Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

NIKAH: RUKUN, SYARAT SAH, PERWALIAN, URUTAN DAN


MACAMNYA

Dosen pengampu:
Dr. Abd. Rahman R, M.Ag

Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Hasbiah (40400122055)
Muslimah (40400122056)

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
hidahyah nya serta rahmat nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam tak henti-hentinya
kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
mengantar kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti
yang kita rasakan saat ini.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Abd. Rahman
R, M.Ag selaku dosen mata kuliah Fiqih yang telah memberikan kesempatan
kepada kelompok kami untuk Menyusun makalah dengan judul “Nikah: Rukun,
syarat sah, perwalian, urutan dan macamnya”.
Dengan ketekunan kami dalam pembuatan makalah ini, harapan kelompok
kami semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
teman-teman dan para pembaca. Mungkin di dalam makalah ini terdapat
kekurangan oleh karena itu kami menerima kritik maupun saran dari ibu dan
teman-teman sekalian untuk perbaikan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
2.1 Rumusan masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Pernikahan ............................................... 3
2.2 Rukun dan Syarat Sah Pernikahan ........................................................... 5
2.3 Macam-Macam Wali Nikah...................................................................... 8
2.4 Perwalian Dan Syarat Untuk Menjadi Wali Dalam Pernikahan ............. 10
2.5 Pernikahan Beda Agama .........................................................................11
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13
3.2 Saran ....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam undang-undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 1 pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah swt., dalam surah Ar-Rum
ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepdanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang
(mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-
tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berpikir”. Mawaddah warahmah
adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan
pernikahan.
Pernikahan merupakan sunnah Nabi Muhammad saw., sunnah dalam
pengertian mencontoh tindak laku Nabi Muhammad saw., perkawinan
diisyaratkan supaya menusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah
menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan
ridha Allah SWT.
2.1 Rumusan masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum pernikahan?
2. Apa saja rukun dan syarat sah dalam pernikahan?
3. Apa saja macam-macam wali nikah?
4. Bagaimana hukum perwalian dan syarat untuk menjadi wali dalam
pernikahan?
5. Bagaimana hukum pernikahan dengan beda agama yang benar?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum pernikahan
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat sah pernikahan
3. Untuk mengetahui macam-macam wali nikah
4. Untuk mengetahui hukum perwalian dan syarat untuk menjadi wali dalam
pernikahan
5. Untuk mengetahui hukum pernikahan dengan beda agama

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Pernikahan


Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu )‫(النكاح‬, adapula mengatakan
perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj 1.
Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Sejauh ini kerap kali
dibedakan antara pernikah dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya
perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.
Perkawinan adalah sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan
terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat. Para ulama fiqih pengikut empat
mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali) pada umumnya mereka
mendefinisikan perkawinan adalah akad yang membawa kebolehan (bagi seorang
laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali
dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata
tersebut.
Pernikahan adalah (Akad Nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk
melanjutkan ke pernikahan, sesuai dengan peraturan yang diwajibkan oleh Islam.
Nikah menurut Pernikahan adalah (Akad Nikah) yang mengharuskan
perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang
ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai dengan peraturan yang
diwajibkan oleh Islam. Nikah menurut bahasa yakni Al-Jam’u yang artinya
kumpul, dan dalam bahasa arab yaitu An-Nikahun yang merupakan perkawinan
yang membentuk keluarga dengan lawan jenis. Serta nikah juga diartikan sebagai
serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling
memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah
tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.

1
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
hlm.79

3
Dalam komplikasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah2. Diantara syariat agama adalah
nikah. Dalam kehidupan terdapat adanya pernikahan, karena Allah telah
menciptakan makhluknya berpasang-pasangan yakni laki-laki dan perempuan,
sebagaimana yang dijelaskan dalam (Q.S. Yasin :36)
ُ ‫ِي َخلَقَ ْاْلَ ْز َوا َج ُكلَّ َها ِم َّما ت ُ ْۢ ْن ِبتُ ْاْلَ ْر‬
َ‫ض َو ِم ْن اَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِم َّما َْل يَ ْعلَ ُم ْون‬ ْ ‫سبْحٰ نَ الَّذ‬
ُ
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluknya berpasang-
pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S. Yasin :36)

Perkawinan memiliki dasar hukum dalam pandangan islam, banyak merujuk


pada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijama’ ulama fiqh, serta Ijtihad yang mengatakan
bahwa perkawinan merupakan ibadah yang disunnahkan Allah dan Rasulullah.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Adz-Dzariyat: 59 dan An-Nisa:1. Adapun
perkawinan sebagai Sunnah Rasul dapat dilihat dari hadist berikut yang artinya:
“....siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah dia menikah; karena hal itu dapat menundukkan pandangan serta lebih
menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang tidak (belum) mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa, karena itu peredam (syahwat)nya,”.
Sebagaimana yang terurai di atas ayat Al-Qur’an dan hadis dijadikan sebagai
dasar menjalankan suatu perkawinan. Jumhur ulama (mayoritas ulama) memiliki
pendapat bahwa perkawinan pada dasar hukumnya adalah sunnah. Ulama
Malikiyyah muta’akhirin memiliki pendapat bahwa perkawinan “hukumnya bisa
bermacam-macam hukumnya sebagian bisa wajib, sebagian lagi bisa jadi sunnah
dan mubah. Adapun ulama syafi’iyah menyampaikan bahwa hukum asal suatu
perkawinan ialah mubah, selain sunnah, wajib, haram dan makruh3.
Namun karena ada tujuan mulia yang dicapai dalam sebuah perkawinan itu
dan yang melakukan perkawinan itu pula kondisinya serta situasi yang melingkup
suasana perkawinan itu pula berbada maka secara rinci jumruh ulama menyatakan
2
Wahyu Wibisma, Pernikahan Dalam Islam, 2016, hal.186
3
Abd. Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.18

4
hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu sebagai
berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah
pantas untuk kawin, dan di telah mempunyai perlengkapan untuk
melangsungkan pernikahan
b. makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan
juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten,
berpenyakitan tetap, tua bangka, dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah,
berkeinginan untuk menikah dan memiliki perlengkapan untuk
menikah dan ia khawatir akan terjerumus ketempat maksiat kalau dia
tidak menikah
d. Haram bagi orang-orang yang tidak dapat memenuhi ketentuan secara
syara’ untuk melakukan perkawinan atau dia yakin perkawinan itu
akan mencapai syara’ sedangkan dia menyakini bahwa perkawinan itu
akan merusak kehidupan pasangannya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada doronngan
untuk menikah dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan
kemudaratan apa- apa kepada siapa pun4.
2.2 Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (Ibadah), dan sasuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk sholat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Syarat, yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (Ibadah),
tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup

4
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003, hal.79

5
aurat untuk sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-lak atau perempuan itu
harus beragama Islam.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus di adakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda
dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan
merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah
sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada
yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur
yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak
merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan
mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak
bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan oleh karena
berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-
hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah: akad
perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari
mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau
mas kawin5
Rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu
perkawinan. Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang
akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan
si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad
perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap
adalah sebagai berikut:
1) Calon mempelai laki-laki
2) Calon mempelai perempuan

5
https://repository.uinbanten.ac.id/4632/4/BAB%20II.pdf diakses pada 25 Mei 2023

6
3) Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
4) Dua orang saksi
5) Sighat (ijab kabul) ijab yang dilakukan oleh wali dan kabul yang akan
dilakukan oleh mempelai laki-laki.
Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-
syarat terpenuhi, perkawinannya sah dan menimbulkan adanya segala kewajiban
dan hak-hak perkawinan. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai
syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam, akan dijelaskan sebagai
berikut. Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya sebagai berikut
(Khalil Rahman, tt :31):
1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam.
2) Laki-laki.
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam, atau Yahudi dan Nasrani yang masih asli turun
temurun.
2) Perempuan.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat memberikan persetujuan.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki.
2) Dewasa.
3) Mempunyai hak perwalian.
4) Tidak terdapat halangan perwalian.
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki.
2) Hadir dalam ijab Kabul

7
3) Dapat mengerti maksud akad.
4) Islam.
5) Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau
tazwij.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah.
7) Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya dan dua orang saksi.
Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka
perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala
al-Madzib al-Araba’ah (Al Jaziri, tth:5): nikah fasid yaitu nikah yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukunnya, dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu
tidak sah.6
2.3 Macam-Macam Wali Nikah
Wali nikah ada empat macam yaitu: wali nasab, wali hakim, wali tahkim, wali
maula:
1. Wali nasab, adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab dibagi
menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan
diatas, yang termasuk wali aqrab adalah wali ayah, sedangkan wali ab‟ad

6
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1482/3/095112124_Tesis_Bab2.pdf diakses pada 25
Mei 2022

8
adalah kakak atau adik ayah. Jika kakak dan adik ayah menjadi wali dekat,
yang berikutnya terus ke bawah menjadi wali jauh.
2. Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi, Rasulullah SAW
bersabda:
“Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak
ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: pemerintah,
Khalifah (pemimpin), Penguasa, atau qadhi nikah yang diberi wewenang
dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Apabila
tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-
orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.
Adanya wali hakim terjadi apabila:
1) Tidak ada wali nasab.
2) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua
hari perjalanan.
3) Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit).
4) Wali aqrabnya sedang ihram
3. Wali taklim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon
istri. Adapun calon pengangkatnya (calon tahkim) adalah calon suami
mengucapkan tahkim kepada seorang dengan kalimat, “saya angkat
bapak/saudara untuk menikahkan saya pada si (calon istri) dengan mahar
dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu
calon istri mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu
menjawab, “saya terima tahkim ini.”
4. Wali mujbir atau wali adhol adalah wali bagi orang yang kehilangan
kemampuannya, seperti orang gila, belum mencapai umur, mumayyiz
termasuk di dalamnya perempuan yang masih gadis maka boleh dilakukan
wali mujbir atas dirinya. Yang dimaksud dengan berlakunya wali mujbir,
yaitu seorang wali menikahkan perempuan yang di walikan di antara
golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan
berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridha atau tidaknya.

9
2.4 Perwalian Dan Syarat Untuk Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Dalam pernikahan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pihak laki-laki dilakukan oleh mempelai laki-laki dan pihak
perempuan dilakukan oleh walinya. Wali adalah orang yang berhak menikahkan
perempuan dengan laki-laki yang sesuai dengan syari’at Islam. Wali dalam
pernikahan mempunyai kedudukan yang sangat penting, bahkan dapat
menentukan sah tidaknya suatu pernikahan, pernikahan tanpa wali hukumnya
tidak sah atau batal7.
Adapun yang dimaksud perwalian disini adalah wali dalam pernikahan yaitu,
orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai
wali, namun adakalanya wali tidak hadir atau karena sebab ia tidak dapat
bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain yang
berhak. Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah
menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini, Apabila seorang perempuan
hendak menikah, ia wajib memperoleh persetujuan dan di nikahkan oleh walinya.
Pada wali disyaratkan beberapa syarat yang di sepakati oleh para fuqaha, yaitu:
1. Kemampuan yang sempurna: baligh, berakal, dan merdeka. Tidak ada hak
wali bagi anak kecil, orang gila, orag idiot (yang memiliki kelemahan
akal), mabuk, juga orang yang memiliki pendapat yang terganggu akibat
kerentanan, atau gangguan pada akal. Sedangkan budak, karena dia sibuk
untuk melayani tuannya, maka dia tidak memiliki waktu untuk
memperhatikan persoalan orang lain.
2. Adanya kesamaan agama antar orang yang mewalikan dan di walikan.
Oleh karena itu, tidak ada perwalian bagi orang non muslim terhadap
orang muslim, juga bagi orang muslim terhadap orang non muslim.
Maksudnya menurut madzhab Hanafi, seorang kafir tidak mengawinkan
perempuan muslimah, dan begitu juga sebaliknya. Madzhab Syafi’i
berpendapat, orang kafir laki-laki dapat mengawinkan orang kafir

7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ..., hlm. 69

10
perempuan, baik suami perempuan yang kafir tersebut orang kafir ataupun
orang Islam.

2.5 Pernikahan Beda Agama


Perkawinan beda Agama adalah pernikahan antar pemeluk agama yang
berbeda. Namun mereka tetap memeluk agama masing-masing. Karena di
Indonesia adalah masyarakat yang pluralistic dalam beragama. Yang terdiri dari
agama Samawi maupun agama ardhi. Dengan kondisi seperti ini bisa terjadi
pernikahan antara Islam dengan Katolik, Islam dengan Hindu, Katolik dengan
Protestan, Hindu dengan Budha dan sebagainya.
Dalam memahami perkawinan antara wanita Muslim dengan pria non-
Muslim, ulama sepakat bahwasanya hukumnya haram, tetapi perkawinan antara
pria Muslim dengan wanita non-Muslim ulama berbeda pendapat, hal ini
disebabkan perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an tersebut. Ada beberapa
pendapat yang berkembang dikalangan ulama yaitu: pendapat pertama Pendapat
pertama menyatakan bahwa bahwa lelaki Muslim haram menikahi wanita Ahli
Kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah ibn Umar dengan menggunakan
penafsiran terhadap surat al-Baqarah ayat 221, yang menyatakan bahwa wanita
Ahli Kitab dari kalangan Nasrani dan Yahudi adalah termasuk golongan Musyrik
karena menuhankan Isa ibn Maryam dan Uzer. Dengan demikian, mereka tidak
halal dinikahi karena orang musyrik haram dinikahi.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Atha’ bin Rabbah. Ia menyatakan bahwa
mengawini Ahli Kitab adalah rukhsah, karena saat itu wanita muslimah sangat
sedikit. Sedangkan sekarang wanita muslimah telah banyak, oleh karenanya
mengawini wanita Ahli Kitab tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah
rukhsah untuk mengawininya Pendapat ketiga dikemukakan oleh jumhur ulama
yang membolehkan mengawini wanita Ahli Kitab berdasarkan firman Allah dalam
surat al-Ma’idah ayat 5, sedangkan yang termasuk Ahli Kitab adalah wanita-
wanita dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Perbedaan keyakinan bisa terjadi
sebelum, selama, dan sesudah perkawinan. Perbedaan agama sebelum perkawinan
yang berlanjut saat perkawinan akan berakibat pada perdebatan sah tidaknya
perkawinan itu. Sementara perbedaan agama yang muncul selama membina dan

11
menjalankan rumah tangga, bisa menimbulkan kontroversi pada soal pembatalan
perkawinan yang bersangkutan.
Undang-Undang perkawinan relatif jelas menolak kebolehan orang berbeda
agama untuk melangsungkan perkawinan, karena dianggap sah apabila kedua
mempelai tunduk pada suatu hukum yang tidak ada larangan pernikahan dalam
agamanya, hal ini tidak berarti lepas dari masalah. Sebaliknya, ia mengundang
berbagai penafsiran.8 Penafsiran terhadap ketentuan itu akan memunculkan:
Pertama, tafsiran bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap
UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan
pasal 2 ayat 1 tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Kedua, perkawinan antar-agama itu sah dan dapat dilangsungkan karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran. Alasannya, pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Ini berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Ketiga, perkawinan antar-agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974,
sehingga berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, persoalan perkawinan beda agama
dapat dirujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan.

8
Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim (Negro Aceh Darussalam: Dinas
Syari’at Islam, 2008), 60.

12
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan adalah (Akad Nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk
melanjutkan ke pernikahan, sesuai dengan peraturan yang diwajibkan oleh Islam.
Nikah menurut Pernikahan adalah (Akad Nikah) yang mengharuskan
perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang
ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai dengan peraturan yang
diwajibkan oleh Islam.
Rukun perkawinan diantaranya sebagai berikut : calon mempelai laki-laki,
calon mempelai perempuan, wali dari mempelai perempuan, dua orang saksi dan
sighat (ijab kabul). Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Jika syarat-syarat terpenuhi maka perkawinanya sahdan menimbulkan adanya
segala kewajiban dan hak-hak perkawinan.
Macam-macam wali nikah yaitu; wali nasab, wali hakim, wali tahkim, dan
wali muala, para wali diisyaratkan beberapa syarat yang di sepakati para fuqaha
yaitu: kemampuan yang sempurna (baliq, beraka dan merdeka, adanya kesamaan
agama antar orang yang mewakili dan diwakilkan.
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda, namun mereka tetap pada memeluk agamanya masing-masing, karena
Indonesia merupakan masyarakatnya yang plucaristic dalam beragama.
3.2 Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2019). Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lentera: Kajian keagamaan,


keilmuan dan teknologi, 18(1), 143-158
Abubakar, A. (2008). Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim. Negro Aceh
Darussalam: Dinas Syari’at Islam
Syarifuddin, A. (2003). Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.
Cahyani, T. D. (2020). Hukum Perkawinan (Vol. 1). UMMPress.
Syarifuddin, Amir. (2003).Garis Garis Besar Fiqh. Jakarta: kencana Prendamedia
Group.
Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta’lim, 14(2), 185-193.s
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1482/3/095112124_Tesis_Bab2.pdf
diakses pada 25 Mei 2022
https://repository.uinbanten.ac.id/4632/4/BAB%20II.pdf diakses pada 25 Mei
2023

14

Anda mungkin juga menyukai