Anda di halaman 1dari 104

Sumber Foto untuk Jilid Dua

Koleksi Kemenag Aceh:


Bidang Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Singkil
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Selatan
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Nagan Raya
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Barat
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Pidie
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Bireuen
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Tengah
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Bener Meriah
Seksi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Timur
Seksi Penamas Kankemenag Kota Langsa

Koleksi Pribadi:
Jabbar Sabil, MA
Tarmizi A. Hamid
Mustafa Idris

Repro:
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA)
Editor: Jabbar Sabil, MA

MA S J I D B E R S E J A R A H
DI NANGGROE
ACEH
jilid II

Diterbitkan Oleh:
Bidang Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid (Penamas)
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
2010
Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh (jilid II)
© Kanwil Kemenag Prov. Aceh

Penasehat:
Drs. H. A. Rahman TB, Lt.
(Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Prov. Aceh)

Penanggungjawab:
H. Abrar Zym, S. Ag.
(Kepala Bidang Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh)

Pelaksana:
Drs. H. Helmi Zakir ZA
(Kasi Pemberdayaan Masjid Bid. Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh)

Tim Penulis Bid. Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh


Kepala Seksi Penamas di masing-masing Kabupaten:
Kasi Penamas Kankemenag Kota Banda Aceh
Kasi Penamas Kankemenag Kota Sabang
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Besar
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Pidie
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Bireuen
Kasi Penamas Kankemenag Kota Lhokseumawe
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Utara
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Timur
Kasi Penamas Kankemenag Kota Langsa
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Tamiang
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Bener Meriah
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Tengah
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Tenggara
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Gayo Lues
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Jaya
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Barat
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Nagan Raya
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Barat Daya
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Aceh Singkil
Kasi Penamas Kankemenag Kabupaten Simeulue

Editor:
Jabbar Sabil, MA

Disain artistik:
Abay S

Diterbitkan pertama kali, Agustus 2010 oleh:


Bidang Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh
Jl. Teungku Abu Lam U No. 9 Telp 0651-22442, 22510, 25103, Fax. 0651-25103, 22510
Banda Aceh, 23242 - Indonesia
xii + 88 hlm.; 16 cm x 24 cm

Milik Kementerian Agama, tidak diperjualbelikan.


Sambutan
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Aceh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas nikmat


tak terhingga yang masih dikaruniakan kepada
kita. Selawat dan salam kepada Rasulullah
saw. yang membawa risalah Islam sebagai
pedoman menjalani kehidupan. Tidak lupa
kepada keluarga, dan sahabat beliau yang telah
turut berjuang menegakkan agama Islam yang
membawa ajaran kedamaian. Juga kepada
tabiin, dan para ulama yang telah menyumbangkan karya
terbaik mereka untuk umat.
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada segenap masyarakat yang telah memberi
apresiasi, dan masukan bagi buku Masjid Bersejarah di Nanggroe
Aceh jilid pertama. Buku itu telah diterima sebagai salah satu
khazanah yang memperkaya kepustakaan di Aceh. Di luar
dugaan kami, buku itu disambut antusias, sampai-sampai ada
yang meminta buku itu dipasarkan secara umum agar dapat
diperoleh semua lapisan masyarakat.
Tentunya tidaklah bijak jika buku yang ditulis dalam
rangka pengabdian, lalu dipasarkan sehingga faktor finansial
menjadi mengemuka. Namun kami juga tidak memiliki
kemampuan yang memadai untuk mencetak dalam jumlah
besar sehingga dapat dimiliki oleh semua peminat. Untuk itu
kami membuka peluang bagi pihak yang merasa terpanggil
untuk membantu mewujudkan harapan ini. Solusinya bisa
dipikirkan, mungkin salah satunya akan terbantu dengan hadirnya
pustaka gampong, di samping pustaka masjid.
Sebagaimana jilid pertama, buku kedua ini masih merupakan
rekaman perjalanan sejarah sosial-keagamaan masyarakat Aceh.
Namun hal itu tidak berarti apa-apa jika tidak bisa dipetik hikmah-
nya untuk masa kini. Hikmah itulah yang membuat buku ini
tidak kering, dikemas untuk mengalirkan kembali semangat dari
masa lalu. Maka kami sangat berterimakasih kepada semua pihak
yang terlibat atas terbitnya buku ini. Terutama teman-teman di
kabupaten/kota yang telah bekerja tanpa pamrih.
Tentunya dapat dibayangkan kesulitan dan tantangan yang
dihadapi saat mengumpulkan data penelitian. Apalagi di daerah
dataran tinggi Gayo yang medannya sulit untuk mencapai objek
penelitian. Belum lagi tantangan dalam ‘memburu’ nara sumber,
sebab data yang dibutuhkan kadangkala tidak terpadai dengan
mewawancarai satu dua orang saja. Bahkan sering seorang nara
sumber hanya menjadi ‘juru kunci’, petunjuk untuk mencapai
nara sumber lainnya. Melelahkan memang, namun semua ini
menjadi ibadah, amal jariah yang diabdikan bagi kelanjutan
dakwah Islam. Kami sangat bangga, karena buku ini bisa hadir
di tengah keterbatasan finansial, hanya keikhlasan yang akan
membuat buku ini berharga sepanjang masa.
Kepada pembaca kami ucapkan selamat membaca, semoga
dapat dipetik hikmah dari buku sederhana ini. Demikian pula
saran dan kritik agar disampaikan kepada kami. Billahittawfiq.

Banda Aceh, 25 Agustus 2010


Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Aceh

Drs. H. A. Rahman TB, Lt.


NIP. 195401011980031006

vi
Kata Pengantar
Kabid Penamas Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Aceh

Puji syukur kepada Allah Swt. yang memberi


kami kesempatan, dan kekuatan untuk
merampungkan tugas besar ini. Karena
penerbitan buku ini menuntut kerja keras yang
tidak bisa dinilai secara materi. Selawat dan
salam kepada Rasulullah saw., keluarga, dan
sahabat beliau sekalian. Sumber teladan dan
inspirasi umat Islam, sehingga tidak pernah
kering, dan vakum dalam berkarya.
Takzim dan terimakasih kita haturkan kepada para
ulama yang telah berjasa menjadi pewaris risalah Islam. Tanpa
perjuangan dan pengorbanan mereka, sungguh risalah Islam
sudah punah, dan kesesatan serta kezaliman akan merajalela
di muka bumi ini. Tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi,
itulah pula alasannya kita berjuang mempertahankan suasana
damai di Tanah Aceh tercinta ini.
Ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk berparti-
sipasi melanggengkan perdamaian. Namun yang terpenting
adalah menularkan rasa ingin hidup damai itu sendiri kepada
semua orang. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang dapat menghargai diri sendiri, dan orang-orang di
sekitarnya. Maka kuncinya adalah ilmu, yaitu pengetahuan
tentang diri sendiri sebagai manusia, dan kondisi sosial yang
mengikatnya dalam komunitas sosial masyarakat. Untuk itu,
seseorang harus sadar benar akan eksistensi komunitas dari mana
ia berasal.
Kesadaran itulah yang kami coba sentuh melalui kehadiran
buku ini. Meski tidak dibaca sampai tuntas, setidaknya foto yang
termuat dapat menggugah rasa damai, dan cinta, bahwa betapa
besar energi yang telah dicurahkan dari masa ke masa, demi
terciptanya kedamaian. Misalnya salah satu masjid di Peureulak
yang secara tegas berkomitmen, dituangkan dalam satu prasasti yang
ditempelkan pada pintu masuk masjid. Bahwa setiap hamba Allah
yang fakir datang, dan singgah, nafkahnya menjadi tanggungan
tuan rumah. Sungguh suatu komitmen yang luar biasa.
Buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh jilid II ini membukti-
kan, betapa masjid-masjid di Aceh didirikan sebagai pusat penyebaran
rasa damai, dan ketentraman di tengah masyarakat. Maka sangatlah
naif jika di masa sekarang pemuda-pemuda kita mencari rasa damai,
dan tenteram di cafe-cafe misalnya. Kembalilah ke masjid, lihatlah
betapa masjid selama berabad-abad telah menjadi perekat sosial
masyarakat kita, membangun solidaritas, ketenteraman, dan rasa
cinta sesama. Dengan itulah kedamaian diwujudkan.
Terima kasih kami kepada teman-teman pelaksana di Bidang
Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh yang sepenuh hati telah
meramu data-data mentah menjadi berenergi sedemikian rupa.
Kepada para kasi Penamas, dan jajarannya di Kankemenag masing-
masing kabupaten/kota, Andalah ujung tombak lahirnya buah
karya ini, kinerja terbaik, persembahan untuk bangsa tercinta.
Mari pertahankan semangat, dan kekompakan, yakinlah bahwa
ini suatu amal yang tidak sia-sia. Wassalam.

Banda Aceh, 19 Agustus 2010


Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam
pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid
Kanwil Kemenag Prov. Aceh

H. Abrar Zym, S.Ag


NIP. 196804261996031001

viii
Puji-pujian kepada Allah, selawat dan salam
kepada Rasulullah saw., keluarga dan sahabat
sekalian. Hormat kami kepada para ulama dan
mujahid yang berkorban harta, jiwa, dan raga
demi perjuangan Islam.
Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri
dapat memberikan sumbangsih bagi usaha
pelestarian khazanah kesejarahan Islam Aceh. Satu sisi dari
sejarah yang segera akan menghilang jika tidak secepatnya
dibukukan, dan ini adalah pekerjaan besar yang membutuhkan
kepedulian segenap pihak. Dalam hal ini kami menyadari
betapa kecilnya peran yang baru dapat kami sumbangkan.
Dalam buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh jilid
pertama telah diangkat profil lima belas masjid. Lalu, buku
jilid kedua ini berisi 20 profil masjid, berarti ada 35 profil
masjid yang telah dibukukan. Sampai saat buku jilid kedua
ini diterbitkan, masih ada beberapa data masjid bersejarah
yang belum rampung diverifikasi. Bahkan di beberapa daerah
justru belum sempat dikumpulkan datanya. Oleh karena itu,
buku ini masih harus berlanjut ke jilid-jilid berikutnya, Insya
Allah.
Sebagai gambaran dapat kami sebutkan, di Kabupaten
Pidie masih harus diburu data masjid yang dibangun oleh
Sultan Iskandar Muda, sebagaimana disebutkan Snouck
Hurgronje dalam bukunya De Atjèhers. Juga ada Masjid Beuracan,
Sanggeu, Kambuek, Grong-grong, dan beberapa lainnya yang
nilai kesejarahannya sangat tinggi. Di Aceh Utara ada masjid Cot
Trueng, Kecamatan Muara Batu, dan beberapa masjid lainnya.
Di Aceh Besar juga masih banyak masjid yang belum diteliti,
misalnya masjid Panglima Polem, dan masjid-masjid tua di daerah
Lampanah.
Kawasan Barat-Selatan juga masih membutuhkan kerja
keras. Di Aceh Barat ada Masjid Gunong Kleng, di Aceh Jaya
ada Masjid Sabang, dan di Calang ada Masjid Po Teumeurhom.
Semua ini merupakan kekayaan khazanah Islam Aceh yang sudah
sangat mendesak untuk segera dibukukan. Untuk itu kami sangat
berharap agar dengan penuh kesadaran kita curahkan tanggung
jawab kita sebagai persembahan kepada generasi mendatang.
Dalam konteks penulisan oleh tim di lingkungan Kanwil
Kementerian Agama Aceh, kami menyarankan agar Seksi Penamas
di setiap kabupaten/kota mengagendakan kembali program ini.
Mungkin akan berguna jika program ini dituangkan dalam bentuk
karya tulis wajib untuk para Penyuluh Agama Islam Fungsional.
Merekalah yang turun melakukan penelitian, maka akan ada
manfaat ganda bagi tambahan kredit penyuluh itu sendiri.
Terus terang, kami sangat terharu melihat antusiasnya
sambutan masyarakat terhadap buku Masjid Bersejarah di Nanggroe
Aceh jilid pertama. Dari itu kami berharap agar buku jilid kedua
ini juga dapat memenuhi kerinduan yang sama, dan bercita-cita
agar mampu melanjutkan ke jilid-jilid berikutnya. Insya Allah.
Banda Aceh, 16 Agustus 2010
Kepala Seksi Pemberdayaan Masjid
Bidang Penamas Kanwil Kemenag
Provinsi Aceh

Drs. H. Helmi Zakir ZA


NIP. 195504021983031003

x
Daftar Isi

Sambutan Kakanwil Kemenag Prov. Aceh


Drs. H. A. Rahman TB, Lt. ... ... ... v
Kata Pengantar
Kabid Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh
H. Abrar Zym, S.Ag. ... ... ... vii
Pengantar Ketua Tim Penulis
Kasi Pemberdayaan Masjid Bidang Penamas
Kanwil Kemenag Prov. Aceh
Drs. H. Helmi Zakir ZA ... ... ... ix
Daftar Isi ... ... ... xi
1. Masjid Baiturrahim
Singkil, Aceh Singkil ... ... ... 1
2. Masjid Tuo al-Khairiah
Tapak Tuan, Aceh Selatan .. ... ... 11
3. Masjid Nurul Huda
Pulo Kameng, Aceh Selatan ... ... ... 19
4. Masjid Teungku Chik Di Kila
Gampong Kila, Nagan Raya ... ... ... 27
5. Masjid Jamik Paya Udeung
Paya Udeueng, Nagan Raya ... ... ... 31
6. Masjid Jamik Ujong Blang
Ujong Blang, Nagan Raya ... ... ... 33
7. Masjid Jamik Babul Mujahidin
Pasi Luah, Nagan Raya ... ... ... 35
8. Masjid Baitul Abyadh
Gampong Krueng Beukah, Aceh Barat ... ... ... 37
9. Masjid Tuha Manjeng
Gampong Manjeng, Aceh Barat ... ... ... 41
10. Masjid al-Kautsar
Pungkie, Aceh Barat ... ... ... 45
11. Masjid Baitul A‘la Lil Mujahidin
Mutiara, Pidie ... ... ... 49
12. Masjid Teungku Chik Kuta Blang
Lhok Seumira, Bireuen ... ... ... 55
13. Masjid Awaluddin
Kute Gelime, Aceh Tengah ... ... ... 57
14. Masjid Baiturrahman
Tingkem, Bener Meriah ... ... ... 61
15. Masjid Delung Tue
Delung Tue, Bener Meriah ... ... ... 65
16. Masjid Nurul Iman
Gunung Teritit, Bener Meriah ... ... ... 69
17. Masjid Ruhul Islam
Bener Kelifah, Bener Meriah ... ... ... 73
18. Masjid Baiturrahim
Gampong Tualang, Aceh Timur ... ... ... 75
19. Masjid Tuha Gampong Blang
Gampong Blang, Aceh Timur ... ... ... 79
20. Masjid al-Istiqamah
Gampong Teungoh, Kota Langsa ... ... ... 83
Daftar Pustaka ... ... ... 87

xii
KABUPATEN ACEH SINGKIL

MASJID BAITURRAHIM
Masjid Baiturrahim berada di Pusat Kota Singkil, Ibukota
Kabupaten Aceh Singkil, merupakan Masjid pertama dan tertua.
Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Jamik Baiturrahim
yang dibangun di Singkil lama pada tahun 1256 H/1836 M,
lalu dipindahkan ke Singkil Baru pada tahun 1909. Di masa
Kolonial Belanda, masjid ini sempat direnovasi, lalu pada tahun
1953 diperluas. Semula masjid ini berukuran 17 x 17 m dengan
satu kubah, setelah mengalami perluasan ukurannya menjadi
20 x 30 m dan ditambah satu kubah kecil di sebelah timur.

1
Masjid Baiturrahim,
Aceh Singkil, tampak
depan. Kondisi
sekarang telah
mengalami kerusakan
sehingga akan diganti
bangunan baru.

Pada tahun 1971, atap


dan kubah masjid
ditukar total karena
telah lapuk dimakan
usia.

Bangunan lama
dengan arsitektur
klasik ini tidak dapat
dipertahankan lagi...

2
Akibat gempa bumi
dan gelombang pasang
tanggal 28 Maret
2005, masjid ini
mengalami kerusakan,
retak, dan bocor
sehingga dinilai tidak
layak pakai lagi.

Pada tahun 1953,


masjid ini diperluas
menjadi 20 x 30 m,
dan ditambah satu
kubah kecil di sebelah
timur kubah besar.
Sebelumnya masjid ini
berukuran 17 x 17 m,
dengan satu kubah.

Sumur Bor yang digali


bersamaan dengan
pendirian masjid pada
bulan Jumadil
Awal 1328 H/Juli
1909 M. Sampai saat
ini masih berfungsi
dengan baik.

3
Foto ini
memperlihatkan
kondisi masjid yang
rusak akibat gempa
bumi dan gelombang
pasang tanggal 28
Maret 2005.

Bagian atap masjid


telah mengalami
kebocoran.

Tiang pancang v-pile


untuk pondasi masjid
baru, menggantikan
masjid lama yang
bersejarah itu.

4
Peletakan batu pertama
pembangunan Masjid
Baiturrahim oleh
Pj. Gubernur Aceh,
Mustafa Abu Bakar,
tanggal 25 maret 2006.
Disaksikan oleh H.
Ismail Saleh Lubis,
selaku ketua panitia
pembangunan masjid.

Batu Prasasti
Pembangunan Masjid
Baiturrahim Singkil
pada bulan Jumadil
Awal 1328 H/1909 M.

Photo Maket Rencana


Pembangunan Masjid
Baiturrahim, lengkap
dengan sarana
pendukungnya.

5
SEJARAH SINGKAT MASJID AGUNG BAITURRAHIM
KABUPATEN ACEH SINGKIL

Periode Singkil Lama/Lost City (1512-1883)


Seorang ilmuwan berkebangsaan Portugis mencatat tentang
kerajaan Chinguelle/Quinchell/Singkil yang berbatas di sebelah
barat dengan kerajaan Mancopa/Daya/Meulaboh sedangkan
sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Barus. Kerajaan ini
merupakan penghasil kampher (kapur), damar, sutera, lada,
dan emas yang diangkut dengan lencara (perahu) sebagai alat
transportasi di sepanjang aliran sungai dan laut. Kala itu Raja
Singkil masih menganut agama pelbegu (animisme).
Nama Singkil juga sudah ada di dalam peta Petrus Plancius
tahun 1592 M (Monumenta Carthographico, jilid II), di mana
kerajaan Singkil telah mengadakan perdagangan dengan kerajaan
Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman, bahkan sampai ke Penang, Persia
dan Jazirah Arab. Dari hubungan dagang ini, para pedagang Arab
muslim membawa ajaran Islam yang mampu membuka mata hati
dan pikiran Raja serta Rakyat Singkil untuk sedikit demi sedikit
meninggalkan kepercayaan lama, beralih kepada ajaran yang
lurus (Islam). Sedikit demi sedikit ajaran Islam berhasil mengikis
habis kebiasaan orang Singkil pedalaman yang memakan daging
manusia, terutama musuh.
Setelah Islam tersebar di seantero Kerajaan Singkil, baik
pesisir maupun pedalaman, lahirlah kemudian tokoh-tokoh ulama
dari kalangan anak negeri. Salah seorang ulama kelahiran Singkil
adalah Abdurrauf (Syech Abdurrauf al-Singkili), lahir sekitar tahun
1615 di Suro (Singkil) dan meninggal tahun 1693. Islam dengan
cepat menyebar sehingga mengubur dalam-dalam segala bentuk
khurafat dan dogma yang menuhankan selain Allah Swt.
Seiring dengan pertumbuhan Islam, ketersediaan rumah
ibadah pun menjadi tuntutan masyarakat. Pada tahun 1256 H/1836
M, Raja Singkil bersama rakyat membangun mesjid pertama di
ibukota kerajaan Singkil (Singkil lama) dengan nama Masjid Jamik

6
Baiturrahim. Konstruksinya dibangun dengan bahan kayu kapur,
meranti laut, atap daun rumbia dan ijuk. Namun Informasi tentang
masjid ini dalam catatan sejarah sangat sulit ditelusuri, apalagi
Singkil lama sempat porak poranda di hantam gempa bumi dan
tsunami (geloro laut) pada tahun 1883 M.
Peristiwa ini terjadi berbarengan dengan meletusnya Gunung
Krakatau di Selat Sunda yang memporak porandakan segalanya.
Dari itu kita hanya bisa berasumsi bahwa raja di Kerajaan Singkil
telah mengadopsi sistem pemerintahan Islam sesuai perkembangan
kala itu. Tentunya kenyataan ini meniscayakan dibangunnya sebuah
masjid induk sebagai tempat beribadah dan kegiatan kemasyarakatan
lainnya, baik yang bersifat keagamaan maupun agenda kerajaan.

Periode Singkil Baru (New Singkil, tahun 1883-sekarang)


Orang Singkil tidak patah arang menghadapi bencana, maka
atas titah raja, secara berangsur-angsur penduduk Singkil hijrah
ke daerah baru (Singkil sekarang/Pondok Barö). Di tempat yang
baru ini mereka memulai kehidupan dengan moto: “Selagi esok
matahari masih terbit kehidupan akan terus berlangsung”. Di pusat
Kota Singkil ini (Singkil Baru), juga dibangun sebuah masjid dengan
nama yang lama, Masjid Jamik Baiturrahim.
Kehidupan di Singkil mengalami perubahan dengan
datangnya Kolonial Belanda yang menyebut Singkil sebagai New
Singkil (Singkil baru). Di tengah kesibukan menata kehidupan
baru pasca gempa bumi dan tsunami, rakyat Singkil dihadapkan
kepada tantangan invasi penjajahan. Setelah berhasil menguasai
daratan Singkil, Belanda dengan kontrolir yang bernama Inggram,
menguras hasil bumi Singkil dengan jalan kekerasan di bawah
kepulan asap mesiu. Selain itu, masyarakat Singkil juga menghadapi
tantangan pendangkalan akidah oleh misionaris dengan iming-
iming kekayaan dan jabatan.
Masih dalam masa penjajahan Belanda, pada tahun 1328
H/1909 M, atas gagasan Perkasa Raja Singkil, Datuk Abdurrauf
bersama rakyat membangun masjid yang lebih besar, menggantikan

7
masjid lama yang tidak memadai lagi menampung jamaah. Masjid
tersebut dibangun di sebelah timur rumah datuk dengan konstruksi
bangunan dari kayu kapur, rasak, meranti, beratap seng, dan lantai
beton. Masjid ini telah menggunakan kubah sebagai bagiannya,
untuk menopang kubah, ditengah masjid didirikan sebuah tiang
beton.
Arsitektur masjid, dekorasi, serta ornamen interior dan
eksterior dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi berciri disain
Timur Tengah dan Melayu Kuno. Bersamaan dengan pembangunan
masjid dibangun pula sebuah sumur bor di perkarangan masjid
untuk kebutuhan bersuci. Sampai saat ini sumur bor tersebut
masih berfungsi dengan baik walau sudah berusia lebih dari 100
tahun.
Untuk melindungi rakyat dan Islam serta masjid yang
ada, Datuk Besar Singkil memainkan peran politiknya. Dalam
hal perdagangan dan pemerintahan, ia bekerjasama dengan
Pemerintah Kolonial Belanda di bawah bendera VOC, namun
dalam hal urusan keagamaan, beliau meneguhkan prinsip saling
menghargai satu sama lain. Syarat yang ditawarkan antara lain
Pemerintah Kolonial Belanda dibolehkan membangun sarana dan
fasilitas yang mereka butuhkan secara bebas, tapi konpensasinya,
tidak boleh membangun fasilitas rumah ibadah (gereja). Maka
dibangunlah tangsi (barak militer), pelabuhan, rumah sakit, sarana
telepon, dan fasilitas lainnya termasuk kantor pos yang megah di
kawasan perkantoran pemerintah yang menghadap ke laut.
Butir lain yang ditawarkan untuk disepakati Pemerintah
Kolonial Belanda adalah kebebasan beragama. Rakyat Singkil
harus diberikan kebebasan melaksanakan kegiatan keagamaan,
baik ibadah maupun bersifat kemasyarakatan di masjid tanpa
ada intervensi dan intimidasi dari pihak Pemerintah Belanda.
Oleh karena itu, keberadaan masjid ini sebagai pusat kegiatan
masyarakat tidak terusik sepanjang keberadaannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid ini telah mampu
memberikan spirit kepada masyarakat Singkil dalam membangun

8
negerinya, upaya melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan,
ketertinggalan dan ketidakadilan. Lebih dari itu, secara diam-diam
masjid ini telah dipergunakan untuk mengatur strategi melawan
penjajah.
Pada saat kepemimpinan Datuk Abdul Murad, putra Datuk
Abdurrauf, kepengurusan Masjid Jamik Baiturrahim dipimpin
oleh H. Abdul Malik (Imam Pulo Pinang) sebagai imam, dan H.
Umar sebagai khatib. Pada tahun 1942, saat Kepala Nagari dijabat
oleh Aminuddin Sagu, kepengurusan masjid ini dipimpin oleh
Imam Abdullah dengan dibantu oleh Imam Ilyas. Adapun jabatan
khatib masjid dijabat oleh Khatib Ahmad.
Di era kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Singkil
telah mengalami beberapa kali perubahan status, mulai dari
kewedanaan hingga kabupaten. Namun status dan fungsi Masjid
Baiturrahim tidak pernah berubah. Masjid ini tetap berfungsi
sebagai masjid pemerintahan yang sangat berjasa dalam melahirkan
dan mengisi pembangunan di negeri yang diberi nama Aceh
Singkil ini.
Pada tahun 1968, jabatan imam Masjid Baiturrahim
dipegang oleh Imam Syahmuddin, Khatib Ahmad, dan Bilal M.
Amin. Sewaktu Khatib Ahmad meninggal, jabatan khatib diganti
oleh M. Amin, dan jabatan bilal dipegang oleh Bilal Badaruddin.
Pada tahun 1994, Imam Syahmuddin meninggal dunia, lalu
digantikan oleh Imam Badri Amin, adapun khatib dijabat oleh
Khatib Abd. Salam AK. Sementara itu jabatan nazir masjid dari
dulu sampai sekarang yang diketahui adalah tokoh berikut:
1. M. Ya’kub
2. M. Yahya
3. Akmal Bakti
4. M. Rabet
5. M. Bahar
6. Abd Halim
7. Amiruddin. S

9
Deskripsi kondisi masjid
Masjid Baiturrahim Singkil yang dibangun di pusat kota
Singkil, ibukota Kabupaten Aceh Singkil pada bulan Jumadil awal
1328 H/Juli 1909 M. Di masa Kolonial Belanda, masjid ini sempat
direnovasi, lalu pada tahun 1953 masjid ini diperluas. Semula masjid
ini berukuran 17 x 17 m
dengan satu kubah, setelah
mengalami perluasan uku-
rannya menjadi 20 x 30 m
dan ditambah satu kubah
kecil di sebelah timur.
Gempa bumi dan
gelombang pasang tanggal 28
maret 2005 telah menjadikan
masjid ini mengalami keru-
sakan berat. Untuk memperbaikinya pada tanggal 7 Mai 2005 telah
dibentuk Panitia Pembangunan Masjid Baiturrahim yang bertugas
untuk merehab masjid yang
rusak agar bisa dipergunakan
sekaligus merencanakan pem-
bangunan masjid baru sebagai
pengganti masjid yang rusak.
Desain bangunan
baru Masjid berukuran 37
x 37 m dengan 4 menara
tinggi, 4 menara kecil dan
satu kubah besar serta 4
Qubah kecil. Kubah besar
dan atap serta ornamennya diupayakan mirip dengan masjid yang
dibangun tahun 1909.

10
KABUPATEN ACEH SELATAN

MASJID TUO AL-KHAIRIAH


Masjid ini terletak di Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh
Selatan, tepatnya di Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan,
Kabupaten Aceh Selatan. Dari tulisan yang terpahat pada mihrab
diketahui bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1276 H/1855
M. Masjid ini didirikan oleh Syekh Muhammad Qisthi, seorang
saudagar berkebangsaan Arab yang menetap di Batavia. Sambil
berdagang beliau menjalankan misi menyebarkan agama Islam.

11
Masjid Tuo al-Khairiah
tampak dari arah
samping

Masjid Tuo al-Khairiah


dilihat dari arah
belakang

Ruang shalat atau


ruangan dalam Masjid
Tuo al-Kairiah

12
Masjid Tuo al-Khairiah,
pandangan dari arah
pintu gerbang

Kubah Masjid Tuo


al-Khairiah, dengan
ukiran yang identik
dengan ukiran Aceh
lainnya pada rumah
adat Aceh.

Bagian depan Masjid


Tuo al-Khairiah,
dipenuhi ukiran yang
indah, bukti kekayaan
seni dekorasi floral
khas Aceh.

13
Ukiran motif floral
dan kaligrafi ini telah
dicocokkan dengan
ukiran yang ada pada
mushaf kuno Aceh,
ditemukan adanya
kecocokan motif dan
desainnya.

Bandingkan motif
floral pada masjid ini
dengan motif pada
mushaf kuno pada foto
di bawah ini.

Mushaf kuno Aceh


yang ditulis dalam
abad ke XVII, gaya
dekorasi floralnya
identik dengan ukiran
pada masjid dan
rumah adat Aceh.

14
Sejarah Ringkas Masjid Tuo al-Khairiah

Masjid al-Khairiah dibangun pada tahun 1276 H/1855 M


dengan ukuran 10 x 10 m /100 M2. Pada mulanya nama masjid
ini adalah Masjid al-Khairiah, namun sekarang ditambah dengan
kata Tuo, jadi namanya sekarang adalah Masjid Tuo al-Khairiah.
Penambahan kata Tuo ini karena Masjid al-Khairiah merupakan
bangunan tertua di Kota Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan.
Berdasar informasi yang yang dihimpun dari berbagai sumber,
diyakini bahwa masjid ini didirikan oleh Syekh Muhammad
Qisthi, seorang saudagar berkebangsaan Arab yang berdomisili
di Batavia. Sambil berdagang beliau juga menjalankan misi
penyebaran agama Islam.
Jauh sebelum Syekh Muhammad Qisthi datang, masyarakat
Tapaktuan telah memeluk agama Islam, namun pada saat itu belum
ada bangunan masjid. Sarana untuk melaksanakan ibadah shalat

15
lima waktu secara berjamaah masih sangat terbatas. Kegiatan-
kegiatan pembinaan keagamaan dilakukan pada balai-balai yang
sangat sederhana, padahal jumlah jamaah terus bertambah.
Kehadiran Syekh Muhammad Qisthi di Tapaktuan mempunyai
arti yang sangat penting, dan telah berjasa besar membangun
masjid al-Khairiah.
Masjid al-Khairiah dibangun dengan mendatangkan arsitek
dari Negeri Cina. Untuk gaya arsitekturnya, Syekh Muhammad
Qisthi merujuk bentuk bangunan masjid di Batavia, dan Banten,
daerah di mana beliau berdomisili sebelumnya.
Gaya arsitektur itu sendiri tidak asing bagi masyarakat Aceh.
Jika dibandingkan dengan masjid Indrapuri yang didirikan oleh
Sultan Iskandar Muda dalam abad 17 (sekitar tahun 1618 M),
jelas sekali tampak kesamaan arsitekturnya. Memang terdapat
beberapa perbedaan, misalnya jumlah tingkatan pada atapnya, dan
konstruksi dinding. Umumnya masjid di Aceh kala itu dibangun
dengan atap bertingkat tiga atau lebih, dan dikelilingi dinding
tembok. Sedangkan atap masjid Tuo al-Khairiah hanya bertingkat
satu, dan dindingnya menggunakan papan kayu.
Perbedaan ini tidak terlalu mencolok mengingat bangunan
utama yang identik dengan arsitektur masjid-masjid di Nusantara
kala itu. Perlu dicatat, bahwa gaya masjid seperti ini memang telah
menjadi ciri khas masjid di seluruh kepulauan nusantara. Kuat
dugaan bahwa gaya arsitektu ini meluas seiring penyebaran Islam,
gaya itu pula yang dibawa kembali oleh Syekh Muhammad Qisthi
ke Tapaktuan.
Masjid Tuo al-Khairiah dijadikan pusat pengembangan
serta pembinaan ajaran Islam pada masyarakat. Menurut sebuah
informasi, di masjid ini dulu pernah diselenggarakan pendidikan

16
ala ‘rangkang’ seperti di pesantren. Kegiatan belajar mengajar
dilakukan dengan sistem halakah, di mana pelajar duduk bersila
di hadapan guru yang mengajar.
Di Tapaktuan, kelompok belajar ini dikenal sebagai jamaah
pendidikan al-Khairiah. Kelompok belajar ini telah meletakkan
pondasi bagi lahirnya kader-kader ulama dan tokoh-tokoh
intelektual muslim di Tapaktuan. Di antara kadernya dapat
disebutkan antara lain; Abuya Muhammad Waly al-Khalidi
(Abuya Muda Waly), Abu Zamzami Syam, Prof. Dr. Ismail Sunny,
dan Ustazd Manaf. Satu sumber mengatakan bahwa Teungku
Muhammad Daud Beureu’eh juga pernah menjadi guru di
kelompok pendidikan al-Khairiah ini.
Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, pada
tahun 1938 M dibangunlah madrasah di sekitar masjid. Usaha
ini dipelopori oleh A. Bustamam, seorang pengusaha dermawan.
Pengelolaan madrasah dipercayakan kepada Zamzami Yahya, salah
seorang tokoh pendidikan di Tapaktuan.
Setelah kemerdekaan madrasah ini diserahkan kepada
pemerintah di bawah pengelolaan Kementerian Agama Kabupaten
Aceh Selatan. Kemudian gedung madrasah ini dijadikan PGA
(Pendidikan Guru Agama) 6 Tahun. Ketika PGA 6 Tahun ditutup,
bangunan madrasah ini dijadikan Madrasah Tsanawiyah Negeri
(MTsN) Tapaktuan, dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
Tapaktuan. Sekarang bangunan madrasah dipergunakan untuk
sarana belajar MIN Tapaktuan dan Raudhatul Athfal.
Selain kegiatan ibadah rutin, masjid ini juga digunakan
untuk sarana kegiatan belajar Majelis Taklim, Taman Pendidikan
Alquran (TPQ), serta kegiatan Peringatan Hari-hari Besar Islam
(PHBI) dan sebagainya.

17
Demikian sejarah singkat Masjid Tuo al-Khairiah, setidaknya
tulisan ini menjadi catatan awal bagi penulisan sejarahnya yang
lebih lengkap. Sampai tulisan ini diturunkan, masih ada beberapa
hal yang belum terjawab, misalnya tentang imum chik (imam besar)
yang dulu memimpin di masjid ini.
Sejak berdirinya masjid ini tahun 1272 H/1855 M sampai
1321 H/1940 M, belum ditemukan catatan nama-nama imam
besarnya. Jadi lebih kurang masa 85 tahun ini masih merupakan
masa kegelapan sejarah masjid ini. Baru sekitar tahun 1940 sampai
sekarang yang dapat diketahui susunan Imam Chik Masjid Tuo al-
Khairiah, yaitu sebagai berikut:
1. Tgk. Abu Bakar, di-SK-kan oleh Gubernur Aceh pada tahun
1940 .
2. Tgk. Saliah Umar 1990 s/d 1993.
3. Tgk. Alaidin Muas tahun 1993 beliau hanya bertugas lebih
kurang selama 3 bulan.
4. Tgk. Murtasyidin Burhan tahun 1993 s/d 1996.
5. Tgk. Anasriza tahun 1996 s/d sekarang.

18
KABUPATEN ACEH SELATAN

MASJID NURUL HUDA


Mesjid ini terletak di Desa Pulo Kameng, Kemukiman Sejahtera,
Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan, + 3 Km. dari
Kota Fajar, ibukota Kecamatan Kluet Utara. Berdasarkan ukiran
kaligrafi di tiang masjid, diyakini bahwa Masjid ini dibangun
pada tahun 1282 H, berarti Masjid ini sudah berusia 149 tahun
menurut hitungan tahun hijriyah. Masjid ini didirikan pada
masa Keujruen T. Raja Amansyah, namun keasliannya masih
tetap dipertahankan seperti yang tampak pada gambar di atas.

19
Kubah Masjid Nurul
Huda, unik dengan
gaya arsitektur khasnya
yang cukup megah
untuk masanya.

Meski telah berusia


ratusan tahun, masjid
ini masih tetap kokoh
sebagaimana di masa
jayanya Kerajaan Kluet
dahulu.

Masjid Nurul Huda


dari arah belakang.

20
Kubah Masjid Nurul
Huda bagian dalam.

Dinding masjid ini


menggunakan papan
tebal selebar 40 cm.
Salah satu tiangnya
diberi cincin sebagai
wadah menampung
air bagi masyarakat
yang memandikan
anaknya saat upacara
turuntanah.

Suasana interior
Masjid Nurul Huda,
ketinggian loteng
cukup membuat lega
meski ruangan tertutup
penuh oleh dinding,
berbeda dengan masjid
kuno Aceh lainnya
yang dindingnya
terbuka.
21
Bagian atas masjid ini
banyak dihuni oleh
burung sehingga tiang
bagian atas menjadi
putih oleh kotoran
burung. Di sini
dipasangi jaring agar
tidak mengotori lantai
ruangan salat.

Pada empat tiang


utama terukir
basmalah dan kalimat
tauhid, diselingi oleh
ukiran nama raja atau
keujruen, serta nama
pengurus dan imam
masjid.

Pintu masuk utama


masjid, tidak seperti
masjid kuno lainnya
di Aceh yang dibuat
berundak dengan tiga
anak tangga.

22
Foto lama Masjid
Nurul Huda, Pulo
Kameng. Koleksi
Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh
(PDIA). Tidak
diketahui tahun
pengambilannya.

Di tiang inilah
biasanya masyarakat
membasuh muka,
melepas nazar, atau
melaksanakan upacara
turun tanah untuk
anaknya yang masih
bayi (biasanya saat
berusia tiga bulan).

Dari kiri ke kanan;


Drs. H. Helmi Zakir
ZA, Kasi Kemasjidan
Bid. Penamas Kanwil
Kemenag Aceh, Drs.
Bukhari, Kasi Penamas
Kankemenag Aceh
Selatan, Drs. H. Arijal,
Ka. Kankemenag Aceh
Selatan, dan seorang
staf.
23
Sejarah Ringkas Masjid Nurul Huda

Masjid Nurul Huda adalah Masjid tertua di wilayah Kluet,


Masjid ini terletak di Desa Pulo Kameng, Kemukiman Sejahtera,
Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan. Berjarak sekitar
3 km dari Kota Fajar, ibukota Kecamatan Kluet Utara. Masjid ini
dibangun pada masa Keujreun T. Raja Amansyah.
Pembangunan masjid ini dimotifasi oleh kenyataan lemahnya
pembinaan keagamaan di tengah masyarakat Kerajaan Kluet kala
itu. Maka Keujreun T. Raja Amansyah berinisiatif mendirikan
Masjid. Beliau mengajak masyarakat secara bergotong-royong
untuk membangun masjid. Kerajaan Kluet kala itu meliputi
tujuh kampung, maka masjid ini dibangung di pertengahan tujuh
kampung itu. Ketujuh masyarakat kampung yang terlibat dalam
pembangunan masjid ini adalah sebagai berikut:
1. Kampung Paya
2. Kampung Pulo Kameng
3. Kampung Sawah
4. Krueng Batu
5. Krueng Kluet
6. Kampung Tinggi
7. Kampung Ruak

Pembangunan masjid ini terwujud pada tahun 1282 H, dan


diberi nama Masjid Nurul Huda. Kini Masjid Nurul Huda Pulo
Kameng telah menjadi saksi bisu, sejarah kejayaan Kerajaan Kluet,
dan rekaman perjalanan perkembangan ajaran Islam di wilayah
Kerajaan Kluet.
Menurut informasi dari berbagai sumber, terpilihnya
Desa Pulo Kameng sebagai lokasi pendirian Masjid Nurul Huda
ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah. Dalam musyawarah itu
dipertimbangkan tiga landasan pemikiran sebagai berikut:
1. Penghormatan dari ketujuh kampung dalam wilayah
Kerajaan Kluet, karena Desa Pulo Kameng merupakan
ibukota kerajaan.

24
2. Tempat ini dipandang lebih aman dan nyaman.
3. Letak Desa Pulo Kameng yang berada di tengah-tengah dari
ketujuh kampung dalam wilayah Kerajaan Kluet.

Konstruksi fisik bangunan Masjid Nurul Huda ini ber-


konstruksi kayu. Gaya arsitekturnya mengikuti bentuk bangunan
masjid tradisional Aceh. Masjid ini berukuran 15 x 15 m dengan
12 tiang penyangga yang besar, dan kokoh setinggi lebih kurang 10
m. Satu hal yang cukup artistik, empat tiang utama yang berada
tepat ditengah-tengah bangunan masjid dihiasi dengan ukiran-
ukiran kaligrafi Arab.
Kaligrafi itu berupa tulisan kalimat basmalah, kalimat tauhid
“La ilaha illallah-Muhammad Rasulullah” yang diukir berselang-seling
dengan tulisan Arab Jawi. Pada dua tiang depan, diukir nama
raja, atau keujruen yang pernah memimpin, sedangkan pada dua
tiang belakang, diukir nama pengurus dan imam masjid. Tidak
diketahui kriteria apa yang dijadikan dasar terpilihnya nama-nama
itu untuk diukir pada tiang masjid.
Masyarakat sekitar masjid percaya bahwa masjid ini memiliki
kemuliaan tersendiri (karamah). Indikatornya adalah salah satu
tiangnya yang selalu lembab, tapi tidak melapuk meski telah terjadi
ratusan tahun. Banyak masyarakat yang membasuh muka di tiang
ini, atau memandikan anaknya dalam rangkaian upacara turun
tanah.
Tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai ada yang
membenarkan peristiwa pengembunan pada tiang ini, namun ada
juga yang menyatakan cerita ini tidak benar. Pengembunan itu
justru terjadi karena air yang dibawa oleh orang yang membasuh
muka, atau memandikan anak (turuntanah) di tiang itu. Terlepas
dari benar tidaknya cerita itu, sekarang ini tiang itu tidak ada
lagi mengembun, setidaknya pada masa tim penulisan buku ini
berkunjung.
Selain untuk kegiatan ibadah salat berjamaah, masjid ini juga
digunakan untuk pengajian majelis taklim, dan acara peringatan
hari-hari besar Islam. Masjid ini tidak pernah sepi oleh pengunjung

25
baik dari masyarakat Aceh Selatan maupun masyarakat dari luar
Kabupaten Aceh Selatan. Biasanya mereka datang untuk melepas
nazar, memberikan sedekah, atau kunjungan wisata rohani untuk
menyaksikan kemegahan serta keindahan masjid yang menjadi
bukti kejayaan Islam masa Kerajaan Kluet.
Selain itu tidak diperolah informasi tentang peran masjid
ini dalam masa-masa perang melawan penjajahan Belanda atau
Jepang. Namun demikian, Masjid Nurul Huda Pulo Kaeng tidak
kurang nilai sejarahnya. Di samping sebagai sarana ibadah, dan
sarana pendidikan, masjid ini telah merekam kegigihan Kerajaan
Kluet dalam upaya pembinaan masyarakat. Masjid ini telah
menjadi pusat pengembangan ajaran Islam pada masa kejayaan
Kerajaan Kluet, dan bertahan sampai sekarang.

26
KABUPATEN NAGAN RAYA

MASJID TEUNGKU CHIK DI KILA


Mesjid ini terletak di Gampong Kila, Kecamatan Seunagan
Timur, Kabupaten Nagan Raya. Masjid ini didirikan pada
tahun 1905 oleh Teungku Chik Di Kila dengan ukuran 8 x 8
m di atas tanah seluas 25 x 30 m. Posisi masjid di atas dataran
tinggi sehingga untuk mencapainya harus melewati tangga yang
anak tangganya berjumlah 76 buah.

27
Masjid Teungku Chik
Di Kila, didirikan
pada tahun 1905 oleh
seorang ulama tokoh
perjuangan melawan
kolonial Belanda.

Gaya arsitektur masjid


ini mengikuti gaya
tradisional yang lazim
berkembang di Aceh
kala itu.

Gambar bagian
belakang masjid,
tampak ruang mihrab
dibuat berbentuk
setengah lingkaran
dari bahan beton.

28
Ruang dalam masjid,
di sinilah Teungku
Chik Di Kila melaksa-
nakan pengajian dan
konsolidasi perjuangan
melawan penjajah
kolonial Belanda.

Guci peninggalan
Teungku Chik Di
Kila. Para jamaah
membasuh kaki di
sini sebelum masuk ke
masjid.

Letak masjid di
puncak dataran tinggi
mengharuskan jamaah
melewati tangga yang
berjumlah 76 anak
tangga.

29
Sejarah Ringkas Masjid Teungku Chik Di Kila
Mesjid ini dibangun oleh seorang ulama besar yang telah
mengabdikan hidupnya demi dakwah Islam untuk masyarakat
Seunagan Timur. Di masa penjajahan Belanda, Teungku Syik Di
Kila dikenal sebagai salah seorang ulama besar yang gigih berjihad
melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat mengenang
beliau sebagai tokoh ulama pejuang kemerdekaan.
Ketokohan beliau terus dikenang masyarakat. Apalagi salah
seorang cucunya juga telah memberi kebanggaan tersendiri bagi
masyarakat, yaitu Dr. Abdul Gafur yang sempat menjabat Menteri
Pemuda dan Olahraga pada masa Pemerintahan Orde Baru.
Terakhir Abdul Gafur pernah datang berkunjung ke Kila sebanyak
dua kali, yaitu tanun 1990 dan 1992.
Selain sebagai pusat pendidikan agama, Masjid Teungku
Chik Di Kila juga pernah menjadi pusat konsolidasi perjuangan
melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa pemberontakan
DI/TII, masjid ini juga pernah dijadikan pusat pertahanan DI/TII
oleh Tgk. H. Zakaria Yunus (pimpinan DI/TII Aceh Barat Raya)
di masa Abu Beureu’eh.
Sebagai saksi sejarah, kini masjid ini telah dijadikan cagar
budaya kepurbakalaan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

30
KABUPATEN NAGAN RAYA

MASJID JAMIK PAYA UDEUNG


Masjid ini terletak di Desa Paya Udeung, Kecamatan Seunagan,
Kabupaten Nagan Raya. Didirikan pada tahun 1937 oleh
Teungku Ben Su‘ud, beliau merangkap imam sekaligus khatib
pertama masjid ini. Masjid ini didirikan dari dana swadaya
masyarakat, dengan luas 8 x 7 meter di atas tanah seluas 15 x
30 meter.

31
Masjid Jamik Paya
Udeung yang
didirikan pada tahun
1937. Kondisinya
masih cukup baik,
namun sayang kurang
terawat.

Masjid ini didirikan


oleh Teungku Ben
Su‘ud yang merupakan
tokoh ulama pejuang
di masa perang
kolonial Belanda di
Aceh. Beliau sangat
berjasa dalam usaha
pembangunan
masyarakat sekitar
Desa Paya Udeung,
khususnya dalam
bidang keagamaan.

Ruang dalam Masjid


Jamik Paya Udeung,
Kecamatan Seunagan,
Kabupaten Nagan
Raya.

32
KABUPATEN NAGAN RAYA

MASJID JAMIK UJONG BLANG


Masjid ini terletak di Desa Blang Geudong, Kecamatan
Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya. Didirikan pada
tahun 1940 oleh Keujruen Badai. Imam masjid yang pertama
adalah Teungku Insya, dan khatib pertamanya adalah Teungku
Khatib Hamzah. Masjid seluas 8 x 12 meter ini dibangun dari
dana swadaya masyarakat, di atas lahan seluas 25 x 40 meter.

33
Masjid ini didirikan
pada masa penjajahan
Jepang, yaitu pada
tahun 1940 oleh
Keujruen Badai.

Pendiri masjid ini,


Keujruen Badai, masih
dikenang masyarakat
sebagai tokoh yang
berjasa dalam
pembinaan kehidupan
beragama masyarakat
Desa Blang Geudong
dan Sawang Mane.

Ruang dalam Masjid


Jamik Ujong Blang,
Desa Blang Geudong,
Kecamatan Seunagan
Timur, Kabupaten
Nagan Raya.

34
KABUPATEN NAGAN RAYA

MASJID JAMIK BABUL MUJAHIDIN


Mesjid Jamik Babul Mujahidin terletak di Desa Pasi Luah,
Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya. Didirikan
pada tahun 1945 oleh Teungku Abu Bakar Ali, Teungku Badai,
dan Teungku Nurdin. Imam masjid yang pertama dijabat oleh
Teungku Salihin, dan khatib masjid pertama adalah Teungku
Adami Usman. Masjid berukuran 8 x 12 meter ini dibangun
dengan dana swadaya masyarakat di atas lahan seluas 25 x 30
meter.

35
Masjid Babul
Mujahidin ini
dibangun pada tahun
1945, dalam masa
pendudukan Jepang di
Aceh.

Masjid ini
merupakan saksi
sejarah perjuangan
kemerdekaan di Nagan
Raya, dan pergolakan
DI/TII.

Ruang dalam Masjid


Babul Mujahidin,
Desa Pasi Luah,
Kecamatan Tadu Raya,
Kabupaten Nagan
Raya.

36
KABUPATEN ACEH BARAT

MASJID BAITUL ABYADH


Masjid ini berada di Gampong Krueng Beukah, atau Gampong
Geuliran (Bahasa Jawa), atau Gampong Sawang Mindu
(Bahasa Belanda), Kemukiman Gunong Meuh, Kecamatan
Pante Ceureumen (Pemekaran dari Kecamatan Kaway XVI),
Kabupaten Aceh Barat. Berjarak sekitar 31 kilometer dari Kota
Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat. Didirikan oleh
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 di atas tanah seluas 60 x
40 meter, atas permintaan Teungku Uleebalang Cut.

37
Masjid Baitul Abyadh
yang didirikan
pada tahun 1914.
Bangunan berbentuk
segi delapan ini
dibangun oleh
Pemerintah Belanda
atas permintaan
Uleebalang Cut.

Majid ini masih


dipertahankan dalam
kondisi sebagaimana
aslinya. Situs sejarah
yang perlu dilestarikan.

Interior ruang
salat masjid ini
memperlihatkan ciri
arsitektur bergaya
Eropah.

38
Sejarah Ringkas Masjid Baitul Abyadh
Mesjid Baitul Abyadh didirikan pada tahun 1914. Dibangun
oleh Pemerintah Kolonial Belanda atas permintaan Teungku
Uleebalang Cut yang berkuasa di Meulaboh pada saat itu.
Pada masa itu Belanda membuka lahan perkebunan karet
yang tanahnya merupakan milik uleebalang. Banyaknya buruh
yang beragama Islam menuntut pendirian masjid sebagai sarana
ibadah. Buruh-buruh itu umumnya berasal dari penduduk
muslim pribumi, dan sebagian lagi didatangkan dari Pulau Jawa.
Mereka juga umumnya beragama Islam, meski tidak kurang juga
yang beragama Hindu dan Budha. Namun kebanyakan mereka
kemudian memilih masuk Islam.
Pembangunan masjid ini terwujud sebagai kompensasi dari
perizinan penggunaan areal kebun. Jika pihak Belanda tidak mau
mendirikan masjid, maka uleebalang tidak mau memberikan izin
menggarap perkebunan karet. Sampai sekarang perkebunan karet
itu masih Produktif.
Penduduk sekitar masjid merupakan perbauran suku Jawa
dan Aceh yang umumnya bekerja sebagai petani. Mereka telah
berasimilasi sejak ratusan tahun silam, sehingga sekarang sulit
sekali membedakan mereka secara kesukuan. Iklim keagamaan
tampak sangat kuat dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.
Hal ini juga tercermin dari sikap mereka yang teguh memegang
adat istiadat Aceh yang islami, meski secara simbolik daerah itu
dikenal dengan nama ‘Gampong Jawa’.
Guna memenuhi kebutuhan ilmu agama di tengah
masyarakat, pada tahun 1948 didirikan sebuah lembaga pendidikan
Islam oleh Teungku Muhammad Juwaini.

Spesifikasi Masjid.
Masjid Baitul Abyadh berdiri di atas tanah seluas 60 x 40
meter yang merupakan wakaf Uleebalang Cut. Pondasi masjid
terbuat dari batu bata merah yang tidak dijumpai bandingannya
dalam bangunan modern sekarang ini. Konstruksinya dibangun
menggunakan semen putih, dan besi yang berdiameter 60 mm.

39
Bahan baku bangunan tersebut diberikan oleh pihak perkebunan
Belanda. Mereka mendatangkannya dari Pulau Jawa.
Arsitektur masjid berbentuk segi delapan. Jika dilihat dari
arsitekturnya, jelas merupakan gaya arsitektur Eropah dengan
Kubah besar di tengahnya. Tiang-tiang masjid, dan rangka
penyangga bangunan terbuat dari bahan kayu. Masjid ini memiliki
lima anak tangga yang menurut masyarakat setempat, hal ini
melambangkan rukun Islam.
Masjid Baitul Abyadh berdiri megah di pinggir Krueng
Meureubo. Satu hal yang patut disyukuri, masjid ini tidak tergerus
oleh erosi sungai. Masyarakat setempat menganggap mesjid Baitul
Abyadh memiliki kelebihan dan kemuliaan (karamah). Indikasinya
aliran sungai yang sudah tiga kali berpindah setiap kali mendekati
pondasi masjid.
Indikasi karamah lainnya, menurut masyarakat setempat,
adalah peristiwa unik dalam masa ketegangan konflik di Aceh
sekitar tahun 1998 sampai 2005 silam. Dikisahkan banyak
masyarakat yang mengungsi ke Masjid Baitul Abyadh, dan
mereka terselamatkan dari resiko konflik. Menurut masyarakat,
‘sepanas’ apa pun para pihak yang bertikai, jika mereka memasuki
pekarangan mesjid, maka mereka akan menjadi ‘dingin’. Bahkan
sesampainya di masjid, mereka akan bersahabat, bahkan menjadi
seperti bersaudara.
Sampai sekarang masjid ini masih digunakan untuk kegiatan
keagamaan. Selain untuk ibadah salat berjamaah, di masjid ini juga
tetap diadakan pengajian majelis taklim oleh masyarakat setempat.
Selain itu, di masjid ini juga diselenggarakan pendidikan untuk
anak-anak, yaitu Taman Pendidikan Alquran (TPQ).

40
KABUPATEN ACEH BARAT

MASJID TUHA MANJENG


Mesjid Tuha Manjeng terletak di Gampong Manjeng, Kecamatan
Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat. Berjarak sekitar 60
kilometer dari kota Meulaboh. Didirikan pada tahun 1918
oleh Abu Habib Muda Seunagan sebagai tempat ibadah, dan
kegiatan belajar untuk masyarakat sekitar Pante Ceureumen.
Mesjid berukuran 8 x 12 meter ini kemudian menjadi pusat
pengembangan tarekat Syattariah di Kabupaten Aceh Barat dan
sekitarnya.

41
Sejarah Ringkas Masjid Tuha Manjeng

Masjid Tuha Manjeng didirikan pada tahun 1918 oleh Abu


Habib Muda Seunagan yang bernama Habib Muhammad Yeddin
bin Habib Muhammad Yasin. Beliau juga disapa Abu Peulukueng,
Abu Nagan, Abu Balee, Abu Tuha, dan Teungku Puteh. Beliau
merupakan salah seorang ulama yang termasuk tokoh pejuang
kemerdekaan.

42
Pembangunan masjid berukuran 8 x 12 meter ini dikerjakan
oleh tukang yang berjumlah empat orang. Hampir seperti sejarah
pendirian Masjid Demak yang dilakukan oleh empat orang wali
dari Wali Songo, (Sammina Daud, Abu Habib Muda Seunagan dan
Thariqat Syattariyah, 2005). Masjid Tuha Manjeng berasitektur
seperti Mesjid Demak.
Menurut masyarakat setempat Abu Habib Muda Seunagan
Masih Satu keturunan dengan Sunan Giri dan sunan Gunung Jati
yang lebih dikenal dengan nama Fatahillah. Masjid ini ditopang
empat tiang kayu utama yang berbentuk segi delapan. Setiap satu
tiang dikerjakan oleh satu orang tukang. Lantai dan pondasi masjid
terbuat dari tanah
liat yang dicampur
air lalu dikeraskan.
Konstruksi masjid
dibuat dari bahan
kayu, termasuk din-
ding yang dipasang
tanpa paku, tapi me-
makai pasak.
Abu Habib
Muda Seunagan
dikenal masyarakat
sebagai da‘i yang
berdakwah sambil
mengembangkan
Tarikat Syattariyah. Beliau sendiri merupakan mursyid dalam
Tarikat Syattariyah. Perjalanan dakwah inilah yang mengantarkan
beliau sampai ke Manjeng, Kecamatan Kaway XVI Kabupaten
Aceh Barat. Seiring bertambahnya pengikut tarikat ini, Abu Habib
Muda merasa perlu mendirikan masjid sebagai tempat beribadah
dan mengembangkan dakwahnya di daerah Pante Ceureumen,
khususnya di Desa Manjeng. Oleh karena itu, tidak heran jika
sampai sekarang di Kecamatan Pante Ceureumen banyak pengikut
Tarikat Syattariyah.

43
Pada masa perang kolonial Belanda di Aceh, masjid ini
menjadi tempat menyusun strategi perang melawan penjajah
Belanda. Abu Habib Muda Seunagan beserta pengikutnya turun
menjadi mujahid perang melawan Belanda. Ketokohan Abu Habib
Muda Seunagan terbangun dari keberadaan pengikut Tarikat
Syattariyah yang dikembangkannya. Pengikut beliau tersebar di
seluruh Aceh, terutama di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan,
Aceh Tenggara, dan Kabupaten Pidie. Di Aceh Barat, kegiatan
tarikat terpusat di Kecamatan Kaway XVI, dan Kecamatan Darul
Makmur (sebelum pemekaran), juga Lama Inong, dan Tangan-
Tangan. Sedangkan di Kabupaen Aceh Selatan, kegiatan terpusat
di Labuhan Haji, Kuta Cane di Kabupaten Aceh Tenggara, dan
Garöt di Kabupaten Pidie. Diperkirakan, pengikut beliau kala itu
lebih kurang 50.000 orang.
Dalam mengembangkan Tarikat Syattariyah, masjid ini
dijadikan pusat kegiatan dan pendidikan untuk masyarakat.
Fungsi ini terus berlanjut sampai sekarang. Selain itu, di masjid
Manjeng juga penah dilakukan ‘Pesijuek Nanggroe’ pertama kali di
Aceh Barat.

44
KABUPATEN ACEH BARAT

MASJID AL-KAUTSAR
Mesjid al-Kautsar berada di Desa Pungkie, Kecamatan Kaway
XVI, Kabupaten Aceh Barat. Berjarak sekitar 20 kilometer
dari Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat. Jarak ini dapat
ditempuh dengan perjalanan darat dalam waktu tempuh sekitar
satu jam. Masjid yang didirikan pada tahun 1913 ini berdiri
kokoh di pinggir sungai, Krueng Meureubo. Dengan posisi
ini, masjid seluas 10 x 14 meter ini mendapatkan sumber air
melimpah untuk kebutuhan bersuci jamaahnya.

45
Masjid al-Kautsar,
dilihat dari arah
samping masjid.

Pandangan dari arah


belakang. Tampak
telah ditambahkan
teras pada bagian
samping masjid.

Ruang shalat masjid


al-Kautsar, disain
interiornya merupakan
perpaduan gaya Timur
Tengah dan lokal.

46
Sejarah Ringkas Masjid Jamik al-Kaustar

Masjid al-Kautsar didirikan pada tahun 1913. Posisinya


berada di tengah perumahan penduduk sehingga sangat efektif
untuk menyelenggarakan segala kegiatan, baik keagamaan mau-
pun sosial. Pendirinya adalah Teungku Abdurrahman, berasal
dari Pidie, tapi lebih dikenal dengan sapaan Teungku Syik Kuala
Manyeu. Beliau merantau sampai ke Pungkie menyebarkan syiar
Islam. Sebelum menetap di Pungkie beliau sempat berdomisili di
Gampong Kuala Manyeu, itulah kenapa beliau disapa Teungku
Syik Kuala Manyeu.
Luas masjid semi permanen ini adalah 10 x 14 meter,
pondasinya terbuat dari semen, bagian atas dindingnya terbuat
dari papan kayu. Dinding bagian bawah terbuat dari batu
hancuran yang ditempelkan dengan semen, lantainya juga dibuat
dari semen.
Pada mulanya masjid ini tidak memiliki kubah. Lalu pada
tahun 1957, masjid ini diberi kubah oleh Pemangku Bupati Aceh
Barat/Wedana, yaitu Abdul Karim Abdullah.
Masjid al-Kautsar didirikan di atas tanah bekas aliran sungai
Krueng Meureubo. Sampai sekarang masih terlihat tanda-tanda
bekas aliran sungai yang berpindah sejauh lebihkurang 100 meter
dari lokasi masjid. Menurut masyarakat setempat, perpindahan
aliran sungai itu terjadi karena terkabulnya doa Teungku Syik
Kuala Manyeu. Alkisah, pada waktu hendak mendirikan masjid,
terkendala kesulitan lokasi untuk pertapakan masjid. Lalu Tgk.
Syik Kuala Manyeu menggelar doa bersama. Beberapa lama
kemudian aliran sungai pun bergeser sehingga lokasi yang tersedia
mencukupi untuk pertapakan masjid.
Sejak dari pendiriannya, masjid ini menjadi pusat kegiatan
keagamaan dan sarana ibadah bagi masyarakat yang berdomisili
di empat belas gampöng (desa) sekitar masjid. Desa-desa ini masuk
dalam wilayah kemukiman Tanjöng, Meulaboh. Hal ini berlangsung
dari tahun 1913 sampai tahun 1951, terutama dalam kegiatan Salat
Jumat dan peringatan hari-hari besar Islam seperti maulid.

47
Setelah Teungku Syik Kuala Manyeu meninggal, masyarakat
juga menggelar kegiatan tambahan di masjid ini untuk mengenang
jasa Teungku Syik Kuala Manyeu. Bagi masyarakat, beliau adalah
seorang guru, dan pembimbing umat. Setelah tahun 1951,
perkembangan penduduk menuntut pendirian masjid-masjid baru
sehingga masyarakat tidak perlu menempuh jarak yang demikian
jauh untuk menunaikan ibadah Salat Jumat.
Masyarakat sekitar mesjid umumnya petani yang taat
beragama dan kuat mempertahankan kehidupan adat istiadat
Aceh. Masjid ini dulunya merupakan pusat pendidikan yang
disebut dayah/pesantren, yaitu Dayah Babul Huda. Pendidikan
yang digelar adalah setingkat ibtidaiyah, dan pendidikan untuk
anak-anak yang belajar Alquran dan kitab-kitab jawi bertulisan
Arab-Melayu.

48
KABUPATEN PIDIE

MASJID BAITUL A’LA LIL MUJAHIDIN


Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin atau lebih dikenal dengan
sebutan Masjid Abu Beureu’eh terletak di Kecamatan Mutiara,
Kabupaten Pidie. Didirikan pada tahun 1950 atas prakarsa
Teungku H. Muhammad Daud Beureueh (Abu Beureueh).
Masjid berukuran 1.350 m2 ini dibangun di atas tanah seluas
10.200 m2. Pembangunan masjid ini pernah tertunda karena
terjadinya perang di Aceh, dan kemudian mulai dibangun
kembali pada tahun 1963.

49
Masjid Baitul A’la Lil
Mujahidin, pandangan
dari arah samping.

Ruang salat Masjid


Baitul A’la Lil
Mujahidin.

Ruang salat dengan


pandangan ke arah
dalam kubah, dihiasi
lampu kristal.

50
Pandangan dari arah
belakang masjid.
Lokasi yang dipagari
terali ini adalah
makam Teungku H.
Muhammmad Daud
Beureu’eh

Pilar penyangga kubah


yang dihiasi relif
berukir hiasan floral.

Makam Teungku H.
Muhammad Daud
Beureu’eh.

51
Sejarah Ringkas Masjid Baitul A‘la Lil Mujahidin

Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin didirikan pada tahun 1950


atas prakarsa Teungku H. Muhammad Daud Beureu’eh (Abu
Beureu’eh). Masjid seluas 1.350 m2 ini didirikan di atas tanah
seluas 10.200 m2. Pembangunan mesjid ini pernah tertunda karena
terjadinya perang Aceh, dan dilanjutkan pada tahun 1963.
Abu Beuereu’eh seorang ulama pemimpin umat yang
disegani, dan dihormati semua kalangan. Beliau membangun
masjid ini dengan bantuan masyarakat. Tahap pembangunan
pondasi, penimbunan, pengadaan kerikil, batu, air, dan lain lain
dikerjakan oleh masyarakat Kecamatan Mutiara tanpa pamrih.
Untuk biaya membeli material, dikumpulkan ‘beras segenggam’
dari masyarakat, baik yang tinggal di Aceh, maupun yang tinggal
di luar Aceh.
Ketokohan Abu Beureu’eh mengundang simpati banyak
orang terhadap masjid ini. Oleh karena itu tidak heran jika mereka
yang melintas, baik dari arah timur maupun barat, berupaya
menjadwalkan Salat Jumat di masjid Abu Beureueh ini, khususnya
semasa Abu Beureu’eh masih hidup.
Teungku H. Muhammad Daud Beureueh lahir di Gampong
Beureu’eh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, pada tanggal
15 September 1899. Ayahnya bernama Teungku Ahmad, Keusyik
Gampong Beureueh, dan ibunya bernama Aminah. Kakek beliau
masih keturunan Raja Pattani Darussalam (Thailand Selatan),
bernama Haji Muhammad Adami.
Abu Beureu’eh menimba ilmu di dayah tradisional di
kampungnya. Selain itu, beliau juga sempat sekolah di Governement
Inlandsche School, Seulimum. Bakat yang paling menonjol pada diri
beliau adalah bakat orasi sehingga terkenal sebagai pendakwah
ulung. Setiap kali beliau berceramah di mana pun daerah Aceh,
kehadiran beliau selalu disambut meriah oleh masyarakat.
Pemikiran Abu Beureu’eh sangat moderat, itulah kenapa
kemudian beliau berjuang melakukan pembaharuan pendidikan
di Aceh. Beliau mengelola madrasah dengan sistim pendidikan

52
modern, dan berperan dalam pendirian organisasi kependidikan
seperti Jam‘iyah Diniyah, Jami‘yah Hasbiyah, Jam‘iyah Madaniyah,
Jam‘iyah Najdiyah, Jam‘iyah Khairiyah, dan sebagainya. Organisasi
ini kemudian berafiliasi menjadi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh). Dalam kongres pertama di Matang Glumpang Dua pada
tahun 1939, Abu Beureu’eh terpilih sebagai ketua umum PUSA.
Tahun 1940 diselenggarakan kongres berikutnya di Kuta
Asan, Sigli. Pada masa ini organisasi PUSA dilengkapi dengan
organisasi kepemudaan yang bernama Pemuda PUSA, organisasi
muslimat bernama Muslimat PUSA, dan organisasi kepanduan
bernama Kasysyafatul Islam. PUSA menjelma menjadi organisasi
besar yang disegani Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu.
PUSA berpusat di Sigli dengan Teungku Muhammad
Daud Beureu’eh sebagai pimpinan, dan sekretarisnya Teungku
Muhammad Amin. Pemuda PUSA berpusat di kota Idi, ketua
umumnya Teungku Amir Husin al-Mujahid, dan sekretaris
Teungku Abubakar Adamy. Adapun Kasysyafatul Islam dipimpin
Abdulgani Usman (Ayah Gani) sebagai Ketua Kuartir Besar, dan
bermarkas di Bireun.
Setelah pecah perang Asia Timur Raya, PUSA tidak mau
bekerjasama dengan Belanda dalam menghadapi Jepang. PUSA
dan Pemuda PUSA mengorganisir gerakan bawah tanah yang
memberontak pertama kali di Seulimeum di bawah pimpinan
Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Abdul Wahab Seulimum,
dan rekan-rekannya. Berlanjut di Sigli di bawah pimpinan Teungku
Muhammad Daud Beureu’eh, dan selanjutnya di Aceh Barat di
bawah komando Teungku Sabi Lageun. Akhirnya para ulama di
seluruh Aceh turut memberontak terhadap Belanda.
Perlawanan yang sama juga ditunjukkan PUSA terhadap
Jepang setelah jelasnya sikap menjajah Jepang. Penentangan ini
diketahui oleh Kempetai sehingga beberapa tokoh PUSA ditangkap
oleh Jepang, termasuk di dalamnya Teungku Muhammad
Daud Beureu’eh. Namun karena intensifnya usaha lewat jalur
perundingan oleh rekan-rekan seperjuangan, Teungku Muhammad
Daud Beureu’eh dan tokoh-tokoh politik Aceh lainnya, akhirnya

53
dibebaskan kembali oleh Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945, rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh dan ulama Aceh lainnya berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Mereka bergabung dalam API (Angkatan
Pemuda Indonesia) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia. API di Aceh dibentuk oleh Syamaun Gaharu. Teungku
Muhammad Daud Beureu’eh kala itu tergabung dalam Divisi
Teungku Syik Di Tiro. Kemudian Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh diangkat menjadi Gubernur Militer Langkat dan Tanah
Karo, di bawah kepemimpinan beliau dibentuklah TNI di Aceh.
Peristiwa ini menjadi catatan sumbangan Aceh bagi kemer-
dekaan Republik Indonesia. Para Pengamat sejarah dan politik
mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia dimodali oleh Aceh.
Namun kemudian pemerintah membuat kebijakan politik yang
menimbulkan keguncangan di Aceh sendiri. Rakyat Aceh merasa
kecewa dan tidak dihargai atas apa yang telah dikorbankan demi
kemerdekaan negara. Maka terjadilah pemberontakan DI/TII
pada tahun 1953.
Teungku Muhammad Daud Beureu’eh memproklamirkan
negara Islam di Aceh. Namun gerakan ini berakhir dengan ikrar
Lamteh, dan Abu Beureu’eh pun kembali kepangkuan Negara
Republik Indonesia.
Teungku Muhammad Daud Beure’eh berpulang ke
rahmatullah pada Bulan Juni 1987. Beliau dimakamkan di
kampung halamannya secara sederhana, sesuai permintaan beliau
sendiri. Makam beliau berada di belakang Masjid Baitul A‘la Lil
Mujahidin, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie.

54
KABUPATEN BIREUEN

MASJID TEUNGKU CHIK KUTA BLANG


Masjid Kuta Blang terletak di Desa Lhok Seumira, Kemukiman
Lima, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Setelah
pemekaran kemukiman, sekarang masjid ini masuk dalam
wilayah kemukiman Teungku Syik Pulo Baroh. Masjid ini
didirikan pada tahun 1901, dan sangat erat kaitannya dengan
Dayah Kuta Blang (pesantren), karena imam masjid ini juga
pimpinan Dayah Kuta Blang.

55
Sejarah Ringkas Masjid Teungku Chik Kuta Blang

Masjid Teungku Syik Kuta Blang didirikan pada tahun 1901,


di kalangan orang tua disebut thön sa (tahun satu). Masjid ini
dibangun oleh almarhum Teungku H. Syekh Abdul Jalil sekembali
beliau dari tanah suci Mekah. Peletakan batu pertama masjid
ini dihadiri Ampon Syik Samalanga, selain itu turut pula hadir
seorang Kapten Belanda. Pertapakan tanah tempat pembangunan
masjid adalah wakaf dari almarhum Ampon Syik Samalanga, yaitu
almarhum Ampon Syik H. Muhammad Ali Basyah. Demikian pula
rumah tempat tinggal pimpinan pesantren, adalah wakaf dari Cut
Nyak Meuligoe, yaitu rumah yang dikenal dengan Rumoh Tujoh
Ruweueng (rumah dengan tujuh ruangan).
Masjid Kuta Blang ini dibangun oleh almarhum Teungku
H. Syekh Abdul Jalil dengan mempekerjakan oleh seorang kepala
tukang muallaf Cina bernama Ibrahim. Arsitekturnya mengikuti
model Masjid Nabawi, didisain sedemikian rupa dengan arsiteknya
Teungku Syekh Abdul Jalil sendiri.
Masjid Kuta Blang yang dibangun pada zaman Belanda
ini sudah masuk dalam situs sejarah nasional. Bentuknya yang
unik dan indah dikenal masyarakat dengan sebutan Meuseujid
Batee Puteh. Masjid ini sejak didirikan bak thön sa (pada tahun
1901) sampai sekarang masih dalam bentuknya yang asli seperti
sediakala, belum mengalami renovasi sedikitpun.

56
KABUPATEN ACEH TENGAH

MASJID AWALUDDIN
Masjid Awaluddin terletak di Kampung Kute Gelime, Kecamatan
Ketol, Kabupaten Aceh Tengah. Didirikan pada tahun 1890
oleh Teungku Syekh Abdur Rauf, seorang Arab yang datang
ke Takengon untuk mengembangkan agama Islam. Konstruksi
masjid berukuran 7 x 7 m2, dibuat dari kayu gerupel yang
memiliki gurat sangat indah, dan beratap ijuk. Namun pada
tahun 1953 dirombak total menjadi seperti pada gambar di atas,
lalu diganti dengan bangunan permanen pada tahun 2004.

57
Masjid Awaluddin,
Ketol. Bangunan
permanen ini telah
menggantikan masjid
Awaluddin lama yang
dibangu oleh Teungku
Syekh Abdur Rauf.

Tidak tampak
lagi bukti sejarah
Islam masa lalu di
Kecamatan Ketol,
maka sejarah ini
wajib diabadikan
secara tertulis agar
semangatnya tetap
terwarisi.

Masjid Awaluddin,
Ketol. Masih belum
rampung dikerjakan.

58
Sejarah Ringkas Masjid Awaluddin, Ketol
Masjid Awaluddin terletak di Kampung Kute Gelime,
Kecamatan Ketol, oleh sebab itu masjid ini lebih dikenal dengan
sebutan Masjid Ketol. Menurut beberapa sumber, masjid ini
didirikan sekitar tahun 1890 oleh Teungku Syekh Abdur Rauf,
seorang Arab yang datang ke Takengon untuk menyebarkan agama
Islam. Akan tetapi karena faktor usia, Teungku Abdur Rauf tidak
sempat merampungkan pembangunan masjid ini. Kemudian
beliau meminta Syekh Hasyim yang kala itu tinggal di Banda
Aceh, untuk melanjutkan pembangunan Masjid Awaluddin.
Saat Teungku Syekh Abdur Rauf jatuh sakit, masyarakat
mengusung beliau menuju Peureulak, namun di tengah perjalanan
beliau menghembuskan nafas terakhir. Sesuai wasiat beliau agar
dimakamkan di mana beliau meninggal, maka jenazah beliau
dikuburkan di pendakian dekat Blang Jorong, Pondok Baru,
Bener Meriah. Rombongan mencari lokasi yang agak datar untuk
membuka pemakaman di sekitar pendakian yang curam itu.
Menurut penuturan masyarakat, jenazah Teungku Syekh
Abdur Rauf menghilang setelah sempurna di-fardhu kifayah-kan.
Peristiwa unik itu terjadi tepat saat jenazah hendak dikebumikan.
Akhirnya rombongan memutuskan untuk menutup kuburan
sebagaimana lazimnya, walau jenazah sudah tidak ada. Sampai hari
ini kuburan Teungku Syekh Abdur Rauf masih sering diziarahi
masyarakat.
Pada mulanya masjid berukuran 7 x 7 m2 ini beratap
ijuk, dan konstruksinya dibuat dari kayu gerupel, sejenis kayu
yang memiliki gurat ukiran sangat indah. Lantainya dibuat dari
batu alam yang disusun rapi. Pada mulanya, masjid ini hanya
diperuntukkan bagi jamaah khusus yang level pengajiannya sudah
mencapai tingkat tertentu. Namun kemudian masjid ini juga
dibuka untuk masyarakat secara umum.
Sekitar tahun 1910, atap ijuk diganti dengan atap rumbia,
pada saat ini, masyarakat umum sudah boleh salat di masjid ini.
Salat Jumat pun diadakan di masjid ini, masyarakat datang dari

59
Kecamatan Celala, Kampung Pepayungen Angkup, Arul Kumer,
Wihni Durin, dan beberapa desa sekitar lainnya di luar Kecamatan
Ketol. Ketiadaan alat transportasi, dan sulitnya medan yang
ditempuh, mengharuskan masyarakat yang hendak Salat Jumat
untuk datang pada Hari Kamis. Mereka bermalam di Kecamatan
Ketol, dan baru berangkat pulang pada esok harinya.
Sekitar tahun 1940, masjid ini direhab oleh seorang tukang
berdarah Cina yang telah masuk Islam, bernama Ismail. Ukuran
masjid diperluas menjadi 10 x 10 m2, dan atapnya diganti dengan
bahan seng. Pada tahun 1953, kembali dilakukan rehabilitasi
sehingga ukuran masjid menjadi 10 x 12 m2. Dalam rehab kali
ini, bangunan masjid dirombak menjadi semi permanen dan
dibuatkan kubah di atasnya, (lihat foto halaman 57).
Pada tahun 2004, Masjid Awaluddin dirombak total menjadi
bangunan permanen, (lihat foto halaman 58). Ukuran masjid
masih tetap dalam ukuran sebelumnya (10 x 12 m2), namun ciri
khas bangunan lama telah hilang. Masjid Awaluddin permanen
ini dibangun dengan dana bantuan Pemerintah Provinsi Aceh,
ditambah swadaya masyarakat.

60
KABUPATEN BENER MERIAH

MASJID BAITURRAHMAN
Masjid Baiturrahman, Tingkem terletak di Desa Tingkem,
Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah. Lokasinya berjarak
lebih kurang 900 m dari komplek perkantoran Pemerintah
Daerah Kabupaten Bener Meriah. Sekarang Desa Tingkem
termasuk bagian dari Kota Redelong yang merupakan ibukota
dari Kabupaten Bener Meriah.

61
Sejarah Ringkas Masjid Tingkem
Masjid Tingkem terletak di Desa Tingkem, Kecamatan
Bukit, Kabupaten Bener Meriah, berjarak lebih kurang 900 m dari
komplek perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Bener Meriah.
Sekarang Desa Tingkem termasuk bagian dari Kota Redelong yang
merupakan ibukota dari Kabupaten Bener Meriah.
Tidak didapatkan data tentang waktu pendirian pertama
masjid ini, namun, dari wawancara dengan tokoh masyarakat
Tingkem, Tgk. Ismail Ahmad (Imam Masjid Tingkem), dan Tgk.
Usman Saleh (Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Kabupaten Bener
Meriah), diketahui bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1899.
Tempatnya di pinggir desa, sekitar 150 m dari lokasi Masjid sekarang.
Namun sayang, foto masjid lama tidak berhasil diperoleh.
Di lokasi masjid lama dibangun sekolah dasar yang
pendidikannya hanya sampai kelas tiga (Voor Volk School).
Ini merupakan sekolah pertama di Kabupaten Bener Meriah,
(Mahmud Ibrahim, 2001: 77). Muridnya berasal dari seluruh desa
yang ada di Kabupaten Bener Meriah.
Pada masa perang kolonial Belanda, masjid ini menjadi
pusat konsolidasi pejuang yang berasal dari Tingkem, di antaranya
Pang Bedil (Reje Bedil), Tgk. Aman Kumang, Aman Gamad, dan
Tgk. Sungkit. Mereka bergabung dengan pejuang Gayo dari desa
lain, dan bermarkas di Bur Kul (Bukit Besar) dan hutan-hutan di
wilayah Kabupaten Bener Meriah. Pasukan pejuang ini melakukan
penghadangan terhadap pasukan Belanda yang bergerak dari

62
Bireun menuju Takengon di Tenge Besi (Tangga Besi), kemudian
dikenal dengan Perang Tenge Besi, (M.H. Gayo, 1983: 129).
Pada tahun 1910, pejuang menyergap patroli Belanda di
Pecampuren (pertemuan beberapa anak sungai di bagian Timur
Kabupaten Bener Meriah). Para pejuang memperoleh informasi
dari seorang merante (orang hukuman dari Jawa, bernama Sul yang
memihak pejuang), tentang posisi perkemahan pasukan Belanda
yang rutin berpatroli. Tengah malam pejuang menyerang pasukan
Belanda yang sedang tidur pulas. Hanya dua orang yang selamat
dalam operasi ini, seorang marsose yang berasal dari Ambon,
bernama Muskita, dan seorang pejuang yang ditawan Belanda
bernama Malim, berasal dari Kute Lintang, Pegasing. Peristiwa ini
dikenal sebagai Perang Pecampuren, (M.H. Gayo, 1983: 222-225).
Muskita melaporkan serangan itu kepada atasannya di
Takengon, lalu datanglah pasukan Belanda ke Tingkem, dan
menggerebek setiap rumah. Waktu itu sedang musim panen padi,
karena tidak menemukan yang dicari, maka pasukan Belanda
membakar semua “seladang” (tempat mengumpulkan padi di
sawah sebelum digiling) milik masyarakat Tingkem. Masyarakat
ketakutan, mereka berkumpul di Masjid Tingkem, dan berdoa
agar diselamatkan Allah Swt. dari amukan pasukan Belanda.

Pemindahan masjid
Pada tahun 1928, Masjid Tingkem dipindahkan ke lokasi
baru di tengah desa (sekarang persis di bibir jalan Takengon-Pondok
Baru). Kegiatan ini diprakarsai oleh Tgk. H. Gedung, dan Imem
Cik. Masjid berukuran 8 x 10 m dibangun untuk mengantisipasi
peningkatan jamaah. Konstruksi masjid berpondasi batu, dinding
kayu, dan atap kerucut bersegi lima dari bahan ijuk, sebagaimana
lazimnya arsitektur masjid di daerah Gayo waktu itu.
Tahun 1946 masjid ini direhab oleh panitia yang
beranggotakan Tgk. Genap Budin, Tgk. H. Abdurrahman Asti,
Tgk. M. Amdi, Tgk. Abu Bakar Yakub, Tgk. M. Daud Yusuf, Tgk.
H. Ismail Ahmad, dan Tgk. M. Sarif Amdi. Ketujuh tokoh ini
merupakan alumni sekolah Tawalib, Padang Panjang, Sumatera

63
Barat. Pada masa ini masjid diperluas sehingga ukuran 16 x 20 m.
Atapnya diganti dengan seng, dan di bagian atas ditambah kubah
berbentuk bulat mengerucut.
Pada tahun 1953, masjid ini kembali direhab oleh pengurus
yang diketuai oleh Tgk. Genap Budin, dan anggotanya antara lain;
Tgk. M. Yusuf, Tgk.H. Ismail Ahmad, dan Tgk. H. Hasan Jalil.
Rehabilitasi dilaksanakan oleh Samsuddin, direktur CV. Sarana
Takengon, dan selesai pada tahun 1965. Kali ini ukuran masjid
diperluas menjadi 24 x 24 m. Saat peresmian, masjid ini diberi
nama Baiturrahman.
Tahun 1998 ditambah sayap berukuran 4 x 24 m di bagian
utara masjid sehingga ukuran masjid menjadi 28 x 24 m. Setelah
itu pemeliharaan dan penyempurnaan bangunan masjid terus
dilakukan oleh pengurus masjid yang dipilih setiap tiga tahun
sekali. Pada saat ini pengurus DKM Masjid Tingkem diketuai
oleh, Marzuki, cucu pendiri masjid Tingkem, Tgk. H. Gedung.
Tgk. H. Gedung juga bertindak sebagai imam dan khatib
masjid ini sejak pertama didirikan. Posisi beliau baru tergantikan
setelah pelajar-pelajar Tingkem kembali dari menuntut ilmu di
perantauan. Antara lain Tgk. M. Thaib Ali, Tgk. H. Abdurrahman
Asti, Tgk. M. Amdi, Tgk. Abu Bakar Yakub, Tgk. M. Daud Yusuf,
Tgk. H. Ismail Ahmad, dan Tgk. M. Sarif Amdi. Mereka secara aktif
memakmurkan masjid sebagai khatib, imam dan kegiatan lain.
Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga dipakai sebagai
tempat pengajian majelis taklim, pengajian anak-anak (TPA/TKA/
TQA), dan Pengajian Remaja. Pengajian ini diasuh putera terbaik
Desa Tingkem. Kebanyakan mereka lulusan Thawalib, Padang
Panjang, di samping lulusan pesantren lainnya di pesisir Aceh.
Saat ini bidang kemakmuran Masjid Tingkem telah berkem-
bang lebih baik. Demikian pula administrasi, seperti pengaturan
khatib, dan imam salat, sudah terjadwal dengan baik. Kondisi ini
mengantarkan Masjid Tingkem tepilih sebagai Masjid Teladan
se-Aceh Tengah pada tahun 1996, (sebelum pemekaran menjadi
Kabupaten Bener Meriah). Di tahun yang sama, Masjid Tingkem
menempati urutan ketiga Pemilihan Masjid Teladan se-Aceh.

64
KABUPATEN BENER MERIAH

MASJID DELUNG TUE


Masjid Delung Tue terletak di Desa Delung Tue, Kecamatan
Bukit, Kabupaten Bener Meriah. Berjarak sekitar 5 km dari
pusat kota Redelong, ibukota Kabupaten Bener Meriah. Masjid
berukuran 8 x 10 m ini dibangun pada tahun 1928, pernah
dijadikan pusat pengajian oleh Teungku Tapa, tokoh pejuang
Gayo, Panglima Perang di masa perang kolonial Belanda.

65
Masjid Delung Tue,
didirikan pada tahun
1928, bangunan ini
berukuran 8 x 10
meter.

Masjid Tue ini


pernah dijadikan
pusat pengajaran
Islam Teungku Tapa,
Panglima Perang,
mujahid dari Tanah
Gayo.

Ruang salat Masjid


Delung Tue, semoga
tetap bisa dilestarikan
keberadaannya.

66
Sejarah Ringkas Masjid Tua Delung Tue
Masjid ini terletak di Desa Delung Tue, Kecamatan Bukit,
Kabupaten Bener Meriah. Berjarak sekitar 5 km dari pusat kota
Redelong, ibukota Kabupaten Bener Meriah. Konon menurut
cerita dari mulut ke mulut, masyarakat Delung Tue adalah
keturunan dari Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala yang pernah
bermukim di Delung Tue. Salah satu keturunannya yang masih
hidup adalah Tgk. Sujang (Syiah Kuala)*.
Masjid Delung Tue dibangun pada tahun 1928. Pada waktu
itu tokoh-tokoh masyarakat kampung Delung Tue bermusyawarah
untuk membentuk panitia pembangunan masjid. Tokoh-tokoh
tersebut antara lain; Empun Riem, Tgk. Aman Lai, Tgk. Imem, Tgk.
Aman Reje Guru, Tgk. Jemala, dan Tgk. Saat. Bersama masyarakat
mereka membangun sebuah masjid sederhana berukuran 8 x 10
m. Pondasi masjid dibuat dari batu, dindingnya dari papan yang
diolah dengan beliung (kampak). Sedangkan atapnya dibuat dari
ijuk dengan model segi lima. Di depannya dibuat sebuah kolam
berukuran sama dengan Masjid sebagai sarana bersuci.
Masjid ini digunakan tidak hanya oleh masyarakat Delung
Tue, tetapi juga dari kampung sekitarnya, yakni Kampung Bale
Atu, Bale, Reje Guru, Kenawat, dan Ujung Gele.
Pada masa penjajahan, masjid ini berperan sebagai benteng
akidah umat dari serbuan misionaris Belanda. Seorang panglima
Gayo kelahiran Delung Tue, Tgk. Tapa, memulai perjuangannya
dari Kampung Delung Tue (M.H. Gayo, 1983: 89-93, Mahmud
Ibrahim, 2001: 61-63). Menurut penuturan tokoh masyarakat
Delung Tue, sebelum turun berjuang ke daerah pesisir, Tgk. Tapa
aktif memberikan pengajian kepada masyarakat di Masjid ini. Selain
itu, juga berfungsi sebagai tempat musyawarah, dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
* Tgk. Sujang (Syiah Kuala) 85 tahun, Pernah menjabat sebagai Ca-
mat di Kecamatan Bukit. Karena jabatannya ini sampai sekarang ia tetap di-
panggil dengan nama Camat Syiah Kuala. Sekarang sebagai salah satu tokoh
masyarakat Bener Meriah. Pewakaf lokasi Pesantren Terpadu Semayun Nu-
santara Redelong yang merupakan Pesantren binaan Pemda Bener Meriah.
Tinggal di Desa Reje Guru Kecamatan Bukit.

67
Adapun untuk bidang kemakmurannya seperti imam,
khatib, dan pengajian, diisi oleh para Tengku dari desa Delung
Tue dan desa sekitarnya. Para Tengku tersebut diantaranya; Tgk.
Milun, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Besah A. Rifin, Tgk. Mahmuddin,
dan Tgk. A. Serikani.

Renovasi dan pembangunan masjid baru


Pada tahun 1950 masjid ini direhab. Bagian atap yang
sebelumnya beratap ijuk diganti dengan atap seng. Sedangkan
bagian dasar dan dinding masih tetap seperti sediakala.
Pada tahun 1980, dibangun Masjid baru di bagian utara
kampung, di pinggir jalan ke arah kampung Kenawat yang tembus
ke jalan Takengon-Pondok Baru. Letaknya sekitar 200 m dari
Masjid lama. Masjid baru ini didirikan di atas sebidang tanah yang
diwakafkan oleh Camat Syiah Kuala. Sedangkan masjid lama tidak
lagi dipergunakan sebagai tempat shalat Jumat, dan cenderung
dibiarkan terbengkalai. Menurut penuturan, Tgk. Jafaruddin A.
Guntur,** masjid ini pernah akan dibongkar oleh masyarakat.
Tetapi sebagian masyarakat yang lain mempertahankannya karena
mengingat masjid ini telah berperan sebagai saksi dari perjalanan
sejarah Delung Tue. Pada saat ini di Masjid Delung Tue dipusatkan
kegiatan majelis taklim, dan di sampingnya didirikan gedung
TKA/TPA/TQA secara berdampingan.

** Tgk. Jafaruddin A. Guntur, lahir di Desa Delung Tue, tahun 1936. Ia


pernah menjabat sebagai Kepala Desa. Sekarang menjabat sebagai Mukim
kemukiman Delung Tue, dan merupakan salah seorang Tokoh Adat Kabupa-
ten Bener Meriah.

68
KABUPATEN BENER MERIAH

MASJID NURUL IMAN


Masjid ini terletak di Desa Gunung Teritit, Kecamatan Bukit,
Kabupaten Bener Meriah. Berjarak lebih kurang 2 Km dari
komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bener Meriah.
Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat Desa Gunung
Teritit, diperoleh keterangan bahwa masjid ini dibangun
pertama kali sekitar tahun 1930.

69
Masjid Nurul Iman,
Gunung Teritit. Foto
ini adalah gedung baru
yang dibagun tahun
1960. Dibangun tepat
di bekas pertapakan
masjid tua yang
didirikan pada tahun
1930, berkonstruksi
kayu, ukuran 10 x 12
meter.

Masjid berukuran
20 x 20 meter ini
didisain tanpa tiang
penyangga di bagian
dalamnya, sehingga
terkesan plong, tidak
ada yang menghalangi
pandangan.

Mihrab Masjid Nurul


Iman, Gunung Teritit.

70
Sejarah Ringkas Masjid Gunung Teritit
Masjid ini terletak di Desa Gunung Teritit, Kecamatan
Bukit, Kabupaten Bener Meriah, berjarak lebih kurang 2 Km
dari komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bener Meriah.
Desa Gunung Teritit dilalui Jalan Takengon-Pondok Baru yang
merupakan jalan Lingkar Selatan dari the ring road kota Redelong.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan tokoh masyarakat
Desa Gunung Teritit yaitu, Tgk. M. Ali Jadun (Keua MPU Aceh
Tengah), dan Husen Aman Zuryani (lahir 1923), diperoleh
keterangan bahwa masjid ini dibangun sekitar tahun 1930 di
lokasi masjid sekarang yang terletak di tengah-tengah desa.
Masjid ini dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat
dari tiga desa yang letaknya berdekatan, yaitu Desa Uning Bersah,
Desa Gunung Teritit (Gunung Taring), dan Desa Kutekering
(Gunung Beluh). Adapun tokoh-tokoh yang memprakarsai pem-
bangunan Masjid pada waktu itu adalah:
1. Tgk. Abdul Majid A. Kasim (Reje Gunung Ijo) dari
Gunung Teritit.
2. Tgk. Musa Aman Akub (Tgk. Khatib) dari gunung Teritit
3. Reje Angin Aman Besah Dari Gunung Teritit
4. Tgk. Bilel dari Uning Bersah
5. Muhammad Aman Tiba dari Uning Bersah
6. Tgk. Bahgie Cut dari Kutekering
7. Tgk. Jamaah Aman Atib dari Kutekering
8. Tgk. Syam dari Kutekering
Pada awalnya bangunan masjid sangat sederhana menurut
konstruksi yang lazim di dataran tinggi Gayo. Pondasi dibuat dari
batu, dindingnya dari papan yang diukir, atapnya bersegi empat
yang dibuat dari daun rumbia. Masjid berukuran 10 x 12 m, di
depannya terdapat sebuah kolam yang berukuran 8 x 10 m sebagai
sarana bersuci jamaah. Sekarang kolam ini tidak ada lagi karena
sudah ditutup saat perluasan masjid.
Pada masa pendudukan Jepang, masjid ini pernah direhab
yang dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari Tgk. Sultan Amin,

71
Tgk. M. Saleh, Tgk. A. Latif Rousdiy, Bentara Syah (Reje Cik
Teritit), Abu Bakar Aman Farida, dan Aman Rusni.
Pada perehaban ini, Pondasi batu di ganti Beton, dinding
tetap dari papan dan atap rumbia diganti dengan seng, sedangkan
modelnya tetap seperti pertama dibangun.
Rehab kedua dilakukan pada Tahun 1960 oleh panitia yang
diketuai oleh Tgk. M. Saleh. Anggotanya adalah Tgk. Sultan Amin,
Tgk. M. Ali Jadun, Tgk. Abdul Latif Rousdy, Bentara Syah (Reje
Cik Teritit), Abu Bakar A. Farida, dan Aman Rusni.
Kali ini bagunan masjid dibuat permanen, disain tanpa satu
pun tiang di ruang dalam, dengan luas 20 x 20 m. Pelaksananya
adalah Samsuddin, Direktur CV. Sarana Takengon, selesai tahun
1965, dan diresmikan oleh Bupati Aceh Tengah, M. Beni Banta
Cut. Peresmian berlangsung pada hari Jumat dan dilanjutkan
dengan pelaksanaan salat Jumat pertama. Atas usul Tgk. M. Ali
Jadun, dan Tgk. M. Saleh, masjid diberi nama Nurul Iman.
Pada tahun 1998, atas usulan Tgk. M. Ali Jadun, pada kanan
kiri masjid ditambah sayap berukuran 4 m, sehingga luas total
masjid menjadi 28 x 20 m. Kemudian di depan masjid juga dibuat
beberapa anak tangga dan tempat wudhuk ditata lebih baik.
Saat pertama dibangun, yang bertindak sebagai khatib
adalah Tgk. Musa Aman Akub (Tgk. Katib). Imam dijabat oleh Tgk.
Bahagie Cut, dari Kutekering. Adapun bilal adalah Tgk. Bilel, dari
Uning Bersah, dan Aman Cut sebagai khadamnya. Selain untuk
salat jamaah, dan salat Jumat, masjid ini juga digunakan sebagai
tempat pengajian, dan tempat untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pada tahun-tahun selanjutnya, jadwal khatib dan kegiatan
keagamaan lainnya telah diisi oleh tokoh-tokoh muda Gunung
Teritit yang baru pulang menuntut ilmu. Di antaranya Tgk. Sultan
Amin, Tgk. M. Ali Jadun, dan Tgk. A. Latif Rousdy. Sekarang
kegiatan kemakmuran masjit telah tertata dan terjadwal dengan
baik. Kemudian juga diadakan pengajian majelis taklim, TKA/
TPA/TQA, dan Madrasah Diniyah yang sudah mempunyai
gedung sendiri, lokasinya di depan Masjid.

72
KABUPATEN BENER MERIAH

MASJID RUHUL ISLAM


Masjid Ruhul Islam terletak di Desa Bener Kelifah Utara,
Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah. Desa ini
termasuk dalam wilayah utara Kabupaten Bener Meriah yang
menghubungkan Kecamatan Bandar dan Kecamatan Permata.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, kata “bener kelifah”
berasal dari kata “bandar” dan “khalifah”. Dalam dialek Gayo,
kata “bandar” diucapkan bener dan kata “khalifah” diucapkan
“Kelifah”, sehingga dua kata ini digabungkan menjadi Bener
Kelifah.

73
Sejarah Ringkas Masjid Bener Kelifah

Masyarakat desa Bener Kelifah merupakan migrasi dari tiga


desa di pinggiran Danau Laut Tawar, yaitu Desa Rawe, Toweren,
dan Kenawat. Mereka hijrah ke Bener Kelifah sekitar tahun 1947
atas ajakan tokoh desa tersebut, yaitu Tgk. Katib Toweren, Tgk.
Banta Cut, Tgk. Aman Sulaiman, dan Tgk. Aman Reliah.
Pada waktu itu penduduk Gayo Lut yang berdiam di desa-
desa sekitar Lut Tawar (Kabupaten Aceh Tengah) banyak yang
berhijrah ke berbagai wilayah Kabupaten Bener Meriah. Hal
ini disebabkan kondisi geografis Kabupaten Bener Meriah yang
memiliki dataran lebih luas.
Menurut tokoh masyarakat Bener Kelifah, Tgk. Silahuddin,
masjid ini pada awalnya dibangun oleh para pejuang Gayo yang
bermarkas di daerah tersebut. Maka masjid ini dinamakan Masjid
Jamik Ruhul Islam. Setelah dihuni oleh masyarakat dari tiga desa
di atas, maka masjid ini direhab secara bergotong royong, di bawah
prakarsa beberapa tokoh. Di antaranya Tgk. Abu Samah (Tgk.
Katib Toweren), Tgk. Cut Delung Tue, Tgk. Banta Cut Toweren,
Tgk. Kas Aman Khatiah, Tgk. Aman Reliah, Tgk. Aman Sulaiman,
Tgk. Reje Cik Aman Sulaiman, Tgk. M. Yusuf, Tgk. Aman Miah,
Tgk. Aman Rebumah, Tgk. Aman Bakar, Tgk. Aman Yusuf, Tgk.
Aman Tabrani, dan, Tgk. Abu Bakar.
Pada awalnya masjid ini dibangun dengan konstruksi yang
sangat sederhana. Pondasi dasar dibuat dari batu, dindingnya dari
kayu bulat yang disusun berdiri, atapnya bersegi lima dari bahan
seng berbentuk kerucut.
Pada tahun 1972, masjid ini direhab. Dindingnya yang dari
kayu bulat, diganti dengan papan. Ukurannya diperluas sehingga
dapat menampung jamaah shalat lebih banyak dari sebelumnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tahun 1982
masjid ini direhab kembali. Ukuran masjid diperluas menjadi 30
x 30 m. Kontruksinya dibuat permanen, tiang dan dindingnya
direlief sehingga menambah keindahan Masjid.

74
KABUPATEN ACEH TIMUR

MASJID BAITURRAHIM
Masjid ini terletak di Gampong Tualang, Kemukiman Peureulak,
Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Gambar di atas
merupakan bangunan masjid yang telah direhab pada tahun
1303 H/1883 M. Sebelumnya masjid ini berkonstruksi kayu
Tualang, dibangun oleh Keulebalangan Peureulak atas prakarsa
Datok Po Kalam, pada tahun 1164 H/1751 M. Jika data ini
benar, maka masjid ini dirombak menjadi berbahan beton
setelah masjid berkonstruksi kayu berusia 132 tahun hitungan
tahun masehi.

75
Masjid Baiturrahim,
dilihat dari arah
belakang. Masjid
ini dibangun tahun
1751 M di atas lahan
seluas satu hektar yang
sebagian lokasinya
juga diwakafkan untuk
perkuburan.

Pintu masuk masjid.


Di atasnya terdapat
prasasti bertulisan
Arab-Melayu.
Transkripsinya dapat
dilihat pada foto di
bawah ini.

Di tengah prasasti
pada bagian berbentuk
jajaran genjang,
tertulis kata Allah,
dan Muhammad.
Adapun tulisan lain,
lihat transkripsi yang
diberi nomor sesuai
Transkripsi teks prasasti:
urutan perbaris. 1. Hijrah nabi kita Sallallahu ‘alayhi wa sallam, sanah 1303, pada 16 bulan Zulhijjah,
2. Milik masjid ini Sri Paduka Teungku Chik Peereulak, al-marhum Teungku Chik Muhammad ‘Ali.
3. Maka barangsiapa ada hamba Allah fakir dan miskin mau duduk atau singgah,
76 4. Maka Insya Allah Ta‘ala, supaya nafakahnya di atas kita punya tanggungan adanya.
Mimbar Masjid
Biturrahim,
peninggalan Teungku
Chik Muhammad Ali.
Berukir hiasan floral
yang sangat indah, dan
kaligrafi bertulisan
Arab-Melayu tentang
khutbah Jumat, azan
(bang), selawat, dan
beberapa hal lain.

Pemakaman tua
di sekitar masjid.
Ini merupakan
pemakaman keluarga
Uleebalang Peureulak.

Beberapa anggota
keluarga Uleebalang
Peureulak dimakamkan
di belakang masjid,
tepat di samping
mihrab.

77
Sejarah Ringkas Masjid Baiturrahim, Peureulak
Masjid Baiturrahim ini terletak di Gampong Tualang,
Kemukiman Peureulak, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh
Timur. Pembangunan pertama masjid ini menggunakan bahan
kayu tualang yang banyak terdapat pada bekas lahan yang dipakai
untuk mendirikan Kuta Tualang. Masjid ini didirikan pada tahun
1164 H/1751 M oleh keulebalangan Peureulak yang kala itu
dipimpin oleh Datok Po Kalam.
Menurut kerangan penduduk setempat, Datok Po Kalam
berasal dari Aceh Besar. Oleh karena itu, bangunan masjid dibuat
mengikuti arsitektur yang berkembang di Aceh Besar. Hal ini dapat
disaksikan pada Masjid Indrapuri, Aceh Besar yang dibangun pada
tahun 1027 H/1618 M oleh Sultan Iskandar Muda (memerintah
tahun 1607-1636 M).
Setelah 132 tahun berlalu, masjid kayu sudah tidak represen-
tatif lagi untuk dipertahankan. Selain itu, daya tampungnya juga
sudah tidak memadai lagi seiring peningkatan jumlah jamaah.
Maka pada tanggal 16 Zulhijjah 1303 H/1883 M, dilakukan
rehabilitasi total yang menggantikan masjid lama dengan masjid
berkonstruksi beton, dan beratap genteng. Rehabilitasi ini dilaku-
kan oleh Teungku Chik Muhammad Ali, keturunan Datok Po
Kalam dengan mendatangkan ahli dari Pulau Penang, Malaysia.
Pada tahun 1970, Panitia Kemasjidan Desa Tualang kembali
merehab masjid ini dengan menggantikan konstruksi bagian atas,
dan bagian pinggiran pondasi. Anggota kepanitiaan ini mewakili
beberapa desa, yaitu Gampong Tualang, Tanjung Tualang, Punti,
dan Uteun Dama.
Pada tahun 1978, pihak Depdikbud melakukan pemugaran,
dan pembuatan pagar permanen sepanjang 100 meter. Pada tahun
1984, Panitia Kemasjidan Desa Tualang menambah bagian depan
(teras) agar dapat menampung peningkatkan jumlah jamaah.
Perluasan ini menuntut pemindahan bak penampungan air
wudhuk ke lokasi lain yang lebih sesuai. Sebelumnya, bak air ini
berada di dekat pintu masuk.

78
KABUPATEN ACEH TIMUR

MASJID TUHA GAMPONG BLANG


Masjid ini terletak di Desa Gampong Blang, Kecamatan Simpang
Ulim, Kabupaten Aceh Timur. Didirikan pada tahun 1879 oleh
Uleebalang Simpang Ulim bernama Ampon Chik Muda Yusuf.
Pada tahun 1928, masjid ini direhab oleh Ampon Chik Muda
Husin (anak Ampon Chik Muda Yusuf), tanpa melakukan
perubahan konstruksi bangunan, kecuali menambahkan kolam
di samping masjid, dan membangun asrama untuk tempat
tinggal santri pesantren.

79
Kolam ini dibangun
tahun 1928, di
maksudkan sebagai
tempat wudhuk bagi
jamaah, dan para
santri yang belajar di
pesantren. Mereka
menempati bilik/
asrama di samping
masjid.

Pintu Masuk masjid


ini masih sebagaimana
aslinya, belum pernah
diganti. Hanya tembok
saja yang sudah dicat
menggunakan cat
tembok berbasis air.
Untuk masuk ke
masjid, kita harus
melewati tiga anak
tangga yang menjadi
batas area suci masjid.

Menurut orang-
orang tua, mihrab
dan tembok masjid
ini dibuat dari
adonan telur yang
dikumpulkan dari
masyarakat.

80
Dinding tembok
setebal 60 cm,
tinggi 150 cm.
Samasekali tidak
terhubung dengan
bangunan masjid yang
berkonstruksi kayu. Ini
adalah gaya arsitektur
yang sama dengan
masjid Indrapuri, dan
masjid tua lainnya
di Aceh pesisir dan
dataran tingggi Gayo.

Meski terkesan tidak


terurus, namun sumur
tua ini masih bisa
dipakai. Menurut
masyarakat setempat,
mata airnya tidak
pernah kering, meski
di saat musim kemarau
sekalipun.

Ini adalah makam


keluarga para pendiri
masjid (Ampon Chik
Simpang Ulim).

81
Terakhir masjid ini
tidak lagi digunakan
untuk salat Jumat,
setelah masjid baru
(Masjid Baitul
Karim) diresmikan
di tahun 70-an. Foto
ini memperlihatkan
kondisi masjid
sebelum penggantian
atap pada tahun 2009.

Kegiatan membongkar
atap dilakukan secara
bergotong royong.
Atap genteng yang
sudah bocor diganti
dengan seng bermotif
genteng. Menurut
masyarakat, atap
genteng menyulitkan
perawatan, sebab jenis
genteng lama itu tidak
diproduksi lagi.

Kondisi sekarang,
setelah bagian atap
diganti dengan bahan
seng. Semoga ada
upaya pihak tertentu
untuk melestarikan
dan memperindah,
agar betah dikunjungi
sebagai objek wisata
rohani.

82
KOTA LANGSA

MASJID AL-ISTIQAMAH
Masjid ini terletak di Gampong Teungoh, Kecamatan Langsa
Kota, Kota Langsa. Bentuk kubahnya merupakan adopsi
dari bentuk masjid lama, sementara bangunan aslinya tidak
dipertahankan. Bangunan masjid permanen pada foto di atas
didirikan pada bekas tapak masjid lama. Masjid lama berukuran
11 x 11 m merupakan masjid tertua di Kota Langsa, didirikan
pada tahun 1901 oleh Uleebalang (Ampon Chik Langsa) yaitu
Teuku Banta Berdan.

83
Masjid al-Istiqamah
sekarang, dilihat
dari arah belakang.
Masjid permanen
berukuran 21 x 21 m2
ini belum rampung
dikerjakan, tapi sudah
harus dipikirkan
peluasannya kembali.

Tempat wudhuk,
dibangun dengan
tetap memasukkan
unsur disain arsitektur
tradisional, ciri khas
masjid tua di Aceh.

Masjid Gampong
Teungoh, tahun 1968.
Bangunan dasarnya
berukuran 11 x 11
m2, lalu di tahun
1968 beri tambahan
berukuran 8 x 11 m2.

84
Sejarah Ringkas Masjid al-Istiqamah, Langsa
Masjid tua Gampong Teungoh pada dasarnya berukuran 11 x
11 m2, didirikan pada tahun 1901, pada masa Uleebalang (Ampon
Chik Langsa), yaitu Teuku Banta Berdan. Biaya pembangunan
diperoleh dari swadaya masyarakat, dan bantuan BPN (Pertamina)
sebesar Rp 600,- serta bantuan dermawan lainnya. Areal masjid
seluas 1556 m2 ini merupakan wakaf dari Cut Nyak Mahmahud,
Makcik dari Tgk Banta Berdan (Ibunda dari T. Johan, Ayah dari
T. H. Abdul Rani Johan). Lokasi ini bersebelahan dengan tanah
wakaf untuk perkuburan masyarakat di Gampong Teungoh.
Jamaah yang salat di masjid ini, terutama salat Jumat, berasal
dari Gampong Baroh, Sungai Pauh, Langsa Lama, Meurandeh,
Gampong Blang, Alue Beurawe, Gampong Baro, dan Gampong
Teungoh sendiri. Untuk mengantisipasi bertambahnya jamaah,
pada tahun 1968, ditambahkan bangunan seluas 8 x 11 m pada
bagian timur masjid, lihat gambar di halaman sebelah.
Pada awal pendiriannya, masjid ini belum memiliki nama,
tapi cukup disebut Masjid Gampong Teungoh saja, sesuai nama
desa tempat pendiriannya. Lalu pada tahun 70-an, setelah
dilakukan pelebaran, diadakanlah rapat masyarakat Gampong
Teungoh yang salah satu hasilnya menetapkan nama “Masjid al-
Istiqamah”.
Seiring perkembangan dan peningkatan jumlah penduduk,
Masjid al-Istiqamah tidak memadai lagi untuk menampung jamaah.
Maka pada tahun 1988, dibangunlah masjid baru dengan ukuran 21
x 21 m2. Lalu pada tahun 1992, diperluas lagi dengan penambahan
teras selebar 9 x 8 m2. Dapat dimaklumi, problematika masjid di
ibukota kabupaten, tentunya harus menghadapi pertumbuhan
penduduk yang drastis dan cepat.
Saat ini, Gampong Teungoh, Kecamatan Langsa Kota,
merupakan salah satu gampong yang terletak di pusat Kota Langsa
yang memiliki luas ± 111 Ha. Gampong ini terdiri dari sembilan
dusun, yaitu Dusun Rumah Potong, Dusun Timbangan, Dusun
Permai, Dusun Keupula, Dusun Peutua Thaib, Dusun Balee

85
Krueng, Dusun SLTP 5, Dusun Tanjung Nga dan Dusun Blang
dengan jumlah penduduk ± 5919 jiwa. Oleh karena pertumbuhan
jumlah penduduk menjadi pertimbangan dalam hal peningkatan
daya tampung masjid. Luas bangunan saat ini berukuran 851
m2, dan sekarang panitia sudah harus berpikir untuk persiapan
mengantisipasi peningkatan jumlah jamaah dalam beberapa
tahun ke depan.
Aktifitas kemakmuran di masjid ini berlangsung dengan
manajemen yang teratur. Selain untuk ibadah salat berjamaah,
dan salah Jumat, masjid ini juga difungsikan sebagai tempat
musyawarah, peringatan hari besar Islam, sarana belajar majelis
taklim, dan TPQ. Namun belakangan ini kegiatan belajar mengajar
TPQ telah dipusatkan pada gedung tersendiri di dalam komplek
masjid. Demikian pula kegiatan majelis taklim untuk kaum ibu
dan remaja masjid, telah dipusatkan pada gedung serbaguna di
dekat masjid.

Sumber: Tgk. H. AR. Johan (Imum Syik Masjid al-Istiqamah)

86
Daftar Pustaka

Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of Sevententh-


Century Aceh, Leiden: Brill, 2004
Azman Ismail, et al., Masjid Raya Baiturrahman, Lhokseumawe:
Nadiya, 2004
Hasjmy, A., Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978
_______, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Hurgronje, Snouck, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya, terj. Sutan
Maimoen, Jakarta: INIS, 1996
Ibrahim Alfian, Kronika Pasai; Sebuah Tinjauan Sejarah, cet. II,
Yogyakarta: Cenninets Press, 2004
Kusumo, Sardono W (pengantar), Aceh Kembali ke Masa Depan,
Jakarta: IKJ Press, 2005
Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), terj. Winarsih Arifin, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986
Mahmud Ibrahim, Drs. Teungku, Haji, Mujahid Dataran Tinggi
Gayo, ed. Mahafitra, SP, Takengon: Yayasan
Maqamammahmuda, 2001
M. H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda, Jakarta:
Balai Pustaka, 1983
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981
Muhamad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, (ed), Perang Kolonial
Belanda di Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh, 1990
Muhibuddin Waly, Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Muda
Waly, Jakarta: Intermasa, 1997
Paul van’t Veer, Perang Belanda di Aceh, terj. Aboe Bakar, Banda
Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1977
Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, terj. Masri Maris, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005
Tim IAIN Ar-Raniry, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Banda
Aceh: Ar-Raniry Press, 2004
Yunus Jamil, M., Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh:
Ajdam I IM, 1968
Zainuddin, H. M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961
________, Srikandi Aceh, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1966
Zentgraaf, H. C., Aceh, terj. Aboe Bakar, Jakarta: Beuna, 1983

88

Anda mungkin juga menyukai