Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TALAK, IDDAH DAN IHDAD, NUSYUZ, SIQAQ DAN FUNGSI


HAKAMAIN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Fiqh Munakahah, Siyasah, Dan Jinayah”
Dosen pengampu:
Mukhammad Zainul Muttaqin, M. H.

Disusun oleh Anggota Kelompok 4:


1. Muhammad Nizar Hanafi (126201212101)
2. Munifatul Afifah (126201212103)
3. Salis Sabila Jadidah (126201212110)
4. Nurul Ainis Siha (126201212112)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia,
serta taufik hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah tentang
“Talak, Iddah dan Ihdad, Nusyuz, Siqaq dan Fungsi Hakamain” dengan baik meskipun
banyak kekurangan di dalamnya, baik dari segi isi maupun penulisan. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Bapak Mukhammad Zainul Muttaqin, M. H. selaku dosen pengampu mata
kuliah Fiqh Munakahah, Siyasah, dan Jinayah. Dan tidak lupa pula penulisucapkan terima
kasih kepada rekan-rekan atas kerja samanya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas
pembuatan makalah ini.
Penulis sangat berharap karya tulis ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi yang penulis paparkan. Semoga karya tulis
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya karya tulis yang
disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua.

Tulungagung, 20 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Talak .......................................................................................................................... 3
B. Iddah ........................................................................................................................ 12
C. Ihdad ........................................................................................................................ 17
D. Nusyuz ..................................................................................................................... 20
E. Siqaq ........................................................................................................................ 22
F. Hukum Hakamain .................................................................................................... 24
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 25
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 25
B. Saran ........................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya harapan setiap insan yang telah melakukan pernikahan yaitu
menginginkan keluarganya menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan,
warohmah. Yang dipenuhi oleh kebahagiaan, kegembiraan, keharmonisan dan mampu
saling menyayangi dan mengasihi selamanya, karena telah hidup berdampingan
bersama seseorang yang di cintainya selama ini. Setiap orang pasti pernah mengalami
kesedihan, kegagalan maupun kekecewaan karena hidupnya yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan atau harapan yang diperoleh tiba-tiba sirna karena kejadian yang tak
terduga. Termasuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Kematian suami memiliki
nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain
dalam kehidupan orang dewasa. Peristiwa ini membutuhkan penyesuaian tersendiri
seperti halnya yang terjadi pada awal masa dewasa madya, ketika beberapa tugas
perkembangan menghendaki individu untuk menciptakan hubungan suami istri yang
serasi, membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab
dan bahagia, serta mencapai dan memelihara kepuasan dalam pekerjaan, terlebih
ketika peristiwa ini terjadi dengan penyebab yang tidak terduga dan dengan proses
yang singkat.

Tidak ada seseorangpun yang mengetahui kehendak dan takdir Allah SWT.
jodoh, rizqi, bahkan maut pun tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Tuhan
Yang Maha Esa. Walaupun maut itu menjemput orang yang kita cintai sekalipun, kita
tidak bisa mengelak, entah itu keluarga kita, saudara kita, bahkan suami/istri kita. Kita
tidak akan bisa menolak kehendak Allah itu semua, karena takdir sudah ditetapkan.
Di makalah ini akan di jelaskan mengenai talak, iddah, ihdad, nusyuz, siqaq, dan
fungsi hakamain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan talak?
2. Apa yang dimaksud dengan iddah?
3. Apa saja hak dan kewajiban ihdad?
4. Apa yang dimaksud dengan nusyuz?
5. Apa yang dimaksud dengan siqaq?
6. Apa yang dimaksud dengan hukum hakamain?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang talak.
2. Untuk mengetahui tentang iddah.
3. Untuk mengetahui tentang ihdad.
4. Untuk mengetahui tentang nusyuz.
5. Untuk mengetahui tentang siqaq.
6. Untuk mengetahui tentang hukum hakamain.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. TALAK
1. Pengertian Talak
Perceraian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah talak, talak secara etimologi
adalah melepaskan tali.1 Talak diambil dari kata ithlaq artinya melepaskan atau irsal
artinya memutuskan atau tarkun artinya meninggalkan, firaakun artinya perpisahan. Talak
dalam istilah agama adalah melepaskan hubungan perkawinan atau bubarnya
perkawinan.2 Talak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah ikrar suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama karena suatu sebab tertentu.
Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam memberikan
definisinya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa menurut mazhab Hanafi dan
Hambali talak ialah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan
perkawinan di masa yang akan datang. Secara langsung maksudnya adalah tanpa terkait
dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan
oleh suami. Sedangkan “di masa yang akan datang” maksudnya adalah berlakunya hukum
talak tersebut tertunda oleh suatu hal.3 Kemungkinan talak seperti itu adalah talak yang
dijatuhkan dengan syarat. Menurut mazhab Syafi’i talak ialah pelepasan akad nikah
dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.4 Sedangkan menurut mazhab
Maliki talak ialah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan
suami istri.5
Perceraian berdasarkan pasal 114 KHI yaitu putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau berdasarkan gugatan
perceraian, namun lebih lanjut dalam pasal 116 KHI dijelaskan beberapa alasan atau
alasanalasan perceraian yang akan diajukan kepada pengadilan untuk diproses dan
ditindak lanjuti. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:

1
Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-Malibari, “Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Aini” (Surabaya: Bengkulu
Indah, tt), hal. 112
2
Mahmudin Bunyamin, “Hukum Perkawinan Islam” (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), hal. 175
3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ensiklopedi Islam Jilid 5”, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
hal. 53
4
Wahbah Az-Zuhailī, “al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7”, Alih bahasa; Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, Cet 1, (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 343
5
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ensiklopedi Islam Jilid 5”, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
hal. 53

3
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang
lebih berat selama perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
f. Antara suami-isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.6
2. Dasar Hukum Talak
Dasar hukum perceraian terdapat dalam QS. Al- Baqarah/2 ayat 231 disebutkan
bahwa:
ٍ‫س ِر ُح ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوف‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫سا ٓ َء فَبَلَ ْغنَ ا َ َجلَ ُه َّن فَا َ ْم ِس ُك ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو‬ َ ‫َواِ ذَا‬
Terjemahnya: "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka
dengan cara ma'ruf (pula)”.
Hadis Rasulullah Saw. bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal
yang paling dibenci oleh Allah Swt. yang berarti “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”.”
Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh
ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan
keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan
agar sebelum terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah
pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
Dasar hukum perceraian selain ayat dan hadis di atas, hukum perceraian juga
diatur dalam hukum Negara yaitu:

6
Departemen Agama RI, “Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Kompilasi Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2001), hal. 57

4
a. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab VIII tentang
Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya mulai dari Pasal 38 sampai Pasal 41.
b. PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan yang diatur
dalam Bab V tentang Tata Cara Perceraian yang tertulis dari Pasal 14 sampai dengan
Pasal 36.
c. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang tata cara
pemeriksaan sengketa perkawinan. Penjelasan tersebut diatur dalam 24 Bab Berita
Acara bagian kedua tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan yang diatur dari Pasal
65 sampai dengan Pasal 91.
d. Inpres No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Bab XVI
tentang Putusnya Perkawinan serta Bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan.
Pada bab XVI ketentuan mengenai perceraian dijelaskan dalam dua bagian. Bagian
kesatu merupakan ketentuan umum tentang perceraian sedangkan bagian kedua
berkaitan dengan tata cara perceraian. Dalam bab ini kedua bagian tersebut dijelaskan
dari Pasal 114 sampai dengan Pasal 148. Sedangkan pada Bab XVII dijelaskan dari
Pasal 149 sampai dengan Pasal 162.7
3. Hukum Dan Hikmah Perceraian
Talak merupakan perbuatan yang halal yang dibenci Allah, namun jika dilihat
dari berbagai keadaan yang melatarbelakangi retaknya mahliga rumah tangga, maka
perceraian bisa dianggap sebagai jalan terbaik yang harus ditempuh.
Hukum talak ditinjau dari segi kemaslahatan dan kemadharatannya, terdapat lima
pembagian hukumnya, yaitu:
a. Talak dihukumkan wajib manakala terjadi perselisihan yang terus menerus antara
suami isteri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan
dua hakam yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut memandang
bahwa perceraian lebih mashlahat bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib.
b. Talak dihukumkan makruh apabila talak yang dilakukan tanpa adanya alasan yang
kuat atau ketika hubungan suami isteri baik-baik saja.
c. Talak dihukumkan mubah yaitu bila suami isteri melihat diri mereka sudah tidak bisa
saling memahami dan mencintai, dan masing-masing takut melalaikan hak
pasangannya, sedangkan keduanya tidak punya kesiapan untuk berusaha mencari
solusi, atau sudah berusaha tetapi usahanya tidak bermanfaat.

7
Rusdaya Basri, “Fikih Munkahat 2”, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), hal. 3-4

5
d. Talak dihukumkan sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan
hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya, serta tidak ada kemungkinan untuk memaksa isterinya itu
melakukan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga sunnah dilakukan ketika
isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.
e. Talak dihukumkan terlarang yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid.8
4. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsurunsur dimaksud. Rukun talak ada empat:
a. Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,
selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah
nyata adanya akad perkawinan yang sah.
Abu Daud dan Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir ibn Syu’aib bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada nazar bagi anak Adam(manusia) tentang hal
yang baik dimiliki,tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki, dan
tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki.”
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1) Berakal
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila
dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya
sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf
otaknya.
2) Baliqh
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum
dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang
sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah
mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
3) Atas kemauan sendiri
Yang dimaksud atas kemauan sendiri di sini ialah adanya kehendak pada
diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan

8
Ibid, hal. 5-6

6
dipaksa orang lain.
Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam
hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW: ”Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung
jawab dari dosa silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”
b. Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri sendiri.
Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain. Untuk sahnya
talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:
1) Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Isteri yang
menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh Hukum Islam dipandang masih
berada dalam perlindungan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah
talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal
talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas
isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas isteri
lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang
sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah
terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara
isterinya(memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan
anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu
berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada.
c. Sighat Talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang
menunjukkan talak, baik itu sharih(jelas) maupun kinayah(sindiran), baik berupa
ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang
lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya
menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa
disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat
talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak

7
dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan
terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai talak.
Qashdu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh
karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak,
seperti suami memberikan sebuah salak kepada isterinya, semestinya ia mengatakan
kepada isterinya itu kata-kata: “Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan,
berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.
d. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Talak
Tata cara penyelesaian perkara di Pengadilan Agama adalah:
1) Tahap pendahuluan yang dimaksud tahap ini adalah tahapan di mana penggugat
menyampaikan atau memasukkan perkaranya kepada Pengadilan dan pengadilan
menerima penyampaian perkara tersebut dari penggat.
2) Tahapan pemeriksaan dan Putusan:
a) Pemanggilan para pihak
b) Putusan gugur/verstek
c) Usaha perdamaian
d) Pembacaan perubahan-perubahan gugatan
e) Jawaban tergugat, Eksepsi (tangkisan) dan rekonvensi (gugatan balik)
f) Rublik dan duplik
g) Pembuktian
h) Permusyawaratan Majelis Hakim9
5. Macam-Macam Talak
a. Talak ditinjau dari segi boleh tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali
isterinya, maka talak dibagi menjadi dua macam. Hal ini didasarkan pada jumlah talak
yang dijatuhkan oleh suami, yaitu:
1) Talak raj’i yaitu talak di mana suami masih mempunyai hak untuk merujuk
kembali isterinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu dan isteri
benar-benar sudah digauli.10 As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak
yang untuk kembalinya bekas isteri kepada bekas suaminya tidak memerlukan
pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan

9
Ibid, hal. 6-9
10
Redaksi Sinar Grafika, “Undang-Undang Pokok Perkawinan”, (Jakarta: Sinar Grafikan, 2006), hal. 231

8
persaksian.11 Apabila terjadi talak raj’i, maka isteri harus beriddah. Selama masa
iddah inilah suami boleh merujuk isterinya tanpa melalui akad nikah baru. Talak
raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, sebagaimana terdapat dalam
QS. alBaqarah/2: 229:
َ ‫سا كٌ ِب َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو تَس ِْر ْي ٌح بِ ِا ْح‬
‫سا ٍن‬ َّ ‫اَل‬
َ ‫ط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَ ِا ْم‬
Terjemahnya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
2) Talak ba’in adalah talak ketiga atau talak yang jatuh sebelum suami isteri
berhubungan kelamin, atau talak yang jatuh dengan tebusan (khulu’). Untuk
mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami
harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.12 Talak
ba’in ada dua macam yaitu:
a) Ba’in sughra yaitu talak dimana suami tidak boleh rujuk kepada mantan
isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.
Yang temasuk dalam talak ba’in sughra adalah talak yang dijatuhkan sebelum
berkumpul, talak dengan penggantian harta atau yang disebut khuluk’, talak
karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, karena penganiayaan
atau yang semacamya.13
b) Talak ba’in kubra yaitu talak yang terjadi ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya.14 Dalil tentang talak ba’in
sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 230:
‫علَ ْي ِه َم ۤا ا َ ْن يَّت ََرا َج َع ۤا ا ِْن‬
َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل ُجنَا َح‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل تَحِ ُّل لَهٗ مِ ْن َب ْعدُ َحتّٰى ت َ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬
َ ‫غي َْر ٗه ۖ فَ ِا ْن‬ َ ‫فَ ِا ْن‬
َ‫ّللا يُ َب ِينُ َها ِلقَ ْو ٍم َّي ْعلَ ُم ْون‬ ِ ّٰ َ‫ظنَّ ۤا ا َ ْن يُّ ِق ْي َما ُحد ُْود‬
ِ ّٰ ُ‫ّللا ۖ َوت ِْلكَ ُحد ُْود‬ َ
Terjemahnya:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa

11
Abd. Rahman Ghazali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 197
12
Amir Syarifudin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 221
13
Abd. Rahman Ghazali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 198
14
Tihami, Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
hal. 29

9
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
Mengetahui”.
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tentang aturan-aturan yang berkenaan dengan
pembagian talak. Seperti yang terdapat pada pasal 118 sampai 120 KHI maka talak
dibagi kepada talak raj’i, talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra.
1) Talak raj’i yang dimaksud dalam KHI adalah talak kesatu atau kedua, dimana
suami berhak rujuk selama dalam masa iddah.
2) Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak ba’in sughra
sebagaimana tersebut dalam asal 119 ayat (2) adalah talak yang terjadi qabla al-
dukhul; talak dengan tebusan atau khuluk; dan talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
3) Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain,
kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan telah melewati masa iddah.
c. Talak ditinjau dari keadaan isteri waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi dua macam, sebagai berikut:
1) Talak sunni adalah talak yang sesuai perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw, yaitu
talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan suci yang belum disetubuhi dan
kemudian dibiarkan sampai ia selesai menjalani iddah.15 Dikatakan sebagai talak
sunni jika memenuhi empat syarat sebagai berikut:16
a) Isteri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak jatuh pada isteri yang
belum pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak sunni.
b) Isteri dapat melakukan iddah suci setelah ditalak. Yaitu isteri dalam keadaan
suci dari haid.
c) Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpuli isteri.

15
Syaikh Hasan Ayyub, “Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar dengan judul
Fikih Keluarga”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 211
16
Tihami, Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta:Rajawali Pers,2009),
hal. 237

10
2) Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat.17
Talak bid’i merupakan talak yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan syari’ah,
baik dalam waktu maupun cara menjatuhkannya. Para ulama sepakat bahwa talak
bid’i dari segi jumlah talak, ialah talak yang diucapkan tiga sekaligus, mereka juga
sepakat bahwa talak bid’i itu haram dan melakukannya berdosa, Yang termasuk
talak bid’i adalah:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut haid.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri dalam keadaan suci
tetapi sudah pernah digauli dalam masa sucinya tersebut.
d. Pembagian talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya dalam talak sunni dan talak bid’i
sebagai berikut:
1) Talak sunni sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 121 KHI adalah talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut. Talak sunni adalah talak yang dibolehkan.
2) Talak bid’i sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 122 KHI adalah talak yang
dilarang karena dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri
sedang dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
6. Prinsip Perceraian
Islam memiliki prinsip mempersulit perceraian yang diperlihatkan dalam hadis
Nabi yang menjelaskan tentang perceraian merupakan tindakan halal namun sangat
dibenci oleh Allah. Maka demi merealisasikan prinsip tersebut, dalam UU No. 1 Tahun
1974 juga menganut prinsip mempersulit perceraian yang tercantum dalam Pasal 1
sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antar a seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari kata-kata ikatan lahir dan batin serta bahagia dan kekal dapat ditafsirkan
bahwa prinsip perkawinan itu adalah untuk seumur hidup atau kekal dan tidak boleh
terjadi sesuatu perceraian.18Oleh karena itu untuk lebih menegaskan bahwa undang-
undang perkawinan ini menganut prinsip mempersulit perceraian, maka tata cara
perceraian diatur dengan ketat seperti yang tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun

17
Ibid, hal. 238
18
Mohd. Idris Ramulyo, “HukumPerkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun1974
dan Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 134

11
1974 sebagai berikut:19
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersebut.
B. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Secara bahasa, Iddah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari kata ‫( العد‬bentuk
mashdar) yang bermakna ‫ اإلحصاء‬yaitu membilang, menghitung atau penghitungan.20
Adapun secara istilah, iddah adalah menahan diri yang dikenakan terhadap isteri ketika
hilang akad nikahnya dan sudah diketahui dengan pasti bahwa dia sudah dikumpuli
suaminya, atau bisa juga disebabkan kematian suami. Iddah bisa juga diartikan sebagai
masa isteri menahan diri untuk mengetahui kebersihan rahimnya, serta untuk
menghormati suaminya.21
Mazhab Hanafiyah mendefinisikan iddah adalah suatu batas waktu yang
ditetapkan bagi wanita untuk mengetahui sisa-sisa dari pengaruh pernikahan atau
persetubuhan. Hikmah iddah sebagaimana yang tersebut dalam definisi di atas adalah
untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan benih dalam
rahim isterinya atau tidak. Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampurnya dengan
bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru. Menurut kesepakatan ulama’, iddah
hukumnya wajib menurut syara’, sehingga wanita muslim yang berusaha taat terhadap
Islam, ketika mengalami cerai, wajib baginya untuk melakukan iddah.
Sayyid Sabiq memberikan definisi tentang iddah sebagai berikut “Nama bagi
suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin
lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.” Definisi lain dari iddah
adalah masa yang ditentukan oleh Allah di dalam syariat Islam untuk menghilangkan
tanda-tanda dari mantan suaminya setelah terjadinya perceraian, baik itu karena cerai

19
Redaksi Sinar Grafika, “Undang-Undang Pokok Perkawinan”, (Jakarta: Sinar Grafikan, 2006), hal. 12-
13
Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir”, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 903
20

21
Muhammad Isna Wahyudi, “Fiqh Iddah Klasik Dan Kontemporer”, (Yogyakarta: PT LKS Printing
Cemerlang, 2009), hal. 124

12
talak maupun karena cerai mati.22
2. Dasar Hukum Iddah
Mengenai kewajiban iddah bagi seorang wanita yang telah dicerai suaminya,
telah dijelaskan di dalam Al-Qur‟an, sunnah, dan ijma‟ para ulama60. Adapun dasar di
dalam Al-Qur‟an, Allah berfirman:
َ ُ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ثَ ٰلثَةُ ا َ ْش ُه ٍر ۖ َّوا ۤل ٰــئِـ ْي لَ ْم يَحِ ضْنَ ۖ َوا‬
ُ‫وَل ت‬ ْ ‫سآئِ ُك ْم ا ِِن‬
َ ِ‫ْض مِ ْن ن‬
ۤ
ِ ‫َوا ل ٰــئِـ ْي يَئِسْنَ مِ نَ ْال َمحِ ي‬
َ َّ‫اَل حْ َما ِل ا َ َجلُ ُه َّن اَ ْن ي‬
‫ض ْعنَ َح ْم َل ُه َّن‬ َْ
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya). Maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya”. (Ath-Thalaq[65]:4).
Adapun dasar mengenai iddah di dalam Hadist, yaitu perkataan Nabi Muhammad
SAW yang berarti: “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk berduka cita atas kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali atas
kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. (HR. Bukhari).
Dan sungguh ulama telah bersepakat atas persyariatan iddah dan kewajibannya,
dari masa Rasulullah sampai pada hari ini tidak ada seorangpun yang mengingkarinya,
hanya saja mereka berbeda terhadap klasifikasi iddah tersebut.23
3. Hikmah Iddah
Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur
antara keturunan seorang dengan yang lain.
b. Memberi kesempatan kepada suami-isteri yang berpisah untuk kembali kepada
kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-
orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika
tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil
bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.

22
Rusdaya Basri, “Fikih Munkahat 2”, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), hal. 107-108
23
Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, “Shahih Fikih Sunnah”, (Kairo-Mesir: Maktabah at-Taufiqiyyah,
t.th), Juz 3, hal. 318

13
d. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suamiisteri sama-sama
hidup lama dalam ikatan akadnya.24
4. Macam-Macam Iddah
a. Iddah istri yang belum disetubuhi (qobla al-dukhul)
Seorang istri yang belum digauli oleh suaminya lalu ditalak, maka tidak ada
iddah baginya. 25 Akan tetapi, jika istri itu belum digauli, namun suaminya meninggal,
maka ia wajib melaksanakan iddah seperti iddah wanita yang telah digauli.
b. Iddah istri yang pernah disetubuhi (ba‟da ad-dukhul)
1) Iddah perempuan yang haid
Jika istri yang dicerai masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru’.
Hal ini dikuatkan oleh Ibnu Qayyim. Kata beliau: “Kata qur‟un hanya digunakan
oleh agama dengan arti haid. Tidak satu ayatpun pernah gunakan kata qur‟un
dengan arti bersih dari haid. Karena itu maka memahamkan kata qur‟un dalam
ayat di atas menurut yang populer dari titah agama adalah lebih baik, bahkan
haruslah begitu.26
2) Iddah perempuan yang tidak haid
Perempuan-perempuan yang tidak berhaid iddahnya selama tiga bulan. Ini
berlaku buat anak-anak perempuan yang belum baliq dan perempuan tua tetapi
tidak berhaid. Baik perempuan ini sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau
kemudian terputus haidnya.
3) Perempuan berhaid tetapi tidak terlihat haidnya
Jika perempuan-perempuan yang berhaid ditalak oleh suaminya kemudian
ia tidak mengalami haid seperti biasanya, dan tidak tahu apa sebabnya, maka
iddahnya setahun. Dia menahan diri selama sembilan bulan agar dapat diketahui
kebersihan kandungannya. Karena dalam masa selama ini biasanya merupakan
masa hamil. Jika ternyata tidak hamil dalam masa tersebut maka dapatlah
diketahui bahwa ia bersih.
Kemudian setelah sembilan bulan ini ia beriddah seperti iddahnya
perempuan berhaid yang telah putus, yaitu tiga bulan. Demikianlah putusan yang
pernah diambil oleh Umar bin Khattab. Syafi‟i berkata: “Demikianlah putusan

24
Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, (Bandung: PT Alma‟arif, 1978), Alih Bahasa: Mahyudin Syaf, cet. Ke-1,
jilid 8, hal. 151
25
Ibid, hal. 152
26
Ibid, hal. 153

14
Umar di hadapan kaum Muhajirin dan Anshar dan tak ada seorangpun kami
ketahui mengingkarinya.27
4) Iddah perempuan yang hamil
Iddah perempuan yang hamil adalah hingga melahirkan, baik karena
perceraian atau karena ditinggal mati suaminya. Menunjukkan bahwa sekiranya ia
hamil dengan anak kembar, maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya
lahir semua. Juga menunjukkan bahwa perempuan yang keguguran maka
iddahnya adalah sesudah melahirkan pula. Juga menunjukkan bahwa iddahnya
perempuan hamil habis setelah melahirkan, baik bayinya hidup atau mati,
sempurna badannya atau cacat, ruhnya telah ditiupkan atau belum.28
5) Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya
Masa iddah bagi perempuan yang meninggal suaminya adalah empat bulan
sepuluh hari, dan perempuan tersebut tidak hamil.
c. Iddah perempuan istihadhah
Telah diketahui iddah wanita suci terus (sudah tidak menstruasi atau belum),
sekarang iddah wanita yang menstruasi terus artinya keluar darah deras terus yang
disebut dalam uruf fuqaha‟ wanita istihadhah. Iddahnya sebagaimana berikut:
1) Jika wanita itu mengetahui tradisi haid atau menstruasi apakah awal bulan atau
tengah dan atau akhir bulan atau ia membedakan antara darah biasa dan darah lain
maka masa iddahnya tiga kali haid.
2) Jika ia tidak mengetahui tradisinya, masa iddahnya tiga bulan.29
5. Hak Istri dalam Masa Iddah
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah iddah kepada isterinya dalam
perceraian talak, karena nafkah iddah merupakan hak seorang isteri yang telah ditalak.
Selama menjalani masa iddah, seorang isteri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin
suaminya mengingat statusnya sebagai seorang isteri belum hilang sepenuhnya. Oleh
karena itu iddah dalam talak raj’i dimasukkan untuk memberi kesempatan kepada suami
isteri untuk berpikir lebih dalam dan bertanya pada hati nurani masing-masing apakah
benar sudah tidak lagi butuh untuk bersatu kembali, walau sebenarnya hati kecilnya
masih mencintainya, sedangkan perceraian itu hanya karena gejolak emosi sementara

27
Ibid, hal. 158
28
Ibid, hal. 159
29
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Haww as, “Fiqih Munakahat”, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hal. 331

15
belaka. Renungan seperti ini dilakukan ketika gejolak emosi telah tenang dan reda
sehingga masing-masing mampu menemukan kata hatinya yang asli dan jernih.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majm‘u sebagaimana dikutip Satria Efendi,
menyatakan bahwa: jika perempuan yang ditalak raj‘i berarti ia masih terbilang sebagai
isteri yang masih saling mewarisi, dan bertempat tinggal ditempat yang layak dan
dikehendaki oleh suaminya. Di samping itu, isteri yang dalam iddah raj‘i tidak boleh
keluar tanpa ada izin dari suaminya.30
Berdasarkan uraian terdahulu dapat dipahami bahwa wanita dalam iddah talak
raj‘i, beberapa hal masih berstatus sebagai seorang isteri, meskipun tidak sepenuhnya.
Adanya ketentuanketentuan seperti itu mengisyaratkan bahwa hubungan pernikahan
belum terputus sepenuhnya dengan jatuhnya talak raj‘i, dan diharapkan pada masa iddah
kedua belah pihak akan menyadari kebutuhannya untuk bersatu.
Nafkah iddah/nafkah cerai adalah tunjangan yang diberikan seorang pria kepada
mantan isterinya selama isteri dalam masa iddah. Ukuran kadar nafkah iddah, tidak ada
ketentuan yang pasti yang mengatur masalah kadar nafkah iddah terkait berapa
jumlahnya. Namun, hal itu dapat disamakan dengan kadar nafkah yang harus diberikan
oleh suami yang masih dalam ikatan perkawinan atau sebelum terjadinya perceraian.
Mengenai kadar nafkah, dalam QS al-Talaq/65: 7 hanya memberikan gambaran umum
bahwa nafkah diberikan kepada isteri menurut kemampuan suami.
ٰ ُ‫علَ ْي ِه ِر ْزقُ ٗه َف ْليُ ْنفِقْ مِ َّم ۤا ٰا ٰتٮه‬
ُ‫ّللا‬ َ ‫س َعتِه ۗ َو َم ْن قُد َِر‬ َ ‫ِليُ ْنفِقْ ذُ ْو‬
َ ‫س َع ٍة ِم ْن‬
Terjemahnya:
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya….”
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan secara rinci berapa kadar nafkah
terhadap isteri, seperti terdapat pada Pasal 149 huruf (b) dijelaskan bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada
bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil. Hal ini juga terdapat pada pasal 160: “Besarnya mut’ah
disesuaikan dengan kepatuhan dan kemampuan suami.”31

30
H. Satria Effendi M. Zein, “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi
dengan Pendekatan Ushuliyah”, Cet. II (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 57
31
Mahkamah Agung RI, “Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
2015), hal. 72 dan hal. 76

16
Hal yang paling urgent dalam memtuskan perkara nafkah iddah adalah dengan
memperhatikan tujuan dan asaz hukum tersebut, yakni asas keadilan, kemamfaatan dan
kepastian hukum. Dari segi asas keadilan hukum, harus dipertimbangkan kedudukan isteri
sebagai menager dalam rumah tangga, meskipun pada dasrnya dia tidak terlibat langsung
dalam hal mencari nafkah akan tetapi segala urusan domestik rumah tangga sang isterilah
bertangung jawab. Oleh sebab itu, suatu ketidakadailan manakalah terjadi suatu perceraian
dan perceraian tersebut bukan murni kesalahan dari si isteri, si isteri tidak mendapat
nafkah iddah atau dia mendapatkan akan tetapi tidak sepantasnya yang dia dapatkan.
Dalam hal ini Alquran sudah memberikan solusi bahwa nafkah iddah setelah terjadi
perceraian deberikan suami kepada isteri selama dalam masa iddah dengan ukuran sesuai
dengan kemampuan dan kesanggupan sang suami tersebut. Oleh karena itu, yang lebih
tepat adalah pemenuhan kebutuhan (makan, pakaian dan tempat tinggal), bagi isteri harus
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebiasaan setempat.
C. IHDAD
1. Pengertian Ihdad
Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa
tersebut adalah 4 bulan 10 hari atau selama menjalani masa iddah. Sedangkan ihdad secara
etimologi adalah menahan, mencegah atau menjauhi. Secara definitif, sebagaimana
tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-
laki kepadanya selama menjalani masa iddah”, mencegah, di antara pencegahan itu adalah
mencegah perempuan dari berhias. Hal yang termasuk dalam pengertian ihdad adalah
menampakkan kesedihan. secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari
berhias dan termasuk di dalam pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam
kondisi tertentu, dengan larangan-larangan seperti, bercelak mata, berhias diri, keluar
rumah kecuali dalam keadaan terpaksa.32Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad
berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari
kata hadda. Secara etimologi (lughawi) ihdad berarti al-Man‟u (cegahan atau larangan).
Sedangkan menurut Abdul Mujieb, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa
berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalaha empat
bulan sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata,
berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa. 33Adapun mengenai untuk

32
Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 302
33
Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hal. 342

17
siapa, atau atas dasar apa seseorang melakukan ihdad hampir semua ulama berpendapat
bahwa ihdadhanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan
yang meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
2. Hukum Ihdad
Ihdad disyariatkan dalam islam berdasarkan firman Allah SWT dalam surah at-
Thalaq (65) ayat 1:
ّٰ ‫يٰ ٓ ا َ ي ُّ ه َ ا ا ل ن َّ ب ِ ي ُّ ا ِ ذ َ ا ط َ ل َّ ق ْ ت ُ م ُ ا ل ن ِ س َ ا ۤ ء َ ف َ ط َ ل ِ ق ُ ْو ه ُ نَّ ل ِ ع ِ د َّ ت ِ ه ِ نَّ َو ا َ حْ ص ُ و ا ا ل ْ ع ِ د َّ ة َ َو ا ت َّ ق ُ و ا‬
ْ ‫ّللا َ َر ب َّ ك ُ م‬
َ‫ن ي َّ أ ْ ت ِ ي ْ نَ ب ِ ف َ ا ِح ش َ ة ٍ م ُّ ب َ ي ِ ن َ ة ٍ َو ت ِ ل ْ ك‬
ْ َ ‫ن ب ُ ي ُ ْو ت ِ ه ِ نَّ َو ََل ي َ خ ْ ُر جْ نَ ا ِ ََّل ٓ ا‬ ْ ِ‫ََل ت ُ خ ْ ِر ج ُ ْو ه ُ نَّ م‬
َ‫ث بَعْ د‬ ُ ِ ‫ّللا َ ي ُ حْ د‬ ّٰ َّ ‫ّللا ِ ف َ ق َ د ْ ظ َ ل َ م َ ن َ ف ْ س َ هٗ ََل ت َد ْ ِر يْ ل َ ع َ ل‬ ّٰ َ ‫ن ي َّ ت َع َ د َّ ح ُ د ُ ْو د‬ ْ َ ‫ّللا ِ َو م‬ ّٰ ُ ‫ح ُ د ُ ْو د‬
َ ِ ‫ذٰ ل‬
‫ك ا َ مْ ًر ا‬

Artinya:
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah
waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu
ketentuan yang baru.” (Q.S. At Thalaq:1).34
Ihdad berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda
perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya.35 Ihdad di tinjau dari
sudut syar‟i dibagi menjadi dua, yaitu ihdad wanita yang ditinggal mati suaminya
dilakukan selama masa iddah atau selama empat bulan sepuluh hari, namun bagi selain
suami, ihdad hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih
konvensional,ihdadhanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak
berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. Ihdad juga tidak dapat dikenakan
kepada istri yang ditalak raj‟i dan talak bâ`in. Kaum muslimin telah sepakat bahwa
ihdad (bekabung) wajib hukumnya atas wanita muslimah yang merdeka dan dalam
keadaan iddah kematian suaminya.36

34
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah At-Thalaq Ayat 1
Ibnu Qudamah, Al-Muqni, “Fiy Fiqh Imam Al-Sunnah Ahamd Ibn Hanbal Al-Syaibaniy Juz III”, (Riyadl:
35

Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah, 1980), hal. 289-291


36
Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 303

18
Fuqahâ` dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil(belum
baligh) tidak wajib melakukanihdad, karena ia tidak mukallaf. Sedangkan menurut
madzhab Syafi‟i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib perempuan kitâbiyyah dan
dzimmiyah, madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib
melakukan ihdad,sebagaimana Shaghirah, karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut
madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah
yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan
hak-hak perempuan yang beragama Islam. Perempuan yang dinikahi dengan nikah fâsid
(pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ihdad.37
Fuqahâ` lainnya berpendapat bahwa ihdad bagi perempuan seperti itu tidak
wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya itu,
jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di
samping itu, ia juga memiliki masa„iddah yang sama dengan istri yang dijatuhi talak
raj‟i. Sedangkan anjuran untuk melakukan ihdad selama masa „iddah talak bâ`in hanya
dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia
berhias diri, karena selama berada dalam masa „iddah ini pada hakikatnya ia masih
berada dalam status perkawinan, Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal
tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk melakukan
rujû‟, Dengan perkataan lain, iddah dalam thalak raj‟i merupakan momen refleksi bagi
suami dan istri untuk mempertimbangkann apakah akan melanjutkan pernikahan atau
betul-betul akan mengakhiri pernikahan.38
Pembahasanihdad memang tidak selebar pembahasan iddah, akan tetapi ihdad
pun juga memiliki beberapa hikmah diantaranya ialah :
a. Memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan
sekaligus menjaga timbul fitnah.
b. Untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan
pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya.
c. Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminnya, dan
ukuran untuk bersedih karena yang lainnya.

37
Abd Al-Barr Al-Namiriy, Al-Kafiy “Fiy Fiqh Ahl Al-Madinah Al-Malikiy”, (Beirut: Dar Al-Kutub, 1992),
hal. 292
38
Taqiyuddin Al-Husainiy, “Kifayah Al-Akhyar Fiy Hall Ghayah AlIkhtishar”, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt),
hal. 134

19
Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan ihdad.
Hal in sesuai dengan wanita – wanita yang hidup pada masa Rosul dan Khilfah Rasyidin
tidak pernah elakukan ihdad selain cerai mati.39

3. Larangan Wanita Pada Masa Ihdad


Menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisiihdad adalah: “Menahan diri dari
bersolek/berhias pada badan”. Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah al-Zuhaili
memberikan definisi tentang makna ihdad: “ihdad ialah meninggalkan harum-haruman,
perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun yang
tidak.”Selanjutnya, sebagaimana definisi kedua di atas, Wahbah al-Zuhaili menegaskan
maksud meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah
khusus yang berkaitan dengan anggota badan perempuan. Karena itu, perempuan yang
sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden
dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera. Para
fuqaha‟ memberikan rukhsah (keringanan) dengan membolehkan pemakaian celak
karena terpaksa (karena sakit mata, misalnya). mengenai pemakaian celak ini, sebagian
fuqaha‟ mempersyaratkan bahwa hendaknya hal itu bukan sebagai perhiasan, sedangkan
sebagian lainnya tidak mempersyaratkan demikian. Sementara segolongan lainnya
mempersyaratkan pemakaiannya di malam hari, bukan di siang hari.40
D. NUSYUZ
Nusyuz secara etimologi berasal dari bahasa Arab, nasyaza yang dalam bahasa
Indonesia berarti perempuan mendurhakai suaminya.41Nusyuz secara terminology adalah
suatu tindakan seorang istri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan alasan
yang tidak dapat diterima menurut hukum syara‟. Pengertian nusyuz sebagaimana
dikemukakan oleh para Ulama antara lain sebagai berikut:
1. Wahbah Al-Zuhaili, menerangkan bahwa nusyuz adalah isteri mengingkari (ma‟siat)
terhadap kewajibannya pada suami, juga perkara yang membuat salah satu dari pasangan
suami isteri benci dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan
kepada hakim.
2. Sayyid Sabiq, mendefinisikan nusyuz sebagai kedurhakaan isteri terhadap suaminya, tidak
taat kepada atau menolak diajak ketempat tidurnya atau keluar dari rumahnya tanpa seizi

39
Syaikh Hasan Ayub, “Fikih Keluarga”, (Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 2006), hal. 372
40
Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hal. 343
41
Idrus H. Al-Kaff, “Kamus Praktek Al-Qur‟an”, (Bandung: Fokus Media, 2007), hal. 20

20
suaminya.
3. Muhammad Abduh, mendefinisikan nusyuz adalah tindakan perempuan yang tidak
memenuhi hak suaminya dan ia berusaha memosisikan dirinya diatas kepala keluarga.
4. Menurut Ibnu Manzur, secaraterminologi nusyuz adalah rasa kebencian suami terhadap
isteri aau sebaliknya. Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, mengartikan nusyuz
aebagai ketidak patuhan atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya
dipatuhi, begitu pun sebaliknya.42
Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai
sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama
berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.43
Dalam kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik dan kesalah pahaman.
Timbulnya konflik dalamrumah tangga tersebut pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa
yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat ditemukan dalam Q.S An-Nisa‟
(4) ayat 34. Ayat tersebut sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang
nusyuznya isteri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal
mula terjadinya nusyuz isteri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses
penyelesaiannya saja yang ditawarkan.44 Dapat ditarik beberapa pemahaman mengenai
kandungan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut yaitu:
1. Kepemimpinan rumah tangga
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
3. Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh isteri
Dalam kompilasi Hukum Islam aturan mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya
pada nusyuznya isteri saja serta akibat hokum yang ditimbulkannya. Mengawali
pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang
kewajiban bagui isteri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi
seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan
oleh hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut.walaupun dalam masalah menentukan ada atau
tidakj adanya nusyuz isteri tersebut menurut KHI harus didasarkan atas bukti yang sah.45

42
M. Rasyid Ridha, “Perempuan Sebagai Kekasih”, (Jakarta: Hikmah, 2004), hal. 80
43
Tim Redaksi Nuansa, “Kompilasi Hukum Islam”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2000), hal. 95
44
Laykatul Fitriah, “Makna Nusyuz dalam Pandangan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim Malang”, Skripsi, (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2010), hal. 28
45
Tim Redaksi Nuansa, “Kompilasi Hukum Islam”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2000), hal 95

21
E. SYIQAQ
Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percecokan, dan permusuhan. Perselisihan
yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan isteri. Menurur Kamal Muchtrar,
syiqaq adalah perselisihan antara suami isteri yang didamaikan oleh dua orang hakam. Untuk
mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami istri agama Islam
memerintahkan agar diutuskan dua orang hakam. Pengutusan hakam ini bermaksud untuk
menelusuri sebab-sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna
memberikan penyelesaian ter/hadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami
istri tersebut.
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak
suami dan istri secara bersama-sama. Dengan demikian, syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang
perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, yaitu dari pihak suami atau
istri.46
Adapun bentuk-bentuk syiqaq dalam rumah tangga yang sering menghancurkan
bahtera kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut:
1. Istri tidak memenuhi kewajiban suami
Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta saying adalah
kepatuhan istri dalamrumah tangganya. Allah menggambarkan perempuan yang sholeh
dengan perempuan yang patuh terhadap suaminya serta menjadi wali bagi suaminya.
Dalam hal ini seorang istri harus mentaati perintah dari seorang suami, asalkan perintah
tersebut tidak melenceng dari jalan Islam.47
2. Tidak memuaskan hasrat seksual suami, melakukan pisah ranjang dan menolak untuk
menanggapi panggilannya
Seks adalah kebutuhan pria dan wanita,karena itu para istri adalah pakaian bagi
kamu (suami) dan kamupun pakaian bagi mereka. Hubungan seks dalam rumah tangga
ternyata bukan sebatas sarana melainkan sebagai satu tujuan. Terpenting yang harus dijaga
oleh kaum perempuan agar kepuasan seks suaminya tetap terjaga. Dari ungkapan itu istri
wajib memuaskan seks suami selagi masih dalam batas-batas kewajaran dan tidakj
menyalahi hukum syariat Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap suami.
Istri tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang dapat diterima atau dilarang
hukum.
3. Keluar dari rumah tanpa seizing suami atau tanpa hak syar‟i

46
Ibid, hal. 1709
47
Muhammad M. Dlori, “Dicintai Suami Istri Sampai Mati”, (Yogyakarta: Kata Hati, 2005), hal. 65

22
Keluarnya isteri dari rumah tanpa seijin suami walaupun untuk menjenguk orang
tua adalah merupakan kedurhakaan istri terhadap suami, karena hal itu menyebabkan
kerusakan dan kehancuran rumah tangga.
4. Tidak mampu mengatur keuangan
Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya, istri juga wajib
memelihara harta suaminya. Dengan kata lain tidak boros, berlaku hemat demi masa
depan anak-anaknya dan belanja secukupnya tidak hura-hura. Kalau istri boros, itu
merupakan kesalahan istri dalam mengatur keuangan keluarga, karena hal itu sama halnya
dengan seorang istri yang tidak dapat menjaga harta kekayaan suami yang dipercayakan
kepadanya. Bila hal ini dilakukan terus maka akan mengakibatkan munculnya keretakan
dalam rumah tangga.48
5. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya
Suami atau isteri tidak menjalankan kewajiban dalam tuntutan agama sepertu
shalat, puasa, dan zakat serta kewajiban yang lain.
6. Seorang suami tidak memenuhi kewajiban istri
Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi kewajibannya
sebagai isteri, suami pun harus memenuhi kewajibannya sebagai suami terhadap isteri.
Karena kedua belah pihak sudah melakukan ikatan pernikahan. Maka kedua-duanya harus
menjalankan kewajibannya mnasing-masing.
7. Ketidak mampuan suami menafkahi keluarganya
Setiap suami harus memahami bahwa isteri adalah amanah yang dibebankan di
pundak suami dan merupakan keharusan baginya untuk memberikan nafkah sejauh
kemampuannya. Suami harus memberikan nafkah lahir batin pada isterinya dengan
kemampuannya, suami member makan, minum dan pakaian serta menggaulinya dengan
sebaik mungkuin dan dengan kemampuannya asalkan tidak menzalimi isterinya.49
8. Suami tidak pengertian kepada isteri
Banyak suami yang tidak mengetahui gangguan-gangguan kodrati yang dialami
isteri, seperti sedang hamil, haid, nifas, dan lain-lain. Apalagi disaat isteri sedang
mengidam sang suami harus pengertian pada sang istri. Mengidam adalah keinginan sang
isteri yang sangat mendesak terhadap sesuatu disaat dalam keadaan hamil. Boleh jadi
mengidam itu diingini oleh semangat ketidaksukaannya terhadap sesuatu, sehingga ia
tidak bias melihat atau menciumnya, kadang juga membenci sang suami dan rumah.

48
Ibid, hal. 70
49
Ibid, hal. 75

23
Dalam keadaan ini suami istri harus mengerti kondisi yang dialami sang isteri.
F. HUKUM HAKAMAIN
1. Pengertian Hakamain
Hakam artinya juru damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh
kedua pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui
keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah diantara suami istri tersebut. Para ahli
fiqh berbeda pendapat tentang arti hakam yang disebut pada QS. An-Nisaa’: 35.
a. Menurut Imam Abu Hanifah, sebagai pengikut Imam Hambali, hakam itu berarti wakil
atau sama halnya dengan wakil. Dengan demikian, hakam itu tidak boleh menjatuhkan
talak kepada pihak istri sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami, begitu
juga pihak istri.
b. Menurut Imam Malik, sebagian yang lain pengikut Imam Hambali dan Qoul Jaded
dari Imam Syafi’i, hakamain itu sebagai hakim sehingga boleh memberi keputusan
sesuai dengan pendapat keduanya mengenai hubungan suami istri yang sedang
berselisih itu. Apakah memberi keputusan cerai atau berdamai kembali.

Menurut pendapat pertama, pihak yang mengangkat hakam itu adalah pihak suami
dan pihak istri, sebagai mana dijelasakan pada QS. An Nisaa’:35. Sedangkan menurut
pendapat kedua, pihak yang mengangkat hakam itu adalah hakim atau pemerintah.50
2. Fungsi Hakamain
Peranan hakam sebagai mediator (pemberi saran) dalam penyelesaian sengketa
perceraian atas dasar Syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan
pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Kewenangan hakam
selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan
usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah mereka analisis, kepada hakim.
Terhadap kasus Syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat
Permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar
mungkin untuk mendamaikan kembali kedua pihak tersebut. Agar suami istri kembali
hidup bersama dengan sebaik-baiknya seperti semula, kemudian jika dalam perdamian itu
tidak mungki ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk
menceraikannya kedua pihak tersebut, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka
hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.51

50
Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hal. 190
51
Ibid, hal. 191

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talak adalah berakhirnya pernikahan yang sah dengan ungkapan talak, baik
ungkapan sharih (jelas dan tegas) maupun ungkapan kinayah (sindiran). Dalam
masalah ini seorang istri akan menjalani masa iddah. Iddah adalah menahan diri yang
dikenakan terhadap isteri ketika hilang akad nikahnya dan sudah diketahui dengan
pasti bahwa dia sudah dikumpuli suaminya, atau bisa juga disebabkan kematian suami.
Seorang perempuan juga melakukan Ihdad ketika menjalani masa iddah. Ihdad yakni
menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa
iddah”, mencegah, di antara pencegahan itu adalah mencegah perempuan dari
bersolek/berhias.
Nusyuz merupakan perselisihan yang perselisihannya hanya berawal dan
terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri. Dengan demikian, nusyuz berbeda
dengan syiqaq, yang perselisihannya berawal dan terjadi pada kedua belah pihak
suami dan istri secara bersama-sama. Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang
meruncing antara suami dan istri, agama Islam memerintahkan agar diutus dua orang
hakam/hakamain (juru damai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri
sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapkan oleh kedua suami istri
tersebut.
B. Saran
Demikianlah makalah yang bisa kami susun, dimana dalam penyusunan maupun
penyajian masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai evaluasi untuk
kedepannya, semoga dengan makalah ini dapat bermanfat dan menambah ilmu pengetahuan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Husainiy, Taqiyuddin. tt. Kifayah Al-Akhyar Fiy Hall Ghayah AlIkhtishar. Beirut: Dar Al-
Fikr.
Al-Kaf, Idrus H. 2007. Kamus Praktek Al-Qur‟an. Bandung: Fokus Media.
Al-Malibari, Zainudin ibn Abdu al-Aziz. tt. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Aini. Surabaya:
Bengkulu Indah.
Al-Namiriy, Abd. Al-Barr. 1992. Al-Kafiy Fiy Fiqh Ahl Al-Madinah Al-Malikiy. Beirut: Dar Al-
Kutub.
Al-Quran Al-Karim. 2011. Surah At-Thalaq Ayat1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ayub, Syaikh Hasan. 2006. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar.
Ayyub, Syaikh Hasan. 2001. Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar
dengan judul Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Haww as. 2011. Fiqih Munakahat.
Jakarta: AMZAH.
Az-Zuhailī, Wahbah. 2010. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7. Alih Bahasa: Muhammad
Afifi dan Abdul Hafiz. Cet 1. Jakarta: Almahira.
Basri, Rusdaya. 2020. Fikih Munkahat 2. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.
Bunyamin, Mahmudin. 2017. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Departemen Agama RI. 2001. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Kompilasi Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2001. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Dlori, Muhammad. 2005. Dicintai Suami Istri Sampai Mati. Yogyakarta: Kata Hati.
Fitriah, Laykatul. 2010. Makna Nusyuz dalam Pandangan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang”, Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ghazali, Abd. Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media.
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Mahkamah Agung RI. 2015. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir. Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progresif.
Qudamah, Ibnu. 1980. Al-Muqni. Fiy Fiqh Imam Al-Sunnah Ahamd Ibn Hanbal Al-Syaibaniy Juz
III. Riyadl: Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah.

26
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. HukumPerkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Redaksi Sinar Grafika, 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafikan.
Ridha, M. Rasyid. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih. Jakarta: Hikmah.
Sabiq, Sayyid. 1978. Fikih Sunnah. Alih Bahasa: Mahyudin Syaf, Cet. Ke-1, Jilid 8. Bandung: PT
Alma‟arif.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayid. Tt. Shahih Fikih Sunnah, Juz 3. Kairo-Mesir: Maktabah
at-Taufiqiyyah.
Syarifudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Press.
Tim Redaksi Nuansa. 2000. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia.
Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqh Iddah Klasik Dan Kontemporer. Yogyakarta: PT LKS
Printing Cemerlang.
Zein, H. Satria Effendi M. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Cet. II; Jakarta: Kencana.

27

Anda mungkin juga menyukai