Anda di halaman 1dari 213

HUKUM PERDATA ISLAM

DI INDONESIA
(Kajian Teoritis)

SURIYADI., SHI, MH

H
UKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
(KAJIAN TEORITIS)

Suriyadi., SHI, MH

LPPM STIKES Cahaya Bangsa


Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Kajian Toritis)

Penulis: Suriyadi., SHI, MH

ISBN: 978-623-93974-5-6

Editor: Rayhani., SH, MH

Penyunting: Abd Basid., M.MKes, Sari Hijrianti., SH, MH

Desain Sampul dan Tata Letak: Candra Kusuma Negara., MKep, Nurdin

Penerbit: LPPM STIKES Cahaya Bangsa

Redaksi:

Jl.Pemuda No.09 Rt 11 Km 1,5 Kel.Selat Dalam Kuala Kapuas Kalimantan Tengah


73516

Distributor Tunggal:

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa
ijin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur Penulis ucapkan setinggi tingginya atas kehadirat Allah
Swt. Atas rahmat taufik dan hidayatnyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
buku berjudul: “Hukum Perdata Islam di Indonesia (Kajian Toritis)”. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw.
Sebgai pemimpin umat manusia pembawa perubahan dari peradaban jahiliyah menuju
peradaban yang beradap dan berakhlak semoga kita semua mendapat syafaatnya
diyaumul qiyamah.
Dalam buku ini, Penulis mencoba menguraikan kajian secara teoritis yang
berkaitan dengan Hukum Islam diantaranya berkaitan dengan sejarah Hukum Islam di
indonesia, Hukum Waris, Hukum Perkawinan, Hukum Wakaf dan Hukum Poligami,
semoga buku ini bisa menjawab seputar permasalahan-permasalahan secara umum
yang terjadi di masyarakat khususnya umat muslim di indonesia.
Penulis menyadari buku yang berjudul “Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Kajian Toritis)” masih jauh dari kata Sempurna sehingga banyak hal yang masih
diperlukan untuk melengkapi kesempurnaan buku tersebut, sehingga perlu kritik dan
saran demi kesempurnaan penulisan maupun isi dalam buku tersebut.

Kuala kapuas

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Pengertian Hukum Islam................................................................................1


B. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia.................................................3
1. Hukum Islam pada masa penjajahan Belanda.......................................7
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang........................................10
3. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan.................................................11
4. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru.............................11
5. Hukum Islam Pada Masa Reformasi.......................................................13

BAB II : PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA. 14

A. Pengertian Perkawinan..................................................................................14
B. Rukun Dan Syarat Perkawinan....................................................................17
C. Prinsip-Prinsip Perkawinan..........................................................................26
D. Pencegahan dan pembatalan perkawinan....................................................34
1. Pencegahan Perkawinan............................................................................34
2. Pembatalan Perkawinan............................................................................40
E. Perjanjian Perkawinan...................................................................................46
F. Larangan Perkawinan....................................................................................49

BAB III: KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA......57

A. Pengertian Warisan........................................................................................57
B. Dasar Hukum Tentang Kewarisan...............................................................58
C. Rukun Dan Syarat Kewarisan.......................................................................61
D. Sebab-Sebab Kewarisan.................................................................................65
E. Hak-Hak Yang Di Tunaikan Sebelum Warisan Di Bagikan......................66
F. Hukum Membagi Harta Warisan MEnurut Al-Quran..............................68
G. Ketentuan Bagian Masing-Masing Ahli Waris............................................69
H. Orang Yang Berhak Menerima Harta Warisan.......................................``72
I. Kedudukan Hukum Adat Dalam Kewarisan...............................................73
BAB IV : POLIGAMI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI
INDONESIA........................................................................................................................
A. Pengertian Poligami........................................................................................
B. Syarat – Syarat Dalam Berpoligami.............................................................
C. Alasan Melakukan Poligami..........................................................................
D. Tata Cara Poligami.........................................................................................
E. Sanksi – Sanksi................................................................................................

BAB V : HUKUM WAKAF DI INDONESIA.................................................................


A. Pengertian........................................................................................................
B. Sejarah Wakaf................................................................................................
C. Dasar Hukum Wakaf.....................................................................................
D. Rukun Dan Syarat Wakaf..............................................................................
E. Jenis Harta Wakaf..........................................................................................
F. Hal-Hal Membatalkan Wakaf.......................................................................
G. Pembuatan Akta Ikrar Wakaf......................................................................
H. Perubahan dan pengalihan harta wakaf......................................................

BAB VI : PENUTUP
A. Simpulan..........................................................................................................
Daftar Pustaka......................................................................................................................

1
BAB I

HUKUM PERDATA ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam


Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering
menimbulkan pengertian rancu, hingga kini hukum Islam terkadang dipahami dengan
pengertian syariah dan terkadang dipahami dengan pengertian fiqh. Secara bahasa,
kata syariah berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang minum”. Orang
Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian “jalan setapak menuju
sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”.
Dengan pengertian bahasa tersebut, syariah berarti suatu jalan yang harus dilalui.
Adapun kata fiqh secara bahasa berarti “mengetahui, memahami sesuatu”. Dalam
pengertian ini, fiqh adalah sinonim kata “paham”. Al-Quran menggunakan kata fiqh
dalam pengertian memahami dalam arti yang umum. Ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa pada masa Nabi, istilah fiqh tidak hanya berlaku untuk permasalahan hukum
saja, tetapi meliputi pemahaman seluruh aspek ajaran Islam. (Ahmad Hanafi, 1970:
11)
Dalam perkembangan selanjutnya, fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul al-
fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Kalangan fuqaha (ulama fiqh) pada
umumnya mengartikan fiqh sebagai kumpulan hukum Hukum Perdata Islam (Suatu
Pengantar) 2 Islam yang mencakup semua aspek hukum syar‖i, baik tertuang secara
tekstual maupun hasil penalaran atas teks. Pada sisi lainnya, di kalangan ahli ushul
fiqh, konsep syariah dipahami dengan pengertian “teks syar‖i” yakni sebagai al-Nash
al-Muqaddas yang tertuang dalam bacaan Al-Quran dan hadis yang tetap, tidak
mengalami perubahan1Hukum Islam” merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau
kita terjemahkan langsung kedalam bahasa arab maka akan diterjemahkan
menjadi al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari istilah “Hukum Islam” adalah al-fiqh al-
Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam wacana ahli hukum barat
digunakan istilah Islamic law .

2
1
Wati Rahmi Ria, Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar), (CV. Anugrah Utama Raharja), cet. 1 h. 2

3
Sedangkan terminologi ”Hukum Perdata Islam” yang menjadi telaah utama
makalah ini dapat penulis uraikan bardasarkan pengertian dari kata-kata
penyusunnya, sebagai berikut
Hukum, adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang (negara), dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta
mengikat anggotanya, dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang
melanggarnya. Sedangkan Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin
adanya kepastian didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain
kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat. Dalam
terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah.
Kemudian frase Hukum Perdata disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami
menurut hemat penulis bahwa ”Hukum Perdata Islam” adalah peraturan yang
dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah
laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku
mengikat bagi semua pemeluk Islam (diIndonesia).2
Perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum atau
perivat materiil, yaitu seluruh hukum pokok yang mengatur kepentingan -
kepentingan perseorang. Perkataan “perdata”juga lazim dipakai sebagai lawan dari
pidana. Subekti mengatakan bahwa istilah “hukum perdata” adakalanya di pakai
dalam arti yang sempit.
Hukum perdata menurut ilmu hukum di bagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Hukum tetang diri seseorang:
2. Hukum kekeluargaan;
3. Hukum kekayaan; dan
4. Hukum waris3
Hukum perdata islam adalah semua semua hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban perseorangan di kalangan warga negara indonesia yang menganut
agama islam. Dengan kata lain, hukum perdata islam adalah privat materiil
sebagai pokok yang mengatur kepentingan - kepentingan perseorangan yang
khusus di berlakukan untuk umat islam di indonesia.

2
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-hukum-perdata-islam-di.html
3
Beni ahmad saebani dan syamsul falah, Hukum perdata islam di indonesia, (Penerbit : CV PUSTAKA
SETIA) Cet.1 h. 11

4
Hukum perdata islam tidak berlaku bagi warga negara nonmuslim. Hukum
tentang waris islam, perkawinan dalam islam, hibah, wakaf, zakat, dan infak adalah
materi – materi hukum perdata islam yang sifatnya khusus di berlakukan dan
dilaksanakan oleh warga negara penganut agama islam.
Dalam perdata islam di kaji secara mendalam hal – hal yang menyangkut
hubungan orang tua dengan anak, masalah harta gono gini, perceraian, rujuk dan
setiap hal yang berhubungan dengan sebelum dan sesudah perkawinan, serta hal – hal
yang meyangkut akibat-akibat hukum karena adanya perceraian. Demikian pula,
persoalan yang berkaitan dengan waris, ahli waris, harta, dan bagian-bagian untuk
ahli waris, ashabah, dan sebagainya.
Dalam hukum perdata islam diatur juga segala hal yang berkaitan dengan
dunia bisnisatau perniagaan, misalnya masalah jual beli, kerja sama, kerjasama
permodalan, dan usaha, serta berbagai akad yang erat kaitannya dengan
perasuransian, jaminan, gadai dan sebagainya.4
B. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat
Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan
agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah
membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-
kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka,
misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali
pembawa dan penyiar agama Islam. Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara,
menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar
abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, di kawasan utara pulau Sumatralah yang dijadikan sebagai titik awal
gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu
kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan
berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan
Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.5
Beberapa ahli menyebut bahwa hukum islam yang berkembang di Indonesia
bercorak Syafi’iyyah ini dtunjukan dengan bukti-bukti sejarah di anataranya, sultan

4
Ibid,. h. 14-15
5
Saidus Syahar, Asas-Asas Hukum Islam (Bandung: Alumni, 1996), h. 105-106.
5
Malikul Jahir dari samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum islam yang
terkenal pada pertengahan abad ke XIV M.
Melalui kerajaan ini, hukum Islam imam Syafi’i disebarkan ke kerajaan-
kerjaan islam lainnya di kepulauan nusantara bahkan para ahli hukum dari kerjaan
malaka (1400-1500 M) sering datang ke samudra Pasai untuk mencari kata putusan
tentang permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
Di Indonesia hukum perdata islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan
sepenuhnya oleh masyarakat islam meski didominasi oleh Fiqih Syafi’iyyah dalam
hal ini kata Rahmat Jatnika karena fiqih Syafi’iyyah lebih dekat kepada kepribadian
Indonesia, namun lambat laun pengaruh mazhab Hanafi, mulai diterima. Penerimaan
dan pelaksanaan hukum perdata islam di Indonesia ini, dapat dilihat pada masa
kerjaan islam awal. Pada zaman kesultanan islam, hukum Islam sudah diberlakukan
secara resmi sebagai hukum negara di Aceh atau pada kepemerintahan sultan agung,
hukum islam telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.
Hukum adat setempat sering menyesuaikan sendiri dengan hukum islam. Di
Wajo, hukum waris menggunakan hukum islam dan hukum adat, keduanya menyatu
dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum islam. Sosialisasi hukum islam
pada zaman sultan agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinya sebagai “Abdul
Rohman Kholifatulillah Sayidin panatagama”. Demikian juga di Banten pada masa
Sultan Ageng Tirtayasa, hukum adat dan agama tidak ada bedanya, begitu pula di
Sulawesi kenyataan semacam ini di akui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia.
Perkembangan hukum islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat
dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi melalui VOC yang memberikan
ruang bagi perkembangan hukum islam, kedua adanya upaya interpretasi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.
Berangkat dari kekuasaan yang dimilikinya VOC bermaksud menerapkan
hukum Belanda di Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat islam tetap
setia menjalakan syariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di
Indonesia (1602-1800 M) hukum islam dapat berkembang dan di praktekkan oleh
umatnya tanpa ada hambatan apapun dari VOC bahkan bisa di sampaikan VOC ikut
membantu untuk menyusun suatu compebdium yang memuat hukum perkawinan dan
hukum ke warisan islam dan berlaku di kalangan umat islam.
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka
seperti yang terlihat nanti sikap Belanda yang berubah terhadap hukum islam kendati

6
perubahan itu terjadi perlahan-perlahan. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu
dapat dilihat dari tiga sisi pertama, mengusai Indonesia sebagai wilayah yang
memiliki sumber daya alam yang cukup kaya kedua, menghilangkan pengaruh islam
dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek kristenisasi. Ketiga, keinginan
Belanda untuk menerapkan apa yang disebut politik hukum yang sadar terhadap
Indonesia. Maksudnya, belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Belanda.6
Dengan sistem inilah hukum Islam mengalami perubahan sehingga terdapat
aneka sistem hukum khususnya dalam bidang perdata yang diberlakukan bagi warga
Negara Indonesia. Aneka system hukum perdata yang dimaksud adalah:
1. Sistem hukum perdata Barat (Eropa), yang tertuang dalam Burgelijk Wetboek
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUP) yang berdasarkan ketentuan pasal
131 I.S jo. Staatsblad 1917 No 129 jo. Staatsblad 1924 No 557, jo. Staatsblad 1917
No 12 tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka BW tersebut berlaku
bagi: a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
Eropa. b. Orang Timur Asing Tionghoa c. Orang Timur Asing lainnya dan orang-
orang Indonesia yang menundukan diri kepada Hukum Eropa.
2. Sistem hukum kewarisan Adat yang beraneka ragam pula system yang dipengaruhi
oleh bentuk etis diberbagai daerah lingkungan hukum Adat, Misalnya sistem
unilateral matrilineal6 di Minangkabau, patrilinial di Batak, bilateral dan atau
parental di di Jawa, alternered unilateral (sistem yang beralih-alih) yang
diperlakukan oleh orang-orang Indonesia yang masih erat hubungannya dengan
masyarakat hukum Adat yang bersangkutan.
3. Sistem hukum perdata (Kewarisan Islam) yang juga terdiri dari pluralism ajaran,
seperti ajaran Kewarisan Ahlul Sunnah Waljama’ah, ajaran Syi’ah, ajaran Hazairin
yang paling dominan dianut di Indonesia adalah ajaran Ahlul Sunnah Wal Jama’ah
(Mazhab Syfi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali). Secara yuridis raja-raja di Indonesia
memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau
perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad
ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias diselesaikan

6
http://ariez9604.blogspot.com/2016/05/sejarah-hukum-perdata-islam-di-indonesia.html penjelasan
mengenai sejarah hukum perdata islam di indonesia bisa di lihat pada buku: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembanagan Hukum Islam dan Fikih, UU No
1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 2-3 dan Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 11-12.
7
oleh perundang-undangan kerajaan maka terkadang ditanyakan kepada Ulama.
Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-
kitab fiqh. Dengan pola ini 4 mazhab imam: Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali
berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hukum Islam terus berjalan
bersamaan dengan system hukum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi
yang dilakukan oleh Negara-negara barat di Indonesia. 7
Hukum perdata islam di indonesia belum lama berlaku di bandingkan
dengan B.W. yang berasal dari kolonial belanda. Hukum perdata islam yang
berlaku dan telah menjadi undang-undang tidak terlepas dari peran serta serta umat
islam dalam memperjuangkan kemberlakuan syariat islam di indonesia.
Kesuksesan pertama umat islam adalah memasukkan semua syariat islam yang
berkaitan dengan keperdataan menjadi undang-undang, sebagaimana undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang nomor
41/2004 tentang wakaf.
Perjuangan umat islam sukses karena di dukung oleh karena adanya tradisi
umat islam yang telah lama berjalan dan di laksanakan. Bahwa sebelum
terbentuknya undang-undang, umat islam di indonesia telah melaksanakan tata
kehidupan dengan aturan yang berasal dari ajaran islam, seperti melaksanakan
perkawinan, pembagian harta waris, masalah wakaf, hibah ataupun segala hal yang
meyangkut kehidupan berumah tangga.
Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma,
yang pada hakikatnya bertujuan menghasilakn kehidupan bersama yang tertib dan
tenteram (soerjono soekanto, 2003:67) kehidupan sosial yang di bangun di atas
berbagai kepentingan dan kebutuhan melahirkan kaidah yang mengatur simpang
siur kepentingan serta kebutuhan antar manusia. Kaidah yang disepakati di
terapkan untuk memperoleh ketertiban dan keamanan manusia dalam melakukan
hubungan dengan sesamanya. Semangkin terbiasa dengan kaidah yang berlaku,
semangkin terbentuklah adat. Manakala adat di jadikan patokan dalam mengukur
baik dan buruknya kehidupan sosial, berarti adat telah menjadi hukum.

7
Maudin, Perkembangan Hukum Islam Di Bidang Perdata Studi Analisa Tinjauan Histori
jurnal.iainambon.ac.id, Vol. XIII, No. 1, Juni 2017 h. 95-96 silahkan di baca buku Surini Ahlan Syarif,
Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 10. Selanjut Baca buku
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 11. Baca buku Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-
Qur’an dan Hadis, h. 12. Dan lihat juga buku Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan
Hadis, h. 1. Lihat juga Muhammad Idris Ramulyo, Beberapa masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata
Barat (Burgelijk Weatboek), h. 1-2.

8
Menurut sidi gazalba (1989:184 kaidah-kaidah sosial yang dibangun atas dasar
nilai-nilai relegius dalam islam ada lima belas yaitu:
1. kaidah tentang persamaan hak dan kewajiban manusia (al-musawah);
2. kaidah tentang keadilan sosial (al-‘adalah);
3. kaidah tentang asas kemerdekaan (al-hurriyah);
4. kaidah tentang penolakan terhadap kejahatan;
5. kaidah tentang universalitas kebenaran;
6. kaidah tentang kewajiban mengajak pada kebajikan;
7. kaidah tentang moralitas dan nilai-nilai islami;
8. kaidah tentang persaudaraan antarmanusia;
9. kaidah tentang musyawarah mufakat;
10. kaidah tentang sikap amanah;
11. kaidah tentang perdamaian;
12. kaidah tentang Allah sebagai hakim;
13. kaidah tentang toleransi sosial dan antaragama;
14. kaidah tentang tolong-menolong;
15. kaidah tentang sikap saling mengawasi dan mengkritik demi perbaikan sosial.
Kaidah sosial di atas, secara universal telah menjadi norma yang berlaku
dalam mengatur kehidupan masyarakat. Norma hukum yang berjalan merupakan adat
dan adat yang berlaku telah menjadi hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, kehidupan sosial yang bersendikan pada adat, biasanya memandang adat
sebagai prinsip dibandingkan dengan hukum lain yang bukan merupakan adat.8
Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van
Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru
diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat,
implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam
menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara.
1. Hukum Islam pada masa penjajahan Belanda
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ke Indo
nesia. Menurut kesimpulan Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Medan tahun
1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad I Hijriyah atau abad 7/8 Miladiyah.
Hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC awal abad XVII Miladiyah. Sebelum

8
Opcit,. h. 20-21

9
Hukum Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang
bermacam-macam sistemnya,sangat majemuk sifatnya.Dapat diduga, pengaruh
Agama Hindu danBudha sangat kuat teihadap hukum adat rakyat Ibnu Batutali,
pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345M. singgah di samudera Pasai,
dan sempat berjumpa dengan Sultan Al-Malik Al-Zahir, melaporkan bahwa Sultan
sangat mahir
Dalam Fiqih Mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, dari sinilah Fiqih Mazhab
Syafi'i keinudian merata di seluruh wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan
hukum resmi kerajaan-kerajaan Islam. Pada waktu VOC sebagai pedagangdan badan
pemerintah, hukum Belanda mulai diperkenalkan kepada bangsa Indonesia. Badan
peradilan dibentuk dengan maksud berlaku juga bagi bangsa Indone sia. Tetapi usaha
VOC itu tidak berhasil. Akliimya VOC membiarkan lembagalembaga yang hidup di
dalam masyarakat beqalan sebagaimanakeadaansebelumnya. Dalam statuta
Jakaiia.tahun 1642 bahkan disebutkan bahwadalamhukum kewarisan bagi barigsa
Indonesia tetap diperlakukan hukum kewarisan Islam. Untuk melegakan perasaan
umat islam, pada tahun 1760 diteibitkan Compendium Freijer yang menghimpun
hukum perkawinan dan hukum.kewarisan Islam. yang diberlakukan di pengadilan
untuk menyelesaikan sengketa dikalangan umat Islam. Teitit pula Kitab Mugharraer
untuk pengadilan negeri Semarang yang memuat hukum-hukum Jawa, yang
mencerminkan hukum Islam.Terbit pula Kitab Pepakem Cirebon yang berisi
kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua-tua. Dibuat pula peraturan untuk daerah
Bone dan Goa atas prakarsa B.J. Qootwijk. Demikian keadaan hukum Islam pada
masa VOC yang berlangsung pada abad lamanya, inulai tahun 1602 hingga 1800.
Setelah masa VOC berakhir, dan pemerintahan kolonial Belanda benar-benar
menguasai seluruh Nusantara, Hukum Is lam mengalami pergeseran. Secara
berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Daendeles (1808-
1811) kedudukan hukum Islam belum" mengalami pergeseran. Thomas Raffles
(1811-1816) bahkan masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyatdi
Jawa. Tetapi setelah Inggris, berdasarkan konvensi London tahun 1814, menyerahkan
kembali kekuasaan pemerintahan kepada Belanda, boleh pemerintah kolonial
Belanda di keluarkan peraturan perundang - undangan tentang kebijaksanaan
pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan di wilayah jajahannya di
Asia, hukum Islam mulai mengalami pergeseran dalam tata hukum Hindia Belanda
yang sangat merugikan eksistensi Hukum Islam. Pada abad XIX muncul gerakan di

10
kalangan banyak orang Belanda di negeri mereka,jugadi Indonesia (HindiaBelanda)
dengan proses Keristenisasi. Mereka berasumsi, jika banyak pribumi yang berpindah
kepada Agama Kristen, maka kedudukan pemerintah kolonial Belanda akan makin
kuat, sebab mereka akan loyal lahir batin kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pembaharuan tata hukum Hindia Belandapun dilakukan. Rakyat disadarkan agar
menerima Hukum Belanda yang lebih baik, untuk menggantikan hukum asli mereka.
Dibentuklah komisi yangdiketahui Mr. Scholten van Dud Haarlem yang bertugas
untuk menyesuaikan Hukum Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Komisi
Scholten melihat rakyat yang beragama Islam itu sangat kuat kesadaran Hukum
mereka. Akhimya dikirm nota kepada pemerintah Belanda, agar kesadaran hukum
pribumi terhadap hukum Islam tidak diganggu. Untuk keuntungan pemerintah
Belanda sendiri, sebaiknya pribumi dibiarkan menggunakan hukum agama dan adat
istiadat mereka sendiri-sendiri. Akhimya dibentuklah Pengadilan Agama pada tahun
1882 di tempat terdapat Pengadilan Negeri (Landraad). Wewenang pengadilan
Agama mencakup hukum hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum
Islam. Dengan didirikaya Pengadilan Agama itu,Hukum Islam memperoleh
pengukuhan. Lodewijk Willem Cristian van den Berg (1857-1927) dalam
penelitiannya sampai kepada kesimpulan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya
telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Teori
van den Berg itu disebut "theorie receptio in complexu". Christian Snouck Hurgronje
(1857 - 1936), penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Islam dan, bumi putra,
menentang teori van den Berg. Berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Tanah Gayo,
disimpulkannya bahwa umat Islam di dua daerah tersebut tidak menganut hukum
Islam, tetapi menganut hukum adat masing-masing. Meskipun diakui bahwa hukum
adat mereka telah menerima beberapa bagian hukum Islam. Dengan demikian,
hukum Islam mereka terapkan jika telah menjadi bagian dari hukum adat mereka.
Teori ini kemudian dikenal dengan "theorie receptie", yang dianut oleh banyak ahli
Hukum Belanda seperti Comelis van Vollen'Hoven dan Bertrand ter Haar Bzn, yang
di Indonesia pun banyak murid-muridnya yang mendukung-nya. Teori ini kemudian
dikukuhkan dalam Indische Staatsregeling (LS.)Hindia Belanda tahun 1929pasal 134
ayat (2). Terhadap teori resepsi ini telah timbul reaksi keras dari kalangan umat
Islam. Pemunculan hukum adat sebagai hukum yang dominan dianut bangsa
Indonesia itu dipandang sebagai usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mematikan
semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dijiwai oleh

11
Hukum Islam: Teori resepsi tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap tata hukum
Hindia Belanda. Terjadilah kemudian pengebirian wewenang pengadilan Agama di
Jawa dan Madura. Perkara warisan ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, dan
dialihkan menjadi wewenang pengadilan Negeri. Pada tanggal I April 1937
diterbitkan Staatsblad 1937 No. 116 yang mencabut wewenang Pengadilan Agama
diJawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan Pengadilan
Agama makin diperlemah dengan ditambahnya dibawah pengawasan Pengadilan
Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat dieksekusi setelah mendapat
persetujuan ketua Pengadilan Negeri yang diwujudkan dalam "executoire verklaring"
( peryataan dapat dilaksanakan). Umat Islam memberikan reaksi sangat besar. Namun
pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan perhatian. Perkara kewarisan
berdasarkan hukum adat menjadi keputusan Pengadilan Negeri. Hukum Kewarisan
Islam dapat menjadi dasar keputusan. Jika memang telah menjadi bagian dari Hukum
Adat yang berperkara. Pengadilan Agama hanya dapat memberikan fatwa waris
menurut Hukum Islam, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum.
'Mahkamah Syar'iyah diluar Jawa Madura pada umumnya masih memiliki wewenang
menyelesaikan perkara kewarisan dan wakaf disamping perkara nikah, talak dan
rujuk sebagaimana semula. Di dalam praktek sehari-hari dapat disaksikan pula bahwa
kesadaran hukum Islam masalah-masalah selain perkawinan, kewarisan dan wakaf
terlihat secara nyata. Misalnya dalam mu'amalat, jual beli, utang piutang gadai dan
sewa menyewa. Pada zaman pemerintahan Tentara Jepang keadaan Hukum Islam di
Indonesia tidak mengalami perubahan apapun, berlaku sebagaimana pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda.9
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau
mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik
keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan
oposisi yang tidak diinginkan.Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol
pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang
terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan.

9
Ahmad azhar basyir, Hukum Islam Di Indonesia dari Masa ke Masa, journal.uii.ac.id, h. 10-11

12
3. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas
dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan,
walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai
teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah
Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a
Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
4. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan
hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang
diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada
realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi
pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis
selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.
Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum
Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal,
walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail
Sunny coba diskrisipsikan secara kronologis berikut ini :
a) Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh
pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan
”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan
Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya.
Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum
Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama
berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
b) Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

13
Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan
mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:
- PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan
sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
- Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
- Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
- Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab
Bhineka Tunggal ika dalam UU PA.
c) Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)
Seperti diuraikan di atas bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di
nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama
diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hukum khusus
sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.
Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada
kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus
serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya,
keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden
Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB)
Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek
kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing
tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan
tentang Hukum Perwakafan (BUKU III.
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan
luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991
Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum
berlakunya KHI tersebut.
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang
berlaku adalah hukum Islam.

14
5. Hukum Islam Pada Masa Reformasi
Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak
ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran
aspirasi politik umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai
Islam dan munculnya tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional
sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga legislatif maupun
eksekutif. Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga
memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan
hukum nasional. Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini
yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain
adalah:
a) Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b) Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
c) UU tentang Perbankan Syariah
d) UU Tentang Pengelolaan Haji10

10
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/sejarah-belakunya-hukum-perdata-islam.html

15
BAB II

PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) BAB II pasal 2 dijelaskan
defernisinya “perkawinan menurut hukum islam adalah, akad sangat kuat atau
mistaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya ibadah.”11
Dalam pasal 1 huruf c, akad nikah disebutkan sebagai rangkaian ijab yang di
ucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian, pristiwa perkawinan-pernikahan
merupakan suatu perikatan hukum antara sumai istri dalam islam sehingga
mengakibatkan berlakunya hukum tentang pergaulan suami istri dalam islam dengan
segala akibat-akibat hukumnya. Karenanya ia disebut dengan ikatan yang kuat
(mistaqon gholidhon.).
Begitu pentingnya hukum perkawinan hukum keluarga dalam islam sebagai
pengaturan keperdataan bagi umat manusia sehingga Al-quran membahasnya tidak
kurang dari 54 buah ayat. Didalamnya sebagian besar merupakan respon langsung
dari pristiwa yang terjadi meyangkut hukum perkawinan, motivasi dan bimbingan
moral hukum rumah tangga adalah wajar sebagaimana yang disebutkan pasal 2 KHI
bahwa pelaksanaan nikah/atau perkawinan di maksud tidak lain kecuali demi mentaati
perintah Allah sekaligus sebagai perbuatan ibadah dan manifesto dari ajaran agama.12
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram. Sebagai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3 yang Artinya “dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamanakamu mengawininya) maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S.An-Nisa:3)
Anwar harjono, mengatakan bahwa perkawinan adalah bahasa indonesia yang
umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah atau zawaj dalam istilah

11
A.sukris sarmadi, Format hukum perkawinan dalam hukum perdata islam di indonesia, yogyakarta:
Pustaka Prima,2007) cet 1, h.18
12
Ibid,. h. 19

16
fiqh. Para fuqaha dan madzhab empat sepakat bahwa makna nikah atau zawaj adalah
suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan
kelamin. Jadi perkawinan adalah suatuperjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin
untuk melanjutkan keturunan.
Menurut bahasa, kata “nikah” berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindah
dan memasukkan). Dalam kitab lain kata nikah diartikan dengan adh-dhammu wa al-
jam’u (bertindih dan berkumpul). Oleh karena itu menurut kebiasaan arab, pergesekan
rumput pohon seperti bambu akibat tiupan angin di istilahkan dengan tanakahatil
asyjar ( rumput pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu menyebabkan
terjadinya pergesekan dan masuknya rumpun yang satu keruang yang lain.
Menurut rahmat Hakim, penggunaan kata “nikah” atau “kawin” mengandung
dua maksud. Konotasinya tergantung pada arah kata itu dimaksudkan (syiaq al-
kalam). Ucapan nakaha fulanun fulanah ( sifulan telah mengawini si fulanah),
maksud adalah melakukan akad nikah. Akan tetapi, bila kalimatnya adalah nakaha
fulanun zaujatahu (sifulan telah mengawini si fulanah) artinya melakukan hubungan
seksual. Kebiasaan lain dalam masyarakat kita adalah pemisahan arti kata
“nikah”dengan “kawin”. Nikah dimaksudkan untuk perkawinan manusia sedangkan
kawin ditujukan bagi binatang. Kadang-kadang, kata nikah atau kawin sama-sama
ditunjukan kepada orang, tetapi dengan pengertian yang berbeda. Kawin diartikan
sebagai melakukan hubungan seksual di luar nikah, sedangkan nikah di artikan
sebagai akad ( upacara di hadapan petugas pencatat nikah). Pemakaian yang
termasyhur untuk kata “nikah” adalah tertuju pada akad. Sesungguhnya, inilah yang
dimaksud oleh pembuat syariat. Di dalam Al-Quran pun, kata nikah tidak
dimaksudkan lain, kecuali arti akad perkawinan.13
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu
perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk
kelurga bahagia.Definisi itu memperjelas pengertian bahwa perkawinan adalah
perjanjian. Sebagai perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas
antara dua pihak yang saling berjanji, berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi, ia
jauh sekali dari segala yang diartikan sebagai paksaan. Oleh karena itu, baik pihak
laki-laki maupun pihak perempuan yang mau mengikat janji dalam perkawinan

13
Beni ahmad saebani, fiqih munakahat, (Bandung: CV.Pustaka setia, 2001) h.9-11

17
mempunyai kebebasan penuh nuntuk menyatakan, apakah mereka bersedia atau tidak
untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan
oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk
menghalalkan pencampuran antara keduannya, sehingga satu sama lain saling
membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.
Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan kabul yang harus di ucapkan
dalam satu majelis, baik langsung oleh mereka yang bersangkutan, yakni calon suami
dan calon istri, jika kedua-duanya sepenuhnya berhak atas dirinya menurut hukum
atau oleh mereka yang dikuasakan untuk itu. Kalau tidak demikian, misalnya dalam
keadaan tidak waras atau masih berada dibawah umur, untuk mereka dapat bertindak
wali-wali mereka yang sah.14
Pengertian perkawinan terdiri atas beberapa defenisi yang dijelaskan oleh
Slamet Abidin dan Aminudin (1999: 10) yaitu sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiah mendefenisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu akad
yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki
dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk
mendapatkan kesenangan dan kepuasan;
2. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafaz “nikah” atau “zauj” yang menyimpan arti memiliki. Artinya
dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari
pasangannya;
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang
mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
adanya harga;
4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan
menggunakan lafazh “nikah” atau “tazwij” untuk mendapatkan kepuasan,
artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasaan dari seseorang perempuan
dan sebaliknya. Dalam pengertian diatas terdapat kata-kata milik yang
mengandung pengertian hak untuk memiliki melaui akad nikah. Oleh karena itu
suami istri dapat saling mengambil manfaat untuk mencapai kehidupan dalam

14
Ibid., h.14

16
rumah tangganya yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah
warahmah di dunia.
Didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab I
dasar perkawinan pasal I dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa”.
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia yakni laki-
laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama
Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah,
tenteram, dan di penuhi oleh rasa cinta. Dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-
cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar kepada
ajaran-ajaran Allah dalam Al-Quran dan As-Sunah yang sifatnya global, terlebih lagi
perkawinan berkaitan dengan hukum suatu negara. Perkawinan dinyatakan sah jika
sesuai menurut hukum Allah dan hukum negara.15
Dari berbagai pendapat dan penjelasan tentang pengertian perkawinan maka
penulis meyimpulkan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin yang diutarakan
kedua mempelai dengan dasar kerelaan hati yang disahkan dengan akad, ijab dan
kabul yang sesuai rukun dan syarat hukum agama maupun negara dengan tujuan
membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
B. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat dalam perkawinan merupakan ketentuan wajib yang harus
terpenuhi perkawinan akan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat
sehingga pada saat melaksanakan sebuh akad ijab dan kabul rukun dan syaratnya
harus benar-benar sudah terpenuhi.
1. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
Sudah menjadi sunatullah bahwa semua mahluk dijadikan oleh Allah Swt. Di
muka bumi dengan berpasang pasangan termasuk manusia. Sebagai makhluk
sosial,manusia jelas membutuhkan teman hidup dalam masyarakat yang diawali
dengan membentuk keluarga sebagai unsur masyarakat kecil.

15
Ibid., h.18-19

17
Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya. “dan segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (Q.S.Al-Az-
Zariyat: 49)
Dalam ayat lain Allah SWT. Berfirman yang Artinya: “maha suci tuhan yang
telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
(Q.S.Yasin:36)
Untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, di
Syariatkanlah pernikahan. Oleh karena itu, apabila seseorang telah mampu
memberikan nafkah dan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan, maka
dianjurkan untuk menikah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadis yang Artinya: “ dari
Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW. Bersabda kepadaku, “ Wahai para pemuda!
Barang siapa yang telah mampu meberi nafkah, maka menikahlah, karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan farji.
Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka berpuasalah, karena puasa itu
merupakan benteng bagi dirinya.” (Muttafaq alaih)
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah dianggap sah apabila ada seseorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya. Keterangan ini dapat di lihat dalam sebuah hadis Nabi Saw yang
Artinya: “ barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya maka
pernikahannya batal.” ( H.R.Empat ahli hadis, kecuali Nasa’i)
Dalam hadis lain Nabi Saw bersabda yang Artinya: “jaganlah seorang
perempuan menikahkan perempuan lainnya, jaganlah seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri.”
c. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang yang menyaksikan akad
nikah tersebut.
Nabi saw bersabda yang artinya: “ nikah itu tidak sah, melainkan dengan wali dan
dua orang saksi” ( H.R.Ahmad )
d. Sigat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin.
Akad nikah itu sah apabila diucapkan dengan menggunakan fi’il mudari seperti
inkahin atau tazwij, atau yang seperti dengan keduannya.

18
Beberapa contoh ijab kabul:
1) Walinya ayah sendiri dan pengantin periannya sendiri
 Wali berkata: “saya nikahkan, dan saya kawinkan anak perempuan
saya bernama fatimah untuk saudara dengan mas Kawin Rp.100.000 (
seratus ribu rupiah) kontan/tunai.”
 Pengantin peria menjawab: “ saya terima nikah dan kawinnya fatimah
untuk saya dengan mas kawin yang telah disebutkan.”
2) Walinya wakil, pengantin perianya sendiri:
 Wali berkata: “saya nikahkan dan saya wakilkan Fatimah binti
Muhammad yang diwakilkan kepada saya dengan mas kawin seratus
ribu rupiah kontan/tunai.”
 Pengantin peria menjawab: “saya terima nikah dan kawinnya fatimah
untuk saya dengan maskawin yang telah disebutkan.”
3) Wali ayahnya sendiri pengantin periannya wakil:
 Wali berkaat: “Saya nikahkan dan kawinkan anak saya fatimah untuk
ali yang telah diwakilkan kepada saudara dengan mas kawin seratus
ribu rupiah kontan.”
 Wakil pengantin peria menjawab: “saya terima nikah dan kawinnya
Fatimah untuk Ali dengan mahar yang tersebut tadi”
4) Walinya wakil, pengantin priannya juga wakil
 Wakil wali bberkata: “ Saya nikahkan dan kawinkan Fatimah binti
Muhammad yang diwakilkan kepada saya untuk Ali, dengan maskawin
seratus ribu rupiah kontan.”
 Wakil pengantin peria menjawab: “saya terima nikah dan kawinnya
Fatimah untuk Ali, dengan mas kawin yang telah disebutkan.”
5) Walinya kaka/adik sekandung
 Ijab: “saya nikahkan dan saya kawinkan kakak/adik perempuan saya
Fatimah untuk saudara dengan mas kawin seratus ribu rupiah.”
Imam malik berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
1. Wali dari pihak perempuan
2. Mahar (mas kawin)
3. Calon pengantin peria
4. Calon pengantin perempuan
5. Sigat akad nikah

19
Menurut imam syafi’i rukun nikah ada lima macam, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki
2. Calon pengantin perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Sigat akad nikah16
Rukun Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada Bab IV Rukun dan
syarat Perkawinan Pasal 14 menjelaskan sebaagi berikut: Calon Suami; Calon Isteri;
Wali nikah; Dua orang saksi dan; Ijab dan Kabul.17
2. Syarat-syarat perkawinan
Merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat-syarat tersebut
terpenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami
istri. Pada garis besarnya syarat sah pernikahan ada dua sebagai berikut:
a. Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin
adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara atau
selamanya.
b. Akad nikah di hadiri para saksi.
Dalam masalah syarat perkawinan ini terdapat beberapa pendapat di antara
para mazhab fiqih, yaitu sebagai berikut:
Ulama hanafiah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan
berhubungan dengan sigat, dan sebagian lagi berhubungan dengan akad, serta
sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.
a. Sigat, yaitu ibarat dari ijab dan kabul, dengan syarat sebagai berikut:
1) Menggunakan lafal tertentu, baik dengan lafal sarih misalnya: tazwij atau
inkahin maupun dengan lafal kinayah, seperti:
 lafal yang mengandung arti akad untuk memiliki misalnya: saya
sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak saya
kepada kamu, dan sebagainya
 Lafal yang mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya:
milikilah diri saya untukmu, milikilah anak perempuan saya
untukmu dengan Rp.500.00,-

16
Slamet abidin dan aminudin, fiqih munakahat I, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999) Cet-1 h.64-72
17
Kompilasi hukum islam (KHI)

20
 Dengan lafal ijarah atau wasiat, misalnya: saya ijarahkan diri saya
untukmu, saya berwasiat jika diri saya mati anak perempuan saya
untukmu.
2) Ijab dan kabul, dengan syarat yang dilakukan dalam salah satu majelis.
3) Sigat didengar oleh orang-orang yang menyaksikannya
4) Antara ijab dan kabul tidak berbeda maksud dan tujuannya.
5) Lafal sigat tidak disebutkan untuk waktu tertentu
b. Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal
sehat, balig dan merdeka.
c. Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikahnya
hanya di saksikan oleh satu orang. Dan tidak di syariatkan keduannya harus
laki-laki dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila saksi terdiri dari
dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah. Dan syarat menjadi saksi
harus berakal, tidak gila, balig bukan anak-anak, merdeka bukan budak, islam
dan kedua orang saksi itu mendengar.
Ulama asyafi’i berpendapat bahwa, syarat-syarat pernikahan itu ada yang
berhubungan dengan sigat, ada juga yang berhubungan dengan wali, serta ada yang
berhubungan dengan kedua calon pengantin, dan ada lagi yang berhubungan dengan
saksi.18
Untuk memperjelas Syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Calon suami dan istri ( kedua mempelai)
a. Perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan calon mempelai yang dapat
berupa peryataan tegas, nyata dengan tulisan, lisan, isyarat atau berupa
diamnya seorang wanita tanpa ada penolakan yang tegasdarinya (psl.16 KHI.
Jika ia seorang tuna wicara maka dapat dibuktikan dengan tulisan atau isyarat
yang dapat dimengerti (psl. 17 ayat 3).
Teknis formil pembuktian bahwa sebelum berlangsungnya perkawinan,
pegawai pencatat nikah akan menayakan langsung kepada calon mempelai
dihadapan dua orang saksi ketika akad nikah akan langsungkan (psl.17 KHI).
Ketidaksetujuan salah satu pihak mengakibatkan tidak dapatnya berlangsung
akad perkawinan. Bentuk tidak setuju dapat berupa lisan, tulisan atau isyarat
bagi tuna wicara.

18
Ibid,.h.63-64

21
b. Batas Usia peria dan wanita 19 tahun Menurut UU No 16 Tahun 2019
Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jika dibawah
ketentuan yang berlaku orang tua pihak peria dan/atau wanita dapat meminta
dispensasi sehingga di tetapkan melewati Pengadilan Agama dengan alasan
sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Terhadap orang tua mempelai yang telah meninggal dunia atau karena
tidak dapat menyampaikan kehendaknya maka izin dimaksud diperoleh dari
wali yakni orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas, (lihat psl.6 ayat 4 UU No.1 Thn
1974)
Dengan berlakunya hukum diatas tentang batas minimal perkawinan,
maka apa yang berlaku dalam fiqih Islam selama ini yaitu tidak
mensyaratkannya umur tidak lagi diberlakukan kecuali, atas perintah
pengadilan Agama mewilayahinya. Semua ini bertujuan agar termungkinkan
terciptnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Batas
minimal umur bagi mempelai dalam konteks KHI adalah ukuran standard
kemampaun seseorang dalam menyadari kemanusiaan dan kedewesaan untuk
jenjang kehidupan yang lebih luas (rumah tangga).
c. Kedua calon mempelai satu sama lain tidak terdapat halangan melakukan
perkawinan menjadi suami istri (psl.18 KHI) dan Bab VI KHI berupa halangan
karena muharrimat ( pertalian nasab genetic, semenda dan sepersusuan, masih
terikat perkawinan, masih dalam iddah raj’iyah maupun bain, karena salah
satunya tidak beragama islam, perkawinan karena memandu istri dengan
saudaranya atau dengan bibinya dan sebaliknya serta terhadap istrinya yang
telah dili’annya (lihat.psl.39s/d-44 KHI)
Selain persetujuan kedua mempelai ada persetujuan wali mujbir orang yang
berhak menikahkan anak perempuannya terkadang kendala yang sering terjadi
dimasyarakat tidak direstuinya hubungan dikarenakan walinya tidak merestui.
Dalam hal ini boleh saja namun jika pelarangan tersebut dikarenakan melihat
stus sosial atau harta atau sebab lain maka tidak menjadi penghalang jika
walinya tidak merestui.
Di jelaskan dalam KHI 16-17 memiliki batasan yaitu:
1. Tidak seorangpun yang dapat memaksa anak perempuannya untuk kawin
dengan seseorang tanpa persetujan anak perempuan itu sendiri.

22
2. Tugas wali mujbir adalah memberi nasehat dan izin sekaligus sebagai wali
dalam perkawinan anak perempuannya atas dasar persetujuan dari anak
perempuannya.
3. Berhak melakukan pencegahan dan pembatalan perkawinan anaknya
apabila didasarkan alasan yang dibenarkan agama sesuai dengan yang
ditunjuk dalam pasal 60 s/d 76 KHI
4. Berhak mengawinkan anaknya dengan izin kerelaan anaknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerelaan mempelai seorang
wanita merupakan persoalan yang mutlak. Apabila orang tuannya (walinya) hendak
mengawinkannya maka izin dari wanita tersebut harus jelas, tegas, isyarat atau
diamnya tanpa penolakan.
Sedangkan seorang janda lebih berhak kepada dirinya sendiri ketimbang
walinya. Dari ibn abbas bahwasannya rasulullah berkata “janda lebih berhak kepada
dirinya sendiri ketimbang walinya sedangkan seorang gadis hendaknya diminta izin
dalam perkara dirinya dimana izinnya dapat berupa diamnya (tanpa penolakan yang
tegas)” HR. Jamaah kecuali Bukhari lafaz ini adalah lafazh Muslim.
2. Wali nikah (pasal 19/sd23
Wali nikah diperlukan bagi mempelai wanita salah satu rukun perkawinan.
Tanpa wali nikah maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan (pasal 19
KHI) Pasal 20:
ayat (1)yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang lelaki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
Ayat (2) wali nikah terdiri dari a. Wali nasab, b.wali
hakim Pasal 21:
Ayat (1) Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu di dahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya
susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama kelompok kerabat
laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki dan
keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-
laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.

23
Ayat (2) apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang
yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
adalah yang lebih dekat derajatnya kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Ayat (3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
Ayat (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-
sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22:
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna
rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang
lain menurit derajat berikutnya.
Pasal 23:
Ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
Ayat (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Penjelasan KHI pasal 23 mengenai adanya kemungkinan wali hakim di
mungkinkan bila terjadinya wali adlal ( engannya para wali nikah untuk
menikahkan). Pengadilan agama akan memeriksa perkara tersebut, mengetahui
penyebabnya dan menawarkan perkawinan kepada para wali sesui urutan
kekerabatan masing-masing. Jika mereka tidak bersedia, maka hakim yang
memeriksa perkara tersebut dapat menetapkan wali hakim tersendiri dengan
menunjuk kepala KUA ( Kantor Urusan Agama) setempat dimana calon mempelai
wanita tinggal sebagai wali hakim. Penetapan pengadilan agama tentang wali hakim
ini dapat terjadi jika tidak ada larangan perkawinan (pasal 39-34 KHI)
3. Saksi nikah ( pasal 24 s/d26 )
Pasal 24:
Ayat (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
Ayat (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

24
Pasal 25 :
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26 :
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda “tidaklah sah suatu
perkawinan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yag adil”
Kelompok syafi’iyah dan hambali menambahkan bahwa jumlah orang saksi
dimaksud adalah laki-laki. Kelompok hanafiyah membolehkan saksi dimaksud
adalah laki-laki dan dua orang perempuan sebagai pengganti satu orang laki-laki.
Selanjutnya kelompok pertama, syafi’iyah dan hanbaliyah berdasarkan hadis diatas
di syariatkan para saksi harus adil tidak suka berdusta dan amanah sedangkan
kelompok hanafiyah tidak mensyaratkannya dalam konteks ini, pasal 24, 25 KHI
lebih cenderung mengacu pada pada syafi’iah dan hanbaliya.
4. Akad nikah (pasal 27-29)
Pasal 27:
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu.
Pasal 28 :
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.
Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Wali nikah yang sah dapat mewakilkan pelaksanaan akad nikah (biasa
diwakilkan kepada para pembantu pegawai pencatat nikah/penghulu), baik ia hadir
atau tidak hadir di tempat dimaksud dalam akad nikah. Hal-hal yang terjadi pada
keadaan ini banyak berhubungan dengan persoalan psikis wali karena tidak terbiasa
maupun karena takut keliru. Perwakilan akad nikah (ijab-kabul) berakhir dengan
telah dilaksanakannya akad nikah.Teknis pelaksanaan akad nikah dijelaskan dalam
KHI

Pasal 29:

Ayat (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi.

25
Ayat (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada
pria lain sengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
Ayat (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon
mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Mengenai sighat ijab dan kabul dikaitkan dengan pendapat madzhab sayfi’i
yang dimaksud demikian adalah suatu lafadz yang pasti dan tegas berlafadz nikah
atau tajwij ( nikah atau kawin) seperti perkataan wali mempelai wanita dalam
ijabnya: “saya nikahkan (atau saya kawinkan) engkau dengan anakku yang bernama
fulanah binti fulan dengan mahar... kemudian kabul yang diucapkan mempelai peria
kepada wali perempuan tersebut haruslah beruntun tanpa berselang waktu yang lain.
“saya terima nikahnya ( atau menikahi atau kawinnya atau mengawininya.
Jika mempelai peria berhalangan maka bisa diwakilkan kepada pria lain yang
ditunjuk dengan sayarat tertulis berupa peryataan kuasa hukum mewakili untuk
mengucapkan ucapan kabul. Dan dapat persetujuan dari calon mempelai atau wali
perkawinan.
Dalam hadis lain, Umar Ibn Ummayah Ad Dhomiri pernah bertindak sebagai
Wakil Rasulullah Saw dalam perkawinannya kepada perempuan yang bernama
ummu habibah.19
C. Prinsip-Prinsip Perkawinan
Yang menjadi dasar pijakan seseorang menikah adalah agama dan budi
pekerti setiap calon pasangan hidup. Karena dasar inilah yang menjadi pokok untuk
pemilihan dalam pernikahan. Hal ini berlaku sebagai peringatan bagi para wali nikah
untuk tidak sembarangan menjodohkan anaknya; sebab kalau tidak kebetulan di jalan
yang benar, sudah tentu dia seolah-olah menghukum atau merusak akhlak dan jiwa
anaknya yang tidak bersalah. Pertimbangkanlah terlebih dahulu dengan sedalam-
dalamnya antara mamfaat dan madaratnya yang bakal terjadi pada hari kemudian,
sebelum menikahkan anaknya dalam suatu pernikahan.
Perkawinan bertujuan untuk menyalurkan kebutuahn syahwat seksualitas
manusia dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah dan mengendalikan hawa nafsu
dengan cara yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas manusia
sebagai hamba Allah.

19
Sukris sarmadi, format hukum perkawinan dalam hukum perdata islam di indonesia, (yogyakarta:
Pustaka Prisma, 2007) h.30-42
26
Tujuan utama pernikahan adalah menghalalkan hubungan seksual antara laki-
laki dan perempuan. Tujuan ini berkaitan dengan pembersihan moralitas manusia.
Akhlak manusia, sebelum peradabannya mencapai puncak kemanusiaan, bagikan
binatang. Pergaulan bebas antara sesama jenis bukan masalah yang tabu, tetapi
merupakan tontonan sehari-hari. Anehnya lagi, pada zaman modern sekarang ini,
pergaulan bebas dan seks tanpa ikatan pernikahan telah di bela mati-matian oleh kaum
libralis dan sekuler yang mengukur perbuatan mereka dengan ukuran seni yang
semata-mata kebudayaan yang sarat dengan nafsu syahwat.
Ali bin thalib mengatakan, “ aku khawatir atas kamu dua hal yaitu sikap yang
tunduk pada hawa nafsu dan memelihara keinginan yang tak terkendali. Hal ini
karena nafsu itu menjauhkan kita dari yang haq (kebenaran, takwa, dan Allah); dan
pengharapan yang tak terkendali membuat orang lupa akan hari kemudian.
Nafsu dari wujud jasmaniah manusia itu banyak jumlahnya dan bervariasi
menurut kehebatannya dan benda yang diinginkan. Kadang kadang nafsu itu begitu
halus sehingga orang tak menyadari bahwa itu adalah tipu muslihat setan dan hawa
nafsu, kecuali bila ia disadarkan. Dengan segala kesia-siaannya, nafsu-nafsu itu
menghalangi seseorang dari jalan ilahi dan membuatnya menyimpang. Tingkatnya
bermacam-macam. Ada korban hana nafsu yang menjadikan emas dan kekayaan dan
sejenisnya sebagai tuhan mereka; dan ada golongan lain yang oleh allah SWT.
Diceritakan kepada kita dalam firman-Nya surat Al-furqan ayat 43-44 sebagai berikut:
Artinya “Perjalanan moralitas manusia bergelut dengan hawa nafsunya yang
secara fitrah tidak pernah merasa puas, selalu rakus dengan kenikmatan meskipun
harus melanggar syariat Allah. Nafsu Seks yang cara melampiaskannya seperti
binatang telah lama di lakukan manusia . perempuan di jadikan objek seks bebas atau
perempuannya sendiri yang menjadi penjaja seks bagi kaum laki-laki hidung belang.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan pernikahan agar manusia terbebas dari
kehidupan yang di perbudak oleh nafsunya sendiri. Syariat tentang perkawinan
bertujuan menjadikan harkat dan martabat manusia lebih mulia dibanding dengan
binatang.
Tujuan pernikahan adalah mengangkat harkat martabat perempaun. Karena
dalam sejarah kemanusiaan, terutama pada zaman jahiliah kedudukan perempuan
tidak lebih dari barang dagangan yang setiap saat dapat diperjual belikan, bahkan
anak-anak perempuan dibunuh hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara
ekonomis.

27
Perkawinan adalah ikatan janji suci antara sumi dan istri dan membangun
keluarga yang bahagia, tenteram dan abadi dengan landasan ketauhidan. Dengan
landasan tersebut pernikahan yang bertujuan megangkat harkat dan martabat kaum
wanita secara substansial mengacu pada tiga prinsip penting, yaitu:
1. Semua manusai di mata allah kedudukannya sama dan sederajat
2. Setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan; dan
3. Setiap manusia dapat melakukan hubungan timbal balik serta hubungan
fungsional agar kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing menjadi
pontensi yang kuat untuk membangun kehidupan secara bersama-sama dalam
ikatan janji suci, yang salah satunya melalui perkawinan.
Perkawinan juga bertujuan untuk memproduksi keturunan agar manusia tidak
punah dan hilang ditelan sejarah. Pembicaraan makhluk manusia pun bukan sekedar
nostalgia atau kajian antropologis sebagaimana membicarakan binatang purba dan
manusia primitif yang seolah-olah tidak lebih dari dongeng masa lalu.
Menurut masdar F.Mas’udi ( islam dan hak-hak reproduksi perempuan, dialog
fiqh pemberdayaan, 1997: 71-87) bahwa secara kodrati, perempuan mengemban
fungsi refroduksi umat manusia yang meliputi mengandung, melahirkan, dan
menyusui anak. Dalam Al-qur’an, fungsi kemanusiaan yang sangat berat ini
diapresiasi dengan sangat mendalam dalam Surat Al-Ahqaf Ayat 15: Artinya: “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Beban yang amat berat dari kaum perempuan adalah melakukan reproduksi
yang memperpanjang kajayaan kehidupan manusia dalam sejarah dan peradaban
panjang sampai sekarang ini. Al-qur’an menetapkan perempuan sebagai makhluk
yang amat mulia sehingga semua anak wajib memuliakan kaum perempuan yang
telah melahirkannya.

28
Dalam ayat lain Allah menetapkan perihal yang sama dengan yang diatas, yakni
dalam surat lukman ayat 14 dan 15, Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Dengan penghargaan yang amat tinggi yang dilimpah Allah kepada kaum
perempuan, dan Rasulullah bersabda Saw, Artinya: “surga ada di telapak kaki ibu”
Hak-hak reproduksi kaum perempuan berkaitan secara langsung dengan tujuan
perkawinan, karena tanpa ada ikatan perkawinan yang baik dan benar menurut
tuntutan syariat islam, percuma membicarakan hak-hak reproduksi bagi kaum
perempuan. Lalu, bagaimana agar tujuan ini dapat dicapai dengan hasil yang baik?
Ada lima hal yang harus dilakukan oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan, yaitu:
1. Kaum laki-laki dan kaum perempuan perlu membekali diri dengan ilmu
pengetahuan dan pendidikan mental beragama yang kuat.
2. Persiapan mentalitas harus ditanamkan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
3. Hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan harus merupakan hubungan
ideologis keberagamaan, sehingga setiap hubungan akan dijaga oleh aturan agama
yang bersumber dari Allah.
4. Pendidikan keluarga harus melaui suri teladan yang diperkuat oleh pendidikan
lingkungan sekolah dan masyarakat.
5. Peningkatan kepercayaan dari kaum perempuan sehingga tidak bergantung kepada
laki-laki agar hak dan kewajibannya berjalan seimbang dan adil.
Perkawinan tidaklah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis.
Perkawinan yang diajarkan islam meliputi multiaspek. Diantara aspek-aspek tersebut
menurut rahmat hakim adalah sebagai berikut:
1. Aspek personal penyaluran kebutuhan biologi
Sebagai suatu sunnatullah, manusia selalu hidup berpasang pasangan akibat
adanya daya tarik, nafsu sahwat diantara dua jenis kelamin yang berlainan. Hidup

29
bersama dan berpasangan tidaklah harus selalu dihubungkan masalah seks
walaupun faktor ini merupakan faktor yang dominan. Seks adalah faktor utama
lahirnya keturunan. Akan tetapi, menikah tidak selalu mutlak karena disebabkan
oleh faktor seks dalam arti hubungan badan. Seks dapat diartikan hubungan kasih
sayang, sebagaimana seorang kakek tua renta menikah dengan nenek yang sudah
tidak mungkin digauli sebagai istri dalam arti seks tersebut.
Dalam hal ini, undang-undang membolehkan perkawinan antara dua orang,
yang salah seorang diantaranya atau keduanya sangan lanjut usia. Dalam usia
seperti ini, kemungkinan untuk melakukan hubungan seks kecil. Peraturan juga
membolehkan suatu perkawinan yang salah satunya berada dalam kedaan yang
sangat kritis ( in extremis ) atau dalam keadaan sekarat.
Tidak diperbolehnya keturunan karena ketidakmampuan salah satu pihak,
bukan merupakan sebab resmi untuk bercerai. Apabila terjadi, itu hanyalah hak
untuk memilih, yang dapat di pergunakan atau dapat pula tidak digunakan. Pada
umumnya, dapat dikatan bahwa hal persetubuhan ini merupakan faktor pendorong
yang penting untuk hidup bersama dengan maksud mendapatkan anak turunan
ataupun hanya untuk hawa nafsu belaka.jadi, jelaslah bahwa faktor yang satu ini
sangat mempengaruhi manusia disamping faktor-faktor lain untuk melakukan
perkawinan.
Kebutuhan manusia dalam bentuk nafsu syahwat ini memang telah menjadi
fitrah manusia dan makhluk hidup lainnya. oleh karena, perlu disalurkan pada
proporsi yang tepat dan sah sesuai derajat kemanusiaan. pada saat-saat tertentu,
kebutuhan batin ( disebut kebutuhan biologi) ini dapat bersifat mendesak.
Hanya ada satu jalan bagi manusia akan menyalurkan seks, yaitu melalui
perkawinan. manusia dilarang berzina, bagaimana pun kritisnya keadaan.
2. Reproduksi generasi
Kalau tujuan perkawinan adalah memperoleh keturunan, perkawinan tidak
selalu diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyewa rahim perempuan
untuk membuahi sel spermatozoanya atau sekedar melakukan perkawinan di luar
nikah atau berzina karena menikah dengan berzina keduanya dapat melahirkan
keturunan.
Itulah sebabnya, syariat Islam berkaitan dengan perkawinan bukan hanya
mengutamakan soal membuahkan keturunan, melainkan menjaga keturunan yang
merupakan amanah dari sang pencipta. Perkawinan adalah bagian dari tujuan

30
Syariat Islam yakni memelihara keturunan (hifzah an-nasl) dengan cara
memelihara agama, akal, jiwa dan harta kekayaan.
Oleh karena itu meskipun bersetubuhan yang ilegal Itu membuahkan
keturunan hal itu dianggap tidak ada keturunan yang dimaksud adalah keturunan
yang sah melalui perkawinan.
3. Aspek sosial
Rahmat Hakim (2000 17-18) mengatakan bahwa rumah tangga yang baik
merupakan pondasi masyarakat yang baik. perkawinan diibaratkan sebagai ikatan
yang sangat kuat, bagaikan ikan dengan airnya, dan bagaikan beton bertulang yang
sanggup menahan getaran gempa. Kalau kita amati, pada awalnya mereka yang
melakukan pernikahan tidak saling mengenal dan kadangkala mereka mendapatkan
pasangan yang berjauhan. Akan tetapi, tatkala memasuki dunia perkawinan mereka
begitu menyatu dalam keharmonisan bersatu dalam menghadapi tantangan dalam
mengarungi bahtera kehidupan.
Perkawinan juga mengajarkan manusia agar bertanggung jawab akan segala
akibat yang timbul karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih sayang
terhadap keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan ke arah yang
lebih baik dengan berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha
untuk membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorong nya untuk lebih kreatif dan
produktif, tidak seperti pada masa lajang.
Sikap tersebut akan memberikan dampak yang baik terhadap lingkungannya.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Jadi,
tatkala berkreasi dan berproduksi, dia pasti akan melibatkan orang lain. Akibatnya,
terbentuklah dinamika pribadi-pribadi yang pada gilirannya akan
mendinamisasikan bangsanya.
4. Aspek ritual
Dalam ajaran Islam mengenai pernikahan, yang dipahami dari tujuan, hikmah,
dan prinsip-prinsipnya tidak menitikberatkan pada kebutuhan biologis semata dan
bukan sekedar tertib administrasi. Titik pernikahan adalah bagian syarat Islam.
Pernikahan adalah suatu ibadah dan berarti pelaksanaan perintah syar’i sebagai
refleksi ketaatan makhluk kepada khaliknya, bagian yang tak terpisahkan dari
Seluruh ajaran agama dan sama sekali bukan sekedar tertib administratif. Dalam
ajaran islam diterapkan aturan yang rinci dalam perkawinan, akibat yang mungkin
terjadi selama dan setelah terputusnya perkawinan. (Rahmat Hakim, 2000: 19)

31
Dalam sebuah hadis nabi Muhammad SAW bersabda: Artinya “Apabila
seseorang hamba menikah, sempurnalah sebagian Agamanya, maka bertakwalah
kepada Allah akan sebagian yang lain.”
Disamping itu, pernikahan merupakan sunnah yang dijalani Rasulullah SAW.
sebagian umat pengikut Nabi yang taat, sepantasnya mengikuti jejak beliau.
pegingkaran terhadap sunnah berisiko terlepas dari kumpulan umat beliau.
Banyak hadis yang mengatakan hal tersebut diantaranya yang Artinya: “
nikah itu adalah sunnahku barang siapa yang benci terhadap sunnahku dia bukan
umatku.”
Dan hadis lain juga menjelaskan yang Artinya: “ Barangsiapa yang mencintai
fitrahku, laksanakanlah fitrahku. Sesungguhnya diantara fitrahku itu adalah
nikah.”
Rasulullah SAW. Melarang umatnya membujang sebab membujang dalam
pandangan Islam tidak dianggap sebagai perilaku Mulia, apalagi dikait-kaitkan
dengan kesucian seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Di
samping tugas-tugas kerasulannya sebagai layaknya Manusia Biasa, beliau
meluangkan waktu untuk masalah pribadi (perkawinan) dan selalu Mengingatkan
sahabat-sahabatnya untuk menikah jika memang secara ekonomi dan biologis
Sudah saatnya untuk nikah.
Dalam satu riwayat. Beliau pernah didatangi seorang sahabat yang menginap
di rumahnya. Ketika beliau menanyakan kepadanya apakah ia sudah menikah atau
belum, ia menjawab bahwa ia belum menikah karena ia sangat miskin. Mendengar
jawaban itu Nabi memerintahkan sahabat lainnya untuk membantunya agar orang
itu dapat melangsungkan pernikahannya. Kemudian bergotong-royonglah para
sahabat mencari sesuatu yang dapat dipergunakan agar tamu Rasulullah itu dapat
melangsungkan perkawinannya.
Perlu diketahui bahwa perkawinan itu bukan hanya menjadi sunnah Nabi
Muhammad SAW. Melainkan juga merupakan sunnah pada nabi lainnya. Artinya,
Jauh sebelum beliau diutus ke dunia ini, para Nabi, bahkan Nabi dan manusia
pertama Adam a. s,. Telah melakukan perkawinan dan hidup berkeluarga seperti
diterangkan Allah SWT. Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 38: Yang Artinya. “ dan
Sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau Muhammad
dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan” (Q. S. Ar- Ra,d:
238)

32
5. Aspek Moral
Manusia ataupun makhluk hidup lainnya sama-sama memerlukan pelampiasan
terhadap lawan jenisnya. Jadi, dari segi kebutuhan biologis, manusia dan hewan
mempunyai kepentingan yang sama. Adapun yang membedakannya adalah
pelaksanaan kebutuhan tersebut. Manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau
norma-norma agama moralitas agama sedangkan hewan tidak dituntut demikian.
jadi, Perkawinan adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dengan
hewan untuk menyalurkan kepentingan yang sama.
Secara moral, perbuatan itu terdiri atas dua jenis yakni moralitas yang baik
atau mulia dan moralitas yang buruk. Dalam bahasa agama, moralitas yang baik
sering disebut dengan akhlak Mahmudah sedangkan moral yang buruk disebut
akhlak madmumah. Itulah sebabnya, perkawinan yang diatur menurut syariat Islam
adalah perkawinan yang benar-benar dimaksudkan untuk membentuk moralitas
Mulia manusia dan membebaskan manusia dari moralitas hewani yang hina.
6. Aspek kultural
Perkawinan juga membedakan antara manusia yang beradab dengan manusia
yang biadab, antara manusia primitif dan manusia modern, walaupun pada dunia
primitif mungkin terdapat aturan perkawinan, dapat dipastikan aturan Islam jauh
lebih baik daripada aturan mereka. Itu menunjukkan bahwa Islam membangun
kultur yang lebih baik dari pada manusia-manusia purba atau primitif.
Dalam perspektif kebudayaan, perkawinan dapat dilihat sebagai bagian dari
proses interaksi manusia dalam pembentukan masyarakat terkecil. Keluarga adalah
embrio masyarakat yang nantinya membangun dunia sosial yang lebih besar.
Keluarga yang memiliki pondasi kultural yang baik akan membangun dunia
kultural sosial yang baik pula. Sebab, ukuran terendah dari kultur masyarakat yang
baik adalah keluarga itu sendiri.
Dalam undang-undang nomor 1/1974 tentang perkawinan prinsip-prinsip
perkawinan dapat dipahami secara substansial dari pengertian perkawinan
sebagaimana terdapat dalam pasal 1 yaitu:
a. Prinsip kesucian akad, Artinya perkawinan harus dibangun dengan akad yang
suci secara lahir dan batin antara calon mempelai pria dengan calon mempelai
wanita dan hendaknya didirikan di atas niat yang ikhlas untuk menjadi pasangan
suami istri.

33
b. Prinsip keabadian rumah tangga, artinya niat yang direalisasikan semata-mata
mencapai rumah tangga yang abadi, tidak mengenal arti perceraian, kecuali di
atas kehendak Allah SWT.
c. Prinsip monogami, karena kesejatian rumah tangga yang akan dicapai, maka
perkawinan hanya akan dilakukan satu kali untuk seumur hidup dan seorang
suami hanya menikahi seorang perempuan, kecuali atas kehendak Allah
semuanya dapat berubah.
d. Prinsip ketauhidan, perkawinan bertitik tolak dari kekuasaan Allah yang
melimpahkan Perjodohan kepada manusia yang saling membutuhkan.
e. Prinsip saling pengertian dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami
istri sehingga tercapai tujuan berkeluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.20
D. Pencegahan Dan Pembatalan Perkawinan
1. Pencegahan perkawinan
Pencegahan perkawinan merupakan upaya hukum untuk melindungi
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dari berbagai tindak hukum
yang menyimpang dari aturan hukum Islam maupun perundang-undangan. Apa
yang dimaksud perkawinan yang terlarang menurut hukum Islam tidak lain adalah
mengawini seseorang dari lawan jenisnya sedangkan mereka memiliki hubungan
nasab yang dekat sesusuan, karena semenda perkawinan, karena salah satu pihak
telah terikat perkawinan atau dalam masa iddah bagi wanita yang akan dikawini
atau salah satunya berbeda agama yang kesemuanya telah dijelaskan pada bagian
pembahasan larangan perkawinan.
Terhadap Perkawinan yang terlarang menurut perundang-undangan adalah
larangan sebagaimana yang diatur pada undang-undang nomor 16 tahun 2019
perubahaan atas UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. dengan kata lain bahwa
larangan tersebut berlaku karena berbagai syarat-syarat perkawinan atau salah
satunya belum terpenuhi. Diantara syarat-syarat dimaksud umumnya sebagaimana
yang diatur dalam hukum Islam seperti masalah masa tunggu( iddah bagi janda),
karena senasab, masih sesusuan, semenda dan lainnya (lihat psl. 8 s/d psl 11 UU
No 1 Tahun 1974). Kemudian sedikit tambahan mengenai masalah belum cukup
umur, pengaturan atau izin orang tua ataupun dispensasi pejabat yang
bersangkutan. Pengaturan tambahan ini juga sebenarnya disemangati oleh hukum

20
.Beni ahmad saebani dan syamsul falah, Op. cit .,h. 30-54

34
Islam sebagaimana secara khusus telah dipaparkan pada bagian penjelasan syarat
rukun perkawinan.21
Dasar hukum pencegahan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yaitu,
Pasal 60:
Ayat (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau
calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 61 :
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.22
Terhadap pasal 61 KHI yang menyebut bahwa tidak sekufu tidak
dapat dijadikan alasan pencegahan perkawinan kecuali tidak sekufu karena
perbedaan Agama, dapat dimengerti sebagai penolakan KHI dari berbagai
pendapat lain yang telah diterjemahkan istilah kufu dengan sikap prakonsepsi dan
terkesan arbiter (dipaksakan) seperti sepupu dalam arti kedua belah pihak calon
mempelai sama sama kaya, atau sama memiliki status sosial tertentu titik ini jelas
bertentangan dengan dasar hukum Islam itu sendiri. karena inilah KHI yang hanya
menyetujui jika pengertian sekufu dipahami dengan arti sama-sama orang yang
beragama Islam. Seseorang tidak sekufu berarti mereka kedua belah pihak
berbeda Agamanya. Bagaimana jika salah satu pihak adalah seorang pemabuk
atau pemadat atau zina atau juga seorang yang buruk akhlaknya.
Memperhatikan pasal tersebut dalam hal ini secara khusus KHI tidak
membicarakannya. Meskipun demikian tidak sekufu dalam pengertian berbeda
agama istilah( ikhtilaf al dien ) sebenarnya dapat pula ditafsirkan bahwa salah satu
pihak adalah pemadat, pemabuk, zina atau buruk akhlaknya adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah menciptakan keluarga atau membina rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah (vide, psl. 3 KHI) dan jika salah satu

21
Sukris sarmadi., op.cit. h. 78-79
22
Kompilasi hukum islam (KHI)
35
pihak sangat tercela menurut agama sebagaimana dimaksud adalah mustahil
menciptakan cita-cita ideal yang financial menurut agama sesuai pasal 3 KHI.
b. Berdasarkan pasal 116 KHI bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu
pihak berbuat zina, pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan. Dengan pasal ini jelas sekali pun mereka dibolehkan kawin tetapi
hubungan mereka terancam dengan perceraian, padahal keadaan ini tidak
dihendaki dalam setiap kehidupan rumah tangga.
Di jelaskan juga trrkait pencegahan perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yaitu.

Pasal 62:

Ayat (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan
Ayat (2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai
kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang
akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang


masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon
isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.23
Selanjutnya pasal 62 ayat (1) menyebutkan bahwa orang-orang yang
dapat mencegah Perkawinan adalah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
atau ke bawah, saudara, wali nikah sama wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Apa yang dimaksud dengan keturunan lurus ke atas adalah Ayah atau
kakek seterusnya ke atas. Dalam tradisi fiqih sunni mereka dimaksud seterusnya
ke atas dari ayah, kakak seterusnya tanpa diselingi seorang perempuan. Sedangkan
keturunan lurus ke bawah adalah anak, anak dari anak (cucu) seterusnya ke
bawah. kemudian disebutnya lagi adalah saudara yakni saudara kandung sebapa

23
Kompilasi Hukum Islam (KHI)

36
atau se ibu. Terhadap penyebutan wali sebelumnya sudah termasuk dari salah satu
pihak keturunan lurus ke atas, ke bawah atau saudara (dapat menjadi wali nasab)
dalam perkawinan. Di samping itu jika mereka tidak ada berarti berlaku kebolehan
bagi wali hakim karena pasal menyebutnya secara umum adalah wali nikah.
Selanjutnya wali pengampu tidak lain maksudnya adalah orang yang telah
memelihara nya sejak ia belum dewasa. Adapun terhadap pernyataan pihak-pihak
yang bersangkutan di sini adalah para pejabat atau pencatat nikah yang bertugas
mengurusi masalah perkawinan ( lihat Pasal 6 ayat 1).
Apa yang telah disebutkan tentang orang-orang yang berhak untuk
melakukan pencegahan perkawinan tidak lain adalah para keluarga dekat mereka
kecuali PPN dan wali pengampu. Adalah wajar jika mereka yang melakukannya
karena sedikit banyak persoalan perkawinan merupakan upaya asimilasi sebuah
keluarga kepada keluarga lain. Hubungan tersebut berupa asimilasi keluarga
diharapkan tidak merugikan salah satu pihak. Sebagaimana yang disebutkan pada
pasal 62 ayat 2 seorang ayah sekalipun semasa hidupnya tidak berfungsikan
dirinya sebagai kepala keluarga tetap berhak untuk melakukan pencegahan
perkawinan. Hanya saja siapapun juga di antara mereka, pengajuan pencegahan
perkawinan ke Pengadilan Agama harus cukup alasan dan dapat diterima secara
hukum pula.
Pada pasal 63 KHI disebutkan bahwa bukan hanya orang-orang yang
disebut pada pasal 62 saja yang dapat melakukan pencegahan perkawinan, tetapi
diri calon mempelai sendiri dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
agar perkawinannya tidak jadi dilangsungkan. Sekalipun mereka dalam pasal ini
dibolehkan, namun sebagaimana orang-orang yang berhak lainnya haruslah juga
mereka cukup alasan secara hukum agar layak diterima perkaranya oleh
pengadilan Agama.
Adapun upaya hukum dan prosedur pencegahan perkawinan dijelaskan
dalam KHI dari pasal 64s/d 69 yaitu:
Pasal 64:
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65

37
Ayat (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama
dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Ayat (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum
dicabut. Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali
permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau
denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran
dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-
undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 69
Ayat (1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undanf No.1 Tahun 1974
maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
Ayat (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang
ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan
suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
Ayat (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat
Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
Ayat (4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akan memebrikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan
tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

38
Ayat (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat
mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
Dalam pengaturan tersebut seperti dalam pasal 64 bahwa pejabat yang
ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi, yang dimaksud dengan mengawasi
Perkawinan adalah memeriksa dan proses meneliti rukun dan syarat perkawinan.
Penelitian terhadap rukun dan syarat perkawinan termasuk di dalam mengenai
kemungkinan termasuk dalam larangan perkawinan sebagaimana di muka telah
dijelaskan Siapa yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi
perkawinan tidak lain adalah pegawai pencatat nikah. Pencegahan dimaksud tidak
diperlukan untuk diajukan perkaranya ke pengadilan Agama karena dirinya
sendiri berhak untuk mencegah perkawinan tersebut sebelum dipenuhinya syarat
dan rukun perkawinan. Hal ini karena dialah yang bertugas menangani
permohonan perkawinan dari calon mempelai dan atau pihak mempelai.
Selanjutnya pasal 65 ayat 1 menyebut bahwa pengajuan pencegahan
perkawinan kepada peradilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat nikah.
Pengajuan perkara mengenai pencegahan perkawinan oleh pihak-pihak yang
berhak harus ke pengadilan Agama yang wilayah yang kewenangannya di tempat
mana perkawinan dilangsungkan. Hal ini menunjukkan pada ketentuan pasal 4
undang-undang peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 bahwa pengadilan agama
berkedudukan di Kotamadya atau ibukota kabupaten. Berdasarkan demikian maka
pengajuan permohonan pencegahan perkawinan oleh pihak yang berhak
melakukannya. Haruslah telah memperhatikan pengadilan Agama dalam daerah
mana ia harus mengajukannya. Dalam hal ini ketentuan pasal yangg menyatakan
harus ke pengadilan Agama yang wilayah daerah mana akan dilangsungkannya
perkawina. Upaya pencegahan dimaksud juga telah disampaikan kepada Pegawai
Pencatat Nikah oleh pihak yang melakukan perdagangan perkawinan sehingga
PPN sebagaimana yang ditunjuk pasal 65 ayat (2) dapat memberitahukannya
kepada calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan adanya
pemberitahuan tersebut sekaligus menyatakan bahwa perkawinan mereka untuk
sementara tidak dapat dilangsungkan kecuali telah dicabut pencegahan
perkawinan tersebut oleh pihak yang mengajukannya.

39
Pencegahan perkawinan dapat dicabut oleh pihak yang mengajukan nya
sebelum putusan ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Pencabutan dimaksud adalah
dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan oleh pihak yang
mengajukan permohonan atau dengan adanya putusan Pengadilan Agama
(penetapannya) setelah memeriksa berkas perkara. Hal ini mungkin karena dia
tidak cukup alasan perkaranya diajukan karena tidak memenuhi teknis pengajuan
perkara sehingga permohonannya ditolak atau karena alasannya secara hukum
materiil tidak beralasan sehingga permohonannya tidak dapat dipenuhi Pengadilan
Agama.
Selanjutnya tugas PPN dalam hak ketika ia telah memeriksa permohonan
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dengan penelitian yang
cermat ia menemukan beberapa larangan terjadinya perkawinan orang tersebut
sebagaimana yang diatur dalam pasal 68 KHI dengan menunjuk ketentuan pasal 7
ayat 1 Pasal 8 pasal 9 pasal 10 atau pasal 12 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
maka ia dapat menolak perkawinan tersebut dengan keterangan tertulis kepada
pihak calon mempelai yang ingin melangsungkan perkawinan. Bagi pihak calon
mempelai yang merasa dirugikan dengan larangan perkawinan tersebut oleh pihak
pegawai pencatat nikah dapat mengajukan permohonan perkawinan kepada
Pengadilan Agama yang wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah mengeluarkan
penolakan perkawinannya tersebut. Dengan melampirkan bukti penolakan tersebut
berupa surat tertulis dari PPN dengan adanya permohonan tersebut Pengadilan
Agama akan memeriksa perkaranya yang hasilnya mungkin berupa pengabulan
permohonan tersebut berarti mengijinkan perkawinan tersebut berlangsung atau
justru menguatkan penolakan pihak PPN tersebut.24
Dari penjelasan pasal 64 s/d 69 dalam KHI adalah proses atau prosedur untuk
mengajukan pencegahan Pekawinan jika ditemukan atau Ada kemungkinan hal-hal
yang melanggar daripada rukun dan syarat perkawinan.
2. Pembatalan Perkawinan
Dalam undang-undang nomor 16/2019 perubahan atas udang-undang No
1/1974 tentang perkawinan batalnya perkawinan pasal 22 dikatakan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan beberapa pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksudkan adalah

24
Sukris sarmadi., Op.cit. h. 81-84

40
persyaratan usia kedua calon mempelai persyaratan kerelaan kedua calon
mempelai, persyaratan izin orang tua kedua mempelai persyaratan administrasi
dan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya berkaitan dengan rukun dan
syarat syarat sah perkawinan menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 PP
Nomor 9 tahun 1975 dan kompilasi hukum Islam.
Dalam UU No. 1/1974 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yaitu:
Pasal 23
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
b. Suami atau istri Tri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan detik
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 undang-undang ini dan
setiap orang yang mempunyai Kepentingan hukum secara langsung
terhadap Perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua
suami istri, suami atau istri.
Pasal 26
Ayat (1) perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau istri, Jaksa dan suami atau istri
Ayat (2) hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan
dalam ayat 1 Pasal ini gugur Apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami
istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

41
Pasal 27
Ayat (1) seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum.
Ayat (2) seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu langsung berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Ayat (3) apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
Ayat (1) batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.

Ayat (2) keputusan tidak berlaku surut terhadap:


a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.25
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) beberapa pasal menjelaskan
tentang pembatalan perkawinan sebagai berikut:

Pasal 72
Ayat (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum.

25
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 h.7-8

42
Ayat (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
Ayat (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih
tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
Ayat (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau
perkawinan dilangsungkan.
Ayat (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan
Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang
tetap.

43
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara
anak dengan orang tuanya.26
Pembatalan perkawinan yang diatur pada pasal-pasal diatas merupakan
upaya hukum untuk menciptakan terjadinya kepastian hukum. Dalam konteks
demikian sebuah perkawinan walaupun telah melewati proses yang sangat ketat
hingga dilangsungkannya akad nikah menurut hukum Islam dapat saja batal demi
hukum. Batalnya hubungan suami istri tersebut beralasan karena baru
diketahuinya adanya syarat dan rukun yang bertentangan dengan hukum materiil
Islam dan undang-undang nomor 1 tahun 1994 sebagai perpanjangan tangan
hukum Islam dalam pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa suami-istri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum. Ini menyebut bahwa suami-istri dapat
melakukan upaya hukum pembatalan perkawinan. Upaya hukum tersebut
beralasan karena mereka mengetahui adanya ancaman melanggar hukum
pengertian adanya ancaman hukum dimaksud adalah menunjuk kepada pasal 70
dan 71 KHI.
Selanjutnya pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa suami atau istri dapat pula
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dimaksud terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau istri. Dalam penjelasan ini dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan penipuan ialah bila seorang suami mengaku jejaka
waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristri sehingga terjadi poligami
tanpa izin Pengadilan Agama. Demikian juga penipuan terhadap identitas diri.
Memperhatikan penjelasan pasal tersebut ternyata tetap terkait dengan pasal 71
huruf a (lihat pasal 70 huruf a) bawa alasan pembatalan dimaksud tidak
menyimpang dari kehendak pasal 70 dan 71 KHI. Selanjutnya pemahaman
terhadap penjelasan pasal tersebut disebutkan pula maksud penipuan atau salah
sangka tersebut terjadi karena penipuan terhadap identitas diri. Hal ini berarti
berakibat tidak diketahuinya seseorang secara sebenarnya dan atau mengenali
seseorang dengan identitas yang disukai untuk di kawinnya sedangkan orang
dimaksud bukanlah dengan identitas maksudnya. Terhadap masalah demikian,
jatuh tempo diberikan kepadanya adalah selama 6 (enam) bulan setelah

26
Kompilasi hukum islam (KHI)

44
perkawinannya maka haknya untuk melakukan perkawinannya, sebagaimana yang
disebut dalam pasal 72 ayat (3).
Terhadap pasal 73 KHI yang menyebut tentang para orang yang berhak
melakukan pembatalan Perkawinan adalah tidak berbeda dengan para orang yang
disebut pada pasal 62 KHI. Hal ini berarti bahwa orang tersebut bukan hanya
mempunyai kesempatan untuk mencegah sebuah perkawinan yang akan langsung
tetapi juga terhadap Perkawinan yang telah dilangsungkan. Selanjutnya, ketentuan
KHI telah menetapkan bahwa batalnya perkawinan karena pemohonan
pembatalan pada orang dewasa adalah setelah adanya putusan Pengadilan Agama.
Setelah sebelumnya permohonan perkara dimaksud terlebih dahulu diajukan ke
pengadilan Agama. Pengadilan dimaksud haruslah bertempat tetap berkedudukan
di wilayah tempat di mana suami atau istri bertempat tinggal atau di tempat
perkawinan dilangsungkan. Perkara yang telah diterima dan diperiksa serta
diputuskan terhadapnya baik menerima dan mengabulkan pembatalan dan atau
menolaknya merupakan keputusan hukum yang tetap dan keputusan dimaksud
mengabulkan pemanfaatan berarti sejak itu pula berlaku putusnya hubungan
suami istri di antara mereka.
Upaya pembatalan perkawinan oleh mereka yang berhak melakukan
permohonan pembatalan sebagian yang disebut pasal 73 tetap berlaku jika dengan
alasan bahwa salah satu pihak telah murtad sesuai dengan kehendak pasal 41
huruf c dan pasal 44 KHI. Hal ini dapat dipahami pada pasal 75 KHI. Sedangkan
pasal 76 KHI menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan
menimbulkan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Hal ini berarti
hubungan kewajiban suami istri yang telah batal demi hukum karena putusan
pengadilan Agama tetap berlaku untuk anak-anak mereka sebagai akibat
perkawinan mereka. Bekas suami tetap berkewajiban untuk membiayai hidup dan
pendidikan serta perawatan atau biaya pengobatan untuk anaknya sedangkan
bekas Istri tetap berkewajiban merawatnya dengan baik.
Lebih jauh, Khususnya ketika memperhatikan pasal 72 ayat 3 mengenai
jatuh tempo selama 6 (enam) bulan sejak perkawinan dilangsungkan hanyalah
berlaku terhadap Perkawinan karena terjadinya penipuan dari salah satu pihak atau
salah sangka pasal 7 ayat (2) dan Perkawinan Kita dipaksa (pasal 71 huruf (f)
Sedangkan yang lainnya sebagai dirincikan pasal 70 dan 71 KHI merupakan
hukum yang tetap dan tidak dapat diubah dan batal menurut hukum. Mengapa

45
Pasal 72 ayat 2 dan pasal 1 huruf (f ) berlaku jatuh tempo 6 (enam) bulan tidak
lain karena telah dianggap kadaluarsa di mana seseorang berarti merelakan dan
atau membiarkan haknya atau sesuatu yang terjadi menimpa dirinya. Sebaiknya
terhadap masalah lainnya seperti karena senasab atau sesuai atau sebagaimana
yang dirincikan pada pasal 70 tidak diperlukan kadaluarsa karena masalah bukan
pada pribadi seseorang tetapi pada masalah kehendak agama.27
E. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dijelaskan dalam Bab VII di mulai dari pasal
45s/d52 sebagai berikut:
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Pasal 46
Ayat (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
Ayat (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul
terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
Ayat (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali
Pasal 47
Ayat (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
Ayat (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran
harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu
tidak bertentangan dengan Islam.
Ayat (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan

27
Sukris sarmadi., Op.cit. h. 91-93

46
hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
Ayat (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta
bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Ayat (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada
Ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat
dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Pasal 49
Ayat (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta,
baik yang dibawa masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh
masing-masing selama perkawinan.
Ayat (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat
juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat
perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi
yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
Ayat (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para
pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah
Ayat (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas
persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
Ayat (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada
suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
Ayat (4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan
yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak
mengikat kepada pihak ketiga.
Ayat (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51

47
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk
memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya
rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.28
Mengamati keseluruhan pasal yang tersebut tadi, perjanjian perkawinan
dalam konteks ini selain taklik-talak, maka apa yang diatur dalam pasal tersebut
hanyalah mengenai perjanjian harta bersama dengan kata lain walaupun dalam
pasal sebelumnya pasal 45 ayat 2 yang mensyaratkan boleh melakukan perjanjian
perkawinan lainnya selain taklik talak selama tidak bertentangan dengan hukum
Islam ternyata yang menjadi perhatian ke dalam penjabaran pasal selanjutnya
pasal 47 s/d 52 KHI adalah perjanjian mengenai harta bersama ada beberapa
prinsip yang dapat dipahamkan dari keseluruhan pasal-pasal dimaksud secara
gradual sebagai berikut:
1. Perjanjian perkawinan yang diatur secara khusus adalah mengenai harta
bersama dapat meliputi
a. Percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing
atau
b. Menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik
atas harta pribadi dan harta bersama atau harta Serikat.
c. Percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperbolehkan
perkawinan secara masing-masing atau hanya membatasinya pada harta
pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan.
2. Kedudukan dan keberadaan hukum dan akibat hukum
a. Perjanjian perkawinan dapat dilakukan sebelum atau sesudah perkawinan
dilangsungkan.
b. Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat nikah.

28
Kompilasi Hukum Silam (KHI)

48
c. Perjanjian dimaksud telah mengikat para pihak sekaligus juga dapat dicabut
pula perjanjian tersebut atas kehendak suami istri.
d. Bagaimana isi perjanjian adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam
dan pihak suami selamanya tetap berkewajiban memenuhi kewajibannya
sebagai suami tanpa terganggu dengan perjanjian dimaksud.
e. Pelanggaran suami terhadap perjanjian dapat dijadikan alasan pembatalan
nikah di pengadilan agama.
Dengan demikian, kaum wanita sudah dapat bersiap dengan upaya
perjanjian perkawinan yang secara tertulis terhadap berbagai kemungkinan hal
yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. terutama terhadap keluarga
dan harta pencampuran. Mengenai pengaturan hukum asal KHI secara khusus
mempersentasikannya pada pasal 85 s/d 97 tentang harta kekayaan dalam
perkawinan sebagai kelanjutan dari masalah perjanjian perkawinan.29
F. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan ada dua macam pertama, larangan abadi ( muabbad ),
dan kedua, larangan pada waktu tertentu (muaqqat)
Larangan muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan untuk
selamanya sebagai berikut:
1. Ibu
2. Anak
3. Saudara
4. Saudara ayah
5. Saudara ibu
6. Anak dari saudara laki-laki
7. Anak dari saudara perempuan
Kemudian larangan muaqqat ( ghairu muabbad ), yaitu larangan kawin
yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal
tersebut sudah tidak lagi ada, maka larangan itu tidak lagi berlaku, larangan
sementara berlaku sebagai berikut:
1. Mengawini dua saudara dalam satu masa
2. Poligami di luar batas
3. Larangan karena ikatan perkawinan

29
Sukris sarmadi., Op.cit. h. 62-65

49
4. Larangan karena talak tiga
5. Larangan karena ihram
6. Larangan karena perzinahan.
7. Larangan karena beda agama.
Larangan perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yaitu pada pasal 8 s/d 11 yaitu sebagai berikut:
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, ntara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal
4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan
kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
Ayat (1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
Ayat (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Kemudian larangan perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam pasal 39 s/d 44 yaitu sebagai berikut:

50
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan :
Ayat (1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya Ayat (2) Karena pertalian kerabat
semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri
keturunannya. Ayat (3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke
bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan
keturunannya. Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang
wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama
islam. Pasal 41
Ayat (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita
yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;

51
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

52
Ayat (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-
isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-
empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i
ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
Ayat (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
Ayat (2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri
tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da
dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.
Larangan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis yaitu:
1. QS An-Nisa’ (4): ayat 22 Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-
wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
2. QS An-Nisa’ (4): ayat 23 Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua

53
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3. QS An-Nisa’ (4): ayat 24 Artinya: “ Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri
yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
4. Qs. Al-Baqarah (2): 228 Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
5. Qs. Al-Baqarah (2): 221 Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
6. Hadis Rasulullah SAW: “ tidak bisa dikumpulkan (dimadu) antara seorang
perempuan dengan bibinya dari ayahnya, dan antara seorang perempuan
dengan bibinya dari ibunya.” (Muttafaq ‘alaih)

54
7. Hadis Rasulullah SAW: “ tidak boleh menikah orang yang sedang
dalam keadaan ihram, demikian juga tidak boleh menikahinya.”
(HR.Muslim)30 Ada beberapa macam pekawinan yang dilarang dalam
islam, sebagai
berikut:
1. Nikah pertukaran ( sigar )
Para ulama Fiqih sepakat bahwa nikah pertukaran sigar ialah apabila
seorang lelaki menikah dengan seorang perempuan di bawah kekuasaannya
dengan lelaki lain dengan syarat bahwa lelaki ini juga harus menikahkan
perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa adanya
mahar pada kedua pernikahan.
Hukum nikah semacam ini menurut sepakatan para ulama adalah haram.
Akan tetapi mereka berselisih paham apabila terjadi pernikahan semacam itu
apakah dapat dipisahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak.
Imam Malik berpendapat bahwa, pernikahan semacam itu tidak dapat
disahkan, dan selamanya harus di Fasakh (dibatalkan), baik sesudah atau sebelum
terjadinya pergaulan ( hubungan kelamin). Ini juga dikemukan oleh Imam Syafi’i
hanya saja ia berpendapat bahwa untuk salah satu pengertian atau keduanya
bersama di sebutkan satu mahar, maka pernikahan mereka menjadi sah dengan
mahar misil. Sedangkan mahar yang telah disebutkan menjadi rusak.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah Sigar itu sah dengan
memberikan mahar misil. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-lais, Ahmad, Ishak,
Abu Saur, Ath-Thabrani.
Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan Apakah larangan yang
berkaitan dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tiadanya ganti,
atau tidak dapat dijelaskan? Jika dikatakan bahwa larangan itu tidak dapat
dijelaskan alasannya, maka bagaimanapun juga nikah sigar harus dipasang.
Namun jika dikatakan bahwa alasan larangan pernikahan tersebut salah karena
tidak adanya mahar, maka pernikahan itu dapat dipisahkan dengan mahar mitsil
(mahar yang tidak disebut besar kadarnya saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan).
2. Nikah mut’ah

55
30
Mardani, hukum keluarga islam di indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017) cet ke-2. h.61-69

56
Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang dilakukan dalam waktu tertentu
dan bersifat sementara. Tentang larangan nikah mut’ah sebenarnya bersifat
Mutawatir tetapi masih diperselisihkan tentang waktu terjadinya larangan
tersebut pertama, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melarangnya ketika
terjadi perang khaibar. Kedua, menyebut pada tahun kemenangan Amul Fathi.
Ketiga, menyebut pada tahun dilaksanakannya Haji Wada. Keempat
mengatakan pada tahun dilaksanakannya umrah qada. sedangkan kelima,
menyebut ketika terjadi perang autas.
Kebanyakan sahabat dan para fuqaha mengharamkan nikah mut’ah ini, tetapi
Ibnu Abbas membolehkannya yang diikuti oleh para pengikutnya dari ulama
makah dan Yaman alasan yang mereka Kemukakan adalah Firman Allah
subhanahu wa ta’ala yang Artinya “ maka istri istri yang telah kamu nikmati
(campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan
sempurna sebagai suatu kewajiban dan tidaklah Mengapa bagi kamu terhadap
satu yang kamu pernah saling merelakannya sesudahnya menentukan
maharnya itu.” (Q.S. An-Nisa:24)
3. Nikah muhallil
Yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan
mantan istri yang telah ditalak 3 kali. Dalam hal nikah muhallil ini, Imam
Malik berpendapat bahwa nikah tersebut dapat dipasakh sedangkan Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu adalah sah. Perbedaan pendapat
ini disebabkan perbedaan pandangan mereka dalam memahami pengertian
mafhum dari sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa Allah
mengutuk orang yang nikah muhallil. Bagi para fuqaha yang memahami
kutukan tersebut hanyalah dosa semata, mereka berpendapat bahwa nikah
muhallil itu sah. Akan tetapi bagi pengusaha yang memahami tentang kutukan
itu sebagai rusaknya nikah, karena disamakan dengan larangan yang
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang, maka mereka mengatakan
bahwa nikah muhallil itu tidak sah.
4. Meminang diatas pinagan
Meminang diatas pinangan orang lain, ada beberapa pendapat pertama, bahwa
pernikahan tersebut difasakh (dihapus). pendapat kedua, bahwa pernikahan
tersebut tidak di fasakh. ketiga, mengadakan pemisahan, apakah peminangan
kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati adanya

57
pemanfaatan atas peminangan pertama atau tidak. pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Malik.31

31
Slamet Abidin dan Aminudin, Op.cit. h. 18-22

58
BAB III

KONSEP HUKUM ISLAM TENTANG PEMBAGIAN WARISAN

A. Pengertian Warisan

Secara etimologi Kata waris berasal dari bahasa arab miras. Bentuk jamaknya adalah
mawaris, yaitu berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan di bagikan kepada ahli
warisnya.32 Kata waris yang sudah popular di dalam bahasa arab Indonesia asalnya dari
bahasa arab33 yang diambil dari kata ( ‫) ´ث´ ر´و‬, yang berarti mempusakai harta.34

Secara terminologi pengertian kewarisan adalah di khususkan untuk suatu bagian ahli
waris yang sudah di tetapkan dan di tentukan besar kecilnya oleh syara’
Menurut wahbah al-zuhaili, bahwa yang dimaksud dengan warisan dalam istilah
syara, yaitu:

‫ُت ِ م‬
´ ُ‫´ما ´حل´ ´فه‬
‫م‬Ĺْ ‫´ن ْاال‬ ‫ْام ْلي‬
‫ل ´وا‬Lِ‫وا‬L´

´‫و ق ي‬L‫ ْق‬Lُ‫ْ ُل‬
‫ّق‬Lُ‫ْست´ ِح‬
‫هِا مبْ´وِته‬L´
‫وا ِر ُث‬L´‫اْل‬
‫ع ُّى‬Lِ‫ر‬L‫ال َّ ْش‬

Artinya: “sesuatu yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta
kekayaan dan hak-hak yang menjadi hak ahli waris secara legal (hukum) setelah kematian
pewarisnya”. 35
Menurut ash-shiddieqy, dalam bukunya fiqih mawaris mendefenisikan ilmu faraid
sebagai berikut:

‫ه ´م ْن‬Lِ‫ع´ر ُف ب‬Lْ.ُ‫ِعْل ُم ي‬
‫ر ُث‬Lِ´‫ر ُث ´و´م ْن ال´ي‬L´ِ ‫ي‬
‫ل ´وا ِر ٍث‬¹ Lِ‫دا ُرك‬L´‫ق‬Lُ‫´ِوم‬

‫´و‬

‫في‬L‫ ِي‬L‫´ ْك‬


59
‫ُّة‬
‫الت‬
ِL‫زْي‬L‫ ِو‬L.ْ ّ

Artinya: “ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang
yang tidak dapat menerima pusaka, serta kadar yang di terima oleh tiap-tiap ahli waris dan
cara pembagiannya”.36
Sedangkan menurut Ali Ash-Shabuni warisan menurut istilah adalah sebagai berikut:
‫را ا‬Lً
´ ´‫ِت اِ´ َل ´ ِورث´تِ ه ْاأل‬
‫س‬ ´ ‫ْ´و‬
ِ
L´ ‫ح‬L‫ْحي´ا ´ء‬
‫و‬ ‫ًّق‬
‫ا‬
‫ء‬ ‫م‬Lِ‫ا‬
ٌ ‫´ن ا‬
L´ ‫و‬L‫ْ ُلُ ْق‬
‫ك‬
‫ا‬ ‫ق‬

´
‫ن‬

‫ْام‬
.‫لْت‬
‫ْر‬
‫و‬

‫ك‬

´
‫م‬
‫ا‬
‫ًال‬
‫ا‬
´
‫و‬

‫ع‬

‫ق‬
60
‫ل امل ل‬L´‫´قا‬.L´‫ت‬.‫اِْن‬
L´ْ
‫ِِكِي‬
‫ُّة ِمن ْاملْي‬
´
‫ال‬
‫َّ ْش رِ عَي‬
‫ّة‬

32
Dian khairul umam, Fiqih Mawaris, ( Bandung: cv pustaka setia, 1999), h.11
33
Muslich maruzi, pokok-pokokk ilmu mawaris, ( Semarang: Pustaka amani, 1981), h. 1
34
Akhmad sya’bi, kamus al-qalam arab – Indonesia, ( Surabaya: Penerbitan halim, 1997), h. 292
35
Wahbah al zuhaili, al fiqh al islamy wa adilatuh, ( Beirut: darul fikri, 1989), jilid VIII, h.243
36
Dian khairul umam, op. cit., h.14

61
Artinya: “Pindahnya hak milik seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang di tinggalkannya itu berupa harta bergerak dan tidak
bergerak atau hak-hak menurut hukum syara.”.37

Berdasarkan pengertian – pengertian yang di kemukakan dari defenisi warisan diatas


baik secara bahasa dan istilah dapat di simpulkan, bahwa pengertian warisan adalah harta
peninggalan orang meninggal yang akan di bagikan kepada ahli warisnya secara syara’ baik
berupa harta kekayaan atau hak-hak yang lain setelah di selesaikan hak-hak yang bertalian
dengannya dari pewaris kepada ahli waris yang hidup, yang didalamnya diatur ahli waris
yang berhak menerima warisan serta bagaimana perolehan atau bagian masing-masing
setiap ahli waris.
B. Dasar Hukum Tentang Kewarisan
Ada beberapa sumber atau dasar yang di gunakan untuk penyelesaian waris dalam
islam yaitu sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Ayat – ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan yang menjelaskan
ketentuan fard tiap-tiap ahli waris seperti tercantum dalam surat An-nisa ayat 7, 11, 12, 176.
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”.( An-
Nisa: 7) 38

Dalam surah An-nisa ayat 11 dan 12 di jelaskan juga mengenai kewarisan yang
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini

37
Ali Ash Shabuni, Al-Mawarist fi al-Syariah al-Islamiyah a’la Dlau al-Kitab wa al-Sunnah, ( Saudi
Arabia: Alamaul Kutub, 1985), Cet. Ke-3, h.31
38
Dian kharul umam , Op. Cit., h.15

62
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
( An-nisa:11)

Di sebutkan juga pada Surah An-nisa pada ayat 12 yaitu sebagai berikut: Artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak,
Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris), (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”( An-nisa: 12)

Selain pada ayat 7, 11 dan 12 di sebutkan juga pada ayat 176 mengenai masalah
kewarisan yaitu sebagai berikut:

Artinya “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ( An-nisa: 176)39

39
Syekh Muhammad ali ash shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an Dan Hadis, ( Bandung: Trigenda
Karya, 1995), h.13-16

63
2. Al-hadits
Penjelasan dasar – dasar hukum kewarisan selain dari Al-quran di jelaskan juga dari
Hadist yang mana hadist ini sebagai penjelas dari dari dalil-dalil yang ada pada Al-Quran.
sebagaimana sabdanya rasulullah Saw sebagai berikut:

‫ا‬ ‫ حدثناوهيب عن بن طاوس عن‬,﴾‫ح الربسى‬


‫ب‬ ‫د‬
‫ي‬ ‫ث‬
‫ه‬ ‫ن‬
‫ا‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫ن‬ ‫ب‬
‫د‬
‫ا‬ ‫ا‬
‫ب‬ ‫ا‬
‫ن‬ ‫ل‬
‫ع‬
‫ع‬ ‫ل‬
‫ب‬ ‫ى‬
‫ا‬
‫س‬ ‫ب‬
‫ن‬
‫ق‬
‫ا‬ ‫م‬
‫ل‬ ‫ح‬
: ‫ا‬
‫د‬
‫ق‬ ﴿
‫ا‬
‫ل‬

‫´ ُه´ ِو ال ´ِْ و´َل‬.‫´ض ِبا´ْ هلِ´ هاف´ ´ماب´ِق ي ف‬ ِ ‫ا‬


´ ‫ل‬
ِ
﴾‫´ر ُجٍ ل ذُ كٍ ر ﴿رواه مسلم‬ ْ
‫ا‬

ْ ‫ف‬
‫ل‬

‫ر‬
‫ق‬
‫ا‬

‫و‬
‫ء‬
‫ا‬

64
‫رسول هلال صلي هلال عليه وسلم‬
Artinya: “telah member tahukan kepada kami abul a’laa bin hammaad ( al narsi), telah
memberitahukan kepada kami wuhaib dari ibnu thaus dari ayahnya dari ibnu
abbas, ia berkata: telah bersabda rasulullah saw: “ berikanlah bagian-bagian
harta warisan kepada ahli warisnya yang berhak dan sisanya untuk ahli waris
laki-laki yang paling dekat dari keturunan laki-laki” ( HR. muslim)40

Hadits rasulullah yang mengatur tentang masalah pembagian harta warisan sebagai

berikut:

‫ اقسمواامالبني اهل افقراائض علئ كتب هلال‬:‫عن ابن عناس قال رسوال هلل صلى هلال عليه وسلم‬

41
﴾‫﴿رواه مسلم‬
Artinya: “dari ibnu abbas ra., katanya: telah bersabda rasulullah Saw: bagikanlah harta
warisan antara ahli waris menurut kitabullah (AL-Qur’an).” (HR.Muslim)

3. Ijtihad
Meskipun ketentuan tentang kewarisan islam telah di atur sedemikian rinci oleh Al-
Qur’an dan Hadist, namun tidak menutup kemungkinan ada banyak persoalan yang masih
menghajatkan ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid kenamaan yang belum di jelaskan
oleh nash yang sharih.42 Ijma dan ijtihad sahabat, imam madzhab dan para mujtahid dapat di
gunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum di jelaskan oleh nash
yang sharih Misalnya: status cucu-cucu yang ayahnya lebih dulu meninggal dari pada kakek
yang bakal di warisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. 43
dan setatus saudara yang mewarisi bersamaan dengan kakeknya.

40
Musthafa diibul bigha, Ihktisar Hu Kum-Hukum Islam Praktis, ( semarang: CV. Asy-syifa,th), h 483
41
Muslim Bin Hajjal al-Qusyari, Shahih Muslim, (Beirut: darul fikri, 1993), jilid 2, h. 56
42
.Wahidah, Al-Mafqud Kajian Tentang Kewarisan Orang Hilang ( Banjarmasin: Antasari Pres, 2008),
Cet. Ke-3, h.23
43
Dian kharul umam , Loc. Cit.

65
C. Rukun Dan Syarat Kewarisan

1. Rukun kewarisan
Rukun kewarisan ada tiga yaitu:44
a. Pewaris (Muwarrits), yaitu orang yang meninggal dunia,45 baik haqiqi maupun
mati hukmy, yaitu suatu kematian yang di nyatakan oleh hakim karena adanya
pertimbangan46
b. Harta warisan (Mauruts), yaitu harta yang di tinggalkan oleh si mati yang akan
dibagikan kepada ahli waris, setelah di ambil untuk biaya perawatan, hingga
penguburan jenazah, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat47
c. Ahli waris ( warits ) yaitu orang-orang yang mewarisi harta peniggalan 48 si mati
yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya perawatan,
melunasi hutang dan melaksanakan wasiat49
2. Syarat kewarisan
Ada beberapa syarat yang harus di penuhi dalam kewarisan. Yaitu:
a. Matinya pewaris ( muwarrits),
Kematian pewaris ( muwarrist) dalam hal ini kematian yang di maksud ada
tiga macam yaitu:
1) Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat di ketahui tanpa harus melalui
pembuktian, bahwa seorang telah meninggal dunia.
2) Mati huqmi, yaitu kematian seorang secara yuridis di tetapkan melaui keputusan
hakim dinyatkan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus
seseorang yang dinyatakan hilang (al-maqfud) tanpa di ketahui di mana dan
bagaimana keadaanya. Setelah di lakukan upaya-upaya tertentu, melaui
keputusan hakim orang tersebut di nyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu keputusan
hakim, maka ia mempunyai mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan karena itu
mengikat.
3) Mati Taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal
dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang kemedan perang atau
secara lain yang secara lahiriah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya.
Setelah

44
Dian kharul umam , Op. Cit.h.46
45
Sayyid sabiq, Fiqhus Sunnah, ( Beirut: Darul fikri, t.th), Jilid III, h. 426
46
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, ( Semarang: Pustaka Amani, 1981), h. 11
47
Sayyid sabiq, Loc. Cit.
48
Fathurrahman, Loc. Cit, h. 36
49
Muslich Maruzi, Op. Cit.h. 12
66
beberapa tahun, teryata tidak di ketahui kabar beritanya, dan patut di duga secara kuat
bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah
meninggal.50
b. Hidupnya waris disaat kematian muwarits

Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia harus benar-benar
hidup pada saat muwaritsnya Meninggal dunia.51baik secara haqiqi, hukmy, maupun
taqdiri,52 yang dapat diketahui melalui:
1) Keterangan saksi sekurang-kurangnya dua (2) orang saksi yang bisa di percaya
2) Menghubungkan kepada hukum orang hidup yaitu pada usia rata-rata manusia
pada umumnya.
3) Melihat dan meyaksikan secara langsung bahwa orang itu masih hidup
c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi ( mawani’ulirtsi)53
Ahli waris yang akan menerima waris harus di teliti dulu, 54 walaupun dua
syarat kewarisan itu telah ada pada muwarrits dan waris, namun salah seorang dari
mereka tidak dapat mewariskan harta peniggalannya kepada yang lain atau mewarisi
dari yang lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang
mewarisi.55 dari empat penghalang mewarisi tersebut yang di sepakati para ulama
ada tiga yaitu:
1) Pembunuh
Pembunuhan yang di lakukan ahli waris terhadap al-muwarris, menyebabkan
tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang di warisinya. 56 Adapun dasar
hukum yang melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan
si mati adalah sabda rasulullah SAW. Diantaran adalah:
‫ل´ه‬
´ ‫ ر‬.ُ ‫´ ´ ْغي‬ ‫ْن ´واِ ´َْل ي‬ ‫´ ´م ْن‬ ‫´ ´عل ْ´ي ِ ه‬ ‫´ ِهلال‬
‫و‬ ‫ر‬
‫ا‬ ‫و ه‬ ´ ´‫´ت‬.‫و ق‬ ‫ص‬
‫ا‬ ‫ل‬
ِ ‫ُك‬ ‫´ل ق‬
´
ّ ‫س‬
‫ْن ل‬ ‫س ´تِْياًل‬
‫ن‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫ى‬
‫´ه‬ ‫ف‬ ‫و‬
‫ك‬ ‫ّ ´ِان‬ ‫ه‬
‫ا‬ ‫ث‬ ‫ل‬ ‫ل‬
´‫ ّهُ ال‬L´ ‫ل‬

´ ‫م ي´ِرُثه‬ ‫ا‬
‫ن‬ ُ

67
‫ق´ا´ ل‬
﴾‫واه أمحد‬L‫ٌث ﴿ر‬
‫´ ´س لِ´ قِاتٍ ل‬
‫و‬
‫را‬.´‫ِمْي‬ ‫ا‬
‫ل‬
ِ

‫د‬
‫ه‬
ُ
‫ا‬
´

‫و‬
´
‫و‬
‫ل‬
´

‫د‬
‫ه‬
ُ
‫ف‬
.
´
‫ل‬
´

‫ي‬
Artinya: “ Rasulullah Saw bersabda: “ barang sapa membunuh seorang korban, maka
sesungguhnya ia tidak dapat mewarisinya, walaupun koorban tidak mempunyai

50
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, ( Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2001), cet, ke-4, h. 28-29
51
Ibid
52
Fathurrahman, Op, Cit., h. 80
53
Sayyid sabiq, Op. Cit., h.293
54
Muslich Maruzi, Op. Cit.h. 13
55
Wahidah , Op. Cit,. h. 28

68
56
Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 30

69
ahli waris selain dirinya sendiri. ( Begitu Juga) wwalaupun korban itu adalah
orangtuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan.” ( Riwayat Ahmad).57
Mengigat banyak jenis dan macam pembunuhan, maka pembunuhan yang
mana dapat yang dapat menghalangi si pembunuh untuk mewarisi harta peninggalan
korban.58 Masing-masing fuqaha tampak berbeda pendapatnya dalam melihat jenis
pembunuhan yang bersangsi qishash dan bersanksi kafarah59 sedangkan ulama-
ulama pendukung syafi’iyah berpendirian bahwa setiap pembunuhan itu secara
mutlak menjadi penghalang kewarisan.
Fuqaha malikiyah menggolongkan ini, pada jenis pembunuhan sengaja,
mirip sengaja dan pembunuhan tidak langsung. Sedangkan pembunuhan karena
khilaf atau di lakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak, bukan permusuhan
(karena hak) dan pembunuhan karena udzur, tidak termasuk di dalam macam
pembunuhan yang menghalangi60 menurut fuqaha Hanbali: setiap pembunuhan yang
dibalas dengan qishosh atau diyat ( tebusan nyawa) atau kaffaroh mengharamkan
penerimaan waris. Adapun yang selain itu, maka tidaklah mengharamkan.61
Dari keempat pendapat diatas, pendapat yang kuat dalam hal ini adalah
pendapat madzhab hanbaliyah karena pendapat mereka selaras dengan dalil-dalil
yang menegaskan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi. di samping itu,
pendapat madzhab ini menjadi penengah dari pendapat madzhab hanafiyah,
malikiyah dan syafi’iah. Dengan demikian pembunuhan yang menjadi penghalang
untuk mewarisi itu hanya dari satu sisi, yakni sisi pembunuh.62
2) Beda agama

Berlaian agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara


ahli waris dan al-muwarris, salah satunya beragama islam, yang lain bukan islam.
Misalnya, ahli waris beragama islam, muwarrisnya beragama Kristen, atau
sebaliknya.63

57
Ibid
58
Ibid
59
Ahmad bin hanbal, Musnad Ahmad Bin Hanbal, ( Beirut: dar al fikr, t.th.), h. 227
60
Wahidah, Op. cit., h. 37-38
61
Muchamad Ali ash-Shabuni, ilmu hukum warismenurut ajaran islam, ( Surabaya: Mutiara Ilmu, t.th)
h. 35
62
Wahidah, Op. Cit., h. 38
63
Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 35

70
Dasar hukumnya adalah Hadits Rasulullah riwayat Al-bukhari dan muslim
sebagai berikut:
‫ر‬Lِ´‫ال´ي‬
‫ُث ْامل‬
‫ْسلِ ُم‬
‫اْل‬
‫ر‬Lِ‫´كا ُف‬
ْ‫´وال´ال‬
‫رْام‬Lِ‫´كا ُف‬
‫ل ْسِل‬
‫´م‬
‫﴿متفق‬
﴾‫عليه‬
ُ ُ
Artinya: “orang islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta
orang islam”. (Muttafaq’alaih)
Hal ini di perkuat lagi dengan petunjuk umum ayat 141 surat al-Nisa’ sebagai
berikut:
Artinya: “ dan allah sekali-sekali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-
orang kafir ( untuk menguasai orang mukmin). ( Qs.An-Nisa)
Nabi saw. Sendiri mempraktikkan pembagian waris, dimana perbedaan
agama di jadikan sebagai penghalang mewarisi. Ketika paman beliau, abu thalib
orang yang sangat berjasa dalam perjuangan nabi saw. Meninggal sebelum masuk
islam, oleh nabi saw harta warisannya hanya di bagikan kepada anak-anaknya yang
masih kafir, yaitu ‘Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya yang telah masuk
islam, yaitu ‘Ali dan ja’far, oleh beliau tidak di beri bagian.
Penjelasan diatas dapat di pahami bahwa yang menjadi pertimbangan
apakah antara ahli waris dan muwarris, berbeda agama atau tidak, adalah pada saat
muwarris meninggal. Karena pada saat itulah hak warisan itu mulai berlaku.
Pemahan yang dapat di ambil dari praktik pembagian warisan abu thalib
bahwa perbedaan agama yang sama-sama bukan islam tidak menjadi penghalang
saling mewarisi.64 Ulama berselisih pendapat dalam hal waris mewarisi antar sesama
non muslim manakala terjadi ketidaksamaan agama (kepercayaan) mereka, seperti
yahudi dengan nasrani atau majusi.
Jumhur ulama beranggapan bahwa seluruh agama dan kepercayaan selain
islam itu satu, sehingga orang-orang kafir satu sama lainnya dapat saling mewarisi.
Malikiyah berpendapat, golongan lain (selain islam) terbagi menjadi yahudi, nasrani,
71
dan agama-agama lainnya yang dianggap satu agama. Sedangkan hanbaliyah menyatakan
orang kafir mempunyai agama yang beragam, maka pemeluk satu agama (selain Islam)
tidak dapat mewarisi dari pemeluk agama yang berbeda.65
3) Perbudakan (al-‘abd)

64
Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 36-37
65
Wahidah, Op. Cit., h. 36-37

72
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, mayoritas ulama sepakat bahwa
seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Firman Allah Swt menunjukkan yang Artinya: “ Allah
telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimilki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apaun.. (Qs. Al-Nahl. 75)
Seorang hamba sahaya secara yuridis di pandang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Karena hak-hak kebendaanya berada pada tuannya. Oleh karena
itu ia tidak bisa menerima bagian warisan dari tuannya.
D. Sebab-Sebab Kewarisan
Sebab-sebab yang menyebabkan seseorang menerima pusaka atau waris
yang berlaku di dalam syariat islam dan tetap hidup, ada tiga perkara:
1. Sebab Perkawinan
Perkawinan yang benar yang masih berjalin rapi antara suami isteri, baik
pada hakikatnya, atau pun pada hukumnya di waktu wafat salah seorang dari suami
isteri itu. Perkawinan ini adalah suatu sebab dari salah seorang dari suami isteri
menerima pusaka66 Termasuk bila suaminya meninggal, dengan meninggalkan isteri
yang sedang iddah raja’iy isterinya masih dapat mempusakai harta peninggalan
suaminya. Demikian juga sebaliknya.67
2. Hubungan darah 68
Hubungan darah ( kekerabatan) ialah hubungan nasab antara orang yang
mewariskan dengan orang yang mewarisi yang di sebabakan oleh kelahiran. Kekerabatan itu
merupakan sebab memperoleh hak mempusakai yang terkuat, di karenakan kekerabatan itu
termasuk unsur causalitas adanya seorang yang tidak dapat di hilangkan69
3. Sebab hubungan wala

Wala’adalah hubungan kewarisan yang timbul karena membebaskan (


member hak emansipasi) budak. Atau hukum yang timbul karena adanya perjanjian
tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seorang yang lain.
Apabila seorang pemilik budak telah membebaskan budaknya dengan mencabut hak
mewakilkan dan hak mengurusi harta bendanya, maka berarti ia telah merubah status
orang yang semula tidak cakap bertindak, menjadi cakap memilki, mengurusi dan

66
T.M. Hasbi ash shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam, ( Jakarta:
bulan bintang, t.th) h. 43
67
Fatchurrahman, Op. Cit., h.115
68
T.M. Hasbi ash shiddieqy, Loc. Cit.
69
Fatchurrahman, Op. Cit., h. 116

73
mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta bendanya sendiri dan cakap
melakukan tindakan hukum yang lain. Sebagaimana sabdanya Rasulullah Saw yaitu
sebagai berikut:
Lََّّ‫ِا‬
´ ﴾‫ ﴿متفقق عليه‬.‫وال´ُءِ مل ْن ا´ ْعت´ ´ق‬L´‫ن´ااْل‬

Artinya: “ hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak (nya)”.
(Rw. Bukhary muslim)
Maka orang yang mempunyai hak wala’ itu mempunyai hak mempusakai
harta peninggalan budaknya, bila budak tersebut meninggal dunia. 70
E. Hak-Hak Yang Di Tunaikan Sebelum Warisan Di Bagikan
Hak-hak yang wajib di tunaikan sebelum harta warisan di bagikan kepada
ahli waris ada tiga, yaitu:71
1. Biaya perawatan dan penyelenggaraan Jenazah
Biaya perawatan (pengobatan) yang masih terhutang diambilkan dari harta
si mayit itu. Kemudian biaya penyelengaraan jenazahnya,72 adalah biaya-biaya yang
di perlukan mulai dari saat meninggalnya si mayit sampai dengan penguburannya.
Itu mencakup biaya untuk memandikan, mengkafani, mengusung, dan menguburkan
si mayit73 sampai selesai penguburan. Biaya yang di keluarkan tidak terlalu berlebih-
lebihan, sehingga mengurangi hak ahli waris dan jangan pula terlalu kurang,
sehingga mengurangi hak si mayit. Semuanya hendaknya di lakukan dalam batas
kewajaran keluarga yang bersangkutan. Allah swt, menjelaskan dalam Al-Qur’an
tentang larangan menghamburkan harta, yaitu dalam surat Al-furqaan ayat 76 yang
Artinya: “ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian”.74
Andaikata orang yang meninggal itu tidak ada meninggalkan harta, yang
akan memikul tanggung jawab biaya penyelenggaraan jenazah itu. Para fukaha
berbeda pendapat dalam hal ini. Fukaha aliran malikiyah berpendapat, bahwa
biayanya diambilkan dari baitulmal (kas Negara)

70
M.Ali Hasan, hukum Warisan dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. Ke-6, h.17
71
Ahmad rofiq, Op. Cit., h.46
72
M.Ali Hasan, Lop. Cit
73
H.R.Otje salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H., Hukum Mawaris Islam, (Bandung:
PT.Refika,2006) Cet, ke-6, h.6
74
Yayasan penyelenggaraan dan Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, ( Jakarta:
proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’an Departemen RI., 1996/1997), h. 568
74
Fukaha aliran hanafiyah, syafiiyah dan hanabilah berpendapat, bahwa
biayanya ditanggung oleh keluarga-keluarga yang menjadi tanggungan orang yang
meninggal, selagi ia masih hidup. Kalau tidak mempunyai kerabat, maka diambilkan
dari baitulmal, dan kalau tidak mungkin juga di tanggung oleh kaum muslimin yang
mampu sebagai suatu kewajiban ( fardhu kifayah).
2. Hutang-hutang
Hutang itu ada dua macam yaitu hutang kepada Allah dan hutang kepada
manusia ( hamba Allah). Hutang kepada Allah seperti membayar: zakat, pergi haji (
niat pergi haji selagi masih hidup), membayar kafarah ( ُ ‫ا‬Z‫ ﴿ رة ك ُف‬dan nazar. 75
Hendaklah hutang piutang yang masih di tanggung pewaris di tunaikan
terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak di benarkan di
bagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya di tunaikan terlebih
dahulu.76
Dari dua macam hutang diatas yang mana harus di dahulukan dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat. Seperti Ibnu hazm berpendapat, bahwa hutang kepada
Allah yang harus di dahulukan, sesuai dengan firman Allah, Yang Artinya: “
sesudah diambil untuk wasiat yang di wasiatkan atau sesudah bayar hutang.” (
surah an-Nisa:11)
Ayat tersebut diatas masih bersifat umum, ke dalamnya termasuk hutang
kepada Allah dan hutang sesama manusia ayat itu kemudian ditakhsiskan dengan
hadis Nabi Saw sebagai berikut:
‫´ضى‬ ‫ف‬
‫ِلاله ا´ ´ح ُّق‬
‫ا´ ْن‬ ‫د‬
.‫ي‬ ‫ي‬
‫ّْ ق‬ ْ

‫ن‬
Artinya: “…maka hutang kepada allah itu lebih hak untuk membayar.”

Fukaha aliran hanafiyah berpendapat, bahwa hutang kepada Allah itu telah gugur
akibat kematian seseorang karena pristiwa kematian itu menghilangkan kemampuan
bertindak dan menghilangkan tuntutan pembebanan (hutang) dengan demikian ahli waris
tidak berkewajiban melunasinya. Pendapat fukaha aliran malikiyah bahwa hutang kepada
manusia harus di dahulukan daripada hutang kepada Allah. Sebab, manusia sangat
memerlukan sumpaya piutang kepada orang yang meninggal itu di lunasi dengan segera.

75
Sedangkan Allah adalah zat yang maha cukup yang tidak perlu pelunasan dengan segera.
Sedangkan menurut pendapat ulama hanabilah, hutang kepada Allah dan hutang kepada

75
M.Ali Hasan, Loc. Cit.
76
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ( Jakarta: gema insane press, 1995),
Cet. ke-1, h. 34

76
manusia di pandang sama kedua-duanya harus dibayar. Kalau dana yang di perlukan untuk
membayarnya itu kurang, maka di buat perbandingan dalam melunasinya, sesuai dengan
besar kecilnya hutang kepada Allah dan kepada manusia.
3. Wasiat

Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela


(Tabarru) yang pelaksanaannya di tangguhkan setelah yang berwasiat meninggal
dunia,77 harta yang akan di wasiatkan, batas maksimalnya78sepertiga (1/3) sisa harta
semuanya sesudah utang dibayar79 baik yang di wasiatkan itu berupa benda atau
mamfaat (jasa).80
F. Hukum Membagi Harta Warisan Menurut Al-Quran
Berkenaan dengan setatus hukum dalam pelaksanaan pembagian harta
warisan. dalam surat an- Nisa ayat 13 dan 14 menegaskan bagi orang-orang yang
melaksanakannya akan mendapatkan pahala, yakni di masukkan kedalam surga
selama-lamanya. Begitu juga sebaliknya, orang yang dengan sengaja mendurhakai
hukum Allah SWT. Dan melampaui batas ketentuan-Nya, kelak akan menerima
balasan yang sangat menyakitkan, berupa siksa yang amat pedih lagi abadi di dalam
neraka.
Memperhatikan kandungan isi ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa
ketentuan hukum tentang bagian warisan bagi masing-msing ahli waris seperti 1/2,
1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 serta bagian sisa atau ‘ashabah, merupakan ketentuan
hukum final yang tidak bisa diubah lagi, akan tetapi sejauhmana sejarah dan
dinamika pelaksanaannya, perlu dilihat dari aspek lain yang menyangkut situasi dan
kondisi masyarakat yang menyertai hukum itu di laksanakan. Term-term ‘aul, radd,
garrawain, musyarakah, yang akan dibahas nanti menunjukkan adanya perubahan-
perubahan “teknis pelaksanaan” ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dengan
redaksi lain, tidak jarang ketentuan yang sudah rinci dan harus di laksanakan
tersebut, menemui kesulitan. Maka muncullah istilah qath’iy al-tanfiz ( pasti
pelaksanaannya ) dan zanniy al-tanfiz (tidak pasti pelaksaannya). 81
Melalui istinbat
dan ijtihad para ulama dalam memahami ketentuan ayat al-Qur’an dan al-sunnah

77 M.Ali hasan, Op. Cit., h.18-19


78
Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, suatu kajian hukum dengan pendekatan tafsir tematik,(
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 102
79 Sayyid sabiq, Op. Cit., h. 426
80 M.Ali hasan, Lop, Cit.
81 Ahmad Rofiq, Op Cit., h.25-26

77
telah di kemukakan secara detail pada bab-bab terdahulu. Namun demikian,
perkembangan sosial dan kebiasaan yang terjadi dan tumbuh dalam kesadaran
hukum masyarakat, melahirkan beberapa gasan pembaharuan dalam pembagian
warisan.82
Hal demikian di pengaruhi sifat-sifat hukum yang terdiri dari:
1. Hukum Memaksa
Disebut sebagai hukum yang memaksa apabila ketentuan-ketentuan hukum
yang ada tidak dapat dikesampingkan, maksudnya tidak bisa tidak, perintah atau
larangan hukum tersebut harus diperbuat ( di dalam hukum, berbuat dapat berarti
berbuat sesuatu dan dapat pula tidak berbuat sesuatu) dan seandainya tidak di
perbuat, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum
2. Hukum yang mengatur
Hukum yang mengatur, yaitu teks hukum yang ada dapat dikesampingkan
(tidak dipedomani) seandainnya para pihak berkeinginan lain ( sesuai kesepakatan
atau musyawarah diantara mereka), kalau pun tidak di laksanakan ketentuan hukum
yang ada tersebut tidak di kategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, sebab
sifatnya hanya mengatur.83
G. Ketentuan Bagian Masing-Masing Ahli Waris
Al-furud al-muqaddarah adalah Bagian-bagian yang telah di tentukan besar
kecilnya di dalam al-Qur’an, bagian-bagian itulah yang akan di terima oleh ahli
waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-fururd al-muqaddarah yang diatur secara rinci
dalam Al-Qur’an ada 6, yaitu:
1. Setengah/separoh (1/2 = al-nisf)
2. Sepertiga ( 1/3 = al-sulus)
3. Seperempat ( ¼ = al-rubu)
4. Sepernam (1/6 = al-sudud)
5. Seperdelapan (1/8 = al-sumun)
6. Dua pertiga (2/3 = al-sulusain)
Dasar hukum dari al-furud al-muqaddarah tersebut adala QS.al-Nisa ayat
11-12 seperti telah di kutip terdahulu.84

82 Ibid h. 197
83
Suhrawardi k. lubis dan komis simanjuntak, hukum waris islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 4
84
Ahmad rofiq, Op Cit., h.65

78
Pada pembahasan di bawah ini uraian mengenai ahli waris tidak dipisahkan
lagi antara ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah. Pertimbangannya adalah,
bahwa mereka itu di dalam Al-Qur’an sama-sama di beri hak untuk menerima
bagian yang telah di tentukan. Ahli waris yang menerima bagian tertentu itulah,yang
di sebut dengan asbab al-furud atau lengkapnya asbab al-furud al-muqaddarah.
Adapun bagian-bagian yang di terima oleh asbab al-furud adalah sebagai berikut:
1. Anak perempuan, berhak menerima bagian
1) ½ jika seorang, tidak bersama anak laki-laki
2) 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan anak laki-laki.
2. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
a. ½ jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang ( mahjub)
b. 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak sama dengan cucu laki-laki dan tidak
mahjub
c. 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusin), jika bersama seorang
anak perempuan, tidak ada cucu laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan
dua orang atau lebih maka ia tidak mendapatkan bagian
3. Ibu, berhak menerima bagian:
a. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu ( far’u warsi) atau saudara dua orang atau
lebih
b. 1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
c. 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu pabila ahli waris yang terdiri dari:
suami/isteri, ibu dan bapak
4. Bapak berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
b. 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
Jika bapak bersama ibu, maka:
c. Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau
lebih
d. 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya jika tidak ada anak, cucu atau saudara
dua orang atau lebih
e. 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah di ambil untuk ahli waris suami
dan isteri dan atau isteri.
5. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika seorang

79
b. 1/6 di bagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
6. Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
b. 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada
ank laki-laki
c. 1/6 atau Muqasamah ( bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,
setelah diambil untuk ahli waris lain
d. 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada
ahli waris lain. Masalah ini di sebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (
kakek bersama saudara-saudara).
7. Sauadara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a. ½ jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
b. 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
8. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a. ½ jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
b. 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
c. 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai
pelengkap 2/3 ( takmilah li al-sulusain)
9. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak
mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika seorang
b. 1/3 jika dua orang atau lebih
c. Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-
sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini di sebut dengan masalah
musyarakah.
10. Suami berhak menerima bagian
a. ½ jika isterinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
b. ¼ jika isterinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu
11. Isteri, berhak menerima bagian:
a. ¼ jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
b. 1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
Jika seluruh ahli waris tersebut diata ada semua, maka tidak seluruhnya
menerima bagian. Karena ahli waris yang dekat hubungan kerabatnya, menghijab
ahli waris yang jauh, maka dari mereka itu, ahli waris yang dapat menerima bagian

80
adalah: ( Anak perempuan ½, cucu perempuan garis laki-laki 1/6, ibu 1/6, bapak 1/6
+ sisa, isteri atau suami 1/8 atau 14).
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli
waris yang mendapatkan bagian adalah: (anak perempuan dan anak laki-laki
bersama-sama menerima sisa, ibu 1/6/ bapak 1/6, suami ¼ atau isteri 1/8).85
H. Orang Yang Berhak Menerima Harta Warisan
Jumhur ulama berpendapat ahli waris laki-laki ada 15 orang, yang tampil
apabila semua ahli waris tersebut ada, hanya tiga orang saja, untuk ahli waris
perempuan jumlahnya 10 orang, yang tampil hanya 5 orang apabila semua ahli waris
tersebut di atas ada.
Kelima belas ahli waris laki-laki tersebut, meliputi:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
3. Bapak atau ayah
4. Kakek atau nenek laki-laki, yaitu bapak atau ayah dari bapak atau ayah dari
seterusnya keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak atau ayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak atau seayah
10. Saudara laki-laki dari bapak atau ayah seayah (paman)
11. Anak laki-laki dari paman sekandung
12. Anak laki-laki dari paman sebapak atau seayah
13. Suami
14. Laki-laki yang memerdekakan seorang budak.
Apabila kelima belas ahli waris laki-laki tersebut ada pada waktu pewaris
meninggal dunia, maka yang akan tampil sebagai ahli waris hanyalah anak laki-laki,
bapak dan suami saja.
Sedangkan kesepuluh ahli waris perempuan yang di maksud, meliputi:86
1. Anak perempuan

85
Ibid. h.66-70
86
Rachmadi usman, SH., MH, Hukum Kewarisan Islam, dalam dimensi kompilasi hukum islam,(
Bandung:Mandar Maju, 2009), cet, ke- 1. h.75-76

81
2. Ibu
3. Anak perempuan dari anak perempuan
4. Nenek dari ibu terus keatas
5. Nenek dari bapak terus keatas
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan sebapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Isteri87
10. Perempuan yang memerdekakan budak
Apabila kesepuluh ahli waris perempuan tersebut ada pada waktu pewaris
meninggaldunia, maka yang akan tampil sebagai ahli waris hanyalah anak
perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu saudara perempuan kandung
dan isteri.
Sementara itu apabila semua ahli waris laki-laki dan perempuan ada, maka
yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, isteri atau suami, selebihnya
tidak tampil sebagai ahli waris.
Menurut ketentuan dalam pasal 174 kompilasi hukum islam, bahwa ahli
waris baik menurut hubungan darah (nasabiyah) maupun perkawinan (sababiyah)
ada 11 orang, terdiri atas enam golongan laki-laki, yang terdiri atas ayah, anak laki-
laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan duda dan lima orang dari golongan
perempuan, yang terdiri atas ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek, dan
janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Bila ditilik dari besarnya bagiannya yang akan diterima atau sesuai dengan
besarnya haknya yang akan diterima, maka golongan atau kelompok ahli waris
tersebut dapat di bedakan atas ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu ( dzawil
furud atau dzul faraid ), di mana besarnya jumlah telah pasti dan di tentukan; dan
ahli waris yang mendapat bagian tidak di tentukan (ashabah).88
I. Kedudukan Hukum Adat Dalam Kewarisan
A.sukris sarmadi mengemukakan dalam bukunya, bahwa polemik hukum
waris islam yang juga menggelitik adalah persoalan mengenai persentuhannya

87
Muhammad ali ash shabuniy, Hukum Waris Islam, ( Bandung: Al-Ikhlas, 1995) Cet. Ke-1, h. 65
88
Rachmadi Usman SH., MH. Op. Cit., h. 76-77

82
dengan hukum adat.89 Dalam ilmu ushul fiqih adat biasa di sebut dengan “ Urf’. ‘Urf
dan adat dalam pandangan ahli syari’ah adalah dua kata yang si nonim ( Taraduf )
berarti sama.90
Para ulama ushul fiqh membagi urf dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’91 ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Al-urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash ( ayat atau hadits), ti dak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.92
2. Al-‘urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil sayara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara93
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa ‘Urf al-shahih yang tidak bertentangan
dengan hukum syara’ dapat di jadikan hujjah .94 jadi dapat di tarik benang merahnya
dari kesepakatan para fuqaha jika pembagian warisan di lakukan dengan cara
memakai adat ( Urf ) yang tidak bertentangan dengan hukum syara maka bisa di
jadikakkan hujjah.
Di dalam ilmu ushul fiqih sebagamana yang di kemukakan oleh para ulama
mengenai kaidah hukum adat sebagai berikut:
1. ˚Zَ‫ ا‬Zُ‫ة‬Zَ‫مة َك ُمح ْلعَاد‬, adalah adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
‫ َّي‬Z¸‫ ْز َمن‬Zَ‫أل‬Zْ‫ ْغي¸ ¸را‬Zَ‫ت‬Z¸‫ ْح َكا ¸م ب‬Zَ‫ ْغي¸ ُر أِْ ل‬Zَ‫ ْن َك ُرت‬Zُ‫ َ لاي‬, hukum perubahan diingkarkan tidak adalah
di .2 ‫ ¸ة‬Zَ‫ ْم ¸كن‬Zَ‫أل‬Zْ‫¸ة وا‬
sebabkan perubahan zama dan tempat
3. ‫طا‬
ْ ‫ل ُر‬Zْ‫ وف ُر ْع َم ْل َاْ ع كا‬adalah yang baik itu menjadi ‘Urf, sebagaimana
‫ ْرًفا َم ْوط ر‬yang
‫ش‬
‫ش‬
disyaratkan itu menjadi syarat
4. ‫ص ت‬ ‫¸بْ ف‬Z‫ ا‬Zُ‫ ر ْلع‬adalah yang di tetapkan melalui ‘Urf sama dengan yang
‫ّا ¸ب‬Zَ‫لث‬Zَ‫¸بالن ا‬ ‫ّا ¸ب‬Zَ‫ كالث‬di
‫ت‬
tetapkan melalui nash ( ayat dan atau hadits).95
Para ulama usuhul fiqh mengemukakan bahwa urf diatas baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dasar dalam menetap hukum syara ababila memenuhi syarat-sayarat
sebagai berikut:

89
A.Sukris sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasformatif, ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,1996), h.6
83
90
Sulaiman Abdullah, sumber hukum islam permasalahan dan fleksibilitasnya, ( Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), h. 77
91
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, ( Jakarta: logos wacana ilmu,1995), h.141
92
Ibid.
93
ibid
94
Ibid., h. 142
95
ibid

84
1. Uruf itu berlaku secara umum maksudnya adalah urf itu berlaku dalam mayoritas
kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya di anut oleh
mayorita masyarakat tersebut
2. Urf tersebut telah memasyarakat ketika persoalan yang akan di tetapkan
hukumnya muncul. Maksudnya adalah urf tidak bisa dijadikan sandaran hukum
jika kasus yang terjadi lebih dahulu ada dari urff tersebut.
3. Urf tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam transaksi.
Maksudnya adalah apabila kedua belah pihak telah jelas menentukan hal-hal yang
akan di lakukan, maka Urf tidak dapat di jadikan dasar hukum.
4. Urf tidak bertentangan dengan nash, maksudnya adalah ketika hukum tersebut
tidak bertentangan dengan nash akan menyebabkan hukum yang di kandung oleh
nash itu tidak bisa di terapkan.
Di dalam permasalahan pembagaian warisan ketika berbenturan antara adat
dengan hukum syara maka harus di lihat terlebih dahulu apakah hukum adat tersebut
tidak meyimpang dari syarat-syarat yang telah di tetapkan oleh para fuqaha. Ketika
hukum adat tidak bertentangan dengan sayarat-sayarat yang di kemukakan diatas
maka dapat di pakai. dan sebaliknya jika bertentangan dengan syarat-syarat yang di
tentukan tadi maka tidak dapat di jadikan hujjah.

85
BAB IV

POLIGAMI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian
Poligami dalam Islam fiqih disebut dengan ta’addud al-zawaj ( seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari satu orang).96 Secara terminologi, poligami artinya
banyak istri titik kata poligami berlaku bagi suami yang menikah dengan lebih dari
seorang perempuan titik istilah poligami digunakan dalam undang-undang nomor
1974 atau KUHP sebagaimana terdapat pada pasal 3s/d 5.
Secara konsepsional, istilah poligami dapat diartikan sebagai perkawinan yang
dilakukan oleh suami untuk mendapatkan pasangan hidup lebih dari seorang. Oleh
karena itu. Apabila pernikahan dilakukan oleh seorang suami terhadap perempuan
lebih dari seorang atau suami yang istrinya lebih dari seorang disebut dengan
poligami karena dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan bahkan dalam PP
nomor 9 tahun 1975 tidak dikenal istilah poligami dalam tulisan ini pun digunakan
istilah poligami yang merupakan istilah untuk seorang suami yang beristri lebih dari
seorang.97
B. Syarat - syarat dalam berpoligami
Syarat Poligami Menurut Pasal 5 Ayat ( 1) UU Perkawinan, Yaitu:
1. Adanya persetujan dari istri-istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak
mereka.
Tiga persyaratan di atas memberikan pemahaman bahwa suami yang hendak
melakukan Poligami adalah suami yang mendapat tempat di hati dari istrinya
sehingga Ia mendapat persetujuan untuk poligami. Sebagai suami yang memiliki rasa
tanggung jawab yang besar yang tidak cenderung ke salah satu saja Tetapi semua
istrinya mendapatkan cinta dan kasih sayang yang tulus sebagai suami yang kaya
raya, yang mampu menghidupkan istri dan anak-anaknya sebaliknya, yang miskin,

96
Mardani, hukum keluarga islam di indonesia, (Jakarta: kencana, 2017) cet 2 h. 95
97
Beni ahmad saebani dan syamsul falah, hukum perdata islam di indonesia, (Bandung: cv pustaka
setia, 2011) cet 1 h. 118

86
tidak dapat tempat dari hati istrinya, kemungkinan untuk poligami sangat sulit. Bukan
hanya tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya dan pengadilan, untuk kehidupan
diri dan istrinya seorang saja kamu belum terpenuhi secara ekonomi ataupun
batiniyahnya.Al-hamdani (1989:79) mengatakan bahwa keadilan dalam berpoligami
adalah proporsional dalam sikap dan tindakan secara materiil dan spiritual, lahir
lahiriyah dan batiniyah, istri memberikan tempat yang bermakna bagi suami yang
berpoligami sebaliknya memberikan curahan kasih sayang kepada istri secara rasional
dan seimbang.
Poligami dibenarkan oleh Al-quran dan undang-undang dengan persyaratan
yang sangat berat suami harus mampu berlaku adil keadilan sangat sulit untuk
dibuktikan yang dapat berlaku adil hanya Allah yang Maha Adil; Untuk menjangkau
syarat tersebut, undang-undang mengatur dengan sangat ketat salah satunya adalah
bahwa suami yang bermaksud poligami harus meminta izin kepada istri yang pertama,
bahkan dia memberikan izin harus mengatakannya di depan majelis hakim lingkungan
pengadilan Agama. Poligami bagaikan duri akan menyakiti istri tetapi bagaimana
sakitnya, istri poligami tetap dibenarkan oleh Islam dan undang-undang dengan
Persyaratan yang telah ditetapkan.
Dengan pandangan di atas, perkawinan dilaksanakan atas landasan nilai-nilai
ilahiyah yang prinsipil. Demikian pula, jika suami bermaksud poligami, ia harus
mengemukakan alasan-alasan yang prinsipil. Undang-undang perkawinan yang tegas
ikatan lahir batin dalam perkawinan merupakan barometer kehidupan seorang laki-
laki sebagai suami yang bermaksud membangun keluarga dalam rumah tangga yang
bahagia dan Abadi.
Dasar hukum berpoligami tidak hanya diatur dalam undang-undang
perkawinan ataupun dalam KHI kompilasi hukum Islam. di dalam Al-quran pun
dijelaskan di dalam surah Annisa ayat 3:
“ Artinya. dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yatim, ( Bagaimana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan lain yang kamu senangi 2,3 atau 4 tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S
An-Nisa:3)
Dalam konteks Al-Quran ataupun Al-Hadis yang menjadi pedoman hidup
umat Islam suami yang berpoligami tidak didasarkan atas alasan sebagaimana yang

87
terdapat dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 misalnya poligami disebabkan
istri mengalami cacat badan, mandul atau sering tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri. Dalam syariat Islam, poligami dibenarkan atau dibolehkan dengan syarat
sah berlaku adil terhadap istri-istrinya. Yang melakukan poligami tidak perlu
menunggu istrinya mandul atas jenis cacat badan yang sukar disembuhkan sebagainya
juga tidak harus menunggu istrinya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana
undang-undang nomor 1 tahun 1974. Bagi pegawai negeri sipil merupakan undang-
undang yang mengatur tata cara perkawinan dan perceraian di Indonesia bahkan
secara khusus mengatur tata cara melakukan poligami. Aturan poligami bagi PNS
dipisahkan melalui peraturan pemerintah PP Nomor 10 tahun 1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Adapun sebagai hukum material
bagi orang Islam terdapat ketentuan dalam kompilasi hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan yang terjadi dalam undang-undang perkawinan berikut
aturan pelaksanaan berprinsip pada asas monogami satu suami untuk satu istri dalam
hal atau alasan tertentu seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang. Hal
atau alasan tersebut tergambar dalam serangkaian persyaratan yang berat. Dapat
tidaknya seorang suami beristri lebih dari seorang ditentukan pengadilan Agama
berdasarkan terpenuhi atau tidaknya persyaratan.
Meskipun poligami menurut undang-undang diperbolehkan beratnya
persyaratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di
pengadilan Agama menganut prinsip menutup pintu terbuka, Artinya tidak dibuka,
kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam hal atau keadaan tertentu pintu
dibuka.
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berkaitan langsung dengan
poligami pasal 4 dan pasal 5. dalam pasal 4 yang terdiri dari 2 ayat yang berisi
sebagai berikut:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut
dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan di maksud ayat 1 Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

88
b. Setiap istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pasal 5 di jelaskan bahwa untuk mengajukan permohonan ke
pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak
mereka.
Meskipun poligami berat untuk dilakukan karena persyaratannya, bukan
berarti tidak ada suami yang berani melakukan poligami ketika dengan adanya ayat
Al-Quran dan hadis tentang poligami ditambah dengan adanya undang-undang nomor
1tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah Nomor 9 tahun1979 hal
ini menunjukkan bahwa poligami akan selalu ada, adapun kaum laki-laki
mendapatkan tempat yang khusus jika bermaksud melakukannya. Adapun kaum
wanita sebagai istri, mendapatkan tempat yang dihormati oleh Al-quran atau Al-
hadis, bahwa suaminya dapat dituntut untuk berlaku adil terlebih lagi menurut
undang-undang yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa suami tidak sah
pernikahan nya sekaligus poligaminya apabila tidak dapat persetujuan dari istri yang
legal dan formal.
Dalam hukum Islam poligami sebagai suatu proses kepemimpinan seorang
laki-laki atau suami dalam rumah tangganya apabila seorang suami yang berpoligami
tidak mampu melaksanakan prinsip keadilan dalam rumah tangga tidak mungkin
dapat melakukan melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin masyarakat.
Sebagaimana Jika seorang suami sewenang-wenang kepada istrinya, sebagai
pemimpin akan berbuat kezaliman terhadap rakyatnya Itulah sebabnya dalam surat
an-nisa ayat 3 ditegaskan bahwa bukan masalah poligaminya yang penting melainkan
serta keadilan dalam melaksanakan kepemimpinan dalam rumah tangganya. Dalam
hal itu lah syariat Islam memberikan suatu gambaran bahwa poligami dapat dilakukan
sejauh mungkin karena prinsip keadilannya. Muhammad Abduh mengatakan dalam
tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha (1970:109) “Meskipun
Agama Islam membuka jalan bagi poligami, jalan itu sangat disempitkan sehingga
program itu hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan dalam keadaan darurat. Oleh

89
karena itu poligami hanya dibolehkan bagi orang-orang yang terpaksa atau meyakini
bahwa dia sanggup berlaku adil.98
Jumhur ulama dari berbagai golongan sepakat menyatakan bersistri lebih dari
satu orang. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas maksimal seorang istri
lebih dari satu. kelompok sunni membatasi hanya kepada 4 orang istri dalam hal ini
As Syafi’i mengatakan bahwa selain Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam setiap orang
suami hanya boleh beristri sampai 4 orang.
Dalam muatho Imam Malik disebutkan: yang artinya “ bahwa Nabi SAW
berkata kepada seorang dari bani sakit Assalam (ghailan Ibnu Umayyah Atstsakafiy
yang baru masuk Islam dan ia mempunyai istri berjumlah 10 orang) beliau nabi SAW
mengatakan kepadanya pilihan empat orang diantara mereka dan ceraikanlah yang
lainnya. (HR. Imam Malik, lihat Imam Ahmad)
Meskipun demikian, sebagaimana pasal 55 ayat 1 yang membatasi jumlah
maksimal 4 orang dan pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa syariat poligami
adalah mampu berbuat adil di antara mereka para istri dan anak mereka. Para ulama
juga mengisyaratkan mempunyai seorang suami berlaku adil terhadap mereka Sesuai
dengan apa yang ditunjuk dalam Al-quran surah An-nisa ayat 3 dalam memahami apa
yang dimaksud dengan berbuat adil bagi suami pasal 55 ayat 2 hanya menyebut objek
keadilan itu harus dilakukan yakni kepada istri dan anak-anak mereka. Dalam hal ini
sebenarnya dapat diperhatikan pada pasal 80 KHI sebagai berikut:
“ (1) suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
kediaman, tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-masing istri,
kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
Berdasarkan pasal 82 KHI tersebut, pasal 55 ayat 2 menyebut tentang
perilaku adil dapat dipahami sebagai perbuatan suami dalam menafkahi dan
memperhatikan istrinya secara berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang
ditanggung masing-masing istri.
Selanjutnya dalam kain dilakukan perincian keadilan sebagai berikut:
1. Membimbing para istri dalam kehidupan rumah tangga ( lihat pasal 80 KHI ayat 1)
2. Memperhatikan kehidupan rumah tangga pada istrinya:

98
Ibid h,118-125

90
a. Memberi nafkah, kiswah ( pakaian, fasilitas diri ) dan tempat kediaman
bagi para istri.
b. Memberi biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak-anaknya.
c. Memberi biaya pendidikan jasmani dan rohani kepada anak-anaknya (lihat
pasal 80 ayat 4)
Berdasarkan pasal 55 ayat 3 bahwa seorang tidak boleh atau dilarang
melakukan perkawinan atau beristri lebih dari satu Jika ia tidak dapat berlaku adil
kepada istrinya dalam hal kediaman dan hidup mereka secara berimbang sesuai
besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-masing istri.
Melakukan poligami dengan tujuan nafsu tanpa alasan yang jelas
sebenarnya dilarang, sehingga seorang suami yang melakukan poligami sangat
dianjurkan mampu berlaku adil karena tidak mudah dalam praktiknya berlaku adil.
Sebagaimana hadis Abu Dawud: “Dari Abu Hurairah, sungguh Nabi SAW
titik bersabda barangsiapa mempunyai dua orang selalu lebih berat pada salah
satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dengan bahu miring” (H.R.
Abu Dawud Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Kemudian hadis Riwayat Abu Dawud dari Siti Aisyah: “Rasulullah SAW.
Selalu memberi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan Beliau pernah berdoa ya
Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah engkau
mencela aku tentang apa yang kau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu
Dawud berkata yang dimaksud dengan engkau kuasai tetapi engkau tidak
menguasainya, adalah hati” ( H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dapat dipahami bahwa melaukan poligami bukan suatu kewajiban bagi
seorang suami, karena tidak mudah harus bisa berlaku adil, bagi yang belum mampu
baik secara jasmani maupun rohani lebih baik satu istri karena itu lebih baik baginya
untuk menghindari mudharat dalam berumah tangganya.
C. Alasan Melakukan Poligami
Pada prinsipnya hukum islam mengajarkan asas monogami artinya seorang
peria hanya boleh mempunyai seorang istri, poligami hanya jawaban jika terjadi hal-
hal yang tidak di mungkinkan dalam perkawinannya.
Dalam UU Nomor 1 Tahunn1974 pada pasal 4 ayat 2 memberikan penjelasan
alasan melakukan poligami yaitu:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;

91
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan ini yang menjadi pedoman bagi pengadilan untuk memberikan izin
melakukan Poligami keadaan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri. Istri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri
tidak dapat melahirkan keturunan. pasal tersebut memberikan kesempatan kepada
suami untuk melakukan poligami, Demikian sebagai istri yang kurang Normal atau
tidak sesuai dengan harapan sang suami.
Dengan penjelasan pasal 5 ayat 1 dapat dipahami bahwa suami harus meminta
izin dari istri, dan istri memiliki hak untuk memberi atau tidak memberi izin kepada
suaminya yang bermaksud poligami. Akan tetapi, karena kondisi istri yang demikian,
sangat tidak rasional bila tidak memberikan izin suami. Tentu saja keadaan tersebut
sangat memprihatinkan bagi istri dan menjadi alasan sangat kuat bagi suami untuk
melakukan poligami.
Dalam kompilasi hukum islam pasal 57 sama halnya dengan uu perkawinan
pasal 4 ayat 2 alasan suami melakukan poligami yaitu:
a. Istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
paling tidak ada faktor di atas sebagai alasan utama seorang peria boleh
melakukan poligami, pada perinsipnya poligami bukan sebuah keharusan atau
kewajiban tetapi lebih kepada solusi jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga.
Islam sangant hati-hati mengatur masalah poligami sehingga faktor keadilan sangat
ditekankan kepada kemampuan berlaku adil. Faktor perting adalah izin seorang istri
sehingga wajib seorang suami mendapat izin yang semuannya akan di tetapkan di
pengadilan.
D. Tata Cara Poligami
Prosedur poligami dapat di lihat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 56 s/d
59 sebagai berikut:
Pasal 56
Ayat (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.

92
Ayat (2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9
Tahun 1975.
Ayat (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
Ayat (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan
anak-anak mereka.
Ayat (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan
secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan
Agama.
Ayat (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada
kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab
lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di

93
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
Melihat penjelasan pasal-pasal terkait prosedur poligami tidak mudah harus
dapat kekuatan hukum atau kepastian hukum secara legal berdasarkan yurisdiksi
lembaga hukum dalam hali ini pengadilan Agama. Sebagaimana penjelasan KHI
dalam pasal 56 ayat 3 Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun syarat atau alasan poligami sudah terpenuhi unsur materil yang dijelaskan
dalam pasal Pasal 57 seperti isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri,
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri
tidak dapat melahirkan keturunan. Namun semua itu tidak ada artinya jika misalnya
pihak pengadilan tidka memberikan izin atau menolak pengajuan poligami tersebut,
hal ini memberikan gambaran bahwa melakukan poligami tidak diperkenankan
dengan diam-diam apalagi tanpa sepengetahuan istri.
Pasal 57 menjelaskan secara umum syarat poligami jika melihat dari
penjelasan pasal pada poin pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai isteri. Dalam istilah fiqih kategori ini masuk dalamnya istri yang tidak taat
kepada suami karena sebab-sebab tertentu seperti tabarruj di mana istri suka bersolek
atau menampakan kecantikan untuk memikat perhatian orang lain atau pria lain
setelah dinasehati untuk tidak melakukannya oleh suami, dapat juga berarti tidak mau
menerima sehat suami tentang kebaikan karena beberapa sifat dan tabiat nya yang
buruk karena berbagai sifatnya yang buruk.
Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, cacat atau penyakit yang berkaitan tidak dapat melayani selamanya
baik lemahnya reaksi seksual sehingga suami tidak dapat merasakan hubungan
seksual yang memuaskan walaupun telah diupayakan untuk menyembuhkannya
ataupun seperti penyakit gila atau cacat tubuh buta, bisu, tuli dan lain-lain yang
mengakibatkan istri tidak dapat men jalankan kewajibannya sebagai istri.
Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Istri yang tidak dapat
melahirkan atau sering kita sebut dengan mandul perlu dibuktikan dengan dicek ke
dunia medis untuk membuktikan apakah penyakit benar-benar dari istri. Sehingga
melakukan poligami benar-benar faktor penyakit bukan karena ada hal lain yang
membuat hancurnya hubungan pernikahan suami istri.

94
E. Sanksi – Sanksi
Perkawinan Poligami yang tidak dicatatkan di kantor urusan Agama atau
catatan sipil akan berimplikasi terhadap Aspek hukum administrasi yaitu kedudukan
istri yang tidak mempunyai kekuatan hukum untuk melakukan gugatan terhadap
suami bila suatu saat suami menceraikannya, harta gono - gini, serta hak pembiayaan
terhadap anaknya. Konsekuensi lainnya adalah, bahwa seorang anak akan tidak
mempunyai akta kelahiran yang dicatatkan di catatan sipil yang menunjukkan bahwa
anak tersebut adalah lahir dari perkawinan yang sah yang pada akhirnya seorang
anak hanya mempunyai pertalian hukum dengan ibunya saja yang juga berakibat
seorang anak tidak akan mendapatkan warisan dari ayahnya tersebut, karena tidak
adanya catatan hukum yang menghubungkan dari keduanya.
Ketentuan Undang-Undang No 1 tahun 1974 memberikan ulasan tentang
alasan tentang dapat dilakukannya pembatalan perkawinan yaitu:
1) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27
UU No. 1/1974).
2) Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974).
Identitas palsu misalnya tentang status, usia, nama atau agama.
3) Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan
tanpa seizin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974).
4) Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU
Perkawinan).
Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan poligami yang
dilakukan oleh seorang suami tanpa adanya izin Pengadilan Agama, atau
perkawinan yang telah berlangsung dan akan tetapi perempuan yang dikawini
ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud atau
perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. Selanjutnya
perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga menegaskan bahwa
batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Selanjutnya
ketentuan pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974 & Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa Pembatalan perkawinan dapat dilakukan dengan cara
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan / Pengadilan

95
Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan
dilangsungkan.
Perkawinan poligami yang tidak didasari dengan penetapan pengadilan akan
dihadapkan dengan ketentuan saksi berupa perdata (administrasi) maupun sanksi
pidana. Sanksi administrasi akan berimplikasi terhadap pihak – pihak yang berkaitan
dengan dilangsungkannya perkawinan poligami tanpa adanya persetujuan istri
pertama, sedangkan anksi pidana diberikan kepada suami yang melangsungkan
perkawinan tanpa adanya persetujuan istri sebelumnya yang masih terikat dalam
perkawinan yang sah.99
Pasal 279 KUHP memberikan ancaman pidana penjara berbunyi sebagai
berikut:
Ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1.barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Ayat (2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Ketentuan Pasal 279 KUHP diatas memberikan perlindungan hukum
terhadap kedudukan perempuan sebagai istri pertama. Adanya ancaman pidana lima
sampai tujuh tahun terhadap laki-laki yang melakukan perkawinan padahal
perkawiananya telah ada sebelumnya yang menjadi penghalang yang sah akan
menjadi suatu parameter terhadap suami untuk mempertimbangkan jika ingin
melangsungkan perkawinan untuk yang kesekian kalinya yang mana perkawinannya
masih terikat dengan pihak lain. Selanjutnya jika seorang laki-laki melangsungkan
perkawinan dengan cara diam-diam dan dengan sengaja tidak memberitahu kepada
istrinyanya, maka ketentuan hukum pidana juga memberikan ancaman penjara
paling lama lima tahun, jika secara ketentuan putusan pengadilan dinyatakan bahwa
laki-laki tersebut bersalah, maka perkawinan lalu dinyatakan tidak sah.

99
Muhammad Yusuf Siregar, Sanksi Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Adanya
Persetujuan Istri, jurnal h.70

96
Hal ini juga dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun
2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan yang menyatakan: Bahwa
perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain
sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan
perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan
Ketentuan diatas sesuai dengan pasal 280 KUHP yang berbunyi :
‘Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu
kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang
tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah”
Sanksi bagi pelaku poligami tanpa seizin istri sebagai upaya
perlindungan terhadap hak-hak istri sehingga bagi suami yang berniat berpoligami
harus benar-benar memperhatikan hak-hak istri dan tujuan lain adalah agar tetap
terbinanya rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah.

97
BAB V

HUKUM WAKAF

A. Pengertian
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata
“Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap
berdiri”. Kata “Waqafa-Yuqifu-Waqfan” sama artinya dengan “HabasaYahbisu-
Tahbisan”100Menurut arti bahasanya, waqafa berarti menahan atau mencegah,
misalnya saya menahan diri dari berjalan”101
Menurut para ahli fiqih yang dimaksud istilah wakaf yaitu sebagai berikut:
1. Abu hanifah. Wakaf adalah Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut
hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si
wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si
wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang
timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab
Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas
suatu benda, yang berstatus tetap sebagai 4 loc. cit 21 hak milik, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang
maupun akan datang”.
2. Mazhab maliki. Wakaf adalah Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf
tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban
menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq
(penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau
menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf
dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan
keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari
penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
100
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr alMu’ashir, 2008, hlm,
151. 2
101
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj Masykur A.B, Afif Muhammad & Idrus Al-
Kaff, Jakarta : Penerbit Lentera, 2007, hlm. 635

98
tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan benda
itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya)
3. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Wakaf adalah melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti.
Perlakuan pemilik dengan cara kepemilikannya kepada yang lain baik dengan
tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat
diwarisi oleh ahli warisnya. wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkan
kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di
mana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila
wakif melarangnya, maka qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada
mauquf’alaih karena itu Mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus sebagai milik Allah
SWT, dengan menyedekahkannya manfaatnya kepada suatu kebajikan sosial.102
Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat 1 Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam Berdasarkan
ketentuan Pasal 215 ayat 4 KHI tentang pengertian benda wakaf adalah : Segala
benda baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya
sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam
Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa : Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah 11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 3,
Beirut: Darul Kutub, t.th., hal. 378. 25 c) Menurut PP No. 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa : Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau

102
Departemen agama republik indonesia, fiqih wakaf, direktorat pemberdayaan wakaf direktorat
jenderal bimbingan masyarakat islam departemen agama,2006 cet 4 h 1-3

99
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari’ah.
Dari beberapa pengertian wakaf di atas, kiranya dapat ditarik cakupan bahwa
wakaf meliputi:
a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.
b. Harta benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak habis apabila dipakai.
c. Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya, kemudian harta
tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan, ataupun diperjual belikan.
d. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan
ajaran Islam.103
B. Sejarah Wakaf
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada
dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam tentang siapa
pertama kali melaksanakan syariat wakaf menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW
ialah tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Umar bin Rabah dari Amr bin Sa’ad bin Muad berkata: “
kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam orang Muhajirin mengatakan
Allah wakaf Umar sedangkan orang Ashar mengatakan Allah wakaf Rasulullah SAW
SAW. (Asy-Syaukani:129)
Rasulullah Saw pada tahun ketiga Hijriah pernah mewakafkan tujuh kebun
kurma di Madinah, diantaranya ialah Kebon A’rab, Shafiah, dalal, Barqah dan kebun
lainnya. Menurut pendapat Sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan syariat wakaf adalah Umar Bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan
hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra berkata: “ bahwa sahabat Umar ra.
Memperoleh sebidang tanah di khaibar. Kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah
SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: hari Rasulullah SAW. Saya mendapat
sebidang tanah di khaibar saya belum mendapatkan harta sebaik itu Maka apakah
yang engkau perintahkan kepadaaku? Rasulullah Saw bersabda apabila engkau suka,
kau tahan tanah itu,dan engkau sedekahkan hasilnya. kemudian umur
menyedekahkan hasil tanahnya untuk dikelola, Tidak dijual tidak dihibahkan dan

103
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 491.

10
0
tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkannya hasil pengolahan
tanah kepada orang-orang fakir kaum kerabat hamba sahaya, Sabilillah, Ibnu Sabil
dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari
hasilnya dengan cara yang baik sepantasnya atau memberi makan orang lain dengan
tidak bermaksud menumpuk hartanya. (H.R Muslim).
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar Bin Khattab
disusul oleh Abu Talha yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “bairaha”.
Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. Lainnya, seperti Abu Bakar yang
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah yang diperuntukkan kepada anak
keturunannya yang datang ke Mekah. Usman menyedekahkan hartanya dia khaibar.
Ali Bin Abi Thalib wakafkan tanahnya yang subur. Mu’adzin bin Jabal mewakafkan
rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-Anshar” kemudian pelaksanaan
wakaf disusul oleh Anas bin Malik Abdullah bin Umar. Jubair Bin Awwam dan
‘Aisyah istri Rasulullah SAW.104
Perkembangan praktek wakaf berlanjut pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun melaksanakan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir miskin tetapi wakaf menjadi modal membangun lembaga
pendidikan, membangun lembaga perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji
para guru dan beasiswa bagi siswa dan mahasiswanya. Hingga sampai saat ini di
negara-negara muslim dan khususnya di indonesia.
C. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum menurut Alquran dan Hadis serta hukum positif di indonesia yaitu
sebagai berikut:
1. Surat Al Hajj ayat 77, hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.
2. Surah An-Nahl ayat 97, artinya barang siapa yang berbuat kebaikan laki-laki
atau perempuan dan ia beriman, niscaya aku berikan pahala yang lebih baik
dari apa yang mereka amalkan.
3. Surah Ali Imran ayat 92, artinya kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebaikan sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.

104
direktorat pemberdayaan wakaf direktorat jenderal bimbingan masyarakat islam departemen
agama Ri. Lop cit., h.4-6

10
1
4. Surat Al Baqarah ayat 267, artinya Wahai orang-orang yang beriman
nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan kamu akan memicingkan mata padanya
dan ketahuilah bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji.
5. Sunnah Rasulullah Saw Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda
apabila Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara
sedekah jariyah yang mengalir terus-menerus, ilmu yang bermanfaat dan anak
sholeh yang mendoakan orang tuanya.( HR.Muslim)
6. Hadis nabi diriwayatkan Ibnu Umar ra berkata: “ bahwa sahabat Umar ra.
Memperoleh sebidang tanah di khaibar. Kemudian Umar ra. Menghadap
Rasulullah SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: hari Rasulullah
SAW. Saya mendapat sebidang tanah di khaibar saya belum mendapatkan
harta sebaik itu Maka apakah yang engkau perintahkan kepadaaku? Rasulullah
Saw bersabda apabila engkau suka, kau tahan tanah itu,dan engkau
sedekahkan hasilnya. kemudian umur menyedekahkan hasil tanahnya untuk
dikelola, Tidak dijual tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar
berkata: Umar menyedekahkannya hasil pengolahan tanah kepada orang-orang
fakir kaum kerabat hamba sahaya, Sabilillah, Ibnu Sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik sepantasnya atau memberi makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk hartanya. (H.R Muslim).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang dikeluarkan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta
pemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf
8. Peraturan Menteri Agama nomor 1 tahun 1978 peraturan ini di keluar sebagai
perincian terhadap PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang tata cara perwakafan
tanah milik antara lain akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban Nazir, perubahan
perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan penyelesaian perselisihan
wakaf serta biaya perlengkapan tanah milik
9. Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1990 Nomor 24 Tahun 1990 tentang
sertifikasi tanah wakaf.

10
2
10. Badan Pertanahan Nasional Nomor 630. 1-278 2 tentang pelaksanaan
penyertifikatan tanah wakaf.
11. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.
12. Surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 3 2/3 4/13 miring Dil tentang
bank umum berdasarkan prinsip syariah pasal 29 ayat 2 berbunyi bank dapat
bertindak sebagai lembaga Baitul Mal yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat infaq shodaqoh wakaf hibah atau dana sosial lainnya dan pada
perundang-undangan sebelumnya.
13. Surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tentang
Bank Umum berdasarkan prinsip syariah. pasal 29 ayat 2 bunyi bank dapat
bertindak sebagai lembaga Baitul Mal yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya yang
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan atau pinjaman
kebajikan
14. Surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tentang
Bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah pasal 28 berbunyi, BPRS
dapat bertindak sebagai lembaga Baitul Mal yaitu menerima dan menerima
dana yang berasal dari zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan
atau menyaman kebajikan qardhul Hasan105
D. Rukun Dan Syarat
Wakaf menyatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat yaitu:
1. Wakif orang yang mewakafkan harta
2. Mauquf bih ( barang atau harta yang diwakafkan)
3. Mauquf ‘Alaih ( pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf)
4. Sighat ( pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya).
5. Ada pengelola wakaf
6. Ada jangka waktu
a. Syarat wakif
Orang yang mewakafkan atau wakif diisyaratkan memiliki kecakapan hukum
atau al-ahliyah legal kompetensi yaitu:

105
Elsi kartika sari,pengantar hukum zakat dan wakaf,( Jakarta: Grasindo, 2006) h. 56-58

10
3
1) Merdeka
2) Berakal sehat
3) Dewasa balik
4) Tidak berada dibawah Pengampuan boros atau lalai
b. Syarat mauquf bih (harta yang diwakafkan)
1) Harta yang diwakafkan harus mutaqawwam (segala sesuatu yang
dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal bukan
dalam keadaan darurat).
2) Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan harta yang diwakafkan
harus diketahui dengan yakin sehingga tidak akan menimbulkan
persengketaan karena itu tidak sah.
3) Milik wakif hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dengan
mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkan nya.
4) Terpisah, bukan milik bersama, milik bersama itu Adakalanya dapat
dibagi Adakalanya tidak dapat dibagi.
c. Syarat mauquf’Alaih ( Penerima wakaf)
1) Wakaf kepada diri sendiri
2) Wakaf kepada muslim (muslimat) atau kelompok tertentu
3) Wakaf kepada yang tidak tertentu ( berwakaf kepada pihak umum)
seperti wakaf kepada fakir dan miskin, para mujahid, masjid-masjid,
sekolah-sekolah, pengurusan jenazah, tempat penampungan anak
yatim piatu dan lain lain.
d. Syarat sighat ( ikrar wakaf)
Secara umum syarat sahnya shighat ijab baik berupa ucapan maupun
tulisa yaitu:
1) Shighat harus munjazah artinya terjadi seketika atau selesai atau
menunjukkan terjadi dan terlaksananya waqaf seketika setelah sighat
Ijab diucapkan atau ditulis, misalnya berkata: “ saya mewakafkan
tanah saya atau saya sedekahkan tanah saya sebagai waqaf.
2) Shighat tidak diikuti syarat batil atau palsu maksudnya ialah syarat
yang menodai atau mencederai dasar waqaf atau meniadakan
hukumnya yakni kelaziman dan keabadiannya. Misalkan wakif
berkata saya mewakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur
hidup kemudian setelah saya meninggal untuk anak-anak dan cucu

10
4
saya dengan syarat saya boleh menjual atau menggadaikannya kapan
saja saya menghendaki atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi
harta waris bagi para ahli warisnya.
3) Shighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata lain
bahwa ke tersebut tidak untuk selamanya. Wakaf adalah sedekah yang
disyariatkan untuk selamanya, jika dibatasi waktu berarti
bertentangan dengan syariat hukumnya tidak sah.
4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf
yang sudah dilakukan.
e. Ada Pengelola wakaf (nazhir)
wakaf (nazhir) adalah orang yang memegang amanat untuk memelihara dan
menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan. Syarat
menjadi nazhir islam, dewasa dan amanah artinya dapat dipercaya.
Adapun tugas nazhir di jelaskan dalam pasal 11 UU 41 Tahun 2004 yaitu:
a. rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
f. Ada jangka waktu
Sayarat sahnya dalam melaksanakan perwakafan harus di laksanankan
sebagai berikut:
1) Wakaf dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya
sesuatu pristiwa di masa yang akan datang sebab peryataan wakaf
berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf
dapat diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf.
2) Tujuan wakaf harus jelas, hendaklah wakaf dijelaskan secara terang
kepada siapa wakaf itu di tujukan.
3) Wakaf dilaksanakan tanpa syarat artinya tidak boleh membatalkan atau
melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan sebab peryataan wakaf
berlaku tunai dan untuk selamanya.
E. Jenis Harta Wakaf
Pada zaman Rasulullah harta wakaf berupa benda yang habis dipakai dan tidak
rusak jika di mamfaatkan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Proses

10
5
perwakafan sangat sederhana yaitu dengan kesepakatan atau akad antara pemilik dan
penerima seperti yang dilakukan oleh umar bin khattab r.a. berupa sebidang tanah di
khaibar serta khlid bin walid r.a.berupa pakaian perang dan kudanya. Kemudian
berkembangnya zaman tentu kepentingan dan kebutuhan di masyarakat beragam
sehingga mempengaruhi jenis harta wakaf.
Harta benda wakaf saat ini yang memiliki nilai ekonomi, berupa harta benda
bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda yang tidak bergerak yaitu:
1) Hak atas tanah, bangunan-bangunan yang berdiri di atas tanah.
2) Tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
3) Hak milik atas satuan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Adapun harta yang bergerak yang bisa di pindahkan yaitu sebagai berikut:
1) Uang yang dapat investasikan pada aset-aset finansial dan pada aset riil.
2) Logam mulia, yaitu logam dan batu mulia yang memiliki mamfaat jangka
panjang.
3) Surat-surat berharga.
4) Kendaraan
5) Hak atas kekayaan intelektual ( HAKI)
6) Hak sewa seperti wakaf bangunan dalam bentuk rumah.106
F. Hal-Hal Membatalkan Wakaf
Malikiyah yang menyebutkan hal-hal yang membatalkan wakaf sebagai berikut:
1) Terjadi sesuatu yang menghalangi pewakaf sebelum penerima wakaf menerima
sesuatu yang diwakafkan, seperti kematian pewaqaf atau mengalami pailit atau
sakit yang berkaitan dengan kematian karena syarat wakaf adalah adanya
penggapaian (serah terima) seperti hibah, dan wakaf dikembalikan kepada ahli
waris terkait kondisi adanya kematian pewakaf, dan kepada pemberi utang dalam
kondisi mengalami pailit. Jika pemberi utang memperkenankan wakafnya maka
wakafnya dilaksanakan, dan jika pemberi utang tidak memperkenankan maka
wakafnya batal. Wakaf juga batal bila diperuntukkan kepada ahli waris dalam
kondisi pewakaf mengalami sakit menjelang kematian, karena waqaf dalam
kondisi sakit seperti wasiat, sementara tidak ada wasiat bagi ahli waris.

106
Ma’sumatun Ni’mah, hikmah ibadah haji, zakat, dan wakaf dalam kehidupan, Klaten: Cempaka
Putih, 2016

10
6
2) Jika berwakaf menempati rumah (yang diwakafkan) sebelum terpenuhinya dengan
waktu satu tahun setelah penerimaan terhadap sesuatu yang diwakafkan darinya,
atau mengambil hasil tanah untuk dirinya sendiri.
3) Wakaf yang diperuntukkan bagi tindak pelanggaran syariat sama seperti Gereja,
mengalokasi hasil sesuatu yang diwakafkan untuk pembuatan khamar atau
pembelian senjata untuk keperluan perang yang haram.
4) Wakaf kepada kafir harbi.
5) Wakaf kepada diri sendiri walaupun disertai orang yang berserikat dengan selain
ahli waris.
6) Wakaf dengan ketentuan bahwa pengawasan menjadi hak pewakaf.
7) Tidak mengetahui ke terdahuluan wakaf atas utang jika wakaf diperuntukkan bagi
orang yang dibatasi kewenangannya terkait akad dengan pewakaf. Dengan
demikian Siapa yang mewakafkan satu wakaf kepada kliennya sementara
kewenangannya dibatasi, dan wakaf berutang namun tidak diketahui Apakah
hutang sebelum waqaf atau setelahnya. Maka wakafnya batal, dan dijual untuk
melunasi hutang demi mendahulukan yang wajib atas amal sukarela, yaitu Saat
keterdahuluannya tidak diketahui di samping lemahnya penggapaian wakaf (serah
terima waqaf).
8) Tidak ada pembiayaran (pembebasan penggunaan) bagi orang-orang terhadap
pihak yang menerima wakaf yang seperti berupa masjid dan sekolah, maka wakaf
ini batal dan menjadi warisan.
9) Wakaf orang kafir yang di peruntukan bagi semacam masjid dan penjagaan
wilayah ( tempat penjagaan di daerah-daerah perbatasan, yaitu daerah-daerah yang
perbatasan langsung dengan posisi musuh), sekolah, dan semisalnya yang termasuk
dalam amal-amal ketaatan menurut syariat islam. Ini juga sebagaian pendapat
Hanafiah.107
Beberapa poin diatas hal-hal yang membatalkan wakaf menurut ulama
mazhab, sehingga sebelum melakukan perwakafan harus diperhatikan apakah barang
atau penggunaan harta yang diwakafkan baik bergerak maupun tidak bergerak dengan
tujuannya jelas dan halal hartanya agar tidak sah atau tidak batal secara hukum.

107
Tim El-madani, tata cara pembagian waris dan pengaturan wakaf , (Yogyakarta: Medpress Digital,
2014.) h.135-134

10
7
G. Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
Pembuatan akta ikrar wakaf untuk benda yang tidak bergerak dan benda yang
bergerak. Adapun proses mewakafkan benda bergerak seperti uang melaui LKS yang
di tunjuk oleh menteri sebagai LKS Penerima Wakaf uang (LKPS PWU)
mekasimenya sebagai berikut:
1) LKS yang ditunjuk oleh menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dari BWI
2) BWI memberikan saran dan pertimbangan setelah mempertimbangkan saran
instansi terkait.
3) Saran dan pertimbangan yang diberikan kepada LKS penerima wakaf uang harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri.
b. Melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.
c. Memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia
d. Bergerak di bidang keuangan syariah dan
e. Memiliki fungsi penerima titipan (wadi’ah)
f. BWI wajib memberikan pertimbangan kepada Menteri paling lambat 30 hari
kerja setelah LKS memenuhi persyaratan.
4) Setelah menerima saran dan pertimbangan BWI, menteri paling lambat 7 hari kerja
menurut menunjuk LKS atau menolak permohonan dimaksud. Adapun Tugas
LKPS menerima wakaf uang yaitu:
a. Menggumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS penerima
wakaf uang.
b. Menyediakan blanko sertifikat wakaf uang.
c. Menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama Nazhir.
d. Menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama
Nazhir yang ditunjuk wakif.
e. Menerima persyaratan kehendak wakif yang dituangkan secara tulis dalam
formulir pernyataan kehendak wakif.
f. Menerbitkan sertifikat wakaf uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada
wakif dan menyerahkan tebusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh
wakif dan
g. Mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.

108
Sedangkan sertifikat uang sekurang-kurangnya harus memuat keterangan
mengenai:
a. Nama LKS penerima wakaf uang
b. Nama wakif
c. Alamat wakif
d. jumlah wakaf uang
e. peruntukan wakaf
f. nama Nazir yang dipilih dan
g. tempat dan tanggal penerbitan sertifikat wakaf uang
Bagi wakif yang berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk
jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib
mengembalikan jumlah pokok-pokok uang kepada wakil atau ahli waris atau
pengurus haknya melalui LKS penerima wakaf uang.
Pembuatan akta ikrar wakaf benda tidak beregerak seperti tanah sebelum
melaksanakan perwkafan atas tanah tersebut persyaratan harus lengkap dengan
menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang
bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
Adapun tata cara pembuatan akta ikrar wakaf di jelaskan sebagai berikut:
1. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk akta ikrar wakaf sesuai
dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam majelis ikrar
wakaf yang dihadiri oleh Nazhir maukuf alaih dan sekurang-kurangnya 2 orang
saksi.
2. Kehadiran nazhir dan mauquf alaih dalam majelis ikrar wakaf untuk wakaf benda
bergerak berupa uang dapat dinyatakan dengan surat pernyataan Nazhir dan atau
Maukuf alaih.
3. Dalam hal maukuf alaih adalah masyarakat luas (publik) maka kehadiran mauquf
alaih dalam majelis ikrar wakaf tidak disyaratkan.
4. Pernyataan kehendak wakif dapat dalam bentuk wakaf Khairi atau wakaf-ahli.
5. Wakaf ahli yang diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat
berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif.
6. Dalam hal sama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena
hukum beralih status menjadi wakaf Khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh
menteri berdasarkan pertimbangan BWI

109
H. Perubahan Dan Pengalihan Harta Wakaf
Dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur tentang
perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sulit dianggap tidak atau kurang
berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip harta benda wakaf
yang sudah diwakafkan dilarang:
a. Dijadikan jaminan
b. disita
c. dihibahkan
d. dijual
e. diwariskan
f. ditukarkan atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun, Ketentuan tersebut dikecualikan Apabila harta benda wakaf yang
telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia
Namun harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena
ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang
mamfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf
semula.
Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada
prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan
mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-
undang yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan benda
wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan
menjaga keutuhan atau wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat
merugikan eksistensi wakaf itu sendiri sehingga wakaf tetap menjadi alternatif
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam pandangan fiqih para ulama berbeda pendapat sebagian
membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya sebagai ulama Syafi’iyah
ulama bermazhab Syafi’i dan Maliki ulama bermazhab Maliki berpendapat
bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi tetap tidak boleh dijual ditukar

110
atau diganti dan dipindahkan karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi.
Sedangkan menurut Imam Ahmad Ibnu hambal dan Ibnu Taimiyah
berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau
memindahkan benda wakaf tersebut kebolehan itu baik dengan alasan supaya
benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai
dengan tujuan wakaf atau untuk mendapatkan maslahat lebih besar bagi
kepentingan umum khususnya kaum muslimin. dalil atau argumentasi yang
digunakan adalah ketika Umar Bin Khattab memindahkan masjid kufah yang
lama jadikan pasar bagi penjual kurma.

111
BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam kajian Hukum perdata Islam banyak hal yang perlu di uraikan secara
terprinci diantaranya terkait permasalahan Muamalah, Ibadah, Jinayah, keperdataan
dll. Buku ini mencoba menjelaskan bebberapa asfek secara umum tentang Hukum
Islam diantaranya sebagai berikut:

1. Sejarah Hukum Perdata Islam di indonesia


Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara, menurut sebagian ahli sejarah
telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan
Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara
pulau Sumatralah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan
berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan
Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara. Kemudian masuk pada periode
masa kerajaan sampai kepada masa penjajahan kolonial yang saat itu masyarakat
muslim tidak bebas melaksanakan hukum-hukum islam sampai kepada indonesia
merdeka dibentuklah lembaga untuk mengakomodir hukum-hukum islam sampai
saat ini perkembangannya dengan adanya lembaga khusus untuk umat islam di
indonesia seperti Pengadilan Agama, sebagai lembaga untuk masalah keperdataan
Kantor Urusan Agama (KUA) berkaitan dengan penerbitan buku nikah dll. Dan
masih banyak lembaga-lembaga yang muncul itu semua sebagai bentuk
perkembangan Hukum Perdata Islam di Indonesia.
2. Perkawinan Dalam Hukum Perdata Islam di indonesia
Dalam hukum islam terkait perkawinan diatur secara terperinci adapun lembaga
yang berwenang adalah Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga umat muslim di
indonesia sebelum melakukan akad ijab dan qabul maka harus melengkapi
persyaratan secara adminitratif setelah lengkap maka masuk pada tahap ijab dan
kabul yang biasanya di pimpin oleh Pejabat KUA. Akan tetapi hukum islam
mengatur juga soal perceraian yang wilayah kewenangannya masuk kepada

112
lembaga Pengadilan Agama yang tidak hanya soal gugat mengugat terkait
perceraian lembaga Pengadilan Agama juga berwenang menyelesaikan masalah
waris, hibah, wasiat pegangkatan anak, sengketa syariah dll.
3. Kewarisan dalam hukum perdata islam di indonesia.
Dalam buku ini menguraikan tentang waris dalam hukum islam, secara
teori islam sangat memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan
sehingga memiliki pembahsan secara tersendiri yang disebut dengan istilah faraid,
perbedaan waris dalam hukum islam terletak pada jumlah atau porsi yang
ditentukan pada setiap ahli waris. Pada pembahasan di bawah ini uraian mengenai
ahli waris tidak dipisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah dan ahli waris
sababiyah. Pertimbangannya adalah, bahwa mereka itu di dalam Al-Qur’an sama-
sama di beri hak untuk menerima bagian yang telah di tentukan. Ahli waris yang
menerima bagian tertentu itulah,yang di sebut dengan asbab al-furud atau
lengkapnya asbab al-furud al-muqaddarah. Adapun bagian-bagian yang di terima
oleh asbab al-furud adalah sebagai berikut:
a) Anak perempuan, berhak menerima bagian
1) ½ jika seorang, tidak bersama anak laki-laki
2) 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan anak laki-laki.
b) Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
1) ½ jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang ( mahjub)
2) 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak sama dengan cucu laki-laki dan tidak
mahjub
3) 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusin), jika bersama seorang
anak perempuan, tidak ada cucu laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan
dua orang atau lebih maka ia tidak mendapatkan bagian
c) Ibu, berhak menerima bagian:
1) 1/3 jika tidak ada anak atau cucu ( far’u warsi) atau saudara dua orang atau
lebih
2) 1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
3) 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu pabila ahli waris yang terdiri dari:
suami/isteri, ibu dan bapak
d) Bapak berhak menerima bagian:
1) 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki

113
e) 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
Jika bapak bersama ibu, maka:
1) Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau
lebih
2) 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya jika tidak ada anak, cucu atau saudara
dua orang atau lebih
3) 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah di ambil untuk ahli waris suami
dan isteri dan atau isteri.
f) Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1) 1/6 jika seorang
2) 1/6 di bagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
g) Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
1) 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
2) 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada
ank laki-laki
3) 1/6 atau Muqasamah ( bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,
setelah diambil untuk ahli waris lain
4) 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada
ahli waris lain. Masalah ini di sebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (
kakek bersama saudara-saudara).
h) Sauadara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1) ½ jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
2) 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
i) Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1) ½ jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
2) 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
3) 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai
pelengkap 2/3 ( takmilah li al-sulusain)
j) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak
mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
1) 1/6 jika seorang
2) 1/3 jika dua orang atau lebih

114
3) Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-
sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini di sebut dengan masalah
musyarakah.
k) Suami berhak menerima bagian
1) ½ jika isterinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
2) ¼ jika isterinya yang meninggal mempunyai anak atau
cucu 10 Isteri, berhak menerima bagian:
1) ¼ jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
2) 1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
Jika seluruh ahli waris tersebut diata ada semua, maka tidak seluruhnya
menerima bagian. Karena ahli waris yang dekat hubungan kerabatnya, menghijab
ahli waris yang jauh, maka dari mereka itu, ahli waris yang dapat menerima bagian
adalah: ( Anak perempuan ½, cucu perempuan garis laki-laki 1/6, ibu 1/6, bapak
1/6 + sisa, isteri atau suami 1/8 atau 14).
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli
waris yang mendapatkan bagian adalah: (anak perempuan dan anak laki-laki
bersama-sama menerima sisa, ibu 1/6/ bapak 1/6, suami ¼ atau isteri 1/8).
4. Poligami dalam hukum Perdata islam di indonesia
Dasar hukum berpoligami tidak hanya diatur dalam undang-undang perkawinan
ataupun dalam KHI kompilasi hukum Islam. di dalam Al-quran pun dijelaskan di
dalam surah Annisa ayat 3: “ Artinya. dan jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim, ( Bagaimana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi 2,3 atau 4
tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang
saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih
dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S An-Nisa:3)
Dalam UU Perkawinan no 1 tahun 1974 Pasal 4 ayat 2 Maupun Kompilasi
Hukum Islam pasal 57 di jelaskan bahwa ada syarat yang di tempuh jika melakukan
poligami yaitu:
a. Istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

115
Tiga syarat diatas menjadi dasar bolehnya melakukan poligami tetapi
yang paling penting mendapat persetujuan dari istri yang di putuskan di
Pengadilan Agama.
Poligami bukan sebuah kewajiban dan tidak ada paksaan bagi wanita
yang tidak ingin dipoligami. poligami adalah solusi yang ditawarkan islam
jika terjadi hal-hal yang tidak inginkan dalam rumah tangga seperti yang
dimaksud dalam dalam KHI dan UU Perkawinan diatas sehingga yang ingin
berpoligami harus betul-betul memperhatikan aspek keadilan.
5. Hukum wakaf di indonesia
Wakaf merupakan aspek sosial yang diajarkan dalam islam, pada zaman
Rasulullah wakaf sudah berdayakan. Sebagian harta diwakafkan baik bergerak
maupun tidak bergerak tujuan wakaf untuk membantu masyarakat dalam
meningkatkan perekonomian masyarakat dll.

116
DAFTAR PUSTAKA

Wati Rahmi Ria, Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar), CV. Anugrah Utama
Raharja

Beni ahmad saebani dan syamsul falah, Hukum perdata islam di indonesia, Penerbit :
CV Pustaka Setia

Saidus Syahar, Asas-Asas Hukum Islam Bandung: Alumni, 1996


A.Sukris Sarmadi, Format hukum perkawinan dalam hukum perdata islam di
indonesia, yogyakarta: Pustaka Prima,2007

Beni ahmad saebani, fiqih munakahat, Bandung: CV.Pustaka setia, 2001


Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih munakahat I, Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017

Dian khairul umam, Fiqih Mawaris, Bandung: cv pustaka setia, 1999

Muslich maruzi, pokok-pokokk ilmu mawaris, Semarang: Pustaka Amani, 1981

Akhmad sya’bi, Kamus al-qalam arab – indonesia, Surabaya: Penerbitan Halim, 1997

Wahbah al zuhaili, al fiqh al islamy wa adilatuh, Beirut: darul fikri, 1989

Ali Ash Shabuni, Al-Mawarist fi al-Syariah al-Islamiyah a’la Dlau al-Kitab wa al-
Sunnah, Saudi Arabia: Alamaul Kutub, 1985

Syekh Muhammad ali ash shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an Dan Hadis,
Bandung: Trigenda Karya, 1995

Musthafa Diibul Bigha, Ihktisar Hu Kum-Hukum Islam Praktis, semarang: CV. Asy-
syifa,th

Muslim Bin Hajjal al-Qusyari, Shahih Muslim, Beirut: darul fikri, 1993

Wahidah, Al-Mafqud Kajian Tentang Kewarisan Orang Hilang, Banjarmasin:


Antasari Pres, 2008

Fathurrahman, Ilmu waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1975

Sayyid sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul fikri,

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2001

Ahmad bin hanbal, Musnad Ahmad Bin Hanbal, Beirut: dar al fikr,

Muchamad Ali ash-Shabuni, ilmu hukum warismenurut ajaran islam, Surabaya:


Mutiara Ilmu, t.th

117
T.M. Hasbi ash shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at
Islam, Jakarta: bulan bintang, t.th

M.Ali Hasan, hukum Warisan dalam islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996

H.R.Otje salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H., Hukum Mawaris Islam,
Bandung: PT.Refika,2006

Yayasan penyelenggaraan dan Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an


Dan Terjemahnya, Jakarta: proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’an
Departemen RI., 1996/1997

Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema


Insane Press, 1995

Ali Parman, kewarisan dalam al-qur’an, suatu kajian hukum dengan pendekatan
tafsir tematik, jakarta: pt raja grafindo persada, 1995

Suhrawardi K.lubis dan Komis Simanjuntak, hukum waris islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1995

Rachmadi Usman, SH., MH, Hukum Kewarisan Islam, dalam dimensi kompilasi
hukum islam, Bandung:Mandar Maju, 2009

Muhammad ali ash shabuniy, Hukum Waris Islam, Bandung: Al-Ikhlas, 1995

A.Sukris sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasformatif, Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada,1996

Sulaiman Abdullah, sumber hukum islam permasalahan dan fleksibilitasnya, Jakarta:


Sinar Grafika, 1995

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1995

Mardani, hukum keluarga islam di indonesia, Jakarta: kencana, 2017

Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, hukum perdata islam di indonesia,
Bandung: Cv Pustaka Setia, 2011

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr


alMu’ashir, 2008,

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj Masykur A.B, Afif
Muhammad & Idrus Al-Kaff, Jakarta : Penerbit Lentera, 2007

Departemen Agama Republik Indonesia, fiqih wakaf, direktorat pemberdayaan wakaf


direktorat jenderal bimbingan masyarakat islam departemen agama,2006

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007

Elsi kartika sari,Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: Grasindo, 2006

Ma’sumatun Ni’mah, Hikmah Ibadah Haji, Zakat, Dan Wakaf Dalam Kehidupan,
Klaten: Cempaka Putih, 2016
118
Tim El-madani, tata cara pembagian waris dan pengaturan wakaf , Yogyakarta:
Medpress Digital, 2014

Jurnal
Maudin, Perkembangan Hukum Islam Di Bidang Perdata Studi Analisa Tinjauan
Histori jurnal.iainambon.ac.id, Vol. XIII, No. 1, Juni 2017 h

Ahmad azhar basyir, Hukum Islam Di Indonesia dari Masa ke Masa, journal.uii.ac.id,
h. 10-11

Muhammad Yusuf Siregar, Sanksi Pidana Terhadap Perkawinan Poligami


Tanpa Adanya Persetujuan Istri, jurnal h.70

Undang –undang
Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Undang-undang No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf

Internet

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-hukum-perdata-islam-di.html

http://ariez 9604.blogspot.com/2016/05/sejarah-hukum-perdata-islam-di-indonesia.html

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/sejarah-belakunya-hukum-perdata-islam.html

119
Lampiran

Undang-Undang Perkawinan
Undang - Undang Wakaf
Kompilasi Hukum Islgam

120
Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974

Tentang

Perkawinan

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,
perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

M E M U T U S K A N:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 1


BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.

Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam


pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-


isteri dan anak-anak mereka.

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 2


(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.

(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak
wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut
pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 3


a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku
dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III

PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 4


Pasal 15

Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang
baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila


ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12
Undang-undang ini tidak dipenuhi.

Pasal 17

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan


perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu


melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun
tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut
ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.

(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakkan tersebut di atas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan,
agar supaya perkawinan dilangsungkan.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 5


(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan
penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi
pemberitahukan tentang maksud mereka.

BAB IV

BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

b. Suami atau isteri.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini.

Pasal 25

Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum


dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal
ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 6


Pasal 27

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai


kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-
hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 7


BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

Pasal 30

Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami-isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan.

BAB VII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 8


Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-
masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena:


a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersebut.

Pasal 40

(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,


semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 9


c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 44

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana
ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan
tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.

BAB X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 10


Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang


tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk
memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI

PERWAKILAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali.

(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang
saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-
baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 11


(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak
atau anak-anak itu.

(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49
Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal
ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan,
yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama

Pembuktian Asal-usul Anak

Pasal 55

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 12


Bagian Kedua

Perkawinan di Luar Indonesia

Pasal 56

(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal
mereka.

Bagian Ketiga

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan


campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-
undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-


undang perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh
mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 13


(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan
itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui


bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini.

Bagian Keempat

Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:

a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.

b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi
sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama,
adalah sah.

Pasal 65

(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-
ketentuan berikut:

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 14


a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-
undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal
ini.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek),
Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933
No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No.
158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya
secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur
lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I

SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 15


KOMPILASI HUKUM ISLAM *

BUKU I
HUKUM PERKAWINAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :


a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang
diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria
atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang,
uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan
dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anaka hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum
sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua
yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada
dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang dan lainnya.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.

Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
Hukum.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali
nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.

Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.

BAB III
PEMINANGAN

Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh,
tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah
habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk
dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut
belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara
diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Rukun

Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua
Calon Mempelai

Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur
dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan
atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak
dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga
Wali Nikah

Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya

Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.

Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,
maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah
karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-
sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi
wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.

Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada
putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat
Saksi Nikah

Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil
baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima
Akad Nikah

Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.

Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan calon
mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak
boleh dilangsungkan.

BAB V
MAHAR

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya
atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.

Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya
perkawinan.

Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai
wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian
diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia
menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain
yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB VI
LARANGAN KAWIN

Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian
nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih
dalam masa iddah.

Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain,
kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.

BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya
ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian
tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap
terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan
rumah tangga.

Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing- masing ke
dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran
harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi
harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga
pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar
setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran
pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah diperbuat
sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan
nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh
doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang
akan dinikahinya itu.

BAB VIII
KAWIN HAMIL

Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh
bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.

BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan
anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari
seorang.

Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana
diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama,
tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan
isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-
isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari
satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.

BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke
bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.

Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud
dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.

Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.

Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9,
pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.

Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-
undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan
alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam
wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan ketetapan,
apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan
dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang
dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai
empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri
tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah
habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai
derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-
undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap
:
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.

Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.

BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama

Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.

Bagian Kedua
Kedudukan Suami
Isteri

Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga
Kewajiban Suami

Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan
rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih
dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau
dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga
mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.

Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang

Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup
kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

Bagian Keenam
Kewajiban Isteri

Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik- baiknya.

Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a
dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau isteri.

Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.

Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak
berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak
lainnya.

Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.

Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada
harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri

Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing- masing
terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau
keempat.

Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan
pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin
Pengadilan Agama.

Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.

Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK

Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban
trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya.

Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima

Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.

Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal
dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua
tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.

Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah
pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan
yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN

Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat
menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian
atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,
pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-
baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa
depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian
yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974,
pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu
tahun satu kali.

Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang
bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali
dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa
iddah.

Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk
dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri,
menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan

Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.

Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah
kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan
dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas
dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.

Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian

Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi

Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah tangga, pengadilan
Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang
Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan
Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak
rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-
masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan
tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2
(dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali
ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama
dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
isteri

Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan
Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,
panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan
ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak
hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),
panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat

Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan
gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada
kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.

Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.

Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap

Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat
putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-
masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri atau
kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan
bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat
putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka
dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2)
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan
bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat
Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang
bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau
keduanya.

Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar
keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan
memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan
Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa
dan memutuskan sebagai perkara biasa.
BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Akibat Talak

Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas
isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri
telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah
dengan pria lain.

Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua
Waktu Tunggu

Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda gtersebut
dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui,
maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi
bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah
talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian

Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun
biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-
kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan
putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97

Bagian Keempat
Mut`ah

Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat
:
a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158

Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Bagian Kelima
Akibat Khuluk

Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk

Bagian Keenam
Akibat Li`an

Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan
qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina
dan khuluk.

Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas
suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan Agama.

Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut
hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada
instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian Kedua
Tata Cara
Rujuk

Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa
penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami
yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksi- saksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati
suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2
(dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi- saksi, sehelai dikirim
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk
dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-
lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada
Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-
masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke
Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta
Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan
tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB XIX
MASA BERKABUNG

Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
BUKU II
HUKUM KEWARISAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain
yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II
AHLI WARIS

Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum di\ewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau
duda.

Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris
maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai
harta peninggalannya.

BAB III
BESARNYA BAHAGIAN

Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.

Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian. *

Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua
orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama- sama
dengan ayah.

Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.

Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih
maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka
baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah : ayah
mendapat sepertiga bagfian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya.

Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh
para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak
yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan
uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b,
dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli
waris yang berhak.

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan
kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli
waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli
waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya
masing-masing.

Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat
bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris
adalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada
Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

BAB IV
AUL DAN RAD

Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka
pembilang.

Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,
maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
BAB V
WASIAT

Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan
sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau
dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua
ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-
siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan
sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau
merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan
jangka waktu tertentu.

Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau
sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan
disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat
hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui,
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.

Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi,
maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya
atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu
diserahkan kembali kepada pewasiat.

Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya
di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat
itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada
Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama
tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama
diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara
dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan
musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri
oleh dua orang saksi.

Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang
yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan kepada orang yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.

BAB VI
HIBAH

Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua
orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Pasal 213
Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan
Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal-pasal ini.
BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang
tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda
wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah yang
diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan
menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama.

BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf

Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang
oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan
benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah
menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas
dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurang- kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat
setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini
tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab
yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan
maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat
(5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat
oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak
Nadzir

Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan
pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri
Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan
tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
Menteri Agama.

Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1),
maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya
digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan
berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat.
BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA
WAKAF

Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan

Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty Akta Ikrar
Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan
kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari
Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak
dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pendaftaran Benda
Wakaf

Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan
(4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan
guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu
Perubahan Benda
Wakaf

Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan
lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan
saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.

Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda
Wakaf

Pasal 226

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir
diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan

Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-
sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan
agama yang mewilayahinya.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan
ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup

Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.
PENJELASAN
ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENJELASAN UMUM

1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah
mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa
Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama
mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada
garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum
Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber
pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin
berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan
kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya
membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di
negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku
Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan
Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas

Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama.

Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas

Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh
ayah kandung.

Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas

Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian
ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula
penipuan terhadap identitas diri.

Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas

Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas

Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas

Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 99 s/d 102


Cukup jelas

Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 104 s/d 106


Cukup jelas

Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 108 s/d 118


Cukup jelas

Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.

Pasal 120 s/d 128


Cukup jelas

Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 130
Cukup jelas

Paal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 133 s/d 147


Cukup jelas

Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 149 s/d 185


Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.

Pasal 187 s/d 228


Cukup jelas

Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensl dan
manfaat ekonoml perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah
dan untuk memajukan kesejahteraan umum;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam
masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama


DEWAN PERWAKlLAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada
Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untukdikelola dan dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang
serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif .
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang
ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta
para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.

BAB II
DASAR-DASAR WAKAF

Bagian Pertama
Umum

Pasal 2
Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.

Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf

Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.

Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan
ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Bagian Ketiga
Unsur Wakaf

Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.

Bagian Keempat
Wakif

Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.

Pasal 8
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan. wakaf apabila
memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Nazhir

Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi; atau
c. badan hukum.

Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan :
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan:
a. penguru badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1 ); dan
b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku;
dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.

Pasal 11
Nazhir mempunyai tugas:
a. rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan
dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak
melebihi 10% (sepuluh persen).

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh pembinaan
dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri
dan Badan Wakaf Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, dan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf

Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah.

Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah
maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang
berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang.undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis
karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang
berlaku.

Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf

Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua)
orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta
dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam
pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk
kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Pasail 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti
kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf .
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf

Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf 1 harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada
pelaksanaan ikrar wakaf .
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf Nazhir dapat menetapkan
peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf .

Bagian Kesembilan
Wakaf dengan
Wasiat

Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan apabila
disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.

Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari jumlah harta
warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.

Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang bersangkutan meninggal
dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif .
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
tata cara perwakafan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas permintaan pjhak yang
berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk
melaksanakan wasiat.

Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang

Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang
ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan
pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat
wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga
keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf .

Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada
Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.

Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.

Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW
menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan oleh
PPAIW kepada Nazhir.

Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nazhir melalui PPAIW mendaftarkan
kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang
ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara
pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang
telah terdaftar.

Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang
telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.

Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan
penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.

Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan
peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata
tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan
Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku untuk
Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang.undanganyang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan
Wakaf Indonesia.
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena pemberhentian
dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang
ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.

Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA

Bagian Pertama
Kedudukan dan
Tugas

Pasal 47
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf
Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.

Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat
membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 49
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat
bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,
badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia
memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.

Bagian Kedua
Organisasi

Pasal 51
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana tugas Badan Wakaf
Indonesia.
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas pelaksanaan
tugas Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51,
masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan
oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.

Bagian Ketiga
Anggota

Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling
banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.

Pasal 54
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota harus
memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi,
khususnya di bidang ekonomi syariah; dan
h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai persyaratan lain untuk
menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Keempat
Pengangkatan dan
Pemberhentian

Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan
Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh
Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.

Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur oleh
Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Kelima
Pembiayaan

Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu biaya
operasional.

Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, dan tata cara
pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia diatur oleh
Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban

Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui laporan tahunan yang
diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN

Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan
tujuan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri mengikutsertakan Badan
Wakaf Indonesia.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 65
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama
Ketentuan
Pidana

Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menghibah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf
oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan
syariah;
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebelum dtundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf
menurut Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 70
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 159.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
I. UMUM

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan
umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat
dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.
Salah satu langkah strategjs untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran
wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah
dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan
kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien
sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar
atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya
karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf tetai karena juga sjkap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta
benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka
pembangunan hukum nasional perlu dibentuk Undang-Undang tentang Wakaf. Pada dasarnya
ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan
dicantumkan kembali dalam Undang-Undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan
yang baru antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, Undang-
Undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar
wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-
Undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf
terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan
masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-Undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian
kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau
tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak
sewa, dan benda bergerak lainnya.
Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan
Syariah.
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang
dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang
keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syariah.
Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah
dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan uang miliknya.
3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata.mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga
diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi
harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah
kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan
ekonomi Syariah.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan
wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir.
5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan
di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan
tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas
perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah
perseorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing, organisasi Indonesia
atau organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah
perseorangan warga negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk mendaftar para Nazhir yang sudah
ada dalam masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah dan peraturan yang berlaku, antara lain
mushaf, buku, dan kitab.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda wakaf oleh Wakif atau kuasanya
kepada PPAIW dimaksudkan agar diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran
adanya hak Wakif atas harta benda wakaf
dimaksud.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan agama.
Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para ahli waris, saksi, dan pihak
penerima peruntukan wakaf.
Pasal 28
Yarig dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang bergerak
di bidang keuangan syariah.
Pasal 29
Ayat (1)
Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis tersebut dilakukan kepada Lembaga Keuangan Syariah
dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasai 30
Cukup jelas
Pasai 31
Cukup jelas
Pasal 32
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional, Instansi yang
berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas
pokoknya, instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
(unregistered goods) adalah Badan Wakaf
Indonesia.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait
dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
(unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia.
Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf adalah surat keterangan yang
dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah
terdaftar dan tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait
dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
(unregistered goods) adalah Badan Wakaf
Indonesia. Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf adalah dengan memasukan data tentang
harta benda wakaf dalam register umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf
dalam register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga masyarakat dapat
mengakses data tersebut.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan
cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,
pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah
susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan, dan
usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin
syariah adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan
usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas Pasal 48
Pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan
pemerintah daerah setempat.
Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas
Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas
Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas
Pasal 57 Cukup jelas Pasai 58 Cukup jelas
Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas
Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para
pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada
badan arbitrase syariah.
Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan
agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas
Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas
Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas
Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas
Pasal 71 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4459

Anda mungkin juga menyukai