Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KONSEP DASAR KEPERAWATAN JIWA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu:

Lailatul Fadilah, S.Kep,Ners.,M.Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Dede Rifaldi P27904121052

Hikmawati Sugi P27904121059

Ine Fitrieny P27904121060

Leili Dewi R P27904121063

Mira Kurniasih P27904121066

POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah singkat tepat pada waktunya. Adapun judul
dari makalah singkat ini adalah “KONSEP DASAR KEPERAWATAN JIWA”.

Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa Lailatul Fadilah, S.Kep,Ners.,M.Kep. Selain
itu, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan makalah singkat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah singkat ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat
membuat makalah singkat ini menjadi lebih baik serta bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.

Tangerang, 12 Juli 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................... 2
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................... 3
1.3 TUJUAN PENULISAN ................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 9
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA.......................... 9
2.2 KONSEP KESEHATAN JIWA .................................................................... 10
2.3 PARADIGMA KEPERAWATAN JIWA .................................................... 12
2.4 FALSAFAH KEPERAWATAN JIWA ......................................................... 13
2.5 PROSES TERJADINYA GANGGUAN JIWA DALAM
PERSEPEKTIF KEPERAWATAN JIWA .................................................... 14
2.6 PERAN DAN FUNGSI PERAWATAN JIWA............................................. 16
2.7 PELAYANAN DAN KOLABORATIF INTERDISPILIN DALAM
KESEHATAN DAN KEPERAWATAN JIWA ............................................ 20
2.8 LEGAL ETIK DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA .............................................................................................................. 24

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 25


3.1 KESIMPULAN .............................................................................................. 25
3.2 SARAN .......................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa masyarakat telah menjadi bagian dari masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Berbagai masalah multi-dimensional yang masih
dan akan terus dihadapi masyarakat menyangkut masalah ekonomi, bencana
alam, wabah penyakit merupakan factor pencetus terjadinya masalah pada
kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Masalah kesehatan jiwa di masyarakat
dampaknya sangat luas dan kompleks. Meskipun secara tidak langsung
menyebabkan kematian, namun akan mengakibatkan si penderita gangguan
jiwa menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga dan
lingkungan masyarakat di sekitarnya
Definisi kesehatan jiwa menurut UU no.3 1966 tersebut adalah keadaan
jiwa yang schat. mengenai usaha-usaha kesehatan jiwa dan penanganan
penakit jiwa diusahakan oleh pemerintah atau badan swasta dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam usaha- usaha kesehatan jiwa (promotif,
preventif, kuratif, rehabilitative)
Masalah kesehatan mental sering terjadi di masyarakat. Masalah
kesehatan mental yang terjadi di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor makro sosial dan makro ekonomi. Pemerintah terus melakukan
dan memperbaiki peraturan yang berkaitan dengan faktor-faktor tersebut.
Hanya saja terkadang pemerintah sebagai pembuat dan perancang peraturan
tidak sadar akan konsekuensi peraturan yang mereka buat terhadap kesehatan
mental masyarakat. Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi
kesehatan mental masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, terjadinya
konflik yang berkepanjangan, dll. Faktor kemiskinan mempengaruhi
kesehatan mental masyarakat dikarenakan tekanan-tekanan dalam menjalani
hidup, seperti kesulitan untuk memenuhi keperluan hidup, tekanan dari
lingkungan sosial terkait dengan penerimaan dari lingkungan sekitarnya,
kemudian dari segi kesehatan, kesulitan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak bagi mereka juga membuat semakin parahnya gangguan
yang mereka alamiDari kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi dapat
menimbulkan dampak negatif yang semakin memperparah keadaan, seperti
misalnya bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, dll. Pengangguran juga
menjadi salah satu hal yang mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan

1
Mental. Hal ini disebabkan oleh penilaian negatif dari masyarakat terhadap
orang-orang yang belum memperoleh pekerjaan, selain itu juga tuntutan atau
desakan dari orang-orang terdekat yang membuat orang tersebut semakin
tertekan dan menimbulkan gangguan psikologis dalam dirinya. Untuk
mengatasinya diperlukan program preventif dan promosi kesehatan mental
kepada masyarakat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Keperawatan jiwa
2. Bagaimana Konsep Kesehatan Jiwa
3. Apa Paradigma Keperawatan Jiwa
4. Apa Falsafah Keperawatan Jiwa
5. Bagaimana Proses Terjadinya Gangguan Jiwa Dalam Perspektif
Keperawatan Jiwa
6. Apa Saja Peran Dan Fungsi Perawatan Jiwa
7. Apa Saja Pelayanan Dan Kolaboratif Interdisiplin Dalam Kesehatan Dan
Keperawatan Jiwa
8. Bagaimana Legal Etik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Jiwa
9. Bagaimana Sosiokultural Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Jiwa
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Bagaimana Sejarah Perkembangan Keperawatan jiwa
2. Mengetahui BagaimanaKonsep Kesehatan Jiwa
3. Mengetahui Apa Paradigma Keperawatan Jiwa
4. Mengetahui Apa Falsafah Keperawatan Jiwa
5. Mengetahui Bagaimana Proses Terjadinya Gangguan Jiwa Dalam
Perspektif Keperawatan Jiwa
6. Mengetahui Apa Saja Peran Dan Fungsi Perawatan Jiwa
7. Mengetahui Apa Saja Pelayanan Dan Kolaboratif Interdisiplin Dalam
Kesehatan Dan Keperawatan Jiwa
8. Mengetahui Bagaimana Legal Etik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan
Jiwa
9. Mengetahui Bagaimana Sosiokultural Dalam Konteks Asuhan
Keperawatan Jiwa

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA


A. Perkembangan Keperawatan Jiwa Di Dunia
Sejarah kesehatan mental di dunia tak lepas dari munculnya beragam
gangguan yang dialami oleh banyak orang. Ternyata, sejarah kesehatan
mental sebenarnya telah ada sejak zaman purbakala. Berikut perkembangan
keperawatan jiwa di dunia:
1. Masa Peradaban
Masa ini dimulai antara tahun 1770 sampai dengan tahun 1880,
ditandai dengan dimulainya pengobatan terhadap pasien gangguan
mental. Para masa ini, suku bangsa Yunani, Romawi maupun Arab
percaya bahwa gangguan mental (emosional) diakibatkan karena tidak
berfungsinya organ pada otak. Pengobatan yang digunakan pada masa ini
telah mengabungkan berbagai pendekatan pengobatan seperti:
memberikan ketenangan, mencukupi asupan gizi yang baik,
melaksanakan kebersihan badan yang baik, mendengarkan musik dan
melakukan aktivitas rekreasi.
Hippocrates bapak kedokteran abad 7 SM, menerangkan bahwa
perubahan perilaku atau watak dan gangguan mental disebabkan karena
adanya perubahan 4 cairan tubuh atauhormon, yang dapat menghasilkan
panas, dingin, kering dan kelembaban. seorang Dokter Yunani Galen,
mengatakan ada hubungan antara kerusakan pada otak dengan kejadian
gangguan mental dan perubahan emosi. Pada masa itui suku bangsa
Yunani telah menggunakan sistem perawatan yang modern dimana telah
digunakannya kuil sebagai rumah sakit dengan lingkungan yang bersih,
udara yang segar, sinar matahari dan penggunaan air bersih. Untuk
menyembuhkan pasien dengan penyakit jiwa/gangguan mental pasien
diajak untuk melakukan berbagai aktifitas seperti bersepeda, jalan-jalan,
dan mendengarkan suara air terjun, musik yang lembut dan lain
sebagainya.
2. Masa Pertengahan
Masa ini merupakan periode pengobatan modern pasien gangguan
jiwa. Bapak Psikiatric Perancis Pinel, menghabiskan sebahagian hidupnya

3
untuk mendampingi pasien gangguan jiwa. Pinel menganjarkan
pentingnya hubungan pasien-dokter dalam "pengobatan moral". Tindakan
yang diperkenalkan nya adalah menerapkan komunikasi dengan pasien,
melakukan observasi perilaku pasien dan melakukan pengkajian riwayat
perkembangan pasien.
3. Abad 18 dan 19
William Ellis seorang praktisi kesehatan mengusulkan perlunya
pendamping yang terlatih dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa.
Pada tahun 1836, William Ellismempublikasikan Treatise on Insanity
yaitu pentingnya pendamping terlatih bagi pasien gangguan jiwa karena
terlatih rterbukti efektif didalam memberikan ketenangan dan harapan
yang lebih baik bagi kesembuhan pasien. Bejamin Rush bapak Psikiatric
Amerika tahun 1783, menulis tentang pentingnya kerja sama dengan rs
jiwa dalam memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pasien gangguan
jiwa. Pada tahun Tahun 1843. Thomas Kirkbridge mengadakan pelatihan
bagi dokter di rumah sakit Pennsylvania mengenai cara merawat pasien
gangguan jiwa. Tahun 1872, didirikannya pertama kali sekolah perawat di
New England Hospital Women's Hospital Philadelphia, tetapi tidak untuk
pelayan pskiatrik.
Tahun 1882 didirikannya pendidikan keperawatan jiwa pertama di
McLean Hospital diBelmont, Massachusetts. Dan pada tahun 1890
diterimanya lulusan sekolah perawat bekerja sebagai staff keperawatan di
rumah sakit jiwa. Diakhir abad 19 terjadi perubahan peran perawat jiwa
yang sangat besar, dimana peran tersebut antara lain menjadi contoh
dalam pengobatan pengobatan pskiatrik seperti, menjadi bagian dari tim
kesehatan, mengelola pemberian obat penenang dan memberikan
hidroterapi (terapi air).
4. Keperawatan Jiwa di Abad 20
Keperawatan jiwa pada abad ini ditandai dengan terintegrasinya
materi keperawatan psikiatrik dengan mata kuliah lain. Pembelajaran
dilaksanakan melalui pembelajaran teori, praktek dilaboratorium, praktek
klinik di RS dan Masyarakat. Tingkat pendidikan yang ada pada abad ini
adalah D.III, Sarjana, Pasca Sarjana dan Doktoral.
Fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa pada abad 21 adalah
mengembangkan asuhan keperawatan berbasis komunitas dengan

4
menekankan upaya preventif melalui pengembangan pusatkesehatan
mental, praktek mandiri, pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care
(perawatan harian) yaitu pasien tidak dirawat inap hanya rawat
jalan,kunjungan rumah dan hospice care (ruang rawat khusus untuk
pasien gangguan jiwa yang memungkinkan pasien berlatih untuk
meningkatkan kemampuan diri sebelum kembali ke masyarakat). Selain
itu dilakukan identifikasi dan pemberian asuhan keperawatan pada
kelompok berisiko tinggi berupa penyuluhan mengenai perubahan gaya
hidup yang dapat mengakibatkan masalah gangguan kesehatan jiwa.
Selain itu dikembangkan pula sistem management pasien care dimana
peran seorang manager adalah mengkoordinasikan pelayanan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan multidisipliner.
B. Perkembangan Keperawatan Jiwa Di Indonesia
Perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia juga melalui beberapa
perubahan zaman, antara lain:
1. Masa Penjajahan Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat merupakan
penduduk pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser
sebagai penjaga orang sakit.Tahun 1799 pemerintah kolonial Belanda
mendirikan Rumah Sakit Binen Hospital di Jakarta, Dinas Kesehatan
Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat yang bertujuan untuk memelihara
kesehatan staf dan tentara Belanda. Jenderal Daendels juga mendirikan
rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti
perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk
kepentingan tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812-1816)
Gubernur Jenderal Inggris ketika itu dijabat oleh Raffles sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu
kesehatan adalah milik setiap manusia, ia melakukan berbagai upaya
untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain
melakukan pencacaran umum, cara perawatan pasien dengan gangguan
jiwa dan kesehatan para tahanan Setelah pemerintahan kolonial kembali
ke tangan Belanda. kesehatan penduduk Indonesia menjadi lebih baik.
Pada tahun 1819 didirikanlah RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan
pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yang sekarang bernama RS.

5
Cipto Mangunkusumo (RSCM). Antara tahun 1816 hingga 1942
pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan rumah sakit di Indonesia.
Di Jakarta didirikanlah RS. PGI Cikini dan RS. ST Carollus. Di Bandung
didirikan RS. ST. Boromeus dan RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan
dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada masa penjajahan Jepang, perkembangan keperawatan di
Indonesia mengalami kemundurandan merupakan zaman kegelapan. Pada
masa itu, tugas keperawatan tidak dilakukan oleh tenaga terdidik dan
pemerintah Jepang mengambil alih pimpinan rumah sakit. Hal ini
mengakibatkan berjangkitnya wabah penyakit karena ketiadaan
persediaan obat.
4. Zaman Kemerdekaan
a. Periode 1945-1962
Tahun 1945 s/d 1950 merupakan masa transisi pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan keperawatan
pun masih jalan di tempat. Ini dapat dilihat dari pengembanagan
tenaga keperawatan yang masih menggunakan sistem pendidikan
yang telah ada. yaitu Perawat lulusan pendidikan Belanda (MULO + 3
tahun pendidikan), untuk ijazah A (perawat umum) dan ijazah B
untuk perawat jiwa dan pendidikan perawat dengan dasar (SR + 4
tahun pendidikan) yang lulusannya disebut mantri juru rawat.
Kemudian ditahun 1953 dibuka sekolah pengatur rawat yang
bertujuan menghasilkan tenaga perawat yang lebih berkualitas dengan
latar belakang sekolah menengah pertama dan lama pendidikan 3
tahun yang dibuka di 3 wilayah yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Pada tahun 1955 dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan
pendidikan SR ditambah pendidikan satu tahun dan sebagai
pengembangan SDK di lanjutkan sekolah pengamat kesehatan
ditambah pendidikan selama satu tahun.
Pada tahun 1962 dibuka Akademi Keperawatan dengan
lulusan SMA yang bertempat di Jakarta, di RS. Cipto Mangunkusumo
(yang dulu dikenal dengan nama Centraol Burgerlijke Ziekenkhuis,
CBZ) dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah atas di
tambah dengan pendidikan keperawatan 3 tahun.. Sekarang dikenal

6
dengan nama Akper Depkes di Jl. Kimia No. 17 Jakarta Pusat.
Walupun sudah ada pendidikan tinggi namun pola pengembangan
pendidikan keperawatan belum tampak. ini ditinjau dari kelembagaan
organisasi di rumah sakit. Kemudian juga ditinjau dari masih
berorientasinya perawat pada keterampilan tindakan dan belum
dikenalkannya konsep kurikulum keperawatan.
b. Periode 1963-1983
Pada tahun 1972 tepatnya tanggal 17 April berdirilah
organisasi profesi keperawatan dengan nama Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) di Jakarta. Ini merupakan suatau langkah
maju dalam perkembangan keperawatan. Namun baru mulai tahun
1983 organisasi profesi ini terlibat penuh dalam pembenahan
keperawatan melalui kerjasama dengan CHS, Depkes dan organisasi
lainnya. Di tahun 1983 juga PPNI melalui Lokakarya Nasional
Keperawatan di Jakarta bertekad dan sepekat menyatakan bahwa
keperawatan adalah suatu bidang keprofesian dan pendidikan
keperawatan berada pada pendidikan tinggi.
c. Periode 1984 Sampai Dengan Sekarang
Perkembangan profesionalisme keperawatan di Indonesia
berjalan seiring dengan perkembangan pendidikan keperawatan yang
ada di Indonesia. Pengakuan perawatan profesional pemula adalah
bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan Diploma III
Keperawatan. Program ini menghasilkan perawat generalis sebagai
perawat profesional pemula, dikembangkan dengan landasan
keilmuan yang cukup dan landasan profesional yang kokoh.
Perkembangan pendidikan keperawatan tidak cukup sampai di
tingkat diploma saja, keinginan dari profesi keperawatan untuk terus
mengembangkan pendidikan maka pada tahun 1985, resmi dibukanya
pendidikan 51 keperawatan dengan nama Progran Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi di
Jakarta. Sejak saat itu PSIK- UI menghasilkan tenaga keperawatan
tingkat sarjana sehingga pada tahun 1992 dikeluarkan UU No. 23
tentang kesehatan yang mengakui tenaga keperawatan sebagai profesi.
Pada tahun 1996. PSIK di Universitas PadjajaranBandung dibuka.
Pada tahun 1997 PSIK-UI berubah statusnya menjadiFakultas Ilmu

7
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), dan untuk
meningkatkan kualitas lulusan, pada tahun 1998 kurikulum
pendidikan Ners disyahkan dan digunakan. Selanjutnya ditahun 1999
kurikulum D-III keperawatan mulai dibenahi dan digunakan mulai
pada tahun 2000 sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1999 juga.
didirikan program pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Ul.
Keperawatan saat ini juga terbagi menjadi beberapa fokus bidang
yaitu. keperawatan jiwa. keperawatan medikal bedah, keperawatan
maternitas, keperawatan komunitas, dan keperawatan anak, setidaknya
itulah yang berkembang di keperawatan Indonesia. Dari pembagian
ini dapat kita simpulkan bahwa peran perawat sangatlah luas dan
mencakup seluruh daur hidup manusia dari masa fetus (janin) hingga
masa terminal (menjelang kematian). Pendidikan Keperawatan
merupakan institusi yang memiliki peranan besar dalam
mengembangkan dan menciptakan proses profesionalisasi para tenaga
keperawatan. Pendidikan kepera watan mampu memberikan bentuk
dan corak tenaga yang pada gilirannya memiliki tingkat kemampuan
dan mampu menfasilitasi pembentukan komunitas keperawatan dalam
memberikan suara dan sumbangsih bagi profesi dan masyarakat.
Sejak tahun 1990-an pendidikan keperawatan di Indonesia telah
selangkah lebih baik daripada periode sebelumnya. Ini ditunjukkan
dengan data yang saat ini komposisi perawat terbanyak adalah SPK
(60%). diikuti oleh diploma (39% dan sarjana keperawatan (1%).
Sebagai perawat umum mereka memiliki izin untuk bekerja di rumah
sakit atau berbagai pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat.
Namun demikian, pengaturan mengenai pendirian dan
penyelenggaraan pendidikan keperawatan masih saja belum tegas dan
jelas, sehingga banyak sekali berdiri institusi pendidikan keperawatan
yang kualitasnya masih diragukan. Sebagai contoh, sejak tahun 1982
sebenarnya telah dilakukan phasing out terhadap lulusan Sekolah
Perawat Kesehatan/ SPK (SMP + 3 tahun) dan dikonversikan menjadi
pendidikan jenjang DIII keperawatan. Namun realitanya bermunculan
Sekolah Menengak Kejuruan (SMK) khusus keperawatan. Hal ini
mengingkari dihapusnya SPK. Tugas dari lulusan SMK hanya pada
tataran membantu tugas asuhan keperawatan.

8
2.2 KONSEP KESEHATAN JIWA
A. Definisi Sehat Jiwa
Sehat adalah dalam keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh dan
bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif, karena bersifat subjektif
sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan.
Kesehatan jiwa adalah kondisi seseorang dalam keadaan sehat secara
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial sehingga mampu memenuhi
tanggung jawab, berfungsi secara efektif di lingkungannya dan puas dengan
perannya sebagai individu maupun dalam berhubungan secara interpersonal
(Videback, 2010; Stuart, Keliat, & Pasaribu, 2016)
Kesehatan jiwa menurut UU Kesehatan Jiwa No.18/th 2014 adalah
kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya. (Kemenkes, 2014)
B. Ciri-ciri Sehat Jiwa
Berikut ini akan dijelaskan ciri sehat jiwa menurut beberapa ahli, diantaranya:
a. Yahoda
Yahoda mencirikan sehat jiwa sebagai berikut :
1) Memiliki sifat positif terhadap diri sendiri
2) Tumbuh, berkembang dan beraktualisasi
3) Menyadari adanya integrasi dan hubungan antara masa lalu dan
sekarang
4) Memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan dan tidak
bergantung siapapun
5) Memliki persepsi sesuai kenyataan
6) Mampu menguasai lingkungan dan beradaptasi
b. WHO (World Heakth Organisation)
Pada tahun 1959 dalam sidang di Geneva, WHO memiliki kriteria sehar
sebagai berikut:
1) Individu mampu menyelesaikan diri secara konstruktur pada
kenyataan, meskipun itu buruk baginya
2) Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya
3) Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4) Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.

9
5) Mempu berhubungan dengan orang lain secara tolong menolomh dan
saling memuaskan
6) Mampu menerima kekecawaan sebagai pelajaran yang akan datang
7) Mempunyai rasa kasih sayang.
c. MASLOW
Maslow mengatakan individu yang sehat jiwa memiliki ciri sebagai
berikut:
1) Persepsi realitas yang akurat.
2) Menerima diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3) Spontan
4) Sederhana dan wajar
2.3 PARADIGMA KEPERAWATAN JIWA
Falsafah keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari layanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan. Dalam melakukan peran dan fungsinya seorang perawat harus
memiliki keyakinan terhadap nilai keperawatan yang menjadi pedoman dalam
memberikan asuhan keperawatan. Keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang
perawat yaitu:
a) Bahwa manusia adalah mahluk holistik yang terdiri dari komponen
bio-psiko-sosio dan spiritual.
b) Tujuan pemberian asuhan keperawatan adalah meningkatkan derajat
kesehtan manusia secara optimal.
c) Tindakan keperawatan yang diberikan merupakan tindakan kolaborasi
antara tim kesehatan, klien maupun keluarga.
d) Tindakan keperawatan yang diberikan merupakan suatu metode
pemecahan masalah dengan pendekatan proses keperawatan
• Perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
• Pendidikan keperawatan harus dilakukan secara terus-
menerus.

Empat komponen dalam paradigma keperawatan meliputi : manusia, keperawatan,


lingkungan, dan kesehatan.

1. Manusia
Keperawatan jiwa memandang manusia sebagai mahluk holisstik
yang terdiri dari komponen bio-psiko-sosial dan spiritual merupakan satu

10
kesatuan utuh dari aspek jasmani dan rohani serta unik karena mempunyai
berbagai macam kebutuhan sesuai tingkat perkembangannya.
Paradigma keperawatan memandang manusia sebagai mahluk
holistik, yang merupakan sistem terbuka, sistem adaptif, personal dan
interpersonal. Sebagai sistem terbuka, manusia mampu mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan fisik, biologis,
psikologis maupun sosial dan spiritual. Sebagai sistem adaptif manusia
akan menunjukkan respon adaptif atau maladaptif terhadap perubahan
lingkungan. Respon adaptif terjadi apabila manusia memiliki mekanisme
koping yang baik dalam menghadapi perubahan lingkungan, tetapi apabila
kemampuan merespon perubahan lingkungan rendah, maka manusia akan
menunjukan prilaku yang maladaptif.
2. Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai
bagian integral pelayanan kesehatan yang dilakukan secara
komprpehensif berbentuk pelayanan biologis, psikologis, sosial, spiritual
dan kultural, ditujukan bagi individu, keluarga dan masyarakat sehat
maupun sakit mencakup siklus hidup manusia.
Pemberian asuhan keperawatan dilakukan melalui pendekatan
humanistik yaitu menghargai dan menghormati martabat manusia dan
menjunjung tinggi keadilan bagi semua manusia. Keperawatan bersifat
universal yaitu dalam memberikan asuhan keperawatan seorang perawat
tidak pernah membedakan klien berdasarkan atas ras, jenis kelamin, usia,
warna kulit, etnik, agama, aliran politik dan status ekonomi sosial.
Proses keperawatan membantu perawat melakukan praktik
keperawatan, dalam menyelesaikan masalah keperawatan klien, atau
memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan
terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan salah satu
teknik penyelesaian masalah (Problem solving). Proses keperawatan
merupakan proses yang dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan
terbuka. Melalui proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari
tindakan keperawatan yang bersifat rutin dan intuisis.
3. Kesehatan
Sehat adalah suatu keadaan dinamis, dimana individu harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, baik perubahanpada

11
lingkungan internal maupun eksternal untuk memepertahankan status
kesehatannya. Faktor lingkungan internaladalah faktor yang bersal dari
dalam individu yang mempengaruhi kesehatan individu seperti varibel
psikologis, intelektual dan spiritual serta proses penyakit. Sedangkan
faktor lingkungan eksternal adalah factor-faktor yang berada diluar
individu dapat mempengaruhi kesehatan antara lain variabel lingkungan
fisik, hubungan sosial dan ekonomi.
Salah satu ukuran yang digunakan untuk menentukan status
kesehatan adalah rentang sehat sakit. Menurut model ini, keadaaan sehat
selalu berubah secara konstan. Kondisi kesehatan individu selalu berada
dalam rentang sehat sakit, yaitu berada diantara diantara dua kutub yaitu
sehat optimal dan kematian. Apabila status kesehatan bergerak kearah
kematian, ini berarti individu berada dalam area sakit (illness area), tetapi
apabila status kesehatan bergerak ke arah sehat maka individu berada
dalam area sehat (wellness area).
4. Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan dalam keperawatan adalah faktor
eksternal yang mempengaruhi perkembangan manusia, yaitu lingkungan
fisik, psikologis, sosial. budaya, status ekonomi, dan spiritual. Untuk
mencapai keseimbangan, manusia harus mampu mengembangkan strategi
koping yang efektif agar dapat beradaptasi, sehingga hubungan
interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri
individu.
2.4 Falsafah Keperawatan Jiwa
Falsafah keperawatan adalah pandangan dasar tentamg hakikat manusia dan
esensi keperawatan yang menjadikan kerangka dasar dalam praktik keperawatan.
Falsafah Keperawatan bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang
dilakukan. Keperawatan memandang manusia sebagai mahluk holistic, sehingga
pendekatan pemberian asuhan keperawatan, dilakukan melalui pendekatan
humanistik, dalam arti perawat sangat menghargai dan menghormati martabat
manusia, memberi perhatian kepada klien serta menjunjung tinggi keadilan bagi
sesama manusia.
Keperawatan bersifat universal dalam arti dalam memberikan asuhan
keperawatan, perawat tidak membedakan atas ras, jenis kelamin, usia, warna kulit,
etik, agama, aliran politik, dan status sosial ekonomi.

12
2.5 PROSES TERJADINYA GANGGUAN JIWA DALAM PERSEPEKTIF
KEPERAWATAN JIWA

Ada beberapa sebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami


gangguan kesehatan terutama dari segi kesehatan mental. Faktor yang
menimbulkan terjadinya gangguan jiwa yaitu, faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.

A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres
yang memengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik
yang biologis, psikososial, dan sosiokultural. Secara bersama-sama, faktor ini
akan memengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai terhadap stres
pengalaman stres yang dialaminya. Adapun macam-macam faktor predisposisi
meliputi hal sebagai berikut.
a. Biologi: latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan biologis,
kesehatan umum, dan terpapar racun. Genetik Sebagian besar gangguan
jiwa disebabkan karena faktor keturunan.Dimana sifat-sifat gangguan
jiwa yang akan dialami oleh individu diturunkan oleh orang tua maupun
nenek moyang mereka melalui gen dan kromosom dalam sel
reproduksi. Menurut faktor keturunan, gangguan jiwa diturunkan pada
kromosom. Akan tetapi, belum diketahui kromosom yang mana yang
menentukan gangguan tersebut. Anak yang kembar identik mungkin
mengalami gangguan jiwa sebesar 50% jika salah satu mengalami
gangguan jiwa. Disamping itu, peluang 15 pada zygote sebesar 15%.
Apabila salah satu orang tuanya mengalami gangguan jiwa atau
gangguan persepsi sensori (pendengaran) memiliki peluang 15%
mengalami gangguan tersebut, jika kedua orang tuanya skizofrenia atau
gangguan persepsi sensori (pendengaran) maka berpeluang 35%
mengalami gangguan tersebut.
b. Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis,
dan kontrol. Faktor predisposisi pada situasi psikologis gangguan jiwa
meliputi perlakuan ibu pencemas kepada anaknya, anak terlalu

13
dilindungi, sedangkan bapak menghindar atau membatasi komunikasi
dengan anak. Selain itu kurang harmonisnya hubungan interpersonal
serta peranan yang bertolak belakang dan anak menerimanya, maka bisa
menimbulkan stress yang berlebihan sehingga berakhir pada gangguan
orientasi realitas.
c. Sosiokultural: usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi
sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial,
dan tingkatan sosial. Permusuhan akan menjadikan individu merasa
tersingkirkan dan ketidakmampuan mengatasi akan menimbulkan
masalah berat seperti delusi atau gangguan persepsi.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang mengancam individu. Faktor
presipitasi memerlukan energi yang besar dalam menghadapi stres atau
tekanan hidup. Faktor presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis, dan
sosiokultural. Waktu merupakan dimensi yang juga memengaruhi terjadinya
stres, yaitu berapa lama terpapar dan berapa frekuensi terjadinya stres. Adapun
faktor presipitasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut.
a. Kejadian yang menekan (stressful) Ada tiga cara mengategorikan
kejadian yang menekan kehidupan, yaitu aktivitas sosial, lingkungan
sosial, dan keinginan sosial. Aktivitas sosial meliputi keluarga,
pekerjaan, pendidikan, sosial, kesehatan, keuangan, aspek legal, dan
krisis komunitas. Lingkungan sosial adalah kejadian yang dijelaskan
sebagai jalan masuk dan jalan keluar. Jalan masuk adalah seseorang
yang baru memasuki lingkungan sosial. Keinginan sosial adalah
keinginan secara umum seperti pernikahan.
b. Ketegangan hidup Stres dapat meningkat karena kondisi kronis yang
meliputi ketegangan keluarga yang terus-menerus, ketidakpuasan
kerja, dan kesendirian. Beberapa ketegangan hidup yang umum terjadi
adalah perselisihan yang dihubungkan dengan hubungan perkawinan,
perubahan orang tua yang dihubungkan dengan remaja dan anak-anak,
ketegangan yang dihubungkan dengan ekonomi keluarga, serta
overload yang dihubungkan dengan peran.
2.6 PERAN DAN FUNGSI PERAWATAN JIWA

Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks
dari elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang mencakup

14
parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal(keuangan),
kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta kewajiban etik
dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa
perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area utama yaitu:

a. aktivitas asuhan langsung,


b. aktivitas komunikasi, dan
c. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.

Meskipun tidak semua perawat berperan serta dalam semua aktivitas,


mereka tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten
dari perawat jiwa. Selain itu, perawat jiwa harus mampu melakukan hal-hal
sebagai berikut.

a. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.


b. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan
keluarga dengan masalah kesehatan yang kompleks dan kondisi yang dapat
menimbulkan sakit.
c. Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus, seperti mengorganisasi,
mengkaji, negosiasi, koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta
perbaikan bagi individu dan keluarga.
d. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, dan
kelompok untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas
kesehatan mental termasuk pemberi pelayanan terkait, teknologi, dan
sistem sosial yang paling tepat.
e. Meningkatkan, memelihara kesehatan mental, serta mengatasi pengaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
f. Memberikan asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik dengan
masalah psikologik dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
g. Mengelola dan mengoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.

Dalam menjalankan peran fungsinya, perawat jiwa harus mampu


mengidentifikasi, menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka berikan
pada pasien, keluarga, dan komunitas. Hasil adalah semua hal yang terjadi pada
pasien dan keluarga ketika mereka berada dalam sistem pelayanan kesehatan,
dapat meliputi status kesehatan, status fungsional, kualitas kehidupan, ada atau

15
tidaknya penyakit, jenis respons koping, serta kepuasan terhadap tindak
penanggulangan.

Evaluasi hasil dapat berfokus pada kondisi klinik, intervensi, dan proses
pemberian asuhan. Berbagai hasil dapat dievaluasi mencakup indikator-indikator
klinik, fungsional, finansial, serta perseptual kepuasan pasien dan keluarga
2.7 PELAYANAN DAN KOLABORATIF INTERDISIPLIN DALAM
KESEHATAN DAN KEPERAWATAN JIWA
A. Pengertian Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin Keperawatan Jiwa

Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa merupakan


pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh sekolompok tim kesehatan
profesional (perawat, dokter, tim kesehatan lainnya maupun pasien dan
keluarga pasien sakit jiwa) yang mempunyai hubungan yang jelas, dengan
tujuan menentukan diagnosa, tindakantindakan medis, dorongan moral dan
kepedulian khususnya kepada pasien sakit jiwa.

Pelayanan akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari


anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada pasien
sakit jiwa. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Secara
integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi
efektif.

Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai


jika pasien sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa
tidak dapat berpikir dengan nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga
pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota tim. Disana anggota tim
dapat berkolaborasi dalam menentukan tindakan-tindakan yang telah
ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki keluarga terdekat, maka
disinilah peran perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim. Karena
perawatlah yang paling sering berkomunikasi dan kontak langsung dengan
pasien sakit jiwa. Perawat berada disamping pasien selam 24 jam sehingga

16
perawatlah yang mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan
untuk memberikan pelayanan yang baik dengan tim yang baik.

Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam


interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain.
Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan.

B. Proses Kolaborasi

Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik


kolaborasi . ANA ( 1980 ) menjabarkan kolaborasi sebagai ” hubungan
rekanan sejati , dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak
lain, dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab
masing-masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi
kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua
pihak ” . Dari penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa
kolaborasi dapat dianalisis melalui empat buah indikator :

a) Kontrol – kekuasaan
Berbagi kekuasaan atau kontrol kekuasaan bersama dapat terbina apabila baik
dokter maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk mendiskusikan
pasien tertentu. Beberapa peneliti telah mengembangkan instrumen penelitian
untuk mengukur kontrol-kekuasaan pada interaksi perawat-dokter.
b) Lingkungan Praktik
Lingkungan praktik menunjukan kegiatan dan tanggung jawab masing
masing pihak. Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang
terpisah sesuai dengan peraturan praktik perawat dan dokter,tapi ada
tugastugas tertentu yang dibina bersama.
c) Kepentingan Bersama
Peneliti yang menganalisa kepentingan bersama sebagai indikator kolaborasi
antara perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut pandang perilaku
organisasi. Para teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara
operasional menggunakan istilah tingkat ketegasan masing-masing ( usaha
untuk memuaskan sendiri ) dan faktor kerja sama ( usaha untuk memuaskan
kepentingan pihak lain ). Thomas dan Kilmann (1974) telah merancang
model untuk mengukur pola managemen penanganan konflik:

17
a. bersaing,
b. berkolaborasi,
c. berkompromi,
d. menghindar,
e. mengakomodasi

Tujuan Bersama

Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada


pasien dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat
kaitannya dengan prognosis pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi
tanggung jawab perawat, ada yang dianggap sebagai tanggung jawab
sepenuhnya dari dokter, ada pula tujuan yang merupakan tanggung jawab
bersama antara dokter dan perawat.

C. Elemen Efektifitasnya Kolaborasi dalam Keperawatan Jiwa

Kerjasama, menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk


memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka
dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-
benar didengar dan konsensus untuk dicapai.

Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil


konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya
bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting
mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan
klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas
kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam
perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang
berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi


profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan
seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan
konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang

18
ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap
anggota.

Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi.


Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,
menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan
ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat


digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team yaitu :

a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan


menggabungkan keahlian unik profesional.
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar professional.
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan
memahami orang lain.
D. Manfaat Kolaborasi Interdisiplin Dalam Pelayanan Keperawatan Jiwa

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi


profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalahmasalah dalam tim dari pada menyalahkan
seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Beberapa tujuan kolaborasi
interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain :

a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan


menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang
lain

Hambatan Dalam Melakukan Kolaborasi Interdisiplin dalam Keperawatan


Jiwa

19
Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada
banyak hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi :

a. Ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim


b. Struktur organisasi yang konvensional
c. Konflik peran dan tujuan
d. Kompetisi interpersonal
e. Status dan kekuasaan, dan individu itu sendiri
2.8 LEGAL ETIK DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
A. Definisi I Konteks Legal Keperawatan adalah aturan keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan termasuk ha dan kewajibannya
(Stuart dan Gail, 2007). B.

B. Pertimbangan legal dan etik Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti
klien di tempat lain. Isu legal dan etik yang dibahas pada bagian ini terutama
berkaitan dengan topic klien yang menunjukkan sikap bermusuhan dan
agresif, tetapi akan berlaku untuk semua klien di lingkungan kesehatan jiwa
(Stuart dan laraian, 2001).

a. Hospital Involunter Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas


sukarela. Hal ini berarti mereka ingin mencari terapi dan setujuh di rawat
di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien tidak mau dirawat di rumah
sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka berbahaya
bagi diri mereka sendiri atau orang lain (Misalnya: mereka mengancam
atau berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain). Sebagian
Negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil,
tetapi sama di setiap Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas
psikiatri selama 48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah klien harus
dimasukkan ke fasilitas psikiatri. Komitmen sipil atau hospitalisasi
involunter mengurangi hak klien untuk bebas atau meninggalkan rumah
sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang tetap utuh (Stuart dan
Gail, 2007).
b. Keluar dari Rumah Sakit Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela
memiliki hak untuk meninggalkan rumah sakit jika mereka tidak

20
membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien dapat menandatangani
suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari rumah sakit tanpa
saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang masuk
rumah sakit secara sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau
orang lain menandatangani surat permintaan untuk pulang, psikiater
dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien terhadap
keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan
hal tersebut (Stuart dan Gail, 2007).
c. Hak-hak Klien Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang
diberikan kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah
sakit dalam kasus komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk
menolak terapi, mengirim dan menerima surat yang masi tertutup, dan
menerima atau menolak pengunjung. Setiap larangan (misalnya: surat,
pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi
dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan didokumentasikan.. Hak
pasien jiwa secara umum (Stuart dan laraian, 2001) :
- Hak untuk berpakaian
- Hak untuk beribadahHak untuk dipekerjakan apabil
amemungkinkan
- Hak untuk menyimpan dan membuang barang
- Hak untuk melaksanakan keinginannya
- Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
- Hak untuk membeli barang
- Hak untuk pendidikan
d. Konsevator Pelindungan hukum merupakan proses yang terpisah dari
komitmen sipil. Pengadilan menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai
pelindung hukum yang memiliki banyak tanggung jawab untuk individu
tersebut, seperti memberi persetujuan dan membuat kontrak. Klien yang
memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak untuk membuat
kontrak ata persetujuan hukum yang memerlukan tanda tangan: hal ini
mempengaruhi banyak aktivitas sehari-hari yang kita anggap bennar.
Karena konsevator atau pelindung hukum berbicara atas nama klien,
perawat harus mendapat persetujuan atau izin dari konsevator klien
(Stuart dan Laraian, 2001).

21
e. Lingkungan yang kurang Restriktif Klien memiliki hak untuk menjalani
terapi di lingkungan yang kurang restriktif yang tepat untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak harus dirawat di RS
jika ia dapat diobati dilingkungan rawat jalan atau group home. Hirarki
dalam membatasi Pasien Jiwa (Stuart dan Laraian, 2001) :
- Ekstrimitas tubuh
- Batasan ruang gerak (kamar isolasi)
- Batasan dalam aktivitas sehari-hari, missal acara TV, waktu
merokok, komunikasi
- Aktivitas yang bermakna, missal akses untuk rekresi
- Pilihan perawat
- Control sumber keuangan
- Ekspresi verbal dan emosional

f. Peran Legal Perwat Perawat profesional perlu memahami aspek legal


untuk melindungi diri dan melindungi hak-hak pasien dan memahami
batas legal yang mempengaruhi praktek keperawatan. Perawat jiwa
memiliki hak dan kewajiban (Stuart dan Gail, 2007) :
a) Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatn
b) Perawat sebagai pekerja
c) Perawat sebagai warga Negara
g. Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang
Tindakan criminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki
kelainan jiwa perlu mendapatkan penyelidikan dari seorang ahli
kesehatan jiwa atau Visum et repertum psikiatrikum

Etik Keperawatan

1) Sudut pandang pada apa yang baik dan benar untuk kesehatan dan
kehidupan manusia
2) Mengajarkan bagaimana seorang perawat harus bertindak dan
berinteraksi dengan orang lain

Masalah legal dalam keperawatan

1) Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan memadai ridak


tersediaa

22
2) Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi
diri
3) Pedoman legal undang-undang praktek

LiaBilitas dalam Keperawatan Jiwa

1) Pasien bunuh diri


2) Gagal mendiagnosa
3) Penyalagunaan obat-obatan psikoaktif
4) Melanggar kerahasian
5) Gagal merujuk pasien
6) Tidak adanya informed consent

Peran legal perawat Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalaperan
legal :

1) Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan


2) Perawat sebagai pekerja
3) Perawat sebagai warga negara

Pertimbangan legal dan etik

1) Klien psikiater memilliki hak legal, sama seperti klien di tempat lain.
2) Legal etik berkaitan dengan topik klien yang menunjukan sikap
bermusuhan dan agresih
3) Berlaku untuk semua klien di lingkungan kesehatan jiwa

Meminimalkan LiaBilitas

1) Ikuti standar
2) Beri pelayanan keperawatan yang kompeten
3) Hubungan empati hormat dan belarasa
4) Dokumentasi lengkap dan objektif dan tepat waktu
5) Perawat menolong ditempat umum

a. Peran legal perawat Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab
dalam tiga peran legal :
- Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

23
- Perawat sebagai pekerja
- Perawat sebagai warga negara
b. Pengambilan keputusan sesuai etik : (ethical analysis)
- Pengumpulan informasi untuk mengklarifikasi latar belakang issue
tersebut
- Mengidentifikasi komponen etik atau keadaan dilemma yang
terjadi
- Mengklarifikasi hak dan tanggung jawab yang ada pada seluruh
pihak
- Solusi yang di implementasikan ke dalam tindakan
c. Malpraktik Malpraktik mencakup kegagalan seorang profesional untuk
memberikan jenis asuhan yang dilakukan oleh anggota profesi di
masyarakat, yang membahayakan pasien.
Kebanyakan tuntutan malpraktik diarsipkan dalam hukum tentang
kesalahan karena kelalaian. Kesalahan merupakan suatu kesalahan sipil
yang didalamnya pihak yang dirugikan memiliki hak untuk mendapatkan
kompensasi.
2.9 SOSIOKULTURAL DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN

Dalam setiap interaksi dengan pasien. Perawat harus menyadari luasnya


dunia kehidupan pasien. Perawat harus menyadari bahwa persepsi pasien tentang
sehat dan sakit, perilaku mencari bantuan, dan kepatuhan pada pengobatan
bergantung pada keyakinan, norma sosial, dan nilai budaya individu yang unik,
perawat yang peka secara budaya memahami pentingnya kekuatan sosial dan
budaya bagi individu, mengenal keunikan aspek tersebut, menghargai perbedaan
perawat – pasien, dan menggabungkan informasi sosiokultural ke dalam asuhan
keperawatan jiwa.

Faktor risiko sosiokultural pada gangguan jiwa meliputi :

• Usia
• Suku bangsa
• Gender
• Pendidikan
• Penghasilan
• Sistem keyakinan

24
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
1. Konsep Keperawatan Jiwa Masyarakat merupakan suatu orientasi kesehatan
jiwa yang mencakup semua kegiatan kesehatan jiwa yang dilaksanakan di
masyarakat dengan menitik beratkan pada upaya promotif dan preventif tanpa
melupakan upaya kuratif dan rehabilitative
- Factor kesadaran masyarakat
- Factor pendidikan
- Factor pelayanan kesehatan

2. Faktor-factor yang mempangaruhi pelaksanaan konsep kesehatan jiwa


masyarakat yaitu :
- Faktor keadaan social
- Pelatihan kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan masyarakat

3. Masalah-masalah yang dihadapi pada pelaksanaan konsep kesehatan jiwa


masyarakat
Kurangnya pengetahuan masyarakat
Minimnya fasilitas penunjang pengobatan
Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau
4. Upaya pemecahan masalah pada pelaksanaan konsep keperawatan jiwa
- Pemberdayaan masyarakat
3.2 SARAN
1. Untuk mahasiswa diharapkan bisa menguasai materi tentang konsep
keperawatan jiwa
2. Untuk dosen mata kuliah kiranya dapat selalu membimbing mahasiwa dalam
pembelajaran mengenai keperawatan jiwa

25
DAFTAR PUSTAKA
Ah. Yusuf., Fitriyasari, R. PK., Nihayati, H. E. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa . Jakarta: Salemba Medika
Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi Ke 5 ( Gail W. Stuart )
Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa Ah.(Yusuf Rizky,Fitryasari) PK Hanik
(Endang Nihayati)
Dalami, Ernawati. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa . CV. Trans
Info Media :Jakarta.
Erita, DKK.2019.Buku Materi Pembelajran Keperawatan Jiwa.
Erita, Sri, Hasian. 2019. Buku Materi Pembelajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta
Keliat, B. A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN-Basic Course)
Jakarta: EGC
Nurlela Lela, DKK.2023.Keperawatan Jiwa.PT. Sonpedia Publishing Indonesia
Nursing, Edisi 7,Mosby, Philadelpia. Dan Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku
Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Risnasari Norma.Bahan Ajar Keperawatan Jiwa
Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Psychiatric metal health nursing.
Jakarta : EGC
Stuart, G.W.,Sundeen,JS., 1998. Keperawatan jiwa (Terjemahan), alih bahasa: Achir
Yani edisi III. Jakarta : EGC.)
Widiyawati, Wiwik. (2020). Keperawatan Jiwa. Literasi Nusantara : Malang.
Halaman 54-57.

26

Anda mungkin juga menyukai