Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Talak, Khuluk, dan Cerai Gugat

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat dan Mawarits

Dosen Pengampu

Dr. Hariman Surya Siregar, M.Ag

Dr. Koko Komarudin, M.Pd.I

Disusun oleh :

Kelompok 7 Kelas 4A

Agung Rizky Oktavianto (1212020006)

Alifia El Fasya Fastabiqul Khoirat (1212020021)

Alifia Putri Sunandar (1212020022)

Aria Wiguna Muttaqien (1212020032)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT... atas segala limpahan taufiq, hidayah, inayah- Nya,
terutama yang telah memberikan penulis kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Talak, Khuluk, dan Cerai Gugat” ini tanpa ada suatu kendala yang berarti.

Penulis menyadari bahwa selesainya karya tulis ini tidak lepas atas bantuan secara
langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya pada pihak yang turut membantu, terutama bapak Dr.
Hariman Surya Siregar, M.Ag dan bapak Dr. Koko Komarudin, M.Pd.I selaku dosen
pengampu Fiqih Munakahat Mawarits yang membimbing penulis dalam penyusunan makalah
ini.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal itu dikarenakan
keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi kebaikan makalah ini. Akhir kata
penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat berbagai kesalahan.

Bandung, 17 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 2
C. Tujuan ....................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
A. Talak ......................................................................................................................................... 3
1. Pengertian Talak ................................................................................................................... 3
2. Dasar Hukum Talak .............................................................................................................. 3
3. Hukum dan Hikmah Talak .................................................................................................... 4
4. Rukun dan Syarat Talak ........................................................................................................ 5
5. Macam Talak ........................................................................................................................ 7
6. Prinsip Talak ....................................................................................................................... 10
B. Khuluk .................................................................................................................................... 10
1. Pengertian Khuluk ............................................................................................................... 10
2. Dasar Hukum Khuluk .......................................................................................................... 11
3. Hukum Khuluk .................................................................................................................... 12
4. Ukuran Tebusan Khuluk ...................................................................................................... 15
5. Hikmah Khuluk ................................................................................................................... 15
C. Cerai Gugat ............................................................................................................................. 16
1. Pengertian Cerai Gugat ....................................................................................................... 16
2. Alasan Mengajukan Cerai Gugat......................................................................................... 17
3. Prosedur Cerai Gugat .......................................................................................................... 17
4. Akibat Perceraian ................................................................................................................ 18
5. Perbedaan antara Khuluk dengan Cerai Gugat .................................................................... 19
6. Perbedaan antara Talak dengan Cerai Gugat ....................................................................... 19
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 20
B. Saran ...................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perceraian adalah suatu proses hukum yang mengakhiri sebuah pernikahan
secara sah dan resmi. Pada dasarnya, perceraian terjadi ketika pasangan suami istri
memutuskan untuk mengakhiri hubungan pernikahannya yang telah terbentuk. Proses
perceraian dapat berlangsung dengan berbagai alasan, seperti perselingkuhan,
kekerasan dalam rumah tangga, perbedaan prinsip, atau masalah finansial. Perceraian
dalam Islam dapat diartikan sebagai putusnya ikatan pernikahan antara suami dan istri
yang dilakukan secara sah dan menurut syariat Islam.
Dalam Islam, perceraian merupakan hal yang tidak diinginkan, namun dalam
beberapa kasus, dapat menjadi solusi terbaik untuk mengakhiri suatu pernikahan yang
tidak harmonis. Oleh karena itu, dalam hukum Islam, perceraian diatur dalam sebuah
prosedur dan syarat yang ketat, dimana perceraian hanya dapat dilakukan dalam
kondisi tertentu dan harus melalui proses yang diatur secara jelas dan terperinci
Perceraian menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dibahas karena
dampak yang ditimbulkan dari perceraian ini sangat besar, baik bagi pasangan suami
istri, anak-anak yang terlibat, maupun masyarakat di sekitarnya. Secara psikologis,
perceraian dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional pasangan yang
bercerai serta anak-anak mereka. Dari sisi sosial, perceraian juga dapat mempengaruhi
lingkungan sekitar, seperti keluarga dan teman-teman yang terlibat dalam kehidupan
pasangan yang bercerai.
Selain itu, fenomena perceraian juga menjadi suatu isu yang cukup
kontroversial dan kompleks, karena melibatkan banyak aspek yang saling terkait dan
terkadang saling bertentangan. Di satu sisi, perceraian dapat dipandang sebagai hak
individual pasangan untuk memutuskan hubungan pernikahan mereka, tetapi di sisi
lain, perceraian juga dapat dipandang sebagai tindakan yang merugikan masyarakat
secara umum, karena dapat memperlemah institusi keluarga dan nilai-nilai moral yang
diyakininya.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang pengertian perceraian
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menjadi sangat penting, baik dari sudut
pandang pribadi maupun sosial. Dengan memahami hal tersebut, diharapkan

1
masyarakat dapat lebih bijak dalam memandang dan menangani masalah perceraian,
sehingga dapat mengurangi dampak negatifnya bagi individu dan masyarakat secara
umum.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan talak?


2. Bagaimana penjelasan khuluk?
3. Bagaimana penjelasan cerai gugat?

C. Tujuan
1. Memahami penjelasan talak.
2. Memahami penjelasan khuluk.
3. Memahami penjelasan cerai gugat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Talak
1. Pengertian Talak

Kata talak dalam bahasa Arab berasal dari kata ‫ امطلاق‬artinya melepaskan,

mengangkat tali pengikat. (Tihami P. D., 2004) Adapun Abdurrahman al-Jaziri,


mendefinisikan talak dengan membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan
kuda atau ikatan tawanan ataupun ikatan maknawi seperti nikah. (al-Jaziri)
Sayyid Sabiq juga mendefinisikan talak adalah melepaskan dan meninggalkan,
kamu mengatakan; aku lepaskan tawanan apabila aku lepaskan dan
membiarkannya. (Sabiq, 1992) Taqiyyudin Abi Bakar pun mendefinisikan talak
menurut bahasa adalah melepaskan ikatan dan membiarkannya lepaskan, oleh
karena itu dikatakan unta yang lepas. Artinya unta yang dibiarkan tergembala
kemana saja dikehendaki. (Bakar, 2012)
Adapun istilah syarak talak adalah:

َّ ‫امػلاَ َكث‬
‫امز ْو ِج َّي ِث‬
َ ُ َْ َ
‫اج واِ ًُاء‬ َّ ‫ُح ُل َراة َطث‬
َ ‫امز‬
‫او‬
ِ ِ ٍ ِ

“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri” (Sabiq, 1994)
Menurut al-Jaziry talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata kata tertentu.
(Ghazali, 2003) Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri talak menurut istilah
adalah menghilangkan ikatan pernikahan dengan menggunakan kata-kata tertentu.
(al-Jaziri)
2. Dasar Hukum Talak
a. Dasar al-Quran
َ َ
َّ ُ ُ ُ ْ َ َّ ُ ُ ْ َ ْ ْ ُ َ ُّ َ َ َ َ ْ ٌ َْ ْ ٌ َ ْ َ
ُ ‫اك ة َى ْػ‬ َ َّ َ ُ َ َّ
‫يحل لكه أن حأخذوا ِِّا آحيخىَِي‬ ِ ‫انۗ ولا‬
ٍ ‫ص‬ ‫ح‬ ‫إ‬ ‫ة‬
ِِ ‫يح‬ ‫ر‬ِ ‫س‬ ‫ت‬ ‫و‬‫أ‬ ‫وف‬
ٍ ‫ر‬ ِ ‫ص‬ ‫و‬‫إ‬ِ ِ ‫امطلاق ور‬
‫ف‬ ۖ
‫ان‬ ‫ح‬

َ ْ َ َّ َ ُ ُ َ ُ ََّ َ َ َ ْ َ َّ ً ْ َ
َ َ َ َ َ ُ َ َ َّ َ ُ ُ َ ُ َّ ْ ُ ْ
‫اَّلل فلا جٌاح عن ْي ُِىا‬
ِ ‫اَّللۖ ف ِإن ِخفخه ألا ي ِليىا حدود‬
ِ ‫شيئا ِإلا أن يخافا ألا ي ِليىا حدود‬

ُ
َ َّ ُ َ ََٰ َ َّ َ ُ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َّ ُ ُ ُ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫اَّلل فأول ِئم َ ُه امظا ِم ُىِن‬
ِ ‫اَّلل فلا حػخدوَاۚ ووي يخػد حدود‬
ِ ‫ِفيىا افخدت ِة ٍِۗ ِحلم حدود‬

3
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-
orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 29)

b. Dasar Hadits
َ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ َّ َ ُ َ
َ
‫ اةغض الحلال الى اَّللِ امطلاق‬: ‫اَّلل غلیْھِ وشنه‬ ‫غ ْي غ َىر غ ِي امٌب َّي صلى‬
ِ

Artinya: “Dari Ibn Umar dari Nabi Saw bersabda: “ suatu perbuatan yang
halal, tetapi dibenci Allah SWT.. adalah Talaq.” (H.R. Abi Dawud).

3. Hukum dan Hikmah Talak


a. Wajib, jika terjadi perselisihan (shiqāq) antara suami istri secara terus
menerus dan tidak dapat diselesaikan melalui dua orang hakam. Kewajiban
menjatuhkan talak juga berlaku jika suami tidak mampu menjalankan
kewajiban sebagai suami sehingga menyebabkan madarat bagi istri.
b. Haram, menjatuhkan talak ketika istri sedang haid atau suci yang sudah
dicampuri. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan Ibn
„Umar untuk kembali kepada istrinya karena menceraikan istrinya dalam
keadaan haid. (Rushd, 1908) Hukum haram juga berlaku bagi mereka yang
menjatuhkan talak, sementara akibat talak diduga kuat ia berbuat zina.
c. Makruh, menjatuhkan talak tanpa ada alasan yang jelas, namun tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina jika terjadi perceraian. Makruh adalah
hukum asal talak. (al-Jaziri)
d. Mubah jika ada alasan tertentu, seperti buruknya prilaku istri, buruknya
perlakuan terhadap suami, dan lain-lain.

4
e. Sunnah, yaitu bila istrinya tidak patuh pada hukum Allah, seperti
meninggalkan salat, sementara suami tidak mampu memaksanya.
(Muzammil, 2019)
4. Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsurunsur dimaksud. Rukun talak ada empat:
a. Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,
selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud
kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Abu Daud dan Al-
Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir ibn Syu‟aib bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

َْ
‫ «لا ًذ َر‬: ‫ كال رشِل اَّلل صلى اَّلل عليٍ وشنه‬:‫ غي جده كال‬،ٍ‫ غي أةي‬،‫غي غىرو ةي شػيب‬
َْ
».‫ ولا طلاق له فيىا لا ْيى ِلم‬،‫ ولا ِغخق له فيىا لا يىلم‬،‫لاةي آدم فيىا لا يىلم‬

]‫[رواه أةِ داود والتدوذي واةي واجٍ وأحمد] [صحيح‬

Artinya: “Dari 'Amr bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata,
"Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidak ada nazar bagi
anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (istilah)
memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya, dan tidak ada talak
pada sesuatu yang tidak dimilikinya."(H.R. Ibnu Mājah Hadis)
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1) Berakal.
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud
dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit,
termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau
sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2) Baligh.
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak
oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10
tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya,
talaknya dipandang jatuh.

5
3) Atas kemauan sendiri.
Yang dimaksud atas kemauan sendiri di sini ialah adanya
kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan
atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain. Kehendak dan
kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan
sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas
perbuatannya.
b. Istri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri.
Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.Untuk
sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:
1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
Istri yang menjalin masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh
Hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan suami.
Karenanya bila dalam masuk itu suami menjatuhkan talak lagi,
dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang
dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal
talak ba‟in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap
bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba‟in itu
bekas istri lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
2) Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah.
Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad
nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan
perempuan saudara istrinya(memadu antara dua perempuan bersaudara),
atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli
ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya,
maka talak yang demikian tidak dipandang ada.
c. Sighat Talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukkan talak, baik itu sharih(jelas) maupun kinayah(sindiran),
baik berupa ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun
dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami

6
terhadap istrinya menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi istri,
memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan
barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu
bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan
angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan
suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap istrinya juga tidak
dipandang sebagai talak.
Qashdu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud
lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang
tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak kepada istrinya,
semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata: “Ini sebuah salak
untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka
talak tidak dipandang jatuh.
d. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Talak
Tata cara penyelesaian perkara di Pengadilan Agama adalah:
1) Tahap pendahuluan yang dimaksud tahap ini adalah tahapan di mana
penggugat menyampaikan atau memasukkan perkaranya kepada
pengadilan dan pengadilan menerima penyampaian perkara tersebut dari
penggugat.
2) Tahapan pemeriksaan dan Putusan:
a) Pemanggilan para pihak
b) Putusan gugur/verstek
c) Usaha perdamaian
d) Pembacaan perubahan-perubahan gugatan
e) Jawaban tergugat, Eksepsi (tangkisan) dan rekonvensi (gugatan
balik)
f) Rublik dan duplik
g) Pembuktian
h) Permusyawaratan Majelis Hakim
5. Macam Talak
a. Dari segi bolehnya rujuk
1) Talak Raj‟i

7
Talak raj‟i yaitu talak di mana suami masih mempunyai hak
untuk merujuk kembali isterinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan
lafal-lafal tertentu dan istri benar-benar sudah digauli. As-Siba‟i
mengatakan bahwa talak raj‟i adalah talak yang untuk kembalinya bekas
isteri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah,
tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. (Ghazali
A. R., 2003)
Apabila terjadi talak raj‟i, maka istri harus beriddah. Selama
masa iddah inilah suami boleh merujuk isterinya tanpa melalui akad
nikah baru. Talak raj‟i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT...

ۗ ‫ان‬ ٍ ‫اك ِِب ع ر‬


ٍ ‫وف أَو تَس رِيح ِبِِح س‬ ِ ِ َّ
َ ْ ٌ ْ ْ ُ َْ ٌ ‫س‬ َ ‫ا ل ط ََل ُق مَ َّر ََت ن ۖ فَإ ْم‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)
2) Talak Ba‟in
Talak ba‟in adalah talak ketiga atau talak yang jatuh sebelum suami
isteri berhubungan, atau talak yang jatuh dengan tebusan (khuluk). Untuk
mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas
suami harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-
syaratnya. Talak ba‟in ada dua macam yaitu:
a) Ba‟in sughra, yaitu talak dimana suami tidak boleh rujuk kepada
mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa
melalui muhallil. Yang temasuk dalam talak ba‟in sughra adalah
talak yang dijatuhkan sebelum berkumpul, talak dengan penggantian
harta atau yang disebut khuluk, talak karena aib (cacat badan), karena
salah seorang dipenjara, karena penganiayaan atau yang semacamya.
(Ghazali P. D., 2003)
b) Ba‟in kubra, yaitu talak yang terjadi ketiga kalinya. Talak ini tidak
boleh dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba‟da dukhul dan habis masa
iddahnya. (Tihami S. S., 2009) Sesuai dengan firman Allah SWT..:
8
ۗ ُ‫َّت تَ نْ كِ َح َز ْو ًج ا غَ يْ َره‬ ِ ِ
ٰ َّ ‫فَإِ ْن طَلَّ َق َه ا فَ ََل ََت لُّ لَوُ م ْن بَ عْ ُد َح‬
‫اج عَ ا إِ ْن ظَنَّا أَ ْن‬ َ ‫اح عَ لَيْ ِه َم ا أَ ْن يَ تَ َر‬
ِ
َ َ‫فَإ ْن طَلَّ َق َه ا فَ ََل ُج ن‬
‫اَّللِ يُبَ يِّنُ َه ا لِ َق ْوٍم يَ ْع لَ ُم و َن‬
َّ ُ‫ك ُح ُد ود‬ َِّ ‫ي قِ يم ا ح ُد ود‬
َ ْ‫اَّلل ۗ َوتِل‬ َ ُ َ ُ
Artinya: „Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
b. Dari segi keadaan istri
1) Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang sesuai perintah Allah swt. dan Rasulullah
saw, yaitu talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan suci yang
belum disetubuhi dan kemudian dibiarkan sampai ia selesai menjalani
iddah. (Ghoffar, 2001)
Dikatakan sebagai talak sunni jika memenuhi empat syarat sebagai
berikut: (Tihami P. D., 2004)
a) Isteri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak jatuh pada
isteri yang belum pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak
sunni.
b) Isteri dapat melakukan iddah suci setelah ditalak. Yaitu isteri dalam
keadaan suci dari haid.
c) Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpuli isteri.
3) Talak Bid‟i
Talak bid‟i adalah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang
tidak tepat. Talak bid‟i merupakan talak yang dilakukan tidak sesuai
dengan tuntunan syari‟ah, baik dalam waktu maupun cara
menjatuhkannya. Para ulama sepakat bahwa talak bid‟i dari segi jumlah
talak, ialah talak yang diucapkan tiga sekaligus, mereka juga sepakat

9
bahwa talak bid‟i itu haram dan melakukannya berdosa, Yang termasuk
talak bid‟i adalah:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut
haid.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri dalam
keadaan suci tetapi sudah pernah digauli dalam masa sucinya
tersebut.
6. Prinsip Talak

Islam memiliki prinsip mempersulit perceraian yang diperlihatkan dalam


hadis Nabi yang menjelaskan tentang perceraian merupakan tindakan halal
namun sangat dibenci oleh Allah. Maka demi merealisasikan prinsip tersebut,
dalam UU No. 1 Tahun 1974 juga menganut prinsip mempersulit perceraian yang
tercantum dalam Pasal 1 sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antar a seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dari kata-kata ikatan lahir dan batin serta bahagia dan kekal dapat
ditafsirkan bahwa prinsip perkawinan itu adalah untuk seumur hidup atau kekal
dan tidak boleh terjadi sesuatu perceraian. (Ramulyo, 2004) Oleh karena itu untuk
lebih menegaskan bahwa undang-undang perkawinan ini menganut prinsip
mempersulit perceraian, maka tata cara perceraian diatur dengan ketat seperti
yang tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut: (Grafika,
2006)

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah yang


bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersebut.

B. Khuluk
1. Pengertian Khuluk

10
Kata khuluk dalam bahasa Arab berasal dari kata ‫ ال ُخ ْل ُع‬artinya melepaskan
pakaian atau menanggalkan sesuatu. (Munawwir, 1997) Kata khuluk diambil dari
kata “khala‟a” yang berarti (mencopot atau menanggalkan), maksudnya ialah
suami menceraikan istri dengan suatu pembayaran yang dilakukan istri atas
kehendak dan permintaan istri. Kata khuluk tersebut diistilahkan dengan kata
“khal‟a ats-Tsauba” yang berarti menanggalkan atau melepaskan pakaian dari
badan (pakaian yang dipakai). Kata yang “dipakai” diartikan dengan
“menanggalkan istri”, karena istri adalah pakaian dari suami dan suami adalah
pakaian dari pada istri. (Doi, 2002) Khuluk disebut juga dengan istilah thalak
tebus, yaitu perceraian yang diusulkan oleh istri kepada suami dan istri sanggup
membayar ganti rugi atau tebusan kepada suami yang akan mengkhulu‟nya itu.
Sedangkan khuluk menurut terminologi ilmu fiqih, khuluk‟ berarti
menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri
membayar „iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan
menggunakan perkataan “cerai” atau “khuluk” . iwadhnya berupa pengembalian
mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang
dipandang mempunyai suatu nilai yang kesemuanya itu telah disepakati oleh
keduanya yaitu suami istri. (Mukhtar, 1974)
Dalam definisi lain disebutkan khuluk adalah :

‫ وكد شرع لذلم شبيل‬،‫ وَِ امطلاق الذي يلع ةرغتث وي امزوجث وإصرار وٌُا على ذلم‬:‫الخنع‬

‫ وَِ أن حفخدي ًفصُا وي زوجُا بشئ يخفلان عليٍ وي وُرَا حػطيٍ إياه‬،‫الخنع‬

Artinya: “Khuluk ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari
pihak istri, hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri
menyanggupi membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami,
dengan (standar) mengikuti mahar yang telah diberikan.” (al-Bugha, 2000)
2. Dasar Hukum Khuluk
a. Dasar al-Quran
ْ َ َ ْ َ َ ََْ َ َ ُ َ َّ َ ُ ُ َ ُ ََّ ْ ُ ْ ْ َ
ٍِ ‫اَّلل فلا جٌاح عني ُِىا ِفيىا افخدت ِة‬
ِ ‫ف ِإن ِخفخه ألا ي ِليىا حدود‬

Artinya: “Maka apabila kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat


menegakkan aturan-aturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa
mengambil bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh istri untuk menebus

11
dirinya (dan mengenai pengambilan suami akan bayaran itu).” (Q.S. Al-
Baqarah: 229)
b. Dasar Hadits
َّ َ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ
ّ َّ َ َّ َ ْ َْ ْ َ ََُ ْ َ َ
‫اس ِإلى امٌبي صلى اَّلل علي ٍِ وشنه فلامج يا رشِل اَّلل‬
ٍ ‫جاءت اورأة ث ِاةج ة ِي كيس ة ِي شى‬
ِِ

َ‫اَّلل َع َل ْي ٍِ َو َش َّنه‬ َّ ُ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ّ َ َّ ُ ُ َ َ ْ
ُ ‫ِاَّلل َص َّلى‬ َ َ َ ُ َ َ
ِ ‫ج ِفي ِدي ٍي ولا خن ِق ِإلا أِني أخاف الكفر فلال رش‬
ٍ ‫واأ ًِله على ث ِاة‬
َ
َ‫يق ََح ٍُ َف َل َام ْج ًَ َػ ْه َف َرَّد ْت َع َل ْيٍ َوأ َو َر ُه َف َف َار َكُا‬
َ َ َْ َ َْ ُّ َ َ
‫فتد ِديي علي ٍِ ح ِد‬
ِ

Artinya : “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci
Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu
mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia
mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR Al-Bukhari)
3. Hukum Khuluk
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Khuluk terdapat hukum-
hukum taklifi sebagai berikut.
a. Mubah
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya
karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut
dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT.. dalam ketaatan
kepadanya, dengan dasar firman Allah SWT...
َ
ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َّ َ ُ ُ َ ُ َّ ْ ُ ْ ْ َ
ٍِ ‫اَّلل فلا جٌاح عني ُِىا ِفيىا افخدت ِة‬
ِ ‫ف ِإن ِخفخه ألا ي ِليىا حدود‬

Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat


menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (Q.S. Al-
Baqarah: 229)
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah khuluk ini
dengan pernyataannya, bahwasanya khuluk ialah seorang suami menceraikan
istrinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang,
kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat

12
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena
adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena
jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang,
kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang
menyebabkan timbulnya al-Bainunah al-Kubra (Perceraian besar atau Talak
Tiga)
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan khuluk bagi wanita,
apabila sang istri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa
karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya,
maka disunnahkan bagi sang istri untuk bersabar dan tidak memilih
perceraian. (Al-Bassam)
b. Haram
Hal ini karena dua keadaan.
1) Dari sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan istri dan memutus hubungan komunikasi
dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan
sejenisnya agar sang istri membayar tebusan kepadanya dengan jalan
gugatan cerai, maka khuluk itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada
wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika khuluk tidak
dilakukan dengan lafazh talak, karena Allah SWT.. berfirman.
َ َّ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ َْ ُ َ ْ َ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ َ
‫احش ٍث وب ِيٌ ٍث‬
ِ ‫ولا حػضنَِي ِمخذَتِا ِةتػ ِض وا آحيخىَِي ِإلا أن يأ ِحين ِةف‬

Artinya: “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak


mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.”
(Q.S. An-Nisa: 19)
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak
mengambil tebusan tersebut. Namun, bila istri berzina lalu suami
membuatnya susah agar istri tersebut membayar terbusan dengan khuluk,
maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” (Sabiq, 1994)
2) Dari sisi Istri
Apabila seorang istri meminta cerai padahal hubungan rumah
tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di

13
antara pasangan suami istri tersebut. Serta tidak ada alasan syar‟i yang
membenarkan adanya khuluk, maka ini dilarang, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.
ََّ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ ٌ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ً َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُّ َ
‫أيىا اورأ ٍة شأمج زوجُا طلاكا ِفي غي ِد وا ةا ٍس فحرام عنيُا ر ِائحث الجٌ ِث‬

Artinya: “Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya
tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” (HR Abu Dawud)
c. Sunnah
Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa khuluk sunnah hukumnya apabila
suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya suami sudah tidak pernah
melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila
si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obatobat
terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi
seperti ini, khuluk bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya. Hadis
yang diriwatkan oleh „Amrah dari „Aisyah.

‫ كاًج غٌد ثاةج ةي كيس ةي شىاس فضرةُا‬،‫ أن حبيتث ةنج شُل‬،‫غي غىرة غي عائشث‬

‫ فدعا امٌبي‬،ٍ‫ فاشخكخٍ إلي‬،‫ فأحج رشِل اَّلل صلى اَّلل عليٍ وشنه ةػد امصتح‬،‫فكسر ةػضُا‬

‫ ويصنح ذلم يا رشِل‬:‫ فلال‬،»‫ وفاركُا‬،‫ «خذ ةػض وامُا‬:‫ فلال‬،‫صلى اَّلل عليٍ وشنه ثابتا‬

ٍ‫ فلال امٌبي صلى اَّلل علي‬،‫ وَىا ةيدَا‬،‫ فإني أصدكخُا حديلخين‬:‫ كال‬، »‫ «ًػه‬:‫ كال‬،‫اَّلل؟‬

‫ ففػل‬،»‫ «خذَىا وفاركُا‬:‫وشنه‬

Artinya: “Dari „Amrah dari „Aisyah: Bahwa Habibah binti Sahal adalah
isteri Sabit bin Qais bin Syammas telah dipukul oleh suaminya sehingga luka
tangannya, lalu dia menghadap Rasulullah setelah subuh. Rasulullah Saw.
mengutus dan memanggil Sabit dan berkata kepada Sabit bin Qais: Ambillah
yang ada pada isterimu dan biarkan jalannya. Ia menjawab: Bolehkah hal
ini ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ya, Sabit berkata: Saya telah
memberikan dua kebun kepadanya, Rasulullah berkata: Ambillah darinya
kemudian ceraikan dia.” (HR Abu Daud).

14
Hadis tersebut menjelaskan bahwa apabila isteri mendapat
kemudaratan dari suaminya, seperti dianiaya, dipukuli dan lain-lain maka
isteri dibolehkan meminta khulu‟ dari suaminya dan ia dapat mengganti
dirinya dengan tebusan berupa mahar yang pernah diberikan suami dahulu
kepadanya.
4. Ukuran Tebusan Khuluk
Segala sesuatu yang bisa dijadikan mahar boleh dijadikan harta kompensasi
di dalam khuluk. Mazhab Syaafi„iyah berpendapat bahwa di dalam khuluk boleh
digunakan tebusan dengan seluruh mahar atau sebagiannya, atau dengan harta
lain selain mahar. (Sabiq, 1994) Mazhab Hanafiah menegaskan, bahwa jika suami
yang mengakibatkan mudarat, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu dari
isterinya, akan tetapi jika sang isteri yang menjadi penyebab/yang membuat ulah,
maka suami boleh mengambil kembali apa yang pernah dia berikan, dan tidak
boleh lebih dari pemberiannya.
Hal yang sama dikemukakan Imam Ahmad bahwa suami tidak boleh
mengambil melebihi apa yang pernah diberikannya. (Shihab, 2017) Sayyid Sabiq
menegaskan bahwa Islam mengharamkan suami untuk menyakiti isterinya.
Misalnya, suami tidak memenuhi hak-hak isterinya agar ia merasa jemu untuk
tinggal bersamanya sehingga isteri melakukan khuluk kepada suaminya. Khuluk
yang seperti itu dianggap tidak sah dan harta kompensasinya tidak diterima. Hal
itu diharamkan agar isteri tidak mengalami dua kerugian, yaitu perceraian dan
denda harta kompensasi.
5. Hikmah Khuluk
Khuluk dibolehkan dalam Islam manakala seorang isteri enggan hidup
bersama suaminya karena sebab fisik, akhlak, agama, kesehatan, akibat usia tua,
dan perkara lainnya yang sejenis. Si isteri merasa takut jika ia tidak melaksanakan
hak Allah untuk menaati suaminya. Oleh karena, itu Islam menetapkan jalan
untuknya dalam upaya mengimbangi hak talak yang hanya dimiliki oleh laki-laki
untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan, untuk menolak kesulitan dari
isteri, dan menghilangkan keburukan darinya. Dengan cara mengeluarkan
hartanya untuk menebus dirinya dan membebaskannya dari ikatan perkawinan.
Dia berikan kepada si suami apa yang telah suami keluarkan untuk si isteri dalam
upayanya untuk mengawini dulu. (al-Zuhaili, 1989)

15
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa aturan khuluk
yang ditetapkan oleh syariat adalah merupakan solusi yang ditawarkan Rasulullah
Saw. kepada para isteri yang merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama
suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak
memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya
tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Apabila
rumah tangga mereka dilanjutkan maka isteri akan menderita.
Rasulullah saw. memberikan tawaran kepada isteri dalam kondisi seperti
ini, untuk bisa lepas dari kunkungan perkawinan itu, di mana sebelumnya isteri
sama sekali tidak mempunyai hak untuk minta cerai kepada suaminya, yang
menyebabkan mereka tersiksa dan menderita selamanya dalam perkawinan
tersebut. Untuk lepas dari suami, maka syariat memberi jalan keluar yaitu dengan
khuluk. Di sisi lain khuluk merupakan solusi terbaik terhadap perselisihan yang
terjadi di dalam rumah tangga yaitu dengan mengembalikan harta suami yang
pernah diberikan pada isteri.
Oleh karena itu, talak khuluk dapat ditegaskan sebagai salah satu
perlindungan terhadap hak wanita di dalam Islam sekaligus syariat khuluk tidak
mengabaikan hak-hak suami. Syariat khuluk merupakan solusi kemelut batin yang
dialami oleh isteri dalam mahligai rumah tangga yang terlanjur dijalaninya.
Keberadaan khuluk adalah untuk mengangkat harkat dan derajat (kedudukan)
kaum wanita yakni para isteri, sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang
perkawinan bahwa hak dan kedudukan suami adalah seimbang. Dengan demikian
suami isteri sama-sama berhak melakukan perbuatan yang mempunyai akibat
hukum, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam
keluarga dan masyarakat. (Dr. Hj. Rusdaya Basri, 2020)

C. Cerai Gugat
1. Pengertian Cerai Gugat
Cerai adalah upaya terakhir yang ditempuh ketika rumah tangga tidak
dapat lagi dipertahankan dengan mengakhiri hubungan pernikahan tersebut.
(Rofiq, 1995) Sedangkan gugat dari segi pengertian dibagi menjadi dua, yaitu
menurut hukum positif dan ulama fikih.
Menurut hukum positif, gugat ialah perceraian yang diajukan oleh istri
kepada Pengadilan Agama yang dianggap berlaku ketika mempunyai kekuatan

16
hukum tetap. (Muhammad Syaifuddin, 2014) Sementara dalam hukum Islam,
gugat merupakan hak seorang istri untuk memutuskan hubungan pernikahan
dengan suaminya dengan memberikan tebusan yang sesuai dengan kesepakatan.
(Al-Manar, 2007)
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerai gugat adalah
berakhirnya hubungan pernikahan disebabkan adanya gugatan yang diajukan oleh
istri di Pengadilan Agama dan terjadi dengan suatu putusan pengadilan.
(Soemiyati, 1982) Hal ini didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 132
yang menerangkan bahwa istri atau kuasa hukumnya dapat mengajukan gugatan
perceraian di Pengadilan Agama.
2. Alasan Mengajukan Cerai Gugat
Dalam pasal 39 ayat 2 Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974
disebutkan “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.” Dijelaskan
bahwa beberapa alasan tersebut diantaranya:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
3. Prosedur Cerai Gugat
a. Proses pemantapan niat, menyediakan dana dan waktu bagaimanapun
perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pemikiran serius,
kedewasaan bertindak serta niat yang kuat untuk menjalaninya mau tidak
mau perceraian akan melahirkan sejumlah dampak yang serius, baik secara
psikologis, yuridis dan lainnya. Namun juga kepada anak dan keturunannya.

17
Untuk itu kemantapan niat harus dibutuhkan pula tentang penyediaan dana,
untuk mengajukan permohonan gugatan cerai. Terkait dengan biaya
pendaftaran permohonan gugatan sampai kepada biaya transportasi maupun
jasa bantuan advokat/pengacara yang akan mendampingi pihak yang
berperan dari pengadilan.
b. Meminta pertimbangan dari beberapa orang terdekat sekalipun seorang sudah
memantapkan niatnya untuk mengajukan permohonan atau gugatan
perceraian. Namun tidak ada salahnya bila meminta pendapat dari sejumlah
orang terdekat, paling tidak untuk memperkuat alasan perceraian.
c. Menentukan perlu/tidaknya kuasa hukum atau pengacara Keberadaan kuasa
hukum atau pengacara harus dipertimbangkan secara matang. Tidak saja
terkait dengan dana yang harus disiapkan untuk membayar jasa
pendampingnya, namun juga mengingat efektifitas penggunaan jasa hukum.
Maka hal ini, keberadaan kuasa hukum sangat membantu kelancaran proses
perkara.
d. Mengajukan surat pemberitahuan atas surat permohonan perceraian. Bila
semua sudah disiapkan, dan niat untuk mengajukan gugatan perceraian sudah
mantap, maka selanjutnya menyusun gugatan permohonan perceraian,
dimulai dengan kronologis perkawinan, alasan yang menyebabkan (posita),
disertai atas permohonan putusan yang akan diperoleh nantinya (petitum)
kemudian diajukan ke Pengadilan Agama tempat pemohon berdomisili/
bermukim. (Dr. Hj. Rusdaya Basri, 2020)
4. Akibat Perceraian
Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam pasal 156 Kompilasi
hukum Islam: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari
ibunya, Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak
hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula; Suatu biaya
hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri
sendiri (21 tahun); Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d); Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

18
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang
tidak turut padanya. (Rofiq, 1995)
5. Perbedaan antara Khuluk dengan Cerai Gugat
Kompilasi hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khuluk. Namun
demikian ia mempunyai kesamaan dan perbedaan diantara keduanya.
Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Lain
halnya perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad
(uang tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khuluk uang iwad (uang tebusan)
menjadi dasar akan terjadinya khuluk atau perceraian. (Rofiq, 1995)
6. Perbedaan antara Talak dengan Cerai Gugat
Dalam cerai talak, petitum perkaranya mengijinkan penggugat untuk
menjatuhkan talak kepada tergugat. Implikasi hukumnya bahwa sepanjang
mantan isteri tidak nusyuz maka suami masih memiliki tanggung jawab untuk
memberi nafkah iddah dan nafkah muth‟ah kepada mantan isteri. Sedangkan
dalam cerai gugat, petitum perkaranya adalah tergugat menjatuhkan talak satu
ba‟in sughra kepada penggugat. Untuk implikasi cerai gugat, isteri tidak berhak
mendapatkan nafkah iddah maupun nafkah muth‟ah, karena suami tidak memiliki
hak rujuk. (Dr. Hj. Rusdaya Basri, 2020)

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan kata kata tertentu. Dasar hukum talak adalah Q.S. Al-
Baqarah: 29 dan H.R. Abi Dawud. Hukumnya menyesuaikan keadaan berentang dari
wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Rukun suami, istri, shighat, dan prosedur
talak. Macam talak raj‟i, ba‟in (ba‟in sughra & ba‟in kubra), sunni, dan bid‟i. Prinsip
talak dijadikan opsi terakhir.
Khuluk ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri,
hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri menyanggupi
membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar)
mengikuti mahar yang telah diberikan. Dasar hukum khuluk adalah Q.S. Al-Baqarah:
229 dan HR Al-Bukhari. Hukumnya mubah, haram, dan sunnah. Ukuran tebusan
khuluk menurut mazhab Syaafi„iyah berpendapat bahwa di dalam khuluk boleh
digunakan tebusan dengan seluruh mahar atau sebagiannya, atau dengan harta lain
selain mahar. Hikmahnya aturan khuluk yang ditetapkan oleh syariat adalah
merupakan solusi yang ditawarkan Rasulullah Saw. kepada para isteri yang merasa
tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya.
Cerai gugat adalah berakhirnya hubungan pernikahan disebabkan adanya gugatan
yang diajukan oleh istri di Pengadilan Agama dan terjadi dengan suatu putusan
pengadilan. Alasan khuluk terdapat d alam pasal 39 ayat 2 Undang-undang (UU) No.
1 Tahun 1974. Prosedur terbagi menjadi empat tahapan.

B. Saran
a. Untuk penulis, karya tulis ini diharapkan menjadi pelajaran dan menambah
pengalaman dalam upayanya membuat karya tulis ilmiah.
b. Untuk pembaca, karya tulis ini diharapkan menjadi sumber kecil yang menambah
ilmu pengetahuan

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bassam, A. b. (n.d.). Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram. Ad-Darul Alamiyyah.

al-Bugha, M. a.-K. (2000). al-Fiqh al-Manhaji „ala Madzhab al-Imam al-Syâfi‟i. Surabaya: Al-
Fithrah.

al-Jaziri, A. (n.d.). Fiqh ala Madzahib al-Araba‟ah. Baerut Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Manar, T. (2007). Fikih Nikah. Bandung: Syamil cipta Media.

al-Zuhaili, W. (1989). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr.

Bakar, T. A. (2012). Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra.

Doi, A. R. (2002). Penjelasan Lengkap Hukum- Hukum Allah (Syari‟ah). Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.

Dr. Hj. Rusdaya Basri, L. M. (2020). Fikih Munakahat 2. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.

Ghazali, A. R. (2003). Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media.

Ghazali, P. D. (2003). Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.

Ghoffar, M. A. (2001). Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Grafika, R. S. (2006). Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafikan.

Muhammad Syaifuddin, S. T. (2014). Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.

Mukhtar, K. (1974). Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.

Munawwir, A. (1997). Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.

Muzammil, D. H. (2019). Fiqh Munakahat. Tangerang: Tira Smart.

Ramulyo, M. I. (2004). Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1
Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Rofiq, A. (1995). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rushd, I. (1908). Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid. Beirut: Dār al Fikr al-Islamiyah.

Sabiq, S. (1994). Fiqih Sunnah. Kairo: Dar Al-Kutub.

Shihab, M. Q. (2017). Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Tangerang:
Lentera Hati.

Soemiyati, N. (1982). Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta:


Liberty.

Tihami, P. D. (2004). Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.

21

Anda mungkin juga menyukai