Anda di halaman 1dari 103

PERMOHONAN PEMBATALAN

PERKAWINAN OLEH JAKSA

Amelia Rachman, S.H., M.H.

LPPM STIKES Cahaya Bangsa


PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN OLEH
JAKSA

Penulis : Amelia Rachman, S.H., M.H.


ISBN : 978- 623-93974-6-3
Editor : Suriyadi, SH., MH
Penyunting : Mieke Aprilia Utami, S.H., M.Kn, Candra Kusuma Negara, Abd.Basid Desain
Sampul dan Tata Letak : Riaddah

Penerbit :
LPPM STIKES Cahaya Bangsa

Redaksi :

Jl. Pemuda no.09 RT.11 km.1,5, Kel.Selat Dalam Kuala


Kapuas Kalimantan Tengah 73516

Distributor Tunggal :
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit
KATA PENGANTAR

Segala Puji hanya kepada Allah SWT, atas segala limpahan taufik dan hidayahNya kepada
penulis dan tanpaNya tak terukir sedikitpun keharibaan pembaca buku yang berjudul “Permohonan
Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa”.
Buku permohonan pembatalan perkawinan ini merupakan buku yang memaparkan tentang
tinjauan pengertian perkawinan yang di dalamnya memuat tentang putusnya perkawinan, tinjauan
tentang pembatalan perkawinan, dasar hukum dan faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan
perkawinan, pihak-pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan, prosedur/tata cara mengajukan
pembatalan perkawinan, akibat hukum pembatalan perkawinan, tinjauan tentang Jaksa yang di
dalamnya memuat tentang Jaksa dan Kejaksaan, tugas dan wewenang Kejaksaan, Jaksa dalam
perkara perdata, kedudukan dan kewenangan Jaksa dalam pembatalan perkawinan. Dalam bab
selanjutnya menjelaskan secara khusus tentang Jaksa mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan di luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang di dalamnya memuat tentang Pejabat yang berwenang dan Pejabat yang ditunjuk,
serta akibat hukum permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Jaksa.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu dalam penulisan buku ini, yaitu kedua orang tua penulis, yang telah melahirkan,
mengasuh, membesarkan, mendidik penulis, sehingga penulis bisa seperti saat ini. Kepada penerbit
penulis secara khusus mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas dengan pahala
yang berlipat ganda. Aamiin. Sesuai pepatah “tak ada gading yang tak retak” maka demi
kesempurnaan buku ini, penulis menghargai setiap masukan.

Kuala Kapuas,

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN................................................15

A. Pengertian Perkawinan......................................................................................15

B. Tujuan Perkawinan............................................................................................19

C. Syarat Sah dan Rukun Perkawinan..................................................................20

D. Pencegahan Perkawinan.....................................................................................23

E. Batalnya Perkawinan..........................................................................................25

F. Perjanjian Perkawinan.......................................................................................27

G. Hak dan Kewajiban Suami Istri........................................................................28

H. Harta Benda Dalam Perkawinan.......................................................................30

I. Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya............................................................31

BAB III PERSFEKTIF HUKUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN.........33

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan.................................................................33

B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan...........................................................35

1. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974............................................35

2. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2019..........................................36

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam..............................................................37

4. Menurut KUH Perdata................................................................................38


C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pembatalan Perkawinan......................
40

D. Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan..................


42

E. Prosedur Mengajukan Pembatalan Perkawinan.............................................


43

F. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan..........................................................


44

BAB IV KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN............


46

A. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan.......................................................................


46

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan......................................................................


48

C. Jaksa dalam Perkara Perdata............................................................................


50

D. Kedudukan dan Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan..........


52

BAB V PERAN JAKSA DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN


PEMBATALAN PERKAWINAN............................................................................
54

A. Jaksa Mengajukan Permohonan Perkawinan di Luar Ketentuan

UU Perkawinan..................................................................................................

54

1. Pejabat yang Berwenang..............................................................................


60

a. Pegawai Pencatat Perkawinan...............................................................


62

b. Jaksa.........................................................................................................
65

5
2. Pejabat yang Ditunjuk.................................................................................
87

B. Akibat Hukum Permohonan Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa...............


90

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya kebahagiaan. Salah


6
satu cara memperoleh kebahagiaan itu ialah dengan jalan perkawinan. Berdasarkan

Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap

orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah. Selain terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, perkawinan diatur

lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut

dapat disimpulkan bahwa manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk

memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai,

bahagia, dan kekal. Namun kebahagiaan yang sesungguhnya akan bisa dicapai

apabila pasangan suami istri melakukan perkawinan sesuai dengan aturan yang

berlaku, baik dari ketentuan agama maupun negara.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan telah diatur secara

terperinci oleh negara Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan

Nasional No. 1 Tahun 1974 yang biasa disingkat UUP No.1 Tahun 1974 yang

7
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan

yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi semua warga negara

Indonesia baik yang beragama muslim maupun non muslim.

Dalam melakukan suatu perkawinan hendaknya sesuai dengan ketentuan

agama (dipenuhinya syarat dan rukun perkawinan) dan dipenuhinya aturan-aturan

hukum yang mengatur tentang perkawinan, agar perkawinan yang dilakukan tersebut

sah. Sebaliknya apabila suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tidak memenuhi

syarat sahnya perkawinan dan rukun perkawinan serta tidak dipenuhinya aturan-

aturan hukum yang mengatur tentang perkawinan maka akibatnya perkawinan

tersebut tidak sah dan dapatlah dilakukan pembatalan perkawinan oleh pihak yang

berwenang. Hal ini berarti suatu perkawinan dilarang untuk dilaksanakan bila tidak

memenuhi syarat-syarat dan aturan dalam melangsungkan perkawinan.

Batalnya suatu perkawinan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus

melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi

yang beragama non Islam yang diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk

1
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

menyebutkan bahwa, perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama dan hukum

negara akan dapat dibatalkan dengan cara melakukan permohonan pembatalan

perkawinan tersebut kepada pengadilan daerah hukum dimana perkawinan yang

dimohonkan pembatalannya itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri,

1
Nanang Fahrudin. Kewenangan Jaksa Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Putusan Mahkamah Agung

2
suami atau istri. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 diatur dalam pasal 22 s.d. 28 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang

Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak

tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-

syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 yaitu

sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;


2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun;
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon
mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin;
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak
melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.

Secara sepintas pembatalan perkawinan mirip dengan pencegahan

perkawinan. Namun sebenarnya kedua upaya hukum tersebut berbeda karena

pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan berlangsung, sedangkan

pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Tidak setiap orang

dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan. Untuk itu

permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang

berhak saja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun

1974 yaitu:
1.
Par
a
kel
uar
ga
dala
m
gari
s
ket
uru
nan
luru
s ke
atas
dari
sua
mi
atau
istri
;
2. Suami atau istri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang;
5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 26 Undang-Undang yang sama yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri

2. Suami atau istri dari yang melangsungkan perkawinan

3. Jaksa

Di antara pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, salah satunya adalah Jaksa.

Pada umumnya Jaksa lebih dikenal dan berperan dalam ruang lingkup hukum pidana

(hukum publik), dimana Jaksa berperan sebagai Lembaga Negara yang

melaksanakan kekuasaaan Negara melalui penegakan hukum khususnya di bidang

1
Penuntutan, juga berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan
2
kepentingan umum serta penegakan hak asasi manusia. Namun apabila dicermati

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beserta aturan pelaksanaan

yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang di dalamnya mengatur masalah

batalnya perkawinan, yakni Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan dan dengan

didukung oleh Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak

menyebutkan Jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan,

karena dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut hanya

menyebutkan “pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum

2
Muhamad Jusuf. 2014. Hukum Kejaksaan Eksistensi Kejaksaan sebagai Pengacara Negara
dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Cet. I. Surabaya: Laksbang Justitia, hlm. 12.

2
diputuskan”. Dalam penjelasan Pasal 23 disebutkan cukup jelas, walaupun

nyatanya belum jelas dan menurut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974, pejabat yang ditunjuk tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan

perundang- undangan, namun peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum

ada.

Jaksa sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan hanya terdapat dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan. Bunyi Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang dapat

dijadikan dasar hukum hak dan kekuasaan Jaksa untuk dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan adalah:

“Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak

berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh

dua (2) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, Jaksa dan suami atau istri”.

Selain itu apabila dicermati, Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu

peraturan yang dibuat oleh Pemerintah berupa Instruksi Presiden Republik Indonesia

No. 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini lahir sebagai peraturan yang

sifatnya untuk memperjelas dan melengkapi pengaturan tentang perkawinan

khususnya bagi yang beragama Islam. Di dalam KHI ketentuan yang terkait dengan

pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 yang pada

prinsipnya materi rumusan batalnya perkawinan yang diatur dalam KHI hampir sama

dengan rumusan yang ada dalam UUP, hanya saja rumusan KHI lebih memperjelas

pembedaan alasan pembatalan perkawinan. Mengenai pihak yang berhak

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam KHI pada Pasal 73,
akan tetapi di dalam Pasal tersebut juga tidak menyebutkan Jaksa sebagai

pihak yang berwenang dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Karena dalam Pasal tersebut tercantum kata “pejabat yang berwenang

mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang”. Walaupun

masih diajukan pertanyaan siapakah pejabat yang berwenang mengawasi

pelaksanaan itu? Apakah yang dimaksud itu Jaksa, Kepala KUA/PPN (Pegawai

Pencatat Nikah), KASI BIMAS ISLAM (Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat

Islam), KABID URAIS dan BINSYAR (Kepala Bidang Urusan Agama Islam

dan Bimbingan Syariah) atau yang lainnya sehingga masih perlu penjelasan.

Secara normatif sebagaimana bunyi Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas bahwa Jaksa berwenang mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan yang dilangsungkan di

muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah

atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Dari bunyi Pasal 26

ayat (1) tersebut terlihat adanya pembatasan alasan yang dapat digunakan oleh Jaksa

untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Namun ternyata dalam prakteknya ada contoh kasus perkawinan yang pernah

diajukan permohonan pembatalan perkawinan oleh Jaksa yaitu terhadap perkawinan

pasangan sejenis yang dilakukan oleh Rahmat Sulistyo alias Icha dan Muhammad

Umar yang dilakukan oleh Abdul Gofur, penghulu dari Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi pada tanggal 20 September 2010.

Pernikahan tersebut tercatat dalam akta nomor 966/155/IX/2010 atas nama Fransiska

Anastasya Octaviany dan Muhammad Umar. Perkawinan yang mereka lakukan


dinyatakan tidak sah karena melanggar ketentuan dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang termuat dalam Pasal 1 bahwa perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini berarti Icha telah melakukan

pemalsuan identitas dimana pada kenyataannya ia seorang pria bukan wanita. Dalam

kasus ini Jaksa berperan atau bertindak sebagai penggugat yang merupakan wakil

3
dari negara.

Kendati dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sudah jelas Jaksa berwenang dalam mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan, namun yang masih menimbulkan pertanyaan

yang harus dijawab melalui penelitian adalah bisa atau tidak Jaksa mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan di luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan akibat hukum permohonan

pembatalan perkawinan oleh Jaksa.

Buku ini menggunakan sistematika Penulisan BAB per BAB yang masing-

masing BAB menjelaskan beberapa hal seperti yang diuraikan sebagai berikut:

1. BAB I adalah bab Pendahuluan yang merupakan overview pemikiran dan faktual

latar belakang penerbitan buku ini dan komentasi UU Perkawinan sebagai UU

yang mengatur tentang permohonan pembatalan perkawinan oleh Jaksa.

2. BAB II menggunakan judul Tinjauan Umum Tentang Perkawinan. Merupakan

bab yang berisi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sah dan rukun

perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian

perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, dan

putusnya perkawinan serta akibatnya.

3. BAB III menggunakan judul Persfektif Hukum tentang Pembatalan Perkawinan.


Merupakan bab yang berisi pengertian pembatalan perkawinan, dasar hukum

pembatalan perkawinan, faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan

perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan,

faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang

dapat mengajukan pembatalan perkawinan, prosedur mengajukan pembatalan

perkawinan, dan akibat hukum pembatalan perkawinan.

4. BAB IV menggunakan judul Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan.

Merupakan bab yang berisi pengertian jaksa dan kejaksaan, tugas dan wewenang

kejaksaan, jaksa dalam perkara perdata, serta kedudukan dan kewenangan jaksa

dalam pembatalan perkawinan.

5. Bab V menggunakan judul Peran Jaksa dalam Mengajukan Permohonan

Pembatalan Perkawinan. Merupakan bab yang berisi jaksa mengajukan

permohonan perkawinan di luar Ketentuan Undang-Undang Perkawinan tentang

pejabat yang berwenang (pegawai pencatat perkawinan, jaksa) dan pejabat yang

ditunjuk, serta akibat hukum permohonan pembatalan perkawinan oleh jaksa.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Tinjauan tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Di Indonesia terdapat berbagai Peraturan Perundang-undangan tentang

Perkawinan di antaranya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah

No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri

Sipil, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi

Pegawai Negeri Sipil, Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum

Perkawinan (bagi muslim), dan KUH Perdata Buku I Bab IV s/d X (bagi non

muslim).

Perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah perjanjian yang

diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan

yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa

1
orang dan diberi izin oleh wali perempuan.

Menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

1
Siska Lis Sulistiani. 2015. Kedudukan Hukum Anak. Cet. I. Bandung: Refika Aditama, hlm.
9.

1
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Perkawinan

menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak memandang perkawinan hanya

sebagai ikatan keperdataan saja, akan tetapi juga merupakan ikatan batiniah yang

didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa atau didasarkan pada nilai-

nilai agama dan kepercayaaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dengan kata

lain, ikatan perkawinan tidak hanya bersifat fisik semata, akan tetapi juga didasari
2
ikatan batiniah yang didasarkan pada perasaan cinta kasih.

Sedangkan dalam Pasal 26 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “Undang-

Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.

Jadi Perkawinan menurut KUH Perdata memandang perkawinan hanya sebagai

ikatan perdata saja, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh

suatu agama tertentu.

Dalam ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Adanya suatu perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Terdapat beberapa pengertian terkait dengan istilah perkawinan. Bermacam-

macam pendapat dikemukakan oleh ahli di bidang hukum perkawinan, di

antaranya adalah:

a. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat

dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki

2
J. Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk Wetboek
dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. II. Surabaya: Laksbang Grafika, hlm. 57.

2
dengan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,
3
kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.

b. Menurut Dr. Anwar Haryono, S.H., perkawinan adalah suatu perjanjian

yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk

4
membentuk keluarga bahagia.

c. Menurut H. Sulaiman Rasyid, perkawinan adalah akad yang

menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta

bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara

5
keduanya bukan muhrim.

d. Wirjono Prodjodikoro berpendapat perkawinan adalah hidup bersama

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-


6
syarat yang termasuk dalam peraturan.

e. Menurut Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang

pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui

7
oleh negara.

f. Menurut Ali Afandi berdasarkan bukunya yang berjudul Hukum Waris

Keluarga Hukum Pembuktian, Perkawinan adalah suatu hal yang


3
Mohd. Idris Ramulyo. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. I. Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 1.
4
Riduan Syahrani. 2010. Seluk Beluk dan Asas- Asas Hukum Perdata. Cet. I. Bandung:
Alumni, hlm. 61.
5
Nurmaya Safitri. “Pembatalan Perkawinan Karena Kesamaan Jenis Kelamin Pasangan”.
2015. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 15. t.d.
6
Soedharyo Soimin. 2004. Hukum Orang dan Keluarga. Cet. II. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
3.
7
Darda Syahrizal. 2011. Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia. Cet.I. Yogyakarta:
Pustaka Grhatama, hlm. 35.

3
mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami
8
istri dan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban.

g. Menurut K.Wantjik Saleh, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang dengan seorang wanita sebagai suami istri. Bahwa perkawinan

itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan

9
tetapi ikatan kedua-duanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan

hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup

bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal

yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan

10
tersebut mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat.

Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin

karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan

seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dalam tahap

permulaan, ikatan batin diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan

dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya,

dalam hidup bersama ikatan batin tercermin dari adanya kerukunan

suami istri yang bersangkutan. Dengan kata lain, terjalinnya suatu ikatan

lahir dan batin yang baik antara suami dan istri merupakan fondasi/dasar

utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

8
Ali Afandi. 1984. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara, hlm 93.
9
K. Wantjik Saleh. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. IV. Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 14-15.
10
Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Cet. V. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, hlm. 84.

4
2. Tujuan Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tercantum tujuan

perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahagia dapat diartikan adanya

kerukunan dalam rumah tangga yang akan menciptakan rasa tentram, damai,

sejahtera, dan saling menyayangi. Sedangkan kekal berarti bahwa perkawinan

dilangsungkan bukan hanya untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu

yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan
11
tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu tidak diperkenankan perkawinan yang

hanya dilangsungkan untuk sementara saja seperti kawin kontrak. Perkawinan

berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya suatu perkawinan tidak terjadi

begitu saja sesuai dengan kehendak para pihak, namun merupakan karunia dari

Tuhan kepada manusia.

Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, yaitu:

a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan

generasi yang akan datang.

b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan


12
rasa kasih sayang.

3. Syarat sah dan Rukun Perkawinan

11
Ibid, hlm. 85.
12
Mohd. Idris Ramulyo. Op.cit., hlm 27

5
Dalam melaksanakan suatu perkawinan calon mempelai harus memenuhi

syarat dan rukun perkawinan. Apabila syarat dan rukun perkawinan dipenuhi

maka perkawinan yang dilangsungkan itu sah, sebaliknya apabila salah satu saja

syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi

bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Akibat tidak

terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan

hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan atau peristiwa hukum tersebut

13
“dapat dibatalkan”.

Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting karena suatu

perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan

dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan

pembatalan atau dapat dibatalkan.

Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Syarat materiel (subjektif)

Adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang

akan melangsungkan perkawinan. Karena itu, disebut juga syarat subjektif.

b. Syarat formal (objektif)

Adalah adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan

menurut hukum agama dan undang-undang yang disebut juga syarat objektif.

13
Neng Djubaidah. 2012. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 92.

6
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan

menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah sebagaimana

14
disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua/wali;

3. Perkawinan hanya diizinkan jika calon mempelai pria berumur 19 tahun

dan calon mempelai wanita berumur 16 tahun, namun dalam keadaan

tertentu dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan;

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam

hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin;

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak yang lain;

6. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak

melarang mereka kawin kembali untuk ketiga kalinya;

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

janda.

Sedangkan rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau

perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum

maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau
15
peristiwa hukum ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung.

14
Riduan Syahrani. Op.cit., hlm 64
15
Neng Djubaidah. Op.cit., hlm 90

7
Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau peristiwa

hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan hukum itu tidak

terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak

16
sah dan statusnya “batal demi hukum”.

Dalam hukum Islam perkawinan dikatakan sah secara agama apabila

memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun menurut Kompilasi Hukum

Islam tentang rukun dan syarat perkawinan, yakni dalam Pasal 14 tentang rukun

dalam melaksanakan suatu perkawinan dengan harus adanya:

a. Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah, yaitu mempelai pria (calon

suami) dan mempelai wanita (calon istri).

Perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai (calon suami dan

istri) apabila telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 yaitu bagi calon suami minimal 19 tahun dan bagi calon

istri minimal 16 tahun. Oleh karena itu, bagi calon mempelai yang belum

berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, dari orang tua yang

masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (bagi

orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya), wali (bagi kedua orang tua yang telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya),

Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan dalam hal adanya perbedaan pendapat antara

orang tua dan wali (Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam).

16
Ibid.

8
b. Wali nikah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi

bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Yang

dapat menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari wali

nasab dan wali hakim. (Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam). Wali nasab adalah

wali yang mempunyai hubungan darah atau keturunan dengan calon

mempelai wanita yang terdiri dari empat kelompok, dimana kelompok satu

didahulukan dari kelompok lainnya. Namun apabila kelompok satu tidak ada,

maka kelompok dua dapat menggantikan kedudukannya sebagai wali dan

begitu seterusnya.

Urutan seseorang yang dapat menjadi wali nikah adalah ayah kandung

dari mempelai wanita, kakek dari pihak ayah, saudara kandung mempelai

wanita, paman dari pihak ayah, sepupu dari pihak ayah.

Pasal 21 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, disebutkan:

Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang


paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat
yang hanya seayah (Pasal 21 ayat 3 Kompilasi Islam).

Pasal 21 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, disebutkan:

Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-


sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka
sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih
tua dan memenuhi syarat-syarat wali (Pasal 21 ayat 4 Kompilasi Hukum
Islam).

Sedangkan untuk wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak

9
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan (Pasal 23

Kompilasi Hukum Islam).

c. Saksi nikah

Dalam Setiap perkawinan yang dilangsungkan harus disaksikan oleh dua

orang saksi yaitu satu dari calon mempelai laki-laki dan satu dari calon

mempelai wanita. Saksi tidak harus orang yang mempunyai nasab/hubungan

darah atau keturunan asalkan dua orang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,

tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli (Pasal 25 Kompilasi

Hukum Islam).

d. Ijab dan qabul

Ijab adalah ucapan dari orang tua atau wali mempelai wanita untuk

menikahkan putrinya kepada calon mempelai laki-laki. Sedangkan qabul

adalah ucapan penerimaan dari calon mempelai laki-laki untuk menikahi

calon mempelai wanita (saya terima nikahnya…. binti…. dengan mas

kawin….)

4. Pencegahan Perkawinan

Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat

dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam

keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, pengampu dari salah

seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka yang

tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan

apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga

10
10
dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon

mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti

tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Namun dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan

atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang

mencegah.

5. Batalnya Perkawinan

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi, syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan. Yang dapat mengajukan pembatalan

perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang

mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan


11
11
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

B. Putusnya Perkawinan

Seperti yang dijelaskan pada penjelasan di atas, bahwa tujuan perkawinan

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, hubungan

lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal karena bisa saja pada suatu waktu dapat

terjadi putusnya hubungan, baik tidak disengaja maupun sengaja dilakukan karena
17
sesuatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan dalam suatu perkawinan.

Dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 38 menyatakan bahwa perkawinan

dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Adapun

penjelasan sebab-sebab putusnya perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang

Perkawinan, antara lain:

1. Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan suatu proses terakhir

dalam melaksanakan kodrat manusia. Hal ini terjadi karena meninggalnya

salah satu pihak baik suami maupun istri. Sejak saat meninggalnya salah satu

pihak itulah putusnya perkawinan terjadi dengan sendirinya. Untuk kepastian

hukum dibuatlah surat keterangan meninggal seseorang, ini sangat penting

bagi seseorang yang telah ditinggal mati oleh suami atau istrinya, sebagai
18
bukti otentik apabila ingin melangsungkan perkawinan lagi nantinya.

P
erkawinan yang putus karena kematian sering disebut dalam masyarakat
19
dengan istilah “cerai mati”.

12
12
2. Perceraian

Perkawinan yang putus karena perceraian dikenal istilah “cerai talak”.

Cerai talak adalah putusnya perkawinan karena dinyatakannya talak oleh

suami terhadap istrinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama

17
R. Abdoel Djamali. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Cet. XVII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hlm. 159.
18
Nurmaya Safitri. Op.cit., hlm 36
19
Abdulkadir Muhammad. Op.cit, hlm117

20
Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. Untuk melangsungkan perceraian ini harus ada alasan-

alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian ini yang disebutkan dalam

penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, antara lain:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuaanya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
berumah tangga.

3. Atas Putusan Pengadilan

Putusnya perkawinan atas keputusan Pengadilan adalah putusnya

perkawinan karena gugatan perceraian istri terhadap suaminya yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau karena gugatan

13
13
perceraian suami atau istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama

dan kepercayaan bukan Islam, gugatan perceraian akan dikabulkan

Pengadilan dengan suatu keputusan. Putusnya perkawinan karena keputusan


21
Pengadilan disebut dengan istilah “cerai gugat”.

20
Riduan Syahrani. Op. cit., hlm 99
21
Ibid, hlm. 102.

Tatacaranya diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 pada Pasal 20 sampai dengan 36 yang dapat disimpulkan sebagai

berikut:

a. Pengajuan gugatan

b. Pemanggilan

c. Persidangan

d. Perdamaian

e. Putusan

14
14
BAB III
PERSFEKTIF HUKUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Tinjauan tentang Pembatalan


Perkawinan

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Istilah “batalnya perkawinan” tidaklah tepat dan dapat menimbulkan salah

paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut.

Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada

nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedang ; absolute nietig adalah
22
pembatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan. Akan

lebih tepatnya kalau dikatakan “dibatalkannya perkawinan”, sebab bilamana

perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syaratnya maka barulah perkawinan itu

dibatalkan sesudah diajukan ke muka hakim di Pengadilan. Dengan demikian

22
Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. III. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, hlm. 23.

15
15
maka istilahnya bukan nietig (batal), melainkan vernietigbaar (dapat
23
dibatalkan).

Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini, berarti dapat

difasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya

telah terjadi perkawinan, namun dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap

aturan-aturan tertentu yaitu jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

24
melangsungkan perkawinan.

Adapun dalam hal pembatalan perkawinan ini diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan pada Pasal 22 sampai dengan 28. Pasal 22 menyatakan:

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-


syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Ini berarti bahwa suatu perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-

syarat, sedangkan apabila perkawinan tersebut sudah terlanjur terlaksana, maka

dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan.

Pengertian “dapat” pada Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan tersebut

diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum dan

agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dalam hal “pembatalan”

perkawinan dimaksud sudah dilangsungkan.

23
Rachmadi Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.
Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 284.
24
Ibid.

16
16
Perkawinan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsungnya perkawinan itu

diketahui adanya larangan menurut hukum munakahat (tidak terpenuhinya rukun

25
nikah) ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.

2. Dasar Hukum dan Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pembatalan

Perkawinan

Dalam melakukan suatu pembatalan perkawinan harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku agar pembatalan yang dilakukan

mempunyai dasar/alas yang kuat dan tentunya ada alasan/penyebab yang

menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan. Ada beberapa bentuk perkawinan

yang menurut Pasal 22, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dapat dimintakan pembatalannya, yaitu

sebagai berikut:

a. Perkawinan yang dilakukan para pihak (calon mempelai pria dan wanita)

tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal

22 Undang-Undang Perkawinan) yang termuat dalam Pasal 6 s.d. 12

Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

b. Suami/istri yang masih terikat perkawinan dengan suami/istri yang akan

dibatalkan perkawinannya itu (Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan).

c. Suami/istri atau Jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan, apabila ternyata:

25
Gazali A. Gani. 1986. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Pembinaan Sarana
Keagamaan Islam, hlm. 27.

17
17
1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat

Perkawinan yang tidak berwenang;

2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah;

3. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang

saksi (Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan).

d. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar

hukum (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan).

e. Perkawinan yang dilangsungkan terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau istri (Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan).

Adapun menurut Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum

Perkawinan, perkawinan batal apabila:

a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad


nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu
dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i;
b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan seorang dengan
saudara neneknya
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
ayah tiri
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan,
saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan
e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya.

18
18
Selain itu menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang

Perkawinan suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;


b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud;
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Menurut Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum

Perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum;
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri;
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami dan istri, dan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

3. Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Dalam Hukum Acara Perdata menentukan bahwa seseorang/beberapa badan

hukum sebagai yang berhak atau tidak berhak untuk bertindak sebagai

penggugat/pemohon untuk mengajukan gugatan/permohonan, mempunyai

peranan yang sangat penting dan menentukan, karena dengan berhak atau tidak

berhaknya seseorang untuk bertindak sebagai penggugat/pemohon akan

menentukan dapat diterima atau tidaknya suatu gugatan/permohonan. Apabila

19
19
gugatan/permohonan diajukan oleh pihak yang berhak untuk mengajukan maka
26
pemeriksaan akan memasuki pokok perkara.

Oleh karena itu, mengenai permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh

diajukan oleh pihak yang berhak saja, yaitu yang disebut dalam Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 23:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

Misalnya bapak atau ibu dari suami atau istri, kakak atau nenek dari

suami atau istri.

2. Suami atau istri. Artinya inisiatif untuk mengajukan permohonan dapat

timbul dari suami atau istri.

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

4. Pejabat yang ditunjuk.

5. Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap

perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Adapun menurut Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum

Perkawinan yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau istri;
b) Suami atau istri;
c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undang-undang;
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tersebut Pasal 67.

26
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek. Cet. X. Bandung: Mandar Maju, hlm. 18-19.

20
20
4. Prosedur/Tata Cara Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan

(Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang

beragama Non Islam) di dalam daerah hukum dimana perkawinan telah

dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan suami-istri.

Dalam hal mengajukan permohonan pembatalan, diatur dalam Pasal 25

Undang-undang Perkawinan juncto Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975, maka gugatan akan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
27
hukumnya, meliputi :

1. Tempat berlangsungnya perkawinan.

2. Tempat tinggal suami istri.

3. Salah satu tempat istri atau suami.

4. Apabila tempat tinggal tergugat tidak jelas, maka gugatan akan diajukan

ke Pengadilan tempat tinggal penggugat.

Tata cara pengajuan pembatalan perkawinan dan cara pemeriksaan di sidang

Pengadilan, serta pemanggilannya, ataupun putusan tentang pembatalan

perkawinan dilakukan sesuai dengan cara pengajuan gugatan perceraian yang

diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 serta Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3)

27
R.Badri.1985. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP.Surabaya:
CV. Amin, hlm.46.

21
21
28
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Ada beberapa tata cara yang harus
29
dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan
Pengadilan Negeri bagi yang Non Islam;
b. Kemudian mengajukan gugatan berupa surat permohonan oleh pihak
yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Surat
permohonan dapat dibuat secara tertulis atau lisan kepada Ketua
Pengadilan (HIR Pasal 118 ayat (1) atau Rbg Pasal 142 ayat (1),
sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan
Khusus;
c. Penerimaan perkara oleh Pengadilan;
d. Pemanggilan para pihak (penggugat dan tergugat) selambat-lambatnya 3
hari sebelum diadakannya sidang;
e. Bagi Pengadilan Agama dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama, sedangkan bagi Pengadilan Negeri
pemanggilan dilakukan oleh Juru Sita;
f. Pemeriksaan gugatan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas/surat gugatan;
g. Apabila tergugat berada di Luar Negeri, sidang pemeriksaan gugatan
ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkannya gugatan;
h. Penggugat, Tergugat harus datang menghadiri sidang Pengadilan
berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga
mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk;
i. Pemeriksaan gugatan dilakukan dalam sidang tertutup;
j. Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau melalui kuasanya wajib
membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan
perkawinan atau tuntutan di muka sidang Pengadilan berdasarkan alat-
alat berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan dari salah satu pihak,
persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR Pasal 164 atau
Rbg Pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara
tersebut;
k. Putusan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka;
l. Penggugat atau Tergugat secara pribadi atau masing-masing menerima
salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan;

28
Ibid.
29
Anonim. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Islam Penyebab dan Akibat Alasan
Pihak yang Berhak Mengajukan Menurut UU. 2015.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-pembatalan-perkawinan.html. Diakses pada
tanggal 17/03/2016.

20
20
m. Penggugat dan Tergugat menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari
Pengadilan;
n. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Penggugat segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).

5. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan kiranya perlu dicermati

permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan

perkawinan. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

perkawinan (Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).

Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, Keputusan


30
Pengadilan tersebut tidak berlaku surut terhadap hal-hal sebagai berikut:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;


2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu;
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b
sepanjang mereka memperoleh dengan itikad baik, sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain di Undang-Undang Perkawinan, pembatalan perkawinan juga terdapat

di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tercantum dalam ketentuan

Pasal 37: “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”.

Sedangkan di dalam ketentuan Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam, Keputusan

pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

30
Ismail. “Pembatalan Perkawinan Sebagai Salah Satu Jalan Pemutus Hubungan Perkawinan
di Pengadilan Agama”. 2007. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 26.
t.d.

21
21
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.

Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Batalnya suatu

perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang

tuanya”.

22
22
BAB IV
KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN

1. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan

Kata Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Adhyaksa”. Yang dapat

diartikan dengan berbagai arti, seperti:

1) Superintendant atau Superintendance.


2) Pengawas dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun Syiwa
dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana. Di samping itu
jua bertugas sebagai Hakim dan demikian ia berada di bawah perintah
serta pengawasan Maha Patih.
3) “Adhyaksa” sebagai Hakim sedangkan “dharmaadyaksa” sebagai
“opperrehter”-nya.
4) “Adhyaksa” sebagai “Rechter vab instructie bijde Landraad” yang kalau
dihubungkan dalam jabatan dalam dunia modern sekarang dapat
31
disejajarkan dengan Hakim komisaris.

Sedangkan menurut konsep pemikiran dari R. Tresna antara lain menyatakan

bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia

diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk ke


32
Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaannya yang sama.

31
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia. Cet.
I. Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm. 16.
32
Ilham Gunawan. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas
Politik. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 42.

23
23
Dalam sisi yang lain, menurut pandangan pemikiran cendekiawan kejaksaan

yaitu Doktor Saherodji menjelaskan bahwa “kata jaksa berasal dari bahasa

sansekerta yang berarti pengawas (superintendant) atau pengontrol yaitu

33
pengawas soal-soal kemasyarakatan”.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67), pada pokoknya

mengatur mengenai pengertian, kedudukan, kejaksaan, susunan kejaksaan, tugas

dan wewenang kejaksaan.

Jaksa dalam pengertian umum adalah Penuntut dalam suatu perkara. Jaksa

dalam hal ini mewakili pemerintah, dan merupakan pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Jaksa

adalah “pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-

undang”. Jaksa dalam hal ini bertindak terhadap tersangka pelanggar Hukum
34
Pidana sehingga menjadi lawan dari Pengacara yang membela tersangka.

Peran Jaksa bukan hanya terkait dalam bidang pidana sebagai satu

subsistemnya. Pada bidang perdata dan tata usaha Negara, Jaksa tetap berperan

sebagai Wakil Pemerintah, namun kali ini bukan sebagai Penuntut Umum, namun

sebagai pembela bagi Negara. Peran-peran ini diatur dalam Undang-Undang No. 8

33
Ibid, hlm. 41.
34
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 33

24
24
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Tata Krama

Adhyaksa, Peraturan Jaksa Agung tentang Kode Etik Kejaksaan, dan peraturan

35
perundang-undangan lain yang relevan.

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004,

pengertian kejaksaan adalah sebagai berikut :

(1) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan


negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.
(2) Kejaksaan dilaksanakan secara merdeka.

Pengertian Kejaksaan menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 16

Tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut: Kejaksaan adalah satu dan tidak

terpisahkan adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di

bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang

penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir,

tata laku dan tata kerja kejaksaan.

2. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia

telah mengatur tentang tugas dan wewenang Jaksa yang termuat dalam Pasal 30,

yang rinciannya sebagai berikut:

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :


a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

35
Ibid, hlm. 34.

25
25
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentaraman umum, kejaksaan turut


menyelenggarakan kegiatan :
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 di samping tugas

dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas

dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak

hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

3. Jaksa dalam Perkara Perdata

Eksistensi kejaksaan di bidang perdata bukanlah hal yang baru, melainkan

sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda sampai setelah Indonesia

merdeka, eksistensinya di bidang perdata tetap diakui dengan lahirnya Undang-

Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan

Republik Indonesia, walaupun tidak diatur secara jelas karena hanya berdasarkan

Pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa Kejaksaan melaksanakan tugas-tugas

khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara. Namun,

26
26
eksistensi kejaksaan di bidang Perdata tetap diakui dan dipertahankan, terbukti

dengan dimuatnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1991

dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, dan diperkuat dengan

Perpres No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI serta

36
diberi tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan yang diatur

kemudian oleh Pasal 24 Keputusan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia saat ini dalam kejaksaan

dikenal dengan nama JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha

Negara. Tugas dan wewenang JAMDATUN secara garis besar dibagi menjadi 5

37
kelompok, yaitu:

a. Penegakan Hukum adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh

Kejaksaan di bidang Perdata dan TUN sebagaimana ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan atau berdasarkan putusan pengadilan

dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan

melindungi kepentingan Negara dan Pemerintah serta melindungi hak-

hak keperdataan masyarakat. Contoh: Jaksa dapat meminta kepada

Pengadilan untuk meniadakan niat untuk perkawinan dan juga meminta

dibatalkannya suatu perkawinan.

36
Jery Susanto. Kewenangan Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan .2010. Skripsi. Salatiga:
Fakultas Syari’ah Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN). http:perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/0f6ab917f28f9e81.pdf, hlm 42. Diakses pada
tanggal 15/03/2016.
37
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 55

27
27
b. Bantuan Hukum adalah pemberian jasa hukum kepada instansi

pemerintah atau lembaga Negara atau BUMN/BUMD atau Pejabat TUN

untuk bertindak sebagai kuasa pihak dalam perkara perdata atau TUN,

berdasarkan surat kuasa khusus baik sebagai penggugat maupun tergugat.

Bantuan hukum disini bisa dilakukan baik di dalam maupun di luar

Pengadilan, misalnya: negoisasi, mediasi.

c. Pelayanan Hukum adalah semua bentuk pelayanan hukum yang

diperlukan kepada anggota masyarakat yang berkaitan dengan kasus atau

masalah Perdata dan TUN. Pelayanan hukum ini luas artinya dan

berbagai macam bentuknya, misalnya konsultasi, opini, informasi,

nasehat hukum, dsb.

d. Pertimbangan Hukum adalah kegiatan pemberian jasa huku Kejaksaan

dalam memberikan nasehat atau pendapat hukum (legal opinion) atau

pendampingan (legal assistance) atas dasar permintaan dari lembaga dari

lembaga maupun instansi pemerintah pusat/daerah yang pelaksanaannya

berdasarkan Surat Perintah JAMDATUN atau Kejati atau Kejari.

e. Tindakan Hukum Lain adalah pemberian jasa hukum di bidang perdata

atau TUN di luar penegakan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum

dan pertimbangan hukum dalam rangka menyelamatkan kekayaan

Negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah.

4. Kedudukan dan Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan

Pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perkawinan dapat dimintakan

pembatalannya apabila perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat

28
28
perkawinan yang tidak berwenang, wali yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh

dua orang saksi. Sedangkan yang berhak memintakan pembatalan perkawinan

adalah pihak dari suami atau istri, keluarga suami atau istri dalam garis keturunan

lurus ke atas, serta Jaksa.

Jaksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, merupakan pihak yang berhak memintakan pembatalan

perkawinan. Dikarenakan masalah pembatalan perkawinan termasuk salah satu

38
perkara perdata, maka Jaksa berkedudukan sebagai pemohon/penggugat. Pada

dasarnya profesi Jaksa dibentuk untuk membela kepentingan negara jika terjadi

pelanggaran hukum dari ranah perdata, pidana, dan tata usaha negara. Wewenang

Jaksa dalam masalah perkawinan adalah mewakili kepentingan Undang-Undang

yang berarti berfungsi sebagai kontrol atas berlakunya suatu peraturan guna

menghindari terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang


39
maupun agama.

38
Rudy T. Erwin. 1978. Petunjuk Praktis Untuk Penyelesaian Perkara-Perkara Anda. Jilid I.
Jakarta: Selekta Group, hlm. 11.
39
Firman Wahyudi. Mengaktifkan Peran Jaksa Dalam Perkara Pembatalan Perkawinan
(Telaah atas Pasal 26 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974)
http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/MENGAKTIFKAN PERAN JAKSA DALAM
PEMBATALAN PERKAWINAN.pdf. Diakses pada tanggal 14/03/2016.

29
29
BAB V

PERAN JAKSA DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN

PERKAWINA

A. Jaksa Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan di Luar Ketentuan


Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sebagaimana yang dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa suatu

perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Hal

ini telah dinyatakan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan : “Perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pengertian “dapat” diartikan bisa

batal atau tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing

tidak menentukan lain. Oleh karena itu, syarat yang dimaksudkan bukan terbatas

pada syarat menurut hukum agama, tetapi juga syarat yang diatur oleh Undang-

undang. Namun tidak terpenuhinya syarat yang diatur oleh Undang-undang bukan

berarti perkawinannya tidak sah menurut hukum agama.

Ini berarti bahwa perkawinan dilarang untuk dilakukan apabila para pihak

tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat perkawinan serta tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan. Dasar mengenai

pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 37 dan 38 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan dari Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Instruksi Presiden

No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bagi yang beragama muslim,
30
30
serta Pasal 85 sampai dengan Pasal 99a Buku Kesatu tentang Orang Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata bagi yang beragama non muslim. Dari pasal-pasal tersebut,

dapat diketahui bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

1. Para pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan;

2. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya persetujuan dari kedua

calon mempelai/yang dilaksanakan dengan paksaan;

3. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan (bagi pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita sudah mencapai umur 16

tahun);

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dalam hubungan

darah/keluarga yang tidak boleh kawin;

5. Berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;

6. Bagi suami istri yang telah untuk ketiga kalinya, maka dilarang bagi

mereka kawin kembali dengan bekas suaminya yang pernah bercerai tiga

kali tersebut;

7. Berada dalam waktu tunggu (masa iddah) bagi calon mempelai wanita

yang janda;

8. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang;

9. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali, wali yang tidak sah/tidak

berhak;

10. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi;

30
30
11. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar

hukum;

12. Perkawinan yang dilangsungkan terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau istri.

Mengenai batalnya suatu perkawinan tidak dapat terjadi dengan sendirinya.

Maksudnya apabila setelah melangsungkan perkawinan diketahui adanya suatu

pelanggaran karena para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan, maka perkawinan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pengadilan

melalui permohonan/pengajuan dari pihak-pihak yang berhak/berwenang

mengajukan pembatalan perkawinan, yang mana diajukan gugatan melalui

Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang

beragama non Islam. Oleh karena itu, dalam memutus permohonan pembatalan

perkawinan Pengadilan harus memperhatikan ketentuan agama dari mereka yang

perkawinannya dimintakan pembatalannya, sehingga jika menurut ketentuan agama

perkawinan itu sah, Pengadilan tidak dapat membatalkan perkawinan tersebut.

Selama perkara pembatalan itu dalam proses di Pengadilan, sebaiknya

Pengadilan mengusahakan agar supaya suami istri yang bersangkutan berpisah

tempat tinggal, demi menghindari wali syubhat, yaitu persetubuhan yang diragukan

40
sahnya.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyatakan, bahwa

batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Ketentuan ini

diatur di dalam Pasal 37 yang di dalam penjelasannya diuraikan dengan mengingat


40
Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet. I.
Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 65.

31
31
bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami istri

maupun keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

41
pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.

Batalnya perkawinan tersebut dimulai setelah keputusan Pengadilan yang

membatalkan perkawinan termaksud telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu (Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Perkawinan).

Permohonan pembatalan perkawinan harus disampaikan kepada Pengadilan

dalam daerah hukum dimana perkawinan yang dimohonkan pembatalannya itu

dilangsungkan atau di tempat tinggal suami atau istri (Pasal 25 Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Mengenai permohonan pembatalan perkawinan

hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak (Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 9
42
Tahun 1975).

Pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh Pengadilan atas dasar

permohonan dari para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Hak

untuk minta pembatalan dari suatu perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa

orang tertentu saja. Orang ini dapat mempergunakan haknya untuk minta pembatalan

dari suatu perkawinan, tapi kalau tidak ada yang mengajukan maka perkawinan dapat

berlangsung terus secara sah. Dengan kata lain, suatu perkawinan tidak dapat batal

dengan sendirinya namun harus diajukan oleh pihak sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 23, 24, 26, dan 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

41
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Cet. IV. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 108.
42
Riduan Syahrani dan Abdurrahman. 1977. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia. Cet. II. Banjarmasin: Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 17.

32
32
perkawinan disebutkan bahwa yang berhak mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan antara lain:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk (akan diatur dalam peraturan perundang-

undangan);

e. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut

itu putus;

f. Suami atau istri dari yang melangsungkan perkawinan;

g. Jaksa.

Pejabat seperti yang ada dalam Pasal 23 di atas, adalah pejabat yang

berhak/berwenang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan bagi yang tidak

memenuhi syarat perkawinan. Namun, bunyi Pasal 23 tersebut masih ada yang

memerlukan penjelasan lebih lanjut yaitu antara pejabat yang berwenang dan pejabat

yang ditunjuk tersebut dalam ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini.

Dilihat dari substansi isi Pasal 23 disebutkan cukup jelas antara pejabat yang

berwenang dan pejabat yang ditunjuk dan menurut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pejabat yang ditunjuk tersebut akan diatur

lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, namun perundang-undangan yang

dimaksud belum ada. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan serta memperjelas

33
33
maksud dari “pejabat yang berwenang” dan “pejabat yang ditunjuk” sebagaimana

dalam Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan tersebut sebagai berikut di bawah ini:

1. Pejabat Yang Berwenang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebutkan definisi

kata “wewenang” yang memiliki arti sebagai berikut:

1) Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan

2) Kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan

tanggung jawab kepada orang lain


43
3) Fungsi yang boleh dilaksanakan.

Menurut pendapat SF. Marbun wewenang adalah kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik (yuridis), juga sebagai kemampuan

bertindak yang diberikan oleh Undang-Undang untuk melakukan hubungan

hukum. Dilihat dari pengertian yuridis, wewenang adalah suatu kemampuan

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan


44
akibat-akibat hukum. Sehingga terhadap pejabat yang berwenang dapat

diartikan seseorang yang mempunyai hak untuk bertindak atau berbuat

sesuatu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang yang lain, sedangkan

pejabat yang ditunjuk berarti seseorang baru akan mempunyai hak/wewenang

untuk bertindak apabila ia ditunjuk untuk melakukan sesuatu berdasarkan

suatu perintah dari atasan ataupun instansi pemerintah. Oleh karena itu,

penulis berpendapat bahwa yang dimaksud pejabat yang berwenang dalam


43
Muhamad Jusuf, Op.cit., hlm 102
44
Ibid, hlm. 103.

34
34
Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah Pegawai

Pencatat Perkawinan dan Jaksa. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya seperti halnya yang akan

diuraikan di bawah ini:

a. Pegawai Pencatat Perkawinan

Pegawai Pencatat Perkawinan merupakan pejabat yang berwenang

dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dikarenakan ia

sebagai pihak yang berkaitan langsung dengan proses berlangsungnya

perkawinan. Pegawai Pencatat Perkawinan bagi yang beragama Islam dikenal

dengan Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang

bukan beragama Islam/non muslim ialah Kantor Catatan Sipil atau

Instansi/Pejabat yang membantunya. Untuk memperkuat pernyataan tersebut,

dapat dilihat dari Pegawai Pencacat Nikah yang mempunyai kedudukan yang

jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya

Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 sampai dengan sekarang ini sebagai

satu-satunya pejabat yang berwenang mencacat perkawinan yang

dilangsungkan menurut agama Islam dan wilayahnya.

Pegawai Pencacat Nikah ialah pegawai pencatat perkawinan dan

perceraian (Pasal 1 huruf d PP No. 9 Tahun 1975).

a) Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Agama RI No.


3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencacat Nikah, diatur
bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah ialah
Pegawai Negeri yang diangkat berdasarkan Undang-Undang No.
22 Tahun 1946 pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan.
b) Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 menyebutkan
bahwa:

35
35
(1) Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya
disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya.
Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam,
selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
pegawai pencatat nikah.
(2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang
diangkat Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya.
(3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan
itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh
Kepala Jawatan Agama Daerah.

Selanjutnya dapat dilihat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 yaitu:

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan


perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
c) Undang-Undang No. 32 Tahun 1954, yang terpenting ialah
dicabutnya Huwelijksordonantie Buitengewesten (Staatsblad 1932
No. 482) dan semua peraturan tentang pencatatan nikah talak dan
rujuk untuk ummat Islam yang berlainan dan bertentangan dengan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 selanjutnya Pasal 1 Undang-
Undang No. 32 Tahun 1954 menentukan bahwa Undang-Undang
No. 22 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan
Madura.

Mengenai tugas dan tanggung jawab Pegawai Pencatat Nikah diatur

dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban

Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam

melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi yang

36
36
beragama Islam. Kemudian pada tahun 2004 dikeluarkan Keputusan Menteri

Agama RI No. 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah. Pada tahun 2007

dikeluarkan Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Nikah, yang pada Bab 2 Pasal 2, 3, dan 4 diatur mengenai Tugas

Pencatat Nikah, yaitu:

Pasal 2 menyatakan:
a. Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah
pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai
gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
b. PPN dijabat oleh Kepala KUA.
c. Kepala KUA sebagaimana ayat (2), menandatangani akta nikah,
akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta
rujuk.

Pasal 3 menyatakan:
(1)PPN sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan
tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.
(2)Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengangkatan,
pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan
surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota
atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi
Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam.
(3)Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas
Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan
kepada kepala desa/lurah di wilayah kerjanya.

Pasal 4 menyatakan: “Pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN


sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas mandat
yang diberikan oleh PPN”.
Di dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang

Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam

Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Bagi yang

Beragama Islam, pada Pasal 27 tentang Pembatalan Perkawinan berbunyi:

(1)Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat


larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-

37
37
undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak
sebagai dimaksud Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
(2)Permohonan pembatalan suatu pernikahan diajukan ke Pengadilan
Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan dilakukan sesuai
dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
(3)Tata cara pengajuan permohonan pembatalan pernikahan dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

Dalam hal pelaksanaan tugas PPN dilakukan pengawasan oleh Kepala

PPN dengan memeriksa Daftar Pemeriksaaan Nikah, Akta Nikah, Buku

Pendaftaran Talak, Buku Pendaftaran Cerai, Buku Pendaftaran Rujuk serta

segala surat-surat yang berhubungan dengan itu. Pekerjaaan ini dilakukan tiap

tiga bulan sekali. Dalam pemeriksaan ini Kepala PNN dibantu oleh pegawai

Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten/Kotamadya yang cakap untuk

pekerjaan itu. Hasil pemeriksaan dibuat dalam Berita Acara dan disampaikan

kepada Kepala Bidang Urusan Agama Islam Provinsi melalui Kepala Kantor
45
Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya.

b. Jaksa

Selain Pegawai Pencatat Perkawinan, yang termasuk pejabat yang

berwenang untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan hanya

selama perkawinan belum diputuskan adalah Jaksa. Pada umumnya Jaksa

memang lebih dikenal berperan di bidang pidana sebagai penuntut umum

yang mewakili Negara dan masyarakat, namun di lain sisi ternyata Jaksa juga

dapat berperan dalam bidang perdata khususnya yang terkait dengan pihak

yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini dapat

dilihat dari isi Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

45
K. Wantjik Saleh. Op.cit., hlm 108

38
38
menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai

pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau

yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dapat dimintakan

pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari

suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. Kemudian Pasal 26 ayat (2)

menentukan bahwa hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan

alasan dalam ayat (1) tersebut gugur apabila mereka telah hidup bersama

sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat

oleh pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan

harus diperbaharui supaya sah.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 tersebut, maka hak untuk

membatalkan perkawinan oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari

suami atau istri dan hak dari jaksa tetap ada/tidak dapat gugur. Hak tersebut

gugur hanya bagi suami istri saja, sedangkan hak membatalkan bagi pihak

lain tetap tidak gugur. Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak

adanya penjelasan yang lebih rinci dan menyeluruh mengenai kewenangan

Jaksa yang secara langsung mengawasi jalannya perkawinan dan mengajukan

gugatan pembatalan perkawinan yang melanggar ketentuan.

Sehubungan dengan hal di atas, dapat diketahui dengan fungsi Jaksa


46
di bidang keperdataan yaitu sebagai berikut:

46
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. 1988. Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata. Cet. I.
Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm. 36.

39
39
1. Mewakili Pemerintah

Misalnya pemerintah membuat galian di jalan umum dan di waktu

malam hari tidak diberi lampu, sehingga kendaraan menabraknya dan

menderita kerugian, pemilik kendaraan bermotor menuntut ganti

kerugian kepada pemerintah. Dalam hal ini Jaksa dapat mewakili

pemerintah di depan pengadilan.

2. Mewakili Undang-Undang

Seorang Jaksa yang mengajukan permohonan kepada pengadilan

untuk membatalkan sebuah perkawinan misalnya antara A dan B,

karena si A ternyata melakukan bigami (beristri atau bersuami dua).

3. Mewakili kepentingan umum atau public opinion

Misalnya seorang Jaksa yang melalui prosedur di luar pengadilan

mengajukan permohonan kepada hakim agar seseorang yang sedang

sakit di pinggir jalan atau seseorang yang terus-menerus mengganggu

orang di jalan umum agar dimasukkan dalam rumah sakit.

Dalam hal terjadinya sengketa Perdata maupun Tata Usaha Negara

dimana salah satu pihak yang terlibat adalah Negara, maka Kejaksaan dapat

berperan dan berwenang menjadi Kuasa Negara dalam perkara Perdata

maupun Tata Usaha Negara. Eksistensinya di bidang perdata dan tata usaha

negara tetap diakui, hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu:

“Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah”.

40
40
Namun apabila dilihat dari bunyi Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004 di atas, mensyaratkan adanya kuasa khusus bagi Jaksa

agar dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas

nama Negara atau Pemerintah. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 inilah yang menjadi sumber rujukan munculya istilah Jaksa
47
Pengacara Negara (JPN).

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa di bidang Perdata dan Tata

Usaha Negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama

Negara atau Pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam

pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela

kepentingan Negara atau Pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi

kepentingan rakyat. Jadi peran Kejaksaan tidak hanya sebagai Penuntut

Umum di bidang pidana yang biasa dikenal dengan Jaksa Penuntut Umum

(JPU), tetapi juga berperan dalam menangani perkara Perdata dan Tata Usaha

Negara yang bertindak selaku kuasa hukum atau wakil pemerintah sebagai

badan hukum dengan surat kuasa khusus melaksanakan tugasnya dengan baik

di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama pemerintah dan
48
Negara yang dikenal dengan istilah Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Jaksa Pengacara Negara (JPN) adalah Jaksa dengan Kuasa Khusus,

bertindak untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam melaksanakan

tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang perkara Perdata dan Tata Usaha

47
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 125
48
Ibid, hlm. 15.

41
41
Negara. Istilah Jaksa Pengacara Negara (JPN) belum diatur secara ekspisit di

dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia maupun dalam Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang

49
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Namun

sebagai Kuasa dari Instansi Pemerintah atau BUMN, Jaksa Pengacara Negara

diwakili oleh Kejaksaan sebagai Pengacara Negara berdasarkan Surat Kuasa

Khusus (SKK) dan tidak semua Jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara

Negara karena penyebutan tersebut hanya kepada Jaksa yang secara struktural

dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha Negara

50
(Datun). Sehingga bagi Negara atau Pemerintah baik BUMN atau instansi

pemerintah tidak diwajibkan untuk memakai jasa dari Jaksa Pengacara

Negara dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, karena dalam Pasal 30

ayat (2) terdapat kata “dapat” sehingga sifatnya bukan suatu kewajiban untuk

51
menunjuk Jaksa mewakilinya di hadapan Pengadilan.

Namun M. Yahya Harahap berpendapat bahwa sekiranya pun tidak

dibekali dengan surat kuasa khusus, Kejaksaan dapat bertindak mewakili

Negara di depan Pengadilan perdata sesuai dengan kapasitasnya dan

kedudukannya sebagai legal mandatory (kuasa menutut hukum) yang

digariskan Pasal 123 ayat (2) HIR. Apalagi jika dengan surat penunjukan atau

49
Ibid, hlm. 51.
50
Ibid, hlm. 55.
51
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Op.cit., hlm 40

42
42
pelimpahan, dianggap cukup menjadi landasan bagi Kejaksaan bertindak
52
sebagai kuasa dalam mewakili Negara.

Setiap instansi setidaknya memiliki tiga alternatif/pilihan penyelesaian

sengketa dalam kasus Perdata dan Tata Usaha Negara yang dihadapinya.

Pertama, instansi tersebut dapat menggunakan dari biro hukumnya sendiri.

Kedua, instansi tersebut menggunakan Pengacara swasta dengan anggaran

pos bantuan hukum (posbakum) yang ada di masing-masing instansi. Ketiga,


53
instansi tersebut dapat menggunakan JPN yang ada di Kejaksaan.

Selain itu dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI disebutkan, di samping tugas dan wewenang tersebut dalam

Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain

berdasarkan Undang-Undang.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 24 Peraturan Presiden No. 38

Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Indonesia

yang berbunyi sebagai berikut:

“Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN)


mempunyai tugas dan wewenang penegakan hukum, bantuan hukum,
pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada Negara atau
Pemerintah, meliputi lembaga/badan Negara/instansi Pemerintah
Pusat dan daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah di bidang
Perdata dan Tata Usaha Negara untuk menyelamatkan, memulihkan
kekayaan Negara, menegakkan kewibaaan pemerintah dan Negara
serta memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat”.

Berkaitan dengan tugas dan wewenang JAMDATUN yang

mempunyai fungsi membatalkan suatu perkawinan yang dilakukan di muka

52
Riska Sabrina. “Kedudukan Lembaga Kejaksaan sebagai Pengacara Negara dalam Perkara
Perdata”. 2010. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 41. t.d.
53
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 55

43
43
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak

sah atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang

saksi (Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan) termasuk dalam tugas dan

wewenang Jaksa dalam penegakan hukum, dikarenakan hal tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan

maka sudah seharusnya menjadi tugas Jaksa untuk melindungi kepentingan

masyarakat dan Negara dari tindakan pihak-pihak yang tidak bertanggung

jawab.

Tujuan dari pembentukan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha

Negara (JAMDATUN) sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, maka

tujuan hukum perdata dan tata usaha negara adalah mewujudkan keadilan

(filosofis), memelihara ketertiban dan kepastian hukum (yuridis) serta

melindungi kepentingan umum (sosiologis), sehingga hukum dapat

ditegakkan dan terwujudnya keteraturan di masyarakat. Dalam hubungannya

dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara ini adalah

bertanggung jawab dalam penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha

negara sebagai wakil yang berbuat untuk dan atas nama Negara, Pemerintah
54
serta kepentingan umum.

Dalam buku yang berjudul “Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata”

menyebutkan bahwa dalam menangani sengketa perdata Jaksa dapat

mewakili pemerintah sebagai badan hukum (rechtspersoon) melawan

lawannya selaku pribadi (natuurlijk persoon) ataupun selaku badan hukum


54
Risa Maulida. “Peranan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Perdata”. 2002. Skripsi.
Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 51. t.d.

44
44
(rechtspersoon). Namun yang membedakan Jaksa daripada advokat atau

pengacara yang mewakili lawannya adalah Jaksa dalam bertindak atas nama

Negara/Pemerintah tidak memerlukan surat kuasa seperti halnya advokat atau

pengacara pada umumnya karena Jaksa berfungsi sebagai kontrol atas

berlakunya peraturan guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran dalam

bidang perkawinan. Ada beberapa contoh dimana Jaksa bertindak selaku

kuasa pemerintah yaitu sebagai berikut:

a. Meminta kepada Pengadilan untuk meniadakan niat untuk

melangsungkan perkawinan.
55
b. Meminta kepada Pengadilan untuk dibatalkannya perkawinan.

Dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 040/A/JA/12/2010 mengatur

Kejaksaan sebagai JPN bertugas dan berwenang untuk mengajukan gugatan

dan permohonan kepada Pengadilan di bidang Perdata sebagaimana yang

ditetapkan oleh perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban

hukum dan melindungi kepentingan Negara dan pemerintah serta hak-hak


56
keperdataan masyarakat, antara lain sebagai berikut:

1. Permohonan perwalian anak di bawah umur (Pasal 360 BW)


2. Pengajuan pembatalan perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun
1974)
3. Gugatan uang pengganti (Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001)
4. Permohonan kepailitan (Undang-Undang No. 37 Tahun 2004)
5. Permohonan untuk pemeriksaan Yayasan atau membubarkan suatu
Yayasan (Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 jo Undang-Undang
No. 28 Tahun 2004)
6. Permohonan Jabatan Notaris (Undang-Undang No. 30 Tahun 2004)

55
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Op.cit., hlm 30
56
Ibid, hlm. 57.

45
45
7. Pelaporan Notaris yang melanggar hukum dan keluhuran martabat
notaris (Pasal 50 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004)
8. Permohonan pembubaran PT (Undang-Undang No. 40 Tahun
2007)

Dari berbagai tugas dan wewenang JPN di bidang perdata di atas,

disebutkan salah satunya bahwa Jaksa Pengacara Negara berwenang dalam

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana yang diatur

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini selaras

dengan apa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan, dimana disebutkan bahwa Jaksa dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan yang

dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,

wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)

orang saksi.

Dengan demikian yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang

hanya selama perkawinan belum diputuskan” dalam Pasal 23 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut adalah Jaksa. Hal ini

diperkuat dengan adanya berbagai peraturan yang telah disebutkan

sebelumnya yang terkait dengan kewenangan Jaksa di bidang perdata

khususnya yang berkenaan dengan permohonan pembatalan perkawinan,

seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan RI, Pasal 24 Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Indonesia, Peraturan

Jaksa Agung RI Nomor 040/A/JA/12/2010, dan Pasal 26 ayat (1) Undang-

46
46
Undang No. 1 Tahun 1974 yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang

kuat bagi Jaksa sebagai pejabat yang berwenang dalam mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan. Dengan kata lain, Jaksa dapat bertindak

sendiri dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dalam hal

mewakili Negara/Pemerintah dengan dasar hukum peraturan perundang-

undangan yang telah disebutkan sebelumnya tanpa harus adanya Surat Kuasa

Khusus.

Jaksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, ternyata mempunyai kedudukan sebagai pemohon

atau pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Masalah pembatalan perkawinan termasuk salah satu perkara perdata, maka

Jaksa berkedudukan sebagai pemohon atau penggugat. Selaku penggugat,

Jaksa karena jabatannya dapat melakukan penegakan hukum dengan cara

mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan dengan permohonan/petitum agar

perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan hukum sebagaimana ditetapkan


57
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut dibatalkan.

Jaksa dapat mengetahui bahwa suatu perkawinan yang dilangsungkan

terdapat adanya suatu pelanggaran bisa saja mengetahui secara langsung atau

tidak langsung. Secara langsung artinya, Jaksa dapat mengetahui dengan

sendiri maka sebagai wakil Negara/Pemerintah harus secepatnya mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan sejak ia mengetahui adanya pelanggaran

dalam perkawinan tersebut karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan.

57
Risa Maulida. Op.cit., hlm 47

47
47
Sedangkan secara tidak langsung, artinya Jaksa dapat mengetahui hal tersebut

dari keterangan orang lain, bisa dari pihak keluarga suami atau istri ataupun

dari pihak suami istri yang bersangkutan.

Dikarenakan perkara pembatalan perkawinan termasuk salah satu

perkara perdata maka Jaksa berkedudukan sebagai pemohon atau penggugat

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa harus disertai adanya

SKK (Surat Kuasa Khusus), karena apa yang dilakukan oleh Jaksa ialah

fungsinya sebagai wakil dari Negara/Pemerintah dengan dasar/landasan

hukumnya yaitu Undang-Undang terkait dengan apabila suatu kaidah hukum

terlanggar dan berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa dalam penegakan

hukum satuan kerja JAMDATUN karena jabatan atau peranan yang

diberikan/ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka

memelihara ketertiban hukum, dan melindungi kepentingan Negara dan

Pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat sehingga tidak diperlukan

Surat Kuasa Khusus dari siapapun. Selain itu, jaksa dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan tanpa harus adanya permintaan dari

pihak keluarga.

Bagi Jaksa yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

harus mengikuti hukum secara perdata yang berlaku, serta diharapkan benar-

benar dapat menguasai permasalahannya dengan cara mengumpulkan alat-

alat bukti yang ada dan sah serta melakukan koordinasi dan konsultasi dengan

48
48
instansi terkait (Pengadilan) agar berhasil dalam permohonan pembatalan
58
perkawinan yang diajukannya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, bahwa Jaksa berwenang untuk mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan terhadap 3 (tiga) hal yaitu terhadap

perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang

tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa

dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Dari bunyi Pasal 26 ayat (1) tersebut terlihat

adanya pembatasan alasan yang dapat digunakan oleh Jaksa untuk

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, namun ternyata dalam

prakteknya Jaksa pernah mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di

luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan yaitu terhadap kasus perkawinan pasangan sejenis yang

dilakukan oleh Rahmat Sulistyo atau Fransiska Anastasya Octaviany alias

Icha dan Muhammad Umar yang dilakukan oleh Abdul Gofur, penghulu dari

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi pada tanggal

20 September 2010. Pernikahan tersebut tercatat dalam akta nomor

966/155/IX/2010 atas nama Fransiska Anastasya Octaviany dan Muhammad

Umar. Perkawinan yang mereka lakukan dinyatakan tidak sah karena

melanggar norma-norma keagamaan dan ketentuan dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yaitu yang termuat dalam Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan yang menegaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan

58
Firman Wahyudi. Op.cit., hlm 14-15

49
49
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal tersebut sudah sangat jelas

mengatakan bahwa Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh “seorang pria”

dan “seorang wanita”. Selain itu, dalam hal ini Icha telah melakukan

pemalsuan identitas dimana pada kenyataannya ia seorang pria bukan wanita

dan pemalsuan terhadap surat nikah yang mengatasnamakan orang lain dan

juga adanya dugaan kelalaian oleh pejabat yang bersangkutan atas formulir

N1 (numpang nikah) dan formulir N5 (izin orang tua). Pada saat mengurus

pernikahan, icha tidak punya formulir N1 numpang nikah karena dia terdaftar

sebagai warga Cibubur Jakarta Timur, selain formulir N1 Icha yang usianya

masih di bawah 21 tahun juga tidak punya formulir N5 sebagai bukti adanya

izin nikah dari orang tuanya. Oleh karena itu, akta nikah Umar dan Icha yang

tercatat dengan nomor 966/155/IX/2010 pada Kantor Urusan Agama

Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi dianggap tidak berlaku dan dicabut serta

surat otentik tersebut dinyatakan batal demi hukum karena pernikahannya


59
keduanya melanggar ketentuan agama maupun Undang-Undang.

Sehubungan dengan hal di atas, berperannya Jaksa di luar ketentuan

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu dalam kasus perkawinan

pasangan sejenis tersebut ialah mewakili Negara/Pemerintah dengan kuasa

Undang-Undang karena terkait dengan tugas dan wewenangnya yang ada

dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yaitu dalam
59
Hamluddin. Pernikahan Icha ‘Istri Palsu’ Dibatalkan. 2011.
http://m.koran.tempo.co/konten/2011/10/26/252732/Pernikahan-Icha-Istri-Palsu-Dibatalkan. Diakses
pada tanggal 11/09/2015.

50
50
rangka memelihara ketertiban dan ketentraman umum guna menghindari

terjadinya suatu pelanggaran dan terciptanya kepastian hukum di tengah-

tengah masyarakat benar-benar dapat terwujud.

Bertitik tolak pada hal di atas, menurut Abdulkadir Muhammad dalam

bukunya yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia” menyebutkan bahwa

Jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan terhadap

perkawinan yang melanggar Undang-Undang, ketertiban umum, atau

60
kesusilaan yaitu sebagai berikut:

1. Mempunyai hubungan darah terlalu dekat (misalnya ibu, anak

perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu, saudara

perempuan bapak, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak

perempuan dari saudara perempuan);

2. Hubungan semenda adalah hubungan kekeluargaan yang timbul

karena perkawinan yang telah terjadi terlebih dahulu (misalnya

61
mertua, ipar, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri);

3. Seorang suami yang telah mentalak istrinya tiga kali. Menurut

hukum Islam apabila seorang suami yang telah mentalak istrinya

tiga kali, maka mereka tidak boleh kawin untuk selama-lamanya,

kecuali apabila bekas istri yang telah ditalak tiga kali tersebut

kawin dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya

dan kemudian bercerai atau suami kedua meninggal dunia dan

60
Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 83
61
Sajuti Thalib. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, hlm. 55.

51
51
masa iddah istri tersebut telah habis, maka dia boleh melakukan

perkawinan kembali dengan bekas suaminya yang pernah bercerai

62
dan mentalaknya tiga kali tersebut. Ketentuan ini dimaksudkan

untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga

63
suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Selain itu pengaturan tentang pembatalan perkawinan juga terdapat

dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yang dapat dijadikan landasan bagi seseorang yang beragama Islam

apabila ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan belum diatur secara jelas dan keseluruhan. Terkait dengan

pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70-76 KHI.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai pihak yang

dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73

KHI, yaitu sebagai berikut:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah

dari suami dan istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan

menurut Undang-Undang;

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat

dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan

62
Kamal Muchtar. 1974. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, hlm.107.
63
K. Wantjik Saleh. Op.cit., hlm 27

52
52
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal

67.

Mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan juga

terdapat ketidakjelasan dari Pasal 73 huruf c KHI yang menyebutkan “Pejabat

yang berwenang mengawasi pelaksaan perkawinan menurut Undang-

Undang”. Namun ketidakjelasan itu dapat dipahami dan terjawab dengan

menghubungkan Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana Pasal 23 juga menyebutkan

“Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan”

sedangkan Pasal 26 menyebutkan Jaksa sebagai salah pihak yang dapat

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Oleh karena dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dari “Pejabat yang berwenang mengawasi

pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang” adalah Jaksa. Namun

agar dapat mengontrol, meminimalisir, serta menghindari suatu pelanggaran

dalam perkawinan terhadap ketentuan agama maupun Undang-Undang akan

lebih baik Jaksa dan Pegawai Pencatat Perkawinan saling berkoordinasi dan

bekerja sama.

Sedangkan di dalam KUH Perdata menyebutkan secara jelas tentang

kewenangan Jaksa sebagai salah satu pihak yang dapat menuntut untuk

diadakannya pembatalan perkawinan yaitu terhadap perkawinan yang

disebutkan dalam beberapa Pasal sebagai berikut:

a. Pasal 86 KUH Perdata menyatakan bahwa “kebatalan suatu

perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan Pasal 27

53
53
(dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan

mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya dan seorang

perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”. Dari

bunyi Pasal tersebut jelas melarang adanya poligami ataupun

poliandri (perkawinan rangkap) karena di dalam KUH Perdata

menganut asas monogami mutlak”.

b. Pasal 88 KUH Perdata menyatakan “apabila seseorang yang karena

ketaksempurnaaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan dan telah

mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan”.

c. Pasal 89 KUH Perdata menyatakan “apabila seorang yang belum

mencapai umur yang disyaratkan oleh Pasal 29, mengikatkan

dirinya dalam suatu perkawinan, maka pembatalan perkawinan

dapat dituntut oleh pihak Kejaksaan”.

d. Pasal 90 KUH Perdata menyatakan “pembatalan segala perkawinan

yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang

termuat dalam Pasal 30 (perkawinan dilarang antara mereka yang

mempunyai pertalian keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke

bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah atau

karena perkawinan dan dalam garis menyimpang antara saudara

laki-laki dan perempuan), Pasal 31 (perkawinan dilarang untuk

dilaksanakan antara ipar laki-laki dan ipar perempuan apabila si

suami atau si istri yang mengakibatkan periparan itu masih hidup

dan dilarang juga antara paman dengan anak perempuan saudara

54
54
atau cucu perempuan saudara, seperti antara bibi dan anak laki-laki

saudara atau cucu laki-laki saudara), Pasal 32 (berdasarkan putusan

hakim yang menyatakan salah karena berzinah, tidak diperbolehkan

untuk kawin dengan kawan berzinahnya), Pasal 33 (perkawinan

yang telah dibubarkan karena putusan hakim setelah perceraian

setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan

pernyataan bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil maka

tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya melainkan setelah lewat

waktu satu tahun dan dilarang kawin kedua kalinya terhadap orang

yang sama).

e. Pasal 92 KUH Perdata menyatakan “perkawinan yang

dilangsungkan tidak di depan pegawai catatan sipil yang berkuasa,

jumlah saksi yang tidak cukup atau saksinya tidak memenuhi

persyaratan. Dalam Pasal 76 KUH Perdata disebutkan bahwa

perkawinan harus dilangsungkan dengan dihadiri oleh 2 (dua)

orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan berdiam di

Indonesia. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 76 KUH Perdata,

misalnya sekedar mengenai saksi-saksi yang tidak memenuhi

persyaratan, tidak secara mutlak mengakibatkan pembatalan

perkawinan. Pernyataan batal atau tidaknya suatu perkawinan

diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.

55
55
Namun terdapat batasan (restrictie) terhadap tuntutan pembatalan

suatu perkawinan yang diatur oleh dua pasal, yaitu pasal 93 dan 94 KUH

Perdata yang menyatakan:

a. pasal 93 KUH Perdata : tuntutan pembatalan perkawinan tidak

dapat dilakukan oleh pihak-pihak:

1. anggota keluaga dalam garis ke samping;

2. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang lain;

3. orang lain yang bukan anggota keluarga (vreemden) selama

suami istri itu masih hidup.

b. pasal 94 KUH Perdata menentukan bahwa pihak Kejaksaan tidak

dapat mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan, bila

64
perkawinan tersebut telah bubar. Jaksa dan PPN berwenang

dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang

dilangsungkan di bawah ancaman dan waktu pengajuannya tidak

lebih dari 6 bulan, karena apabila lebih dari 6 bulan maka

65
perkawinan yang berjalan dinilai tidak pernah terjadi masalah.

Dalam hal ini Jaksa mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

ke Pengadilan Negeri karena KUH Perdata terkait dengan pembatalan

perkawinan yang berlaku bagi yang beragama non Islam.

Selain itu terkait dengan perkawinan yang dilakukan tanpa didasari

adanya persetujuan kedua calon mempelai atau yang dikenal dengan

64
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga
(Personen En Familie-Recht). Cet. IV. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), hlm.
37.
65
Jery Susanto. Op.cit., hlm 48

56
56
perkawinan paksa dapat juga dibatalkan. Menurut Elise T. Sulistini dan Rudy

T. Erwin, sahnya suatu perkawinan yang terjadi tanpa kehendak yang bebas

dari kedua suami atau istri atau dari salah seorang, hanya dapat dibantah oleh

suami atau istri tersebut. Pembatalan suatu perkawinan hanya dapat

diputuskan oleh Pengadilan. Hak untuk menuntut pembatalan menjadi gugur

apabila 3 bulan terus-menerus suami isri tersebut bertempat tinggal bersama-


66
sama dalam satu rumah.

Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin juga mengatakan bahwa yang

dapat membantah suatu perkawinan adalah bapak, ibu, dan keluarga sedarah

lainnya dalam garis ke atas, anak-anak, cucu, saudara laki-laki, saudara

67
perempuan, paman, bibi, pengawas (pengampu) dan akhirnya Jaksa.

Tujuan adanya berbagai peraturan tersebut adalah supaya Jaksa dapat

berperan dalam penegakan hukum di bidang perkawinan yang dilakukannya

atas nama Negara/Pemerintah dalam rangka untuk memelihara ketertiban

umum guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran baik dari ketentuan

agama maupun ketentuan Undang-Undang dan dapat terciptanya kepastian

hukum di tengah-tengah masyarakat dapat terwujud.

Selain itu, alasan dan tujuan dimasukkannya Jaksa sebagai pihak yang

berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berisi

tentang ketentuan pidana yang dapat dikenakan oleh Jaksa kepada para pihak

(suami istri) dan pegawai pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan


66
Riska Sabrina. Op.cit., hlm 58
67
Ibid.

57
57
hukum perkawinan, karena selama ini Jaksa dikenal sebagai pejabat yang

pada umumnya berwenang dalam mendakwa/menuntut seseorang yang

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan sebagai

upaya untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran di bidang hukum

perkawinan.

Dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,

menyebutkan bahwa:

1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-


undangan yang berlaku, maka:
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah).
2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan
pelanggaran.

Dari bunyi Pasal di atas, dapat ditafsirkan bahwa wewenang yang

diberikan oleh Negara/Pemerintah kepada Jaksa sebagai pihak yang berhak

dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan seperti halnya yang

diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, di luar ketentuan

Pasal 26 ayat (1) seperti kasus perkawinan pasangan sejenis (Umar-Icha),

dalam KUH Perdata (Pasal 86, 88, 89, 90, 92), dan yang ada dalam Kompilasi

Hukum Islam pada Pasal 73 tersebut tidak terlepas dari telah terjadinya suatu

pelanggaran dalam hukum perkawinan, sehingga harus mempunyai sanksi

pidana. Untuk itu kepada Jaksa diberikan kesempatan untuk membuktikan

58
58
pelanggaran tersebut kepada Hakim dan Hakimlah nantinya yang akan

memutuskan dan membatalkan perkawinan yang terbukti tidak memenuhi

syarat-syarat dan rukun untuk melangsungkan perkawinan yang telah

ditentukan oleh Undang-Undang.

Dari berbagai pendapat dan penjelasan sebelumnya mengenai tugas

dan wewenang serta peran Jaksa dalam perkara pembatalan perkawinan,

penulis berpendapat perlunya peran Jaksa untuk mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan terhadap perkara di bawah ini yaitu:

1. Pernikahan Siri, yaitu pernikahan yang dilakukan secara diam-diam

atau rahasia. Walaupun pernikahan siri sah dari pandangan agama

Islam namun tidak sah jika dipandang dalam hukum negara karena

pernikahan tersebut tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama).

2. Seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin dari

Pengadilan Agama dan tanpa adanya persetujuan dari istri pertama.

Dalam hal ini berarti si suami telah melakukan pemalsuan data

mengenai identitas dirinya dan juga tanda tangan istri pertamanya.

3. Perkawinan berlainan/berbeda agama. Mengenai hal ini seringkali

terjadi di masyarakat, dimana pada kenyataannya mereka

menganggap hal ini biasa saja asalkan didasari perasaan suka sama

suka, maka mereka akan melangsungkan perkawinan dengan pergi

ke luar negeri dimana hukum di negara tersebut membolehkan

mereka untuk kawin beda agama. Namun apabila mereka kembali

ke Indonesia maka perkawinan tersebut jelas batal demi hukum

59
59
karena bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974. Sehubungan dengan hal tersebut apabila dari hasil

perkawinan tersebut melahirkan seorang anak dan anak itu dapat

memiliki akta kelahiran. Sehingga dalam hal ini, akibat hukumnya

adalah batal demi hukum yaitu perkawinan tersebut dianggap tidak

pernah ada, kiranya hal ini perlu mendapat perhatian yang lebih

Jaksa sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dalam

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

4. Poliandri, dimana seorang perempuan mempunyai suami lebih dari

satu orang dalam waktu yang bersamaan.

2. Pejabat Yang Ditunjuk

Selanjutnya mengenai istilah “pejabat yang ditunjuk” dalam Pasal 23

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai salah satu pihak yang dapat

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, masih perlu penjelasan

lebih lanjut dikarenakan dalam penjelasan umum dinyatakan cukup jelas. Di

dalam Pasal 23 tersebut menyebutkan pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2)

Pasal 16 Undang-Undang Perkawinan, dimana mengenai pejabat yang

ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam

peraturan perundang-undangan. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan menyebutkan bahwa pejabat yang ditunjuk berkewajiban

mencegah berlangsungnya perkawinan apabila tidak dipenuhinya ketentuan-

ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dari bunyi Pasal tersebut dapat

60
60
disimpulkan bahwa yang dimaksud adalah Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah, Talak dan Rujuk (P3NTR).

Pernyataan tersebut diperkuat dengan definisi dari P3NTR, dimana

P3NTR adalah orang yang ditunjuk oleh Kepala Jawatan Agama Daerah

sebagai wakil Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk melakukan pekerjaan

pengawasan atas nikah dan penerimaan rujuk. Setelah berlakunya Keputusan

Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 yang disempurnakan tentang susunan

organisasi dan tata kerja Departemen Agama dan menurut Peraturan Menteri

Agama No. 1 Tahun 1976 yang berhak mengangkat dan memberhentikan

wakil PPN adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau

yang setingkat, setelah terlebih dahulu menerima usul dari Kepala Bidang

Urusan Agama Islam. Dengan demikian sekarang yang dimaksud dengan

Kepala Jawatan Agama Daerah yaitu pejabat yang berhak mengangkat dan

memberhentikan PPN dan Wakil PPN adalah Kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama Provinsi atau yang setingkat. Sejak berlakunya Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, Pembantu PPN hanya mengawasi nikah dan

menerima pemberitahuan rujuk saja, karena talak dan cerai harus dilakukan di
68
depan sidang Pengadilan Agama.

Terlepas dari pembahasan mengenai pejabat yang berwenang hanya

selama perkawinan belum diputuskan dan pejabat yang ditunjuk, dalam buku

yang berjudul “Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia”

menyebutkan bahwa dalam perkara pembatalan perkawinan dapat juga

68
Gazali A. Gani. Op.cit., hlm 4

61
61
mengikutsertakan POLRI sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini mengingat perkawinan yang

terjadi dalam masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan ketertiban,

ketentraman dan keteraturan masyarakat, dimana hal tersebut merupakan

69
tugas POLRI untuk memelihara atau menjaganya.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, bahwa suatu perkawinan

dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat dalam

melangsungkan perkawinan. Namun mengenai batalnya suatu perkawinan tersebut

tidak dapat batal dengan sendirinya melainkan harus diajukan permohonan

pembatalan perkawinan ke Pengadilan oleh para pihak yang berhak saja sesuai

dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Terkait dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

salah satu diantaranya adalah Jaksa sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23

Undang-Undang Perkawinan sebagai “pejabat yang berwenang hanya selama

perkawinan belum diputuskan”. Kemudian istilah “Jaksa” disebutkan dengan jelas

dalam Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan bahwa Jaksa dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan terhadap tiga hal yaitu perkawinan yang

dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali

nikah yang tidak sah, dan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi. Jika dilihat dari bunyi

Pasal 26 tersebut seperti adanya batasan mengenai alasan yang dapat digunakan oleh

Jaksa dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Namun dalam

kenyataannya Jaksa pernah mengajukan gugatan/permohonan di luar ketentuan Pasal

69
Riduan Syahrani dan Abdurrahman. Op.cit., hlm 18

62
62
26 Undang-Undang Perkawinan yaitu untuk membatalkan perkawinan pasangan

sejenis Rahmat Sulistyo alias Icha dan Muhammad Umar. Mengenai pembatalan

perkawinan ini Jaksa berperan mewakili Negara dengan kuasa dan perintah dari

Undang-Undang, yakni Undang-Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 Pasal 30

ayat (3) yang terkait dengan tugas dan wewenangnya dalam rangka memelihara

ketertiban umum guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran baik dari ketentuan

agama maupun ketentuan Undang-Undang dan dapat tercipta serta terwujudnya

kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat.

Terkait dengan masalah pembatalan perkawinan yang merupakan salah satu

perkara perdata, maka Jaksa berkedudukan sebagai Pemohon/Penggugat. Oleh

karena itu, Jaksa mempunyai kedudukan yang sama dengan pihak yang lainnya.

Apabila Jaksa mengetahui adanya suatu pelanggaran dalam syarat dan rukun

perkawinan baik secara langsung maupun tidak langsung (berupa keterangan dari

orang lain) maka Jaksa dapat bertindak dengan cara mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan ke Pengadilan dengan permohonan/petitum agar perkawinan

yang melanggar ketentuan Undang-Undang maupun agama tersebut dibatalkan

karena tidak ada manfaatnya. Yang melakukan permohonan pembatalan perkawinan

dalam perkara ini adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Sehubungan dengan istilah JPN tersebut, mengindikasikan bahwa Jaksa ialah

seorang “Pengacara yang mewakili Negara” sehingga Jaksa baru dapat mengajukan

gugatan/permohonan pembatalan perkawinan apabila adanya Surat Kuasa Khusus

(SKK). Namun, pada dasarnya Jaksa berbeda dengan seorang Advokat atau

Pengacara. Perbedaannya ialah Jaksa bertindak sebagai wakil dari Negara dan untuk

63
63
penegakan hukum di bidang perkawinan sehingga tidak memerlukan surat kuasa

khusus untuk mewakili Negara di persidangan, sedangkan Advokat atau Pengacara

bertindak untuk membela kepentingan dari kliennya sehingga ia memerlukan surat

kuasa khusus untuk beracara di Pengadilan.

Sehubungan dengan hal di atas, ternyata sejalan dengan pendapat mantan

Direktur Perdata pada Perkara dan TUN Kejaksaan Agung, Yoseph Suardi Sabda

mengatakan penggunaan surat kuasa oleh petugas atau pejabat yang mewakili

Negara di persidangan tidak diperlukan. Dikarenakan setiap Jaksa yang mewakili

Negara di persidangan tidak memerlukan surat kuasa. Pendapatnya dikuatkan dengan

buku pelaksanaan tugas dan administrasi Pengadilan yang menyebutkan bahwa Jaksa

tidak memerlukan surat kuasa, namun cukup dengan adanya Surat Tugas
70
Kedinasan.

B. Akibat Hukum Permohonan Pembatalan Perkawinan Yang Diajukan oleh


Jaksa

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Jaksa merupakan salah satu pihak yang

berwenang untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dan mengawasi

pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang, baik hal yang diatur dalam Pasal

26 ayat (1) maupun di luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974. Sehubungan dengan hal di atas, dikarenakan pembatalan perkawinan termasuk

salah satu perkara perdata, maka Jaksa berkedudukan sebagai pemohon/penggugat

seperti halnya dengan pihak yang berkepentingan lainnya. Oleh karena itu, mengenai

saat dimulainya pembatalan perkawinan beserta akibat hukum yang ditimbulkan


70
Anonim. Kuasa Jaksa Mewakili Negara. 2008.
http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol19205/kuasa-jaksa-mewakili-negara. Diakses pada tanggal
15/03/2016.

64
64
dengan adanya pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Jaksa sama halnya

dengan pihak yang lainnya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa batalnya suatu

perkawinan dimulai setelah adanya keputusan dari Pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perkawinan akan batal dimulai sejak

Keputusan Pengadilan dan berlaku surut sejak saat perkawinan tersebut

dilangsungkan, artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada/terjadi.

Selanjutnya Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan

bahwa keputusan batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta

bersama, bila pembatalan didasarkan atas adanya perkawinan lain lebih

dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum

keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.


71
Setiap perbuatan hukum pastilah akan menimbulkan akibat hukum. Begitu

pula dengan perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan syarat suatu

perkawinan tersebut sah secara hukum dalam arti perkawinan yang dilangsungkan

71
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 24.

65
65
tersebut telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan dari hukum yang berlaku di

Indonesia. Oleh karena itu, hanya dengan perkawinan yang sah saja maka akan

membawa akibat hukum yang baik di dalam hukum dan masyarakat.

Namun lain halnya dengan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita yang dilakukan dengan tidak mengindahkan syarat-syarat perkawinan yang

sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum yang berlaku di

Indonesia, maka perkawinan tersebut tidak sah dan sebagai akibatnya dapat

dibatalkan. Oleh karena itu, terhadap pihak-pihak termasuk Jaksa yang mengetahui

adanya hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu tidak sah secara hukum, maka

seharusnya segera mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan

Agama bagi Islam dan Pengadilan Negeri bagi non Islam untuk diadakannya

pembatalan, karena pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh hakim di

muka Pengadilan. Tanpa pembatalan demikian maka perkawinan tetap berlangsung

dengan segala konsekuensi hukumnya.

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata Indonesia, Abdulkadir

Muhammad menyebutkan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah atau

72
dari adanya pembatalan perkawinan ada 2 macam yaitu:

1. Perkawinan tidak sah relatif

Akibat hukum perkawinan tidak sah relatif adalah perkawinan tersebut

“dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Kata “dapat” dalam hal ini

72
Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 110

66
66
diartikan bisa dibatalkan atau tidak bisa dibatalkan bilamana menurut

ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

2. Perkawinan tidak sah absolut

Perkawinan tidak sah absolut mempunyai akibat hukum “batal demi

hukum” (nietig, vold). Kata “batal demi hukum” dalam hal ini diartikan sejak

semula dianggap tidak pernah ada perkawinan” bilamana menurut ketentuan

hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Sehubungan dengan hal di atas, ada 2 macam sifat larangan sesudah adanya

pembatalan perkawinan yaitu:

1. Larangan yang bersifat selama-lamanya/abadi/permanen

Artinya dengan adanya pembatalan perkawinan oleh Pengadilan,

perkawinan yang sebelumnya terjadi tetap tidak dapat diperbaharui lagi agar

menjadi sah karena apabila dilakukan akan menimbulkan kemudharatan.

Larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 10

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:

a. Karena adanya hubungan darah (perkawinan antara keluarga sedarah

dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas dan perkawinan

antara keluarga sedarah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

seorang saudara neneknya);

b. Karena adanya hubungan semenda (perkawinan antara seorang laki-

laki dengan mertuanya, anak tirinya, menantunya dan ibu/bapak

tirinya);

67
67
c. Karena adanya hubungan susuan (perkawinan antara orang tua susuan,

anak susuan dan bibi/paman susuan);

d. Karena adanya hubungan dalam perkawinan poligami (perkawinan

antara seorang suami dengan saudara istri, bibi atau kemenakan istri);

e. Karena larangan agama (perkawinan antara orang-orang yang oleh

agamanya dilarang);

f. Perkawinan antara bekas suami dan bekas istri yang telah cerai lalu

kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain

(Pasal 10).

Selain itu, pembatalan perkawinan yang dapat dikategorikan sebagai

larangan yang bersifat abadi/permanen adalah terhadap perkawinan pasangan

sejenis dan poliandri. Apabila larangan perkawinan yang bersifat

abadi/permanen ini terjadi/dilakukan maka akibat hukumnya perkawinan

yang dilangsungkan tersebut dinyatakan “batal demi hukum” yang artinya

sejak semula dianggap tidak pernah adanya perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, istilah yang digunakan adalah “batal” atau

“dapat dibatalkan” atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa “batal demi

hukum” atau “dapat dibatalkan”. Untuk itu di dalam Kompilasi Hukum Islam pada
73
Pasal 70 juga disebutkan bahwa perkawinan akan batal demi hukum apabila:

73
Abdul Manan dan M. Fauzan. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama. Cet. V. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 16.

68
68
a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu
dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i;
b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan seorang dengan
saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
ayah tiri
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan,
saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan
e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya.

2. Larangan yang bersifat sementara

Artinya jika sifat larangan itu telah hilang atau kekurangan syarat itu

dapat dipenuhi, maka perkawinan dapat diperbaharui lagi agar supaya

74
menjadi sah. Larangan ini bertalian dengan dengan Hukum Agama. Yang

termasuk dalam larangan yang bersifat sementara adalah sebagai berikut:

a. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat

perkawinan yang tidak berwenang;

b. Perkawinan yang dilangsungkan oleh wali nikah yang tidak sah/tidak

berhak;

74
Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi. Op.cit., hlm 64

69
69
c. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang

saksi;

d. Bagi wanita yang masih berada dalam masa iddah/waktu tunggu

(Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan);

e. Setiap orang yang masih terikat oleh perkawinan (Pasal 9 Undang-

Undang Perkawinan);

f. Perkawinan beda agama.

Selain itu, ada pula larangan bersifat sementara ini bertalian dengan segi
75
kemaslahatan yang terdapat dalam Pasal sebagai berikut:

a. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya persetujuan dari kedua

calon mempelai (Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan);

b. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan (bagi pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita sudah mencapai umur 16

tahun), namun dalam hal ini bisa saja disimpangi dengan meminta

izin/dispensasi kepada Pengadilan, maka ia dapat memperbaharui

perkawinannya.

Setelah perkara pembatalan perkawinan sudah melalui seluruh tahapan

pemeriksaan dan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap, dan hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan

oleh Jaksa, maka konsekuensi hukumnya perkawinan yang pernah dilangsungkan

tersebut dinyatakan batal dimulai sejak putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum

75
Ibid.

70
70
yang tetap dan berlaku ke belakang sejak saat berlangsungnya perkawinan, dengan

demikian perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada/terjadi sebelumnya.

Dengan adanya pembatalan perkawinan oleh Jaksa tersebut, tentunya akan

menimbulkan akibat hukum terhadap hal berikut yaitu:

1. Terhadap hubungan suami istri

Sebagai suatu hubungan hukum, maka perkawinan menimbulkan hak dan

76
kewajiban bagi suami istri. Yang dimaksud dengan “hak” ialah sesuatu yang

dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinannya.

Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan

77
oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak yang lain. Akibat

hukum pembatalan perkawinan terhadap hubungan suami istri adalah

putusnya hubungan suami istri karena adanya putusan Pengadilan yang

membatalkan perkawinan mereka tersebut, sehingga segala hak dan

kewajiban di antara mereka pun berakhir sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 30 s.d. 34 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan


rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;
2) Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
4) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga;
5) Suami istri menentukan tempat kediaman mereka;
6) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling
setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang
lain;

76
Riduan Syahrani. Op.cit., hlm 90
77
Ibid.

71
71
7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya;
78
8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai

boleh tidaknya menikah kembali setelah adanya putusan Pengadilan yang

membatalkan perkawinan tersebut, namun sudah tentu perkawinan itu harus

memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 dan Hukum Indonesia.

Kemudian mengenai akibat hukum terhadap bekas suami istri, dalam

pembatalan perkawinan tidak dimungkinkan untuk dilakukan rujuk namun

apabila mereka ingin kembali harus dengan akad nikah baru. Boleh tidaknya

menikah kembali didasarkan pada 3 hal, yaitu:

a. Dilihat dari segi penyebab batalnya perkawinan, apabila perkawinan


itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan berupa larangan
menikah untuk selama-lamanya maka mereka tidak dapat menikah
kembali meskipun berkehendak.
b. Pihak yang perkawinannya dinyatakan batal, dapat menikah kembali
(tentunya harus secara sah memenuhi syarat-syarat perkawinan baik
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun menurut Hukum
Islam). Apabila syarat-syarat perkawinan yang dilanggar berkenaan
dengan larangan menikah yang bersifat sementara waktu saja dan
keduanya berkehendak.
c. Meskipun mereka dapat menikah kembali karena hanya menyangkut
larangan menikah yang sifatnya sementara waktu namun apabila
keduanya atau salah satu dari keduanya tidak berkehendak maka tidak
dapat menikah kembali. Terhadap pihak-pihak yang menikah kembali
79
pembatalan perkawinan tidak membawa akibat apapun.

78
Harumiati Natadimaja. 2013. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum
Benda. Cet. II. Bandung: Graha Ilmu, hlm. 33.
79
Alfian Jauhari Hanif. Akibat Hukum Kedudukan Anak dan Harta Bersama Setelah Adanya
Pembatalan Perkawinan Oleh Pengadilan Agama Yogyakarta. 2009.
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t6241.pdf, hlm.88. Diakses pada tanggal 15/03/2016.

72
72
2. Terhadap kedudukan anak

Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri. Batalnya suatu

perkawinan juga membawa akibat hukum pada kedudukan anak. Untuk

mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak

dapat dilihat dari isi Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari bunyi Pasal tersebut dapat

disimpukan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan yang sah

adalah anak yang sah. Sebagai bukti atas kebenaran dari sahnya seorang anak

dengan adanya akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

mengeluarkan surat akta kelahiran. Jika dikaitkan dengan pembatalan

perkawinan, maka status anak tetap menjadi anak yang sah karena sebelum

adanya pembatalan perkawinan dari Pengadilan anak yang lahir dari

perkawinan tersebut adalah anak yang sah. Namun yang menjadi

permasalahan setelah adanya pembatalan perkawinan karena perkawinan

yang dilangsungkan dianggap tidak pernah ada sehingga hal ini

mempengaruhi kedudukan anak. Namun menurut M. Yahya Harahap dalam

bukunya yang berjudul hukum perkawinan nasional menyatakan bahwa:

“anak yang dilahirkan dari perkawinan yang difasidkan/dibatalkan tetap

mempunyai status hukum yang jelas dan resmi, maka anak tersebut

pantas disebut anak sah berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak

ke depannya. Yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua tidak

73
73
layak dipikulkan kepada anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
80
difasidkan/dibatalkan”.

Pendapat M. Yahya Harahap tersebut selasas dengan tujuan

dibuat/diadakannya hukum yaitu:

a. Untuk terwujudnya keadilan hukum;

b. Untuk terwujudnya kepastian hukum;

c. Untuk terwujudnya kemanfaatan hukum;


81
d. Untuk kemanusiaan.

Dengan demikian anak yang lahir sebelum dan sesudah adanya

pembatalan perkawinan tetap menjadi anak yang sah di mata hukum dan

mempunyai status sosial yang sama dengan anak-anak yang lain di dalam

pergaulan maupun kehidupan sosial di masyarakat serta mendapatkan hak-

haknya dimana kedua orang tua wajib untuk memelihara, mendidik,

memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya.

3. Terhadap harta benda dalam perkawinan

Kata harta mempunyai arti kekayaan berupa barang-barang, uang, dan

sebagainya. Harta benda artinya barang-barang kekayaan. Mengenai harta

benda dalam perkawinan adalah barang-barang kekayaan yang diperoleh dan


82
atau dikuasai suami istri dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, dalam

80
M. Yahya Harahap. 1984. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Medan: Dian Rakyat, hlm.
28.
81
I Nyoman Sujana. 2015. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Persfektif Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Cet. I. Surabaya: Aswaja, hlm. 16.
82
Hilman Hadikusuma. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Cet. II. Bandung: Alumni, hlm. 90.

74
74
Undang-Undang Perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana

yang dicantumkan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37.

Ditentukan bahwa tentang harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama. Jadi semua harta yang diperoleh suami

istri selama perkawinan baik berupa gaji suami atau istri, hasil berdagang

bersama-sama atau masing-masing atau hasil suami sendiri sedangkan istri

tidak bekerja hanya mengurus rumah tangga, maka semuanya itu menjadi

harta bersama yang merupakan milik bersama dan menjadi kekayaan bersama
83
serta dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kalau suami istri masing-

masing membawa harta ke dalam perkawinannya atau dalam perkawinannya

itu masing-masing memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta

tersebut tetap berada di bawah penguasaan masing-masing, kecuali kalau

ditentukan untuk dijadikan harta bersama (Pasal 35 Undang-Undang

Perkawinan).

Mengenai harta bersama, baik suami atau istri dapat mempergunakannya

dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan,

suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta

bendanya itu (Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan).

Selanjutnya apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang

Perkawinan).

83
Ibid.

75
75
Namun apabila dihubungkan dengan adanya pembatalan perkawinan,

maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf b yang menyatakan

bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak

dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan

perkawinan didasarkan pada adanya perkawinan lain yang lebih dulu. Dari

bunyi Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang

bertindak yang betindak dengan niat/itikad baik dalam artian di antara suami

istri tersebut tidak ada unsur kesengajaan sebelumnya untuk melangsungkan

perkawinan dengan melangggar hukum yang berlaku, sehingga walaupun

perkawinan mereka telah dibatalkan oleh Pengadilan karena tidak memenuhi

syarat-syarat perkawinan maka tetap akan ada pembagian harta bersama di

antara suami istri.

Dikarenakan keputusan Pengadilan tidak berlaku surut dalam artian

keputusan Pengadilan yang membatalkan perkawinan berlaku saat keputusan

Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, walaupun

perkawinan tersebut tidak sah, namun karena perkawinan dilakukan dengan

itikad baik, maka diberikan pengecualian dalam hal harta bersama yang

diperoleh selama perkawinan berlangsung, yakni setelah perkawinan

dibatalkan masing-masing mantan suami dan mantan istri tetap memperoleh

harta bersama. Dengan kata lain, harta bersama yang diperoleh selama dalam

perkawinan (harta gono-gini) akan menjadi hak bersama dengan dibagi 2

(dua) atau sama rata. Sedangkan untuk harta asal atau harta yang dibawa oleh

para pihak ke dalam perkawinan harus dikembalikan kepada pemilik semula,

76
76
sehingga dengan demikian harta bawaan masing-masing pihak kembali

kepada para pihak (suami istri) seperti kedudukan semula.

Namun apabila salah satu pihak ada yang tidak beritikad baik, maka pada

pihak yang tidak beritikad baik tersebut dapat dibebani dengan biaya, ganti

rugi, dan bunga. Apabila sebelumnya perkawinan dilangsungkan tanpa

adanya perjanjian perkawinan, maka pembagian harta yang diperoleh selama

perkawinan hanya berlaku apabila harta perkawinan tersebut menguntungkan

pihak yang beritikad baik. Maka apabila sebelum perkawinan harta yang

dimiliki oleh pihak yang beritikad baik lebih sedikit dibandingkan dengan

pihak yang tidak beritikad baik, maka dilakukan pembagian harta perkawinan

sehingga harta kekayaan pihak yang beritikad baik akan bertambah.

Sebaliknya apabila sebelum perkawinan dilangsungkan harta kekayaan pihak

yang beritikad baik lebih banyak dibandingkan pihak yang tidak beritikad
84
baik, maka tidak dilakukan pembagian harta perkawinan.

Selanjutnya terhadap perkawinan lain yang lebih dulu maksudnya hal ini

terdapat pada perkawinan poligami karena perkawinan terdahulu sudah ada,

maka perkawinan yang lebih kemudian tetap suami istri yang sah dari pihak

lainnya itu sejak perkawinan dilangsungkan sampai saat keputusan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Akan tetapi, mengenai harta bersama


85
dianggap tidak pernah ada dalam perkawinan yang lebih kemudian itu.

Dengan kata lain, tidak akan ada pembagian harta bersama terhadap

perkawinan yang dibatalkan karena adanya perkawinan poligami tersebut.


84
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Op.cit., hlm 38
85
Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 112

77
77
Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri

sendiri.

4. Terhadap pihak ketiga

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c yang

menyebutkan bahwa keputusan Pengadilan tidak berlaku surut terhadap

orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk suami atau istri dan anak

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum

keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari bunyi

Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa dengan adanya pembatalan

perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Oleh karena itu,

segala perbuatan perdata atau perikatan yang dibuat oleh suami istri sebelum

adanya pembatalan perkawinan akan tetap berlaku, dan ini harus

dilaksanakan oleh suami istri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad

baik tidak akan dirugikan. Misalnya sebelum adanya pembatalan perkawinan

suami atau istri mempunyai hutang kepada pihak ketiga, maka dengan adanya

pembatalan perkawinan tersebut tidak akan menghapuskan kewajiban untuk

membayar hutang kepada pihak ketiga.

Dengan demikian, jelaslah bahwa permohonan pembatalan perkawinan

yang diajukan oleh Jaksa mempunyai akibat hukum yang sama dengan pihak

yang berkepentingan lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat

(1) dan (2) yang menyebutkan bahwa:

78
78
1) Bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan

Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak

berlangsungnya perkawinan;

2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap menjadi

anak yang sah. Hal ini berdasarkan kemanusiaan dan untuk

kepentingan anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang

dibatalkan tersebut.

b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik maka terhadap

harta bersama akan dibagi 2 (dua) sama rata di antara keduanya,

sedangkan pembatalan perkawinan yang didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu atau terhadap perkawinan

poligami tidak akan ada pembagian harta bersama, dikarenakan

harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai

istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik

sebelum keputusan tentang pembatalan perkawinan mempunyai

kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, segala perbuatan perdata

atau perikatan yang dibuat oleh suami istri sebelum adanya

pembatalan perkawinan akan tetap berlaku, dan ini harus

dilaksanakan oleh suami istri tersebut, sehingga pihak ketiga yang

beritikad baik tidak akan dirugikan.

79
79
Namun apabila dilihat dari kedudukan Jaksa sebagai pejabat yang berwenang

dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana yang disebut

dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka menurut

penulis sebagai akibat yang timbul dari permohonan pembatalan perkawinan yang

diajukan oleh Jaksa tidak hanya pada hubungan suami istri, kedudukan/status anak,

harta bersama, dan pihak ketiga. Akan tetapi, sebagai pejabat yang umumnya

berwenang dalam bidang/ranah pidana, Jaksa wajib melaporkan pelaku kepada

penyidik POLRI untuk melakukan tindakan pro justitia/demi keadilan baik berupa

penyidikan dan melimpahkan perkaranya kepada Kejaksaan, untuk selanjutnya dapat

disidangkan di Pengadilan Pidana.

80
80
DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Afandi, Ali. 1984. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara.
Badri, R. 1985. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP.
Surabaya: CV. Amin.
Djamali, R. Abdoel. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Cet. XVII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Djubaidah, Neng. 2012. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Erwin, Rudy T. 1978. Petunjuk Praktis Untuk Penyelesaian Perkara-Perkara Anda.
Jilid I. Jakarta: Selekta Group.
Fakultas Hukum Unlam. 2015. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Banjarmasin:
Pustaka Banua.
Gani, Gazali. A. 1986. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Departemen
Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam.
Gunawan, Ilham. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas
Politik. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Cet. II. Bandung: Alumni.
Hartanto, J. Andy. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. II. Surabaya: Laksbang
Grafika.
Ismail. Pembatalan Sebagai Salah Satu Jalan Pemutus Hubungan Perkawinan Di
Pengadilan Agama. 2007. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas
Hukum Unlam
Jusuf, Muhamad. 2014. Hukum Kejaksaan Eksistensi Kejaksaan Sebagai Pengacara
Negara Dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Cet. I. Surabaya:
Laksbang Justitia.
Manan, Abdul dan M. Fauzan. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama. Cet. V. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

81
81
Maulida, Risa. Peranan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Perdata. 2002. Skripsi.
Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam
Muchtar, Kamal. 1974. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Cet. V. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Natadimaja, Harumiati. 2013. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan
Hukum Benda. Cet. II. Bandung: Graha Ilmu.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1988. Kedudukan Jaksa Dalam Hukum
Perdata. Cet. I. Jakarta: PT. Bina Aksara.
--------. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia. Cet. I. Jakarta: PT. Bina
Aksara.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Cet. IV. Surabaya: Pusat Penerbitan
dan Percetakan Unair (AUP).
Prodjohamidjojo, Martiman. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. III. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing.
Ramulyo, Mohd, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. I.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sabrina, Riska. Kedudukan Lembaga Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam
Perkara Perdata. 2010. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum
Unlam
Safitri, Nurmaya. Pembatalan Perkawinan Karena Kesamaan Jenis Kelamin
Pasangan. 2015. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum
Ulnlam
Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. IV. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga. Cet. II. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sostroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet.
I. Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Cet. IV. Jakarta: Rineka Cipta.

--------. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

82
82
Sujana, I. Nyoman. 2015. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Cet. I. Surabaya:
Aswaja.
Sulistiani, Siska, Lis. 2015. Kedudukan Hukum Anak. Cet. I. Bandung: Refika
Aditama.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek. Cet. X. Bandung: Mandar Maju.
Syahrani, Riduan. 2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Cet. I.
Bandung: Alumni.
Syahrani, Riduan dan Abdurrahman. 1977. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia. Cet. II. Banjarmasin: Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam.
Syahrizal, Darda. 2011. Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia. Cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Grhatama.
Thalib, Sajuti. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia.
Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku I Bab IV s/d X.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

83
83
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi


Hukum Islam.

Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai


Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan
Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam.

Internet

Alfian Jauhari Hanif: Akibat Hukum Kedudukan Anak dan Harta Bersama Setelah
Adanya Pembatalan Perkawinan Oleh Pengadilan Agama Yogyakarta. 2009.
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t6241.pdf, hlm.88. Diakses pada tanggal
15/03/2016.

Anonim. Kuasa Jaksa Mewakili Negara. 2008.


http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol19205/kuasa-jaksa-mewakili-
negara. Diakses pada tanggal 15/03/2016.

Anonim. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Islam Penyebab dan Akibat


Alasan Pihak yang Berhak Mengajukan Menurut UU. 2015.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-pembatalan-
perkawinan.html. Diakses pada tanggal 17/03/2016.
Elin Yunita Kristanti. Pernikahan Umar-Icha Akan Dibatalkan. 2011.
http://m.news.viva.co.id/news/read/224868-pernikahan-umar-icha-akan-
dibatalkan. Diakses pada tanggal 10/10/2015.
Firman Wahyudi. Mengaktifkan Peran Jaksa Dalam Perkara Pembatalan
Perkawinan (Telaah atas Pasal 26 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974)
http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/MENGAKTIFKAN PERAN
JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN.pdf. Diakses pada
tanggal 14/03/2016.

Hamluddin. Pernikahan Icha ‘Istri Palsu’ Dibatalkan. 2011.


http://m.koran.tempo.co/konten/2011/10/26/252732/Pernikahan-Icha-Istri-
Palsu-Dibatalkan. Diakses pada tanggal 11/09/2015.
Jery Susanto. Kewenangan Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan .2010. Skripsi.
Salatiga: Fakultas Syari’ah Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
http:perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/0f6ab917f28f9e81.pdf, hlm 42.
Diakses pada tanggal 15/03/2016.

84
84
Nanang Fahrudin. Kewenangan Jaksa Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Putusan
Mahkamah Agung RI No.196 K/AG/1994). 2013.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/8775. Diakses pada tanggal
15/01/2016.

85

Anda mungkin juga menyukai