Anda di halaman 1dari 141

DR.

NASAIY AZIZ, MA

KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI
DALAM PERWALIAN NIKAH
DILIHAT DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Editor: Dr. Abd. Wahid. M.Ag


Dr. Nasaiy Aziz, MA Dr. Nasaiy Aziz, MA

KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI


DALAM PERWALIAN NIKAH DALAM PERWALIAN NIKAH
DILIHAT DARI BERBAGAI PERSPEKTIF DILIHAT DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Penerbit: SEARFIQH Banda Aceh Penerbit: SEARFIQH Banda Aceh


2018 2018
Ketidakmutlakan Laki-Laki dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif, Ketidakmutlakan Laki-Laki dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif,
Penulis: Dr. Nasaiy Aziz, MA, Editor: Dr. Abd. Wahid, M.Ag, Penerbit: SEARFIQH Penulis: Dr. Nasaiy Aziz, MA, Editor: Dr. Abd. Wahid, M.Ag, Penerbit: SEARFIQH
Banda Aceh. Banda Aceh.

Penulis: Penulis:
Dr. Nasaiy Aziz, MA Dr. Nasaiy Aziz, MA

Editor: Editor:
Dr. Abd. Wahid, M.Ag Dr. Abd. Wahid, M.Ag

Design Sampul: Design Sampul:


Mirza Fuadi Mirza Fuadi

Cetakan I, Rabiul Tsani 1438 H / Januari 2018 M Cetakan I, Rabiul Tsani 1438 H / Januari 2018 M
ISBN: 978-602-1027-35-6 ISBN: 978-602-1027-35-6

Diterbitkan Oleh: Diterbitkan Oleh:


Forum Intelektual al-Qur’an dan Hadits Asia Tenggara Forum Intelektual al-Qur’an dan Hadits Asia Tenggara
(SEARFIQH), Banda Aceh (SEARFIQH), Banda Aceh
Jl. Tgk. Chik Pante Kulu No. 13 Dusun Utara, Jl. Tgk. Chik Pante Kulu No. 13 Dusun Utara,
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111 Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111
HP. 08126950111 HP. 08126950111
Email: penerbitsearfiqh@gmail.com Email: penerbitsearfiqh@gmail.com
Website: al-muashirah.com Website: al-muashirah.com

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG


KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt dengan segala rahmat dan inayah-Nya Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt dengan segala rahmat dan inayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul Ketidakmutlakan Laki-laki penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul Ketidakmutlakan Laki-laki
dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif. Shalawat dan salam dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang kehadirannya menjadi rahmat semoga tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang kehadirannya menjadi rahmat
sekalian alam. sekalian alam.
Jumhur fuqaha’ (Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat menetapkan bahwa Jumhur fuqaha’ (Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat menetapkan bahwa
lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Keharusan dan lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Keharusan dan
kemutlakan tersebut didasarkan kepada keumuman dan arti zahir ayat-ayat al- kemutlakan tersebut didasarkan kepada keumuman dan arti zahir ayat-ayat al-
Qur’an tersebut. Hubungan kerabat yang mareka (tiga mazhab tersebut) Qur’an tersebut. Hubungan kerabat yang mareka (tiga mazhab tersebut)
maksudkan disini adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan garis-garis maksudkan disini adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan garis-garis
laki-laki dengan tertib prioritas tertentu atau sering disebut dengan ‘Ashabah. laki-laki dengan tertib prioritas tertentu atau sering disebut dengan ‘Ashabah.
Penentuan orang-orang yang berhak menjadi wali disebut di atas dan tertib Penentuan orang-orang yang berhak menjadi wali disebut di atas dan tertib
urutannya didasarkan kepada ijtihad, bukan melalui nash yang sharih. urutannya didasarkan kepada ijtihad, bukan melalui nash yang sharih.
Akan tetapi mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya. Mareka tidak Akan tetapi mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya. Mareka tidak
menganggap lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah, kecuali terhadap menganggap lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah, kecuali terhadap
perkawinan anak kecil (belum dewasa), orang gila dan orang yang kurang perkawinan anak kecil (belum dewasa), orang gila dan orang yang kurang
sempurna akal. Perwalian secara nasab (hubungan kerabat) --menurut mareka-- sempurna akal. Perwalian secara nasab (hubungan kerabat) --menurut mareka--
tidak hanya di dasarkan kepada ‘Ashabah semata, tetapi juga dibolehkan tidak hanya di dasarkan kepada ‘Ashabah semata, tetapi juga dibolehkan
berdasarkan keluarga zawil arham (keturunan melalui garis perempuan). Oleh berdasarkan keluarga zawil arham (keturunan melalui garis perempuan). Oleh
karenanya, atas dasar ini -perwalian secara nasab- tidak tertutup kemungkinan karenanya, atas dasar ini -perwalian secara nasab- tidak tertutup kemungkinan
sama sekali wanita dibolehkan bertindak dalam perwalian nikah. sama sekali wanita dibolehkan bertindak dalam perwalian nikah.
Kepada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu mencarikan Kepada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu mencarikan
data, memberikan dorongan dan sumbangan di dalam buku ini, saya data, memberikan dorongan dan sumbangan di dalam buku ini, saya
menyampaikan banyak terimakasih. Dan hanya Allahlah yang akan membalas menyampaikan banyak terimakasih. Dan hanya Allahlah yang akan membalas
segala kebaikan tersebut. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada segala kebaikan tersebut. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada
kepada Bapak Dr. Abd. Wahid, M. Ag, selaku editor buku ini sekaligus sebagai kepada Bapak Dr. Abd. Wahid, M. Ag, selaku editor buku ini sekaligus sebagai
pihak Divisi penerbitan SEARFIQH Banda Aceh, yang selalu mendorong penulis pihak Divisi penerbitan SEARFIQH Banda Aceh, yang selalu mendorong penulis
untuk dapat menyelesaikan tulisan ini. untuk dapat menyelesaikan tulisan ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan kritik penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan kritik
konstruktif pembaca untuk kesempurnaan buku ini ke depan. Semoga bermanfaat konstruktif pembaca untuk kesempurnaan buku ini ke depan. Semoga bermanfaat
dan menjadi amal yang diridhai Allah Swt. Amiin dan menjadi amal yang diridhai Allah Swt. Amiin

Banda Aceh, 22 Januari 2018 Banda Aceh, 22 Januari 2018

Penulis Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Kata Pengantar / i Kata Pengantar / i
Daftar Isi / iii Daftar Isi / iii

BAGIAN PERTAMA: BAGIAN PERTAMA:


PENDAHULUAN / 1 PENDAHULUAN / 1

BAGIAN KEDUA: BAGIAN KEDUA:


KETENTUAN UMUM TENTANG PERWALIAN NIKAH KETENTUAN UMUM TENTANG PERWALIAN NIKAH
A. Rukun dan Syarat Nikah / 17 A. Rukun dan Syarat Nikah / 17
B. Urutan Wali Nikah / 17 B. Urutan Wali Nikah / 17
C. Jenis Wali Nikah / 54 C. Jenis Wali Nikah / 54

BAGIAN KETIGA: BAGIAN KETIGA:


KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI DALAM PERWALIAN NIKAH KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI DALAM PERWALIAN NIKAH
A. Perspektif Fuqaha’ / 65 A. Perspektif Fuqaha’ / 65
B. Perspektif Mufassir / 88 B. Perspektif Mufassir / 88
C. Perspektif Muhaddis / 105 C. Perspektif Muhaddis / 105

BAGIAN KEEMPAT: BAGIAN KEEMPAT:


PENUTUP / 121 PENUTUP / 121
DAFTAR PUSTAKA / 127 DAFTAR PUSTAKA / 127
TENTANG PENULIS TENTANG PENULIS
BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN

Manusia diciptakan Allah swt. mempunyai naluri


manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan.
Pemenuhan naluri manusiawi manusia, di antara lain
keperluan biologis, dapat disalurkan melalui
perkawinan. Perkawinan menurut Islam merupakan
tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian,
sehingga tujuan melangsungkan perkawinan hendaknya
ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Dalam Islam perkawinan merupakan sunnah
Rasul SAW yang di antara lain bertujuan untuk
melanjutkan keturunan di samping untuk menjaga
manusia supaya tidak terjerumus dalam perbuatan keji
<<1>>
yang sama sekali tidak diinginkan oleh syara’. Untuk
memenuhi ketentuan tersebut, maka per-kawinan itu
harus dilaksanakan sesuai menurut ketentuan syari’at
Islam, yaitu dengan cara yang sah. Suatu perkawinan
baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya. Salah satu rukun atau syarat tidak
terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap batal. Di
antara salah satu syarat atau rukun perkawinan adalah
adanya wali. Kriteria atau persyaratan wali dalam
pernikahan dipahami fuqaha’ melalui ayat-ayat yang
berkaitan dengan pernikahan. Ayat-ayat tersebut adalah
: 221, 230, 232 dan 234 surat al-Baqarah serta ayat 32
surat al-Nur.
Jumhur fuqaha’ (Maliki, Syafi’i dan Hambali)
sepakat menetapkan bahwa laki-laki merupakan syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Keharusan dan
kemutlakan tersebut didasarkan kepada keumuman dan
arti zahir ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Hubungan
kerabat yang mereka (tiga mazhab tersebut) maksudkan
di sini adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan
dengan garis-garis laki-laki dengan tertib prioritas
tertentu atau sering disebut dengan ‘Ashabah.1
Penentuan orang-orang yang berhak menjadi wali
disebut di atas dan tertib urutannya didasarkan kepada
ijtihad, bukan melalui nash yang sharih.

1 Sama dengan ‘Ashabah Bi Al-Nafsih yang terdapat dalam

warisan dengan tertib urutan sesuai dengan pendapat masing-


masing Mazhab yang dijelaskan dalam Bab urutan Wali Nikah
<<2>>
Akan tetapi mazhab Hanafi berpendirian
sebaliknya. Mereka tidak menganggap laki-laki sebagai
syarat mutlak dalam perwalian nikah, kecuali terhadap
perkawinan anak kecil (belum dewasa), orang gila dan
orang yang kurang sempurna akal. Perwalian secara
nasab (hubungan kerabat) --menurut mereka-- tidak
hanya didasarkan kepada ‘Ashabah semata, tetapi juga
dibolehkan berdasarkan keluarga zawil arham
(keturunan melalui garis perempuan). Oleh karenanya,
atas dasar ini -perwalian secara nasab- tidak tertutup
kemungkinan sama sekali wanita dibolehkan bertindak
dalam perwalian nikah.
Argumen di atas (mazhab Hanafi) didukung oleh
kenyataan bahwa tidak ada nash yang sharih (baik al-
Qur’an dan Hadits) yang menunjukkan mesti laki-laki
yang berhak menjadi wali nikah atau melarang
perempuan menjadi wali dalam pernikahan. Ditambah
lagi dengan kenyataan historis yang menunjukkan
sebaliknya, yaitu Aisyah r.a. --Istri Rasulullah saw.--
pernah mengawinkan anak saudaranya Habsah binti
Abdurrahman dengan Munzir ibnu Zuber yang di saat itu
–Abdurrahman- sedang berada di Syam. Hal yang paling
penting di sini –dari peristiwa tersebut—adalah Aisyah
sudah pasti tidak melaksanakan hal seperti itu sekiranya
ada nash yang sharih yang melarang perempuan yang
menjadi wali dalam pernikahan, begitu juga halnya yang
menyangkut dengan hubungan kekhalifahan sebagai
dasar adanya perwalian nikah di saat seluruh wali
<<3>>
‘ashabah tidak dijumpainya - melihat kenyataan
sekarang-- bukan suatu hal yang mustahil perempuan
punya kesempatan (dibolehkan) bertindak sebagai wali
dalam pernikahan.
Dalam mazhab Syafi’i laki-laki merupakan syarat
mutlak untuk menjadi seorang hakim. Akan tetapi untuk
zaman sekarang pernyataan ini sudah sulit dipertahan-
kannya. Hal ini terbukti, Indonesia dikenal sebagai
penganut mazhab tersebut persyaratan semacam ini
sudah mulai ditinggalkannya, yaitu dibolehkannya
hakim wanita di Pengadilan Agama. Kenyataan ini
menunjukkan semakin terbuka kemungkinan -pada
suatu saat- ke arah boleh perempuan bertindak sebagai
wali dalam pernikahan melalui wali hakim di saat
seluruh wali berdasarkan ‘ashabah tidak dijumpainya.
Melihat kenyataan di atas dapat dipahami bahwa;
(a) ada pemungkinan perempuan bisa bertindak sebagai
wali dalam pernikahan (b) tertib urutan wali secara
‘ashabah tidak mesti dipertahankan.
Pendapat tersebut bukanlah hal yang baru tetapi
merupakan praktek sahabat dan pendapat salah satu
dari mazhab yang empat (Hanafi) yang tidak
dikembangkan di kalangan tiga mazhab lainnya. Di pihak
lain ada sebagian ulama yang menganggap keturunan

<<4>>
dari garis laki-laki sama kedudukannya dengan
keturunan garis perempuan.2
Seandainya pendapat tersebut diterima secara
penuh, maka tidak akan diragukan lagi akan mempunyai
implikasi yang luas dalam fiqih munakahat, khususnya
empat mazhab.
Selanjutnya akan dikaji di sini penafsiran mufassir
terhadap ayat-ayat yang menjadi pokok kajian fuqaha’ di
atas. Ulama-ulama tafsir yang dipilih di sini adalah: al-
Qurthubi, al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Qasimi, Ibn al-
‘Arabi, al-Jashsas dan Rasyid Ridha, dengan
pertimbangan uraian mereka paling kurang dapat
mewakili keempat mazhab yang dikaji.
Selanjutnya dalam bagian ini juga akan dikaji
Hadits-Hadits yang dianggap sebagai dalil oleh ulama
fiqih dalam perwalian nikah berdasarkan pemahaman
shahabat dan ulama pensyarah Hadits. Kajian ini lebih
memberi tekanan pada segi pemahaman terhadap matan
(teks) Hadits, terutama dalam kedudukan sebagai dalil
kedua setelah al-Qur’an. Namun begitu sanad akan
dicantumkan sebanyak yang bisa diperoleh dan
penilaian para rawi tentang Hadits yang diriwayatkan
akan dicantumkan pula. Kritik sanad akan diberikan
terhadap tokoh yang diperselisihkan, sekiranya hal
tersebut akan mempengaruhi nilai Hadits.

2 Al-Suyuri, Kanz Al-Irfan Fii Fiqh Al-Qur’an, jilid II Al-

Murtadaa Wiyyat, Taheran, 1385, hal. 326.


<<5>>
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas
penulis tertarik dan ingin meneliti lebih lanjut persoalan
Ketidak-mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah
dilihat dari berbagai perspektif. Tulisan ini bertujuan di
samping untuk mengetahui pemahaman fuqaha’,
mufassir dan muhaddis terhadap ayat-ayat dan hadis-
hadis yang berkaitan dengan perwalian nikah, juga
untuk mengetahui sebab-sebab terjadi perbedaan
mereka dalam memahami ayat-ayat dan hadis (matan
dan sanad) tersebut.
Oleh karenanya, perhatian pokok yang perlu dikaji
di sini adalah apakah dalil-dalil yang digunakan fuqaha’,
mufassir dan muhaddis dalam menetapkan kriteria
seorang wali dalam pernikahan dan bagaimana
pemahamannya sehingga terjadi perbedaan pendapat
mereka dalam menetap-kan kriteria wali tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan di atas dirasa perlu juga
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apakah dalil-dalil yang digunakan oleh
fuqaha’, mufassir dan muhaddis dalam menetapkan
kriteria seorang wali dalam perkawinan dan bagaimana
tata cara penetapan hukumnya?
Kedua, apakah yang menjadi dasar perbedaan
pendapat mereka menjadi urutan wali nasab tidak hanya
berdasarkan ‘ashabah?
Ketiga, Bagaimana interprestasi mereka terhadap hadits
Aisyah yang telah mengawinkan anak saudaranya -
Habsah binti Abdurrahman- dengan Munzir Ibnu Zuber?

<<6>>
Mengenai ruang lingkup tulisan ini dapat
diklasifikasi-kan kepada empat bagian, dengan perincian
sebagai berikut. Bagian pertama Pendahuluan. Bagian
kedua Ketentuan umum tentang perwalian nikah yang
uraiannya mencakup rukun dan syarat njikah, urutan
wali dalam pernikahan dan jenis-jenis wali nikah itu
sendiri. Bagian ketiga berkaitan dengan ketidak-
mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah dilihat dari
berbagai perspektif; perspektif Fuqaha’, perspektif
Mufassir dan perspektif Muhaddisin. Sedangkan bagian
keempat berisi penutup, mencakup semua rukun dan
syarat-syarat nikah empat mazhab. Namun begitu
perhatian pokok lebih diarahkan kepada:
1. Kemungkinan wanita bisa bertindak sebagai wali
dalam pernikahan.
2. Urutan wali secara ‘asabah tidak mesti dipertahan-
kan.

1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, yang dianggap sebagai dalil
untuk fiqh hanyalah al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
saw. dan selanjutnya akan disebut sebagai nash. Adapun
dalil-dalil selebihnya (Qiyas, Istihsan, Masalih Al-
Mursalat, Istishab, ‘Uruf dan seterusnya) akan dianggap

<<7>>
pola istimbath (penalaran).3 Selanjutnya pola-pola
penalaran ini dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Pola penalaran bayani;
2. Pola penalaran Ta’lili;
3. Pola penalaran Istishlahi.
Dimaksudkan penalaran bayani adalah panalaran
yang pada dasarnya bertumpu pada qaidah-qaidah
kebahasaan (semantik). Di dalamnya dibahas antara lain
keluasan dan kesempitan cakupan makna kata,
homonim, makna-makna amar dan nahyi, kata-kata dari
segi kejelasan dan ketidak-jelasan maknanya, makna
kata sesuai dengan kedudukan dan fungsi dalam kalimat,
hubungan antara induk dan anak kalimat dan
seterusnya.

3 Secara harfiah dalil berarti “petunjuk jalan” atau “Pandu”.

Secara teknik dalil adalah sesuatu yang dapat memberikan


pengetahuan tentang apa yang dicari (Fa Huwa ma yumkin
tawaashul bihi ilaa Al-Ilm bi Mathluubin khaabariyyin). Al-Qur’an
dan sunnah Rasul disebut dalil karena keduanya merupakan
petunjuk untuk mengetahui maksud Allah tentang hukum taklifi
yang dibebankan kepada manusia. Mangenai nash secara harfiah
berarti “sesuatu yang jelas”, sedangkan secara teknis berarti
“perintah jelas” (bukan kabur) yang berkaitan dengan sesuatu
masalah tertentu yang tertulis secara nyata di dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Lebih lanjut lihat Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum
Tertutup, Terjemahan Agah Garandi, Pustaka Bandung, Cet. I, 1984,
hal. 110; Al-Amidi, Al-Ihkaam fii Ushuul Al-Ahkaam, Jilid I, Mathba’at
Ali Subeih, Kairo, 1968, Hal. 8 dan 9. Sedangkan kata penalaran
secara harfiyah berarti penalaran deduktif. Namum sering juga
digunakan dalam arti penalaran secara umum. Dalam tulisan ini arti
yang terakhir yang dipilih.
<<8>>
Dimaksudkan dengan pola penalaran ta’lili adalah
penalaran yang berusaha melihat apa yang
melatarbelakangi sesuatu ketentuan dalam Al-Qur’an
dan Hadits atau apa yang menjadi ‘illat dari sesuatu
perbuatan. Di dalam al-Qur’an dan Hadits sendiri ada
ketentuan secara jelas disebutkan ‘illatnya, ada yang
diisyaratkan saja dan ada yang tidak disebutkan illat
tersebut, ada yang bisa ditemukan melalui perenungan
dan ada juga yang tetap gelap sampai sekarang belum
terungkapkan. Apabila illat yang ada di dalam sesuatu
ketentuan dalil nash ditemukan juga pada masalah yang
lain yang tidak ada ketentuan nashnya, maka hukum
kedua masalah tersebut akan dia anggap sama dan inilah
yang disebut dengan qiyas. Tetapi bila terdapat sesuatu
kecenderungan atau alasan khusus sehingga qiyas itu
tidak dilaksanakan maka pengalihan itu disebut
istihsaan.
Dimaksudkan dengan pola penalaran Istishlahi
adalah penalaran yang menggunakan ayat-ayat atau
hadits-hadits yang mengandung “konsep umum” sebagai
dalil atau sandarannya. Biasanya penalaran ini
digunakan kalau masalah yang ditakyif (dikualifikasi,
diidentifikasi) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada
sesuatu ayat atau hadits tertentu secara khusus. Tetapi
akan mengembalikannya kepada gabungan makna
berapa ayat atau hadits atau gabungan antara keduanya.
Dengan kata lain berusaha mendeduksi tujuan-tujuan
umum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
<<9>>
Rasullullah saw. serta menyusun kategori-kategorinya,
guna menentukan skala prioritas ketentuan hukum
untuk masalah baru, akan dibuat berdasarkan
kedudukannya dalam kategori dan skala tersebut. Para
ulama telah membuat tiga kategori tujuan syari’at
dengan urutan prioritasnya: (a) melindungi kebutuhan
esensial manusia (dharuriyyat), (b) Melindungi
kebutuhan Primer (hajiyyat), dan (c) Melindungi
kebutuhan komplementer (tahsiniyyat).
Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam
penalaran istishlahi telah termasuk di dalamnya dalil-
dalil masaalih al-Mursalat, Sad Al-Zara’i, ‘uruf dan
istishaab. Demikian dikatakan karena pertimbangan
utama penerimaan ketiga dalil ini oleh para ulama
adalah pertimbangan kemaslahatan.
Apabila diperhatikan hasil-hasil istimbath yang
dilakukan para ulama, akan terlihat bahwa penalaran
bayani cenderung memperhatikan nash terlepas dari
keadaan sosial dan perkembangan masyarakat. Sedang
kedua penalaran berikutnya relatif lebih banyak
memperhatikan keadaan sosial dan masyarakat,
sehingga kadang-kadang hasil istimbathnya berbeda
dengan arti harfiyyah nash.
Akhirnya pantas dicatat, ketiga pola penalaran di
atas tidaklah terlepas mutlak satu sama lain. Ketiga-
tiganya saling berhubungan. Untuk pola penalaran kedua
perlu memahami pola pertama dan untuk yang ketiga
perlu memahami dua yang sebelumnya, untuk yang
<<10>>
pertamapun sampai batas tertentu tetap memerlukan
dua yang di bawahnya.

2. Tujuan dan Kegunaan Kajian


Penelitian ini bertujuan antara lain :
1. Mengetahui dan menjelaskan dalil-dalil yang
digunakan empat mazhab dalam menetapkan
kriteria seorang wali dalam pernikahan dan cara
3. Tujuan dan Kegunaan Kajian
Penelitian ini bertujuan antara lain:
1. Mengetahui dan menjelaskan dalil-dalil yang
digunakan empat mazhab dalam menetapkan kriteria
seorang wali dalam pernikahan dan cara pe-
mahamannya.
2. Mengetahui dan menjelaskan dasar perbedaan
pemikiran mereka dalam menjadikan urutan wali
tidak hanya berdasarkan ‘asabah.
3. Mengetahui dan menjelaskan interprestasi
mereka terhadap hadits yang berdasarkan Aisyah
tersebut.
Adapun kegunaan kajian adalah :
1. Merupakan usaha penggalian beberapa segi
hukum Islam yang dalam kadar tertentu akan
memberikan sumbangan pembangunan hukum
nasional Indonesia.
2. Dapat menambah keyakinan tentang keabadian
syari’at Islam di satu pihak, serta kelunturannya
<<11>>
di pihak lain, diiringi dengan himbauan, agar
umat Islam melaksanakan secara sadar dan
bertanggung jawab.
3. Sebagai tambahan kepustakaan bagi mahasiswa
Fakultas Syari’ah dalam mata kuliah Fiqih atau
Ushul Fiqih serta masyarakat ilmiah pada
umumnya dalam upaya merangsang dan
melebarkan gerak ijtihad yang lebih bertanggung
jawab dan lebih berhasil guna.
4. Menjadi bahan masukan bagi pihak yang
berkompeten atau berkeinginan melakukan
penalaran fiqih di Indonesia.

2. Metodologi dan Sistematika


Menghadapi permasalahan seperti dirumuskan
di atas, dapat dinyatakan, studi ini berbentuk kajian
kepustakaan. Tahapan-tahapannya akan dibagi
kepada dua tahapan pokok yaitu :
Pertama diadakan kajian untuk memperoleh
sebanyak mungkin pendapat dan konsep Imam
Mazhab yang empat tentang tata cara perkawinan
yang sah dalam Syari’at Islam. Ini dilakukan dengan
membaca dan mengkaji buku-buku fiqih yang
berhubungan dengan mazhab-mazhab yang dikaji.
Buku Fiqih lainnya akan digunakan sebagai
pelengkap sekiranya diperlukan. Setelah terkumpul
pendapat tersebut akan dianalisa dengan cara
membandingkannya satu sama lain. Hasil kajian ini
<<12>>
digunakan sebagai bahan untuk mengetahui dan
menguji kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh
masing-masing mazhab dalam menetapkan rukun
dan syarat serta urutan perwalian yang harus
dipenuhi dalam suatu perkawinan.
Tahap kedua, dilakukan penelitian terhadap
argumen atau dalil-dalil yang digunakan oleh
masing-masing mazhab yang empat tentang masalah
pokok penelitian. Argumen atau dalil-dalil tersebut
diteliti melalui buku-buku fiqih yang telah disebut-
kan di atas sebagai perhatian pokok dan selebihnya
juga akan dipergunakan buku-buku fiqih lain jika di-
perlukan. Kegiatan ini dimaksudkan guna me-
ngetahui argumen-argumen atau dalil-dalil apa yang
digunakan empat mazhab dan cara memahaminya,
sehingga sampai kepada kesimpulan seperti tersebut
di pokok penelitian. Seiring dengan itu, juga dalam
tahap kedua ini dilakukan penelitian terhadap buku-
buku Tafsir dan syarah kitab-kitab Hadits sepanjang
menyangkut dengan dalil-dalil yang digunakan oleh
empat mazhab.
Kegiatan ini dimaksudkan guna mengetahui
bagaimana dalil-dalil tersebut dipahami dan
disimpulkan apa yang pernah diambil oleh ulama-
ulama terdahulu, demi untuk bahan perbandingan
dengan argumen-argumen yang dikemukakan oleh
ulama-ulama empat mazhab. Untuk ini dipilih
beberapa buku Tafsir dengan titik perhatian pada
<<13>>
perkembangan pemahamannya. Mengenai hadits
ditentukan pada kutub al-Sittah dan syarahnya
sepanjang yang diperoleh ditambah dengan Muwatta’
Imam Malik.4 Ayat-ayat pokok yang akan dikaji
adalah surat al-Baqarah ayat 221, 230, 232 dan 234,
dan surat Al-Nur ayat 32. Sedangkan dari hadits yang
akan dikaji hanyalah hadits-hadits yang berkenaan
dengan masalah wali nikah. Adapun Hadits lain,
sepanjang dirasa perlu akan disertakan sebagai
penunjang.
Begitu juga di sini akan dilakukan kajian
tentang tanggapan mereka (empat mazhab) terhadap
hadits-hadits Aisyah yang telah mengawinkan anak
saudaranya seperti yang telah disebutkan di atas.
Kegiatan ini dimaksudkan guna mengetahui bagai-
mana persepsi dan tanggapan mereka terhadap
praktek Aisyah tersebut.
Sesuai dengan kerangka kerja di atas maka
analisa yang akan ditempuh bersifat analitis reflektif
dan komperatif.

4 Kutub Al-Sittah adalah enam buku kumpulan Hadits yang

paling dihargai di kalangan sunni. Keenam kitab tersebut yang


paling populer dengan nisbah kepada penghimpunnya adalah Sahih
Bukhari; disyarahkan oleh Al-Kirmani, Al-‘Asqalaani, Al-‘Aini dan Al-
Qasthalani; Shahih Muslim disyarahkan oleh Al-Nawaawi, Sunan ibn
Majah disyarahkan oleh Al-Sindi; Sunan Abi Dawud disyarahkan
oleh Al-Busti, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi dan Al-‘Ashim Abadi; Sunan
Al-Turmuzi disyarahkan oleh Al-Mubaarakfuri; dan akhirnya Sunan
Al-Nasaiy disyarahkan oleh Al-Sayuthi.

<<14>>
Setelah ini semua barulah laporan akhir
diturunkan. Laporan tersebut dibagi kepada empat
bagian dengan sistematika sebagai berikut: Bagian
pertama berisi pendahuluan. Bagian kedua berisi
pandangan Ulama empat mazhab tentang rukun dan
syarat nikah serta urutan wali dalam pernikahan.
Bagian ketiga berisi tentang pendapat empat mazhab
menyangkut dengan kriteria wali dalam pernikahan
serta dalil-dalilnya dan sekaligus membandingkan
dengan penjelasan ulama-ulama tafsir dan pen-
syarahan hadits tentang nash pokok yang digunakan
sebagai argumen oleh empat mazhab. Setelah itu
barulah bab penutup yang berisi kesimpulan-
kesimpulan sebagai inti dari semua pembahasan.

@@

<<15>>
<<16>>
BAGIAN KEDUA
KETENTUAN UMUM
TENTANG PERWALIAN NIKAH

A. Rukun dan Syarat Nikah


Suatu pernikahan baru dianggap sah apabila telah
sempurna rukun dan syarat-syaratnya. Salah satu rukun atau
syarat tidak terpenuhi perkawinan tersebut menjadi batal
dan tidak mempunyai kepastian hukum, bahkan dianggap
belum pernah terjadi sama sekali baik dalam kenyataan
maupun dalam arti hukum.

B. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya


Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat
penting dalam Islam sebab hukum pernikahan me-
ngatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupa-
kan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan ke-
dudukan manusia sebagai makhluk yang ber-
kehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya.

<<17>>
Hukum pernikahan merupakan bagian dari ajaran
agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan
sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul.5

Kata nikah menurut bahasa sama dengan


kata kata, zawaj. Dalam Kamus al-Munawwir, kata
nikah disebut dengan an-nikh dan az-ziwaj/az-zawj
atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath'u,
adh-dhammu dan al-jam'u. Al-wath'u berasal dari kata
wathi'a - yatha'u - wath'an, artinya berjalan di atas,
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.6

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary


dalam kitabnya Fath al- Mu’in mengupas tentang
pernikahan, syarat, rukun, talak dan macam-
macamnya, ruju serta tentang wali. Pengarang kitab
tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang
berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan
menggunakan lafadz menikahkan. Kata nikah itu
sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.7

Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh


Muhammad bin Qasim al-Ghazzi menerangkan pula

5 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta:


UII Press, 2004, hlm. 1-2.
6 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997,
hlm. 1461.
7 Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in,

Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 72.

<<18>>
tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut
makna bahasanya yaitu kumpul, wati, jimak dan akad.
Dan diucapkan menurut pengertian syara’ yaitu suatu
akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.8
Ada juga yang mengartikan nikah Secara etimologi
“nikah” itu berarti “berkumpul” dan “bersatu".9 sedangkan
menurut istilah yang diberikan oleh sebagian ulama
Syafi’iyah adalah :
‫ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎ ﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻈﺎ إﻧﻜﺎح أو ﺗﺰ وﻳﺞ أو ﺗﺮ ﲨﺘﻪ‬
Maksudnya : Suatu akad (perjanjian) yang mengandung
ketentuan hukum pembolehan hubungan kelamin (antara
suami isteri) dengan menggunakan lafazd nikah, tazwij atau
terjemahannya.10
Definisi semacam ini nampaknya mengandung
kekurangan karena pengetian seperti ini menimbulkan kesan
seolah-olah perkawinan dalam Islam tidak lebih dari
pemenuhan seksual belaka.11 Menyadari hal ini pengertian

8 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib,


Indonesia: Maktabah al-lhya at- Kutub al-Arabiah, tth, hlm. 48.
9
Muhammad Zuhri Al-Ghanrawi, Al-Siraaj Al-Wahhaaj, Daar
al-Fikr, hal. 359.
10
Muhammad Al-Syarbaini Al-Khatib, Mughnii Al-Muhtaj, Juz
III, Mushthafa Al-Baabii, Al-Halabii wa Aulaaduh, Mesir, 1958, hal.
123.
11
Pengertian semacam ini tidak saja ditemukan dalam kitab-
kitab Fiqih Syafi’iyah, tetapi juga ditemukan dalam kitab-kitab Fiqih
Mazhab lainnya kecuali redaksinya yang berbeda. Lihat misalnya Al-
Kasani, Badaai’ Al-Shanaai’, Juz II, Syirkat Al-Mathbuu’at Al-
Ilmiyyat, Mesir, 1327, hlm. 228; Ibnu Nujaim, Al-Bahr Al-Raaiq, Juz
III Daar al-Kutub Al-‘Arabiyah Al-Kubraa, Mekkah, hlm. 109.
Perbedaan menonjol antara pengertian nikah yang terdapat dalam
<<19>>
nikah perlu diperluaskan sehingga mencakup tujuan dan
akibat hukumnya. Pengertian semacam ini sekurang-
kurangnya dapat dilihat rumusan yang diberikan oleh salah
seorang pengarang fiqih mutakhir --H. Muhammad Rifai--
yaitu “suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-
laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan
hak dan kewajiban antara keduanya”.12
Namun demikian bukan berarti pengarang-
pengarang kitab fiqih zaman klasik --seperti yang
pendapatnya dikutip di atas-- mengabaikan akibat dan
tujuan yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Karena
bagaimanapun hak dan kewajiban dari suatu perkawinan itu
mesti ada menurut syara’, yang karena itu sungguh tidak
logis kalau dikatakan kepada mereka mengabaikannya.
Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1
tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan;
"Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa".13

Fiqih Klasik khusunya dalam empat mazhab adalah ditemukan dalam


mazhab Hanafi. Menurut mazhab ini akad nikah dibolehkan
menggunakan selain lafazh tazwij, seperti Lafazh Bai’, Hibbah,
Shadakat dan Tamlik.
12
Muhammad Rifai, Fiqih Islam Lengkap, CV Toha Putra,
Semarang, hlm. 453.
13 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di

Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 203.


Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (INPRES No 1 Tahun1991),
pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan
<<20>>
Di antara pengertian-pengertian tersebut tidak
terdapat pertentangan satu sama lain, bahkan jiwa-
nya adalah sama dan seirama, karena pada hakikat-
nya syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan
yang Maha Esa. hukum pernikahan merupakan
bahagian dari hukum Islam yang, memuat ketentuan-
ketentuan tentang hal ihwal pernikahan, yakni
bagaimana proses dan prosedur menuju terbentuk-
nya ikatan pernikahan, bagaimana cara me-
nyelenggarakan akad pernikahan menurut hukum,
bagaimana cara memelihara ikatan lahir batin yang
telah diikrarkan dalam akad pernikahan sebagai akibat
yuridis dari adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi
krisis rumah tangga yang mengancam ikatan lahir
batin antara suami isteri, bagaimana proses dan
prosedur berakhirnya ikatan pernikahan, serta akibat
yuridis dari berakhirnya pernikahan, baik yang
menyangkut hubungan hukum antara bekas suami
dan isteri, anak-anak mereka dan harta mereka.
Istilah yang lazim dikenal di kalangan para ahli hukum
Islam atau Fuqaha ialah Fiqih Munakahat atau Hukum
Pernikahan Islam atau Hukum Pernikahan Islam.

Masing-masing orang yang akan melaksanakan


pernikahan, hendaklah memperhatikan inti sari dari
sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan, bahwa
semua amal perbuatan itu disandarkan atas niat dari
yang beramal itu, dan bahwa setiap orang akan
memperoleh hasil dari apa yang diniatkannya.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, hlm.


76.

<<21>>
Oleh karenanya maka orang yang akan
melangsungkan akad pernikahan hendaklah me-
ngetahui benar-benar maksud dan tujuan pernikahan.
Maksud dan tujuan itu adalah sebagai berikut:

a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak


para Nabi dan Rasul, terutama meneladani Sunnah
Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup beristri,
berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk
'Sunnah beliau.
b. Memelihara pandangan mata, menenteramkan jiwa,
memelihara nafsu seksualitas, menenangkan
pikiran, membina kasih sayang serta menjaga
kehormatan dan memelihara kepribadian.

c. Melaksanakan pembangunan materiil dan


spirituil dalam kehidupan keluarga dan rumah
tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga
sejahtera dalam rangka pembangunan masyarakat
dan bangsa.
d. Memelihara dan membina kualitas dan
kuantitas keturunan untuk mewujudkan kelestarian
kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam
rangka pembinaan mental spirituil dan phisik
materiil yang diridlai Allah Tuhan Yang Maha Esa.

e. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan


antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai
sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang

<<22>>
aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan
Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala.14
Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu hal
yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Syara'. Bebe-
rapa firman Allah yang bertalian dengan disyari'At-
kannya pernikahan ialah:
1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):

‫َﺎب ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء َﻣﺜـ َْﲎ‬


َ ‫ْﺴﻄُﻮا ِﰲ اﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا ﻣَﺎ ﻃ‬ ِ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أﱠَﻻ ﺗـُﻘ‬
‫ِﻚ‬
َ ‫َﺖ أَﳝَْﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ذَﻟ‬ ْ ‫َاﺣ َﺪةً أ َْو ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ‬
ِ ‫ع ﻓَِﺈ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أﱠَﻻ ﺗَـ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﻓَـﻮ‬
َ ‫ث َوُرﺑَﺎ‬ َ ‫َوﺛ َُﻼ‬
‫ْﱏ أﱠَﻻ ﺗَـﻌُﻮﻟُﻮا‬
َ ‫أَد‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
maka (nikahlah) seorang saja (Q.S.An-Nisa': 3). 15

2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur):

َ‫ﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛ ْﻢ َوإِﻣَﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻳَﻜُﻮﻧُﻮا ﻓـُ َﻘﺮَاء‬ َ ِِ‫َوأَﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻷَﻳَﺎﻣَﻰ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاﻟﺼﱠﺎﳊ‬
‫َاﺳ ٌﻊ َﻋﻠِﻴ ٌﻢ‬
ِ ‫ﻀﻠِ ِﻪ وَاﻟﻠﱠﻪُ و‬
ْ َ‫ﻳـُ ْﻐﻨِ ِﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ِﻣ ْﻦ ﻓ‬

Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan


14

Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta,


1978, hlm. 2.
15 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 115.


<<23>>
Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian
di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui
(Q.S.An-Nuur': 32). 16
3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):

‫َات‬
ِ ‫َات اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺘﱠﺒِ ْﻊ ُﺧﻄُﻮ‬ ِ ‫ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آَ َﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗَـﺘﱠﺒِﻌُﻮا ُﺧﻄُﻮ‬
‫ﻀﻞُ اﻟﻠﱠ ِﻪ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َورَﲪَْﺘُﻪُ ﻣَﺎ‬
ْ َ‫اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻳَﺄْ ُﻣ ُﺮ ﺑِﺎﻟْ َﻔ ْﺤﺸَﺎ ِء وَاﻟْ ُﻤْﻨ َﻜ ِﺮ َوﻟَﻮَْﻻ ﻓ‬
‫َزﻛَﺎ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَ َﺣ ٍﺪ أَﺑَﺪًا َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟﻠﱠﻪَ ﻳـَُﺰﻛﱢﻲ َﻣ ْﻦ ﻳَﺸَﺎءُ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﲰَِﻴ ٌﻊ َﻋﻠِﻴﻢ‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir
(Q.S. Ar-Rum: 21).17
Beberapa hadits yang bertalian dengan di-
syari'atkannya pernikahan ialah:
‫َﳓ ُﻦ‬
َْ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ و‬َ ‫ﱠﱯ‬‫َﺎل َﺧَﺮ ْﺟﻨَﺎ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ﻗ‬
ُ‫َﺎب َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎءَ ِة ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬
ِ ‫َﺎل ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟ ﱠﺸﺒ‬
َ ‫َﺎب َﻻ ﻧـَ ْﻘ ِﺪ ُر َﻋﻠَﻰ َﺷ ْﻲ ٍء ﻓَـﻘ‬ٌ ‫َﺷﺒ‬

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,


16

Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 549


17 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,

Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 644


<<24>>
‫ﺼ ُﻦ ﻟِْﻠﻔَﺮِْج ﻓَ َﻤ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ اﻟْﺒَﺎءَ َة ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮِْم‬
َ ‫ﺼ ِﺮ َوأَ ْﺣ‬
َ َ‫َﺾ ﻟِْﻠﺒ‬
‫أَﻏ ﱡ‬
١٨
ٌ‫ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء‬
Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah
saw. bersabda: "Wahai golongan kaum muda, barang-
siapa diantara kamu telah mampu akan beban
nikah, maka hendaklah dia menikah, karena se-
sungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan
pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan.
Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka
hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnya
puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR.
Al- Jama'ah).
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash, dia berkata:
“Rasulullah saw. pernah melarang Utsman bin
mazh'un membujang. Dan kalau sekiranya Rasulullah
saw. mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri". (HR.
Al Bukhari dan Muslim).19
Dari Anas: "Sesungguhnya beberapa orang dari
sahabat Nabi saw. sebagian dari mereka ada yang
mengatakan: "Aku tidak akan menikah". Sebagian dari
mereka lagi mengatakan: "Aku akan selalu ber-
sembahyang dan tidak tidur". Dan sebagian dari
mereka juga ada yang mengatakan: "Aku akan selalu
berpuasa dan tidak akan berbuka". Ketika hal itu
didengar oleh Nabi saw. beliau bersabda: "Apa
maunya orang-orang itu, mereka bilang begini dan

18Imam Syaukani, Nail al–Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-

Arabia, juz 4, 1973, hlm. 171.


19 Ibid, hlm. 171

<<25>>
begitu?. Padahal disamping berpuasa aku juga ber-
buka. Disamping sembahyang aku juga tidur. Dan aku
juga menikah dengan wanita. Barangsiapa yang tidak
suka akan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari
(golongan) ku". (HR. Al Bukhari dan Muslim).20

Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas


pernah bertanya kepadaku: "Apakah kamu telah
menikah?". Aku menjawab: "Belum". Ibnu Abbas
berkata: "Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-
baiknya ummat ini adalah yang paling banyak kaum
wanitanya". (HR. Ahmad dan Al- Bukhari).21

Dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah:


"Sesungguhnya Nabi saw. melarang membujang.
Selanjutnya Qatadah membaca (ayat): "Dan sesungguh-
nya kami telah mengutus beberapa orang Rasul
sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka
beberapa istri dan anak cucu". (HR. Tirmidzi dan Ibnu
Majah).22

Menurut At Tirmidzi, hadits Samurah tersebut


adalah hadits Hasan yang gharib (aneh). Al Asy'ats
bin Abdul Mulk meriwayatkan hadits ini dari Hasan
dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi
saw. Dikatakan bahwa kedua hadits tersebut adalah
shahih.

Hadits senada diketengahkan oleh Ad Darimi


dalam Musnad Al Firdaus dari Ibnu Umar, dia

20 Ibid, hlm. 171


21 Ibid, hlm. 171
22 Ibid

<<26>>
mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah
nanti kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan
sehat. Dan menikahlah nanti kamu akan banyak.
Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu
dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadits
tersebut terdapat nama Muhammad bin Al Hants dari
Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni, keduanya
adalah perawi yang sama-sama lemah.

Hadits senada juga diketengahkan oleh Al


Baihaqi dari Abu Umamah dengan redaksi: "Menikahlah
kamu, karena sesungguhnya aku akan membanggakan
kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan janganlah
kalian seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun
dalam sanadnya terdapat nama- nama Muhammad bin
Tsabit, seorang perawi yang lemah.

Hadits senada berikutnya diriwayatkan oleh


Daraquthni dalam Al Mu'talaf dari Harmalah bin
Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang produktif anak
itu lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik
namun tidak beranak. Sesungguhnya aku akan
membanggakan kalian di hadapan ummat-ummat lain
pada hari kiamat kelak". Namun menurut Al Hafizh
Ibnu Hajar, sanad hadits ini lemah.

Para Fukaha berbeda pendapat tentang status


hukum asal dari pernikahan. Menurut pendapat yang
terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi'i, hukum nikah
adalah mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi,
Maliki, dan Hambali hukum nikah adalah sunnat,
sedangkan menurut madzhab Dhahiry dan Ibn. Hazm

<<27>>
hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur
hidup.23
Adapun Hukum melaksanakan pernikahan jika
dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan
akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perbedaan di
antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa
macam, yaitu:24

Pernikahan hukumnya wajib bagi orang


yang telah mempunyai keinginan kuat untuk nikah
dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
dan memikul beban kewajiban dalam hidup per-
nikahan serta ada kekhawatiran, apabila tidak nikah,
ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai


berikut. Menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib.
Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu
hanya akan terjamin dengan jalan nikah, bagi orang itu,
melakukan pernikahan hukumnya adalah wajib. Qa'idah
fiqhiyah mengatakan, "Sesuatu yang mutlak diperlukan
untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah
wajib"; atau dengan kata lain, "Apabila suatu kewajiban
tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu
wajib pula hukumnya." Penerapan kaidah tersebut
dalam masalah pernikahan adalah apabila seseorang
hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan

23 Ibid. Lihat juga TM.Hasbi ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-


Hadits Hukum, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, jilid 8, 2001,
hlm. 3-8. TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits, jilid 5, Semarang;
PT.Pustaka Rizki Putra, 2003, hlm. 3-8
24 Zahry Hamid, op, cit., hlm. 3-4.
<<28>>
jalan pernikahan, baginya pernikahan itu wajib
hukumnya.25
Pernikahan hukumnya sunnah bagi orang yang
telah berkeinginan kuat untuk nikah dan telah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan
memikul kewajiban-kewajiban dalam pernikahan,
tetapi apabila tidak nikah juga tidak ada kekhawatiran
akan berbuat zina.

Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-


ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi sebagaimana
telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan
pernikahan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa beralasan ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-
hadits Nabi itu, hukum dasar pernikahan adalah
sunnah. Ulama madzhab al-Syafi’i berpendapat
bahwa hukum asal pernikahan adalah mubah. Ulama-
ulama madzhab Dhahiri berpendapat bahwa
pernikahan wajib dilakukan bagi orang yang telah
mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan
berbuat zina apabila tidak nikah.26
Pernikahan hukumnya haram bagi orang yang
belum berkeinginan serta tidak mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban hidup pernikahan sehingga
apabila nikah juga akan berakibat menyusahkan
istrinya. Hadits Nabi mengajarkan agar orang jangan
sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri
sendiri dan orang lain.

25Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 14-16


26 Ibid., hlm. 14.
<<29>>
Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami li Ahkam al-Qur’an
(Tafsir al- Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon
suami menyadari tidak akan mampu memenuhi
kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin)
untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi
hak istri, tidak halal menikahi seorang kecuali
apabila ia menjelaskan peri keadaannya itu kepada
calon istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat
memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh
melakukan pernikahan. Lebih lanjut Al-Qurthubi
dalam kitabnya Jami' li Ahkam al-Qur’an mengatakan
juga bahwa orang yang mengetahui pada dirinya
terdapat penyakit yang dapat menghalangi
kemungkinan melakukan hubungan dengan calon
istri harus memberi keterangan kepada calon istri
agar pihak istri tidak akan merasa tertipu. Apa yang
dikatakan Al-Qurthubi itu amat penting artinya
bagi sukses atau gagalnya hidup pernikahan. Dalam
bentuk apa pun, penipuan itu harus dihindari. Bukan
saja cacat atau penyakit yang dialami calon suami,
tetapi juga nasab keturunan. kekayaan. kedudukan,
dan pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan agar
tidak berakibat pihak istri merasa tertipu.27
Hal yang disebutkan mengenai calon suami itu
berlaku juga bagi calon isteri. Calon istri yang tahu
bahwa ia tidak akan dapat memenuhi kewajibannya
terhadap suami, karena adanya kelainan atau
penyakit, harus memberikan keterangan kepada calon

27 Sikap terus terang antara calon suami isteri sangat


penting karena untuk membangun sikap jujur yang justru harus
dimulai pada saat saling mengenal. Hal itu dimaksudkan untuk
menghindari sikap menyesal.
<<30>>
suami agar jangan sampai terjadi pihak suami merasa
tertipu. Bila ia mencoba menutupi cacat yang ada pada
dirinya, maka suatu hari masalah ini akan berkembang
dengan pertengkaran dan penyesalan.

Bahkan kekurangan-kekurangan yang terdapat


pada diri calon istri, yang apabila diketahui oleh pihak
colon suami, mungkin akan mempengaruhi maksudnya
untuk menikahi, misalnya giginya palsu sepenuhnya,
rambutnya habis yang tidak mungkin akan tumbuh
lagi hingga terpaksa memakai rambut palsu atau wig
dan sebagainya, harus dijelaskan kepada colon suami
untuk menghindari jangan sampai akhirnya pihak
suami merasa tertipu.
Pernikahan hukumnya makruh bagi seorang
yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai
daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir
akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai
kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya terhadap istrinya, meskipun tidak akan
berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calon istri
tergolong orang kaya atau calon suami belum
mempunyai keinginan untuk nikah.

Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu


pernikahan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi
semangat beribadah kepada Allah dan semangat
bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh
daripada yang telah disebutkan di atas.28
Pernikahan hukumnya mubah bagi orang yang
mempunyai harta, tetapi apabila tidak nikah tidak
28

<<31>>
merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata
nikah pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan
kewajibannya terhadap istri. Pernikahan dilakukan
sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan
bukan dengan tujuan membina keluarga dan men-
jaga keselamatan hidup beragama.29
Uraian sub Bab ini dibagi kepada dua bagian yaitu :
1. Rukun Nikah
Dimaksudkan dengan rukun nikah adalah sesuatu
yang mesti ada dalam suatu perkawinan dan merupakan
hakikat dari perkawinan itu sendiri. Bila tidak dipenuhi
mengakibatkan batalnya perkawinan. Rukun-rukun nikah
tersebut adalah
a. Shighat
Shighat adalah pernyataan setuju dan senang yang
diucapkan oleh pihak calon suami isteri waktu dilakukan
akad nikah untuk mengikat hidup berkeluarga. Pernyataan
pertama yang diucapkan (dari pihak isteri) untuk
menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami isteri
disebut dengan ijab. Sedangkan pernyataan kedua (dari
pihak suami) untuk menyatakan rasa senang dan setuju
terhadap pernyataan pertama disebut dengan Kabul.30
Ijab dan kabul dalam perkawinan dapat terjadi
adakalanya dengan lafazh kitabah (risalah) dan isyarat.
Semua ulama sepakat menetapkan bahwa Shighat
merupakan rukun nikah yang paling utama, bahkan Hanafi
menegaskan Shighat tersebut itulah satu-satunya rukun
dalam pernikahan.31

29
30
Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, Juz VI, Daar Al-Bayaan, Kuait,
hal. 64.
31
Ibn ‘Abidin, Haasyiyat Rad Al-Muhtaar, Juz III, Mushthafa
Al-Baabi, Al-Halabii, Mesir, 1966, hal. 9.
<<32>>
b. Calon suami dan
c. Calon isteri
Mazhab Hanafi menganggap calon suami dan isteri
sebagai syarat sah nikah, sedangkan jumhur ulama sebagai
rukun nikah, kecuali itu Hanbali menegaskan tiga (shighat,
calon suami dan isteri) inilah sebagai rukun nikah.32
d. Dua orang saksi
Mazhab Syafi’i menetapkannya sebagai rukun
nikah. Hanafi dan Hanbali memasukkannya kedalam syarat
sah nikah, sedangkan mazhab Maliki tidak menganggap
sebagai rukun dan syarat sah nikah. Menurutnya untuk sah
nikah cukup dengan pengumuman nikah walaupun yang
hadir anak-anak dan orang gila.33 Pendapat ini didasarkan
kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majat:34

‫ اﻋﻠﻨﻮااﻟﻨﻜﺎح واﺿﺮﺑﻮا‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬


.‫ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﻐﺮ ﺑﺎل‬

Ulama-ulama yang menganggapnya sebagai rukun dan


syarat sah nikah berpegang pada hadits yang diriwayatkan
oleh al-Baihaqi:35
‫ ﻻ ﻧﻜﺎح إﻻ ﺑﻮﱃ ﻣﺮﺷﺪ وﺷﺎﻫﺪى‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎ س رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل‬
.‫ﻋﺪل‬

32
Idris Al-Buhuti, Kasysyaaf Al-Qinaa’ an Matan Al-Iqnaa’,
Juz V, Daar Al-Fikr, Bairut, hal. 37.
33
Al-Syarakhsy, Al-Mabsuth, Jilid V, Al-Sa’aadat, Mesir, hal.
30-31.
34
Ibn Majat, Sunan Ibn Majat, Juz I, Mushthafa Al-Baabi Al-
Halabii, Mesir, hal. 611.
35
Al-Baihaqy, Sunan Al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr, hal
112.
<<33>>
Terlepas dari kuat atau lemahnya dalil yang mereka pegangi
--perbedaan dalil yang mereka gunakan dalam mendukung
pendapatnya-- mengakibatkan berbeda pendapat mereka
dalam melihat kedudukan saksi dalam pernikahan. Akan
tetapi bila diperhatikan dari kedua pendapat tersebut,
ditemukan kesamaan tujuan dalam menjaga kemaslahatan
nikah. Baik dua orang saksi atau pengumuman nikah sama-
sama bertujuan supaya pelaksanaan pernikahan harus
diketahui oleh pihak-pihak selain yang berkepentingan,
dengan pertimbangan kedua belah pihak tidak mudah
mengingkari perkawinan, terutama kelak bila ada
persanggahan terhadap anak dan keturunan.
e. Maskawin (mahar)
Mazhab Maliki menjadikan maskawin sebagai salah satu
dari beberapa rukun nikah.36 Sedangkan tiga mazhab
lainnya tidak menganggap rukun atau syarat sah nikah.
Menurut mereka maskawin dalam perkawinan hanya
merupakan pemberian wajib dari suami kepada isteri.
f. Wali
Secara umum perwalian itu diartikan dengan
“kemampuan melaksanakan akad nikah secara sempurna”.
Dimaksudkan dengan wali nikah di sini adalah “orang-
orang yang mampu melaksanakan akad nikah secara
sempurna tanpa memerlukan bantuan orang lain”.37 Mazhab
Syafi’i dan Maliki menetapkannya sebangai salah satu
rukun nikah sedangkan mazhab Hanafi dan Hanbali
memasukkannya kedalam syarat sah nikah.38

36
Muhammad Ali Husen, Qurrat Al-‘Ain, Maktabat al-tijariyat
Al-Qubra, Mesir, 1937, hal. 107.
37
Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, Buhuus Fiqhiyyat Muqaaranat
fii Al-Zawaj, Bagian I, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1986, hal. 12.
38
Muhammad Ali Husen, op. cit., hal. 108; Muhammad Al-
Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 139.
<<34>>
Dari perbedaan pendapat ulama terhadap rukun-
rukun nikah yang telah disebutkan di atas, rukun nikah
dalam tulisan ini sesuai seperti yang telah ditetapkan oleh
mazhab Syafi’i dengan pertimbangan semua unsur tersebut
merupakan hakikat perkawinan itu sendiri.
2. Syarat Nikah
Dimaksudkan dengan syarat nikah adalah sesuatu
yang mesti ada dalam suatu perkawinan tetapi tidak
merupakan hakikat dari perkawinan itu sendiri. Berbeda
dengan rukun, syarat sesuatu yang ada di luar hakikat
perkawinan. Sedangkan rukun merupakan hakikat
perkawinan itu sendiri seperti yang telah disebutkan di
depan. Namun ketidaksempunaan dari salah satu rukun atau
syarat, perkawinan tetap dianggap tidak sah.
Melihat kepada rukun-rukun nikah yang telah dijelaskan
ulama-ulama di atas, maka syarat-syarat nikah itu dapat
terjadi pada:
a. Shighat
Shighat sebagai salah satu rukun nikah yang utama dan di
sepakati oleh keempat mazhab harus punya kriteria sebagai
berikut:
1. Ijab dan kabul harus dilaksankan dalam satu majlis.
Dimaksudkan dengan satu majlis di sini adalah secara
uruf kedua belah pihak masih mengetahui pelaksanaan
ijab dan kabul walaupun berlainan tempat, dan antara
ijab dan kabul tersebut tidak diselangi oleh perbuatan
lain yang menurut adat kebiasaan dianggap dapat
membatalkan akad.39
2. Ucapan ijab dan kabul harus dengan kata-kata yang pasti.
Hal ini diperlukan andai kata akad nikah dalam bentuk
ucapan dan tulisan bukan dalam bentuk isyarat. Dalam

39
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakshiyyat, Daar al-
Fikr Al-‘Arabi, hal. 45.
<<35>>
bahasa Arab kata yang dapat menunjukkan kepada jelas
dan pasti adalah kata kerja yang menunjukkan masa
lampau (fi’il maadhi). Berbeda halnya dengan ucapan
yang dalam bentuk sekarang (fi’il mudhaari’), ia tidak
secara tegas yang pasti adanya keredhaan antara kedua
belah pihak yang dilambangkan dalam bentuk ijab dan
kabul. Ucapan yang dinyatakan dalam bentuk sekaranag
atau akan datang lebih mengarah kepada perjanjian
kawin.40
3. Antara ijab dan kabul harus punya tujuan yang sama,
atau dengan kata lain bersatu dalam tujuan akad.
Persamaan antara ijab dan kabul sangat penting dalam
akad, mengingat sentralnya akad terletak pada ijab dan
kabul tersebut. Kabul yang menyalahi ucapan ijab tidak
sah.41 Misalnya, dalam ijab dinyatakan: saya kawinkan si
A dengan kamu. Jawabannya (kabul) saya terima si B
untuk saya.
4. Tidak terjadi penarikan kembali lafazh ijab sebelum
terjadinya kabul, karena yang demikian itu sama seperti
belum pernah terjadi.42
5. Ijab dan kabul harus bersifat mutlak artinya tidak
dikaitkan dengan sesuatu syarat yang bertentangan
dengan tujuan akad.43
6. Ijab dan kabul harus dengan lafazh yang menunjukkan
kepada akad perkawinan andai kata pernyataan ijab dan
kabul tersebut dalam bentuk lisan dan tulisan, bukan

40
Sayid Sabiq, op, cit., hal. 75.
41
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 45-46.
42
Muhammad Husen Al-Zahabi, Al-Syarii’at Al-Islamiyyat,
Daar Al-Kutub Al-Hadiisat, Baghdad, 1969, hal. 64.
43
Muhammad Al-Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 141.
<<36>>
dalam bentuk isyarat. Seperti lafazh nikah dan Tazwiij
yang diterjemahkan dengan nikah dan kawin.44
Keempat mazhab sepakat menetapkan bahwa kedua
lafazh tersebut menunjuk kepada akad perkawinan.
Perbedaan mereka ditemukan dalam penggunaan selain dari
dua kata tersebut di atas dalam akad nikah. Seperti lafazh
hibbah, milik, shadaqat dan Bai’. Hanafi, Maliki dan
Hanbali membolehkan ketiga lafazh tersebut digunakan
dalam akad nikah dengan syarat menyebutkan maskawin di
saat ijab kabul, sesuai dengan firman Allah swt. surat al-
Ahzab ayat 50 yang di dalamnya terdapat kata “wahabat”.
Sedangkan Syafi’i tidak membolehkan ketiga lafazh
tersebut digunakan dalam akad nikah, karena akad nikah
bukanlah bertujuan untuk menetapkakn hak milik
sebagaimana halnya akad jual beli. Menurut beliau akad
nikah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan agama
dan dunia sekaligus. Ayat 50 surat al-Ahzab yang dijadikan
sebagai dasar pembolehan ketiga lafazh tersebut digunakan
dalam akad nikah --menurut Syafi’i-- merupakan suatu
keistimewaan Nabi yang tidak boleh digunakan oleh orang
lain. Banyak ayat lain yang menunjukkan kepada zawaj dan
nikah yang sifatnya umum untuk semua orang, seperti ayat
221, 230, 232, 235, 237 surat al-Baqarah; 3 ,5, 21, 24, 126
surat Al-Nisa’; 49, 53 surat al-Ahzab; 3, 32, 33, 60 surat Al-
Nur; 28 surat al-Qashash dan ayat 10 surat al-
Mumtahanah.45
Menyangkut dengan ijab kabul dan bukan bahasa
arab semua ulama sepakat menetapkan kebolehan

44
Ibid, hal. 140; Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfat Al-Muhtaaj bi
Syarh Al-Minhaaj, Juz VII, Al-Maktabat Al-Tijaariiyat Al-Kubraa,
Mesir, hal. 220 – 221.
45
Al-Sarakhsy, op. cit., hal. 59, Idris Al-Buhuti, op. cit., hal.
38; Ibn Hazm, Al-Muhallaa, Juz X, Daar Al-Fikr, hal. 464;
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., Hal. 46 – 47.
<<37>>
digunakannya dalam akad nikah dengan syarat jelas dan
pasti bukan sindiran.46

b. Calon Suami
Calon pengantin laki-laki harus punya syarat sebagai
berikut :
1. Beragama Islam, sesuai dengan firman Allah swt. surat
al-Mumtahanah ayat 10 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

Juga surat al-Baqarah ayat 221, yang artinya :


Dan janganlah kamu kawini wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

46
Ibn Hajar Al-Haitami, op. cit., hal. 222; Muhammad Al-
Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 140 – 141.
<<38>>
2. Mengawini calon isteri bukan karena paksaan orang lain.
Paksaan yang dimaksudkan disini adalah paksaan yang
disertai dengan ancaman yang mengakibatkan tidak
terjamin keselamatan jiwa. Oleh karena itu tidak
termasuk ke dalam pengertian ini paksaan ayah (hak
ijbar) untuk mendominasi pilihan calon isteri.
3. Tidak sedang melakukan ihram haji atau ‘umrah, sesuai
dengan sabda Rasulullah saw., yang bersumber dari
Usman bin ‘Affan, Rasulullah Saw bersabda: Matannya
menurut Imam Muslim.47
(‫ﻻ ﻳﻨﻜﺢ اﶈﺮم وﻻ ﻳﻨﻜﺢ وﻻ ﳜﻄﺐ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Maksudnya : Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin
dan tidak dibolehkan mengawinkan (orang lain) dan juga
tidak boleh melamar.
4. Calon suami diketahui, tertentu dan jelas orangnya.
5. Sebelum mengawini calon isteri, calon suami harus
mengetahui dengan jelas bahwa calon isteri halal
baginya.
6. Bukan muhrim bagi calon isteri, baik karena hubungan
nasab, semenda ataupun karena sepersusuan.
7. Tidak sedang mempunyai isteri empat orang.48

c. Calon Isteri
Calon pengantin perempuan juga harus punya syarat
sebagai berikut :

47
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Dahlan Bandung, hal.
13.
48
Al-Jaziry, al-Fiqh ‘alaa Mazaahib al-Arba’at, Juz IV, al-
Maktabat al-Tijaariyyat al-Kubraa, Mesir, 1969, hal. 273.
<<39>>
1. Beragama Islam atau ahli kitab, sesuai dengan firman
Allah swt. surat al-Mumtahanah ayat 10 dan surat al-
Baqarah ayat 221 yang telah disebutkan di belakang.
2. Bukan muhrim bagi calon suami, baik karena hubungan
nasab, semenda, ataupun karena sepersusuan, sesuai
dengan firman Allah Swt surat al-Nisa’ ayat 23 yang
artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri-isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan telah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

3. Jelas ia seorang wanita bukan khunsa.


4. Calon isteri diketahui, tertentu dan jelas orangnya.
5. Tidak dalam keadaan bersuami dan tidak dalam masa
iddah bila ia baru diceraikan suami.
6. Tidak dimadu antara dua orang yang bersaudara atau
antara kemanakan dengan bibi.
7. Tidak dipaksa, seperti halnya pada syarat suami.

<<40>>
8. Tidak dalam keadaan ihram haji atau ‘umran,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits riwayat
Muslim di belakang.49
d. Dua Orang Saksi
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dua orang saksi
dalam suatu perkawinan adalah:
1. Islam
Keempat mazhab sepakat menetapkan bahwa muslim
sebagai syarat kesaksian nikah pada perkawinan orang
Islam. Perbedaan mereka ditemukan dalam hal perkawinan
yang terjadi antara muslim dengan kitabiyah. Mazhab
Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan kitabiyah menjadi
saksi dalam pernikahan ini. Menurut mereka perkawinan
terjadi antara muslim dengan kitabiyah tersebut masih
dianggap perkawinan muslim. Pembolehan kitabiyah men-
jadi kesaksian nikah berarti antara muslim dengan non
muslim dibolehkan saling mengurus kepentingan keagama-
an. Sedangkan mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya.
Menurut mereka kitabiyah boleh menjadi saksi terhadap
perkawinan yang terjadi antara muslim dengan kitabiyah
karena kesaksian dalam pernikahan diperlukan untuk
kepentingan perempuan.50
2. Dua orang laki-laki
Mazhab Hanafi membolehkan wanita jadi kesaksian
nikah, dengan syarat satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan sesuai dengan firman Allah swt. surat. al-
Baqarah ayat 283 yang artinya :

49
Ibid., hal. 20; Al-Syarkawi, Al-Syarqawi ‘alaa Al-Tahrir, Juz
II, Daar Al-Ihyaa Al-Kutub Al-‘Arabiyyat, Mesir, hal. 235; Ibnu Hajar
Al-Haitami, Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyat, Juz IV, Daar Al-Fikr,
Bairut, 1983, hal. 99.
50
Al-Sarakhsy, op.cit., hal. 33; Abu Zahrah, op.cit., hal. 62;
Husen Al-Zahabi, op.cit., hal. 70.
<<41>>
. . . dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki (di
antara kamu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka
(boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya . . .
Keumuman ayat ini --menurut mazhab Hanafi--
termasuk kedalamnya masalah kesaksian nikah.51 Di
samping itu mereka menyamakan akad nikah dengan
transaksi-transaksi lain yang membolehkan wanita menjadi
saksi.52
Berbeda dari pendapat mazhab Hanafi, mazhab
Syafi’i dan Hanbali menetapkan sebaliknya. Menurut
mereka wanita kapan saja tidak boleh menjadi kesaksian
nikah. Ayat 283 surat al-Baqarah yang dijadikan sebagai
dasar pembolehan wanita menjadi kesaksian nikah oleh
mazhab Hanafi --menurut mereka-- ayat tersebut khusus
berkenaan dengan masalah harta, bukan untuk kepentingan
pernikahan.53 Di samping itu lafazh Syaahidai ‘Adlin yang
terdapat dalam hadits yang menyatakan “tidak sah nikah
tanpa ada wali dan dua orang saksi yang ‘adil”,54
menunjukkan kepada dua orang lelaki bukan untuk satu
orang laki-laki dua orang perempuan.55 Sehubungan dengan
masalah ini Ibn Qadamah juga pernah menyatakan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi saksi terhadap nikah, talak
dan hudud.56

51
Muslim Ibrahim, op.cit., hal. 77; Muhammad Ali Al-Sayis,
Tafsir Ayat Al-Ahkaam, Juz I, Muhammad Subih Wa Aulaaduh, Mesir,
1953, hal. 171.
52
Muslim Ibrahim, Ibid.
53
Muhammad Ali Sayis, loc.cit.
54
Al-Baihaqi, loc.cit.
55
Muslim Ibrahim, MA, op.cit., hal. 74.
56
Ibn Qudamah, Al-Mughnii, Juz VII, Mushthafa Al-Baabii Al-
Halabii, Mesir, hal. 10; Idris Al-Buhuti, op.cit., hal. 65 – 66.
<<42>>
3. ‘Adil
Dimaksudkan dengan ‘adil disini adalah orang-
orang yang tidak membiasakan dirinya mengerjakan
perbuatan maksiat dan tidak fasiq.57 Mazhab Hanafi
membolehkan orang fasiq menjadi saksi dalam pernikahan
dengan pertimbangan disamping orang fasik dibolehkan
mengurus kepentingan umum ---lebih lagi menyangkut
masalah pernikahan-- juga sifat kefasikan seseorang tidak
mengurangi keimanannya. Sedangkan mazhab Syafi’i dan
Hanbali tidak membolehkan orang fasiq menjadi saksi
dalam pernikahan, karena persyaratan adil dalam kesaksian
nikah sudah ditentukan nash (hadits yang telah disebutkan
di atas). Di samping itu kesaksian dalam pernikahan --
menurut mereka-- bukan hanya sekedar untuk diketahui
oleh orang lain, tetapi punya tujuan yang lebih dari itu yaitu
menjadi alat bukti bila terjadi kekeliruan di kemudian hari
dalam suatu perkawinan; juga kesaksian nikah merupakan
suatu kemuliaan yang harus dipelihara. Hal itu semua tidak
mungkin diperoleh melalui kesaksian orang fasiq.58

4. Merdeka
Jumhur ulama mensyaratkan mereka sebagai salah
satu kriteria saksi dalam pernikahan, mengingat kesaksian
merupakan bagian dari perwalian, sedangkan hamba
dipandang tidak cakap (ahli) dalam masalah perwalian.
Pendapat ini dibantah oleh mazhab Hanbali. Menurut
mereka hamba sahaya dibolehkan menjadi saksi dalam
57
Ibn ‘Abidin, op.cit., hal. 54.
58
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 93; Al-Kasani, op.cit., hal. 255;
Muhammad Ibn Salim Ibn Dhauyan, Manaar Al-Sabiil fii Syarh Al-
Daliil, Juz II, Al- Mathba’at Al-Haasyimiyyat, Damsyik, hal. 157 –
158.
<<43>>
pernikahan, dengan alasan kesaksian dalam perkawinan
diperlukan untuk menghindari kekhawatiran terjadinya
pengingkaran perkawinan di suatu saat. Hal semacam ini
mungkin saja diperoleh melalui kesaksian seorang hamba
sahaya selama ia bersifat adil.59

5. Melihat
Mazhab syafi’i menganggap tidak sah pernikahan
yang disaksikan oleh orang buta, karena ia tidak dapat
membedakan antara kedua calon suami isteri. Sedangkan
mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali berpendirian sebalik-
nya. Menurut mereka “melihat” bukanlah salah satu syarat
kesaksian dalam pernikahan. Kesaksian orang buta dalam
perkawinan masih dianggap sah, karena tujuan kesaksian
dalam akad nikah seperti tersebut diatas mungkin saja
dicapai melalui kesaksian orang buta.60

6. Bukan kerabat dan bukan musuh


Jumhur ulama mensyaratkan seorang saksi dalam
perkawinan tidak punya hubungan kerabat dan tidak pernah
terjadi permusuhan dengan salah seorang suami isteri.
Pernikahan yang disaksikan oleh kedua orang tersebut tidak
sah, karena –mereka-- menyamakan akad nikah dengan
transaksi-tansaksi lain yang tidak sah disaksikan oleh kedua
orang tersebut di atas. Di samping itu --menurut jumhur--
tujuan kesaksian dalam pernikahan seperti tersebut di atas
tidak akan diketemukan melalui kesaksian dua orang
tersebut.61

59
Ibn Dauyan, ibid., hal. 157; Dr. H. Muslim Ibrahim, MA,
op.cit., hal. 72 – 73.
60
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 94; Dr. H. Muslim Ibrahim, MA,
ibid., hal. 78.
61
Ibn Qudamah, op.cit., hal. 11.
<<44>>
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas,
mazhab Hanafi menetapkan sebaliknya. Hubungan kerabat
dan permusuhan tidak ada hambatan untuk menjadi
kesaksian nikah, karena --menurut mereka-- keumuman
dalil tentang kesaksian nikah termasuk kedalamnya kedua
orang tersebut. Pengecualian tanpa didasarkan kepapa dalil
lain tidak sah.62

7. Berakal
Orang gila dan orang kurang sempurna akalnya
tidak boleh menjadi saksi dalam pernikahan.

8. Sampai Umur (baligh)


Anak-anak walaupun sudah mumaiyiz (tahu
membedakan antara yang baik dan yang buruk) tidak sah
menjadi saksi nikah disebabkan belum ada taklif
(pembebanan hukum) terhadap mereka.

9. Mendengar.
Orang yang tidak biasa mendengar atau mendengar
tetapi tidak bisa memahami maksud akad, tidak dibenarkan
menjadi saksi dalam pernikahan. Tujuan kesaksian dalam
akad nikah seperti yang telah disebutkan di atas tidak akan
ditemui melalui kesaksian orang tersebut.
Ketiga syarat tersebut terakhir semua sepakat
menetapkannya sebagai kriteria saksi dalam pernikahan.63
e. Maskawin (Mahar)
Maskawin sebagai salah satu rukun nikah menururt
mazhab Maliki seperti tersebut di belakang harus punya
syarat sebagai berikut:

62
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 96; Al-Kasani, op.cit., hal. 256.
63
Lihat, Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, op.cit., hal. 70 – 71.
<<45>>
1) Ukuran minimal seperampat dinar emas atau tiga dirham
perak,64 demikian menurut mazhab Maliki. Menurut
mazhab Hanafi ukuran minimal maskawin adalah 10
dinar emas. Sedangkan mazhab Syafi’i dan mazhab
Hanbali tidak menetapkan ukuran minimal maskawin
tersebut. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan
berbeda dalam menggunakan hadits dalam masalah
tersebut. Sedangkan dalam al-Qur’an tidak disebutkan
secara tegas dan pasti ukuran atau kadar maskawin
tersebut.65
2) Tidak boleh ditanggunhkan lebih dari waktu Dukhul
(Hubungan Suami Isteri). Menanggguhkan maskawin
lebih dari ketentuan tersebut batal nikahnya.66 Atau
dengan kata lain maskawin boleh ditangguhkan selama
belum hidup bersama dalam satu rumah.
f. Wali
Seseorang yang menjadi wali dalam pernikahan
harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Merdeka
Hamba sahaya tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahan dikarenakan sifatnya sebagai budak dianggap
tidak mampu mengurus masalah tersebut.

64
Satu dinar di perkirakan lebih kurang 10 dirham, sama dengan
lebih kurang 4,11428 gram emas. 1/2 dinar emas atau 21/2 dirham sama
dengan lebih kurang 1,14428 gram emas. Andai kata satu gram emas
berharga Rp22.500,- sama dengan lebih kurang Rp25.066.90,-.
Bandingkan Drs. Syauqi Ismail Syahhatih, Penerapan Zakat Dalam
Dunia Modern: (alih bahasa: Anshari Umar Sitinggal), Pustaka Dian dan
Antar Kota, Jakarta, 1987, hal. 170 dan 174.
65
Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 107; Ibn Rusyd, Bidaayat
al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, Mushthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir, 1950, hal. 18-19.
66
Muhammad Ali Husen, ibid.

<<46>>
2) Sampai Umur (Baligh)
Anak-anak yang masih di bawah umur tidak
dibenarkan menjadi wali nikah disebabkan kurang
sempurna akalnya.

3) Berakal
Berakal sebagai salah satu kriteria wali dalam
pernikahan. Pernikahan yang diwalikan oleh orang gila
tidak sah.

4) Bersatu dalam agama


Berlainan agama tidak boleh saling mengurus
kepentingan perwalian nikah, sesuai dengan firman Allah
surat Al-Nisa’ ayat 141, yang artinya: dan Allah tidak akan
sekali-sekali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin.67
Keempat Mazhab sepakat menetapkan bahwa
keempat syarat tersebut sebagai kriteria wali yang harus di
penuhi dalam pernikahan. Hamba sahaya, anak-anak dan
orang gila --menurut mereka-- dianggap tidak cakap
(mampu) untuk mengurus diri sendiri, apalagi untuk orang
lain. Begitu juga halnya berlainan agama tidak boleh
menjadi wali nikah di samping didasarkan kepada ayat di
atas, juga mereka menghubungkan perwalian kepada
warisan. Dikarenakan antara muslim dan non muslim tidak
dapat saling mewarisi, maka begitu juga halnya dalam
masalah perwalian.68
5) ‘Adil

67
Sayid Sabiq, op.cit., hal. 6.
68
Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd Al-Zawaj wa Asaruh, Daar
al-Fikr al-’Arabii, Mesir, 1971, hal. 174; Muhammad Husen al-Zahabii,
op.cit., hal. 110; Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 112; al-Kasani,
op.cit., hal. 239; Muhammad Syarbaini al-Khatib, op.cit., hal. 154; Ibn
Hajar al-Haitami, op.cit., hal. 254 – 256.
<<47>>
Jumhur Ulama menggangap adil sebagai salah satu
kriteria wali nikah. Oleh karena itu akad nikah yang
diwalikan oleh orang fasiq tidak sah (batal). Sedangkan
Mazhab Hanafi tidak mensyarakat ‘adil sebagai kriteria wali
dalam pernikahan. Mereka masih menganggap sah
perkawinan yang diwalikan oleh orang fasiq. Sebab terjadi
perbedaan mereka dalam masalah ini sama seperti yang
terjadi dalam masalah kesaksian orang fasiq di belakang.69

6) Tidak sedang dalam ihram


Andai kata seorang wali sedang ihram baik untuk
haji atau umrah, maka wali yang lain bisa menggantikan
wali tersebut. Persyaratan seperti ini ditetapkan oleh
mazhab Maliki.70

7) Laki-Laki
Jumhur ulama menganggap laki-laki sebagai syarat
mutlak untuk sahnya akad nikah. Perempuan --menurut
mereka-- kapanpun tidak boleh menjadi wali nikah baik
untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang
lain, dengan pertimbangan --secara hukum-- karena sifatnya
sebagai wanita dipandang tidak mampu untuk mengurus
masalah nikah. Sebaliknya mazhab Hanafi lelaki dianggap
mutlak dalam perwalian nikah. Akad nikah yang
dilaksanakan oleh wanita (baligh dan berakal) --menurut
mereka-- masih dianggap sah dan punya akibat hukum
sebagaimana halnya yang dilaksanakan oleh lelaki. Hanafi
berpendapat tujuan utama perwalian nikah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan perkawinan itu sendiri yaitu
terbentuknya keluarga bahagia dan sejahtera, rukun dan
69
Ibid.
70
Al-Dusuqi, Haasyiyat al-Dusuqi ‘alaa al-Syarh al-Kabiir,
Juz II, Daar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyat, Mesir, hal. 230;
Muhammad Ali Husen, loc.cit.
<<48>>
damai antara suami isteri dalam rumah tangga. Hal tersebut
--menurut mereka-- bisa saja diperoleh melalui perwalian
wanita yang sempurna akal dan baligh.71
Perlu dicatat di sini adalah semua ulama sepakat
menetapkan bahwa perkawinan itu tidak sah apabila kurang
salah satu rukun atau syaratnya sebagaimana yang telah
disebutkan di belakang; atau kurang salah satu syarat pada
rukun dan pada syarat perkawinan itu sendiri. Wali
merupakan rukun perkawinan menurut pendapat mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i; syarat sahnya perkawinan
menurut mazhab Hanafi dan Hanbali.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa --untuk
sahnya suatu pernikahan-- wali mutlak diperlukannya.
Untuk dapat terlaksananya akad nikah diperlukan pihak-
pihak yang mengadakan atau mengucapkan Sighat (ijab
kabul) itu sendiri. Ulama yang mengatakan lelaki sebagai
syarat mutlak dalam perwalian nikah menunjukkan ijab
tersebut harus dilakukan oleh wali atau wakilnya (laki-laki).
Akan tetapi sebaliknya ijab tersebut bisa saja dilakukan oleh
wanita atau wakilnya (laki-laki atau perempuan) bagi ulama
yang beranggapan lelaki bukan syarat mutlak dalam
perwalian nikah. Perbedaan pendapat mereka terhadap
masalah ini akan dijelaskan lebih terperinci dalam bab
berikutnya menyangkut dengan pendapat ulama tentang
lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Di samping syarat-syarat yang telah disebutkan dan
diuraikan di atas ada sejumlah syarat lain yang berhubungan
dengan akad nikah tersebut –biasanya-- dibuat atau
diucapkan oleh calon suami isteri baik untuk kepentingan
salah satu pihak (suami isteri) yang secara keseluruhan

71
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 146 – 147;
Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, op.cit, hal. 175
dan 177; Muhammad Husen al-Zahabi, op.cit., hal. 117 – 118.
<<49>>
dapat dikatakan ada pengaruhnya terhadap sah dan batalnya
akad nikah itu sendiri. Apabila dilihat dari segi pembagian
sarat dalam akad --secara umum-- syarat pertama dapat
disebut dengan syarat syar’i atau hakiki (ketetapan syara’);
dan syarat kedua disebut dengan syarat ja’li atau takliq
(ketetapan mukallaf).72
Kembali kepada syarat yang keberadaaannya
merupakan ketetapan mukallaf atau sering juga disebut
dengan syarat yang berbarengan dengan akad nikah, para
ulama membaginya kepada empat macam, yaitu:
1. Syarat-syarat yang merupakan bagian dari maksud akad
atau penguat maksud akad tersebut, artinya syarat-syarat
ini sesuai dengan tujuan akad itu sendiri. Seperti isteri
mensyaratkan kepada suami --dalam akad nikah—supaya
ia mau memberikan nafkah kepadanya, memberikan
pakaian, menyediakan tempat tinggal yang layak,
menggaulinya secara makruf dan sebagainya yang
sesuai dengan maksud akad. Terhadap persyaratan
semacam ini semua ulama sepakat menetapkan boleh
dikaitkannya dengan akad nikah dan wajib
disempurnakannya. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
disempurnakan, isteri punya hak untuk menfasakhkan
akad nikah tersebut.73
2. Syarat-syarat yang dapat mempengaruhi keabsahan akad
nikah. Seperti syarat pembatasan waktu perkawinan,
sebulan misalnya, atau setahun sebagainya. Persyaratan
semacam ini --menurut jumhur ulama-- dapat membawa

72
Dimaksudkan dengan syarat syar’i adalah syarat yang
keberadaannya dalam akad ditetapkan oleh syara’. Sedangkan syarat
ja’li adalah syarat yang keberadaannya dalam akad ditetapkan oleh
mukallaf (yang berkepentingan), dengan syarat tidak bertentangan
dengan tujuan akad itu sendiri. Lihat, Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd
al-Zawaj fii al-Syarii’at al-Islaamiyyat, Daar al-I’tisham, Kairo, hal. 37.
73
Ibid., hal. 62 – 63.
<<50>>
kepada ketidaksempurnaan akad atau membatalkan akad
nikah itu sendiri. Bahkan –pensyaratan-- yang demikian
dapat dianggap sebagai nikah mut’ah,74 karena tujuan
perkawinan adalah untuk selamanya bukan untuk waktu
tertentu.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, mazhab
Hanafi berpendirian sebaliknya. Menurut mereka
persyaratan semacam ini tidak membatalkan akad nikah dan
tidak dapat dianggap sebagai nikah mut’ah.75
3. Syarat berlawanan dengan maksud akad. Seperti suami
mensyaratkan dalam akad nikah tidak akan memberi
nafkah kepada isterinya; atau perkawinan mereka tidak
merupakan suatu sebab saling mewarisi.76 Dikatakan
berlawanan dengan akad nikah, karena dengan terjadinya
akad nikah suami berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya dan terjadilah saling mewarisi antara suami
isteri tersebut dan itulah yang dikehendaki oleh maksud
akad. Oleh karena itu persyaratan yang demikian tidak
dianggap sah dan tidak dibolehkan syara’.
4. Syarat-syarat yang bukan merupakan kehendak akad dan
juga tidak berlawanan dengan maksud akad itu sendiri,
tetapi punya tujuan tertentu bagi pihak yang
berkepentingan (suami atau isteri). Seperti isteri
mensyaratkan kepada suami dalam akad nikah supaya ia
tidak kawin lagi; tidak membawa ke rumah lain selain ke
rumahnya sendiri.77 Terhadap persyaratan ini terjadi
perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya, yang
dapat dibedakan kepada dua kelompok.

74
Ibid., hal. 71; Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj,
op.cit., hal. 210-211 dan al-Ahwaal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 181.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Ibid., hal. 71.
<<51>>
Kelompok pertama menganggap persyaratan seperti itu
tidak sah dan tidak wajib disempurnakannya, sedang akad
nikahnya tetap dianggap sah. Inilah pendapat jumhur ulama
selain mazhab Hanbali.78 Pemikiran mereka didasarkan
kepada:
a. Hadits Nabi saw.
1) Hadits Riwayat Muslim:79
‫ﻛﻞ ﺷﺮط ﻟﻴﺲ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ﻓﻬﻮ ﺑﺎ ﻃﻞ وان ﻛﺎن ﻣﺎ ﺋﺔ ﺷﺮط‬
Hadits tersebut --menurut mereka-- menunjukkan bahwa
syarat apapun yang tidak didasarkan pada dalil tentang
keabsahannya dianggap batal, baik dalil tersebut berupa al-
Qur’an atau hadits.80
2) Hadits Riwayat Al-Turmizi:81
‫اﳌﺴﻠﻤﻮن ﻋﻠﻰ ﺷﺮ وﻃﻬﻢ إﻻ ﺷﺮ ﻃﺎ أﺣﻞ ﺣﺮاﻣﺎ أوﺣﺮم ﺣﻼ ﻻ‬
Hadits tersebut -menurut jumhur- menunjukkan batalnya
semua syarat yang menghalalkan yang diharamkan Allah;
mengharamkan semua yang dihalalkan Allah.82
b. Rasio
Tujuan perkawinan adalah untuk menjaga manusia
supaya tidak terjerumus ke dalam hawa nafsu; dan bisa
hidup rukun antara suami isteri dalam suatu rumah tangga.
Perkawinan yang didasarkan kepada syarat-syarat tersebut

78
Ibid., hal. 72.
79
Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz I, Isa al-Baabi al-
Halabii, Mesir, hal. 144.
80
Abu-Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, op.cit.,
hal. 212 dan al-Ahwaal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 183; Dr. Kausar
Kamil, op.cit., hal. 72.
81
Al-Turmizi, Sunan al-Turmizi, Juz II, Daar al-Fikr, Mesir,
1973, hal. 403.
82
Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd al-Zawaj fii al-Syarii’at al-
Islaamiyyat,, hal. 73.

<<52>>
di atas –terkadang-- dapat mengundang hancurnya rumah
tangga dan sekaligus dapat menghancurkan tujuan
perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu persyaratan yang
karenanya diduga dapat menghancurkan tujuan perkawinan
itu sendiri --menurut jumhur-- tidak dibolehkannya.83
Berbeda dengan pendapat kelompok pertama,
kelompok kedua yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali
berpendirian sebaliknya. Menurut mereka persyaratan
semacam itu dianggap sah dan wajib disempurnakannya,
bahkan isteri punya hak untuk membatalkan perkawinan
tersebut (melalui fasakh) apabila suami tidak mau
menyempurnakan syarat-syarat tersebut di atas.84
Kesimpulan ini didasarkan kepada:
a. Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari:85
‫ إن أﺣﻖ اﻟﺸﺮوط أن ﺗﻮﻓﻮا ﺑﻪ‬: ‫ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ﻣﺎ اﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ ﺑﻪ اﻟﻔﺮوج‬
Hadits ini --menurut mazhab Hanbali-- dapat dipahami
bahwa semua bentuk syarat dalam akad harus disempurna-
kannya, terlebih lagi menyangkut dengan persyaratan yang
berkaitan dengan akad nikah. Kata “ahaqqu” yang terdapat
dalam hadits --menurut mereka-- dapat mengarah kepada
pengertian tersebut. Begitu pula hadits tersebut bersifat
umum, yang berarti semua syarat yang berhubungan dengan
akad harus disempurnakannya. Apabila transaksi kebendaan
diharamkan karena tidak didasarkan kepada senang sama
senang, maka akad nikah --yang merupakan hubungan

83
Ibid.
84
Ibid.
85
Al-‘Ashqalani, Fath al-Baari, Juz IX, Mathba’at Salafiyat,
hal. 178.
<<53>>
langsung antara suami isteri-- yang juga tidak didasarkan
kepada senang sama senang terlebih lagi diharamkannya.86
b. Rasio
Setiap syarat yang di dalamnya mengandung
manfaat bagi pihak yang menetapkannya, tidak menyalahi
dengan maksud perkawinan. Oleh karena itu syarat-syarat
yang tidak menyalahi dengan tujuan perkawinan wajib
disempurnakannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
surat al-Maidah ayat 1:

…‫ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آَ َﻣﻨُﻮا أ َْوﻓُﻮا ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮِد‬


Pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut (oleh suami),
para pihak yang berkepentingan (isteri) punya hak untuk
membatalkan akad (nikah) melalui jalan fasakh.87
Melihat kepada perbedaan tersebut di atas --terlepas
dari kuat lemahnya hadits–hadits yang mereka pegangi-- di
sini dapat dinyatakan kunci pokok yang menjadi perbedaan
pendapat mereka dalam masalah tersebut adalah berbeda
mereka dalam memahami “baraat al-Ashlyyat” jumhur
ulama menganggap “segala yang menetapkan pada dasarnya
tidak ada kecuali ada dalil yang menetapkannya”. Oleh
karena itu penetapan sesuatu syarat tanpa berdasarkan
kepada sesuatu dalil yang sah dianggap sia-sia dan tidak
punya akibat hukum. Sedangkan mazhab Hanbali
berpendapat sebaliknya, “segala sesuatu pada dasarnya
dibolehkan (sah) kecuali ada dalil yang melarangnya
(membatalkannya)”. Oleh karena itu --menurut mereka--

86
Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd al-Zawaj fii al-Syarii’at al-
Islaamiyyat,
87
Ibid., hal. 76.

<<54>>
penetapan sesuatu syarat yang tidak ada nash (dalil) untuk
membatalkannya dianggap sah dan punya akibat hukumnya.
Dari semua uraian di atas --menyangkut dengan persyaratan
yang berbarengan dengan akad nikah-- yang perlu dicatat
bahwa syarat-syarat tersebut adakalanya sah dan juga yang
pasid (batal). Dimaksud dengan sah di sini adalah
persyaratan tersebut boleh dikaitkan dengan akad nikah dan
wajib disempurnakannya. Apabila tidak disempurnakan,
yang berkepentingan punya hak untuk membatalkan
perkawinan tersebut. Sedangkan syarat fasid (batal) adalah
segala persyaratan yang tidak ada pengaruhnya dikaitkan
dengan akad nikah dan tidak berkewajiban untuk
disempurnakannya, sedang nikah tetap dianggap sah.

C. Urutan Wali Nikah


Pembahasan ini bertujuan untuk lebih memberikan
gambaran tentang perbedaan pendapat empat mazhab
terhadap kemutlakan lelaki dalam perwalian nikah melalui
tertib urutan wali dalam perkawinan. Perbedaan pendapat
mereka terhadap kedudukan wali dalam perkawinan
berakibat berbeda dalam menetapkan tertib urutan wali
nikah itu sendiri, walaupun ada segi-segi yang
disepakatinya.
Ulama sepakat menetapkan bahwa perwalian nikah
terjadi karena: hubungan kerabat, perbudakan, pemerdekaan
dan hubungan kepemimpinan. Dua di antara empat tersebut
di atas --hubungan perbudakan dan pemerdekaan-- tidak
diuraikan lebih terperinci, mengingat kedua masalah
tersebut kurang penting dibicarakan di sini seperti yang
telah disebutkan di belakang.
1. Wali Nasab
Dimaksudkan dengan wali nasab perwalian yang
didasarkan kepada hubungan kekerabatan (hubungan

<<55>>
darah).88 Hubungan kerabat yang lebih dekat antara wali
dengan yang diwalikannya disebut dengan “Waliyul
Akrab”; dan hubungan yang jauh antara wali dengan yang
diwalikannya disebut dengan “Waliyul Ab’ad”. Selama
waliyul akrab masih dijumpai dan memenuhi persyaratan
wali, maka waliyul ab’ad tidak boleh menjadi wali.
Jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa perwalian secara
nasab hanya dapat terjadi berdasarkan urutan ‘ashabah (bi
al-nafsih) semata sebagaimana yang terdapat dalam waris
mal waris, walaupun dalam tertib urutan prioritas terdapat
perbedaan-perbedaan tertentu antara mazhab-mazhab yang
terdapat dalam jumhur ulama yang dapat dilihat dalam
uraian berikut ini.
Menurut mazhab Maliki urutan perwalian secara
nasab adalah:
1. Bapa
2. Orang yang menerima washiyat dari bapa untuk
mengawinkan anaknya bila ia telah meninggal nanti
(waashi)
3. Anak laki-laki, meskipun dari hasil perzinaan
4. Cucu laki-laki
5. Saudara laki-laki kandung
6. Saudara laki-laki sebapa
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8. Anak laki-laki dari saudara laki sebapa
9. Paman kandung
10. Anak paman kandung
11. Paman sebapa
12. Anak paman sebapa
13. Bapa dari nenek
14. Paman dari bapak

88
Muhammmad Husen al-Zahabi, op.cit., hal. 109.
<<56>>
15. Orang yang mengasuh perempuan.89
Mazhab Maliki menambahkan, selain orang-orang yang
telah disebutkan di atas masih ada wali lain ang sifatnya
umum yaitu tiap-tiap orang yang didasarkan kepada fardhu
kifayah di saat tidak ada wali nasab dan wali hakim.90
Menurut mazhab Syafi’i urutan wali nasab adalah:
1. Bapa, Datuk (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki seibu dan sebapa
3. Saudara laki-laki sebapa
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapa dan
seterusnya ke bawah.
6. Paman (saudara kandung dari bapa)
7. Paman (saudara sebapa dari bapa)
8. Anak laki-laki dari paman kandung
9. Anak laki-laki dari paman sebapa dan seterusnya ke
bawah.91
Menurut mazhab Hanbali urutan wali nasab adalah
seperti berikut ini:
1. Bapa
2. Washi
3. Bapak dari bapa (datuk) dan seterusnya ke atas
4. Anak laki-laki
5. Cucu laki-laki
6. Saudara kandung
7. Saudara sebapa
8. Anak laki-laki dari saudara kandung
9. Anak laki-laki dari saudara sebapa
10. Paman nenek
89
Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 107-108; Mahmud Yunus,
Hukum Perkawinan Dalam Islam, al-Hidayah, Jakarta, 1956, hal. 56;
Ibn Rusyd, op.cit., hal. 13.
90
Muhammad Ali Husen, ibid.; Ibn Rusyd, ibid.
91
Ibn Hajar al-Haitami, op.cit., hal. 247.
<<57>>
11. Anak laki-laki dari paman nenek dan seterusnya ke
bawah.92
Pelaksanaan akad nikah yang berwalikan bukan
berdasarkan kepada tertib urutan seperti tersebut di atas
tanpa disebabkan oleh suatu faktor tertentu dianggap tidak
sah nikahnya. Apabila seluruh urutan perwalian tidak
didapatinya --menurut jumhur ulama-- perwalian dapat
berpindah kepada penguasa yang biasanya dipegang oleh
hakim atau orang yang berwenang dalam masyarakat.
Pembolehan washi sebagai wali oleh Maliki dan Hanbali
dalam melangsungkan akad nikah dengan syarat:
1. Antara washi dengan anak perempuan telah terjadi
pergaulan bertahun-tahun lamanya seperti pergaulan
anak dengan bapa, sehingga ia memelihara dan
menjaganya sebagaimana ia menjaga dan memelihara
anak sendiri.
2. Anak perempuan tersebut bukanlah termasuk orang yang
mulia. Kalau perempuan tersebut orang mulia, maka
walinya adalah hakim. Dimaksudkan dengan mulia di
sini adalah perempuan yang cantik dan kaya (persyaratan
ini ditentukan oleh Malik).
3. Washi tersebut harus laki-laki. Andai kata washi tersebut
seseorang perempuan, maka ia tidak berhak menjadi wali
(nikah).93
Sedangkan menurut mazhab Hanafi urutan wali secara
nasab terdiri dari:
1. Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah
2. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
3. Seperti urutan yang telah disebutkan oleh mazhab
Syafi’i

92
Idris al-Buhuti, op.cit., hal. 50-51.
93
Mahmud Yunus, op.cit., hal. 59-60.
<<58>>
4. Ibu
5. Ibu dari ibu
6. Anak perempuan
7. Anak perempuan dari anak perempuan (cucu
perempuan)
8. Anak perempuan dari cucu laki-laki
9. Anak perempuan dari cucu perempuan dan seterusnya
ke bawah
10. Bapak dari ibu
11. Saudara perempuan kandung
12. Saudara perempuan sebapa
13. Saudara perempuan seibu dan anak-anaknya
14. Saudara perempuan dari bapa (bibi)
15. Saudara laki-laki dari ibu
16. Saudara perempuan dari ibu
17. Anak perempuan dari paman dan bibi serta anak-
anaknya dan begitulah seterusnya ke bawah seluruh
keluarga zawil arham.94
Melihat kepada tertib urutan perwalian secara nasab
seperti yang telah dijelaskan di atas dijumpai perbedaan-
perbedaan tertentu di kalangan empat mazhab. Perbedaan
menonjol ditemukan dalam urutan perwalian yang
dikemukakan oleh mazhab Hanafi, yaitu pembolehan
kerabat oleh zawil arham menjadi wali nikah secara nasab.
Bahkan urutan tersebut tidak menjadi suatu syarat yang
mesti dipenuhi --sebagaimana yang diasumsikan jumhur
ulama-- karena perempuan yang sudah dewasa dan berakal
boleh mengawinkan diri sendiri dan mewakilkan kepada
orang lain.95 Terhadap urutan perwalian yang dikemukakan
oleh mazhab Hanafi ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:
94
Ibn al-Hummam, Syarh Fath Al-Qadiir, Juz III, Daar al-Ihya’,
Al-kutub al-Arabiyyat, Mesir, hal. 277 dan 286; Ibn ‘Abidin, op.cit., hal.
76 dan 79.
95
Ibn al-Humam, ibid., hal. 256.
<<59>>
1. Ketidakmutlakan lelaki dalam perwalian nikah, dalam
arti Wanita masih terbuka kemungkinan untuk menjadi
wali dalam perkawinan
2. Tidak mesti perwalian nasab itu didasarkan kepada
‘ashabah semata.
Kesimpulan ini ada kesamaannya dengan pendapat
orang yang mengatakan bahwa:
Istilah ‘ashabah berasal dari adat kebiasaan orang arab yang
karena itu tidak mesti (seharusnya) dipertahankannya, dan
begitu juga kedudukan keturunan melalui anak perempuan
dan seterusnya ke bawah sama kuatnya dengan keturunan
melalui anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.96
Kembali kepada urutan perwalian yang dikemuka-
kan oleh jumhur ulama --walaupun terdapat perbedaan di
sekitar tertib urutan orang-orang yang lebih berhak menjadi
wali- tetapi perwalian secara nasab menurut mereka masih
terbatas pada garis keturunan laki-laki (‘ashabah bi al-
nafsih). Perbedaan-perbedaan tersebut tidak dijelaskan lebih
terperinci karena kurang penting dibicarakan di sini.

2. Wali Hakim
Dimaksudkan dengan wali hakim adalah orang yang
berwenang mengurus masalah nikah disebabkan jabatannya
atau karena ditunjuk oleh penguasa seperti Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan sebagainya, dengan
syarat seluruh wali nasab tidak dijumpainya.97

96
Al-Yasa’ Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah (Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqih Mazhab),
disertasi Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yokyakarta,
1989, hal. 7-8.
97
Tidak dijumpai maksudnya tidak mencukupi persyaratan
seorang wali ataupun meninggal dunia. Lihat, Kompilasi Hukum Islam
<<60>>
Dasar adanya wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah
menurut syari’at Islam adalah hadits nabi yang berbunyi:98
: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬
.‫ﻓﺈن اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ وﱃ ﻟﻪ‬
Maksudnya: Dari Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw.
Bersabda: . . . jika wali (nasab) enggan (mengawinkan
anak perempuan), maka penguasa yang menjadi wali
(terhadap anak perempuan tersebut) yang tidak ada
walinya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Turmizi dan
dishahihkan oleh Ibn Hibban).
Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh al-Tabrani dari Ibn Abbas di bawah ini:99
‫ﻻ ﻧﻜﺢ إﻻ ﺑﻮﱃ واﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ‬: ‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
.‫ﻻ وﱃ ﻟﻪ‬
Maksudnya: Nabi saw. bersabda: tidak sah nikah tanpa
wali. Jika tidak ada wali, maka penguasa (hakim) yang
menjadi walinya.
Kebanyakan ulama Fiqih --terlepas dari kuat
tidaknya-- kedua hadits tersebut di atas dijadikan sebagai
dasar adanya wali hakim dalam pelaksanaan nikah.
Perbedaan mereka ditemukan di sekitar pemahaman dua
hadits di atas yang mengakibatkan berbeda mereka dalam
menetapkan kapan terjadi pemindahan wali nasab kepada
wali hakim. Kunci pokok perbedaan mereka dalam
mengartikan “tiada wali” sebagai sebab perpindahan wali

Di Indonesia, Depag. RI, 1991 / 1992, hal. 22; bandingkan, al-Shan’ani,


Subul al-Salam, Juz III, Dahlan, Bandung, hal. 118.
98
Abu Dawud, Sunan Abii Daawud, Juz I, Mushthafa al-Baabii
al-Halabii, Mesir, hal. 608.
99
Ibid.
<<61>>
nasab kepada wali hakim. Ada yang mengartikannya
“ghaib” (jauh dari tempat tinggal) dan ada juga yang
mengartikannya “enggan menjadi wali dalam pernikahan”.
Sedangkan dalam pengertian meninggal dunia dan tidak
memenuhi persyaratan sebagai wali diartikan tiada wali,
semua ulama menetapkan --yang demikian itu-- tidak
termasuk ke dalam pembahasan perpindahan wali nasab
kepada wali hakim.
Jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa perwalian nasab
berpindah kepada wali hakim bila wali dekat enggan
mengawinkan anak perempuan yang ada di bawah
perwaliannya, karena menyamakannya dengan tidak ada
wali. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat yang menjadi
wali dalam masalah ini adalah wali jauh, bukan wali hakim.
Keengganan wali --menurut mazhab ini—belum dapat
dianggap tidak ada wali, karena pada hakikatnya wali
tersebut masih ada tetapi tidak mau akad nikah tersebut
dilaksanakannya.100
Begitu juga halnya menyangkut dengan ghaibnya
wali dekat. Mereka berbeda pendapat apakah perwalian
tersebut berpindah kepada wali jauh (nasab) atau kepada
wali hakim. Mazhab Hanafi dan Hanbali masih
menganggap perwalian tersebut tidak berpindah kepada
wali hakim, karena pada dasarnya wali itu masih ada, hanya
saja jauh dari tempat kediaman dan ini bukanlah berarti
tiada wali, bahkan perwalian semacam ini masih dapat
diqiyaskan kepada perwalian yang tidak memenuhi
persyaratan seorang wali. Sedangkan mazhab Maliki dan
Syafi’i menganggap tiada wali dekat dikarenakan ghaib
dapat berpindah perwalian seorang perempuan kepada wali
hakim, dengan syarat jauh tersebut mencapai musafah
qasar. Kalau jauhnya tidak mencapai ketentuan tersebut

100
Muhammad al-Syarbaini al-Khatib, op.cit., hal. 153.
<<62>>
perpindahan wali nasab kepada wali hakim harus ada izin
dari wali dekat.101
Melihat kenyataan sekarang -terlepas dari perbedaan
pendapat tersebut- dengan adanya wanita sebagai kepala
negara, hakim dan sebagainya kemungkinan wanita menjadi
wali dalam pernikahan melalui wali hakim di saat seluruh
wali nasab tidak ada bukan hal yang mustahil.

2. Macam-Macam Wali
Dalam Hukum Pernikahan Islam dikenal
adanya empat macam Wali Nikah, yaitu:
1. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian
nasab atau pertalian darah dengan calon
mempelai perempuan.
2. Wali maula, yaitu Wali Nikah karena, m e -
merdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi
wali nikahnya seseorang perempuan, karena
orang tersebut pernah memerdekakannya.
Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak terjadi.
3. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan
oleh Penguasa, bagi seorang perempuan yang
wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada,
baik karena telah meninggal dunia, menolak
menjadi wali nikah atau sebab-sebab lain.
4. Wali Muhakkam, yaitu Wali Nikah yang terdiri
dari seorang laki-laki yang diangkat oleh kedua
calon suami isteri untuk menikahkan mereka,
dikarenakan tidak ada Wali Nasab, Wali
Mu'tiq, dan Wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini

101
Ibn Syihabuddin al-Ramli, Nihaayat al-Muhtaaj ilaa Syarh al-
Minhaaj, Juz VI, Mushthafa al-Baabii al-Halabii, Mesir, 1937, hal.
236; Ibn Nujaim, op.cit., ha.l 126; al-Dusuqi, op.cit., hal. 236.
<<63>>
di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadi-
nya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang
lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan
Wali Hakim saja.

@@

<<64>>
BAGIAN KETIGA
KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI
DALAM PERWALIAN NIKAH

A. Perspektif Fuqaha’
Melihat kepada rukun dan persyaratan wali serta
tertib urutannya dalam pelaksanaan perkawinan yang
telah dijelaskan oleh empat mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali), sebelumnya, pembahasan berikut
ini berkaitan dengan ketidakmutlakan laki-laki dalam
perwalian nikah dapat dijelaskan seperti berikut.
Pertama, uraian yang dijelaskan oleh jumhur fuqaha’
(Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali)yang menetapkan
laki-laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian
nikah, dan kedua, uraian yang dijelaskan oleh mazhab
Hanafi yang menetapkan bahwa laki-laki bukan
merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.

<<65>>
Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i dan Hanbali)
menetapkan bahwa perempuan kapan pun tidak boleh
melangsungkan akad nikah baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Mereka
sepakat menetapkan perkawinan yang dilaksanakan
oleh wanita sendiri tidak sah, karena perkawinan
tersebut punya tujuan akhir yang ingin diwujudkan
dalam rumah tangga yaitu harmonis, sejahtera, bahagia
dan melanjutkan keturunan. Wanita biasanya cepat
sekali dipengaruhi oleh perasaan atau tindakan yang
bersifat subjektif, sehingga tujuan perkawinan seperti
tersebut di atas sulit diwujudkan bila urusan per-
kawinan dipercayakan kepadanya. Karenanya untuk
memperoleh tujuan tersebut secara sempurna, menurut
jumhur hendaklah urusan perkawinan diserahkan
kepada wali.1 Secara singkat dapat dinyatakan bahwa
besar dugaan karena sifatnya sebagai perempuan
dipandang tidak cakap untuk mengurus masalah nikah,
wanita secara hukum punya kekurangan tersendiri
dalam bertindak dibandingkan dengan laki-laki.

Di tempat lain dalam satu riwayat jumhur ulama


juga pernah menyatakan sifat kekurangan yang dimiliki
perempuan, menyebabkannya tidak bisa menjadi wali
nikah disamakan dengan anak-anak yang masih di
bawah umur dan orang yang kurang sempurna akal.
Persoalan nikah merupakan persoalan yang paling rumit
dibandingkan dengan transaksi lainnya, sehingga yang
bisa menanganinya hanyalah orang yang sempurna

1 Muhammad al-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Juz.


III, (Mesir: Mushthafa al-Baabi al-Halabi, 1958), h. 147; Ibnu al-
Hummam, Syarh Fath al-Qadiir, Juz III, (Mesir: Daar al-Ihya’ al-
Kutub al-Arabiyyat, tt), hlm. 256-257.
<<66>>
akalnya. Dengan demikian, kekurangan yang dimiliki
perempuan seperti tersebut di atas mengakibatkan tidak
bisa diserahkan urusan pernikahan kepadanya. Di
samping apa yang telah disebutkan di atas menyangkut
ketidakbolehan wanita menjadi wali dalam pernikahan,
jumhur ulama juga mendasari pemikirannya bahwa laki-
laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Kekurangan syarat tersebut mengakibatkan batalnya
akad nikah itu sendiri.2 Begitu juga halnya menurut
mereka perwalian langsung berpindah kepada wali
hakim, kalau seluruh wali berdasarkan ‘ashabah tidak
dijumpai seperti yang telah dijelaskan di depan.
Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh jumhur ulama
adalah:

1. Al-Qur’an seperti berikut:


Surat al-Baqarah ayat 221:

‫َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣ ﱠﻦ وَﻷَََﻣﺔٌ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَﺔٌ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸ ِﺮَﻛ ٍﺔ َوﻟ َْﻮ‬ ‫َﺎت ﺣ ﱠ‬ ِ ‫وََﻻ ﺗَـْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ‬
‫َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا َوﻟَ َﻌْﺒ ٌﺪ ﻣ ُْﺆِﻣ ٌﻦ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸﺮ ٍِك‬
‫ﲔ ﺣﱠ‬ َ ِ‫أَ ْﻋ َﺠﺒَْﺘ ُﻜ ْﻢ وََﻻ ﺗـُْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ‬
‫ِﻚ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ َن إ َِﱃ اﻟﻨﱠﺎ ِر وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ إ َِﱃ اﳉَْﻨﱠ ِﺔ وَاﻟْ َﻤ ْﻐ ِﻔَﺮةِ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ‬ َ ‫َوﻟ َْﻮ أَ ْﻋ َﺠﺒَ ُﻜ ْﻢ أُوﻟَﺌ‬
‫ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮُو َن‬
ِ ‫َﲔ آَﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ‬ُ‫َوﻳـُﺒـ ﱢ‬
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak

2 Al-Sarakhsy, al-Mabsuth, Juz V. (Mesir: al-Sa’adat, tt), hlm.


11.
<<67>>
yang muslim lebih baik dari pada orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.

Jumhur ulama menganggap larangan yang terkandung


dalam ayat tersebut berkenaan dengan penyerahan urusan
perkawinan sepenuhnya kepada laki-laki, dalam hal ini
kepada wali bukan untuk orang lain. Seolah-olah menurut
mereka Allah berfirman: “wahai para wali jangan kamu
mengawinkan wanita-wanita yang ada di bawah perwalianmu
dengan pria-pria yang masih musyrik”.3

Begitu juga dalam surah al-Baqarah ayat 230:

‫َﱴ ﺗَـْﻨ ِﻜ َﺢ زَْوﺟًﺎ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ‬


‫ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ َِﲢ ﱡﻞ ﻟَﻪُ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌ ُﺪ ﺣ ﱠ‬
‫ْﻚ ُﺣﺪُو ُد اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬﻤَﺎ أَ ْن ﻳـَﺘَـﺮَا َﺟﻌَﺎ إِ ْن ﻇَﻨﱠﺎ أَ ْن ﻳُﻘِﻴﻤَﺎ ُﺣﺪُوَد اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺗِﻠ‬
‫ﻳـُﺒَـﻴﱢـﻨُـﻬَﺎ ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳـَ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن‬
Artinya: “Kemudian jika kamu mentalakkannya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan tidak halal lagi baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dari istri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterang-
kan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.

3 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,

Juz II (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt) hlm. 9.


<<68>>
Ibnu Hazm ketika menjelaskan pendapat jumhur
ulama menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan
nikah itu tidak sah tanpa ada wali (laki-laki).4

Selanjutnya surah al-Baqarah ayat 232:

‫ﻀﻠُﻮُﻫ ﱠﻦ أَ ْن ﻳـَْﻨ ِﻜ ْﺤ َﻦ أَزْوَا َﺟ ُﻬ ﱠﻦ إِذَا‬ ُ ‫َوإِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَـﺒَـﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻌ‬
‫ﻆ ﺑِِﻪ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟْﻴـَﻮِْم‬
ُ ‫ِﻚ ﻳُﻮ َﻋ‬ َ ‫وف ذَﻟ‬ ِ ‫ﺗَـﺮَاﺿَﻮْا ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮ‬
‫َﺧ ِﺮ ذَﻟِ ُﻜ ْﻢ أ َْزﻛَﻰ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻃْ َﻬ ُﺮ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن‬
ِ ‫ْاﻵ‬
Artinya: “Apabila kamu mentalak istrimu, lalu habis iddahnya,
maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin dengan
(bakal suaminya atau dengan suami yang lain) apabila telah
mendapatkan keridhaan di antara mereka dengan cara
ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dari hari akhirat
(kemudian). Itulah lebih baik bagi kamu dan lebih suci. Allah
mengetahui dan kamu tidak mengetahui”.

Menurut jumhur ulama larangan menghalangi yang


terdapat dalam ayat tersebut khusus ditujukan kepada para
wali (laki-laki), sesuai dengan sebab turunnya yang akan
dijelaskan nanti.5

Terakhir ayat 32 surat al-Nur:

َ‫ﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛ ْﻢ َوإِﻣَﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻳَﻜُﻮﻧُﻮا ﻓـُ َﻘﺮَاء‬


َ ِِ‫َوأَﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻷَﻳَﺎﻣَﻰ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاﻟﺼﱠﺎﳊ‬
‫َاﺳ ٌﻊ َﻋﻠِﻴ ٌﻢ‬
ِ ‫ﻀﻠِ ِﻪ وَاﻟﻠﱠﻪُ و‬
ْ َ‫ﻳـُ ْﻐﻨِ ِﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ِﻣ ْﻦ ﻓ‬

4 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX, (Mesir: Daar al-Fikr, tt),


hlm. 457.
5 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnat. Juz IV dan VII, (Kiut: Dar al-

Bayan, tt), hlm. 7-8.


<<69>>
Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Menurut jumhur ulama, perintah dalam ayat tersebut


khusus ditujukan kepada para wali (laki-laki)bukan kepada
wanita. Seolah-olah Allah berfirman “wahai para wali jangan
biarkan perempuan-perempuan yang ada di bawah per-
walianmu hidup membujang sepanjang zaman”.6

Melihat kepada pendapat jumhur ulama di atas, dapat


dinyatakan bahwa semua ayat yang berkenaan dengan nikah
yang telah disebutkan di depan khitabnya (perintah atau
larangan) khusus ditujukan kepada para wali, bukan untuk
orang lain. Wali yang mereka maksudkan di sini adalah
seperti yang telah dijelaskan di depan.

2. Hadits-hadits Rasulullah saw.


Hadits-hadits yang menjadi pegangan ulama antara
lain hadits yang berdasarkan dari Abu Musa, matannya
menurut at-Turmizi:7

‫ ﻻ ﻧﻜﺎح اﻻ ﺑﻮﱃ‬:‫ﺻﻼَ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻼَ َم ﻗﺎل‬


َ ‫أن رﺳﻮل اﷲ‬
Maksudnya: Bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak sah nikah
tanpa ada wali. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud, al-Turmizi dan Ibnu Hibban.

Selanjutnya hadits yang berdasarkan dari ‘Aisyah,


matannya menurut Abu Dawud:8

6 Ibid.,
7 A1-Mubarakfuri, Tuhfa Al-Ahwazi Bi Syarh Jami’ Al-
Turmizi, Juz IV, (tp.: Muhammad Abdul Muksin A1-Maktabi, tt), h,
227.
<<70>>
‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫وﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬
، ‫ " أﳝﺎ اﻣﺮأة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ إذن وﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ‬:
‫ ﻓﺈن‬، ‫ ﻓﺈن دﺧﻞ ﺎ ﻓﻠﻬﺎ اﳌﻬﺮ ﲟﺎ اﺳﺘﺤﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ‬، ‫ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ‬
. ‫اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱄ ﻣﻦ ﻻ وﱄ ﻟﻪ‬
. ( ١٨٧٩ ) ‫ ( واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ‬٢٠٨٣ ) ‫ ( وأﺑﻮ داود‬١١٠٢ ) ‫رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي‬

( ١٨٤٠ ) ‫وﺻﺤﺤﮫ اﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ إرواء اﻟﻐﻠﯿﻞ‬

Maksudnya: bahwa Rasulullah saw bersabda: siapa pun di


antara wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka batal
nikahnya. Jika laki-laki telah menyenggamanya, maka Ia
berhak atas maharnya karena telah menghalalkan
kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkan (wanita
yang ada di bawah perwaliannya) maka wali hakimlah yang
(bertindak,) menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah
dan al-Turmizi,).

Begitu juga hadits yang berdasarkan dari Ibnu Abbas,


matannya menurut Abu Dawud:9

‫ي اﻟْ َﻔﻘِﻴﻪُ َﺷْﻴ ُﺦ‬


‫ِﺢ اﻷَﺑْـ َﻬ ِﺮ ﱡ‬
ٍ ‫أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﺻَﺎﻟ‬
، ‫َﲔ ﺑْ ُﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ﻣ َْﻮدُوٍد اﳊَْﺮِﱠاﱐﱡ‬
ُ ْ ‫ ﺛﻨﺎ أَﺑُﻮ َﻋﺮُوﺑَﺔَ اﳊُْﺴ‬، ‫ﲔ ﻗِﺮَاءَةً َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
َ ‫اﻟْﻤَﺎﻟِ ِﻜﻴﱢ‬
‫ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ‬، ‫َﺲ‬ٍ ‫ِﻚ ﺑْ ُﻦ أَﻧ‬ ُ ‫ ﺛﻨﺎ ﻣَﺎﻟ‬، ‫ي‬ ‫ْﺖ اﻟ ﱡﺴ ﱢﺪ ﱢ‬ ِ ‫ﺛﻨﺎ إِﲰَْﺎﻋِﻴ ُﻞ ﺑْ ُﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ اﺑْ ُﻦ ﺑِﻨ‬
‫ﱠﱯ‬
‫ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬: ‫ﱠﺎس‬
ٍ ‫ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬، ‫َﲑ ﺑْ ِﻦ ُﻣﻄْ َﻌ ٍﻢ‬ ِْ ‫ َﻋ ْﻦ ﻧَﺎﻓِ ِﻊ ﺑْ ِﻦ ُﺟﺒـ‬، ‫ْﻞ‬ِ ‫اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ اﻟْ َﻔﻀ‬

8 Ahmad al-Sahar Nafuri, Bazl al-Juhuud fii hil Abi Dawud,

Juz IX, (Beirut: Daar Al-Kutub al-Ilmiyyat, tt), h. 79.


9 Ibid.

<<71>>
‫ْﺴﻬَﺎ وَاﻟْﺒِ ْﻜ ُﺮ ﺗُ ْﺴﺘَﺄْذَ ُن ِﰲ‬
ِ ‫ " اﻷَﱘﱢُ أَ َﺣ ﱡﻖ ﺑِﻨَـﻔ‬: ‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ
‫ أَ ْﺧَﺮ َﺟﻪُ ُﻣ ْﺴﻠِ ٌﻢ َﻋ ْﻦ‬، ‫َﺤﻴ ٌﺢ‬ ِ ‫ِﻳﺚ ﺻ‬
ٌ ‫ َﻫﺬَا َﺣﺪ‬. " ‫ﺻﻤَﺎﺗـُﻬَﺎ‬ ُ ‫ َوإِ ْذﻧـُﻬَﺎ‬، ‫ْﺴﻬَﺎ‬ ِ ‫ﻧـَﻔ‬
. ‫ي‬ ‫ َوَﱂْ ﳜُْ ِﺮ ْﺟﻪُ اﻟْﺒُﺨَﺎ ِر ﱡ‬، ‫ِﻚ‬
َ ‫ِﻚ َﻛ َﺬﻟ‬
ٍ ‫ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ‬، َ‫َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻣْﻨﺼُﻮٍر َوﻗـُﺘَـْﻴﺒَﺔ‬
Maksudnya: Rasulullah saw bersabda: janda lebih berhak atas
dirinya dari pada wali (dalam urusan perkawinan).
Perempuan yang masih bikir (perawan,) diminta izin
kepadanya. Izinnya adalah diam. Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Terakhir hadits yang berdasarkan dari Abu Hurairah,


matannya menurut al-Baihaqy:10

‫ ﻻ ﺗﺰوج اﳌﺮأة اﳌﺮأة وﻻ ﺗﺰوج‬:‫ﻣﺎ ﻋﻼﻗﺔ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫اﳌﺮأة ﻧﻔﺴﻬﺎ ـ ﺑﺎﻻﻋﱰاف ﺑﺎﳊﺐ ﻟﺸﺎب ﺑﻘﺼﺪ اﻟﺰواج؟ وﻫﻞ ﻳﻨﻄﺒﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ‬
‫اﳊﺪﻳﺚ ﰲ ﻫﺬﻩ اﳊﺎﻟﺔ وﺗﻌﺪ زاﻧﻴﺔ؟ وﻫﻞ ﻳﺼﺢ زواﺟﻬﺎ ﰲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ اﳊﺎﻟﺔ‬
.‫أم ﻻ؟‬
Maksudnya: Dari Nabi saw Ia bersabda: janganlah orang
perempuan mengawinkan orang perempuan lain, dan jangan
pula mengawinkan diri sendiri. Perkawinan yang dilakukan
oleh perempuan (baik terhadap dirinya atau orang lain)
dianggap perbuatan zina. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn
Majah, Daar Al-Quthni dan al-Baihaqy.

Keempat hadits tersebut menurut jumhur ulama


sangat relevan dengan kandungan ayat-ayat di atas. Bahkan,
menurut mereka, hadis-hadis tersebut merupakan penjelasan

10 Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr,


tt), h. 110.
<<72>>
atau pentakhsish terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
disebutkan di atas.

3. Rasio
Di samping dalil-dalil yang sudah dikemukakan di
atas, mereka juga berpendapat bahwa perkawinan tersebut
punya tujuan-tujuan tertentu yang ingin diwujudkan oleh
kedua calon suami istri. Di antara tujuan tersebut yang paling
penting adalah membentuk keluarga bahagia dan
memperoleh keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tujuan tersebut agak sulit diperoleh bila seluruh urusan
perkawinan diserahkan kepada wanita, karena seperti yang
telah disebutkan di muka, wanita biasanya cepat dipengaruhi
oleh perasaan yang dapat membawa kepada tindakan yang
bersifat subjektif bila dibandingkan laki-laki.11 Kesimpulan
semacam ini agak sulit dipertahankan kebenarannya, karena
tidak semua wanita memiliki sifat seperti tersebut di atas.
Demikian juga sebaliknya, tidak semua laki-laki dapat
menghindari dari sifat tersebut.

Berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas,


mazhab Hanafi menetapkan sebaliknya. Menurut mereka
perempuan dibolehkan bertindak sebagai wali dalam
pernikahan. Mereka memasukkan keluarga zawil arham ke
dalam urutan wali nikah secara nasab setelah urutan wali
berdasarkan ‘ashabah seperti disebutkan jumhur ulama di
atas, dan bahkan menurut mazhab ini urutan tersebut
dianggap tidak penting.

Ibnu al-Hummam dalam kitabnya Syarh Fath Al-Qadir


menjelaskan pendapat Abu Hanifah yang dapat diperincikan
sebagai berikut; seorang perempuan yang dewasa dan
berakal berhak mengurus langsung akad nikah dirinya sendiri
baik gadis atau pun janda. Akan tetapi yang lebih baik
masalah tersebut diserahkan kepada walinya. Begitu juga

11 Bandingkan, Sayid Sabiq, Fiqh Sunnat, h. 9.


<<73>>
halnya Abu Yusuf salah seorang murid Abu Hanifah,
membolehkan wanita mengawinkan diri sendiri dengan
syarat ada kafaah12 antara dia dengan calon suaminya. Kalau
perkawinan itu bukan didasarkan kepada kafaah, maka wali
‘ashabah melalui hakim boleh mengajukan pembatalan
perkawinan tersebut.13

Keterangan di atas menunjukkan bahwa tidak ada


keberatan perkawinan yang dilaksanakan perempuan sendiri
atas dasar kafaah dan atas mahar mitsil. Hak pembatalan wali
disebabkan kekurangan syarat tersebut bukanlah berarti
perkawinan yang dilaksanakan oleh wanita tidak sah, karena
mungkin saja perkawinan yang kurang syarat tersebut di atas
tidak dibatalkan oleh wali. Begitu juga andai kata wali
menggunakan hak pembatalan terhadap perkawinan
tersebut, suatu alternatif lain juga dapat terjadi yaitu pada
hakikatnya akad nikah yang dilaksanakan perempuan itu
sudah terlaksana. Paling kurang di sini dapat dinyatakan
walaupun wali telah membatalkannya dengan alasan tersebut
di atas, dia (perempuan) masih dapat dianggap punya hak
dalam masalah tersebut.

12 Secara bebas arti lughawi “kafaah” adalah “sama,

sederajat atau sebanding”. Tetapi dimaksudkan “kufu” dalam


perkawinan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya; sama
dalam kedudukan, sebanding dalam tingkatan sosial dan sederajat
dalam akhlak serta kekayaan. Semua ulama sependapat
menetapkan soal kufu ini perlu mendapat perhatian dalam
perkawinan.. Perbedaan mereka ditemukan di sekitar ukuran kufu
itu sendiri. Ada yang mengatakan kufu itu hanya diukur dengan
sikap jujur dan budi pekerti balk semata, demikian pendapat
mazhab Maliki. Ulama-ulama mazhab lainnya membuat ukuran kufu
selain dua tersebut di atas juga termasuk ke dalamnya keturunan,
madeka, agama, pekerjaan dan tidak cacat. Lihat uraian lebih lanjut,
Sayid Sabiq, Ibid., h. 38-55.
13 Ibn Al-Humam, Syarh Fath Al-Qadir, h. 277 dan 286.

<<74>>
Selanjutnya Ibnu ‘Abidin dan al-Kasani ketika
menjelaskan pendapat Hanafi menyebutkan, perwalian
berlaku terhadap perempuan yang sudah dewasa dan berakal
dalam pelaksanaan akad nikahnya adalah berbentuk nadb
(anjuran), artinya perempuan lebih baik menguasakan akad
nikahnya kepada wali yang laki-laki. Lebih baik di sini berarti
tidak mesti wali (laki-laki) yang hams bertindak terhadap
pernikahannya. Dalam hal ini dia sendiri pun dibolehkannya.
Apabila terhadap sendiri telah dibolehkan, terhadap orang
lain pun sudah termasuk ke dalamnya.14

Berikutnya Dalil-dalil yang dikemukakan


oleh Aliran Kedua
Menyangkut dengan ayat 221 surat al-Baqarah, Ibnu
Rusyd ketika menjelaskan pendapat Hanafi menyebutkan,
khitab dalam ayat tersebut lebih pantas dipahami tujuannya
kepada waliyul amri dibandingkan kepada wali. Hal ini
didasarkan kepada keumuman ayat tersebut kurang sesuai
pemahamannya dikhususkan kepada wali. Lagi pula menurut
beliau di dalam ayat tersebut tidak pernah sedikit pun
disinggung jenis-jenis wali, sifat dan urutannya dan perwalian
nikah kalau memang diyakini khitab tersebut khusus
ditujukan kepada wali seperti yang disebutkan jumhur ulama
di depan.15

Melihat kepada keterangan di atas dapat dinyatakan,


keumuman ayat tersebut yang khitabnya tidak hanya
ditujukan kepada wali tetapi mencakup ke dalamnya semua
orang termasuk waliyul amri agak lebih mudah
dipertahankannya, mengingat tidak ada dalil yang tegas yang
khusus menunjukkan kepada pihak-pihak tertentu. Namun

14 Ibn ‘Abidin, Haasyiyat Raad al-Muhtaar, Juz III, (Mesir:


Mushthafa al-Baabii Al-Halabii, 1966), h. 55-56; al-Kasani, Badaai’
al-Shanaai’, Juz II, (Mesh: Mathba’at Al-Islaamiyyat, 1328 H), h, 247.
15 Ibn Rusyd, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayai al-

Muqtashid, h. 11.
<<75>>
suatu hal yang perlu ditinjau kembali terhadap pendapat Ibnu
Rusyd, yang mengatakan pengkhususan ayat tersebut
dikarenakan di dalamnya tiada penjelasan tentang jenis-jenis
wali, sifat dan urutannya dalam perwalian nikah. Hal ini
disebabkan karena hampir semua ayat Al-Qur’an kecuali
masalah warisan khitabnya banyak yang bersifat umum.

Begitu juga berkaitan dengan ayat 230 surat al-


Baqarah, Sayid Sabiq dan Ibnu Humam ketika menjelaskan
pendapat Hanafi menyebutkan ayat tersebut berisi tentang
perkawinan yang erat kaitannya dengan perempuan.
Menghubungkan pekerjaan kepada pelakunya menurut kedua
ulama tersebut menunjukkan dialah sebagai pelaku yang
sebenarnya, dan dialah yang berhak menangani pekerjaan
tersebut dibandingkan dengan orang lain.16

Selanjutnya ayat 232 surah al-Baqarah oleh jumhur


ulama menganggap khitab tersebut khusus ditujukan kepada
wali, mazhab Hanafi dalam memahaminya lebih bersifat
umum. Menurut mazhab terakhir disebutkan ada beberapa
kemungkinan yang dapat dipahami dari tujuan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut yaitu:

1. Seperti apa yang telah dipahami oleh jumhur ulama di


atas, dengan catatan kemungkinan ini lebih sempit bila
dibandingkan dengan dua kemungkinan berikutnya.
2. Juga tujuan khitab tersebut ditujukan pada wali (laki-
laki), tetapi dalam pengertian yang berbeda dan apa
yang dipahami oleh jumhur ulama di atas. Di sini lebih
ditekankan kepada wali yang menghalangi perempuan
yang ada di bawah perwaliannya untuk melangsungkan
akad sendiri dengan laki-laki yang Ia senanginya.
3. Larangan yang terkandung dalam khitab tersebut
ditujukan kepada suami, dalam arti para suami dilarang
menghalangi istri yang sudah ditalak dan telah selesai

16 Sayid Sabiq, hlm. 14; Ibn al-Hurnam, h. 257-258.


<<76>>
masa iddahnya kawin dengan laki-laki yang ia
senanginya.
Pertimbangan ini didasarkan kepada kalimat “Wa
idzaa tallaqtum Al-Nisaa” yang terdapat di awal ayat
berkaitan dengan Suami.17

Semua penjelasan di atas menurut mazhab Hanafi,


erat kaitannya dengan pengertian yang terkandung dalam
ayat 234 surat al-Baqarah:

‫ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ أ َْرﺑـَ َﻌﺔَ أَ ْﺷ ُﻬ ٍﺮ‬


ِ ‫ﺼ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـﻔ‬
ْ ‫وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳـُﺘَـ َﻮﻓـ ْﱠﻮ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ َوﻳَ َﺬرُو َن أَزْوَاﺟًﺎ ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠ‬
‫ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ‬ِ ‫َو َﻋ ْﺸﺮًا ج ﻓَِﺈذَا ﺑـَﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻓَـ َﻌ ْﻠ َﻦ ِﰲ أَﻧْـﻔ‬
[٢٣٤:٢] ٌ‫ُوف ج وَاﻟﻠﱠﻪُ ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﺧﺒِﲑ‬ ِ ‫ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬
Maksudnya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) memberikan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat”.

Akad nikah yang dilaksanakan oleh perempuan


sendiri dengan laki-laki yang sejodoh dan bermahar mitsil
menurut mazhab Hanafi, termasuk ke dalam pengertian
makruf yang terdapat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu,
nikah tersebut patut dianggap sah, karena merupakan
perbuatan yang makruf, artinya sesuai dengan yang
dikehendaki wali.18

17 Al-Kasani, Badaai al-Shanaai, Juz II, Cet. I, (Mesir:

Mathba’ah al-’Ilmyyat, 1328 H), h. 247.


18 Ibid, h. 248.

<<77>>
Keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa mazhab
Hanafi tidak menganggap khusus khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat tersebut di atas ditujukan kepada wali.
Karena keumuman ayat tidak mungkin dipahami secara
khusus tanpa ada dalil lain yang menjelaskannya.

Kembali kepada hadits-hadits yang menurut jumhur


ulama dianggap sebagai dalil persyaratan wali dalam
pernikahan oleh mazhab Hanafi menganggap sebaliknya.
Menurut mazhab terakhir disebutkan kesahihan hadits-hadits
tersebut masih dipertanyakan kebenarannya, baik dilihat dan
segi matan atau dan segi sanadnya. Kelemahan dan segi
matan adakalanya terjadi disebabkan oleh adanya lafadz-
lafadz yang saling berbeda antara satu hadits dengan hadits
lainnya. Atau pun menurut pemahaman mereka terjadi ingkar
rawi antara satu hadits dengan hadits lain. Seperti praktek
Aisyah (istri Nabi) itu sendiri yang akan dijelaskan secara
lebih terperinci dalam uraian selanjutnya. Sedang kelemahan
dari segi sanad adakalanya disebabkan oleh tidak
bersambungnya antara satu perawi dengan perawi yang lain
atau pun antara satu perawi dengan perawi lainnya tidak
saling mengetahui terhadap riwayat tersebut.

Contoh, hadits yang berdasarkan dari Abu Hurairah


yang telah disebutkan di depan, menurut mazhab Hanafi
berlawanan dengan hadits yang berdasarkan hadits Ibnu
Abbas yang juga telah disebutkan di muka. Kalimat “al-
ayyimu” yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas diartikan
dengan “perempuan yang tidak punya suami baik masih
perawan atau sudah janda”. Pengertian semacam ini
menunjukkan orang perempuan selain anak kecil (belum
dewasa) terhadap pernikahannya lebih berhak atas dirinya
dibandingkan dengan wali. Sementara hadits Abu Hurairah
mengatakan perempuan yang mengawinkan diri sendiri
termasuk perbuatan zina. Apabila dalam satu masalah ada

<<78>>
dua dalil yang saling berlawanan, maka kedua dalil tersebut
tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum.19

Begitu juga halnya hadits yang berdasarkan dari Abu


Musa dan Aisyah, kelemahan kedua hadits tersebut tidak
hanya, karena berlawanan dengan praktik Aisyah sewaktu
mengawinkan Hafsah binti Abd Rahman dengan Munzir Ibn
Zuber yang di saat itu Abd Rahman berada di negeri Syam
(akan dijelaskan nanti), juga termasuk ke dalamnya sanad
kedua hadits tersebut masih diperdebatkan keshahihannya.20

Melihat kepada cara pemahaman jumhur ulama


terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang perwalian nikah
lebih mengarah kepada pemahaman isi kandungan nash,
karena pemahamannya lebih dititikberatkan kepada
pengkajian makna atau maksud yang terkandung dalam teks
nash tersebut tanpa memperhatikan kepada kemungkinan-
kemungkinan lain. Pemahaman ayat misalnya, lebih banyak
dipengaruhi oleh arti zhahir hadits-hadits yang berkenaan
dengan perwalian nikah, dan bahkan secara tersirat dapat

19 Ibid., h. 247; Ibnu al-Humam, h. 257; al-Sarakhsy, h. 12.


20 Menurut riwayat yang dikutip oleh mazhab Hanafi
perkawinan antara Hafsah dengan Munzir setelah Abd Rahman
pulang dan Syam tidak dibatalkannya. Penjelasan yang lebih
terperinci akan dijelaskan tersendiri dalam uraian berikutnya
menyangkut tanggapan empat mazhab terhadap hadits Aisyah
tersebut. Kelemahan hadits Aisyah yang mensyaratkan ada wall
dalam perkawinan-menurut keterangan Jaraij- ketika Ulayyah
menanyakan Zuhni (termasuk salah seorang perawi hadits
tersebut) tentang kebenaran hadits tersebut jawabannya tidak tahu.
Begitu juga kelemahan sanad hadits Abu Musa, Abu Ishak yang
dianggap orang yang paling terkenal di antara perawi-perawi hadits
tersebut dalam salah satu cabang sanad hadits itu tidak
dimasukkannya sebagai perawi. Menyangkut dengan kedudukan
hadits tersebut baik dan segi sanad atau matannya akan dijelaskan
secara lebih terperinci dalam uraian penalaran ulama terhadap
hadits-hadits nikah.
<<79>>
dikatakan adanya anggapan dan jumhur ulama bahwa hadits-
hadits tersebut sebagai pentakhshish ayat-ayat yang sifatnya
umum.

Sebaliknya pola yang ditempuh mazhab ‘Hanafi dalam


pengkajian nash baik al-Qur’an atau pun hadits sedikit agak
berbeda dari pola jumhur ulama. Pokok kajian lebih
diarahkan kepada pengertian nash secara menyeluruh dengan
ketentuan tidak hanya diperhatikan berbagai kemungkinan
yang terjadi antara satu nash dengan nash yang lain, tetapi
pertimbangan maksud atau illat yang terkandung dalam nash
juga termasuk ke dalamnya. Biasanya maksud dan illat
tersebut disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat.
Pola pemikiran semacam ini lebih terarah kepada penalaran
ta‘lili (penalaran berdasarkan kepada illat).

Selanjutnya akan Dilihat juga dari Segi Hadits Aisyah


yang Mengawinkan Hafsah yang Walinya di Negeri Syam
Kajian di sini lebih ditekankan pada penilaian mazhab
empat terhadap praktik Aisyah istri Nabi saw dalam
perwalian nikah. Hadits pokok yang menjadi kajian di sini
adalah hadits yang menceritakan Aisyah pernah
mengawinkan anak saudaranya Hafsah binti Abd Rahman
dengan Munzir Ibnu Zuber. Matannya menurut Imam Malik.21

‫وﺣﺪﺛﲏ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ أن ﻋﺎﺋﺸﺔ زوج‬


‫اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ زوﺟﺖ ﺣﻔﺼﺔ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ اﳌﻨﺬر ﺑﻦ اﻟﺰﺑﲑ‬
‫وﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻏﺎﺋﺐ ﺑﺎﻟﺸﺎم ﻓﻠﻤﺎ ﻗﺪم ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎل وﻣﺜﻠﻲ ﻳﺼﻨﻊ ﻫﺬا ﺑﻪ‬
‫وﻣﺜﻠﻲ ﻳﻔﺘﺎت ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻜﻠﻤﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ اﳌﻨﺬر ﺑﻦ اﻟﺰﺑﲑ ﻓﻘﺎل اﳌﻨﺬر ﻓﺈن ذﻟﻚ‬

21 Muhammad Zakaria, Aujaz al-Masalik ha Muwatta’ Imam

Malik, (tp.: Daar aI-Fikr, ttj, h. 40.


<<80>>
‫ﺑﻴﺪ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻓﻘﺎل ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﻷرد أﻣﺮا ﻗﻀﻴﺘﻪ ﻓﻘﺮت ﺣﻔﺼﺔ‬
‫ﻋﻨﺪ اﳌﻨﺬر وﱂ ﻳﻜﻦ ذﻟﻚ ﻃﻼﻗﺎ‬
Maksudnya: Dari Muhammad Ibn Abu Bakar al-Shiddiq
bahwa Aisyah istri Nabi Muhammad saw. telah mengawinkan
Hafsah binti Abd Rahman dengan Munzir Ibnu Zuber padahal
Ia (Abd Rahman,) berada di negeri Syam. Tatkala Ia datang
merasa kesal terhadap perbuatan (Aisyah) tersebut lantas
Aisyah memberitahukan (masalah tersebut) kepada Munzir
Ibnu Zuber. Masalah tersebut biar Abd Rahman yang
menyelesaikannya, jawab Munzir. Setelah itu Abd Rahman
berkata: aku tidak pernah menolak kebijaksanaan Aisyah
tersebut. Berdasarkan itu Hafsah (mengambil sikap untuk)
tetap bersama Munzir, dan tidak pernah terjadi talak. Hadits
ini diriwayatkan oleh Malik dan Abd Rahman Pin Qasim.

Mengenai sanad hadits ini tidak ditemukan penjelasan


secara lebih terinci. Perbedaan ulama-ulama hadits
ditemukan di sekitar pemahaman hadits. Menurut al-Bakhy
ada dua kemungkinan pemahaman isi yang terkandung dalam
hadits tersebut yaitu; (1). Aisyah sendiri yang melaksanakan
perkawinan tersebut. Riwayat ini dibantah oleh Ibnu
Muzayyan dengan alasan yang demikian itu berlawanan
dengan praktik ulama Madinah (amal ahlu Al-Madinah),
karena Imam Malik sendiri dan sejumlah fuqaha lainnya tidak
membolehkan wanita jadi wali nikah; (2). Sikap Aisyah
terhadap perkawinan tersebut hanya menetapkan mahar dan
kepentingan lainnya bukan bertindak sendiri sebagai wali.
Ada kemungkinan yang menjadi wali dalam perkawinan
tersebut salah seorang dan keluarga dekat (ashabah) Hafsah.
Tetapi dalam riwayat tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut
orang yang menjadi wali dalam pernikahan tersebut.22

22 Ibid.,
<<81>>
Dari uraian di atas dapat dinyatakan dikarenakan
kedua riwayat tersebut tidak disebutkan bukti secara konkrit
secara ilmiah sulit dipertahankan kebenarannya. Namun
menurut al-Mubarakfuri banyak ahli hadits termasuk ke
dalamnya Muslim mengatakan bahwa Abd Rahman dan Ibnu
Munzir termasuk perawi yang kuat, masing-masing di
kalangan sahabat dan tabi’in.23

Lebih lanjut al-Bakhy24 menjelaskan, perkawinan


antara Munzir Ibnu Zuber dengan Hafsah binti Abd Rahman
yang bapaknya (Abd Rahman) jauh di negeri Syam, menurut
mazhab Malik sama sekali tidak sah (tidak dibolehkan).
Karena di samping Hafsah saat perkawinan masih dalam
keadaan perawan juga termasuk ke dalamnya dikarenakan
bapak calon istri masih dalam keadaan hidup.25

Berbeda dari keterangan al-Bakhy di atas, al-Zarqany


juga termasuk salah seorang pensyarah kitab Muwatta’
menjelaskan tindakan Aisyah tersebut dianggap sah dan tidak
ada orang yang mewakilkan kepadanya, karena yang
demikian itu merupakan keistimewaan Aisyah sebagai istri
Rasulullah saw. Perwalian dalam perkawinan dikarenakan
walinya jauh (ghaib) tetap diperlukan andai kata yang
melaksanakannya bukan istri Rasulullah saw.26

Apabila mau dipertahankan kebenaran terhadap


kesimpulan yang menyatakan bahwa praktik Aisyah tersebut

23 Al-Mubarakfuri, h. 227.
24 Muhammad Zakaria, h. 40.
25 Keterangan al-Bakhy -dalam menjelaskan pendapat Imam

Malik- tentang tidak sahnya tersebut dikarenakan Hafsah masih


dalam keadaan perawan dan bapaknya jauh di negeri Syam di saat
perkawinan itu dilangsungkan kurang beralasan, mengingat Imam
Malik tidak pernah membolehkan wanita jadi wali terhadap
pernikahan Janda. Lihat, Ibid.
26 Al-Zarqany, Syarh Shahih Muwattak Imam Malik, Juz II,

(Beirut: Daar al-Fikr, tt.) h. 172.


<<82>>
benar telah terjadi dan bahkan merupakan suatu contoh
perkawinan yang diwalikan perempuan, baik karena alasan
bahwa itu merupakan keistimewaan Aisyah sebagai istri
Rasulullah saw atau pun karena di setiap penjelasan
menyangkut dengan perwalian nikah tidak pernah ada yang
menafikannya. Persoalan yang muncul, kenapa sebagian
ulama tidak pernah mempertimbangkan hadits ini sebagai
dasar hukum dalam penetapan wali nikah dan bagaimana
menghadapi hadits-hadits yang mensyaratkan adanya wali
dalam perkawinan yang juga kebanyakan berdasarkan dari
Aisyah sendiri. Kesimpulan semacam ini secara zhahir dapat
dinyatakan ada dua hal yang saling berlawanan yang
dilakukan oleh satu orang. Di satu pihak Aisyah mensyaratkan
laki-laki sebagai wali dalam perkawinan dan di pihak lain dia
sendiri melalui praktiknya menyatakan orang perempuan
dibolehkan menjadi wali dalam pernikahan (mengawinkan
Hafsah dengan Munzir).27

Melihat kenyataan di atas perbedaan pendapat yang


terjadi di kalangan ulama khususnya mazhab empat dalam
masalah perwalian merupakan hal yang wajar, terutama
tentang praktik Aisyah sendiri. Perbedaan pendapat tersebut
dapat diperinci sebagai berikut:

Berbicara hadits Aisyah tersebut di atas berarti


pembahasannya tidak terlepas tentang mutlak tidaknya laki-
laki dalam perwalian nikah. Jumhur ulama seperti tersebut di
depan menyatakan bahwa laki-laki merupakan syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Mereka mengakui bahwa Aisyah
pernah mengawinkan Hafsah binti Abd Rahman dengan
Munzir Ibnu Zuber di saat Abd Rahman berada di negeri
Syam. Akan tetapi mereka tidak mengakui kesalahan
perkawinan tersebut, karena terhadap perkawinan itu masih
memerlukan pengakuan Abd Rahman sewaktu ia pulang dari
Syam. Bahkan ada riwayat yang mengatakan ketidaksahan

27 Muhammad Zakaria, h. 40.


<<83>>
perkawinan tersebut bukan hanya sekedar belum mendapat
pengakuan dari Abd Rahman, tetapi rasa penyesalan dan
beliau termasuk dalam pemahaman hadits ini. Ditambah lagi
dengan sikap Munzir melalui anjuran Aisyah untuk
menyerahkan urusan perkawinannya kepada Abd Rahman
seperti yang terdapat dalam hadits, menunjukkan bahwa laki-
laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.28

Keterangan di atas menunjukkan bahwa perkawinan


ini baru dianggap sah setelah mendapat pengakuan dari wali,
dalam hal ini Abd Rahman. Kalau memang demikian halnya
praktik Aisyah tersebut sama sekali tidak berlawanan dengan
hadits-hadits lain yang mensyaratkan adanya wali dalam
perkawinan, seperti yang diasumsikan oleh mazhab Hanafi.

Andai kata kesimpulan ini mau dipertahankan


kebenarannya, persoalan yang muncul adalah tidak sah yang
dimaksudkan oleh jumhur ulama apakah perkawinan
tersebut belum terjadi sama sekali, atau dianggap sudah
terjadi tetapi belum sempurna, ataupun sudah terjadi tetapi
dihukumkan kepada talak. Perkawinan dianggap sudah jadi
dan tindakan Aisyah di sini sama dengan tindakan wali bila
maksud jumhur ulama tersebut diarahkan kepada dua yang
terakhir disebutkan. Akan tetapi andai kata maksud jumhur
diarahkan kepada maksud pertama disebutkan, maka
perkawinan baru dianggap sah melalui akad nikah yang baru,
dan ini berlawanan dengan matan hadits.

Di tempat lain al-Zarqany menyebutkan bahwa


perkawinan ini dianggap sah dan itu merupakan
keistimewaan Aisyah sebagai istri Rasulullah saw yang tidak
berlaku untuk orang lain.29 Kesulitan berikutnya muncul di
waktu membedakan mana perbuatan yang diistimewakan

28 AI-Sarakhsy, h. 172.
29 Ibid.,
<<84>>
untuknya dan mana yang bukan. Keadaan semacam ini dalam
penetapan hukum sering tidak ditemui kepastiannya.

Kembali kepada pendapat jumhur yang menyatakan


bahwa perkawinan antara Hafsah binti Abd Rahman dengan
Munzir Ibnu Zubir baru dianggap sah setelah adanya
pengakuan dari Abd Rahman, nampaknya pemikiran mereka
lebih banyak didasarkan kepada hadits-hadits yang
mensyaratkan laki-laki dalam perwalian nikah. Andai kata
laki-laki bukan merupakan syarat mutlak dalam perwalian
nikah, pengakuan dari Abd Rahman dalam hadits ini sama
sekali tidak diperlukannya, dan bahkan hadits-hadits tersebut
sebagai pengkhususan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan masalah nikah.

Berbeda dari pendapat jumhur di atas mazhab Hanafi


menetapkan sebaliknya. Menurut mereka adanya praktik
Aisyah yang diakui oleh semua ulama dalam hal ini jumhur
ulama seperti yang telah disebutkan di depan merupakan
salah satu sebab lemahnya hadits-hadits yang mensyaratkan
laki-laki dalam perwalian nikah untuk dijadikan sebagai
sumber hukum,30 di samping kedudukan sanad-sanad hadits
tersebut diperdebatkan ulama tentang keshahihannya.
Mereka tidak menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai
pengkhususan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan masalah nikah yang sifatnya umum.
Berpegang kepada dalil-dalil yang sifatnya umum dalam
menetapkan hukum lebih baik dibandingkan dengan dalil
khusus yang sifatnya lemah.31

30 Bahkan Hanafi beranggapan hadits Aisyah yang


berhubungan dengan perkawinan Hafsah dengan Munzir sebagai
nasikh terhadap hadits Aisyah yang mensyaratkan lelaki dalam
perwalian nikah atau sekurang-kurangnya dapat dianggap sebagai
ingkar rawi dalam ilmu mushthalah hadits lihat, Al-Mubarakfuri. h.
229.
31 Ibid., h. 232

<<85>>
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, ketidakmutlakan
laki-laki dalam perwalian nikah terhadap perempuan dewasa
dan berakal sehat menurut mazhab Hanafi, bukan semata-
mata didasarkan kepada adanya praktik Aisyah tersebut,
tetapi juga disebabkan oleh kesenangan mereka berpegang
kepada dalil yang sifatnya umum dalam hal ini Al-Qur’an, di
saat terjadi ta‘rudh (perlawanan) antara dua dalil dalam
masalah yang sama. Perbedaan mereka dalam penetapan
hukum pada dalil-dalil yang sama lebih banyak didasarkan
berbeda dalam penalaran nash-nash tersebut.

Dari keempat mazhab yang dikaji menyangkut dengan


perwalian nikah, perbedaan yang relatif menonjol ditemukan
di dalam mazhab Hanafi dibandingkan dengan ketika mazhab
lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Ketiga mazhab ini
sepakat menetapkan bahwa laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Wali yang mereka maksudkan adalah
kerabat laki-laki dihubungkan melalui garis laki-laki dengan
tertib prioritas tertentu seperti yang tersebut dalam urutan
wali nikah. Sedangkan mazhab Hanafi tidak menganggap laki-
laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah. Perempuan
menurut mereka boleh saja bertindak dalam pelaksanaan
akad nikah baik untuk kepentingan sendiri ataupun untuk
kepentingan orang lain.

Sebab utama yang mengakibatkan berbeda pandangan


merreka dalam masalah ini adalah berkisar pada cara melihat
nash itu sendiri, baik al-Qur’an ataupun hadits. Al-Qur’an
sebagai dalil pertama dipandang ulama dalam penetapan
hukum tidak menyebutkan secara jelas dan pasti tentang
perwalian nikah itu sendiri. Jumhur ulama menganggap ayat-
ayat yang berkenaan dengan masalah nikah tersebut
khitabnya khusus ditujukan kepada para wali (laki-laki). Kata-
kata nikah yang terdapat dalam ayat 221, 230, 232 dan 234
surat al-Baqarah dan ayat 34 dalam surat al-Nur selalu
dikaitkan kepada wali. Pengkaitan yang demikian me-
ngandung pengertian khitab (perintah dan larangan) yang
<<86>>
terdapat dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan khusus
kepada para wali bukan untuk selainnya. Dengan pengertian
para wali tidak boleh menghalangi perempuan yang ada di
bawah perwaliannya untuk kawin dengan laki-laki yang ia
senanginya.

Sebaliknya mazhab Hanafi tidak menganggap khitab


yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut khusus ditujukan
kepada para wali laki-laki, tetapi berlaku umum untuk semua
orang termasuk ke dalamnya para wali. Dengan pengertian
berbeda seperti yang dimaksudkan oleh jumhur ulama, yaitu
semua orang yang dimaksudkan oleh jumhur ulama, yaitu
semua orang termasuk ke dalamnya wali, tidak boleh
menghalangi perempuan untuk melaksanakan akad nikah
sendiri. Ketidakmutlakan laki-laki dalam perwalian nikah
yang lebih jelas menurut mereka dapat dilihat dalam urutan
wali yang telah disebutkan di depan.

Mengenai hadits yang berkenaan dengan pernikahan,


jumhur ulama menganggap sebagai penafsir keumuman ayat-
ayat tersebut di atas. Menurut mereka, hadits yang
menyatakan “orang perempuan tidak boleh mengawinkan
orang perempuan lain” merupakan dalil yang paling jelas
bahwa laki-aki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah,
yang tidak mungkin mengandung pengertian untuk selainnya.
Berbeda dengan Hanafi yang tidak menganggap hadits-hadits
tersebut sebagai penafsir atau pengkhususan. Hadits yang
sifatnya lemah (paling kurang tidak sahih) tidak dapat
dijadikan sebagai pengkhususan keumuman ayat-ayat
tersebut di atas. Mazhab ini lebih senang berpegang kepada
qiyas dan pada kepada hadits yang sifatnya lemah tersebut,
yaitu pembolehan wanita sebagai wali dalam pernikahan
diqiyaskan kepada jual beli dan pengurusan harta yang pada
dasarnya kedua hal tersebut dibolehkan wanita terlibat di
dalamnya. Di pihak lain mereka masih menganggap orang
yang lebih berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah
orang yang lebih mengetahui kemaslahatan nikah. Terhadap
<<87>>
hal ini tidak mesti laki-laki yang mengetahuinya, tetapi wanita
pun tidak tertutup kemungkinan untuk mengetahui masalah
tersebut.

Memperhatikan cara keempat mazhab melihat dan


memahami ayat-ayat dan hadits-hadits di atas dapat
dinyatakan bahwa jumhur ulama lebih tepat dikatakan masuk
ke dalam kelompok penalaran bayani, karena dalam
pemahamannya lebih terikat kepada arti zahir (tersurat) dan
tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya qiyas.
Selebihnya juga dalam masalah ini jarang sekali memper-
timbangkan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Atau dengan kata lain jarang sekali menjadi perhatian mereka
keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya. Setiap
ayat dikaitkan langsung kepada hadits, sehingga hubungan
ayat tersebut dengan ayat lainnya menjadi tidak
dipertimbangkan, bahkan dilepaskan sama sekali. Begitu juga
cara ini dipraktikkan dalam memahami hadits. Sedangkan
mazhab Hanafi lebih tepat dikatakan masuk ke dalam
kelompok ta‘lili dan ishtishlahi, karena cenderung menguji
riwayatnya dengan akal dan kemaslahatan. Keterkaitan
antara ayat dengan ayat dan hadits dengan hadits yang lebih
diutamakan dalam mengambil sesuatu kesimpulan dengan
mempedomani kepada illat yang mungkin dicapainya di
samping mempertimbangkan kemaslahatan yang terkandung
dalam illat tersebut.

B. Perspektif Mufassir
Dalam Al-qur’an ada beberapa ayat yang berkenaan
dengan wali dalam perkawinan yang menjadi perbedaan
pendapat ulama tafsir dalam memahaminya. Sebagian
mufasir menganggap khithab (perintah atau larangan)yang
terkandung di dalam ayat-ayat tersebut khusus ditujukan
kepada wali, yang berarti laki-laki merupakan syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Sedangkan sebagian mufasir lainnya
menganggap khithab dimaksud ditujukan kepada semua

<<88>>
orang termasuk wali di dalamnya, yang sekaligus terpahami
laki-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah .
Ayat-ayat yang menjadi pokok kajian pemahaman
ulama tafsir adalah ayat-ayat yang menjadi pegangan
fuqaha’ dalam menetapkan kedudukan dan kriteria wali
dalam pernikahan yaitu: ayat 221, 230, 232 dan 234 surat al-
Baqarah; ayat 32 surat al-Nur yaitu sebagai berikut :

‫َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣ ﱠﻦ وَﻷَََﻣﺔٌ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَﺔٌ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸ ِﺮَﻛ ٍﺔ َوﻟ َْﻮ‬ ‫َﺎت ﺣ ﱠ‬ ِ ‫وََﻻ ﺗَـْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ‬
‫َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا َوﻟَ َﻌْﺒ ٌﺪ ﻣ ُْﺆِﻣ ٌﻦ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸﺮ ٍِك‬ ‫ﲔ ﺣﱠ‬ َ ِ‫أَ ْﻋ َﺠﺒَْﺘ ُﻜ ْﻢ وََﻻ ﺗـُْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ‬
‫ِﻚ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ َن إ َِﱃ اﻟﻨﱠﺎ ِر وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ إ َِﱃ اﳉَْﻨﱠ ِﺔ وَاﻟْ َﻤ ْﻐ ِﻔَﺮةِ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ‬َ ‫َوﻟ َْﻮ أَ ْﻋ َﺠﺒَ ُﻜ ْﻢ أُوﻟَﺌ‬
‫ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮُو َن‬
ِ ‫َﲔ آَﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ‬
ُ‫َوﻳـُﺒـ ﱢ‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
‫َﱴ ﺗَـْﻨ ِﻜ َﺢ زَْوﺟًﺎ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ‬
‫ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ َِﲢ ﱡﻞ ﻟَﻪُ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌ ُﺪ ﺣ ﱠ‬
‫ْﻚ ُﺣﺪُو ُد اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬﻤَﺎ أَ ْن ﻳـَﺘَـﺮَا َﺟﻌَﺎ إِ ْن ﻇَﻨﱠﺎ أَ ْن ﻳُﻘِﻴﻤَﺎ ُﺣﺪُوَد اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺗِﻠ‬
‫ﻳـُﺒَـﻴﱢـﻨُـﻬَﺎ ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳـَ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن‬
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi

<<89>>
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.

‫ﻀﻠُﻮُﻫ ﱠﻦ أَ ْن ﻳـَْﻨ ِﻜ ْﺤ َﻦ أَزْوَا َﺟ ُﻬ ﱠﻦ إِذَا‬ ُ ‫َوإِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَـﺒَـﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻌ‬
‫ﻆ ﺑِِﻪ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟْﻴـَﻮِْم‬ ُ ‫ِﻚ ﻳُﻮ َﻋ‬ َ ‫ُوف ذَﻟ‬ ِ ‫ﺗَـﺮَاﺿَﻮْا ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬
‫َﺧ ِﺮ ذَﻟِ ُﻜ ْﻢ أ َْزﻛَﻰ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻃْ َﻬ ُﺮ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن‬ِ ‫ْاﻵ‬
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

‫ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ أ َْرﺑـَ َﻌﺔَ أَ ْﺷ ُﻬ ٍﺮ‬


ِ ‫ﺼ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـﻔ‬
ْ ‫وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳـُﺘَـ َﻮﻓـ ْﱠﻮ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ َوﻳَ َﺬرُو َن أَزْوَاﺟًﺎ ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠ‬
‫ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ‬ِ ‫َو َﻋ ْﺸﺮًا ج ﻓَِﺈذَا ﺑـَﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻓَـ َﻌ ْﻠ َﻦ ِﰲ أَﻧْـﻔ‬
[٢٣٤:٢] ٌ‫ُوف ج وَاﻟﻠﱠﻪُ ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﺧﺒِﲑ‬
ِ ‫ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiar-

<<90>>
kan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

َ‫ﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛ ْﻢ َوإِﻣَﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻳَﻜُﻮﻧُﻮا ﻓـُ َﻘﺮَاء‬


َ ِِ‫َوأَﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻷَﻳَﺎﻣَﻰ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاﻟﺼﱠﺎﳊ‬
‫َاﺳ ٌﻊ َﻋﻠِﻴ ٌﻢ‬
ِ ‫ﻀﻠِ ِﻪ وَاﻟﻠﱠﻪُ و‬
ْ َ‫ﻳـُ ْﻐﻨِ ِﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ِﻣ ْﻦ ﻓ‬
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.
Adapun ulama-ulama tafsir yang dipilih di sini
adalah: al-Qurthubi, al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Qasimi,
Ibn al-‘Arabi, al-Jashsas dan Rasyid Ridha, dengan
pertimbangan uraian mereka paling kurang dapat terwakili
keempat mazhab tersebut di depan.
Pokok perhatian ulama dalam membahas ayat-ayat di
atas dikelompokkan kepada (1) sebab turun ayat (2) arti dan
cakupan lafazh yang digunakan untuk menunjuk krietria
wali dalam pernikahan.
Mengenai sebab turun ayat di sini lebih ditekankan
kepada ayat yang turunnya lebih erat kaitan dengan masalah
perwalian nikah. Selebihnya hanya dikaji cakupan lafazh
dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut di
atas.
Dari beberapa kitab tafsir yang dibaca, dari kelima
ayat tersebut di atas, sebab turunnya yang erat kaitan
dengan masalah tersebut adalah ayat 232 surat al-Baqarah.
Imam al-Thabari melukiskan beberapa riwayat, sebab
turunnya dan dapat dipercaya kebenarannya adalah
berkaitan dengan Ma’qil Ibnu Yasar yang menghalangi

<<91>>
saudara perempuannya yang ditalak suami untuk kembali
lagi seperti sediakala.32 Hal ini sesuai dengan hadits
berikut:
Matannya menurut Abu Dawud.33
‫ ﻛﺎﻧﺖ ﱃ أﺧﺖ ﲣﻄﺐ إﱃ ﻓﺄﺗﺎﱏ‬: ‫ﻋﻦ اﳊﺴﻦ أن ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﻳﺴﺎر ﻗﻞ‬
‫اﺑﻨﻌﻢ ﱃ ﻓﺎﻧﻜﺤﺘﻬﺎ إﻳﺎﻩ ﰒ ﺗﺮ ﻛﻬﺎ ﺣﱴ اﻧﻘﻀﺖ ﻋﺪ ﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﺧﻄﺒﺖ إﱃ‬
‫ ﻓﻔﻰ ﻧﺰﻟﺖ‬: ‫ ﻗﺎل‬,‫ واﷲ ﻻ أﻧﻜﺤﻬﺎ )ﻻ اﻧﻜﺤﺘﻬﺎ( أﺑﺪا‬,‫ﻻ‬:‫ﳜﻄﺒﻬﺎ ﻓﻘﻠﺖ‬
‫ ﻓﻜﻔﺮت ﻋﻦ ﳝﻴﲎ ﻓﺄ ﻧﻜﺤﻬﺎ إﻳﺎﻩ‬:‫ ﻗﺎل‬. . . ‫ﻫﺬﻩ اﻻ ﻳﺔ‬
Maksudnya : dari al-Hasan, bahwa Ma’qil Ibn Yasar
berkata: saya punya seorang saudara perempuan yang
senang kepada saya, tatkala anak paman datang, maka saya
kawinkan dengannya (saudara perempuan tersebut)
kemudian ia ceraikannya dengan talak raj’i dan dibiarkan-
nya sampai selesai ‘iddah. Manakala saya mau mengawini-
nya datanglah anak paman tadi untuk mengawininya lagi
(kembali lagi), lantas saya mengatakan (kepadanya) “demi
Allah saya tidak akan mengawinkannya lagi (denganmu)
untuk selamanya”, maka turunlah ayat . . . ia berkata saya
berikan kafarat sumpah lalu saya kawinkan dia dengan anak
paman tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan
Abu Dawud.
Para ulama hadits sering mempertanyakan kekuatan
hadits yang didalam sanadnya dijumpai Ubad Ibn Rasyid.
Menurut keterangan Abu Dawud hadits itu lemah, tetapi
beliau tidak menyebutkan lebih lanjut sebab kelemahan
riwayatnya. Hal ini didukung oleh Nasaiy yang menyatakan

32Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, Daar al Fikr, Beirut,


1954. Hal. 489
33
Ahmad al Sahar Nafuri, Bazl al Juhuud fii hil Abi Dawud,
Juz IX, Daar al Kutub al Ilmiyyat, Bairut, hal. 89
<<92>>
hadits yang berdasarkan dari riwayatnya memang tidak
kuat.34
Ulama sepakat menetapkan bahwa hadits tersebut
sebagai sebab turun ayat 232 surat al-Baqarah. Menurut
keterangan Ahmad al-Sahar Nafuri salah seorang pensyarah
sunan Abu Dawud hadits ini termasuk salah satu hadits
persyaratan wali dalam pernikahan menurut ulama yang
berpendapat demikian.35 Mengenai percabangan sanad dapat
dilihat dalam taswir berikut ini :

Ma'qil Ibn Yasar

Hasan

Abbad Ibn Rasyid Yunus

Muhammad Ibn Musanna Umar Hafash Ibn Abdullah

Ibn Abi Amir

Abu Dawud Bukhari

Sanad hadits tentang sebab turunnya ayat 232


surat al-Baqarah.36

34
. Ahmad Sahar Nafuri, hal. 89
35
Ahmad Sahar Nafuri, hal. 91
36
Ibn Qayyim al Jauziyyat, Aun al Ma’buud Syarh Sunan Abi
Daawud, Jilid VI, Daar al Fikr, hal. 109; Ahmad Sahar Nafuri, Bazl al
<<93>>
Sejalan dengan pendapat di atas - -melihat kepada
sebab turunnya ayat--al-Thabari juga menyatakan yang pasti
ayat tersebut berkenaan dengan larangan para wali
menghalangi atau menimbulkan kemudharatan terhadap
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kembali
lagi dengan bekas suaminya atau kawin dengan laki-laki lain
yang ia sukai.37
Abubakar al-Jashsas seorang mufasir bermazhab
Hanafi berkesimpulan ayat tersebut diturunkan khusus untuk
para wali tidak mesti demkian. Menurut beliau kesimpulan
semacam itu sulit dipertahankan kebenarannya, disebabkan
khitab ayat tersebut terlalu umum mencakup semua orang
termasuk suami.38 Kesimpulan ini sama seperti yang
dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manaar.
Menurut beliau walaupun turun ayat tersebut dikarenakan
sebab yang khusus tetapi hukumnya berlaku umum.
Termasuk ke dalamnya suami yang menghalangi isteri yang
sudah diceraikan untuk kawin dengan laki-laki lain yang ia
sukainya.39
Berkenaan dengan arti dan cakupan lafazh yang
digunakan untuk menunjuk perwalian nikah dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Al-Qurthubi menjelaskan kalimat “wa laa tunkihuu
al-musyrikiin” yang terdapat dalam ayat 221 surat al-
Baqarah khitabnya khusus ditujukan kepada wali. Oleh
karena itu -- menurut beliau -- wali dilarang mengawinkan

Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX, hal. 89; Ibn Hajar al ‘Ashqalany, Fath
al Baary, Juz XI, Musthafa al Baabii al Halaby, Mesir, 1959, hal. 91
37
Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 487
38
Al Jashsas, Ahkaam al Qur’an, Juz II, Mathba’at Abd
Rahman, Kairo, hal. 101
39
Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, Maktabat al Qahirat,
hal. 401-402
<<94>>
anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya dengan
laki-laki musyrik. Bahkan ayat tersebut merupakan dasar
utama disyaratkan wali dalam perkawinan. Hadits-hadits
yang berkaitan dengan perkawinan dianggap sebagai
penafsir ayat tersebut. Hal ini terlihat ketika ia memahami
hadits “al-ayyimu ahaqqu bi nafsiha”. Beliau mengartikan
perkawinan itu harus didasarkan atas keredhaan orang
perempuan, bukan berarti perempuan tersebut yang berhak
melaksanakan akad nikah sendiri.40 Keterangan tersebut
menunjukkan wali (laki-laki) sebagai syarat mutlak dalam
perwalian nikah.
Sejalan dengan penafsiran di atas apa yang
dikemukakan Ibn al-‘Araby --seorang mufassir yang
bermazhab Maliki -- berikut ini. Kebenaran kesimpulan di
atas cukup beralasan, karena dengan didummahkan “ta”
(dibariskan dihadapan) pada kalimat “wa laa tunkihu”--
secara jelas-- menunjukkan ada pihak lain yang mengurus
masalah nikah, dalam hal ini wali bukan perempuan itu
sendiri.41
Beralih kepada ayat 230 surat al-Baqarah, kalimat
“nikah” yang terdapat dalam ayat tersebut --menurut Ibn al-
‘Araby-- mengandung dua pengertian yaitu; (1) diartikan
dengan “akad” dalam bentuk yang tersurat (2) diartikan
dengan jimak dalam bentuk yang tersirat. Andaikata
pengertian diartikan dalam bentuk pertama, maka --
berdasarkan ayat tersebut - perempuan boleh mengawinkan
diri sendiri karena nikah tersebut diidhafatkan kepadanya.
Akan tetapi kalau diartikan dalam bentuk yang kedua, maka
kandungan ayat tersebut berarti perempuan kapanpun tidak
boleh mengawinkan diri sendiri ataupun orang lain karena
40
Al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III, Daar al
Kitaab al ‘Araby, 1967, hal. 72-73
41
Ibn al ‘Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz,
Isaa al Baabii al Halabii, 1950, hal. 197
<<95>>
zhahir ayat tidak menunjukkan demikian. Dalam hal ini
beliau lebih condong kepada pengertian kedua, dengan
alasan hadits-hadits yang berkaitan dengan nikah
mendukung kearah tersebut.42
Berbeda dengan pemahaman di atas, al-Jashsas
berpendapat sebaliknya. Penafsirannya lebih condrong pada
bentuk pertama bahkan pengertian semacam itulah yang
dikehendaki oleh ayat. Menurut beliau ada dua kalimat
dalam ayat tersebut yang mendukung kesimpulannya yaitu;
(1) kalimat “hatta tahkina zaujan ghairah” menunjukkan
pengertian bahwa yang melangsungkan akad nikah adalah
perempuan sendiri, dan (2) Kalimat “falaa junaaha
‘alaihimaa an yataraa ja’a” diartikan dengan suami isteri
yang telah terjadi perceraian punya hak untuk ruju’ (kembali
lagi kepada perkawinan semula) tanpa memerlukan kepada
wali.43
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perbedaan
penafsiran kedua penafsir tersebut besar kemungkinan
disebabkan oleh dua faktor, (1) perbedaan dalam
mengartikan kalimat yang dianggap sebagai kunci
pemahaman ayat. Satu pihak lebih mementingkan arti secara
zhahir (tersurat), sementara di pihak lain lebih
mementingkan arti secara tersirat; (2) sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang mereka anut.
Hal ini dapat dilihat kepada kebiasaan kedua penafsir dalam
memahami nash. Ibn al-‘Araby seorang mufassir yang
bermazhab Maliki -- dalam tulisan ini dimasukkannya
kedalam kelompok jumhur--kebiasaan dalam penafsiran
nash lebih mengarahkan kepada arti yang tersurat. Akan
tetapi di sini -- besar dugaan -- kecondongan penafsirannya
kepada arti yang tersirat disebabkan latar belakang mazhab

42
Ibn al Arabi, hal. 197
43
Al Jashash, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
<<96>>
yang dianutnya (tidak membolehkan wanita menjadi wali
dalam pernikahan). Begitu juga sebaliknya al-Jashsas--
penafsir bermazhab Hanafi--kebiasaannya menafsirkan nash
lebih condong kepada arti yang tersirat tetapi di sini
sebaliknya.
Beralih kepada penafsiran ayat 232 surat al-
Baqarah.Ulama tafsir sepakat menetapkan bahwa kata “al-
‘dal” yang terdapat dalam kalimat “falaa ta’dhuluu hunna”
mengandung arti “al-habs (menghambat), al-man’
(menghalangi) dan al-tadhyiiq (menyukarkan)”. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam menentukan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut.
Ibn al-‘Araby menilai ayat tersebut berkenaan dengan
larangan Allah terhadap para wali yang menghalangi
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kawin
dengan laki-laki lain yang ia sukai. Menghalangi kawin di
sini berarti wali tidak mau (enggan) mengawinkan
perempuan tersebut dengan laki-laki yang ia sukainya.
Andaikata perampuan punya hak untuk mengawinkan diri
sendiri, tentu tidak mungkin ada larangan “menghalangi”
yang terdapat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu tepatlah
dikatakan bahwa khitab ayat tersebut khusus ditujukan
kepada wali yang tidak mau mengawinkan anak perempuan
yang ada di bawah perwaliannya.44 Sejalan dengan
penafsiran di atas, al-Qurthuby juga mengatakan walaupun
ada orang yang mengatakan bahwa khitab tersebut ditujukan
kepada suami yang menghalangi bekas isterinya kawin
dengan laki-laki lain agak sulit dipertahankan kebenarannya,
karena kalau keadaannya demikian -- melihat kepada sebab
turun ayat -- tidak mungkin larangan tersebut ditujukan

44
Ibn al ‘Araby, hal. 197
<<97>>
kepada Ma’qil kalau saudaranya dapat melaksanakan akad
nikah sendiri tanpa adanya (Ma’qil).45
Dua penafsir berikutnya al-Zamakhsyary dan Rasyid
Ridha menegaskan ada dua kemungkinan tujuan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut; (1) dilihat dari segi turun
ayat ditujukannya kepada wali; (2) bila dikaitkan dengan
kalimat “wa idzaa tallaqtum al-nisaa’” yang terdapat
dipermulaan ayat menunjukkan larangan tersebut ditujukan
kepada suami. Keduanya tidak menegaskan mana yang lebih
benar dari kedua altelnatif tersebut.46 Namun dilihat dari
segi cara penafsiran keduanya dapat dinyatakan bahwa
penafsirannya masih berkisar pada perempuan tidak punya
hak untuk mengurus sendiri masalah pernikahannya.
Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang telah
disebutkan di atas diberikan oleh al-Jashsas. Menurut beliau
ayat tersebut merupakan dasar utama tentang pembolehan
wanita mengurus dan melaksanakan akad nikah sendiri, di
samping ayat-ayat lain sebagai pendukungnya. Bahkan
beliau membantah pendapat yang mengatakan bahwa
perempuan tidak punya hak mengurus pelaksanaan akad
nikah. Dia tidak mementingkan tujuan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut; kepada siapapun khitab itu
ditujukan pengertiannya tetap seperti tersebut di atas. Ada
dua kalimat--sebagai dasar pertimbangannya--yang dapat
mendukung kearah pemikiran yang disebutkan. Kalimat
pertama “falaa ta’dhuluuhunna an yankihna
azwaajahunna” dipahami bahwa perempuan tidak boleh
dihalangi untuk melaksanakan akad nikah sendiri dengan
laki-laki pilihannya. Kalimat kedua “al ma’ruf” diartikan
dengan “sekufu” atau “sejodoh” dan “mahar misil”. Dua
45
Al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III, hal.
158-159
46
Al Zarkhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, al intsyaarat, Taheran,
hal. 369; Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, hal. 401-402
<<98>>
kalimat tersebut secara keseluruhan beliau pahami
“seorangpun tidak punya hak menghalangi perkawinan yang
dilaksanakan oleh perempuan sendiri atas dasar sejodoh dan
bermahar misil”. Kalau khitab tersebut ditujukan kepada
wali misalnya -- secara mukhalafah -- berarti wali baru
punya hak untuk menghalangi atau membatalkan
perkawinan tersebut melalui hakim bila bukan dengan laki-
laki yang sejodoh dengan perempuan tersebut dan juga tidak
dengan mahar misil.47
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, perbedaan
penafsir dalam memahami ayat tersebut dikarenakan
berbeda mereka dalam mengnisbahkan nikah itu sendiri. Al-
Jashsas nikah tersebut dinisbahkan kepada perempuan
dengan pertimbangan dua kalimat tersebut di atas. Jadi
penafsiran ayat yang dilakukannya lebih bersifat
menyeluruh. Sedangkan penafsiran-penafsiran lainnya --
menyangkut dengan ayat-ayat tersebut -- nikah itu
dinisbahkan kepada wali. Oleh karena itu laki-laki
merupakan syarat mutlak untuk sahnya pernikahan.
Pemahaman seperti ini lebih erat kaitannya dengan pendapat
jumhur ulama. Sebaliknya pemahaman dalam bentuk
pertama lebih mengacu kepada pendapat mazhab Hanafi.
Beralih kepada ayat 234 surat al-Baqarah.Kunci
pokok yang menjadi pemahaman ulama-ulama tafsir ayat
dalam tersebut adalah kalimat “falaajunaaha ‘alaikum fii
maafa’alnaa fii anfusinnaa bi al ma’ruuf”. Tiga mazhab --
al-Thabary, Ibn al-‘Araby dan al-Qurthuby --48sepakat

47
Al Jahshas, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
48
Kendatipun dia mengatakan bahwa khitab tersebut berlaku
untuk semua orang, tetapi pada hakikatnya juga bertujuan kepada wali.
Hal ini terlihat jelas tatkala ia memahami kalimat-kalimat berikutnya
dalam ayat tersebut. Bahkan suatu bukti yang meyakinkan di tempat lain
ia pernah menegaskan yang berwenang mengurus masalah tersebut
<<99>>
menetapkan bahwa khitab yang terkandung dalam kalimat
“falaa junaaha ‘alaikum” adalah ditujukan kepada para
wali. Begitu juga kalimat “fii maa fa’alna”mereka
maksudkan dengan “perkawinan” dan kalimat “bi al
ma’ruuf” semua perbuatan yang diizinkan syara’ berkaitan
dengan perkawinan seperti memilih calon suami,
menentukan mahar dan sebagainya, kecuali melaksanakan
akad, karena itu hak wali.49
Dari keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa tidak
ma’ruf dan berlawanan dengan ayat apabila masalah
pelaksaan nikah dikuasakan kepada wanita.
Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang
dikemukakan di atas diberikan oleh Zamakhsyary. Menurut
beliau khitab yang terkandung dalam kalimat “falaa
junaaha ‘alaikum” mencakup semua orang islam baik
pimpinan, maupun seluruh masyarakat islam. Sedangkan
kalimat “fii maa fa’alna bi al-ma’ruuf”--yang dipahami
oleh penafsir terdahulu dengan segala perbuatan yang ada
kaitannya dengan nikah-- menurut pemahamannya adalah
segala perbuatan dan tindakan yang sesuai dengan keinginan
syara’, tidak terkecuali yang berkaitan dengan nikah.
Dengan demikian para pimpinan dan seluruh orang Islam
merasa berdosa apabila seorang perempuan yang baru
selesai dari iddah wafat suaminya mengerjakan seluruh
perbuatan yang dibenci syara’.50
Melihat kepada penafsiran yang diberikan oleh al-
Zamakhsyari di atas --besar dugaan-- beliau tidak
menganggap ayat ini berhubungan dengan perwalian nikah.

adalah para wali, al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III,


hal. 187
49
Al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 516; Ibn al Araby,
Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz I, hal. 212; Al Qurthuby, Al
Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III, hal. 187
50
Al Zamakhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, hal. 372
<<100>>
Andaikata kesimpulan ini mau dipertahankan kebenarannya
tak ada salahnya kalau dikatakan bahwa dalam perkawinan
beliau masih menganggap laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Hal ini jelas terlihat bila
dibandingkan dengan penafsirannya berkenaan dengan ayat
232 di belakang.
Terhadap penafsiran yang diberikan oleh penafsir di
atas di bantah oleh al-Jashsas. Menurut beliau keumuman
khitab yang terkandung dalam ayat tersebut tercakup ke
dalamnya akad nikah yang dilaksanakan oleh wanita sendiri.
Kalimat “falaajunaaha ‘alaikum fii maa fa‘alna fii
anfusinna bial-ma’ruuf” masih dapat diartikan dengan wali
tidak ada hak campur tangan terhadap segala perbuatan yang
dikerjakan oleh perempuan yang baru selesai iddahnya asal
saja tidak di benci syara’, termasuk ke dalamnya akad nikah.
Persyaratan wali (laki-laki) dalam akad nikah berlawanan
dengan ayat ini. Terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa dalam masalah perkawinan hak seorang perempuan
yang berkisar pada penentuan calon suami dan kadar
maskawin, tidak terhadap pelaksaan akad nikah tertolak
dengan alasan wali sama sekali tidak dapat melaksankan
akad nikah tersebut tanpa persetujuan seorang perempuan.
Penentuan calon suami dan maskawin sama sekali tidak
punya artinya apabila perkawinannya tidak terlaksana.51
Dari uraian di atas dapat dinyatakan pengkhususan
khitab yang terkandung dalam ayat tersebut kepada
perwalian nikah dan hal-hal yang berkaitan dengannya
seperti perempuan hanya punya hak untuk menentukan
calon suami dan kadar maskawin, tidak selainnya
(melangsungkan akad nikah) -- laki-laki sebagai syarat
mutlak dalam perwalian nikah -- tanpa menyebutkan dalil
lain sebagai pendukung sulit dipertahankan kebenarannya,

51
Al Jashash, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
<<101>>
karena keumuman ayat tidak menghendaki demikian. Begitu
juga sebaliknya dikarenakan keumuman khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut menganggap pembahasan
perwalian ini beralawanan dengan ayat tersebut.
Beralih kepada penafsiran surat al-Nur ayat
32.Sasaran utama yang menjadi kajian penafsiran ayat
tersebut adalah kalimat “wa ankihuu al-ayaamaa minkum”.
Dari beberapa kitab tafsir yang dibaca kebanyakan ulama
tafsir mengartikan kata “al-ayyimu” kepada “orang yang
hidup sendirian baik laki-laki atau perempuan, sudah pernah
kawin atau belum (laki-laki yang tidak punya isteri dan
sebaliknya)”52 kecuali Ibn al-‘Araby. Menurut beliau kata
tersebut lebih dapat diartikan kepada perempuan yang tidak
bersuami baik karena sudah cerai atau belum kawin sama
sekali.53
Menyangkut dengan kata “ankihuu” ulama tafsir
berbeda pendapat tentang khitab yang terkandung dalam
kata tersebut. Al-Qasimy, al-Qurthuby dan Ibn al-‘Araby
menganggap khitab yang terkandung dalam kata tersebut
ditujukan khusus untuk para wali. Dibandingkan dengan al-
Qasimy, Ibn al-‘Araby lebih terperinci menjelaskan masalah
tersebut.
Menurut beliau walaupun ada orang yang mengata-
kan khitab yang terkandung dalam kata tersebut ditujukan
kepada suami, tertolak dengan alasan kata “wa akinhuu”
dengan memakai “hamzat” tidak bisa ditujukan kepada

52
Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, Isa al Babii al
Halabii, Mesir, 1959, hal. 4516; al Zamakhsyary, al Kasysyaaf, Juz III,
hal. 63; Al jahshash, Ahkaam al Qur’an, Juz III, hal. 319; al Thabary,
Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 125 dan al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam
al Qur’an, Juz XII, 239, hal. 239
53
Ibn al Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III,
hal. 1364
<<102>>
suami tanpa ada dalil yang menjelaskannya.54 Akan tetapi
al-Tharaby dan al-Jashsas mengatakan khitab tersebut
masing-masing ditujukan kepada seluruh orang mukmin dan
kepada semua orang tanpa kecuali.55
Melihat kepada pengertian kata “al-ayyimu” dan
“akinhuu” yang ditafsirkan di atas perlu dicatat bahwa ada
kemungkinan ayat tersebut tidak termasuk dalam katagori
ayat perwalian nikah bila dilihat dari segi tujuan khitab
ditujukan kepada semua orang, dan pengertian kata “al-
ayyimu” semua orang yang hidup sendirian baik laki-laki
atau perempuan; yang sudah pernah kawin atau belum
seperti yang dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir di atas.
Layaknya dapat dikatakan bahwa ayat tersebut berkenaan
dengan anjuran kawin terhadap laki-laki yang tidak punya
isteri dan sebaliknya, baik sudah pernah kawin atau belum.
Pengkhususan keumuman khitab yang terkandung dalam
ayat tersebut kepada para wali dan orang-orang perempuan
yang tidak bersuami tanpa menyertai dalil lain sebagai
mukhassisnya seperti yang dipahami oleh al-Qasimy dan
Ibn al-‘Araby memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kembali kepada penafsiran yang dilakukan mufasir-
mufasir di depan terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan
nikah dapat dinyatakan --secara umum-- penafsiran mereka
dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang dianutnya. Ibn
al-‘Araby misalnya walaupun dalam beberapa ayat yang
ditafsirkannya menyatakan bahwa khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah di depan khusus ditujukan kepada
para wali (ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 32 surat al-

54
Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, hal.4517; Ibn al
Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III, hal. 1364 dan
hal. 1367
55
Al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 126; Al Jashash,
Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 320

<<103>>
Nur), tetapi di pihak lain masih terbuka kemungkinan bahwa
khitab dalam ayat nikah ditujukan kepada selain wali;
seperti ketika ia menafsirkan ayat 230 surat al-Baqarah. Hal
seperti ini juga diikuti oleh penafsir-penafsir lainnya.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan
perbedaan yang terjadi di kalangan para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan
sama seperti yang terjadi di kalangan ulama-ulama fiqih
berkisar antara apakah khitab ayat-ayat tersebut khusus
ditujukan kepada para wali dalam mengurus pernikahan
anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya atau
ditujukan kepada semua orang termasuk wali kedalamnya.
Di sini yang dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat
yang terjadi di kalangan mufasir dan fuqaha’ dalam
memahami ayat-ayat tersebut wajar sekali, karena sifatnya
terlalu umum.
Dari semua uraian dan penjelasan di atas dapat
djiklasifikasikan berikut ini. Keumuman lafazh yang
terdapat dalam ayat-ayat nikah seperti yang telah dijelaskan
di depan merupakan salah satu factor penyebab terjadi
perbedaan pendapat ulama tafsir dalam memahami ayat-
ayat nikah.Ulama tafsir yang dimaksud menganggap khitab
yang terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut khusus
ditujukan kepada wali, maka laki-laki merupakan syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya jika khitab yang
terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut tidak khusus
ditujukan kepada wali dalam arti untuk semua orang--
termasuk perempuan di dalamnya-- maka laki-laki bukan
syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Di samping itu, Keterikatan para mufasir dengan
mazhab yang mereka anut juga merupakan factor tersendiri
yang dapat mempengaruhi mufasir dalam menafsirkan ayat-
ayat nikah dimaksud. Mufasir yang bermazhab Hanafi
mengaatakan khithab yang tersebut di dalam ayat-ayat nikah
<<104>>
dimaksud tidak khusus ditujukan kepada para wali, maka
laki-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Sebaliknya mufasir yang bermazhab selain Hanafi --Maliki,
Syafii dan Hanbali-- khithab yang terkandung dalam ayat-
ayat nikah di atas khusus ditujukan kepada para wali, maka
laki-laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
C. Perspektif Muhaddis
Ada beberapa hadits yang berkenaan dengan wali
dalam pernikahan yang menjadi perbedaan pendapat
Ulama hadits dalam memahami matan dan sanad hadits
itu sendiri. Perbedaan pendapat tersebut sekaligus
berimplikasi kepada penentuan kriteria wali nikah.
Sebagian mereka berpendapat laki-laki merupakan
syarat mutlak dalam perwalian nikah, Sementara
sebahagian lainnya berpendirian sebaliknya yaitu laki-
laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Penjelasan di atas ditemukan dua perbedaan
yang prinsipil yang saling berlawanan antara satu
dengan lainnya. Di satu pihak mengatakan wanita sama
sekali tidak punya hak untuk menjadi wali dalam
pernikahan sementara dipihak lain berpendapat
sebaliknya. Wanita bukanlah hal yang mustahil menjadi
wali dalam pernikahan. Kedua pendapat tersebut
masing-masing bedasarkan kepada dalil-dalil yang
mereka pegang.
Uraian berikut ini ingin melihat lebih jauh sebab-
sebab terjadi perbedaan ulama hadis dalam memahami
matan dan sanad hadis yang berkaitan wali dalam
pernikahan.
Dalam bagian ini akan dikaji Hadits-Hadits yang
berkaitan dengan perwalian nikah berdasarkan
pemahaman shahabat dan ulama pensyarah Hadits.
Kajian ini lebih memberi tekanan pada segi pemahaman
<<105>>
terhadap matan (teks) Hadits, terutama dalam ke-
dudukan sebagai dalil kedua setelah al-Qur’an. Namun
begitu sanad akan dicantumkan sebanyak yang bisa
diperoleh dan penilaian para rawi tentang Hadits yang
diriwayatkan akan dicantumkan pula. Kritik sanad akan
diberikan terhadap tokoh yang diperselisihkan,
sekiranya hal tersebut akan mempengaruhi nilai Hadits.
Hadits - Hadits tersebut adalah :
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang
berdasarkan dari Abu Musa :
Matannya menurut al-Turmuzi; 56
‫ ﻻ ﻧﻜﺎح إﻻ‬: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ اﰉ ﻣﻮ س ﻗﺎل‬
‫ﺑﻮﱃ‬
Maksudnya; dari Abu Musa ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda : tiada sah nikah tanpa wali.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad Abu
Daud, al Turmuzi, Ibn Majat dan Hakim.
Al Turmuzi menilai Hadits ini hasan shahih. Akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kesahihan
Hadits tersebut disebabkan beberapa segi; (1) al-
Turmuzi menganggap shahih semua riwayat yang
berdasarkan kepada Abu Ishaq, kecuali riwayat Syu’bah
dan al-Sauri. Keberatan terhadap dua orang tersebut
yang disampaikan al-Turmuzi, karena keduanya
bersamaan waktu dan tempat ketika mendengar Hadits
dari Abu Ishaq,57 di sini berarti semua riwayat yang
berdasarkan Abu Ishaq tersebut shahih. Dengan

57 Menurut keterangan al-Turmizi, Syu’bah mengakui pernah


mendengar pertanyaan dari al-Saury pada Abu Ishaq tentang kebenaran
Hadits ini diterima dari Abu Burdah, dan Abu Ishaq mengiyakannya; al-
Mubarakfury., hal. 230.
<<106>>
demikian keshahihan hadits tersebut masih dapat
diragukannya;58 (2) al-Turmuzi juga mengakui lemah
riwayat yang tidak berdasarkan kepada Abu Ishaq
(langsung kepada Abu Burdah) dalam arti sanadnya
terputus; (3) dalam riwayat Abu Dawud terjadi
kekeliruan sanad pada: Yunus,Ismail dan Abu Burdah
dari satu riwayat Yunus dan Ismail bersama - sama
meriwayatkan Hadits pada Abu Ishaq. Seakan-akan
dalam sanad tersebut ada dua Burdah.59 Padahal bila
dilihat dalam sanad al-Turmuzi tidak dijumpai dua orang
Abu Burdah.60

Al Turmizi
Berdasarkan penilaian-penilaian di atas barang
kali boleh dikatakan sanad Hadits itu lemah. Dengan
demikian kualitas hasan shahih yang diberikan al-
Turmuzi dianggap terlalu tinggi. Selayaknya diturunkan
ke tingkat yang lebih rendah.
Di samping Hadits Abu Musa tersebut di atas, ada
Haditst lain dari Aisyah yang berkaitan dengan wali
nikah :
Matanya menurut Abu Dawud:61
58 Ibn Qayyim al-Jauziyyat, Aun al-Ma’buud Syarh Sunan Abi
Daawud.,Jilid IV, Daar al-Fikr, hal. 102.
59 Hal ini terjadi karena dalam satu riwayat, Abu Dawud
menyatakan Yunus pernah berjumpa dengan Abu Burdah. Bahkan di
tempat lain secara tegas beliau mengakui kelemahan Hadits tersebut;
lihat, Ahmad al-Sahar Nafuri,. Bazl al-Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz
IX.,Daar al-Kutub al-Ilmiyyat, Bairut hal. 82.
60 Ibn Qayyim al-Jauziyyat,. hal. 101-102, al-
Mubarakfuri,Tuhfah al Awazi bi Syarh Jami’ al Turmuzi., hal. 228;
Ahmad al-Sahar Nafuri, Bazl al-Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX.,Daar
al-Kutub al-Ilmiyyat, Bairut, hal. 80.
61 Ahmad al Sahar Nafuri, hal. 79
<<107>>
‫ أﳝﺎ اﻣﺮأة‬: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ إذن ﻣﻮاﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎ ﺣﻬﺎ ﺑﺎ ﻃﻞ ﺛﻼ ث ﻣﺮات ﻓﺈن د ﺧﻞ ﺎ‬
.‫ﻓﺎﳌﻬﺮ ﳍﺎ ﲟﺎ أﺻﺎب ﻣﻨﻬﺎ ﻓﺈن اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ ﻻ وﱃ ﻟﻪ‬
Maksudnya : dari Aisyah (Isteri Nabi), Rasulullah saw.
bersabda: siapapun di antara perempuan
yang menikah tanpa seizin walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya
batal. Jika laki-laki telah
menyenggamainya, maka ia (perempuan)
berhak atas maharnya, karena ia telah
menghalalkan kehormatannya. Jika pihak
wali enggan menikahkannya, maka
penguasa (hakim) lah yang bertindak
menjadi wali terhadap orang yang tidak
ada walinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
dan Ibn Majat. Mengenai percabangan sanadnya dapat
dilihat dalam taswir nomor 2, dimana Al-Turmuzi
menilai Hadits ini sebagai Hadits hasan, bahkan Ibn
Hibban dan Hakim menilainya shahih. Akan tetapi
ulama-ulama Hadits lainnya masih meragukan
keshahihan Hadits tersebut. Keraguan itu terjadi pada
Zuhri. Pernyataan tersebut sangat berkembang di
kalangan ulama Hadits. 62
Dari satu segi -- menurut riwayat -- Ibn Juraij
pernah berjumpa dengan Zuhri dan menanyakannya
Hadits tersebut, beliau menjawab; “Saya tidak tahu”.
Jawaban tersebut, - menurut ilmu Hadits — dapat

62 Ahmad al-Sahar Nafuri, hal. 79; Ibn Qayyim Al-Jauziyyat,

hal. 98; Al-Mubarafuri, hal. 226


<<108>>
melemahkan kebenaran riwayatnya.63 Akan tetapi al-
Turmuzi, Ibn Hiban dan Hakim - untuk membantah
keraguan tersebut -- masih menganggap kejadian itu
tidak mempengaruhi nilai keshahihan Hadits. Karena
tidak seorangpun dari ulama lain yang mengatakan
demikian dari Ibn Juraij kecuali Ibn Ulayyah sendiri.
Pada hal Hadits ini diriwayatkan oleh segolongan ahli
Hadits dari Zuhri, tetapi mereka tidak menyebutkan
keterangan tersebut darinya. Andai kata keterangan dari
Zuhri itu benar, juga masih belum dapat dijadikan alasan
untuk melemahkan Hadits ini, karena orang yang
meriwayatkan dari zuhri itu termasuk pribadi - pribadi
yang jujur; di antaranya Sulaiman Ibn Musa. Begitu juga
mencatatkan nilai Hadits andai kata Zuhri lupa terhadap
dirinya, sebab tak ada orang yang dapat terpelihara dari
kelupaan, demikian tambahan penjelasan mereka.64
Melihat kepada keterangan tentang pembenaran
Hadits ini yang diberikan oleh ulama-ulama tersebut
kurang beralasan, karena pada hakikatnya mereka
mengakui adanya kejadian tersebut, dan dengan
demikian keshahihan Hadits dimaksud pantas
diragukannya.
Di pihak lain juga ditemukan sorotan ulama
tentang kebenaran Hadits tersebut. Ibn Qayyim al-
Jauziyyat salah seorang pensyarah Sunan Abi Dawud --
melalui riwayatnya dari al Qa’naby -- mengatakan bahwa

63Al-Mubarakfuri, Tuhfa Al-Ahwazi Bi Syarh Jami’ Al-


Turmizi, Juz IV, Muhammad Abdul Muksin Al-Maktabi, Hal, 227.
, hal. 228; al-Baihaqi,Sunan Al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr,
Bairut, hal, 106; Ibn Qayyim al-Jauziyat, hal. 99; al-Sha’any,Subul al-
Salam, Juz II, Dahlan, Bandung, hal. 118.
64 Al-Mubarakfuri, hal. 229; Al-Baihaqy,hal. 106; Ibn Qayyim

Al Jauziyyat, hal. 99
<<109>>
Jakfar (Ibn Rabi’ah) tidak pernah mendengar Hadits ini
dari Zuhri. Hal ini didukung oleh penjelasan al-Baihaqy
dari Ibn Mu’in, bahwa riwayat yang berdasarkan Ibn
Rabi’ah lemah, karena diragukan keadaan pribadinya.
Bahkan menurut beliau Zuhri dianggap mengingkari
riwayatnya dengan ucapan “idza zawwajat al mar at bi
ghairi izni waliyyi haajaaza”.65 Pendapat ini dipegang
oleh Al-Sya’by, Abu Hanifah dan Zufar.
Ahmad Al-Sahar Nafuri salah seorang pensyarah
sunan Abi Dawud --sehubungan dengan masalah
tersebut -- juga menjelaskan : kelemahan Hadits ini di
samping disebabkan adanya keraguan riwayat yang
terjadi pada Zuhri seperti tersebut di atas juga termasuk
ke dalamnya dikarenakan hadits ini berlawanan dengan
prakteknya sendiri, yaitu hadits tentang perkawinan
anak saudaranya (Hafsah bnt Abd Rahman dengan
Munzir Ibn Zuber).66
Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan nilai
shahih yang diberikan Ibn Hibban dan hakim serta nilai
hasan yang diberikan oleh al-Turmuzi -- walaupun tidak
dikatakan lemah -- masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Kedua hadits tersebut di atas sangat populer dan
sering dikutip jumhur ulama sebagai dalil bahwa laki-
laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah
dibanding-kan dengan hadits – hadits nikah lainnya.
Kelihatannya jumhur ulama merasa mantap dengan isi
hadits ini, karena persyaratan laki-laki sebagai wali
untuk sahnya nikah tegas sekali disebutkan di dalam
hadits tersebut.

65 Ibn Qayyim Al-Jauziyyat, hal. 101; Al-Baihaqy, hal. 108


66 Ahmad Al-Sahar Nafuri, hal. 85.
<<110>>
Menyangkut dengan hadits Ibn Abbas yang
dijadikan sebagai dasar adanya wali (laki-laki) dalam
pernikahan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Matannya menurut Abu Dawud:67
‫ اﻷ ﱘ أﺣﻖ‬: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل‬
.‫ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ وﻟﻴﻬﺎ واﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄ ﻣﺮوا ﰱ ﻧﻔﺴﻬﺎ وإذ ﺎ ﺻﻤﺎ ﺎ‬
Maksudnya : dari IbnuAbbas, Rasulullah Saw bersabda:
janda lebih berhak atas dirinya dari pada
wali (dalam urusan perkawinan), orang
bikir (perawan) diminta izin padanya,
izinnya adalah diam. Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Turmizi
dan Ibn Majah.
Al-Turmizi menilainya hasan shahih, sedang yang
lainnya tidak memberi komentar. 68
Dalam riwayat Ahmad Ibnu Banbal kata “al
ayyimu” tertulis “al Sayyibu”. Sedangkan dalam riwayat
Al Tumuzi kata “tusta’ maru” tertulis dengan “Tusta’
dzanu”.69 Di tempat lain ada riwayat Abu Dawud yang
berdasarkan Ibnu Abbas yang maksudnya sama seperti
ini yaitu :70
. . . ‫ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻮ ﱃ ﻣﻊ اﻟﺜﻴﺐ أﻣﺮ‬
Maksudnya: Wali tidak punya hak campur tangan
terhadap perkawinan Janda . . .

67 Ahmad al-Sahar Nafuri hal. 105


68 Ibn Qayyim Al-Jauziyyat,., hal. 124; Al-Mubarakfuri,., hal.
244; Ahmad Al-Sahar Nafuri. hal. 105.
69 Ahmad al- Sahar Nafuri, hal. 108; Al-Mubarakfuri, op.cit.,

hal. 224
70 Ibn Qayyim Al-Jauziyyat, hal. 127

<<111>>
Dari beberapa kitab Hadits yang dibaca tidak ada
komentar ulama-ulama Hadits tentang sanad Hadits
ini.Oleh karena itu dilihat dari segi sanadnya, Hadits ini
lebih kuat dibandingkan dengan hadits – hadits yang
sebelumnya berkaitan dengan perwalian nikah. Bahkan
di dalam shahih muslim ditemukan hadits seperti ini
yang matannya sedikit agak berbeda.71
‫ ﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻷ ﱘ‬: ‫ ﻗﻞ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ أﰉ ﻫﺮ ﻳﺮة ﻗﻞ‬
‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ وﻛﻴﻒ‬: ‫ ﻗﺎﻟﻮا‬,‫ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄ ﻣﺮ وﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻟﺒﻜﺮ ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄذن‬
‫ أن ﺗﺴﻜﺖ‬: ‫إذ ﺎ ؟ ﻗﺎل‬
Maksudnya : Dari Abu Hurarah r.a., ia berkata :
Rasulullah Saw. bersabda: jangan nikahi
(perempuan) janda sebelum diminta
persetujuannya, dan jangan pula dinikahi
(perempuan) bikir sebelum diminta izin.
Mereka (para sahabat) bertanya kepada
Rasulullah bagaimana izinnya ? Rasulullah
menjawab (izinnya ) adalah diam.
Komentar ulama-ulama hadits tentang hadits
tersebut ditemukan di sekitar pemahaman matannya
yang satu sama lain terjadi perbedaan pendapat, ulama
Hijaz --kata beberapa pensyarah hadits -- kata “al
ayyimu” dipahami secara zhahir yang artinya sama
dengan arti kata “al-sayyibu” yaitu perempuan yang
sudah tidak punya suami lagi baik karena meninggal
atau karena cerai. Menurut mereka pengertian semacam
ini didukung oleh hadits “al-sayyibu ahaqqu bi nafsiha”

71 Al-Nawawy, Syarh Shahih Muslim, Juz IX, Mushthafa Al-

Baabii Al-Halabii, Mesir, hal. 203


<<112>>
seperti telah disebutkan di depan kata al-sayyibu tidak
mungkin dipahami selain dari itu.72
Dari pengertian tersebut, satu segi dapat dipahami
hak ijbar wali masih berlaku terhadap perempuan
dewasa yang masih bikir, dan sebaliknya di segi lain wali
tidak punya hak ijbar terhadap perempuan janda yang
masih kecil (belum dewasa). Di sini berarti janda atau
tidaknya seseorang perempuan yang lebih dipentingkan
dalam menentukan dewasa seseorang perempuan.
Kesulitan yang timbul bagaimana cara membuktikan
janda tidaknya seseorang: dan bagaimana cara
menentukan hak wali terhadapnya kalau perawannya
hilang bukan karena alasan kawin seperti berzina atau
hal-hal lain yang dapat hilangnya perawan tersebut.
Pendapat ini berkembang di kalangan jumhur fuqaha.
Terhadap pengertian tersebut di atas dibantah
oleh ulama-ulama Kuffah. Menurut mereka kata tersebut
lebih tepat diartikan kepada “perempuan yang tidak
punya suami baik sudah pernah kawin atau belum bikir
ataupun janda” bahkan Ibnu Jarir mengatakan termasuk
ke dalam pengertian ini orang laki-laki ataupun
perempuan yang tidak punya pasangan.73 Pengertian
semacam ini menunjukkan hak ijbar wali berlaku hanya
terhadap perempuan yang masih kecil (belum dewasa)
baik sudah kawin ataupun belum, di sini berarti
perawan tidaknya seseorang perempuan tidak

72 Abd Rahman al-Sayuthy, Faid al-Qadiir fii Syarh jaami’


Shaghiir, Juz III Daar al-Fikr, 1937, hal. 198; al-Nawawy, hal. 204; al-
Mubarakfuri, Tuhfa Al-Ahwazi Bi Syarh Jami’ Al-Turmizi, Juz IV,
Muhammad Abdul Muksin Al-Maktabi., hal. 244; Ibn Qayyim Al-
Jauziyyat, hal. 124.
73 Ibn Qayyim Al Jauziyyat,hal. 124.; Ahmad Al-Sahar Nafuri.,

hal. 169; al-baihaq., hal. 203.


<<113>>
dipentingkan dalam menentukan kedewasaannya, tetapi
yang lebih penting adalah sampai umur wanita tersebut.
Pendapat ini lebih banyak berkembang di kalangan
ulama-ulama Mazhab Hanafi. Terhadap pendapat Ibnu
Jarir di atas bila di kaitkan dengan perwalian nikah
kurang beralasan, karena semua ulama sepakat
menetapkan terhadap laki-laki tidak diperlukan wali
dalam melaksamakan akad nikah.
Selanjutnya para ahli hadits juga berbeda
pendapat dalam memahami kalimat “ahaqqu bi nafsiha
min waliyyiha”. Secara umum ulama hadits sepakat
menetapkan bahwa antara wali dan perempuan sama-
sama punya hak dalam pelaksanaan akad nikah. Suatu
perkawinan dianggap tidak sempurna apabila kedua hak
tersebut tidak dipenuhi. Perbedaan mereka terjadi di
sekitar apakah hak di sini dimaksudkan dengan izin atau
izin dan akad sekaligus.74
Ulama yang mengartikan hak tersebut dengan
“izin” berarti yang berhak melaksanakan akad nikah
adalah wali, sedang hak perempuan di sini adalah
memberi izin atau menyetujuinya. Dengan demikian
pelaksanaan perkawinan tanpa wali (laki-laki) dan tanpa
izin dari perempuan tidak sah.75 Pendapat inilah yang
berkembang di kalangan jumhur fuqaha’ yang
menganggap laki-laki sebagai syarat mutlak dalam
perwalian nikah. Hal ini menurut mereka sesuai dengan
hadits-hadits lain tentang persyaratan wali dalam
pernikahan, begitu juga sebaliknya perempuan punya
hak untuk melangsungkan akad nikah tanpa

74 Al-Nawawy, Syarh Shahih Muslim, Juz IX, Musthafa Al


Babii Al-Halaby, Mesir,.hal. 203
75 An-Nawawi., hal. 204; al-Mubarakfuri, hal. 254; Ibn Qayyim

al-Jauziyyat, hal. 125.


<<114>>
sepengatahuan wali bila hak tersebut dipahami
“dengan“izin dan akad sekaligus. Hak wali di sini hanya
mengajukan pembatalan nikah melalui hakim jika
perkawinan yang dilaksanakan perempuan dengan laki-
laki yang tidak sejodoh dan bukan mahar misil.76
Pendapat seperti ini berkembang di kalangan mazhab
Hanafi.
Di sisi lain ada sebuah riwayat tentang praktek
Aisyah Isteri Nabi Saw dalam perwalian nikah. Hadits
yang menceritakan Aisyah pernah mengawinkan anak
saudaranya Habsah Binti Abdurrahman dengan Munzir
Ibnu Zuber, lengkapnya sebagai berikut :
Matannya menurut Imam Malik.77
. ‫ﻋﻦ ﳏﻤﺪاﺑﻦ أﰉ ﺑﻜﺮ اﻟﺼﺪﻳﻖ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ أن ﻋﺎﺋﺸﺔ زوج اﻟﻨﱮ ص‬
‫ زوﺟﺖ ﺣﻔﺼﺔ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ اﳌﻨﺬرﺑﻦ اﻟﺰﺑﲑ وﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻏﺎﺋﺐ ﺑﺎ‬.‫م‬
‫ وﻣﺜﻠﻰ ﻳﺼﻨﺢ ﺑﻪ ﻫﺬا وﻣﺜﻠﻰ ﻳﻔﺘﺎت ﻋﻠﻴﻪ‬: ‫اﻟﺸﺎم ﻓﻠﻢ ﻗﺪم ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎل‬
‫ ﻓﺈن ذﻟﻚ ﺑﻴﺪ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻓﻘﺎل‬: ‫ﻓﻜﻠﻤﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ اﳌﻨﺬرﺑﻦ زﺑﲑ ﻓﻘﺎل اﳌﺬر‬
‫ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﻷرد أﻣﺮا ﻗﻀﻴﺘﻪ ﻓﻘﺮت ﺣﻔﺼﺔ ﻋﻨﺪ اﳌﻨﺬر وﱂ ﻳﻜﻦ‬: ‫ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ‬
.‫ذﻟﻚ ﻃﻼ ﻗﺎ‬
Maksudnya: dari Muhammad Ibnu Abubakar Al-Shiddiq
bahwa aisyah Isteri Nabi Muhammad Saw, telah me-
ngawinkan Hafsah binti Abdul Rahman dengan munzir
Ibnu Zuber pada hal ia (abd Rahman) berada di Negeri
syam. Tatkala ia datang merasa kesal terhadap
perbuatan (Aisyah) tersebut lantas Aisyah memberitahu-
kan (Masalah tersebut) kepada Munzir Ibn Zuben.
76 Al-Nawawy,hal. 204.; Ibn Qayyim al-Jauziyyat. hal.125
77 Muhammad Zakaria, Aujaz Al Malik Ila Muwatta Imam
Malik, Dar Al Fikr, Hal. 40
<<115>>
Masalah tersebut biar Abd Rahman yang
menyelesaikannya, jawab munzir, setelah itu Abd Rahman
berkata : aku tidak pernah menolak kebijaksanaan Aisyah
tersebut. Berdasarkan itu Hafsah (mengambil sikap
untuk) tetap bersama Munzir, dan tidak pernah terjadi
talak, hadits ini diriwayatkan oleh Malik dari Abd
Rahman Ibn Qasim.
Mengenai sanad hadits ini tidak ditemukan
penjelasan secara lebih rinci. Perbedaan mereka (ulama-
ulama hadits) ditemukan di sekitar pemahaman matan
hadits. Menurut al-Bakhy ada dua kemungkinan
pemahaman isi yang terkandung dalam hadits tersebut
yaitu: pertama Aisyah sendiri yang melaksanakan
perkawinan tersebut. Riwayat ini di bantah oleh Ibn
Muzayyan dengan alasan yang demikian itu berlawanan
dengan praktek ulama Madinah (amal ahlu Al-Madinah),
karena Imam Malik sendiri dan sejumlah Fuqaha lainnya
tidak membolehkan wanita bertindak sebagai wali
nikah. Kedua, Sikap ‘Aisyah terhadap perkawinan
tersebut hanya menetapkan mahar dan kepentingan
lainnya bukan bertindak sendiri sebagai wali. Ada
kemungkinan yang menjadi wali dalam perkawinan
tersebut salah seorang dari keluarga dekat (‘Ashabah)
Hafsah. Tetapi dalam riwayat tersebut tidak dijelaskan
lebih lanjut orang yang menjadi wali dalam pernikahan
dimaksud.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan dikarenakan
kedua riwayat tersebut tidak disebutkan bukti secara
konkrit secara ilmiah sulit dipertahankan kebenarannya
namun menurut al-Mubarakfuri banyak ahli Hadits
termasuk ke dalamnya muslim mengatakan bahwa Abd
Rahman dan Ibn Munzer termasuk perawi yang kuat,
masing-masing di kalangan sahabat dan tabi’in.

<<116>>
Lebih lanjut Al Bakhy. Menjelaskan perkawinan
antara Hafsah binti Abdur Rahman dengan Munzir Ibn
Zuber yang bapaknya Abd Rahman jauh di negeri Syam
menurut mazhab Malik sama sekali tidak sah (tidak di
bolehkan). Karena disamping Hafsah saat perkawinan
masih dalam keadaan perawan juga termasuk ke
dalamnya dikarenakan bapak masih dalam keadaan
hidup.
Berbeda dari keterangan al-Bakhy diatas al
Zarqany juga termasuk salah seorang pensyarah kitab
Muwatta menjelaskan tindakan Aisyah tersebut
dianggap sah dan tidak ada orang yang mewakilkan
kepadanya, karena yang demikian itu merupakan
keistimewaan Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw.
Perwalian dalam Perkawinan dikarenakan walinya jauh
(Ghaib) tetap diperlukan andai kata yang melaksanakan-
nya bukan isteri Rasulullah Saw.
Apabila mau dipertahankan kebenaran terhadap
kesimpulan yang menyatakan bahwa perbuatan Aisyah
tersebut benar telah terjadi dan bahkan merupakan
suatu contoh perkawinan yang dilakukan perempuan
baik karena alasan bahwa itu merupakan keistimewaan
Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw. Ataupun karena di
setiap penjelasan menyangkut dengan perwalian nikah
tidak pernah ada yang menafikannya. Persoalan yang
muncul kenapa sebagian ulama tidak pernah memper-
timbangkan wali nikah dan bagaimana menghadapi
hadits-hadits yang kebanyakannya berdasarkan wali
dalam perkawinan yang juga kebanyakan berdasarkan
dari Aisyah sendiri. Kesimpulan semacam ini secara
zhahir dapat dinyatakan ada dua hal yang saling
berlawanan yang dilakukan oleh satu orang, di situ pihak
Aisyah mensyaratkan laki-laki sebagai wali dalam

<<117>>
perkawinan dan di pihak lain dia sendiri melalui
prakteknya menyatakan perempuan dibolehkan menjadi
wali dalam pernikahan (mengawinkan Hafsah dengan
Munzir).
Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan
perbedaan pendapat mereka dalam memahami matan
hadits tersebut disebabkan lafazhnya terlalu umum.
Keterkaitan jumhur ulama terhadap jalan pikiran
pertama tersebut di atas -- besar dugaan -- dikarenakan
hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang
disebutkan di depan dianggap sebagai pentakhsis
keumuman hadits ini.
Sebaliknya Mazhab Hanafi, disebabkan hadits-
hadits tersebut di depan tidak dianggap sebagai penafsir
hadits ini -- karena keshahihan sanad-sanadnya masih
diragukan kebenarannya -- maka kecondongan mereka
lebih terfokus kepada jalan pikiran kedua. Menurut
mareka adanya praktek Aisyah yang diakui oleh semua
ulama dalam hal ini jumhur ulama seperti yang telah
disebutkan di depan merupakan salah satu sebab
lemahnya hadits-hadits yang mensyaratkan laki-laki
dalam perwalian nikah untuk dijadikan sebagai sumber
hukum.78 Di samping kedudukan sanad-sanad hadits
tersebut dipertanyakan ulama tentang keshahihannya.
Mereka tidak menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai
pengkhusus terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang

78 Bahkan Hanafi beranggapan hadits Aisyah yang


berhubungan dengan perkawinan Hafsah dengan munzir sebagai nasikh
terhadap hadits Aisyah yang mensyaratkan lelaki dalam perwalian nikah
atau sekurang-kurangnya dapat dianggap sebagai inkar rawi dalam ilmu
mushthalah hadits lihat, Ibnu Al-Humam, , Al-Mubarakfuri , Tuhfa Al-
Ahwazi Bi Syarh Jami’ Al-Turmizi, Juz IV, Muhammad Abdul Muksin
Al-Maktabi, hal. 229.
<<118>>
berhubungan dengan masalah nikah yang sifatnya
umum,. Berpegang kepada dalil-dalil yang sifatnya
umum dalam menetapkan hukum lebih baik di
bandingkan dengan dalil khusus yang sifatnya lemah. 79
Dari uraian di atas dapat dinyatakan ketidak
mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah terhadap
perempuan dewasa dan berakal sehat menurut Mazhab
Hanafi, bukan semata-mata didasarkan kepada praktek
Aisyah tersebut tetapi juga disebabkan oleh kesenangan
mareka berpegang kepada dalil yang sifatnya umum
dalam hal ini Al-Qur’an di saat terjadi taa’rud antara dua
dalil dalam masalah yang sama. Perbedaan mareka
dalam penetapan hukum pada dalil-dalil yang sama lebih
banyak didasarkan berbeda dalam penalaran nash-nash
tersebut.
Begitu juga halnya ulama hadis berbeda pendapat
mereka dalam memposisikan hadis yang berkenaan
dengan wali nikah terhadap keumumam ayat-ayat nikah.
Ulama hadis yang menganggap hadis yang berkenaan
dengan wali nikah dimaksud sebagai penjelas ke-
umuman ayat-ayat nikah, maka laki-laki menjadi syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Sementara ulama hadis
lain yang berpendirian sebaliknya, maka laki-laki bukan
syarat mutlak dalam perwalian nikah. Di samping itu,
Ulama hadis --dilihat dari segi sanadnya -- tidak sepakat
menetapkan tentang kesahihan hadis tersebut. Ketidak
sahihan suatu hadis dapat menyebabkan kurang
dipercaya dalam menjadikannya sebagai sumber hukum
dalam pentakhshisan keumuman ayat-ayatt nikah.
Terakhir, Uraian tersebut di atas menggambarkan
bahwa perbedaan pendapat tentang kemutlakan laki-

79 Al-Mubarakfuri, hal . 232, Ahmad Al Sahar Nafuri, hal . 85.


<<119>>
laki dan ketidakmutlakan laki-laki dalam perwalian
nikah merupakan suatu hal yang wajar dan antara
keduanya punya kebenaran tersendiri dihubungkan
kepada dalil-dalil dan cara-cara mereka memahaminya

@@

<<120>>
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP

Semua Fuqaha` Mazhab Empat sepakat menetap-


kan bahwa suatu pernikahan baru dianggap sah apabila
telah sempurna rukun dan syarat-syaratnya. Salah satu
rukun atau syarat tidak terpenuhi perkawinan tersebut
menjadi batal dan tidak mempunyai kepastian hukum,
bahkan dianggap belum pernah terjadi sama sekali baik
dalam kenyataan maupun dalam arti hukum. Perbedaan
pendapat mereka terjadi di sekitar penetapan kriteria
rukun dan syarat sah nikah itu sendiri dan juga mereka
berbeda pandangan dalam memposisikan keduanya
sebagai rukun atau syarat dalam pelaksanaan akad
nikah. Sesuatu yang dianggap sebagai rukun oleh
sebagian fuqaha` dapat saja dipandang sebagai syarat
oleh sebagian fuqaha` lainnya. Rukun yang merupakan
hakikat dari suatu perbuatan dan berada dalam
peubuatan itu sendiri akan berbeda kedudukannya

<<121>>
dalam pelaksanaan akad nikah bila dihadapkan dengan
syarat yang berada di luar perbuatan itu sendiri.
Dari perspektif fuqaha’ yang dikaji menyangkut
dengan perwalian nikah, perbedaan yang relatif
menonjol ditemukan di dalam mazhab Hanafi dibanding-
kan dengan ketiga mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan
Hanbali). Ketiga mazhab terakhir disebutkan ini sepakat
menetapkan bahwa laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Wali yang mereka maksudkan
adalah kerabat laki-laki dihubungkan melalui garis laki-
laki dengan tertib prioritas tertentu seperti yang
tersebut dalam urutan wali nikah. Sedangkan mazhab
Hanafi tidak menganggap laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Perempuan menurut mereka
boleh saja bertindak dalam pelaksanaan akad nikah baik
untuk kepentingan sendiri ataupun untuk kepentingan
orang lain.

Sebab utama yang menyebabkan mereka berbeda


pandangan dalam masalah ini adalah berkisar pada cara
melihat nash itu sendiri, baik al-Qur’an ataupun hadits.
Al-Qur’an sebagai dalil pertama dipandang fuqaha’
dalam penetapan hukum tidak menyebutkan secara jelas
dan pasti tentang perwalian nikah itu sendiri. Jumhur
ulama menganggap ayat-ayat yang berkenaan dengan
masalah nikah tersebut khitabnya (perintah atau
larangan)khusus ditujukan kepada para wali. Kata-kata
nikah yang terdapat dalam ayat 221, 230, 232 dan 234
surat al-Baqarah dan ayat 34 dalam surat al-Nur selalu
dikaitkan kepada wali. Pengkaitan yang demikian
mengandung pengertian khitab (perintah dan larangan)
yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan
khusus kepada para wali bukan untuk selainnya. Dengan

<<122>>
pengertian para wali tidak boleh menghalangi
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk
kawin dengan laki-laki yang ia senanginya.

Sebaliknya mazhab Hanafi tidak menganggap


khitab yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut khusus
ditujukan kepada para wali laki-laki, tetapi berlaku
umum untuk semua orang termasuk ke dalamnya para
wali. Dengan pengertian berbeda seperti yang dimaksud
kan oleh jumhur ulama, yaitu semua orang yang
dimaksudkan oleh jumhur ulama, termasuk ke dalamnya
wali, tidak boleh menghalangi perempuan untuk
melaksanakan akad nikah sendiri. Ketidakmutlakan laki-
laki dalam perwalian nikah yang lebih jelas menurut
mereka dapat dilihat dalam urutan wali yang telah
disebutkan di depan.

Mengenai hadits yang berkenaan dengan


pernikahan, jumhur fuqaha’ menganggap sebagai
penafsir keumuman ayat-ayat tersebut di atas. Menurut
mereka, hadits yang menyatakan “orang perempuan
tidak boleh mengawinkan orang perempuan lain”
merupakan dalil yang paling jelas bahwa laki-aki sebagai
syarat mutlak dalam perwalian nikah, yang tidak
mungkin mengandung pengertian untuk selainnya.
Berbeda dengan Hanafi yang tidak menganggap hadits-
hadits tersebut sebagai penafsir atau pengkhususan.
Hadits yang sifatnya lemah (paling kurang tidak sahih)
tidak dapat dijadikan sebagai pengkhususan keumuman
ayat-ayat tersebut di atas. Mazhab ini lebih senang
berpegang kepada qiyas dan pada kepada hadits yang
sifatnya lemah tersebut, yaitu pembolehan wanita
sebagai wali dalam pernikahan diqiyaskan kepada jual
beli dan pengurusan harta yang pada dasarnya kedua hal
<<123>>
tersebut dibolehkan wanita untuk mengurusnya. Di
pihak lain mereka masih menganggap orang yang lebih
berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah orang
yang lebih mengetahui kemaslahatan nikah. Terhadap
hal ini tidak mesti laki-laki yang mengetahuinya, tetapi
wanita pun tidak tertutup kemungkinan untuk me-
ngetahui masalah tersebut.
Memperhatikan cara fuqaha’ dalam melihat dan
memahami ayat-ayat dan hadits-hadits di atas dapat
dinyatakan bahwa jumhur ulama lebih tepat dikatakan
masuk ke dalam kelompok penalaran bayani, karena
dalam pemahamannya lebih terikat kepada arti zahir
(tersurat) dan tidak mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya qiyas. Selebihnya juga dalam masalah ini
jarang sekali mempertimbangkan hubungan antara satu
ayat dengan ayat lainnya. Atau dengan kata lain jarang
sekali menjadi perhatian mereka keterkaitan antara ayat
yang satu dengan ayat lainnya. Setiap ayat dikaitkan
langsung kepada hadits, sehingga hubungan ayat
tersebut dengan ayat lainnya menjadi tidak
dipertimbang-kan, bahkan dilepaskan sama sekali.
Begitu juga cara ini dipraktekkan dalam memahami
hadits. Sedangkan mazhab Hanafi lebih tepat dikatakan
masuk ke dalam kelompok ta‘lili dan ishtishlahi, karena
cenderung menguji riwayatnya dengan akal dan
kemaslahatan. Keterkaitan antara ayat dengan ayat dan
hadits dengan hadits yang lebih diutamakan dalam
mengambil sesuatu kesimpulan dengan mempedomani
kepada illat yang mungkin dicapainya di samping
mempertimbangkan kemaslahatan yang terkandung
dalam illat tersebut.

<<124>>
Begitu juga halnya ulama tafsir berpandangan
keumuman lafazh yang terdapat dalam ayat-ayat nikah
seperti yang telah dijelaskan di depan merupakan salah
satu factor penyebab terjadi perbedaan pendapat ulama
tafsir dalam memahami ayat-ayat nikah. Ulama tafsir
yang dimaksud menganggap khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah tersebut khusus ditujukan kepada
wali, maka lelaki merupakan syarat mutlak dalam
perwalian nikah. Sebaliknya jika khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah tersebut tidak khusus ditujukan
kepada wali dalam arti untuk semua orang--termasuk
perempuan di dalamnya-- maka lelaki bukan syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Keterikatan para
mufasir dengan mazhab yang mereka anut juga
merupakan factor tersendiri yang dapat mempengaruhi
mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat nikah dimaksud.
Mufasir yang bermazhab Hanafi mengatakan khithab
yang tersebut di dalam ayat-ayat nikah dimaksud tidak
khusus ditujukan kepada para wali, maka laki-laki bukan
syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya
mufasir yang bermazhab selain Hanafi --Maliki, Syafii
dan Hanbali-- khithab yang terkandung dalam ayat-ayat
nikah di atas khusus ditujukan kepada para wali, maka
lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.

Begitu juga halnya ulama hadis berbeda pendapat


mereka dalam memposisikan hadis yang berkenaan
dengan wali nikah terhadap keumumam ayat-ayat nikah.
Ulama hadis yang menganggap hadis yang berkenaan
dengan wali nikah dimaksud sebagai penjelas
keumuman ayat-ayat nikah, maka lelaki menjadi syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Sementara ulama hadis
lain berpendirian sebaliknya, maka lelaki bukan syarat

<<125>>
mutlak dalam perwalian nikah. Ulama hadis -dilihat dari
segi sanadnya – juga tidak sepakat menetapkan tentang
kesahihan hadis tersebut. Ketidak sahihan suatu hadis
dapat menyebabkan kurang dipercaya dalam men-
jadikannya sebagai subuah hukum dalam pen-
takhshisan keumuman aya-ayatt nikah.
Dengan demikian, dapat dinyatakan di sini bahwa
semua uraian tersebut di atas menggambarkan per-
bedaan pendapat tentang kemutlakan dan ketidak
mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah merupakan
suatu hal yang wajar dan sangat dinamis, sebab antara
keduanya punya kebenaran tersendiri dihubungkan
kepada dalil-dalil dan cara-cara mareka memahaminya.
Oleh karenanya, diharapkan dalam mempelajari dan
menganalisa masalah yang terjadi dan berkembang di
kalangan berbagai mazhab hendaknya tidak terikat pada
satu-satu mazhab, atau dengan kata lain tidak fanatic
dalam mempertahankan kebenaran mazhab. Hal yang
demikian kebenaran yang lebih bersifat objektif sulit di
peroleh.

**

<<126>>
DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz I, Musthafa al Babi al


Halabi, Mesir, 1959.
Al Yasa’ Abubakar, DR, MA, Ahli Waris Sepertalian Darah,
Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1989.
Buhuti, Idris, al, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, Juz V, Dar
al-Fikr, Beirut, ft.
Baihaqi, Sunan al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr, Bairut, ft.
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta, 1991.
Dusuqi, al, Hasyiyat al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, Daar Ihya’
al-Kutub al‘Arabiyah, Mesir, ft.
Haitami, Ibnu Hajar, al, Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj,
Juz VII, Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, Mesir, ft.

>>127<<
Ibnu ‘Abidin, Hasyiyat Rad al-Muhtar, Juz III, Mushtafa al-B abi
al-Halabi, Mesir, 1986.
Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX, Dar al Fikr, Mesir, ft
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Musthafa al-Babi al-Halabi,
Mesir, ft.
Ibnu Qudammah, al-Mughni, Juz VII, Mushthafa al-Babi al-
Halabi, Mesir, ft.
Kasani, al, Badai al-Shanai, Juz II, Cet. I, Mathba’ah al-’Ilmyyat,
Mesir, 1328 H.
Khatib, Muhammad al Syarbaini, al, Mughni al-Muhtaj, Juz III,
Mushtafa Al-Babi al-Halabi, Mesir. 1958.
Mubarakfuri, al, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Turmuzi,
Juz IV, Maktabat al-Salaflyat, Madinah, ft.
Muhammad Mi Husen, Qurrat al- ‘A in, al-Maktabat al-Tijariyat
al-Kubra, Mesir, 1937.
Muhammad Zakariya, A ujaz al-Masalik ila Muwtta’ Imam
Malik, Dar al-Fikr, Mesir, ft.
Sarakhsi, al, al-Mabsuth, Jilid V, al-Sa’adat, Mesir, 1324 H.
Sayid Saabiq, Fiqh al-Sunnat, Juz IV dan VII, Dar al-Bayan, Kiut,
U.
Turmuzi, al, Sunan al-Turmuzi, Juz II, Mushtafa al-Babi al-
Halabi, Mesir, tt.
Zamakhsyari, al, al-Kasysyaf Juz I, al-Intisyarat, Taheran, tt.s
Zarqaani, al, Syarh Shahih Muwatta’ Imam Malik, Juz II, Dar al-
Fikr, Mesir, tt.
Abuu Daawud, Sunan Abii Daawud, Juz I, Musthafa al Baabii al
Halabii, Mesir, 1959

>>128<<
Abuu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al Zawaaj wa Asaaruh, Daar
al Fikr l ‘Arabii, Bairut
___________, al Ahwaai al Syakhsyyat, Daar al Fikr al ‘Arabii,
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan
Agah Garandi, Pustaka, Bandung, Cet. I, 1984.
Amidi, al, al-Ahkaam fii Ushuul al-Ihkaam, Jilid I, Mathba’ah Ali
Shubeih, Kairo, 1968.
‘Asqaalanii, al, Fath al-Baarii, Jus IX, Mathba’at Salafiyat, Mesir.
Al Yasa’ Abubakar, DR, MA, Ahli Waris Sepertalian Darah,
Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1989.
Buhuti, Idris, al, Kasysyaaf al-Qinaa’ ‘an Matan al-Iqnaa’, Juz V,
Daar al-Fikr, Bairut.
Baihaqi, Sunan al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr, Bairut.
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta, 1991.
Dusuuqii, al, Haasyiyat al-Duusuuqii ‘ala al-Syarh al-Kabiir,
Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir.
Haitami, Ibn Hajar, al, Tuhfat al-Muhtaaj bi Syarh al-Minhaj,
Juz VII, al-Maktabat al-Tijaariyat al-Kubra, Mesir.
_______, al-fataawaa al-kubraal fiqhyyat, Juz IV, Daar al-Fikr,
Bairut, 1983.
Ibn ‘Aabidiin, Haasyiyat Raad al-Muhtaar, Juz III, Mushtafa al-
Baabii al-Halabii, Mesir, 1986.
Ibn ‘Arabii, al, Ahkaam al-Quraan, , Tahqiq Ali Muhammad al-
Bujawi, Mushthafaa al-Baabii al-Halabii, Mesir, 1950.
Ibn Hazm, al-Muhallaa, Juz IX, Daar al Fikr, Mesir.

>>129<<
Ibn Maajat, Sunan Ibn Maajat, Juz I, Musthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Ibn Muajaim, al-Bahr al-Raaiq, Juz III, al-‘Ilmyyat, Kairo, 1315
H.
Ibn Qudammah, al-Mugnii, Juz VII, Mushthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Jashshash, al, Ahkam al-Quraan, Juz II, Mathba’at Abd Rahman,
Kairo.
Jauzzyah, Ibn Qayyom, al, Ahkaam al-Quraan, Juz IV, Daar Al-
Fikr, Mesir.
Jaazirii, al, al-Fiqh ‘ala Mazaahib al-Arba’ah, Juz IV, al-
Maktabat al-Tijaaryyat al-Kubraa, Mesir.
Kandahlawii, al, Muhammad Zakaria, Aujaz al-Masaalik ilaa al-
‘Ilmyyat, Juz X, Daar al-Fikr, Mesir.
Kaasanii, al, Badaai al-Shanaai, Juz II, Cet. I, Mathba’ah al-
‘Ilmyyat, Mesir, 1328 H.
Kausar Kaamil, al-Syuurt fii ‘Aqd al-Zawaaj fii al-Syariiat al-
Islamiyat, Daar al-Islamiyat, Kairo.
Khaatib, Muhammad al Syarbaini, al, Mughnii al-Muhtaaj, Juz
III, Mushtafa al-Baabii al-Halabii, Mesir. 1958.
Marghinaani, Abubakar, al, al-Hidaayat Syarh Bidaayat al-
Mubtadii, Daar al-Fikr, Mesir.
Mubaarakfuuri, al, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jaami’ al-
Turmuzi, Juz IV, Maktabat al-Salafiyat, Madinah.
Muhammad Ali Husen, Qurrat al-‘Ain, al-Maktabat al-Tijaariyat
al-Kubra, Mesir, 1937.
Muhammad Ziad, Syarh al-Ahkaam al-Syar’iyyat fii al-Ahwaal
al-Sykhshyyat, Juz I, Maktabat al-Nahdat, Bairut.

>>130<<
Muhammad Zakariya, Aujaz al-Masaalik ilaa Muwthak Imaam
Maalik, Daar al-Fikr, Mesir.
Muhammad Zuhri, al-Siraaj al-Wahhaaj’ala a Matan al-
Minhaaj, Daar al-Fikr, Mesir.
Muhammad Ibn Salim Ibn Dauyan, Manaar al-Sabiil fii Syarh
al-Daliil, al-Mathba’at al Haasyimiyat, Damsik.
Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Dahlan, Bandung.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam,al-Hidayat,
Jakarta, 1956.
Muslim Ibrahim, DR, MA, Buhuus Fiqhyyat Muqaaranat fii al-
nikaah, Bagian I, IAINAr-raniry, Darussalam, Banda
Aceh, 1986.
Muthii’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, Zakariya Ali
Yuusuf.
Nawawii, al, Syarh Muslim, Juz I, ‘Iisaa al-Baabii al-Halabii,
Mesir.
Qaasimii, al, Tafsiir al-Qaasimii, Juz XII, ‘Iisaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir, 1959.
Qurthubii, al, al-Jaami’ al-Ahkaam al-Quraan, Juz III, Daar al-
Kitaab al-‘Arabii, Mesir, 1967.
Ramli, Ibn Syihaabuddin, al, Nihaayat al-Muhtaaj ilaa Syarh al-
Minhaaj, Juz IV, Mushtafa al-Baabii al-Halabii, Mesir,
1950.
Rasyid Ridaa, Tafsiir al-Manaar, Juz II, Maktabat al-Qaahirat,
Mesir.
Rifaai, Mohd, H, Drs., Fiqih Islam Lengkap, Taha Putra,
Semarang.
Sahaar Nafuurii, Ahmad, al, Bazl al-Juhuud fii Hil Abi Daawud,
Daar al-Kutub al-‘ilmyyat, Bairut.
>>131<<
Sarakhsi, al, al-Mabsuuth, Jilid V, al-Sa’aadat, Mesir, 1324 H.
Sayid Saabiq, Fiqh al-Sunnat, Juz IV dan VII, Daar al-Bayaan,
Kiut.
Sayuuthii, Abd Rahman, al, Faid al-Qadiir fii Syarh Jami’
Shaghiir, Juz III, Daar al-Fikr, Mesir.
Shan’ani, al, Subul al-Salam, Juz III, Dahlan, Bandung.
Siiwaasii, al, Kamaaluddin Muhammad (Ibn al Humam), Syarh
Fath al-Qadiir, Juz III, Daar al Fikr, Mesir.
Syrqawi, al, al-Tahriir, Juz II, Daar al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyat, Mesir.
Syahhatih, Syauqi Ismil, Drs., Penerapan Zakat Dalam Dunia
Modern, (alih bahasa Anshari Umar Sitinggal), Pustaka
Dian dan Antar Kota, Jakarta, 1987.
Thabarii, al, Tafsiir al-Thabarii, Juz II, Daar al-Fikr, Mesir,
1954.
Turmuzii, al, Sunan al-Turmuzii, Juz II, Mushtafa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Zahabii, Muhammad Husen, al, al-Syaari’at al-Islamamiyat,
Daar al-Takliif, Mesir, 1967.
Zamakhsyarii, al, al-Kasysyaaf, Juz I, al-Intisyaarat, Taheran.
Zarqaani, al, Syarh Shahih Muwathtak Imaam Maalik, Juz II,
Daar al-Fikr, Mesir.

>>132<<
TENTANG PENULIS

A. Identitas Diri
Nama : Dr. Nasaiy Aziz, M.A.
Tempat/Tgl. Lahir : Lampoh Saka (Pidie),
31 Desember 1958
NIP : 195812311988031017
Pangkat/Gol. : Pembina Tk. I/IV/c
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat Rumah : Tungkop Aceh Besar
Alamat Kantor : Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
Nama Ayah : Aziz
Nama Ibu : Aisyah
Nama Istri : Dra. Azizah A. Wahab
Nama Anak : 1. Muhammad Iqbal, S.T.
2. Qurratul Aini, S.T.

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MIN Lampoh Saka, Pidie, 1972
b. PGAN 6 Tahun Beureunuen, Pidie, 1978
c. Sarjana Muda Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry,
1982
d. Sarjana Lengkap Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, 1984
e. M.A. Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,
1992
f. Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014
2. Kursus/Pelatihan
a. Studi Purna Ulama (SPU) IAIN Ar-Raniry, Juni
1985 s.d. Mei 1986

>>133<<
b. Latihan Ilmu Perpustakaan IAIN Ar-Raniry,
Agustus s.d. September 1989
c. Latihan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, IAIN Ar-
Raniry, September 1994 s.d. Juni 1995
d. Workshop Kurikulum Jender Se-Indonesia, IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 15 Februari s.d. 10
Maret 2000

C. Riwayat Pekerjaan
1. Pegawai Negeri Sipil, mulai Maret 1988
2. Dosen Tetap Bidang Tafsir, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, mulai 1992
3. Sekretaris Jurusan Ahwalusy Syakhsiyyah (AS),
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 1993-1995
4. Ketua Jurusan Jinayah was Siyasah, Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry, 1996-1997
5. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMH), Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 1999-2000
6. Pembantu Dekan Bidang Akademik, Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry, 2001-2004
7. Pembantu Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan,
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 2004-2008
8. Dosen Tetap Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

D. Karya Ilmiah
1. Artikel
a. “Penerapan Syari’at Islam di Masa Khulafaur
Rasyidin (Suatu Tinjauan Historis)”, Media
Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Vol. I,
No. 1, Januari-Juni 1999
b. “Menuju Konstruksi Seksualitas yang Berkeadilan
(Upaya ke Arah Pemikiran Fiqih Bewawasan

>>134<<
Jender”, Media Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, Vol. II, No. 3, Januari-Juni 2000
c. “Tragedi al-Mihnah dalam Perjalanan Kekuasan
Khalifah Abbasiyah (antara Peluang dan
Tantangan dalam Menegakkan Keadilan)”,
Makalah Seminar, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, 2001
d. “Metode Keilmuan Hermeneutika (Sebuah
Pengantar untuk Memahami Hermeneutika
Sebagai Teori, Filsafat, dan Kritik)”, Media
Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Vol. IV,
No. 8, Juli-Desember 2002
e. “Menuju Perubahan Paradigma Metodologi
Pemahaman Hukum Islam (Suatu Tinjauan
Singkat)”, Media Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN
Ar-Raniry, Vol. V, No. 9, Januari-Juni 2003
f. Dll.

2. Hasil Penelitian
a. “Konsep Ali Syari`ati Tentang Manusia dan
Kritiknya terhadap Humanisme Barat Modern”,
Hasil Penelitian, IAIN Ar-Raniry, 2000
b. “Kerangka Metodologi Pelaksanaan Syari’at Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam”, Hasil Penelitian,
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 2006
c. Dll.

>>135<<
Diterbitkan Oleh:
Forum Intelektual Tafsir dan Hadits Asia Tenggara (SEARFIQH), Banda Aceh
Jl. Tgk. Chik Pante Kulu No. 13 Dusun Utara,
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111
HP. 08126950111
Email: penerbitsearqh@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai