Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH QAWA’ID FIQHIYAH

PERCERAIAN MENURUT FIQIH, UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974


DIHUBUNGKAN DENGAN QAWAI'D FIQHIYAH
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Qawa’id
Fiqhiyah

Dosen Pengampu :
Dr. Sahmiar Pulungan, M.Ag

Disusun Oleh :
Syahril Efendi

Zaki Alawi Abdillah

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-nya yang telah memberikan rahmat-nya sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas makalah pada Mata Kuliah Qawa‟id Fiqhiyah.
Pada kesempatan kali ini tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu
Dosen Dr. Sahmiar Pulungan,M.Ag yang telah memberikan kami tugas makalah
ini. Yang di mana tujuannya agar mahasiswa lebih banyak mendapatkan ilmu dari
berbagai buku yang di baca sebagai pedoman dalam Belajar Mata Kuliah Qawa‟id
Fiqhiyah. Kami tahu bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna, kami
mengharapkan keritikan dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun. Kami
berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat di aplikasikan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dan kami berterima kasih kepada dosen yang telah membimbing kami agar
dapat menyelesaikan makalah dengan benar. Semoga makalah ini dapat memberikan
kita akan wawasan khazanah pengetahuan kita semua yang luas. Bahwa kami sadar
akan kekurangan makalah kami mohon saran dan keritikan, sekian dan terima kasih.

Medan, 23 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii

BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... .3
LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 3
RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 3
TUJUAN ..................................................................................................................................... 4

BAB II
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 5
A. PENGERTIAN PERCERAIAN MENURUT FIQIH ............................................................ 5
B. UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974
DIHUBUNGKAN DENGAN QAWAI'D FIQHIYAH .............................................................. 7

BAB III
PENUTUP .................................................................................................................................. 11
KESIMPULAN .......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Qawa‟idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum
(kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang
pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalahmasalah
yang serupa dengan suatu kaedah.

Perceraian merupakan peristiwa yang sangat menakutkan bagisetiap keluarga (Suami, Istri,
dan Anak-anak) penyebab perceraian bisa bermacam-macam, yaitu antara lain gagal
berkomunikasi sehingga menimbulkan pertengkaran, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah
tangga, masalah ekonomi, pernikahan usia dini, perubahan budaya, dan lain sebagainya. Setelah
perceraian ada penyesuain-penyesuain yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak ( mantan
suami dan mantan istri ) terhadap kehidupan mereka yang baru. Terutama masalah finansial ,
apalagi perkawinan dari mereka telah dilahirkan seorang anak.

Sebuah keluarga yang menjalani kehidupan tidak selamanya keadaan berjalan dengan baik
dan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi ada hal-hal lainnya yang secara sengaja atautidak
sengaja menjadi penghambat dan akhirnya menjadi masalah ditengah
jalannyakeharmonisan dan kedamaian keluarga tersebut. Permasalahan-permasalahan
kecil yangterakumulasi karena tidak adanya penyelesaian yang baik akhirnya dapat menjadi
masalahdan hambatan besar. Apabila segala jalan dan upaya sudah ditempuh untuk
menyingkirkanhambatan-hambatan dan menyelesaikan segala permasalahan tersebut tetapi
ternyata tidakberhasil, maka jalan terbaik yang ditempuh adalah perceraian. Perceraian dianggap
sebagaijalan instan untuk membereskan segala hambatan dan permasalahan yang
terjadi dalamrumah tangga, perceraian bukan lagi dianggap sebuah hal yang tabu
untuk dijalani.Perceraian adalah hal yang lumrah dan biasa dan memasyarakat.Pasangan suami
istri terkadang kurang bahkan tidak memikirkan dan memperhitungkan segala akibat
dan konsekwensi yang terjadi saat mereka memutuskanmelakukan perceraian. „Yang
penting bercerai dulu, urusan lainnya dipikirkan belakangansambil jalan‟, kata-kata itu mungkin
yang ada dalam pikiran pasangan yang hendak bercerai.Mereka menganggap segala
permasalahan baru yang akan terjadi pasca perceraian akan dapatdiselesaikan, padahal kenyataan
yang ada tidak sesederhana itu. Perceraian bukan saja akanmerugikan beberapa pihak namun
perceraian yang ada didalam lingkungan keluarga kristenjuga sudah jelas dilarang oleh
agama, tetapi pada kenyataannya perceraian dikalanganmasyarakat terus saja terjadi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Perceraian menurut Fiqih


2. Undang-undang No 1 tahun 1974 dihubungkan dengan Qawai'd fiqhiyyah
C. TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui perceraian menurut fiqih serta hubungan
undang-undang no 1 tahun 1974 dengan Qawai'd Fiqhiyyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perceraian Menurut Fiqih

Pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”.
Menurut istilah (syara‟) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan.
Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian
digunakan oleh syara‟.

Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”. Talak
berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang
merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan Talak dan Furqah mempunyai pengertian
umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan
oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami.

Menurut HA. Fuad Sa‟id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya
perkawinan antara suami dengan istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau
sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak.

Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-
istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dankewajiban sebagai suami-istri.
Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama,karena tidak ada ikatan yang resmi.
Mereka yang telah bercerai tetapi belum memilikianak, maka perpisahan tidak menimbulkan
dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan,
tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak. Di sisi lain,
mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri,
akandiikutsertakan kepada salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya.Menurut
Omar, perceraian merupakan upaya untuk melepaskan ikatan suamiisteri dari suatu perkawinan
yang disebabkan oleh alasan tertentu. Perceraian terjadi karena sudah tidak adanya jalan keluar
(dissolution marriage).Berdasarkan penjabaran di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa
perceraian merupakan berakhirnya hubungan suami isteri dari suatu perkawinan yangdisebabkan
oleh suatu alasan tertentu secara hukum

Akibat Hukum Perceraian

Setiap terjadinya perceraian orang tua tentu akan menimbulkan dampakterhadap


perkembangan anak, di karenakan anak usia dini pada umumnya masihmembutuhkan kasih
sayang dan perhatian penuh dari kedua orang tua. Suasanakeluarga yang berantakan dapat
menyebabkan anak menimbulkan pengaruh yangnegatif terhadap perkembangan jiwa anak
dalam masa pertumbuhannya, karena pribadi anak umumnya terjadi melalui pengalaman masa
kecil. Pengalaman yangdidapat anak waktu kecil baik pengalaman buruk atau pengalaman baik
semuanyaakan mempengaruhi dalam kehidupannya saat dewasa.Pengalaman anak yang didapat
saat orang tua bercerai akan mengalami pengalamaman transgresi (pengalaman disakiti atau
mendapat perlakuan tidak adildari diri sendiri atau orang tua). Stres dialami oleh anak korban
perceraian karenamunculnya konflik interparental yang tinggi, terputunsan hubungan dengan
salah satuorang tua, permasalahan kesehatan fisik dan mental orang tua dan hilangnya wibawa
orang tua. Transgresi itu sendiri akan mengakibatkan distresi emosional yangmerupakan
penyebab timbulnya perasaan tertekan dan emosi negatif yang melahirkan perilaku negatif.
Akibat langsung yang timbul dari perceraian adalah distresemosional dan masalah prilaku seperti
kemarahan, kebencian, kecemasan dan depresi.

1. Kedudukan Anak
Kelahiran seorang anak ditunggu dengan cinta dan kasih, akan tetapisebaliknya ada pula
kelahiran anak tersebut tidak diharapkan. Namun apapun jadinya,asalkan ia disebut anak, sama-
sama mempunyai hak perlindungan hukum yang sama,tidak boleh ada perbedaan. Kalaupun ada
perbedaan hanya dalam perolehan rasa cintadan kasih sayang orang tua dan keluarga.Menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42 yang berbunyi :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”
. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyaihubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebutselanjutnya di atur dalam Peraturan Pemerintah
(Pasal 43).

2. Kewajiban Orang Tua


Dalam hukum islam, yang dibebani tugas kewajiban memelihara danmendidik anak
adalah ayah, sedangkan ibu bersifat membantu. Ibu hanya berkewajiban menyusui dan
merawatnya. Sesungguhnya dalam hukum Islam sifathubungan hukum antara orang tua dan anak
dapat dilihat dari segi material, yaitumemberi nafkah, menyusukan (irdla) dan mengasuh
(hadlanah). Dari segi immaterialyaitu curahan cinta kasih, penjagaan, dan perlindungan serta
pendidikan rohani danlain-lain.Menurut hukum perdata bahwa kekuasaan orang tua (ounderlijke
macht:Pasal 198 dan seterusnya). Orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingananak-
anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing.Kepada orang
tua wajib menafkahi (kewajiban alimentasi) yaitu kewajiban untukmemelihara dan mendidik
anak-anaknya yang belum cukup umur

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DIHUBUNGKAN DENGAN QAWAI'D FIQHIYAH

Di Indonesia masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah pernikahan ini telah diatur
di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No.9Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 serta peraturan lainnya seperti PMA No 1 tahun 1952 dan
No. 4 tahun 1952 tentang wali Hakim. Pada pasal 2 bab II Kitab I KHI disebutkan bahwa
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Secara fikih apabila rukun dan syarat pernikahan sudah terpenuhi maka akad pernikahan
itu adalah sah. Namun, apabila dihubungkan dengan hukum positif, selain harus memenuhi
rukun dan syarat tersebut, akad nikah harus dicatat di KUA agar memperoleh legalisasi secara
hukum dan untuk menjaga agar tercipta ketertiban administrasi pernikahan. Begitu juga halnya
dengan perceraian yaitu haruslah dilakukan di depan sidang Peradilan Agama dengan beberapa
tahapan sidang yang telah diatur dalam UU No 3 tahun 2006 tentang PA. Sesungguhnya apabila
dilihat dari aspek kemaslahatan, pencatatan perkawinan di KUA dan perceraian melalui PA
adalah demi menjaga ikatan suci perkawinan tersebut agar terbina dengan baik dan tertib.
Landasan filosofis perkawinan atau pernikahan di Indonesia telah diatur dalam pasal 1
UU No 1 tahun 1974 yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”. Landasan filosofis tersebut dipertegas lagi
dalam KHI pasal 2 dengan tata nilai yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Ada 3 nilai
yang mendasar mengenai perkawinan itu, yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan bukan perjanjian biasa, dia melibatkan keluarga, masyarakat dan bahkan Allah
SWT. Oleh sebab itu akad nikah disebut sebagai akad yang sangat kuat. ( ‫)ي ٍ ثاق ا غ ه ٍظا‬
2. Perkawinan dilaksanakan dengan niat semata-mata karena mentaati perintah Allah.
3. Perkawinan dan segala aktivitas yang terkait dengannya adalah ibadah1.

Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah tentang Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan Perceraian di


Pengadilan Agama
Ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan perceraian itu diatur dalam UU No 1 tahun
1974 tentang perkawinan, PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1 tahun 1974, UU no
3 tahun 2006 perubahan atas UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No 32 tahun
1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan-
peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan itu. Peraturan-peraturan tersebut dibuat
oleh pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya terutama dalam bidang perkawinan
yang sejalan dengan tujuannya yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Pada pasal 2 UU No 1 tahun 1974 berbunyi :
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa perkawinan selain harus menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing agama untuk mendapat keabsahannya juga harus
dicatat menurut peraturan yang diatur oleh pemerintah supaya perkawinan itu mendapat
legalisasi secara hukum perundang-undnagan. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sejalan
dengan nilai yang terkandung dalam kaidah fiqhiyyah :

‫ت ان ً ص هحة ي نىط ان رع ٍة ع هى اان ًاو ان ت صرف‬

Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat Selanjutnya tentang keabsahan
perkawinan secara hukum positif tertuang dalam pasal 4 – 10 UU No 1 tahun 1974 sebagai
berikut :
Pasal 4:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
UU No. 1 tahun 1974.
Pasal 5 :
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam maka setiapnperkawinan harus
dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh PegawainPencatat Nikah
sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1966 Jo UU No. 32 tahun 1954.
Pasal 6:

1
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta:
Total Media Yogyakarta, 2006), h. 125
(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan
di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah
c. Adanya keraguan sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 tahun 1974
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
UU No 1 tahun 1974
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8 :
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khulu‟ atau putusan
taklik talak.
Pasal 9 :
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh maka dapat
diajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
Pasal 10 :
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah Dalam ketentuan KHI pasal 4 – 10, perkawinan bukan hanya dituntut
memenuhi syarat dan rukun perkawinan tetapi juga harus memenuhi ketentuan administratif
hukum yaitu tercatat dalam catatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Alasannya
adalah untuk ketertiban perkawinan (pasal 5).
Ada 2 persoalan hukum yang paling mendasar dari pencatatan di KUA
yaitu :
1. Persoalan seleksi calon mempelai. Dengan pencatatan di KUA dapat diketahui boleh atau
tidaknya perkawinan dilaksanakan secara hukum materiil Islam.
2. Bukti hukum (legalis formal). Pencatan perkawinan oleh KUA dibuktikan dengan pembuatan
buku Akta Nikah yang merupakan bukti tertulis keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan
yang sah secara hukum, tidak ada larangan perkawinan antara keduanya dan telah memenuhi
syarat dan rukun perkawinan. Tanpa adanya buku akta nikah maka perkawinan dianggap tidak
pernah ada. Ia merupakan syarat kelengkapan khusus untuk suatu gugatan ataupun permohonan
perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama sebagai hukum formil yang berlaku2. Bahwa
dikarenakan begitu pentingnya persoalan buku akta nikah, maka bagi pasangan yang tidak dapat
membuktikan perkawinannya dengan akta nikah harus mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama. Dalam kasus seseorang yang ingin mendapatkan harta bersama ketika terjadi perceraian,
padahal perkawinannya belum memiliki bukti hukum formil berupa akta nikah, maka

2
3A. Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Prisma, 2007), h. 49. lihat juga Roihan A. Rasyid, Hukum Acara di Pengadilan Agama, (Rajawali Pers, 1991), h. 64
- 65
sebelum melakukan perceraian terlebih dahulu harus melakukan itsbat nikah. Pentingnya akta
nikah itu sebagai bukti adanya sebuah perkawinan,
sejalan dengan kaidah fiqhiyyah :
‫ان رب هاٌ ك ان ثات ت ت ان ع ٍاٌان ثات ت ب‬

Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti (keterangan) sepadan dengan yang telah
ditetapkan berdasarkan kenyataan3.

Artinya akta nikah itu merupakan sebuah bukti tertulis yang dibuat oleh KUA sebagai
dalil kenyataan bahwa perkawinan itu memang benar-benar ada dan sah secara hukum.
Dalam pasal 8 diatur tentang keharusan adanya bukti perceraian berupa surat akta cerai karena
khulu‟, ikrar talak, pelanggaran taklik talak oleh Pengadilan Agama mana tempat tinggal isteri
berada. Bukti perceraian harus dibuktikan dengan putusan Pengadilan Agama
untuk keperluan sebagai berikut :
1. Penentuan masa iddahnya isteri (dapat dilihat pada akta perceraian yang dikeluarkan oleh PA)
2. Lampiran / memberi keterangan bahwa yang bersangkutan tidak lagi terikat perkawinan
dengan orang lain sehingga ia bebas untuk mengawini atau dikawini seseorang.
3. Bukti untuk melaksanakan rujuk di KUA setempat (pasal 167) cukup dengan akta cerainya
4. Memberi keterangan sebab terjadinya perceraian dan menyangkut harta bersama jika ada
apakah telah dibagi atau belum. Terhadap bukti surat akta cerai yang hilang dapat dimintakan
salinannya di Pengadilan Agama di mana ia melangsungkan perceraian (pasal 9 KHI).
Selanjutnya terhadap bukti rujuk yang dikeluarkan oleh KUA; PPN berguna sebagai bukti
sahnya rujuk. Rujuk sebagaimana yang diatur dalam hukum materiil Islam hasruslah dalam masa
iddah raj‟i. PPN yang ada di KUA dapat menghitung masa iddahnya. Apakah yang bersangkutan
dapat rujuk tanpa akad nikah (bain sughra) atau harus dengan nikah kembali karena telah berlalu
masa iddahnya. Maka surat akta rujuk yang dikeluarkan oleh KUA di mana ia bertempat tinggal
merupakan catatan penting hukum terhadap seseorang untuk menentukan hukum suami isteri.
Pencatatan ini merupakan hukum formil untuk memelihara hukum materil tentang rujuk
(pasal 10). Menyangkut tatacara rujuk di atur dalam pasal 167 – 169 KHI.
Semua aturan tentang pencatatan perkawinan, talak dan rujuk merupakan jaminan adanya
kepastian hukum di mana hubungan perkawinan diikat bukan hanya semata persoalan kehalalan
hubungan suami isteri tetapi juga hubungan jaminan kepastian hukum. Dalam hal ini pencatatan
sesungguhnya hukum acara formil untuk memelihara hukum-hukum materil Islam di dalam
bidang perkawinan4.
Berkaitan dengan pencatatan sebagai hukum formil sesungguhnya sarana /wasilah untuk
memelihara berlakunya hukum materil sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
‫ت ى سائ م اير ت ان شًء اأن ًر‬
Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan sarananya.
Juga kaidah :

‫ع ه ٍه ان دن ٍم اق اية اى م ح ٍ تاج ن هح كى اي ه ث ثت‬

Penetapan suatu hukum diperlukan adanya dalil.

Memang hukum pencatatan perkawinan belum ada pada masa Rasulullah SAW. Pada
masa itu perkawinan cukup dengan syarat dan rukun terpenuhi maka sah lah perkawinan itu
secara hukum Islam. Tetapi pada zaman sekarang syarat dan rukunnya walaupun sudah
terpenuhi, namun diperlukan lagi sebuah upaya melegalkan ikatan yang suci itu agar
kepentingan-kepentingan yang timbul sesudahnya seperti pengakuan sahnya seorang anak, ahli
waris, penyelesaian harta bersama dan masalah-masalah keluarga lainnya yang memerlukan
bukti berupa akta nikah haruslah dibuat peraturannya. Perubahan hukum itu sesuai dengan
3
A. Rahman Asjmuni, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 63
4
A. Sukris Sarmadi, op.cit. h. 51 - 52
perubahan situasi dan kondisi suatu zaman asalkan tetap dalam garis-garis ketentuan syariat yang
telah ditetapkan. Petunjuk tentang adanya perubahan itu
termuat dalam kaidah fiqhiyyah yang berbunyi :

‫اأن زياٌ ت ت غري اأن ح كاو ت غري ان ٍ ن كر‬


Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman
Juga kaidah :

‫واان حىال واان ً ك نة اان زي نة ت ت غري اان ح كاو ت غري‬

Perkawinan harus dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA merupakan sesuatu yang
sulit bagi masyarakat yang belum memahami secara mendalam tentang arti pentingnya
pencatatan itu. Pencatatan dianggap sebagai halangan atau mempersulit orang melangsungkan
perkawinan dan perceraian, padahal tidak demikian. Justru dengan adanya pencatatan itu, maka
aspek legalitas sebuah perkawinan akan terjaga dengan aman da tertib. Hal ini sejalan dengan
kaidah bahwa :

‫ان ت ٍ سر ج ت هة اي ه ش قة‬

Kesulitan mendatangkan kemudahan


Kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah
yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya 5 kebutuhan primer, yaitu agama,
jiwa, akal, harta, dan keturunan5.

Terkait dengan banyaknya kemaslahatan dari sebuah pencatatan itu juga maka
seyognyanya administrasi pencatatan perkawinan itu perlu dilestarikan dan dibina agar lebih baik
lagi, hal ini juga sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kaidah :

‫ان ف عم ذن ك ت ت كرر ن هً ص هحة ت ك ثرٌ ا اأن ع ٍاٌ ع هى ي شروع ف هى ف ع هه ت ت كرر ي ص هحة ريات كر ك م‬
‫ان ك فاٌ ة ع هى ي شروعه ٌ كىٌ ف ع هه وياان ٍ ت كرر‬
Setiap perulangan kemaslahatan karena perulangan perbuatan maka disyariatkan atas setiap
orang untuk memperbanyak kemaslahatan dengan perulangan perbuatan itu, namun ada
kemaslahatan yang tidak disyariatkan atas perulangan.
Mengenai hukum pencatatan perkawinan di KUA dan perceraian di PA dapat menjadi
wajib apabila sekiranya pencatatan itu mengandung kemaslahatan yang sangat besar bagi
seseorang dan apabila tidak dicatat akan menimbulkan mudarat. Selain itu juga dengan adanya
pencatatan perkawinan itu maka akan sempurnalah suatu kewajiban pernikahan itu, dan ini
sejalan dengan kaidah :
‫ان ىاجة ف هى ت ه اال ان ىجة ياان ٍ تى‬
Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka sarana yang
menyempurnakan kewajiban itu menjadi wajib diadakan.

5
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 165
BAB III
PENUTUP

C. Penutup / Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan yang suci (mitsaqan ghalidhan) yang harus dipelihara
eksistensinya secara hukum Islam maupun hukum positif, agar perkawinan mendapat legalitas
maka perlu adanya pencatatan perkawinan di KUA, kemudian berkenaan dengan hal-hal yang
terjadi kemudian seperti adanya keretakan dalam rumah tangga yang mengakibatkan perceraian
juga perlu dicatat dan diproses melalui Pengadilan Agama. Hukum apakah berdosa apabila
perkawinan dan perceraian tersebut tidak dicatat itu diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang
melatarbelakanginya,tetapi penulis berpendapat bahwa pencatatan perkawinan itu dapat menjadi
wajib
Pencatatan perkawinan dan perceraian di Pengadilan Agama dilaksanakan karena
kemaslahatan yang ditimbulkannya sangat banyak manfaatnya. Wallahu a‟lam.
DAFTAR PUSTAKA

Asjmuni, A. Rahman, 1976, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang.

Djazuli, Ahmad, Prof, Dr, 2006, Kaidah-Kaidah Fikih, kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, Jakarta:Kencana.

Halim, Abdul, Drs, M.A, 2005, Politik Hukum Islam di Indonesia, Ciputat Press,Karsayuda, M,
Drs, M.Ag.2006, Perkawinan Beda Agama, Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum
Islam, Yogyakarta: Total Media Yogyakarta.

Rasyid, Roihan A. Dr, 1991, Hukum Acara di Pengadilan Agama, Rajawali Pers.Ritonga,
Iskandar, 1999, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: Nuansa Madani.

Sarmadi, A. Sukris, H, S.Ag, M.H,2007, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Prisma.

Soeroso, R, 1993, Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Zahrah, Abu, 1957,, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi.

Zein, Satria Effendi M., 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah,Jakarta: Kencana.

UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan


UU no 3 tahun 2006 perubahan atas UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam
PP. No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU no 1 tahun 1974
13

Anda mungkin juga menyukai