ketupat dan aneka
masakan lain buatannya.

204
“Assalamualaikum, Umi belum tidur?” Suara Ziyad dari
arah pekarangan menyetop seluruh pengembaraan Afrida ke
masa lalunya. Mengembalikannya ke masa sekarang. Buru-buru
dihapusnya kristal bening di sudut matanya, yang beberapa
saat lalu sempat menganak sungai.
“Umi nangis? Ingat Abi lagikah?” tanya Ziyad ketika men-
cium tangannya. Pemuda kecil yang tiga hari lalu baru saja me-
nerima pengumuman kelulusan dari SD, ternyata mampu mem-
baca dan menerjemahkan sembab di mata sang ibu.
“Umi nunggu kamu pulang, Nak.” Jawabnya berusaha
mengelak.
“Umi tenang saja, jangan khawatirkan Ziyad. Ada Allah kok
yang jaga Ziyad. Ziyad juga sudah doakan Abi, berbarengan
tadi di musala. Semoga Abi dilapangkan dan diberi nikmat yang
tak putus di dalam kuburnya ya, Umi.”
Dipeluknya pemuda kecilnya yang setelah lebaran nanti
harus ia lepaskan untuk masuk pondok pesantren. Kali ini di-
biarkannya butiran air mata yang jatuh satu persatu. Mewakili
haru yang begitu saja menerobos ke dalam jiwanya.
“Amin. Iya sayang. Doa anak saleh, pasti dikabulkan Allah.”
Diciumnya ubun-ubun sang putera tercinta, warisan paling ber-
harga yang ditinggalkan Abrar untuknya.
Gemuruh hatinya melaungkan berjuta harapan, doa, dan
permohonan kepada Gusti Allah Yang Maha Mendengar. Afrida
bertekad, Ziyad harus tumbuh menjadi pemuda yang saleh,
yang akan selalu mendoakan kedua orang tuanya. Agar kelak,
mereka dapat berkumpul kembali dalam naungan rida Allah di
surga-Nya. (*)

205
206
Nyai Putri dan Harta Kramat
Gunung Malayu

Akin Baong

ukan hanya jadi bahan tontonan, mayat Sakar


S menjadi buah bibir masyarakat Dusun Sab-
rang. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang
masih belum bisa dimengerti. Kemungkinan
orang itu bertarung habis-habisan hingga ajal
menjemputnya. Terdapat luka dalam di
dadanya seperti bekas cakar. Kulit di tangan
kanannya terkelupas, sebagian jari-jarinya
hilang entah ke mana. Nampak bekas lilitan
sebuah rantai kawat di lehernya yang lebam
kebiruan.
Kendati dengan kondisi begitu, senjata
Sakar masih terbungkus rapi di pinggangnya.
Ia tidak sengaja ditemukan oleh seorang
warga yang sedang mencari kayu bakar di
tengah Hutan Kurung Maung yang masih
jarang dikunjungi. Kabar duka itupun cepat
menyebar hingga ke berbagai desa.

207
“Ah yang benar, bukankah dia seorang jawara yang tidak
mempan dibacok?” Ibu-ibu sepanjang aliran sungai mulai mem-
bicarakannya, tentu sembari melakukan aktivitas mereka men-
cuci di Sungai Cilaki.
“Syukurlah, Kang, manusia keji itu memang sudah pantas
mati sepeti itu.” Begitulah berita di desa menyebar dari mulut
ke mulut ketika seorang petani berpapasan di pematang sawah.
Rasanya baru kemarin pemilik tubuh yang mengenaskan
itu menjadi tranding topik, bahkan ceritanya mampu meredam
tensi politik; pemilihan calon presiden dan wakil presiden Re-
publik Indonesia di tahun 2014. Setelah dirinya menjual seuntai
kalung emas seberat 100 gram yang menggemparkan seantero
jagat Pasar Rangkasbitung. Bukan berat atau harga emas yang
dibicarakan orang- orang, melainkan asal-muasal harta itu.
Tiga hari yang lalu, Sakar mendatangi kediaman bocah asal
Dusun Sabrang, Arsani. yang sedang ramai diperbincangkan
berkat penemuannya yang tidak biasa, membuat banyak orang
ingin memastikan kebenaran berita yang beredar.
“Bubar!”
“Malodar daria kabeh!” 1 Sontak warga yang mengenal
sumber suara sedikit mundur memberi ruang.
Sakar memasuki sebuah gubuk reyot dengan lagak khasnya,
tak lepas sebuah golok Sulangkar yang selalu dibawanya ke mana-
mana. Seketika matanya melotot, mulutnya menganga jantung-
nya berdegup sedikit lebih cepat, hati dan pikiranya menemukan
celah picik. Ketika menyaksikan kabar yang beredar itu ternyata
benar.
“Dari mana kau mendapatkan itu semua?!” Tunjuk Sakar
pada sebuah genggaman yang berkilau.

1
Mati kalian semua

208
Tak ada jawaban. Bocah itu hanya menundukan kepalanya,
keheningan menemani kerumunan orang yang sedari tadi me-
lempar tanya yang sama. Sampai Sakar kembali berteriak dengan
nada dan kata yang tidak berbeda.
“Ini dari Nyai Putri, dia memberikannya untuk anakku!”
Jawab Sarip.
“Piceun!”2 Bentak Sakar.
“Dengekeun3, Nyai Putri pasti tidak mungkin sebaik itu. Dia
pasti menginginkan tumbal!” Tambah Sakar. Desas-desus mulai
mewarnai kerumunan.
“Kamu jangan coba menakut-nakuti, Kang.” Bantah Sarip.
Arsani kini bersembunyi di belakang ayahnya.
“Perlu kalian semua ketahui, Nyai Putri itu iblis. Aing4 sering
berhadapan dengannya. Jika harta itu dipakai, maka korban akan
berjatuhan dari kampung ini.”
Bisikan-bisikan mulai terdengar nyaring di telinga Sarip, para
penduduk mulai resah akibat ulah si biang onar. Namun sebagian
percaya penemuan bocah bagus itu adalah keberuntungan yang
tak ternilai. Semua orang pasti akan iri pada nasib baik itu ter-
utama sang Jawara yang sekarang makin berkoar menakut-nakuti
mereka dan menginginkan perhiasan itu jatuh ke tangannya.
Sarip semakin bingung dibuatnya, kemiskinan yang mem-
belenggu dirinya selama ini hampir saja terlepas jika harta karun
itu terjual. Apalagi dia harus membesarkan dua orang anak sen-
dirian. Semenjak istri tercinta yang bekerja di Saudi Arabia hanya
pulang membawa nama. Tak terasa setetes air hangat jatuh dari
sudut matanya. Mengingat kejadian yang dia alami belakangan
ini. Kedua anaknya yang sudah masuk usia sekolah belum juga

2
buang
3
dengarkan
4
Saya (sunda)

209
disekolahkan. Alasan tak terbiayai dan terpaksa harus ikut
dengannya setiap hari menjadi kuli serabutan.
Seolah mengerti dan ikut gelisah, anak sulungnya, Aisyah,
duduk di samping dan menggenggam tangan Sarip. Ketika mata
yang berkaca itu bertubrukan, Aisyah seolah berkata, “Jangan
berikan benda indah itu kepada orang lain. Ini milikk kita, kita
bisa menjualnya, kami bisa sekolah dan pintar.” Sarip lantas
memalingkan pandangan ke Arsani yang memiliki arti Tatapan
yang tidak jauh berbeda dengan kakaknya.
Tidak. Dia tidak bisa seegois ini, bagaimana jika omongan
Sakar itu benar? Mengingat orang dihadapanya sekarang ter-
kenal tidak pernah main-main dengan ucapanya. Bagaimana
jika terjadi sesuatu yang buruk pada anak-anaknya? Terlebih
jika menimpa kepada warga di sekitarnya, dia tidak mau disalah-
kan akibat keputusan yang diambil kelak. Berbagai macam ke-
mungkinan merasuki pikiran Sarip. Ditatapnya sekeliling yang
juga dipadati puluhan pasang mata yang sulit diterjemahkan.
Sakar menawarkan diri dan menjamin semua penduduk aman
dari kutukan Nyai Putri, ia juga mengaku akan mengembalikan
harta keramat itu ke asalnya.
Arsani tidak melepaskan benda itu, dia mengenggamnya
semakin erat seolah itu adalah mainan pribadinya. Sedangkan
puluhan mulut mulai bergemuruh membuat diskusi dadakan.
Cerita Nyai Putri memang tidak asing lagi di masyarakat Dusun
Sabrang. Sosok penghuni makam keramat di puncak Gunung
Malayu itu kerap di kunjungi banyak peziarah dari luar daerah.
Sirep Sakar memang mujarab. Wajar saja jika dia terkenal
pandai meracuni alam bawah sadar orang lain. Sesuatu yang
damai akan ribut. Dan sesuatu yang kacau akan tambah beran-
takan jika sudah ada orang itu di dalamnya. Dengan sedikt senyum
tipis yang berusaha dia sembunyikan agar tidak dicurigai, bajing-
an itu meninggalkan kerumunan. Diiringi tatapan ketidakrelaan

210
Arsani dan semua orang yang memihak Sakar menghujat dan
menyalahkan keputusan yang sudah di ambil bapak dari dua
orang anak piatu itu.
Di balik sisa ketegangan dan kerumunan orang-orang, tidak
sengaja sudut mata Arsani menangkap dua asing yang tidak ia
kenali. Selain itu pakaiannya juga berbeda dari yang lain. Dua
orang dengan ikat kepala putih dan golok panjang sampai ke
betis. Mengenakan baju dengan rompi yang tak berkancing.
Matanya menerawang membayangkan wajah-wajah itu. Nam-
pak dua orang itu mengekor di belakang sang Jawara kampung
setelah meninggalkan tempat duduknya dengan emas rampas-
an yang ia peroleh. Tapi mereka bukan teman dari pria bengis
itu. Arsani tak melihatnya kala ia datang dan ia yakin semua
orang di sana tak melihat keberadaan mereka termasuk manu-
sia licik itu.
Baru dia ingat wajah-wajah itu ketika pertama kali ia temui
di kebun cengkih. Ayahnya yang kala itu kuli panen cengkih di
kebun milik Pak Kades, di puncak Gunung Malayu, sibuk memetik
buah harum itu di atas pohon. Sedangkan dirinya hanya me-
munguti yang berserakan di bawah. Saat itulah perwujudan itu
hadir bersama seorang wanita berkebaya untuk pertama kali.
“Kamu sedang apa bocah manis?” dalam bahasa sunda yang
halus ia bertanya pada Arsani.
Arsani tak menjawab matanya sibuk memerhatikan penam-
pilan orang dihadapanya. Sama sekali tak ia kenali pemilik wajah
itu, tidak pernah Ia lihat perempuan berkulit seputih itu di kam-
pungnya. Kepalanya bermahkota dan menyilaukan. Rambut-
nya terurai halus dan rapi. Senyum manis tergores dari bibir-
nya, melengkapi paras indah seperti bidadari. Pun dua orang
bersenjata di belakang perempuan itu.
“Saya Nyai Putri. Jangan takut, mereka penjaga saya. Nyai
punya sesuatu untukmu.” Orang itu mengulurkan tangannya,

211
dua orang laki-laki berpenampilan seperti pendekar tersenyum
ramah.
“BRUK!” Sesuatu terjatuh menimpa Nyai yang seketika
lenyap. Hanya ada buah rempah-rempah itu berserakan di tanah.
“Kau tidak apa-apa, Nak?” Teriak Sarip dari atas pohon.
“Henteu.” 5 Jawabnya cepat sambil menggeleng.
“Maaf, Ama tadi tidak sengaja. Kamu pungutlah buah-buah
cengkeh yang berserakan di tanah. Masukkan ke dalam karung.”
Titah Sarip sambil bergesas turun.
Arsani mengerjakan tugasnya sesuai yang diperintahkan,
sementara Sarip kembali meninggalkan bocah itu dan bergegas
menuju wahangan6 untuk berwudu. Di antara buah-buah yang
masih tertimpa karung sesuatu memantulkan sinar mentari.
Dia lekas mengambilnya. Baru dia mengingat benda tersebut
yang mau diberikan orang dewasa berpakaian seperti pengantin
itu kepadanya. Tapi dia menghilang saat karung terjatuh dan
menimpanya. Lalu dengan sikap polos kekanak-kanakanya dia
memutar-mutar temuanya itu seperti mainan.
Sarip hendak melanjutkan pekerjaannya setelah selesai ber-
doa, namun dia melihat anaknya yang berumur empat tahun itu
tengah asik memutar-mutar sebuah benda yang dikiranya hanya
rantai biasa. Dia memperhatikan sejenak tingkah bocah itu. Bocah
kecil yang cekatan dan penurut itu menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik.
“Naon eta?”7
Arsani menghentikan aktivitasnya dan nampaklah di mata
orang berkumis tipis itu seonggok pualam membelit kayu yang
dipegang bocah beringus. Diraihnya benda itu kemudian digigit-

5
Tidak
6
aliran air kecil di antara lereng
7
Apa itu

212
nya berkali-kali. Sesak mulai menghimpit peparu, jantungnya
berdetak lebih cepat memompa darah ke otak. Logam keras,
indah dan berkilauan. Nyata atau mimpikah ini? Ujarnya dalam
hati. Sarip masih terpaku di tempatnya.
“Ini emas, Nak. Dari mana kau mendapatkanya?”
Dengan polos Arsani menerangkan asal mula perkaranya.
Tubuh orang tua itu mulai gemetar seketika dia mulai kehilangan
tenaga. Badannya oleng dan kini bersandar di pohon yang tadi
dipanjatnya. Apakah benar sosok yang dilihat anaknya adalah
Nyai Putri? Sarip memang mengakui kelebihan anaknya. Ia sering
mengaku bermain bersama teman-temanya, padahal anaknya
sendiri dan dia tidak melihat siapapun di dekat bocah itu.
Sosok mitos yang beredar di desanya terjadi pada anaknya
sendiri. Antara percaya atau tidak dirinya masih mencoba
berpikir waras. Ini mungkin harta karun yang terpendam ratus-
an tahun atau perhiasan yang jatuh dari langit kemudian takdir
mempertemukanya dengan mereka. Ini buah doa yang selama
ini ia pinta. Pikirannya liar menggapai apa yang bisa dimengerti
oleh akal sehat.
Sosok Nyai Putri adalah legenda. Tapi harta ini nyata, dia
kembali menggigitnya. Memandangnya berkali-kali. Kagum,
bahagia, takut, segala perasaan merasuk, dan bercampur aduk
di dalam otaknya. Bagaimana jika sosok itu menginginkan tum-
bal. Imajinasinya mulai mengada-ngada. Banyak yang datang
ke gunung ini hanya untuk menambah kekayaan. Mencari dan
membuktikan cerita Nyai Putri juga keberadaan harta karun di
Gunung Malayu ini.
Dengan sisa tenaganya, dia bangkit dan berbenah, kemudi-
an dengan sedikit tergesa dia ajak anaknya pulang. Tidak peduli
dengan pekerjaannya yang baru setengah hari. Hal itu sontak
menarik perhatian seluruh warga kampung. Apa sebenarnya
yang telah terjadi kala itu membuat warga mulai saling melem-

213
par tanya. Seperti halnya misteri kematian sang Jawara yang
baru saja terjadi. Banyak duga-duga ia di bunuh oleh jawara
yang tak lain adalah musuhnya sendiri. Namun bocah indigo
itu berkata lain. Luka di lehernya akibat lilitan kalung emas
yang dijualnya di pasar. Arsani juga menambahkan bahwa
jawara malang itu diterkam harimau-harimau pengawal Nyai
Putri.
Dalam bayang penglihatannya, jawara itu tengah berjalan
oleng pada malam hari dalam kondisi mabuk berat sehabis
pesta bersama antek-anteknya. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan
sebuah lingkaran api yang melayang. Terbiaslah wajah murka
seorang nyai di tengah lingkaran api itu. Api itu terus menge-
lilingi tubuhnya sampai beberapa saat munculah wujud asli
benda aneh itu, seperti kalung emas yang didapatnya dari bocah
bernama Arsani. Kalung itu langsung membelit leher sang korban
yang berlari mencari bantuan. Nasib sial kembali menimpanya
ketika kaki itu justru membawanya semakin jauh ke tengah hutan
dan seekor hewan buas menerkamnya. Tangan yang coba
menangkis serangan predator itu terkoyak habis. Dengan penuh
luka dan sisa tenaga dirinya terus berlari hingga kehabisan darah
dan mati. (*)

214
Bagaimana Tando Melintas
di Pikiran Orang-orang Tahun 2120

Muhammad Nanda Fauzan

/ Mendengar MFU-3103 Bercerita


I Tadi malam aku hampir adu tumbuk dengan
seorang lelaki tua pesakitan penghuni panti
Wanatirta. Perkara sepele sebenarnya. Ia
memaki robot prototipe seri MFU-3103 se-
bagai rencana paling tolol yang pernah hing-
gap di kepala manusia modern, sambil sese-
kali memberi saran, bahwa sebaiknya aku
mulai merancang robot dengan kegunaan
yang lebih menarik, memetik kangkung
umpama.
Kabar buruknya ia menolak mencerita-
kan pengalamannya berjumpa kelinci ter-
bang. Ingatan tentang masa lampau tak bisa
hadir secara runut pada usai senja. Tapi kabar
baiknya, aku berhasil untuk tetap bersikap
manis selama beberapa menit hingga ia ram-
pung menjawab beberapa pertanyaan ten-
tang mitos kelinci terbang di pesisir Kota L.

215
“Anda telah berhasil mengunggah satu file ke Cloud.”
Tertera di layar komputer, yang berarti sebuah rekaman suara
Fuadudin—seorang pria yang tadi malam aku jumpai—telah
rampung tersimpan dengan aman dalam database network. Dan
kawanku MFU-3013 dengan kecerdasan algoritma machine
learning akan mengolahnya menjadi sebuah cerita yang apik.
“Apakah ia sanggup membuat cerita singkat dengan enam
kata seperti Ernest Hemingway?”
“Maksudmu, For Sale; babys shoes. Never worn? Oh, jika
tak ada kekeliruan saat pengoperasian integrasi data, ia akan
lebih baik dari sekedar itu, Nak. Aku telah memasukkan seluruh
kemampuan yang dimiliki penulis hebat, yang tentu saja
favoritku, ke dalam batok kepalanya. Mungkin bisa membuat
kalimat pembuka seapik One Hundred Years of Solitude-nya
Gabriel García Márquez. Omong-omong, kau masih ingat siapa
penulis yang Ayah maksud? Coba sebutkan lima nama saja”
“James Joyce, Kurt Vonnegut, Salinger, Vladimir Nabokov
dan George Orwell. Itu tak terlalu penting, Ayah. Maksudku, kau
ingin membuat kisah tentang kelinci terbang dari Kota L tanpa
bantuan Rudyard Kipling? Bukankah itu terdengar muskil?”
“Kau yakin orang-orang pada masa ini mampu mencerna
Kipling? Oh, lagi pula jenis kalimat beranak pinak akan membuat
negara murka, itulah sebabnya hingga detik ini kau tak memiliki
adik. Hahaha.”
“Itu karena kau hanya membaca kim. Mari kita uji coba MFU-
3103, masih ada satu pekan untuk kau berpikir ulang, Ayah”
Aku selalu berdebat panjang dengan anakku tentang mutu
tulisan Rudyard Kipling, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk
membuat seorang anak berusia sembilan tahun bersedih, meski
meletakkan ibu jari pada alat pemindai MFU-3103 dan mem-
buatnya bertutur seperti para perawi jelas akan membawa ke-
sedihan dalam jenis lain.

216
[[Selamat datang di dunia penuh cerita. Saya MFU-3103
lahir pada tahun 2120, izinkan saya membawa Anda masuk
pada kisah-kisah menarik yang sukar dibuat oleh manusia.
Silakan sisipkan file yang ingin Saya karang]]
Insert:
:/Documents-and-Settings/MFU-3103/Your-cloud/Flac-
3829/Afifuddin-Mitologi-Kelinci-Terbang-Kota-L.
[[ Scanning a voice recording, please wait]]
***

Beratus tahun kemudian, setelah Tando terakhir terhidang


di meja makan keluarga Sobri dan membuat semua penduduk
pesisir pedar, pemuda N membawa kaleng yang tampak canggih
untuk menakut-nakuti turunan terakhir pemakan kelinci terbang.
September 2007, kincang yang ditunggangi Sobri saban
hari menjerat ikan di tengah laut karam di hantam amuk bena
pada musim paila, kejadian cialat itu tentu saja membuat se-
orang nelayan pilih tanding dari bangsanya harus memutar
otak untuk sekadar bertahan hidup.
Pada pekan pertama, ia bekerja membelah bangkar kijing di
rumah Pak Apuh dengan bayaran empat gelas beras, tiga butir
telur ayam dan sebungkus rokok untuk satu karung kijing yang
terkelupas. Yang lebih menyedihkan ketimbang hitung-hitungan
upah, tentu saja kenyataan pahit bahwa musim kijing hanya ber-
tahan beberapa hari lagi, besar kemungkinan seluruh penduduk
pesisir akan mengenangnya sebagai orang paling sial yang harus
kehilangan dua pekerjaan hanya dalam hitungan kurang dari
satu bulan.
Sebagian tetangga menyarankan Sobri untuk meninggalkan
kampung pesisir dan mencari peruntungan di Ibu Kota, sebagi-
an lain penduduk tak pernah bertutur sapa apalagi peduli pada
nasib buruknya.

217
Pada satu sore yang murung di penghabisan musim paila,
pohon-pohon kelapa menjulang tinggi dan tampak kuat meski
hembus angin dari arah selatan bisa membuat pohon lain ter-
cerabut, atau paling tidak tumbang. Sobri kelimpungan bagai-
mana menjelaskan itu pada Afifuddin, yang sejak tadi terus
mengedarkan pandangan ke arah luar jendela.
Kelak, anak semata wayangnya itu akan mengetahui jawab-
an paling tepat tentang ketahanan pohon kelapa dari Hope
Jahren —seorang ilmuwan asal Amerika— melalui buku Lab Gri
beberapa tahun kemudian saat ilmu pengetahuan dapat diper-
oleh lebih mudah ketimbang ngagogo udang-udang yang hidup
di lumpur tepi muara. Untuk saat ini, anak baik itu hanya men-
dapatkan jawaban yang sukar dipercaya melalui mulut bapak-
nya, bahwa tubuh pohon kelapa jauh lebih kuat dari tiang-tiang
besi parabola para tetangga yang begitu mudah berkarat, tentu
saja dengan sedikit wejangan bahwa apa-apa yang disediakan
Tuhan melalui alam jauh lebih baik ketimbang bikinan manusia.
Di tengah obrolan dan dingin yang memeluk tubuh,
Afifuddin menopang dagunya dengan sepasang lengan mungil
di muka jendela, aroma deeng kakacangan menyeruak dari arah
dapur menuju dua lubang hidungnya. Tidak ada lagi tiga butir
telur, kemarin adalah karung terakhir kijing yang Sobri terima,
dalam waktu dekat ia hanya mengandalkan simpanan ikan
kakacangan yang diolah istrinya menjadi dendeng sebelum
kincangnya ambruk. Sebuah seni menyimpan pasokan makanan
yang benar-benar canggih.
Sebelum keduanya beranjak menuju dapur dan menandas-
kan makan siang yang sejatinya sedikit terlambat beberapa jam,
seekor Tando terbang rendah melintasi batang pohon kelapa,
bulir air yang turun dari langit membuatnya terhuyung-huyung,
dengan gerak yang sedikit lambat ia mencengkeramkan kukunya
pada batang kelapa yang licin. Pendaratan yang buruk.

218
Afifuddin terperanjat melihat pemandangan semacam itu.
Jelas hewan aneh yang kepalang sial itu bukanlah tupai sebab
perawakannya terlampau besar, bukan pula kelinci sebab ia
memiliki sayap yang membentang di antara tangan dan kakinya.
Sedangkan Sobri memicingkan kedua bola matanya—yang meski
sudah tak muda, tetapi cukup awas—untuk memastikan bahwa
itu benar-benar Tando.
Afifuddin belum sempat benar membredel Abahnya dengan
sederet pertanyaan, sebab Sobri segera beranjak membuka pintu
sambil berseloroh “Hari ini kita akan makan ena....”
[[Network is in trouble, wait a few moments]]
[[Please improve your security system.
we see your computer violating community
provisions]]
***

“Sepertinya ada beberapa kesalahan yang harus diperbaiki,


Nak.”
“Belum terlambat, setidaknya kita masih memiliki dua hari
sebelum MFU-3103 resmi diperkenalkan.”
“Bagaimana menurutmu, tidak terlalu buruk, kan?”
“Apa kelinci terbang, oh... Tando itu benar-benar ada, Ayah?”

II/ Tiga Teguk Kopi Sebelum Kematian Afifuddin


Jika kau enggan percaya pada segala ceracau dan perangai
manusia modern, menolak menautkan tubuhmu pada sulur-
sulur kabel, tak nyaman menghabiskan sepanjang hari dengan
listrik, baja, komputer, dan lembaran kamus bahasa yang sukar
dimengerti, atau jika otakmu kelewat teruk untuk berbaur dalam
tatanan semacam itu, datanglah ke panti Wanatirta, surga bagi
orang-orang arkais.

219
Waktu dan zaman tak bisa menjangkaukan lengannya di
tempat ini. Orang boleh menjual gagasan cemerlang tentang
penemuan benda baru, sampai kemudian mereka menemukan
dirinya terjebak dalam kenyataan getir; penemuan adalah kehi-
langan yang tampak indah.
Di Panti Wanatirta, Kota L masih tampak lugu dan polos.
Silakan berkunjung ke kamar saya, akan kau temukan masa
lampau menyerahkan diri; nyala cahaya berasal dari semprong,
alas tidur dari tikar pandan yang dianyam saling silang, dinding
dari bilik bambu-bambu, atap daun kelapa, kadangkala lolongan
suara ajag di kejauhan, dan setiap terjaga dari tidur, kau selalu
berusia kanak-kanak.
Tapi tentu saja, tak ada jaminan kau benar-benar memiliki
jarak dengan dunia luar. Maksud saya, orang-orang itu akan tetap
datang bertandang menyodorkan sejumlah pertanyaan bodoh
dan kau memiliki tuntutan untuk menjawabnya dengan khidmat
dan percaya diri—sebab untuk itulah negara menyatukan kita di
tempat ini. Seperti, “Apakah moyangmu, Prabu Pucuk Umun,
terusir dari Gunung Pulosari karena kalah sabung ayam dengan
seorang penyebar agama dan mengasingkan diri di suatu lem-
bah?” Kawanku, yang memiliki kebiasaan berjalan kaki lebih kuat
dari siapa pun di antara kami, dan selalu mengikat kepalanya
dengan jenis kain tertentu, menjawabnya dengan, “Adu jangkrik,
Pak. Bukan ayam.” Pada keadaan tertentu, Kau diperbolehkan
mengecoh mereka, sebab tak ada siapa pun yang bisa dimintai
keterangan tentang benar-salah. Tidak terlalu buruk, kan?
Tadi malam, beberapa saat sebelum mati, giliran saya ke-
datangan tamu dan terjebak pada situasi pelik dengan seorang
pemuda dan kaleng ajaibnya. Menjadi pelik karena saya diminta
menceritakan pengalaman —yang menurutnya sangat magis—
bertemu kelinci terbang.

220
Pemuda itu datang dari pusat Kota L, mungkin mengendarai
mobil yang melayang-layang di udara. Dia tampak ramah dan
manis, atau manis dan ramah? Saya tidak peduli benar. Toh hanya
butuh waktu tiga teguk kopi untuk membuat saya yakin bahwa
ia kurang simpatik.
Teguk pertama.
Ia meletakkan bokongnya pada amben yang terbuat dari
bambu, tepat beberapa detik setelah duduknya benar-benar
nyaman, ia menekan permukaan kulit jojorong —yang selalu
saya hidangkan pada tamu— dengan telunjuknya, dua ruas jari-
nya diselimuti cairan gula merah yang lengket. Dalam keadaan
semacam itu, menahan tawa benar-benar perkara yang sulit.
Sambil membersihkan sebagian jarinya, ia memulai per-
cakapan dengan hal ganjil yang mudah menguap dalam ingatan
saya. Intinya tentang robot yang mendaur ulang cerita, dan
kelinci terbang. Saya menjawab seperlunya, “Kenapa tidak
membuat robot yang mahir memetik kangkung saja, itu lebih
menarik?”
Teguk kedua.
Ia meloloskan tangannya di balik saku tuxedo berwarna
coklat, seperti memastikan sesuatu benar-benar berada pada
tempatnya.
“Apakah kau bisa menjelaskan momen magismu bertemu
kelinci terbang di pesisir Kota L?”
“Saya tidak ingat bagaimana detailnya. Tapi saat itu hujan
deras pada penghabisan musim paila. Saat itulah makhluk aneh
itu muncul, Ayah saya menyebutnya Tando. Konon ia sudah
punah bertahun-tahun lalu, saat penduduk pesisir mulai ramai
dan pohon-pohon ditebang untuk keperluan rumah tangga. Satu-
satunya yang bisa saya jelaskan tentang hewan ini adalah rasanya
yang betul-betul luhur.”

221
Teguk ketiga.
Ia kembali meloloskan tangan kirinya ke dalam saku, kali
ini terdengar bunyi yang ringan, Seperti bunyi “traaak” saat
seorang koboy menarik pelatuk revolver dalam film-film 70-
an. Pertanyaan selanjutnya, ia memastikan apakah kelinci
terbang atau Tando itu memiliki wujud yang nyata.
“Tidak selalu, Pak. Kebenaran acapkali tampak nyata sebab
ia selalu diperbincangkan dan dipuja-puja sebagai sesuatu yang
luhur, tetapi ia toh tidak nyata-nyata amat.”
Saat jawaban itu meluncur dari mulut saya, Ia merogoh saku
jaketnya. Suara ledakan terdengar nyaring. Dua peluru menem-
bus dada saya. Percik darah. Kini saya terbang, melesat seperti
Tando pada satu sore di masa penghabisan musim paila. (*)

Untuk; kedua adik saya.


Ciceri, 27 Juli 2019

Keterangan singkat:
*Tando (petaurista Pallas), hewan dengan selaput kulit—yang menyerupai sayap—
dipakai untuk terbang (?) Pada awal-awal tahun 2000 banyak ditemukan di pesisir
lebak selatan; Bayah-malingping-Binuangeun. Beberapa menyebutnya sebagai
“misteri kelinci terbang”
*Paila, Musim di mana para nelayan jarang mendapatkan hasil tangkap, bisa karena
cuaca buruk atau keadaan tertentu.
*deeng kakacangan/ dendeng ikan kacangan
* jojorong, Makanan berbahan dasar tepung beras dan santan kelapa yang bagian
dalamnya diberi gula aren.

222
Bantal Kapuk Cadas Ngampar

Nurbeti

eseorang melempar bantal kapuk itu. Semua


S yang menyaksikan menahan nafas menanti
bantal kapuk itu berhenti. Peristiwa itu tak
pernah akan hilang dari ingatan Anggi. Se-
perti malam itu, udara begitu dingin mem-
buat Anggi malas untuk beranjak dari tempat
duduknya. Ditemani sepotong lilin yang
menjadi pelita sementara, karena sudah lima
belas menit berlalu listrik tiba-tiba padam
entah apa penyebabnya. Matanya nanar me-
mandang ke luar lewat celah gorden kaca
yang tersingkap. Malam itu bulan sedang
purnama, namun Anggi enggan menemani
seperti biasanya. Hatinya perih, ingin ia
teriak tapi lidahnya kelu tak mampu berkata-
kata. Mulutnya terkunci.
Tiga ratus enam puluh lima seperempat
hari sudah dua kali terlewati. Orang yang

223
dicari tak kunjung kabar beritanya. Kepada burung yang ter-
bang ia titipkan pesan, kepada rumput hijau ia berbagi cerita,
kepada angin ia kabarkan berita, berharap jumpa dengan Nita,
sahabatnya. Kepada tetangga ia tanya. Semuanya bisu tak ada
kata, hanya menggeleng tanpa suara.
“Ke mana lagi harus aku cari?” Kata Anggi bertanya pada
diri sendiri.
Seperti malam itu, ia kembali termenung menerawang ke
masa di mana ia dan Nita selalu bersama dalam suka dan duka.
Sesekali Anggi melihat ke jalan raya depan rumahnya. Truk-
truk pengangkut batu-batu besar yang beratnya berton-ton
dengan suara yang meraung menjadi pemandangan hari-hari
yang menjemukan. Tak ada yang bernyali tuk berkata-kata.
Mulutnya memang terkunci, diam seribu bahasa. Namun
tidak dengan hatinya. Hati yang selalu gundah setiap purnama.
Pipi mungilnya yang sudah mulai dijahili jerawat kecil basah
sudah oleh kristal bening yang mengalir dari kedua ujung mata-
nya. Bayangan wajah Nita, sahabatnya, semakin membuatnya
gundah dan gelisah.
“Di mana kamu Nita, mengapa susah sekali mendapatkan
kabar keberadaanmu?” Gumam Anggi. Dulu saat mereka masih
bertetangga, bila bulan sedang purnama, tak pernah mereka
lewatkan begitu saja. Selepas mengaji di surau pastilah dua saha-
bat itu dengan teman-teman yang lain berkumpul menikmati
indah dan terangnya sang rembulan. Ada banyak permainan
yang mereka lakukan. Ucing Dungkuk adalah permainan yang
paling disukai Anggi. Karena permainan itu tidak menguras
tenaga tapi melatih kekuatan ingatan akan segala hal yang di-
miliki temannya. Tidak saja bentuk dan ukuran badan serta
suara bahkan sampai ke bau badannya. Cara mainnya sangat
mudah, semua pemain kecuali yang jadi kucing akan bertukar
kain sarung kemudian membungkus badannya serapi mungkin

224
agar tidak terlihat oleh si kucing. Si kucing akan melakukan
berbagai cara untuk berhasil menebak mangsanya. Mulai dari
meraba, mencium baunya sampai suara si mangsa dengan cara
digelitiki hingga tertawa. Mangsa yang tertebak maka ia yang
berganti menjadi kucing. Begitu seterusnya. Mereka juga sering
melakukan permainan lainnya seperti Gobag, Bebentengan,
Alung Boyong, Pereket Jengkol, Gatrik, Congklak, Ucing-
ucingan, dan lainnya. Kini semua tinggal kenangan.
Malam semakin larut, lalu lalang kendaraan semakin ber-
kurang. Tiba -tiba Anggi mendengar suara orang minta tolong.
“Tolooong, sakiiit!” Begitu memelas terdengar suara itu.
Anggi segera bangun dan berlari ke luar mencari sumber suara.
Suara minta tolong itu jelas terdengar namun Anggi belum juga
menemukan di mana dan siapa yang menangis minta tolong.
Anggi terus berlari mengikuti arah suara hingga ia sampai di
sebuah rumah yang pintunya terbuka. Tanpa pikir panjang Anggi
memasuki rumah itu dengan tidak lupa mengucapkan salam.
“Assalamualaikum, ada siapa di dalam?” Teriak Anggi. Tak
ada yang menjawab salamnya. Anggi memeriksa setiap ruangan
hingga sampai pada sebuah kamar di bagian belakang rumah.
Jelas terdengar olehnya ada suara perempuan merintih kesakit-
an minta tolong. Anggi terperanjat manakala ia menyaksikan
seorang gadis sebayanya yang duduk dengan tangan terikat dan
kedua kakinya dibelenggu oleh kayu pemasung layaknya seorang
pesakitan. Anggi seperti kenal gadis itu, tapi di mana? Ia lupa.
“Anggi tolong aku! kamu Anggi kan?” gadis itu menyebut
namanya. Tentu saja Anggi kaget bukan kepalang. Ia heran dari
mana gadis itu tahu namanya sedangkan bertamu saja baru
kali ini.
“Kamu siapa? Dari mana kamu tahu namaku?” Anggi ber-
tanya pada gadis itu. Si gadis tersenyum getir. Lagi-lagi Anggi
seperti tak asing dengan senyumnya itu.

225
“Kok aku seperti kenal gadis ini, tapi di mana ya?” Untuk
kesekian kalinya Anggi bertanya pada dirinya.
“Anggi tolong aku, hanya kamu yang bisa menolong aku!”
Gadis itu kembali memelas minta tolong.
“Bagaimana caranya aku bisa menolong kamu? Tali dan kayu
itu terlalu kuat, aku tak akan sanggup!” Anggi menjawab dengan
nada sedih. Rasa iba membuat butiran kristal bening tak terasa
sudah membasahi kedua pipinya yang memiliki lesung pipit yang
jika tersenyum membuat senyumnya semakin manis.
“Kamu bisa menolong aku Anggi, hanya kamu yang bisa!”
Kata gadis itu setengah memaksa.
“Kenapa harus aku?” Anggi balik bertanya.
“Karena hanya kamu yang bisa mendengar aku.” Jawab gadis
itu. Anggi semakin heran, namun ia tak berani menolaknya.
“Bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?” Kata
Anggi.
Sejenak gadis malang itu memenjamkan matanya. Entah apa
yang ada di pikirannya. Anggi dengan sabar walau penuh
keheranan tetap menunggu sambil menatap wajah gadis itu. Lagi-
lagi Anggi merasa seperti pernah mengenalnya, tapi di mana
dan kapan ia tetap tak mampu mengingatnya.
Tak berselang lama gadis itu membuka matanya, kemudian
ia meminta Anggi mendekat seperti ingin membisikkan sesuatu
yang tak ingin di dengar oleh orang lain.
“Berjalanlah kamu ke arah hulu, ke daerah yang dihuni oleh
orang-orang suci. Saat kamu menemukan istana tua di tepian
sungai maka berhentilah. Jangan lupa ucapkan salam. Di sana
akan kamu temui empat orang suci yang akan memberimu petuah
bagaimana cara kamu menolong aku!” Bisik gadis itu.
“Apa ciri-ciri dari empat orang suci itu?” Kata Anggi bingung.

226
“Kamu cukup minta tolong pada satu orang yang paling
muda diantara ke empatnya. Cirinya Beliau berjubah putih dan
berserban hijau.” Jawab gadis itu.
“Duduklah bersimpuh di istananya, bacalah ayat suci yang
kamu bisa, Insyaallah kamu akan dapat pertolongan.” Tam-
bahnya.
“Tentunya semua karena Allah Swt., itu yang tidak boleh
kamu lupa!” Gadis tadi memperjelas amanatnya.
Anggi bergeming. Matanya menatap tak berkedip pada gadis
malang itu. Gadis yang baru ditemuinya tapi seperti sudah lama
dikenalnya. Mata gadis itu mulai basah, bulir-bulir air suci mene-
tes di pipinya yang terus mengalir tak terbendung hingga jatuh di
gaunnya yang lusuh. Tangan mungilnya yang terikat tak kuasa
mengusap air itu dari pipinya. Anggi tak ingin membiarkan bulir-
bulir itu terus mengalir. Saat hendak membantu mengusapnya
dengan ujung hijabnya, gadis itu menyuruhnya untuk segera pergi.
“Cepat kamu tinggalkan tempat ini sebelum terlambat!”
Kata gadis itu sengit. Anggi kaget dan ketakutan ketika melihat
mata gadis itu memerah.
“Pergi kamu!” Hardik gadis itu lagi. Anggi semakin heran
dan ketakutan.
“Pergi! Cepat!” Gadis itu kembali menghardik.
Belum sempat Anggi bicara, tiba -tiba dari arah luar ter-
dengar derap kaki mendekat ke arah rumah sambil mengeluar-
kan suara-suara yang tak jelas membuat bulu kuduknya me-
rinding.
“Suara apa itu?” Anggi bertanya dengan perasaan yang tak
menentu. Belum juga mendapat jawaban tiba-tiba di hadapannya
telah berdiri sesosok mahkluk hitam tinggi besar dengan tangan-
nya yang kekar bersisik, kuku-kukunya tajam siap untuk men-
cengkram. Anggi segera mengambil langkah seribu menuju arah
hulu sungai sebagaimana yang diperintahkan gadis malang itu.

227
Anggi berlari dan terus berlari sambil berteriak-teriak minta
tolong. “Tolong, tolong, tolong aku!” Teriak Anggi. Teriakannya
didengar oleh semua orang yang ada di ruangan itu.
“Anggi, Anggi, bangun, istigfar Nak!” Kata Emak yang sudah
semalaman menangisi Anggi yang tak sadarkan diri.
Ketika siuman Anggi sudah berada di sebuah ruangan serba
putih dikelilingi oleh beberapa orang laki-laki berbaju putih
namun tak bersorban hijau melainkan berjubah hijau dan satu
diantaranya memegang sebuah jarum suntik kemudian menan-
capkannya pada selang infus yang sudah terpasang sejak Anggi
tak sadarkan diri.
“Mak, aku di mana?” Tanya Anggi pada Emak.
“Tenang, Nak. Kamu ada di rumah sakit. Kamu ditemukan
pingsan di tepian sungai. Untung kamu tidak tenggelam.” Kata
Emak sambil terisak. Emak memeluk Anggi seakan takut terjadi
sesuatu pada anaknya. Emak terus menangis sesenggukan sambil
tetap memeluk anaknya. Mata Emak sudah sembab karena tak
henti-hentinya menangis. Abah menenangkan Emak agar tidak
terus menangis.
“Sudah Mak, jangan menangis terus. Bersyukurlah anak
kita selamat” Kata Abah.
Kondisi Anggi semakin membaik. Dua hari setelahnya Anggi
diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Keluarga Anggi sudah lama meninggalkan kampungnya
yang terkena dampak pembangunan sebuah waduk. Mereka kini
tinggal di daerah relokasi yang jauh dari kampungnya semula.
Tidak semua orang dari kampung asalnya pindah ke tempat yang
sama. Banyak yang tak kuasa membangun kembali tempat ting-
galnya hanya karena tak ada harta berharga. Terpaksa yang se-
perti itu memilih tetap bertahan di tempat semula. Walau mereka
tak tahu sampai kapan waktunya. Waktu di mana jutaan kubik
air kan menggenang bahkan menenggelamkan semuanya.

228
Sore itu Emak ingin membuat acara syukuran atas selamat-
nya Anggi dari mara bahaya. Para tetangga diundang. Diantara
tetangga yang datang, saat itu ada yang bercerita bahwa di
kampung seberang hilir ada yang hilang tenggelam dan sudah
menginjak hari ketiga namun belum ada tanda-tanda akan di-
temukan. Berbagai dugaan saling mengemuka, mulai dari yang
masuk akal sampai yang berbau magis. Bahkan ada yang terang-
terangan mengatakan kalau korban sengaja dibawa oleh dede-
mit cai untuk dijadikan tumbal. Semakin lama cerita mereka
semakin menyeramkan. Anggi yang sejak tadi ikut menguping
obrolan para tetangga tiba-tiba menjerit histeris kemudian me-
nangis dengan amat memilukan. Anggi terus menangis mem-
buat semua orang kebingungan. Semua yang hadir membaca-
kan ayat-ayat suci untuk mengusir roh jahat yang mengganggu
Anggi. Setelah diobati oleh seorang Kyai, Anggi mulai tenang
walau masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Tak lama kemu-
dian Anggi pun siuman. Anggi menceritakan semua yang di-
alaminya yang membuat semua orang terkejut dan merinding.
Suasana sejenak hening mencekam.
Esok pagi saat mentari baru saja meninggalkan peraduan-
nya, Anggi dan warga kampung pergi ke hulu sungai ke tempat
keramat untuk berziarah memohon petunjuk dan pertolongan
dari Yang Maha Kuasa. Lepas itu mereka menuju hilir sungai ke
tempat yang ditunjukkan oleh pesan yang diterima Anggi dari si
gadis malang. Tepatnya di sebuah cadas yang menghampar di
tengah sungai yang di kenal orang dengan sebutan Cadas Ngam-
par. Pencarian dimulai dengan dipimpin oleh Pak Kyai yang
sudah hafal benar daerah itu. Seperti kebiasaan yang sudah ada
secara turun-temurun, jika sedang mencari orang tenggelam
maka biasanya masyarakat mengawali dengan menghayutkan
bantal yang biasa dipakai tidur oleh si korban. Hal itu pun di-
lakukan. Seseorang melempar bantal kapuk itu. Semua yang

229
menyaksikan menahan nafas menanti di mana bantal itu ber-
henti. Lama mereka mengikuti arah bantal itu mengalun di air.
Saat mendekati Cadas Ngampar bantal itu hanya berputar-putar
dan akhirnya berhenti. Para penyelam segera turun ke air
menuju ke arah bantal kapuk yang memutar. Pak Kyai dan para
kesepuhan serta masyarakat lainnya yang tidak berani turun
menyelam membantu dengan doa bersama. Selang beberapa
lama seorang penyelam berteriak.
“Ada kaki! Saya me… me… melihat ka… ka… kaki!” Teriak-
nya terbata-bata entah gugup atau takut. Para penyelam yang
lain segera berhamburan menuju ke tempat orang yang ber-
teriak di sebelah hilir dari Cadas Ngampar. Mereka menyelam
bersamaan di tempat itu, dan ketika mereka menyembul ke
permukaan mereka berhasil membawa sesosok tubuh perem-
puan seumuran Anggi dari dalam air. Seketika semua yang me-
nyaksikan berteriak histeris. Terlebih Anggi ia menjerit sambil
memeluk Emak ketika melihat dari arah dekat ternyata korban
adalah sahabat yang ia cari selama ini.
“Nita! Mak, itu Nita, Mak! itu Nita!” Jerit Anggi sambil ter-
isak yang kemudian tak sadarkan diri. Emak dan Abah dibantu
para tetangga segera membawa Anggi ke rumah. Dua tahun
lebih ia mencari sejak proyek raksasa itu ada. Kini mereka diper-
temukan walau di alam yang tak lain. Anggi berusaha tegar dan
ikhlas. Ia antar sahabat sejatinya ke tempat peristirahatan ter-
akhir dengan doa dan linangan air mata.

Sajira, Juli 2019

230
Genetika Lara

Salwa Rubia Darussalam

Aliansi antara aku dan kamu adalah mem-


“ bekuk plutokrasi dan mempertahankan ke-
punyaan kita. Jadi, ketika mereka ingin
mengambilnya, berontaklah, ambil kembali
milik kita!”
Panas hiraukan debu berterbangan di
persimpangan jalan, tak pedulikan kebun
taninya kering lantas mati, membiarkan
hewan ternak mati kepanasan—sebab mereka
tak diurus oleh majikan sejak satu dasawarsa
yang lalu. Penghuninya membisu, ada ke-
takutan dalam daksa yang hidup. Juga ketika
petang, desa itu tetaplah mati. Seperti hari
ini, ketika malam turun tanpa izin, cicak juga
tokek ikut membisu. Hewan melata itu se-
batas kedipkan mata, indikasikan hidup di
beberapa dinding yang terbuat dari anyam-
an bambu kasar. Jangkrik yang tiap gelap

231
turun dengan kekosongan mencekam hanya keluarakan reso-
nansi tak jelas, desibelnya mirip tangisan sebab kekejaman
yang dipertontonkan pada pelupuk mata. Ia juga tak tega meng-
intip di balik semak-semak ketika kepala-kepala itu terputus
dari anggota tubuh—yang jeritkan sumpah penuh kutukan pada
mereka. Kakostokrasi yang dengan kebengisannya tak tahu
malu merenggut kebahagian manusia-manusia di enam puluh
lima yang tak berdosa itu; yang hanya inginkan hidup tenteram
dalam rumah, yang ingin mendengar musik kesukaan para
petani di radio ketika rebahkan tubuh di amben reyot sambil
menyesap kopi buatan emak-emak mereka. Semua seolah mati
dalam ketakukan, dalam semangat-semangat yang bergelora.
Mereka hidup dalam kekejaman yang timpang dengan kedusta-
an; pembangunan konstruksi?—omong kosong.
Derap-derap langkah sepatu bot itu barangkali dapat mem-
bangunkan makhluk yang tengah terlelap pada malam-malam
mengerikannya, mereka banyak memilih bergelut dengan ran-
jang yang berderit keras bahkan saat tubuh mereka bergerak
sedikit, kendati sebenarnya puluhan pasang mata itu terjaga
sepanjang malam di rumah-rumah biliknya.
Eja membekap mulutnya ketika sepasang sepatu bot ber-
senggama dengan bentala di luar gubuk. Angin masuk dari celah
bilik, menusuk-nusuk kulit kecokelatan miliknya, bukti kerja
keras lelaki itu membakar diri di bawah terik matahari. Nadi-
nadinya berkedut-kedut di semenjana paling menyakitkan
kalau mau tahu, yang hijau dan toska saling aliri darahnya ke
jantung. Urat di tangannya agak sedikit menonjol, rahangnya
mengeras, tangannya terkepal, dari dalam, dan kedua netranya
terus mengawasi keadaan sekitarnya, mengintip dengan tatap-
an tajam—sirat penuh dendam—ia menggeram, saat salah satu
aparat bersenjata itu menebang sembarang pohon dengan golok
untuk dijadikan alas duduknya, sedang yang di sebelahnya

232
menghisap rokok sembari menyundut-nyunduti ujung rokok
pada kawan-kawan seperjuangannya yang diikat di beberapa
pohon rasamala—yang baru lima tahun lalu ia dan seluruh
warga desa menanamnya sama-sama.
Eja menoleh ke kiri, perhatikan presensi gadis paling di-
cintainya yang berjongkok, yang daksanya bergetar, gadis kem-
bang itu ketakutan setengah mati, tak pedulikan lagi bajunya
sudah berposisi di mana, lengan baju yang sudah sobek pada
bagian ketiaknya, kemudian rambut yang terikat ke atas mem-
perlihatkan leher jenjang gadisnya, dan itu barangkali bisa
membuat uvula miliknya naik turun, menahan diri agar si jago-
an itu tak menegang dan membuat jantungnya berpacu cepat.
Keadaan dirinya juga tak jauh berbeda, badan bongsornya ber-
keringat, bajunya sudah tak dikenali lagi warnanya; basah di
bagian dada dan punggung, barangkali pengejaran kemarin lusa
penyebab ia tak mandi, rambutnya basahi epidermis pada bagi-
an kening, dan percayalah itu bisa saja membuat gadis di sam-
pingnya menjerit-jerit tak karuan jika keadaannya tidak seperti
sekarang. Persetan dengan suguhan itu semua. Dua manusia
itu hanya pikirkan keselamatan saja. Keduanya hanya saling
tatap—seolah bibir mereka sudah membisu. Hanya bahasa
genggam yang dapat dipahami ketimbang dengan kata-kata
yang keluar dari kerongkongan. Tatapan mata saling menya-
lang—seolah cinta dan kematian bertubrukan di garis mata
mereka. Eja melepas tautan tangannya dengan Ratna, beralih
dengan meremat halus pundak gadis itu yang terkulai lemah.
“Dengar Ratna, aku akan keluar sekarang, menemui kawan-
kawanku yang masih selamat di luar sana,” desibel yang mirip
bisikan itu membuat Ratna mendongak, bibirnya kering, ada
sedikit bagian yang mengelupas—gadis itu hanya mengerutkan
kening tanda tanya. “Kamu harus menyelamatkan diri, Rat.”
Eja melanjutkan ucapannya pelan, sambil mengusap pundak

233
gadisnya yang begitu kurus; tulang selangkanya mirip ceruk
tanah yang digali begitu dalam—netra elang itu hanya siratkan
tulus penuh cinta pada Ratna dan ia bersungguh-sungguh me-
ngatakannya.
“Kamu gila? Aku yang membentuk Adowari! Akulah yang
sedang dicari-cari oleh kumpulan keparat itu! Jangan coba-
coba memerintahku! Dan jangan barang sejengkal pun kamu
beranjak dari tempat ini!” Ratna menekan kata-katanya dengan
rasa amarah, mana bisa ia harus pergi sendiri lantas meninggal-
kan lelakinya berjuang sendirian. Percayalah, dalam hidupnya
ia tak akan pernah ingin menganut sistem patriarki. Omong
kosong dengan premis bahwa lelaki haruslah menjadi pemimpin,
yang harus selalu membuat keputusan, laki-laki memiliki otoritas
penuh terhadap perempuan.
Perempuan itu harus kuat, perempuan itu tidak harus me-
lulu lemah di bawah laki-laki, itulah pedoman yang selalu Ratna
bawa ke mana-mana. Kendati, Eja tahu betul gadisnya itu begitu
lemah pada beberapa konotasi, namun ketika menyangkut
Adowari, Eja harus mengalah untuk gadisnya, karena Ratnalah
penggerak para pemuda Desa Lebaksitu untuk bergabung
dengan kelompok yang mereka bentuk enam tahun lalu. Ratna
jugalah sumber informasi untuk aksi pemboikotan Adowari ke-
pada para diktator yang terus lahir di desa mereka—gadis ber-
surai hitam itu adalah anak kepala desa, bapaknya adalah peme-
gang kuasa atas desanya, yang dengan pengecutnya mau-mau
saja diajak berkoalisi dengan pemerintah agar pria paruh baya
itu aman sendiri, dengan manjadikan tanah milik alam yang
telah leluhur warisi turun-menurun kepada masyarakat sebagai
tumbal. Tanah mereka yang begitu subur dan hijau di pedalam-
an Lebaksitu harus direlakan begitu saja untuk dirusak. Bangsat!
Demi apa pun, Eja membenci Qomarudin, kendati ia mencintai
anak dari pria umur lima puluhan itu setengah mati. Barangkali

234
pada malam-malam seperti ini, orang tua itu tengah mendeng-
kur sambil menikmati jeritan warga lewat mimpi.
“Aku harus menolong kawanku Ratna, demi tanah kita, aku
mencintai tanah airku, dan aku harus melakukan ini!”
“Kamu tolol, Ja. Tolol, tolol sekali.” Desibel gadisnya mele-
mah, kepalanya menunduk, gadis itu sama sekali tidak menangis
sebab air matanya telah kering, jadi ia hanya gertakan gigi-
geliginya—keluarkan rasa sakit yang menekan-nekan dadanya
yang sakit sekali.
Gadis itu tahu, ialah penyebab terendusnya Adowari—ke-
lompok pemberontak yang ia dan Eja bentuk bersama para
pemuda di Desa Lebaksitu. Tak peduli dengan jenis kelamin,
mereka yang memiliki semangat juang untuk menghentikan
pembangunan konstruksi di bawah kaki Gunung Endut yang
kokoh abadi terpandang. Mereka terus melakukan aksinya agar
bisa merebut kembali tanah mereka dan kemarin lusa adalah
kebodohan Ratna, menyimpan sembarangan data anggota
aparat-aparat asing yang sudah ia tandai untuk mereka bunuh
satu persatu. Gadis itu menaruh di atas meja di kamarnya dan
Qomarudin—bapaknya menemukan kertas itu. Pria paruh baya
itu geram, lantas mencari Ratna yang tengah melipat baju di
pelataran rumah.
“Ratna! Apa ini? Jelaskan ke Bapak! Geura!” pria itu ber-
teriak kencang membuat Ratna hampir terjungkal dari tempat
duduknya.
Ditanya seperti itu, Ratna kebingungan, namun ia sadar
dengan gulungan eksamplar yang bapaknya pegang. Air muka-
nya menegang, namun ia tahu, ini adalah titik di mana ia harus
memberontak secara terang-terangan terhadap Qomarudin.
“Kami memberontrak atas dijualnya tanah ke pemerintah, Pak!
Itu namanya merusak alam! Sadar, Pak! Bukan karena Bapak

235
kepala di desa ini, kemudian bisa semena-mena menjual waris-
an leluhur pada orang-orang gila itu, Pak!”
Pernyataan Ratna membuat Qomar merah padam di tem-
patnya berdiri. Pria itu masuk ke dalam rumah, lantas keluar
lagi dengan membawa golok di tangan kanannya. “Kamu me-
lawan Bapak? Ha?! Apa yang kamu tahu? Bapak melakukan ini
semua adalah untuk kamu! Keselamatan kamu Ratna!”
“Ratna enggak butuh uang haram itu, Bapak! Kami, Adowari,
cuma ingin tanah kita kembali!”
“Anak durhaka kamu! Sini! Kupenggal saja kepalamu itu!”
Qomar hendak menarik lengan Ratna, tatapannya begitu bengis.
Namun pria paruh baya itu kalah cepat dengan Ratna yang lang-
sung melarikan diri keluar dari halaman rumahnya yang di-
batasi pohon-pohon kelor setinggi dua meter, menghindar dari
bapaknya yang sudah mengacungkan golok ke arahnya, “Jangan
cari Ratna!”
“Mau kemana kamu Ratna?!”
Sedangkan Ratna terus berlari meninggalkan rumahnya,
sebelum ia dikejar oleh orang-orang suruhan bapaknya. Dalam
pelariannya gadis itu mendengar sayup-sayup teriakan Qomar,
“Cari Ratna! Dan laporkan kelompok pemberontak itu pada
aparat pemerintah! Cepat!”
Ratna berjalan terseok-seok ke arah gubuk kecil yang di-
tutupi tanaman rambat yang ketika ia singkap tumbuhan itu
dilihatnya lampu temaram di dalamnya menyala. Ia masuk ke
dalam, semua orang terkejut dengan presensi Ratna dalam ke-
adaan kacau balau.
“Adowari, Bapakku tahu tentang kelompok kita.” Ratna
menatap kosong ke arah kekasihnya yang tengah tatapi dirinya,
“Maafkan aku, aku begitu ceroboh,” tangisnya pecah seketika,
membuat Eja dan kawan-kawannya membelalakan mata sebab
terkejut dengan kabar yang dibawa Ratna. Tak berapa lama

236
mereka memikirkan rencana selanjutnya untuk aksi mereka,
tiba-tiba sebuah peluru membom-bardir markas milik mereka,
terjadilah aksi pengejaran. Dengan dzalimnya Qomar menjadi
komandan untuk meluluhlantakkan semua anggota Adowari dan
sama sekali tak pedulikan anaknya sendiri. Semua anggota satu
persatu ditangkap, diawali dengan Alakte Damiawa—sepupu laki-
laki Eja yang tengah membalas tembak dari balik pohon, namun
kemudian terbunuh oleh aparat bersenjata—dan Eja, melihatnya
dengan mata kepala sendiri, ia tak bisa sama sekali menolong,
sebab dia terbawa arus pelarian kawan-kawannya yang menarik
tubuhnya agar menjauh dari tempat itu.
“Dengar aku, Ratna. Kamu harus pergi dari sini.” Kali ini
Eja berbisik putus-putus pada Ratna, perasaannya penuh sesak,
bibir tebalnya terasa dingin akibat angin malam menerpa
dirinya dan air mata sudah seberangi pipi, mengalir lurus, dan
deras. Sedang gadis itu mematikan tangisan Eja. iIa menatap
mata lelakinya dengan tajam kendati keningnya berkedut-kedut
akibat rasa sesak yang menekan-nekan dadanya, “Tidak ada
perintah, Eja Samoeji! Akulah pimpinan di sini.” Lantas perin-
tah itu keluar begitu saja dari mulut seorang Ratna Damiasih,
perintah yang begitu murni untuk dilakukan olehnya. Ratna
terlalu berani, bahkan untuk mati sekali pun. “Kalau kau mati,
aku juga mati. Jadi tetaplah diam di sini—”
Eja berbohong kalau ia tidak takut sama sekali dengan
aparat-aparat bersenjata itu. Ia hanya lebih bertendensi pada
hidup Ratna yang harus tetap lestari sampai Adowari meng-
ambil kembali apa yang para kakostokrasi itu ambil. Ratna harus
hidup untuk reformasi, agar Adowari tidak kehilangan mereka
yang membentuknya.
“Rat, tidak ada kata ‘kita’ untuk kematian.” Eja memutus
ucapan Ratna. Lantas Ratna menggeleng kuat, bibirnya nyaris
berdarah karena terlalu kencang ia gigit, “Kamu goblok, Eja.

237
Terus aku membiarkan kamu mati begitu saja?” Gadis itu meng-
geleng lagi, dan menangkup pipi Eja yang lengket. “Bukan tugas
kamu untuk sampai ke titik darah penghabisan, bukan kamu.”
“Aku ini rakyat, Ratna. Kalau kamu lupa.” Lalu hening di
antara mereka berisik sekali, dihiasi dengan percakapan kecil
dari aparat-aparat yang berada nun jauh di luar sana. Ratna
membersihkan wajahnya dengan telapak tangan, kemudian
bibirnya yang asin itu menciumi bibir Eja, berantakan dan tanpa
rasa; hambar. Eja membalas Ratna dengan memeluk erat tubuh
gadis itu.
“Kalau aku enggak pulang, bukan berarti ini sia-sia, Rat.
Karena Tuhan selalu menyebut semua kata, kecuali ‘sia-sia’.”
“Kamu goblok!” Kendati mengatakan itu, Ratna membalas
pelukan Eja. Menatap mata teduh yang mirip awan rindang saat
mega-mega hitam itu membunuh mereka sampai mati. Dan laki-
laki itu berpikir ribuan strategi yang akan ia lakukan nanti di
luar sana, karena ia harus selamat, ia harus menyampaikan hal
ini untuk ribuan pemuda dan pelajar yang juga berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Bedanya, ia hanya harus merebut
kembali milik leluhur, karena tugasnya adalah untuk menjaga
dan melestarikan tanah kelahirannya. Eja berpikir bahwa diri-
nya benar, bahwa ia harus membuat Ratna tetap hidup untuk
mengestafet perjuangan ini—meski ia dan Ratna harus berpisah
di sini. “Desa ini harus lepas dari rezim, Eja.” Ratna pamit dan
Eja mengangguk, memperhatikan gadis itu yang mengendap-
endap pada tanah, lalu keluar melalui lubang yang akan mem-
bawanya ke hutan. Gerak bibir Eja terlihat begitu jelas dalam
gelap ketika gadis itu menoleh ke belakang, mengatakan bahwa
laki-laki itu mencintai dirinya.
“Kamu memang goblok, Eja.” Laki-laki itu hanya ter-
senyum, paham dengan pengungkapan yang Ratna lontarkan
memang berbeda—rasanya lebih manis dicecap ketimbang

238
dengan puisi cinta yang sering ia tulis untuk Ratna. Gadis itu
menghentikan langkahnya dan mendapati Eja sudah hilang dari
disparitasnya, sampai ia mendengar sesuatu yang memekakkan
telinga memukul-mukul gendang telinganya. Namun gadis itu
terus memaksa kaki-kakinya untuk terus membawa tubuhnya
keluar dari tempat itu; menahan diri untuk tidak menangis—
tanpa air mata—lagi.
Satu tahun telah lewat setelah aparat-aparat itu di musnah-
kan oleh Adowari yang dibantu oleh para pasukan loreng di
daerah Banten dan Ratna melewati itu semua dengan kesendiri-
an. Setiap hari gadis itu menunggui Eja di bawah kaki gunung
Endut, yang berada di tengah-tengah ratusan hektar sawah
yang terhampar luas. Dengan mengenakan payung hitam, ia
duduk di bawah batu besar sambil menatap kosong angin yang
menerpa wajahnya; namun ia hanya dapati kekosongan sampai
keriput menyapa epidermisnya, sampai tulang membungkuk
menegakkan rusuk.
Ratna mencintai Eja; yang tidak pernah berjanji akan
kembali. (*)

239
240
Memasung Cinta Ramadan

Saroh Jarmin

aksana kembang, kampungku layu. Tidak lagi


L mekar seperti dalam ingatanku. Padahal aku
hanya meninggalkannya untuk sementara
waktu.
“Neng.” Sapa seseorang kepadaku. Karena
memang hanya aku yang ada di sini. Berdiri
terpaku memandang masjid yang lapuk. Tanpa
nyawa. Atap yang semakin miring, tembok
yang tak lagi menyelimuti batu bata, kubah
yang nyaris hancur dan tak berbentuk, serta
lantai yang sebagian besarnya kembali men-
jelma tanah.
“Neng Aisyah?” Sapanya lagi sambil me-
mastikan. Karena aku masih saja menatap
tak percaya dengan kondisi masjid di kam-
pungku ini. Bagaimana bisa? Abah, ayahku
yang juga sesepuh kampungku membiarkan
tempat ibadah kami lapuk seperti ini. Aku
masih tidak habis pikir.

241
“Neng Aisyah sudah pulang?” Tanyanya kepadaku. Kali ini
aku menoleh.
“Bi Inah?” Aku memastikan bahwa perempuan yang hampir
60 tahun ini masih sangat kuingat namanya.
“Iya, Neng.” Jawabnya dengan seulas senyum.
“Baru datang, Neng? Kok ke masjid? Tidak langsung ke
rumah?” Tanyanya sambil menilik tas besar dan koper di
sebelahku.
“Iya. Tadi mobil yang mengantar hanya sampai di sini.”
Jawabku menjelaskan.
“Mau bibi bantu, Neng? Biar bibi bawakan kopernya.”
Tanyanya lagi sambil menawarkan bantuan.
“Iya, Bi. Boleh. Terima kasih, ya.”
“Sama-sama, Neng. Ayo!” Jawabnya sambil menarik koper
dari sebelahku.
Rumahku sekitar dua ratus meter dari masjid. Sebenarnya
aku berniat menelepon Abah untuk menjemputku. Tapi urung
karena Bi Inah bersedia membantu. Dari sejak turun dari mobil
travel, aku hanya bertemu Bi Inah yang kebetulan lewat di
depan masjid. Kampung tampak sepi. Tidak heran memang.
Jam pagi menjelang siang seperti ini orang-orang di kampungku
banyak yang beraktivitas di sawah atau kebun. Mayoritas
mereka adalah petani. Sedikit dari mereka ada yang berjualan
ke pasar, menjadi kuli bangunan, atau menjadi gurandil1 di pe-
nambangan emas liar di gunung. Tiba-tiba aku teringat dengan
pekerjaan Bi Inah, yang sebelum aku pergi belajar, ia dikenal
sebagai penjual kue basah tradisional. Kue-kuenya sangat laris
karena semua orang mengakui rasanya yang sangat enak.

1
Sebutan untuk orang-orang yang menjadi buruh tambang emas.

242
“Bi Inah masih jualan kue?” Tanyaku memecah hening di
antara langkah kami.
“Tidak, Neng. Tidak jualan lagi.” Jawabnya tegas. Tampak
ia menghentikan langkah dan sejenak mata kami bersitatap.
“Sudah lama, Neng.” Lanjutnya. Ada desah kecewa.
“Kok?” Kukerutkan keningku.
“Begitulah, Neng. Semua serba mahal. Semua berubah. Di
pasar juga semakin banyak kue yang dijual. Lebih murah dan
mungkin lebih enak.”
“Oh….” Pendek saja responku, meskipun banyak tanya yang
berjejal di benak.
Sesampainya di rumah, Abah dan Umi menyambutku. Bi
Inah langsung pulang setelah aku mengucapkan terima kasih
kepadanya. Aku langsung beristirahat sambil meresapi kerin-
duan kepada kampungku yang belum terbalaskan.
Hampir enam tahun meninggalkan kampungku tanpa
pernah pulang ternyata banyak hal yang lepas dari pengetahu-
anku. Abah dan Umi sangat jarang bercerita. Mereka selalu
menyampaikan kabar yang baik setiap kali kami berkomunikasi
lewat telepon. Dan hari ini saat aku kembali menginjakkan kaki-
ku, tiba-tiba ada rasa yang entah namanya. Miris, pilu, sedih,
prihatin, atau apa namanya, yang pasti aku hanya membayang-
kan kampungku yang dulu. Masjid yang elok, kampung yang
mekar dan berseri, orang-orang yang selalu ramah, suara anak-
anak kecil yang ribut bermain dan berlarian sebelum mengaji
di waktu magrib, dan aroma kue-kue basah Bi Inah di pagi hari.
Pagi sekali, selepas subuh, aku ke luar rumah. Berniat untuk
olahraga ringan dan menuntaskan kerinduanku pada segarnya
udara pagi di kampungku. Di persimpangan, aku berhenti.
Sejenak berpikir memilih arah. Tapi naluriku malah mengajakku
berjalan lurus untuk mengunjungi rumah Bi Inah. Aku benar-
benar rindu dengan kue-kue basah Bi Inah.

243
“Neng Aisyah? Pagi-pagi sudah ke sini. Aya naon 2 ?”
Tampak keheranan di wajah Bi Inah ketika aku sampai di depan
pintu rumahnya yang terbuka. Aku hanya tertawa.
“Sampai saya tidak sempat mengucapkan salam, Bi.”
Kelakarku.
“Maaf, Neng. Atuda reuwas Neng Aisyah enjing-enjing ka
dieu. Mangga.”3 Bi Inah mempersilakanku masuk ke rumahnya.
“Maaf juga, Bi. Tidak bermaksud mengagetkan Bi Inah. Saya
berharap semua yang Bi Inah sampaikan kemarin itu bohong.
Soalnya saya rindu sekali dengan kue-kue Bi Inah.” Harapku
sambil tersenyum.
“Oh, Leres, Neng. Bibi tos teu icalan deui.” 4 Kesedihan
tampak nyata di wajahnya. Kursi kayu yang kududuki sedikit
mendecit seakan membenarkan kesedihan itu.
“Naha 5, Bi?” Tanyaku pelan. Kupegang tangannya yang
mulai keriput.
“Duka, Neng. Kirang terang6. Mungkin karena orang-orang
sudah tidak lagi menyukai kue-kue buatan Bibi.” Tipis sekali
senyumnya.
“Hmm.” Gumamku.
“Tapi kalau ada hajatan atau kenduri, Bi Inah masih sering
dapat pesanan kan? Terutama kue pasung. Kue kesukaan saya,
Bi.”
“Teu aya7, Neng. Orang-orang lebih memilih kue dari pasar.”
“Oh. Tapi kalau bulan puasa orang-orang masih pesan kue
pasung kan, Bi? Soalnya saya rindu sekali. Lima tahun lebih di

2
Bahasa Sunda artinya “ada apa”.
3
Bahasa Sunda yang artinya “Kaget karena pagi-pagi sudah ke sini”.
4
Bahasa Sunda yang artinya “Betul, Neng. Bibi sudah tidak berjualan lagi”.
5
Bahasa Sunda yang artinya “mengapa”.
6
Bahasa Sunda. “duka” dan “kirang terang” artinya sama, yaitu “tidak tahu”.
7
Bahasa Sunda yang artinya “tidak ada”.

244
negeri orang. Selama itu pula saya tidak memakan kue pasung.
Rasanya ingin cepat bulan puasa deh.” Iya. Itulah maksud sebe-
narnya aku datang pagi-pagi buta ke rumah Bi Inah. Kue pasung.
Kue yang hanya dibuat ketika bulan puasa dan jika ada per-
helatan seperti hajatan atau kenduri, terutama resepsi per-
nikahan. Itu pun tidak semua orang akan membuatnya. Berbeda
jika di bulan puasa. Kue pasung akan menjadi primadona, ter-
utama pada malam kedua puluh satu, setelah dua puluh hari
berpuasa. Membayangkannya, membuatku tidak sabar ingin
segera sampai di bulan puasa. Padahal masih sekitar dua bulan
lagi.
“Neng Aisyah belum tahu?” Bi Inah bertanya. Memecahkan
lamunanku tentang kue pasung.
“Apa, Bi?”
“Beberapa tahun ini kue pasung sudah tidak dibuat lagi
pada bulan puasa.” Terdengar lemah suara Bi Inah. Gurat ke-
sedihan mengambang di wajahnya.
“Kenapa, Bi?” Tanyaku penuh selidik. Aku benar-benar di-
kejutkan dengan kabar ini. Kue yang tampilannya seperti bentuk
es krim kerucut itu sudah tidak dibuat lagi? Mana mungkin? Itu
kan milik kampung kami. Walaupun kue itu hanya dikukus dan
terbuat dari adonan tepung yang dicampur santan, tapi hanya
kampung kami yang bisa membuatnya. Kue itu tradisi kampung
kami. Hanya di sini, di Kampung Cipanas 8 ini, kue itu bisa
ditemukan.
“Mungkin Abahnya Neng Aisyah lebih tahu.” Jawab Bi Inah
tanpa penjelasan. Dan kisah nasib kue pasung ini kubiarkan
menggantung di langit pagi yang masih bersemburat jingga.

8
Nama sebuah kampung di Kabupaten Lebak, Banten.

245
Obrolan di pagi itu pun berlanjut. Bi Inah kemudian men-
ceritakan bagaimana kini ia harus hidup setelah tidak berjualan
kue-kue basah. Aisyah merasa prihatin dengan kondisi Bi Inah
yang tampak semakin kesulitan membiayai hidup tiga anaknya
yang yatim. Bahkan salah satu anaknya terpaksa berhenti se-
kolah dan lebih memilih bekerja untuk membantu ibunya yang
menjadi buruh cuci. Kue-kue Bi Inah tergeser popularitasnya
oleh kue-kue yang lebih modern yang banyak dijual di pasar.
Sebagian masyarakat menganggap kue-kue di pasar lebih
murah, lebih mudah didapat, dan dikemas lebih praktis.
Di rumah, aku menyempatkan diri bertanya kepada Abah.
Mencari jawaban atas banyak pertanyaan di benakku. Tentang
masjid, tentang bulan puasa, dan tentang kue pasung. Abah
menjelaskan semuanya. Renovasi masjid terbengkalai karena
uang bantuan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari mas-
yarakat dibawa pergi oleh Mang Suminta, orang di kampungku
yang dipercaya menjadi bendahara pembangunan masjid. Tra-
disi kue pasung di bulan puasa awalnya hanya dihentikan se-
mentara karena masyarakat sepakat untuk berhemat dan uang
yang biasanya digunakan untuk membuat kue pasung akan di-
kumpulkan untuk merenovasi masjid. Tapi ternyata tradisi
yang awalnya hanya akan dihentikan selama dua kali bulan
puasa itu berlanjut sampai sekarang. Masyarakat seolah hilang
kepercayaannya kepada Abah. Sebagai sesepuh kampung,
Abah tidak mampu lagi mengendalikan amarah warga. Mang
Suminta, yang waktu itu ditunjuk langsung oleh Abah dan di-
amanahi untuk memegang uang sumbangan masyarakat malah
berkhianat. Uang kas masjid hasil sumbangan masyarakat itu
raib dibawa pergi. Entah ke mana. Tidak ada jejaknya. Tidak
ada saldo yang tersisa dalam rekening bank. Padahal selama
ini hanya Abah dan Mang Suminta yang bisa mengambilnya
dari bank. Rumah Abah yang ramai oleh anak-anak belajar

246
mengaji menjadi sepi. Masjid pun kian sunyi, bahkan ketika
bulan puasa. Tidak ada lagi suara bedug yang dipukul riuh. Tidak
ada lagi selawatan lewat pengeras suara yang ditimpali tawa
renyah anak-anak. Abah ditinggalkan. Masjid terabaikan.
Namun Abah tetap berusaha untuk kembali membesarkan
masjid. Terus mengajak orang-orang untuk melaksanakan salat
di masjid. Meskipun masjid belum juga ramai dan tradisi kue
pasung pada bulan puasa belum kembali. Kulihat buliran
bening menggenang di mata Abah seusai ia bercerita panjang
lebar kepadaku.
Kue pasung itu, lagi-lagi sangat kurindukan. Bukan hanya
rindu dengan rasanya, tapi juga sungguh aku rindu dengan
geliat kampungku di bulan puasa. Pada malam kedua puluh
satu itu kami akan berkumpul di masjid setelah salat tarawih
untuk bersama-sama berdoa dan mengucapkan syukur kepada
Allah swt. karena sudah dua puluh hari menjalani puasa. Pada
malam itu, bernampan-nampan kue pasung dihidangkan. Ada
kue pasung berwarna putih yang rasanya gurih, disebut pasung
putih, dan ada kue pasung yang berwarna cokelat yang rasanya
manis karena adonannya dicampur dengan gula jawa atau gula
aren, yang disebut pasung beureum9. Kue pasung yang ber-
bentuk kerucut dan dibungkus daun pisang itu dianggap sebagai
simbol bahwa perjalanan bulan puasa sudah mengerucut dan
sebentar lagi akan berakhir. Untuk itu, janganlah menyia-nyia-
kan waktu untuk beribadah dan memohon ampunan kepada
Allah Swt. Jika kami lulus dalam berpuasa hati kami akan men-
jadi bersih seperti kue pasung yang berwarna putih. Sebaliknya,
jika kami tidak lulus dalam menjalani ibadah puasa, hati kami
tetap kotor seperti kue pasung yang berwarna cokelat atau

9
Bahasa Sunda yang artinya “merah”.

247
merah dalam bahasa kami. Kami sangat meyakini itu. Tinggal
kami memilih yang mana.
Hampir sebulan aku di rumah sejak kepulanganku. Aktivi-
tasku masih belum banyak. Niatku melamar pekerjaan menjadi
guru di sebuah pondok pesantren di kotaku masih kutunda. Se-
lepas maghrib aku membantu Abah mengajari anak-anak yang
belajar mengaji di rumah. Meskipun belum seramai dulu, tapi
banyak anak yang sudah mau dan diizinkan lagi oleh orang tua-
nya untuk belajar mengaji kepada Abah. Selain itu, setiap satu
kali dalam sepekan aku mengajak anak-anak perempuan untuk
belajar membuat kue basah di rumah Bi Inah. Jika berhasil,
kue-kue itu akan kami jual dengan menjajakannya berkeliling
kampung. Jika tidak, kami akan memakannya bersama-sama
sambil sesekali tertawa lepas karena kue yang kami buat ter-
paksa gagal.
Rinduku kepada suasana kampungku yang dulu perlahan
mulai terobati. Sampai akhirnya, Ramadan datang. Bersama
orang tuanya, ia menemui Abah dan Umi. Dan ternyata ke-
datangannya itu untuk melamarku.
“Aisyah, ini Ramadan. Anaknya Pak Anwar, sahabat Abah
dari kampung sebelah. Rama baru saja pulang kampung sama
sepertimu. Tapi Rama bukan pulang karena lulus kuliah, tapi ia
pulang karena ingin meminangmu.” Sampai di situ kalimat Abah
yang tanpa basa-basi benar-benar membuat wajahku bersemu
merah. Aku yang duduk di sebelah Umi tak kuasa mengangkat
wajah. Hanya tertunduk. Di depan kami, Ramadan dan orang
tuanya, mungkin juga sedang memperhatikanku.
“Rama ini ternyata seorang arsitek, Aisyah. Abah juga baru
mengetahuinya. Ia juga punya usaha kecil-kecilan berjualan
alat dan bahan bangunan. Kalau yang ini Abah tidak heran,
karena ini pasti menurun dari Pak Anwar yang juga pengusaha

248
alat dan bahan bangunan.” Aku semakin menunduk. Membiar-
kan Abah bercerita tentang sosok Ramadan.
“Dan kalau Aisyah bersedia sebentar saja mengangkat wajah
dan berkenan melirik ke arah Rama, pasti Aisyah juga akan
sepakat dengan Abah kalau Rama ini juga gagah dan tampan.”
Terdengar suara tawa Abah diringi dengan riuh suara tawa Umi,
Ramadan, dan orang tuanya. Entah dengan aku. Hanya menun-
duk dan pasti wajahku makin merah padam.
“Rama juga punya latar belakang pendidikan agama yang
cukup baik. Lulusan pesantren juga. Sama seperti Aisyah.”
Lanjut Abah.
“Sehingga tidak ada alasan bagi Abah untuk tidak menerima
lamarannya.” Kalimat Abah telah meruntuhkan pertahananku
menekan gemetar dan debaran di sekujur tubuh. Keringat
dingin menjalar deras. Kali ini pastilah wajahku tidak hanya
memerah, tapi juga basah.
“Tapi, keputusan bukan pada Abah. Tapi pada Aisyah.”
Abah menutup pembicaraannya. Ruang tamu rumahku hening.
Elusan tangan lembut Umi di pundakku sangat menenangkan.
Sembari menarik napas, aku memberanikan mengangkat
wajahku.
“Aisyah terima, Abah. Tapi Aisyah minta tolong.” Tidak
lancar, pun tidak sangat ringan kalimat itu meluncur dari
bibirku. Aku meyakinkan diriku bahwa permintaanku tidak
akan memberatkan Rama. Aku juga berharap permintaanku
akan mengembalikan kampungku agar tidak lagi layu dan tradisi
yang hilang itu kembali menghidupkan kampungku. Setelah
Abah bertanya tentang permintaanku, akhirnya aku menjelas-
kan semuanya. Aku meminta agar Rama bersedia merenovasi
masjid di kampungku yang sudah rusak sebagai mahar pernikah-
an kami. Selain itu, aku juga meminta pernikahan kami dilak-
sanakan pada malam kedua puluh satu bulan puasa. Itu artinya

249
kurang lebih sebulan lagi dari sekarang. Aku pun meminta agar
disediakan kue pasung yang banyak untuk menjamu para tamu
dan masyarakat yang hadir dalam pernikahan kami. Kulirik
Abah di sebelahku yang tampak menghela napas sesaat setelah
aku selesai menjelaskan permintaanku. Tergambar rasa kha-
watir dan cemas pada raut mukanya. Mungkin Abah tidak enak
hati kepada Rama dan keluarganya. Di hadapan kami Rama tam-
pak beradu pandang dengan orang tuanya meminta persetuju-
an. Kulihat Pak Anwar dan istrinya mengangguk dan tersenyum
penuh arti. Saat itu, untuk pertama kalinya kulihat Ramadan
yang juga tersenyum penuh ketulusan. Sejenak mata kami ber-
temu. Dan sepertinya hati kami pun mulai terpasung.

Cipanas-Lebak, Juli 2019

250
Dosa di Tanah Pancer Bumi

Silvia Zahotun Nisa

atah bernapasnya berkurang hari ini. Di-


J rayakan irama kelembutan air mengalir
dingin menembus nadi. Tatapannya gelap
tertutup kelopak mata. Udara segar mem-
buru mengisi paru-parunya. Sampai saat itu,
ia masih tak peduli telinganya di jejali banyak
panggilan.
Kelopaknya dibuka. Udara segar menye-
rang mata. Aroma tanah kelahiran dihirup
sempurna dua lubang hidungnya. Merakit
seuntai garis lengkung bibirnya. Tapi sekali
lagi, ia masih tak peduli telinganya sedang
dijejali banyak panggilan.
“Jalu! Mau diam saja di situ? Tidak mau
bantu Abah?” Isi jejalan telinganya adalah
teriakan sang ayah. Pria paruh baya yang kini
menopangkan kedua tangannya di pinggang.
“Kalau tidak mau ya sudah, pulang saja sana

251
atuh ke rumah.” Sekali lagi, ayahnya berteriak memanggil anak
lelakinya.
“Iya, Abah, sini atuh Jalu bawa duriannya.” Anak itu meng-
hampiri sang ayah. Mengambil sebongkah untaian buah durian
hasil susunan ayahnya. Dipikulnya buah itu, lalu keduanya ber-
iringan keluar dari hutan.
Rakyat Kanekes menebar tawa hari ini. Hasil panen tahun
ini sudah terlihat. Durian, manggis, rambutan, pisang bahkan
padi adalah hasil alam Kanekes yang banyak ditunggu. Para
langkah kaki kini tengah sibuk menapaki hutan. Tangannya me-
nangkap tangkai pepohonan, menyisir manis hasil bebuahan.
Lalu pulang penuh kegembiraan.
Rumah Jalu terletak di tengah pemukiman Baduy dalam.
Tempat penganut adat yang mendalam. Pikukuh dan Pitutur,
sebutan rakyat Kanekes tentang adat yang tak boleh dilanggar.
Tak boleh ada yang melewati batas adat yang telah dibuat. Jan-
tung kehidupan warga Kenekes bisa dibilang. Roda hidup
mereka diatur di sana.
Durian dan hasil panen lainnya disimpan Jalu di dapur
rumahnya. Tangannya cekatan menyusun satu per satu hasil
alam itu. Dari balik bilik ruang tengah rumahnya, wanita paruh
baya muncul dengan senyum di wajahnya.
“Kumaha panennya Jalu? Bagus?” Kakinya turun ke tanah
dapur, mendekati lubang tungku, melihat apinya. “Bagus
Ambu, ini dapat banyak.” Terang Jalu.
“Enya atuh, kalau sudah beres sana langsung mandi.” Suara
ibunya tersekat dihantam asap tungku. Diraihnya daun pisang
penutup dandang beban perapian. Uap hasil nanakan nasi me-
ngepul pas mengenai wajahnya, hal itu berhasil membuat mata-
nya menyipit.
Jalu hampir selesai menyusun hasil panennya. Diletakkan-
nya satu sisir pisang di tumpukan paling atas, lalu ditutupnya

252
tumpukan itu dengan plastik besar transparan. “Huh.” Napas
diembusnya dengan lega. Ia melepas ikatan putih di kepalanya,
lalu duduk di kursi kayu ibunya.
Sementara sang ibu masih sibuk dengan gunungan nasinya
yang baru matang, tubuh Jalu bersandar lebih dalam di bahu
kursi hampir tertidur. Kakinya yang tanpa alas digerak-gerakan-
nya di kolong kursi. Menepis beberapa nyamuk yang ingin me-
nikmati segar darahnya.
“Jalu! Kenapa jadi tidur? Tadi pan Ambu suruh kamu mandi.
Sana gera mandi bisi kaburu gelap.” Tangan ibunya menyentuh
paha pemuda itu. Jalu tersentak karena itu.
“Aduh, kaget atuh Ambu.” Badannya menggeliat meng-
hempaskan rasa pegal sekujurnya. Ia bangun, berjalan mele-
wati ibunya yang masih saja sibuk dengan nasinya.
“Jangan lupa nanti malam kita ada ngaseuk. Jadi kita harus
siap-siap.” Sang ibu berkata sebelum anak lelakinya melewati
pintu. “Beritahu juga si Abah , bisi poho.” Katanya sekali lagi.
“Muhun, Ambu.” Anak lelakinya menjawab dan kemudian
menghilang di balik pintu.
Pemuda itu berjalan melewati rumah-rumah panggung ber-
jejer di sekitar Kanekes. Kakinya sudah terlatih tertusuk bebatu-
an kecil di sepanjang jalan. Untuk mandi atau kegiatan kebersih-
an lainnya yang membutuhkan air, warga Kanekes melakukan-
nya di sungai. Sungai Cibeo namanya. Tidak terdapat kamar
mandi di rumah mereka. Tentang ini pun menjadi salah satu
aturan di sini. Untuk menjaga kejernihan air sungai dari sedotan
mesin-mesin PAM.
Jarak rumah Jalu menuju sungai sekitar lima ratus meter.
Tak berapa lama, matanya telah disuguhi aliran air memanjang
dihiasi batu-batu besar maupun kecil. Gerakan airnya lembut,
menandakan ini masih musim kemarau. Sebab jika hujan, batu
pun mungkin akan lepas diterjang derasnya sungai ini.

253
Di sini tentu saja ada dua wilayah. Wilayah mandi lelaki
dan wilayah mandi perempuan. Bahaya jika tidak dipisah. Bisa
kena hukum adat. Jalu pun berjalan menuju wilayah mandi
lelaki. Tidak cukup ramai sore itu, Para manusia sepertinya
masih sibuk menggarap hasil panennya.
Si Jalu hampir saja membuka kain penutup tubuhnya, saat
matanya menangkap bayangan manusia di selasar hutan pinggir
sungai. Tangan manusia itu sedang mencoba meraih salah satu
hasil alam sebuah pohon. Kakinya meloncat-loncat membantu
tubuhnya . Mata Jalu menyipit memperjelas pandangan. Jalu
melihat sesuatu warna hitam menjuntai dari kepala sampai
punggung orang itu.
Itu wanita.
“Itu turis.” Pikir Jalu. Otaknya langsung menyimpulkan.
Terlihat jelas dari caranya mengambil bebuahan itu. Dan hutan
itu masih masuk ke dalam wilayah mandi lelaki karena letaknya
dekat pinggiran sungai. Wanita Kanekes tidak mungkin pergi
kesana, karena akan terlihat jelas kaum adam yang sedang
bersimbah air.
Kegiatan wanita itu belum selesai. Ia berhasil meraih apa
yang dia incar. Dipegangnya hasil jerih payahnya itu, lalu mata-
nya menuju salah satu sudut di depannya. Ia berpose.
Temannya yang lain mengarahkan suatu alat pada wanita
itu. Tak lama, muncul kilatan cahaya dari alat itu. Wanita itu
mengambil foto! Jalu menggeleng. “Ini tak boleh dibiarkan.”
pikirnya.
Kain ditubuhnya tak jadi ia lepas, kakinya melesat menem-
bus aliran sungai. Meyeberang melalui bongkahan bebatuan.
Menghampiri kedua turis wanita itu.
“Bagus ini, Ra, lucu.” Seru Dita menunjukan hasil potret-
nya.

254
“Ah, benar kan. Terasa suasana Baduy nya jika begini. Foto
di pinggir sungai dan memegang buah durian.” Senyum Rara
mengembang.
“Aku ingin juga, gentian dong Ra.” pinta Dita menyodorkan
kamera nya.
“Oke, kamu diam disitu ya.” Rara mengarahkan. “Satu, dua,
ti….”
“Punten, teteh-teteh ini sedang apa ya?” Ucapan Jalu me-
ngagetkan Rara dan Dita. Tubuh dua wanita itu melonjak men-
dengar suara berat pemuda itu.
Jalu tersenyum. “Maaf, bukan maksud saya mengagetkan
teteh.” Tangannya diangkat setinggi dada, menjelaskan bahwa
ia tak bermaksud begitu.
“Aduh Masnya! Kaget banget ini kita.” Kata Rara mengelus
dadanya. Menenangkan diri.
“Iya Teh, punten pisan.” Sekali lagi, Jalu mengucap maaf.
“Tapi pertanyaan saya belum dijawab, sedang apa Teteh-teteh
ini di sini?” Tanya Jalu.
“Kita lagi foto, tadi kebetulan lewat dan melihat banyak
durian di sini. Jadi kita mampir untuk foto memegang buah
durian ini. Tempatnya juga bagus, dekat sungai. Jadi kita putus-
kan berhenti dulu.” Terang Dita menjelaskan. Matanya masih
takut-takut menatap Jalu.
“Sebelumnya, Teteh sudah izin?” Tanya Jalu hati-hati.
“Izin apa ya?” Rara mengernyit.
“Izin Puun di sini.” Ujar Jalu.
Kedua wanita itu saling menatap. “Puun?” Tanya kedua nya
berbarengan.
“Iya, Puun. Tetua di sini. Aturannya, jika ada turis masuk
ke wilayah Kanekes, harus menemui Puun terlebih dahulu.”
Terang Jalu, “Nanti, oleh Puun diberitahu mana yang boleh
dilakukan di sini dan mana yang tidak boleh dilakukan. Karena

255
takutnya nanti melanggar adat di sini.” Jalu menjelaskan
dengan sopan.
“Kita tidak melakukan apapun kok. Kita hanya meminjam
durian ini untuk foto lalu jika sudah selesai, kita taruh kembali
buah itu.” Ujar Rara tak terima dibilang melanggar adat.
“Tapi, mengambil foto sembarangan dan meminjam buah
durian ini tanpa izin, itu sudah tidak sesuai dengan adat di sini,
Teh. Apalagi teteh sama sekali belum menemui Puun kami. Itu
sudah sangat melanggar Pikukuh dan Pitutur.” Jalu berusaha
tersenyum menjelaskan hal ini. “Di sini, hal seperti itu bisa
dikatakan dosa. Karena tidak menjaga adat leluhur yang ada.
Mipit kudu amit, ngala kudu menta.” Jalu menegaskan.
“Ribet amat.” Rara memalingkan wajahnya dari Jalu. Wanita
itu kesal.
“Ra, sopan sedikit. Kita tamu di sini.” Dita buka suara. Me-
mukul bahu Rara.
“Kitakan hanya ingin liburan di sini, Dita! Bukannya ingin
menjadi warga sini. Tidak usah deh itu ikut-ikutan adat di sini!”
Omel Rara. Matanya melotot tajam mengarah temannya.
“Kalau Teteh ingin liburan dan terbebas dari adat, silakan
urungkan niat liburan di sini. Kami bukan manusia yang me-
manfaatkan kekayaan alam kami untuk dijadikan tempat wisata.
Alam ini murni, dan harus tetap murni. Warisan nenek moyang
ini tak boleh diubah sedikit pun.” Pemuda itu menjelaskan lagi.
Tangannya meraih buah durian yang tadi diambil dua wanita
kota itu.
“Jangan ke Baduy jika tak mau mengikuti adat Baduy. Jangan
datang hanya untuk merusak.” Jalu berkata tajam. Kalimat itu
menohok Rara.
“Baiklah, kalau begitu boleh antar kami untuk menemui
Puun? Kami berdua mohon maap karena sudah tidak meng-
hormati adat.” Dita menengahi percakapan ini. “Tolong antar

256
kami menemui pemilik durian ini juga. Kami lancang meng-
ambilnya. “ Pinta Dita.
Jalu tersenyum, “Akan saya antar menemui Puun. Terima
kasih sudah mencoba mengerti. Perkenalkan dulu nama saya,
Jalu.” Pemuda itu memimpin langkah kaki dan keluar dari hutan
sambal membawa durian.
“Lalu durian itu, kenapa kamu bawa Jalu?” Rara heran.
“Tentu saja saya bawa, kebun durian ini kan milik saya.
Jadi saya bebas mengambilnya.” Jalu terkekeh.
Mendengar itu, Rara dan Dita hanya melongo. (*)

257
258
Biodata Penulis Cerpen Festival Seni
Multatuli 2019

Rosyid H. Dimas, lahir di Rembang, 18 Juli 1996. Sekarang


tinggal di Yogyakarta, menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga
jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Tergabung di sebuah komu-
nitas pecinta buku bernama Klub Buku Yogyakarta (KBY) dan
komunitas menulis sastra Rumpun Nektar.

Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Relawan di Rumah


Dunia. Arsip tulisannya bisa dilihat di: www.quadraterz.com.
Kini ia aktif mengelola Rumah Baca Garuda. Alamat rumah:
Jln. KH. Mabruk No.19 RT.07/RW.01 Gang 10 Cibeber, Cilegon,
Banten. No. Hp : 0859 5984 5880/ Instagram: @adeubaidil.

Alda Muhsi, Kelahiran Medan, 1993. Mulai menulis sejak


2011 hingga kini. Beberapa karya telah terbit di media massa
cetak dan daring. Buku kumpulan cerpen tunggalnya Empat
Mata yang Mengikat Dua Waktu (Ganding Pustaka, 2016).
Karya lainnya dapat dibaca di platform storial.co: Anemone
(Novel) dan Meniti Detik Temu (Kumpulan Cerpen).

259
Alif Nurul Fazri, Lahir di Cirebon pada tanggal 12 Juli 1993.
Beralamat di Blok Cikiray RT.002/ RW.004, Desa Windujaya,
Kec. Sedong Kab. Cirebon, Jawa Barat. 45181.

Andi Makkaraja, berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan.


Anggarian Andisetya (IG: @griyakata.aras). Salah satu cerpen-
nya terpilih sebagai juara Lomba Menulis Cerita Anak (Yayasan
Manik Bumi, 2019). Karya lainnya juga dimuat dalam “Kepada
Toean Dekker – Antologi Puisi Festival Seni Multatuli 2018”
(Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak, 2018) dan
“Langkah Mula” (Jejak Publisher, 2019).

Annisa Anita Dewi, lahir di Tasikmalaya, sempat merantau


ke Negeri Gajah Putih. Annisa menyelesaikan pendidikan Strata
1 di Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus Tasikmalaya.
Ia sedang mempersiapkan untuk melanjutkan sekolah jenjang
magister. Tulisannya telah dipublikasikan di media lokal, di-
terbitkan dalam pelbagai antologi bersama, dan diterbitkan di
jurnal internasional. Selain itu, Annisa juga sudah menerbit-
kan berbagai buku karyanya. Saat ini bekerja sebagai ortho-
pedagog di SDS Labschool Universitas Pendidikan Indonesia,
Kampus Tasikmalaya.

Apip Kurniadin, lahir di Garut. Sehari-hari mengajar, jalan-


jalan, dan membaca. Bergiat di komunitas Siraru Garut dan
menjadi Wali Buku di Ruang Baca Siraru. Sebuah perpustakaan
komu-nitas yang dikelola secara mandiri dan independen. Karya-
karyanya antara lain: Akulah Sirisaupi, Sebelum Matahari
sampai di Laut Sebelum Kota Menutup Mata, Sang Penyair,
Trilogi Diktator, dll. WA: 082185602577. Alamat Surat: SMA
Negeri 7 Garut, Jalan Hanjuang Nomor 20 Bung-bulang Garut
Kode Pos 44165.

260
Daniel Yudha Kumoro, menempuh pendidikan di S1 Psikologi
Ubaya. Bekerja sebagai guru BK SMKN 3 Buduran, Sidoarjo. Kini
tinggak di Mentari Bumi Sejahtera, DJ-27, RT007/005, Kali-
pecabean, Candi, Sidoarjo, Jawa Timur. HP/WA: 089630242020.
FB/IG: Daniel Yudha Kumoro. danielyudhakumoro@gmail.com.

Eka Nurul Hayat, lahir dan tumbuh di kampung yang di


kelilingi sungai mistis Ciberang. pernah menjadi anggota kelas
menulis Rumah Dunia angkatan 22. terpilih menjadi salah satu
peserta Teacher Supercamp KPK tahun 2015. Pernah nekad
menerbitkan buku puisi secara indie berjudul “Gerimis yang
Pemalu”, pernah menulis buku catatan perjalanan berjudul
“Negeri Laron” sebagai syarat mengikuti vokasi menulis Kem-
dikbud ke negeri singa. Saat ini aktif mengajar sebagai guru
bahasa Inggris di MTs Al-Hasanah dan guru kelas di SDN 1 Sin-
dangsari, berkegiatan di Komunitas Akar Pohon, Perpustakaan
Desa Sagatiasa, dan Komunitas Sastra Balkon Perpustakaan
Saidja Adinda.

Fyan F. Fendi, kelahiran Bandung tanggal 24 Mei. Lulusan


Fakultas Ekonomi yang memiliki minat di wilayah literasi,
pernah bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Jatinangor semasa
kuliah. Kini aktif di KSBB (Komunitas Sastra Buah Batu) dan
sikisaga Bandung Timur. Sebagian karya puisinya tercantum
di media cetak dan buku Antologi Narasi Baru, FLT–Tangerang
Selatan (2018). Beberapa cerpennya terhimpun dalam antologi
Sudut yang Bercengkerama (2017) dan Cerpen Tani Festival
Tjimanoek (2018).

Iswadi Bahardur, lahir dan menetap di Padang. Aktivitas


sehari-hari adalah sebagai Dosen, mahasiswa program Doktor
Universitas Sebelas Maret, penulis, dan pelakon teater. Puisi

261
dan prosanya terhimpun dalam antologi Nyanyian Terakhir,
Variasi Dinihari, Legenda Danau Kembar (2015). Kepada
Toean Dekker (2018), Tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu
(2018). Penulis dapat dikontak via surat tertulis ke alamat: Jalan
Kampung Tangah RT 002 RW 005, Depan Musholla Kedondong,
Kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji, Padang-Sumatera Barat.
Kontak via telepon dan WA (081270705034) dan email
iswadi70bahardur70@gmail.com, Twitter @Adi93507874,
dan instagram adhi_trusardi.

Kevin Alfiarizky, 13 september 1998. Belajar sastra di Uni-


versitas Negeri Surabaya. Menulis cerpen di litera.co.id, savana
post, lampung media online, langgam pustaka. Bisa bertemu
lewat email: alfiarizky.kevin@gmail.com atau 085790975605

Rahmat Heldy HS atau lebih akrab disapa Rahel, adalah


seorang dosen dan penulis produktif. Terhitung sudah 39 buku
telah ditulisnya, entah dalam antologi bersama maupun per-
orangan. Novel terbarunya yang bertajuk Ada Surga di
Kerudung Ibu, mendapat penghargaan sebagai novel bestseller
versi Gong Publishing Award 2018.

Rori Surosowan, lahir di Tangerang, 27 November 1993.


Alamat Kp Cigintung RT/RW 007/003 Kel/Desa Kadudamas.
Kecamatan Cirinten, kabupaten Lebak, Banten. Nomor Hp/WA:
081513742829, Email : elsaori11@gmail.com. Karya yang per-
nah dipubilakasikan kumpulan cerpen Karena Wanita Bukan
Malaikat (Leutika Prio, 2015), novel Kidung Tanah Baduy
(Jentera Pustaka, 2019), cerpen berjudul Sebatang Pohon
Melinjo menjadi juara III dalam sayembara menulis cerpen
nasional majalah Ummi.

262
Sri Utami (Mimi la Rose), lahir di Lubuklinggau, 27 Juli
1989. Tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan.

Supadilah. Pekerjaan guru. Mengajar di SMAT Al-Qudwah.


Lahir di Lampung Utara, 10 November 1987. Alamat rumah di
BTN Juanda Residence Blok D2 Kelurahan Leuwikaung Keca-
matan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Tulisannya
banyak dimuat di koran lokal seperti Radar Banten, Kabar
Banten, dan Banten Raya. Hobi membaca dan olahraga. Selain
itu, sangat menyukai dunia literasi baik membaca maupun
menulis. Ibaratnya, membaca menjadi sebuah kebutuhan.
Dapat dihubungi di 0819-9396-3568. Memiliki alamat blog
www.supadilah.id.

Udiarti, lahir di Gunung Kidul, tumbuh di Karanganyar, dan


saat ini tengah menumpang hidup di Jakarta.

Wahyu Rusnanto adalah seorang penulis kelahiran Cirebon,


10 Februari 1995. Saat ini penulis sedang menempuh pendidik-
an tinggi di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Untirta,
Banten. Ia bergiat di UKM Belistra FKIP Untirta, Komunitas
Aing, Lab. Banten Girang, dan Kubah Budaya.

Wisnhu Bagas Murtolo, lahir di Jakarta, 17 April 1990. Kini


tinggal di Tangerang Selatan.

263
264
Biodata Peserta Workshop

Ahmad Khudori, lahir di Lebak. Pemukim di atas bukit


Gunung Kantong. Belajar di Komunitas Soedirman30. Domisili
Lebak, Muncang, Ds. Palendeng. (Facebook: Ahmad Khudori.
IG: @Akhudorii)

Hj. Alpinah, M.Pd (Te Efin), lahir di Sajira, 06 Juli 1975 di


Kampung Cianyar RT 01/RW 03 Desa Ciuyah, Kecamatan Sajira,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, 42371. Adapun jenjang
yang pernah di tempuh menamatkan SD (1988), SMP (1991),
SMEA (1994), D2 (2002), S1 (2008), dan S2 di UNPAK Bogor
(2011). Te Efin memulai karier kepenulisan buku ber-ISBN sejak
tahun 2017, dengan menulis buku antologi puisi Valentino
Rossi di Balik Gunung Mokol; antologi cerpen Kurebahkan
Wajahku di Hadapan-Mu; antologi puisi Aku Rindu Mentari
Pagi; antologi Jenis Permianan Tradisional Lebak; dan penulis
juga sebagai pengurus di AGBSI (Asosiasi Guru Bahasa Sastra
Indonesia) Provinsi Banten. Selain itu ada beberapa tulisan yang
dimuat di Majalah 1828 Lebak dan Harian Kabar Banten.

265
Pernah mengikuti lomba Gupres yang diadakan oleh Dinas
Pendidikan Provinsi Banten di Istana Nelayan Tangerang 2019,
dan berhasil meraih juara III sebagai Guru Berprestasi (Gupres)
Tingkat SMK Se-Provinsi Banten.

Dede Nurhalimah, lebih sering dipanggil Sidede. Bekerja


sebagai pustakawan di SMK Negeri 1 Sobang. Bercita-cita
menjadi manusia yang bermanfaat untuk umat. Saat ini ber-
tempat tinggal di Sajira.

Junaedah. Ibu dari sepasang putera dan puteri ini lahir di


Cikulur, Kabupaten Lebak 45 tahun yang lalu. Selain sebagai
Ibu Rumah Tangga, juga beraktivitas sebagai guru di Madrasah
Tsanawiyah Ar-Ribathiyah Cikulur. Menyenangi dunia literasi
untuk belajar, mendangkalkan kebodohan diri, dan berharap
dapat memberi manfaat bagi sesama.

Mardiana atau Akin Baong, nama pena dari seorang


pemuda asal Desa Sindangsari, Kecamatan Sajira. Mardiana
lahir di Lebak, 7 Juni 1996. Berprofesi sebagai fotografer di
Mekar Foto Studio, Sajira. Aktif di komunitas literasi dan meng-
ikuti Kelas Menulis Sastra Balkon di Perputakaan Saidjah
Adinda. Bisa dihubungi melalui WA: 081284797788.

Muhammad Nanda Fauzan, lahir di pesisir Pantai


Binuangeun, Lebak pada 31 Maret 2000. Kini bergiat di Komu-
nitas Soedirman30, Serang. Beberapa tulisannya berupa Cerita
pendek, esai, puisi dan ulasan buku dimuat di media daring
dan luring. Bisa dihubungi melalui surel;
Muhammadnandafauzan@gmail.com

266
Nurbeti, S.Pd lahir di Lebak, 14 September 1967. Tinggal di
Kampung Gajrug, Desa Bintangresmi, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penulis terlahir dari keluarga
petani, anak pertama dari 6 bersaudara. Saat ini bekerja sebagai
Kepala Sekolah di Sekolah Dasar Negeri 1 Sajira.

Salwa Rubia Darussalam adalah nama lengkap dari cewek


berkacamata kotak yang sering menghabiskan waktunya untuk
tidur, makan, browsing, dan membaca. Cewek kelahiran 10
Maret itu keluar ke bumi saat tujuh belas tahun lalu, tepatnya
di Majalengka. Saat ini masih menjadi siswi jurusan Multime-
dia di SMK Negeri 1 Rangkasbitung. Ia memiliki nama pena
Savelou yang menjadi identitasnya di dunia kedua, yang ingin
tahu wajah cewek introvert ini kunjungi saja akun instagram
@salwarubia_, kicauannya kadang terselip di akun Facebook
Salwa Rubia, juga tulisannya yang masih semrawut itu bisa
dilihat di akun Wattpad @savelou.

Saroh Jarmin, asal dari SMA 1 Cipanas. Alamat Kp. Lurah,


Rt. 007/002, Kel/Ds. Sipayung, Kec. Cipanas. No. Tlpn.
085281146292.

Silvia Zahrotun Nisa, lahir di Lebak, 18 April 1999. Berkuliah


di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, sedang menuju
semester lima. Tinggal di Warunggunung, tepatnya di Desa
Cibuah. Minat menulisnya tinggi, tapi minat membaca rendah.
Itu sebabnya kadang susah menyusun kata.

267
268

Anda mungkin juga menyukai