Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PERNIKAHAN DAN PEWARISAN DALAM ISLAM

Dosen: Dr. Hervrizal, MA


Di Susun Oleh:
Kelompok 10, Kelas 2B
1. Fayen Azzahra
2. Irna Hartati
3. Kamila Febryani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat AllahSwt, atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Pernikahan dan Pewarisan
Dalam Islam”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen yang telah memberikan pengarahannya kepada kami, kepada orang tua kami yang
telah membantu baik moril maupun material.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat membantu teman-teman semua dalam
memahami materi pada pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Pekanbaru, 24 Maret 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................4
A. Latar Belakang ....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................4
C. Tujuan .................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................6
A. Pengertian dan Hikmah Pernikahan ...................................................................6
B. Syarat, Rukun dan Hukum Nikah ......................................................................9
C. Pengertian Ilmu Faraidh ................................................................................. 12
.D. Hikmah Pusaka Disyariatkan ...........................................................................13
E. Rukun, Syarat, dan Sebab-Sebab Pusaka ..........................................................14
BAB III PENUTUP .....................................................................................................20
A. Kesimpulan .......................................................................................................20
B. Saran .................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan berkeluarga cerminan semua makhluk ciptaan Allah SWT,
sehingga kelangsungan kehidupan di dunia akan terus menerus berkembang. Manusia
adalah salah satu makhluk yang sangat sempurna di bandingkan dengan makhluk
lainnya. Manusiapun di takdirkan untuk hidup berpasang - pasangan satu dengan
yang lainnya yakni yang berlainan jenis.
Dengan jalan nikah inilah yang paling baik untuk dapat melangsungkan
keturunan. Nikah adalah fitra yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah SWT.Setiap manusia yang sudah dewasa serta sehat jasmani dan
rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya.
Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan
dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga.
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih khusus lagi
sebagai bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan
dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-kaidahnya
harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari
ajaran islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan
Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum kewarisan islam.
Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an sendiri dan hadist
Nabi. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur‟an Surat An-
Nisa‟ (4): 59.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan hikmah pernikahan?
2. Apa syarat, syarat dan hukum nikah?
3. Apa pengertian ilmu Faraidh?
4. Apa saja hikmah pusaka disyariatkan?
5. Apa saja rukun, syarat, dan sebab-sebab pusaka?

4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan hikmah pernikahan
2. Untuk mengetahui syarat, rukun dan hukum nikah
3. Untuk mengetahui pengertian ilmu Faraidh
4. Untuk mengetahui hikmah pusaka disyariatkan
5. Untuk mengetahui rukun, syarat, dan sebab-sebab pusuka

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hikmah Pernikahan


Secara etimologi, nikah berasal dari bahasa arab yakni ‫ النكا ﺡ‬yang artinya
adalah perjanjian atau perkawinan.

Nikah menurut bahasa berarti menghimpun, sedangkan menurut terminologis


adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Pernikahan
dalam arti luas yaitu suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama dalam rumah tangga. (Toto Suryana 1997: 124)

Nikah ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki


dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya. (Bakhtiar 2014: 105)

Jadi, nikah adalah melakukan suatu perjanjian, akad atau sebuah janji suci
yang mengikat dan menyatukan kedua belah insan antara laki-laki dan perempuan
yang saling mencintai dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang di
ridhai Allah SWT.
Allah berfirman :
ۚ ‫َولَقَدْ أَرْ َسلْنَا ُر س اًُل م ِْن قَبْلِكَ َو َجعَلْنَا لَهُ ْم أَ ْز َواجاا َوذُ ِريَّةا‬
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….( QS. Ar-ra’d 13:
38)
Dalam firman Allah yang lain:

َ ْ ‫َوأَنْكِحُوا‬
ْ َ‫اْليَا َم ٰى ِمنْكُ ْم َوال صَّالِحِ ي َن م ِْن ِعبَا ِدكُ ْم َوإِ َمائِكُ ْم ۚ إِ ْن يَكُونُوا فُقَ َراءَ يُغْنِ ِهمُ َّللاَّ ُ م ِْن ف‬
ۗ ِ‫ضلِه‬

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan”. (Q.S. An-Nuur 24: 32).

6
Rasulullah bersabda

“Wahai kaum pemuda, barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga


hendaknya ia kawin karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan.Barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa sebab ia dapat
mengendalikanmu.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).

Pernikahan di dalam islam berada pada tempat yang tinggi dan mulia. Karena
itu islam sangat menganjurkan agar pernikahan di persiapkan dengan matang sebab
pernikahan itu bukan hanya sekedar mengesahkan hubungan badan antara laki-laki
dan perempuan. Pernikahan memiliki ari yang luas, tinngi, dan mulia. Dari
perkawinan akan lahir generasi penerus baik atau buruknya perilaku mereka sangat di
pengaruhi oeh peristiwa yang dimulai dari pernikahan. Kedudukan pernikahan yang
tinggi dijelaskan oleh Rasullulah :
“nikah itu sunnahku, barang siapa membenci pernikahan maka ia bukanlah
tergolong umatku”

Menikah menurut islam bertujuan untuk menciptakan keluarga yang tentram,


damai, dan sejahtera lahir dan batin. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah:
َّ ِ ‫ل ب َ ي ْ ن َ ك ُ ْم َم َو د َّ ة ا َو َر حْ َم ة ا ۚ إ‬
‫ن ف ِي‬ َ ‫َو مِ ْن آ ي َ ا ت ِ ه ِ أ َ ْن خَ ل َ قَ ل َ ك ُ ْم مِ ْن أ َ ن ْ ف ُ سِ ك ُ ْم أ َ ْز َو ا جا ا ل ِ ت َ س ْ ك ُ ن ُوا إ ِ ل َ ي ْ ه َ ا َو‬
َ َ‫ج ع‬

َ ِ ‫ذ َٰ ل‬
َ‫ك ََل ي َ ا تٍ ل ِ ق َ ْو ٍم ي َ ت َ ف َ ك َّ ُر و ن‬

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-


isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-
rum, 30:21)

Tujuan Nikah:

1. Melaksanakan perintah Allah dan sunah Rasul-Nya.


2. Menciptakan keluarga sakinah.
3. Menyalurkan nafsu secara naluri.
4. Mendapatkan keturunan yang sah dan shaleh.

7
5. Menghindari diri dari perbuatan dosa dan maksiat. (Bakhtiar 2014: 106)

Hikmah Pernikahan:

1. Memelihara Derajat Manusia


Manusia sebagai makhluk Allah memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk
kelangsungan hidupnya seperti makan, minum, serta kebutuhan seksual untuk
mempertahankan keturunannya. Oleh karena itu islam memberikan jalan untuk
menyalurkan kebutuhan (seksual) malalui pernikahan. Pernikahan merupakan
upaya agar manusia dapat memenuhi kebutuhan tersebut tanpa kehilangan derajat
kemanusiaanya. Oleh karena itu dalam islam berhubungan badan bukanlah
sesuatu yang kotor. Rasul menganjurkan agar berdoa sebelum berhubungan.
Melalui perkawinan yang sah, seorang manusia dapat memenuhi kebutuhan
tersebut denagn cara berbeda dengan binatang. Berhubungan badan di luar
pernikahan merupakan perilaku yang tak bermoral.Manusia adalah makhluk mulia
karena itu pernikahan merupakan uapaya memelihara kemuliaan manusia sebagai
pemegang amanat Allah di muka bumi.
2. Menjaga Garis Keturunan
Pernikahan juga berarti memelihara garis keturunan dalam proses regenerasi
manusia. Dengan demikian kekrabatan dan status-status orang menjadi lebih jelas,
istilah fungsi suami, istri, ayah, ibu, anak, saudara dapat ditetapkan dengan
jelas.Dari sini lahir aturan-aturan yang menentukan hubungan-hubungan
kemanusiaan seperti aturan pewarisan, pernikahan, dan lain sebaginya. Jika
pernikahan tidak diatur, garis keturunan akan kacau. Dengan demikian
menimbulkan kehancuran budaya manusia.
3. Mengembangkan Kasih Sayang
Manusia adalah makhluk yang di anugrahi Allah rasa kasih sayang, oleh
karena itu kasih sayang merupakan kebutuhan dasar yang ada di setiap manusia
baik untuk menerima maupun memberikannya kepada orang.Melalui pernikahan
rasa kasih sayang itu dapat diterima dan diberikan secara nyata.Dan pernikahan
merupakan tempat yang baik bagi memberi dan menerima kasih sayang tanpa
merusak nilai-nilai kemanusian dan tidak menimbulkan dosa malahan
memperoleh pahala. (Toto Suryana 1997: 138-139)

8
B. Syarat, Rukun dan Hukum Nikah
Syarat Pernikahan
1. Calon suami, syaratnya: islam, laki-laki, tidak terpaksa, bukan mahram calon
istri, tidak sedang ikhram haji/umrah, usia sekurang-kurangnya 19 tahun
(khusus Indonesia).
2. Calon istri syaratnya: islam, perempuan, bukan mahram calon suami, tidak
sedang haji/umrah, usia sekurangnya 16 tahun (khusu Indonesia).
3. Sighat, akad yang terdiri dari ijab dan qabul.
4. Wali mempelai perempuan.
Adapun syarat untuk wali, sebagai berikut:
a) Berakal
b) Baligh
c) Merdeka (bukan budak)
d) Kesamaan agama
e) Adil, bukan fasik
f) Laki-laki
g) Bijak
h) Para wali harus berurutan menurut ahli fiqih
Susunan wali yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan
adalah sebagai berikut:
1) Bapaknya.
2) Kakeknya (Bapak dari bapak mempelai perempuan).
3) Saudari yang seibu dan sebapak dengannya.
4) Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7) Saudar bapak yang laki-laki (Paman dari pihak bapak).
8) Anak laki-laki Pamannya dari pihak bapaknya.
9) Hakim.
5. Dua orang saksi
Syarat-syarat saksi:
a) Laki-laki
9
b) Beragama Islam
c) Akil Baligh
d) Islam
e) Dapat Mendengar
f) Waras(Berakal)
6. Ijab, syaratnya:
a) Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
b) Diucapkan oleh wali atau wakilnya
7. Qabul, syaratnya:
a) Tidak boleh mengandung sindirian
b) dilafadzkan oleh calon suami-pengantin laki-laki
c) menyebutkan nama calon istri secara jelas sesuai dengan nama sah
(Bakhtiar 2014: 106-108)

Rukun Nikah

jumhur ulama berpendapat bahwa rukun pernikahan terdiri atas:

1. Terdiri atas calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya wali dari pihak calon wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak perempuan dan dijawab oleh calon pengantinlaki-laki.

Hukum Nikah

Pernikahan termasuk sunnah Rasulullah SAW yang paling dianjurkan. Yang juga menjadi
sunnah para Rasul sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Kami telah
mengutus beberapa rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan”. (QS. Ar-Ra’d[13]:38)

1. Wajib
Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan
untuk membangun rumah tangga atau menikah serta ia tidak dapat menahan dirinya
dari hal-hal yang dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang tersebut wajib

10
hukumnya untuk melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan jika tidak menikah
ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam islam.
2. Sunnah
Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang
memiliki kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun rumah
tangga akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu
menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia
tidak menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya untuk
menikah jika sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai salah
satu bentuk ibadah.
3. Makruh
Pernikahan makruh hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup
kemampuan atau tanggung jawab untuk berumahtangga serta ia dapat menahan
dirinya dari perbuatan zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir
dalam perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun ia memiliki
keinginan untuk menikah tetapi tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat untuk
memenuhi kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri terhadap suami.
4. Mubah
Suatu pernikahan hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki
kemampuan untuk menikah namun ia dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika
tidak melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk
memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai
syariat islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.
5. Haram
Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu kehidupan rumah
tangga dan jika menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya. Selain itu,
pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau menyakiti seseorang juga haram
hukumnya dalam islam atau bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak
menikah dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan atau tidak mengurus
pasangannya tersebut.

11
C. Pengertian Ilmu Faraidh
Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling
tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan
sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan
yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat
yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi
manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan
kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan
untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu. Oleh sebab itu Allah-lah yang
langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya,
meratakannya diantara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia
ketahui. (Ibrahim 2012: 5)

Ilmu Faraidh adalah Ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli
waris. (Ibrahim 2012: 5)

Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang
ditingggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya. (Rifa’i 1978: 513)
Dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai berikut:

Artinya:
“.... sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya”. (Q.S An-Nisa 4: 11)

Jadi, ilmu faraidh adalah pembagian harta waris yang ditinggalkan si mayit kepada
ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah Swt dan Rasul-Nya .

12
D. Hikmah Pusaka Disyariatkan
Hikmah hukum pusaka disyariatkan dan harta dibahagikan pewaris amat jelas.
Antaranya:
1. Menghormati fitrah manusia. Allah telah menetapkan fitrah manusia mengasihi
anak yang dianggap sebagai cahaya hidup dan penyambung hayatnya. Oleh itu,
kita dapati manusia sanggup bersusah payah hanya untuk anak-anak mereka.
Dengan kesungguhan inilah, kehidupan dan kekayaan dunia berkembang.
Sekiranya Islam mengharamkan pusaka, nescaya kesungguhan untuk bekerja
menjadi malap dan jiwa mereka tertekan. Manusia melihat dunia ini gelap dan
segala usaha mereka hanya sia-sia. Hasil susah payah mereka akan bertukar
tangan, mungkin kepada orang yang tidak disukai mereka. Fenomena ini
bertentangan dengan fitrah yang Allah jadikan untuk manusia. Allah berfirman:
Harta dan anak pinak itu adalah perhiasan hidup dunia. (Al-Kahfi: 46)
Dikiaskan indah kepada (pandangan) manusia, kesukaan kepada benda-benda
yang diingini nafsu, iaitu perempuan-perempuan dan anak-pinak. (Aali-Imran:
14)
2. Merealisasikan keseimbangan sosial dalam lingkungan keluarga kerana harta yang
mereka miliki melalui pusaka ini kebaikan kepada mereka.
3. Memelihara hubungan silaturahim setelah kematian si mati. Ini kerana kaum
keluarga si mati seperti adik beradik lelaki, adik beradik perempuan dan
sebagainya akan menerima bahagian masing-masing daripada harta si mati.

Rasulullah memperingatkan kepada umat Islam supaya sungguh-sungguh


mempelajari faraidh. Beliau bersabda, “Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada
manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah faraidh, karena sesungguhnya aku
seorang yang akan mati. Dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang
yang berselisih, tetapi mereka tak bertemu dengan orang yang menyampaikan kepada
mereka hukumnya.” (HR Ahmad, Tirmizi, dan Nasai). (Rifa’i 1978: 525)

13
E. Rukun, Syarat, dan Sebab-Sebab Pusaka
Rukun Waris
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk
mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Sebelum harta dibagikana, hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu adalah:

1) Biaya perawatan ketika si mayat sakit


2) Biaya penyelenggaraan jenazah
3) Hutang si mayat
4) Wasiat, jika ada
5) Zakatnya jika sampai waktu dan nisabnya
(Bakhtiar 2013: 182)

Syarat waris
1. Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris -baik secara hakiki ataupun secara
hukum ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang
hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara
pasti, karena bagaimanapun eadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap
mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun. kecuali setelah ia meninggal.
2. Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris
yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak
memiliki hak untuk hidup, Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari

14
golongan berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam
keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-
maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki
ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti
orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa
puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang
yang tidak dapat mewarisi. yang saling mewarisi.
3. Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya
suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti
jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan
jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia
sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu, Mereka masing-
masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena
sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ua yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang. (Bakhtiar 2013:
182-183)

Sebab-sebab waris
Dalam islam sebab-sebab mendapatkan warisan ada tiga:
1. Sebab nasab atau hubungan darah
Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a) Anak laki-laki dan perempuan dan keturunan seterusnya kebawah
b) Ibu dan ayah seterusnya ke atas
c) Saudara laki-laki dan perempuan dan keturunannya

Namun demikian dalam islam, ada yang namanya hijab, atrinya ahli waris yang
hubungan kekeluargaannya lebih dekat denga si mayit dapat menghalangi ahli
waris yang hubungan kekeluargaannya jauh dengan si mayit untuk mendapatkan
warisan. Misalnya: anak dapat menghalangi cucu, saudara dan keponakan untuk
mendapatkan warisan.

15
2. Sebab pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama)
anatar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau ruasak, tidak bisa menjadi
sebab utntuk mendapat hak waris.
3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-
ni’mah, yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang
yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia. Karena itu allah SWT menganugrahkankepadanya
hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli
waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali
pernikahan. (Bakhtiar 2013: 180-181)

Ahli Waris
1. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki Ahli waris (yaitu orang yang berhak
mendapatkan warisan dari kaum laki-laki ada lima belas:
(1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari
pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7)
saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudari kandung laki-laki, (9) anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu. (10) paman (saudara kandung bapak). (11)
paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung
ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki- laki yang
memerdekakan mayit
2. Ahli Waris dari Golongan Wanita Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh:
(1) anak erempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki),
(4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung
perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri,
(10) perempuan yang memerdekakan mayit. Jika ahliwaris dari pihak laki-laki dan
perempuan semuanya ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah: Bapak,
Ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami atau istri.

16
3. Golongan Ahli Waris Antara ahli waris yang satu dan lainnya memiliki perbedaan,
yang dapat dibedakan bagi:
a) Ashhabul furudh. (Zawil Furudh) .Golongan inilah yang pertama
ditentukan bagian dari harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang
menentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma '.
b) Ahlul Ashobah, yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan yang
telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia
berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki
pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris,
paman kandung, dan seterusnya.
c) Zawil Arham, yaitu keluarga yang memiliki hubungan keluarga jauh,
mereka tidak termasuk ahli waris. Zawil Arham baru menerima tidak
ashobah dan tidak ada zawil furudh selain suami atau istri. Misalnya,
paman (saudara perempuan), bibi (saudara perempuan), bibi (saudara
ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak
perempuan. Maka, jika pewaris tidak memiliki kerabat sebagai ashhabul
furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih memiliki ikatan
rahim yang berhak mendapatkan warisan. Jika ada yang meninggal tidak
memiliki ahli waris atau kerabat, maka harta peninggalannya dikirim ke
baitulmal untuk kemaslahatan umum. (Bakhtiar 2013: 186-187)

Jenis-jenis Pusaka/waris

1. Waris Islam
Hukum waris islam berlaku bagi masyarakat yanag beragama islam dan di atur
dalam pasal 171-214 kompilasi hukum islam (KHI) yaitu materi hukum islam yang
ditulis dalam 229 pasal. dalam hukum waris islam menganut prisip kewaarisan
individual bilateral bukan kolektif maupun mayorat. dengan demiikian pewaris bisa
berasal dari pihak bapak atau ibu. sumber utama dari hukum waris islam adalah al-
quraan surat An-Nisa ayat 11-12 hukum waris islam aatau ilmu faraidh adalah ilmu
yang di ketahui siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan
juga beberapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Ilmu faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat urgensinya paling tinggi
kedudukanya, paling besar ganjaranya oleh karena pentingnya. bahkan sampai Allah
17
Swt sendiri yang menentukan takaranya, Allah Swt terangkan jatah harta warisan
yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanykan dalam beberapa ayat yang
jelas, karna harta dan pembagianya merupakan sumber ketamakan bagi manusia.
sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria d an wanita, besar dan kecil,
mereka yang lemah dan kua, sehingga tidak terdapat padanyakesempatan padanya
kesempatan untuk berbicara dengan hawa nafsu.
2. Waris Perdata
Hukum waris perdata berlaku untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara
indonesia keturunan tionghoa maupun eropa yang ketentuanya diatur dalam kitab
undag-undang hukum perdata (KUHPer).
Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris
medapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagianya masing-masing. dalam
hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan
mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang
disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya di sebut Ab-instaat. Ada 4
golongan ahli waris berdasarkan undang-undang :
a. golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunanya.
b. golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta
keturunanya.
c. golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas.
d. golongan IV keluarga dalam garis kesamping yang lebih jauh termasuk
saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunanya.

Mewaris berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa
yang di kehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat d i
ubah atau di cabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan kitab undnag-
undang hukum perdata pasal 992.

Cara pembatalanya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan notaris syarat
pembuatanya surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau
lebih dan mereka yang sudah menikah meski belum berusia 18 tahun yang termasuk
golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang di tunjuk
oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya

18
3. Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa
agama dan adat-istiadat yang berbeda saaatu dengan yang lainya hal itu
memepengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyrakat yang di kenal
dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Hear, seorang pakar hukum yang berjudul Beginselan en Stelsel van
het Adatrecht (1950) hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur
penerusan dan perlihan daari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari generasi pada generasi berikutnya. hukum adat itu sendiri
bentuknya tidak tertulis hanya berupa norma dan adat istiadat yang harus di patuhi
masyarakat tertentu dalam satu daerah tertentu dengan sanksi-sanksi bagi yang
melanggarnya. Oleh karnanya hukum waris adat banyak di pengaruhi oleh struktur
kemasyarakatan atau kekerabatan.
Di indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sitem pewarisan yang di bagi
dalam tiga macam
1. sistem patrinial sitem yang berdasarkan garis keturunan bapak
2. sistem matrilineal sistem yang berdasrkan garis keturunan ibu
3. sistem bilateral yaitu sitem keturunan yang berdasarkan garis keturunan kedua
orang tua

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram. Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya.
Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan
memanusiakan manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang
berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan cultural. Hubungan
dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi
keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan
negara.
Adapun hikmah dari pernikahan yaitu:
1. Memelihara Derajat Manusia
2. Menjaga Garis Keturunan
3. Mengembangkan Kasih Sayang
Waris adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara yar'i.
Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara
mendapatkannya.

B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan ini bisa bermanfaat untuk semua orang.
Penulis menyadari bahwa penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah
dan lupa, oleh sebab itu penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat harapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Nurhasanah. 2013. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum.


Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Ibrahim. 2012. Ringkasan Fiqih Islam. Jakarta: Indonesia Islam House.

Rifa’i. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Toto Suryana. 1997. Pendidikan Agana Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga
Mutiara

21

Anda mungkin juga menyukai