Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK 2

PENDAHULUAN NIKAH (KHITBAH)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu: Dr. Moh. Ali M.Ag.

Disusun oleh :

NOFAL ARIFIN 11220490000106


ZAHRA FATIN WIDJAJA 11230453000074
ABU BAKAR BIN HASAN ALHADY 11230453000075

Program Studi Hukum Tata Negara


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan makalah ini. Shalawat
serta salam kita curahkan kepada junjungan kita naibi agung Muhammmad SAW, yang mana
Beliau adalah uswatun hasanah dan yang kita nanti-nantikan syafaatnya kelak di hari kiamat.
Allahumma aamiin

Makalah ini merupakan kajian deskriptif mengenai Fiqh Munakahat. Pada makalah
ini kami banyak mengambil referensi dari berbagai sumber dan pengarahan dari berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Proses penyelesaian makalah ini tentu tidak terlepas dari adanya bantuan, bimbingan,
dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada dosen
pengampu dan teman-teman sekalian. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih dan
semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Jakarta, 17 Maret 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................2

DAFTAR ISI ....................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................3

I. Latar belakang masalah ..........................................................................4


II. Rumusan Masalah .................................................................................5

III. Tujuan Masalah ......................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN..................................................................................6

A. Pengertian, Tujuan, Dan Hukum Khitbah …..............................……...6


B. Tata Cara Dan Konsekuensi Hukum Khitbah.............................……..7
C. Kafaah Dan Hikmah ...................................................................……..9

BAB IV. PENUTUP ........................................................................................12

A. Kesimpulan ........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah


Islam adalah sebuah ajaran agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada
manusia sampai akhir zaman. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad
SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir
dan batin. Islam merupakan suatu ajaran yang bertujuan untuk mencapai
kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, karena di dalamnya terdapat
berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan
ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.

Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia
bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga
kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan,
tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai
pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi
kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia.
Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang
diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada
lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri
manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan
pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu
tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut
adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan
hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan
kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat
terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.

Agama Islam adalah agama raḥmatan lil‘ālamīn Allah mengharapkan


kemudahan bagi setiap hambanya dalam menapaki kehidupan di dunia ini. Allah tidak
akan membebani manusia kecuali sebatas kemampuannya dan meringankan atas
segala urusannya dikarenakan manusia diciptakan dalam keadaan yang lemah.
Meskipun Allah menjadikan kemudahan dalam agama Islam, dalam mewujudkan
impian dan harapan kita tidak boleh berbuat sewenang-wenang yang bertentangan
dengan norma-norma yang terkandung dalam ajaran Islam. Kita harus tetap selalu
tunduk dengan rambu-rambu yang telah tertata rapi dalam syari‟at Islam karena setiap
tindakan yang kita perbuat di dunia ini sudahlah pasti akan diminta pertangguang
jawabannya kelak di akhirat nanti. Telah lazim bagi umat Islam, jika antara seorang
laki-laki dan perempuan telah saling mencinta dan sepakat untuk hidup berumah-
tangga, maka orang tua dari pihak laki-laki datang kepada pihak perempuan untuk

4
meminangnya dengan membawa berbagai barang pinangan. Di kalangan masyarakat
tertentu, pihak yang melakukan pinangan kadang justru dari pihak perempuan.

Dalam kehidupan manusia salah satu cara untuk berkembang yaitu dengan
jalan menikah, karena salah satu aspek terpenting dalam kehidupan dan merupakan
setengah dari agama adalah pernikahan, sehingga menjadi idaman bagi setiap orang
beriman. Pernikahan itu sendiri di dalam Islam merupakan penenang bagi jiwa,
peneguh hati, sekaligus sebagai sarana agar suami istri dapat mencurahkan kasih
sayang, mewujudkan kerukunan, saling tolong menolong, saling mengingatkan dan
menasehati serta toleransi. Yang demikian itu dimaksudkan agar keduanya dapat
menciptakan suasana yang membahagiakan dan mewujudkan keluarga yang penuh
sakinah dan rahmah.

II. Rumusan Masalah


1. Jelaskan Pengertian, Tujuan, Dan Hukum Khitbah?
2. Bagaimana Tata Cara Dan Konsekuensi Hukum Khitbah?
3. Jelaskan Kafaah Dan Hikmah Khitbah?

III. Tujuan Masalah


1. Untuk Mengetahui Pengertian, Tujuan, Dan Hukum Khitbah.
2. Untuk Mengetahui Tata Cara Dan Konsekuensi Hukum Khitbah.
3. Untuk Mengetahui Kafaah Dan Hikmah Khitbah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN HUKUM KHITBAH


a. Pengertian Khitbah

Secara bahasa khitbah atau pinangan atau lamaran adalah meminta seorang wanita
untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Sedagkan, secara istilah khitbah
adalah kegiatan atau upaya ke arah hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang
wanita, atau seeorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadikannya
istri, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ditinjau dari akar
kata, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan dengan lamaran atau permintaan untuk
nikah. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan
suami istri.

Khitbah merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyari’atkan


sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar memasuki perkawinan didasarkan kepada
penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Dasar nash tentang khitbah
termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:1

‫َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َع َّرْض ُتْم ِبٖه ِم ْن ِخ ْطَبِة الِّنَس ۤا ِء َاْو َاْك َنْنُتْم ِفْٓي َاْنُفِس ُك ْم ۗ َع ِلَم ُهّٰللا َاَّنُك ْم‬
‫ٰل‬
‫َس َتْذ ُك ُرْو َنُهَّن َو ِكْن اَّل ُتَو اِع ُد ْو ُهَّن ِس ًّر ا ِآاَّل َاْن َتُقْو ُلْو ا َقْو اًل َّم ْع ُرْو ًفا ۗە َو اَل َتْع ِز ُم ْو ا ُع ْقَد َة الِّنَك اِح‬
‫ࣖ َح ّٰت ى َيْبُلَغ اْلِكٰت ُب َاَج َلٗه ۗ َو اْع َلُم ْٓو ا َاَّن َهّٰللا َيْع َلُم َم ا ِفْٓي َاْنُفِس ُك ْم َفاْح َذ ُرْو ُهۚ َو اْع َلُم ْٓو ا َاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َحِلْيٌم‬
Artinya: Tidak ada dosa bagimu atas kata sindiran untuk meminang perempuan-perempuan
atau (keinginan menikah) yang kamu sembunyikan dalam hati. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka. Akan tetapi, janganlah kamu berjanji secara diam-diam
untuk (menikahi) mereka, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang patut (sindiran).
Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa idah. Ketahuilah
bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka, takutlah kepada-Nya.
Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

b. Tujuan Khitbah

Dalam Islam, diperbolehkan untuk melakukan proses peminangan (khitbah) sebelum


perkawinan terjadi. Dalam proses ini, calon suami diperbolehkan untuk melihat calon istri
dalam batas-batas kesopanan Islam, seperti melihat wajah dan telapak tangan, dengan
dihadiri oleh beberapa anggota keluarga dari kedua belah pihak. Tujuan dari peminangan ini
1
Eliyyil Akbar, TA’ARUF DALAM KHITBAH PERSPEKTIF SYAFI’I DAN JA’FARI, Vol. 14 No. 1, 2015,
halaman 57.

6
adalah untuk saling mengenal satu sama lain. Ulama berpendapat bahwa peminang boleh
melihat bagian-bagian tertentu dari calon istri yang dapat membantu dalam memutuskan
keputusan pernikahan di masa depan, tanpa menimbulkan keragu-raguan atau perasaan
tertipu setelah akad nikah dilakukan.

c. Hukum khitbah

Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis nabi yang membicarakan
hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis nabi. Oleh karena itu
dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumnya adalah mubah. Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan oleh perantara yang
dipercaya.

B. TATA CARA, KONSEKUENSI HUKUM, FAKTOR, DAN SYARAT-SYARAT


KHITBAH
a. Tata Cara Khitbah
Dalam Islam Nabi Muhammad SAW telah menyediakan aturan dan etika,
termasuk dalam hal meminang (khitbah) wanita menjadi istri. Dalam Hal ni, beliau
sudah memberikan panduan dan tuntunan atau cara melamar seperti,
- Melamar Sendiri Sang Gadis Pujaan
Melamar sendiri sah menurut hukum agama, dan karena itu tidak perlu takut
melakukannya. Jika telah mempunyai calon yang cocok untuk dijadikan istri
atau suami, dan berniat melamarnya, maka hal tersebut di perbolehkan dalam
agama.
- Melamar Kepada Wali Atau Orang Tuanya
Bagi laki-laki apabila hendak melamar wanita dengan mendatangi langsung
rumahnya atau bertemu dengan orang tuanya.
- Melamar Melalui Wakil Atau Pemuka Masyarakat
Pihak laki-laki melamar wanita dengan melalui pemuka masyarakat, guru
ngaji atau tokoh agama. Sebab apabila pihak laki-laki yang dilamar tersebut
bukan seorang tokoh terpandang, sehingga dirasa perlu menggunakan wakil
atau perantara dalam lamaran.
- Wanita Boleh Menawarkan Diri Kepada Laki-Laki Yang Shalih
Jika laki-laki boleh melamar langsung wanita yang disukainya, maka wanita
juga di perbolehkan menawarkan diri untuk dinikah
- Melihat Wanita Yang Hendak Di Lamar

7
Setiap laki-laki boleh melihat wajah perempuan yang hendak dilamar dan
orang tua juga harus memperihatkan anak gadisnya terhadap laki-laki yang
ingin meminangnya.
- Melaksanakan Shalat Istikharah
Jika mengalami keraguan dan kebimbangan dalam hati ketika memutuskan
untuk menikah, maka ada baiknya sebelum melamar atau menetukan calon
jodoh, kita hendaklah terlebih dahulu melakukan shalat istikharah.
- Larangan dan Pantangan Saat melamar
Adapun larangan dan pantangan saat melamar wanita adalah sebagai berikut:
1) Melamar wanita yang sudah dilamar orang lain.
2) Melakukan khalwat saat khitbah dan sesudahnya.2

b. Konsekuensi Hukum Khitbah


Khitbah mempunyai akibat hukum yakni terdapat ada nya batasan yang mesti
di jaga, sebab pasangan yang telah diikat tidak dapat bersama hingga
terlaksana perkawinan.

c. Faktor Khitbah
Khitbah terjadi sebab sudah suatu hal yang umum di lakukan pada
masyarakat, meskipun bersifat sunah, hal itu bertujuan agar pihak perempuan
lebih mengenal melalui proses khitbah ini guna mendapatkan jodoh yang baik
tingkah lakunya dan baik ibadahnya, sebagaimana keinginan dari pihak
perempuan.

d. Syarat-Syarat khitbah
Para Ulama fikih mensyaratkan bagi laki-laki yang hendak meminang wanita
agar memperhatikan dua syarat:
a. Syarat Mustahsinah
Syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang
seorang wanita agar ia meneliti dahulu seorang wanita yang akan
dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah
tangga. Syarat mustahsinah adalah:
1) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah sejodoh,sekufu dengan laki-laki
yang meminangnya.
2) Wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita yang peranak.
3) Wanita yang akan dipinang bukan hubungan darah dengan pria yang
meminangnya.
4) Mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang
dipinang. Sebaliknya wanita yang dipinang harus mengetahui pula
keadaan orang yang meminangnya.

b. Syarat Lazimah
2
Ahmad Zuhri, Syukri, Tuti Handayani, Konsep Khitbah (Peminangan) Dalam Perspektif Hadis
Rasulullah SAW, Vol. 04 No. 02, Hal.70.

8
Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya
peminangan tergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah, yaitu:
1) Belum dipinang oleh orang lain secara sah. Karena sesuatu hal haram
dinikahkan selamanya atau sementara waktu, atau telah dipinang terlebih
dahulu oleh orang lain.
2) Wanita yang tidak dalam masa iddah. Haram hukumnya meminang wanita
yang dalam masa iddah talak raj’i. Wanita yang dalam masa iddah talak raj’i
yang lebih berhak mengawininya kembali ialah bekas suaminya. Bekas
suaminya boleh merujuknya kapan saja semasa ia kehendaki dalam masa
iddah itu. dan
3) Perempuan yang akan dipinang adalah perempuan yang boleh dinikahi.
Yang berarti, perempuan tersebut bukan mahram bagi laki-laki yang akan
meminangnya.3

C. KAFAAH DAN HIKMAH


a. Kafaah
Istilah kafa’ah atau sekufu dibahas oleh ulama fikih dalam masalah
perkawinan ketika membicarakan jodoh seorang wanita. Kafaah atau sekufu, menurut
bahasa artinya "setaraf, seimbang, atau keserasian, serupa, sederajat, atau sebanding."
Kata kafaah diambil dari surat al- Ikhlas ayat 4:

‫َاَح ٌد ُك ُفًو َّلٗه َيُكۡن َو َلۡم‬


Artinya: "Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas, 112:4)
Yang dimaksud kafaah atau sekufu dalam pernikahan, menurut hukum Islam
yaitu "keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-
masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. 4 Atau laki-laki
sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. 5 Jadi tekanan dalam kafaah adalah
keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak
dan ibadah. Sebab, menurut pendapat sebagian ulama, kalau kafaah diartikan
persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya
kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi
Allah SWT adalah sama.
Adapun kafa'ah disyariatkan untuk menghindari celaan yang terjadi apabila
pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat)
dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan
sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk
saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah
3
Abdul Mufidi Muzayyin, Analisis Budaya Hukum Khitbah Nikah Oleh Perempuan Kepada Laki-laki (Studi
Kasus di Desa Jatisari Kecamatan Senori Kabupaten Tuban)
Skripsi, Hal.41, Semarang 2020.
4
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993), h. 76.
5
Sayyid Sabiq, Figh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Ma'arif, 1981), h. 36.

9
tangga. Namun kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti
akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho,
sebab kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan walinya, dan
mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan suatu
pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan walinya
ridho/setuju. Pertimbangan kafa'ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak
laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu yang
mempertimbangkan apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak,
sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi
masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki dan sebagaimana
diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shollallohu 'alaihi wasallam derajatnya
dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan beliau, hal ini bisa dilihat dari
beragam latar belakang istri-istri Nabi. Selain itukemuliaan seorang anak itu pada
umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan
tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu aib.

Tidak ada kewajiban secara tekstual pelaksanaan kafa‟ah dalam perkawinan


Islam karena kafa‟ah dianjurkan menjelang pelaksanaan perkawinan, namun bukan
penentu sah dan tidaknya perkawinan. Kesetaraan dimaksud diasumsikan sebagai
pertimbangan ideal dalam kelangsungan perkawinan. Sebab ketimpangan yang terjadi
dalam perkawinan, akan menimbulkan masalah yang berkelanjutan dan besar
kemungkinan menjadi sebuah awal sebuah perceraian. Karenanya itu muncul istilah
dalam perkawinan “laki-laki yang tidak sekufu”, (jika kurang status sosialnya) karena
standarisasi kafa‟ah terdapat pada perempuan (Syarifudin, 2009).

Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para fuqoha‟ mengenai hal
kafa‟ah, baik dalam bentuk buku, kitab, artikel, dan penelitian ilmiah. Dalam Fiqh al-
Sunnah al-Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa kufu‟ dalam pernikahan memang
diperlukan, yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isteri, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat kekayaan. Dia
berpendapat bahwasannya antara laki-laki dan perempuan sebanding (Sabiq, 1981).

Ulama sepakat menyatakan bahwa kafa’ah merupakan hak seorang wanita dan
walinya. Apabila seorang wali menikahkan seorang wanita dengan seorang pria yang
tidak sekufu dengannya maka wanita ini berhak membatalkan perkawinan tersebut.
Sebaliknya apabila seorang wanita memilih jodohnya seorang pria yang tidak sekufu
yang tidak sekufu dengannya maka wali berhak menolak dan menuntut pembatalan
perkawinan tersebut. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan unsur-
unsur yang dinilai dalam kafa’ah. Adapun unsur kafa’ah menurut :
1. Ulama mazhab Maliki unsur kafaah yang yang dinilai adalah : a. Agama b. Bebas
dari cacat jasmani dan rohani
2. Ulama mazhab Hanafi unsur kafa’ah yang dinilai adalah : a. Agama b. Keislaman
c. Kemerdekaan d. Keturunan e. Kekayaan f. Status social

10
3. Ulama mazhab Syafi’i kafa’ah dalam hal: a. Agama b. Kemerdekaan c. Keturunan
d. Status sosial e. Keadaan Jasmani
4. Ulama mazhab Hanbali a. Agama b. Kemerdekaan c. Keturunan d. Kekayaan e.
Status social.
Yang dimaksudkan dengan unsur agama adalah komitmennya terhadap ajaran
agama. Yang dimaksud Keislaman oleh ulama mazhab Hanafi adalah jika pria itu dari
keturunan non Arab hendaklah orang tua pria itu orang muslim. Adapun merdeka
menurut ulama mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali adalah bahwa
pria itu bukan budak karena status budak tidak sama dengan status orang merdeka.
Unsur keturunan adalah bahwa orang tua pria itu ada dikenal berasal dari orang baik-
baik. Yang dimaksud dengan kekayaan adalah kesanggupan membayar mahar dan
nafkah perkawinan.status sosial adalah adanya mata pencaharian pria tersebut yang
dapat menjamin nafkah rumah tangganya kelak. Keadaan Jasmani dan rohani yaitu
apakah terdapat cacat pada jasmani atau rohaninya. Uraian dan penjelasan di atas
memberikan gambaran telah terjadi perbedaan pandangan para ulama mengenai
aspek-aspek yang terkandung dalam kafaah. Perbedaan ini disebabkan oleh cara
pandang yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana para ulama tersebut
menetap. Juga perbedaan mereka dalam memahami beberapa hadis Nabi yang
menjadi dasar penetapan kafa’ah. Namun demikian satu titik temu dalam masalah ini
mereka sepakat dengan mendahulukan aspek agama dan ahlak bagi mereka yang
hendak melangsungkan pernikahan. Artinya mereka yang akan menikah wajib
memperhatikan masalah agama dan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah.
Sebab hanya dengan cara seperti inilah biduk rumah.
Dinamika kafa‟ah dalam beberapa madzhab fiqh mu‟tabaroh tidak sama
sekali disinggung secara mendetail dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu dalam
pasal 61 dalam kajian pembatalan perkawinan. Hal ini menegaskan kesepakatan
ulama mengenai kualitas keberagamaan. Pasal 61 ini berbunyi: “tidak se-kufu tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena
perbedaan agama atau ikhtilafu al-din. (Turmudzi, 1823).6

b. Hikmah Pernikahan
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga
untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan.

Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam rangka

membentuk lembaga keluarga (rumah tangga) yakni sebagai berikut;

1. Menurut Al-Qur’an

Dalam surah Al-A’raf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan itu adalah

untuk bersenang-senang
6
Paimat Sholihin, KAFAAH DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB, Februari 2021, Hal 2,
Sharia Economic Management Business Journal, Vol. 2, No. 1.

11
Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan adalah:

litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang).7

2. Menurut Hadis

1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan

2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat."8

3. Menurut Akal

1) Meningkatkan jumlah manusia

2). Mewujudkan keteraturan nasab

3) Menertibkan masalah kewarisan,9

Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain:

a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan

melampiaskan syahwat.

b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina).

c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya.

d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama anturdows

keluarga.

e. terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram dengan adanya cinta dan kasih

sayang antara sesama.10

7
A Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi,
Pengajian, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo,Tahun 2006, ed.I, (t.t.’ Qalbun Salim, 2007), h.86
8
Ibid., h.88.
9
Ibid., h. 89.
10
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: Elsas, 2008), h.12

12
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah sebuah ajaran agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada
manusia sampai akhir zaman. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad
SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir
dan batin. Islam merupakan suatu ajaran yang bertujuan untuk mencapai
kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, karena di dalamnya terdapat
berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan
ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara bahasa khitbah atau pinangan atau lamaran adalah meminta seorang
wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Sedagkan, secara istilah
khitbah adalah kegiatan atau upaya ke arah hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita, atau seeorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadikannya istri, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat. Ditinjau dari akar kata, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan
dengan lamaran atau permintaan untuk nikah. Peminangan merupakan pendahuluan
perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri.
Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan unsur-unsur yang dinilai
dalam kafa’ah. Adapun unsur kafa’ah menurut :
1. Ulama mazhab Maliki unsur kafaah yang yang dinilai adalah : a. Agama b. Bebas
dari cacat jasmani dan rohani

13
2. Ulama mazhab Hanafi unsur kafa’ah yang dinilai adalah : a. Agama b. Keislaman
c. Kemerdekaan d. Keturunan e. Kekayaan f. Status social
3. Ulama mazhab Syafi’i kafa’ah dalam hal: a. Agama b. Kemerdekaan c. Keturunan
d. Status sosial e. Keadaan Jasmani
4. Ulama mazhab Hanbali a. Agama b. Kemerdekaan c. Keturunan d. Kekayaan e.
Status social.
Para Ulama fikih mensyaratkan bagi laki-laki yang hendak meminang wanita agar
memperhatikan dua syarat:
a. Syarat Mustahsinah
Syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang
seorang wanita agar ia meneliti dahulu seorang wanita yang akan dipinangnya itu,
sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga.
b. Syarat Lazimah
Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.

Daftar Pustaka

Sholeh Ni’am Asrorun, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II,


(Jakarta: Elsas, 2008),

Sholihin Paimat, KAFAAH DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF EMPAT


MAZHAB, Februari 2021, Sharia Economic Management Business Journal, Vol. 2, No. 1.

Djalil Basiq A, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik


Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo,Tahun
2006, ed.I, (t.t.’ Qalbun Salim, 2007).

Nur Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993).
Sabiq Sayid, Figh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Ma'arif, 1981).
Akbar Eliyyil, TA’ARUF DALAM KHITBAH PERSPEKTIF SYAFI’I DAN JA’FARI,
Vol. 14 No. 1, 2015.
Zuhri Ahmad, Syukri, Handayani Tuti, Konsep Khitbah (Peminangan) Dalam
Perspektif Hadis
Rasulullah SAW, Vol. 04 No. 02.

14

Anda mungkin juga menyukai