Anda di halaman 1dari 64

PERAN PENGHULU DALAM MENGURANGI ANGKA

PERCERAIAN DI KUA KECAMATAN BANTARUJEG


KABUPATEN MAJALENGKA
KARYA ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
.....................................................
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... I

KATA PENGANTAR................................................................................................... Vii

DAFTAR ISI.................................................................................................................. Ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................. 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................. 8
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
F. Kerangka Teori.......................................................................................... 11
G. Review Studi Terdahulu ............................................................................ 14
H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHULU DAN PERCERAIAN


A. Pengertian Penghulu .................................................................................. 17
B. Tugas Pokok Penghulu .............................................................................. 20
C. Jabatan Penghulu dan Kegiatannya ........................................................... 21
D. Kompetensi Penghulu................................................................................ 26
E. Pengertian dan Syarat Perceraian............................................................... 28
F. Sebab dan Akibat Perceraian ..................................................................... 33

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KUA KECAMATAN


BANTARUJEG KABUPATEN MAJALENGKA
A. indentitas Kantor.............................................................................. ....... 39
B. Kedudukan.......................................................... ....................................... 39
C. Tugas dan Wewenang................................................................................ 43
D. Struktur Organisasi .................................................................................... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS


A. Perceraian di KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka......... 48
B. Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian .............................. 40
C. Pemenuhan Tugas Penghulu...................................................................... 53

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 54
B. Saran .......................................................................................................... 55

ix
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................56

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan zoon politicon yakni makhluk yang tidak pernah bisa

hidup sendiri. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial mendorongnya untuk terus

berinteraksi dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu manusia

membutuhkan teman untuk saling berbagi, mengasihi, dan menyayangi. Allah

pun menciptakan manusia saling berpasang-pasangan, yakni pria dan wanita.

Dan diantaranya Allah memberikan karunia yang begitu besar berupa rasa cinta

yang dapat diwujudkan dalam lembaga perkawinan.

Lembaga perkawinan merupakan suatu lembaga yang mempunyai

kedudukan tinggi dan terhormat dalam hukum Islam dan hukum Nasional

Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan-peraturan khusus yang

berkaitan dengan perkawinan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.1

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU

No.1 Tahun 1974).

1
Abdul Rahman Ghazali. Fiqh Munakahat. (Jakarta:Kencana.2008) h. 131.

1
2

Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No 1. Tahun 1974

yang telah dipaparkan diatas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan

definisi lain yakni bahwa perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqon gholiidhan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah.2

Pada dasarmya semua orang yang telah terikat dalam perkawinan

menginginkan bahtera rumah tangganya berjalan dengan sempurna hingga maut

yang memisahkan. Perkawinan merupakan sebuah perikatan antara suami istri

yang didalamnya dimungkinkan terdapat adanya perjanjian diluar substansi

utama perkawinan. Perjanjian ini adalah muncul dari kehendak para pihak yang

terikat dalam perkawinan sebagai sebuah ikatan persyaratan tambahan untuk

kepentingan suami atau istri.3

Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan anak

anaknya, serta timbul hubungan kekeluargan sedarah dan semenda. Oleh karena

itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan

kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta

bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan,

dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian umum, bahwa orang

yang sedang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempumyai kedudukan yang

2
Budi Durachman, Kompikasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 7.
3
Mohammad Asmawi, Nikah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h.21.
3

lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.4 Maka seyogyanya segenap bangsa

Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar

mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan

peraturan yang berlaku.5

Maksud perkawinan ialah abadi, bukanlah untuk sementara waktu

kemudian diputuskan. Karena dengan demikian dapat mendirikan rumah tangga

yang damai dan teratur, serta memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat.

Dengan perkawianan yang sah, anak-anak akan mengenal Ibu, Bapak, dan Nenek

moyangnya, mereka merasa tenang dan damai dalam masyarakat, sebab

keturunan mereka jelas, dan masyarakat pun menemukan kedamaian, karena

tidak ada dari anggota mereka mencurigakan nasabnya.6

Tetapi kadang-kadang kedua suami istri gagal dalam usahanya mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur, lantaran keduanya berlainan tabi‟at dan

kemauan, berlain tujuan hidup dan cita-cita sehingga hampir selalu terjadi

pertengkaran dan perselisihan antara keduanya. Sebab itu tidak ada obat yang

terakhir selain dari pada perceraian, supaya keduanya jangan hidup dalam satu

rumah yang penuh api pertengkaran, permusuhan dan penderitaan.7

4
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986),
h.48.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.6
5

Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta : CV.Cendikia Sentra Muslim,


6

2002), h.11.
7
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1996),
h.110.
4

Pada satu sisi, perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Namun di sisi

lain, perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal. 8

Meskipun demikian, terkadang muncul keadaan-keadaan yang menyebabkan

cita-cita suci perkawinan gagal terwujud. Namun demikian, perceraian dapat

diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi

realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.9

Suami istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil

keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin dan memang

dianjurkan untuk disusun kembali. Walaupun dalam ajaran Agama Islam ada

jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal

yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Setiap ada sahabat

datang kepadanya yang ingin bercerai dengan istrinya, Rasulullah selalu

menunnjukkan rasa tidak senangnya seraya berkata bahwa hal yang halal tapi

dibenci oleh Allah adalah perceraian.10

Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak, Islam tidak langsung

menganjurkan suami istri untuk mengakhiri perkawinan, tetapi dilakukan terlebih

dahulu musyawarah. Di dalamnya, bisa saja suami istri membahas tentang

bagaimana nusyuz yang telah dilakukan oleh keda belah pihak atau perkara yang

8
Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1995) h.316.
9
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2013) h. 228.
10
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta :
Prenada Media,2004), h.96-97.
5

menjadi syikak muncul, sehingga sebab-sebab terjadinya kesalahpahaman bisa

diatasi.11

Perceraian juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 39 disebutkan :

1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan

yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan Perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu

tidak akan dapat rukun sebagai suami istri,

3. Tata cara Perceraian di depan sidang Pengadilan di atur dalam peraturan


perundangan tersebut.

Saat ini, perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Wakil Menteri Agama menyatakan jumlah kasus di Indonesia pada tahun 2020

telah mencapai angka 354.000 kasus perceraian dalam satu tahun. Di Kabupaten

Majalengka sendiri, terjadi sekitar 500 kasus perceraian sepanjang tahun 2020.

Ini merupakan angka yang termasuk tinggi bila dibandingkan dengan angka

perceraian di daerah lainnya. Namun, di Bantarujeg sendiri, kecamatan

Bantarujeg mampu menekan angka perceraian di wilayahnya apabila

dibandingkan dengan kecamatan – kecamatan lainnya.12

Dalam upaya mengurangi perceraian, maka dalam hal ini penghulu atau

Pejabat KUA yang mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh Negara,

11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2013) h. 230.
12
Database Kementerian Agama 2014.
6

harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu terhadap mereka yang akan

melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan dasar mereka melakukan

pernikahan. Apabila hal ini telah dilaksanakan, maka besar harapan kemungkinan

terjadinya perceraian dapat dihindari. Upaya yang dilakukan oleh penghulu

haruslah memberikan dampak positif dan dapat memberikan kesadaran kepada

masyarakat bahwa perceraian membawa resiko yang sangat besar. Selain itu,

penghulu pun memiliki peran yang penting dalam menghalangi terjadinya

perceraian sebelum perceraian tersebut diajukan ke pengadilan agama.

Dilihat dari latar belakang yang ada, penulis akan mencoba mengungkap

masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat membantu mengatasi permasalahan

perceraian, khususnya di kecamatan tersebut. Tidak bisa dipungkiri dengan

terjadinya perceraian tersebut dapat menimbulkan banyak dampak terhadap

lingkungan yang ada disekitar.

B. Identifikasi Masalah

Untuk mengetahui permasalahan yang ada dalam latar belakang yang telah

dijelaskan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Lembaga apa saja yang bertanggung jawab dalam meminimalisasi angka

perceraian?

2. Adakah hubungan antara perceraian dengan ekonomi sebuah keluarga?

3. Apa yang menjadi faktor utama terjadinya perceraian di Kecamatan Bantarujeg

Kabupaten Majalengka?

4. Bagaimana upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian?


7

5. Bagaimana pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan oleh

Penghulu dalam mengurangi perceraian?

6. Sejauh mana peran pemerintah dalam mengurangi angka perceraian?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas, diketahui bahwa masalah perceraian di Indonesia telah

sangat luar biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian tentulah sangat

beragam namaun dalam tulisan ini penulis memfokuskan kepada faktor atas

perceraian yang terjadi di Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.

Selain itu, bahwasanya tugas dan fungsi Penghulu tidak hanya semata -

mata mencatatkan pernikahan. Di dalam pasal 4 Peraturan Menteri Nomor

PER/62/M.PAN/6/2005 tentang jabatan fungsional penghulu, penghulu juga

berperan sebagai pembina keluarga sakinah. Pembinaan keluarga sakinah

yang baik akan Dari peraturan tersebut, maka penulis juga membatasi

permasalahan pembahasan pada penelitian skripsi ini kepada peran penghulu

dalam mengurangi angka perceraian, khususnya pada masyarakat Karang

Tengah.

2. Perumusan Masalah

Dalam peraturan Menteri Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 pasal 4

disebutkan bahwa jabatan fungsional penghulu adalah sebagai Pembina


8

keluarga sakinah, tetapi pada kenyataannya tugas itu kurang dilaksanakan

sehingga berpengaruh pada tingginya angka perceraian. Sebaliknya, diantara

sekian KUA diseluruh Indonesia, KUA Kecamatan Banjaran Kabupaten

Majalengka adalah salah satu KUA yang mampu menekan angka perceraian

dengan cara mengoptimalkan peranan penghulunya. Hal ini tentu patut

dijadikan rujukan bagi KUA dan penghulu lainnya guna melakukan perbaikan

dalam kinerjanya selaku pejabat negara. Maka dara itu penulis merumuskan

poin-poin penting penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut:

1. Apa yang menjadi faktor utama terjadinya perceraian di Kecamatan

Bantarujeg Kabupaten Majalengka?

2. Bagaimana upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian?

3. Bagaimana pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan oleh

Penghulu dalam mengurangi perceraian?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor perceraian utama yang menjadi tantangan bagi

penghulu dalam melaksanakan pembinaan.

2. Untuk mengetahui upaya penghulu dan pelaksanaan pembinaan keluarga

sakinah dalam mengurangi perceraian yang dilakukan di Kecamatan

Bantarujeg Kabupaten Majalengka.

3. Untuk mengetahui upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian.


9

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk meminimalisir Perceraian di Kecamatan Bantarujeg Kabupaten

Majalengka.

2. Untuk membuat sebuah karya ilmiah, yang merupakan salah satu

persyaratan mendapat

3. Untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu agama terutama yang

berkaitan dengan masalah yang sedang di bahas ini, karena dengan

membahas masalah ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk

membaca dan memahami buku-buku yang terkait dengan masalah

perkawinan dan Perceraian, sekaligus melalui observasi terhadap keadaan

di lapangan.

E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Dalam obyek penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul

dari karya ilmiah penulis di atas, yaitu studi kasus di KUA Kecamatan

Bantarujeg Kabupaten Majalengka.


10

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode

kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis

menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan penulis yaitu :

a. Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu

organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada skripsi ini penulis

mewawancari penghulu yang bertugas di KUA Kecamatan Bantarujeg

Kabupaten Majalengka.

b. Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan,

dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadis, buku-

buku ilmiah, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI),

serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena

tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber datanya, maka

pengumpulan data mengunakan :

a. Riset perpustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan bantuan

bermacam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan


11

b. Riset Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan sesuai dengan keadaan yang

terjadi di KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh kemudian di analisis. Analisis data adalah

proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah

dipahami, dan temuannya dapat di informasikannya kepada orang lain.

F. Kerangka Teori

Akad dalam pernikahan adalah fase penting dalam kehidupan masyarakat

dan penting sekali artinya dalam menentukan kebahagiaan rumah tangga.

Keadaan menuntut adanya persiapan mental yang matang dalam membina rumah

tangga.

Perihal akad ini maka jelas akan disinggung pula perihal administrasi. Jika

dibuka kembali kitab-kitab fikih klasik, maka tidak akan ditemukan adanya

kewajiban pasangan suami istri untuk mencatatkan perkawinannya pada pejabat

negara. Dalam tradisi umat Islam terdahulu, perkawinan sudah dianggap sah bila

telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara

muamalah, yang dengan tegas Alquran memerintahkan untuk mencatatkannya.13

Dengan demikian, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan baru diterapkan

13
Qs.Al-Baqarah [2]: 282
12

dalam masyarakat Islam pada masa modern dimana telah dilakukan pembaruan

hukum perkawinan.

Dalam khazanah klasik hanya dikenal adanya nikah sirri. Nikah sirri yang

dimaksudkan disini tentu berbeda dengan pengertian nikih sirri pada masa

sekarang. Nikah sirri dalam konteks kitab-kitab klasik dapat dilihat dari dua

pengertian. Pertama, adalah pernikahan yang tidak diumumkan pada khalayak

ramai, dengan cara memukul duff, atau pernikahan yang tidak menghadirkan

saksi atau karena kurangnya saksi. Dalam hal yang pertama, Imam al-Syafi‟i

menjelaskan tentang pentingnya kedudukan dua orang saksi dalam pernikahan. Ia

menjelaskan bahwa pernikahan yang tidak cukup saksinya tergolong ke dalam

pernikahan sirri. Pendapat ini diambilnya dari „Umar bin Khattab, yaitu ketika

„Umar mendatangi suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh satu orang saksi

laki-laki dan satu orang perempuan, dia menyatakan bahwa pernikahan ini

tergolong sirri., maka aku bisa merajam kamu bila dilanjutkan.14

Kedua, nikah yang tergolong nikah sirri adalah pernikahan yang tidak

diumumkan dengan daffi atau membakar sesuatu (sampai terlihat asap) sebagai

tanda adanya pernikahan. Nikah sirri dalam bentuk ini pernah dinyatakan oleh

Rasulullah Saw dan Umar bin Khathab, sebagaimana yang dijelaskan Sahnun ,

yaitu ketika Rasulullah Saw melewati suatu kaum, terdengar suara nyanyian lalu

Rasulullah pun bertanya ”Suara apa itu?” Kemudian Sahabat menjawab,

14
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, al-Umm,(ttp:tp., tt), Kitab al-Nikah, Juz V,
h.151.
13

“Pernikahan Seseorang”. Rasulullah Saw pun berkata, “Sempurnalah

agamanya. Tidaklah tergolong nikah sirri setelah ditabuh duff atau kelihatan

asap”.15

Pasangan Suami-isteri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat

mengambil keputusan bercerai, meskipun dalam ajaran Islam ada jalan

penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang

meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. 16


Hal pertama suatu

pernikahan dianggap sirri karena tidak adanya saksi, sedangkan dalam hal yang

kedua pernikahan dianggap sirri ketika tidak ada pengumuman atas akad yang

telah dilakukan.

Dari penjabaran diatas dapat dimengerti bahwa Islam mengutamakan akan

kejelasan status pernikahan. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka kini di

Indonesia, dan sebagian negara berpendudukan Muslim di dunia, mewajibkan

bagi calon pasangan suami istri yang akan melakukan pernikahan untuk

mendaftrar di lembaga tertentu ( KUA di Indonesia), dan pernikahannya tersebut

akan disaksikan dan dicatatkan oleh seorang penghulu.

Menurut PMA No. 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil

sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak

secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan

15
Imam Anas ibn Malik, al-Mudawanah al-Kubra,(Beirut: Dar al-Shadir, tth), Juz IV, h. 194.
16
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 97.
14

perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk

menurut Agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

Tugas Pokok Penghulu berdasarkan pasal 4 Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 Tentang

jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya, salah satu tugas pokok

penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan Kepenghuluan.

Yaitu pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan

nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran

ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan

muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan

kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.17

G. Review Studi Terdahulu

Dalam melakukan penelitian, penulis juga mencatut beberapa sumber

review studi terdahulu, yaitu :

1. Karya Ilmiah yang berjudul “Efektvitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA

Kecamatan Bekasi Utara” yang ditulis oleh Isti Astuti Savitri pada tahun

2011 di fakultas syariah dan hukum. Dalam skripsi ini, Isti Astuti meneliti

pengaruh pencatatan perkawinan dengan angka perceraian yang terjadi di

kecamatan Bekasi Utara dengan cara membandingkan angka pasangan yang

17
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 1.
15

melakukan pencatatan perkawinan dengan angka perceraian yang terjadi

dalam satu tahun terakhir. Sementara penulis dalam Karya Ilmiah ini melihat

peran penghulu dalam mengurangi angka pereraian dengan menelisik

pemenuhan tugas-tugas penghul sesuai dengan perma yang berlaku;

2. Karya Ilmiah yang berjudul ”Peran dan Kontibusi BP4 dalam Membentuk

Keluarga Sakinah di KUA Tanah Abang” yang ditulis oleh Syarifudin pada

tahun 2011. Dalam skripsi ini, Syarifudin membahas keterkaitan antara BP4

dan juga keluarga sakinah dengan melihat peran dan kontribusi daripada

BP4 itu sendiri di KUA Tanah Abang, khususnya perihal kursus calon

pengantin. Sementara itu, dalam tulisan ini penulis tidak memabahas peran

BP4 sebagai suatu badan, melainkan peran individu penghulu terhadap

angka perceraian yang terjadi di KUA Karang Tengah. Selain itu penelitian

ini tidak saja melihat pemenuhan tugas pembinaan perkawinan yang

dilakukan sebelum perkawinan, melainkan juga pasca perkawinan.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Karya Ilmiah ini penulis akan memberikan gambaran

mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran

tersebut dapat dilihat melalui sistematika Karya Ilmiah berikut ini:

Bab Pertama, berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum

dan menyeluruh tentang Karya Ilmiah ini dengan menguraikan tentang Latar

Belakang
16

Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metode Penelitian, Kerangka Teori, Review Studi Terdahulu dan Sistematika

Penulisan.

Bab Kedua, berisi Pengertian penghulu, Tugas pokok penghulu, Jabatan

peghulu dan kegiatannya, Kompetensi penghulu, serta Pengetian dan Faktor –

faktor perceraian.

Bab Ketiga, berisi kondisi wilayah KUA Kecamatan Bantarujeg

Kabupaten Majalengka yang mencakup letak geografis wilayah, kedudukan,

tugas dan wewenang, serta struktur organisasi KUA Bantarujeg Kabupaten

Majalengka.

Bab Keempat, berisi data perceraian di KUA Bantarujeg Kabupaten

Majalengka, Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian, serta Analisis

penulis.

Bab Kelima, berisi Penutup, Kesimpulan, Saran-saran.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHULU DAN PERCERAIAN

A. Pengertian Penghulu

Dalam adat Minangkabau, komunitas adat tertumpu pada suku (klan). Suku

atau kaum merupakan abungan keluarga yang berasal dari nenek yang sama dari

pihak ibu. Suku dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk.

Biasanya dalam suatu nagari (setingkat desa sekarang) berdiam dua atau lebih

suku. Kepemimpinan nagari dipegang secara kolektif diantara penghulu suku,

dimana salah seorangnya ditunjuk sebagai penghulu “andiko” (berasal dari kata

sansekerta “andhika” artinya utama).1

Penghulu merupakan bentuk kepemimpinan masyarakat di Indonesia. Kata

penghulu berasal dari kata hulu yang diberikan awal pe. Kata hulu merujuk pada

sumber atau awal sebagaimana kata hulu sungai. Sementara awalan pe-

merupakan pembentuk kata benda. Jadi penghulu adalah orang yang dituakan

untuk menjadi pemimpin.2

Kata penghulu memiliki beragam makna dalam masyarakat di Indonesia.

Bagi masyarakat Minang kata penghulu identik dengan kepala suku yang

memiliki kewenangan untuk mengatur kemenakan dan harta pusaka. Tapi di

beberapa tempat kata penghulu bisa memiliki makna yang jauh berbeda. Dalam

1
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 8
2
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 10

17
18

masyarakat melayu lainnya, kata penghulu biasanya merujuk pada ketua

kampung. Dulu kepala kampung tunduk langsung berada di bawah sultan.

Berbeda dengan penghulu di Minang yang relatif independen dari pengaruh Raja

di Pagaruyung. Makna yang jauh berbeda ditemui di Jawa, penghulu identik

dengan orang atau pejabat yang berwenang melakukan akad nikah. Di daerah

lain biasanya menggunakan kata qadi (hakim) untuk jabatan tersebut.

Ketika zaman colonial Belanda, istilah penghulu juga digunakan untuk

menyebut pemimpinan “gerombolan” melayu. Biasanya dalam setiap

pertempuran pasukan Belanda membawa serta gerombolan melayu yang bertugas

untuk melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkut perlengkapan atau logistic

prajurit. Kata penghulu juga digunakan untuk menyebut mandor pekerja rodi.

Bahkan digunakan untuk menyebut petugas yang menangani komoditas tertentu

seperti kopi. Pada zaman Belanda ini, istilah penghulu lebih bernada negative

karena merujuk sebagai pejabat atau orang-orang yang diangkat oleh Belanda.3

Penghulu dalam Bahasa Melayu Kuno sama dengan pa`hulu, dalam Bahasa

Minang sama dengan panghulu, yang secara maknanya orang yang disebut

dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama dengan datuk.

Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk

3
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 15
19

seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam

agama Islam atau Penghulu Nikah, sebutan lainnya Tuan Kadhi4

Menurut PMA No. 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil

sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak

secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk

menurut Agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.5

Dalam Permen PAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, dalam SKB Menag

RI dan Kepala BKN Nomor 20 dan 14A Tahun 2005, Penghulu adalah PNS

sebagai PPN yang diberitugas tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh

oleh Menag atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam

dan kegiatan kepenghuluan.6

Dalam PMA 11 Tahun 2007, Penghulu adalah pejabat fungsional PNS

yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan

NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.7

Dalam Perpres RI Nomor 73 Tahun 2007, Penghulu adalah Pegawai

Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.8

4
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 82.
5
Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005.
6
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No.62 Tahun 2005.
7
Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007.
20

Jabatan Penghulu PNS yang diangkat dalam jabatan Penghulu tidak dapat

menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan fungsional lain maupun jabatan

struktural. Penghulu dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala KUA.

B. Tugas Pokok Penghulu

Tugas Pokok Penghulu berdasarkan pasal 24 Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 Tentang

jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya Bab II Passal 4, Tugas Pokok

penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan Kepenghuluan, pengawasan

pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan

konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk,

pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan

keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan

pengembangan kepenghuluan.9

Sedangkan tugas pokok penghulu menurut PMA Nomor 11 Tahun 2007

meliputi :

1. Pasal 3 ayat (1): PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat(l) dapat

melaksanakan tugasnya dapat diawali oleh Penghulu atau Pembantu PPN;

8
Peraturan Presiden RI No.73 Tahun 2007.
9
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h.
1.
21

2. Pasal 4: Pelaksnaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN sebagimana di atur

dalam pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.10

Propesi penghulu yang ternyata turut memberikan andil dalam

pembangunan keluarga sejahtera. Bahkan, dalam struktur terbarunya, penghulu

juga ditekankan untuk menjalin hubungan lintas sektoral dengan aparat dan

masyarakat dalam bidang-bidang yang menjadi tugas pokok dan fungsi

kepenghuluan.11

C. Jabatan Penghulu dan Kegiatannya

Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas

tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk

menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan pada KUA Kecamatan

bersama dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Tugas pelayanan nikah sebelum

terbitnya regulasi tentang jabatan fungsional penghulu dilaksanakan oleh PPN

dibantu oleh wakil PPN. PPN dijabat oleh Kepala KUA yang merupakan pejabat

struktural dan Wakil PPN adalah staf yang mendapatkan SK untuk melaksanakan

tugas pengawasan nikah/rujuk berdasarkan agama Islam, wakil PPN bukan

merupakan jabatan fungsional.

10
Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007.
11
Nurul Huda Haem, Awas Illegal Wedding dari penghulu liar hingga perselingkuhan,
(Jakarta: Pt Mizan Publika, 2007), h. 128.
22

Dalam rangka meningkatkan status pejabat pelaksana pencatatan nikah,

berdasarkan KEP/42/M.PAN/4/2004 semua Kepala KUA dan wakil PPN

diinpassing kedalam jabatan fungsional penghulu, dengan katagori penghulu ula,

penghulu wustha dan penghulu ulya.

Terbitnya Peraturan Menpan nomor : PER/62/M.PAN/6/2005 merubah

jabatan fungsional penghulu menjadi Penghulu Pertama, penghulu Muda dan

Penghulu Madya.12

1. Penghulu Pertama13

Penghulu pertama adalah jabatan penghulu yang paling rendah, karena

dari itu tugas-tugasnya pun masih merupakan tugas yang mendasar dan dapat

dikelompokan menjadi beberapa bidang sebagai berikut :

a. Pendidikan, meliputi: Pendidikan sekolah dan memperoleh Ijazah/gelar;

Pendidikan dan Pelatihan (diklat) fungsional kepenguluan dan memperoleh

Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP), Pendidikan dan

pelatihan Prajabatan dan memperoleh sertifikat.

b. Pelayanan dan Konsultasi Nikah/Rujuk, meliputi: Perencanaan kegiatan

kepenghuluan; Pengawasan pencatatan nikah/rujuk, Pelaksanaan pelayanan

nikah/rujuk, Penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, Pemantauan

pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, Pelayanan fatwa hukum munakahat dan

12
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015), h.
11.
13
Iskandar Bunyamin, Panuan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 3.
23

bimbingan muamalah; Pembinaan keluarga sakinah; Pemantauan dan

evaluasi kegiatan kepenghuluan.

c. Pengembangan Kepenghuluan, meliputi: Pengkajian masalah hukum

munakahat (bahsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah),

Pengembangan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan

nikah/rujuk, Pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk,

Penyusunan kompilasi fatwa hukum munakahat, dan Koordinasi kegiatan

lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

d. Pengembangan Profesi, meliputi: Penyusunan karya tulis/karya ilmiah di

bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Penerjemahan/penyaduran buku

dan karya ilmiah di bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Penyusunan

pedoman/petunjuk teknis kepenghuluan dan hukum Islam, dan Pelayanan

konsultasi kepenghuluan dan hukum Islam.

e. Penunjang Tugas Penghulu, meliputi: Pembelajaran dan atau pelatihan di

bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Keikutsertaan dalam seminar,

lokakarya atau konferensi, Keanggotaan dalam organisasi profesi

Penghulu, Keanggotaan dalam tim jabatan fungsional Penghulu,

Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, Keanggotaan dalam

delegasi misi keagamaan, Perolehan penghargaan/tanda jasa, Perolehan

gelar kesarjanaan lainnya.


24

2. Penghulu Muda14

Penghulu muda merupakan jabatan menengah daripada jabatan

fungsional penghulu, bagi seorang Penghulu Muda terdaat 32 kegiatan yang

merupakan tugas utamanya.

Disamping 20 kegiatan dari penghulu pertama, kegiatan penghulu muda

ditambah dengan meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah dan

saksi nikah di balai nikah maupun di luar balai nikah, meneliti data pasangan

rujuk dan saksi, melakukan penetapan dan atau penolakan kehendak

nikah/rujuk dan menyampaikannya, menganalisis kebutuhan konseling/

penasihatan calon pengantin.

Dalam hal konseling atau tugasnya dalam melakukan pembinaan

perkawinan, penghulu muda memiliki beberapa tugas yaitu menyusun materi

dan desain konseling/penasihatan calon pengantin, mengarahkan/ memberikan

materi konseling/penasihatan calon pengantin, mengevaluasi rangkaian

kegiatan konseling/penasihatan calon pengantin, mengidentifikasi dan

menverifikasi dan memberikan solusi terhadap pelanggaran ketentuan

nikah/rujuk, menyusun monografi kasus, menyusun jadwal

konseling/penasihatan nikah/rujuk, mengidentifikasi permasalahan hukum

munakahat, menyusun materi bimbingan muamalah, membentuk kader

pembimbing muamalah, mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II dan

14
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h.
4.
25

sakinah III, menyusun materi pembinaan keluarga sakinah, menyusun materi

bahtsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyyah, melakukan uji coba hasil

pengembangan metode penasihatan/konseling dan pelaksanaan serta

pengembangan perangkat dan standar pelaayanan nikah/rujuk.15

3. Penghulu Madya16

Penghulu madya merupakan jabatan fungsional penghulu yang paling

tinggi tingkatannya apabila dibandingkan dengan jabatan penghulu pertama

dan penghulu muda. Tugas penghulu madya tidak lagi sekedar tugas – tugas

dasar seperti yang dimiliki oleh penghulu pertama.

Bagi Penghulu Madya terdapat 32 kegiatan yang merupakan tugas

pokok dari penghulu madya. Tugasnya disamping kegiatan yang telah

disebutka dalam tugas Penghulu Muda, ditambah dengan kegiatan

menganalisis kasus dan problematika rumah tangga, mengidentifikasi

pelanggaran peraturan perundang-undangan, mengamankan dokumen

nikah/rujuk, melakukan telaahan dan pemecahan masalah pelanggaran

ketentuan nikah/rujuk, melaporkan kepada pihak yang berwenang,

menganalisis dan menetapkan fatwa hukum.

15
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015) h. 21
16
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 7
26

Selain itu, penghulu madya juga bertugas untuk melakukan tugas dan

identiikasi dan analisis yang meliputi mengidentifikasi kondisi keluarga

sakinah III plus, menganalisis bahan/data pembinaan keluarga sakinah.

Seorang penghulu madya juga melakukan beberapa tugas yang

berkaitan dengan pengembangan sistim baik dalam konseling, pelayanan

maupun pengambangan hukum perkawinan.

Diantaranya adalah seperti mengembangkan metode

penasihatan/konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk, merekomendasikan hasil

pengembangan metode penasihatan/konseling pelaksanaan nikah/rujuk,

mengembangkan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk,

merekomendasikan hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan

nikah/rujuk, mengembangkan sistim pelayanan nikah rujuk, mengembangkan

instrumen pelayanan nikah/rujuk, menyusun kompilasi fatwa hukum

munakahat.17

D. Kompetensi Penghulu

Untuk mampu melaksanakan tugas sebagaimana yang diuraikan diatas

maka seorang Penghulu sebagai suatu jabatan Fungsional harus memiliki

kompetensi sebagai berikut:

17
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015) h. 21.
27

1. Unsur Utama

Unsur utama terdiri dari: pendidikan, pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk,

pengembangan kepenghuluan, dan pengembangan profesi Penghulu. Unsur ini

meliputi poin poin penting daripada kemampuan dasar yang harus dimiliki

oleh seorang penghulu.

2. Unsur Penunjang

Unsur penunjang adalah kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas

Penghulu. Berdasarkasn pasal 6 angka 5 Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 penunjang tugas Penghulu

meliputi:

a. Pembelajaran dan atau pelatihan dibidang kepenghuluan dan hukum Islam;

b. Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya, atau konferensi;

c. Keanggotaan dalam organisasi profesi penghulu;

d. Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional penghulu;

e. Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat;

f. Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan;

g. Perolehan penghargaan/tanda jasa, dan

h. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.


28

E. Pengertian dan Syarat Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian dalam bahasa Arab adalah thalaq, yang mengandung arti

melepas atau membuka simpul.Menurut istilah fiqh, thalaq disebut pula

hkulu’, makna aslinya menanggalkan atau membuka sesuatu jika yang minta

cerai itu pihak istri.Walaupun perceraian itu diperbolehkan, tetapi menurut

Qur’an suci dan Hadits terang sekali bahwa hak itu baru boleh dilakukan

dalam keadaaan luar biasa.

Al-Qur’an memberi bermacam-macam usaha guna menghindari

perceraian.Atas dasar ajaran Qur’an semacam itulah Muhammad SAW

menyebut perceraian sebagai barang halal yang paling tidak disukai oleh

Allah.

Kesan umum seakan-akan orang Islam boleh menceraikan istrinya

dengan sewenang-wenang, ini hanyalah memutar balikkan undang-undang

Islam yang terang-benderang tentang perceraian.

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.18 Perkawinan sebagai ikatan

lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang

18
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h.42.
29

Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan

pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang

Perkawinan.19

Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan

disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang

suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama

islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan

oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh

seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut

agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat

(1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di

depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).

Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89), sebelum putusan

akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan

Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:

a. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.

b. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika

suami-istri yang bertikai tinggal serumah.

c. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya

diberikan oleh suami.

19
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.116.
30

d. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan

dan pendidikan anak.

e. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang

menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan

harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

Asas perceraian yang diuraikan di dalam Al-Qur’an, yang besar

kecilnya mencakup segala macam sebab, adalah keputusan suami-isteri untuk

memutus ikatan perkawinan karena mereka tidak sanggup lagi hidup bersama

sebagai suami-isteri.

Sebenarnya, perkawinan itu tiada lain hanyalah suatu perjanjian untuk

hidup bersama sebagai suami-isteri, dan apabila masing-masing pihak tidak

setuju dan tidak cocok lagi untuk hidup bersama, maka perceraian tidak dapat

ditunda lagi.

Ini bukanlah berarti setiap percekcokkan diantara mereka akan

mengakibatkan perceraian, hanya tidak adanya kesanggupan untuk hidup

bersama sebagai suami-isteri sajalah yang menyebabkan ditempuhnya

perceraian.20

Dalam surat Al-Baqarah Ayat 231 menyatakan:21

20
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 25-27.
21
Abdul Wahab Abd Muhaimin, Ayat-ayat Perkawinan Dan Perceraian Dalam Kajian Ibnu
Katsir, (Jakarta: Gaung Persada, 2010), h. 27.
31

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka


mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang
ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat
demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.

Jika sebuah rumah tangga yang didalamnya terjadi percekcokan yang

berkepanjangan, maka dalam diri suami/isteri terdapat dua hal yang

bertentangan. Pertama, bahaya cekcok yang berkepanjangan dalam rumah

tangga, ini jelas bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu dalam rangka

mencapai sakinah (ketentraman), dan kedua, bahaya percerain yang juga

bertentangan dengan tujuan perkawinan.Dalam kondisi yang demikian, jika

bahaya percaraian lebih ringan di bandingkan dengan cekcok yang

berkepanjangan, maka seseorang dibolehkan bercerai demi menghindar dari

bahaya yang lebih besar.Sebaliknya, jika menurut pertimbangan bahwa

bahaya perceraian lebih besar daripada cekcok rumah tangga karena masih

dapat didamaikan, maka perceraian tidak boleh dilakukan.


32

Dengan demikian syariat sebenarnya bertujuan untuk memperkecil

jumlah perceraian. Jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan perceraian

yang terjadi di Indonesia khususnya bagi umat Islam perceraian hanya dapat

dilakukan di depan Sidang Pengadilan Agama. Setelah Pengadilan Agama

tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, maka

hal itu tidak bertentangan dengan syariat islam, karena jika dilihat dari esensi

aturan ini, bertujuan untuk memperkecil jumlah perceraian, serta mencegah

kesewenang-wenangan kaum laki-laki dalam hal Perceraian.22

2. Syarat-syarat Perceraian

Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang

perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu23 :

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak;

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri;

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

22
Sri Mulyati, Relasi Suami Iteri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004), h. 15-16.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009),
h.227.
33

Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di

tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang

dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai

Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam

bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu

yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian

kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan

masih tetap berlangsung.

F. Sebab dan Akibat Perceraian

1. Sebab Perceraian

Suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

Karena itu, undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip

mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus

ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.24

Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1997 menyatakan

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

diluar kemampuannya.
34

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan persengketaan

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari alasan-alasan yang ditentukan pasal 19 ini dapat dipahami bahwa

ikatan nikah yang idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan

perceraian.25

2. Akibat dari Perceraian

Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan

harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37

Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena

perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.26

24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
268.
25
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.
120.
26
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h. 122.
35

Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda

dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang

diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut

harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak

menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami

atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang

mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah

atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta

bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak

dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus

mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan

tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni

apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing

menurut penjelasan pasal 37 ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum

lain-lainnya. Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada

penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37.

Sementara itu, akibat dari perceraian terhadap anak yang masih di

bawah umur juga menyangkut masalah perwalian.


36

Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan

bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-

anak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian

ini terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :

1) Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus

memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda

dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan

seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari

antara dua orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat

menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah

kepada hakim sendiri.

2) Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal

yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan

pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.

Lalu, hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak

terdapat dalam passal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus,

tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala

keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan

orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin,

umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si

istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan

yang dijanjikan kepada ibunya.


37

Selain itu, undang – undang pun menyebutkan hal – hal lain pasca

perceraian yaitu:

a. Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan

mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri

(Pasal 41 UU No. I. 1974).

Dari penjabaran uraian diatas, dapat diketahui bahwa perceraian

memiliki banyak dampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Untuk itu, pencegahan perceraian pun harus diupayakan baik dari sisi internal

suami istri, maupun dari pihak eksternal dalam hal ini pemerintah dan

masyarakat.
38

Perceraian memang dibolehkan dalam Islam, namun itu merupakan opsi

terakhir yang hanya dapat dilakukan apabila sudah tidak ditemukan jalan

keluar lain. Pasca perceraian pun mantan suami istri ini tetap harus membagi

pertanggung jawaban baik atas harta maupun anak dengan adil dan dengan

cara yang sesuai dengan syariat Islam.


BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KUA KECAMATAN BANTARUJEG


KABUPATEN MAJALENGKA

A. Letak Geografis

1. Tahun berdiri :-

2. Luas Lahan : 300 m2

3. Status Lahan : Hak Guna Pakai

4. Letak astronomis : 1000 11,00’’BT - 1080 24’00” LS

5. Letak geografis : Jl. Cendana No. 2 Bantarujeg 45464

6. Batas Letak : Sebelah Utara : Kecamatan Maja

Sebelah Selatan : Kecamatan Malausma

Sebelah Timur : Kecamatan Talaga

Sebelah Barat : Kecamatan Lemahsugih

7. Wilayah kerja : 1 Kecamatan 13 Desa dengan luas wilayah

65.88 KM 2 atau 6.588 hektar


8. Luas Bangunan :116,4 m2
9. Ruangan : 7 ruangan yaitu:
1. Ruang Kepala
2. Ruang Administrasi
3. Ruang Penghulu
4. Ruang Balai Nikah
5. Ruang pengawas dan Penyuluh
6. Ruang Tamu
7. Ruang Ibadah

B. Kedudukan

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Depag yang
melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang Agama Islam, di wilayah

Kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.11/2007). Dikatakan sebagai unit

kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat.

39
40

Keberadaan KUA dinilai sangat urgen seiring dengan keberadaan

Kemenag. Fakta sejarah juga menunjukan kelahiran KUA hanya berselang

sepuluh bulan dari kelahiran Kemenag, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Ini

sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila dilihat dari

keberadannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama yang

memerlukan pelayanan bidang urusan agama Islam. Konsekuensi dari peran itu,

secara otomatis aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri

dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan, administrasi surat-menyurat

dan statistik serta dokumentasi yang mandiri. Selain itu, KUA juga dituntut

betul-betul mampu menjalankan tugas dibidang pencatatan nikah dan rujuk (NR)

secara apik.1

Kantor urusan agama kecamatan berperan dalam melaksanakan tugas

umum pemerintahan dalam bidang pembangunan keagamaan (Islam) dalam

wilayah kecamatan. Melaksanakan tugas – tugas pokok KUA dalam pelayanan

munakahat, perwakafan, zakat, ibadah sosial, kepenyuluhan dan lain-lain,

membina badan / lembaga semi resmi seperti MUI, BAZ, BP4, LPTQ dan tugas

lintas sektoral di wilayah kecamatan.2

Berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor :517 Tahun 2001 tentang

Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kedudukan KUA

Kecamatan adalah instansi vertical Departement Agama yang berbeda dibawah

1
Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, (- : Salimunazzam, 2007) h. 5.
2
Depag RI, Tugas-Tugas Pejabat Pencatat Nikah, Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Departemen Agama RI,2004) h. 25.
41

dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Departemen Agama

Kabupaten Kota.

Memasuki Era Reformasi dengan adanya undang-undang No. 22 Th 1999

tentang ekonomi daerah pada tingkat kecamatan ada penghapusan dinas/ jawatan

vertical dirubah menjadi UPK (Unit Pelaksana Kecamatan) dibawah camat.

Dengan demikian tugas Kantor Urusan Agama semakin berat dan berdasarkan

kepres ada tiga tugas pokok:

1. Bidang administratif kantor

2. Nikah, Rujuk dan Pembinaan bimbingan kerumah tanggaan

3. Bidang ibadah sosial harus mengadakan pembinaan, penyelesaian,

penerangan situasi, kemasjidan, perwakafan dan lain sebagainya.3

Bagian dari pernikahan , ialah badan penasehatan pembinaan dan

pelestarian perkawinan (BP4). Tujuannya untuk menciptakan rumah tangga yang

sakinah, mawwadah, dan rahmah. Bagi rumah tangga yang sedang krisis

diberikan bimbingan, nasehat-nasehat, pandangan dan lain sebagainya

diusahakan dan diupayakan untuk rukun kembali dijaga jangan sampai terjadi

perpecahan dan perceraian, apalagi yang sudah memiliki keturunan.4

Jadi BP4 dalam tugasnya selain dari pada memberikan bimbingan kepada

calon pengantin juga memberikan penjelasan bagi mereka yang sedang krisis

dalam rumah tangganya. Tujuannya ialah untuk mengurangi dan mencegah

KUA Kecamatan Karang Tengah, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama
3

Kecamatan Karang Tengah, Tahun 2013. h.7


4
Muchtar Ilyas, Motivator Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama, 2007), h. 80.
42

terjadinya perceraian, mencegah poligami yang tidak bertanggung jawab,

perkawinan di bawah umur, dan perkawinan di bawah tangan (Nikah Sirri).

BP4 adalah suatu organisasi yang bersifat prifer, sebagai penunjang

sebagian tugas Kemenag dalam bidang penasehatan perkawinan, dan pembinaan

keluarga/ rumah tangga. Adapun kepengurusan BP4 terdiri unsur pemerintahan,

tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya.5

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi KUA Kecamatan Bantarujeg

Kabupaten Majalengka , maka ditetapkan visi ‘Terwujudnya Masyarakat Madani

yang Sakinah dan Akhlakul Karimah’’.

Visi ini dijabarkan dalam misi KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten

Majalengka sebagai berikut :

1. Optimalisasi kualitas layanan nikah dan rujuk

2. Efektifitas pemberdayaan zakat, wakaf, dan haji

3. Memudahkan akses informasi berbasis teknologi

4. Meningkatkan peran lembaga dakwah

5. Memaksimalkan kemitraan ummat dan pengembangan keluarga sakinah

6. Meningkatkan pelayanan lintas sektoral

Visi ini menjelaskan perihal tujuan utama dari keberadaan KUA

Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka itu sendiri. Apabila ditarik sebuah

benang merah, maka kesimpulan dari

5
KUA Kecamatan Karang Tengah, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama
Kecamatan Karang Tengah, Tahun 2013. h.8-9
43

visi yang dijabarkan oleh KUA Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka ini

adalah menyangkut perihal peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat

baik dari sisi administasi maupun pelayanan pembinaan pernikahan

C. Tugas dan Wewenang

1. Mengawasi, mencatat Nikah, Talak, dan Rujuk serta mendaftar cerai talak dan

gugat atau dalam bidang NTCR.6

Bedasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 2 Tahun

1990 Pasal 2 ayat (1). PPN adalah tugasnya mengawasi dan atau mencatat

nikah dan rujuk serta mendaftarkan cerai talak dan cerai gugat dibantu oleh

pegawai KUA Kecamatan.

Mengenai Tugas Pegawai KUA Kecamatan juga tertulis dalam UU

No. 22 Tahun 1946 Pasal 1 ayat (2), yang berhak melakukan pencatatan dan

pengawasan atas nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya

pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk untui

itu.

2. Menerima Pemberitahuan kehendak nikah, meneliti persyaratan nikah

(suratketerangan untuk nikah (N1), surat Keterangan asal-usul (N2),

Persetujuan mempelai (N3), Surat keterangan izin orang tua (N4).

6
Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, (- : Salimunazzam, 2007) h. 15.
44

3. Dalam hal meneliti dann memeriksa data-data calon pengantin maka PPN

harus memeriksa sekalian data yang masuk dari kelurahan juga memeriksa

data-data lama atau mengecek ulang data-data yang sudah dilaksanakan

pernikahannya agar tidak terjadi kesalahan terhadap pemeriksaan data.

4. Tidak dibolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan pernikahan

apabila mengetahui adanya pelanggaran yang dilakukan oleh calon mempelai,

apabila setelah dilakukan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan, baik persyaratan menurut hukum Islam

maupun persyaratan menurut perundang-undangan yang berlaku, maka PPN

harus menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat

penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alsannya.

5. Kepala KUA Kecamatan adalah juga sebagai pejabat pembuat akta ikrar

wakaf (PPAIW).

6. Tugas KUA sebagaimana dijelaskan dalam PMA No. 2 tahun 1990 tentang

kewajiban PPN, Pasal 9ayat (1-6) dan pasal 10 (1-3), yaitu :

a. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dan ditandatangani oleh PPN atau

Pembantu PPN dan mereka yang berkepentingan dalam daftar pemeriksaan

nikah menurut model NB.

b. Pembantu PPN membuat daftar pemeriksaan nikah rangkap dua, sehelai

dikirim kepada PPN yang mewilayahi beserta surat-surat yang diperlukan

dan sehelai lainnya disimpan.


45

c. Calon suami, calon istri dan wali nikah yang masing-masing mengisi daftar

pemeriksaan nikah sebgaimana dimaksud pada ayat (1) pada ruang II, III,

IV sedang ruang yang lainnya diisi oleh PPN atau Pembantu PPN.

d. Apabila mereka tidak dapat menulis, maka ruang I, III dan IV

sebagaimana dimaksud ayat (3) diisi oleh PPN.

e. Pengiriman lembar pertama daftar pemeriksaan nikah sebagaimana

dimaksud ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah akad

nikah dilangsungkan.

f. Apabila lembar pertama daftar pemeriksaan nikah itu hilang, maka oleh

pembantu PPN dibuat salinan dari daftar kedua dengan berita acara Sebab-

sebab hilangnya lembar pertama tersebut.

g. Melakukan pencatatan itsbat nikah.

h. Berwenang menjadi wali hakim.7

D. Stuktur Organisasi

Bila mengacu Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517 Tahun 2001,

maka jumlah personil KUA Bantarujeg masih jauh dari jumlah ideal. Walau

dengan keterbatasan sumber daya yang ada, KUA Bantarujeg tetap mencoba

memberikan pelayanan seoptimal mungkin dalam administrasi nikah-rujuk (NR),

ketatausahaan (TU), kemasjidan zakat wakaf ibadah sosial (Maszawaibsos),

pelayanan hisab rukyat (HR), bimbingan dan pelayanan haji serta pelayanan

kerukunan umat beragama. Struktur kepegawaian KUA Kecamatan Bantarujeg

sebagai berikut:

7
M. Soleh, PPN KUA Karang Tengah, Wawancara Pribadi, Karang Tengah, Senin 28
September 2015.
46

STRUKTUR ORGANISASI

Kantor Urusan Agama Kec. Bantarujeg

Kabupaten Majalengka

KEPALA
H. ABD. MUKTI S.Ag

PENGHULU
TAUFIK ROHMAN,
S.Ag

PELAKSANA PELAKSANA PELAKSANA


SUPARDI MAMAN SUDIAMAN ABDUL HOLIK

OPERATOR KOMPUTER PRAMU BAKTI


SIMKAH ENJE SUTARJA
INA CHOERUL JANAH S.Ag
47

Meskipun jumlah pegawainya hanya terbatas kepada 6 orang, namun

hingga tahun ini KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka telah

mampu menurunkan angka perceraian dengan mengoptimalkan pegawai –

pegawai yang ada.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Perceraian di KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka

Secara umum tingkat perceraian di KUA Kecamatan Bantarujeg Kabupaten

Majalengka masih terbilang tinggi meskipun sudah dilakukan upaya dan

terobosan oleh penghulu untuk menekan angka perceraian tersebut. Masyarakat

masih banyak yang melakukan perceraian tanpa melihat dampak yang akan

terjadi serta akan ditimbulkan oleh sebuah perceraian tersebut. Hal ini merupakan

masalah dalam masyarakat yang perlu dipecahkan.

Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak, Islam tidak langsung

menganjurkan suami istri untuk mengakhiri perkawinan, tetapi dilakukan terlebih

dahulu musyawarah. Di dalamnya, bisa saja suami istri membahas permasalahan

diantara keduanya terlebih dahulu, sehingga sebab-sebab terjadinya

kesalahpahaman bisa diatasi.1

Pada dasarnya perceraian memang tidak dilakukan di KUA, tetapi

penghulu dari pihak KUA menghimbau masyarakat ketika ingin bercerai datang

terlebih dahulu ke KUA untuk meminta petunjuk kepada Penghulu sehingga bisa

memberikan jalan keluar.2

1
Melanie P. Meija, Gender Jihad: Muslim Women, Islamic Jurisprudence, and Women’s
Rights, Jurnal Kritike, Volume I No I, Juni 2007.
2
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.

48
49

Karena Penghulu juga merupakan orang yang ditunjuk oleh Negara dan

mempunyai fungsi untuk melangsungkan perkawinan, maka penguhulu harus

bersikap cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu terhadap mereka yang

akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan tujuan-tujuan mereka

menikah, sehingga setelah menikah tidak akan mudah terjadi perceraian.3

Dari hasil wawancara dengan penghulu dari pihak KUA tersebut, maka

dapat diketahui upaya dan peran apa saja yang telah dilakukan oleh Penghulu

dalam mengurangi Perceraian dan Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

Perceraian yang dilakukan sebagian masyarakat Kecamatan Bantarujeg

Kabupaten Majalengka.

Beberapa upaya yang telah dilakukan Penghulu dalam mengurangi

Perceraian:

1. Memberikan Penyuluhan.

2. Meningkatkan Kualitas P3N.

3. Mengadakan Pembinaan Keluarga Sakinah Secara Rutin.

4. dan Membuat Program yang berbentuk Sosialisasi.

Beberapa Faktor yang mempengaruhi terjadinya Perceraian:

1. Faktor Pendidikan.

2. Faktor Ekonomi.

3. Faktor Lingkungan.4

3
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015..
4
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015..
50

Dengan adanya empat Upaya tersebut yang akan dilakukan oleh Penghulu,

masyarakat Bantarujeg merupakan sasaran yang tepat terhadap apa yang

dilakukan Penghulu itu.

Penghulu juga mengharapakan kerjasama dari masyarakat untuk ikut serta

melakukan upaya-upaya yang sudah dibuat agar berjalan dengan baik dan lancar.

Dengan upaya ini, diharapkan angka perceraian akan berkurang. Penghulu ingin

sekali merubah pola hidup masyarakat menjadi lebih baik dan modern. Yang bisa

berfikir kedepan dan tidak mengutamakan perceraian apabila ada permasalahan

yang timbul dari hubungan keluarga.5

B. Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian

Keterlibatan penghulu dalam perceraian jelas terjadi, karena seseorang

yang ingin melakukan perceraian terlebih dahulu datang ke Kantor KUA dan

menghadap Penghulu. Tetapi tugas Penghulu disini bukanlah untuk menceraikan

pihak-pihak yang akan bercerai, melainkan berusaha dan memberi solusi agar

tidak terjadi Perceraian.

Para pihak yang ingin bercerai selalu datang ke Penghulu untuk meminta

petunjuk atau jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang di alami oleh

kedua belah pihak. Mereka meyakini bahwa Penghulu bisa memberikan solusi

kepada mereka. Disinilah adanya keterlibatan Penghulu dalam Perceraian.6

5
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015..
6
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
51

Setiap masyarakat pasti mempunyai suatu permasalahan baik yang

berhubungan dengan keluarga maupun dengan orang lain. Sebuah keluarga

merupakan suatu pembelajaran yang sangat penting dalam kaitannya dengan

suami istri, hal ini bisa kita lihat dari sebagian masyarakat yang melakukan

perceraian karena dalam hubungan suami isterinya tidak bisa di pertahankan

kembali sehingga berujung pada sebuah Perceraian.7

Semakin banyak upaya yang dilakukan oleh Penghulu semakin sedikit

Perceraian itu terjadi. Walaupun upaya itu tidak banyak, yang penting adalah

terlaksananya upaya itu. Perceraian bisa berkurang apabila faktor-faktor

penyebab perceraian yang ada bisa dihilangkan atau diminimalkan.8

Dari beberapa Upaya yang akan dilakukan oleh Penghulu sebagai Berikut:

1. Memberikan Penyuluhan.

Dengan memberikan penyuluhan keagamaan terhadap Bapak-bapak, Ibu-ibu,

Pemuda/I dalam suatu pengajian baik tingkat RT maupun Desa yang akan

terciptanya komunikasi yang harmonis dan baik terhadap masyarakat

sehingga dapat menciptakan wawasan berumah tangga yang lebih inspiratif.

Penyuluhan ini juga bisa dilakukan terhadap anak-anak sekolah yang sudah

dewasa dan yang sudah berfikir untuk melakukan pernikahan. Penyuluhan ini

sangat penting untuk tidak terjadinya perceraian dan meminimalisir perceraian

yang sudah ada. Penghulu akan terjun langsung untuk melakukan upaya ini

7
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta:Kencana. 2008. h. 147.
8
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
52

agar benar-benar berjalan dan bisa membuahkan hasil yang baik, terutama

pada masyarakat Karang Tengah.9

2. Meningkatkan Kualitas P3N.

P3N (Amil) selaku pembantu dari pihak KUA supaya bisa memberikan ilmu-

ilmu tentang berumah tangga yang baik dan rukun. Maka dari itu Perceraian

yang dilakukan sebagian masyarakat Kecamatan Banjaran Kabupaten

Majalengka bisa menjadi lebih sedikit dari sebelumnya.10

3. Mengadakan Pembinaan Keluarga Sakinah.

Dengan adanya Pembinaan Keluarga Sakinah yang dilakukan Penghulu akan

membuat masyarakat mengerti arti pentingnya membangun sebuah keluarga

yang baik dan rukun. Sehingga masyarakat lebih mempertimbangkan apabila

meraka ingin melakukan perceraian. Pembinaan Keluarga Sakinah juga

merupakan upaya yang sangat baik dalam mengurangi Perceraian yang

dilakukan sebagian masyarakat Karang Tengah. Dan pembinaan ini haruslah

dilakukan oleh orang-orang yang memang benar-benar mengerti tentang

menjalin keluarga yang baik itu seperti apa. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh

Penghulu sebagai orang yang dianggap faham terhadap permasalahan seperti

ini.11

4. Membuat Program berbentuk Sosialisasi.

9
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
10
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
11
BKKBN, Membangun Keluarga Sehat dan Sakinah, (Jakarta: BKKBN, 2008), h.5.
53

Dengan adanya kerjasama yang baik dari pihak KUA dengan BKKBN,

Puskesmas, Tokoh Masyarakat dan Pejabat setempat. Maka Sosialisasi ini

akan membawa nilai-nilai positif terhadap masyarakat Karang Tengah baik

yang sudah bercerai maupun yang masih berkeluarga. Dan memberikan

dampak yang baik bagi semua komponen masyarakat, sehingga keharmonisan

dalam suatu keluarga dapat lebih dijaga.

Program ini juga sangat penting untuk meminimalisir Perceraian yang

dilakukan sebagian masyarakat.12

C. Pemenuhan Tugas Penghulu

Sebagai seorang penghulu, maka diharuskan untuk melaksanakan semua

tugas pokoknya dan tidak semata – mata hanya melaksanakan tugasnya sebagai

pegawai pencatat nikah. Penghulu juga bertanggung jawab dalam melakukan

pengawasan dan penyuluhan baik sebagai anggota KUA, maupun sebagai

individu penghulu.13

Penghulu di Karang Tengah sudah memulai menerapkan tugasnya tersebut

dengan memperbanyak terjun langsung ke dalam masyarakat. Karena penghulu

merupakan pihak selain kyai atau ustad yang diberi tanggung jawab untuk

membina masyarakat khususnya dalam bidang pernikahan maupun perceraian

tidak hanya oleh agama namun juga undang – undang.

12
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
13
Muttaqin, Pegawai Pencatat Nikah, (Banten: Kementerian Agama, 2003), h.21.
54

Upaya yang telah dilakukan oleh para penghulu di Bantarujeg ini pun

membuahkan hasil. Dilihat dari data pengadilan agama, angka perceraian yang

ada di Karang Tengah tergolong rendah apabila dibandingkan dengan KUA lain

di Kabupaten Majalengka.14

Meskipun bukan yang terendah, namun apabila melihat dari segi populasi

maka Karang Tengah merupakan salah satu KUA yang mampu menekan angka

perceraian yang terjadi setiap tahunnya.

Namun, upaya ini pun rasanya masih bisa lebih dimaksimalkan apabila

tugas penyuluhan dan pengawasan ini bisa lebih dipertegas oleh pemerintah

melihat bahwa fakta di lapangannya masih terdapat masyarakat yang enggan

untuk bekerja sama dengan program yang telah dilaksanakan oleh penghulu.

14
Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang 2014-2015
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis kemukakan, maka dapat penulis

tarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut.

A. Kesimpulan

1. Faktor – faktor perceraian utama yang dihadapi oleh masyarakat di Kecamatan

Banjaran Kabupaten Majalengka adalah a. Faktor pendidikan; b. Faktor

ekonomi; dan Faktor lingkungan.

2. Peran dan upaya yang dilakukan oleh penghulu yaitu dengan cara memberikan

penyuluhan, meningkatkan kualitas P3N (Amil), mengadakan pembinaan

keluarga sakinah dan membuat program yang berbentuk sosialisasi secara

rutin. Dengan adanya upaya dan program seperti itu, maka masyarakat lebih

mengetahui dampak buruk tentang perceraian.

3. Pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah dan penugasan penyuluhan yang

dilakukan secara rutin oleh penghulu mampu menekan angka perceraian di

Karang Tengah, meski begitu, dukungan pemerintah dan masyarakat masih

sangat dibutuhkan guna memaksimalkan kegiatan ini.

54
55

B. aran

1. Disarankan kepada Penghulu agar terus berupaya dan berusaha meminimalisir

tingkat perceraian di KUA Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka dengan

melakukan terobosan – terobosan baru.

2. Penghulu harus lebih bertanggung jawab terhadap setiap tugas dan fungsi

Penghulu.

3. Pemerintah harus lebih mendukung pemenuhan tugas dan fungsi penghulu

melalui penguatan undang-undang dan juga penyiapan dana yang mencukupi

4. Masyarakatt agar lebih memperhatikan dampak Perceraian yang akan

ditimbulkan.

5. Masyarakat harus lebih memikirkan masa depan keluarga yang sudah

dibentuk supaya tidak mudah terjadi perceraian.


DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, al-Umm,(ttp:tp., tt), Kitab al- Nikah, Juz V.
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1997.

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI.

Ali, Mohamad Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009.

Ashqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Harramain.

Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam. 2004.

Aziz, Abdul. ensklopedia Islam. Jakarta: PT. IkhtiarBaru Van Hoove. 1994.

Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
1993.

Bunyamin, Iskandar. Panduan Praktis Penghulu, Banten: Kementerian Agama.


2012.

Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang

Djaelani, Abdul Qodir. Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1995.

Durachman, Budi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media. 2007.

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatang dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.

Fatah, Zainal. Penghulu dan angka kreditnya. Semarang: Kementerian Agama.


2015

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta:Kencana.2008.

56
57

Haem,NurulHuda.AwasIllegalWeddingdaripenghululiarhingga perselingkuhan. Jakarta: Pt Mizan Pu

Imam Anas ibn Malik, al-Mudawanah al-Kubra,(Beirut: Dar al-Shadir, tth), Juz IV

Ismail, Ibn Qayim. Kiai Penghulu Jawa. Jakarta: Gema Insani. 1997.

KUA Kecamatan Karang Tengah. Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Ka

Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Graf

Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-ayat Perkawinan dan Perceraian Dalam Kajian Ibnu Katsir, Jak

Mulyati,Sri. Relasi Suami Iteri dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita. 2004

P. Meija, Melanie, Gender Jihad: Muslim Women, Islamic Jurisprudence, and Women’s Rights, Jurn

Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007

Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005

Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No.62 Tahun 2005

Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Azaz-azaz Hukum Perkawinan.-

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


2003

Shabbagh, Mahmud. Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam. Bandung: PT


Remaja Rosda. 1994.

Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:


Pradnya Paramita, 2009.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1989.

Syakir, Muhammad Fu’ad. Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV. Cendekia Sentra


Muslim, 2002.

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.


2009.
58

Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Bandung: Citra Umbara, 2007.

Sopyan Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Tang

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996.

Zain, Muhammad dan Mukhtar Ashoiq. Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Grahacipta, 2005.

Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada Media,

Zuhaili, Wahbah, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayie al-kattani, dkk. Dam

, diakses 14 Februari 2015,08.13 WIB

Haem, Nurul Huda. Awas Illegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga
Perselingkuhan, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007

Anda mungkin juga menyukai