Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

KAPITA SELEKTA FIKIH

TENTANG:
PERNIKAHAN
OLEH :
SALSA BILLA NIM: 2330404143
TIRTA ARIVA NIM: 2330404156
SYAHRUL IQBAL NIM: 2330404152

DOSEN PEMBIMBING :
DR. FATHUR RAHMI, SHI., MA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS
BATUSANGKAR
2023 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penulis
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen dengan mata kuliah Kapita Selekta Fikih yang telah memberikan tugas
terhadap kami. Kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
turut membantu dalam penyusunan makalah ini. Dimana makalah ini berisikan
tentang materi Pernikahan/Perkawinan. Semoga makalah ini dapat memberikan
pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca yang berhubungan dengan
Pernikahan/Perkawinan.
Kami jauh dari sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini
dapat berguna bagi kami pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada
umumnya.

Batusangkar, 6 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Pembahasan Makalah.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...……………………………………………………………………………………………....3

A. Tata Cara Perkawinan.........................................................................................3

B. Pernikahan Yang Diharamkan..........................................................................13

C. Wanita/ Perempuan Yang Haram Dinikahi.......................................................17

D. Hak Dan Kewajiban Suami Istri.......................................................................25

E. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan.................................................................32

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..30

A. Kesimpulan……………………….…………………………………………..30

B. Saran …………………………………………………………………………30

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan
yang saling mencintai dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang
Sakinah, melalui Mawaddah dan Warahmah. Bahkan tidak sedikit yang
berjuang keras agar bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Selain itu,
pernikahan juga dapat menyambung tali silaturrahim antara kedua pasangan
tersebut. Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yang berebunyi bahwa
“tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah,
dan warahmah”.1
Pernikahan bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
turunan saja, tetapi pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain, serta perkenalan
itu akan menjadi jalan buat bertolong-tolongan antara satu dengan yang
lainnya. Sedangkan hubungan antara seorang laki-laki dan Perempuan
merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT, serta Allah telah
menghalalkan hubungan tersebut melalui jalan akad nikah. Pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa
keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun
perempuan, bagi keturunan bahkan bagi masyarakat yang berada di sekeliling
keduanya.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan, Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

1
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II Pasal 3, Departemen Agama RI, 2001
1
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.2
Selajutnya tentang pernikahan ini akan diuraikan lebih lanjut di dalam
makalah ini.

B. Pembahasan Makalah
1. Tata Cara Perkawinan
2. Perkawinan Yang Diharamkan
3. Wanita Yang Haram Dinikahi
4. Hak Dan Kewajiban Suami Istri
5. Harta Kakayaan Dalam Perkawinan

2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 2.
2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tata Cara Perkawinan


1. Khitbah
a. Definisi Khitbah
Khitbah adalah aksi (fi'lah), ikatan ('iqdah), dan posisi (jilsah).
Misalnya, seorang laki-laki menghitbah seorang perempuan. Maknanya,
laki-laki itu mengajak perempuan tersebut untuk menikah (melamar atau
meminangnya) dengan cara yang lumrah dan biasa dilakukan oleh orang
umum. Menurut bahasa, khitbah berasal dari bahasa Arab ‫ َخ َطَب‬yang
artinya bicara. Khitbah bisa juga diartikan sebagai ucapan yang berupa
nasihat, ceramah, pujian dan lain sebagainya. Pelaku khitbah disebut
khatib atau khitb, yaitu orang yang menghitbah perempuan. Pernikahan
didahului dengan khitbah. Allah Swt mensyariatkan khitbah sebelum
ikatan pernikahan dilaksanakan agar tiap-tiap pasangan yang akan
menikah mengenal pasangannya sehingga mendapatkan kemantapan hati
untuk melaksanakan pernikahan.3
b. Wanita Yang Boleh Dikhitbah
Pada prinsipnya, setiap laki-laki diperbolehkan menghitbah seorang
Perempuan. Namun ada dua golongan perempuan yang dilarang untuk
dikhitbah, yaitu:
1) Perempuan itu dalam posisi yang menghalanginya untuk dinikahi
secara syara’.
2) Perempuan itu sedang dalam proses dikhitbah oleh laki-laki lain.
Apabila pada diri perempuan yang hendak dikhitbah itu ada sesuatu yang
menghalanginya untuk dinikahi secara syara’ seperti mahramnya, baik
mahram abadi maupun sementara, atau perempuan itu terlebih dahulu

3
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah jilid 2, ( Surakarta: Insan Kamil, 2016 ) hlm 467
3
dikhitbah oleh laki-laki lain, maka laki-laki kedua yang hendak
mengkhitbah tadi tidak diperbolehkan untuk menghitbah perempuan itu.
c. Mengkhitbah Tunangan Orang Lain
Diharamkan mengkhitbah seorang perempuan yang telah dipinang
oleh laki-laki lain. Meminang seorang perempuan yang telah dikhitbah
berarti melanggar hak laki-laki yang meminang sebelumnya sekaligus
akan melukai perasaannya. Perbuatan itu dapat menimbulkan perpecahan
dan perseteruan di antara mereka.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ َفَال َيِح ُّل ِلْلُم ْؤ ِم ِن َأْن َيْبَتاَع َع َلى َبْيِع َأِخ ْيِه َو َال َيْخ ُطُب َع َلى‬، ‫اْلُم ْؤ ِم ُن َأُخ و اْلُم ْؤ ِم ِن‬
‫ِخ ْط َبِة َأِخ ْيِه َح َّتى َيَذ َر‬
Artinya: “(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh
karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian
saudaranya dan tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga
dia meninggalkannya.”
Larangan meminang perempuan yang sudah di khitbah berlaku jika
perempuan tersebut atau walinya sudah menerima lamaran laki-laki
pertama secara tegas dan jelas. Khitbah boleh dilakukan terhadap
perempuan yang telah dikhitbah apabila memenuhi beberapa hal berikut:
1) Pihak perempuan sudah menolak khitbah laki-laki pertama atau
menjawabnya dengan sindiran, misalnya dengan mengucapkan " aku
tidak membencimu.”
2) Laki-laki kedua tidak mengetahui adanya khitbah laki-laki pertama.
3) Pihak perempuan belum memberi kepastian kepada laki-laki pertama,
apakah ia menerima atau menolak lamarannya.
4) Laki-laki pertama telah memberikan izin kepada laki-laki kedua.
Asy-syafi'i meriwayatkan hadis bahwa ketika seseorang laki-laki
meminang seorang Perempuan dan Perempuan itu menerima

4
pinangannya, maka tak seorangpun berhak untuk meminang wanita
tersebut.4
d. Cara Memperkenalkan Kepribadian dan Perilaku
Apabila dengan melihat dapat diketahui kecantikan dan keburukan
parasnya, maka untuk hal-hal lain seperti sifat dan perilaku dapat
diketahui dengan cara saling memberitahu, menyelidiki dengan siapa saja
ia bergaul, atau dengan bertanya kepada orang-orang terdekat yang dapat
dipercaya seperti ibu atau kakaknya.
Dalam suatu Riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬mengutus
Ummu Sulaim untuk melihat seorang perempuan, beliau bersabda yang
artinya:

“ lihatlah urat keting (otot tumit bagian belakang)nya dan ciumlah


tengkuknya.”

Al Ghazali dalam bukunya, ihya' 'ulumiddin menuturkan, "tidak ada


seorangpun yang dapat menceritakan perilaku dan sifat orang lain kecuali
orang yang jujur dan adil serta berpengalaman mengetahui kebaikan lahir
batin."5

2. Tatacara Perkawinan6
Terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 pasal 10-13.
a. Pasal 10
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat
seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

4
Ibid, hlm 470
5
Ibid, hlm 474
6
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10-13

5
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-
masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi.
b. Pasal 11
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan
ketentuan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan
oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan
telah tercatat secara resmi.
c. Pasal 12
Akta perkawinan memuat :
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan
dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami
terdahulu ;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang
tua mereka;
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5)
Undang-undang;
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang;

6
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
undang;
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB
bagi anggota Angkatan Bersenjata;
h. Perjanjian perkawinan apabila ada;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
d. Pasal 13
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama
disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada
Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan
Perkawinan itu berada.
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
3. Walimah7
1. Definisi
Kata walimah diambil dari kata walm yang berarti pengumpulan
karena suami dan istri berkumpul. Walimah adalah makanan dalam pesta
pernikahan secara khusus. Dalam kamus disebutkan, "walimah adalah
makanan pesta pernikahan atau setiap makanan yang dibuat untuk
undangan dan lainnya." Adapun aulama artinya membuat makanan
tersebut.
2. Hukum Walimah
Menurut jumhur ulama, hukum walimah adalah sunnah muakkadah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Abdurrahman bin
auf, " adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing". Anas ra

7
Op Cit, hal 783-787
7
mengatakan, "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak pernah mengadakan walimah
untuk seorang pun dari istri-istri beliau seperti walimah yang beliau
adakan untuk Zainab. Beliau mengadakan walimah dengan seekor
kambing untuk Zainab." Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk
salah seorang istri beliau dengan dua mud gandum.” Perbedaan tersebut
tidak didasarkan kepada pengutamaan sebagian istri atau sebagian yang
lain tetapi lebih disebabkan perbedaan kondisi finansial.
3. Waktu Walimah
Waktu walimah adalah saat akad atau setelahnya, atau saat
percampuran dua pengantin atau setelahnya. Hal itu merupakan perkara
yang dilapangkan waktunya sesuai dengan tradisi dan kebiasaan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬mengundang
orang-orang setelah bercampur dengan Zainab.
4. Memenuhi Undangan Walimah
Wajib memenuhi undangan walimah pernikahan. Memenuhi undangan
ini menunjukkan perhatian kepada orang yang mengundang,
menggembirakan hatinya dan membahagiakan jiwanya. Abu Hurairah ra
berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
‫ َو َلْو ُأْهِدَى ِإَلَّي ُك َر اٍع َلَقِبْلُت‬، ‫َلْو ُد ِع ْيُت ِإَلى ُك َر اٍع َألَج ْبُت‬

Artinya:"Seandainya aku diundang untuk (jamuan) sepotong kaki


binatang, niscaya aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku dihadiahi
sepotong lengan binatang, niscaya aku akan menerimanya."

Jika undangan terbuka untuk umum dan tidak dikhususkan untuk


orang atau kelompok tertentu, maka tidak ada kewajiban dan tidak ada
anjuran untuk menghadirinya. Misalnya, orang yang mengundang
berkata, "wahai orang-orang, datanglah ke walimah," tanpa menentukan
siapa saja yang ia undang. Atau ia berkata, "ajaklah siapa saja yang kamu
jumpai untuk menghadiri perjamuan," sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah ‫ﷺ‬. Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan

8
hukumnya fardu kifayah. Ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya
Sunnah. Pendapat yang pertama lebih kuat karena kata durhaka tidak
digunakan kecuali untuk menunjukkan ditinggalkannya sesuatu yang
wajib. Hal itu berkaitan dengan walimah pernikahan. Adapun memenuhi
undangan selain walimah pernikahan hukumnya Sunnah dan tidak wajib
menurut jumhur ulama. Sebagian ulama Mazhab Syafi'i mewajibkan
untuk memenuhi undangan secara mutlak.
5. Syarat Wajib Menghadiri Undangan Walimah
Dalam Fathul Bari, Al-Hafizh mengatakan bahwa syarat-syarat
wajibnya memenuhi undangan adalah sebagai berikut:
1) Orang yang mengundang adalah orang mukallaf, merdeka, dan
berakal.
2) Undangan tidak dikhususkan untuk orang kaya, tanpa
mengikutsertakan orang- orang miskin.
3) Tidak tampak adanya tujuan untuk mengambil hati seseorang, baik
karena berharap kepadanya maupun karena takut kepadanya.
4) Yang mengundang adalah orang muslim, menurut pendapat yang
paling benar.
5) Undangan dikhususkan pada hari pertama, menurut pendapat yang
terkenal.
6) Undangan tidak didahului oleh undangan yang lain. Apabila
didahului, maka yang wajib dipenuhi adalah undangan yang pertama,
bukan yang kedua.
7) Tidak ada kerugian yang timbul karena memenuhi undangan, seperti
kemungkaran dan lainnya.
8) Orang yang diundang tidak memiliki uzur. Al Baghawi berkata, “
Barang siapa memiliki uzur, atau jalan yang harus ditempuhnya jauh
sehingga memberatkannya, tidak apa-apa ia tidak hadir.”

9
B. PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN
1. Nikah Mut’ah8
Nikah mut’ah juga dikatakan nikah yang memiliki batas waktu tertentu,
seperti seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hanya untuk satu hari,
satu minggu, atau satu bulan (batas waktu tertentu). Nikah semacam ini
dikenal dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak. Dinamakan nikah mut’ah
karena tujuan laki-laki yang melakukanya adalah untuk memanfaatkan dan
menjadikan pernikahan sebagai sarana mencari kenikmatan dan kepuasan
dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau telah disepakati.
Mengenai hukum nikah mut’ah, para ulama sepakat atas haramnya
pernikahan semacam ini. Firman ALLAH SWT:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل ُتَح ِّر ُم ْو ا َطِّيٰب ِت َم ٓا َاَح َّل ُهّٰللا َلُك ْم َو اَل َتْعَتُد ْو ۗا ِاَّن َهّٰللا اَل ُيِح ُّب اْلُم ْعَتِد ْيَن‬
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan
sesuatu yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al – Maidah 5: 87 )
2. Nikah tahlil 9
Yang dimaksud dengan nikah tahlil adalah pernikahan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga
setelah masa iddah selesai, lalu dia melakukan hubungan seksual dengan
perempuan tersebut. Setelah itu, dia menceraikanya, sehingga perempuan
tersebut dapat menikah lagi dengan suami sebelumnya. Hukum pernikahan
semacam ini adalah haram dan termasuk dosa besar.
Maka haramlah menikahinya berdasarkan firman Allah SWT:

‫َفِإن َطَّلَقَها َفاَل َتِح ُّل َل ۥُه ِم ۢن َبْعُد َح َّتٰى َتنِكَح َز ْو ًجا َغْيَر ۥُهۗ َفِإن َطَّلَقَها َفاَل ُجَناَح َع َلْيِهَم ٓا َأن‬
‫َيَتَر اَجَع ٓا ِإن َظَّنٓا َأن ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ٱِهَّللۗ َو ِتْلَك ُح ُدوُد ٱِهَّلل ُيَبِّيُنَها ِلَقْو ٍم َيْع َلُم وَن‬
8
Op cit, hlm 250
9
Op cit, hlm 256
10
Artinya:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.” ( QS. Al-Baqarah 2: 230 )
Hukum pernikahan ini batal dan tidak sah atasnya istri yang telah ditalak
tiga, ia harus memberi mahar pada istrinya jika menginginkan berkumpul,
kemudian keduanya dipisahkan.
3. Nikah Asy – Syighar10
Nikah Asy-Syighar yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya
seorang laki-laki dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya;
baik mereka menyebutkan maharnya ataupun tidak. Hukum nikah ini haruslah
dibatalkan sebelum bercampur, dan jika telah bercampur maka dibatalkannya
selama tanpa adanya mahar, dan apa yang diberikan baginya untuk masing-
masing mahar tidaklah batal.

C. WANITA/ PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI


Tidak semua perempuan boleh dinikahi. Perempuan yang akan menikah
disyaratkan dia bukan mahram (orang yang haram untuk dinikahi) dengan
laki-laki yang hendak menikahinya, baik mahram untuk selama-lamanya
ataupun mahram hanya sementara waktu saja. Status mahram yang berlaku
untuk selamanya berimplikasi pada pengharaman bagi laki-laki yang akan
menikahinya untuk selamanya, kapanpun. Sedangkan mahram yang bersifat
temporal, maka keharaman bagi laki-laki yang akan menikahinya hanya
berlaku untuk waktu tertentu. Jika status hubungan di antara laki-laki dan
perempuan yang haram dinikahi karena masih menjadi muhrim sudah tidak
ada lagi, dia diperbolehkan menikahinya.
10
Ali Yusuf As-Subki. Fiqh Keluarga, ( Jakarta: AMZAH, 2012 ) hlm 136
11
1. Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Selamanya11
Diantaranya sebab perempuan haram dinikahi untuk selamanya adalah
karena;
a. Pengharaman Karena Hubungan Nasab
Terdapat ddalam Qs. An-Nisa’: 23
‫ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ْم ُاَّم ٰه ُتُك ْم َو َبٰن ُتُك ْم َو َاَخٰو ُتُك ْم َو َع ّٰم ُتُك ْم َو ٰخ ٰل ُتُك ْم َو َبٰن ُت اَاْلِخ َو َبٰن ُت اُاْلْخ ِت‬
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan…."
1) Ummah, maksudnya adalah perempuan yang mengandung dan
melahirkan (ibu). Hubungan di antara ibu dan anak inilah yang
menyebabkan adanya ikatan muhrim. Termasuk dalam kategori ini
adalah ibu dan nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) dengan
segala tingkatannya, baik dari pihak ayah maupun ibu.
2) Banaatukum, maksud adalah anak perempuan yang dilahirkan
oleh istri maupun keturunan laki-laki. termasuk dalam kategori ini
adalah anak kandung ataupun anak tiri, cucu, berikut cicit dengan
semua tingkatannya.
3) Akhwaat, maksudnya adalah saudara perempuan yang lahir dari
orang tua yang sama, baik keturunan dari pihak ayah dan pihak
ibu ataupun dari salah satu diantara keduanya.
4) Ammah, maksudnya adalah bibi dari pihak ayah, perempuan yang
menjadi saudara kandung ayah, ataupun saudara perempuan ayah
dari keturunan salah satu orang tua ayah. 'ammah bisa juga

11
Op cit, hlm 290-300
12
ditunjukkan bagi saudara perempuan ibu, yaitu saudara ayahnya
ibu (nenek sepupu).
5) Khalah, maksudnya adalah bibi dari pihak ibu, perempuan yang
menjadi saudara kandung ibu, atau saudara ibu yang perempuan
dari keturunan salah satu orang tua ibu.' Ammah bisa juga
ditunjukkan bagi saudara perempuan ayah, yaitu saudara ibunya
ayah (nenek sepupu).
6) Banaatul Akhi ialah anak perempuan dari saudara laki-laki,
mereka adalah keponakan, anak perempuan dari saudara laki-laki,
baik anak kandung maupun anak tiri.
7) Banaatul Ukhti ialah anak perempuan dari saudara Perempuan,
mereka adalah keponakan, anak perempuan dari saudara laki-laki,
baik anak kandung maupun anak tiri.
b. Pengharaman Karena Hubungan Pernikahan
Terdapat dalam Qs. An-Nisa’: 23
‫ّٰل‬ ‫ّٰل‬
‫َو ُاَّم ٰه ُت ِنَس ۤا ِٕىُك ْم َو َر َبۤا ِٕىُبُك ُم ا ِتْي ِفْي ُحُجْو ِرُك ْم ِّم ْن ِّنَس ۤا ِٕىُك ُم ا ِتْي َد َخ ْلُتْم ِبِهَّۖن َفِاْن َّلْم‬
‫َتُك ْو ُنْو ا َد َخ ْلُتْم ِبِهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ۖ َو َح ۤاَل ِٕىُل َاْبَنۤا ِٕىُك ُم اَّلِذ ْيَن ِم ْن َاْص اَل ِبُك ْۙم‬
Artinya: “…ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”
1) Ummaha Tisaa Ikum (Mertua Perempuan)
Maksudnya adalah ibu dan nenek dari istri (baik nenek dari
pihak ayah maupun ibu) dengan semua tingkatannya.

2) Rabaaikumullatii Fi Hujuurikum (Anak Tiri)


Maksudnya adalah anak perempuan dari istri laki-laki yang
sudah digauli. Maksud dalam kategori ini adalah anak perempuan
13
istri dan cucu perempuannya (baik dari anak laki-laki maupun
perempuan) dengan semua tingkatannya.
3) Halaailu Abnaaikum (Menantu Perempuan)
Maksudnya adalah istri dari anak dan istri dari cucu (baik dari
anak laki-laki maupun anak perempuan dengan semua
tingkatannya).
4) Istri Ayah (ibu tiri)
Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menikahi istri
ayahnya, meskipun belum terjadi hubungan suami istri di antara
keduanya. Bentuk pernikahan seperti itu (anak menikahi istri
ayahnya) banyak terjadi pada masa jahiliyah, mereka
menyebutkan sebagai nikah maqt (nikah cela) sebab seorang anak
laki-laki yang menikahi ibu tirinya dianggap tercela. Allah swt.
Telah melarang bentuk pernikahan semacam ini, mencelanya, serta
menafikannya (tidak menganggapnya bagian) dari pernikahan.
c. Pengharaman Karena Hubungan Persusuan
Hubungan persusuan juga dapat menghalangi terjadinya
pernikahan sebagaimana halnya hubungan nasab.
Firman ALLAH SWT dalam Qs. An-Nisa: 23
‫ّٰل‬
‫َو ُاَّم ٰه ُتُك ُم ا ِتْٓي َاْر َض ْعَنُك ْم َو َاَخٰو ُتُك ْم ِّم َن الَّر َض اَع ِة‬
Artinya: “ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan….”
Orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi berdasarkan hubungan
persusuan adalah sebagai berikut:
1) Ibu susuan (perempuan yang menyusui), karena posisi dia
sebagai ibu bagi anak yang disusuinya.
2) Ibu dari ibu susuan, karena statusnya sebagai nenek bagi anak
yang disusui.
3) Ibu dari suami ibu susuan karena dia juga nenek bagi anak yang
disusui.
14
4) Saudara perempuan ibu susu, karena dia menjadi bibi baginya.
5) Saudara perempuan dari suami ibu susuan.
6) Anak keturunan ibu susuan, baik dari pihak anak laki-laki
maupun perempuan (cucu, dan seterusnya), karena mereka
adalah saudara satu susuan,begitu juga dengan anak-anak
mereka.
7) Saudara perempuan satu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu
susuan maupun dari salah satunya.
2. Perempuan yang Haram Dinikahi Pada Batas Waktu Sementara12
a. Menikah Dua Perempuan yang Masih Muhrim
Seorang laki-laki diharamkan mengumpulkan dua perempuan
bersaudara dalam sebuah ikatan, seorang perempuan dengan
bibinya; baik dari pihak ayah maupun ibu, serta mengumpulkan
setiap perempuan yang memiliki hubungan kerabat dekat (muhrim).
Jadi, salah satu di antara keduanya adalah laki-laki, maka dia tidak
diperbolehkan menikah dengan yang lain. Sebagai landasan atas
keharamannya adalah berapa dalil berikut:
1) Allah swt. Berfirman

‫َو َأن َتْج َم ُعوا َبْيَن اُأْلْخ َتْيِن ِإاَّل َم ا َقْد َس َلَف‬

Artinya: "Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam


pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau... (An Nisa [4]: 23)

b. Hukum Menikah Istri Orang Lain atau Perempuan yang dalam


Masa Iddah
Seorang muslim diharamkan menikahi perempuan yang
berstatus istri orang lain, dan perempuan yang masih dalam masa
iddah sebagai bentuk penghormatan atas hak-hak suami dari
perempuan tersebut Allah swt. berfirman,
12
Op cit, hlm 316-323
15
‫ َو اْلُم ْح َص َناُت ِم َن الِّنَس اِء ِإاَّل َم ا َم َلَك ْت َأْيَم ُنُك ْم‬..
Artinnya: "Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang
bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang)
yang kamu miliki..." (An-nisa' [4]: 24)
Artinya, Allah swt, mengharamkan laki-laki untuk menikahi
perempuan yang sudah bersuami kecuali hamba sahaya yang dari
hasil dari tawanan perang. Yang mana, dia halal dinikahi oleh laki-
laki yang menguasainya walaupun dia telah bersuami setelah selesai
masa iddahnya. Karena ketika seorang perempuan menjadi budak
(tawanan) perang, maka dia dianggap telah berpisah dengan
suaminya.
Hasan berkata, "Beberapa sahabat Rasulullah saw.
Beranggapan bahwa masa indah perempuan yang menjadi budak
(tawanan) perang adalah satu kali haid."

c. Akad Nikah Orang yang Sedang Melaksanakan Ihram


Seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan
ihram untuk haji atau umrah sebelum tahallul. Hukum pernikahan
ini batal. Jika ia menginginkan nikah dengannya maka dia
melaksanakan akad kembali setelah selesai haji atau umrahnya,
berdasarkan sabda Rasulullah ‫ﷺ‬:
‫ وال ُينِكْح‬، ‫ال َينِكِح الُم ْح ِر ُم‬
Artinya: “ Orang yang berihram tidak menikah dan tidak
menikahkan.”
Maksudnya ia tidak melaksanakan akad nikah baginya dan ia
tidak melaksanakan akad untuk orang lain. Larangan ini bersifat
haram, yakni mengharuskan kebatalan.
d. Nikah dengan Perempuan Kafir Sampai Ia Beriman

16
Haram bagi seorang muslim untuk menikah dengan kafir majusi
baik ia menyembah api, komunisme, atau berhala sampai mereka
beriman (mualaf), berdasarkan firman Allah Swt:
‫اَل َتْنِكُحوا اْلُم ْش ٰك ِت َح ّٰت ى ُيْؤ ِم َّۗن‬
‫ِر‬ ‫َو‬
Artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga
mereka beriman!.” ( QS. Al – Baqarah 2: 221 )

e. Menikahi Budak Perempuan


Firman ALLAH SWT dalam Qs. An-Nisa: 25
‫َّيْنِكَح اْلُم ْح َص ٰن ِت اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت َفِم ْن َّم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُك ْم‬ ‫َو َم ْن َّلْم َيْسَتِط ْع ِم ْنُك ْم َطْو اًل َاْن‬
‫ْۢن‬ ‫ِّم ْن َفَتٰي ِتُك ُم اْلُم ْؤ ِم ٰن ِۗت َو ُهّٰللا َاْع َلُم‬
‫ِبِاْيَم اِنُك ْم ۗ َبْعُض ُك ْم ِّم َبْع ٍۚض َفاْنِكُحْو ُهَّن ِبِاْذ ِن‬
‫َاْهِلِهَّن َو ٰا ُتْو ُهَّن ُاُجْو َر ُهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِف ُم ْح َص ٰن ٍت َغْيَر ُم ٰس ِفٰح ٍت َّو اَل ُم َّتِخ ٰذ ِت‬
‫َاْخ َداٍن ۚ َفِاَذ آ ُاْح ِص َّن َفِاْن َاَتْيَن ِبَفاِح َش ٍة َفَع َلْيِهَّن ِنْص ُف َم ا َع َلى اْلُم ْح َص ٰن ِت ِم َن‬
‫اْلَع َذ اِۗب ٰذ ِلَك ِلَم ْن َخ ِش َي اْلَع َنَت ِم ْنُك ْم ۗ َو َاْن َتْص ِبُرْو ا َخ ْيٌر َّلُك ْم ۗ َو ُهّٰللا َغ ُفْو ٌر‬
‫َّر ِح ْيٌم‬
Artinya: “Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya
untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka
(dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya
yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari
kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-
Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan
berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi
mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan
merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba
sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan

17
dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu
bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”
Para ulama sepakat bahwa seorang budak laki-laki
diperbolehkan menikahi budak perempuan dan seorang perempuan
merdeka juga diperbolehkan menikah dengan budak laki-laki
dengan syarat kesediaan perempuan tersebut berikut segenap
perwaliannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang laki-
laki merdeka tidak diperbolehkan menikahi perempuan yang
berstatus sebagai budak kecuali jika memenuhi dua syarat, yaitu :
1) Laki-laki yang menikahinya tidak mampu menikahi
perempuan merdeka.
2) Laki-laki yang menikahinya khawatir terjerumus pada
perbuatan maksiat (perzinaan).
Imam Qurthubi berkata, "Bersabar untuk membujang bagi
seorang laki-laki merdeka lebih baik daripada menikahi perempuan
yang statusnya sebagai budak, karena menikahinya dapat berakibat
anak yang dilahirkan menjadi budak seperti ibunya dan dapat
menurunkan harga dirinya, sifat sabar demi menjaga kehormatan
lebih penting daripada menghinakan diri sendiri."

f. Hukum Menikahi Perempuan Pezina Sampai Bertaubat


Seorang laki-laki yang tidak diperkenankan menikahi
perempuan yang pernah melakukan perzinaan, seperti halnya
seorang perempuan tidak diperkenankan menikah dengan seorang
laki-laki yang pernah berzina, kecuali jika keduanya sudah
bertaubat.
Bahwa orang mukmin dilarang untuk menikahi siapapun yang
berstatus sebagai pezina ataupun pelaku kemusyrikan karena

18
mereka tak layak untuk dinikahi kecuali oleh mereka yang berstatus
sebagai pezina atau musyrik saja.

D. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


Hak dan kewajiban suami istri adalah hak istri yang merupakan kewajiban
suami dan sebaliknya kewajiban suami yang menjadi hak istri. Menurut
Sayyid Sabid hak dan kewajiban istri ada tiga bentuk, yaitu:
1. Hak Istri atas Suami13
Hak istri atas suami terdiri dari dua macam. Pertama, hak finansial,
yaitu mahar dan nafkah. Kedua, hak nonfinansial, seperti hak untuk
diperlakukan secara adil (apabila sang suami menikahi perempuan lebih
dari satu orang) dan hak untuk tidak disegerakan.
a. Hak yang bersifat materi
1) Mahar
Diantara bentuk pemeliharaan dan penghormatan islam kepada
perempuan adalah dengan memberikan hak kepadanya untuk
memiliki. Hak-hak yang harus diterima oleh istri, pada
hakikatnya, merupakan upaya istri untuk mengangkat harta dan
martabat kaum perempuan pada umumnya. Salah satu upaya
mengangkat harta dan martabat perempuan adalah pengakuan
terhadap segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Sebagaimana
dalam perkawinan bahwa hak yang pertama ditetapkan oleh islam
adalah hak perempuan menerima mahar.
Pemberian mahar dari suami kepada istri adalah termasuk
keadilan dan keagungan hukum islam. Sebagaimana firman Allah
Swt. Dalam Qs An-Nisa’ ayat 4:

‫َو ٰا ُتوا الِّنَس ۤا َء َص ُد ٰق ِتِهَّن ِنْح َلًة ۗ َفِاْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلْو ُه َهِنْۤي ًٔـا‬
‫َّم ِر ْۤي ًٔـا‬
13
Dodi Hendra. Buku Panduan SUSCATIN, ( Batu Sangkar: KUA Kab. Tanah Datar, 2020 ) hlm 26-31
19
Artinya: “Berikanlah maskawin kepada wanita yang akan kamu
nikahi secara sukarela. Lalu, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
(QS. An Nisa: 4).
Perintah pada ayat ini wajib dilaksanakan karena tidak ada
bukti (qarinah) yang memalingkan dari makna tersebut. Mahar
wajib atas suami terhadap istri. Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi
kepada orang yang hendak menikah, Artinya: “Carilah Walaupun
cincin dari besi.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang
sedikit. Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan
beliau sampai sekarang atas disyariatkan mahar dan wajib
hukumnya. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab
bercampur intim mereka berbeda pendapat pada dua pendapat.
Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai
dengan turunnya ayat. Sedangkan untuk kadar atau ukuran mahar
para Fuqaha’ sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas
yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya.
2) Nafkah14
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan
kebutuhan istri seperti pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain
sebagainya yang menjadi kebutuhan istri, karena keberlangsungan
bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami,
selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, dan mendidik anak-
anaknya. Ia tertahan untuk melaksanakan haknya. Dalil
diwajibkan nafkah adalah firman Allah berikut ini:

14
Ibid, hlm 32-35
20
‫َو اْلٰو ِلٰد ُت ُيْر ِض ْع َن َاْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَم ْن َاَر اَد َاْن ُّيِتَّم الَّر َض اَع َۗة َو َع َلى‬
‫اْلَم ْو ُلْو ِد َلٗه ِرْز ُقُهَّن َو ِكْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف اَل ُتَك َّلُف َنْفٌس ِااَّل ُو ْس َعَهۚا اَل ُتَض ۤا َّر‬
‫َو اِلَد ٌة‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS.Al-Baqarah: 233)
Ayat diatas mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita
ber-iddah, lebih wajib lagi bagi istri yang tidak ditalak. Sedangkan
dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw yang artinya:
“Dari Aisyah RA, ia berkata, “Hindun Binti Uthbah, istri Abu
Sufyan menemui Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang
laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberi nafkah kepadaku
dengan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali dari apa
yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah
aku berdosa hal itu? Rasulullah SAW menjawab, “Ambillah dari
hartanya degan cara ma’ruf apa yang cukup buatmu dan
anakmu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalil ijma’ para ulama berkata: “ Ahli ilmu sepakat wajibnya
nafkah istri atas suami jika mereka telah berusia baliq, kecuali
istri yang nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri).” Ibnu
Mundzir dan yang lain berkata: “Di dalamnya ada pelajaran,
bahwa wanita yang tertahan dan tercegah beraktivitas dan
bekerja, oleh suami wajib memberikan nafkah kepadanya”.
b. Hak yang bersifat non materi15
Selain ada hak istri yang bersifat materi atau kebendaan, ada hak
istri yang berupa nonmateri atau bukan bersifat kebendaan. Dan inilah

15
Ibid, hlm 35-40
21
yang disebut dengan nafkah batin. Berikut adalah hak istri yang berupa
nonmateri antara lain:
1) Bentuk-Bentuk Nafkah Batin
a) Mempergauli Istri Dengan Baik
Kewajiban pertama suami kepada istrinya ialah
memuliakan dan mempergaulinya dengan baik, menyediakan
apa yang dapat ia sediakan untuk istrinya yang akan dapat
mengikat hatinya, memperhatikan dan sabar apabila ada yang
tidak berkenaan dihatinya.
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling baik pekertinya dan sebak-baik kamu
adalah orang yang paling baik terhadap istrinya”. (HR. At-
Tirmidzi).
b) Menjaga Istri
Disamping berkewajiban mempergauli istri dengan
baik, suami juga wajib menjaga martabat dan kehormatan
istrinya, mencegah istrinya jangan sampai hina, jangan
sampai istrinya bekata jelek. Inilah kecemburuan yang disukai
oleh Allah.
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Dimana wanita yang mati sedang suaminya ridha dari
padanya, maka ia masuk surga” (HR.Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
c) Tidak Durhaka Pada Suami
Rasulullah telah memberikan peringatan kepada kaum
wanita yang menyalahi kepada suaminya dalam sabda beliau:
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuu,dia
berkata, “Nabi saw. bersabda: Apabila seoarang wanita
menghindari tempat tidur suaminya pada malam hari, maka
para malaikat melaknatnya hingga pagi hari”. Dalam suatu

22
riwayat yang lain disebutkan : “Sehingga dia kembali” (HR.
Muntafaqun Alaihi).
Rasulullah juga menjelaskan bahwa mayoritas sesuatu
yang memasukkan wanita kedalam neraka adalah
kedurhakaanya kepada suami dan kekufurannya (tidak
syukur) kepada kebaikan suami. Dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah Saw.,bersabda: Aku melihat dalam neraka,
sesungguhnya mayoritas peghuninya adalah kaum wanita
mereka mengkufuri temannya. Jika masa berbuat baik kepada
salah satu di antara mereka kemudian ia melihat sesuatu dari
engkau, ia berkata: “Aku tidak melihat darimu sesuatu
kebaikan sama sekali”.
d) Memelihara Kehormatan dan Harta Suami
Diantara hak suami atas istri adalah tidak memasukan
seseorang kedalam rumahnya melainkan dengan izin
suaminya, kesenangannya mengikuti kesenangan suami, jika
suami membenci seseorang karena kebenaran atau karena
perintah syara’ maka sang istri wajib tidak menginjakkan diri
ke tempat tidurnya.
e) Berhias Untuk Suami
Berhiasnya istri demi suami adalah salah satu hak yang
berhak didapatkan oleh suami. Setiap perhiasan yang terlihat
semakin indah akan membuat suami senang dan merasa
cukup tidak perlu melakukannya dengan yang haram.
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Undang-Undang16
a. Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.

16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 30-34
23
b. Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
c. Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
d. Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain.
e. Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

E. HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN


Rumah tangga yang bahagia, sebagaimana yang menjadi tujuan
perkawinan, akan terwujud dengan terpenuhinya beberapa hal, salah satu di
antaranya adalah terpenuhinya kebutuhan materi. Pasal 30 UU No 1 Tahun
1974 menetapkan suami-istri memikul tanggung jawab yang mulia dalam
kehidupan rumah tangga. Baik suami, maupun istri dalam kehidupan

24
bermasyarakat keduanya memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum.
Meskipun demikian UU No 1 Tahun 1974 meletakkan suami sebagai
kepala rumah tangga, dan istri sebagai pengatur dalam kehidupan rumah
tangga.17 Berdasarkan QS An Nisaa : 34, pihak laki-laki lah yang mempunyai
kewajiban menafkahi keluarga. Diambil pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan harta bersama itu bukanlah harta kesatuan antara suami dan istri tetapi
merupakan harta dari suami yang dipergunakan untuk kepentingan seluruh
keluarga. Apabila si istri juga berpenghasilan, penghasilan itu bukan
merupakan bagian dari harta bersama.
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan, yang mengatur bahwa,
ayat (1) : “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,” Ayat (2) :
“Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” 18 Meskipun si
istri tidak mempunyai mata pencaharian, maka semua harta yang diperoleh
selama perkawinan merupakan harta bersama dan ketika terjadi perceraian
dengan suaminya ia tetap memperoleh bagian dari harta bersama tersebut,
sebagaimana diatur Pasal 37 UU Perkawinan, yang besar perolehannya adalah
masing-masing terdapat seperdua bagian sebagaimana diatur dalam
Pasal 95 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia, pengertian tentang harta
bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta benda bersama.”19 Pasal tersebut terkesan
memberi rumusan tentang pengertian harta bersama sangat bersifat umum,
yakni setiap harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
disebut sebagai harta bersama. Tidak peduli siapa yang berusaha untuk
memperoleh harta kekayaan dalam perkawinan tersebut. Undang-undang
17
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
18
Pasal 34 UU Perkawinan pasal 34 ayat 1 dan 2
19
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35 ayat 1
25
tersebut menghendaki bahwa setiap harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan tanpa melihat kontribusi siapa yang berusaha, apakah suami
seorang diri sementara istri tinggal di rumah mengurusi anak dan mengatur
rumah tangga, atau istri saja yang berusaha sementara suami hidup berleha-
leha, atau kedua suami istri aktif mencari nafkah, kemudian semua
penghasilan dari usaha tersebut selama diperoleh dalam ikatan perkawinan
menjadi harta bersama.20 Peraturan yang paling baru berkenaan harta bersama
ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat diuraikan
sebagai berikut:21
Pasal 85
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau istri”
Pasal 86
1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan.
2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
2. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau
lainnya.
Pasal 88

20
M Anshary. Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya, (Bandung: Mandar Maju, 2016), hlm
29
21
Kompilasi Hukum Islam (KHI), tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan pasal 85-89
26
“Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.”
Pasal 89
“Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri mupun
hartanya sendiri.”

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan suatu ikatan suci
yang sakral untuk mengikat hubungan perempuan dan laki-laki membentuk suatu
keluarga. Tujuan utama pernikahan dalam Islam yaitu membangun sebuah keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah (keluarga yang diselimuti dengan ketentraman,
kecintaan, serta rasa kasih sayang). Menjadi keinginan dari banyak setiap pasangan
untuk bisa memiliki buah hati serta mendidik generasi barunya
Pernikahan sebagai ibadah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw
sering disalah artikan sebagian kalangan. Ada yang menganggap menikah hanya

27
merupakan media untuk melampiaskan hawa nafsu. Tidak sedikit yang berpendapat
menikah dapat menjauhkan seorang manusia dari Tuhannya. Sahnya perkawinan
mesti dilakukan menurut hukum Islam. Pria Islam dilarang kawin dengan wanita non
muslimah, dan wanita muslimah dilarang kawin dengan pria non muslim (Al-Qur'an
Surah Al-Baqarah ayat 221). Dalam Islam, menikah dianggap sebagai fitrah manusia.
Istilah fitrah sendiri diartikan sebagai tabiat yang lazim dilakukan oleh manusia.
Selain itu, menikah juga dianggap sebagai ibadah sakral yang mengikat dua insan
untuk menjadi kasih seumur hidup. Dengan menikah pula, manusia dapat terjaga dan
terpelihara dari segala perkara yang diharamkan oleh Allah, seperti zina.
B. Saran
Pemakalah berharap agar makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pemahaman yang lebih mendalam tentang pernikahan, pernikahan/perkawinan yang
diharamkan, wanita yang haram dinikahi, hak dan kewajiban suami istri serta harta
kekayaan dalam pernikahan/perkawinan. Pemakalah juga menyarankan kepada
pembaca untuk dapat memahami dan mengerti tentang isi makalah ini agar dapat di
terapkan dalam kehidupan berumah tangga nanti tentunya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anshary, M. (2016). Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya. Bandung:


Mandar Maju.

As-Subki, Ali Yusuf. (2012). Fiqh Keluarga. Jakarta: AMZAH.


Departemen Agama RI. (2001). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bab II
Pasal 3.

Hendra, Dodi. (2020). Buku Panduan SUSCATIN. Batu Sangkar: KUA Kab.
Tanah Datar.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan. Pasal
85-89.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10-13.

Sabiq, Sayyid. (2016). Fikih Sunnah jilid 2. Surakarta: Insan Kamil.

Sabiq, Sayyid.(2011). Fikih Sunnah jilid 3. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Undang Undang Nomar 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1.

Undang Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 35 ayat 1.

Undang Undang Perkawinan Pasal 34 ayat1dan 2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


pasal 30-34.

Anda mungkin juga menyukai