Anda di halaman 1dari 26

1

A. Pendahuluan
Kesepakatan imam mazhab bahwa nikah adalah suatu ikatan yang
dianjurkan syari’at. Untuk menghindari perbuatan zina maka bagi yang sudah
berkeinginan untuk nikah sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang
demikian adalah lebih utama daripada haji, shalat, jihad dan puasa sunnah.1
Namun pada hadis lain dikatakan untuk menahan hawa nafsu ingin nikah,
maka disunnahkan untuk berpuasa.
Menikah adalah suatu ikatan yang sakral dalam kehidupan seseorang,
bagaimana penyatuan dua insan menjadi satu kesatuan yang hidup bersama.
Tidak hanya hidup bersama melainkan untuk saling tolong menolong. Dalam
Islam menikah dapat dikatakan wajib, sunnah, dan makruh. Hal ini
dikarenakan menikah bukanlah suatu perbuatan untuk bermain-main.
Di Indonesia pernikahan dilegalkan dalam Undang-undang R. I.
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di mana undang-undang tersebut
mengatur perkawinan sesuai dengan keyakinan agama masing-masing, dengan
syarat tertentu yang menjadi hak negara misal pencatatan perkawinan.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal diantaranya: 1)
Pengertian munakahat; 2) Teks-teks hadis Munakahat; 3) Makna dan
kandungan hukum dalam teks Hadits munakahat; 4) Syarat dan Rukun
Munakahat; 5) Kontekstualisasi hadits munakahat.

B. Pengertian Munakahat
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.2
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

1
Syaikh al-Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat
Mazhab,(Bandung:Hasimi,2012), Hlman 318
2
Abdul Rahman Ghozali, fikih munakahat, (jakarta: kencana, 2010), cet. Ke -4, h. 7
2

Menurut Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi munakahat adalah


akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong
dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-masing.3
Dalam kitab Fathul Qarib kata nikah diucapkan menurut makna
bahasanya, yaitu “kumpul”, jimak dan akad. Sedangkan menurut syarak yaitu
suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan menurut
pasal 2: perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.5 Hal serupa terdapat pada Undang-
Undang Republik Indonesia tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Dalam At-Tanzil Al-Hakim, perkawinan disebutkan dalam dua landasan
pokok, pertama adalah hubungan seksual (Mihwar Al-Alaqah Al-Jinsiyyah)
seperti dalam firmah Allah: “... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada dicela. Barang siapa mencari yang
dibalik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas” (Qs. Al-mu’min [23]:
5-7]. Kedua adalah landasan hubungan kemanusiaan dan bermasyarakat
(Mihwar Al-‘Alaqah Al-Insaniyyah Al-Ijtima’iyyah). 7
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia

3
Abdul Rahman h. 8
4
Imron Abu Amar, terjemah Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), hlm 22
5
Undang-undang R.I Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam,
(Bandung: citra umbara, 2013), cet. Ke-4, hlm.324
6
Op.cit hlm. 2
7
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq press, 2004), cet.
Ke-1, h.436
3

adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-
Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.8 Nikah menurut
hukumnya mempunyai beberapa kedudukan di mana hukum menikah dapat
berjalan sesuai konteks. Hal ini sesuai dalam kitab Fathul Qarib bahwa nikah
hukumnya sunnah bagi orang yang sudah hajat (butuh) kepadanya sebab
keinginan nafsunya kuat untuk jimak dan sudah tersedia biayanya. Lebih lanjut
bahwa hukum nikah dapat berubah sesuai illah yang berbeda. Pertama, wajib
bagi orang yang sudah mampu (cukup), ada biaya keinginan (syahwat) sangat
kuat, jika tidak kawin dikhawatirkan kemungkinan besar jatuh ke dalam jurang
perzinaan. Kedua, yaitu bagi orang yang tidak mampu, tidak ada biaya tidak
ada syahwat, dia kawin bertujuan tidak menunaikan kewajibannya sebagai
orang laki-laki yang bertanggungjawab terhadap isteri (keluarga). Ketiga,
makruh bagi orang yang keinginan syahwat kuat, ada biaya untuk
perkawinannya (untuk membayar maskawin tapi tidak mampu untuk
memberikan nafkah).9

C. Teks-teks Hadits Munakahat


1. Hadis Tentang Anjuran Menikah

ْ‫سو ُْل َ ه‬
ْ‫ّْللَاِ ْصلىْهللاْعليهْوسلمْ(ْيَا‬ َ ‫ّْللَا ْب ِن ْ َمسعُو ٍد ْرضيْهللاْعنهْقَالَْلَ َن‬
ُ ‫اْر‬ ِ ‫عَنْ ْعَب ِد َ ه‬
ْْ‫ْو َمن‬,ْ
َ ِ‫ج‬ َ ‫ْوأَح‬,ْ
ْ ‫صنُ ْ ِللفَر‬ َ ‫ضْ ِللْ َبص َِر‬ َ َ‫ْ َْف ِإنه ْهُْأ‬,ْْ‫َْمن ُك ُمْاَلبَا َءةَْفَليَتَ َز هوج‬
ُّ ‫غ‬ ِ ‫بْ َم ِنْاست َ َطاع‬ ‫َمعش ََرْاَل ه‬
ِ ‫شبَا‬
َْ ٌْ‫لَمْيَست َ ِطعْفَ َعلَي ِهْ ِبالصهو ِمْ;ْفَ ِإنههُْ َلهُْ ِوجَا ٌءْ)ْْ ُمتهفَق‬
ْ‫ع َلي ِه‬

Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin,
karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.

8
Tihami dan Sohari Sahrani, fikih munakahat(kajian fikih nikah lengkap), (Jakarta: Rajawali pers,
2010), cet. Ke-2, hlm. 6
9
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, terjemah nailul authar himpunan hadis-hadis
hukum, (Surabaya: PT bina ilmu, 2002), cet. Ke- 3, hlm. 2129
4

Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat


mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.10

a. Makna Dari Dalam Teks di Atas


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengarahkan anjuran dan
motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para
pemuda. Beliau bersabda, "Wahai segenap para pemuda". Kata "Ma'syar"
yang berarti "segenap" menyiratkan makna kemanusiaan dan sosial yang
menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak menggunakan kata lain seperti
"Ya Ayyuha Syabab" misalnya, karena kata "Ma'syar" memiliki nuansa
cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini merupakan salah
satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para pemuda, sehingga
Islam memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk
segera menikah bagi yang telah mampu.
"Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa". Beliau
menggunakan kata "Alaihi" yang berarti "hendaklah" untuk menyatakan
makna banyak. Artinya, "hendaklah ia memperbanyak berpuasa". Beliau
tidak menggunakan kata "Fal Yashum" misalnya, yang berarti
"berpuasalah", karena kata itu bermakna puasa yang sehari atau dua hari
saja. Adapun kata "Alaihi Bishoum" bermakna memperbanyak berpuasa.
Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting
dalam pernikahan, yaitu "karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan
lebih mampu memelihara kemaluan". Ini merupakan jaminan yang sangat
penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan
kemaluannya.
Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata "Aghaddu"
dan "Ahshonu" yang berarti "lebih mampu menundukkan" dan "lebih
mampu memelihara" untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu
terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan

10
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Terjemah Bulughul Maram kumpulan hadis hukum panduan hidup
muslim sehari-hari.(Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2009), hlm.256
5

pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan menundukkan dan


memelihara sebagian pandangannya, sedangkan pernikahan memiliki
kemampuan yang lebih besar dan kuat.
Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para
pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk
memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.

b. Kandungan Hukum Dalam Teks Hadis di Atas


Syarih berkata: perkataan “Nabi saw. Melarang membujang”.
Sabda nabi saw. Dalam hadis pertama “maka kawinlah” dan semua
hadis dalam bab ini dijadikan dalil oleh ulama yang berpendapat atas
wajibnya nikah. Ibnu hajar berkata di dalam Fat-hul bari: tentang
hukum kawin bagi laki-laki, oleh ulama dibagi dalam beberapa macam:
bagi orang yang telah menginginkannya yang mampu memikul beban
nikah, sedang ia kuatir atas dirinyajatuh dalam larangan agama. Maka
ia disunnatkan kawin menurut kesepakatan ulama. Golongan hanabilah
menambahkan dalam salah satu riwayatnya: diwajibkan kawin. Yang
berpendapat seperti itu ialah abu ausanah al isfiraqani dari ulama
syafi’iyah sebagaimana yang dijelaskan dalam shahihnya. Sedang al-
mash’aby menukilkan dari mukhtashar al-juwainy, bahwa pendapat
demikian itu ialah pendapat daud dkk. Syarih berkata: termasuk yang
berpendapat demikian ialah al-hadawiyah dengan catatan kalau kuatir
jatuh kedalam maksiat(jika tidak kawin). 11
- Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya
Berikut ini rinciannya:12
1) Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa,
sementara ia mampu menikah.
2) Haram, bagi yang belum mampu berjima' dan membahayakan
kondisi pasangannya jika menikah.

11
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm. 2131
12
Tihami dan Sohari Sahrani. Op.cit. hlm 5
6

3) Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika


menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
4) Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas
sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
5) Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang
apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin
mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya
semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam
kemaksiatan.

Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini


hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini
berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara
mutlak.
Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang
ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki
kecenderungan untuk berjima', berdasarkan hadits "Sesungguhnya aku
merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)" dan juga
hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah
banyak sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah
bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian
dirinya.
1) Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya
penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan
lain sebagainya.
2) Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah
sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda,
kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika
para pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka.
Wallahu A'lamu Bishowab.
7

2. Hadis Tentang Anjuran Menikah

َ ْ‫ْوأَثْنَى‬,ْ
ْ,ْ ‫علَي ِه‬ ْ‫َوعَن ْأَنَ ِس ْب ِن ْ َمالِكٍ ْرضيْهللاْعنه ْ(ْأَنه ْاَلنهبِ هي ْصلىْهللاْعليه ْوسلم ْح َِم َد َ ه‬
َ َ‫ّْللَا‬
ْ‫ْمنِي‬
ِ ‫س‬َ ‫سنهتِيْ َفلَي‬
ُ ْ ‫ب ْعَن‬
َ ‫غ‬ َ ‫ْفَ َمن‬,ْ ‫سا َء‬
ِْ ‫ْر‬ ُ ‫ْوأَت َ َز هْو‬,ْ
َ ِ‫ج ْْا َلن‬ َ ‫ْوأُف ِط ُر‬ ُ َ‫ْوأ‬,ْ
َ ‫صو ُم‬ َ ‫يْوأَنَا ُم‬
َ ‫ْلَ ِكنِيْأَنَاْأُص َِل‬:ْ ‫َوقَا َل‬
ْ‫علَي ِه‬
َ ٌْ‫)ْْ ُمتهفَق‬

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu


'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda:
"Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan.
Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq
Alaihi. 13

a. Makna dari teks hadis diatas


Hadits di atas menjelaskan tentang semangat para sahabat dalam
melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
sehingga mereka ingin menanyakan secara langsung perihal ibadah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada istri beliau. Namun ketika diberitahu
tentang ibadah beliau, mereka merasa bahwa amalan tersebut tidaklah berat
menurut mereka. Tidak disebutkan secara jelas bagaimana mereka
menyatakan ketidakberatan itu. Namun tampak dari perkatan mereka "Di
mana posisi kita dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang
telah diampuni dosa-dosanya yang telah lampau maupun yang akan datang?".
Lalu setiap orang dari mereka bertekad untuk memperkuat ibadah mereka
dengan melakukan amalan-amalan yang berat.14
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu menjelaskan posisi beliau
sebagai seorang hamba yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa
kepadaNya. Kemudian beliau meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang diyakini
oleh para sahabatnya. Beliau menerangkan bahwa apa yang disangka oleh para

13
Ahmad mudjab mahali dan ahmad radli hasbullah, hadis-hadis mutafaq alaih bagian
munakahat dan muamalat, (Jakarta: prenada media jakarta), cet, ke-2, hlm. 34.

14
Ahmad mudjab mahali dan ahmad radli hasbullah. Op. Cit hlm. 35
8

sahabatnya yaitu berupa menyiksa diri dengan beribadah tidaklah dibenarkan


dalam Islam, dan rasa takut kepada Allah tidak dikhususkan bagi orang-orang
yang berdosa saja. Bahkan orang-orang shaleh justru memiliki rasa takut yang
lebih besar kepada Allah karena mereka memahami kedudukan Allah di mata
mereka.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggal (nya). 15
Ibadah bukan saja mewujudkan ungkapan dari rasa takut seseorang
kepada Allah, namun juga merupakan manifestasi rasa syukur terhadap
nikmat-nikmat Allah.

b. Kandungan hukum dalam teks hadis diatas 16


Hadits tersebut memberikan motivasi bagi umat Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk menikah. Hadits itu juga menunjukkan
bahwa menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, yaitu jalan ketaatan dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang
benar sesuai syariat.
Menikah lebih utama daripada menyendiri untuk beribadah, karena
menikah sendiri merupakan salah satu bentuk ibadah. Ini merupakan pendapat
mazhab Hanafiyah. Adapun menurut Syafi'iyah, menyendiri untuk beribadah
lebih utama daripada menikah. Namun bagaimana pun, menikah merupakan
amalan yang sangat mulia. Bersusah payah dalam mencari nafkah untuk
membiayai keluarga merupakan amalan yang terpuji dan dapat mendatangkan
pahala jika diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Di samping itu, menikah
juga menjadi upaya dalam rangka menghasilkan keturunan shaleh yang akan
membangun peradaban umat.
Menyiksa diri dengan beribadah merupakan bid'ah. Islam mengajarkan
keseimbangan dalam beribadah. Memperbanyak tidak sama dengan menyiksa

15
QS. An-Nazi'at: 40-41

16
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm 2132
9

diri, karena memperbanyak ibadah justru diperintahkan. Akan tetapi


melakukan ibadah secara berlebihan sehingga mengabaikan ibadah-ibadah
lainnya itu yang dilarang.
Perintah mengikuti pola hidup orang-orang shaleh. Dan orang yang
paling shaleh di dunia ini adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
kemudian setelah itu para ulama. Kehidupan orang-orang shaleh
mencerminkan ajaran Islam yang benar sesuai petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Tidak dibenarkan berlebih-lebihan dalam perkara yang pada asalnya
diperbolehkan, baik itu berlebih-lebihan dalam menggunakannya maupun
meninggalkannya. Terlalu berlebihan dalam beribadah akan mengakibatkan
seseorang menjadi bosan dan futur. Begitu juga berlebih-lebihan dalam
meninggalkan amalan kebaikan juga dapat mengakibatkan seseorang menjadi
malas melakukan ibadah. Sebaik-sebaik perkara adalah pertengahannya.
Perintah untuk memegang erat sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dan larangan dari bersikap membangkang. Hadits ini menjadi dalil
batalnya ajaran kerahiban yang menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang
bersifat vertikal dengan mengenyampingkan ibadah horisontal. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita jalan yang lurus dan
berada pada tengah-tengah. Beliau berbuka demi mempersiapkan kekuatan
untuk berpuasa. Beliau tidur demi memulihkan tenaga agar dapat melakukan
shalat. Beliau juga menikah untuk menjaga kesucian diri dan menyalurkan
dorongan seksual pada jalan yang benar sekaligus memperbanyak keturunan.
Beliau mengajarkan pentingnya memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani
secara bersamaan.

3. Hadis Anjuran Menikah

َ ْ‫ْويَنهَىْع َِنْالتهبَت ُّ ِلْنَهيًا‬,ْ


ْ‫ش ِْديدًا‬ ‫سول َ ه‬
َ ‫ُّْللَاِْصلىْهللاْعليهْوسلمْيَأ ُم ُرْبِالبَا َء ِة‬ َ َ‫ْ(ْكَان‬:َْ‫َوعَنهُْقَال‬
ُ ‫ْر‬
ْ ُ‫ص هح َحهُ ْاِبن‬ َ ‫ْت َ َز هو ُجواْاَل َودُو َد ْاَل َولُو َد ْإِنِيْ ُمكَاثِ ٌر ْ ِب ُك ُم ْاَْلَن ِبيَا َء ْيَو َم ْاَل ِقيَا َم ِة ْ)ْ ْ َر َواهُ ْأَح َم ُد‬:ْ ‫ْويَقُو ُل‬,
َ ‫ْو‬,ْ َ
َْ‫ِحبهان‬
10

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu


'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang
kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan
penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di
hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih
menurut Ibnu Hibban. 17

4. Hadis Tentang Cara Memilih Seorang Istri

ْ:ْ ٍ‫ْْل َربَع‬


ْ ِ ُ‫ ْ(ْت ُن َك ُح ْْا َل َمرأَة‬:َْ‫َوعَن ْأَبِيْه َُري َرةَ ْرضيْهللاْعنهْع َِن ْالنهبِي ِْصلىْهللاْعليهْوسلمْ ْقَال‬
‫ع َلي ِهْ َم َعْبَ ِقيه ِةْاَل ه‬
ْ‫سبعَ ِة‬ َ ٌْ‫ينْ ْتَ ِربَتْيَدَاكَ ْ)ْْ ُْمتهفَق‬
ِ ‫لد‬ ِْ ‫ْفَاظ َفرْبِذَا‬,ْ‫ْو ِلدِينِهَا‬,ْ‫َا‬
ِْ َ‫تْا‬ َ ‫ْو ِل َج َما ِله‬,ْ‫َا‬
َ ‫سبِه‬ َ ‫ْو ِل َح‬,ْ‫َا‬
َ ‫ِل َما ِله‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu


'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal,
yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita
yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam
Lima. 18

5. Hadis tentang Anjuran Mendoakan Orang yang Menikah

ْ,ْ َ‫ّْللَاُ ْلَك‬


ْ‫اركَ َ ه‬ َْ ‫اْرفهأ َ ْإِن‬
َ َ‫ ْ(ْب‬:ْ ‫سا ًنا ْإِذَاْْت َ َز هو َج ْقَا َل‬ َ َ‫َوعَنهُ ْ;ْأَنه ْاَلنهبِ هي ْصلىْهللاْعليهْوسلمْكَانَ ْإِذ‬
ْ,ْ َ‫ْوابنُ ْ ُخ َزي َمة‬,ْ
َ ‫ِي‬ ُّ ‫ص هح َحهُ ْاَلتِْر ِمذ‬ َ ‫ْ َْو‬,ْ ُ‫ْ َواْلَرْبَعَة‬,ْ ‫ْو َج َم َع ْبَينَ ُك َماْفِيْ َخي ٍر ْ)ْ ْ َْر َواهُ ْأَح َم ُد‬,ْ
َ َ‫علَيك‬
َ ْ َ‫ارك‬
َ َ‫َوب‬
ِ ُ‫َوابن‬
َْ‫ْحبهان‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu


'alaihi wa Sallam bila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda:
"Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta
mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan." Riwayat Ahmad dan Imam
Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. 19

6. Hadis Tentang Khutbah dalam Pernikahan

َ ‫ُّْللَاْصلىْهللاْعليهْوسلمْاَلت ه‬
َْ‫ش ُّهد‬ ِ ‫سول َ ه‬
ُ ‫اْر‬ َ ْ(ْ:َْ‫ِّْللَاْب ِنْ َمسعُودٍْرضيْهللاْعنهْقَال‬
َ َ‫عله َمن‬ ِ ‫َوعَنْعَبد َ ه‬
ِ ُ‫ورْأَنف‬
ِْ‫ْ َمنْيَه ِده‬,ْ‫سنَا‬ ِ ِ‫ْونَعُوذُْ ِبا َ هّلِل‬,ْ
ِ ‫ْمنْش ُُْر‬ َ ُ‫ْونَستَغ ِف ُره‬,ْ
َ ُ‫ْونَست َ ِعينُه‬,ْ
َ ُ‫ْنَح َم ُده‬,ِْ‫َّْلِل‬
‫ْإِنه ْاَلحَمد ِ ه‬:ْ‫فِيْاَلحَا َج ِة‬
17
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm.2134
18
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm. 2135
19
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm.2136
11

َ ‫ْويَق َرأُْث َ ََل‬


ْ‫ثْآيَاتٍْ)ْْ َر َوا ُه‬ َ ُ‫سولُه‬ َ ُ‫ْوأَش َهدُْأَنه ْ ُم َح همدًاْعَب ُده‬,ْ
ُ ‫ْو َر‬ ‫ْوأَش َهدُْأَن ََْلْإِلَهَْإِ هَل َ ه‬,
َ ُ‫ّْللَا‬ َ ُْ‫ّللَاُْفَ ََلْ ُم ِضلهْلَ ْه‬
‫َه‬
‫ْوالحَا ِك ُْم‬,ْ
َ ‫ِي‬ ُّ ‫سنَهُْاَلتِر ِمذ‬ َ ُ‫ْواْلَربَعَة‬,ُْ
‫ْو َح ه‬,ْ َ ‫أَح َمد‬

Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa


Sallam mengajari kami khutbah pada suatu hajat, artinya: Sesungguhnya
segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri
kami. Barangsiapa mendapat hidayah Allah tak ada orang yang dapat
menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya) dan membaca
tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi
dan Hakim. 20

a. Kandungan hukum dalam teks hadis diatas21


Hadits tersebut menunjukkan disunnahkannya khutbah dalam acara
hajatan. Para ulama bersepakat mengenai hal ini.
Ibnu Qudamah berkata, “Khutbah tidaklah wajib menurut salah seorang
ulama yang kami ketahui, kecuali Daud (Azh-Zhahiri), beliau mewajibkannya
berdasarkan apa yang telah kami sebutkan,” maksudnya hadits Ibnu Mas’ud di
atas.
Akan tetapi pendapat Daud tertolak berdasarkan hadits lain yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengesahkan
beberapa akad tanpa menyertainya dengan khutbah. Di antaranya adalah
hadits wahibah (wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam). Beliau bersabda kepada lelaki yang hendak
menikahinya, “Aku nikahkan kamu dengan dia dengan (mahar) hafalan
Quranmu,” tanpa berkhutbah apapun. Dan kejadian semacam ini sangatlah
banyak, tak perlu disebutkan satu-persatu di sini.

20
Ibid hlm 2141
21
Ibid hlm 2142
12

Kemudian kata “hajat” (kebutuhan) dalam hadits di atas secara umum


memang mencakup seluruh hajat. Akan tetapi para ulama menafsirkan kata itu
dengan “pernikahan”.
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang khutbah sangatlah beragam
redaksinya. Secara keseluruhan menunjukkan disunnahkannya membaca
hamdalah, dua syahadat, dan beberapa ayat Al-Quran.
Sebagian orang mengira bahwa khutbah Ibnu Mas’ud dalam hadits di
atas bersifat wajib dalam setiap pembukaan kitab atau surat. Dalam hal ini,
mereka terkecoh dengan kata “hajat”.
Pendapat ini tentu saja tidak benar, dengan bukti sebagai berikut:
Pertama, surat-surat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang
beliau kirim kepada para raja (Kaisar, Kisra, dll) tidak tercantum di dalamnya
khutbah semacam ini. Beliau hanya menulis basmalah saja.
Kedua, surat-surat yang dikirm oleh Khulafaurrasyidin juga tidak
tercantum di dalamnya khutbah.
Ketiga, kitab-kitab karangan para ulama, baik dari kalangan ahli hadits
maupun ahli fikih, juga tidak menyebutkan khutbah ini dalam pembukaannya.
Mereka hanya menyebutkan basmalah, hamdalah dan shalawat, tanpa
tasyahhud (dua kalimat syahadat) dan tanpa ayat-ayat. Sebagian ulama
memang menyebutkan tasyahhud, akan tetapi tidak ada khutbah Ibnu Mas’ud,
kecuali hanya dalam kitab Musykilul Aastsaar milik Ath-Thohawi dan
beberapa kitab milik Ibnu Taymiyah. Wallahu a’lam bis showab

7. Hadis tentang cara memilih pasangan

َْ‫ُّْللَاْصلىْهللاْعليهْوسلمْ(ْ ِإذَاْ َخ َط َبْأ َ َح ُد ُك ُمْال َمرأَة‬


ِ ‫سول َ ه‬ َ ‫ْقَال‬:َْ‫َوعَنْجَا ِب ٍر ْرضيْهللاْعنهْ َقال‬
ُ ‫َْر‬
ْ ٌ‫ْو ِرجَالُهُْثِ َقات‬,َْ
َ ‫َاود‬ُ ‫ْوأَبُوْد‬,ُْ
َ ‫ْ َفليَفعَلْ)ْْ َر َواهُْأَح َمد‬,ْ‫َاحهَا‬
ِ ‫ْمنهَاْ َماْ َيدعُوهُْإِ َلىْنِك‬ ُ ‫ْفَ ِإنْاِست َ َطاعَْأَنْ َْين‬,
ِ ‫ظ َر‬
ْ‫ص هح َحهُْاَلحَا ِك ُم‬
َ ‫ْو‬,
َ

ْ‫ير ِة‬
َ ‫سائِيِْ;ْع َِنْال ُم ِغ‬ َ ِ ‫ْ ِعندَْاَلتِر ِمذِي‬:ٌْ‫َولَهُْشَا ِهد‬
َ ‫ْوال هن‬,ْ

َ‫ْمنْ َحدِيثِْ ُم َح همدِْب ِنْ َمسلَ َم ْة‬:ْ


ِ َ‫ْحبهان‬
ِ ‫ْوابْ ِن‬,ْ
َ ‫َو ِعندَْاِب ِنْ َماجَه‬
13

Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:


"Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa
memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya
ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.22

a. Kandungan hukum dalam teks hadis diatas

Syarikh rahimahullah berkata: hadis-hadis dalam bab ini menunjukkan,


bahwa tidak mengapa seorang laki-laki melihat perempuan yang
dimaksudkan untuk dikawinnya; begitulah pendapat jumhur.23

Sejumlah hadits di atas secara jelas menunjukkan perintah kepada


orang yang mengkhitbah, atau yang hendak mengkhitbah, untuk melihat
calon pasangan yang hendak dikhitbah.

Para ulama bersepakat mengenai disunnahkannya nazhor (melihat


calon pasangan) sebelum akad. Alasannya adalah, bahwa perintah tersebut
terjadi pada hal-hal yang secara asal dilarang (yaitu melihat bukan mahrom),
maka hukum tersebut kembali pada asalnya, yaitu boleh. Akan tetapi
berdasarkan hadits Mughirah di atas, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam, “Lihatlah ia, karena hal yang demikian itu lebih dapat
melanggengkan hubungan kalian berdua,” maksudnya lebih dapat
menjadikan kalian berdua bersepakat, maka hadits tersebut menunjukkan
istihbab (sunnah).

Hadits tersebut tidak menyebutkan batasan-batasan dalam nazhor.


Mayoritas ulama berpendapat bahwa diperbolehkannya nazhor hanya sebatas
pada wajah dan dua telapak tangan saja. Bahkan Ulama Hanabilah membatasi
hanya pada wajah saja. Wajah adalah tempat berkumpulnya kecantikan.
Sedangkan dua telapak tangan menunjukkan gemuk atau kurusnya badan.
Karena pada dasarnya melihat bukan mahrom adalah dilarang kecuali hanya

22
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm.2144
23
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, op.cit hlm.2145
14

sesuai kebutuhan (hajat), maka kebolehan ini dibatasi oleh hajat tersebut.
Maka selain itu hukumnya tetap haram. Wallahu a’lam bis shawab

D. Syarat Dan Rukun Munakahat24


1. Syarat Munakahat (perkawinan)
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka perkwinan itu
sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami
istri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada
dua:
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjaikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan
orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk
sementara maupun selama-lamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Menurut Undang-undang republik Indonesia nomor 1 tahun


1974 tentang perkawinan, pada BAB II Tentang syarat-syarat
perkawinan pasal 6 menyebutkan:25
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua otang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya

24
Abdul Rahman Ghozali,.hlm. 20
25
Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam ,
(Bandung: citra umbara 2013), cet ke IV, hlm 3
15

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendak-nya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamnya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7:26
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita si sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan slah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang
ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6).

26
Op. Cit. Hlm 4
16

Pasal 8:27
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
ke atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri
4) Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

2. Rukun Munakahat (Perkawinan)


Pada umumnya rukun dimaknai sebagai sesuatu yang mesti ada
yang menenetukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh
muka untuk wudlu dan takbiratul ihram untuk shalat.28
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri
atas:29
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah

27
Op.cit hlm 6
28
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2010), cet ke-IV, hlm 45.
29
Abdul Rahman Ghozali 46
17

Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima


macam :30
a. Wali dari pihak perempuan
b. Mahar (maskawin)
c. Calon pengantin laki-laki
d. Calon pengantin perempuan
e. Sighat akad nikah
Imam syafi’i mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
amacam:31
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah
Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu ijab dan qabul
saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan
calon pengantin laki-laki).
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada
empat :32
a. Sigaht (ijab dan qabul)
b. Calon pengantin perempuan
c. Calon pengantin laki-laki
d. Wali dari pihak calon pengantin perempuan

Rukun akad nikah ada 3 hal.


1. Adanya calon mempelai wanita dan mempelai pria yang tidak
memiliki hambatan untuk mengadakan akad nikah yang sah.
Misalnya, calon mempelai wanita yang akan dinikahi bukanlah

30
Ibid. 46
31
Ibid. 46
32
Imron Abu Amar, Op.cit. 10
18

wanita yang haram untuk dinikahi bagi calon mempelai pria,


baik karena adanya hubungan nasab(keluarga) atau hubungan
persusuan atau wanita tersebut masih dalam masa iddah dari
suaminya yang lalu atau sebab lainnya. Atau karena sebab lain,
selain calon mempelai pria berasal dari golongan orang yang
kafir, sedangkan wanita adalah seorang muslimah.... dan sebab
lainnya yang termasuk dilarang dalam syari’at.
2. Adanya ijab atau penyerahan, yaitu lafazh yang diucapkan oleh
seorang wali dari pihak mempelai wanita atau pihak yang diberi
kepercayaan dari pihak mempelai wanita dengan ucapan, “saya
nikahkan kamu dengan..... (seorang wanita yang dimaksud
disebutkan namanya jelas).
3. Adanya qabul atau penerimaan, yaitu suatu lafazh yang berasal
dari calon mempelai pria atau orang yang telah mendapat
kepercayaan dari pihak mempelai pria dengan mengatakan,
“saya terima nikahnya....(sebutkan namanya yang jelas),
dengan mahar....(sebutkan maharnya)”.33

E. Hikmah Munakahat
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat
manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi
tegar, jiwa jhadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat yang
haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
2. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta
memelihara nasib yang oleh islam sangat diperhatikan sekali.

33
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006) cet ke 1. Hlm. 649
19

3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam


suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-
perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik
yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena
dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga
dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang
dikaruniakan allah bagi kepentingan hidup manusia.
5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi rumah tangga,
sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.
6. Perkawinan, dapat membuahkan, diantaranya tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan
memperkuat hubungan masyarakat, yang memang oleh islam ditrestui,
ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang
lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi
bahagia.34
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di
dunia ini berlanjur, dari generasi kegenerasi. Selain juga berfungsi sebagai
penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami isteri serta menghindari
godaan syaitan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk
mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas
saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta
penghormatan. Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas
di dalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan
menciptakan suasana menyenangkan, supaya suaminya dapat

34
Tihami dan Sohari Sahrani, op.cit. Hlm 19
20

mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi


maupun ukhrawi.35

F. Kontekstualisasi Hadis Munakahat


1. Nikah mut’ah
Pengertian nikah mut’ah: nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal
ini dilarang dalam islam, nikah mut’ah ini pernah diperbolehkan pada masa
Rasulullah dan kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan beliau
selamanya, sampai hari kiamat kelak. Dari Ali Ra berkata:36

ْ‫ْوعَنْأَك ِلْال ُح ُم ِر‬


َ ‫اء‬ َ ‫سله َمْ(ْنَهىْعَنْ ُمت َع ِةْال ِن‬
ِ ‫س‬ َ ‫ع َلي ِه‬
َ ‫ْو‬ َ ُْ‫صلهىْهللا‬
َ ِْ‫سولَْهللا‬ َ ‫َوعَنهُْأَنه‬
ُ ‫ْر‬
‫اْلَه ِليه ِةْيَو َمْ َخيبَ َرْ)ْاخرجهْالسبعةْإَلْأباْداود‬

“ Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan juga daging keledai


peliharaan pada masa perang khaibar.”(muttafaqun alaih).

Dari Sibrah al-jihni, dari ayahnya, ia menceritakan:”barang siapa


menikahi wanita muslimah untuk waktu tertentu, maka hendaklah ia
memberikan apa yang telah ditetapkan bagiannya serta tidak mengambil
kembali sesuatu apapun yang telah diberikan kepadanya dan kemudian
menceraikannya, sesungguhnya Allah telah mengharamkannya bagi kalian
sampai hari kiamat” (HR. Thabrani).

Dari ibnu abbas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “sebenarnya


nikah mut’ah itu ada hanya pada awal masa islam. Ada seseorang
mendatangi suatu negeri yang asing baginya. Lalu ia menikahi seorang
wanita penduduk asli negeri tersebut dengan perkiraan bahwa ia akan
tinggal di sana dan wanita yang ia nikahi bisa menjaga serta mengatur
barang-barang dagangannya. Sehingga turun firman Allah yang artinya:
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang merkea miliki . ibnu

35
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Op.cit h.379
36
Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006) cet k-1,
Hlm.382
21

abbas melanjutkan, semua kemaluan selain dua kemaluan tersebut, maka


hukumnya adalah haram.37
Jika diaplikasikan pada masa sekarang nikah mut’ah sangatlah banyak
karena para pelakunnya hanya mengutamakan nafsu, padahal tujuan dari
menikah itu sendiri merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah Saw,
yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawai dan ukhrowi.
Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang tubuh ajaran fikih, dapat
dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni: rub’al-ibadat, yang
menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya, rub’al-
muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya
dengan sesamannya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari. Rub’al-
munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan
keluarga dan Rub’al-ijniyat, yang menata pengamanannya dalam suatu
tertib pergaulan yang menjalin ketentramannya.
Zakiyah Darajat dkk. Mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan
yaitu:38
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertangguang jawab
menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang halal serta
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek
untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi
keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan.

37
Ibid, hlm. 383
38
Ibid, hlm. 384
22

Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak


yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya dengan segala perlakukan
yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan
pribadi/kepribadian sang putra-putri itu sendiri.39
Perkawinan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian(suci) antara
seorang pria dan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata di
antaranya adalah: kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan
memilih dan darurat40.

2. Dampak dari Nikah Mut’ah


Dampak nikah mut’ah terbagi menjadi dua, yaitu positif dan negatif :
a. Dampak Positif
Dampak positif nikah mut'ah adalah mempermudah sebagian orang
untuk melepaskan nafsu syahwat biologis. Hal ini menjadi sangat mudah,
karena mereka yang menginginkan mut'ah dapat langsung mencari
pasangannya, melakukan akad nikah di mana saja, tanpa saksi dan wali serta
tentunya tanpa walimah. Setelah puas, mantan suami dan istri dapat kembali
ke rumah masing-masing tanpa menanggung beban dan tanggung jawab.
Waktu pernikahan dapat di atur, paling sedikit adalah sekali hubungan
suami istri dan tidak ada batasan waktu. Dengan nikah mut'ah seorang laki-
laki dapat membunuh rasa bosan dan memperoleh puncak kenikmatan
dengan nikah mut'ah setiap minggu, bahkan sesering mungkin dengan "istri"
yang berbeda. Semua itu dilakukan tanpa beban dan dengan penuh harapan
memperoleh "pahala" yang besar kelak.

b. Dampak Negatif
Kedua, Dampak Negatif terbagi atas beberapa bagian yaitu:
1. Pelecehan terhadap Wanita

39
Tihami dan sohari sahrani, op.cit. hlm 15
40
ibid. hlm 16
23

Wanita dalam Islam memiliki kedudukan setara dengan pria.


Islam dengan syariatnya yang sempurna diturunkan Allah untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan keselamatan di akherat. Salah satu
topik yang menjadi perhatian syariat Islam adalah masalah wanita.
Islam menggariskan aturan-aturan yang berkenaan dengan wanita,
karena wanita memiliki posisi penting dalam kehidupan, supaya dapat
menjalankan fungsinya secara optimal dalam masyarakat. Dari mulai
hukum hijab hingga seluruh aturan perkawinan, semuanya bertujuan
untuk menjaga kesucian wanita. Sementara kita melihat aturan yang ada
dalam nikah mut'ah, menjadikan wanita laksana barang dagangan yang
diperjualbelikan kehormatannya. Wanita dapat dinikmati untuk
kemudian dibuang. Menjual kesuciannya kepada pria dengan imbalan
yang tak seberapa, mengorbankan kehidupan dan fungsi
keberadaannya. Nikah mut'ah menurunkan nilai wanita dari pendidik
generasi menjadi pemuas nafsu saja. Hal ini tidaklah mengherankan,
karena memang tujuan nikah mut'ah hanyalah pemuasan nafsu semata.
2. Rusaknya Lembaga Rumah Tangga
Adanya nikah mut'ah akan mengancam eksistensi lembaga
rumah tangga. Suami tak akan merasa aman, karena jangan-jangan
istrinya melakukan mut'ah dengan pria lain. Nikah mut'ah bisa jadi
pelampiasan bagi suami maupun istri ketika dilanda masalah dalam
kehidupan rumah tangganya. Begitu juga istri, selalu was was jika
suaminya terlambat pulang. Tidak pernah merasa percaya penuh pada
suaminya. Selalu merasa khawatir jangan-jangan suaminya berkhianat.
Ekonomi rumah tangga akan goncang karena banyak dana yang
tersedot keluar untuk keperluan mut'ah. Rumah tangga yang selalu
dilanda curiga tak akan mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat
ketentraman jiwa bagi suami maupun istri. Rumah tangga yang selalu
dilanda curiga hanya akan menghasilkan anak-anak yang terdidik dalam
lingkungan penuh curiga, yang akan berpengaruh pada tatanan kejiwaan
mereka. Rumah tangga yang dilanda curiga akan mendidik anak-anak
24

berjiwa konflik, yang potensial menciptakan konflik dalam kehidupan


dewasa mereka.
3. Punahnya Keluarga
Kehidupan keluarga yang penuh konflik hanya akan
menciptakan trauma bagi suami dan istri, serta menjadikan pelajaran
yang berharga bagi para pemuda dan pemudi. Mereka takut jika dalam
rumah tangga kelak mengalami apa yang telah dialami oleh teman,
sanak saudara, tentangga dan rekan kerja mereka. Akhirnya lembaga
perkawinan perlahan-lahan akan punah, karena para pemuda tidak
merasa perlu untuk menikah, karena dapat melampiaskan nafsu
syahwatnya dengan jalan yang benar tanpa harus berumah tangga, yang
hanya akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Rusaknya keluarga
akan mengakibatkan rusaknya masyarakat, yang merupakan kumpulan
dari banyak keluarga. Rusaknya masyarakat akan mengakibatkan
rusaknya negara, yang merupakan kesatuan dari masyarakat-
masyarakat.
4. Tersebarnya Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual menjangkiti mereka yang sering berganti
pasangan. Dalam nikah mut'ah tidak ada batasan untuk pergantian
pasangan. Di mana seorang pria maupun wanita bebas untuk memilih
pasangan mut'ahnya untuk kemudian mencari gantinya. Maka
tersebarlah penyakit seksual yang akan menggerogoti masyarakat. Di
antara penyakit yang berpeluang menyebar di kalangan pelaku mut'ah
adalah AIDS. Tidak heran karena AIDS adalah penyakit yang menimpa
akibat perzinaan. Salah satu negeri yang memperbolehkan nikah mut'ah
adalah Iran. Wakil menteri kesehatan Iran, Ali Sayyari mengatakan
bahwa jumlah penderita virus HIV di Iran saat ini lebih dari 15.000
orang, enam kali lebih besar dibanding jumlah penderita HIV lima
tahun lalu. Sayyari mengatakan pada BBC bahwa legalisasi nikah
mut'ah mempersulit pemberantasan HIV karena Undang-undang yang
25

memperbolehkan laki-laki untuk berganti ganti pasangan telah berperan


serta dalam penyebaran penyakit kelamin, termasuk AIDS.
26

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat , Jakarta: Kencana, 2010.


Abu Amar, Imron. Terjemah Fathul Qorib. Kudus: Menara Kudus. 1983.
Al Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani. 2006.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Yogyakarta: Hikam
Pustaka. 2009.
Hamidy, Mu’amal, Imron dan Umar Fanany. Terjemahan Nailul Authar;
Himpunan Hadist-Hadist Hukum. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 2003.
Hamka. Terjemah Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas. 2004.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. 2001.
Mahfudz, Asmawi. Pembaruan Hukum Islam Manhaj Ijtihad Shah Wali Allah
Al-Dihiawi. Yogyakarta: Teras. 2010.
Mu’ammal hamidy, imron dan umar fanany, terjemah nailul authar himpunan
hadis-hadis hukum,Surabaya: PT bina ilmu, 2002, cet. Ke- 3,
Mudjab Mahalli, Ahmad dan Ahmad Rodli. Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih.
Jakarta: Kencana. 2004.
Muhammad ‘Uwaidah, Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar. 2006.
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontenporer. Yogyakarta: Elsaq
press. 2004.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana. 2003.
Tihami dan Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah Lengkap.
Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2010.
Undang-undang R.I Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi
hukum islam, Bandung: citra umbara, 2013, cet. Ke-4

Anda mungkin juga menyukai