Anda di halaman 1dari 14

ILMU PERNIKAHAN DALAM ISLAM (MUNAKAHAT)

Dosen Pengampu :
Mudzakir M.Pd.I,S.Ag

Disusun oleh :
KELOMPOK 12
Kantika Alya Mawarni (231011201101)
Okta Suryana (231011200791)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PAMULANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa
kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di
hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul ‘Ilmu Pernikahan Dalam Islam (Munakahat)’


bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Pada
makalah diuraikan makna Pernikahan dalam Islam, Hukum dan Tujuan Menikah.

Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari
bahwa banyak kekurangan dan kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi
kesempurnaan makalah ini, kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan
saran dari pembaca yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin.

Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, Oktober 2023

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulis
BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Pernikahan Dalam Islam
B. Hukum Nikah
C. Tujuan Nikah
D. Peminangan (Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan
E. Rukun dan Syarat Sah Nikah
F. Kewajiban dan Hak Suami Istri
G. Hikah Pernikahan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semenjak tercipta Nabi Adam a.s, naluri cinta pada dasarnya bersemayam dalam
lubuk hati setiap anak manusia. Cinta mengandung makna kasih sayang,
keharmonisan, penghargaan dan kerinduan, di samping persiapan untuk menempuh
kehidupan di kala suka dan duka serta lapan dan sempit.

Mengetahui hukum dan tujuan pernikahan serta hikmahanya Perkawinan sudah


merupakan sunnatullâh yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan
Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bias berkemban untuk
meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generas berikutnya.

Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan kata Nikah yang artinya melakuka
suatu aqad nikah atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar
sukarela dan keridhoan, untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan tentram dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah

Kata pujangga, “hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”. Bagaimana
seandainya manusia tak memiliki hasrat cinta? Pada dasarnya cinta adalah anugerah
dan bukanlah sesuatu yang yang buruk. Cinta mejadi kotor atau sebaliknya menjadi
suci adalah ditentukan oleh bingkainya. Ada bingkai suci dan halal dan ada bingkai
kotor dan haram. Bingkai yang suci dan halal adalah perkawinan yang sah secara
agama dan hukum negara. Sedangkan bingkai yang kotor dan haram adalah
perzinahan (free sex), cinta sesama jenis (homosexual) yang dilakukan kaum Gay dan
Lesbian.

Pernikahan telah menjadi kebiasaan para nabi, wali, ulama, dan para orang saleh
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pernikahan dalam ajaran Islam dinilai
sebagai aktivitas peribadatan yang penuh kenikmatansekaligus memperoleh ganjaran.
Islam mengajarkan demikian sebab sebagai agama fitrah Islam tidaklah membelenggu
perasaan manusia. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri
seorang. Agama Islam justru mengajarkan manusia untuk menjaga perasaan cinta yang
harus dirawat dan dilindungi dari kehinaan yang mengotorinya.Islam membersihkan
dan mengarahkan perasaan cinta untuk diwujudkan secara kuat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Makna Pernikahan dalam Islam?
2. Hukum dan Tujuan Menikah
3. Peminangan (Khitbah) sebelum Melaksanakan Pernikahan
4. Rukun Nikah dan Syarat-syaratnya
5. Apa saja Kewajiban dan Hak Suami Istri
6. Hikmah Penikahan

C. Tujuan
1. Menjelaskan Makna Pernikahan
2. Memehami Tujuan dan Hikmah Pernikahan
3. Memahami dan mampu menjelaskan Pernikahan dalam Perspektif Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Pernikahan Dalam Islam


Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti (al-jam’u) atau ”bertemu,
berkumpul”. Menurut istilah, nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk hidup Bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam.

Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa perkawinan adalah


pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah
Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Sementara itu, menurut
Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan Bahagia berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia. Hal itu berarti sifat pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah Swt. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis. Teman hidup
yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah Saw.
bersabda :

Artinya : ”Dari Abdullah bin Mas’ud RA Rasulullah Saw berkata kepada kami. Hai
para pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang
siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu menjadi perisai (dapat
melemahkan sahwat)”. (HR. Bukhari Muslim)

B. Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah dalam artian boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunah,
makruh,dan haram.
Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut :
a. Jaiz atau mubah, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
b. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah. Bila tidak menikah,
khawatir ia akan terjerumus ke dalam perzinaan.
c. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah, tetapi masih sanggup
mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
d. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki
keinginan atau hasrat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah
tanggungannya.
e. Haram, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan, tetapi ia mempunyai niat
yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

C. Tujuan Nikah
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah
tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan dalam Islam dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah).
Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah
satu cara supaya hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah Swt. berfirman :

‫َو ِم ْن َأَيِتِه َأْن َخ َلَق َلُك ْم ِم ْن َأْنُفِس ُك ْم َأْز َو اًج ا ِلَتْس ُكُنْو ا ِإَلْيَها‬

Artinya :”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya. “.(Q.S. ar-Rum/ 30: 21)

b. Untuk membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara
untuk membina kasih sayang antara suami, istri,dan anak. ( lihat Q.S. ar- Rum/ 30:
21)ً
‫ َو َج َعلَ َبْيَنُك مْ َم َو َّدةً َّوَر ْح َم ة‬..
Artinya :”Dan Ia menjadikann di antaramu rasa kasih dan sayang.“.(Q.S. ar-
Rum/30 : 21)

c. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan diridhai Allah Swt.

d. Untuk melaksanakan Perintah Allah Swt. menikah merupakan pelaksanaan perintah


Allah Swt. Oleh karena itu menikah akan dicatat sebagai ibadah. Allah Swt.,
berfirman : ِ
‫َفاْنِكُح ْو ا َم ا َطابَ َلُك مْ ِم نَ الِّنَس اء‬..
Artinya :” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”.(Q.S. an-
Nisa’/4: 3)
e. Mengikuti Sunah Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan
umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
‫الِّنَك احُ ُس َّنِتى َفَم نْ َر ِغ بَ َعنْ ُس َّنِتى َفَلْيسَ ِم ِّنى‬
Artinya : «Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku,
maka bukan golonganku». (HR. Bukhori dan Muslim)

f. Untuk Memperoleh Keturunan yang Sah. Allah Swt. berfirman :


‫َاْلَم الُ َو اْلَبُنْو نَ ِز ْيَنةُ اْلَح َياةِ الُّد ْنَيا‬
Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia“. (Q.S. al-Kahfi/
18: 46)

D. Peminangan (Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan


1. Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang
lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung
kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh
secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai
permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang
jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum
mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan
yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al- hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah
perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah. Dari beberapa
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan
atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki
dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini
dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
2. Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A. , sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu
Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya
melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i
dan Tirmizi)
Dari Abu Hurairah R.A. , dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. Lalu datang
seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang
perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat
wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan
lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang
menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan
hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumannya mubah. Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat
imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini
mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan
(khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan
itu.
3. Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya: Wadah perkenalaN
antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka
akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan
bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya.
Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian
diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman,
ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat
dan melindungi.Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena
dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW
berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya
karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
4. Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga
tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti
ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang
atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami
dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa
iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula
dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih
punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh
dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi

E. Rukun dan Syarat Sah Nikah


Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan
kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
=> Syarat ijab-qabul adalah :
a. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b. Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita

2. Adanya mempelai pria.


=> Syarat mempelai pria adalah :
a. Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221,
AlMumtahanah : 9.
b. Bukan mahrom dari calon isteri.
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

3. Adanya mempelai wanita.


=> Syarat mempelai wanita adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) &
mukallaf; lihat QS.Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b. Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan
mahrom dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

4. Adanya wali.
=> Syarat wali adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Tidak dipaksa.
d. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
=> Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut :
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g. Paman sekandung
h. Paman seayah
i. Anak laki-laki dari paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim

5. Adanya saksi (2 orang pria).


Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil
agar pernikahan tersebut menjadi sah.
=> Syarat saksi adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Dapat mendengar dan melihat.
d. Tidak dipaksa.
e. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar
=> Beberapa ketentuan tentang mahar :
a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri , baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad
nikah. lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b. Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan
Kepada/ milik mertua.
c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib melunasi setelah adanya
persetubuhan
d. Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan
kerelaan
e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan
perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit,
tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat.
F. Kewajiban dan Hak Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban
hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah
Swt. semata. Allah Swt. berfirman :ٍ

‫َالِّر َج اُل َقَّو اُم ْو َن َع َلى الِّنَس ۤا ِء ِبَم ا َفَّض َل ُهّٰللا َبْعَضُهْم َع ٰل ى َبْع ٍض َّو ِبَم ٓا َاْنَفُقْو ا ِم ْن َاْمَو اِلِهْم‬

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S. an- Nisa/4 : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri adalah penanggung jawab rumah
tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR. Bukhori Muslim)

=> Kewajiban suami yang terpenting adalah:


1) memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan yang diusahakan,
2) menggauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya
dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
3) memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota
keluarga dengan penuh tanggung jawab.
4) membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik
anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh.

=> Kewajiban Istri yang terpenting adalah:


1) patuh dan taat pada suami dalam batas yang sesuai dengan ajaran Islam. perintah
suami yang bertentangan dengan ajaran islam tidak wajib ditaati oleh seorang istri.
2) memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
3) mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsi ibu sebagai kepala rumah
tangga,
4) memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt. berfirman:

‫اَّلِذ ينَ آَم ُنوا ُقوا َأنُفَس ُك مْ َو َأْه ِليُك مْ َناًر ا َياَأُّيَها‬

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dankeluargamu dari


api neraka”. (QS. at-Tahrim/66 : 6)
5) Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.

=> Hak Suami atas istri adalah:


a. ditaati dalam seluruh perkara kecuali maksiat. Sabda Rasulullah Saw: “Hanyalah
ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR.Bukhari dan Muslim).
b. dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah
kecuali seizin suami.
c. istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Rasulullah Saw.
bersabda: “Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di
tempat kecuali dengan izin suaminya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
d. mendapatkan pelayanan dari istrinya.
e. disyukuri kebaikan yang diberikannya. Istri harus mensyukuri atas setiap
pemberian suaminya.
=> Hak istri atas Suami adalah:
a. mendapat mahar dari suaminya
b. mendapat perlakuan yang patut dari suaminya. Rasulullah Saw.pun telah
bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi)
c. mendapatkan nafkah , pakaian, dan tempat tinggal dari suaminya.
d. mendapat perlakuan adil, jika suami memiliki lebih dari satu istri.“Siapa yang
memiliki dua istri lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah
satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi
tubuhnya miring/lumpuh.” (HR.Ahmad dan Abu Dawud);
e. mendapatkan bimbingan dari suaminya agar selalu taat kepada Allah Swt.

G. Hikmah Pernikahan
1. Pernikahan merupakan jalan keluar yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan
seksual.
2. Pernikahan merupakan jalan terbaik untuk memuliakan anak, memperbanyak
keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasab.
3. Pernikahan menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan yang menumbuhkan pula
perasaan cinta dan kasih sayang.
4. Pernikahan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam bekerja karena
adanya rasa tanggung jawab terhadap keluarganya.
5. Pernikahan akan mempererat tali kekeluargaan yang dilandasi rasa saling
menyayangi sebagai modal kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut hukum syariat
Islam.
2. Hukum nikah dapat berubah menurut situasi dan kondisi. Hukum nikah dapat menjadi
wajib, sunat, makruh dan bisa juga menjadi haram.
3. Agar tercapai kebahagiaan yang sebenarnya yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah, seorang muslim dalam pernikahan harus memenuhi syarat dan rukun nikah.
4. Supaya Pernikahan tetap sakinah, mawaddah dan warahmah suami dan istri harus
menetapi kewajiaban dan hak suami istri.
5. Memahami Hikmah Pernikahan agar dalam pernikahan bisa selalu Bersyukur kepada
Allah Swt.

B. SARAN
1. Kepada masyarakat setempat hendaknya sebelum memutuskan untuk memberi
wewenang dalam hal saksi dalam akad nikah, hendaknya berkonsultasi kepada pakar
hukum munakahat atau langsung berkonsultasi ke KUA.
2. Kepada tokoh masyarakat atau pemuka agama, hendaknya benar-benar menjalankan
perannya sesuai dengan sebagaimana mestinya.
3. Kepada pihak KUA, untuk menghindari yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan
fiqh munakahat hendaknya dalam hal saksi pada pernikahan harus dibuat suatu
penekanan kepada masyarakat, bahwasanya dua orang saksi ditetapkan oleh pihak
KUA.

Anda mungkin juga menyukai