Anda di halaman 1dari 148

PEMBARUAN HUKUM KEWARISAN

ISLAM DI INDONESIA

Penulis:
Destri Budi Nugraheni
Haniah Ilhami

GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................. vii

BAB I UNSUR DAN ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM................. 1


A. Sumber Hukum Kewarisan Islam........................................... 2
B. Unsur Kewarisan Islam........................................................... 8
C. Asas Hukum Kewarisan Islam.............................................. 16

BAB II PEMBARUAN HUKUM ISLAM ............................................... 20


A. Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat..................... 20
B. Perubahan Hukum dalam Perundang-Undangan Indonesia.. 21
C. Perubahan Hukum Islam di Indonesia.................................. 23

BAB III PEMBARUAN AHLI WARIS DALAM HUKUM


TERAPAN KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA
DARI MASA KE MASA.............................................................. 27
A. Periode Tahun 1958............................................................... 27
B. Periode Tahun 1991............................................................... 33
C. Periode Tahun 2006 Hingga Sekarang.................................. 39
D. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pembaruan
Hukum Terapan Kewarisan Islam di Indonesia.................... 42

BAB IV PEMBARUAN KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI.............. 46


A. Konsep Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin.................. 46
B. Konsep Ahli Waris Pengganti Menurut KHI......................... 47
C. Konsep Ahli Waris Pengganti Menurut Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama........ 49
D. Konsep Ahli Waris Pengganti Menurut Hasil Rakernas
Mahkamah Agung RI............................................................ 50

PEMBARUAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA vii


BAB V PEMBARUAN KONSEP WASIAT.............................................. 52
A. Wasiat dalam Konsep Fiqih.................................................. 52
B. Wasiat wajibah dalam Pandangan Para Ulama..................... 55
C. Model Penerapan wasiat wajibah di Beberapa Negara......... 57
D. Wasiat dan wasiat wajibah Menurut Kompilasi Hukum
Islam ..................................................................................... 58
E. Pembaruan Ketentuan wasiat wajibah dalam Hukum
Terapan Kewarisan Islam di Indonesia................................. 65
F. Pembaruan Ketentuan wasiat wajibah Berdasarkan
Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI
Tahun 2012............................................................................ 78

BAB VI HIBAH.......................................................................................... 80
A. Hibah dalam Konsep KHI..................................................... 80
B. Konsep Hibah dalam Perma Nomor 2 Tahun 2008 .............. 85

BAB VII PEMBAGIAN HARTA WARIS..................................................... 89


A. Ketentuan dalam Pembagian Waris Islam............................. 89
B. Bagian Masing-Masing Ahli Waris....................................... 92
C. Perhitungan Harta Waris....................................................... 94
D. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli Waris
Langsung............................................................................... 96
E. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli Waris
Saudara................................................................................ 103
F. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli Waris
Pengganti............................................................................. 109
G. Perhitungan Pembagian Harta Waris dengan Adanya
wasiat................................................................................... 110
H. Perhitungan Pembagian Harta Waris dengan Adanya
Hibah................................................................................... 114
I. Perhitungan Pembagian Harta Waris dalam Putusan
Pengadilan Agama............................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 132


GLOSARIUM.............................................................................................. 135
INDEKS....................................................................................................... 138
BIODATA PENULIS................................................................................... 140

viii PEMBARUAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA


BAB I
UNSUR DAN ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab fiqih disebut faraidh, adalah hukum
kewarisan yang menjadi pedoman umat Islam dalam menyelesaikan pembagian harta
peninggalan keluarga yang meninggal. Beberapa istilah kewarisan dalam literatur hukum Islam
seperti faraidh, fiqih mawarist dan hukm al warist. Kata yang sering digunakan adalah faraidh,
kata ini terdapat dalam kitab fiqih manhaj al thalbin oleh Imam An Nawawi. Al Mahally
memberikan komentar atas matan minhaj, alasan kata tersebut karena lafadz faraidh
merupakan jama‟ (bentuk plural) dari lafazh faridhah yang mengandung makna mafrudhah yang
sama artinya dengan muqaddarah, yaitu suatu bagian yang ditetapkan secara jelas, contohnya
bagian ahli waris yang sebagain besar telah ditentukan dalam Al Qur‟an daripada yang tidak
ditentukan.
Penggunaan kata mawarist ditujukan kepada obyek dari hukum, yaitu harta yang beralih
kepada ahli waris. Mawarist merupakan bentuk plural dari kata miwrats yang berarti mauruts
(harta yang diwarisi). Untuk kata warist yang dipergunakan dalam beberapa kitab, merujuk
kepada orang yang menerima harta warisan.
Terdapat beberapa istilah dalam bahasa arab yang digunakan literatur hukum di
Indonesia, seperti waris yang ditekankan pada penerima harta warisan, „‟warisan‟ yang lebih
memandang dari segi obyek dari hukum yaitu harta warisan, dan hukum kewarisan yaitu
seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Hadits tentang hal ikhwal
peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui
dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifudin, 2008 : 5-6).
Definisi hukum kewarisan Islam pun berkembang sesuai perubahan zaman, yaitu menyangkut
ketentuan ahli waris. Awalnya ahli waris dalam pengertian hukum kewarisan Islam adalah
seseorang yang masih hidup, namun selanjutnya pemaknaan terkait ahli waris berkembang,
bahwa ahli waris yang telah meninggal dapat menjadi ahli waris dan bagiannya akan diterima
oleh keturunannya atau Ahli Waris Penggantinya.
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Al Qur‟an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah
warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta
benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa
diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan

1
bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa harta itu dipindahkan
serta bagaimana caranya. Sedemikian penting kedudukan hukum waris Islam dalam hukum
Islam sehingga Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni mengajarkan, “pelajarilah
faraidhd an ajarkanlah kepada orang banyak karena faraidh adalah setengah ilmu dan mudah
dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku”. Hadits nabi riwayat
Ahmad bin Hanbal memerintahkan “pelajarilah Al Qur‟an dan ajarkanlah kepada orang banyak,
pelajari pula faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak karena aku adalah manusia yang
pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang, hampir-hampir dua orang bersengketa dalam
faraidh dan masalahnya, dan mereka tidak menjumpai orang yang memberitahu bagaimana
penyelesaiannya”
A. Sumber Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam dan penyusunan
kaidah-kaidahnya harus didasarkan pada sumber dari ajaran Islam (Anshari, 2012 : 6).
Sebagaimana sumber hukum Islam pada umumnya, hukum waris Islam bersumber kepada Al
Qur‟an, sunnah Rosul, dan ijtihad.
1. Al Qur‟an
Beberapa ayat Al Qur‟an yang mengatur pembagian harta warisan terdapat dalam Al Quran
Surat An Nisaaa dan Quran Surat Al Anfaal (Basyir, 2009 : 5-7). Ayat-ayat tersebut adalah
(Basyir, 2009 : 5-7)
a. QS An Nisaa‟ : 1

                   

          

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.

2
b. Qs Al Anfaal : 75

                  

     

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang
mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat)[ di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.

c. QS An Nisaa‟ : 7

                  

 

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Ketentuan di dalam ayat ini merupakan perombakan terhadap kebiasaan bangsa Arab
yang hanya memberikan hak waris kepada laki-laki yang sanggup memanggul senjata,
membela kehormatan kabilahnya. Anak kecil, orang tua, dan perempuan karena tidak
sanggup memanggul senjata, tidak berhak warisan sama sekali.

d. QS An Nisaa‟ : 8

             

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan
yang baik.
.

3
e. QS An Nisaa‟ : 9

               

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan


dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

f. QS An Nisaa‟ ayat 10

              

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).

g. QS An Nisaa‟ ayat 11

                      

                      

                       

           

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :


bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
4
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

h. QS An Nisaa‟ ayat 12

                      

                     

                      

                     

         

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat

5
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

i. QS An Nisaa‟ ayat 13

                  

 

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat


kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar.

j. QS An Nisaa‟ 176

                       

                       

        

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

6
2. Sunnah Rasul
Meskipun Al Qur‟an menyebutkan secara terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli
waris, Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al Qur‟an, antara
lain :
a. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang
lebih dekat kepada Pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil
bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
b. Hadits riwayat Al-Jama‟ah, kecuali Muslim dan Nasa‟i, mengajarkan bahwa orang
muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas
harta orang muslim.
c. Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan
kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
d. Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris
setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

3. Ijtihad
Pengertian ijtihad dalam kamus hukum adalah usaha penyelidikan tentang suatu hal,
mencurahkan tenaga dan pokiran untuk menyelidiki atau mendapatkan dan menggali hukum-
hukum yang terkandung dalam Al Qur‟an dengan syarat-syarat tertentu (Sudarsono, 1999 :
176). Kontek penggalian hukum mengartikan ijtihad adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh
dengan memperhatikan dalil umum dalam Al Qur‟an dan Hadits untuk menetapkan hukum dari
persoalan baru. Al Qur‟an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang
pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu
terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya
mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa
sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.

7
B. Unsur Kewarisan Islam
Secara umum, hukum kewarisan Islam mengatur tentang 3 (tiga) hal utama yaitu tentang
harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia, para pihak yang berhak untuk
mendapatkan warisan atas harta tersebut, serta besar bagian yang dapat diterima oleh masing-
masing pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut mengikat setiap Pewaris yang beragama Islam.
Ketiga hal tersebut kemudian dirumuskan dengan lebih rinci ke dalam ketentuan tentang rukun
dan syarat untuk dapat terjadinya pemindahan harta seseorang yang telah meninggal dunia
sesuai dengan hukum Islam.
Rukun dan syarat hukum kewarisan Islam adalah sebagai berikut:
1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan (vide Pasal 171 huruf b KHI). Kematian Pewaris dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu (Anshari, op.cit.: 60)
a. Mati haqiqy (sejati) yaitu hilangnya nyawa Pewaris yang disaksikan oleh panca
indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (berdasarkan putusan pengadilan), yaitu putusan Hakim yang
menetapkan matinya seseorang disebabkan orang tersebut tidak diketahui
kabarnya, domisilinya, dan tidak diketahui masih hidup atau tidak (Anshari, 2012 :
6).
Kondisi mati hukmy di dalam praktik pembagian waris Islam sangat tergantung pada
adanya penetapan dari Pengadilan Agama atas permohonan mafqud yang diajukan
oleh Ahli Waris. Sebagai contoh, dalam 1 (satu) keluarga yang terdiri dari 7 (tujuh)
orang anak bermaksud untuk membagi harta waris dari saudara kandung mereka
yang telah hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Salah satu anggota keluarga,
yaitu anak yang ke-3 ternyata telah meninggalkan rumah tanpa pamit dan
memberikan kabar berita terhitung selama 38 tahun. Seluruh anggota keluarga
sudah berupaya untuk mencari keberadaannya namun tidak membuahkan hasil,
sedangkan di saat yang sama, yang bersangkutan telah meninggalkan harta berupa
sebidang sawah dan sebuah rumah tinggal. Anggota keluarga yang ada
menginginkan agar harta tersebut segera dibagi sesuai ketentuan hukum kewarisan
Islam, sehingga mereka mengajukan permohonan mafqud/ hilang ke Pengadilan
Agama. Dalam penetapannya, Pengadilan Agama menetapkan bahwa anak ke-3

8
tersebut telah hilang/meninggal dunia secara hukum dengan segala akibat
hukumnya terhitung sejak tanggal penetapan (Pengadilan Agama Sleman, 2004:
Penetapan No. 20/Pdt.P/2003/PA/Smn)
Hal penting dari Pewaris adalah bahwa Pewarisan baru akan terjadi bila seseorang
yang meninggal dunia memiliki sejumlah harta peninggalan. Harta peninggalan sendiri
didefinisikan sebagai harta yang ditinggalkan oleh Pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Vide, Pasal 171 huruf d KHI).
2. Ahli Waris
Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan
karena hukum untuk menjadi ahli waris (Vide Pasal 171 huruf e KHI). Ahli waris
dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya (Vide, Pasal 172 KHI).
Mengenai halangan bagi seorang Ahli Waris untuk mendapatkan bagian haknya diatur
secara jelas yaitu bahwa seorang akan terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum bila (Vide,
Pasal 173 KHI):
1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada Pewaris;
2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa Pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 175 ayat 1 mengatur mengenai kewajiban-
kewajiban ahli waris terhadap Pewaris yang diuraikan sebagai berikut :
1) mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
Pengurusan jenazah (tahyiz) yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh seseorang
yang meninggal dunia mulai dari wafatnya seperti biaya memandikan, mengafankan,
dan segala sesuatu yang diperlukan sampai dikuburkan. Kewajiban ini merupakan
hasil ijtihad para mujtahid karena seorang Pewaris mempunyai hak terhadap harta
hasil pencahariannya sewaktu hidup, maka layak dia mendapatkan pengurusan oleh
ahli waris sebagai subyek yang akan menikmati harta warisan setelah ia meninggal

9
dunia, dengan ketentuan tidak boleh berlebih-lebihan dan tidak pula berkekurangan
sesuai dengan tuntunan Islam.
Biaya pengurusan jenazah meliputi :
a) biaya untuk membeli kafan, kapas, minyak, dan semua biaya yang
dibutuhkan untuk kepentingan jenazah
b) biaya untuk upah orang yang memandikan jenazah, apabila bukan para ahli
waris yang melakukannya
c) biaya untuk tanah kuburan dan upah penggalinya
biaya-biaya diluar kepengurusan jenazah seperti tahlilan, selametan dan lain
sebaginya tidak boleh mengurangi harta warisan, namun dengan harta pribadi
ahli warisnya atau penyelenggara acara tersebut. Tujuannya adalah agar tidak
mengurangi bagian dari ahli waris.(Baharun, 2008 : 6).
2) menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban Pewaris, maupun menagih piutang.
Hutang merupakan suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan
prestasi yang pernah diterima oleh seorang debitur, sedangkan piutang adalah
prestasi yang harus diterima oleh kreditur dari debitur. Ahli waris mempunyai
kewajiban untuk membayar seluruh hutangnya dan menagih piutang, agar
mengetahui jumlah harta warisan dan membaginya sesuai dengan ketentuan Hukum
Islam. Menurut Pasal 175 ayat 2 tanggung jawab ahli waris terhadap hutang Pewaris
hanya sebatas jumlah atau nilai harta peninggalannya, sehingga pemenuhannya
tidak berdampak terhadap harta pribadi si ahli waris kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian hutang tersebut.
Hutang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a) hutang kepada Allah, yaitu hutang kepada kewajiban-kewajiban yang harus
dijalankan tetapi tidak sempat dilaksanakan, seperti pembayaran zakat jika
memang harta peninggalan itu sudah sampai jumlah untuk dikeluarkan
menurut criteria yang diajarkan Islam.
b) Hutang kepada manusia adalah hutang yang dilakukan oleh Pewaris
semasa hidupnya kepada orang lain yang harus dilunasi seperti perjanjian
hutang yang dibuatnya ketika hidup atau yang timbul karena perawatan
sebelum meninggalnya Pewaris.

10
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pemenuhan hutang kepad Allah dan kepada
manusia. Madzab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa yang harus dipenuhi
terlebih dahulu adalah hutang kepada manusia, karena Allah adalah zat yang maha
cukup, tidak memerlukan pelunasan. Berbeda dengan mazhab Syafi‟i yang
mendahulukan hutang kepad Allah kemudian baru hutang kepada manusia yang
berbentuk benda dan hutang yang tidak bersangkut paut dengan benda. Madzab
Hanabilah memandang sama antara kewajiban membayar hutang kepada Allah dan
hutang kepada manusia (Muhibbin dan Wahid, 2009 : 53-55).
3) Menyelesaikan wasiat Pewaris
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari Pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah Pewaris meninggal dunia. Ketentuan mengenai
ukuran pemberian wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali semua ahli waris menyetujuinya. Ketentuan ini akan dibahas
lebih lanjut di dalam bab tersendiri buku ini.
4) Membagi harta warisan kepada ahli waris
Ada beberapa tahapan dalam pembagian waris, yaitu :
a) Memperinci harta yang bernilai dan memperhitungkannya dalam bentuk angka-
angka yang dapat dibagi. Keseluruhannya ditaksir dalam bentuk uang dan
angka, baik benda bergerak dan tidak bergerak, baik harta yang banyak
maupun sedikit (Syarifudin, 2008 : 5-6).
b) Memastikan hubungan Pewaris dengan ahli waris, seperti apakah dia memang
benar anak kandung dari si Pewaris, apakah memang benar terjadi perkawinan
antara Pewaris dengan ahli waris.
c) Kepastian bahwa ahli waris memang memenuhi semua persyaratan sebagai ahli
waris seperti tidak terhalang menjadi ahli waris, adanya kesamaan agama dan
hubungan darah.
d) Menentukan ahli waris yang berhak mewaris
e) Menentukan porsi bagian masing-masing ahli waris yang berhak mewaris.
Tidak ditemui pengaturan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai
jangka waktu pelaksanaan pembagian waris, apakah harus sesegera mungkin
dilaksanakan atau bisa ditangguhkan. H. Mastur Jahri berpendapat bahwa berdasarkan
ketetapan Allah dalam Al Qur‟an, pelaksanaan pembagian warisan harus dipercepat,
karena terdapat hak-hak para ahli waris dalam harta warisan yang belum dibagi.

11
Terkadang ada anak yatim yang menjadi salah satu ahli warisnya, maka dengan segera
melakukan pembagian harta warisan dapat menghindari orang lain mengambil dan
memakan harta anak yatim secara tidak halal. Hal ini sesuai dengan ketentuan QS An
Nisaaa : 10 “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api neraka”. Berdasarkan ayat tersebutlah pembagian harta waris seharusnya
disegerakan (Hasanah, 2013). Waktu untuk menyegerakan pembagian harta warisan
juga ditegaskan dalam sebuah Hadits “berikanlah faraidh kepada yang berhak dan
selebihnya berikanlah kepada laki-laki yang terdekat” (H.R Bukhary Muslim).
3. Harta Waris
Harta waris adalah adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan Pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Vide, Pasal 171 huruf e
KHI).
Sebelum penentuan harta waris harus dipahami terlebih dahulu mengenai harta benda
dalam perkawinan. Hukum Islam memberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk
memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu pihak lain. Suami
yang menerima pemberian warisan, tanpa ikut sertanya istri, berhak menguasai
sepenuhnya harta yang diterimanya itu. Demikian pula halnya istri yang berhak menerima
pemberian, warisan, mahar dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami berhak
menguasainya sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu. Harta bawaan yang telah
mereka miliki sebelum terjadi perkawinan juga menjadi hak masing-masing.
Masalah kita, apakah hukum Islam mengenal lembaga harta perkawinan yang menjadi
hak bersama antara suami istri? Undang Undang Perkawinan Nomor 1/1974, Pasal 35
ayat 1 menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah ini? Al Quran maupun
hadits tidak memberi ketentuan dengan tegas bahwa bahwa harta benda yang diperoleh
suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak istri
hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami. Dalam waktu yang sama, Al Quran dan
hadits juga tidak menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam perkawinan,
secara langsung istri juga ikut berhak atasnya. Dengan demikian, masalah ini termasuk
yang tidak disinggung secara jelas, baik dalam Al Quran maupun dalam hadits; mengambil
ketentuan apakah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi

12
harta bersama atau tidak, termasuk masalah ijtihadiyah, masalah yang termasuk dalam
daerah wewenang manusia untuk menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam.
Menentukan status kepemilikan harta selama perkawinan itu penting, unutuk
memperoleh kejelasan bagaimana kedudukan harta itu jika terjadi kematian salah satu,
suami atau istri, mana yang merupakan harta peninggalan yang akan diwaris ahli waris
masing-masing, atau apabila terjadi perceraian, harus ada kejelasan mana yang menjadi
hak istri dan mana yang menjadi hak suami, jangan sampai suami mengambil hak istri, dan
sebaliknya jangan sampai istri mengambil hak suami.
Terkait harta kekayaan dalam perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menentukan :
a. Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri.
b. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan.
c. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
d. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah harta pribadi suami atau istri
dan di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
e. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau lainnya.
f. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka
penyelesaiannya diajukan kepada Pengadilan Agama.
g. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya
sendiri.
h. Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang
ada padanya. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat
berupa hak maupun kewajiban bersama. Harta bersama dapat dijadikan sebagai
barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
i. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.

13
j. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya
masing-masing. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama
tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. Bila harta suami tidak
mencukupi atau tidak ada, maka dibebankan kepada harta istri.

Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Ketentuan Pasal 94 KHI tersebut harus
dipahami sebagai berikut :
a. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan istri
pertama, merupakan harta bersama milik suami dan istri pertama, sedangkan
harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan istri kedua
dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan istri pertama, maka
harta tersebut merupakan harta bersama milik suami, istri pertama dan istri
kedua. Demikian halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami
melakukan perkawinan dengan istri ketiga dan keempat.
b. Ketentuan harta bersama tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap
istri kedua, ketiga, dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah dan pakaian)
sepanjang harta yang diperuntukkan istri kedua, ketiga dan keempat tidak
melebihi 1/3 dari harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, ketiga, dan
keempat.
c. Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai istri lebih dari
satu orang karena kematian atau perceraian, cara perhitungannya adalah sebagai
berikut :
i. Harta bersama perkawinan pertama, menjadi hak istri pertama ½ dan suami
pun ½
ii. Harta bersama perkawinan kedua, menjadi hak istri pertama sebesar 1/3,
suami 1/3, dan istri kedua 1/3, dikecualikan terhadap rumah dan perabot
dalam rumah
iii. Harta bersama perkawinan ketiga, hak istri pertama adalah ¼, suami ¼, istri
kedua ¼, dan istri ketiga ¼

14
iv. Harta bersama perkawinan keempat, maka menjadi hak istri pertama adalah
1/5, istri kedua 1/5, istri ketiga 1/5, istri keempat 1/5, dan suami pun
mendapat 1/5.
v. Harta yang diperoleh oleh istri pertama, kedua, ketiga dan keempat
merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh
suami/istri dari hadiah atau warisan.

C. Asas Hukum Kewarisan Islam


Asas adalah pikiran dasar yang merupakan latar belakang dari peraturan konkrit dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit (Mertokusumo, 2005 : 4).
Pelaksanaan kewarisan Islam di Indonesia terikat dengan asas-asas hukum kewarisan Islam.
Dalam Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi peradilan agama, Buku II disebutkan
bahwa asas-asas hukum kewarisan Islam adalah sebagai berikut (Mahkamah Agung RI, 2010)
1. Asas Bilateral/Parental.
Hukum kewarisan Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan,
sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham.
Maksud dari asas ini adalah bahwa ketika di Indonesia mengenal ahli waris pengganti maka
cucu yang dalam konsep kewarisan Imam Syafi‟I adalah ahli waris dzawil arham atau ahli
waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan Pewaris, berhak mewaris
menggantikan posisi anak yang telah meninggal dunia sebelum Pewaris. Lain halnya apabila
cucu sebagai ahli waris dzawil arham maka kedudukannya tidak kuat dan dapat tertutup oleh
ahli waris lain.
2. Asas Ahli Waris Langsung dan asas Ahli Waris Pengganti
Ahli Waris Langsung (eigen hoofde) adalah ahli waris yang disebut pada Pasal 174
Kompilasi Hukum Islam (KHI), sedangkan Ahli Waris Pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli
waris yang diatur dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu Ahli Waris Pengganti
/ keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mewaris hanyalah anak, ayah, ibu, janda dan duda. Sehingga dengan
kata lain lima ahli waris adalah Ahli Waris Langsung yang mempunyai kedudukan yang kuat,
diutamakan mewaris dan tidak akan tertutup oleh ahli waris manapun dalam hal mewaris.
Apabila Ahli Waris Langsung tersebut, sudah meninggal dunia sebelum Pewaris maka

15
kedudukannya akan digantikan oleh Ahli Waris Penggantinya, yaitu keturunan anak atau
cucu.
3. Asas ijbari.
Asas ini mengatur bahwa pada saat seseorang meninggal dunia, kerabatnya (atas pertalian
darah dan pertalian perkawinan) langsung menjadi ahli waris, karena tidak ada hak bagi
kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli waris atau berfikir lebih dahulu apakah akan
menolak atau menerima sebagai ahli waris. Asas ini berbeda dengan ketentuan dalam KUH
Perdata yang menganut asas takhayyuri (pilihan) untuk menolak atau menerima sebagai ahli
waris (Pasal 1023 KUH Perdata). Asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat
dari beberapa segi, yaitu :
1) Peralihan harta
Unsur ijbari dari segi cara peralihan harta mengandung arti bahwa harta orang yang
meninggal beralih dengan sendirinya setelah kematian Pewaris. Oleh karenanya
kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta. Kata
“peralihan” berarti beralih dengan sendirinya sedangkan kata “pengalihan” tampak ada
usaha seseorang. Hal ini mendasarkan pada QS An Nisaa‟ : 7 yang menjelaskan bahwa
seorang laki-laki dan perempuan ada bagian yang akan diterimanya sebagai ahli waris.
2) Segi jumlah
Bagian ahli waris dalam Pewarisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga Pewaris
maupun ahli waris terikat kepada apa yang telah ditentukan dan tidak mempunyai
kewenangan untuk menambah atau menguranginya. Ketentuan tersebut berdasarkan
dari kata mafrudan secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan,
menurut ilmu fiqih sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya.
3) Segi penerima peralihan harta
Mereka yang berhak atas harta peninggalan sudah ditentukan secara pasti, sehingga
tidak ada suatu kekhususan manusia yang dapat mengubahnya dengan cara
memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak menjadi ahli waris. Unsur
ijbari dapat dilihat dari ketentuan QS An Nisaa‟ ayat 11, 12, dan 176 (Syarifudin, 2008 :
19).
4. Asas individual
Mengatur bahwa harta warisan dapat dibagi kepada ahli waris sesuai bagian masing-masing,
kecuali dalam hal harta warisan berupa tanah kurang dari 2 Ha. Hal ini didasarkan atas
ketentuan bahwa setiap manusia sebgai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima

16
hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam ushul fiqih disebut ahliyat al wujub, sehingga
setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula
untuk tidak melakukannya.
5. Asas keadilan berimbang.
Pembagian harta waris dilakukan dengan perbandingan bagian laki-laki dengan bagian
perempuan 2 : 1, kecuali dalam keadaan tertentu. Hukum waris Islam menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dan
kewajiban yang harus ditunaikan. Laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikul masing-masing dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Hakikat harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris merupakan lanjutan
tanggung jawab Pewaris kepada keluarganya, oleh karena itu bagian yang diterima masing-
masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarga, seperti laki-laki menjadi penanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya (Anshari, 2012 : 22).
6. Asas waris karena kematian.
Peralihan hak materiil maupun immateriil dari seseorang kepada kerabatnya secara waris
mewaris berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia.
7. Asas hubungan darah.
Mengatur bahwa kewarisan yang terjadi karena adanya hubungan darah adalah hubungan
darah akibat perkawinan sah, perkawinan subhat dan atas pengakuan anak (asas fiqih
Islam).
8. Asas Wasiat Wajibah.
Asas ini mengatur bahwa anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan
wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah
angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat dan/atau anak angkat dapat diberi Wasiat
Wajibah oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah secara ex officio maksimal 1/3
bagian dari harta warisan
9. Asas egaliter.
Kerabat karena hubungan darah yang memeluk agama selain Islam mendapat Wasiat
Wajibah maksimal 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengannya
10. Asas Retroaktif Terbatas.

17
Asas ini mengatur tentang kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman
pembagian waris yang tidak berlaku surut dalam arti apabila harta warisan telah dibagi
secara riil (bukan hanya pembagian di atas kertas) sebelum Kompilasi Hukum Islam (KHI)
diberlakukan, maka keluarga yang mempunyai hubungan darah karena ahli waris pengganti
tidak dapat mengajukan gugatan waris. Jika harta warisan belum dibagi secara riil, maka
terhadap kasus waris yang Pewarisnya meninggal dunia sebelum Kompilasi Hukum Islam
(KHI) lahir, dengan sendirinya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat berlaku surut.

18
BAB II
PEMBARUAN HUKUM ISLAM

A. Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat


Keberadaan hukum tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan masyarakat. Masyarakat,
persekutuan hidup atau organisasi kehidupan sosial merupakan basis dan modal yang utama
bagi berlangsungnya kehidupan hukum (Rahardjo, 2009 : 94). Tanpa masyarakat tidak akan
ada hukum, tetapi tanpa hukum masyarakat dapat berjalan (Rahardjo, 2009 : 9). Hukum
sebagai suatu kaidah yang mengatur peri kehidupan masyarakat akan senantiasa ada dan
mengikuti dinamika yang lahir dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Sebagai bagian dari masyarakat, hukum tidak mungkin bersifat statis, melainkan harus
dinamis mengikuti kebutuhan dan tuntutan perubahan masyarakat. Perubahan dan
perkembangan dalam suatu masyarakat merupakan suatu keadaan yang normal. Masuknya
berbagai faktor eksternal maupun dorongan faktor internal dari dalam masyarakat itu sendiri
merupakan penggerak hukum. Perubahan di dalam masyarakat akan melahirkan berbagai
bentuk nilai baru yang sangat berbeda dengan nilai-nilai sebelumnya. Kondisi ini membuat
masyarakat harus mengadakan perubahan hukum sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum-
hukum yang dibuat harus mampu membuat masyarakat untuk hidup dalam suasana ketertiban
dan ketentraman dalam suasana pergaulan yang lebih baik sebelumnya.( Manan, 2006:77)
Beberapa ahli hukum memberikan definisi tentang perubahan hukum yang mengikuti
kebutuhan masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perubahan hukum adalah
kegiatan yang mengubah suatu hukum yang telah ada yang tidak semata-mata dilakukan oleh
karena hukum dirasakan kurang memadai lagi untuk mengatur kehidupan masyarakat,
melainkan masyarakat sendiri yang sudah mengalami perubahan fundamental dan bertujuan
untuk menciptakan masyarakat baru sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
(Rahardjo, 1981 : 1). Pendapat ini menempatkan perubahan masyarakat sebagai sebab utama
dilakukannya perubahan hukum
Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Perkembangan hukum tidak
hanya terletak pada undang-undang, tidak pula pada ilmu hukum ataupun pada putusan Hakim,
tetapi juga pada masyarakat itu sendiri (Manan, Op.Cit.: 19). Lebih lanjut, Eugen Ehrlich
menganjurkan agar terdapat keseimbangan dalam kehidupan hukum suatu negara dalam
melakukan perubahan hukum melalui perubahan perundang-undangan dengan kesadaran

19
untuk memperhatikan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pendapat ini menekankan unsur
kenyataan dalam masyarakat sebagai faktor utama yang harus diperhatikan dalam melakukan
perubahan hukum.
Abdul Manan mengartikan perubahan hukum atau pembaruan hukum sebagai proses
politik yang keberhasilannya tergantung pada perimbangan kekuatan aktor-aktor yang terlibat di
dalamnya, serta momentum yang tersedia dan yang mampu dibangun oleh para aktornya.
Lebih penting lagi, pembaruan hukum senantiasa berjalan melalui proses dialektika dan
berangkat dari problem-problem nyata di dalam rakyat. Di samping itu, perubahan hukum
harusnya diarahkan pada terciptanya sistem hukum yang memungkinkan dihormati, dipenuhi,
dan dilindunginya hak-hak dasar rakyat (Manan, 2006 : 77). Tidak jauh berbeda dengan
pendapat ahli lainnya, pendapat ini menitikberatkan keadaan nyata yang ada di dalam
masyarakat sebagai faktor utama dilakukannya perubahan hukum.

B. Perubahan Hukum dalam Perundang-undangan Indonesia


Perubahan hukum secara formal diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Ketentuan
tentang perubahan hukum dirumuskan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025. Undang-undang
ini merupakan pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional sebagaimana yang
diamanatkan oleh konstitusi, termasuk di dalamnya rencana pembangunan di bidang hukum.
Undang-undang ini menjelaskan bahwa RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah
Pembangunan Nasional (Vide, Pasal 3 UU No. 17/2007). Dengan diundangkannya Undang-
undang ini, perubahan hukum segara tegas dinyatakan sebagai perbuatan hukum yang sah dan
memiliki dasar hukum dalam pelaksanannya.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional menegaskan arah pembangunan
hukum, yaitu (vide, Lampiran UU No.17/2007):
...makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila
dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup
pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan
prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum
20
yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan
masyarakat yang adil dan demokratis.
Agar arah pembangunan hukum tersebut dapat tercapai, undang-undang menyatakan
bahwa (vide, Lampiran UU No.17/2007):
Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap
memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi
sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum
dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang
makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin
lancar.
Lebih khusus lagi, terkait dengan produk-produk hukum formal, undang-undang ini
mengatur bahwa pembaruan produk hukum harus dilakukan dengan ketentuan berikut (vide,
Bab IV.1.3 angka 6 dan 7 Lampiran UU No.17/2007)::
a. Harus ada penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang
mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia
b. Perubahan hukum melalui pembentukan perundang-undangan yang baru harus
mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika
lingkungan strategis yang sangat cepat berubah.
c. Perencanaan hukum harus diselenggarakan dengan memerhatikan berbagai aspek
yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan
masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang
pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat mengantisipasi
perkembangan zaman.
d. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum beserta peraturan
pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh
penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan
kebutuhan masyarakat.
e. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan
sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika
pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini
maupun masa depan (Lampiran UU No. 17/2007).

21
Ketentuan lain mengenai perubahan hukum adalah keterlibatan lembaga-lembaga hukum
dan profesi hukum dalam proses perubahan hukum itu sendiri. Dinyatakan secara tegas bahwa
pembangunan hukum harus dapat mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum,
profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas
dan kewajibannya secara profesional. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka semua pihak
yang terkait erat dalam penegakan hukum harus memberikan sumbangan dalam proses
perubahan hukum Nasional sesuai dengan wewenang yang dimilikinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa perubahan hukum,
khususnya perubahan hukum formal memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu diatur dalam
bentuk undang-undang. Perubahan hukum harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi dan
kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, khususnya dalam pembentukan hukum yang
bertujuan untuk mengisi kekurangan/kekosongan hukum yang telah ada. Lebih jauh lagi,
undang-undang juga menegaskan peran lembaga hukum, termasuk lembaga peradilan untuk
mendorong dan menjadi bagian dalam perubahan hukum melalui pelaksanaan wewenang yang
dimilikinya.

C. Perubahan Hukum Islam di Indonesia


Hukum Islam merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang mengikat seluruh warga
negara dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Seperti bidang hukum lainnya, hukum Islam juga
mengalami perubahan mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam kajian literatur, perubahan
Hukum Islam sering diartikan dengan Pembaruan Hukum dan menggunakan istilah tajdid, yang
didefinisikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh
kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam
pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan
kaidah-kaidah istinbath hukum yang dibenarkan untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil
lebih segar dan tampak modern, tidak ketinggalan zaman (Manan, 2006 : 225). Berdasarkan
definisi tersebut, maka setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama dalam proses perubahan hukum
Islam, yaitu proses perubahan hukum yang terarah dan sistematis, pelaku perubahan yang
kompeten, serta hasil perubahan yang mampu menjawab kebutuhan dan tantangan yang ada di
masyarakarat.
Pengertian yang sedikit berbeda tentang perubahan hukum adalah sebagaimana yang
disampaikan oleh Harun Nasution. Beliau menggunakan istilah pembaruan hukum Islam yang
lebih menekankan bahwa pembaruan hukum Islam diperlukan untuk menyesuaikan

22
pemahaman keagamaan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau akan
mempengaruhi pola pikir dan perubahan nilai, sistem sekaligus problematika terutama dalam
bidang hukum. Tidak terkecuali pula dalam hukum Islam (Nasution, 1986 : 11-12) Pendapat ini
menekankan pada arti penting perubahan hukum Islam dalam mengantisipasi perubahan nyata
yang ada dalam masyarakat
Perubahan hukum Islam khususnya dimulai dari sifat ketentuan hukum Islam yang
bersumber utama dari ayat-ayat Al Qur‟an yang memiliki 2 (dua) sifat berbeda. Secara umum,
ayat Al Qur‟an sebagai sumber yang pertama dan terutama dalam pengembangan hukum Islam
terbagi menjadi (Daud Ali, 1996:79) :
1. Ayat-ayat yang bersifat Qath‟i.
Ayat yang bersifat Qath‟i adalah ayat yang mengandung kata atau kalimat yang memiliki
arti yang jelas sekali, sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain dari yang tersebut dalam
teks tersebut.
2. Ayat-ayat yang bersifat Zhanni.
Ayat yang bersifat Zhanni adalah ayat yang mengandung kata atau kalimat yang
memiliki arti atau pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang
berbeda dengan makna yang berbeda pula (Nasution, 1986 : 11-12)
Berdasarkan pembagian tersebut, perubahan hukum Islam hanya dapat dilakukan dalam
permasalahan hukum yang memiliki dasar hukum bersifat Zhanni. Pembaruan hukum Islam
didahului oleh interpretasi terhadap teks kehendak Allah yang tidak Qath‟i petunjuknya terhadap
hukum dan diturunkan dalam bentuk yang tidak terurai (Manan, 2006: 217). Interpretasi ini
dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan hukum Islam secara komperehensif di
bidang hukum Islam.
Perubahan hukum Islam disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat, dan
waktu. Beberapa ahli merumuskan faktor-faktor khusus yang mendorong terjadinya perubahan
hukum Islam, yaitu: (Manan, 2006 : 226)
1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena nonrma-norma yang terdapat dapat kitab-
kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum
terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan
2. Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang
mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya

23
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberi peluang pada hukum Islam
untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasional
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan para mujtahid baik
tingkat internasional mupun nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan
IPTEK.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi nyata yang
ada dalam masyarakat merupakan pendorong utama bagi dilakukannya perubahan hukum
Islam.
Perubahan hukum Islam juga terjadi dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Sasaran
perubahan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia diterapkan dalam 2 (dua) bentuk
hukum formal, yaitu perundang-undangan dan putusan Pengadilan Agama (Manan, 2006 :
251). Lebih khusus, dijelaskan sebagai berikut: (Manan, 2006 : 249-251)
1. Perubahan hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan.
Perubahan dalam perundang-undangan diawali dengan pemikiran-pemikiran berbagai
organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan organisasi lainnya,
yang terus-menerus melakukan kajian hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat
Islam di Indonesia dan membawa hasil pemikiran tersebut dalam proses legislasi
nasional.
Hasil dari perubahan hukum Islam dapat dilihat dengan lahirnya beberapa peraturan
perundang-undangan yang menyerap ketentuan hukum Islam, antara lain Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang
terakhir kali diperbarui melalui Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Undang-undang No.
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
2. Perubahan hukum Islam dalam putusan Pengadilan Agama
Perubahan hukum Islam dalam putusan Pengadilan Agama diatur dalam landasan
hukum yang jelas. Dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
KeHakiman dinyatakan secara tegas bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Vide, Pasal 10 UU No. 48/2009). Selain itu, dalam memutus suatu perkara, Hakim dan
Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Vide, Pasal 5 UU No. 48/2009). Berdasarkan

24
ketentuan tersebut, maka Hakim pada Pengadilan Agama memiliki kewenangan
sekaligus kewajiban untuk melakukan perubahan hukum dalam mengeluarkan
putusannya.
Hasil dari perubahan hukum Islam melalui putusan Pengadilan Agama dapat dilihat
dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor. 1751/P/1989 tenggal 20 April
1989 tentang perkawinan melalui jaringan telepon. Khusus tentang kewarisan Islam,
salah satu contoh adalah putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999 tanggal 29
September 1999 tentang penetapan ahli waris yang bukan beragama Islam berdasarkan
Wasiat Wajibah.

25
BAB III
PEMBARUAN AHLI WARIS DALAM HUKUM TERAPAN KEWARISAN ISLAM DI
INDONESIA DARI MASA KE MASA

Perkembangan ini diawali dengan formalisasi peraturan tentang kedudukan Pengadilan


Agama/Mahkamah Syar‟iyah di wilayah Indonesia, termasuk tugas dan wewenangnya. Dalam
penentuan tugas dan wewenang inilah kemudian berkembang tentang hukum terapan yang
digunakan dalam perkara kewarisan Islam di Indonesia. Secara rinci, periode tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
A. Periode tahun 1958
Pada mulanya, penentuan tentang hukum terapan kewarisan Islam di Indonesia dilakukan
sebagai implikasi dari penetapan tugas dan wewenang Pangadilan Agama/Mahkamah
Syariyah. Pada tahun 1954, pertama kali regulasi nasional mengeluarkan dasar hukum
pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah di seluruh wilayah Indonesia. Dasar hukum
tersebut diformalkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
Menetapkan Peraturan tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa Madura. Dalam peraturan ini,
secara tegas dinyatakan bahwa Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah memeriksa dan
memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang
menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum Agama Islam yang berkenaan dengan
nikah, thalaq, ruju', fasakh, nafaqah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah
dan sebagainya, hadhana, perkara waris-malwaris, waqaf, hibah, sadaqah, baitulmal.dan lain-
lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan
mengesahkan bahwa syarat taklik sudah berlaku (Vide, Pasal 4 ayat (1) PP No. 45/1957).
Dalam menjalankan kompetensi absolutnya mengadili perkara-perkara tersebut, Peraturan
Pemerintah ini tidak menjelaskan secara rinci tentang hukum terapan yang digunakan oleh para
Hakim. Secara umum, Peraturan Pemerintah ini hanya menyatakan bahwa jenis-jenis perkara
tersebut di atas harus diputus menurut hukum Syari'at Islam (vide, memori penjelasan
PP.No.45/1957).
Untuk mengatasi kekosongan hukum terapan yang digunakan oleh Pengadilan Agama,
pada tanggal 18 Februari 1958 Biro Pengadilan Agama mengeluarkan peraturan tentang hukum
terapan di Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Biro Pengadilan Agama No. B/1/735
tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 yang ditujukan kepada Segenap
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah di Indonesia. Secara umum, Surat Edaran ini

26
mengatur lebih lanjut ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957
tentang Menetapkan Peraturan tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa Madura mengenai 5
(lima) hal utama, yaitu (vide, SE Biro Peradilan Agama No.B/1/735):
a. Batas-batas kekuasaan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah.
b. Materi hukum yang dipergunakan dalam memutuskan perkara.
c. Penyelenggaraan Tata-usaha dan Kepaniteraan.
d. Sidang keliling dan perjalanan dinas.
e. Bandingan
Ketentuan mengenai hukum terapan yang digunakan untuk menyelesaikan semua perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, termasuk di dalamnya perkara waris-malwaris
dinyatakan dalam aturan tentang Materi hukum yang dipergunakan dalam memutuskan
perkara. Dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa (vide, huruf B SE Biro Peradilan Agama
No.B/1/735)::
Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka
para Hakim Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah dianjurkan agar mempergunakan
sebagai pedoman kitab-kitab tersebut dibawah ini:
1. Albadjuri.
2. Fatchulmu'in.
3. Sjarqowi 'ala 'tThahrir.
4. Quljubi/mahalli.
5. Fatchulwahhab dengan syarahnya.
6. Tuchfah.
7. Targhibul Musjtaq.
8. Qowanin 'Ssjar'iyah li 'Ssajid Uthman bin Jahja.
9. Qowanin 'Ssjar'iyah li 'Ssajid Sadaqah Dachlan.
10. Sjamsuri fi 'lfaradil.
11. Baghjatul Mustarsjidin.
12. Mughnil Muchtadj.
Dalam khasanah hukum Islam, kitab-kitab yang disebutkan tersebut merupakan kitab-kitab fiqih
yang mengadopsi mazhab Syafi‟i sebagai mazhab yang diacu oleh mayoritas masyarakat
muslim di Indonesia. Surat Edaran ini merupakan aturan formal pertama yang mengatur tentang
hukum terapan kewarisan Islam di Indonesia, khususnya dalam penyelesaian sengketa waris di
Pengadilan Agama.

27
Setelah dikeluarkannya Surat Edaran tersebut, tidak ditemukan adanya peraturan baru
tentang hukum terapan kewarisan Islam dalam jangka waktu yang cukup lama. Garis besar
hukum kewarisan Islam menurut madzab Syafi‟i adalah sebagai berikut :
a. Ahli Waris apabila dilihat dari haknya atas harta warisan, dibagi menjadi (Basyir, 2009 : 24):
1) ahli waris dzawil furudh yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentulan dalam Al Qur‟an
dan Sunnah, meliputi :
a) Bagian 2/3 menjadi hak 2 orang saudara perempuan kandung atau seayah, dan
dua anak perempuan
b) Bagian ½ menjadi hak seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan
kandung atau seayah dan suami bila Pewaris tidak meninggalkan anak
c) Bagian 1/3 menjadi hak ibu apabila Pewaris tidak meninggalkan anak atau lebih
dari seorang saudara, dan saudara-saudara seibu jika lebih dari seorang
d) Bagian ¼ menjadi hak suami jika Pewaris meninggalkan anak yang berhak
mewaris dan istri apabila Pewaris tidak meninggalkan anak.
e) Bagian 1/6 menjadi hak ayah dan ibu jika Pewaris meninggalkan anak, juga ibu
apabila Pewaris meninggalkan saudara-saudara lebih dari seorang, dan seorang
saudara seibu. Termasuk 1/6 juga menjadi hak cucu perempuan dari anak laki-
laki yang mewaris bersama-sama anak perempuan, saudara perempuan seayah
bersama-sama dengan saudara perempuan kandung, dan kakek apabila
Pewaris meninggalkan anak, serta nenek apabila tidak ada ibu.
f) Bagian 1/8 menjadi hak istri apabila Pewaris meninggalkan anak yang berhak
mewaris
2) ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang bagiannya belum ditentukan bagiannya, tetapi
akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudh sama
sekali, namun apabila ada, ia berhak atas sisanyatermasuk apabila tidak ada sisa, maka
ia pun tidak mendapatkan harta waris. Ahli waris ashabah ada tiga macam, yaitu :
a) yang berkedudukan sebagai ahli waris ashabah dengan sendirinya, tidak karena
ditarik oleh ahli waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama dengan ahli
waris ashabah. Mereka adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki,
saudara laki-laki kandung atau seayah, dan paman. Mereka inilah yang disebut
ashabah bin nafsi.
b) Yang berkedudukan sebagai ahli waris ashabah karena ditarik oleh ahli waris
ashabah lain. Yaitu anak perempuan yang menjadi ahli waris ashabah karena

28
ditarik oleh anak laki-laki, cucu perempuan yang ditarik ashabah oleh cucu laki-laki,
saudara perempuan kandung atau seayah yang diatik menjadi ashabah oleh
saudara laki-laki kandung atau seayah. Ahli waris ashabah semacam ini disebut
ashabah bil ghair
c) Yang berkedudukan menjadi ahli waris ashabah karena bersama-sama dengan ahli
waris lain, seperti saudara perempuan kandung atau seayah yang menjadi ahli
waris ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan. Ahli waris
semacam ini disebut ashabah ma‟al ghair.
3) ahli waris dzawil arham, adalah sanak kerabat Pewaris yang tidak termasuk golongan
dzawil furudh atau ashabah. Ahli waris ini berhak mewaris apabila tidak bersama
dengan ahli waris dzawil furudh maupun ashabah. Yang termasuk ahli waris dzawil
arham ialah :
a) cucu laki-laki atau perempuan, anak dari anak perempuan
b) kemenakan laki-laki atau perempuan, anak dari saudara perempuan kandung,
seayah atau seibu
c) kemenakan perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau
seayah
d) saudara sepupu perempuan, anak perempuan paman (saudara laki-laki ayah)
e) paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu)
f) paman, saudara laki-laki ibu
g) bibi, saudara perempuan ayah
h) bibi, saudara perempuan ibu
i) kakek, ayah ibu
j) nenek buyut, ibu kakek
k) kemenakan seibu, anak-anak saudara laki-laki seibu.
b. Ahli waris dari segi kelaminnya dibagi menjadi dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan
ahli waris perempuan. Ahli waris laki-laki terdiri dari :
1) Ayah
2) Kakek (bapak ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
3) Anak laki-laki
4) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah

29
7) Saudara laki-laki seibu
8) Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki saudara laki-laki kandung) dan seterusnya
ke bawah dari garis laki-laki
9) Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki saudara laki-laki) dan seterusnya ke bawah
dari garis laki-laki
10) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya ke atas dari garis
laki-laki
11) Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-
laki
12) Saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki paman kandung) dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki. Termasuk di dalamnya anak paman ayah, anak paman kakek
dan seterusnya, dan anak keturunannya dari garis laki-laki.
13) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki.
14) Suami
15) Anak laki-laki yang memerdekakan budak.
Ahli waris perempuan terdiri dari :
1) Ibu
2) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan
3) Nenen (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan, atau berturut-turut
dari garis laki-laki kemudian sampai kepada nenek, atau berturut-turut dari garis laki-laki
lalu bersambung dengan berturut-turut dari garis perempuan
4) Anak perempuan
5) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
6) Saudara perempuan kandung
7) Saudara perempuan seayah
8) Saudara perempuan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak.
c. Dalam pembagian harta warisan dimulai dengan memberikan bagian kepada ahli waris
dzawil furudh terlebih dahulu, dan apabila masih ada sisa, maka diberikan kepada ahli waris
ashabah.
d. Ahli waris harus dalam keadaan hidup saat Pewaris meninggal dunia

30
e. Bahwa Anak perempuan tidak menutup saudara laki-laki kandung Pewaris karena saudara
laki-laki yang ditempatkan sebagai ahli waris ashabah hanya tertutup oleh anak laki-laki
sebagai ashabah yang paling kuat.
f. Bagian dari cucu perempuan dari anak laki-laki ditentukan sebagai berikut :
1) Cucu perempuan dari anak laki-laki berkedudukan seperti anak perempuan
2) Cucu perempuan mendapatkan ½ harta warisan apabila hanya seorang, tidak ada anak
dan tidak ada yang menariknya sebagai ashabah
3) Cucu perempuan mendapatkan 2/3 harta warisan apabila dua orang atau lebih, tidak
ada anak dan tidak ada yang menariknya menjadi ashabah
4) Cucu perempuan mendapatkan 1/6 harta warisan untuk seorang atau lebih apabila
bersama-sama dengan seorang anak perempuan guna menyempurnakan bagian 2/3
harta warisan
5) Tertarik oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki yang setingkat, dengan ketentuan cucu
laki-laki menerima dua kali lipat bagian cucu perempuan.
6) Cucu perempuan terhalang atau tertutup oleh anak laki-laki dan dua orang atau lebih
anak perempuan bila tidak ada yang menariknya menjadi ashabah.
g. Ketentuan bagian cucu laki-laki adalah sebagai berikut :
1) Tidak dapat menarik anak perempuan menjadi ashabah
2) Menarik cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai ashabah dengan ketentuan bagian
cucu laki-laki dua kali bagian cucu perempuan
3) Cucu laki-laki yang lebih bawah tingkatannya dapat menarik ashabah cucu perempuan
yang lebih atas tingkatannya apabila cucu perempuan tersebut terhalang oleh ahli wris
lain
4) Cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki yang tingkatannya lebih bawah
terhalang oleh cucu laki-laki yang tingkatannya lebih atas.
h. Saudara terbagi menjadi saudara sekandung, seayah, dan seibu, dengan menempatkan
saudara garis kandung lebih kuat kedudukannya dibanding saudara seayah dan seibu.
Dalam fiqih disebutkan bahwa saudara dapat mewaris apabila terjadi kalalah, yaitu kondisi
ketika seorang Pewaris tidak mempunyai ayah atau anak. Anak yang dimaksudkan di sini
terbatas pada anak laki-laki.
i. Bagian saudara, selengkapnya adalah sebagai berikut :
1) Saudara perempuan kandung atau seayah

31
a) ½ harta warisan apabila hanya seorang, tidak ada anak, cucu dari anak laki-laki
atau ayah dan tidak ada yang menariknya sebagai ashabah
b) 2/3 harta warisan, untuk dua orang atau lebih, apabila tidak ada anak, cucu dari
anak laki-laki atau ayah dan tidak ada yang menariknya menjadi ashabah
c) Tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki kandung atau oleh kakek dengan
ketentuan bagian saudara laki-laki dua kali bagian saudara perempuan
d) Merupakan ahli waris maal ghair untuk seorang atau lebih apabila bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
e) Tertutup oleh ayah, anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki
2) Saudara perempuan dan laki-laki seibu
a) 1/6 harta warisan apabila hanya seorang dan tidak ada
3) Saudara laki-laki kandung

B. Periode Tahun 1991


Pembahasan mengenai hukum terapan kewarisan Islam mulai mengemuka pada tahun
1985 melalui pembentukan Tim Penyusun KHI (Kompilasi Hukum Islam) melalui Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama Nomor 07/K.MA/1985 dan
Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Tim ini bertugas untuk melakukan penelitian
secara komperehensif terhadap kitab-kitab fiqih yang digunakan khususnya oleh para Hakim,
penelitian terhadap berbagai yursiprudensi, melakukan serangkaian wawancara dengan para
ahli hukum Islam, dan melakukan studi perbandingan ke berbagai negara untuk kemudian hasil
dari seluruh kegiatan tersebut menjadi dasar pembentukan hukum terapan formal hukum Islam
di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut kemudian dibawa ke forum pembahasan formal Lokakarya
Nasional pada tahun 1988. Selanjutnya, pada tahun 1991, pemerintah Republik Indonesia
memformalkan hasil kajian tersebut menjadi regulasi resmi dengan payung hukum Instruksi
Presiden R.I. No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam Instruksi ini, dikatakan
bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil Lokakarya yang diselenggarakan pada 2
sampai 5 Pebruari 1988 dapat dipergunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat
yang memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Instruksi ini diikuti dengan perintah pada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI kepada masyarakat.

32
Ketentuan dalam Instruksi Presiden ini dikuatkan melalui Keputusan Menteri Agama No.
154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 1991. Secara tegas, Diktum kedua
Keputusan Menteri Agama menyatakan bahwa (vide, diktum kedua Kep.Menag. No. 154/1991):
Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat
mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-
undangan lainnya

Melalui Keputusan tersebut, secara tegas ditetapkan hukum terapan kewarisan Islam di
Indonesia yaitu sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur secara substansial tentang hukum kewarisan Islam
di Indonesia. Sebagai rumusan tertulis ketentuan hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) disusun menjadi beberapa Bab dan pasal-pasal sesuai dengan obyek
pengaturannya. Khusus mengenai kewarisan Islam, pengaturannya disusun dalam buku Ke-II
yang terdiri dari 6 Bab dengan 44 pasal. Secara rinci, masing-masing Bab tersebut mengatur
tentang:
Bab I : Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang istilahistilah kewarisan
Islam. Arti penting dalam Bab ini adalah memberikan definisi dan arahan
khususnya terkait dengan rukun dan syarat terjadinya kewarisan.
Bab II : Ahli Waris, memuat ketentuan rinci tentang siapa yang berhak menerima
bagian warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia. Arti penting Bab ini
adalah memberikan pedoman tentang Ahli waris, termasuk kedudukan dan
kewajibannya terhadap harta peninggalan Pewaris
Bab III : Besarnya Bagian, memuat ketentuan rinci tentang bagian masing-masing Ahli
Waris, termasuk kondisi-kondisi khusus seperti warisan dalam pernikahan yang
lebih dari 1 (satu) orang istri, atau kewarisan ketika seorang sama sekali tidak
memiliki Ahli Waris
Bab IV : Aul dan Rad, memuat ketentuan tentang cara penghitungan pembagian waris di
antara para ahli waris bila terjadi penghitungan angka pecahan yang tidak bisa
dibagi secara genap di antara para ahli waris.
Bab V : Wasiat, memuat secara rinci ketentuan tentang pemberian dan pelaksanaan
wasiat dalam hukum kewarisan Islam.

33
Bab IV : Hibah, memuat secara rinci ketentuan tentang pemberian hibah. Arti penting
bab ini adalah bahwa ketentuan hibah banyak sekali menyerap kondisi nyata
masyarakat Indonesia yang memiliki kebiasaan memberikan hibah pada ahli
warisnya sendiri. Melalui bab ini, diatur sinergi antara hibah dan kewarisan
Apabila dibandingkan dengan ketentuan waris menurut madzab Syafi‟i maka letak perbedaan
adalah sebagai berikut :
a. pembagian ahli waris meliputi, ahli waris karena hubungan perkawinan terdiri dari janda
atau duda dan ahli waris berdasarkan jenis kelamin, meliputi (Vide, Pasal 174 KHI) :
1) ahli waris perempuan adalah : anak perempuan, ibu, saudara perempuan, dan nenek
2) ahli waris laki-laki adalah : anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek dan paman
b. Bagian ahli waris disebutkan sebagai berikut :
1) Bagian ½ diberikan untuk seorang anak perempuan yang mewaris tidak bersama anak
laki-laki, dan bagian untuk saudara perempuan kandung atau seayah yang tidak
mewaris bersama ayah, anak, dan saudara laki-laki kandung atau seayah.
2) bagian 2/3 diberikan untuk dua orang atau lebih anak perempuan yang mewaris tidak
bersama anak laki-laki, dan bagian untuk dua atau lebih saudara perempuan kandung
atau seayah yang tidak mewaris bersama ayah, anak, dan saudara laki-laki kandung
atau seayah.
3) Bagian 1/8 diberikan untuk janda apabila Pewaris meninggalkan anak
4) Bagian ¼ diberikan kepada janda apabila Pewaris tidak meninggalkan anak dan untuk
duda apabila Pewaris meninggalkan anak
5) Bagian 1/6 diberikan untuk ibu atau ayah apabila Pewaris meninggalkan anak serta
untuk seorang saudara seibu apabila Pewaris tidak meninggalkan ayah atau anak
c. Ayah tidak ditempatkan sebagai ahli waris ashabah dengan memberikan bagian ayah
sebanyak 1/3 bagian apabila Pewaris tidak meninggalkan anak, dan 1/6 bagian apabila
Pewaris meninggalkan anak (Vide, Pasal 177 KHI).
d. Ahli waris tidak harus dalam keadaan hidup saat Pewaris meninggal dunia, yaitu dengan
mengatur ketentuan tentang ahli waris pengganti, yang menyebutkan bahwa ahli waris yang
meninggal dunia sebelum Pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anak-anaknya,
dengan bagian Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti (Vide, Pasal 185 KHI).

34
e. KHI mengatur tentang pemberian Wasiat Wajibah dengan besar maksimal 1/3 dari harta
waris Pewaris bagi orang tua angkat dan anak angkat yang belum menerima wasiat dari
Pewaris (Vide, Pasal 209 KHI).
f. Terkait hak waris saudara, KHI menyamakan kedudukan saudara sekandung dan seayah,
namun tidak demikian dengan saudara seibu. Bagian saudara adalah sebagai berikut (Vide,
Pasal 181 dan 182 KHI) :
1) seorang saudara laki-laki atau perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian, dan apabila
dua orang saudara seibu atau lebih mendapatkan 1/3 bagian, apabila Pewaris tidak
mempunyai ayah dan anak.
2) seorang saudara perempuan atau seayah mendapatkan ½ bagian, dan apabila dua
orang atau lebih bersama-sama mendapatkan 2/3, apabila Pewaris tidak meninggalkan
ayah dan anak
g. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menyebutkan mengenai ashabah maal ghair, namun
masih mengadopsi ashabah bil ghoir dengan memberikan bagian anak laki-laki dan saudara
laki dua kali lipat apabila mewaris bersama anak perempuan dan saudara perempuan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum terapan kewarisan Islam secara
tegas mensyaratkan beragama Islam bagi Ahli Waris untuk mendapatkan haknya. Namun
melalui yurisprudensi, terlihat bahwa ketentuan tersebut berusaha diatasi dengan memperluas
definisi dan ketentuan pemberian Wasiat Wajibah oleh para Hakim di Mahkamah Agung. MUI
kemudian berusaha menjembatani adanya perkembangan ini melalui Fatwa Majelis Ulama
Indonesia No. 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama.
Dasar pertimbangan dikeluarkannya fatwa tersebut adalah dikarenakan kondisi nyata di
masyarakat, yaitu sering terjadinya kewarisan beda agama, serta munculnya berbagai
pendapat tentang kewarisan beda agama tersebut. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa :
a. hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda
agama (muslim dan non muslim)
b. pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk
hibah, wasiat, dan hadiah.
Ketentuan dalam Fatwa ini menguatkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai
syarat beragama Islam bagi seorang Ahli waris, dan disaat yang sama juga menguatkan
yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai pemberian Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang
tidak beragama Islam.

35
Setelah pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum terapan kewarisan
Islam di Indonesia pada tahun 1991, harapan untuk menciptakan unifikasi hukum terapan
kewarisan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya tercapai. Ada beberapa ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang masih menimbulkan pertanyaan lebih lanjut di masyarakat
maupun kalangan Pengadilan Agama itu sendiri. Salah satu produk hukum yang dikeluarkan
sebagai hukum terapan kewarisan Islam melengkapi Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
SEMA No. 2 Tahun 1994 tentang Pengertian 117 KHI pada tanggal 28 Juni 1994. SEMA ini
ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama di seluruh
Indonesia, guna menjawab banyaknya pertanyaan tentang ketentuan KHI khusus pasal 117
yang mengatur tentang bagian ayah.
SEMA tersebut mengatur bahwa maksud Pasal 117 tersebut, ialah Ayah mendapat
sepertiga bagian bila Pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Ketentuan tersebut menjadi tambahan hukum
terapan kewarisan Islam khusus terkait kondisi yang dimaksud. SEMA tersebut sepertinya
muncul terkait keraguan akan bagian ayah, yang tidak menempatkan ayah sebagai ashabah,
sebagaimana dalam ketentuan waris madzab Syafi‟i. Apabila dicermati dalam terjemah Al
Qur‟an Surat An Nisaa terbitan Departemen Agama, yang menyebutkan tentang bagian ayah
dan ibu, memang tidak secara tegas menyebutkan bahwa bagian ayah adalah sebagaimana
ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun SEMA.
Selain masih adanya ketentuan yang belum jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ,
dalam kenyataannya penyelesaian sengketa waris Islam tidak sepenuhnya mengacu pada
ketentuan tersebut. Keadaan ini kemudian melahirkan perkembangan baru hukum terapan
kewarisan Islam pasca berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) . Beberapa perkembangan
hukum terapan kewarisan Islam melalui putusan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang Wasiat Wajibah
Di dalam KHI, ketentuan Wasiat Wajibah secara tegas telah diatur. Wasiat Wajibah
merupakan bentuk wasiat yang diberikan oleh negara melalui putusan Pengadilan Agama
kepada anak angkat dari orang tua angkat ataupun sebaliknya, dengan ketentuan tidak
boleh melebihi 1/3 dari harta warisan Pewaris.(vide pasal 209 KHI) Berdasarkan ketentuan
ini, maka KHI mengatur limitasi tentang pemberi, penerima, dan jumlah Wasiat Wajibah
yang bisa ditetapkan oleh Hakim.
Dalam yurisprudensi, ditemukan perluasan makna Wasiat Wajibah yang dilakukan oleh
Hakim melalui putusannya. Setidaknya ada 2 (dua) putusan Mahkamah Agung yang

36
mengatur tentang pemberian Wasiat Wajibah di luar ketentuan KHI. Kedua putusan
tersebut, yaitu Putusan Mahkamah Agung R.I. No.368.K/AG/1995 dan Putusan Mahkamah
Agung R.I. No. 51.K/AG/1999 . Putusan ini menetapkan bahwa Wasiat Wajibah tidak hanya
dibatasi untuk diberikan dalam hubungan anak angkat-orang tua angkat, melainkan dapat
pula diterapkan pada Ahli Waris yang tidak beragama Islam. Melalui kedua putusan
tersebut, seorang Ahli waris yang tidak beragama Islam diberikan bagian harta melalui
lembaga Wasiat Wajibah oleh Hakim Agung dengan bagian tidak melebihi 1/3 dari harta
waris serta tidak melebihi bagian ahli waris muslim yang sederajat dengannya.
b. Ketentuan tentang Bagian Saudara
Dalam ketentuan KHI menyebutkan bahwa saudara akan mewaris apabila Pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah. Kata “dan” dalam bahasa hukum tentunya dimaknai
kumulatif, namun praktiknya Hakim memaknainya sebagaimana ketentuan fiqih yaitu
bahwa saudara hanya tertutup oleh anak laki-laki atau ayah. KHI hanya menyebutkan
bahwa apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mewaris adalah janda, duda,
ayah, ibu, dan anak. Penafsiran yang berbeda muncul terkait ketentuan tersebut. Misal ahli
waris yang ada adalah janda, ayah, anak perempuan, dan saudara laki-laki kandung,
apakah dapat dikatakan bahwa semua ahli waris ada (karena anak laki-laki tidak tampil
sebagai ahli waris atau tidak ada), sehingga ketentuan tersebut bisa dikatakan tidak
berlaku, dan memungkinkan saudara laki-laki kandung mewaris, sebagaimana pendapat
Syafi‟i. Pendapat lain menyebutkan bahwa ketentuan tersebut menegaskan bahwa ke lima
ahli waris tersebut adalah ahli waris utama yang tidak tertutup oleh ahli waris lain dan dapat
menutup ahli waris yang lain.
KHI tidak menyebutkan bahwa saudara seibu tertutup oleh saudara sekandung atau
seayah. Bagian saudara seibu sama halnya dengan fiqih yaitu 1/6 dan 1/3. dan
menyamakan kedudukan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu. Keduanya hanya
tertutup oleh ayah dan anak.
Yurisprudensi yang merupakan terobosan baru tentang bagian Saudara ditemukan
dalam putusan Mahkamah Agung, yaitu Putusan Mahkamah Agung R.I. No.86K/AG/1994
tanggal 28 April 1995. Putusan ini melahirkan kaidah hukum baru dalam hukum kewarisan
Islam di Indonesia, yaitu menyamakan kedudukan Anak Laki-laki dan Anak Perempuan
sebagai penghalang bagi saudara Pewaris untuk menerima bagian warisan yang
ditinggalkan. Berdasarkan putusan ini, maka bila seorang Pewaris meninggalkan anak, baik
perempuan maupun laki-laki, secara otomatis saudara Pewaris (kandung, seayah, maupun

37
seibu) akan terhalang untuk mendapatkan warisan. Demikian halnya dengan Putusan
Mahkamah Agung R.I. No. 184 K/AG/1995. Hakim ternyata menggunakan pertimbangan
Hakim dalam putusan terdahulu, sehingga kaidah hukum terapan khusus tentang bagian
saudara ini menjadi pedoman pengaturan kewarisan Islam selanjutnya yang akan peneliti
paparkan dalam putusan-putusan Pengadilan Agama guna menjawab rumusan masalah
berikutnya.

C. Periode tahun 2006 hingga sekarang


Perkembangan penting tentang hukum terapan kewarisan Islam di Indonesia terjadi pada
tahun 2006 melalui penerbitan Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan
khususnya di Pengadilan Agama. Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama ini merupakan bentuk baru dalam perkembangan hukum terapan kewarisan
Islam di Indonesia. Buku ini merupakan pedoman utama oleh seluruh aparat Peradilan Agama
terutama para Hakim, Panitera/Panitera Pengganti dan Jurusita dalam melaksanakan tugas di
bidang admnistrasi peradilan dan teknis peradilan. Penyusunan berbagai ketentuan di dalam
Buku II ini dilakukan secara internal oleh Tim yang dibentuk di dalam internal Mahkamah Agung
untuk merumuskan berbagai yurisprudensi yang pernah diputuskan khususnya dalam perkara
kewarisan Islam. Pemberlakuan ketentuan dalam Buku II ini diperkuat melalui Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang Pemberlakuan
Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan.
Perumusan Buku II ini terutama terkait dengan berbagai perubahan dalam sistem
peradilan di Indonesia. Adanya sistem satu atap, ditetapkannya berbagai peraturan perundang-
undangan baru di bidang peradilan, pemberlakuan berbagai ketentuan internal seperti Surat
Edaran Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung, serta dinamika dalam
yurisprudensi merupakan latar belakang penyusunan Buku ini. Berdasarkan hal tersebut, maka
ketentuan dalam Buku II merupakan bentuk perkembangan baru di bidang hukum formil
maupun terapan yang digunakan oleh para Hakim.
Khusus untuk ketentuan kewarisan Islam, Buku II ini menegaskan bahwa hukum terapan
kewarisan Islam yang digunakan oleh para Hakim adalah KHI dan yurisprudensi yang
bersumber dari Al Qur‟an, Al Hadits, dan Ijtihad. Perkembangan dalam Buku II ini ada pada
penyimpangan beberapa ketentuan dalam KHI atas dasar Yurisprudensi. Perbedaan
pengaturan dalam Buku II yang berbeda dengan pengaturan KHI dapat dijelaskan sebagai
berikut :

38
a. KHI membedakan saudara seibu dari saudara seayah dan sekandung (Pasal 181 dan 182
KHI). Dalam perkembangannya, yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan saudara
seibu dengan saudara sekandung atau saudara seayah, mereka mendapat ashabah secara
bersama-sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara
perempuan.
b. Buku II mengatur tentang asas-asas kewarisan Islam yang salah satunya adalah asas
egaliter, yaitu menegaskan bahwa ahli waris yang beragama non muslim dapat
mendapatkan harta waris Pewaris melalui Wasiat Wajibah dengan besarnya bagian
maksimal 1/3 dari harta warisan dan tidak melebihi bagian ahli waris muslim yang sederajat
dengannya.
c. Buku II juga mengatur secara tegas ketentuan hijab mahjub yang tidak diatur dalam KHI
yaitu :
1) anak laki-laki maupun anak perempuan serta keturunannya menghijab saudara
(sekandung, seayah, seibu) dan keturunannya, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu
serta keturunannya.
2) Ayah menghijab saudara dan keturunannya, kakek dan nenek yang melahirkannya serta
paman / bibi pihak ayah dan keturunannya
3) Ibu menghijab kakek dan nenek yang melahirkannya serta paman/bibi pihak ibu dan
keturunannya
4) Saudara (sekandung, seayah atau seibu) dan keturunannya menghijab paman dan bibi
pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
d. Diatur tentang ahli waris pengganti tidak hanya ke bawah seperti yang disebutkan dalam
KHI, namun juga penggantian tempat ke atas, yaitu nenek kakek yang menggantikan
bagian ayah dan ibu Pewaris yang meninggal dunia sebelum Pewaris, dan pama bibi juga
dimungkinkan menggantikan bagian ayah ibu apabila kakek nenek juga sudah meninggal
dan tidak ada saudara Pewaris. Selengkapnya, kelompok ahli waris yang mendapat bagian
sebagai Ahli Waris Pengganti adalah sebagai berikut :
1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan
2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi
bagian yang digantikannya
3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi
sama.
4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama

39
5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah
apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah
6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila
tidak ada kakek dan nenek dari pihak ibu.
e. Ketentuan tentang kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, diatur sebagai
berikut :
1) anak laki-laki dan keturunannya
2) anak perempuan dan keturunannya bila mewaris bersama anak laki-laki
3) saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila Pewaris tidak meninggalkan
keturunan dan ayah
4) kakek dan nenek
5) paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya
Dalam konsep fiqih, bagian ahli waris yang tidak ditentukan disebut sebagai ahli waris
ashabah dengan membedakan menjadi 3 macam ashabah yaitu ashabah bin nafsi,
ashabah bil ghair dan maal ghair. Ketentuan ashabah tidak terdapat lagi dalam KHI, namun
secara tersurat masih mengadopsi ashabah bin nafsi dan bil ghair. Buku II MA tidak
mempergunakan kata ashabah namun secara riil menyebut ahli waris-ahli waris yang
bagiannya tidak ditentukan. Terkait dengan bagian anak laki-laki sepertinya masih
mengadopsi ketentuan fiqih yang menyebutkan anak laki-laki sebagai ashabah yang paling
kuat namun untuk keturunannya, Buku II melakukan pembaruan dengan menyamakan
kedudukan cucu perempuan dengan cucu laki-laki dari anak perempuan. Dikarenakan
keturunan adalah Ahli Waris Pengganti, maka ketika orang tuanya adalah ashabah, ia pun
menjadi ashabah atau mendapatkan bagian yang belum dapat ditentukan. Demikian halnya
dengan bagian anak perempuan, yang dalam konsep fiqih menjadi ashabah apabila
mewaris bersama anak laki-laki, namun pembaruan yang terjadi, ketika cucu dari anak
perempuan mewaris bersama anak laki-laki atau keturunannyamaka kedudukannya pun
sama dengan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris yang digantikan.
Sebagai pedoman bagi para Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
Buku II sudah mengalami beberapa kali revisi. Terakhir adalah dengan dikeluarkannya
Revisi tahun 2010. Didalam edisi revisi ini, khusus mengenai hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, terlihat adanya pengaturan baru, mengenai bagian ayah sebagai ahli waris.
Ditentukan bahwa Ayah mendapat 1/6 bagian bila Pewaris meninggalkan anak/keturunan,
mendapat ashabah bila Pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan. Ketentuan ini jelas

40
berbeda dengan dengan SEMA yang dikeluarkan tahun 1994, yang menegaskan bagian
ayah 1/6 apabila Pewaris meninggalkan anak dan 1/3 apabila Pewaris tidak meninggalkan
anak

D. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pembaruan Hukum Terapan Kewarisan


Islam di Indonesia
Perubahan hukum terapan kewarisan Islam di Indonesia sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya memiliki alasan pertimbangan tersendiri yang menarik untuk dikaji.
Beberapa alasan yang mendasari perubahan tersebut, dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Prinsip bahwa Hakim bukan merupakan corong Undang-undang
Prinsip ini merupakan alasan mayoritas yang digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama
terkait dengan adanya perbedaan dalam putusan Hakim yang ternyata tidak selamanya
mengacu pada hukum terapan yang telah ada. Hakim memiliki tugas untuk mengadili perkara
yang dihadapkan padanya dengan menggunakan semua keilmuan yang dimilikinya. Untuk itu,
undang-undang melarang secara tegas bagi seorang Hakim untuk menolak memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas. Seorang Hakim wajib untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan
padanya.
Dalam melakukan fungsi mengadili ini, Hakim harus mampu mempertimbangkan aspek
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sesuai dengan spesifikasi masing-masing
perkara. Agar dapat berlaku adil, seorang Hakim tidak dapat hanya menerapkan hukum yang
ada dalam teks undang-undang ataupun aturan formal tertulis lainnya, melainkan juga harus
mampu menafsirkan undang-undang tersebut secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan.
Ketentuan ini ditegaskan langsung melalui undang-undang yang menyatakan bahwa Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat (Vide, Pasal 5 UU No. 48/2009). Berdasarkan ketentuan ini, maka seorang
Hakim dalam menjalankan fungsinya tidak boleh terikat hanya mengambil dasar pertimbangan
dari peraturan tertulis saja, melainkan harus secara aktif menafsirkan undang-undang tersebut
sekaligus menggali kondisi nyata di masyarakat sehingga tercapai keadilan di dalam
putusannya.

41
2. Hukum waris Islam di Indonesia dipengaruhi dan harus memperhatikan kondisi masyarakat
dan hukum adat setempat
Alasan ini terutama didasari pada kenyataan bahwa hukum kewarisan Islam yang diatur
dalam KHI merupakan hasil penelitian komperehensif yang banyak mempertimbangkan dan
menggali kondisi nyata dalam masyarakat. KHI sebagai hasil ijtihad disusun dengan
menyesuaikan diri dengan sistem kekerabatan di Indonesia yang sangat variatif. Dari berbagai
daerah di Indonesia, terdapat sistem kekerabatan parental, bilateral, dan matrilineal.
Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, maka Hakim tidak dapat secara kaku menggunakan
hukum terapan yang sudah ada, melainkan harus menyesuaikan diri dengan sistem adat
masyarakat setempat.
Selain itu, kenyataan bahwa sejak awal perumusannya, KHI memang tidak murni
mengadaptasi ketentuan fiqih yang telah ada sebelumnya, melainkan telah diharmonisasi
dengan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam KHI, di mana ada lembaga hukum baru seperti
Wasiat Wajibah, hibah bagi anak, yang sebelumnya tidak ditemukan di dalam fiqih kewarisan
Islam lainnya. Lembaga baru ini ada dalam KHI karena menyesuaikan diri dengan kondisi adat
masyarakat Indonesia.
3. Prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin
Prinsip ini merupakan prinsip umum bagi keberadaan hukum Islam di antara umat manusia.
Berdasarkan prinsip ini, maka keberadaan Islam dan hukum Islam harus mampu memberikan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tidak membeda-bedakan agama, suku, maupun ras
masing-masing. Sebagai rahmatan lil alamin, Hakim dalam menggunakan ketentuan hukum
Islam harus selalu menempatkan kemaslahatan sebagai tujuan dalam putusannya, sehingga
seorang Hakim dapat menggunakan pertimbangan yang berbeda dengan hukum yang sudah
ada bila dirasa bahwa hukum tersebut tidak mengarah pada terwujudnya Islam sebagai
rahmatan lil alamin.
Selain itu, prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin juga berarti bahwa putusan Hakim
harus menuju pada kesatuan umat. Di dalam persidangan, Hakim akan menemukan peristiwa
tertentu yang menyebabkannya harus menyimpang dari ketentuan hukum terapan yang telah
ada demi menjaga kesatuan keluarga yang bersengketa. Bila hukum terapan tersebut
digunakan secara kaku, maka kemungkinan akan terjadi perpecahan di dalam keluarga para
pihak yang bersengketa, sehingga tidak akan tercapai tujuan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Oleh sebab itu, maka Hakim diperbolehkan melakukan perubahan hukum dalam mengadili
sengketa kewarisan.

42
4. Hukum terapan yang telah ada merupakan hasil ijtihad yang sangat terbuka atas
perubahan sesuai kebutuhan
Alasan ini didasari pada kenyataan bahwa KHI sebagai salah satu hukum terapan formal
yang ada dan digunakan sekarang ini pada dasarnya merupakan hasil ijtihad atau penemuan
hukum yang dilakukan oleh para ulama dan para ahli hukum sebagai perumus KHI. Sesuai
dengan kedudukannya sebagai hasil ijtihad atau penemuan hukum, maka berlakunya KHI tidak
dimaksudkan untuk selamanya, melainkan sangat terbuka pada perubahan nyata yang ada dan
berkembang di dalam masyarakat. Sebagai hasil penemuan hukum, maka KHI memang tidak
secara absolut mengikat dalam menyelesaikan perkara kewarisan. Seiring dengan
perkembangan, maka seharusnya KHI merubah ketentuan yang dianggap sudah tidak sesuai
lagi.
5. Hukum terapan yang sudah ada bersifat fakultatif
Alasan ini digunakan khususnya terhadap penggunakan KHI yang selama ini mengatur
secara lengkap tentang kewarisan Islam di Indonesia. Walaupun telah diatur dengan payung
hukum Instruksi Presiden, namun tidak ada ketentuan yang mewajibkan seorang Hakim untuk
sepenuhnya menggunakan KHI. Ketentuan yang ada hanya mengatakan bahwa Hakim “dapat”
menggunakan KHI dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya. Berdasarkan hal
tersebut, maka sebenarnya Hakim memiliki kebebasan penuh untuk menggunakan ataupun
tidak menggunakan ketentuan KHI dalam menyelesaikan perkara kewarisan.
Selain itu, karena KHI tidak mengikat, maka putusan-putusan Hakim tidak harus sesuai
dengan ketentuan yang ada di dalam KHI. Hakim berhak untuk menggunakan pertimbangan di
luar KHI, termasuk kondisi-kondisi khusus secara kasuistik dalam mengeluarkan putusan.
Untuk seterusnya, putusan inipun dapat digunakan sebagai yurisprudensi oleh Hakim lain
dalam memutus sengketa yang sama.
Alasan atau prinsip-prinsip di atas, menurut penulis harus pula dibenturkan pada ketentuan
Al Qur‟an perihal kewarisan. Pada Quran Surat An Nisaa ayat 13 dan 14 Allah berfirman :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa menjalankan hukum kewarisan Islam


sebagaimana ketentuan dalam Al Qur‟an (terutama disebutkan dalam Quran Surat An Nisaa

43
ayat 7 hingga 12) adalah bagian dari ketaatan pada Allah dan RosulNya dan apabila berlaku
sebaliknya maka Allah akan memberikan sanksi berupa siksa neraka yang menghinakan. Oleh
karenanya, menurut penulis para Hakim pun harus hati-hati memutus dan menyelesaikan
perkara waris Islam, supaya ketentuan dalam Al Qur‟an tidak dilanggar. Ketentuan dalam Al
Qur‟an memang tidak terperinci, sehingga membuka dilaksanakannya ijtihad atau penemuan
hukum, namun penemuan hukum tersebut menurut penulis tidak boleh melanggar ketentuan
Qath‟i yang telah ditegaskan dalam Al Qur‟an, misal bagian anak laki-laki dan perempuan.
Mengutip pendapat Abdul Ghofur Anshori, bahwa dalam pandangan filsafat, tujuan akhir
hukum adalah keadilan. Kaitannya dengan hukum Islam, keadilan yang harus dicapai mesti
mengacu pada pedoman pokok agama Islam yaitu Al Qur‟an dan Hadits. Artinya tujuan
keadilan melalui jalur hukum harus berawal dari dua segi dan mengarah pada keadilan dua segi
pula yaitu berpedoman pada Al Qur‟an dan Hadits dan mampu menyatu dengan pedoman
prinsip keadilan secara umum menurut pandangan manusia. Keadilan bagi manusia mengarah
pada berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu masyarakat manusia
dengan lainnya berbeda dalam mengartikan keadilan hukum. Fleksibilitas produk hukum hukum
mutlak diperlukan dalam heterogenitas manusia dan lingkungannya namun tetap dalam koridor
ibadah kepadaNya (Anshari, 2010 : 153-154).
Penulis berpendapat bahwa Islam dan Al Qur‟an sebagai agama rahmatan lil alamin akan
dapat mengikuti perubahan masyarakat, tak terkecuali ketentuan hukum kewarisan. Menarik
sebenarnya mencermati pemikiran Prof. Hazairin yang telah menafsirkan ketentuan Al Qur‟an
surat An Nisaa ayat 33, sebagai ketentuan yang mengakui keberadaan mawali atau ahli waris
pengganti. Hazairin melakukan kajian terhadap sistem kemasyarakatan yang dikehendaki
dalam Al Qur‟an dan Sunnah dengan salah satunya menganalisa tentang ketentuan-ketentuan
kewarisan dalam Quran Surat An Nisaa. Kajian tersebut menghasilkan bahwa Quran Surat An
Nisaa ayat 7 mencerminkan kewarisan individual bilateral yang tentunya berbeda dengan
pemikiran Imam Syafi‟I (Hazairin, 1982 : 15-40). Pemikiran tersebut yang akhirnya menjadi isi
Kompilasi Hukum Islam dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan.
KHI awalnya hanya menyebutkan Ahli Waris Pengganti adalah keturunan dari anak dan
saudara Pewaris, kemudian Buku II menambahkan termasuk kakek nenek dan paman bibi garis
ayah dan ibu, ketentuan-ketentuan yang sebenarnya sudah dicetuskan Prof Hazairin pada
tahun 1982. Oleh karena itu menurut Penulis, perlunya pengkajian terhadap Al Qur‟an dan
Hadits dalam rangka penggalian lebih lanjut bahwa sebenarnya isi Al Qur‟an sudah mengcover
segala permasalahan termasuk ketentuan waris, hingga berakhirnya bumi dan segala isinya.

44
Kajian yang dilakukan Prof Hazairin telah membuktikan bahwa mawali atau Ahli Waris
Pengganti adalah ketentuan dalam Al Qur‟an, bukanlah ketentuan hukum adat yang diadopsi
karena perwujudan keadilan bagi para ahli waris. Penggabungan antara hukum masyarakat
dengan hukum kewarisan akan menghasilkan pola kewarisan yang dipengaruhi oleh hukum
masyarakat, akan tetapi hukum kewarisan tidak harus dipersepsikan dalam satu hukum
masyarakat, sebab suatu hukum kewarisan dapat terjadi pada berbagai hukum masyarakat.

45
BAB IV
PEMBARUAN KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI

A. Konsep Ahli Waris Pengganti menurut Hazairin


Hazairin adalah seorang tokoh yang sangat memperhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan agama Islam. Langkah nyata Hazairin dalam
mewujudkan universalitas hukum Islam adalah menampilkan hukum waris Islam dalam struktur
masyarakat bilateral. Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut Quran dan
Hadith, mengklasifikasikan ahli waris menjadi dzu al faraidl, dzu al qarabat, dan mawali. Dzu al
faraidl dapat disamakan dengan dzawil furudl dalam konsep Safi‟I, sedangkan dzu al qarabat
adalah sebutan lain ahli waris ashabah. Mawali dalam konsep hukum waris islam selanjutnya
biasa disebut ahli waris pengganti, sebuah konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam
kewarisan menurut Syafi‟i.
Hasil ijtihad Hazairin mengenai ahli waris pengganti, didasarkan pada Al Quran surat An
Nisaa‟ ayat 33 yang berbunyi :
“dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami telah menetapkan para ahli
waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka
bagiannya. Sungguh Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”
Berdasarkan surat tersebut Hazairin berpendapat bahwa semua ahli waris baik laki-laki maupun
perempuan berhak mewarisi dari kedua orang tuanya atau karib kerabatnya. Allah mengadakan
mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat dan bahwa untuk itu
berikanlah kepada mawali hak yang menjadi bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris
karena diiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang
menjadi pewaris adalah orang tua, ahli waris adalah anak dan atau mawali anak (Hazairin, 1982
: 43-44). Mawali menurut Hazairin adalah mereka yang mewarisi harta sebab menggantikan
kedudukan orang tua mereka yang telah lebih dahulu meninggal. Hazairin mengklasifikasikan
ahli waris pengganti menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Mawali dalam bentuk keturunan anak pewaris yang telah meninggal dunia sebelum
pewaris. Anak dalam definisi ini, adalah anak laki-laki maupun perempuan sedangkan
keturunan adalah cucu perempuan atau cucu laki-laki. Misal seorang pewaris meninggal
dunia pada tanggal 5 Juli 2013 dan pada saat meninggalnya pewaris, anak laki-lakinya
telah meninggal terlebih dahulu yaitu tanggal 25 Desember 2012. Anak laki-laki tersebut

46
telah mempunyai keturunan perempuan atau apabila dilihat dari sudut pandang pewaris, ia
mempunyai cucu perempuan. Maka dalam kasus ini cucu perempuan menggantikan anak
laki-laki menerima bagian waris anak laki-laki.
b. Mawali dalam bentuk keturunan dari saudara pewaris
Dalam bentuk kedua ini, apabila saudara pewaris adalah termasuk ahli waris yang berhak
mewaris, namun ia telah meninggal dunia sebelum pewaris, maka harta waris yang
seharusnya menjadi bagian saudara, diterima oleh keturunannya atau ahli waris
penggantinya. Dalam bahasa fiqih, keturunan saudara biasa disebut kemenakan pewaris.
c. Mawali dalam bentuk keturunan tolan seperjanjian, yaitu bilamana pewaris pada masa
hidupnya mempunyai perjanjian dengan seseorang dalam bentuk wasiat, namun karena
orang tersebut meninggal terlebih dahulu dibandingkan pewaris atau pemberi wasiat maka
harta peninggalan yang sebagian semestinya jatuh pada orang tersebut diterima oleh
ketururnan dari penerima wasiat.

B. Konsep Ahli Waris Pengganti menurut KHI


Tahun 1991, KHI ditetapkan dan mulai menjadi rujukan para hakim Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan perkara, baik di bidang perkawinan atau kewarisan. Konsep Hazairin bisa
jadi sebelumnya tidak mengikat untuk para hakim, namun dengan KHI, hakim diminta
berpedoman pada KHI dalam menyelesaikan perkara yang terkait dengan perkawinan,
kewarisan dan wakaf, demi adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Kitab-kitab fikih yang
sebelumnya menjadi acuan, kurang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pencari
keadilan. Dalam kewarisan menurut fikih, ahli waris harus dalam keadaan hidup saat pewaris
meninggal dunia, namun dengan mengadopsi penafsiran terkait mawali dari Hazairin, KHI tidak
mengharuskan ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewarisnya meninggal dunia. Konsep
penggantian tempat dalam Pasal 185 KHI adalah sebagai berikut :
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti
Ketentuan Pasal 185 ayat di atas, seolah mawali tidaklah menjadi keharusan, yaitu dengan
menyatakan bahwa kedudukan si pewaris “dapat” digantikan oleh anak-anaknya. Kata dapat
dalam bahasa hukum bermakna fakultatif bukan imperatif. Namun dalam praktiknya, sejak KHI
dikeluarkan, kami belum mendapati putusan Pengadilan Agama yang tidak memberikan bagian

47
kepada ahli waris pengganti, khususnya pada keturunan anak. Bahkan MA menegaskan dalam
hukum kewarisan Islam berlaku asas retroaktif terbatas, yaitu apabila si pewaris meninggal
dunia sebelum dikeluarkannya KHI, namun harta belum dibagi dan baru akan dibagi setelah
tahun 1991, maka ketentuan yang harus diikuti adalah KHI yaitu memberikan bagian untuk ahli
waris penggantinya. Berbeda halnya apabila pewaris meninggal dunia tahun 1990 dan harta
dibagi pada tahun yang sama. Pada saat pembagian cucu dari anak perempuan yang telah
meninggal dunia sebelum pewaris tidak mendapatkan hak waris karena masih menggunakan
konsep fikih, kemudian tahun 1991 setelah keluarnya KHI, ia ingin menggugat karena
sebenarnya ia mendapatkan hak dari sistem penggantian tempat, namun gugatannya tentu saja
tidak akan dikabulkan hakim karena harta telah dibagi.
Dalam konsep KHI di atas membatasi bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kasus ini dapat muncul apabila ahli waris
yang digantikan adalah anak laki-laki atau saudara laki-laki. Misal seorang anak laki-laki telah
meninggal dunia sebelum pewaris, ia mempunyai seorang cucu perempuan sebagai ahli waris
penggantinya. Selain mempunyai anak laki-laki, pewaris tersebut juga mempunyai anak
perempuan satu orang. Sesuai dengan ketentuan Al Quran, maka bagian seorang anak laki-laki
adalah dua kali lipat anak perempuan sehingga misal anak perempuan menerima 10 juta rupah,
maka anak laki-laki tersebut akan menerima 20 juta rupiah. Dikarenakan sudah meninggal,
maka cucu perempuan akan menerima 20 juta rupiah. Namun KHI tidak mengijinkannya
dengan membatasi bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
diganti. Dalam kasus tersebut bagian ahli waris yang sederajat dengan anak laki-laki sebagai
ahli waris yang diganti adalah anak perempuan, sehingga bagian cucu perempuan seharusnya
tidak boleh melebihi bagian anak perempuan. Pemecahannya hakim biasanya akan
menjumlahkan bagian keduanya, yaitu dalam kasus tersebut adalah bagian anak perempuan
dan cucu perempuan, kemudian membagi sama rata.
Selain bagian ahli waris pengganti, KHI juga menentukan bahwa ahli waris yang meninggal
lebih dulu, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anak-anaknya. Artinya, anak dapat
digantikan oleh keturunannya, demikian halnya dengan saudara yang meninggal dunia sebelum
pewaris. Namun, bagaimana apabila ayah pewaris telah meninggal dunia sebelum pewaris,
apakah kedudukannya dapat digantikan oleh ahli waris lain? Dalam konsep KHI tentunya tidak
bisa karena keturunan dari ayah adalah pewaris sendiri.

48
C. Konsep Ahli Waris Pengganti menurut Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama
Pemberlakuan ketentuan dalam Buku II adalah melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman
Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan (selanjutnya disebut Buku II MA). Dalam
ketentuan Buku II MA, ahli waris pengganti tidak hanya ke bawah seperti yang disebutkan
dalam KHI, namun juga penggantian tempat ke atas, yaitu nenek kakek yang menggantikan
bagian ayah dan ibu Pewaris yang meninggal dunia sebelum pewaris, dan pama bibi juga
dimungkinkan menggantikan bagian ayah ibu apabila kakek nenek juga sudah meninggal dan
tidak ada saudara Pewaris. Selengkapnya, kelompok ahli waris yang mendapat bagian sebagai
ahli waris pengganti adalah sebagai berikut :
1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan
2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi
bagian yang digantikannya
3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi
sama.
4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama
5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah
apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah
6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila
tidak ada kakek dan nenek dari pihak ibu.
Selain memperluas ahli waris pengganti tidak hanya terbatas pada anak-anak dari ahli
waris yang telah meninggal dunia sebelum pewaris, namun Buku II MA juga membuat
ketentuan baru mengenai bagian ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti mewarisi bagian
yang digantikannya dengan ketentuan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan
ahli waris yang diganti. Apabila ahli waris pengganti terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka
laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan. Ketentuan ini sepertinya hanya berlaku
untuk ahli waris pengganti keturunan dari anak, saudara dan paman bibi, sedangkan untuk
kakek nenek ditegaskan bahwa bagian kakek sama dengan nenek. Tidak jelas mengapa bagian
kakek dan nenek disamakan namun tidak demikian halnya dengan ahli waris pengganti yang
lain. Ketentuan fikih sendiri malah memberikan bagian kakek adalah 1/6 sehingga ia

49
dimasukkan dalam klasifikasi ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan karena fikih memang
tidak mengenal ahli waris pengganti.

D. Konsep Ahli Waris Pengganti menurut Hasil Rakernas Mahkamah Agung R.I.
Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I. (selanjutnya disebut sebagai Rakernas MARI)
merupakan forum resmi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dengan jajaran hakim
dari 4 (empat) lingkungan peradilan di seluruh Indonesia yang membahas mengenai
permasalahan hukum yang secara nyata dihadapi oleh para hakim melalui perkara yang
mereka terima. Sebagai salah satu baian dari 4 (empat) lingkungan peradilan, permasalahan
hukum yang tibul dalam lingkungan Pengadilan Agama juga termasuk sebagai obyek kajian
dalam rakernas MARI ini. Khusus mengenai konsep Ahli waris Pengganti, secara khusus
Rakernas MARI membahas dan mengeluarkan kesimpulannya pada Rakernas MARI yang
diselenggarakan pda tahun 2010 di Balikpapan.
Permasalahan Ahli Waris Pengganti dalam Rakernas MARI tahun 2010 ini mengemuka
makalah yang disampakan oleh seorang Hakim Agung yaitu Drs. H. Habiburrahman, SH., S.IP.,
M.Hum. Dalam makalahnya, beliau mempersoalkan konsep Ahli Waris Pengganti yang
diperkenalkan oleh Hazairin dan diadaptasi ke dalam KHI. Menurut beliau, konsep Ahli waris
pengganti tidak sesuai dengan tujuan hukum kewarisan Islam karena tunduk kepada keinginan
kolonial Belanda yang menomor-satukan Hukum Adat dan mendiskreditkan Hukum Islam
(Habiburrahman, 2010 : 16-17) Pendapat ini kemudian menjadi wacana besar dalam diskusi
yang dilakukan oleh para hakim pengadilan agama dalam diskusi di Rakernas MARI tahun
2010.
Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, maka secara formal Rakernas MARI tahun 2010
mengeluarkan Rumusan Hasil Diskusi Komisi II Bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama.
Dalam rumusan tersebut, secara tegas Rakernas MARI tahun 2010 merevisi ketentuan
mengenai penggolongan Ahli Waris Pengganti sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Rakernas MARI tahun 2010
menyatakan bahwa Ahli Waris Pengganti sebagaimana tersebut dalam Pasal 185 KHI
pelaksanaannya dibatasi kepada keturunan garis lurus kebawah sampai dengan derajat cucu
(MARI, 2010 : 2) Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kelompok ahli waris yang mendapat
bagian sebagai Ahli Waris Pengganti hanyalah Cucu dari Pewaris, yaitu keturunan dari anak
yang akan mewarisi bagian yang digantikannya. Selain Cucu, tidak lagi dapat dikategorikan

50
sebagai Ahli Waris Pengganti sehingga mereka tidak dapat menggantikan kedudukan ahli waris
yang meninggal dunia terlebih dahulu sebelum Pewaris.

51
BAB V
PEMBARUAN KONSEP WASIAT

A. Wasiat dalam Konsep Fiqih


Wasiat merupakan masalah yang mendapat perhatian serius dalam kajian fiqih. Berbagai
definisi wasiat di bidang harta dikemukakan dalam kitab-kitab fiqih yang dapat disarikan sebagai
satu praktik pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku setelah pewasiat meninggal
dunia (Sabiq, 1996). Praktik wasiat diakui dalam hukum Islam yang di antara dasar hukumya
adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 106 yang artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat,
maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu”. Ayat tersebut
menunjukkan bahwa wasiat boleh dilakukan. Secara umum yang disebut sebagai ayat wasiat
adalah surat Al-Baqarah: 180: “Diriwayatkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara ma‟ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa” Ayat ini menunjukkan tentang diwajibkannya berwasiat untuk kedua orang tua dan
kerabat yang dekat. Tetapi menurut jumhur ulama, kewajiban memberi wasiat telah dinasakh
(dibatalkan) setelah turunnya ayat 7 Surat An-Nisa yang menjelaskan tentang pembagian
waris.1 Jumhur Ulama dari para Imam madzhab empat menganggap bahwa wasiat itu pada
dasarnya hukumnya adalah sunnah. Namun sebagian ulama dari kalangan madzhab Hanbali
ada yang menyatakan bahwa ada wasiat yang hukumnya wajib yaitu wasiat yang diperuntukkan
orang tua atau kerabat yang tidak dapat mewaris karena terhalang atau ada faktor yang
menyebabkan seseorang tidak dapat mewarisi (Abbas, 1993).
Ketika wasiat hukumnya menjadi sunnah, dan hanya boleh diberikan kepada orang yang
bukan ahli waris, sebagaimana Hadits dari Amr bin Kharijah r.a bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberi tiap orang yang berhak atas haknya, karena itu
maka tidak boleh lagi berwasiat untuk orang yang akan menerima waris” (HR.Ashabus-sunan),
maka wasiat yang dibuat untuk kerabat dekat yang lain (yang bukan ahli waris) masih
diperbolehkan. Persoalannya adalah untuk menentukan “kerabat dekat” yang mana yang akan

1
Ulama-ulama lain mengajukan argumen yang lebih kuat bahwa ayat tentang wasiat tersebut sesungguhnya hanya
dihapus sebagian saja yaitu hanya yang menyangkut dengan kerabat dekat yang telah menjadi ahl al-faraid
(orang-orang yang menerima bagian tertentu dalam pembagian warisan). Hal ini didukung fakta bahwa Al-Qur’an
sendiri masih mengakui hak untuk membuat pernyataan wasiat dalam pembagian warisan dimana harta warisan
tersebut dideskripsikan sebagai porsi dari harta yang masih tersisa setelah pembayaran wasiat dan hutang-hutang.
Lihat Ratno Lukito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, INIS, Jakarta, hlm, 85.
52
menerima wasiat tersebut. Siapakah di antara para kerabat dekat yang akan menerima wasiat
wajib? Untuk menjawab pertanyaan ini, interpretasi (ijtihad) sangat diperlukan karena baik Al
Qur‟an maupun Hadits belum menjawab masalah yang fundamental ini.
Rasulullah dalam sebuah Hadits qudsi menceritakan firman Allah bahwa ada dua hal yang
diberikan kepada umat Muhammad SAW yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya.
Pertama, Allah menentukan sebagian dari harta seseorang khusus untuk seseorang ketika ia
akan meninggal (dengan jalan wasiat) untuk membersihkan dirinya dari dosa, dan kedua,
adalah doa seorang hamba buat seseorang yang telah wafat (HR. Abdullah bin Humaid dalam
al-Musnadnya). Dalam ketentuan fiqih, bilamana seseorang wafat, seluruh hartanya berpindah
milik kepada ahli waris yang ditinggalkan kecuali biaya pemakaman, untuk pembayaran hutang
dan sejumlah harta yang diwasiatkan. Tiga hal tersebut adalah hak si mati yang tidak boleh
diganggu gugat oleh ahli waris (Zein, 2004 : 394). Bila menyimak Hadits qudsi di atas, menurut
Effendi M. Zein, bahwa dibolehkannya berwasiat adalah suatu rahmat dari Allah. Itu berarti
bahwa dengan wafatnya seseorang tidak terputus sama sekali hubungannya dengan harta
yang merupakan hasil jerih payahnya semasa hidup, kendati pemanfaatannya bukan lagi
secara fisik. Dengan membuka pintu wasiat, memungkinkan seseorang yang punya harta untuk
menyisihkan dan mengalihkannya kepada pihak lain yang membutuhkannya di jalan Allah
seperti masjid, panti asuhan, lembaga pendidikan dan lain-lain di samping untuk menolong fakir
miskin dan kaum kerabat yang masih membutuhkannya padahal dia tidak termasuk kelompok
ahli waris yang berhak mendapat warisan. Dengan demikian wasiat mempunyai fungsi ibadah
yaitu untuk membersihkan dosa dan juga mempunyai fungsi sosial karena merupakan sumber
dana bagi pihak yang membutuhkannya.
Begitu penting kedudukan wasiat dalam Islam, sehingga dalam sebuah Hadits Rasulullah
mengingatkan bahwa tidaklah benar atau tidaklah hati-hati bagi seorang Muslim yang hendak
mewasiatkan sesuatu yang dibiarkan begitu saja kecuali wasiat itu tertulis di dekatnya (terjemah
bebas dari Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut memberi petunjuk agar apabila
seseorang telah memutuskan untuk berwasiat, janganlah lalai menuliskannya karena dia tidak
tahu kapan ajalnya akan datang. Kelalaian menuliskan atau memberitahukan wasiat, akan
berakibat luputnya waktu baginya untuk sesuatu yang amat berharga.
Demi kepentingan yang berwasiat, penerima wasiat dan ahli waris, maka wasiat
mempunyai rukun (unsur) dan syarat yang ketat. Menurut Ahmad Azhar Basyir, rukun dan
syarat wasiat adalah sebagai berikut (Basyir, 1972 : 37-40) :

53
1. Orang yang berwasiat (mushi); seseorang dapat melakukan wasiat apabila memenuhi
syarat-syarat dewasa (baligh), berakal sehat dan atas kehendak sendiri secara bebas.
Alasannya adalah karena berwasiat merupakan tindakan tabarru‟ (derma) sehingga
diperlukan pertimbangan yang baik.
2. Orang yang menerima wasiat (musha-lahu) syaratnya harus dapat diketahui dengan jelas,
telah wujud ketika wasiat dinyatakan, bukan untuk tujuan kemaksiatan, dan musha-lahu
tidak membunuh pewasiat.
3. Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi), syaratnya adalah dapat berlaku sebagai harta
warisan atau dapat menjadi obyek perjanjian, sudah wujud waktu wasiat dinyatakan, milik
sendiri dan jumlahnya tidak melebihi sepertiga harta.
4. Adanya pernyataan dari orang yang berwasiat (sighat) yaitu perkataan yang memberikan
pengertian adanya wasiat. Syaratnya harus jelas ditujukan untuk siapa dapat diucapkan
secara lisan, secara tertulis dan dapat juga membentuk isyarat yang dapat dimengerti bagi
orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Tidak terdapat perbedaan pendapat tentang kewajiban menjalankan wasiat dengan
jumlah terbatas 1/3 dari harta. Walaupun batasan wasiat tidak disebutkan secara jelas dalam Al
Qur‟an, akan tetapi Hadits Nabi Muhammad SAW yang menetapkan hal tersebut cukup kuat
sehingga tidak terjadi perbedaan di antara para ulama dalam hal ini. Hal yang menimbulkan
perdebatan adalah dari mana diperhitungkannya jumlah 1/3 wasiat tersebut (Syarifudin, 2008 :
66). Kitab-kitab fiqih tidak menjelaskan secara jelas. Menurut Ibnu Abidin dalam Hasyiyatu
Radd al-Mukhtar-nya, fiqih mazhab Hanafiyah yang secara jelas menyebutkan batas 1/3 itu
diperhitungkan dari sisa harta setelah dibayarkan segala utangnya. Meskipun ulama lain tidak
mengemukakan pendapat lain yang berbeda dengan yang disebutkan Hanafiyah, pendapat ini
dianggap paling tepat. Sebab kalau diartikan 1/3 harta peninggalan, mungkin ahli warisnya tidak
akan mendapatkan apa-apa lagi. Hal ini tidak sejalan dengan alasan pembatasan wasiat yang
ditetapkan Nabi.

B. Wasiat Wajibah dalam Pandangan Para Ulama


Dalam pandangan Ibnu Hazm berdasarkan nash pengalihan harta melalui wasiat
sebagaimana termuat dalam surat al-Baqarah ayat : 180, dan ayat-ayat lain yang mengatur
tentang pengalihan harta kekayaan yang ditinggal mati pemiliknya, yaitu pembagian harta
peninggalan melalui model kewarisan yang antara lain disebutkan dalam surat annisa' ayat : 7
dan ayat-ayat lainnya, maka Ibnu Hazm memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap

54
orang yang meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia mengacu pada
nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan kewajiban berwasiat . Karena kewajiban wasiat
tersebut berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseorang
meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat, hartanya haruslah disedekahkan sebagian
untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut. Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan
kaum muslimin adalah penguasa, dan urusan wasiat termasuk salah satu urusan pada diri
setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa haruslah bertindak untuk memberikan sebagian
harta peiunggalan sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban wasiat.
Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka muncullah istilah Wasiat Wajibah
(Nasruddin, 2002). Interpretasi yang diajukan oleh kalangan ahli hukum Mesir pada tahun 1946
menspesifikasikan kerabat dekat tersebut kepada cucu yang orang tuanya telah meninggal
lebih dahulu atau cucu yatim (Lukito, 1998 : 86). Pendapat ini diadopsi dari madzhab Hanbali
kemudian dirumuskan ke dalam Undang-Undang Mesir. Spesifikasi ini menurut Lukito berdasar
pada suatu premis bahwa anak-anak dari anak-anak laki-laki atau perempuan yang telah
mendahului meninggal dari Pewaris adalah kerabat yang masih hidup yang menjadi tanggung
jawab Pewaris. Sejalan dengan semakin menipisnya bentuk keluarga besar (extended family)
dan mengarah kepada bentuk keluarga inti (nuclear family) di kebanyakan negara-negara
Islam, maka tanggung jawab Pewaris terhadap para keturunannya tidak akan terpenuhi hanya
dengan memberikan warisan kepada keturunan tingkat pertama (anak-anak) saja, karena
masih ada garis lain dari keturunan Pewaris yang datang dari anak-anaknya, yang juga harus
dimasukkan dalam tanggung jawabnya.
Jelaslah bahwa konsep Wasiat Wajibah untuk pertama kalinya dituangkan dalam
undang-undang yaitu Undang-undang Wasiat Mesir Tahun 1946. Menurut konsideran undang-
undang ini, berwasiat merupakan suatu tindakan alternatif, timbul dari kesadaran sendiri dan
tanpa paksaan dari pihak lain. Namun Undang-undang Wasiat Mesir ini menetapkan bahwa
berwasiat dapat diwajibkan berdasarkan hukum perundang-undangan (qanun) dan berdasarkan
Pasal 176, wasiat yang diwajibkan oleh undang-undang diperuntukkan bagi cucu yang ditinggal
mati orang tuanya sementara kakek atau neneknya masih hidup dan di kemudian hari kakek
atau nenek ini meninggal dunia dan tidak meninggalkan wasiat untuknya (Rochim, 1997 : 69).
Menurut Fatchur Rahman, penetapan Wasiat Wajibah menurut undang-undang ini
adalah hasil kompromi pendapat-pendapat ulama salaf dan ulama khalaf, yaitu:
a. Ketetapan tentang adanya kewajiban wasiat kepada para kerabat yang tidak menerima
warisan. Pendapat ini berasal dari fuqaha‟ dan tabiin besar ahli fiqih dan ahli Hadits, antara

55
lain Said Ibnu al-Musaiyyab, Hasan al Basry, Thawus, Ahmad, Ishaq, Ibnu Rahaiwah, dan
Ibnu Hazm.
b. Pemberian sebagian harta peninggalan si mayit kepada para kerabat yang tidak dapat
mewaris yang berfungsi sebagai Wasiat Wajibah dan jika si mayit tidak berwasiat untu
mereka. Ini diambil dari pendapat Ibnu Hazm, pendapat sebagian fiqaha tabiin dan dari
Imam Ahmad.
c. Pengkhususan kerabat yang tidak dapat mewaris, kepada cucu dan pembatasan
penerimaan sebesar sepertiga harta. Ini didasarkan pada pendapat mazhab Ibnu Hazm dan
kaidah syari‟ah yang berbunyi: “Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
memerintahkan perkara yang mubah, karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa
kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian, maka wajib ditaati.”
(Rahman, 1994 : 63)
Di samping hasil kompromi berbagai pendapat ulama terdahulu dengan ulama
kontemporer, penetapan Wasiat Wajibah ini juga berdasarkan pada prinsip kemaslahatan.
Pemberian sebagian harta kepada cucu dengan prinsip Wasiat Wajibah adalah untuk
mengantisipasi adanya penderitaan bagi cucu di masa depan karena dia terhalang untuk
mewaris harta kakek atau neneknya karena ada saudara-saudara dari orang tua mereka
(Rochim, 1997 : 70).
Dalam perumusan KHI hipotesis syariat Islam yang dipedomani sebagai acuan adalah
sepanjang nash yang bersifat Qath‟i terbatas kemungkinan untuk melenturkan atau melakukan
penafsiran sementara nash yang bersifat Zhanni dan boleh maka terbuka kemungkinan untuk
menafsirkan dan melenturkan. Uraian tentang penafsiran dan implementasi Wasiat Wajibah,
pada akhirnya akan bermuara kepada apa yang dinamakan unity dan variety yakni satu dalam
keberagaman. Dalam hal-hal yang menyangkut fondasi akidah dan keimanan, dunia Islam
adalah unity (satu). Akan tetapi dalam hal menyangkut penerapan hukum di bidang huquq al-
ibad (muamalah), Islam mempunyai corak yang beragam (Harahap, 1999 : 45).

C. Model Penerapan Wasiat Wajibah di Beberapa Negara


1. Mesir
Mesir memberikan akses harta kepada cucu yatim melalui institusi wasiat wajib.
Reformasi kewarisan yang dilakukan ulama Mesir merepresentasikan satu fenomena abad dua
puluh dalam dunia Islam. Sekalipun reformasi ini menimbulkan berbagai perbedaan pendapat,
namun beberapa negara Timur Tengah menyetujui prinsip yang diambil oleh para ahli hukum

56
Mesir yaitu cucu yatim diperbolehkan untuk mendapatkan bagian atas harta warisan dari nenek
atau kakeknya yang mewarisi dengan menduduki kedudukan orang tuanya yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu.
2. Suriah dan Maroko
Kedua negara ini menggunakan lembaga Wasiat Wajibah untuk mengatasi persoalan
cucu seperti yang dilakukan oleh Mesir (Rasyid, 1999 : 89). Mereka membuat ketentuan yang
memberikan anak dari seorang anak laki-laki atau cucu laki-laki yang telah meninggal lebih
dahulu dari Pewaris untuk mendapatkan harta dari kakeknya, tetapi itu tidak berlaku untuk anak
dari anak perempuan atau cucu dari anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 257-288
Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953 yang menentukan bahwa Wasiat Wajibah
diberlakukan bagi keturunan langsung melalui garis laki-laki yang meninggal dunia lebih dahulu
daripada ayahnya (Pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan langsung melalui anak
perempuan. Besarnya Wasiat Wajibah adalah sepertiga. Untuk hal-hal yang lain ketentuannya
sama dengan Wasiat Wajibah di Mesir (Mahmood, 1987 : 146). Demikian juga di Maroko
sebagaimana diatur dalam Pasal 266-269 Undang-undang Personal Status Maroko yang
melembagakan Wasiat Wajibah seperti yang berlaku di Suriah
3. Tunisia
Negara ini memberlakukan Wasiat Wajibah yang menurut Pasal 192 Undang-undang
Personal Status Tunisia tahun 1956 memberikan Wasiat Wajibah bagi keturunan langsung
melalui garis laki-laki atau perempuan yang meninggal lebih dahulu daripada ayahnya (Pewaris)
yang besarnya adalah sepertiga (Mahmood, 1987 : 89).
4. Pakistan
Tidak dijelaskan apakah di Pakistan terdapat Wasiat Wajibah atau tidak. Hanya saja
Pakistan mengambil jalan yang berbeda dengan inisiatif yang diambil oleh negara-negara Timur
Tengah dalam menghadapi persoalan cucu yatim. Dalam hal ini, Pakistan mengambil model
penggantian tempat oleh garis keturunan ke bawah. Menurut Pasal 5 Undang-undang Moslem
Personal Pakistan tahun 1962, negara ini telah memberikan kepada cucu laki-laki maupun
perempuan untuk menerima bagian yang sama dengan bagian yang seharusnya diterima oleh
orang tua mereka seandainya mereka masih hidup pada saat pembagian warisan (Mahmood,
1987 : 89).

57
D. Wasiat dan Wasiat Wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam
Kaidah umum wasiat yang tercantum dalam KHI adalah sebagai berikut :
1. Pewasiat
pewasiat adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada
paksaan dapat mewasiatkan harta bendanya.
2. Harta wasiat
Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat
3. Penerima wasiat
seseorang atau lembaga dapat menjadi penerima wasiat dan ahli waris pun dapat
menerima wasiat apabila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan
tersebut dibuat secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan
notaris.
4. Hal-hal yang membatalkan wasiat
wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewasiat
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
kepentingan calon penerima wasiat
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat
dari pewasiat
Selain itu, wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat :
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat
b. mengetahui wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya
c. mengetahui wasiat tersebut, tetapi ia tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
5. wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta.
6. wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali
apabila semua ahli waris menyetujui.

58
Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri mengenai Wasiat Wajibah. Wasiat wajibah
tidak diberikan kepada cucu yang ditinggal meninggal orang tuanya seperti yang berlaku
menurut Undang-undang Wasiat Mesir, tetapi diberikan kepada anak angkat dan orang tua
angkat saja berdasarkan Pasal 209 KHI. Sementara terhadap cucu ini, KHI di Indonesia
melembagakan plaatsvervulling atau ahli waris pengganti sebagaimana tercantum dalam Pasal
185 KHI yang pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau
nilai-nilai hukum Eropa dan cara pengembangannya tidak mengikuti pendekatan melalui Wasiat
Wajibah seperti yang dilakukan Mesir, tetapi langsung secara tegas menerima konsepsi Ahli
Waris Pengganti baik dalam bentuk maupun perumusannya (Harahap, 1993 : 94). Akan tetapi
lembaga ini tidak secara bulat diterapkan, melainkan dengan pembatasan yaitu bagian Ahli
Waris Pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris sederajat dengan yang diganti (Pasal
185 ayat (2) KHI ).
Penjelasan umum yang dapat diberikan terkait dengan penerapan Wasiat Wajibah yang
hanya terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat, sedangkan terhadap cucu yang
ditinggal meninggal orang tuanya tidak mendapatkan Wasiat Wajibah adalah: (1) para ulama
belum dapat menerima konsep anak angkat sebagai ahli waris yang terlihat ketika diadakan
wawancara terhadap para ulama dalam rangka penyusunan KHI; (2) Beberapa ahli hukum
berpendapat bahwa pelembagaan Ahli Waris Pengganti terhadap cucu dipandang lebih adil
(Harahap, 1993 : 97).
Lembaga Wasiat Wajibah dikenal dalam sistem hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui
ketentuan di dalam KHI. Sebagai salah satu bentuk peraturan tertulis dalam bidang kewarisan,
KHI merupakan aturan yuridis formal dengan karakteristik tersendiri. KHI merupakan suatu
bentuk kodifikasi hukum yang diformalkan dalam instrumen Instruksi Presiden. Instruksi
Presiden sendiri, bila ditelusuri dalam tata urutan perundang-undangan dalam sistem hukum
Indonesia, bukan merupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
(Vide, Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004).
Di saat yang sama, ketentuan mengenai tata urut perundang-undanganan memberikan
tempat bagi berbagai bentuk formal peraturan tertulis sebagai aturan hukum yang diakui
keberadaanya sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Terkait dengan kedudukan KHI yang
diformalkan hanya melalui bentuk Instruksi Presiden, undang-undang melegitimasi kedudukan
KHI sepanjang bila KHI tersebut keberadaannya diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi (Vide, Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004). Bila ada salah satu
peraturan perundang-undangan yang ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan

59
tersebut memerintahkan dengan tegas mengenai pembentukan Instruksi Presiden sebagai
payung hukum bagi KHI, maka KHI mendapatkan pengakuan yang setara dengan bentuk
peraturan perundang-undangan lainnya dan memiliki kekuatan mengikat dalam penerapannya.
Melihat kepada keberadaan Instruksi Presiden sebagai payung hukum KHI, ternyata tidak
ada peraturan perundang-undangan yang memerintahkan perumusannya. Pertimbangan
pembentukan KHI melalui Instruksi Presiden tidak berdasarkan adanya perintah dari peraturan
yang lebih tinggi, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan yang lainnya. Bila
kemudian merujuk pada ketentuan mengenai tata urut perundang-undangan dalam sistem
hukum Indonesia, maka KHI secara teoritis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat khususnya
dalam penyelesaian persoalan kewarisan sesuai hukum Islam di Indonesia.
Dari hasil penelitian (Bagian Hukum Islam, 2010) keadaan berbeda ditemukan dalam
praktek pengadilan. Khususnya dalam lingkup peradilan agama, para Hakim menggunakan
ketentuan dalam KHI sebagai dasar hukum yang mengikat dalam melakukan pemeriksaan dan
memberikan putusannya. Khusus tentang perkara kewarisan, ada beberapa alasan yang
digunakan oleh para Hakim tentang kekuatan mengikat KHI dalam memutus perkara, yaitu
sebagai berikut:
1. KHI mengikat Hakim dalam memutus perkara demi untuk mengisi terjadinya
kekosongan hukum. Keadaan kekosongan hukum dapat terjadi dalam kasus tertentu,
misalnya dalam kasus dimana seorang Pewaris memiliki seorang anak angkat yang
sudah merawat Pewaris dengan sangat baik bahkan melebihi apa yang dilakukan
oleh anak kandung dari Pewaris itu sendiri. Dalam kasus ini, bila kemudian Pewaris
meninggal, maka anak angkat tersebut bukan merupakan salah satu ahli waris yang
berhak atas harta warisan dari Pewaris sehingga terjadi kekosongan hukum
mengenai status anak angkat dimaksud. Berdasarkan kasus tersebut, maka untuk
mengatasi persoalan status dan kedudukan anak angkat, Hakim akan menggunakan
ketentuan yang ada yaitu ketentuan dalam KHI khusus mengenai Wasiat Wajibah
untuk anak angkat sehingga kekosongan hukum dapat diatasi.
2. KHI mengikat Hakim dalam memutus perkara guna menyatukan para Hakim itu
sendiri dalam memutus perkara yang sejenis. KHI sebagai bentuk unifikasi sebagian
ketentuan hukum Islam di Indonesia dapat digunakan oleh seluruh Hakim dalam
lingkup peradilan agama sehingga perbedaan putusan terhadap kasus yang sejenis
dapat dihindari. Tanpa adanya unifikasi melalui KHI, maka akan berpotensi terjadinya
disparitas putusan terhadap perkara-perkara yang sejenis.

60
3. KHI mengikat Hakim demi mewujudkan kepastian hukum. Hakim secara moral
memang memiliki kebebasan dalam merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang
menjadi dasar putusannya. Namun di saat yang sama, kebebasan ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum bila terhadap kasus yang sejenis ternyata
diputuskan berbeda akibat perbedaan dasar hukum yang digunakan. Dengan
menggunakan KHI sebagai dasar hukum, maka rasa kepastian hukum akan lebih
mudah terwujud karena ada persamaan pegangan bagi Hakim dalam mengeluarkan
putusannya.
4. KHI mengikat Hakim karena memang telah digunakan dalam putusan Hakim
terdahulu yang kemudian menjadi yurisprudensi dan mengikat Hakim-Hakim yang
lain. Para Hakim terdahulu telah menggunakan KHI sebagai salah satu dasar hukum
dalam memutus perkara dan putusannya kemudian menjadi yurisprudensi. Sebagai
yurisprudensi, maka putusan tersebut, berikut dasar hukum yang digunakan, akan
mengikat Hakim lainnya untuk perkara yang sejenis. Selain itu, dengan mengikatnya
KHI melalui yurisprudensi, maka akan dapat terwujud keadaan unified legal opinions
dan tidak melahirkan disparitas putusan di antara para Hakim.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa ketentuan KHI bersifat imperatif
bagi para Hakim, dan wajib dipedomani dalam memutus perkara. Salah satu isi dalam KHI
adalah buku tentang kewarisan. Dalam sistem kewarisan Islam, sudah diatur secara jelas dan
rinci tentang tata cara pembagian dan peralihan harta si Pewaris kepada ahli waris, harta waris
serta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari Pewaris.
Tata cara pembagian dan peralihan harta waris dari si Pewaris ke ahli waris antara lain
dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak dan ada kalanya
dengan jalan wasiat. Selain mengatur wasiat biasa, KHI juga mengatur khasanah baru dalam
hukum Islam di Indonesia yaitu Wasiat Wajibah. Sehingga dapat diartikan, segala sesuatu yang
diatur dalam KHI mengenai Wasiat Wajibah memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
dipandang sebagai hukum materiil dan diberlakukan dalam memeriksa perkara kewarisan di
lingkup peradilan agama.
Lembaga Wasiat Wajibah secara tegas dinyatakan dalam KHI pada pasal 209 yang secara
lengkap adalah sebagai berikut:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
wasiat anak angkatnya.

61
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Pasal ini merupakan dasar hukum dalam KHI tentang eksistensi Wasiat Wajibah dalam
sistem hukum kewarisan Islam. Dari pasal tersebut, ada beberapa ketentuan yang dapat
disimpulkan mengenai Wasiat Wajibah, yaitu sebagai berikut:
1. Ketentuan mengenai pihak yang berhak mendapatkan Wasiat Wajibah.
Dalam pasal 209 KHI tersebut, ada 2 (dua) pihak yang berhak atas Wasiat Wajibah,
yaitu orang tua angkat dan anak angkat
2. Ketentuan mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh penerima Wasiat Wajibah.
Orang tua angkat atau anak angkat yang berhak menerima Wasiat Wajibah adalah
mereka yang secara nyata tidak diberi wasiat oleh Pewaris. Dalam hal ini, wasiat yang
diterima oleh kedua pihak tersebut bukan langsung dinyatakan oleh Pewaris, melainkan
diberikan oleh negara dalam bentuk Wasiat Wajibah
3. Ketentuan mengenai bagian yang dapat diterima.
Pasal ini menegaskan ketentuan maksimal yang dapat diterima oleh orang tua angkat
maupun anak angkat yaitu sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan
Pewaris.
Dari ketentuan pasal tersebut, maka dapat dilihat secara jelas bentuk pengaturan Wasiat
Wajibah dalam KHI. Wasiat Wajibah hanya diberikan pada orang tua angkat dan atau anak
angkat yang tidak menerima wasiat dari Pewaris, dengan bagian maksimal sebesar 1/3
(sepertiga) dari harta warisan. Ketentuan teoritis dalam KHI ternyata tidak sepenuhnya
dilakukan dalam praktek. Para Hakim dalam lingkup peradilan agama memiliki pendapat yang
sama mengenai kekuatan mengikat KHI khusus tentang Wasiat Wajibah. Ketentuan pasal 209
KHI tersebut di atas bersifat imperatif bagi Hakim dalam penerapannya. Namun sifat imperatif
tersebut bukan merupakan sesuatu yang mutlak sehingga tetap ada ketentuan yang bersifat
tentatif.
Ketentuan yang bersifat tentatif dilakukan dalam penentuan bagian untuk penerima Wasiat
Wajibah. Para Hakim umumnya memutus bagian yang diberikan sesuai dengan kondisi dan
kenyataan yang ada dalam masing-masing kasus. Kondisi yang berbeda antara masing-masing
pihak penerima Wasiat Wajibah akan menyebabkan perbedaan penentuan bagian penerima
wasiat. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para anak angkat
maupun orang tua angkat yang secara nyata memang memiliki ikatan emosional yang kuat
dengan Pewaris. Untuk menjamin keadilan bagi penerima wasiat, maka Hakim berhak untuk
62
menetapkan dengan pertimbangan dan alasan tertentu mengenai jumlah yang diberikan melalui
Wasiat Wajibah yang jumlahnya bisa berbeda-beda di antara beberapa kasus.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal terkait
dengan ketentuan Wasiat Wajibah bagi anak angkat dalam KHI, yaitu bahwa pertama, KHI
merupakan ketentuan yang mengikat para Hakim di lingkungan peradilan agama termasuk di
dalamnya ketentuan mengenai Wasiat Wajibah, sehingga penetapan Wasiat Wajibah kepada
orang tua angkat dan anak angkat, mengikat para Hakim secara imperatif dalam memutuskan
perkara di persidangan yang terkait dengan keberadaan pihak-pihak yang berhak atas Wasiat
Wajibah. Kedua, Wasiat Wajibah yang diterima oleh anak angkat dan orang tua angkat
ditetapkan apabila yang bersangkutan belum menerima wasiat dari Pewaris. Ketiga, sifat
imperatif dalam pemberian Wasiat Wajibah tidak berlaku bagi penetapan jumlah bagian yang
dapat diterima oleh penerima wasiat. Jumlah bagian bersifat tentatif dan diserahkan pada
pertimbangan Hakim.
Wasiat Wajibah merupakan bentuk pemberian wasiat yang dilakukan berdasarkan perintah
penguasa, dalam hal ini adalah Hakim sebagai aparat negara, melalui putusannya yang
diberikan pada orang tertentu sebagaimana telah dijelaskan dalan ketentuan KHI. Pemberian
Wasiat Wajibah ditetapkan berdasarkan pertimbangan Hakim sesuai dengan hasil pemeriksaan
di pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diketahui bentuk kaidah hukum yang
digunakan oleh para Hakim dalam memutuskan untuk memberikan Wasiat Wajibah sekaligus
dalam menentukan jumlah bagian bagi penerima Wasiat Wajibah.
Bentuk kaidah hukum yang digunakan oleh para Hakim dalam menentukan pemberian
Wasiat Wajibah adalah menggunakan kaidah wasiat umum sebagaimana yang ditentukan
dalam KHI. Penerapan kaidah wasiat yang diatur KHI dilakukan dengan 2 (dua) alasan, yaitu
alasan pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum. Argumentasi ini dibangun atas dasar
bahwa Wasiat Wajibah merupakan sistem pemberian wasiat yang diatur oleh negara dan
memiliki dasar hukum melalui KHI, namun di saat yang sama KHI tidak mengatur secara rinci
tentang Wasiat Wajibah itu sendiri. Untuk mengatasi ketiadaan aturan yang rinci mengenai
pemberian Wasiat Wajibah, maka Hakim menggunakan aturan wasiat secara umum sebagai
dasar putusan pemberian Wasiat Wajibah. Alasan yang kedua terkait penerapan kaidah hukum
wasiat pada Wasiat Wajibah adalah demi untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Pemberian Wasiat Wajibah khususnya kepada anak angkat maupun orang tua angkat akan
dapat mewujudkan keadilan terutama bila ternyata ada hubungan emosional yang sangat kuat
antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, sehingga akan menjadi sangat tidak adil bila

63
anak angkat tidak mendapatkan bagian atas harta waris yang dimiliki oleh orang tua angkatnya.
Berdasarkan argumentasi tersebut, maka kaidah hukum pemberian Wasiat Wajibah adalah
dengan mengadopsi ketentuan wasiat umum sebagaimana yang diatur di dalam KHI.
Kaidah hukum wasiat yang juga berlaku pada Wasiat Wajibah adalah mengenai tahapan
yang harus dilalui sebelum dilakukannya pembagian wasiat. Tahap-tahap yang berlaku dalam
pembagian wasiat umum juga berlaku bagi pembagian Wasiat Wajibah. Tahapan dimaksud
adalah sebagaimana yang diatur dalam Al Qur‟an surat An Nisaa ayat 11 dan 12 serta Pasal
175 ayat (1) KHI. Tahap-tahap tersebut adalah bahwa harta peninggalan Pewaris harus terlebih
dahulu dikurangi dengan biaya pengurusan jenazah Pewaris, biaya pengobatan, dan hutang-
hutang Pewaris. Selanjutnya barulah ditunaikan wasiat dari Pewaris apabila Pewaris
meninggalkan wasiat atau dalam bentuk Wasiat Wajibah.
Hal penting untuk dicermati mengenai penerapan kaidah wasiat umum terhadap Wasiat
Wajibah adalah terkait dengan penentuan bagian bagi penerima wasiat. Pada dasarnya, bila
melihat pada ketentuan mengenai wasiat di dalam KHI, besar bagian yang diperbolehkan untuk
diberikan melalui wasiat adalah sebesar paling banyak 1/3 (sepertiga) dari harta warisan,
dengan pengecualian dapat diberikan lebih melalui persetujuan para ahli waris lainnya. Dari
hasil penelitian, ketentuan maksimal 1/3 (sepertiga) ini sangat dimungkinkan untuk disimpangi.
Hakim dapat memutuskan untuk memberikan Wasiat Wajibah lebih besar dari 1/3 (sepertiga)
bagian harta waris pada penerima Wasiat Wajibah, baik itu anak angkat maupun orang tua
angkat. Penyimpangan ini dilakukan atas dasar untuk memenuhi rasa keadilan. Pertimbangan
mengenai rasa keadilan itu sendiri diserahkan pada masing-masing duduk perkara dan fakta
hukum yang ditemukan di pengadilan. Salah satu contoh kasus yang dapat digunakan adalah
apabila secara nyata anak angkat berperan besar dalam pengembangan harta Pewaris selama
hidupnya sehingga apabila hanya diberikan sebesar 1/3 (sepertiga) bagian, berdasarkan rasa
keadilan dinilai tidak mencukupi dan tidak seimbang dengan segala jerih payah dan usaha yang
telah dilakukan oleh anak angkat tersebut.
Selain itu, penetapan bagian penerima Wasiat Wajibah dapat melebihi ketentuan maksimal
1/3 (sepertiga) sepanjang memenuhi syarat tertentu, yaitu bahwa pengambilan putusan untuk
memberikan bagian yang lebih dari ketentuan maksimal tersebut dilakukan dengan
menggunakan metodologi pengambilan putusan yang benar dan dapat dipertanggung
jawabkan. Hakim memiliki kewenangan untuk memutuskan pembagian lebih dari 1/3 (sepertiga)
sebagaimana yang ditentukan di dalam KHI dengan tetap berkewajiban untuk memberikan
alsan dan pertimbangan hukum yang tepat sesuai dengan fakta hukum yang ditemukan.

64
Berdasarkan alasan ini, maka penentuan bagian Wasiat Wajibah dapat dilakukan melebihi
ketentuan 1/3 (sepertiga) dari harta warisan Pewaris sebagaimana yang telah diatur dalam KHI.
Dari hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum Wasiat Wajibah
adalah mengikuti kaidah hukum wasiat umum sebagaimana yang diatur dalam KHI. Namun
penerapan kaidah wasiat umum ini juga tetap membuka penyimpangan yaitu dalam penentuan
bagian. Dalam metode berijtihad memang dikenal adanya penyimpangan dari hukum umum,
yaitu metode istihsan. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari
ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Berdasarkan asas keadilan dan dengan menggunakan alasan serta metodologi
pengambilan putusan yang tepat, maka Wasiat Wajibah dapat ditetapkan untuk diberikan
melebihi batas 1/3 (sepertiga) dari harta warisan. Penyimpangan ini dilakukan untuk memenuhi
rasa keadilan yang diukur secara kasuistis dan tidak bisa digeneralisasi terhadap semua
perkara Wasiat Wajibah.

E. Pembaruan Ketentuan Wasiat Wajibah dalam Hukum Terapan Kewarisan Islam di


Indonesia
Hukum waris Islam menetapkan adanya halangan untuk mendapatkan bagian waris
terhadap sesorang yang sebenarnya berhak atas hal tersebut. Dengan kata lain, terhadap
seorang ahli waris, apabila ditemukan adanya faktor-fakor tertentu sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hak atas bagian waris menjadi hilang. Faktor-faktor
penghalang terjadinya kewarisan menurut KHI adalah sebagai berikut:
1. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para
Pewaris;
2. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa Pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
Apabila kedua faktor tersebut ditemukan pada seorang ahli waris, maka terhadapnya tidak
diberikan bagian waris yang pada dasarnya merupakan hak ahli waris itu sendiri.
Selain faktor yang telah disebutkan dalam Pasal 173 KHI tersebut, ada faktor lain yang tidak
eksplisit disebutkan oleh KHI, yaitu faktor agama dari ahli waris. Faktor perbedaan agama
sebagai penghalang bagi seorang ahli waris disimpulkan dari definisi ahli waris yang diberikan
oleh KHI yaitu bahwa yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris,

65
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Vide, Pasal 171
huruf c KHI). Dari definisi ini, disimpulkan bahwa apabila seorang yang secara nasab
merupakan ahli waris, namun di saat yang sama yang bersangkutan tidak beragama Islam,
maka dia tidak dihitung sebagai ahli waris dan terhadapnya tidak diberikan bagian waris
sebagaimana ahli waris lainnya.
Faktor agama sebagai penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan warisan sendiri
sudah merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menyatakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang
dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.
Ketentuan ini dikuatkan melalui salah satu Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim, dari Usamah bin Zaid yang artinya adalah, ”Tidak mewarisi seorang
muslim terhadap non-muslim, demikian juga tidak mewarisi seorang non-muslim terhadap
orang muslim” Dari ketentuan tersebut, maka faktor agama merupakan salah satu penghalang
bagi seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian warisan.
Penerapan faktor penghalang bagi ahli waris khusus mengenai perbedaan agama
diimplementasikan berbeda dalam praktek pengadilan. Dalam salah satu putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
51.K/AG/1999 tanggal 29 September 1999. Mahkamah Agung memutuskan ahli waris yang
tidak beragama Islam (dalam kapasitasnya sebagai Ahli Waris Pengganti) berhak mendapatkan
harta warisan Pewaris berdasarkan Wasiat Wajibah yang kadar bagiannya sama dengan
bagian ahli waris lain yang beragama Islam. Dari putusan ini, terlihat bahwa faktor perbedaan
agama yang menjadi penghalang untuk mendapatkan bagian waris diabaikan melalui
penetapan Wasiat Wajibah.
Dari hasil penelitian (Bagian Hukum Islam, 2010) ditemukan beberapa alasan Hakim dalam
menetapkan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang untuk menerima warisan akibat
perbedaan agama tersebut. Alasan-alasan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Faktor historis adanya larangan memberikan warisan pada ahli waris yang tidak beragama
Islam.
Ketentuan yang menghalangi pembagian warisan bagi ahli waris non-muslim secara historis
ditetapkan pada masa peperangan antara kaum muslimin dengan orang kafir di masa lalu.
Untuk menjaga aqidah dan harta yang dimiliki orang seorang muslim dari penguasaan ahli
waris yang kafir yang berpotensi untuk digunakan sebagai alat untuk memerangi umat Islam
sendiri, maka larangan tersebut diberlakukan. Melihat kondisi saat ini di mana tidak ada lagi

66
peperangan antara orang muslim dan non-muslim, maka ketentuan penghalang tersebut
dianggap tidak perlu lagi untuk diberlakukan.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, praktek pemberian warisan pada orang yang
tidak beragama Islam pernah dilakukan pada masa Sahabat. Seorang sahabat bernama Muadz
bin Jabal pernah memutuskan suatu sengketa waris antara seorang muslim dengan orang yang
beragama Yahudi. Sengketa ini terjadi ketika seorang muslim mendatangi beliau setelah orang
tuanya yang beragama Yahudi meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta bagi anak-
anaknya. Terhadap kasus ini, Muadz bin Jabal kemudian membolehkan anak tersebut untuk
menerima warisan dari orang tuanya. Praktek Muadz bin Jabal ini kemudian diikuti oleh Hakim
dalam kasus sebaliknya dimana seorang anak yang tidak beragama Islam diberikan bagian
warisan melalui Wasiat Wajibah atas harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam.
Alasan historis ini juga dikuatkan dengan pendapat para ulama dari kalangan Syafi‟iyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah yang membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama
Islam dengan syarat bahwa yang diberikan wasiat tidak memerangi umat Islam. Bila ternyata
yang bersangkutan melakukan perlawanan melalui perang, maka wasiatnya menjadi batal.
Secara historis, perbedaan agama sebagai halangan mendapatkan waris dianggap hanya
merupakan masalah politis, dan dapat ditinggalkan bila kemudian kondisi telah berubah
sebagaimana yang terjadi pada masa ini. Berdasarkan faktor historis tersebut di atas, maka
para Hakim berpendapat bahwa larangan untuk memberikan bagian waris bagi ahli waris yang
terhalang akibat perbedaan agama pada saat ini dapat disimpangi.
2. Penggunaan metode interpretasi sosiologis dalam melakukan penemuan hukum
Alasan kedua terkait dengan kewajiban Hakim untuk menemukan hukum atas setiap
perkara yang diperiksanya. Kewajiban ini bersumber dari salah satu asas dalam hukum acara
bahwa Hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya (ius curia novit)
karena Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penemuan hukum atau yang juga dikenal
dengan istilah rechtvinding. Penetapan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang untuk
menerima warisan karena tidak beragama Islam merupakan hasil dari rechtvinding yang
dilakukan Hakim dengan menggunakan metode interpretasi sosiologis.
Penemuan hukum atas Wasiat Wajibah yang diberikan pada penerima Wasiat Wajibah
bukan muslim dengan interpretasi sosiologis diawali dengan pemahaman bahwa ketentuan
mengenai hukum kewarisan Islam merupakan lex specialis dari hukum Islam dan hukum Islam
adalah lex generalis. Berdasarkan hal tersebut, ketika kemudian Hakim tidak menemukan
ketentuan mengenai Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang karena tidak beragama

67
Islam dalam hukum kewarisan Islam sebagai lex specialis, maka Hakim melakukan penemuan
hukum dengan mengembalikan persoalan pada lex generalis yaitu ketentuan hukum Islam
secara umum.
Ada beberapa asas dalam hukum Islam yang digunakan sebagai landasan penerapan lex
generalis, yaitu asas keadilan berimbang, asas kepastian, asas individual, dan asas bilateral.
Asas-asas ini merupakan tujuan objektif bagi penerapan hukum Islam secara keseluruhan.
Dengan mengembalikan pada ketentuan lex generalis, maka Hakim menggunakan asas-asas
tersebut untuk kemudian menetapkan pemberian Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang
akibat perbedaan agama. Dengan demikian, metode penemuan hukumnya adalah
menggunakan asas lex generalis yaitu asas umum hukum Islam, yang mengesampingkan asas
lex specialis yaitu ayat-ayat waris yang bersifat tafsili.
Berdasarkan alasan penggunaan metode interpretasi sosiologis, Hakim menggunakan
asas-asas hukum Islam berupa asas keadilan berimbang, asas kepastian, asas individual, dan
asas bilateral dalam menetapkan pemberian Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang
akibat perbedaan agama. Untuk mewujudkan asas-asas tersebut, terutama asas keadilan yang
berimbang, maka halangan menerima waris bagi ahli waris yang berbeda agama dengan
Pewaris dihapus melalui penetapan Wasiat Wajibah oleh putusan pengadilan.
3. Penggunaan metode argumentum per analogium dalam melakukan penemuan hukum.
Sama seperti pada alasan sebelumnya, penggunaan metode argumentum per analogium
dalam menetapkan Wasiat Wajibah dilakukan sebagai penerapan asas ius curia novit oleh
Hakim di lingkungan peradilan agama. Dalam melakukan penemuan hukum atas pemberian
Wasiat Wajibah terhadap ahli waris yang tidak beragama Islam, pertama kali Hakim mencari
ketentuan dimaksud dalam aturan materiil hukum kewarisan Islam yaitu KHI. Terhadap
ketentuan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang karena tidak beragama Islam, ternyata
tidak ada ketentuannya dalam KHI. Untuk itu, Hakim menggunakan metode argumentum per
analogium dengan cara menemukan ketentuan hukum lain yang sejenis, memiliki kemiripan,
serta adanya tuntutan dalam masyarakat untuk mendapatkan penilaian yang sama. Ketentuan
yang sejenis untuk mengatasi kekosongan dalam hal ini adalah menggunakan ketentuan
Wasiat Wajibah yang ada di dalam KHI khusus untuk anak angkat dan atau orang tua angkat.
Terhadap kedua peristiwa tersebut, ditemukan kesamaannya, yaitu keduanya terjadi pada
orang-orang yang secara yuridis formal tidak mendapatkan bagian harta waris padahal mereka
memiliki ikatan kekeluargaan dengan Pewaris baik sebagai anak kandung maupun anak
angkat. Dengan adanya kesamaan tersebut, maka aturan yang berlaku pada satu peristiwa

68
diberlakukan pula pada peristiwa lain, sehingga ketentuan Wasiat Wajibah bagi anak angkat
diberlakukan pula pada anak yang tidak beragama Islam. Inilah yang kemudian merupakan
penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim dengan menggunakan metode argumentum per
analogium.
Berdasarkan alasan penggunaan metode argumentum per analogiun tersebut, Hakim
mengadopsi ketentuan Wasiat Wajibah di dalam KHI mengenai kedudukan dan pemberian
Wasiat Wajibah pada anak angkat untuk diterapkan pada pemberian Wasiat Wajibah untuk ahli
waris yang terhalang akibat perbedaan agama.
4. Eksistensi hukum kewarisan Islam di antara sistem hukum kewarisan lainnya.
Alasan ketiga yang digunakan Hakim dalam menetapkan pemberian Wasiat Wajibah bagi
ahli waris yang terhalang karena adanya perbedaan agama dengan Pewaris adalah alasan
eksistensi hukum waris Islam dalam sistem hukum nasional. Secara faktual, hukum waris Islam
di Indonesia hidup, berkembang, dan berdampingan dengan sistem hukum waris lain yaitu
hukum waris adat dan hukum waris BW. Ketiganya digunakan sebagai pilihan hukum bagi
rakyat Indonesia. Penemuan hukum yang memberikan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang
terhalang akibat perbedaan agama merupakan upaya mengaktualisasikan hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial, budaya, hukum,
maupun agama. Upaya ini sekaligus juga untuk memelihara jati diri hukum Islam sebagai
rahmatan lil „alamin. Mempertahankan keotentikan hukum Islam (fiqih) tanpa memperhatikan
dinamika masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh ruang dan norma hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia akan menjadikan hukum Islam kehilangan daya
tariknya karena tidak memenuhi kebutuhan masyarakat yang melingkupinya.
Selain itu, dengan diberikannya Wasiat Wajibah kepada ahli waris yang terhalang akibat
perbedaan agama sebagai alternatif agar memperoleh haknya, sesungguhnya telah
memberikan gambaran positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif yang
seolah-olah telah menempatkan warga non-Muslim sebagai kelas dua di depan hukum. Apabila
ahli waris yang terhalang akibat perbedaan agama tetap dipertahankan sebagai orang yang
tidak dapat mewarisi dengan jalan apapun, sebagaimana hukum asalnya, maka hukum Islam
akan dipandang sebagai suatu ancaman yang menghilangkan hak waris. Selanjutnya , bila
dibandingkan dengan sistem hukum waris lainnya, keadaan ini akan sangat tidak
menguntungkan bagi hukum Islam karena akan dikalahkan oleh sistem hukum waris lain yang
tidak mempersoalkan agama sebagai penghalang seseorang dalam menerima bagian
warisnya.

69
Alasan ini juga dipertegas dengan tujuan hukum Islam yaitu untuk mencegah kemudharatan
dalam hidup manusia. Apabila dalam suatu kondisi terjadi permasalahan, maka putusan yang
diambil haruslah dengan mengedepankan kemudharatan yang lebih sedikit akibatnya bagi
masyarakat secara umum. Pemberian Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang akibat
perbedaan agama dipandang memberikan kemudharatan yang lebih sedikit bila dibandingkan
dengan terus mempertahankan perbedaan agama sebagai penghalang untuk menerima waris.
Bila alasan tersebut tetap diterapkan secara kaku, maka akan menimbulkan permusuhan di
dalam masyarakat, khususnya di dalam keluarga para ahli waris yang berbeda agama karena
tidak mendapatkan hak yang sama padahal mereka juga merupakan anak kandung dari
Pewaris, misalnya. Selain itu, karena melihat pada ketentuan formal Wasiat Wajibah yang
memberikan hak pada anak angkat yang sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengan
Pewaris, maka dipandang tidak adil bila justru anak kandung yang berbeda agama tidak
diberikan bagian atas harta warisan orang tuanya. Pertimbangan untuk mencegah
kemudharatan yang lebih besar ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan Hakim dalam
memutuskan untuk memberikan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang sebenarnya terhalang
akibat perbedaaan agama.
5. Pilihan agama sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
Alasan kelima mengenai pemberian Wasiat Wajibah bagi mereka yang terhalang menjadi
ahli waris akibat perbedaan agama adalah kondisi nyata kehidupan masyarakat Indonesia
sendiri. Indonesia merupakan negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku dan
agama. Keberadaan agama yang berbeda-beda sudah ada sejak dahulu dan tidak menjadi
penghalang bagi masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan. Adanya perbedaan agama,
bahkan di dalam lingkup keluarga bukan merupakan hal yang asing di Indonesia. Masyarakat
Indonesia dikatakan telah mengadakan suatu kesepakatan sosial untuk hidup rukun, damai,
saling menghormati, dan tidak saling merendahkan martabat manusia atas dasar apapun juga,
baik karena perbedaaan suku, budaya maupun agama.
Kesepakatan sosial untuk memelihara kerukunan tersebut bahkan telah dituangkan dalam
sumber hukum utama pada sistem hukum Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945. Batang
tubuh Undang-undang Dasar 1945 banyak mengatur di dalam pasal-pasalnya ketentuan
tentang perbedaan agama dan jaminan atas adanya perbedaan tersebut. Undang-undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi negara menempatkan agama sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia yang harus dijamin, dilindungi, dan diwujudkan pelaksanaannya. Secara tegas,
jaminan perbedaan agama dinyatakan dalam ketentuan bahwa, “Setiap orang bebas memeluk

70
agama dan beribadat menurut agamanya...(Vide, Pasal 28 E UUD 1945)” Jaminan ini diperkuat
dalam ketentuan lainnya yang menegaskan bahwa,”setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” (Pasal
28 J UUD 1945). Selanjutnya, terhadap perbedaan agama sebagai bagian dari hak asasi
manusia, negara melarang dilakukannya segala bentuk tindakan diskriminatif dengan
menyatakan bahwa,”setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”
Khusus mengenai perbedaan agama dalam ruang lingkup hukum, konstitusi mengatur
bahwa,”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D UUD 1945). Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka perbedaan agama secara yuridis formal tidak bisa dijadikan
penghalang bagi pemenuhan hak warga negara khususnya hak yang telah dijamin oleh hukum
nasional.
Selain itu, pengakuan untuk memilih agama sebagai bagian dari hak Asasi Manusia (HAM)
dikuatkan dengan alasan bahwa perbedaan agama bukan merupakan bentuk kejahatan.
Sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam KHI, alasan yang dapat menghalangi seorang ahli
waris yang sah untuk menerima bagian warisan adalah apabila yang bersangkutan terbukti
telah melakukan kejahatan pada Pewaris dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan berat
maupun melakukan fitnah (Vide, Pasal 173 KHI). Perbedaan agama bukanlah merupakan
bentuk kejahatan, melainkan bagian dari hak asasi manusia, sehingga sangat tidak adil apabila
ditempatkan sebagai alasan penghalang penerima waris yang setara dengan kejahatan.
Perbedaan agama adalah bentuk keyakinan akan kebenaran suatu ajaran agama yang patut
dihormati dan dihargai oleh setiap orang. Perbedaan agama di dalam masyarakat Indonesia
bukan merupakan keadaan yang membahayakan kemanusiaan dan mengganggu kehidupan
bermasyarakat sehingga seorang ahli waris yang berbeda agama dengan Pewaris tidak bisa
disamakan kedudukannya dengan ahli waris yang melakukan pembunuhan, penganiayaan
berat maupun telah memfitnah Pewaris.
6. Teori hukum mengenal asas hukum dan penyimpangan terhadap asas hukum
Alasan terakhir yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan yang
menetapkan ahli waris yang seharusnya terhalang untuk menerima bagian waris sebagai
penerima Wasiat Wajibah adalah ketentuan asas hukum dalam teori hukum pada sistem hukum
Indonesia. Teori hukum mengenal adanya asas hukum dan penyimpangan atas asas hukum.

71
Penetapan Wasiat Wajibah bagi ahli waris yang terhalang untuk menerima waris karena
perbedaan agama telah memenuhi teori tersebut.
Berdasarkan teori hukum, salah satu asas hukum dalam hukum kewarisan Islam adalah
terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian warisan karena memeluk agama
yang berbeda dengan Pewaris. Terhadap asas hukum ini kemudian terbuka pintu
penyimpangan yaitu melalui Wasiat Wajibah. Penetapan Wasiat Wajibah oleh Hakim akan
memberikan hak atas bagian warisan bagi mereka yang berdasarkan asas hukum tidak
mendapatkan bagiannya. Wasiat Wajibah adalah penyimpangan terhadap asas hukum dalam
hukum kewarisan Islam tersebut.
Berdasarkan alasan ini, maka Hakim menggunakan penyimpangan asas hukum kewarisan
Islam dalam memutuskan perkara terkait adanya ahli waris yang berbeda agama dengan
Pewaris. Penyimpangan yang digunakan diwujudkan melalui putusan pemberian Wasiat
Wajibah bagi ahli waris dimaksud
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa dasar
pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara kewarisan yang memberikan hak pada
seseorang yang sebenarnya terhalang menjadi ahli waris untuk mendapatkan bagian waris
melalui Wasiat Wajibah. Ada 6 (enam) alasan yang digunakan Hakim dalam lingkup peradilan
agama, yaitu faktor historis penetapan larangan memberikan warisan pada ahli waris yang tidak
beragama Islam, penggunaan metode interpretasi sosiologis dalam melakukan penemuan
hukum, penggunaan metode argumentum per analogium dalam melakukan penemuan hukum,
eksistensi hukum kewarisan Islam di antara sistem hukum kewarisan lainnya, pilihan agama
sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), serta alasan bahwa teori hukum mengenal asas
hukum dan penyimpangan terhadap asas hukum.
Terkait dengan dasar pertimbangan yang digunakan Hakim tersebut, Abdul Ghofur
Anshari menyampaikan pendapat berbeda. Pendapat ini membantah penghapusan halangan
untuk menerima bagian waris bagi ahli waris yang tidak beragama Islam. Ada 2 (dua) alasan
yang dikemukakan sebagai dasar argumentasi, yaitu sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam Al Qur‟an dan Al Hadits sebagai sumber hukum Islam
Ketentuan yang menjadi dasar hukum untuk memperkuat eksistensi halangan bagi ahli
waris yang tidak beragama Islam adalah Al Qur‟an Surat At Tahrim ayat 6 yang berbunyi
sebagai berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,

72
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat ini merupakan dasar hukum Islam kewajiban setiap muslim untuk memelihara dan
menjaga seluruh anggota keluarga dari hal-hal yang baik langsung maupun tidak langsung
dapat merusak keimanan terhadap Allah SWT. Dikaitkan dengan aqidah dan keimanan seorang
muslim, maka ayat ini memerintahkan agar setiap muslim melakukan seluruh daya dan upaya
untuk menjaga, memelihara, sekaligus juga mencegah terjadinya penyimpangan keimanan baik
yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun oleh orang-orang dalam ikatan kekeluargaan
lainnya.
Ayat ini harus menjadi dasar pertimbangan dalam pemberian Wasiat Wajibah. Halangan
bagi ahli waris yang walaupun berdasarkan nasab merupakan ahli waris yang sah, namun
akibat perbedaan agama maka haknya akan terhapus merupakan implementasi dari ketentuan
ayat Al Qur‟an dimaksud. Penetapan halangan adalah salah satu cara bagi seorang muslim
untuk mencegah kemurtadan oleh salah seorang keluarganya, termasuk anak kandung sendiri.
Dengan dihapusnya hak seorang ahli waris karena yang bersangkutan meninggalkan aqidah
Islam, maka niat untuk murtad akan dapat diminimalisir.
Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh ayat lain dalam Al Qur‟an surat An Nisaa ayat
(13) yang berbunyi sebagai berikut:
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar. Kata-kata “..(hukum-hukum tersebut)..” merujuk pada ketentuan ayat –ayat yang
mengatur tentang warisan. Ayat ini kemudian menguatkan kedudukan ahli waris yang tidak
beragama Islam sebagai pihak yang terhalang mendapatkan bagian waris karena hal tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Al Qur‟an sebagai sumber hukum Islam yang utama dan terutama mengandung
ketentuan hukum yang masih bersifat umum, sehingga eksistensi sumber hukum Islam
berikutnya yaitu Al Hadits sangat diperlukan untuk menerapkan hukum pada peristiwa konkrit,
khususnya pada lembaga Wasiat Wajibah. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
salah satu Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, dari Usamah bin
Zaid menyatakan bahwa, ”Tidak mewarisi seorang muslim terhadap non-muslim, demikian juga
tidak mewarisi seorang non-muslim terhadap orang muslim” Haditst ini memperkuat adanya

73
halangan bagi seorang ahli waris untuk menerima haknya karena yang bersangkutan tidak
beragama Islam.
Dari ketentuan berdasarkan sumber hukum Islam tersebut, maka eksistensi halangan
menerima bagian waris terkait perbedaan agama telah memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh
karena itu, tidak tepat bila halangan tersebut dihapuskan karena akan melanggar sendi-sendi
hukum Islam yang telah diatur melalui Al Qur‟an dan Al Hadits.
2. Tujuan hukum Islam dalam Al-Maqasid Al-Khamsah
Hukum Islam merupakan sistem hukum yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan hidup manusia di dunia sekaligus juga di akhirat. Tujuan ini kemudian
dirumuskan dalam tujuan khusus lainnya yang juga dikenal dengan istilah al-maqasid al-
khamsah. Berdasarkan rumusan al-maqasid al-khamsah, maka ada 5 (lima) tujuan khusus bagi
penerapan hukum Islam, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Ali,
1996 : 53-57). Penerapan tujuan tersebut dilakukan dengan skala priorotas, dimana tujuan
pertama lebih didahulukan dibandingkan tujuan kedua, demikian pula terhadap tujuan
berikutnya.
Berdasarkan skala prioritas, maka memelihara agama merupakan tujuan pertama dari
penerapan hukum Islam. Pemeliharaan agama harus didahulukan dari pemeliharaan jiwa, akal,
keturunan, maupun harta. Dengan kata lain, pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, maupun harta
akan dikesampingkan demi untuk memelihara agama. Bila kemudian dikaitkan dengan
pertimbangan untuk memberikan Wasiat Wajibah bagi mereka yang tidak beragama Islam,
maka tujuan hukum Islam dalam al-maqasid al-khamsah ini harus menjadi dasar pertimbangan
yang utama bagi para Hakim.
Penerapan al-maqasid al-khamsah, yang menempatkan pemeliharaan agama sebagai
tujuan pertama hukum Islam akan memperkuat adanya halangan bagi setiap orang yang tidak
beragama Islam untuk menerima bagian wasiat. Berdasarkan al-maqasid al-khamsah, maka
tujuan pemeliharaan agama dan aqidah seorang muslim akan terwujud dengan ditetapkannya
halangan untuk menerima bagian waris bila yang bersangkutan meninggalkan aqidah Islam.
Walaupun di saat yang sama Islam mengakui dan melindungi pemilikan serta hak atas harta,
namun pemilikan harta tersebut tidak boleh merusak aqidah dan keimanan seseorang.
Keimanan adaah hal utama yang harus dipertimbangkan dan mengalahkan pertimbangan
unsur-unsur lainnya, termasuk pertimbangan yang terkait dengan pembagian harta warisan.
Dari kedua alasan tersebut di atas, maka dasar pertimbangan yang digunakan Hakim
dalam memutuskan Wasiat Wajibah bagi mereka yang tidak beragama Islam tidak dapat

74
diterima. Hakim harus selalu mengingat dan mengimplementasikan tujuan hukum Islam dan
sekaligus mendasarkan pertimbangannya pada sumber hukum Islam, baik itu Al Qur‟an dan Al
Hadits. Pertimbangan untuk mewujudkan asas keadilan dengan memberikan harta yang
seharusnya bukan merupakan hak seseorang bertentangan dengan tujuan hukum Islam dan
tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur‟an dan Al- Hadits.
Dari hasil penelitian, salah satu dasar pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan
perkara kewarisan yang memberikan hak pada seseorang yang sebenarnya terhalang menjadi
ahli waris untuk mendapatkan bagian waris melalui Wasiat Wajibah adalah karena adanya asas
hukum yang mengikat Hakim yaitu asas ius curia novit yang melarang Hakim untuk menolak
suatu perkara karena tidak ada hukumnya. Dalam mewujudkan asas tersebut, Hakim diberi
kewenangan melakukan penemuan hukum untuk menyelesaikan perkara yang diserahkan
padanya. Khusus mengenai Wasiat Wajibah, terlihat ada 3 (tiga) metode penemuan hukum
yang dilakukan Hakim, yaitu metode interpretasi historis, interpretasi sosiologis, serta
argumentum per analogium. Dalam pembahasan ini, maka akan dikaji penggunaan seluruh
metode tersebut sesuai dengan tataran teori hukum.
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-
petugas hukum lainnya yang diberikan tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa
hukum konkrit (Mertokusumo, 1993 : 4). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik
atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya
(Mertokusumo, 1996 : 38). Proses untuk menemukan hukum tersebut dilakukan dengan
mencarikan aturan yang sesuai untuk dapat diterapkan pada suatu peristiwa nyata dalam
sistem hukum nasional. Hasil dari penemuan hukum itulah yang akan diwujudkan dalam
putusan.
Penemuan hukum berfungsi untuk mengatasi sifat undang-undang yang tidak lengkap
dan tidak jelas. Ketidaklengkapan maupun ketidakjelasan undang-undang harus diatasi dengan
menggunakan metode-metode yang sesuai sehingga tidak ada peristiwa hukum yang tidak
dapat ditetapkan hukumnya. Lebih jauh, penemuan hukum bukan semata-mata hanya
penerapan peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga merupakan
penciptaan dan pembentukan hukum.
Ada beberapa metode yang bisa dilakukan dalam proses penemuan hukum. Metode
tersebut dibagi sesuai dengan tujuan penemuan hukum sendiri. Berdasarkan tujuannya, ada 2
(dua) kategori metode penemuan hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Metode penemuan hukum untuk menjelaskan peraturan yang tidak jelas.

75
Metode ini dikenal dengan metode penafsiran atau interpretasi. Metode penafsiran
terdiri dari beberapa metode yaitu interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis,
interpretasi historis, dan interpretasi sosiologis
2. Metode penemuan hukum untuk menemukan hukum yang tidak ditemukan dalam
peraturan yang ada.
Metode ini dikenal dengan metode penalaran atau argumentasi. Metode argumentasi
terdiri dari beberapa metode yaitu argumentum per analogium, argumentum a contrario,
dan penyempitan hukum (Mertokusumo, 1996 : 55-68).
Dari beberapa metode tersebut, sesuai dengan hasil penelitian, maka pembahasan akan
difokuskan pada metode interpretasi historis, interpretasi sosiologis, dan argumentum per
analogium.

F. Pembaruan Ketentuan Wasiat Wajibah berdasarkan Hasil Rapat Kerja Nasional


Mahkamah Agung R.I. tahun 2012
Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan dari 4 (empat)
Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia di Jakarta, dengan tema “Pemantapan Sistem Kamar
untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim“ yang
diselenggarakan pada bulan Oktober tahun 2012 mengeluarkan beberapa hasil diskusi atas
permasalahan hukum yang ditemui hakim dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Khusus
dalam lingkungan peradilan agama, salah satu permasalahan yang diangkat adalah ketetuan
tentang wasiat wajibah. Dalam hasil diskusi dalam Komisi II yang membidangi peradilan agama,
ketentuan wasiat wajibah mengalami perluasan.
Wasiat wajibah yang sebelumnya diatur untuk dapat diberikan kepada 2 (dua) kelompok
penerima wasia, yaitu ana angkat atau orang tua angkat dan ahli waris yang tida beragama
Islam sebagai bentuk perwujudan Asas Egaliter, berdasarkan hasil rapat kerja nasional ini
dapat diberikan kepada 2 (dua) kategori penerima wasiat lain, yaitu (MARI, 2012:5-6)
1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat, berdasarkan hasil Rakernas
ini ditegaskan berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari ayahnya
tersebut.
2. Anak tiri yang dipelihara sejak kecil
Secara prinsip, anak tiri tidak termasuk sebagai kelompok ahli waris karena tidak
memenuhi ketetuan memiliki hubungan darah dengan Pewaris. Kedudukan anak tiri

76
ditegaskan dalam hasil Rakernas ini bahwa anak tiri bukan merupakan ahli waris
sehinga mutla tidak berhak mendapatkan baian harta waris dari orang tua tirinya.
Naun, hasil Rakernas ini memberikan peluang bagi anak tiri untuk mendapatkan
bagian harta melalui lembaga Wasiat Wajibah, dengan catatan bahwa anak tiri secara
de facto memang telah dipelihara oleh Pewasiat sejak kecil

77
BAB VI
HIBAH

A. Hibah dalam Konsep KHI


1. Pengertian
Yang dimaksud hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Orang yang memberi hibah, syaratnya : minimal berusia 21 tahun, berakal sehat,
dan bertindak tanpa paksaan
b. Orang yang menerima hibah
c. Barang yang dihibahkan, maksimal sebanyak 1/3 dari harta warisan
d. Sighat/Ikrar.
Abd. Rasyid As‟ad, salah seorang hakim Pengadilan Agama dalam badilag.net
mengemukakan bahwa
Agar praktek hibah sah dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, hukum Islam
telah menetapkan beberapa rukun yang harus dipenuhi. Pertama, adanya yang
menghibahkan (wahib) yaitu orang yang telah dewasa. Dalam Pasal 210 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa orang yang menghibahkan (wahib) telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan, dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari total harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga. Kedua, adanya orang yang menerima hibah (mawhub lah) yang benar-
benar nyata wujudnya pada saat dilaksanakannya hibah. Karena itu, menurut Sayid
Sabiq dalam Fiqh Sunnah, menghibahkan harta benda kepada janin adalah tidak sah.
Ketiga, adanya harta benda yang akan dihibahkan yang merupakan milik penuh yang
menghibahkan (wahib) . Keempat, adanya ijab dan kabul. Ijab artinaya pernyataan atau
penegasan dari wahib (yang menghibahkan) atas pemberiannya, seperti mengatakan :
“Saya hibahkan benda ini untuk Anda”. Sedangkan kabul berarti suatu pernyataan atau
penegasan dari penerima hibah (mawhub lah) atas kerelaannya menerma hibah.
Persyaratan adanya ketegasan ijab dan kabul diperselisihkan di kalangan para ulama
fiqh. Sebagian besar ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah mensyaratkan bagi orang yang
mampu berbicara untuk menegaskan ijab dan kabul bagi keabsahan hibah. Menurut
mereka, orang yang menghibahkan (wahib) harus secara tegas menyatakan ijab atau
pemberiannya. Demikian juga penerima hibah (mawhub lah) harus secara tegas
menyatakan secara lisan penerimaannya. Keharusan adanya penegasan hibah itu
dengan lisan dimaksudkan agar secara jelas apa yang diberikan itu adalah hibah dan
dilaksanakan atas kehendak sendiri secara suka rela. Dengan adanya ketegasan hibah
itu, baru berlaku baginya secara mengikat segala hukum hibah. Adanya keharusan
ketegasan penerimaan hibah dengan lisan agar secara pasti diketahui kerelaan
menerimanya. Berbeda dengan kalangan Hanabilah dan sebagian kalangan Hanafiyah.
Menurut mereka, untuk keabsahan suatu hibah tidak mesti adanya ketegasan ijab dan
kabul secara lisan. Menurut aliran ini hibah dianggap sah sekalipun dengan tindakan-
78
tindakan yang bisa difahami yang menunjukkan adanya pemberian (hibah). Alasanya,
dalam sebuah hadis diceritakan bahwa Rasulullah SAW biasa hadiah menghadiahi atau
saling memberi tanpa menegaskan ijab dan kabulnya. Praktek seperti ini juga diikuti
oleh para sahabat. Ketika Abdullah bin Umar mengendarai keledai kepunyaan ayahnya,
Umar bin Khattab, Rasulullah berkata kepada Umar: “Jual saja keledai ini kepadaku”.
Umar bin Khattab dengan maksud menghibahkan keledai itu kepada Rasulullah
menjawab dengan mengatakan : “Keledai itu untukmu”. Mendengar pernyataan Umar
bin Khattab itu, tanpa menyatakan menerima pemberian itu (tanpa adanya kabul)
Rasulullah lalu berkata kepada Umar bin Khattab : “Lakukanlah sesuka hatimu terhadap
keledai itu”, dengan maksud menghibahkan keledai itu kepada Ibnu Umar.
Dalam cerita singkat tersebut, Rasulullah SAW tidak secara tegas menerima hibah dari
Umar bin Khattab, dan begitu juga Ibnu Umar tidak secara tegas secara lisan menerima
hibah dari Rasulullah SAW. Semuanya itu dilakukan bukan ketegasan secara lisan,
melainkan dengan tindakan atau perbuatan yang cukup dipahami menunjukkan untuk
itu. Ini menunjukkan adanya ketegasan ijab dan kabul dengan lisan bukanlah menjadi
persyaratan bagi keabsahan suatu hibah. Di samping adanya ijab dan kabul, dalam
praktek hibah sering kali diikuti dengan perbuatan serah terima yang terpisah dari ijab
dan kabul. Dalam hal ini ada dua aliran yang berkembang di kalangan ulama fiqh.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hibah baru dianggap mengikat dan pasti setelah
terjadi serah terima. Artinya, dengan hanya ijab dan kabul tanpa diikuti dengan serah
terima, hibah belum dianggap pasti, dalam arti yang menghibahkan (wahib) masih
bebas menentukan sikapnya apakah akan meneruskan atau mencabut kembali maksud
hibahnya. Pendapat ini dianut oleh Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, dan Imam Syafi‟i.
Alasan mereka adalah praktek para sahabat, antara lain Abu Bakar pada suatu waktu
menghibahkan suatu benda kepada putrinya, Aisyah r.a, tetapi belum terjadi serah
terima antara keduanya. Pada waktu Abu Bakar sedang sakit, ia memanggil Aisyah r.a
dan berkata : “Hai putriku, tidak seorangpun yang aku paling sukai hidup berkelapangan
sepeninggalku selain dari pada engkau, dan tidak seorangpun yang lebih memilukan
aku kecuali engkau hidup dalam kefakiran sepeninggal aku. Dulu aku pernah
menghibahkan sesuatu untukmu, maka sisihkanlah benda itu
dan terimalah. Karena jika tidak engkau terima sekarang, jika aku wafat, maka benda itu
akan menjadi harta warisan”. Peristiwa tersebut menjadi petunjuk bahwa dengan hanya
ijab dan kabul tanpa ditindaklanjuti dengan serah terima, hibah belum dianggap
mengikat. Oleh karena itu, Abu Bakar mengingatkan agar dilakukan serah terima
sebelum ia wafat. Karena jika tidak, maka harta yang telah pernah diijab-kabulkan itu
jika ia wafat tidak dapat dianggap hibah, tetapi menjadi harta waris yang akan dibagi
antara seluruh ahli waris. Alasan lain adalah pendapat Umar bin Khattab yang
menegaskan bahwa suatu pemberian belum dianggap pasti dan mengikat sebelum
adanya serah terima Imam Malik berpendapat, hibah sudah dianggap mengikat dengan
semata-mata dengan adanya ijab dan kabul. Jika ijab dan kabul sudah selesai, maka
yang menghibahkan (wahib) tidak lagi dibenarkan untuk mundur atau mencabut
hibahnya., Mundur dari hibah setelah terjadinya akad, termasuk ke dalam pengertian
hadis yang menegaskan, bahwa orang yang mencabut kembali hibahnya atau
mengambil kembali pemberiannya sama dengan orang yang muntah kemudian menelan
kembali muntahannya. Alasan lain dianalogikan dengan praktek wakaf. Kepastian wakaf
tidak tergantung kepada adanya serah terima. Seseorang yang secara tulus
mengikrarkan wakaf, dianggap telah pasti dan tidak boleh mencabutnya kembali.

79
3. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Menurut Rachmad Budiono konsep yang tersebut dalam Pasal 211 KHI tersebut ideal
dan sepadan dengan konsep yang dianut oleh hukum kewarisan adat, yakni bahwa
proses pewarisan dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup. Artinya pemberian-
pemberian dapat diperhitungkan sebagai warisan.(Rachmad Budiono, 1999 : 183)
Dede Ibin, salah seorang hakim Pengadilan Agama menulis bahwa Hibah adalah
pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika
yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada
anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah
tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang
keberatan dengan adanya hibah tersebut. Oleh karenanya sering terjadi sengketa
antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda
dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah)
menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi.
Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta
warisan lagi. Pasal 211 KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang
diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian
“dapat “ dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif (harus), tetapi merupakan salah
satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang
para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian
ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua
ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli
waris yang memperseoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya,
maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara
mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya
diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka
tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka
kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang
kekurangan dari porsinya.
4. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Penarikan hibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 212 KHI menurut Rachmad
Budiono dimaknai bahwa hibah dapat saja ditarik kembali, termasuk hibah kepada

80
selain anak, asalkan penarikan hibah disetujui oleh penerima hibah. Perlu pula
dipersoalkan mengenai hibah yang bendanya langsung diserahkan, misalnya berupa
benda bergerak seperti mobil. Misal A menghibahkan sebuah mobil kepada B dan mobil
tersebut langsung diserahkan. Apabila A di kemudian hari hendak menarik hibahnya,
maka ketika B menyerahkan mobil tersebut, konstruksi hukumnya bukan merupakan
penarikan hibah, melainkan B ganti kedudukan sebagai penghibah. .(Rachmad Budiono,
1999 : 184)
5. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
6. Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di
hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak
bertentangan dengan ketentuan KHI

B. Konsep Hibah dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2008


Perma Nomor 2/2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan kaidah
hukum hibah, yang akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Rukun hibah dan penerimaannya
a. Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan Kabul
b. Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah
c. Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan atau isyarat yang
mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma
d. Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang penghibah
memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah
e. Pengiriman dan penerimaan barang hibah dan shadaqah adalah sama dengan
pernyataan lisan dalam ijab dan Kabul.
f. Penerimaan barang dalam transaksi hibah seperti penerimaan dalam transaksi jual beli
g. Diharuskan ada ijin dari penghibah baik secara tegas atau samar dalam penerimaan
barang hibah.
h. Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah memberi izin kepada penerima
hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah
i. Apabila penghibah telah memberi ijin dengan jelas untuk penerimaan barang hibah,
maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai hibah, baik ditempat
pertemuan kedua belah pihak atau setelah mereka berpisah. Jika izin itu hanya berupa

81
isyarat atau tersamar, hal itu hanya berlaku sepanjang mereka belum berpisah di tempat
itu.
j. Seorang pembeli boleh secara sah memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga,
meskipun ia belum menerima penyerahan barang itu dari penjual dan ia meminta
penerima hibah untuk mengambilnya
k. Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut telah
ada di tangan penerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap tidak diperlukan
penerimaan dan penyerahan kedua kalinya.
l. Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki piutang
terhadap orang yang berhutang dengan syarat orang yang berhutang tidak menolak
pembebasan utang tersebut.
m. Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang lain
padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan syarat
penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut.
n. Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima hibah
meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan.
o. Dalam hal hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah dewasa,
harta yang diberikan sebagai hibah harus diserahkan dan harus diterima oleh anak
tersebut.
p. Hibah terjadi bila seorang anak menerima hibah dari walinya meskipun harta yang
dihibahkan belum diterima atau dititipkan pada pihak ketiga.
q. Suatu hibah yang diberikan kepada seorang anak bisa dinyatakan transaksi hibah telah
terjadi dengan sempurna, bila walinya atau orang yang dikuasakan untuk memelihara
dan mendidik anak itu mengambil hibah tersebut.
r. Jika pemberi hibah adalah seorang anak yang sudah cakap bertindak (mumayiz), maka
transaksi hibah dianggap telah sempurna bila anak itu sendiri yang mengambil langsung
hibah itu, meskipun ia mempunyai seorang wali.
s. Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa
t. Hibah menjadi batal bila hibah tersebut terjadi karena ada paksaan.
2. Menarik Kembali Hibah
a. Penerima hibah menjadi pemilik harta yang dihibahkan kepadanya setelah terjadinya
penerimaan harta hibah.

82
b. Penghibah dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum harta
hibah diserahkan.
c. Jika penghibah melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya setelah transaksi
hibah, berarti ia menarik kembali hibah tersebut.
d. Penghibah dapat menarik kembali hibahnya setelah penyerahan dilaksanakan, dengan
syarat si penerima menyetujuinya.
e. Jika seorang penghibah menarik kembali barang hibahnya yang telah diserahkan tanpa
ada persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa keputusan pengadilan, maka
penghibah adalah orang yang merampas barang orang lain, dan apabila barang itu
rusak atau hilang ketika berada di tangannya, maka ia harus mengganti kerugian
tersebut.
f. Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anak-anaknya, atau
kepada saudara laki-laki atau perempuannya atau kepada anak-anak saudaranya atau
kepada paman bibinya, maka ia tidak berhak menarik kembali hibah itu setelah transaksi
hibah.
g. Jika suami atau istri tatkala masih dalam ikatan pernikahannya saling memberi hibah
pada orang lain, mereka tidak berhak menarik kembali hibahnya masing-masing setelah
adanya penyerahan harta.
h. Jika sesuatu diberikan sebagai pengganti harta hibah dan diterima oleh penghibah,
maka penghibah itu tidak berhak menarik kembali hibahnya.
i. Jika sesuatu ditambahkan dan menjadi bagian yang melekat pada harta hibah, maka
hibah itu tidak boleh ditarik kembali. Tetapi suatu penambahan yang tidak menjadi
bagian dari suatu hibah, tidak menghalangi dari kemungkinan penarikan kembali.
3. Hibah Orang yang sedang Sakit Keras
a. Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh kekayaannya pada
orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu menyerahkan hibah itu, maka hibah
tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai harta peninggalan) tidak mempunyai hak
untuk campur tangan dengan barang peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan
meninggal.
b. Jika seseorang yang harta peninggalannya habis untuk membayar utang dan orang
tersebut waktu sakit keras menghibahkan hartanya kepada ahli warisnya atau kepada
orang lain, lalu menyerahkan dan kemudian meninggal, maka kreditur berhak

83
mengabaikan penghibahan tersebut dan memasukkan barang yang dihibahkan tadi
untuk pembayaran utangnya.
4. Hibah yang berhubungan dengan warisan
a. Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan atau seorang istri yang tidak
mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh kekayaannya kepada istri
atau suami, ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras dan lalu
menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah dan bait al mal tidak mempunyai hak
untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah seorang dari mereka yang
meninggal.
b. Jika seseorang memberi hibah kepada salah seorang ahli warisnya ketika orang itu
sedang menderita sakit keras dan kemudian meninggal, hibah itu tidak sah kecuali ada
persetujuan dari ahli waris yang lain. Tetapi jika hibah itu diberi dan diserahkan kepada
orang lain yang bukan ahli warisnya dan hibah itu tidak melebihi sepertiga harta
peninggalannya, maka hibah itu adalah sah. Tetapi bila hibah itu melebihi sepertiganya
dan para ahli waris tidak menyetujui hibah tersebut, hibah tersebut masih sah, untuk
sepertiga dari seluruh harta peninggalan dan orang yang diberi hibah harus
mengembalikan kelebihannya dari sepertiga harta itu.

84
BAB VII
PEMBAGIAN HARTA WARIS

B. Ketentuan dalam Pembagian Waris Islam


Membagi harta warisan menurut ketentuan hukum waris Islam memerlukan cara yang unik
sebab angka yang akan dihadapi adalah angka pecahan dari bagian ahli waris yang telah
ditentukan dalam Quran dan sunnah Rosul. Seperti telah disebutkan di muka angka pecahan
tersebut terdiri dari 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Untuk memudahkan perhitungan berapa bagian
masing-masing ahli waris yang ada, perlu dicari angka persekutuan terkecil.
Perhitungan bagian masing-masing ahli waris dalam hukum kewarisan Islam mengenal
beberapa istilah penting dalam kalkulasinya, yaitu( Basyir, 2001:23-27)
1. Asal masalah (am)
Asal masalah adalah angka persekutuan terkecil diantara penyebut pecahan bagian ahli
waris. Dalam perhitungan matematika sederhana, asal masalah sering dikenal dengan
istilah Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK). Dalam terminologi fikih macam-macam
penyebutan asal masalah adalah sebagai berikut :
a. Jika faktor penyebut berlainan, yang satu tidak dapat untuk membagi yang lain dan
tidak mempunyai pembagi persekutuan, misalnya angka pecahan ½ dan 1/3, maka
disebut mubayanah atau tabayun. Dalam hal ini cara mencari asal masalahnya
dengan jalan mengalikan faktor penyebut yang satu dengan yang lain. Misalnya
apabila angka pecahan yang ada terdiri atas ½ dan 1/3, asal masalahnya adalah
2x3=6. Apabila angka pecahannya terdiri atas 2/3 dan 1/8, asal masalahnya adalah
3x8=24
b. Jika faktor penyebut berlainan, tetapi yang satu tepat dibagi yang lain, misalnya
angka pecahan 2/3 dan 1/6, maka disebut mudakhalah atau tadakhul. Dalam hal ini
asal masalahnya diambil dari faktor penyebut yang terbesar. Apabila angka
pecahan yang adaadalah 2/3 dan 1/6, maka asal masalahnya = 6
c. Jika faktor penyebut berlainan, tetapi mempunyai pembagi persekutuan, misalnya
angka pecahan 1/6 dan 1/8, maka disebut muwaqah atau tawafuq. Dalam hal ini
untuk mencari asal masalahnya harus diketahui dulu angka pembagi
persekutuannya, yaitu selalu 2, kemudian dilakukan perkalian ½ x salah satu
penyebut x penyebut yang lain. Apabila angka pecahan yang ada ialah ¼ dan 1/6,

85
asal masalahnya adalah ½ x 4 x 6 = 12. Apabila angka pecahan yang ada adalah
1/6 dan 1/8, asal masalahnya adalah ½ x 6 x 8 = 24
d. Jika faktor penyebut bersamaan, misalnya ½ dan ½, mereka disebut mumatsalah
atau tamatsu, dan asal masalahnya diambil dari salah satu faktor penyebut yang
ada.
2. Aul
Apabila terjadi jumlah bagian ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, misalnya
asal masalah 24, tetapi jumlah bagian ahli waris adalah 27, maka inilah yang dimaksud
dengan aul. Aul berasal dari kata al-aul yang berarti bertambah. Dalam ilmu hukum
kewarisan Islam, istila aul diartikan sebagai bagian-bagian yang harus diterima ahli
waris lebih banyak dari asal masalah yang telah ditentukan. Apabila dalam pembagian
harta warisan di antara para ahli waris dzawil furud menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut
angka pembilang. Hal ini dapat disamakan dengan orang yang dinyatakan jatuh pailit.
Apabila harta bendanya tidak cukup untuk membayar semua hutang, para kreditur
hanya akan menerima pembayaran sebanyak harta yang ada. Apabila kreditur lebih dari
seorang, semua akan menerima pengembalian hutang dari harta sesuai dengan
perbandingan piutang mereka.
3. Raad
Terminologi raad berasal dari kata ar-raddu yang diartikan sebagai mengembalikan,
Dalam ilmu hukum kewarisan Islam, raad berarti membagi sisa harta waris kepada ahli
waris menurut pembagian masing-masing. Apabila dalam pembagian harta warisan di
antara para ahli waris dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari
pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta
warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli
waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka

86
Secara praktis, penggunaan ketiga komponen kalkulasi bagian masing-masing ahli waris
tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Penerapan Aul
a b c d
1 Bagian am=24
masing-
masing
2 Janda : 1/8 3 3/27 X Harta waris
3 Ayah : 1/6 4 4/27 X Harta waris
4 Ibu : 1/6 4 4/27 X Harta waris
5 2 Anak 2/3 16 16/27 X Harta waris
Perempuan :
6 27

Langkah 1 : Urutkan masing-masing ahli waris

Lihat : kolom a2 s.d. a5

Langkah 2: Tentukan bagian masing-masing ahli waris sesuai kedudukan mereka


sebagai dzawil furudh

Lihat : kolom b2 s.d.b5

Langkah 3 : Tentukan asal masalah dengan cara menemukan kelipatan


persekutuan terkecil dari basgian masing-masing ahli waris

Lihat : kolom c1

Cara : KPK dari 1/8, 1/6, 1/6, dan 2/3 adalah 24. Maka, asal masalah
(am) = 24

Langkah 4 : Asal masalah kemudian dikalikan dengan bagian masing-masing ahli


waris

Lihat : kolom c2 s.d. c5

Cara :

Kolom c2 : 24 x 1/8 = 3

Kolom c3 : 24 x 1/6 = 4

Langkah 5: Jumlahkan seluruh bagian dari langkah 4

87
Lihat : kolom c6

Cara : 3+4+4+16 = 27

Langkah 6 : Perhatikan hasil dari langkah 5 dan asal masalah !

Dalam kasus ini, terlihat bahwa asal masalah > c6. Kondisi ini
menunjukkan telah terjadi Aul.

Langkah 7 : Tentukan bagian masing-masing ahli waris yang telah disesuakan


dengan asal masalah dan diterapkan ketentuan aul

Lihat : kolom d2 s.d. d5

Cara : Pembilang : hasil langkah 4


Penyebut : hasil langkah 5
Janda : 3
27

C. Bagian Masing-masing Ahli Waris


Pembagian harta waris dalam hukum kewarisan Islam dilakukan dengan membagi sesuai
kelompok-kelompok Ahli waris yag telah ditentukan. Kelompok-kelompok ahli waris tersebut
terdiri dari:
1. Menurut hubungan darah:
a. Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan
kakek
b. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
dan nenek
2. Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari : duda atau janda
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
ayah, ibu, janda atau duda.

Selain pengelompokan berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan, dalam praktik
pembagian harta waris, Ahli waris juga dikelompokkan berdasarkan jumlah bagian yang berhak
diterima, yaitu:

1. Ahli waris Dzawil Furudh


Adalah ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya secara
pasti. Ahli waris yang masuk dalam kelompok ini mendapatkan bagian misalnya ½, 1/6,
1/8, dan lain-lain.
88
2. Ahli waris Ashabah
Ahli waris yang bagiannya tdak ditentukan. Ahi waris yang masuk dalam kelompok ii
akan menerima bagian sisa setelah hartwa waris dibagikan kepada masing-masing ahli
waris dzawil furudh yang berhak.

Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, secara rinci, bagian masing-masing Ahli Waris
adalah sebagai berikut:

Anak Perempuan Anak Laki-laki


(AP) (AL)
½ Bila hanya 1 orang Ashabah
Ashabah
2/3 Bila 2 orang atau lebih Bila bersama Anak perempuan
(2 :1)
Ashabah
Bila bersama Anak Laki-laki
(2 :1)

Janda Duda
(J) (D)
Bila Pewaris tidak meninggalkan Bila Pewaris tidak
1/4 1/2
anak meninggalkan anak
Bila Pewaris meninggalkan
1/8 Bila Pewaris meninggalkan anak 1/4
anak

Ayah Ibu
(A) (I)
Bila Pewaris tidak
Bila Pewaris tidak meninggalkan meninggalkan anak/tidak
ashabah 1/3
anak meninggalkan 2 org saudara
atau lebih
Bila Pewaris meninggalkan
1/6 Bila Pewaris meninggalkan anak 1/6
anak/2 org saudara atau lebih
sesudah diambil bagian
janda atau duda bila bersama
1/3 sisa dengan ayah (tidak Pewaris
meninggalkan anak atau 2
saudara atau lebih)

Saudara Perempuan Saudara Laki-laki


(SP) (SL)
½ Bila hanya 1 orang Ashabah
Ashabah Bila bersama Saudara
2/3 Bila 2 orang atau lebih
(2 :1) perempuan
Ashabah
Bila bersama Saudara Laki-laki
(2 :1)

89
Ketentuan khusus untuk bagian Saudara:
1. Tidak membedakan kedudukan saudara kandung atau seayah atau seibu
2. Kedudukan Saudara akan terhijab oleh Ayah, Anak dan keturunannya (cucu). Sehingga,
bila Pewaris meninggalkan Ayah dan/ atau Anak (Perempuan dan /atau Laki-laki), maka
Saudara tidak mendapat bagian warisan

D. Perhitungan Harta Waris

Perhitungan Harta Waris dilakukan dengan memperhatikan ketentuan berikut:

HP – (BP + BJ + HT + WS)
Harta Waris
= atau
(HW)
(HBw + ½ HBr+P) – (BP + BJ + HT + WS)

Keterangan:
HW = harta warisan
HP = harta peninggalan
HBw = Harta Bawaan sebelum menikah
HBr = Harta Bersama setelah dan selama menikah
BP = biaya pengobatan/perawatan selama sakit
BJ = biaya pengurusan jenazah
H = hutang pribadi
P = piutang
W = wasiat/pemberian untuk kerabat

Dalam praktik, perhitungan harta waris dilakukan dengan cara sebagai berikut:

90
Contoh Pembagian Harta Waris 1
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan Harta Bawaan sebesar Rp.
50.000.000,- harta bersama sebesar Rp. 200.000.000,- Almarhum memiliki piutang sebesar
Rp.50.000.000,-. Biaya perawatan Jenazah dan Rumah Sakit menghabiskan dana sebesar
Rp.20.000.000,- . Pewaris memiliki hutang Kartu Kredit yang belum dilunasi sebesar
Rp.60.000.000,-
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp. 200.000.000,-
Harta Bawaan = Rp. 50.000.000,-
Piutang = Rp. 50.000.000,-
Biaya Jenazah dan = Rp. 20.000.000,-
RS
Hutang Kartu Kredit = Rp. 60.000.000,-

Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama + Piutang) – (Biaya RS + Jenazah +
Hutang)
= ( Rp.50.000.000,- + Rp. 100.000.000,- + Rp. 50.000.000,-) – (Rp
20.000.000,- + Rp. 60.000.000,-)
= ( Rp.200.000.000,-) – (Rp. 80.000.000,-)
= Rp. 120.000.000,-

Contoh Perhitungan Harta Waris 2


Seorang pewaris meninggal dunia dengan klasifikasi harta sebagai berikut :
a. Tabungan sebelum menikah Rp 150.000.000
b. Mahar pada saat menikah Rp 25.000.000
c. Rumah yang dibeli sesudah menikah Rp 500.000.000
d. Deposito sesudah menikah Rp 80.000.000
e. Bagi hasil dari tabungan dan deposito Rp 10.000.000
f. Mobil yang dibeli sesudah menikah Rp 100.000.000
g. Tanah dari warisan orang tua pewaris Rp 100.000.000,-
Biaya yang dikeluarkan :
a. Biaya RS Rp 100.000.000,-
b. Biaya jenazah Rp 10.000.000,-
c. Hutang pribadi Rp 210.000.000,-

91
Cara Perhitungan
Harta Waris = ( Harta Bawaan + ½ harta Bersama ) – (Biaya-biaya)
= ((Tabungan sebelum menikah + Mahar + tanah warisan) +
½(Rumah+deposito+Bagi hasil+mobil)) – (Biaya RS + Biaya
Jenazah+Hutang Pribadi)
= ((Rp.150.000.000,- + Rp.25.000.000,- + Rp.100.000.000,-) + ½
(Rp.500.000.000,- + Rp.80.000.000,- + Rp.10.000.000,- + Rp.100.000.000,-)
– (Rp.100.000.000,- + Rp.10.000.000,- + Rp.210.000.000,-)
= (Rp.275.000.000,- + ½ Rp.690.000.000,-) – (Rp.320.000.000,-)
= (Rp.275.000.000,- + Rp.345.000.000,-) – (Rp.320.000.000,-)
= Rp. 300.000.000,-

Contoh Perhitungan Harta Waris 3 (dengan variasi adanya Hutang Bersama)


Seorang pewaris meninggal dunia dengan klasifikasi harta sebagai berikut :
a. Tabungan sebelum menikah Rp 200.000.000
b. Rumah yang dibeli sesudah menikah Rp 700.000.000
c. Deposito sesudah menikah Rp 100.000.000
d. Tanah dari warisan orang tua pewaris Rp 100.000.000,-
Biaya yang dikeluarkan :
a. Biaya RS Rp 100.000.000,-
b. Biaya jenazah Rp 10.000.000,-
c. Hutang pribadi Rp 50.000.000,-
d. Hutang cicilan mobil setelah menikah Rp. 200.000.000,-
Cara Perhitungan
Harta Bersama = Seluruh Harta Bersama – Hutang atas Harta Bersama
= (Rumah sesudah menikah + Deposito sudah menikah)- hutang cicilan mobil
setelah menikah
= (Rp.700.000.000,- + Rp. 100.000.000,-) – Rp. 200.000.000,-
= Rp.600.000.000,-

Harta Waris = ( Harta Bawaan + ½ harta Bersama ) – (Biaya-biaya)


= (Tabungan sebelum menikah +Tanah Warisan+ ½ Harta Bersama) – (Biaya
RS + Biaya Jenazah+Hutang Pribadi)
= (Rp.200.000.000,-+Rp.100.000.000,-+ ½ Rp.600.000.000,- ) –
(Rp.100.000.000,- + Rp.10.000.000,- + Rp.50.000.000,-)
= (Rp.300.000.000,- + ½ Rp.600.000.000,-) – (Rp.160.000.000,-)
= (Rp.300.000.000,- + Rp.300.000.000,-) – (Rp.160.000.000,-)
= Rp. 440.000.000,-

92
E. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli waris Langsung
Ahli waris langsung adalah mereka yang langsung berhak menerima bagian waris bila telah
memenuhi syarat dan kedudukannya tidak dapat ditutup oleh ahli waris lainnya. Termasuk dala
kelompok ahli waris langsung adalah:
1. Anak, baik perempuan maupun laki-laki
2. Janda atau Duda yang ditinggalkan
3. Orang tua, baik Ayah maupun Ibu
Dalam praktik perhitungan, maka pembagian harta waris pada ahli waris langsung adalah
sebagai berikut:
Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 1 ( dengan 1 Anak Perempuan)
Ahmad meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli waris Janda, Ayah, Ibu, 1 Anak Perempuan.
Harta Bawaan yang dimiliki sebelum menikah sebesar Rp. 40.000.000,- , Harta bersama sebesar Rp.
120.000.000,-, dan piutang sebesar Rp. 2.000.000,- . Setelah meninggal, datang seorang rekan
bisnis Ahmad yang membawa bukti tertulis bahwa Ahmad masih memiliki hutang pribadi yang belum
dilunasi padanya sebesar Rp. 9.000.000,- Untuk biaya pengurusan jenazah, dibutuhkan dana
sebesar Rp. 1.000.000,- Hitunglah bagian masing-masing Ahli Waris !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.120.000.000,-
Harta Bawaan = Rp. 40.000.000,-
Piutang = Rp.2.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.1.000.000,-
Hutang = Rp.9.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama+Piutang) – (Biaya Jenazah + Hutang
pribadi)
= (Rp.40.000.000,- + Rp.60.000.000,- + Rp.2.000.000,-) – (Rp.1.000.000,-
+Rp.9.000.000,-)
= Rp.92.000.000,-

Am = 24
J 1/8 3 3/23 x Rp.92.000.000,- = Rp.12.000.000,-
A 1/6 4 4/23 x Rp.92.000.000,- = Rp.16.000.000,-
I 1/6 4 4/23 x Rp.92.000.000,- = Rp. 16.000.000,-
1 AP 1/2 12 12/23 x Rp.92.000.000,- = Rp.48.000.000,-
23 Rp.92.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris:
Janda = ½ HBr + Rp.12.000.000,-
= Rp.60.000.000,- + Rp.12.000.000,-

93
= Rp.72.000.000,-
Ayah = Rp.16.000.000,-
Ibu = Rp.16.000.000,-
AP = Rp.48.000.000,-
Contoh Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 2 (dengan 2 Anak Perempuan)
Seorang Pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli waris janda, 2 anak perempuan, ayah, dan ibu.
Pewaris mempunyai hutang pribadi pertama berjumlah Rp.5.000.000,- dan hutang pribadi kedua sebesar
Rp.15.000.000,- Biaya pengurusan jenazah Rp. 2.000.000,- dan biaya perawatan selama sakit Rp. 8.000.000,-.
Hitunglah bagian masing-masing ahli waris apabila pewaris meninggalkan harta bawaan berupa tabungan
sebesar Rp. 100.000.000,- dan jumlah harta bersama adalah Rp. 400.000.000,- !
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp. 400.000.000,-
Harta Bawaan = Rp. 100.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp. 2.000.000,-
Biaya Perawatan Rp. 8.000.000,-.
Hutang pribadi 1 = Rp.5.000.000,-.
Hutang pribadi 2 Rp.15.000.000,-.
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya Perawatan + Jenazah + Hutang
pribadi 1 + Hutang pribadi 2)
= (Rp.100.000.000,- + Rp. 200.000.000,-) – (Rp.8.000.000,-+ Rp.2.000.000,-
+Rp.5.000.000,- + Rp.15.000.000,-)
= Rp.270.000.000,-
=
Am = 24
J = 1/8 3 3/27 x Rp.270.000.000,- = Rp.30.000.000,-
A = 1/6 4 4/27 x Rp.270.000.000,- = Rp.40.000.000,-
I = 1/6 4 4/27 x Rp.270.000.000,- = Rp.40.000.000,-
2 AP = 2/3 16 16/27 x Rp.270.000.000,- = Rp.160.000.000,-
27 Rp.270.000.000,-
160
@ AP = = Rp.80.000.000,-
2
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris =
Janda = ½ HBr + Rp.30.000.000,-
= Rp.200.000.000,- + Rp.30.000.000,-
= Rp.230.000.000,-
Ayah = Rp.40.000.000,-
Ibu = Rp.40.000.000,-
@ AP = Rp.80.000.000,-

94
Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 3 (dengan 1 Anak Laki-laki)
Seorang istri meninggal dunia, meninggalkan seorang Duda, dan kedua orang tua. Dari hasil
perkawinannya, Pewaris memiliki 1 orang Anak Laki-laki. Harta Bersama yang berhasil dikumpulkan
selama perkawinan sebesar Rp. 100.000.000,- Sebelum menikah, Pewaris sudah memiliki tabungan
sebesar Rp. 15.000.000,- Dari catatan keuangannya, ditemukan Piutang yang belum ditagih sebesar
Rp. 10.000.000,- Selama sakit, biaya perawatan Rumah sakit yang harus dibayarkan sebesar Rp.
12.000.000,-, sedangkan biaya pengurusan jenazah mencapai Rp. 3.000.000,-. Hitunglah bagian
masing-masing Ahli waris yang berhak!

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.100.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.15.000.000,-
Piutang = Rp.10.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.3.000.000,-
Biaya RS = Rp.12.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama+Piutang) – (Biaya RS + Jenazah)
= (Rp.15.000.000,- +Rp.50.000.000,-+ Rp.10.000.000,-) – (Rp.12.000.000,-
+Rp.3.000.000,-)
= Rp.60.000.000,-
=
Am = 12
D = ½ 3 3/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.15.000.000,-
A = 1/6 2 2/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
1 AL = ash 5* 5/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.25.000.000,-
12 Rp.60.000.000,-
*5= Am-  5
(bag.D+bag.A+bag.I)
*5 = 12-(3+2+2)
*5 = 12-7
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris :
Duda = ½ Hbr + Rp.15.000.000,-
= Rp.50.000.000,- + Rp.15.000.000,-
= Rp.65.000.000,-
Ayah = Rp.10.000.000,-
Ibu = Rp.10.000.000,-
AL = Rp.25.000.000,-

95
Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 4 (dengan kombinasi Anak Perempuan dan Anak Laki-
laki)
Seorang Istri meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli Waris Duda, Ayah, Ibu, 2 Anak Laki-laki,
dan 1 Anak Perempuan. Diketahui jumlah harta bawaan pewaris adalah Rp. 10.000.000,-, harta
bersama berjumlah Rp. 120.000.000,-. Hutang yang ditinggalkan sebesar Rp. 9.000.000,-,
sedangkan biaya pengurusan jenazah adalah Rp. 1.000.000,-. Hitunglah bagian masing-masing Ahli
waris yang berhak !
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.120.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.10.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.1.000.000,-
Hutang = Rp.9.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya Jenazah + Hutang )
= (Rp.15.000.000,- + Rp.60.000.000,-) – (Rp.1.000.000,- + Rp.9.000.000,-)
= Rp.60.000.000,-

Am = 12
D = ¼ 3 3/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.15.000.000,-
A = 1/6 2 2/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
2 AL Rp.60.000.000,-
ash 5 5/12 x = Rp.25.000.000,-
1AP
12 Rp.60.000.000,-

2 AL + 1 AP = Rp.60.000.000,-
4 AP + 1 AP = Rp.60.000.000,-
5 AP = Rp.60.000.000,-
1 AP = Rp.12.000.000,-
1AL = 2 x 1 AP
1AL = 2 x Rp.12.000.000,-
1 AL = Rp.24.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris =
Duda = ½ HBr + Rp.15.000.000,-
= Rp.60.000.000,- + Rp.15.000.000,-
= Rp.75.000.000,-
Ayah = Rp.10.000.000,-
Ibu = Rp.10.000.000,-
@ AL = Rp.24.000.000,-
AP = Rp.12.000.000,-

96
Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 5 (dengan Ahli Waris Janda, Ayah, dan Ibu)
Seorang suami meninggal dunia meninggalkan seorang Janda. Dari hasil perkawinannya, Pewaris
tidak memiliki anak. Pada saat Pewaris meninggal dunia, kedua orang tuanya masih hidup. Harta
Bersama yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp. 80.000.000,- Pewaris memiliki hutang pribadi pada
tetangganya sebesar Rp. 12.000.000,- dan piutang sebesar Rp. 4.000.000,- Untuk biaya Rumah
Sakit selama Pewaris sakit, dibutuhkan biaya sebesar Rp. 6.000.000,- Biaya pengurusan jenzah
mencapai Rp. 2.000.000,- Hitunglah bagian masing-masing Ahli Waris yang berhak !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.80.000.000,-
Piutang = Rp.4.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.2.000.000,-
Biaya RS = Rp.6.000.000,-
Hutang pribadi = Rp.12.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (½ Harta Bersama+Piutang) – (Biaya RS + Jenazah + Hutang pribadi)
= (Rp.40.000.000,- + Rp.4.000.000,-) –(Rp.6.000.000,-+Rp.2.000.000,-
+Rp.12.000.000,-)
= Rp.24.000.000,-

Am = 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp.24.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
A = Ash 6 6/12 x Rp.24.000.000,- = Rp.12.000.000,-
*
I = 1/3 (12-3) 3 3/12 x Rp.24.000.000,- = Rp.6.000.000,-
12 Rp.24.000.000,-
Cat:
*
= am – Bagian Janda
Jadi, bagian masing-masing Ahli waris :
J = ½ HBr + Rp.6.000.000,-
= Rp.40.000.000,- + Rp.6.000.000,-
= Rp.46.000.000,-
Ayah = Rp.12.000.000,-
Ibu = Rp.6.000.000,-

97
Contoh Soal Perhitungan Ahli Waris Langsung 6 (dengan Ahli waris Duda, Ayah, dan Ibu)
Aminah meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris Duda, Ayah, dan Ibu. Dari hasil
perkawinannya, Aminah dan suaminya tidak memiliki anak. Sebelum menikah, Aminah memiliki
tabungan di Bank Syariah sebesar Rp.50.000.000,- Setelah menikah, Aminah dan suami berhasil
mengumpulkan Harta Bersama sebesar Rp. 300.000.000,- Aminah meninggalkan hutang pribadi
yang belum dilunasi sebesar Rp. 70.000.000,-. Biaya pengurusan Jenazah sebesar Rp. 1.000.000,-
sedangkan biaya perawatan selama Aminah sakit sebelum meninggal dunia sebesar Rp 4.000.000,-
Aminah meninggalkan wasiat untuk anak angkatnya sebesar Rp. 5.000.000,-. Hitunglah bagian
masing-masing AW !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.300.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.50.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.1.000.000,-
Biaya Perawatan = Rp.4.000.000,-
Hutang pribadi = Rp.70.000.000,-
Wasiat = Rp.5.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan+½ Harta Bersama) – (Biaya Perawatan + Jenazah + Hutang
pribadi)
= (Rp.50.000.000,- + Rp.150.000.000,-) –(Rp.4.000.000,-+Rp.1.000.000,-
+Rp.70.000.000,-)
= Rp.125.000.000,- - Rp.5.000.000,- Wasiat dapat ditunaikan karena , 1/3
= Rp.120.000.000
Am = 6
D = 1/2 3 3/6 x Rp.120.000.000 = Rp.60.000.000,-
A = Ash 2 2/6 x Rp.120.000.000 = Rp.40.000.000,-
*
I = 1/3 (6-3) 1 1/6 x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
6 Rp.120.000.000,-
Cat:
*
= am – Bagian Duda

Jadi,bagian masing-masing Ahli Waris yang berhak:


D = ½ HBr + Rp.60.000.000,-
= Rp.150.000.000,- + Rp.60.000.000,-
= Rp.210.000.000,-
Ayah = Rp.40.000.000,-
Ibu = Rp.20.000.000,-

98
F. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli Waris Saudara
Dalam praktik, perhitungan pembagian harta waris untuk Saudara dilakukan sebagai berikut:
Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan 1 Saudara Perempuan)
Seorang Pewaris selama pernikahannya tidak memiliki anak.Pada saat meninggal dunia, Pewaris
meninggalkan ahli waris seorang Duda, Ibu, dan 1 Saudara Perempuan. Sebelum menikah, Pewaris
memiliki tabungan sebesar Rp.50.000.000,- dan selama menikah berhasil mengumpulkan harta
bersama sebesar Rp.1.000.000.000,- Pewaris masih memiliki hutang kepada rekan bisnisnya
sebesar Rp.75.000.000,- dan hutang di bank sebesar Rp.25.000.000,- Selama sakit, biaya Rumah
Sakit yang dibutuhkan mencapai Rp. 40.000.000,- dan Pengurusan jenazah membutuhkan biaya Rp.
5.000.000,- Sebelum meninggal dunia, Pewaris pernah meninggalkan wasiat kepada asisten
pribadinya perhiasan seharga Rp. 5.000.000,- Hitunglah bagian masing-masing Ahli waris yang
berhak.
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.1.000.000.000,-
Harta Bawaan = Rp. 50.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.5.000.000,-
Biaya RS = Rp.40.000.000,-
Hutang 1 = Rp.75.000.000,-
Hutang 2 Rp.25.000.000,-
Wasiat = Rp.5.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya RS + Jenazah + Hutang1 +
Hutang 2)
= (Rp.50.000.000,- + Rp.500.000.000,-) – (Rp.5.000.000,- + Rp.5.000.000,- +
Rp.75.000.000,-+Rp.25.000.000,-)
= Rp.405.000.000,- - Rp.5.000.000,- Wasiat dapat ditunaikan karena < 1/3
= Rp.400.000000,-
Am = 6
D = ½ 3 3/8 x Rp.400.000000,- = Rp.150.000.000,-
I = 1/3 2 2/8 x Rp.400.000000,- = Rp.100.000.000,-
1 SP = 1/2 3 3/8 x Rp.400.000000,- = Rp.150.000.000,-
8 Rp.400.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris :
Duda = ½ HBr + Rp.150.000.000,-
= Rp.500.000.000,- + Rp.150.000.000,-
= Rp.650.000.000,-
Ibu = Rp.100.000.000,-
SP = Rp.150.000.000,-

99
Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan 2 Saudara Perempuan)
Rudi meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli Waris seorang Janda dan 2 orang Saudara
Perempuan. Dari pernikahannya, Rudi dan istri tidak dikaruniai anak. Sebelum menikah, Rudi
memiliki tabungan sebesar Rp.30.000.000,- dan selama menikah, bersama istrinya Rudi berhasil
memiliki sebuah rumah seharga Rp.500.000.000,- dan kendaraan seharga Rp. 300.000.000,-
Sebelum meninggal, Rudi sempat dirawat di RS yang membutuhkan biaya sebesar Rp. 55.000.000,-
dan saat meninggal dunia, biaya pengurusan jenazah mencapai Rp. 5.000.000,- Setelah meninggal
dunia, diketahui bahwa Rudi masih memiliki hutang kartu kredit yang belum dilunasi sebesar Rp.
40.000.000,- Hitunglah baian masing-masing ahli waris yang berhak
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama 1 = Rp.500.000.000,-
Harta Bersama 2 = Rp. 300.000.000,-
Harta Bawaan = Rp. 30.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.5.000.000,-
Biaya RS = Rp.55.000.000,-
Hutang = Rp.40.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ (Harta Bersama1 + Harta Bersama 2)) – (Biaya RS +
Jenazah + Hutang)
= (Rp.30.000.000,- + ½ (Rp.500.000.000,-+Rp.300.000.000,-)) – (Rp.55.000.000,-
+ Rp.5.000.000,- + Rp.40.000.000,-)
= Rp.330.000.000,-
Am = 12
J = 1/4 3 3/11 x Rp.330.000.000,- = Rp.90.000.000,-
2 SP = 2/3 8 8/11 x Rp.330.000.000,- = Rp.240.000.000,-
11 Rp.330.000.000,-

Rp.240.000.000,-
@SP =
2
= Rp.120.000.000,-

Janda = ½ HBr + Rp.90.000.000,-


= Rp.400.000.000,- Rp.90.000.000,-
= Rp.490.000.000,-

100
Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan 1 Saudara Laki-laki)
Seorang suami meninggal dunia meninggalkan ahli waris seorang janda, ibu, dan 1 Saudara laki-laki.
Harta Bawaan yang dimiliki sebelum menikah berupa tabungan sebesar Rp. 20.000.000,- dan
kendaraan seharga Rp. 80.000.000,- Harta bersama yang dikumpulkan selama menikah sebesar Rp.
400.000.000,-. Di saat yang sama, Pewaris masih memiliki hutang pribadi sebesar Rp. 30.000.000-.
Biaya rumah sakit selama Pewaris sakit sebesar Rp. 20.000.000,-. Untuk pengurusan jenazah, biaya
yang dikeluarkan sebesar Rp. 10.000.000,- . Hitung bagian masing-masing AW yang berhak!

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.400.000.000,-
Harta Bawaan 1 = Rp.20.000.000,-
Harta Bawaan 2 = Rp.80.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp. 10.000.000,-
Biaya RS = Rp. 20.000.000,-
Hutang pribadi = Rp.30.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan 1+Harta Bawaan 2 + ½ Harta Bersama) – (Biaya RS + Jenazah
+ Hutang pribadi)
= ( Rp.20.000.000,- + Rp. 80.000.000,- + Rp. 200.000.000,-) – (Rp 20.000.000,- +
Rp.10.000.000,- + Rp.30.000.000,-)
= Rp. 240.000.000,-

Am = 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp. 240.000.000,- = Rp.60.000.000,-
I = 1/3 4 4/12 x Rp. 240.000.000,- = Rp.80.000.000,-
1 SL = ash 5 5/12 x Rp. 240.000.000,- = Rp.100.000.000,-
12 Rp.240.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris yang
berhak:
Janda = ½ HBr + Rp. 60.000.000,-
= Rp. 200.000.000,- + Rp. 60.000.000,-
= Rp. 260.000.000,-
Ibu = Rp.80.000.000,-
SL = Rp.100.000.000,-

101
Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan kombinasi Saudara Perempuan dan Saudara
Laki-laki)
Seorang Istri meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris Duda, Ibu, 2 Saudara Perempuan dan
1 Saudara Laki-laki . Harta Bawaan berupa perhiasan sebesar Rp. 50.000.000,- dan Harta Bersama
selama menikah sebesar Rp. 500.000.000,- Hutang pribadi yang ditinggalkan sebesar
Rp.100.000.000,-Selama sakit, biaya RS yang dibutuhkan sebesar Rp.50.000.000,- Biaya
pengurusan jenazah sebesar Rp. 5.000.000,- dan meninggalkan wasiat untuk sebuah yayasan
sebesar Rp. 25.000.000,-. Hitung bagian para ahli waris!

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.500.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.50.000.000,-
Biaya RS = Rp. 50.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.5.000.000,-
Hutang pribadi = Rp.100.000.000,-
Wasiat = Rp.25.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya RS + Biaya Jenazah + Hutang
pribadi )
= (Rp.50.000.000,- + Rp.250.000.000,-) – (Rp.50.000.000,- + Rp.5.000.000,-
+Rp.100.000.000,-)
= Rp. 145.000.000,- - Rp. 25.000.000,- Wasiat dapat ditunaikan karena < 13
= Rp.120.000.000,-

Am = 6
D = ½ 3 3/6 x Rp.120.000.000,- = Rp. 60.000.000,-
I = 1/6 1 2/6 x Rp.120.000.000,- = Rp.20.000.000,-
2 SP Rp.120.000.000,-
ash 2 2/6 x = Rp.40.000.000,-
1 SL
6 Rp. 120.000.000,-

2 SP + 1 SL = Rp.40.000.000,-
1 SL + 1SL = Rp.40.000.000,-
2 SL = Rp.40.000.000,-
1 SL = Rp.20.000.000,-
1 SP = 1 SL : 2
= Rp.10.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris yang berhak:
Duda = ½ HBr + Rp. 60.000.000,-
= Rp.250.000.000,- + Rp. 60.000.000,-
= Rp.310.000.000,-
Ibu = Rp.20.000.000,-
102
SP = Rp.10.000.000,-
SL = Rp.20.000.000,-

Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan kondisi Saudara terhijab oleh Anak)
A meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli Waris yaitu Duda, 1 orang Anak Laki-laki, 1 orang
Saudara Laki-laki, dan Ibu. Harta Bersama dengan suaminya semasa hidup terhitung sebesar Rp.
80.000.000,- sedangkan Harta Bawaan sebelum menikah adalah Rp.10.000.000,- Selama sakit,
biaya yang dibutuhkan untuk perawatan sebesar Rp. 12.000.000,- dan Biaya pengurusan jenazah
sebesar Rp. 2.000.000,- Pewaris meninggalkan wasiat untuk sahabat dekatnya sebesar Rp
15.000.000,00. Hitunglah bagian masing-masing Ahli Waris yang berhak !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.80.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.10.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.2.000.000,-
Biaya Perawatan = Rp.12.000.000,-
Wasiat = Rp.15.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya Perawatan + Jenazah)
= ( Rp.10.000.000,- + Rp.40.000.000,-) – (Rp.12.000.000,-+ Rp.2.000.000,-)
= Rp.36.000.000,- - Rp.12.000.000,- Wasiat hanya ditunaikan sampai batas
13 karena melebihi ketentuan maksimal
= Rp.24.000.000,-
Am = 12
D = ¼ 3 3/12 x Rp.24.000.000,- = Rp.6.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.24.000.000,- = Rp.4.000.000,-
1 AL = Ash 7 7/12 x Rp.24.000.000,- = Rp.14.000.000,-
*
1 SL = X 12 Rp.24.000.000,-

Cat:
*
SL = X = SL tertutup kedudukannya karena terhalang oleh Anak Laki-laki
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris :
Duda = ½ HBr+ Rp.6.000.000,-
Rp.40.000.000,- + Rp.6.000.000,-
Rp.46.000.000,-
Ibu = Rp.4.000.000,-
AL = Rp.14.000.000,-
SL = terhijab

103
Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Saudara (dengan kondisi Saudara terhijab oleh Ayah)
Seorang suami meninggal dunia. Beliau meninggalkan ahli Waris yaitu 1 orang istri, kedua orang tua,
1 orang Saudara Perempuan, dan 1 orang Saudara Laki-laki. Selama hidupnya, Pewaris berhasil
mengumpulkan Harta Bersama sebesar Rp.60.000.000,- dan membawa Harta Pribadi ke dalam
pernikahannya sebesar Rp.15.000.000,-. Selain itu, Pewaris juga masih memiliki Piutang yang belum
ditagih sebesar Rp.6.000.000,- Ketika meninggal dunia, diketahui ternyata yang bersangkutan
memiliki hutang pada seorang kerabatnya sebesar Rp 10.000.000,-. Untuk Biaya Rumah Sakit dan
Pengurusan jenazah menghabiskan dana sebesar Rp 5.000.000,-. Hitunglah berapa bagian masing-
masing ahli waris yang berhak !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.60.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.15.000.000,-
Piutang = Rp. 6.000.000,-
Biaya RS & Jenazah = Rp.5.000.000,-
Hutang = Rp.10.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama+ Piutang) – (Biaya RS & Jenazah + Hutang)
= ( Rp.15.000.000,- + Rp.30.000.000,- + Rp.6.000.000,-) – (Rp.5.000.000,-+
Rp.10.000.000,-)
= Rp.36.000.000,-
Am = 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp.36.000.000,- = Rp.9.000.000,-
A = ash 6 6/12 x Rp.36.000.000,- = Rp.18.000.000,-
I = 1/3 (12-3)* 3 3/12 x Rp.36.000.000,- = Rp.9.000.000,-
1 SP **
X
1 SL
12 Rp.36.000.000,-
Cat:
*
= Am – Bagian Janda
**
SL = X = SL tertutup kedudukannya karena terhalang oleh Anak Laki-laki
Jadi, baian masing-masing Ahli Waris:
Janda = ½ HBr+ Rp.9.000.000,-
Rp.30.000.000,- + Rp.9.000.000,-
Rp.39.000.000,-
Ayah = Rp.18.000.000,-
Ibu = Rp.9.000.000,-
SP & SL = terhijab

104
G. Perhitungan Pembagian Harta Waris pada Ahli Waris Pengganti
Ahli waris Pengganti adalah keturunan dari ahli waris langsung sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Dalam perhitungan pembagian waris, hal penting yang harus diperhatikan
adalah bahwa agian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti
Dalam praktik perhitungan pembagian harta waris, pembagian untuk Ahli waris Pengganti
adalah sebagai berikut:

Contoh Soal Perhitungan Waris untuk Ahli Waris Pengganti (dengan Ahli Waris Cucu)
Seorang istri meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris Duda, Ayah, ibu, 1 Cucu Laki-laki dan
2 Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, 1 Cucu Laki-laki
dari Anak laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, dan 1 Anak Perempuan. Selama
menikah, Pewaris mengumpulkan harta bersama Rp. 120.000.000,- Pewaris memiliki piutang
sebesar Rp. 10.000.000,- Pewaris memiliki hutang sebesar Rp. 9.000.000,- dan biaya pengurusan
jenazah sebesar Rp. 1.000.000,- Hitung bagian masing-masing AW yang berhak
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.120.000.000,-
Piutang = Rp.10.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.1.000.000,-
Hutang = Rp.9.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (½ Harta Bersama + Piutang) – (Biaya Jenazah + Hutang)
= (Rp. 60.000.000,- + Rp.10.000.000,-) –( Rp.1.000.000,- + Rp.9.000.000,-)
= Rp.60.000.000,-

Am = 6
D = ½ 3 3/6 x Rp.60.000.000,- = Rp.30.000.000,-
A = 1/6 1 1/6 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
I = 1/6 1 1/6 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
2 CL + 2 CP (AL)
1 CL (AL) ash 1 1/6 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
1 AP
6 Rp.60.000.000,-

2 AL + 1 AP = Rp.10.000.000,-
4 AP + 1 AP = Rp.10.000.000,-
5 AP = Rp.10.000.000,-
1 AP = Rp.10.000.000,-
5
105
= Rp. 2.000.000,-
1 AL = 2 x 1 AP
= 2 x Rp.2.000.000,-
= Rp.4.000.000,-

1 CL + 2 CP = 1 AL
1 CL + 2 CP = Rp.4.000.000,-
1 CL + 1 CL = Rp.4.000.000,-
2 CL = Rp.4.000.000,-
1 CL = Rp. 2.000.000,-
1 CP = Rp.1.000.000,-
Perhatikan:
1 CL (AL) > 1 AP
Maka :
1 CL (AL ) + 1 AP Rp.4.000.000,- + Rp. 2.000.000,-
=
2 2
= Rp.6.000.000,-
2
@ = Rp.3.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris:
Duda = ½ HBr + Rp. 30.000.000,-
= Rp.60.000.000,- + Rp.30.000.000,-
= Rp.90.000.000,-
Ayah = Rp.10.000.000,-
Ibu = Rp.10.000.000,-
AP = Rp.3.000.000,-
CL dari AL = Rp.3.000.000,-
CP dari AL = Rp.1.000.000,-

106
H. Perhitungan Pembagian Harta Waris dengan Adanya Wasiat
Ketentuan khusus dalam perhitungan pembagian harta waris dengan adanya wasiat adalah
dalam keadaan dimana seorang Pewaris memberikan wasiat kepada ahli waris yang berhak.
Bila hal ini terjadi, maka akan ada 2 (dua) akibat yang terjadi, yatu:
1. Ahli waris yang disaat sama mendapatkan wasiat akan mendapatkan bagian ganda,
yaitu bagian dari wasiat dan bagian dari harta waris sesuai bagiannya
2. Berkurangnya harta waris yang akan dibagikan kepada para ahli waris yang berhak,
karena wasiat harus ditunaikan terlebih dahulu sebelum harta waris dibagi.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka wasiat yang diberikan kepada ahli waris membutuhkan
persetujuan dari ahli waris yang berhak lainnya. Bila ada salah satu ahli waris yang berhak tida
menyetujui pemberian wasiat tersebut, maka wasiat tidak dapat ditunaikan. Berdasarkan hal
tersebut, maka secara rinci ditentukan sebagai berikut:
Jenis wasiat Persetujuan Ahli Waris yang Berhak
- Wasiat untuk kerabat (yang bukan
termasuk ahli waris yang berhak)
Dibutuhkan bila wasiat melebihi 1/3
- Wasiat Wakaf
- Wasiat Wajibah
Wasiat untuk Ahli Waris yang Berhak Dibutuhkan tanpa memperhitungkan besar
wasiat

Dalam perhitungan pembagian harta waris, pembagian dilakukan sebagai berikut:

107
Contoh Soal Perhitungan Waris dengan Wasiat untuk Ahli Waris
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan Ahli waris Ibu, Janda, 1 Cucu Laki-laki dari
Anak Laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, dan 2 Saudara Laki-laki. Harta
Peninggalan yang ditinggalkan sebesar Rp. 85.000.000,- Biaya penyelenggaraan jenazah sebesar
Rp. 1.000.000,-, Selama sakit, Pewaris membutuhkan biaya sebesar Rp. 10.000.000,- dan hutang
yang belum dilunasi sebesar Rp.2.000.000,- Pewaris juga meninggalkan wasiat pada janda sebesar
Rp. 25.000.000,-
Hitunglah berapa bagian masing ahli waris yg berhak, bila:
a. Ibu tidak setuju terhadap wasiat yang diberikan kepada Janda
b. CL tidak setuju terhadap wasiat yang diberikan kepada Janda
c. Saudara Laki-laki terhadap wasiat yang diberikan kepada Janda

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Peninggalan = Rp.85.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.1.000.000,-
Biaya Perawatan = Rp.10.000.000,-
Hutang = Rp.2.000.000,-
Wasiat pada Janda = Rp.12.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Peninggalan) – (Biaya Perawatan + Jenazah + Hutang)
= Rp. 85.000.000,- - (Rp.10.000.000,- + Rp.1.000.000,- + Rp.2.000.000,-)
= Rp.72.000.000,-
Untuk soal a. & b. = Rp.72.000.000,- wasiat tidak ditunaikan karena Ibu
dan Cucu Laki-laki sebagai ahli waris
yang berhak tidak setuju terhadap
wasiat yang diberikan pada janda
sebagai ahli waris
Untuk soal c. = Rp. 72.000.000,- - Rp. 12.000.000,- Wasiat dapat ditunaikan karena
penolakan Saudara laki-laki
mempengaruhi pemberian wasiat
= Rp.60.000.000,-

Bila HW =
Rp.72.000.000,-
Am = 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.18.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.12.000.000,-
1 CL (AL) = Ash 7 7/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.42.000.000,-
2 SL = X 12 Rp.72.000.000,-
Jadi, bagian masing-masng Ahli Waris:
J = Rp.18.000.000,-
I = Rp.12.000.000,-
CL (AL) = Rp.42.000.000,-
SL = terhijab
Bila HW =
108
Rp.60.000.000,-
Am= 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.15.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
1 CL (AL) = Ash 7 7/12 x Rp.60.000.000,- = Rp.35.000.000,-
2 SL = X 12 Rp.60.000.000,-

Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris:


J = Rp.15.000.000,-
I = Rp.10.000.000,-
CL (AL) = Rp.35.000.000,-
SL = terhijab

Contoh Soal Perhitungan Waris dengan Wasiat untuk Ahli Waris


Seorang istri meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, duda, dua anak perempuan, seorang
anak laki-laki, seorang Saudara Perempuan, Seorang saudara laki-laki, dan Ibu. Pewaris
meninggalkan harta bawaan sebesar Rp 10.000.000,00, Harta bersama berjumlah 212.000.000,00,
biaya Rumah Sakit dan pengurusan jenazah Rp 8.000.000,00. Pewaris meninggalkan wasiat agar
saudara laki-laki kandungnya diberikan uang sebesar Rp 36.000.000,00 sebagai balas jasa telah
ikut membantu sekolah Pewaris, dulu di perguruan tinggi. Hitunglah masing-masing ahli waris yang
berhak bila Anak laki-laki menolak pelaksanaan wasiat !

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.212.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.10.000.000,-
Biaya RS & Jenazah = Rp.8.000.000,-
Wasiat pada SL = Rp.36.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya RS & Jenazah)
= (Rp.10.000.000,- + Rp.106.000.000,-) – Rp.8.000.000,-
= Rp.108.000.000,-
= Rp.108.000.000,- - Rp.36.000.000,- Wasiat dapat ditunaikan karena
penolakan Anak Laki-laki tidak
mempengaruhi pemberian wasiat
= Rp.72.000.000,-
Am = 12
D = ¼ 3 3/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.18.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.12.000.000,-
2 AP
= Ash 7 7/12 x Rp.72.000.000,- = Rp.42.000.000,-
1 AL
1 SP 12 Rp.72.000.000,-
= X
1 SL

2 AP + 1 AL= Rp.42.000.000,-

109
1 AL + 1 AL = Rp.42.000.000,-
2 AL = Rp.42.000.000,-
1 AL = Rp.21.000.000,-
1 AP= Rp.10.500.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris:
Duda = ½ HBr + Rp. 18.000.000,-
= Rp.106.000.000,- + Rp.18.000.000,-
= Rp.124.000.000,-
Ibu = Rp.12.000.000,-
AP = Rp.10.500.000,-
AL = Rp.21.000.000,-

I. Perhitungan Pembagian Harta Waris dengan Adanya Hibah


Ketentuan khusus yang diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang hibah adalah
adanya ketentuan khusus hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam ketentuan
yang tercantum pada Pasal 211, ditegaskan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Konsep seperti ini sepadan dengan konsep yang dianut oleh
hukum kewarisan adat, yakni bahwa proses pewarisan dapat berlangsung sejak pewaris masih
hidup. Artinya, pemberian-pemberian dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Dalam praktik penghitungan pembagian harta waris, ketentuan ini memberi dampak
signifikan terhadap bagian yang secara nyata akan diterima oleh anak dari Pewaris bila ternyata
anak tersebut telah mendapatkan hibah dari orang tuanya.
Sebagai contoh adalah kasus berikut:
A dan B merupakan anak dari X. Semasa hidupnya, X pernah memberikan sebidang tanah
dengan nominal Rp. 100.000.000,- kepada A dan seperangkat perhiasan emas senilai Rp.
50.000.000,- kepada B. Setelah X meninggal dunia, proses pewarisan dilakukan hingga pada
akhirnya didapat nominal baian masing-masing anak yaitu A dan B dimana A mendapat bagian
sebesar Rp. 200.000.000,- sedangkan B mendapat Rp.100.000.000,-
Sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam mengenai hibah yang diberikan orang tua
kepada anak, maka dalam praktik, tanah dan perhiasan yang diterima oleh A dan B menjadi
pengurang bagian waris masing-masing. Maka dalam perhitungannya:
A mendapat bagian = Rp. 200.000.000,- - Rp. 100.000.000,- (hibah yang diterima)
= Rp. 100.000.000,-
B mendapat bagian = Rp. 100.000.000,- - Rp. 50.000.000,- (hibah yang dterima)
= Rp. 50.000.000,-
Selain itu, khusus mengenai hibah orang tua kepada anaknya, KHI juga mengatur bahwa
hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hal ini berarti bahwa
110
walaupun orang tua telah menghibahkan harta kepada anaknya, namun di masa yang akan
datang hibah tersebut dapat ditarik kembali.
Dalam praktik perhitungan pembagian waris, maka perhitungan hibah dilakukan sebagai
berikut:

Contoh Soal Perhitungan Waris dengan Hibah untuk Ahli Waris


P meninggal dunia dengan meninggalkan seorang janda, dua anak laki-laki, seorang anak
perempuan, seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki P yang telah meninggal lebih dahulu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Pada waktu meninggal, P meninggalkan harta bawaan sebesar
Rp 100.000.000,00, harta bersama Rp 180.000.000,00, biaya perawatan selama sakit Rp
10.000.000,00, biaya pengurusan jenazah Rp 5.000.000,00, dan hutang Rp 50.000.000,00, dan
wasiat pada sahabatnya Rp 15.000.000,00. Ketika hidupnya, P pernah memberikan hibah kepada
anak perempuannya sebesar Rp 10.000.000,00. Hitunglah berapa bagian masing-masing ahli waris
yang berhak jika hibah diperhitungkan sebagai warisan!

Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bawaan = Rp.100.000.000,-
Harta Bersama = Rp.180.000.000,-
Biaya Perawatan = Rp.10.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.5.000.000,-
Hutang = Rp.50.000.000,-
Wasiat pada sahabat = Rp.15.000.000,-
Hibah pada AP = Rp.10.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan +½ Harta Bersama)– (Biaya Perawatan+Biaya Jenazah +
Hutang)
= (Rp. 100.000.000,- + Rp.90.000.000,-) –( Rp.10.000.000,- +
Rp.5.000.000,-+ Rp.50.000.000,-)
= Rp.125.000.000,- - Rp.15.000.000,- Wasiat ditunaikan
= Rp.110.000.000,- + Rp.10.000.000,- Hibah diperhitungkan
= Rp.120.000.000,-
Am 8
=
J = 1/8 1 1/8 x Rp.120.000.000,- = Rp.15.000.000,-
2 AL
1 AP ash 7 7/8 x Rp.120.000.000,- = Rp.105.000.000,-
=
1 CL (AL)
1 SL = X 8 Rp.120.000.000,-

2 AL+1 CL(AL)+1AP = Rp.105.000.000,-


3 AL + 1 AP = Rp.105.000.000,-

111
6 AP +1 AP = Rp.105.000.000,-
7 AP = Rp.105.000.000,-
7
1 AP = Rp. 15.000.000,-
1 AL = 2 x 1 AP
= 2 x Rp.15.000.000,-
= Rp.30.000.000,-
Perhatikan:
1 CL (AL) > 1 AP
Maka :
1 CL (AL ) + 1 AP Rp.30.000.000,- + Rp. 15.000.000,-
=
2 2
= Rp.45.000.000,-
2
@ = Rp.22.500.000,-

1 AP = Rp.22.500.000,- - Hibah
= Rp.22.500.000,- - Rp.10.000,-
= Rp.12.500.000,-
Jadi, baian masing-masing Ahli Waris:
Janda = ½ HBr + Rp. 15.000.000,-
= Rp.90.000.000,- + Rp.10.000.000,-
= Rp.105.000.000,-
AL = Rp.30.000.000,-
AP = Rp.12.500.000,-
1 CL (AL) = Rp.22.500.000,-
1 SL = terhijab

Contoh Soal Perhitungan Waris dengan Hibah untuk Ahli Waris


P telah meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang ibu, seorang janda, tiga anak perempuan
dan seorang anak laki-laki. Pada waktu meninggal, P meninggalkan harta bawaan senilai Rp
200.000.000,00, harta bersama Rp 800.000.000,00, biaya perawatan selama sakit Rp 50.000.000,00,
biaya pengurusan jenazah Rp 10.000.000,00, dan hutang sebesar Rp 160.000.000,00. Pada waktu
hidupnya, P pernah memberikan hibah berupa tanah senilai Rp 100.000.000,00 kepada anak laki-
lakinya. Hitunglah berapa bagian masing-masing ahli waris jika hibah diperhitungkan sebagai
warisan.

112
Cara Perhitungan

Diketahui:
Harta Bersama = Rp.800.000.000,-
Harta Bawaan = Rp.200.000.000,-
Biaya Perawatan = Rp.50.000.000,-
Biaya Jenazah = Rp.10.000.000,-
Hutang = Rp. 160.000.000,-
Hibah pada AL = Rp.100.000.000,-
Jawab:
Harta Waris = (Harta Bawaan + ½ Harta Bersama) – (Biaya Perawatan + Biaya Jenazah +
Hutang)
= (Rp.200.000.000,- + Rp.400.000.000,-) – (Rp.50.000.000,- +Rp.10.000.000,-
Rp.60.000.000,)
= Rp.380.000.000,-
Untuk soal a. & b. = Rp.380.000.000,- + Rp.100.000.000,- Hibah diperhitungkan
= Rp.480.000.000,-
Am = 12
J = ¼ 3 3/12 x Rp.480.000.000,- = Rp.120.000.000,-
I = 1/6 2 2/12 x Rp.480.000.000,- = Rp.80.000.000,-
3 AP
= Ash 7 7/12 x Rp.480.000.000,- = Rp.280.000.000,-
1 AL
12 Rp.480.000.000,-
3 AP + 1 AL= Rp.280.000.000,-
3 AP + 2 AP = Rp.280.000.000,-
5 AP = Rp.280.000.000,-
1 AP = Rp.56.000.000,-
1 AL = Rp.112.000.000,- - Rp.100.000.000,- Hibah diperhitungkan
= Rp.12.000.000,-
Jadi, bagian masing-masing Ahli Waris:
Janda = ½ HBr + Rp. 120.000.000,-
= Rp.400.000.000,- + Rp.120.000.000,-
= Rp.520.000.000,-
Ibu = Rp.80.000.000,-
AP = Rp.56.000.000,-
AL = Rp.12.000.000,-

J. Perhitungan Pembagian Harta Waris dalam Putusan Pengadilan Agama


Sengketa kewarisan yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama seringkali
melibatkan banyak pihak dalam tingkatan keluarga yang berbeda-beda Pembagian harta
warisan yang ahli warisnya sudah bertingkat-tingkat akibat berlarut-larutnya harta warisan tidak
dibagi, harus dilakukan pembagian secara jelas ahli waris dan harta warisannya dalam setiap
tingkatan ( MARI, 2010 : ketentuan khusus hukum kewarisan angka (10))
113
Sebagai contoh, A (suami) dan B (isteri) memiliki anak C, D (laki-laki) dan E (perempuan).
A meninggal dunia tahun 1955. B meninggal dunia tahun 1960. D meninggal dunia tahun 1975
dengan meninggalkan 3 orang anak F, G (laki-laki) dan H (perempuan). Pembagian warisnya :
Ahli waris A adalah B, C, D dan E. Ahli waris B adalah C, D dan E. Ahli waris D adalah F, G
(laki-laki) dan H (perempuan). Maka amar putusannya harus berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/sebagian;
2. Menetapkan ahli waris A adalah B, C, D dan E;
3. Menetapkan harta warisan A adalah X
4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris A adalah sebagai berikut :
4.1. B memperoleh 1/8 x X;
4.2. C memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
4.3. D memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
4.4. E memperoleh 1/5 x (7/8 x X);
5. Menetapkan ahli waris B adalah C, D dan E;
6. Menetapkan harta warisan B adalah Y;
7. Menetapkan bagian ahli waris B adalah sebagai berikut:
7.1. C memperoleh 2/5 x Y;
7.2. D memperoleh 2/5 x Y;
7.3. E memperoleh 1/5 x Y;
8. Menetapkan ahli waris D adalah F, G dan H;
9. Menetapkan harta warisan D adalah N;
10. Menetapkan bagian ahli waris D adalah sebagai berikut:
10.1. F memperoleh 2/5 x N;
10.1. G memperoleh 2/5 x N;
10.2. H memperoleh 1/5 x N;
11. Memerintahkan Tergugat ......... dan seterusnya.

114
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Ali, Mohammad Daud, 1996, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT RajaGRafindo Persada, Jakarta

Anshori, Abdul Ghofur, 2010, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, UII Press, Yogyakarta.

Arto, Mukti, 2009, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis Queen, Solo

Basyir, Ahmad Azhar, 2004, Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta,

Basyir, Ahmad Azhar , 1972, Kawin Campur, Adopsi dan Wasiat Menurut Islam, Al-Ma‟arif,
Bandung. Djamil, Fathurrahman, “Wasiat: Makna, Urgensi dan Kedudukannya Dalam
Islam” Mimbar Hukum No. 38, Th.IX, 1998 Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, Jakarta.

Harahap, Yahya, “ Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Moh. Mahfud MD, et al. (eds), 1993,
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press,
Yogyakarta.

--------------, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”
dalam Cik Hasan Bisri, et.al, 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di
Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

--------------, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 2001, Sinar Grafika,
Jakarta.

Hartini dan Yulkarnain Harahab, 2000, “Pengaruh Kompilasi Hukum Islam Dalam Penyelesaian
Perkara Kewarisan Pada Pengadilan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta” Mimbar
Hukum Nomor 35, V, 2000.

Hartini, “Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Mimbar Hukum No. 37
Tahun II, 2001.

Hasanah,Uswatun, 2013, Kewajiban Ahli Waris dalam Pembagian Harta Warisan menurut
Perspektif Hukum Islam di Pengadilan Agama Banjarmasin, Tesis, Mahasiswa
Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Quran dan Hadith, Tintamas, Jakarta

Huberman, A. Michael, & Matthew B. Miles, 1992, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia
Press, Jakarta

Lukito, Ratno, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, INIS, Jakarta.

Mahmood, Tahir, 1987, Personal Law in Islamic Countries, Academy of Law and Religion, New
Delhi.
Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010, Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010,
Mahkamah Agung RI, Jakarta

_____________, Rumusan Hasil Diskusi Komisi II Bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama
Tahun Rapat Kerja Nasional tahun 2010, Balikpapan.

_____________, Rumusan Hasil Diskusi Komisi II Bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama
Tahun Rapat Kerja Nasional tahun 2012, Jakarta.

Manan, Abdul, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta

_____________, “Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam


Konteks Kewenangan Peradilan Agama” Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam
Nomor 38 Tahun IX, 1998.

Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung
________________
, 1996, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

Nasruddin, 2002, Wasiat Wajibah (Studi Komparasi Pemikiran Ibnu dan Kompilasi Hukum
Islam), Skripsi, IAIN Raden Intan Bandar Lampung diakses lewat publikasi di internet
pada tanggal 9 Juni 2009

Nasution, Harun, 1986, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bintang,
Jakarta

Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta
Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta

_____________, 2009, Hukum dan Perilaku, Kompas Penerbit Buku, Jakarta


Rahman, Fatchur, 1994, Ilmu Waris, Al Ma‟arif, Bandung.

Rasyid, Roihan A., ”Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah” dalam Cik Hasan Bisri et.al
(eds.), 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Rochim, Aunur F, “Wasiat Wajibah: Studi Komparasi Pemikiran Ibnu Hazm, Personal Status
Mesir, dan Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Hukum, vol. 4, No. 8. 1997.

Sabiq, Sayyid, 1996, Fikih Sunnah, Al-Ma‟arif, Bandung. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, 2001,
Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta.

Syarifuddin, Amir, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta.


Yahya, Taufik dan Idris Djakfar, 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka
Jaya, Jakarta

Zein, Satria Effendi M., 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana,
Jakarta.

Makalah

Habiburrahman, 2010, Hukum Kewarisan KHI, Makalah pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah
Agung R.I tahun 2010

Putusan dan Penetapan Pengadilan

Penetapan No. 20/Pdt.P/2003/PA/Smn

Undang-Undang

Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Nasional 2005-2025 Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 33

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22
GLOSARIUM

Al maqasid al khamsah : Tujuan khusus hukum Islam yaitu memelihara 5


unsur (agama, jiwa, akal, keturunan, harta)
Aqidah : iman, keyakinan, yang menjadi pegangan hidup
setiap pemeluk agama Islam
Argumentum per : Metode penemuan hukum yang menekankan pada
analogium penalaran hakim dalam memutuskan hukum dimana
hakim akan melakukan perluasan ketentuan
perundangan-undangan sehingga mampu
menjangkau peristiwa dimaksud
Ashabah : ahli waris yang bagiannya belum ditentukan, tetapi
akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada
ahli waris dzawil furudl sama sekali. Namun apabila
ada, ia berhak atas sisanya termasuk apabila tidak
ada sisa, maka ia pun tidak mendapatkan harta
waris
As sunnah : Semua perbuatan, perkataan, persetujuan (baik
melalui perkataan maupun sikap diam) dari
Rasulullah SAW

Disparitas : Perbedaan hasil putusan untuk perkara yang sejenis


Dzawil Furudh : ahli waris yang bagiannya telah ditentulan dalam Al
Quran dan Sunnah
Eigen hofde : Ahli waris langsung
Extended family : Bentuk keluarga besar
Fakultatif : Bersifat pilihan, tidak wajib

Faraidh : Hukum kewarisan Islam


Fiqh / Fikih : ilmu yang berusaha memahami dan menjabarkan
hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan
sunnah nabi untuk diterapkan pada manusia
dalam praktek
Fundamentum petendi : Fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara
kedua belah pihak. Merupakan dasar dan alasan
tuntutan.
Ijbari : Asas dalam hukum kewarisan Islam yang
menyatakan seseorang yang memiliki pertalian
darah & atau pertalian perkawinan langsung
menjadi AW ketika Pewaris meninggal. Tidak ada
hak untuk menolak ataupun menerima

Ijtihad : usaha atau ikhtiar sungguh-sungguh dengan


mempergunakan segenap kemampuan yang ada,
dilakukan oleh orang yg memenuhi syarat,untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau
tidak ada ketentuannya di dlm Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah
Imperatif : Bersifat wajib / memaksa
Istihsan : Metode penemuan hukum Islam dengan cara
menetapkan hukum baru yang berbeda dengan
kaidah dasarnya atas dasar kepentingan umum
Ius curia novit : asas dalam hukum acara bahwa hakim dilarang
menolak perkara dengan alasan tidak ada
hukumnya
Kompilasi Hukum Islam : Kompilasi hukum Islam dalam 3 bahasan pokok
(KHI) (perkawinan, earis, wakaf) yang ditetapkan melalui
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991
Lex generalis : Hukum umum
Lex spesialis : Hukum khusus
Yurisprudensi : Putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga
dapat menjadi sumber hukum
Mazhab : Aliran-aliran fiqh dalam penafsiran ketentuan syariat
Mujtahid : Orang yang melakukan ijtihad
Mushi : Orang yang berwasiat
Mushalahu : Orang yang menerima wasiat
Mushabihi : Sesuatu yang diwasiatkan , obyek wasiat
Nash : Lafaz atau teks Al Qur‟an
Nuclear family : Bentuk keluarga inti yang beranggotakan orang tuan
dan anak
Patrilineal : Sistem kekerabatan yang ditarik dari garis
keturunan laki-laki
Plaatsvervulling : Ahli waris Pengganti
Qath‟i : ayat yang mengandung kata atau kalimat yang
memiliki arti yang jelas sekali, sehingga tidak
mungkin ditafsirkan lain dari yang tersebut dalam
teks tersebut
Rechtvinding : Penemuan hukum
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Sighat : pernyataan dari orang yang berwasiat yaitu
perkataan yang memberikan pengertian adanya
wasiat
Sunnah : Nilai hukum dalam hukum islam yang berarti bahwa
suatu perbuatan dianjurkan untuk dilakukan
walaupun jika tidak dilakukan tidak akan
menimbulkan dosa
Tajdid : upaya dan perbuatan melalui proses tertentu
dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh
mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas
dalam pengembangan hukum Islam dengan cara-
cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-
kaidah hukum yang dibenarkan untuk menjadikan
hukum Islam dapat tampil lebih segar dan tampak
modern, tidak ketinggalan zaman
Tajhiz : Biaya pengurusan jenazah
Tentatif : Bersifat pilihan
Tirkah : Harta peninggalan dari seseorang yang meninggal
dunia
Zhanni : ayat yang mengandung kata atau kalimat yang
memiliki arti atau pengertian lebih dari satu, masih
mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda
dengan makna yang berbeda pula.
INDEKS

Abdul Ghofur Anshori, 39 ayah, 3, 4, 10, 12, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31,
Abdul Manan, 15 32, 34, 35, 39, 71
ahli waris, 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 20, Bilateral, 10
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 34, 35, 39, Bukhari, 4, 47
46, 47, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, Buku II, 33, 34, 35, 39
64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 78, 79 duda, 4, 10, 29, 32
Ahli Waris Langsung, 10 dzawil arham, 10, 24
ahli waris pengganti, 10, 29, 34, 35, 39, 53, 60 egaliter, 12, 34
Ahmad Azhar Basyir, 47 eigen hoofde, 10
Ahmad bin Hanbal, 2 Eugen Ehrlich, 14
Al Anfaal, 2 fakultatif, 38
al-maqasid al-khamsah, 68 faraidh, 1, 2, 8
Al-Maqasid Al-Khamsah, 68 Fatwa, 30
An Nisaaa, 2, 3, 8, 11 fiqih, 1, 11, 12, 18, 22, 26, 27, 32, 35, 37, 46, 47,
anak angkat, 12, 30, 31, 32, 53, 54, 55, 56, 57, 48, 49, 63
58, 62, 63, 64 H. Mastur Jahri, 8
anak laki-laki, 3, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 32, Hadits, 1, 2, 4, 8, 33, 39, 46, 47, 48, 49, 60, 66,
34, 35, 39, 49, 51 67, 68, 69
anak perempuan, 3, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, Hak Asasi Manusia, 64, 66
34, 35, 51 Hakim, 6, 19, 22, 31, 33, 35, 36, 38, 55, 58, 69
argumentum per analogium, 62, 63, 66, 69, Hanafi, 7
70 harta bawaan, 8
Asal masalah, 78 harta bersama, 8, 9
asas hukum, 10, 62, 65, 66, 69 harta peninggalan, 1, 5, 7, 11, 12, 28, 48, 50,
ashabah bil ghoir, 30 58, 61
ashabah maal ghair, 30 harta pribadi, 6, 7, 8, 9
ashabah,, 23, 25, 31, 35 Harun Nasution, 17
At Tahrim, 66 Hazairin, 39
Aul, 28, 78, 79 hibah, 9, 21, 29, 30, 37, 71
historis, 60, 61, 66, 69, 70 Mati hukmy, 5
hubungan darah, 5, 8, 12, 13, 59, 64 Mesir, 49, 50, 51, 53
hubungan perkawinan, 5, 29, 59 Muadz bin Jabal, 61
hukum adat, 37, 40, 53 musha-bihi, 48
Hukum terapan, 38 musha-lahu, 48
hutang, 6, 7, 8, 46, 47, 58 mushi, 48
Ibnu Hazm, 48, 50 Nasa‟i,, 4
Ibnu Majah, 2 Pakistan, 51
ibu, 3, 4, 10, 23, 24, 25, 29, 31, 32, 34, 35, 39, Parental, 10
46 pembangunan hukum, 15, 16, 17
ijbari, 11 penemuan hukum, 38, 39, 61, 62, 63, 66, 69,
ijtihad, 2, 4, 6, 37, 38, 39, 47 70
Imam An Nawawi, 1 Penerima wasiat, 52
imperatif, 55, 56, 57 Pengadilan Agama, 12, 19, 20, 21, 22, 31, 33,
individual, 11, 39, 62 35
interpretasi sosiologis, 61, 62, 66, 69, 70 pengurusan jenazah, 6, 8, 58
ius curia novit, 61, 62, 69 Peralihan harta, 11
janda, 4, 10, 29, 32 perubahan hukum, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 37
kaidah hukum, 32, 57, 59 Perubahan Hukum, 15, 17
keadilan, 12, 15, 16, 19, 36, 39, 40, 56, 57, 58, perubahan masyarakat, 14, 39
59, 62, 69 Pewaris, 5, 25, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 56, 58, 66
keadilan berimbang, 12, 62 pewasiat, 46, 48, 52
kemanfaatan, 36 piutang, 6
kepastian hukum, 36, 55, 65 plaatsvervulling, 10, 53
Kompilasi Hukum Islam (KHI), 6, 12, 27 putusan, 5, 6, 14, 19, 20, 31, 32, 36, 37, 38, 52,
lex generalis, 61, 62 54, 55, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 65, 66, 69
lex specialis, 61, 62 putusan pengadilan, 5, 60, 62
Mahkamah Agung, 9, 20, 27, 30, 31, 32, 33, 60 Qath‟i, 18
Mahkamah Syar‟iyah, 12 rahmatan lil alamin, 37, 39
Maroko, 51 rechtvinding, 61
Mati haqiqy, 5
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Suriah, 51
(RPJP) Nasional, 15 takhayyuri, 11
Retroaktif Terbatas, 12 tentatif, 56, 57
Satjipto Rahardjo, 14 Tunisia, 51
saudara laki-laki, 3, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, Undang-undang Dasar 1945, 64
32, 34, 35 Wasiat, 7, 28, 30, 31, 46, 49, 50, 53, 54, 57, 58,
saudara perempuan, 3, 23, 24, 27, 29, 30, 32, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69
34, 35 Wasiat Wajibah, 12, 20, 30, 31, 32, 34, 37, 48,
SEMA, 31, 36 49, 50, 51, 53, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
sighat, 48 63, 64, 65, 66, 69
Sunnah, 4, 23, 39 Zhanni., 18
PUTUSAN
NOMOR: 447 K/AG/2006

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
1. ZAKARIA bin H. ADAM, bertempat tinggal di Desa Krueng Deu,
Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen;
2. M. AMIN bin H. ADAM, bertempat tinggal di Desa Pulo Iboh,
Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, dalam hal ini
memberikan kuasa kepada ANWAR MD, S.H., Advokat,
berkantor di Jl. Banda Aceh-Medan, Kompek Terminal
Matangglumpang dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten
Bireuen, para Pemohon Kasasi dahulu para Tergugat/para
Terbanding;
melawan
1. FAUZIAH binti H. ADAM, bertempat tinggal di Gampong
Jangka Keutapang, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen;
2. ROSDIANA binti MAHMUD, bertempat tinggal di Dusun PNP
Desa Kutani Raye, Kecamatan Laut Tawar, Kabupaten Aceh
Tengah;
3. YUSRI bin YUSUF, bertempat tinggal di Gampong Jangka
Keutapang, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen;
4. YUSWAR bin YUSUF, bertempat tinggal di Gampong Jangka
Alue U, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen;
5. YUSWARDI bin YUSUF;
6. YUSNI bin YUSUF, nomor 5 dan 6 keduanya bertempat tinggal
di Gampong Jangka Keutapang, Kecamatan Jangka, Kabupaten
Bireuen;
7. YUSRIZAL bin YUSUF, bertempat tinggal di Dusun Anggrek,
Lorong IV, Desa Lamdingin, Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh;
8. YUSFIDAR bin YUSUF, bertempat tinggal di Gampong Jangka
Keutapang, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen;

Hal. 1 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


9. MUSLIM bin MAHMUD, bertempat tinggal di Jl. Terusan Negara
No. 15, Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan Provinsi
Sumatera Utara;
10. YUSNUR bin YUSUF, bertempat tinggal di Seisei Kiri
Lingkungan XI, Kelurahan Tanjung Tiram Pemerintahan,
Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara;
11. NURASMAH binti MAHMUD, bertempat tinggal di Jl. Terusan
Negara No. 39 B, Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan
Perjuangan Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara;
12. NURAINI binti MAHMUD, bertempat tinggal di Jl. Jambak Muko
No. 34, Kelurahan B. Apit Puhun, Kecamatan Guguk Panjang,
Pemerintah Kota Bukit Tinggi Provinsi Sumatera Barat, para
Termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Pembanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata para Termohon
Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap
para Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Tergugat di depan persidangan
Mahkamah Syar’iyah Bireuen pada pokoknya atas dalil-dalil:
bahwa ayah/kakek kami almarhum H. Adam bin Hamzah telah meninggal
tahun 2000 di Desa Jangka Keutapang, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen
dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
1. Fauziah binti H. Adam (anak kandung);
2. Zakaria bin H. Adam (anak kandung);
3. M. Amin bin H. Adam (anak kandung);
4. Mahmud bin H. Adam (anak kandung) yang telah meninggal dunia bulan April
1984, maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya masing-masing:
4.1. Muslim bin Mahmud (ahli waris pengganti) ;
4.2. Rosdiana binti Mahmud (ahli waris pengganti) ;
4.3. Nurasmah binti Mahmud (ahli waris pengganti) ;
4.4. Nuraini binti Mahmud (ahli waris pengganti);
5. Syarwiyah binti H. Adam (anak kandung) telah meninggal dunia tahun 2003,
maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya masing-masing bernama:
5.1. Yusri bin Yusuf (ahli waris pengganti);
5.2. Yuswar bin Yusuf (ahli waris pengganti);

Hal. 2 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


5.3. Yusnur bin Yusuf (ahli waris pengganti);
5.4. Yuswadi bin Yusuf (ahli waris pengganti);
5.5. Yusrizal bin Yusuf (ahli waris pengganti);
5.6. Yusfidar bin Yusuf (ahli waris pengganti);
5.7. Yusni bin Yusuf (ahli waris pengganti);
bahwa almarhum H. Adam bin Hamzah, selain meninggalkan ahli waris
juga meninggalkan harta peninggalan (tirkah) sebagai berikut:
1. 1 (satu) petak tanah kebun yang terletak di Desa Jangka Keutapang,
Kecamatan jangka, Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukurannya
sebagaimana tersebut dalam gugatan;
Dengan taksiran harga Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah)
sekarang berada dalam kekuasaan bersama Penggugat dan Tergugat;
2. 1 (satu) petak tanah kebun yang terletak di Desa Krueng Deu, Kecamatan
Peusangan, Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukurannya
sebagaimana tersebut dalam gugatan;
Dengan taksiran harga Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), sekarang
berada dalam kekuasaan Tergugat I;
3. 1 (satu) petak tambak yang terletak di Desa Alue Bie, Kecamatan Jangka,
Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukurannya sebagaimana
tersebut dalam gugatan;
Dengan taksiran harga sebesar Rp. 76.000.000,- (tujuh puluh enam juta
rupiah) sekarang berada dalam kekuasaan Penggugat I, Penggugat IV,
Tergugat I dan Tergugat II;
4. 1 (satu) unit toko bertingkat yang terletak di Keude Matang Glumpang Dua,
Kecataman Peusangan, Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukuran
sebagaimana tersebut dalam surat gugatan;
Dengan taksiran harga sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah)
sekarang berada dalam kekuasaan Tergugat I;
5. 1 (satu) sepeda motor roda dua, merk Honda Grand, warna hitam, keluaran
tahun 1993 dengan taksiran harga sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima
ratus ribu rupiah), sekarang berada dalam kekuasaan Tergugat II;
bahwa almrhum H. Adam bin Hamzah juga ada meninggalkan hutang-
hutang sebesar Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah) yang
perinciannya sebagaimana tersebut dalam gugatan;

Hal. 3 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


bahwa terhadap harta peninggalan almarhum H. Adam bin Hamzah
tersebut, para Penggugat telah berusaha menyelesaikan pembagian faraidh
secara damai, akan tetapi tidak berhasil disebabkan Tergugat tidak sependapat
dengan para Penggugat;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Penggugat memohon
kepada Mahkamah Syar’iyah Bireuen agar menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menetapkan bahwa H. Adam bin Hamzah, telah meninggal dunia pada bulan
Mei 2004, dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
1. Fauziah binti H. Adam (anak kandung);
2. Zakaria binti H. Adam (anak kandung);
3. M. Amin bin H. Adam (anak kandung);
4. Muslim bin Mahmud (ahli waris pengganti);
5. Rosdiana binti Mahmud (ahli waris pengganti);
6. Nurasmah binti Mahmud (ahli waris pengganti);
7. Nuraini binti Mahmud (ahli waris pengganti);
8. Yusri bin Yusuf (ahli waris pengganti);
9. Yuswar bin Yusuf (ahli waris pengganti);
10. Yusnur bin Yusuf (ahli waris pengganti);
11. Yuswadi bin Yusuf (ahli waris pengganti);
12. Yusrizal bin Yusuf (ahli waris pengganti);
13. Yusfidar bin Yusuf (ahli waris pengganti);
14. Yusni bin Yusuf (ahli waris pengganti);
3. Menetapkan harta objek nomor 1,2,3,4 dan 5 sebagai harta peninggalan
(tirkah) almarhum H. Adam bin Hamzah;
4. Menetapkan, memfaraidhkan harta peninggalan (tirkah) H. Adam bin Hamzah
kepada ahli waris yang berhak menerimanya;
5. Menetapkan, menunjuk harta-harta kepada masing-masing ahli waris; sesuai
dengan hak/bagiannya;
6. Menghukum Tergugat-tergugat untuk menyerahkan harta-harta yang menjadi
hak dan bagian Penggugat-penggugat;
7. Menetapkan, hutang-hutang almarhum H. Adam bin Hamzah sebesar Rp.
1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah);

Hal. 4 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


8. Menghukum para pihak untuk mentaati dan melaksanakan putusan hakim;
9. Menghukum Tergugat-tergugat untuk membayar biaya yang timbul akibat
perkara ini;
Subsidair:
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya;
Bahwa atas gugatan para Penggugat, Tergugat I dan II mengajukan
gugatan rekonvensi pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
bahwa masih ada harta-harta peninggalan (tirkah) dari almarhum Haji
Adam Hamzah yang tidak disebutkan dalam surat gugatan yaitu:
1. 1 (satu) petak tanah kebun yang terletak di Desa Jangka Alue BIe,
Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, dengan ukuran dan batas-batas
sebagaimana dalam gugatan rekonvensi;
Tanah kebun tersebut saat ini telah dijadikan kolam ikan, dengan taksiran
harga Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sekarang berada dalam
penguasaan pemegang kuasa para Penggugat (Helmi bin Abdullah);
2. 1 (satu) petak kebun rumah yang terletak di Desa Jangka, Kecamatan
Peusangan, Kabupaten Bireuen, dengan ukuran dan batas-batas
sebagaimana dalam gugatan rekonvensi;
Dengan taksiran harga Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) sekarang berada
dalam penguasaan Penggugat I, Penggugat III, Penggugat IV, Penggugat V,
Penggugat VI, Penggugat VII, Penggugat VIII dan Penggugat X;
3. 1 (satu) petak tanah serta satu buah rumah semi permanen yang berdiri di
atasnya yang terletak di Jl. Terusan Negara No. 39 B, Kelurahan Pahlawan,
Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan;
4. 1 (satu) petak kebun yang terletak di Desa Jangka Keutapang, Kecamatan
Jangka, Kabupaten Bireuen, dengan ukuran dan batas-batas sebagaimana
dalam gugatan rekonvensi;
Dengan taksiran harga Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) sekarang berada
dalam penguasaan para Penggugat;
5. 1 (satu) vespa bajaj, dengan taksiran harga Rp. 200.000,- (dua ratus ribu
rupiah), saat ini dalam penguasaan keluarga almarhum Mahmud bin H.
Adam;
6. Harta-harta tersebut pada angka 3, 4 dan 5 tersebut adalah harta peninggalan
almarhum Mahmud bin H. Adam, yang telah meninggal dunia lebih dahulu
dari almarhum H. Adam bin Hamzah, maka harta peninggalan tersebut

Hal. 5 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


berhak diterima oleh ayahnya, karena ayahnya juga telah meninggal dunia
kemudian, sedangkan harta tersebut belum pernah difaraidhkan kepada ahli
waris sampai sekarang, berdasarkan hal tersebut mohon kepada Majelis
untuk dapat memfaraidhkan harta tersebut bersama-sama dengan harta
peninggalan H. Adam bin Hamzah tersebut;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat Rekonvensi
mohon kepada Mahkamah Syar’iyah Bireuen agar berkenan menjatuhkan
putusan yang memenuhi rasa keadilan;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Mahkamah Syar’iyah Bireuen
menjatuhkan putusan Nomor: 109/Pdt.G/2004/Msy.Bir, tanggal 22 Agustus 2005
M. bertepatan dengan tanggal 14 Rajab 1426 H. yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat-Penggugat sebagian;
2. Menetapkan ahli waris almarhum H. Adam bin Hamzah sebagai berikut:
2.1. Fauziah binti H. Adam (anak kandung);
2.2. Zakaria bin H. Adam (anak kandung);
2.3. M. Amin bin H. Adam (anak kandung);
2.4. Syarwiyah binti H. Adam (anak kandung);
3. Menetapkan harta peninggalan almarhum H. Adam bin Hamzah yaitu:
3.1. 1 (satu) petak kebun di Desa Jangka Keutapang (harta No. 1 gugatan);
3.2. 1 (satu) petak tambak yang terletak di Desa Alue Bie (harta No. 3
gugatan);
3.3. 1 (satu) unit toko bertingkat di Keude Matang Geulumpang Dua (harta
No. 4 gugatan);
3.4. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Grand tahun 1993 (harta No. 5
gugatan);
4. Menetapkan hutang almarhum H. Adam bin hamzah sebesar Rp. 1.600.000,-
(satu juta enam ratus ribu rupiah);
5. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris yaitu:
1. Fauziah binti H. Adam mendapat 1/6 bagian dari seluruh harta,
sebagaimana tersebut pada dictum 3;
2. Zakaria bin H. Adam mendapat 2/6 bagian dari seluruh harta,
sebagaimana tersebut pada dictum 3;

Hal. 6 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


3. M. Amin bin H. Adam mendapat 2/6 bagian dari seluruh harta,
sebagaimana tersebut pada dictum 3;
4. Syarwiyah binti H. Adam mendapat 1/6 bagian dari seluruh harta,
sebagaimana tersebut pada dictum 3;
6. Menghukum pihak-pihak untuk memfaraidhkan harta peninggalan almarhum
H. Adam bin Hamzah kepada masing-masing ahli waris yang berhak
menerimanya, sesuai dengan dictum 5 tersebut di atas;
7. Menghukum pihak-pihak untuk menyerahkan harta yang menjadi hak dan
bagian ahli waris almarhum H. Adam bin Hamzah tersebut;
8. Menghukum pihak-pihak untuk membayar hutang almarhum H. Adam bin
Hamzah sebesar Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah);
9. Menolak gugatan Penggugat-Penggugat selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat-Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi
seluruhnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Menghukum Tergugat Konvensi/Pengugat Rekonvensi untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para
Penggugat telah dibatalkan oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dengan putusannya Nomor: 09/Pdt.G/2006/Msy.Prov. tanggal 29
Juni 2006 M. bertepatan dengan tanggal 3 Jumadil Akhir 1427 H. yang amarnya
sebagai berikut:
- Menerima permohonan banding Pembanding;
- Membatalkan putusan Mahkamah Syar’iyah Bireuen Nomor: 109/Pdt.G/2004/
Msy.Bir, tanggal 22 Agustus 2005 M. bertepatan dengan tanggal 14 Rajab
1426 H.
Dan Dengan Mengadili Sendiri:
A. Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat-Penggugat sebagian;
2. Menetapkan meninggal dunia almarhum H. Adam bin Hamzah pada tahun
2000 dengan meninggalkan ahli warisnya sebagai berikut:
2.1. Fauziah binti H. Adam (anak perempuan);
2.2. Zakaria bin H. Adam (anak laki-laki);
2.3. M. Amin bin H. Adam (anak laki-laki);

Hal. 7 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


2.4. Syarwiyah binti H. Adam (anak perempuan);
2.5. Anak-anak dari Mahmud bin H. Adam (Muslim bin Mahmud, Rosdiana
binti Mahmud, Nur Asmah binti Mahmud, dan Nur Aini binti Mahmud)
sebagai ahli waris pengganti;
3. Menetapkan harta peninggalan almarhum H. Adam bin Hamzah yaitu:
3.1. 1 (satu) petak kebun di Desa Jangka Keutapang (harta No. 1 gugatan);
3.2. 1 (satu) petak tambak terletak di Desa Alue Bie (harta No. 3 gugatan);
3.3. 1 (satu) unit toko bertingkat di Keude Matang Geulumpang Dua (harta
No. 4 gugatan);
3.4. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Grand tahun 1993 (harta No. 5
gugatan);
4. Menetapkan hutang almarhum H. Adam bin Hamzah sebesar Rp. 1.600.000,-
(satu juta enam ratus ribu rupiah);
5. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris yaitu:
5.1. Fauziah binti H. Adam mendapat 1/8 bagian;
5.2. Zakaria bin H. Adam mendapat 2/8 bagian;
5.3. M. Amin bin H. Adam mendapat 2/8 bagian;
5.4. Syarwiyah binti H. Adam mendapat 1/8 bagian;
5.5. Anak-anak dari almarhum Mahmud bin H. Adam mendapat 2/8 bagian;
6. Menghukum pihak-pihak untuk memfaraidhkan harta peninggalan almarhum
H. Adam bin Hamzah kepada masing-masing ahli waris yang berhak
menerimanya, sesuai dengan dictum 5 tersebut di atas;
7. Menetapkan bagian hak Syarwiyah binti H. Adam diserahkan kepada anak-
anaknya;
8. Menghukum pihak-pihak untuk menyerahkan harta yang menjadi hak dan
bagian ahli waris almarhum H. Adam bin Hamzah tersebut;
9. Menghukum pihak-pihak untuk membayar hutang almarhum H. Adam bin
Hamzah sebesar Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah);
10. Menolak gugatan Penggugat-Penggugat selebihnya;
B. Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat-Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi
seluruhnya;
C. Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Menghukum Tergugat Konvensi/Pengugat Rekonvensi untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);

Hal. 8 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


- Menghukum Terbanding membayar biaya perkara untuk tingkat banding ini
sebesar Rp. 100.500,- (seratus ribu lima ratus rupiah)
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada para
Tergugat/para Terbanding pada tanggal 25 Agustus 2006 kemudian terhadapnya
oleh para Tergugat/para Terbanding, diajukan permohonan kasasi secara lisan
pada tanggal 6 September 2006 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan
Kasasi Nomor: 109/Pdt.G/2004/Msy.Bir, yang dibuat oleh Panitera Mahkamah
Syar’iyah Bireuen, permohonan tersebut kemudian disusul oleh memori kasasi
yang memuat alasan-alasannya yang dibuat oleh kuasanya berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 7 September 2006 dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Syar’iyah tersebut pada tangal 12 September 2006;
Bahwa setelah itu oleh para Penggugat/para Pembanding, yang pada
tanggal 15 September 2006 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para
Tergugat/para Terbanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah Bireuen pada tanggal 20 September 2006;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya,
yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang, maka oleh
karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon
Kasasi/para Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya adalah:
1. Bahwa adalah keliru pendapat judex facti Mahkamah Syar’iyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan pertimbangan bahwa
mengenai ahli waris almarhum H. Adam bin Hamzah, yang menjadi patokan
untuk dapat ditetapkan menurut Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam adalah
pada saat meninggal dunia pewaris dan berlakunya Kompilasi Hukum Islam
tersebut bukan pada saat meninggalnya ahli waris;
Pertimbangan judex facti Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam di atas sangatlah bertentangan dengan pertimbangan hukum
judex facti Mahkamah Syar’iyah Bireuen yang memberi pertimbangan bahwa
Mahmud bin H. Adam telah meninggal tahun 1984 sedangkan H. Adam
meninggal tahun 2000, dengan meninggalkan 2 (dua) orang anak laki-laki dan
2 (dua) orang anak perempuan, maka anak-anak dari almarhum Mahmud bin
H. Adam terhijab untuk memperoleh harta peninggalan almarhum H. Adam

Hal. 9 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


bin Hamzah tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam
yang diperlakukan efektif sejak tanggal 22 Juli 1991;
2. Bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam telah tidak mentaati azas hukum yaitu segala aturan hukum
yang ada di Republik Indonesia tidak mengenal berlaku surut.
Dalam perkara kewarisan ini sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan
judex facti Mahkamah Syar’iyah Bireuen maka telah benar bahwa Mahmud
bin H. Adam selaku pewaris meninggal tahun 2000. Hukum yang diterapkan
oleh judex facti Mahkamah Syar’iyah Bireuen telah menjadikan Kompilasi
Hukum Islam tidak berlaku surut, artinya hanya kepada ahli waris yang
meninggal dunia di atas tanggal 22 Juli 1991, demikian pula pewaris saja
yang dinyatakan tidak terhijab untuk mewarisi oleh ahli waris dari ahli waris a
quo dan pewaris a quo. Sementara dalam perkara kewarisan ini almarhum
Mahmud bin H. Adam meninggal dunia sebelum berlakunya Kompilasi Hukum
Islam, maka anak-anaknya terhijab menjadi ahli waris dari almarhum H. Adam
yang meninggal dunia setelah berlakunya Kompilasi Hukum Islam yaitu tahun
2000;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
Mengenai alasan-alasan ke- 1 dan 2:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti
tidak salah dalam menerapkan hukum, lagi pula hal ini pada hakekatnya
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang
berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan tersebut atau pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas
wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
Menimbang, bahwa namun demikian menurut pendapat Mahkamah
Agung, amar putusan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Hal. 10 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


harus diperbaiki karena belum tepat dengan menambahkan pertimbangan
sebagai berikut: :
Bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris
yang masih hidup, karenanya amar Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam poin 5 (lima) harus diperbaiki dengan 2/7 untuk bagian laki-laki dan
1/7 untuk bagian perempuan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi:
ZAKARIA bin H. ADAM, dan kawan tersebut harus ditolak dengan perbaikan
amar putusan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
sehingga berbunyi sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak, maka para
Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. ZAKARIA bin
H. ADAM, 2. M. AMIN bin H. ADAM tersebut;
Memperbaiki amar putusan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor: 09/Pdt.G/2006/Msy.Prov. tanggal 29 Juni 2006 M.
bertepatan dengan tanggal 3 Jumadil Akhir 1427 H., sehingga berbunyi sebagai
berikut:
- Menerima permohonan banding dari para Pembanding ;
- Membatalkan putusan Mahkamah Syar’iyah Bireuen Nomor: 109/Pdt.G/
2004/Msy.Bir. tanggal 22 Agustus 2005 M. bertepatan dengan tanggal 14 Rajab
1427 H.;
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat sebagian;
2. Menetapkan H. Adam bin Hamzah telah meninggal dunia pada tahun 2000
dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
2.1. Fauziah binti H. Adam (anak perempuan);
2.2. Zakaria bin H. Adam (anak laki-laki);

Hal. 11 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


2.3. M. Amin bin H. Adam (anak laki-laki);
2.4. Syarwiyah binti H. Adam (anak perempuan);
2.5. Ahli waris pengganti dari Mahmud bin H. Adam yakni: Muslim bin
Mahmud, Rosdiana binti Mahmud, Nur Asmah binti Mahmud, dan Nur
Aini binti Mahmud;
3. Menetapkan harta warisan almarhum H. Adam bin Hamzah adalah sebagai
berikut:
3.1. 1 (satu) petak kebun di Desa Jangka Keutapang, Kecamatan Jangka,
Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukurannya sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatas dengan Jalan Desa, dengan ukuran 26 m;
- Sebelah Barat berbatas dengan kebun Mustafa, dengan ukuran 27,5
m;
- Sebelah Utara berbatas dengan jalan Desa, dengan ukuran 19 m;
- Sebelah Selatan berbatas dengan kebun M. Jafar/Ben Cut, dengan
ukuran 20 m;
3.2. 1 (satu) petak tambak terletak di Desa Alue Bie, Kecamatan Jangka,
Kabupaten Bireuen, dengan batas-batas dan ukurannya sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatas dengantambak Ilyas/Mahyiddin/parit jalan,
dengan ukuran 74,40 m;
- Sebelah Barat berbatas dengan tanah/tambak Hj. Halimah/Haji Ramli,
dengan ukuran 74,40 m;
- Sebelah Utara berbatas dengan tambak Ilyas/Taleb/Ti Ramlah,
dengan ukuran 230 m;
- Sebelah Selatan berbatas dengan tambak Mahyiddin/Muhammad/Ti
Ramlah, dengan ukuran 230,7 m;
3.3. 1 (satu) unit toko bertingkat terletak di Keude Matang Glumpang Dua,
Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen dengan batas-batas dan
ukuran sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatas dengan toko milik Muhammad, dengan ukuran
4 m;
- Sebelah Barat berbatas dengan Jalan Sinar Peusangan, dengan
ukuran 4 m;
- Sebelah Utara berbatas dengan toko milik Ibrahim, dengan ukuran 6
m;

Hal. 12 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


- Sebelah Selatan berbatas dengan toko milik Abdurahman, dengan
ukuran 6 m;

3.4. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Grand tahun 1993 ;
4. Menetapkan hutang almarhum H. Adam bin Hamzah sebesar Rp. 1.600.000,-
(satu juta enam ratus ribu rupiah) diambil dari harta peninggalan almarhum H.
Adam;
5. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris almarhum H. Adam bin
Hamzah sebagai berikut:
5.1. Fauziah binti H. Adam mendapat 1/7 bagian;
5.2. Zakaria bin H. Adam mendapat 2/7 bagian;
5.3. Amin bin H. Adam mendapat 2/7 bagian;
5.4. Ahli waris Syarwiyah binti H. Adam yang bernama Yusri bin Yusuf,
Yuswar bin Yusuf, Yusnur bin Yusuf, Yuswadi bin Yusuf, Yusrizal bin
Yusuf, Yusfidar bin Yusuf, Yusni bin Yusuf mendapat 1/7 bagian ;
5.5. Ahli waris pengganti dari almarhum Mahmud bin H. Adam yaitu : Muslim
bin Mahmud, Rosdiana binti Mahmud, Nurasmah binti Mahmud, Nuraini
binti Mahmud mendapat 1/7 bagian;
6. Menghukum para Penggugat dan para Tergugat untuk membagi harta waris
almarhum H. Adam bin Hamzah dan menyerahkan bagian masing-masing
ahli waris, sesuai dengan ketentuan putusan ini;
7. Menolak gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan para Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
- Menghukum Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding
sebesar Rp. 100.500,- (seratus ribu lima ratus rupiah);
Menghukum para Pemohon Kasasi/para Tergugat untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah );
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari Jumat tanggal 9 Maret 2007 oleh Drs. H. ANDI SYAMSU ALAM,
S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Drs. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum., dan PROF. DR. H. ABDUL

Hal. 13 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


MANAN, S.H. S.IP. M. Hum., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 12
September 2007 oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut dan
dibantu oleh NAHISON DASA BRATA, S.H. M.Hum., Panitera Pengganti,
dengan tidak dihadiri oleh para pihak;

Hakim-Hakim Anggota: K e t u a;
ttd. ttd.
Drs. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum. Drs. H. ANDI SYAMSU ALAM, S.H., M.H.,
ttd.
PROF. DR. H. ABDUL MANAN, S.H. S.IP. M. Hum.,

Biaya kasasi: Panitera Pengganti

1. Meterai …………………..Rp. 6.000,-

2. Redaksi ………………….Rp. 1.000,- ttd.

3. Administrasi kasasi …… Rp. 493.000,- H. NAHISON DASA BRATA, S.H. M.Hum

Jumlah Rp. 500.000,-

Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG RI.
a.n. Panitera
PANITERA MUDA PERDATA AGAMA

(Drs. H. HASAN BISRI, S.H. M.Hum.)


N.I.P.: 150 169 538

Hal. 14 dari 14 hal. Put. No. 447 K/AG/2006


BIODATA PENULIS

Destri Budi Nugraheni, S.H., M.SI,

Dosen bagian Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor di Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, lulusan magister Studi Islam Universitas
Islam Negeri Sunan kalijaga, dan.sarjana Hukum diperoleh dari Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain menekuni hukum kewarisan
Islam, juga konsen terhadap kajian ekonomi Islam seperti Hukum
perbankan syariah, hukum asuransi syariah dan hukum pembiayaan.
Aktivitas saat ini, selain mengajar pada program sarjana Fakultas
Hukum, juga mengajar pada magister kenotariatan, Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta melakukan
penelitian dan pengkajian pada bidang hukum keluarga Islam dan
hukum ekonomi syariah.

Haniah Ilhami, S.H., L.LM.

Dosen bagian Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


Lulusan Magister Imu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, dan.sarjana Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Selain menekuni hukum kewarisan Islam, juga konsen
terhadap kajian hukum keluarga Islam. Aktivitas saat ini, selain
mengajar pada program sarjana Fakultas Hukum, juga mengajar pada
Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada serta melakukan penelitian
dan pengkajian pada bidang hukum keluarga Islam dan hukum ekonomi
syariah.
RINGKASAN ISI BUKU

Buku Pembaruan Hukum Islam ini disusun untuk mengenalkan hukum kewarisan Islam dan
perkembangannya di Indonesia kepada mahasiswa dan masyarakat luas termasuk para praktisi
yang membidangi hukum keluarga Islam. Sebagaimana bidang hukum yang lain, hukum
kewarisan Islam juga mengalami pembaruan, khususnya pada hal-hal yang tidak diatur secara
jelas dalam Al Quran. Pembaruan yang dimaksud coba disajikan dalam buku ini, meliputi
pembaruan mengenai penggolongan ahli waris, ahli waris pengganti, serta pembaruan
mengenai ketentuan wasiat. Buku ini merupakan pengembangan dari modul pembelajaran
hukum kewarisan Islam yang diajarkan bagi mahasiswa Fakultas Hukum UGM serta dilengkapi
dari beberapa hasil penelitian dan kajian dalam hukum kewarisan Islam.

Anda mungkin juga menyukai