Anda di halaman 1dari 14

NILAI FILOSOFIS PERNIKAHAN PRESPEKTIF HUKUM

ISLAM
Nova Putri Diana, Elliyanti Nurmalita
Uin Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Abstrak

Islam disyariatkan hanya untuk memberikan kemaslahatan kepada seluruh

manusia dan menghindari dari kemudharatan. Salah satu petunjuk Allah dalam

syariat islam adalah diperintahkannya menikah dan diharamkannya berzinah.

Perintah kawin merupakan salah satu implementasi dari Al-Maqasyid Al-

Khamsah yaitu hifzhul nasl. Tulisan ini untuk menggambarkan pemahaman

tentang apa itu pernikahan,rukun dan syarat pernikahan, hukum pernikahan

serta bagaimana pencatatan pernikahan dan hak keperdataan istri dan anak.

Melalui tema ini berusaha untuk diuraikan. Adapun kesimpulan yang dapat

dirumuskan pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang pria dan

perempuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Dan sah apabila

telah memenuhi rukun dan syarat. Dimana Hukum dalam pernikahan ada 5

yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Dan pernikahan yang baik itu

dicatatkan disertai pembuktiannya dengan akta nikah sehingga akan

mendatangkan maslahat untuk pihak istri dan keturunannya.

Kata Kunci : Islam; Pernikahan; Hukum

A. Pendahuluan

Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral,

bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas

dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang

harus dilakukan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan


Bab I pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Dan manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan. Sebab,

pernikahan akan menyebabkan manusia mempunyai keturunan. Pernikahan atau

pernikahan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki–laki dengan

seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.

Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai keluarga yang sah

untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah ridha Allah SWT.

Hal ini sudah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang

yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba

sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka

dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”

(QS. Al Nuur/24 : 32).

Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasul-Nya bernilai ibadah

yaitu membina keluarga sejahtera yang mendatangkan kemaslahatan bagi para pelaku

pernikahan, anak keturunan juga kerabat. Pernikahan sebagai suatu ikatan yang

kokoh, dituntut untuk membuat kemaslahatan bagi masyarakat juga bangsa pada

umumnya.1

Secara umum, hampir seluruh agama memiliki pendapat bahwa pernikahan

atau pernikahan adalah hal yang cukup penting. Tidak aneh jika agama lain memiliki

1
Ahmad Atabik and Koridatul Mudhiiah, "Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam",
Yudisia, Vol 5, No 2, 2014, hlm 293–294
pedoman sebagai tuntunan kepada para pemeluknya, agar pernikahan yang mereka

lakukan dapat mencapai tujuan ideal seperti diharapkan. Pernikahan merupakan naluri

yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, maupun hewan.2 Oleh

karena itu, di dalam hukum pernikahan yang diatur menurut hukum islam menjadi

sudut pandang penulis untuk mengkaji lebih dalam, mulai dari pengertian, hingga

beberapa tujuan yang hendak diraih dari sebuah pernikahan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Pernikahan

Dalam Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan sehari-

hari orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya adalah

pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab. Menurut Islam

pernikahan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga

yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal

antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi laki-

laki.

Selain itu, pernikahan juga diatur dalam hukum Islam harus dilakukan dengan

akad atau perikatan hukum antara kedua belah pihak. Pernikahan atau perkawinan

dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, apabila sesuatu sudah diikatkan antara yang

satu dengan yang lain maka akan saling ada keterikatan dari kedua belah pihak.

Pernikahan sejatinya adalah sebuah perjanjian atau pengikatan suci antara

seorang laki- laki dan perempuan. Sebuah pernikahan antara laki-laki dan perempuan

dilandasi rasa saling mencintai satu sama lain, saling suka dan rela antara kedua belah

pihak. Perjanjian suci dalam sebuah pernikahan dinyatakan dalam sebuah ijab dan

2
Addin Daniar Syamdan dan Djumadi Purwoadmodjo, “Aspek Hukum Pernikahan Siri Dan Akibat
Hukumnya” Notarius, Vol 12, No 1 ,2019, hal 452–466, https://doi.org/10.14710/nts.v12i1.28897
qobul yang harus dilakukan antara calon laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya

berhak atas diri mereka. Apabila dalam keadaan tidak waras atau masih berada di

bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah.3

Menurut Abu Zahrah pernikahan dapat menghalalkan hubungan biologis

antara laki-laki dan perempuan, dengan adanya pernikahan ini maka laki-laki dan

perempuan mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi satu sama

lainnya sesuai syariat Islam.

Perkawinan berasal dari kata dasar “kawin” yang mempunyai makna

bertemunya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita yang keduanya sudah

memiliki aturan hukum yang sah dan halal sehingga dapat memperbanyak keturunan.

Seperti yang dituliskan dtuliskan dalam Firman Allah SWT :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram

kepadanya,dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada

yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.

Ar-Rum ayat 21)

Pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqaan ghalidzan

untuk menaati perintah Allah untuk melaksanakannya sebagai ibadah dan untuk

menjalankan Sunnah Rosul sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan tersebut adalah perjanjian suci yang

sangat kuat antara laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan saling suka yang

dilakukan oleh pihak wali sesuai sifat dan syaratnya. Sehingga dapat menghalalkan

kebutuhan biologis antara keduanya dan dapat untuk meneruskan garis keturunan.

3
M Khoiruddin, ‘Wali Mujbir Menurut Imam Syafi’i (Tinjauan Maqâshid Al- Syarî’ah)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol 18, No 2, 2019, hlm 257–84, https://doi.org/10.24014/af.v18.i2.8760.
2. Pernikahan Bertujuan untuk Melanjutkan Keturunan

Dalam ajaran agama Islam, tujuan dan hikmah pernikahan sangatlah banyak,

salah satu diantaranya untuk memperbanyak keturunan

‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا‬
َ ‫اح َد ٍة َو َخلﹶ‬
ِ ‫س َو‬ َّ ُ‫الن اس‬
ٍ ‫ات قﹸوا َربَّ كﹸ ُم ا َّل ِذي خَ لﹶقﹶكﹸ ْم ِم ْن نَفﹾ‬ َّ ‫يَا أﹶيُّ هَا‬

َّ َ‫َوب‬
‫ث ِم ْنهُ َما‬

‫ ِر َجاال كﹶثِيرًا َونِ َسا ًء‬...

“ wahai sekalian manusia bertakwa lah kepada tuhanmu yang menjadikan

kamu dari diri yang satu, dari padanya Allah menjadikan istri-istri, dan dari

keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan

perempuan....”4

Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan dilaksanakan pernikahan, salah

satunya untuk melanjutkan keturunan.

َ‫م ِمن‬pْ ‫ َدةً َو َرزَ قَ ُك‬pppَ‫ل لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْز َوا ِج ُك ْم بَنِينَ َو َحف‬ppp


َ ‫ا َو َج َع‬pppً‫ ُك ْم َأ ْز َواج‬ppp‫ َل لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس‬ppp‫َوهَّللا ُ َج َع‬

َ‫ت هَّللا ِ هُ ْم يَ ْكفُرُون‬ ِ َ‫ت ۚ َأفَبِ ْالب‬


ِ ‫اط ِل يُْؤ ِمنُونَ َوبِنِ ْع َم‬ ِ ‫الطَّيِّبَا‬

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan

menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan

memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada

yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” 5 Menikah berarti mengumpulkan,

menikah juga menjadi salah satu upaya penyaluran naluri seksual suami istri dalam

sebuah rumah tangga. Sekaligus sebagai sarana dalam melanjutkan keturunan dan

menjalin kelangsungan hidup sebagai wujud eksistensi manusia di atas bumi.6

4
Departemen Agama, Al-Quran,… hal 144
5
QS. An. Nahl, 16:72
6
Agustina Nurhayati, "Pernikahan dalam prespektif Alquran", ASAS, Vol. 3 Nomor 1, 1 Januari, 2011,
99
Lewat pernikahan yang sah secara agama dan hukum, manusia akan

mendapatkan rasa tenang dan ketentraman, walaupun sebelumnya keduanya belum

saling mengenal pribadi satu dengan lainnya secara mendalam. Namun, dari situlah

mulai muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi, sehingga kedunya dikaruniai

keturunan.7

Melihat dari beberapa istilah dan tujuan sebuah pernikahan di atas tidak lain

untuk meneruskan keturunan. Meskipun hal tersebut bukan menjadi faktor pendorong

utama untuk melakukan pernikahan. Sebenarnya masih banyak tujuan yang lain,

seperti melaksanakan sunnah Nabi, menjaga kemaluan diri dan pasangan, dan agar

hidup lebih tentram.8

Sejalan dengan firman Allah pada Surat A-Rum 21,

‫ ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِي‬p‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا‬
َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن َخل‬

َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ِ‫ٰ َذل‬


ٍ ‫ك آَل يَا‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah

warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-

Nya bagi orang-orang yang berfikir".9

3. Silaturahim antar keluarga besar

7
Henderi Kusmidi, "Konsep Sakinan, Mawaddah dan Rahmah dalam Pernikahan", El-Afkar, Vol. 7
Nomor 2, Juli- Desember 2018
8
Wahyu Wibisana, "Pernikahan dalam Islam", Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 14 Nomor 2,
Februari 2020, 185
9
QS. Ar-Rum, 30:21
Rumah tangga yang baik sebagai fondasi mesyarakat yang baik. Sebab

pernikahan diibaratkan sebagai ikatan yang sangat kuat, bagaikan ikan dalam kolam,

dan bagaikan beton bertulang yang sanggup menahan getaran gempa.

Jika diamati secara seksama, pada awalnya mereka yang melakukan

pernikahan tidak saling kenal, dan suku yang berbeda. Akan tetapi, dalam

memasuki dunia pernikahan, mereka menyatu dalam keharmonisan, bersatu

dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Menurut Prof Dr Muhammad Syaltut dalam bukunya (Al-Islam Aqidah

wa Syari’ah) mengumpamakan keluarga sebagai batu-batu dalam tembok suatu

bangunan. Apabila batu-batu itu rapuh karena kualitas batu itu sendiri, ataupun karena

kualitas perekatnya, maka akan rapulah seluruh bangunan itu. Sebaliknya apabila

batu-batu dan perekatnya itu kuat, maka akan kokohlah bangunan tersebut. Jadi

kalau kedua insan yang berlainan jenis kelamin terdiri dari kumpulan yang kokoh,

maka kokoh pulalah keluarga tesebut, akan tetapi apabila keluarga sebagai fondasi

yang lemah, maka lemah pulalah keluarga tersebut.10

4. Mitsaqon Gholidzon dalam Ikatan Suci Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan disebutnya sebagai mitsaqan ghalidza atau

"perjanjian agung" (QS. Al-Nisa: 21).

ْ َ‫ْض َّوا‬
ً‫خَذنَ ِم ْن ُك ْم ِّم ْيثَاقًا َغلِ ْيظ‬ ٍ ‫ض ُك ْم اِلى بَع‬ ٰ ‫َو َك ْيفَ تَْأ ُخ ُذوْ نَهٗ َوقَ ْد اَ ْف‬
ٰ ُ ‫ بَ ْع‬p‫ضى‬

Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah

bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah

mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.

10
Jarbi Muktiali, Pernikahan Menurut Hukum Islam, Pendais, Vol. 1, No.1, 2019
Sebagai sebuah perjanjian, maka ibarat perjanjian dalam bentuk apa pun itu

bisa juga dipertahankan. pernikahan dalam Islam bukan sembarang perjanjian, tapi

"Perjanjian Agung"

pernikahan diawali dengan akad, yang memiliki hakikat makna mitsaqan

ghaliza (ikatan yang kuat) yaitu perjanjian agung, kuat dan berbeda dengan yang lain,

sehingga pernikahan bukanlah yal yang dianggap biasa. Agama merupakan unsur

terpenting dalam pernikahan, karena agama menggambarkan kepastian hukum yang

menjadi pokok utama sebagaimana di dalam maqasid syari’ah yaitu hifdzudddin

(menjaga agama).

Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalidza, artinya pernikahan

bukan perjanjian yang bisa dimain-mainkan. Memperkuat firman-Nya, Rasul bahkan

sampai bersabda bahwa perbuatan yang dibolehkan tapi paling dibenci Allah adalah

perceraian.

Mendasarkan pada dua dalil naqli tersebut, maka dalam Islam, seseorang yang

sudah terikat dalam sebuah pernikahan tak bisa main cerai seenaknya saja. Tak

semestinya menjadikan pernikahan sebagai "barang mainan", yang seenaknya bisa

dilempar, dibuang, dipecahkan atau bahkan dirusak.

5. Pernikahan Merupakan Ibadah

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa pernikahan adalah

pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi

yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa pernikahan adalah fitrah

ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah:


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagikaum yang berfikir.

(QS.Ar-Rum ayat 21)

Pernikahan merupakan ibadah dan setengah dari agama.

Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh

Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh

agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR.Thabarani dan

Al-Hakim 2/161)

Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk

dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan

seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga

menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka

dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri. Seorang

muslim tidak halal menentang pernikahan dengan anggapan, bahwa hidup membujang

itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya

dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan

hubungan dengan duniawinya.

Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan

menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak

menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan

nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur

lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu
Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah

Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku

luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.

Kemudian turunlah ayat:11

Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik

dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena

sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al

Maidah/5: 87)

6. Pencatatan Pernikahan dan Hak Keperdataan Istri dan Anak

Sahnya pernikahan dan pencatatan pernikahan terdapat pada Pasal 2 UU

Pernikahan yang berbunyi, ayat (1) pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu; ayat (2) Tiap-tiap

pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 ayat

(1) dan ayat (2) berbunyi agar terjamin ketertiban pernikahan bagi masyarakat Islam

setiap pernikahan harus dicatat dalam Pencatatan Pekawinan tersebut pada ayat (1)

dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-

undang no.22 tahun 1946 jo. Undang-undang no.32 tahun 1954.

Dalam peraturan undang-undang no.22 tahun 1946 terus diabadikan dalam

UUP no.1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah apabila

dicatatkan di hadapan petugas resmi pencatatan sesuai syarat dan ketentuan.

Pencatatan perjanjian pernikahan di atas kertas termasuk masih asing dan baru dalam

11
Wibisana Wahyu, Pernikahan dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim, Vol. 14, No. 2,
2016
peraturan keluarga Islam. Masih didiskusikan tentang kesaksian yang dibutuhkan

dalam ijab qobul dan tidak membahas perlunya mencatat perjanjian pernikahan.12

Pencatatan pernikahan dianjurkan karena mempunyai manfaat yaitu

mengurangi timbulnya kemudaratan bagi kedua belah pihak dan keturuanannya

kelak. Dengan adanya pencatatan pernikahan akan menguatkan tegaknya

syariat islam, dan apabila tidak dilaksanakan maka pernikahan tersebut akan

fasid. Selama pencatatan pernikahan tidak bertentangan dengan syariat islam

maka pencatatan tersebut dianjurkan.

Pernikahan yang tidak dilakukan pencatatan maka akan merugikan pihak

perempuan ataupun keturunannya kelak. Karena jika tidak di catatkan maka

pihak dari istri yang berpisah dengan suami tidak memiliki bukti dokumen kuat

secara hukum. Sementara untuk keturunannya juga akan kesulitan apabila

memerlukan dokumen hukum.

Pernikahan yang tidak dicatatkan akan memberikan dampak negatif bagi

istri,11 yaitu : 1) Terhadap istri, pernikahan yang tidak dicatatkan ini berdampak

sangat merugikan bagi istri dan perempuan. Dari segi hukum istri tidak

dianggap sebagai istri yang sah, dengan demikian istri tidak berhak atas nafkah

dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia. Dari segi sosial, istri akan

sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan pernikahan bawah

tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan

pernikahan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan. 2)

Terhadap suami tidak begitu merugikan justru akan menguntungkan untuk

pihaj suami karena bebas untuk menikah lagi, karena pernikahan sebelumnya

yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum. 3) Terhadap anak,

12
Oyoh Bariah, “Rekonstruksi Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Islam”, Solusi, Vol 1, No 4, 2015, hlm
20–29
tidak sahnya pernikahan bawah tangan menurut hukum negara memiliki

dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu :

a) Status anak yang dilahirkan akan dianggap sebagai anak yang tidak sah

karena tidak ada anak hanya akan meimiliki hubungan perdata dengan

ibunya dan tidak dengan ayahnya.

b) Status anak di muka hukum tidak jelas, mengakibatkan hubungan antara

ayah dan anak tidak kuat,

c) Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan

warisan dari ayahnya.

Pernikahan di bawah tangan akan sangat merugikan terutama untuk pihak

istri dari segi hak dan kewajiban apabila sampai terjadi perceraian. Pernikahan di

bawah tangan apabila sampai terjadi perceraian maka istri tidak akan

mendapatkan hak apapun. Sementara pernikahan yang tercatat apabila sampai

terjadi perceraian maka untuk hak dan kewajibannya akan tetap sama.

Pernikahan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan

surat nikah, tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau

istri tidak memenuhi kewajibannya, maka salah satu pihak tidak dapat

menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah termasuk kedua

anaknya atau harta bersama yang mereka peroleh selama pernikahan

berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia (suami/istri) maka

ia tidak dapat mewaris dari si istri atau suaminya itu.

Pernikahan dibawah tangan atau tidak tercatat ini risiko hukumnya sangat

tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama pada anak-anak yang

telah dilahirkan. Meskipun masalah pencatatan pernikahan telah

tersosialisasikan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2),

akan tetapi sampai saat ini masih terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Hal

ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh

kepada perspektif fikih tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat

bahwa pernikahan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam

kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan

Agama dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman

Rasulullah dan merepotkan saja.

C. Kesimpulan

Pernikahan atau pernikahan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara

seorang laki–laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang

kekal dan bahagia. Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia

mempunyai keluarga yang sah untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan

akhirat.

Pernikahan merupakan bentuk Mitsaqon Gholidzon, pernikahan juga

merupakan sebagai bentuk ibadah. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk

melanjukan keturunan, dan silaturahim antara keluarga besar.

D. Daftar Pustaka

Addin Daniar Syamdan dan Djumadi Purwoadmodjo, “Aspek Hukum Pernikahan Siri

Dan Akibat Hukumnya” Notarius, Vol 12, No 1 ,2019

Agustina Nurhayati, "Pernikahan dalam prespektif Alquran", ASAS, Vol. 3 Nomor 1,

1 Januari, 2011

Ahmad Atabik and Koridatul Mudhiiah, "Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif

Hukum Islam", Yudisia, Vol 5, No 2, 2014


Henderi Kusmidi, "Konsep Sakinan, Mawaddah dan Rahmah dalam Pernikahan", El-

Afkar, Vol. 7 Nomor 2, 2018

Jarbi Muktiali, Pernikahan Menurut Hukum Islam, Pendais, Vol. 1, No.1, 2019

M Khoiruddin, ‘Wali Mujbir Menurut Imam Syafi’i (Tinjauan Maqâshid Al-

Syarî’ah)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 18, No 2, 2019

Oyoh Bariah, “Rekonstruksi Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Islam”, Solusi,

Vol 1, No 4, 2015

Wahyu Wibisana, "Pernikahan dalam Islam", Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.

14 Nomor 2, 2020

Wibisana Wahyu, Pernikahan dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim,

Vol. 14, No. 2, 2016

Anda mungkin juga menyukai