Penerbit :
LPPM STIKES Cahaya Bangsa
Redaksi :
Distributor Tunggal :
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit
KATA PENGANTAR
Segala Puji hanya kepada Allah SWT, atas segala limpahan taufik dan hidayahNya kepada
penulis dan tanpaNya tak terukir sedikitpun keharibaan pembaca buku yang berjudul “Permohonan
Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa”.
Buku permohonan pembatalan perkawinan ini merupakan buku yang memaparkan tentang
tinjauan pengertian perkawinan yang di dalamnya memuat tentang putusnya perkawinan, tinjauan
tentang pembatalan perkawinan, dasar hukum dan faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan
perkawinan, pihak-pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan, prosedur/tata cara mengajukan
pembatalan perkawinan, akibat hukum pembatalan perkawinan, tinjauan tentang Jaksa yang di
dalamnya memuat tentang Jaksa dan Kejaksaan, tugas dan wewenang Kejaksaan, Jaksa dalam
perkara perdata, kedudukan dan kewenangan Jaksa dalam pembatalan perkawinan. Dalam bab
selanjutnya menjelaskan secara khusus tentang Jaksa mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan di luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang di dalamnya memuat tentang Pejabat yang berwenang dan Pejabat yang ditunjuk,
serta akibat hukum permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Jaksa.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu dalam penulisan buku ini, yaitu kedua orang tua penulis, yang telah melahirkan,
mengasuh, membesarkan, mendidik penulis, sehingga penulis bisa seperti saat ini. Kepada penerbit
penulis secara khusus mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas dengan pahala
yang berlipat ganda. Aamiin. Sesuai pepatah “tak ada gading yang tak retak” maka demi
kesempurnaan buku ini, penulis menghargai setiap masukan.
Kuala Kapuas,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Pengertian Perkawinan......................................................................................15
B. Tujuan Perkawinan............................................................................................19
D. Pencegahan Perkawinan.....................................................................................23
E. Batalnya Perkawinan..........................................................................................25
F. Perjanjian Perkawinan.......................................................................................27
UU Perkawinan..................................................................................................
54
b. Jaksa.........................................................................................................
65
5
2. Pejabat yang Ditunjuk.................................................................................
87
BAB I
PENDAHULUAN
Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap
yang sah. Selain terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, perkawinan diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut
memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai,
bahagia, dan kekal. Namun kebahagiaan yang sesungguhnya akan bisa dicapai
apabila pasangan suami istri melakukan perkawinan sesuai dengan aturan yang
Nasional No. 1 Tahun 1974 yang biasa disingkat UUP No.1 Tahun 1974 yang
7
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan
yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi semua warga negara
hukum yang mengatur tentang perkawinan, agar perkawinan yang dilakukan tersebut
sah. Sebaliknya apabila suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tidak memenuhi
syarat sahnya perkawinan dan rukun perkawinan serta tidak dipenuhinya aturan-
tersebut tidak sah dan dapatlah dilakukan pembatalan perkawinan oleh pihak yang
berwenang. Hal ini berarti suatu perkawinan dilarang untuk dilaksanakan bila tidak
melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi
yang beragama non Islam yang diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk
1
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
menyebutkan bahwa, perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama dan hukum
1
Nanang Fahrudin. Kewenangan Jaksa Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Putusan Mahkamah Agung
2
suami atau istri. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 diatur dalam pasal 22 s.d. 28 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang
Undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 yaitu
sebagai berikut:
berhak saja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 yaitu:
1.
Par
a
kel
uar
ga
dala
m
gari
s
ket
uru
nan
luru
s ke
atas
dari
sua
mi
atau
istri
;
2. Suami atau istri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang;
5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
3. Jaksa
perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, salah satunya adalah Jaksa.
Pada umumnya Jaksa lebih dikenal dan berperan dalam ruang lingkup hukum pidana
1
Penuntutan, juga berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan
2
kepentingan umum serta penegakan hak asasi manusia. Namun apabila dicermati
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang di dalamnya mengatur masalah
didukung oleh Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak
2
Muhamad Jusuf. 2014. Hukum Kejaksaan Eksistensi Kejaksaan sebagai Pengacara Negara
dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Cet. I. Surabaya: Laksbang Justitia, hlm. 12.
2
diputuskan”. Dalam penjelasan Pasal 23 disebutkan cukup jelas, walaupun
nyatanya belum jelas dan menurut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, pejabat yang ditunjuk tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
ada.
dijadikan dasar hukum hak dan kekuasaan Jaksa untuk dapat mengajukan
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh
dua (2) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, Jaksa dan suami atau istri”.
Selain itu apabila dicermati, Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah berupa Instruksi Presiden Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini lahir sebagai peraturan yang
khususnya bagi yang beragama Islam. Di dalam KHI ketentuan yang terkait dengan
pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 yang pada
prinsipnya materi rumusan batalnya perkawinan yang diatur dalam KHI hampir sama
dengan rumusan yang ada dalam UUP, hanya saja rumusan KHI lebih memperjelas
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam KHI pada Pasal 73,
akan tetapi di dalam Pasal tersebut juga tidak menyebutkan Jaksa sebagai
pelaksanaan itu? Apakah yang dimaksud itu Jaksa, Kepala KUA/PPN (Pegawai
Islam), KABID URAIS dan BINSYAR (Kepala Bidang Urusan Agama Islam
dan Bimbingan Syariah) atau yang lainnya sehingga masih perlu penjelasan.
muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Dari bunyi Pasal 26
ayat (1) tersebut terlihat adanya pembatasan alasan yang dapat digunakan oleh Jaksa
Namun ternyata dalam prakteknya ada contoh kasus perkawinan yang pernah
pasangan sejenis yang dilakukan oleh Rahmat Sulistyo alias Icha dan Muhammad
Umar yang dilakukan oleh Abdul Gofur, penghulu dari Kantor Urusan Agama
Pernikahan tersebut tercatat dalam akta nomor 966/155/IX/2010 atas nama Fransiska
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang termuat dalam Pasal 1 bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini berarti Icha telah melakukan
pemalsuan identitas dimana pada kenyataannya ia seorang pria bukan wanita. Dalam
kasus ini Jaksa berperan atau bertindak sebagai penggugat yang merupakan wakil
3
dari negara.
yang harus dijawab melalui penelitian adalah bisa atau tidak Jaksa mengajukan
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan akibat hukum permohonan
Buku ini menggunakan sistematika Penulisan BAB per BAB yang masing-
masing BAB menjelaskan beberapa hal seperti yang diuraikan sebagai berikut:
1. BAB I adalah bab Pendahuluan yang merupakan overview pemikiran dan faktual
bab yang berisi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sah dan rukun
perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, dan
Merupakan bab yang berisi pengertian jaksa dan kejaksaan, tugas dan wewenang
kejaksaan, jaksa dalam perkara perdata, serta kedudukan dan kewenangan jaksa
pejabat yang berwenang (pegawai pencatat perkawinan, jaksa) dan pejabat yang
1. Pengertian Perkawinan
No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Perkawinan (bagi muslim), dan KUH Perdata Buku I Bab IV s/d X (bagi non
muslim).
diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa
1
orang dan diberi izin oleh wali perempuan.
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
1
Siska Lis Sulistiani. 2015. Kedudukan Hukum Anak. Cet. I. Bandung: Refika Aditama, hlm.
9.
1
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Perkawinan
sebagai ikatan keperdataan saja, akan tetapi juga merupakan ikatan batiniah yang
didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa atau didasarkan pada nilai-
nilai agama dan kepercayaaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dengan kata
lain, ikatan perkawinan tidak hanya bersifat fisik semata, akan tetapi juga didasari
2
ikatan batiniah yang didasarkan pada perasaan cinta kasih.
ikatan perdata saja, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
Adanya suatu perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang
antaranya adalah:
a. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
2
J. Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk Wetboek
dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. II. Surabaya: Laksbang Grafika, hlm. 57.
2
dengan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,
3
kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
4
membentuk keluarga bahagia.
5
keduanya bukan muhrim.
pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui
7
oleh negara.
3
mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami
8
istri dan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban.
itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan
9
tetapi ikatan kedua-duanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal
10
tersebut mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat.
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dalam tahap
suami istri yang bersangkutan. Dengan kata lain, terjalinnya suatu ikatan
lahir dan batin yang baik antara suami dan istri merupakan fondasi/dasar
utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
8
Ali Afandi. 1984. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara, hlm 93.
9
K. Wantjik Saleh. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. IV. Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 14-15.
10
Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Cet. V. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, hlm. 84.
4
2. Tujuan Perkawinan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahagia dapat diartikan adanya
kerukunan dalam rumah tangga yang akan menciptakan rasa tentram, damai,
dilangsungkan bukan hanya untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu
yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan
11
tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu tidak diperkenankan perkawinan yang
berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya suatu perkawinan tidak terjadi
begitu saja sesuai dengan kehendak para pihak, namun merupakan karunia dari
Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, yaitu:
11
Ibid, hlm. 85.
12
Mohd. Idris Ramulyo. Op.cit., hlm 27
5
Dalam melaksanakan suatu perkawinan calon mempelai harus memenuhi
syarat dan rukun perkawinan. Apabila syarat dan rukun perkawinan dipenuhi
maka perkawinan yang dilangsungkan itu sah, sebaliknya apabila salah satu saja
Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi
bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Akibat tidak
hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan atau peristiwa hukum tersebut
13
“dapat dibatalkan”.
Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting karena suatu
Adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang
menurut hukum agama dan undang-undang yang disebut juga syarat objektif.
13
Neng Djubaidah. 2012. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 92.
6
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan
14
disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 sebagai berikut:
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
6. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.
Sedangkan rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum
maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau
15
peristiwa hukum ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung.
14
Riduan Syahrani. Op.cit., hlm 64
15
Neng Djubaidah. Op.cit., hlm 90
7
Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau peristiwa
hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan hukum itu tidak
terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak
16
sah dan statusnya “batal demi hukum”.
Islam tentang rukun dan syarat perkawinan, yakni dalam Pasal 14 tentang rukun
No. 1 Tahun 1974 yaitu bagi calon suami minimal 19 tahun dan bagi calon
istri minimal 16 tahun. Oleh karena itu, bagi calon mempelai yang belum
berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (bagi
orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya), wali (bagi kedua orang tua yang telah meninggal
16
Ibid.
8
b. Wali nikah
dapat menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari wali
nasab dan wali hakim. (Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam). Wali nasab adalah
mempelai wanita yang terdiri dari empat kelompok, dimana kelompok satu
didahulukan dari kelompok lainnya. Namun apabila kelompok satu tidak ada,
begitu seterusnya.
Urutan seseorang yang dapat menjadi wali nikah adalah ayah kandung
dari mempelai wanita, kakek dari pihak ayah, saudara kandung mempelai
Sedangkan untuk wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
9
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan (Pasal 23
c. Saksi nikah
orang saksi yaitu satu dari calon mempelai laki-laki dan satu dari calon
darah atau keturunan asalkan dua orang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,
tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli (Pasal 25 Kompilasi
Hukum Islam).
Ijab adalah ucapan dari orang tua atau wali mempelai wanita untuk
kawin….)
4. Pencegahan Perkawinan
Tahun 1974 yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, pengampu dari salah
tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga
10
10
dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Namun dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 1
atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang
mencegah.
5. Batalnya Perkawinan
perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap
B. Putusnya Perkawinan
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, hubungan
lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal karena bisa saja pada suatu waktu dapat
terjadi putusnya hubungan, baik tidak disengaja maupun sengaja dilakukan karena
17
sesuatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan dalam suatu perkawinan.
dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Adapun
1. Kematian
salah satu pihak baik suami maupun istri. Sejak saat meninggalnya salah satu
bagi seseorang yang telah ditinggal mati oleh suami atau istrinya, sebagai
18
bukti otentik apabila ingin melangsungkan perkawinan lagi nantinya.
P
erkawinan yang putus karena kematian sering disebut dalam masyarakat
19
dengan istilah “cerai mati”.
12
12
2. Perceraian
17
R. Abdoel Djamali. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Cet. XVII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hlm. 159.
18
Nurmaya Safitri. Op.cit., hlm 36
19
Abdulkadir Muhammad. Op.cit, hlm117
20
Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
kedua belah pihak. Untuk melangsungkan perceraian ini harus ada alasan-
alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian ini yang disebutkan dalam
13
13
perceraian suami atau istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
20
Riduan Syahrani. Op. cit., hlm 99
21
Ibid, hlm. 102.
berikut:
a. Pengajuan gugatan
b. Pemanggilan
c. Persidangan
d. Perdamaian
e. Putusan
14
14
BAB III
PERSFEKTIF HUKUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN
paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut.
Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada
nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedang ; absolute nietig adalah
22
pembatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan. Akan
22
Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. III. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, hlm. 23.
15
15
maka istilahnya bukan nietig (batal), melainkan vernietigbaar (dapat
23
dibatalkan).
difasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya
aturan-aturan tertentu yaitu jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
24
melangsungkan perkawinan.
Ini berarti bahwa suatu perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-
pembatalan perkawinan.
diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum dan
23
Rachmadi Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.
Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 284.
24
Ibid.
16
16
Perkawinan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsungnya perkawinan itu
25
nikah) ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Perkawinan
yang menurut Pasal 22, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-Undang
sebagai berikut:
a. Perkawinan yang dilakukan para pihak (calon mempelai pria dan wanita)
25
Gazali A. Gani. 1986. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Pembinaan Sarana
Keagamaan Islam, hlm. 27.
17
17
1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat
18
18
Selain itu menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang
hukum sebagai yang berhak atau tidak berhak untuk bertindak sebagai
peranan yang sangat penting dan menentukan, karena dengan berhak atau tidak
19
19
gugatan/permohonan diajukan oleh pihak yang berhak untuk mengajukan maka
26
pemeriksaan akan memasuki pokok perkara.
diajukan oleh pihak yang berhak saja, yaitu yang disebut dalam Undang-Undang
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
Misalnya bapak atau ibu dari suami atau istri, kakak atau nenek dari
a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau istri;
b) Suami atau istri;
c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undang-undang;
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tersebut Pasal 67.
26
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek. Cet. X. Bandung: Mandar Maju, hlm. 18-19.
20
20
4. Prosedur/Tata Cara Mengajukan Pembatalan Perkawinan
(Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang
9 Tahun 1975, maka gugatan akan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
27
hukumnya, meliputi :
4. Apabila tempat tinggal tergugat tidak jelas, maka gugatan akan diajukan
diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 serta Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3)
27
R.Badri.1985. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP.Surabaya:
CV. Amin, hlm.46.
21
21
28
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Ada beberapa tata cara yang harus
29
dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu:
28
Ibid.
29
Anonim. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Islam Penyebab dan Akibat Alasan
Pihak yang Berhak Mengajukan Menurut UU. 2015.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-pembatalan-perkawinan.html. Diakses pada
tanggal 17/03/2016.
20
20
m. Penggugat dan Tergugat menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari
Pengadilan;
n. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Penggugat segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
Pasal 37: “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”.
a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
30
Ismail. “Pembatalan Perkawinan Sebagai Salah Satu Jalan Pemutus Hubungan Perkawinan
di Pengadilan Agama”. 2007. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 26.
t.d.
21
21
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya”.
22
22
BAB IV
KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN
Kata Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Adhyaksa”. Yang dapat
bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia
31
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia. Cet.
I. Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm. 16.
32
Ilham Gunawan. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas
Politik. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 42.
23
23
Dalam sisi yang lain, menurut pandangan pemikiran cendekiawan kejaksaan
yaitu Doktor Saherodji menjelaskan bahwa “kata jaksa berasal dari bahasa
33
pengawas soal-soal kemasyarakatan”.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67), pada pokoknya
Jaksa dalam pengertian umum adalah Penuntut dalam suatu perkara. Jaksa
dalam hal ini mewakili pemerintah, dan merupakan pejabat fungsional yang diberi
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
undang”. Jaksa dalam hal ini bertindak terhadap tersangka pelanggar Hukum
34
Pidana sehingga menjadi lawan dari Pengacara yang membela tersangka.
Peran Jaksa bukan hanya terkait dalam bidang pidana sebagai satu
subsistemnya. Pada bidang perdata dan tata usaha Negara, Jaksa tetap berperan
sebagai Wakil Pemerintah, namun kali ini bukan sebagai Penuntut Umum, namun
sebagai pembela bagi Negara. Peran-peran ini diatur dalam Undang-Undang No. 8
33
Ibid, hlm. 41.
34
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 33
24
24
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Adhyaksa, Peraturan Jaksa Agung tentang Kode Etik Kejaksaan, dan peraturan
35
perundang-undangan lain yang relevan.
Tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut: Kejaksaan adalah satu dan tidak
penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir,
telah mengatur tentang tugas dan wewenang Jaksa yang termuat dalam Pasal 30,
35
Ibid, hlm. 34.
25
25
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas
Republik Indonesia, walaupun tidak diatur secara jelas karena hanya berdasarkan
khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara. Namun,
26
26
eksistensi kejaksaan di bidang Perdata tetap diakui dan dipertahankan, terbukti
dengan dimuatnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1991
dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, dan diperkuat dengan
Perpres No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI serta
36
diberi tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia saat ini dalam kejaksaan
dikenal dengan nama JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara. Tugas dan wewenang JAMDATUN secara garis besar dibagi menjadi 5
37
kelompok, yaitu:
36
Jery Susanto. Kewenangan Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan .2010. Skripsi. Salatiga:
Fakultas Syari’ah Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN). http:perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/0f6ab917f28f9e81.pdf, hlm 42. Diakses pada
tanggal 15/03/2016.
37
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 55
27
27
b. Bantuan Hukum adalah pemberian jasa hukum kepada instansi
untuk bertindak sebagai kuasa pihak dalam perkara perdata atau TUN,
masalah Perdata dan TUN. Pelayanan hukum ini luas artinya dan
28
28
perkawinan yang tidak berwenang, wali yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh
adalah pihak dari suami atau istri, keluarga suami atau istri dalam garis keturunan
38
perkara perdata, maka Jaksa berkedudukan sebagai pemohon/penggugat. Pada
dasarnya profesi Jaksa dibentuk untuk membela kepentingan negara jika terjadi
pelanggaran hukum dari ranah perdata, pidana, dan tata usaha negara. Wewenang
yang berarti berfungsi sebagai kontrol atas berlakunya suatu peraturan guna
38
Rudy T. Erwin. 1978. Petunjuk Praktis Untuk Penyelesaian Perkara-Perkara Anda. Jilid I.
Jakarta: Selekta Group, hlm. 11.
39
Firman Wahyudi. Mengaktifkan Peran Jaksa Dalam Perkara Pembatalan Perkawinan
(Telaah atas Pasal 26 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974)
http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/MENGAKTIFKAN PERAN JAKSA DALAM
PEMBATALAN PERKAWINAN.pdf. Diakses pada tanggal 14/03/2016.
29
29
BAB V
PERKAWINA
ini telah dinyatakan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 1
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pengertian “dapat” diartikan bisa
batal atau tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain. Oleh karena itu, syarat yang dimaksudkan bukan terbatas
pada syarat menurut hukum agama, tetapi juga syarat yang diatur oleh Undang-
undang. Namun tidak terpenuhinya syarat yang diatur oleh Undang-undang bukan
Ini berarti bahwa perkawinan dilarang untuk dilakukan apabila para pihak
tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat perkawinan serta tidak sesuai dengan
Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bagi yang beragama muslim,
30
30
serta Pasal 85 sampai dengan Pasal 99a Buku Kesatu tentang Orang Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata bagi yang beragama non muslim. Dari pasal-pasal tersebut,
perkawinan;
tahun);
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dalam hubungan
6. Bagi suami istri yang telah untuk ketiga kalinya, maka dilarang bagi
mereka kawin kembali dengan bekas suaminya yang pernah bercerai tiga
kali tersebut;
7. Berada dalam waktu tunggu (masa iddah) bagi calon mempelai wanita
yang janda;
berhak;
30
30
11. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum;
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang
beragama non Islam. Oleh karena itu, dalam memutus permohonan pembatalan
tempat tinggal, demi menghindari wali syubhat, yaitu persetubuhan yang diragukan
40
sahnya.
batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Ketentuan ini
31
31
bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami istri
41
pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu (Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan).
dilangsungkan atau di tempat tinggal suami atau istri (Pasal 25 Undang-Undang No.
hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak (Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 9
42
Tahun 1975).
permohonan dari para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Hak
untuk minta pembatalan dari suatu perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa
orang tertentu saja. Orang ini dapat mempergunakan haknya untuk minta pembatalan
dari suatu perkawinan, tapi kalau tidak ada yang mengajukan maka perkawinan dapat
berlangsung terus secara sah. Dengan kata lain, suatu perkawinan tidak dapat batal
dengan sendirinya namun harus diajukan oleh pihak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 23, 24, 26, dan 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
41
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Cet. IV. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 108.
42
Riduan Syahrani dan Abdurrahman. 1977. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia. Cet. II. Banjarmasin: Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 17.
32
32
perkawinan disebutkan bahwa yang berhak mengajukan permohonan pembatalan
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
undangan);
itu putus;
g. Jaksa.
Pejabat seperti yang ada dalam Pasal 23 di atas, adalah pejabat yang
memenuhi syarat perkawinan. Namun, bunyi Pasal 23 tersebut masih ada yang
memerlukan penjelasan lebih lanjut yaitu antara pejabat yang berwenang dan pejabat
Dilihat dari substansi isi Pasal 23 disebutkan cukup jelas antara pejabat yang
berwenang dan pejabat yang ditunjuk dan menurut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pejabat yang ditunjuk tersebut akan diatur
dimaksud belum ada. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan serta memperjelas
33
33
maksud dari “pejabat yang berwenang” dan “pejabat yang ditunjuk” sebagaimana
suatu perintah dari atasan ataupun instansi pemerintah. Oleh karena itu,
34
34
Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah Pegawai
Pencatat Perkawinan dan Jaksa. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai
dengan Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang
dapat dilihat dari Pegawai Pencacat Nikah yang mempunyai kedudukan yang
35
35
(1) Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya
disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya.
Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam,
selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
pegawai pencatat nikah.
(2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang
diangkat Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya.
(3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan
itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh
Kepala Jawatan Agama Daerah.
36
36
beragama Islam. Kemudian pada tahun 2004 dikeluarkan Keputusan Menteri
Agama RI No. 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah. Pada tahun 2007
Pencatatan Nikah, yang pada Bab 2 Pasal 2, 3, dan 4 diatur mengenai Tugas
Pasal 2 menyatakan:
a. Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah
pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai
gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
b. PPN dijabat oleh Kepala KUA.
c. Kepala KUA sebagaimana ayat (2), menandatangani akta nikah,
akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta
rujuk.
Pasal 3 menyatakan:
(1)PPN sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan
tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.
(2)Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengangkatan,
pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan
surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota
atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi
Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam.
(3)Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas
Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan
kepada kepala desa/lurah di wilayah kerjanya.
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam
37
37
undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak
sebagai dimaksud Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
(2)Permohonan pembatalan suatu pernikahan diajukan ke Pengadilan
Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan dilakukan sesuai
dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
(3)Tata cara pengajuan permohonan pembatalan pernikahan dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
segala surat-surat yang berhubungan dengan itu. Pekerjaaan ini dilakukan tiap
tiga bulan sekali. Dalam pemeriksaan ini Kepala PNN dibantu oleh pegawai
pekerjaan itu. Hasil pemeriksaan dibuat dalam Berita Acara dan disampaikan
kepada Kepala Bidang Urusan Agama Islam Provinsi melalui Kepala Kantor
45
Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya.
b. Jaksa
yang mewakili Negara dan masyarakat, namun di lain sisi ternyata Jaksa juga
dapat berperan dalam bidang perdata khususnya yang terkait dengan pihak
dilihat dari isi Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
45
K. Wantjik Saleh. Op.cit., hlm 108
38
38
menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. Kemudian Pasal 26 ayat (2)
menentukan bahwa hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan
alasan dalam ayat (1) tersebut gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat
membatalkan perkawinan oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari
suami atau istri dan hak dari jaksa tetap ada/tidak dapat gugur. Hak tersebut
gugur hanya bagi suami istri saja, sedangkan hak membatalkan bagi pihak
lain tetap tidak gugur. Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak
46
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. 1988. Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata. Cet. I.
Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm. 36.
39
39
1. Mewakili Pemerintah
2. Mewakili Undang-Undang
dimana salah satu pihak yang terlibat adalah Negara, maka Kejaksaan dapat
maupun Tata Usaha Negara. Eksistensinya di bidang perdata dan tata usaha
negara tetap diakui, hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-
“Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah”.
40
40
Namun apabila dilihat dari bunyi Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 di atas, mensyaratkan adanya kuasa khusus bagi Jaksa
agar dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
Tahun 2004 inilah yang menjadi sumber rujukan munculya istilah Jaksa
47
Pengacara Negara (JPN).
Umum di bidang pidana yang biasa dikenal dengan Jaksa Penuntut Umum
(JPU), tetapi juga berperan dalam menangani perkara Perdata dan Tata Usaha
Negara yang bertindak selaku kuasa hukum atau wakil pemerintah sebagai
badan hukum dengan surat kuasa khusus melaksanakan tugasnya dengan baik
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama pemerintah dan
48
Negara yang dikenal dengan istilah Jaksa Pengacara Negara (JPN).
bertindak untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang perkara Perdata dan Tata Usaha
47
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 125
48
Ibid, hlm. 15.
41
41
Negara. Istilah Jaksa Pengacara Negara (JPN) belum diatur secara ekspisit di
49
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Namun
sebagai Kuasa dari Instansi Pemerintah atau BUMN, Jaksa Pengacara Negara
Khusus (SKK) dan tidak semua Jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara
Negara karena penyebutan tersebut hanya kepada Jaksa yang secara struktural
50
(Datun). Sehingga bagi Negara atau Pemerintah baik BUMN atau instansi
Negara dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, karena dalam Pasal 30
ayat (2) terdapat kata “dapat” sehingga sifatnya bukan suatu kewajiban untuk
51
menunjuk Jaksa mewakilinya di hadapan Pengadilan.
digariskan Pasal 123 ayat (2) HIR. Apalagi jika dengan surat penunjukan atau
49
Ibid, hlm. 51.
50
Ibid, hlm. 55.
51
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Op.cit., hlm 40
42
42
pelimpahan, dianggap cukup menjadi landasan bagi Kejaksaan bertindak
52
sebagai kuasa dalam mewakili Negara.
sengketa dalam kasus Perdata dan Tata Usaha Negara yang dihadapinya.
berdasarkan Undang-Undang.
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Indonesia
52
Riska Sabrina. “Kedudukan Lembaga Kejaksaan sebagai Pengacara Negara dalam Perkara
Perdata”. 2010. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam, hlm. 41. t.d.
53
Muhamad Jusuf. Op.cit., hlm 55
43
43
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
jawab.
Tujuan dari pembentukan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
tujuan hukum perdata dan tata usaha negara adalah mewujudkan keadilan
dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara ini adalah
bertanggung jawab dalam penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha
negara sebagai wakil yang berbuat untuk dan atas nama Negara, Pemerintah
54
serta kepentingan umum.
44
44
(rechtspersoon). Namun yang membedakan Jaksa daripada advokat atau
pengacara yang mewakili lawannya adalah Jaksa dalam bertindak atas nama
melangsungkan perkawinan.
55
b. Meminta kepada Pengadilan untuk dibatalkannya perkawinan.
55
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Op.cit., hlm 30
56
Ibid, hlm. 57.
45
45
7. Pelaporan Notaris yang melanggar hukum dan keluhuran martabat
notaris (Pasal 50 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004)
8. Permohonan pembubaran PT (Undang-Undang No. 40 Tahun
2007)
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini selaras
dengan apa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi.
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut adalah Jaksa. Hal ini
seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun
46
46
Undang No. 1 Tahun 1974 yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang
undangan yang telah disebutkan sebelumnya tanpa harus adanya Surat Kuasa
Khusus.
terdapat adanya suatu pelanggaran bisa saja mengetahui secara langsung atau
57
Risa Maulida. Op.cit., hlm 47
47
47
Sedangkan secara tidak langsung, artinya Jaksa dapat mengetahui hal tersebut
dari keterangan orang lain, bisa dari pihak keluarga suami atau istri ataupun
SKK (Surat Kuasa Khusus), karena apa yang dilakukan oleh Jaksa ialah
terlanggar dan berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa dalam penegakan
Surat Kuasa Khusus dari siapapun. Selain itu, jaksa dapat mengajukan
pihak keluarga.
harus mengikuti hukum secara perdata yang berlaku, serta diharapkan benar-
alat bukti yang ada dan sah serta melakukan koordinasi dan konsultasi dengan
48
48
instansi terkait (Pengadilan) agar berhasil dalam permohonan pembatalan
58
perkawinan yang diajukannya.
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Dari bunyi Pasal 26 ayat (1) tersebut terlihat
luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Icha dan Muhammad Umar yang dilakukan oleh Abdul Gofur, penghulu dari
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi pada tanggal
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yaitu yang termuat dalam Pasal 1 Undang-
58
Firman Wahyudi. Op.cit., hlm 14-15
49
49
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal tersebut sudah sangat jelas
dan “seorang wanita”. Selain itu, dalam hal ini Icha telah melakukan
dan pemalsuan terhadap surat nikah yang mengatasnamakan orang lain dan
juga adanya dugaan kelalaian oleh pejabat yang bersangkutan atas formulir
N1 (numpang nikah) dan formulir N5 (izin orang tua). Pada saat mengurus
pernikahan, icha tidak punya formulir N1 numpang nikah karena dia terdaftar
sebagai warga Cibubur Jakarta Timur, selain formulir N1 Icha yang usianya
masih di bawah 21 tahun juga tidak punya formulir N5 sebagai bukti adanya
izin nikah dari orang tuanya. Oleh karena itu, akta nikah Umar dan Icha yang
Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi dianggap tidak berlaku dan dicabut serta
dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yaitu dalam
59
Hamluddin. Pernikahan Icha ‘Istri Palsu’ Dibatalkan. 2011.
http://m.koran.tempo.co/konten/2011/10/26/252732/Pernikahan-Icha-Istri-Palsu-Dibatalkan. Diakses
pada tanggal 11/09/2015.
50
50
rangka memelihara ketertiban dan ketentraman umum guna menghindari
60
kesusilaan yaitu sebagai berikut:
61
mertua, ipar, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri);
kecuali apabila bekas istri yang telah ditalak tiga kali tersebut
60
Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 83
61
Sajuti Thalib. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, hlm. 55.
51
51
masa iddah istri tersebut telah habis, maka dia boleh melakukan
62
dan mentalaknya tiga kali tersebut. Ketentuan ini dimaksudkan
63
suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang dapat dijadikan landasan bagi seseorang yang beragama Islam
menurut Undang-Undang;
62
Kamal Muchtar. 1974. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, hlm.107.
63
K. Wantjik Saleh. Op.cit., hlm 27
52
52
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal
67.
lebih baik Jaksa dan Pegawai Pencatat Perkawinan saling berkoordinasi dan
bekerja sama.
kewenangan Jaksa sebagai salah satu pihak yang dapat menuntut untuk
53
53
(dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan
bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah atau
54
54
atau cucu perempuan saudara, seperti antara bibi dan anak laki-laki
waktu satu tahun dan dilarang kawin kedua kalinya terhadap orang
yang sama).
55
55
Namun terdapat batasan (restrictie) terhadap tuntutan pembatalan
suatu perkawinan yang diatur oleh dua pasal, yaitu pasal 93 dan 94 KUH
64
perkawinan tersebut telah bubar. Jaksa dan PPN berwenang
65
perkawinan yang berjalan dinilai tidak pernah terjadi masalah.
64
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga
(Personen En Familie-Recht). Cet. IV. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), hlm.
37.
65
Jery Susanto. Op.cit., hlm 48
56
56
perkawinan paksa dapat juga dibatalkan. Menurut Elise T. Sulistini dan Rudy
T. Erwin, sahnya suatu perkawinan yang terjadi tanpa kehendak yang bebas
dari kedua suami atau istri atau dari salah seorang, hanya dapat dibantah oleh
dapat membantah suatu perkawinan adalah bapak, ibu, dan keluarga sedarah
67
perempuan, paman, bibi, pengawas (pengampu) dan akhirnya Jaksa.
Selain itu, alasan dan tujuan dimasukkannya Jaksa sebagai pihak yang
tentang ketentuan pidana yang dapat dikenakan oleh Jaksa kepada para pihak
57
57
hukum perkawinan, karena selama ini Jaksa dikenal sebagai pejabat yang
perkawinan.
menyebutkan bahwa:
dalam KUH Perdata (Pasal 86, 88, 89, 90, 92), dan yang ada dalam Kompilasi
Hukum Islam pada Pasal 73 tersebut tidak terlepas dari telah terjadinya suatu
58
58
pelanggaran tersebut kepada Hakim dan Hakimlah nantinya yang akan
Islam namun tidak sah jika dipandang dalam hukum negara karena
menganggap hal ini biasa saja asalkan didasari perasaan suka sama
59
59
karena bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang No.
pernah ada, kiranya hal ini perlu mendapat perhatian yang lebih
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai salah satu pihak yang dapat
dalam Pasal 23 tersebut menyebutkan pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2)
ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12
60
60
disimpulkan bahwa yang dimaksud adalah Pembantu Pegawai Pencatat
P3NTR adalah orang yang ditunjuk oleh Kepala Jawatan Agama Daerah
organisasi dan tata kerja Departemen Agama dan menurut Peraturan Menteri
wakil PPN adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau
yang setingkat, setelah terlebih dahulu menerima usul dari Kepala Bidang
Kepala Jawatan Agama Daerah yaitu pejabat yang berhak mengangkat dan
Undang No. 1 Tahun 1974, Pembantu PPN hanya mengawasi nikah dan
menerima pemberitahuan rujuk saja, karena talak dan cerai harus dilakukan di
68
depan sidang Pengadilan Agama.
selama perkawinan belum diputuskan dan pejabat yang ditunjuk, dalam buku
68
Gazali A. Gani. Op.cit., hlm 4
61
61
mengikutsertakan POLRI sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan
69
tugas POLRI untuk memelihara atau menjaganya.
pembatalan perkawinan ke Pengadilan oleh para pihak yang berhak saja sesuai
salah satu diantaranya adalah Jaksa sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23
nikah yang tidak sah, dan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi. Jika dilihat dari bunyi
Pasal 26 tersebut seperti adanya batasan mengenai alasan yang dapat digunakan oleh
69
Riduan Syahrani dan Abdurrahman. Op.cit., hlm 18
62
62
26 Undang-Undang Perkawinan yaitu untuk membatalkan perkawinan pasangan
sejenis Rahmat Sulistyo alias Icha dan Muhammad Umar. Mengenai pembatalan
perkawinan ini Jaksa berperan mewakili Negara dengan kuasa dan perintah dari
ayat (3) yang terkait dengan tugas dan wewenangnya dalam rangka memelihara
ketertiban umum guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran baik dari ketentuan
karena itu, Jaksa mempunyai kedudukan yang sama dengan pihak yang lainnya.
Apabila Jaksa mengetahui adanya suatu pelanggaran dalam syarat dan rukun
perkawinan baik secara langsung maupun tidak langsung (berupa keterangan dari
orang lain) maka Jaksa dapat bertindak dengan cara mengajukan permohonan
seorang “Pengacara yang mewakili Negara” sehingga Jaksa baru dapat mengajukan
(SKK). Namun, pada dasarnya Jaksa berbeda dengan seorang Advokat atau
Pengacara. Perbedaannya ialah Jaksa bertindak sebagai wakil dari Negara dan untuk
63
63
penegakan hukum di bidang perkawinan sehingga tidak memerlukan surat kuasa
Direktur Perdata pada Perkara dan TUN Kejaksaan Agung, Yoseph Suardi Sabda
mengatakan penggunaan surat kuasa oleh petugas atau pejabat yang mewakili
buku pelaksanaan tugas dan administrasi Pengadilan yang menyebutkan bahwa Jaksa
tidak memerlukan surat kuasa, namun cukup dengan adanya Surat Tugas
70
Kedinasan.
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang, baik hal yang diatur dalam Pasal
26 ayat (1) maupun di luar ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
seperti halnya dengan pihak yang berkepentingan lainnya. Oleh karena itu, mengenai
64
64
dengan adanya pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Jaksa sama halnya
dengan pihak yang lainnya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1)
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
b. Suami istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
dahulu;
pula dengan perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan syarat suatu
perkawinan tersebut sah secara hukum dalam arti perkawinan yang dilangsungkan
71
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 24.
65
65
tersebut telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan dari hukum yang berlaku di
Indonesia. Oleh karena itu, hanya dengan perkawinan yang sah saja maka akan
Namun lain halnya dengan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum yang berlaku di
Indonesia, maka perkawinan tersebut tidak sah dan sebagai akibatnya dapat
dibatalkan. Oleh karena itu, terhadap pihak-pihak termasuk Jaksa yang mengetahui
adanya hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu tidak sah secara hukum, maka
Agama bagi Islam dan Pengadilan Negeri bagi non Islam untuk diadakannya
Muhammad menyebutkan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah atau
72
dari adanya pembatalan perkawinan ada 2 macam yaitu:
72
Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 110
66
66
diartikan bisa dibatalkan atau tidak bisa dibatalkan bilamana menurut
hukum” (nietig, vold). Kata “batal demi hukum” dalam hal ini diartikan sejak
Sehubungan dengan hal di atas, ada 2 macam sifat larangan sesudah adanya
perkawinan yang sebelumnya terjadi tetap tidak dapat diperbaharui lagi agar
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
tirinya);
67
67
c. Karena adanya hubungan susuan (perkawinan antara orang tua susuan,
antara seorang suami dengan saudara istri, bibi atau kemenakan istri);
agamanya dilarang);
f. Perkawinan antara bekas suami dan bekas istri yang telah cerai lalu
kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
(Pasal 10).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, istilah yang digunakan adalah “batal” atau
“dapat dibatalkan” atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa “batal demi
hukum” atau “dapat dibatalkan”. Untuk itu di dalam Kompilasi Hukum Islam pada
73
Pasal 70 juga disebutkan bahwa perkawinan akan batal demi hukum apabila:
73
Abdul Manan dan M. Fauzan. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama. Cet. V. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 16.
68
68
a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu
dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i;
b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan seorang dengan
saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
ayah tiri
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan,
saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan
e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya.
Artinya jika sifat larangan itu telah hilang atau kekurangan syarat itu
74
menjadi sah. Larangan ini bertalian dengan dengan Hukum Agama. Yang
berhak;
74
Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi. Op.cit., hlm 64
69
69
c. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi;
Undang Perkawinan);
Selain itu, ada pula larangan bersifat sementara ini bertalian dengan segi
75
kemaslahatan yang terdapat dalam Pasal sebagai berikut:
tahun), namun dalam hal ini bisa saja disimpangi dengan meminta
perkawinannya.
pemeriksaan dan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang
tersebut dinyatakan batal dimulai sejak putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum
75
Ibid.
70
70
yang tetap dan berlaku ke belakang sejak saat berlangsungnya perkawinan, dengan
76
kewajiban bagi suami istri. Yang dimaksud dengan “hak” ialah sesuatu yang
dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinannya.
77
oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak yang lain. Akibat
76
Riduan Syahrani. Op.cit., hlm 90
77
Ibid.
71
71
7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya;
78
8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
apabila mereka ingin kembali harus dengan akad nikah baru. Boleh tidaknya
78
Harumiati Natadimaja. 2013. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum
Benda. Cet. II. Bandung: Graha Ilmu, hlm. 33.
79
Alfian Jauhari Hanif. Akibat Hukum Kedudukan Anak dan Harta Bersama Setelah Adanya
Pembatalan Perkawinan Oleh Pengadilan Agama Yogyakarta. 2009.
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t6241.pdf, hlm.88. Diakses pada tanggal 15/03/2016.
72
72
2. Terhadap kedudukan anak
dapat dilihat dari isi Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari bunyi Pasal tersebut dapat
disimpukan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan yang sah
adalah anak yang sah. Sebagai bukti atas kebenaran dari sahnya seorang anak
dengan adanya akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
perkawinan, maka status anak tetap menjadi anak yang sah karena sebelum
mempunyai status hukum yang jelas dan resmi, maka anak tersebut
ke depannya. Yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua tidak
73
73
layak dipikulkan kepada anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
80
difasidkan/dibatalkan”.
pembatalan perkawinan tetap menjadi anak yang sah di mata hukum dan
mempunyai status sosial yang sama dengan anak-anak yang lain di dalam
80
M. Yahya Harahap. 1984. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Medan: Dian Rakyat, hlm.
28.
81
I Nyoman Sujana. 2015. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Persfektif Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Cet. I. Surabaya: Aswaja, hlm. 16.
82
Hilman Hadikusuma. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Cet. II. Bandung: Alumni, hlm. 90.
74
74
Undang-Undang Perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana
perkawinan menjadi harta bersama. Jadi semua harta yang diperoleh suami
istri selama perkawinan baik berupa gaji suami atau istri, hasil berdagang
tidak bekerja hanya mengurus rumah tangga, maka semuanya itu menjadi
harta bersama yang merupakan milik bersama dan menjadi kekayaan bersama
83
serta dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kalau suami istri masing-
itu masing-masing memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta
Perkawinan).
Perkawinan).
83
Ibid.
75
75
Namun apabila dihubungkan dengan adanya pembatalan perkawinan,
maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf b yang menyatakan
bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak
perkawinan didasarkan pada adanya perkawinan lain yang lebih dulu. Dari
bunyi Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang
bertindak yang betindak dengan niat/itikad baik dalam artian di antara suami
itikad baik, maka diberikan pengecualian dalam hal harta bersama yang
harta bersama. Dengan kata lain, harta bersama yang diperoleh selama dalam
(dua) atau sama rata. Sedangkan untuk harta asal atau harta yang dibawa oleh
76
76
sehingga dengan demikian harta bawaan masing-masing pihak kembali
Namun apabila salah satu pihak ada yang tidak beritikad baik, maka pada
pihak yang tidak beritikad baik tersebut dapat dibebani dengan biaya, ganti
pihak yang beritikad baik. Maka apabila sebelum perkawinan harta yang
dimiliki oleh pihak yang beritikad baik lebih sedikit dibandingkan dengan
pihak yang tidak beritikad baik, maka dilakukan pembagian harta perkawinan
yang beritikad baik lebih banyak dibandingkan pihak yang tidak beritikad
84
baik, maka tidak dilakukan pembagian harta perkawinan.
Selanjutnya terhadap perkawinan lain yang lebih dulu maksudnya hal ini
maka perkawinan yang lebih kemudian tetap suami istri yang sah dari pihak
Dengan kata lain, tidak akan ada pembagian harta bersama terhadap
77
77
Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
sendiri.
orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk suami atau istri dan anak
perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Oleh karena itu,
segala perbuatan perdata atau perikatan yang dibuat oleh suami istri sebelum
dilaksanakan oleh suami istri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad
suami atau istri mempunyai hutang kepada pihak ketiga, maka dengan adanya
yang diajukan oleh Jaksa mempunyai akibat hukum yang sama dengan pihak
78
78
1) Bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
berlangsungnya perkawinan;
dibatalkan tersebut.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik maka terhadap
79
79
Namun apabila dilihat dari kedudukan Jaksa sebagai pejabat yang berwenang
dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka menurut
penulis sebagai akibat yang timbul dari permohonan pembatalan perkawinan yang
diajukan oleh Jaksa tidak hanya pada hubungan suami istri, kedudukan/status anak,
harta bersama, dan pihak ketiga. Akan tetapi, sebagai pejabat yang umumnya
penyidik POLRI untuk melakukan tindakan pro justitia/demi keadilan baik berupa
80
80
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Afandi, Ali. 1984. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara.
Badri, R. 1985. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP.
Surabaya: CV. Amin.
Djamali, R. Abdoel. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Cet. XVII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Djubaidah, Neng. 2012. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Erwin, Rudy T. 1978. Petunjuk Praktis Untuk Penyelesaian Perkara-Perkara Anda.
Jilid I. Jakarta: Selekta Group.
Fakultas Hukum Unlam. 2015. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Banjarmasin:
Pustaka Banua.
Gani, Gazali. A. 1986. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Departemen
Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam.
Gunawan, Ilham. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas
Politik. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Cet. II. Bandung: Alumni.
Hartanto, J. Andy. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. II. Surabaya: Laksbang
Grafika.
Ismail. Pembatalan Sebagai Salah Satu Jalan Pemutus Hubungan Perkawinan Di
Pengadilan Agama. 2007. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas
Hukum Unlam
Jusuf, Muhamad. 2014. Hukum Kejaksaan Eksistensi Kejaksaan Sebagai Pengacara
Negara Dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Cet. I. Surabaya:
Laksbang Justitia.
Manan, Abdul dan M. Fauzan. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama. Cet. V. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
81
81
Maulida, Risa. Peranan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Perdata. 2002. Skripsi.
Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam
Muchtar, Kamal. 1974. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Cet. V. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Natadimaja, Harumiati. 2013. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan
Hukum Benda. Cet. II. Bandung: Graha Ilmu.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1988. Kedudukan Jaksa Dalam Hukum
Perdata. Cet. I. Jakarta: PT. Bina Aksara.
--------. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia. Cet. I. Jakarta: PT. Bina
Aksara.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Cet. IV. Surabaya: Pusat Penerbitan
dan Percetakan Unair (AUP).
Prodjohamidjojo, Martiman. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. III. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing.
Ramulyo, Mohd, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. I.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sabrina, Riska. Kedudukan Lembaga Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam
Perkara Perdata. 2010. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum
Unlam
Safitri, Nurmaya. Pembatalan Perkawinan Karena Kesamaan Jenis Kelamin
Pasangan. 2015. Skripsi. Banjarmasin : Perpustakaan Fakultas Hukum
Ulnlam
Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. IV. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga. Cet. II. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sostroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet.
I. Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Cet. IV. Jakarta: Rineka Cipta.
82
82
Sujana, I. Nyoman. 2015. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Cet. I. Surabaya:
Aswaja.
Sulistiani, Siska, Lis. 2015. Kedudukan Hukum Anak. Cet. I. Bandung: Refika
Aditama.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek. Cet. X. Bandung: Mandar Maju.
Syahrani, Riduan. 2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Cet. I.
Bandung: Alumni.
Syahrani, Riduan dan Abdurrahman. 1977. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia. Cet. II. Banjarmasin: Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam.
Syahrizal, Darda. 2011. Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia. Cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Grhatama.
Thalib, Sajuti. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia.
Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
83
83
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Internet
Alfian Jauhari Hanif: Akibat Hukum Kedudukan Anak dan Harta Bersama Setelah
Adanya Pembatalan Perkawinan Oleh Pengadilan Agama Yogyakarta. 2009.
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t6241.pdf, hlm.88. Diakses pada tanggal
15/03/2016.
84
84
Nanang Fahrudin. Kewenangan Jaksa Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Putusan
Mahkamah Agung RI No.196 K/AG/1994). 2013.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/8775. Diakses pada tanggal
15/01/2016.
85