NASAIY AZIZ, MA
KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI
DALAM PERWALIAN NIKAH
DILIHAT DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
Penulis: Penulis:
Dr. Nasaiy Aziz, MA Dr. Nasaiy Aziz, MA
Editor: Editor:
Dr. Abd. Wahid, M.Ag Dr. Abd. Wahid, M.Ag
Cetakan I, Rabiul Tsani 1438 H / Januari 2018 M Cetakan I, Rabiul Tsani 1438 H / Januari 2018 M
ISBN: 978-602-1027-35-6 ISBN: 978-602-1027-35-6
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt dengan segala rahmat dan inayah-Nya Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt dengan segala rahmat dan inayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul Ketidakmutlakan Laki-laki penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul Ketidakmutlakan Laki-laki
dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif. Shalawat dan salam dalam Perwalian Nikah Dilihat dari Berbagai Perspektif. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang kehadirannya menjadi rahmat semoga tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang kehadirannya menjadi rahmat
sekalian alam. sekalian alam.
Jumhur fuqaha’ (Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat menetapkan bahwa Jumhur fuqaha’ (Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat menetapkan bahwa
lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Keharusan dan lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Keharusan dan
kemutlakan tersebut didasarkan kepada keumuman dan arti zahir ayat-ayat al- kemutlakan tersebut didasarkan kepada keumuman dan arti zahir ayat-ayat al-
Qur’an tersebut. Hubungan kerabat yang mareka (tiga mazhab tersebut) Qur’an tersebut. Hubungan kerabat yang mareka (tiga mazhab tersebut)
maksudkan disini adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan garis-garis maksudkan disini adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan garis-garis
laki-laki dengan tertib prioritas tertentu atau sering disebut dengan ‘Ashabah. laki-laki dengan tertib prioritas tertentu atau sering disebut dengan ‘Ashabah.
Penentuan orang-orang yang berhak menjadi wali disebut di atas dan tertib Penentuan orang-orang yang berhak menjadi wali disebut di atas dan tertib
urutannya didasarkan kepada ijtihad, bukan melalui nash yang sharih. urutannya didasarkan kepada ijtihad, bukan melalui nash yang sharih.
Akan tetapi mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya. Mareka tidak Akan tetapi mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya. Mareka tidak
menganggap lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah, kecuali terhadap menganggap lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah, kecuali terhadap
perkawinan anak kecil (belum dewasa), orang gila dan orang yang kurang perkawinan anak kecil (belum dewasa), orang gila dan orang yang kurang
sempurna akal. Perwalian secara nasab (hubungan kerabat) --menurut mareka-- sempurna akal. Perwalian secara nasab (hubungan kerabat) --menurut mareka--
tidak hanya di dasarkan kepada ‘Ashabah semata, tetapi juga dibolehkan tidak hanya di dasarkan kepada ‘Ashabah semata, tetapi juga dibolehkan
berdasarkan keluarga zawil arham (keturunan melalui garis perempuan). Oleh berdasarkan keluarga zawil arham (keturunan melalui garis perempuan). Oleh
karenanya, atas dasar ini -perwalian secara nasab- tidak tertutup kemungkinan karenanya, atas dasar ini -perwalian secara nasab- tidak tertutup kemungkinan
sama sekali wanita dibolehkan bertindak dalam perwalian nikah. sama sekali wanita dibolehkan bertindak dalam perwalian nikah.
Kepada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu mencarikan Kepada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu mencarikan
data, memberikan dorongan dan sumbangan di dalam buku ini, saya data, memberikan dorongan dan sumbangan di dalam buku ini, saya
menyampaikan banyak terimakasih. Dan hanya Allahlah yang akan membalas menyampaikan banyak terimakasih. Dan hanya Allahlah yang akan membalas
segala kebaikan tersebut. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada segala kebaikan tersebut. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada
kepada Bapak Dr. Abd. Wahid, M. Ag, selaku editor buku ini sekaligus sebagai kepada Bapak Dr. Abd. Wahid, M. Ag, selaku editor buku ini sekaligus sebagai
pihak Divisi penerbitan SEARFIQH Banda Aceh, yang selalu mendorong penulis pihak Divisi penerbitan SEARFIQH Banda Aceh, yang selalu mendorong penulis
untuk dapat menyelesaikan tulisan ini. untuk dapat menyelesaikan tulisan ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan kritik penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan kritik
konstruktif pembaca untuk kesempurnaan buku ini ke depan. Semoga bermanfaat konstruktif pembaca untuk kesempurnaan buku ini ke depan. Semoga bermanfaat
dan menjadi amal yang diridhai Allah Swt. Amiin dan menjadi amal yang diridhai Allah Swt. Amiin
Penulis Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Kata Pengantar / i Kata Pengantar / i
Daftar Isi / iii Daftar Isi / iii
<<4>>
dari garis laki-laki sama kedudukannya dengan
keturunan garis perempuan.2
Seandainya pendapat tersebut diterima secara
penuh, maka tidak akan diragukan lagi akan mempunyai
implikasi yang luas dalam fiqih munakahat, khususnya
empat mazhab.
Selanjutnya akan dikaji di sini penafsiran mufassir
terhadap ayat-ayat yang menjadi pokok kajian fuqaha’ di
atas. Ulama-ulama tafsir yang dipilih di sini adalah: al-
Qurthubi, al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Qasimi, Ibn al-
‘Arabi, al-Jashsas dan Rasyid Ridha, dengan
pertimbangan uraian mereka paling kurang dapat
mewakili keempat mazhab yang dikaji.
Selanjutnya dalam bagian ini juga akan dikaji
Hadits-Hadits yang dianggap sebagai dalil oleh ulama
fiqih dalam perwalian nikah berdasarkan pemahaman
shahabat dan ulama pensyarah Hadits. Kajian ini lebih
memberi tekanan pada segi pemahaman terhadap matan
(teks) Hadits, terutama dalam kedudukan sebagai dalil
kedua setelah al-Qur’an. Namun begitu sanad akan
dicantumkan sebanyak yang bisa diperoleh dan
penilaian para rawi tentang Hadits yang diriwayatkan
akan dicantumkan pula. Kritik sanad akan diberikan
terhadap tokoh yang diperselisihkan, sekiranya hal
tersebut akan mempengaruhi nilai Hadits.
<<6>>
Mengenai ruang lingkup tulisan ini dapat
diklasifikasi-kan kepada empat bagian, dengan perincian
sebagai berikut. Bagian pertama Pendahuluan. Bagian
kedua Ketentuan umum tentang perwalian nikah yang
uraiannya mencakup rukun dan syarat njikah, urutan
wali dalam pernikahan dan jenis-jenis wali nikah itu
sendiri. Bagian ketiga berkaitan dengan ketidak-
mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah dilihat dari
berbagai perspektif; perspektif Fuqaha’, perspektif
Mufassir dan perspektif Muhaddisin. Sedangkan bagian
keempat berisi penutup, mencakup semua rukun dan
syarat-syarat nikah empat mazhab. Namun begitu
perhatian pokok lebih diarahkan kepada:
1. Kemungkinan wanita bisa bertindak sebagai wali
dalam pernikahan.
2. Urutan wali secara ‘asabah tidak mesti dipertahan-
kan.
1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, yang dianggap sebagai dalil
untuk fiqh hanyalah al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
saw. dan selanjutnya akan disebut sebagai nash. Adapun
dalil-dalil selebihnya (Qiyas, Istihsan, Masalih Al-
Mursalat, Istishab, ‘Uruf dan seterusnya) akan dianggap
<<7>>
pola istimbath (penalaran).3 Selanjutnya pola-pola
penalaran ini dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Pola penalaran bayani;
2. Pola penalaran Ta’lili;
3. Pola penalaran Istishlahi.
Dimaksudkan penalaran bayani adalah panalaran
yang pada dasarnya bertumpu pada qaidah-qaidah
kebahasaan (semantik). Di dalamnya dibahas antara lain
keluasan dan kesempitan cakupan makna kata,
homonim, makna-makna amar dan nahyi, kata-kata dari
segi kejelasan dan ketidak-jelasan maknanya, makna
kata sesuai dengan kedudukan dan fungsi dalam kalimat,
hubungan antara induk dan anak kalimat dan
seterusnya.
<<14>>
Setelah ini semua barulah laporan akhir
diturunkan. Laporan tersebut dibagi kepada empat
bagian dengan sistematika sebagai berikut: Bagian
pertama berisi pendahuluan. Bagian kedua berisi
pandangan Ulama empat mazhab tentang rukun dan
syarat nikah serta urutan wali dalam pernikahan.
Bagian ketiga berisi tentang pendapat empat mazhab
menyangkut dengan kriteria wali dalam pernikahan
serta dalil-dalilnya dan sekaligus membandingkan
dengan penjelasan ulama-ulama tafsir dan pen-
syarahan hadits tentang nash pokok yang digunakan
sebagai argumen oleh empat mazhab. Setelah itu
barulah bab penutup yang berisi kesimpulan-
kesimpulan sebagai inti dari semua pembahasan.
@@
<<15>>
<<16>>
BAGIAN KEDUA
KETENTUAN UMUM
TENTANG PERWALIAN NIKAH
<<17>>
Hukum pernikahan merupakan bagian dari ajaran
agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan
sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul.5
<<18>>
tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut
makna bahasanya yaitu kumpul, wati, jimak dan akad.
Dan diucapkan menurut pengertian syara’ yaitu suatu
akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.8
Ada juga yang mengartikan nikah Secara etimologi
“nikah” itu berarti “berkumpul” dan “bersatu".9 sedangkan
menurut istilah yang diberikan oleh sebagian ulama
Syafi’iyah adalah :
ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎ ﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻈﺎ إﻧﻜﺎح أو ﺗﺰ وﻳﺞ أو ﺗﺮ ﲨﺘﻪ
Maksudnya : Suatu akad (perjanjian) yang mengandung
ketentuan hukum pembolehan hubungan kelamin (antara
suami isteri) dengan menggunakan lafazd nikah, tazwij atau
terjemahannya.10
Definisi semacam ini nampaknya mengandung
kekurangan karena pengetian seperti ini menimbulkan kesan
seolah-olah perkawinan dalam Islam tidak lebih dari
pemenuhan seksual belaka.11 Menyadari hal ini pengertian
<<21>>
Oleh karenanya maka orang yang akan
melangsungkan akad pernikahan hendaklah me-
ngetahui benar-benar maksud dan tujuan pernikahan.
Maksud dan tujuan itu adalah sebagai berikut:
<<22>>
aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan
Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala.14
Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu hal
yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Syara'. Bebe-
rapa firman Allah yang bertalian dengan disyari'At-
kannya pernikahan ialah:
1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):
َﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛ ْﻢ َوإِﻣَﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻳَﻜُﻮﻧُﻮا ﻓـُ َﻘﺮَاء َ َِِوأَﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻷَﻳَﺎﻣَﻰ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاﻟﺼﱠﺎﳊ
َاﺳ ٌﻊ َﻋﻠِﻴ ٌﻢ
ِ ﻀﻠِ ِﻪ وَاﻟﻠﱠﻪُ و
ْ َﻳـُ ْﻐﻨِ ِﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ِﻣ ْﻦ ﻓ
َات
ِ َات اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺘﱠﺒِ ْﻊ ُﺧﻄُﻮ ِ ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آَ َﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗَـﺘﱠﺒِﻌُﻮا ُﺧﻄُﻮ
ﻀﻞُ اﻟﻠﱠ ِﻪ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َورَﲪَْﺘُﻪُ ﻣَﺎ
ْ َاﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻳَﺄْ ُﻣ ُﺮ ﺑِﺎﻟْ َﻔ ْﺤﺸَﺎ ِء وَاﻟْ ُﻤْﻨ َﻜ ِﺮ َوﻟَﻮَْﻻ ﻓ
َزﻛَﺎ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَ َﺣ ٍﺪ أَﺑَﺪًا َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟﻠﱠﻪَ ﻳـَُﺰﻛﱢﻲ َﻣ ْﻦ ﻳَﺸَﺎءُ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﲰَِﻴ ٌﻊ َﻋﻠِﻴﻢ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir
(Q.S. Ar-Rum: 21).17
Beberapa hadits yang bertalian dengan di-
syari'atkannya pernikahan ialah:
َﳓ ُﻦ
َْﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ وَ ﱠﱯَﺎل َﺧَﺮ ْﺟﻨَﺎ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ
َ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ﻗ
َُﺎب َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎءَ ِة ﻓَِﺈﻧﱠﻪ
ِ َﺎل ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟ ﱠﺸﺒ
َ َﺎب َﻻ ﻧـَ ْﻘ ِﺪ ُر َﻋﻠَﻰ َﺷ ْﻲ ٍء ﻓَـﻘٌ َﺷﺒ
<<25>>
begitu?. Padahal disamping berpuasa aku juga ber-
buka. Disamping sembahyang aku juga tidur. Dan aku
juga menikah dengan wanita. Barangsiapa yang tidak
suka akan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari
(golongan) ku". (HR. Al Bukhari dan Muslim).20
<<26>>
mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah
nanti kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan
sehat. Dan menikahlah nanti kamu akan banyak.
Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu
dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadits
tersebut terdapat nama Muhammad bin Al Hants dari
Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni, keduanya
adalah perawi yang sama-sama lemah.
<<27>>
hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur
hidup.23
Adapun Hukum melaksanakan pernikahan jika
dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan
akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perbedaan di
antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa
macam, yaitu:24
<<31>>
merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata
nikah pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan
kewajibannya terhadap istri. Pernikahan dilakukan
sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan
bukan dengan tujuan membina keluarga dan men-
jaga keselamatan hidup beragama.29
Uraian sub Bab ini dibagi kepada dua bagian yaitu :
1. Rukun Nikah
Dimaksudkan dengan rukun nikah adalah sesuatu
yang mesti ada dalam suatu perkawinan dan merupakan
hakikat dari perkawinan itu sendiri. Bila tidak dipenuhi
mengakibatkan batalnya perkawinan. Rukun-rukun nikah
tersebut adalah
a. Shighat
Shighat adalah pernyataan setuju dan senang yang
diucapkan oleh pihak calon suami isteri waktu dilakukan
akad nikah untuk mengikat hidup berkeluarga. Pernyataan
pertama yang diucapkan (dari pihak isteri) untuk
menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami isteri
disebut dengan ijab. Sedangkan pernyataan kedua (dari
pihak suami) untuk menyatakan rasa senang dan setuju
terhadap pernyataan pertama disebut dengan Kabul.30
Ijab dan kabul dalam perkawinan dapat terjadi
adakalanya dengan lafazh kitabah (risalah) dan isyarat.
Semua ulama sepakat menetapkan bahwa Shighat
merupakan rukun nikah yang paling utama, bahkan Hanafi
menegaskan Shighat tersebut itulah satu-satunya rukun
dalam pernikahan.31
29
30
Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, Juz VI, Daar Al-Bayaan, Kuait,
hal. 64.
31
Ibn ‘Abidin, Haasyiyat Rad Al-Muhtaar, Juz III, Mushthafa
Al-Baabi, Al-Halabii, Mesir, 1966, hal. 9.
<<32>>
b. Calon suami dan
c. Calon isteri
Mazhab Hanafi menganggap calon suami dan isteri
sebagai syarat sah nikah, sedangkan jumhur ulama sebagai
rukun nikah, kecuali itu Hanbali menegaskan tiga (shighat,
calon suami dan isteri) inilah sebagai rukun nikah.32
d. Dua orang saksi
Mazhab Syafi’i menetapkannya sebagai rukun
nikah. Hanafi dan Hanbali memasukkannya kedalam syarat
sah nikah, sedangkan mazhab Maliki tidak menganggap
sebagai rukun dan syarat sah nikah. Menurutnya untuk sah
nikah cukup dengan pengumuman nikah walaupun yang
hadir anak-anak dan orang gila.33 Pendapat ini didasarkan
kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majat:34
32
Idris Al-Buhuti, Kasysyaaf Al-Qinaa’ an Matan Al-Iqnaa’,
Juz V, Daar Al-Fikr, Bairut, hal. 37.
33
Al-Syarakhsy, Al-Mabsuth, Jilid V, Al-Sa’aadat, Mesir, hal.
30-31.
34
Ibn Majat, Sunan Ibn Majat, Juz I, Mushthafa Al-Baabi Al-
Halabii, Mesir, hal. 611.
35
Al-Baihaqy, Sunan Al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr, hal
112.
<<33>>
Terlepas dari kuat atau lemahnya dalil yang mereka pegangi
--perbedaan dalil yang mereka gunakan dalam mendukung
pendapatnya-- mengakibatkan berbeda pendapat mereka
dalam melihat kedudukan saksi dalam pernikahan. Akan
tetapi bila diperhatikan dari kedua pendapat tersebut,
ditemukan kesamaan tujuan dalam menjaga kemaslahatan
nikah. Baik dua orang saksi atau pengumuman nikah sama-
sama bertujuan supaya pelaksanaan pernikahan harus
diketahui oleh pihak-pihak selain yang berkepentingan,
dengan pertimbangan kedua belah pihak tidak mudah
mengingkari perkawinan, terutama kelak bila ada
persanggahan terhadap anak dan keturunan.
e. Maskawin (mahar)
Mazhab Maliki menjadikan maskawin sebagai salah satu
dari beberapa rukun nikah.36 Sedangkan tiga mazhab
lainnya tidak menganggap rukun atau syarat sah nikah.
Menurut mereka maskawin dalam perkawinan hanya
merupakan pemberian wajib dari suami kepada isteri.
f. Wali
Secara umum perwalian itu diartikan dengan
“kemampuan melaksanakan akad nikah secara sempurna”.
Dimaksudkan dengan wali nikah di sini adalah “orang-
orang yang mampu melaksanakan akad nikah secara
sempurna tanpa memerlukan bantuan orang lain”.37 Mazhab
Syafi’i dan Maliki menetapkannya sebangai salah satu
rukun nikah sedangkan mazhab Hanafi dan Hanbali
memasukkannya kedalam syarat sah nikah.38
36
Muhammad Ali Husen, Qurrat Al-‘Ain, Maktabat al-tijariyat
Al-Qubra, Mesir, 1937, hal. 107.
37
Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, Buhuus Fiqhiyyat Muqaaranat
fii Al-Zawaj, Bagian I, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1986, hal. 12.
38
Muhammad Ali Husen, op. cit., hal. 108; Muhammad Al-
Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 139.
<<34>>
Dari perbedaan pendapat ulama terhadap rukun-
rukun nikah yang telah disebutkan di atas, rukun nikah
dalam tulisan ini sesuai seperti yang telah ditetapkan oleh
mazhab Syafi’i dengan pertimbangan semua unsur tersebut
merupakan hakikat perkawinan itu sendiri.
2. Syarat Nikah
Dimaksudkan dengan syarat nikah adalah sesuatu
yang mesti ada dalam suatu perkawinan tetapi tidak
merupakan hakikat dari perkawinan itu sendiri. Berbeda
dengan rukun, syarat sesuatu yang ada di luar hakikat
perkawinan. Sedangkan rukun merupakan hakikat
perkawinan itu sendiri seperti yang telah disebutkan di
depan. Namun ketidaksempunaan dari salah satu rukun atau
syarat, perkawinan tetap dianggap tidak sah.
Melihat kepada rukun-rukun nikah yang telah dijelaskan
ulama-ulama di atas, maka syarat-syarat nikah itu dapat
terjadi pada:
a. Shighat
Shighat sebagai salah satu rukun nikah yang utama dan di
sepakati oleh keempat mazhab harus punya kriteria sebagai
berikut:
1. Ijab dan kabul harus dilaksankan dalam satu majlis.
Dimaksudkan dengan satu majlis di sini adalah secara
uruf kedua belah pihak masih mengetahui pelaksanaan
ijab dan kabul walaupun berlainan tempat, dan antara
ijab dan kabul tersebut tidak diselangi oleh perbuatan
lain yang menurut adat kebiasaan dianggap dapat
membatalkan akad.39
2. Ucapan ijab dan kabul harus dengan kata-kata yang pasti.
Hal ini diperlukan andai kata akad nikah dalam bentuk
ucapan dan tulisan bukan dalam bentuk isyarat. Dalam
39
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakshiyyat, Daar al-
Fikr Al-‘Arabi, hal. 45.
<<35>>
bahasa Arab kata yang dapat menunjukkan kepada jelas
dan pasti adalah kata kerja yang menunjukkan masa
lampau (fi’il maadhi). Berbeda halnya dengan ucapan
yang dalam bentuk sekarang (fi’il mudhaari’), ia tidak
secara tegas yang pasti adanya keredhaan antara kedua
belah pihak yang dilambangkan dalam bentuk ijab dan
kabul. Ucapan yang dinyatakan dalam bentuk sekaranag
atau akan datang lebih mengarah kepada perjanjian
kawin.40
3. Antara ijab dan kabul harus punya tujuan yang sama,
atau dengan kata lain bersatu dalam tujuan akad.
Persamaan antara ijab dan kabul sangat penting dalam
akad, mengingat sentralnya akad terletak pada ijab dan
kabul tersebut. Kabul yang menyalahi ucapan ijab tidak
sah.41 Misalnya, dalam ijab dinyatakan: saya kawinkan si
A dengan kamu. Jawabannya (kabul) saya terima si B
untuk saya.
4. Tidak terjadi penarikan kembali lafazh ijab sebelum
terjadinya kabul, karena yang demikian itu sama seperti
belum pernah terjadi.42
5. Ijab dan kabul harus bersifat mutlak artinya tidak
dikaitkan dengan sesuatu syarat yang bertentangan
dengan tujuan akad.43
6. Ijab dan kabul harus dengan lafazh yang menunjukkan
kepada akad perkawinan andai kata pernyataan ijab dan
kabul tersebut dalam bentuk lisan dan tulisan, bukan
40
Sayid Sabiq, op, cit., hal. 75.
41
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 45-46.
42
Muhammad Husen Al-Zahabi, Al-Syarii’at Al-Islamiyyat,
Daar Al-Kutub Al-Hadiisat, Baghdad, 1969, hal. 64.
43
Muhammad Al-Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 141.
<<36>>
dalam bentuk isyarat. Seperti lafazh nikah dan Tazwiij
yang diterjemahkan dengan nikah dan kawin.44
Keempat mazhab sepakat menetapkan bahwa kedua
lafazh tersebut menunjuk kepada akad perkawinan.
Perbedaan mereka ditemukan dalam penggunaan selain dari
dua kata tersebut di atas dalam akad nikah. Seperti lafazh
hibbah, milik, shadaqat dan Bai’. Hanafi, Maliki dan
Hanbali membolehkan ketiga lafazh tersebut digunakan
dalam akad nikah dengan syarat menyebutkan maskawin di
saat ijab kabul, sesuai dengan firman Allah swt. surat al-
Ahzab ayat 50 yang di dalamnya terdapat kata “wahabat”.
Sedangkan Syafi’i tidak membolehkan ketiga lafazh
tersebut digunakan dalam akad nikah, karena akad nikah
bukanlah bertujuan untuk menetapkakn hak milik
sebagaimana halnya akad jual beli. Menurut beliau akad
nikah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan agama
dan dunia sekaligus. Ayat 50 surat al-Ahzab yang dijadikan
sebagai dasar pembolehan ketiga lafazh tersebut digunakan
dalam akad nikah --menurut Syafi’i-- merupakan suatu
keistimewaan Nabi yang tidak boleh digunakan oleh orang
lain. Banyak ayat lain yang menunjukkan kepada zawaj dan
nikah yang sifatnya umum untuk semua orang, seperti ayat
221, 230, 232, 235, 237 surat al-Baqarah; 3 ,5, 21, 24, 126
surat Al-Nisa’; 49, 53 surat al-Ahzab; 3, 32, 33, 60 surat Al-
Nur; 28 surat al-Qashash dan ayat 10 surat al-
Mumtahanah.45
Menyangkut dengan ijab kabul dan bukan bahasa
arab semua ulama sepakat menetapkan kebolehan
44
Ibid, hal. 140; Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfat Al-Muhtaaj bi
Syarh Al-Minhaaj, Juz VII, Al-Maktabat Al-Tijaariiyat Al-Kubraa,
Mesir, hal. 220 – 221.
45
Al-Sarakhsy, op. cit., hal. 59, Idris Al-Buhuti, op. cit., hal.
38; Ibn Hazm, Al-Muhallaa, Juz X, Daar Al-Fikr, hal. 464;
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., Hal. 46 – 47.
<<37>>
digunakannya dalam akad nikah dengan syarat jelas dan
pasti bukan sindiran.46
b. Calon Suami
Calon pengantin laki-laki harus punya syarat sebagai
berikut :
1. Beragama Islam, sesuai dengan firman Allah swt. surat
al-Mumtahanah ayat 10 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
46
Ibn Hajar Al-Haitami, op. cit., hal. 222; Muhammad Al-
Syarbaini Al-Khatib, op. cit., hal. 140 – 141.
<<38>>
2. Mengawini calon isteri bukan karena paksaan orang lain.
Paksaan yang dimaksudkan disini adalah paksaan yang
disertai dengan ancaman yang mengakibatkan tidak
terjamin keselamatan jiwa. Oleh karena itu tidak
termasuk ke dalam pengertian ini paksaan ayah (hak
ijbar) untuk mendominasi pilihan calon isteri.
3. Tidak sedang melakukan ihram haji atau ‘umrah, sesuai
dengan sabda Rasulullah saw., yang bersumber dari
Usman bin ‘Affan, Rasulullah Saw bersabda: Matannya
menurut Imam Muslim.47
(ﻻ ﻳﻨﻜﺢ اﶈﺮم وﻻ ﻳﻨﻜﺢ وﻻ ﳜﻄﺐ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
Maksudnya : Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin
dan tidak dibolehkan mengawinkan (orang lain) dan juga
tidak boleh melamar.
4. Calon suami diketahui, tertentu dan jelas orangnya.
5. Sebelum mengawini calon isteri, calon suami harus
mengetahui dengan jelas bahwa calon isteri halal
baginya.
6. Bukan muhrim bagi calon isteri, baik karena hubungan
nasab, semenda ataupun karena sepersusuan.
7. Tidak sedang mempunyai isteri empat orang.48
c. Calon Isteri
Calon pengantin perempuan juga harus punya syarat
sebagai berikut :
47
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Dahlan Bandung, hal.
13.
48
Al-Jaziry, al-Fiqh ‘alaa Mazaahib al-Arba’at, Juz IV, al-
Maktabat al-Tijaariyyat al-Kubraa, Mesir, 1969, hal. 273.
<<39>>
1. Beragama Islam atau ahli kitab, sesuai dengan firman
Allah swt. surat al-Mumtahanah ayat 10 dan surat al-
Baqarah ayat 221 yang telah disebutkan di belakang.
2. Bukan muhrim bagi calon suami, baik karena hubungan
nasab, semenda, ataupun karena sepersusuan, sesuai
dengan firman Allah Swt surat al-Nisa’ ayat 23 yang
artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri-isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan telah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
<<40>>
8. Tidak dalam keadaan ihram haji atau ‘umran,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits riwayat
Muslim di belakang.49
d. Dua Orang Saksi
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dua orang saksi
dalam suatu perkawinan adalah:
1. Islam
Keempat mazhab sepakat menetapkan bahwa muslim
sebagai syarat kesaksian nikah pada perkawinan orang
Islam. Perbedaan mereka ditemukan dalam hal perkawinan
yang terjadi antara muslim dengan kitabiyah. Mazhab
Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan kitabiyah menjadi
saksi dalam pernikahan ini. Menurut mereka perkawinan
terjadi antara muslim dengan kitabiyah tersebut masih
dianggap perkawinan muslim. Pembolehan kitabiyah men-
jadi kesaksian nikah berarti antara muslim dengan non
muslim dibolehkan saling mengurus kepentingan keagama-
an. Sedangkan mazhab Hanafi berpendirian sebaliknya.
Menurut mereka kitabiyah boleh menjadi saksi terhadap
perkawinan yang terjadi antara muslim dengan kitabiyah
karena kesaksian dalam pernikahan diperlukan untuk
kepentingan perempuan.50
2. Dua orang laki-laki
Mazhab Hanafi membolehkan wanita jadi kesaksian
nikah, dengan syarat satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan sesuai dengan firman Allah swt. surat. al-
Baqarah ayat 283 yang artinya :
49
Ibid., hal. 20; Al-Syarkawi, Al-Syarqawi ‘alaa Al-Tahrir, Juz
II, Daar Al-Ihyaa Al-Kutub Al-‘Arabiyyat, Mesir, hal. 235; Ibnu Hajar
Al-Haitami, Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyat, Juz IV, Daar Al-Fikr,
Bairut, 1983, hal. 99.
50
Al-Sarakhsy, op.cit., hal. 33; Abu Zahrah, op.cit., hal. 62;
Husen Al-Zahabi, op.cit., hal. 70.
<<41>>
. . . dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki (di
antara kamu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka
(boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya . . .
Keumuman ayat ini --menurut mazhab Hanafi--
termasuk kedalamnya masalah kesaksian nikah.51 Di
samping itu mereka menyamakan akad nikah dengan
transaksi-transaksi lain yang membolehkan wanita menjadi
saksi.52
Berbeda dari pendapat mazhab Hanafi, mazhab
Syafi’i dan Hanbali menetapkan sebaliknya. Menurut
mereka wanita kapan saja tidak boleh menjadi kesaksian
nikah. Ayat 283 surat al-Baqarah yang dijadikan sebagai
dasar pembolehan wanita menjadi kesaksian nikah oleh
mazhab Hanafi --menurut mereka-- ayat tersebut khusus
berkenaan dengan masalah harta, bukan untuk kepentingan
pernikahan.53 Di samping itu lafazh Syaahidai ‘Adlin yang
terdapat dalam hadits yang menyatakan “tidak sah nikah
tanpa ada wali dan dua orang saksi yang ‘adil”,54
menunjukkan kepada dua orang lelaki bukan untuk satu
orang laki-laki dua orang perempuan.55 Sehubungan dengan
masalah ini Ibn Qadamah juga pernah menyatakan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi saksi terhadap nikah, talak
dan hudud.56
51
Muslim Ibrahim, op.cit., hal. 77; Muhammad Ali Al-Sayis,
Tafsir Ayat Al-Ahkaam, Juz I, Muhammad Subih Wa Aulaaduh, Mesir,
1953, hal. 171.
52
Muslim Ibrahim, Ibid.
53
Muhammad Ali Sayis, loc.cit.
54
Al-Baihaqi, loc.cit.
55
Muslim Ibrahim, MA, op.cit., hal. 74.
56
Ibn Qudamah, Al-Mughnii, Juz VII, Mushthafa Al-Baabii Al-
Halabii, Mesir, hal. 10; Idris Al-Buhuti, op.cit., hal. 65 – 66.
<<42>>
3. ‘Adil
Dimaksudkan dengan ‘adil disini adalah orang-
orang yang tidak membiasakan dirinya mengerjakan
perbuatan maksiat dan tidak fasiq.57 Mazhab Hanafi
membolehkan orang fasiq menjadi saksi dalam pernikahan
dengan pertimbangan disamping orang fasik dibolehkan
mengurus kepentingan umum ---lebih lagi menyangkut
masalah pernikahan-- juga sifat kefasikan seseorang tidak
mengurangi keimanannya. Sedangkan mazhab Syafi’i dan
Hanbali tidak membolehkan orang fasiq menjadi saksi
dalam pernikahan, karena persyaratan adil dalam kesaksian
nikah sudah ditentukan nash (hadits yang telah disebutkan
di atas). Di samping itu kesaksian dalam pernikahan --
menurut mereka-- bukan hanya sekedar untuk diketahui
oleh orang lain, tetapi punya tujuan yang lebih dari itu yaitu
menjadi alat bukti bila terjadi kekeliruan di kemudian hari
dalam suatu perkawinan; juga kesaksian nikah merupakan
suatu kemuliaan yang harus dipelihara. Hal itu semua tidak
mungkin diperoleh melalui kesaksian orang fasiq.58
4. Merdeka
Jumhur ulama mensyaratkan mereka sebagai salah
satu kriteria saksi dalam pernikahan, mengingat kesaksian
merupakan bagian dari perwalian, sedangkan hamba
dipandang tidak cakap (ahli) dalam masalah perwalian.
Pendapat ini dibantah oleh mazhab Hanbali. Menurut
mereka hamba sahaya dibolehkan menjadi saksi dalam
57
Ibn ‘Abidin, op.cit., hal. 54.
58
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 93; Al-Kasani, op.cit., hal. 255;
Muhammad Ibn Salim Ibn Dhauyan, Manaar Al-Sabiil fii Syarh Al-
Daliil, Juz II, Al- Mathba’at Al-Haasyimiyyat, Damsyik, hal. 157 –
158.
<<43>>
pernikahan, dengan alasan kesaksian dalam perkawinan
diperlukan untuk menghindari kekhawatiran terjadinya
pengingkaran perkawinan di suatu saat. Hal semacam ini
mungkin saja diperoleh melalui kesaksian seorang hamba
sahaya selama ia bersifat adil.59
5. Melihat
Mazhab syafi’i menganggap tidak sah pernikahan
yang disaksikan oleh orang buta, karena ia tidak dapat
membedakan antara kedua calon suami isteri. Sedangkan
mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali berpendirian sebalik-
nya. Menurut mereka “melihat” bukanlah salah satu syarat
kesaksian dalam pernikahan. Kesaksian orang buta dalam
perkawinan masih dianggap sah, karena tujuan kesaksian
dalam akad nikah seperti tersebut diatas mungkin saja
dicapai melalui kesaksian orang buta.60
59
Ibn Dauyan, ibid., hal. 157; Dr. H. Muslim Ibrahim, MA,
op.cit., hal. 72 – 73.
60
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 94; Dr. H. Muslim Ibrahim, MA,
ibid., hal. 78.
61
Ibn Qudamah, op.cit., hal. 11.
<<44>>
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas,
mazhab Hanafi menetapkan sebaliknya. Hubungan kerabat
dan permusuhan tidak ada hambatan untuk menjadi
kesaksian nikah, karena --menurut mereka-- keumuman
dalil tentang kesaksian nikah termasuk kedalamnya kedua
orang tersebut. Pengecualian tanpa didasarkan kepapa dalil
lain tidak sah.62
7. Berakal
Orang gila dan orang kurang sempurna akalnya
tidak boleh menjadi saksi dalam pernikahan.
9. Mendengar.
Orang yang tidak biasa mendengar atau mendengar
tetapi tidak bisa memahami maksud akad, tidak dibenarkan
menjadi saksi dalam pernikahan. Tujuan kesaksian dalam
akad nikah seperti yang telah disebutkan di atas tidak akan
ditemui melalui kesaksian orang tersebut.
Ketiga syarat tersebut terakhir semua sepakat
menetapkannya sebagai kriteria saksi dalam pernikahan.63
e. Maskawin (Mahar)
Maskawin sebagai salah satu rukun nikah menururt
mazhab Maliki seperti tersebut di belakang harus punya
syarat sebagai berikut:
62
Ibn Nujaim, op.cit., hal. 96; Al-Kasani, op.cit., hal. 256.
63
Lihat, Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, op.cit., hal. 70 – 71.
<<45>>
1) Ukuran minimal seperampat dinar emas atau tiga dirham
perak,64 demikian menurut mazhab Maliki. Menurut
mazhab Hanafi ukuran minimal maskawin adalah 10
dinar emas. Sedangkan mazhab Syafi’i dan mazhab
Hanbali tidak menetapkan ukuran minimal maskawin
tersebut. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan
berbeda dalam menggunakan hadits dalam masalah
tersebut. Sedangkan dalam al-Qur’an tidak disebutkan
secara tegas dan pasti ukuran atau kadar maskawin
tersebut.65
2) Tidak boleh ditanggunhkan lebih dari waktu Dukhul
(Hubungan Suami Isteri). Menanggguhkan maskawin
lebih dari ketentuan tersebut batal nikahnya.66 Atau
dengan kata lain maskawin boleh ditangguhkan selama
belum hidup bersama dalam satu rumah.
f. Wali
Seseorang yang menjadi wali dalam pernikahan
harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Merdeka
Hamba sahaya tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahan dikarenakan sifatnya sebagai budak dianggap
tidak mampu mengurus masalah tersebut.
64
Satu dinar di perkirakan lebih kurang 10 dirham, sama dengan
lebih kurang 4,11428 gram emas. 1/2 dinar emas atau 21/2 dirham sama
dengan lebih kurang 1,14428 gram emas. Andai kata satu gram emas
berharga Rp22.500,- sama dengan lebih kurang Rp25.066.90,-.
Bandingkan Drs. Syauqi Ismail Syahhatih, Penerapan Zakat Dalam
Dunia Modern: (alih bahasa: Anshari Umar Sitinggal), Pustaka Dian dan
Antar Kota, Jakarta, 1987, hal. 170 dan 174.
65
Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 107; Ibn Rusyd, Bidaayat
al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, Mushthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir, 1950, hal. 18-19.
66
Muhammad Ali Husen, ibid.
<<46>>
2) Sampai Umur (Baligh)
Anak-anak yang masih di bawah umur tidak
dibenarkan menjadi wali nikah disebabkan kurang
sempurna akalnya.
3) Berakal
Berakal sebagai salah satu kriteria wali dalam
pernikahan. Pernikahan yang diwalikan oleh orang gila
tidak sah.
67
Sayid Sabiq, op.cit., hal. 6.
68
Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd Al-Zawaj wa Asaruh, Daar
al-Fikr al-’Arabii, Mesir, 1971, hal. 174; Muhammad Husen al-Zahabii,
op.cit., hal. 110; Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 112; al-Kasani,
op.cit., hal. 239; Muhammad Syarbaini al-Khatib, op.cit., hal. 154; Ibn
Hajar al-Haitami, op.cit., hal. 254 – 256.
<<47>>
Jumhur Ulama menggangap adil sebagai salah satu
kriteria wali nikah. Oleh karena itu akad nikah yang
diwalikan oleh orang fasiq tidak sah (batal). Sedangkan
Mazhab Hanafi tidak mensyarakat ‘adil sebagai kriteria wali
dalam pernikahan. Mereka masih menganggap sah
perkawinan yang diwalikan oleh orang fasiq. Sebab terjadi
perbedaan mereka dalam masalah ini sama seperti yang
terjadi dalam masalah kesaksian orang fasiq di belakang.69
7) Laki-Laki
Jumhur ulama menganggap laki-laki sebagai syarat
mutlak untuk sahnya akad nikah. Perempuan --menurut
mereka-- kapanpun tidak boleh menjadi wali nikah baik
untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang
lain, dengan pertimbangan --secara hukum-- karena sifatnya
sebagai wanita dipandang tidak mampu untuk mengurus
masalah nikah. Sebaliknya mazhab Hanafi lelaki dianggap
mutlak dalam perwalian nikah. Akad nikah yang
dilaksanakan oleh wanita (baligh dan berakal) --menurut
mereka-- masih dianggap sah dan punya akibat hukum
sebagaimana halnya yang dilaksanakan oleh lelaki. Hanafi
berpendapat tujuan utama perwalian nikah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan perkawinan itu sendiri yaitu
terbentuknya keluarga bahagia dan sejahtera, rukun dan
69
Ibid.
70
Al-Dusuqi, Haasyiyat al-Dusuqi ‘alaa al-Syarh al-Kabiir,
Juz II, Daar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyat, Mesir, hal. 230;
Muhammad Ali Husen, loc.cit.
<<48>>
damai antara suami isteri dalam rumah tangga. Hal tersebut
--menurut mereka-- bisa saja diperoleh melalui perwalian
wanita yang sempurna akal dan baligh.71
Perlu dicatat di sini adalah semua ulama sepakat
menetapkan bahwa perkawinan itu tidak sah apabila kurang
salah satu rukun atau syaratnya sebagaimana yang telah
disebutkan di belakang; atau kurang salah satu syarat pada
rukun dan pada syarat perkawinan itu sendiri. Wali
merupakan rukun perkawinan menurut pendapat mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i; syarat sahnya perkawinan
menurut mazhab Hanafi dan Hanbali.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa --untuk
sahnya suatu pernikahan-- wali mutlak diperlukannya.
Untuk dapat terlaksananya akad nikah diperlukan pihak-
pihak yang mengadakan atau mengucapkan Sighat (ijab
kabul) itu sendiri. Ulama yang mengatakan lelaki sebagai
syarat mutlak dalam perwalian nikah menunjukkan ijab
tersebut harus dilakukan oleh wali atau wakilnya (laki-laki).
Akan tetapi sebaliknya ijab tersebut bisa saja dilakukan oleh
wanita atau wakilnya (laki-laki atau perempuan) bagi ulama
yang beranggapan lelaki bukan syarat mutlak dalam
perwalian nikah. Perbedaan pendapat mereka terhadap
masalah ini akan dijelaskan lebih terperinci dalam bab
berikutnya menyangkut dengan pendapat ulama tentang
lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Di samping syarat-syarat yang telah disebutkan dan
diuraikan di atas ada sejumlah syarat lain yang berhubungan
dengan akad nikah tersebut –biasanya-- dibuat atau
diucapkan oleh calon suami isteri baik untuk kepentingan
salah satu pihak (suami isteri) yang secara keseluruhan
71
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 146 – 147;
Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, op.cit, hal. 175
dan 177; Muhammad Husen al-Zahabi, op.cit., hal. 117 – 118.
<<49>>
dapat dikatakan ada pengaruhnya terhadap sah dan batalnya
akad nikah itu sendiri. Apabila dilihat dari segi pembagian
sarat dalam akad --secara umum-- syarat pertama dapat
disebut dengan syarat syar’i atau hakiki (ketetapan syara’);
dan syarat kedua disebut dengan syarat ja’li atau takliq
(ketetapan mukallaf).72
Kembali kepada syarat yang keberadaaannya
merupakan ketetapan mukallaf atau sering juga disebut
dengan syarat yang berbarengan dengan akad nikah, para
ulama membaginya kepada empat macam, yaitu:
1. Syarat-syarat yang merupakan bagian dari maksud akad
atau penguat maksud akad tersebut, artinya syarat-syarat
ini sesuai dengan tujuan akad itu sendiri. Seperti isteri
mensyaratkan kepada suami --dalam akad nikah—supaya
ia mau memberikan nafkah kepadanya, memberikan
pakaian, menyediakan tempat tinggal yang layak,
menggaulinya secara makruf dan sebagainya yang
sesuai dengan maksud akad. Terhadap persyaratan
semacam ini semua ulama sepakat menetapkan boleh
dikaitkannya dengan akad nikah dan wajib
disempurnakannya. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
disempurnakan, isteri punya hak untuk menfasakhkan
akad nikah tersebut.73
2. Syarat-syarat yang dapat mempengaruhi keabsahan akad
nikah. Seperti syarat pembatasan waktu perkawinan,
sebulan misalnya, atau setahun sebagainya. Persyaratan
semacam ini --menurut jumhur ulama-- dapat membawa
72
Dimaksudkan dengan syarat syar’i adalah syarat yang
keberadaannya dalam akad ditetapkan oleh syara’. Sedangkan syarat
ja’li adalah syarat yang keberadaannya dalam akad ditetapkan oleh
mukallaf (yang berkepentingan), dengan syarat tidak bertentangan
dengan tujuan akad itu sendiri. Lihat, Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd
al-Zawaj fii al-Syarii’at al-Islaamiyyat, Daar al-I’tisham, Kairo, hal. 37.
73
Ibid., hal. 62 – 63.
<<50>>
kepada ketidaksempurnaan akad atau membatalkan akad
nikah itu sendiri. Bahkan –pensyaratan-- yang demikian
dapat dianggap sebagai nikah mut’ah,74 karena tujuan
perkawinan adalah untuk selamanya bukan untuk waktu
tertentu.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, mazhab
Hanafi berpendirian sebaliknya. Menurut mereka
persyaratan semacam ini tidak membatalkan akad nikah dan
tidak dapat dianggap sebagai nikah mut’ah.75
3. Syarat berlawanan dengan maksud akad. Seperti suami
mensyaratkan dalam akad nikah tidak akan memberi
nafkah kepada isterinya; atau perkawinan mereka tidak
merupakan suatu sebab saling mewarisi.76 Dikatakan
berlawanan dengan akad nikah, karena dengan terjadinya
akad nikah suami berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya dan terjadilah saling mewarisi antara suami
isteri tersebut dan itulah yang dikehendaki oleh maksud
akad. Oleh karena itu persyaratan yang demikian tidak
dianggap sah dan tidak dibolehkan syara’.
4. Syarat-syarat yang bukan merupakan kehendak akad dan
juga tidak berlawanan dengan maksud akad itu sendiri,
tetapi punya tujuan tertentu bagi pihak yang
berkepentingan (suami atau isteri). Seperti isteri
mensyaratkan kepada suami dalam akad nikah supaya ia
tidak kawin lagi; tidak membawa ke rumah lain selain ke
rumahnya sendiri.77 Terhadap persyaratan ini terjadi
perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya, yang
dapat dibedakan kepada dua kelompok.
74
Ibid., hal. 71; Abu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj,
op.cit., hal. 210-211 dan al-Ahwaal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 181.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Ibid., hal. 71.
<<51>>
Kelompok pertama menganggap persyaratan seperti itu
tidak sah dan tidak wajib disempurnakannya, sedang akad
nikahnya tetap dianggap sah. Inilah pendapat jumhur ulama
selain mazhab Hanbali.78 Pemikiran mereka didasarkan
kepada:
a. Hadits Nabi saw.
1) Hadits Riwayat Muslim:79
ﻛﻞ ﺷﺮط ﻟﻴﺲ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ﻓﻬﻮ ﺑﺎ ﻃﻞ وان ﻛﺎن ﻣﺎ ﺋﺔ ﺷﺮط
Hadits tersebut --menurut mereka-- menunjukkan bahwa
syarat apapun yang tidak didasarkan pada dalil tentang
keabsahannya dianggap batal, baik dalil tersebut berupa al-
Qur’an atau hadits.80
2) Hadits Riwayat Al-Turmizi:81
اﳌﺴﻠﻤﻮن ﻋﻠﻰ ﺷﺮ وﻃﻬﻢ إﻻ ﺷﺮ ﻃﺎ أﺣﻞ ﺣﺮاﻣﺎ أوﺣﺮم ﺣﻼ ﻻ
Hadits tersebut -menurut jumhur- menunjukkan batalnya
semua syarat yang menghalalkan yang diharamkan Allah;
mengharamkan semua yang dihalalkan Allah.82
b. Rasio
Tujuan perkawinan adalah untuk menjaga manusia
supaya tidak terjerumus ke dalam hawa nafsu; dan bisa
hidup rukun antara suami isteri dalam suatu rumah tangga.
Perkawinan yang didasarkan kepada syarat-syarat tersebut
78
Ibid., hal. 72.
79
Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz I, Isa al-Baabi al-
Halabii, Mesir, hal. 144.
80
Abu-Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, op.cit.,
hal. 212 dan al-Ahwaal al-Syakhshiyyat, op.cit., hal. 183; Dr. Kausar
Kamil, op.cit., hal. 72.
81
Al-Turmizi, Sunan al-Turmizi, Juz II, Daar al-Fikr, Mesir,
1973, hal. 403.
82
Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd al-Zawaj fii al-Syarii’at al-
Islaamiyyat,, hal. 73.
<<52>>
di atas –terkadang-- dapat mengundang hancurnya rumah
tangga dan sekaligus dapat menghancurkan tujuan
perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu persyaratan yang
karenanya diduga dapat menghancurkan tujuan perkawinan
itu sendiri --menurut jumhur-- tidak dibolehkannya.83
Berbeda dengan pendapat kelompok pertama,
kelompok kedua yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali
berpendirian sebaliknya. Menurut mereka persyaratan
semacam itu dianggap sah dan wajib disempurnakannya,
bahkan isteri punya hak untuk membatalkan perkawinan
tersebut (melalui fasakh) apabila suami tidak mau
menyempurnakan syarat-syarat tersebut di atas.84
Kesimpulan ini didasarkan kepada:
a. Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari:85
إن أﺣﻖ اﻟﺸﺮوط أن ﺗﻮﻓﻮا ﺑﻪ: ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل
ﻣﺎ اﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ ﺑﻪ اﻟﻔﺮوج
Hadits ini --menurut mazhab Hanbali-- dapat dipahami
bahwa semua bentuk syarat dalam akad harus disempurna-
kannya, terlebih lagi menyangkut dengan persyaratan yang
berkaitan dengan akad nikah. Kata “ahaqqu” yang terdapat
dalam hadits --menurut mereka-- dapat mengarah kepada
pengertian tersebut. Begitu pula hadits tersebut bersifat
umum, yang berarti semua syarat yang berhubungan dengan
akad harus disempurnakannya. Apabila transaksi kebendaan
diharamkan karena tidak didasarkan kepada senang sama
senang, maka akad nikah --yang merupakan hubungan
83
Ibid.
84
Ibid.
85
Al-‘Ashqalani, Fath al-Baari, Juz IX, Mathba’at Salafiyat,
hal. 178.
<<53>>
langsung antara suami isteri-- yang juga tidak didasarkan
kepada senang sama senang terlebih lagi diharamkannya.86
b. Rasio
Setiap syarat yang di dalamnya mengandung
manfaat bagi pihak yang menetapkannya, tidak menyalahi
dengan maksud perkawinan. Oleh karena itu syarat-syarat
yang tidak menyalahi dengan tujuan perkawinan wajib
disempurnakannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
surat al-Maidah ayat 1:
86
Kausar Kamil, al-Syuruut fii ‘Aqd al-Zawaj fii al-Syarii’at al-
Islaamiyyat,
87
Ibid., hal. 76.
<<54>>
penetapan sesuatu syarat yang tidak ada nash (dalil) untuk
membatalkannya dianggap sah dan punya akibat hukumnya.
Dari semua uraian di atas --menyangkut dengan persyaratan
yang berbarengan dengan akad nikah-- yang perlu dicatat
bahwa syarat-syarat tersebut adakalanya sah dan juga yang
pasid (batal). Dimaksud dengan sah di sini adalah
persyaratan tersebut boleh dikaitkan dengan akad nikah dan
wajib disempurnakannya. Apabila tidak disempurnakan,
yang berkepentingan punya hak untuk membatalkan
perkawinan tersebut. Sedangkan syarat fasid (batal) adalah
segala persyaratan yang tidak ada pengaruhnya dikaitkan
dengan akad nikah dan tidak berkewajiban untuk
disempurnakannya, sedang nikah tetap dianggap sah.
<<55>>
darah).88 Hubungan kerabat yang lebih dekat antara wali
dengan yang diwalikannya disebut dengan “Waliyul
Akrab”; dan hubungan yang jauh antara wali dengan yang
diwalikannya disebut dengan “Waliyul Ab’ad”. Selama
waliyul akrab masih dijumpai dan memenuhi persyaratan
wali, maka waliyul ab’ad tidak boleh menjadi wali.
Jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa perwalian secara
nasab hanya dapat terjadi berdasarkan urutan ‘ashabah (bi
al-nafsih) semata sebagaimana yang terdapat dalam waris
mal waris, walaupun dalam tertib urutan prioritas terdapat
perbedaan-perbedaan tertentu antara mazhab-mazhab yang
terdapat dalam jumhur ulama yang dapat dilihat dalam
uraian berikut ini.
Menurut mazhab Maliki urutan perwalian secara
nasab adalah:
1. Bapa
2. Orang yang menerima washiyat dari bapa untuk
mengawinkan anaknya bila ia telah meninggal nanti
(waashi)
3. Anak laki-laki, meskipun dari hasil perzinaan
4. Cucu laki-laki
5. Saudara laki-laki kandung
6. Saudara laki-laki sebapa
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8. Anak laki-laki dari saudara laki sebapa
9. Paman kandung
10. Anak paman kandung
11. Paman sebapa
12. Anak paman sebapa
13. Bapa dari nenek
14. Paman dari bapak
88
Muhammmad Husen al-Zahabi, op.cit., hal. 109.
<<56>>
15. Orang yang mengasuh perempuan.89
Mazhab Maliki menambahkan, selain orang-orang yang
telah disebutkan di atas masih ada wali lain ang sifatnya
umum yaitu tiap-tiap orang yang didasarkan kepada fardhu
kifayah di saat tidak ada wali nasab dan wali hakim.90
Menurut mazhab Syafi’i urutan wali nasab adalah:
1. Bapa, Datuk (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki seibu dan sebapa
3. Saudara laki-laki sebapa
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapa dan
seterusnya ke bawah.
6. Paman (saudara kandung dari bapa)
7. Paman (saudara sebapa dari bapa)
8. Anak laki-laki dari paman kandung
9. Anak laki-laki dari paman sebapa dan seterusnya ke
bawah.91
Menurut mazhab Hanbali urutan wali nasab adalah
seperti berikut ini:
1. Bapa
2. Washi
3. Bapak dari bapa (datuk) dan seterusnya ke atas
4. Anak laki-laki
5. Cucu laki-laki
6. Saudara kandung
7. Saudara sebapa
8. Anak laki-laki dari saudara kandung
9. Anak laki-laki dari saudara sebapa
10. Paman nenek
89
Muhammad Ali Husen, op.cit., hal. 107-108; Mahmud Yunus,
Hukum Perkawinan Dalam Islam, al-Hidayah, Jakarta, 1956, hal. 56;
Ibn Rusyd, op.cit., hal. 13.
90
Muhammad Ali Husen, ibid.; Ibn Rusyd, ibid.
91
Ibn Hajar al-Haitami, op.cit., hal. 247.
<<57>>
11. Anak laki-laki dari paman nenek dan seterusnya ke
bawah.92
Pelaksanaan akad nikah yang berwalikan bukan
berdasarkan kepada tertib urutan seperti tersebut di atas
tanpa disebabkan oleh suatu faktor tertentu dianggap tidak
sah nikahnya. Apabila seluruh urutan perwalian tidak
didapatinya --menurut jumhur ulama-- perwalian dapat
berpindah kepada penguasa yang biasanya dipegang oleh
hakim atau orang yang berwenang dalam masyarakat.
Pembolehan washi sebagai wali oleh Maliki dan Hanbali
dalam melangsungkan akad nikah dengan syarat:
1. Antara washi dengan anak perempuan telah terjadi
pergaulan bertahun-tahun lamanya seperti pergaulan
anak dengan bapa, sehingga ia memelihara dan
menjaganya sebagaimana ia menjaga dan memelihara
anak sendiri.
2. Anak perempuan tersebut bukanlah termasuk orang yang
mulia. Kalau perempuan tersebut orang mulia, maka
walinya adalah hakim. Dimaksudkan dengan mulia di
sini adalah perempuan yang cantik dan kaya (persyaratan
ini ditentukan oleh Malik).
3. Washi tersebut harus laki-laki. Andai kata washi tersebut
seseorang perempuan, maka ia tidak berhak menjadi wali
(nikah).93
Sedangkan menurut mazhab Hanafi urutan wali secara
nasab terdiri dari:
1. Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah
2. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
3. Seperti urutan yang telah disebutkan oleh mazhab
Syafi’i
92
Idris al-Buhuti, op.cit., hal. 50-51.
93
Mahmud Yunus, op.cit., hal. 59-60.
<<58>>
4. Ibu
5. Ibu dari ibu
6. Anak perempuan
7. Anak perempuan dari anak perempuan (cucu
perempuan)
8. Anak perempuan dari cucu laki-laki
9. Anak perempuan dari cucu perempuan dan seterusnya
ke bawah
10. Bapak dari ibu
11. Saudara perempuan kandung
12. Saudara perempuan sebapa
13. Saudara perempuan seibu dan anak-anaknya
14. Saudara perempuan dari bapa (bibi)
15. Saudara laki-laki dari ibu
16. Saudara perempuan dari ibu
17. Anak perempuan dari paman dan bibi serta anak-
anaknya dan begitulah seterusnya ke bawah seluruh
keluarga zawil arham.94
Melihat kepada tertib urutan perwalian secara nasab
seperti yang telah dijelaskan di atas dijumpai perbedaan-
perbedaan tertentu di kalangan empat mazhab. Perbedaan
menonjol ditemukan dalam urutan perwalian yang
dikemukakan oleh mazhab Hanafi, yaitu pembolehan
kerabat oleh zawil arham menjadi wali nikah secara nasab.
Bahkan urutan tersebut tidak menjadi suatu syarat yang
mesti dipenuhi --sebagaimana yang diasumsikan jumhur
ulama-- karena perempuan yang sudah dewasa dan berakal
boleh mengawinkan diri sendiri dan mewakilkan kepada
orang lain.95 Terhadap urutan perwalian yang dikemukakan
oleh mazhab Hanafi ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:
94
Ibn al-Hummam, Syarh Fath Al-Qadiir, Juz III, Daar al-Ihya’,
Al-kutub al-Arabiyyat, Mesir, hal. 277 dan 286; Ibn ‘Abidin, op.cit., hal.
76 dan 79.
95
Ibn al-Humam, ibid., hal. 256.
<<59>>
1. Ketidakmutlakan lelaki dalam perwalian nikah, dalam
arti Wanita masih terbuka kemungkinan untuk menjadi
wali dalam perkawinan
2. Tidak mesti perwalian nasab itu didasarkan kepada
‘ashabah semata.
Kesimpulan ini ada kesamaannya dengan pendapat
orang yang mengatakan bahwa:
Istilah ‘ashabah berasal dari adat kebiasaan orang arab yang
karena itu tidak mesti (seharusnya) dipertahankannya, dan
begitu juga kedudukan keturunan melalui anak perempuan
dan seterusnya ke bawah sama kuatnya dengan keturunan
melalui anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.96
Kembali kepada urutan perwalian yang dikemuka-
kan oleh jumhur ulama --walaupun terdapat perbedaan di
sekitar tertib urutan orang-orang yang lebih berhak menjadi
wali- tetapi perwalian secara nasab menurut mereka masih
terbatas pada garis keturunan laki-laki (‘ashabah bi al-
nafsih). Perbedaan-perbedaan tersebut tidak dijelaskan lebih
terperinci karena kurang penting dibicarakan di sini.
2. Wali Hakim
Dimaksudkan dengan wali hakim adalah orang yang
berwenang mengurus masalah nikah disebabkan jabatannya
atau karena ditunjuk oleh penguasa seperti Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan sebagainya, dengan
syarat seluruh wali nasab tidak dijumpainya.97
96
Al-Yasa’ Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah (Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqih Mazhab),
disertasi Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yokyakarta,
1989, hal. 7-8.
97
Tidak dijumpai maksudnya tidak mencukupi persyaratan
seorang wali ataupun meninggal dunia. Lihat, Kompilasi Hukum Islam
<<60>>
Dasar adanya wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah
menurut syari’at Islam adalah hadits nabi yang berbunyi:98
: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ
.ﻓﺈن اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ وﱃ ﻟﻪ
Maksudnya: Dari Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw.
Bersabda: . . . jika wali (nasab) enggan (mengawinkan
anak perempuan), maka penguasa yang menjadi wali
(terhadap anak perempuan tersebut) yang tidak ada
walinya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Turmizi dan
dishahihkan oleh Ibn Hibban).
Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh al-Tabrani dari Ibn Abbas di bawah ini:99
ﻻ ﻧﻜﺢ إﻻ ﺑﻮﱃ واﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
.ﻻ وﱃ ﻟﻪ
Maksudnya: Nabi saw. bersabda: tidak sah nikah tanpa
wali. Jika tidak ada wali, maka penguasa (hakim) yang
menjadi walinya.
Kebanyakan ulama Fiqih --terlepas dari kuat
tidaknya-- kedua hadits tersebut di atas dijadikan sebagai
dasar adanya wali hakim dalam pelaksanaan nikah.
Perbedaan mereka ditemukan di sekitar pemahaman dua
hadits di atas yang mengakibatkan berbeda mereka dalam
menetapkan kapan terjadi pemindahan wali nasab kepada
wali hakim. Kunci pokok perbedaan mereka dalam
mengartikan “tiada wali” sebagai sebab perpindahan wali
100
Muhammad al-Syarbaini al-Khatib, op.cit., hal. 153.
<<62>>
perpindahan wali nasab kepada wali hakim harus ada izin
dari wali dekat.101
Melihat kenyataan sekarang -terlepas dari perbedaan
pendapat tersebut- dengan adanya wanita sebagai kepala
negara, hakim dan sebagainya kemungkinan wanita menjadi
wali dalam pernikahan melalui wali hakim di saat seluruh
wali nasab tidak ada bukan hal yang mustahil.
2. Macam-Macam Wali
Dalam Hukum Pernikahan Islam dikenal
adanya empat macam Wali Nikah, yaitu:
1. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian
nasab atau pertalian darah dengan calon
mempelai perempuan.
2. Wali maula, yaitu Wali Nikah karena, m e -
merdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi
wali nikahnya seseorang perempuan, karena
orang tersebut pernah memerdekakannya.
Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak terjadi.
3. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan
oleh Penguasa, bagi seorang perempuan yang
wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada,
baik karena telah meninggal dunia, menolak
menjadi wali nikah atau sebab-sebab lain.
4. Wali Muhakkam, yaitu Wali Nikah yang terdiri
dari seorang laki-laki yang diangkat oleh kedua
calon suami isteri untuk menikahkan mereka,
dikarenakan tidak ada Wali Nasab, Wali
Mu'tiq, dan Wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini
101
Ibn Syihabuddin al-Ramli, Nihaayat al-Muhtaaj ilaa Syarh al-
Minhaaj, Juz VI, Mushthafa al-Baabii al-Halabii, Mesir, 1937, hal.
236; Ibn Nujaim, op.cit., ha.l 126; al-Dusuqi, op.cit., hal. 236.
<<63>>
di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadi-
nya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang
lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan
Wali Hakim saja.
@@
<<64>>
BAGIAN KETIGA
KETIDAKMUTLAKAN LAKI-LAKI
DALAM PERWALIAN NIKAH
A. Perspektif Fuqaha’
Melihat kepada rukun dan persyaratan wali serta
tertib urutannya dalam pelaksanaan perkawinan yang
telah dijelaskan oleh empat mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali), sebelumnya, pembahasan berikut
ini berkaitan dengan ketidakmutlakan laki-laki dalam
perwalian nikah dapat dijelaskan seperti berikut.
Pertama, uraian yang dijelaskan oleh jumhur fuqaha’
(Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali)yang menetapkan
laki-laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian
nikah, dan kedua, uraian yang dijelaskan oleh mazhab
Hanafi yang menetapkan bahwa laki-laki bukan
merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
<<65>>
Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i dan Hanbali)
menetapkan bahwa perempuan kapan pun tidak boleh
melangsungkan akad nikah baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Mereka
sepakat menetapkan perkawinan yang dilaksanakan
oleh wanita sendiri tidak sah, karena perkawinan
tersebut punya tujuan akhir yang ingin diwujudkan
dalam rumah tangga yaitu harmonis, sejahtera, bahagia
dan melanjutkan keturunan. Wanita biasanya cepat
sekali dipengaruhi oleh perasaan atau tindakan yang
bersifat subjektif, sehingga tujuan perkawinan seperti
tersebut di atas sulit diwujudkan bila urusan per-
kawinan dipercayakan kepadanya. Karenanya untuk
memperoleh tujuan tersebut secara sempurna, menurut
jumhur hendaklah urusan perkawinan diserahkan
kepada wali.1 Secara singkat dapat dinyatakan bahwa
besar dugaan karena sifatnya sebagai perempuan
dipandang tidak cakap untuk mengurus masalah nikah,
wanita secara hukum punya kekurangan tersendiri
dalam bertindak dibandingkan dengan laki-laki.
َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣ ﱠﻦ وَﻷَََﻣﺔٌ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَﺔٌ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸ ِﺮَﻛ ٍﺔ َوﻟ َْﻮ َﺎت ﺣ ﱠ ِ وََﻻ ﺗَـْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ
َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا َوﻟَ َﻌْﺒ ٌﺪ ﻣ ُْﺆِﻣ ٌﻦ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸﺮ ٍِك
ﲔ ﺣﱠ َ ِأَ ْﻋ َﺠﺒَْﺘ ُﻜ ْﻢ وََﻻ ﺗـُْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ
ِﻚ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ َن إ َِﱃ اﻟﻨﱠﺎ ِر وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ إ َِﱃ اﳉَْﻨﱠ ِﺔ وَاﻟْ َﻤ ْﻐ ِﻔَﺮةِ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ َ َوﻟ َْﻮ أَ ْﻋ َﺠﺒَ ُﻜ ْﻢ أُوﻟَﺌ
ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮُو َن
ِ َﲔ آَﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨَُوﻳـُﺒـ ﱢ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
ﻀﻠُﻮُﻫ ﱠﻦ أَ ْن ﻳـَْﻨ ِﻜ ْﺤ َﻦ أَزْوَا َﺟ ُﻬ ﱠﻦ إِذَا ُ َوإِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَـﺒَـﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻌ
ﻆ ﺑِِﻪ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟْﻴـَﻮِْم
ُ ِﻚ ﻳُﻮ َﻋ َ وف ذَﻟ ِ ﺗَـﺮَاﺿَﻮْا ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮ
َﺧ ِﺮ ذَﻟِ ُﻜ ْﻢ أ َْزﻛَﻰ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻃْ َﻬ ُﺮ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن
ِ ْاﻵ
Artinya: “Apabila kamu mentalak istrimu, lalu habis iddahnya,
maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin dengan
(bakal suaminya atau dengan suami yang lain) apabila telah
mendapatkan keridhaan di antara mereka dengan cara
ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dari hari akhirat
(kemudian). Itulah lebih baik bagi kamu dan lebih suci. Allah
mengetahui dan kamu tidak mengetahui”.
6 Ibid.,
7 A1-Mubarakfuri, Tuhfa Al-Ahwazi Bi Syarh Jami’ Al-
Turmizi, Juz IV, (tp.: Muhammad Abdul Muksin A1-Maktabi, tt), h,
227.
<<70>>
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: وﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ
، " أﳝﺎ اﻣﺮأة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ إذن وﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ:
ﻓﺈن، ﻓﺈن دﺧﻞ ﺎ ﻓﻠﻬﺎ اﳌﻬﺮ ﲟﺎ اﺳﺘﺤﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ، ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ
. اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱄ ﻣﻦ ﻻ وﱄ ﻟﻪ
. ( ١٨٧٩ ) ( واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ٢٠٨٣ ) ( وأﺑﻮ داود١١٠٢ ) رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي
<<71>>
ْﺴﻬَﺎ وَاﻟْﺒِ ْﻜ ُﺮ ﺗُ ْﺴﺘَﺄْذَ ُن ِﰲ
ِ " اﻷَﱘﱢُ أَ َﺣ ﱡﻖ ﺑِﻨَـﻔ: َﺎل
َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ
َ
أَ ْﺧَﺮ َﺟﻪُ ُﻣ ْﺴﻠِ ٌﻢ َﻋ ْﻦ، َﺤﻴ ٌﺢ ِ ِﻳﺚ ﺻ
ٌ َﻫﺬَا َﺣﺪ. " ﺻﻤَﺎﺗـُﻬَﺎ ُ َوإِ ْذﻧـُﻬَﺎ، ْﺴﻬَﺎ ِ ﻧـَﻔ
. ي َوَﱂْ ﳜُْ ِﺮ ْﺟﻪُ اﻟْﺒُﺨَﺎ ِر ﱡ، ِﻚ
َ ِﻚ َﻛ َﺬﻟ
ٍ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ، ََﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻣْﻨﺼُﻮٍر َوﻗـُﺘَـْﻴﺒَﺔ
Maksudnya: Rasulullah saw bersabda: janda lebih berhak atas
dirinya dari pada wali (dalam urusan perkawinan).
Perempuan yang masih bikir (perawan,) diminta izin
kepadanya. Izinnya adalah diam. Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan Ibnu Majah.
ﻻ ﺗﺰوج اﳌﺮأة اﳌﺮأة وﻻ ﺗﺰوج:ﻣﺎ ﻋﻼﻗﺔ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
اﳌﺮأة ﻧﻔﺴﻬﺎ ـ ﺑﺎﻻﻋﱰاف ﺑﺎﳊﺐ ﻟﺸﺎب ﺑﻘﺼﺪ اﻟﺰواج؟ وﻫﻞ ﻳﻨﻄﺒﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ
اﳊﺪﻳﺚ ﰲ ﻫﺬﻩ اﳊﺎﻟﺔ وﺗﻌﺪ زاﻧﻴﺔ؟ وﻫﻞ ﻳﺼﺢ زواﺟﻬﺎ ﰲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ اﳊﺎﻟﺔ
.أم ﻻ؟
Maksudnya: Dari Nabi saw Ia bersabda: janganlah orang
perempuan mengawinkan orang perempuan lain, dan jangan
pula mengawinkan diri sendiri. Perkawinan yang dilakukan
oleh perempuan (baik terhadap dirinya atau orang lain)
dianggap perbuatan zina. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn
Majah, Daar Al-Quthni dan al-Baihaqy.
3. Rasio
Di samping dalil-dalil yang sudah dikemukakan di
atas, mereka juga berpendapat bahwa perkawinan tersebut
punya tujuan-tujuan tertentu yang ingin diwujudkan oleh
kedua calon suami istri. Di antara tujuan tersebut yang paling
penting adalah membentuk keluarga bahagia dan
memperoleh keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tujuan tersebut agak sulit diperoleh bila seluruh urusan
perkawinan diserahkan kepada wanita, karena seperti yang
telah disebutkan di muka, wanita biasanya cepat dipengaruhi
oleh perasaan yang dapat membawa kepada tindakan yang
bersifat subjektif bila dibandingkan laki-laki.11 Kesimpulan
semacam ini agak sulit dipertahankan kebenarannya, karena
tidak semua wanita memiliki sifat seperti tersebut di atas.
Demikian juga sebaliknya, tidak semua laki-laki dapat
menghindari dari sifat tersebut.
<<74>>
Selanjutnya Ibnu ‘Abidin dan al-Kasani ketika
menjelaskan pendapat Hanafi menyebutkan, perwalian
berlaku terhadap perempuan yang sudah dewasa dan berakal
dalam pelaksanaan akad nikahnya adalah berbentuk nadb
(anjuran), artinya perempuan lebih baik menguasakan akad
nikahnya kepada wali yang laki-laki. Lebih baik di sini berarti
tidak mesti wali (laki-laki) yang hams bertindak terhadap
pernikahannya. Dalam hal ini dia sendiri pun dibolehkannya.
Apabila terhadap sendiri telah dibolehkan, terhadap orang
lain pun sudah termasuk ke dalamnya.14
Muqtashid, h. 11.
<<75>>
suatu hal yang perlu ditinjau kembali terhadap pendapat Ibnu
Rusyd, yang mengatakan pengkhususan ayat tersebut
dikarenakan di dalamnya tiada penjelasan tentang jenis-jenis
wali, sifat dan urutannya dalam perwalian nikah. Hal ini
disebabkan karena hampir semua ayat Al-Qur’an kecuali
masalah warisan khitabnya banyak yang bersifat umum.
<<77>>
Keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa mazhab
Hanafi tidak menganggap khusus khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat tersebut di atas ditujukan kepada wali.
Karena keumuman ayat tidak mungkin dipahami secara
khusus tanpa ada dalil lain yang menjelaskannya.
<<78>>
dua dalil yang saling berlawanan, maka kedua dalil tersebut
tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum.19
22 Ibid.,
<<81>>
Dari uraian di atas dapat dinyatakan dikarenakan
kedua riwayat tersebut tidak disebutkan bukti secara konkrit
secara ilmiah sulit dipertahankan kebenarannya. Namun
menurut al-Mubarakfuri banyak ahli hadits termasuk ke
dalamnya Muslim mengatakan bahwa Abd Rahman dan Ibnu
Munzir termasuk perawi yang kuat, masing-masing di
kalangan sahabat dan tabi’in.23
23 Al-Mubarakfuri, h. 227.
24 Muhammad Zakaria, h. 40.
25 Keterangan al-Bakhy -dalam menjelaskan pendapat Imam
28 AI-Sarakhsy, h. 172.
29 Ibid.,
<<84>>
untuknya dan mana yang bukan. Keadaan semacam ini dalam
penetapan hukum sering tidak ditemui kepastiannya.
<<85>>
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, ketidakmutlakan
laki-laki dalam perwalian nikah terhadap perempuan dewasa
dan berakal sehat menurut mazhab Hanafi, bukan semata-
mata didasarkan kepada adanya praktik Aisyah tersebut,
tetapi juga disebabkan oleh kesenangan mereka berpegang
kepada dalil yang sifatnya umum dalam hal ini Al-Qur’an, di
saat terjadi ta‘rudh (perlawanan) antara dua dalil dalam
masalah yang sama. Perbedaan mereka dalam penetapan
hukum pada dalil-dalil yang sama lebih banyak didasarkan
berbeda dalam penalaran nash-nash tersebut.
B. Perspektif Mufassir
Dalam Al-qur’an ada beberapa ayat yang berkenaan
dengan wali dalam perkawinan yang menjadi perbedaan
pendapat ulama tafsir dalam memahaminya. Sebagian
mufasir menganggap khithab (perintah atau larangan)yang
terkandung di dalam ayat-ayat tersebut khusus ditujukan
kepada wali, yang berarti laki-laki merupakan syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Sedangkan sebagian mufasir lainnya
menganggap khithab dimaksud ditujukan kepada semua
<<88>>
orang termasuk wali di dalamnya, yang sekaligus terpahami
laki-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah .
Ayat-ayat yang menjadi pokok kajian pemahaman
ulama tafsir adalah ayat-ayat yang menjadi pegangan
fuqaha’ dalam menetapkan kedudukan dan kriteria wali
dalam pernikahan yaitu: ayat 221, 230, 232 dan 234 surat al-
Baqarah; ayat 32 surat al-Nur yaitu sebagai berikut :
َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣ ﱠﻦ وَﻷَََﻣﺔٌ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَﺔٌ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸ ِﺮَﻛ ٍﺔ َوﻟ َْﻮ َﺎت ﺣ ﱠ ِ وََﻻ ﺗَـْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ
َﱴ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا َوﻟَ َﻌْﺒ ٌﺪ ﻣ ُْﺆِﻣ ٌﻦ َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺸﺮ ٍِك ﲔ ﺣﱠ َ ِأَ ْﻋ َﺠﺒَْﺘ ُﻜ ْﻢ وََﻻ ﺗـُْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛ
ِﻚ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ َن إ َِﱃ اﻟﻨﱠﺎ ِر وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ إ َِﱃ اﳉَْﻨﱠ ِﺔ وَاﻟْ َﻤ ْﻐ ِﻔَﺮةِ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪَ َوﻟ َْﻮ أَ ْﻋ َﺠﺒَ ُﻜ ْﻢ أُوﻟَﺌ
ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮُو َن
ِ َﲔ آَﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ
َُوﻳـُﺒـ ﱢ
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
َﱴ ﺗَـْﻨ ِﻜ َﺢ زَْوﺟًﺎ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ
ﻓَِﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻓ ََﻼ َِﲢ ﱡﻞ ﻟَﻪُ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌ ُﺪ ﺣ ﱠ
ْﻚ ُﺣﺪُو ُد اﻟﻠﱠ ِﻪ
َ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬﻤَﺎ أَ ْن ﻳـَﺘَـﺮَا َﺟﻌَﺎ إِ ْن ﻇَﻨﱠﺎ أَ ْن ﻳُﻘِﻴﻤَﺎ ُﺣﺪُوَد اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺗِﻠ
ﻳـُﺒَـﻴﱢـﻨُـﻬَﺎ ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳـَ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
<<89>>
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.
ﻀﻠُﻮُﻫ ﱠﻦ أَ ْن ﻳـَْﻨ ِﻜ ْﺤ َﻦ أَزْوَا َﺟ ُﻬ ﱠﻦ إِذَا ُ َوإِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَـﺒَـﻠَ ْﻐ َﻦ أَ َﺟﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻌ
ﻆ ﺑِِﻪ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟْﻴـَﻮِْم ُ ِﻚ ﻳُﻮ َﻋ َ ُوف ذَﻟ ِ ﺗَـﺮَاﺿَﻮْا ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ
َﺧ ِﺮ ذَﻟِ ُﻜ ْﻢ أ َْزﻛَﻰ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻃْ َﻬ ُﺮ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َنِ ْاﻵ
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
<<90>>
kan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
<<91>>
saudara perempuannya yang ditalak suami untuk kembali
lagi seperti sediakala.32 Hal ini sesuai dengan hadits
berikut:
Matannya menurut Abu Dawud.33
ﻛﺎﻧﺖ ﱃ أﺧﺖ ﲣﻄﺐ إﱃ ﻓﺄﺗﺎﱏ: ﻋﻦ اﳊﺴﻦ أن ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﻳﺴﺎر ﻗﻞ
اﺑﻨﻌﻢ ﱃ ﻓﺎﻧﻜﺤﺘﻬﺎ إﻳﺎﻩ ﰒ ﺗﺮ ﻛﻬﺎ ﺣﱴ اﻧﻘﻀﺖ ﻋﺪ ﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﺧﻄﺒﺖ إﱃ
ﻓﻔﻰ ﻧﺰﻟﺖ: ﻗﺎل, واﷲ ﻻ أﻧﻜﺤﻬﺎ )ﻻ اﻧﻜﺤﺘﻬﺎ( أﺑﺪا,ﻻ:ﳜﻄﺒﻬﺎ ﻓﻘﻠﺖ
ﻓﻜﻔﺮت ﻋﻦ ﳝﻴﲎ ﻓﺄ ﻧﻜﺤﻬﺎ إﻳﺎﻩ: ﻗﺎل. . . ﻫﺬﻩ اﻻ ﻳﺔ
Maksudnya : dari al-Hasan, bahwa Ma’qil Ibn Yasar
berkata: saya punya seorang saudara perempuan yang
senang kepada saya, tatkala anak paman datang, maka saya
kawinkan dengannya (saudara perempuan tersebut)
kemudian ia ceraikannya dengan talak raj’i dan dibiarkan-
nya sampai selesai ‘iddah. Manakala saya mau mengawini-
nya datanglah anak paman tadi untuk mengawininya lagi
(kembali lagi), lantas saya mengatakan (kepadanya) “demi
Allah saya tidak akan mengawinkannya lagi (denganmu)
untuk selamanya”, maka turunlah ayat . . . ia berkata saya
berikan kafarat sumpah lalu saya kawinkan dia dengan anak
paman tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan
Abu Dawud.
Para ulama hadits sering mempertanyakan kekuatan
hadits yang didalam sanadnya dijumpai Ubad Ibn Rasyid.
Menurut keterangan Abu Dawud hadits itu lemah, tetapi
beliau tidak menyebutkan lebih lanjut sebab kelemahan
riwayatnya. Hal ini didukung oleh Nasaiy yang menyatakan
Hasan
34
. Ahmad Sahar Nafuri, hal. 89
35
Ahmad Sahar Nafuri, hal. 91
36
Ibn Qayyim al Jauziyyat, Aun al Ma’buud Syarh Sunan Abi
Daawud, Jilid VI, Daar al Fikr, hal. 109; Ahmad Sahar Nafuri, Bazl al
<<93>>
Sejalan dengan pendapat di atas - -melihat kepada
sebab turunnya ayat--al-Thabari juga menyatakan yang pasti
ayat tersebut berkenaan dengan larangan para wali
menghalangi atau menimbulkan kemudharatan terhadap
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kembali
lagi dengan bekas suaminya atau kawin dengan laki-laki lain
yang ia sukai.37
Abubakar al-Jashsas seorang mufasir bermazhab
Hanafi berkesimpulan ayat tersebut diturunkan khusus untuk
para wali tidak mesti demkian. Menurut beliau kesimpulan
semacam itu sulit dipertahankan kebenarannya, disebabkan
khitab ayat tersebut terlalu umum mencakup semua orang
termasuk suami.38 Kesimpulan ini sama seperti yang
dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manaar.
Menurut beliau walaupun turun ayat tersebut dikarenakan
sebab yang khusus tetapi hukumnya berlaku umum.
Termasuk ke dalamnya suami yang menghalangi isteri yang
sudah diceraikan untuk kawin dengan laki-laki lain yang ia
sukainya.39
Berkenaan dengan arti dan cakupan lafazh yang
digunakan untuk menunjuk perwalian nikah dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Al-Qurthubi menjelaskan kalimat “wa laa tunkihuu
al-musyrikiin” yang terdapat dalam ayat 221 surat al-
Baqarah khitabnya khusus ditujukan kepada wali. Oleh
karena itu -- menurut beliau -- wali dilarang mengawinkan
Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX, hal. 89; Ibn Hajar al ‘Ashqalany, Fath
al Baary, Juz XI, Musthafa al Baabii al Halaby, Mesir, 1959, hal. 91
37
Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 487
38
Al Jashsas, Ahkaam al Qur’an, Juz II, Mathba’at Abd
Rahman, Kairo, hal. 101
39
Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, Maktabat al Qahirat,
hal. 401-402
<<94>>
anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya dengan
laki-laki musyrik. Bahkan ayat tersebut merupakan dasar
utama disyaratkan wali dalam perkawinan. Hadits-hadits
yang berkaitan dengan perkawinan dianggap sebagai
penafsir ayat tersebut. Hal ini terlihat ketika ia memahami
hadits “al-ayyimu ahaqqu bi nafsiha”. Beliau mengartikan
perkawinan itu harus didasarkan atas keredhaan orang
perempuan, bukan berarti perempuan tersebut yang berhak
melaksanakan akad nikah sendiri.40 Keterangan tersebut
menunjukkan wali (laki-laki) sebagai syarat mutlak dalam
perwalian nikah.
Sejalan dengan penafsiran di atas apa yang
dikemukakan Ibn al-‘Araby --seorang mufassir yang
bermazhab Maliki -- berikut ini. Kebenaran kesimpulan di
atas cukup beralasan, karena dengan didummahkan “ta”
(dibariskan dihadapan) pada kalimat “wa laa tunkihu”--
secara jelas-- menunjukkan ada pihak lain yang mengurus
masalah nikah, dalam hal ini wali bukan perempuan itu
sendiri.41
Beralih kepada ayat 230 surat al-Baqarah, kalimat
“nikah” yang terdapat dalam ayat tersebut --menurut Ibn al-
‘Araby-- mengandung dua pengertian yaitu; (1) diartikan
dengan “akad” dalam bentuk yang tersurat (2) diartikan
dengan jimak dalam bentuk yang tersirat. Andaikata
pengertian diartikan dalam bentuk pertama, maka --
berdasarkan ayat tersebut - perempuan boleh mengawinkan
diri sendiri karena nikah tersebut diidhafatkan kepadanya.
Akan tetapi kalau diartikan dalam bentuk yang kedua, maka
kandungan ayat tersebut berarti perempuan kapanpun tidak
boleh mengawinkan diri sendiri ataupun orang lain karena
40
Al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III, Daar al
Kitaab al ‘Araby, 1967, hal. 72-73
41
Ibn al ‘Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz,
Isaa al Baabii al Halabii, 1950, hal. 197
<<95>>
zhahir ayat tidak menunjukkan demikian. Dalam hal ini
beliau lebih condong kepada pengertian kedua, dengan
alasan hadits-hadits yang berkaitan dengan nikah
mendukung kearah tersebut.42
Berbeda dengan pemahaman di atas, al-Jashsas
berpendapat sebaliknya. Penafsirannya lebih condrong pada
bentuk pertama bahkan pengertian semacam itulah yang
dikehendaki oleh ayat. Menurut beliau ada dua kalimat
dalam ayat tersebut yang mendukung kesimpulannya yaitu;
(1) kalimat “hatta tahkina zaujan ghairah” menunjukkan
pengertian bahwa yang melangsungkan akad nikah adalah
perempuan sendiri, dan (2) Kalimat “falaa junaaha
‘alaihimaa an yataraa ja’a” diartikan dengan suami isteri
yang telah terjadi perceraian punya hak untuk ruju’ (kembali
lagi kepada perkawinan semula) tanpa memerlukan kepada
wali.43
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perbedaan
penafsiran kedua penafsir tersebut besar kemungkinan
disebabkan oleh dua faktor, (1) perbedaan dalam
mengartikan kalimat yang dianggap sebagai kunci
pemahaman ayat. Satu pihak lebih mementingkan arti secara
zhahir (tersurat), sementara di pihak lain lebih
mementingkan arti secara tersirat; (2) sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang mereka anut.
Hal ini dapat dilihat kepada kebiasaan kedua penafsir dalam
memahami nash. Ibn al-‘Araby seorang mufassir yang
bermazhab Maliki -- dalam tulisan ini dimasukkannya
kedalam kelompok jumhur--kebiasaan dalam penafsiran
nash lebih mengarahkan kepada arti yang tersurat. Akan
tetapi di sini -- besar dugaan -- kecondongan penafsirannya
kepada arti yang tersirat disebabkan latar belakang mazhab
42
Ibn al Arabi, hal. 197
43
Al Jashash, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
<<96>>
yang dianutnya (tidak membolehkan wanita menjadi wali
dalam pernikahan). Begitu juga sebaliknya al-Jashsas--
penafsir bermazhab Hanafi--kebiasaannya menafsirkan nash
lebih condong kepada arti yang tersirat tetapi di sini
sebaliknya.
Beralih kepada penafsiran ayat 232 surat al-
Baqarah.Ulama tafsir sepakat menetapkan bahwa kata “al-
‘dal” yang terdapat dalam kalimat “falaa ta’dhuluu hunna”
mengandung arti “al-habs (menghambat), al-man’
(menghalangi) dan al-tadhyiiq (menyukarkan)”. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam menentukan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut.
Ibn al-‘Araby menilai ayat tersebut berkenaan dengan
larangan Allah terhadap para wali yang menghalangi
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kawin
dengan laki-laki lain yang ia sukai. Menghalangi kawin di
sini berarti wali tidak mau (enggan) mengawinkan
perempuan tersebut dengan laki-laki yang ia sukainya.
Andaikata perampuan punya hak untuk mengawinkan diri
sendiri, tentu tidak mungkin ada larangan “menghalangi”
yang terdapat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu tepatlah
dikatakan bahwa khitab ayat tersebut khusus ditujukan
kepada wali yang tidak mau mengawinkan anak perempuan
yang ada di bawah perwaliannya.44 Sejalan dengan
penafsiran di atas, al-Qurthuby juga mengatakan walaupun
ada orang yang mengatakan bahwa khitab tersebut ditujukan
kepada suami yang menghalangi bekas isterinya kawin
dengan laki-laki lain agak sulit dipertahankan kebenarannya,
karena kalau keadaannya demikian -- melihat kepada sebab
turun ayat -- tidak mungkin larangan tersebut ditujukan
44
Ibn al ‘Araby, hal. 197
<<97>>
kepada Ma’qil kalau saudaranya dapat melaksanakan akad
nikah sendiri tanpa adanya (Ma’qil).45
Dua penafsir berikutnya al-Zamakhsyary dan Rasyid
Ridha menegaskan ada dua kemungkinan tujuan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut; (1) dilihat dari segi turun
ayat ditujukannya kepada wali; (2) bila dikaitkan dengan
kalimat “wa idzaa tallaqtum al-nisaa’” yang terdapat
dipermulaan ayat menunjukkan larangan tersebut ditujukan
kepada suami. Keduanya tidak menegaskan mana yang lebih
benar dari kedua altelnatif tersebut.46 Namun dilihat dari
segi cara penafsiran keduanya dapat dinyatakan bahwa
penafsirannya masih berkisar pada perempuan tidak punya
hak untuk mengurus sendiri masalah pernikahannya.
Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang telah
disebutkan di atas diberikan oleh al-Jashsas. Menurut beliau
ayat tersebut merupakan dasar utama tentang pembolehan
wanita mengurus dan melaksanakan akad nikah sendiri, di
samping ayat-ayat lain sebagai pendukungnya. Bahkan
beliau membantah pendapat yang mengatakan bahwa
perempuan tidak punya hak mengurus pelaksanaan akad
nikah. Dia tidak mementingkan tujuan khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut; kepada siapapun khitab itu
ditujukan pengertiannya tetap seperti tersebut di atas. Ada
dua kalimat--sebagai dasar pertimbangannya--yang dapat
mendukung kearah pemikiran yang disebutkan. Kalimat
pertama “falaa ta’dhuluuhunna an yankihna
azwaajahunna” dipahami bahwa perempuan tidak boleh
dihalangi untuk melaksanakan akad nikah sendiri dengan
laki-laki pilihannya. Kalimat kedua “al ma’ruf” diartikan
dengan “sekufu” atau “sejodoh” dan “mahar misil”. Dua
45
Al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam al Qur’an, Juz III, hal.
158-159
46
Al Zarkhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, al intsyaarat, Taheran,
hal. 369; Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, hal. 401-402
<<98>>
kalimat tersebut secara keseluruhan beliau pahami
“seorangpun tidak punya hak menghalangi perkawinan yang
dilaksanakan oleh perempuan sendiri atas dasar sejodoh dan
bermahar misil”. Kalau khitab tersebut ditujukan kepada
wali misalnya -- secara mukhalafah -- berarti wali baru
punya hak untuk menghalangi atau membatalkan
perkawinan tersebut melalui hakim bila bukan dengan laki-
laki yang sejodoh dengan perempuan tersebut dan juga tidak
dengan mahar misil.47
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, perbedaan
penafsir dalam memahami ayat tersebut dikarenakan
berbeda mereka dalam mengnisbahkan nikah itu sendiri. Al-
Jashsas nikah tersebut dinisbahkan kepada perempuan
dengan pertimbangan dua kalimat tersebut di atas. Jadi
penafsiran ayat yang dilakukannya lebih bersifat
menyeluruh. Sedangkan penafsiran-penafsiran lainnya --
menyangkut dengan ayat-ayat tersebut -- nikah itu
dinisbahkan kepada wali. Oleh karena itu laki-laki
merupakan syarat mutlak untuk sahnya pernikahan.
Pemahaman seperti ini lebih erat kaitannya dengan pendapat
jumhur ulama. Sebaliknya pemahaman dalam bentuk
pertama lebih mengacu kepada pendapat mazhab Hanafi.
Beralih kepada ayat 234 surat al-Baqarah.Kunci
pokok yang menjadi pemahaman ulama-ulama tafsir ayat
dalam tersebut adalah kalimat “falaajunaaha ‘alaikum fii
maafa’alnaa fii anfusinnaa bi al ma’ruuf”. Tiga mazhab --
al-Thabary, Ibn al-‘Araby dan al-Qurthuby --48sepakat
47
Al Jahshas, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
48
Kendatipun dia mengatakan bahwa khitab tersebut berlaku
untuk semua orang, tetapi pada hakikatnya juga bertujuan kepada wali.
Hal ini terlihat jelas tatkala ia memahami kalimat-kalimat berikutnya
dalam ayat tersebut. Bahkan suatu bukti yang meyakinkan di tempat lain
ia pernah menegaskan yang berwenang mengurus masalah tersebut
<<99>>
menetapkan bahwa khitab yang terkandung dalam kalimat
“falaa junaaha ‘alaikum” adalah ditujukan kepada para
wali. Begitu juga kalimat “fii maa fa’alna”mereka
maksudkan dengan “perkawinan” dan kalimat “bi al
ma’ruuf” semua perbuatan yang diizinkan syara’ berkaitan
dengan perkawinan seperti memilih calon suami,
menentukan mahar dan sebagainya, kecuali melaksanakan
akad, karena itu hak wali.49
Dari keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa tidak
ma’ruf dan berlawanan dengan ayat apabila masalah
pelaksaan nikah dikuasakan kepada wanita.
Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang
dikemukakan di atas diberikan oleh Zamakhsyary. Menurut
beliau khitab yang terkandung dalam kalimat “falaa
junaaha ‘alaikum” mencakup semua orang islam baik
pimpinan, maupun seluruh masyarakat islam. Sedangkan
kalimat “fii maa fa’alna bi al-ma’ruuf”--yang dipahami
oleh penafsir terdahulu dengan segala perbuatan yang ada
kaitannya dengan nikah-- menurut pemahamannya adalah
segala perbuatan dan tindakan yang sesuai dengan keinginan
syara’, tidak terkecuali yang berkaitan dengan nikah.
Dengan demikian para pimpinan dan seluruh orang Islam
merasa berdosa apabila seorang perempuan yang baru
selesai dari iddah wafat suaminya mengerjakan seluruh
perbuatan yang dibenci syara’.50
Melihat kepada penafsiran yang diberikan oleh al-
Zamakhsyari di atas --besar dugaan-- beliau tidak
menganggap ayat ini berhubungan dengan perwalian nikah.
51
Al Jashash, Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 101
<<101>>
karena keumuman ayat tidak menghendaki demikian. Begitu
juga sebaliknya dikarenakan keumuman khitab yang
terkandung dalam ayat tersebut menganggap pembahasan
perwalian ini beralawanan dengan ayat tersebut.
Beralih kepada penafsiran surat al-Nur ayat
32.Sasaran utama yang menjadi kajian penafsiran ayat
tersebut adalah kalimat “wa ankihuu al-ayaamaa minkum”.
Dari beberapa kitab tafsir yang dibaca kebanyakan ulama
tafsir mengartikan kata “al-ayyimu” kepada “orang yang
hidup sendirian baik laki-laki atau perempuan, sudah pernah
kawin atau belum (laki-laki yang tidak punya isteri dan
sebaliknya)”52 kecuali Ibn al-‘Araby. Menurut beliau kata
tersebut lebih dapat diartikan kepada perempuan yang tidak
bersuami baik karena sudah cerai atau belum kawin sama
sekali.53
Menyangkut dengan kata “ankihuu” ulama tafsir
berbeda pendapat tentang khitab yang terkandung dalam
kata tersebut. Al-Qasimy, al-Qurthuby dan Ibn al-‘Araby
menganggap khitab yang terkandung dalam kata tersebut
ditujukan khusus untuk para wali. Dibandingkan dengan al-
Qasimy, Ibn al-‘Araby lebih terperinci menjelaskan masalah
tersebut.
Menurut beliau walaupun ada orang yang mengata-
kan khitab yang terkandung dalam kata tersebut ditujukan
kepada suami, tertolak dengan alasan kata “wa akinhuu”
dengan memakai “hamzat” tidak bisa ditujukan kepada
52
Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, Isa al Babii al
Halabii, Mesir, 1959, hal. 4516; al Zamakhsyary, al Kasysyaaf, Juz III,
hal. 63; Al jahshash, Ahkaam al Qur’an, Juz III, hal. 319; al Thabary,
Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 125 dan al Qurthuby, Al Jaami’ al Ahkam
al Qur’an, Juz XII, 239, hal. 239
53
Ibn al Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III,
hal. 1364
<<102>>
suami tanpa ada dalil yang menjelaskannya.54 Akan tetapi
al-Tharaby dan al-Jashsas mengatakan khitab tersebut
masing-masing ditujukan kepada seluruh orang mukmin dan
kepada semua orang tanpa kecuali.55
Melihat kepada pengertian kata “al-ayyimu” dan
“akinhuu” yang ditafsirkan di atas perlu dicatat bahwa ada
kemungkinan ayat tersebut tidak termasuk dalam katagori
ayat perwalian nikah bila dilihat dari segi tujuan khitab
ditujukan kepada semua orang, dan pengertian kata “al-
ayyimu” semua orang yang hidup sendirian baik laki-laki
atau perempuan; yang sudah pernah kawin atau belum
seperti yang dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir di atas.
Layaknya dapat dikatakan bahwa ayat tersebut berkenaan
dengan anjuran kawin terhadap laki-laki yang tidak punya
isteri dan sebaliknya, baik sudah pernah kawin atau belum.
Pengkhususan keumuman khitab yang terkandung dalam
ayat tersebut kepada para wali dan orang-orang perempuan
yang tidak bersuami tanpa menyertai dalil lain sebagai
mukhassisnya seperti yang dipahami oleh al-Qasimy dan
Ibn al-‘Araby memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kembali kepada penafsiran yang dilakukan mufasir-
mufasir di depan terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan
nikah dapat dinyatakan --secara umum-- penafsiran mereka
dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang dianutnya. Ibn
al-‘Araby misalnya walaupun dalam beberapa ayat yang
ditafsirkannya menyatakan bahwa khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah di depan khusus ditujukan kepada
para wali (ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 32 surat al-
54
Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, hal.4517; Ibn al
Araby, Ahkaam al Qur’an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III, hal. 1364 dan
hal. 1367
55
Al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 126; Al Jashash,
Ahkaam al Qur’an, Juz II, hal. 320
<<103>>
Nur), tetapi di pihak lain masih terbuka kemungkinan bahwa
khitab dalam ayat nikah ditujukan kepada selain wali;
seperti ketika ia menafsirkan ayat 230 surat al-Baqarah. Hal
seperti ini juga diikuti oleh penafsir-penafsir lainnya.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan
perbedaan yang terjadi di kalangan para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan
sama seperti yang terjadi di kalangan ulama-ulama fiqih
berkisar antara apakah khitab ayat-ayat tersebut khusus
ditujukan kepada para wali dalam mengurus pernikahan
anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya atau
ditujukan kepada semua orang termasuk wali kedalamnya.
Di sini yang dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat
yang terjadi di kalangan mufasir dan fuqaha’ dalam
memahami ayat-ayat tersebut wajar sekali, karena sifatnya
terlalu umum.
Dari semua uraian dan penjelasan di atas dapat
djiklasifikasikan berikut ini. Keumuman lafazh yang
terdapat dalam ayat-ayat nikah seperti yang telah dijelaskan
di depan merupakan salah satu factor penyebab terjadi
perbedaan pendapat ulama tafsir dalam memahami ayat-
ayat nikah.Ulama tafsir yang dimaksud menganggap khitab
yang terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut khusus
ditujukan kepada wali, maka laki-laki merupakan syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya jika khitab yang
terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut tidak khusus
ditujukan kepada wali dalam arti untuk semua orang--
termasuk perempuan di dalamnya-- maka laki-laki bukan
syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Di samping itu, Keterikatan para mufasir dengan
mazhab yang mereka anut juga merupakan factor tersendiri
yang dapat mempengaruhi mufasir dalam menafsirkan ayat-
ayat nikah dimaksud. Mufasir yang bermazhab Hanafi
mengaatakan khithab yang tersebut di dalam ayat-ayat nikah
<<104>>
dimaksud tidak khusus ditujukan kepada para wali, maka
laki-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Sebaliknya mufasir yang bermazhab selain Hanafi --Maliki,
Syafii dan Hanbali-- khithab yang terkandung dalam ayat-
ayat nikah di atas khusus ditujukan kepada para wali, maka
laki-laki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
C. Perspektif Muhaddis
Ada beberapa hadits yang berkenaan dengan wali
dalam pernikahan yang menjadi perbedaan pendapat
Ulama hadits dalam memahami matan dan sanad hadits
itu sendiri. Perbedaan pendapat tersebut sekaligus
berimplikasi kepada penentuan kriteria wali nikah.
Sebagian mereka berpendapat laki-laki merupakan
syarat mutlak dalam perwalian nikah, Sementara
sebahagian lainnya berpendirian sebaliknya yaitu laki-
laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
Penjelasan di atas ditemukan dua perbedaan
yang prinsipil yang saling berlawanan antara satu
dengan lainnya. Di satu pihak mengatakan wanita sama
sekali tidak punya hak untuk menjadi wali dalam
pernikahan sementara dipihak lain berpendapat
sebaliknya. Wanita bukanlah hal yang mustahil menjadi
wali dalam pernikahan. Kedua pendapat tersebut
masing-masing bedasarkan kepada dalil-dalil yang
mereka pegang.
Uraian berikut ini ingin melihat lebih jauh sebab-
sebab terjadi perbedaan ulama hadis dalam memahami
matan dan sanad hadis yang berkaitan wali dalam
pernikahan.
Dalam bagian ini akan dikaji Hadits-Hadits yang
berkaitan dengan perwalian nikah berdasarkan
pemahaman shahabat dan ulama pensyarah Hadits.
Kajian ini lebih memberi tekanan pada segi pemahaman
<<105>>
terhadap matan (teks) Hadits, terutama dalam ke-
dudukan sebagai dalil kedua setelah al-Qur’an. Namun
begitu sanad akan dicantumkan sebanyak yang bisa
diperoleh dan penilaian para rawi tentang Hadits yang
diriwayatkan akan dicantumkan pula. Kritik sanad akan
diberikan terhadap tokoh yang diperselisihkan,
sekiranya hal tersebut akan mempengaruhi nilai Hadits.
Hadits - Hadits tersebut adalah :
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang
berdasarkan dari Abu Musa :
Matannya menurut al-Turmuzi; 56
ﻻ ﻧﻜﺎح إﻻ: ﻗﺎل رﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﰉ ﻣﻮ س ﻗﺎل
ﺑﻮﱃ
Maksudnya; dari Abu Musa ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda : tiada sah nikah tanpa wali.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad Abu
Daud, al Turmuzi, Ibn Majat dan Hakim.
Al Turmuzi menilai Hadits ini hasan shahih. Akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kesahihan
Hadits tersebut disebabkan beberapa segi; (1) al-
Turmuzi menganggap shahih semua riwayat yang
berdasarkan kepada Abu Ishaq, kecuali riwayat Syu’bah
dan al-Sauri. Keberatan terhadap dua orang tersebut
yang disampaikan al-Turmuzi, karena keduanya
bersamaan waktu dan tempat ketika mendengar Hadits
dari Abu Ishaq,57 di sini berarti semua riwayat yang
berdasarkan Abu Ishaq tersebut shahih. Dengan
Al Turmizi
Berdasarkan penilaian-penilaian di atas barang
kali boleh dikatakan sanad Hadits itu lemah. Dengan
demikian kualitas hasan shahih yang diberikan al-
Turmuzi dianggap terlalu tinggi. Selayaknya diturunkan
ke tingkat yang lebih rendah.
Di samping Hadits Abu Musa tersebut di atas, ada
Haditst lain dari Aisyah yang berkaitan dengan wali
nikah :
Matanya menurut Abu Dawud:61
58 Ibn Qayyim al-Jauziyyat, Aun al-Ma’buud Syarh Sunan Abi
Daawud.,Jilid IV, Daar al-Fikr, hal. 102.
59 Hal ini terjadi karena dalam satu riwayat, Abu Dawud
menyatakan Yunus pernah berjumpa dengan Abu Burdah. Bahkan di
tempat lain secara tegas beliau mengakui kelemahan Hadits tersebut;
lihat, Ahmad al-Sahar Nafuri,. Bazl al-Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz
IX.,Daar al-Kutub al-Ilmiyyat, Bairut hal. 82.
60 Ibn Qayyim al-Jauziyyat,. hal. 101-102, al-
Mubarakfuri,Tuhfah al Awazi bi Syarh Jami’ al Turmuzi., hal. 228;
Ahmad al-Sahar Nafuri, Bazl al-Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX.,Daar
al-Kutub al-Ilmiyyat, Bairut, hal. 80.
61 Ahmad al Sahar Nafuri, hal. 79
<<107>>
أﳝﺎ اﻣﺮأة: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ
ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ إذن ﻣﻮاﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎ ﺣﻬﺎ ﺑﺎ ﻃﻞ ﺛﻼ ث ﻣﺮات ﻓﺈن د ﺧﻞ ﺎ
.ﻓﺎﳌﻬﺮ ﳍﺎ ﲟﺎ أﺻﺎب ﻣﻨﻬﺎ ﻓﺈن اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﱃ ﻣﻦ ﻻ وﱃ ﻟﻪ
Maksudnya : dari Aisyah (Isteri Nabi), Rasulullah saw.
bersabda: siapapun di antara perempuan
yang menikah tanpa seizin walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya
batal. Jika laki-laki telah
menyenggamainya, maka ia (perempuan)
berhak atas maharnya, karena ia telah
menghalalkan kehormatannya. Jika pihak
wali enggan menikahkannya, maka
penguasa (hakim) lah yang bertindak
menjadi wali terhadap orang yang tidak
ada walinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
dan Ibn Majat. Mengenai percabangan sanadnya dapat
dilihat dalam taswir nomor 2, dimana Al-Turmuzi
menilai Hadits ini sebagai Hadits hasan, bahkan Ibn
Hibban dan Hakim menilainya shahih. Akan tetapi
ulama-ulama Hadits lainnya masih meragukan
keshahihan Hadits tersebut. Keraguan itu terjadi pada
Zuhri. Pernyataan tersebut sangat berkembang di
kalangan ulama Hadits. 62
Dari satu segi -- menurut riwayat -- Ibn Juraij
pernah berjumpa dengan Zuhri dan menanyakannya
Hadits tersebut, beliau menjawab; “Saya tidak tahu”.
Jawaban tersebut, - menurut ilmu Hadits — dapat
Al Jauziyyat, hal. 99
<<109>>
Jakfar (Ibn Rabi’ah) tidak pernah mendengar Hadits ini
dari Zuhri. Hal ini didukung oleh penjelasan al-Baihaqy
dari Ibn Mu’in, bahwa riwayat yang berdasarkan Ibn
Rabi’ah lemah, karena diragukan keadaan pribadinya.
Bahkan menurut beliau Zuhri dianggap mengingkari
riwayatnya dengan ucapan “idza zawwajat al mar at bi
ghairi izni waliyyi haajaaza”.65 Pendapat ini dipegang
oleh Al-Sya’by, Abu Hanifah dan Zufar.
Ahmad Al-Sahar Nafuri salah seorang pensyarah
sunan Abi Dawud --sehubungan dengan masalah
tersebut -- juga menjelaskan : kelemahan Hadits ini di
samping disebabkan adanya keraguan riwayat yang
terjadi pada Zuhri seperti tersebut di atas juga termasuk
ke dalamnya dikarenakan hadits ini berlawanan dengan
prakteknya sendiri, yaitu hadits tentang perkawinan
anak saudaranya (Hafsah bnt Abd Rahman dengan
Munzir Ibn Zuber).66
Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan nilai
shahih yang diberikan Ibn Hibban dan hakim serta nilai
hasan yang diberikan oleh al-Turmuzi -- walaupun tidak
dikatakan lemah -- masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Kedua hadits tersebut di atas sangat populer dan
sering dikutip jumhur ulama sebagai dalil bahwa laki-
laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah
dibanding-kan dengan hadits – hadits nikah lainnya.
Kelihatannya jumhur ulama merasa mantap dengan isi
hadits ini, karena persyaratan laki-laki sebagai wali
untuk sahnya nikah tegas sekali disebutkan di dalam
hadits tersebut.
hal. 224
70 Ibn Qayyim Al-Jauziyyat, hal. 127
<<111>>
Dari beberapa kitab Hadits yang dibaca tidak ada
komentar ulama-ulama Hadits tentang sanad Hadits
ini.Oleh karena itu dilihat dari segi sanadnya, Hadits ini
lebih kuat dibandingkan dengan hadits – hadits yang
sebelumnya berkaitan dengan perwalian nikah. Bahkan
di dalam shahih muslim ditemukan hadits seperti ini
yang matannya sedikit agak berbeda.71
ﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻷ ﱘ: ﻗﻞ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ أﰉ ﻫﺮ ﻳﺮة ﻗﻞ
ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ وﻛﻴﻒ: ﻗﺎﻟﻮا,ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄ ﻣﺮ وﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻟﺒﻜﺮ ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄذن
أن ﺗﺴﻜﺖ: إذ ﺎ ؟ ﻗﺎل
Maksudnya : Dari Abu Hurarah r.a., ia berkata :
Rasulullah Saw. bersabda: jangan nikahi
(perempuan) janda sebelum diminta
persetujuannya, dan jangan pula dinikahi
(perempuan) bikir sebelum diminta izin.
Mereka (para sahabat) bertanya kepada
Rasulullah bagaimana izinnya ? Rasulullah
menjawab (izinnya ) adalah diam.
Komentar ulama-ulama hadits tentang hadits
tersebut ditemukan di sekitar pemahaman matannya
yang satu sama lain terjadi perbedaan pendapat, ulama
Hijaz --kata beberapa pensyarah hadits -- kata “al
ayyimu” dipahami secara zhahir yang artinya sama
dengan arti kata “al-sayyibu” yaitu perempuan yang
sudah tidak punya suami lagi baik karena meninggal
atau karena cerai. Menurut mereka pengertian semacam
ini didukung oleh hadits “al-sayyibu ahaqqu bi nafsiha”
<<116>>
Lebih lanjut Al Bakhy. Menjelaskan perkawinan
antara Hafsah binti Abdur Rahman dengan Munzir Ibn
Zuber yang bapaknya Abd Rahman jauh di negeri Syam
menurut mazhab Malik sama sekali tidak sah (tidak di
bolehkan). Karena disamping Hafsah saat perkawinan
masih dalam keadaan perawan juga termasuk ke
dalamnya dikarenakan bapak masih dalam keadaan
hidup.
Berbeda dari keterangan al-Bakhy diatas al
Zarqany juga termasuk salah seorang pensyarah kitab
Muwatta menjelaskan tindakan Aisyah tersebut
dianggap sah dan tidak ada orang yang mewakilkan
kepadanya, karena yang demikian itu merupakan
keistimewaan Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw.
Perwalian dalam Perkawinan dikarenakan walinya jauh
(Ghaib) tetap diperlukan andai kata yang melaksanakan-
nya bukan isteri Rasulullah Saw.
Apabila mau dipertahankan kebenaran terhadap
kesimpulan yang menyatakan bahwa perbuatan Aisyah
tersebut benar telah terjadi dan bahkan merupakan
suatu contoh perkawinan yang dilakukan perempuan
baik karena alasan bahwa itu merupakan keistimewaan
Aisyah sebagai Isteri Rasulullah Saw. Ataupun karena di
setiap penjelasan menyangkut dengan perwalian nikah
tidak pernah ada yang menafikannya. Persoalan yang
muncul kenapa sebagian ulama tidak pernah memper-
timbangkan wali nikah dan bagaimana menghadapi
hadits-hadits yang kebanyakannya berdasarkan wali
dalam perkawinan yang juga kebanyakan berdasarkan
dari Aisyah sendiri. Kesimpulan semacam ini secara
zhahir dapat dinyatakan ada dua hal yang saling
berlawanan yang dilakukan oleh satu orang, di situ pihak
Aisyah mensyaratkan laki-laki sebagai wali dalam
<<117>>
perkawinan dan di pihak lain dia sendiri melalui
prakteknya menyatakan perempuan dibolehkan menjadi
wali dalam pernikahan (mengawinkan Hafsah dengan
Munzir).
Dari semua uraian di atas dapat dinyatakan
perbedaan pendapat mereka dalam memahami matan
hadits tersebut disebabkan lafazhnya terlalu umum.
Keterkaitan jumhur ulama terhadap jalan pikiran
pertama tersebut di atas -- besar dugaan -- dikarenakan
hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang
disebutkan di depan dianggap sebagai pentakhsis
keumuman hadits ini.
Sebaliknya Mazhab Hanafi, disebabkan hadits-
hadits tersebut di depan tidak dianggap sebagai penafsir
hadits ini -- karena keshahihan sanad-sanadnya masih
diragukan kebenarannya -- maka kecondongan mereka
lebih terfokus kepada jalan pikiran kedua. Menurut
mareka adanya praktek Aisyah yang diakui oleh semua
ulama dalam hal ini jumhur ulama seperti yang telah
disebutkan di depan merupakan salah satu sebab
lemahnya hadits-hadits yang mensyaratkan laki-laki
dalam perwalian nikah untuk dijadikan sebagai sumber
hukum.78 Di samping kedudukan sanad-sanad hadits
tersebut dipertanyakan ulama tentang keshahihannya.
Mereka tidak menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai
pengkhusus terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
@@
<<120>>
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP
<<121>>
dalam pelaksanaan akad nikah bila dihadapkan dengan
syarat yang berada di luar perbuatan itu sendiri.
Dari perspektif fuqaha’ yang dikaji menyangkut
dengan perwalian nikah, perbedaan yang relatif
menonjol ditemukan di dalam mazhab Hanafi dibanding-
kan dengan ketiga mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan
Hanbali). Ketiga mazhab terakhir disebutkan ini sepakat
menetapkan bahwa laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Wali yang mereka maksudkan
adalah kerabat laki-laki dihubungkan melalui garis laki-
laki dengan tertib prioritas tertentu seperti yang
tersebut dalam urutan wali nikah. Sedangkan mazhab
Hanafi tidak menganggap laki-laki sebagai syarat mutlak
dalam perwalian nikah. Perempuan menurut mereka
boleh saja bertindak dalam pelaksanaan akad nikah baik
untuk kepentingan sendiri ataupun untuk kepentingan
orang lain.
<<122>>
pengertian para wali tidak boleh menghalangi
perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk
kawin dengan laki-laki yang ia senanginya.
<<124>>
Begitu juga halnya ulama tafsir berpandangan
keumuman lafazh yang terdapat dalam ayat-ayat nikah
seperti yang telah dijelaskan di depan merupakan salah
satu factor penyebab terjadi perbedaan pendapat ulama
tafsir dalam memahami ayat-ayat nikah. Ulama tafsir
yang dimaksud menganggap khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah tersebut khusus ditujukan kepada
wali, maka lelaki merupakan syarat mutlak dalam
perwalian nikah. Sebaliknya jika khitab yang terkandung
dalam ayat-ayat nikah tersebut tidak khusus ditujukan
kepada wali dalam arti untuk semua orang--termasuk
perempuan di dalamnya-- maka lelaki bukan syarat
mutlak dalam perwalian nikah. Keterikatan para
mufasir dengan mazhab yang mereka anut juga
merupakan factor tersendiri yang dapat mempengaruhi
mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat nikah dimaksud.
Mufasir yang bermazhab Hanafi mengatakan khithab
yang tersebut di dalam ayat-ayat nikah dimaksud tidak
khusus ditujukan kepada para wali, maka laki-laki bukan
syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya
mufasir yang bermazhab selain Hanafi --Maliki, Syafii
dan Hanbali-- khithab yang terkandung dalam ayat-ayat
nikah di atas khusus ditujukan kepada para wali, maka
lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
<<125>>
mutlak dalam perwalian nikah. Ulama hadis -dilihat dari
segi sanadnya – juga tidak sepakat menetapkan tentang
kesahihan hadis tersebut. Ketidak sahihan suatu hadis
dapat menyebabkan kurang dipercaya dalam men-
jadikannya sebagai subuah hukum dalam pen-
takhshisan keumuman aya-ayatt nikah.
Dengan demikian, dapat dinyatakan di sini bahwa
semua uraian tersebut di atas menggambarkan per-
bedaan pendapat tentang kemutlakan dan ketidak
mutlakan laki-laki dalam perwalian nikah merupakan
suatu hal yang wajar dan sangat dinamis, sebab antara
keduanya punya kebenaran tersendiri dihubungkan
kepada dalil-dalil dan cara-cara mareka memahaminya.
Oleh karenanya, diharapkan dalam mempelajari dan
menganalisa masalah yang terjadi dan berkembang di
kalangan berbagai mazhab hendaknya tidak terikat pada
satu-satu mazhab, atau dengan kata lain tidak fanatic
dalam mempertahankan kebenaran mazhab. Hal yang
demikian kebenaran yang lebih bersifat objektif sulit di
peroleh.
**
<<126>>
DAFTAR PUSTAKA
>>127<<
Ibnu ‘Abidin, Hasyiyat Rad al-Muhtar, Juz III, Mushtafa al-B abi
al-Halabi, Mesir, 1986.
Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX, Dar al Fikr, Mesir, ft
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Musthafa al-Babi al-Halabi,
Mesir, ft.
Ibnu Qudammah, al-Mughni, Juz VII, Mushthafa al-Babi al-
Halabi, Mesir, ft.
Kasani, al, Badai al-Shanai, Juz II, Cet. I, Mathba’ah al-’Ilmyyat,
Mesir, 1328 H.
Khatib, Muhammad al Syarbaini, al, Mughni al-Muhtaj, Juz III,
Mushtafa Al-Babi al-Halabi, Mesir. 1958.
Mubarakfuri, al, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Turmuzi,
Juz IV, Maktabat al-Salaflyat, Madinah, ft.
Muhammad Mi Husen, Qurrat al- ‘A in, al-Maktabat al-Tijariyat
al-Kubra, Mesir, 1937.
Muhammad Zakariya, A ujaz al-Masalik ila Muwtta’ Imam
Malik, Dar al-Fikr, Mesir, ft.
Sarakhsi, al, al-Mabsuth, Jilid V, al-Sa’adat, Mesir, 1324 H.
Sayid Saabiq, Fiqh al-Sunnat, Juz IV dan VII, Dar al-Bayan, Kiut,
U.
Turmuzi, al, Sunan al-Turmuzi, Juz II, Mushtafa al-Babi al-
Halabi, Mesir, tt.
Zamakhsyari, al, al-Kasysyaf Juz I, al-Intisyarat, Taheran, tt.s
Zarqaani, al, Syarh Shahih Muwatta’ Imam Malik, Juz II, Dar al-
Fikr, Mesir, tt.
Abuu Daawud, Sunan Abii Daawud, Juz I, Musthafa al Baabii al
Halabii, Mesir, 1959
>>128<<
Abuu Zahrah, Muhaadarat fii ‘Aqd al Zawaaj wa Asaaruh, Daar
al Fikr l ‘Arabii, Bairut
___________, al Ahwaai al Syakhsyyat, Daar al Fikr al ‘Arabii,
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan
Agah Garandi, Pustaka, Bandung, Cet. I, 1984.
Amidi, al, al-Ahkaam fii Ushuul al-Ihkaam, Jilid I, Mathba’ah Ali
Shubeih, Kairo, 1968.
‘Asqaalanii, al, Fath al-Baarii, Jus IX, Mathba’at Salafiyat, Mesir.
Al Yasa’ Abubakar, DR, MA, Ahli Waris Sepertalian Darah,
Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1989.
Buhuti, Idris, al, Kasysyaaf al-Qinaa’ ‘an Matan al-Iqnaa’, Juz V,
Daar al-Fikr, Bairut.
Baihaqi, Sunan al-Kubraa, Juz VII, Daar al-Fikr, Bairut.
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta, 1991.
Dusuuqii, al, Haasyiyat al-Duusuuqii ‘ala al-Syarh al-Kabiir,
Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir.
Haitami, Ibn Hajar, al, Tuhfat al-Muhtaaj bi Syarh al-Minhaj,
Juz VII, al-Maktabat al-Tijaariyat al-Kubra, Mesir.
_______, al-fataawaa al-kubraal fiqhyyat, Juz IV, Daar al-Fikr,
Bairut, 1983.
Ibn ‘Aabidiin, Haasyiyat Raad al-Muhtaar, Juz III, Mushtafa al-
Baabii al-Halabii, Mesir, 1986.
Ibn ‘Arabii, al, Ahkaam al-Quraan, , Tahqiq Ali Muhammad al-
Bujawi, Mushthafaa al-Baabii al-Halabii, Mesir, 1950.
Ibn Hazm, al-Muhallaa, Juz IX, Daar al Fikr, Mesir.
>>129<<
Ibn Maajat, Sunan Ibn Maajat, Juz I, Musthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Ibn Muajaim, al-Bahr al-Raaiq, Juz III, al-‘Ilmyyat, Kairo, 1315
H.
Ibn Qudammah, al-Mugnii, Juz VII, Mushthafaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Jashshash, al, Ahkam al-Quraan, Juz II, Mathba’at Abd Rahman,
Kairo.
Jauzzyah, Ibn Qayyom, al, Ahkaam al-Quraan, Juz IV, Daar Al-
Fikr, Mesir.
Jaazirii, al, al-Fiqh ‘ala Mazaahib al-Arba’ah, Juz IV, al-
Maktabat al-Tijaaryyat al-Kubraa, Mesir.
Kandahlawii, al, Muhammad Zakaria, Aujaz al-Masaalik ilaa al-
‘Ilmyyat, Juz X, Daar al-Fikr, Mesir.
Kaasanii, al, Badaai al-Shanaai, Juz II, Cet. I, Mathba’ah al-
‘Ilmyyat, Mesir, 1328 H.
Kausar Kaamil, al-Syuurt fii ‘Aqd al-Zawaaj fii al-Syariiat al-
Islamiyat, Daar al-Islamiyat, Kairo.
Khaatib, Muhammad al Syarbaini, al, Mughnii al-Muhtaaj, Juz
III, Mushtafa al-Baabii al-Halabii, Mesir. 1958.
Marghinaani, Abubakar, al, al-Hidaayat Syarh Bidaayat al-
Mubtadii, Daar al-Fikr, Mesir.
Mubaarakfuuri, al, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jaami’ al-
Turmuzi, Juz IV, Maktabat al-Salafiyat, Madinah.
Muhammad Ali Husen, Qurrat al-‘Ain, al-Maktabat al-Tijaariyat
al-Kubra, Mesir, 1937.
Muhammad Ziad, Syarh al-Ahkaam al-Syar’iyyat fii al-Ahwaal
al-Sykhshyyat, Juz I, Maktabat al-Nahdat, Bairut.
>>130<<
Muhammad Zakariya, Aujaz al-Masaalik ilaa Muwthak Imaam
Maalik, Daar al-Fikr, Mesir.
Muhammad Zuhri, al-Siraaj al-Wahhaaj’ala a Matan al-
Minhaaj, Daar al-Fikr, Mesir.
Muhammad Ibn Salim Ibn Dauyan, Manaar al-Sabiil fii Syarh
al-Daliil, al-Mathba’at al Haasyimiyat, Damsik.
Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Dahlan, Bandung.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam,al-Hidayat,
Jakarta, 1956.
Muslim Ibrahim, DR, MA, Buhuus Fiqhyyat Muqaaranat fii al-
nikaah, Bagian I, IAINAr-raniry, Darussalam, Banda
Aceh, 1986.
Muthii’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, Zakariya Ali
Yuusuf.
Nawawii, al, Syarh Muslim, Juz I, ‘Iisaa al-Baabii al-Halabii,
Mesir.
Qaasimii, al, Tafsiir al-Qaasimii, Juz XII, ‘Iisaa al-Baabii al-
Halabii, Mesir, 1959.
Qurthubii, al, al-Jaami’ al-Ahkaam al-Quraan, Juz III, Daar al-
Kitaab al-‘Arabii, Mesir, 1967.
Ramli, Ibn Syihaabuddin, al, Nihaayat al-Muhtaaj ilaa Syarh al-
Minhaaj, Juz IV, Mushtafa al-Baabii al-Halabii, Mesir,
1950.
Rasyid Ridaa, Tafsiir al-Manaar, Juz II, Maktabat al-Qaahirat,
Mesir.
Rifaai, Mohd, H, Drs., Fiqih Islam Lengkap, Taha Putra,
Semarang.
Sahaar Nafuurii, Ahmad, al, Bazl al-Juhuud fii Hil Abi Daawud,
Daar al-Kutub al-‘ilmyyat, Bairut.
>>131<<
Sarakhsi, al, al-Mabsuuth, Jilid V, al-Sa’aadat, Mesir, 1324 H.
Sayid Saabiq, Fiqh al-Sunnat, Juz IV dan VII, Daar al-Bayaan,
Kiut.
Sayuuthii, Abd Rahman, al, Faid al-Qadiir fii Syarh Jami’
Shaghiir, Juz III, Daar al-Fikr, Mesir.
Shan’ani, al, Subul al-Salam, Juz III, Dahlan, Bandung.
Siiwaasii, al, Kamaaluddin Muhammad (Ibn al Humam), Syarh
Fath al-Qadiir, Juz III, Daar al Fikr, Mesir.
Syrqawi, al, al-Tahriir, Juz II, Daar al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyat, Mesir.
Syahhatih, Syauqi Ismil, Drs., Penerapan Zakat Dalam Dunia
Modern, (alih bahasa Anshari Umar Sitinggal), Pustaka
Dian dan Antar Kota, Jakarta, 1987.
Thabarii, al, Tafsiir al-Thabarii, Juz II, Daar al-Fikr, Mesir,
1954.
Turmuzii, al, Sunan al-Turmuzii, Juz II, Mushtafa al-Baabii al-
Halabii, Mesir.
Zahabii, Muhammad Husen, al, al-Syaari’at al-Islamamiyat,
Daar al-Takliif, Mesir, 1967.
Zamakhsyarii, al, al-Kasysyaaf, Juz I, al-Intisyaarat, Taheran.
Zarqaani, al, Syarh Shahih Muwathtak Imaam Maalik, Juz II,
Daar al-Fikr, Mesir.
>>132<<
TENTANG PENULIS
A. Identitas Diri
Nama : Dr. Nasaiy Aziz, M.A.
Tempat/Tgl. Lahir : Lampoh Saka (Pidie),
31 Desember 1958
NIP : 195812311988031017
Pangkat/Gol. : Pembina Tk. I/IV/c
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat Rumah : Tungkop Aceh Besar
Alamat Kantor : Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
Nama Ayah : Aziz
Nama Ibu : Aisyah
Nama Istri : Dra. Azizah A. Wahab
Nama Anak : 1. Muhammad Iqbal, S.T.
2. Qurratul Aini, S.T.
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MIN Lampoh Saka, Pidie, 1972
b. PGAN 6 Tahun Beureunuen, Pidie, 1978
c. Sarjana Muda Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry,
1982
d. Sarjana Lengkap Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, 1984
e. M.A. Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,
1992
f. Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014
2. Kursus/Pelatihan
a. Studi Purna Ulama (SPU) IAIN Ar-Raniry, Juni
1985 s.d. Mei 1986
>>133<<
b. Latihan Ilmu Perpustakaan IAIN Ar-Raniry,
Agustus s.d. September 1989
c. Latihan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, IAIN Ar-
Raniry, September 1994 s.d. Juni 1995
d. Workshop Kurikulum Jender Se-Indonesia, IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 15 Februari s.d. 10
Maret 2000
C. Riwayat Pekerjaan
1. Pegawai Negeri Sipil, mulai Maret 1988
2. Dosen Tetap Bidang Tafsir, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, mulai 1992
3. Sekretaris Jurusan Ahwalusy Syakhsiyyah (AS),
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 1993-1995
4. Ketua Jurusan Jinayah was Siyasah, Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry, 1996-1997
5. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMH), Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 1999-2000
6. Pembantu Dekan Bidang Akademik, Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry, 2001-2004
7. Pembantu Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan,
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 2004-2008
8. Dosen Tetap Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
D. Karya Ilmiah
1. Artikel
a. “Penerapan Syari’at Islam di Masa Khulafaur
Rasyidin (Suatu Tinjauan Historis)”, Media
Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Vol. I,
No. 1, Januari-Juni 1999
b. “Menuju Konstruksi Seksualitas yang Berkeadilan
(Upaya ke Arah Pemikiran Fiqih Bewawasan
>>134<<
Jender”, Media Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, Vol. II, No. 3, Januari-Juni 2000
c. “Tragedi al-Mihnah dalam Perjalanan Kekuasan
Khalifah Abbasiyah (antara Peluang dan
Tantangan dalam Menegakkan Keadilan)”,
Makalah Seminar, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry, 2001
d. “Metode Keilmuan Hermeneutika (Sebuah
Pengantar untuk Memahami Hermeneutika
Sebagai Teori, Filsafat, dan Kritik)”, Media
Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Vol. IV,
No. 8, Juli-Desember 2002
e. “Menuju Perubahan Paradigma Metodologi
Pemahaman Hukum Islam (Suatu Tinjauan
Singkat)”, Media Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN
Ar-Raniry, Vol. V, No. 9, Januari-Juni 2003
f. Dll.
2. Hasil Penelitian
a. “Konsep Ali Syari`ati Tentang Manusia dan
Kritiknya terhadap Humanisme Barat Modern”,
Hasil Penelitian, IAIN Ar-Raniry, 2000
b. “Kerangka Metodologi Pelaksanaan Syari’at Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam”, Hasil Penelitian,
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, 2006
c. Dll.
>>135<<
Diterbitkan Oleh:
Forum Intelektual Tafsir dan Hadits Asia Tenggara (SEARFIQH), Banda Aceh
Jl. Tgk. Chik Pante Kulu No. 13 Dusun Utara,
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111
HP. 08126950111
Email: penerbitsearqh@gmail.com