Anda di halaman 1dari 93

PERNIKAHAN

Oleh:
Dr. Sudarto, M.Pd.I
085 640 046 213
ARTI NIKAH

 Nikah atau zawaj secara bahasa berarti al-


dhamm wa al-tadakhkhul (berkumpul dan
memasukkan)
 Nikah arti asalnya wath’ (melakukan
hubungan seksual)
 Nikah sering juga diartikan dengan ‘aqd
(perjanjian menikah)
 Nikah dalam bahasa Indonesia berarti kawin
DEFINISI NIKAH

 Ulama Syafi’iyah : Akad yang mengandung


maksud membolehkan hubungan seksual
dengan lafal nikah atau tazwij.
 Hakikat dari akad itu apabila dihubungkan
dengan kehidupan suami istri yang berlaku
sesudahnya adalah kebolehan bergaul, di
mana sebelum itu tidak boleh.
 Akad : dibuat dalam bentuk akad (perjanjian)
karena ia adalah peristiwa hukum, bukan
peristiwa biologis.
 Yang membolehkan wath’ : pada dasarnya
hubungan seksual itu dilarang.
 Dengan lafal nikah atau tazwij : karena pada
awal Islam ada “perbudakan” yang juga
membolehkan hubungan seksual.
ULAMA HANAFIYAH

▪Nikah : akad yang ditentukan untuk


memberi hak kepada seorang laki-laki
menikmati kesenangan dengan seorang
perempuan secara sengaja.
▪Definisi ulama klasik pendek dan sederhana
sesuai dengan hakikat utama dari
perkawinan, yaitu kebolehan melakukan
hubungan seksual.
ULAMA KONTEMPORER

 Akad yang menimbulkan akibat hukum kebolehan


mengadakan hubungan suami istri antara pria dan
wanita, dan saling tolong menolong, serta memberi
batas hak dan pemenuhan kewajiban bagi masing-
masing pihak.
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
(UU No.1 Tahun 1974)

Pasal 1 :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa
KOMPILASI HUKUM ISLAM
(KHI)

Pasal 2 :
Perkawinan menurut Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
 Perkawinan menurut Islam adalah bagian dari ibadah,
di samping juga merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul.
 Sunnah Allah : menurut qudrat dan iradat Allah dalam
penciptaan alam.
 Sunnah Rasul : tradisi yang telah ditetapkan oleh
Rasul.
‫‪FIRMAN ALLAH DALAM‬‬
‫‪AL-QUR’AN‬‬

‫‪Surat Al-Dzariyat : 49‬‬


‫َو ِمن ُك ِ ِّل ش َْى ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َج ْي ِن‬

‫‪Surat Al-Rum : 21‬‬


‫س ُك ْم أ َ ْز ٰ َوجا ً ِلِّتَ ْ‬
‫س ُكنُ ۤواْ ِإلَ ْي َها َو َجعَ َل بَ ْينَكُم َّم َو َّدةً‬ ‫ق لَكُم ِ ِّم ْن أَنفُ ِ‬
‫َو ِم ْن ءايَ ٰـ ِت ِه أ َ ْن َخلَ َ‬
‫َو َر ْح َمةً‬
‫ت ِلِّقَ ْو ٍم يَتَفَك َُّر َ‬
‫ون‬ ‫ِإ َّن فِى َذ ِل َك ألَيَ ٰـ ٍ‬
HADITS NABI SAW

 “Nikah itu sunnahku, barang siapa yang benci


terhadap sunnahku maka dia bukan umatku”.

 “Apabila seorang hamba menikah, sempurnalah


sebagian agamanya, maka hendaklah ia bertakwa
kepada Allah pada sebagian yang lain”.
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian
telah sanggup melaksanakan perkawinan, maka
lakukanlah. Sesungguhnya perkawinan itu dapat
memalingkan pandangan yang liar dan
memelihara kehormatan. Barang siapa yang
belum mampu melakukannya, hendaklah ia
berpuasa, sebab puasa merupakan penghalang
perbuatan dosa”
HUKUM NIKAH

 JUMHUR ULAMA : Sunnah, karena banyaknya


suruhan Allah dan Nabi.
 SEBAGIAN ULAMA : Mubah, karena
merupakan akad antara manusia.
 ULAMA ZHAHIRIYAH : Wajib (Fardlu), karena
merupakan perintah (amr).
 ULAMA SYAFI’IYAH : Hukumnya bisa berbeda
sesuai dengan kondisi orang yang
bersangkutan.
TUJUAN NIKAH

1. Mendapatkan keturunan
2. Menyalurkan kebutuhan biologis dan naluri kasih
sayang
3. Memelihara diri dari kerusakan
4. Memupuk sifat tanggung jawab
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk
masyarakat sejahtera
QS. AN-NISA’ : 1

َّ َ‫اس ٱتَّقُواْ َربَّ ُك ُم ٱلَّذِى َخلَقَ ُك ْم ِمن نَّ ْف ٍس ٰ َو ِح َدةٍ َو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬
‫ث‬ ُ َّ‫ََ ٰـأَيُّ َها ٱلن‬
‫سآ ًء‬َ ِ‫ِم ْن ُه َما ِر َجاالً َكثِيرا ً َون‬

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang


telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam),
dan Allah menciptakan pasangannya darinya; dan
dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak”.
QS. ALI IMRAN : 14

‫آء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫ت ِم َن ٱلن‬ ِ ‫ش َه ٰ َو‬َّ ‫ب ٱل‬ ُّ ‫اس ُح‬ ِ َّ‫ُز ِي َن ِللن‬
َ ‫ير ْٱل ُمقَن‬
ِ‫ط َرة‬ ‫ط‬
ِ
ِ ٰ َ ‫ـ‬َ ‫ن‬ َ ‫ق‬ ْ
‫ٱل‬ ‫و‬ ‫ين‬
َ ‫ن‬
ِ ْ
َ ‫َو‬
‫ب‬ ‫ٱل‬
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta
terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan,
anak, dan harta benda yang bertumpuk.
HIKMAH NIKAH

1. Menyambung tali silaturahim


2. Estafeta cita-cita
3. Menjaga pandangan
4. Menumbuhkan kreativitas
5. Menyemarakkan dunia
PRINSIP PERKAWINAN ISLAM

 Memenuhi dan melaksanakan perintah agama


 Kerelaan dan persetujuan
 Perkawinan untuk selamanya
 Suami sebagai pemimpin dan penanggung jawab
utama keluarga
 Tujuan membentuk keluarga bahagia
MACAM-MACAM BENTUK
NIKAH JAHILIYAH

MACAM-MACAM BENTUK
NIKAH JAHILIYAH
MACAM-MACAM BENTUK
NIKAH JAHILIYAH
 Islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin.
 Selain melakukan revolusi dan pelurusan di
bidang akidah, Islam juga melakukan
pembaharuan di bidang hukum.
 Banyak aturan-aturan hukum pra-Islam yang
justru merendahkan martabat manusia,
misalnya di bidang perkawinan.
NIKAH SYIGHAR

 Seorang lelaki menikahkan seorang perempuan di


bawah perwaliannya dengan lelaki lain, dengan syarat
lelaki lain itu juga harus menikahkan perempuan di
bawah perwaliannya dengan lelaki pertama tanpa
adanya mahar dalam kedua perkawinan itu.
 Disebut juga Nikah Pertukaran
NIKAH MUT’AH

 Perkawinan yang dibatasi masa berlakunya sampai


batas waktu tertentu sesuai kesepakatan kedua belah
pihak. Bila waktu itu terlampaui maka putuslah
perkawinan itu tanpa adanya talak.
 Disebut juga Nikah Muwaqqat, Nikah Munqathi’,
Kawin Kontrak.
NIKAH KHIDN

 Perkawinan yang merupakan pergaulan bebas pria


dengan wanita sebelum melakukan perkawinan yang
resmi untuk saling mengenal dan mengetahui pribadi
masing-masing.
 Disebut juga Kawin Percobaan atau Kawin
pergundikan
NIKAH BADAL

 Kesepakatan dua pasangan suami


istri untuk saling bertukar pasangan
dalam melakukan hubungan seksual
untuk beberapa waktu tertentu.
Disebut juga Kawin Tukar Pasangan
NIKAH ISTIBDLA’

 Perkawinan di mana seorang suami minta kepada laki-


laki bangsawan atau cendekiawan, agar bersedia
mengumpuli istrinya sampai dia hamil, dengan
motivasi ingin memperoleh anak seperti laki-laki yang
mengumpuli istrinya itu.
 Disebut juga Kawin Pinjam
NIKAH RAHTHI

 Di mana seorang wanita dikumpuli oleh sejumlah


laki-laki (3-10 orang) sampai dia hamil. Ketika
anaknya lahir, wanita itu memanggil semua orang
yang pernah mengumpulinya dan menunjuk salah
seorang di antara mereka untuk mengakui
sebagai anaknya, dan yang ditunjuk tidak boleh
menolak.
 Disebut juga Kawin Urunan
NIKAH BAGHAYA

 Seorang wanita bersedia dikumpuli oleh siapa saja.


Bila ia hamil dan melahirkan, ia akan minta dukun
(qafah) menunjuk salah satu di antara para laki-laki
yang pernah mengumpulinya yang paling mirip
dengan bayinya agar mau mengakui bayi itu sebagai
anaknya.
 Disebut juga Kawin Pelacuran
NIKAH WARIS

 Kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah adalah mengawini


bekas istri ayahnya. Istri-istri mendiang ayahnya
dianggap sebagai warisan seperti harta benda yang
lain. Anak boleh mengawininya tanpa membayar
mahar, atau dia boleh mengawinkannya dengan
orang lain dan menerima maharnya.
KONSEP KAFA’AH
DALAM PEMILIHAN JODOH
MEMILIH JODOH

 Jodoh bukan untuk sementara waktu, tetapi


untuk selama hidup.
 Menentukan pilihan pasangan hidup harus hati-
hati dan tidak boleh sembarangan.
 Pasangan hidup akan sangat berpengaruh
terhadap jalan hidup dan keturunan kita ke
depan.
 Perhatikan dengan cermat calon pasangan hidup,
jangan sampai keliru memilih.
HADITS NABI SAW

 “Perempuan itu dikawini karena empat


motivasi: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena kecantikannya, dan
karena agamanya. Pilihlah perempuan karena
agamanya, niscaya kamu akan mendapat
keberuntungan” (Muttafaq ‘alaih).
 Perhatikan juga kafa’ah (kufu) dalam memilih
jodoh atau pasangan hidup.
KONSEP KAFA’AH DALAM ISLAM

 Kafa’ah (kufu) secara bahasa berarti


seimbang, sederajat, sepadan, dan sebanding.
 Kafa’ah dalam perkawinan berarti suami
sepadan dengan istri dalam berbagai hal.
 Kafa’ah menjadi salah satu faktor yang
mendorong terjadinya keharmonisan antara
suami dan istri dalam kehidupan berumah
tangga.
 Kafa’ah biasanya dihubungkan dengan masalah rupa,
kekayaan, keturunan, status sosial, tingkat
pendidikan, profesi, agama, dan lain sebagainya.
 Dalam Islam, yang penting dari kesemuanya itu adalah
faktor agama, sedangkan yang lain hanya merupakan
anjuran dan penyempurna.
 Yang dimaksud agama dalam hal ini adalah
komitmen keagamaan dan kesungguhan
menjalankan ajaran agama, serta berakhlak
baik.
 Ibn Hazm : Tidak ada ukuran baku dalam hal
kafa’ah. Semua muslim dan muslimah adalah
sederajat dan boleh menikah di antara
mereka, asal bukan pezina.
FIRMAN ALLAH SWT

QS. Al-Hujurat: 10
‫ِإنَّ َما ْٱل ُمؤْ ِمنُونَ ِإ ْخ َوة‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
saudara”.
QS. An-Nisa’: 3
‫آء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ ٱلن‬
َ ‫ط‬َ ‫فَٱن ِك ُحواْ َما‬
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu
senangi”.
PEMINANGAN

 Peminangan (khitbah) : penyampaian


kehendak untuk menikahi.
 Hukumnya mubah (Jumhur), wajib (Daud al-
Zhahiri).
 Dilaksanakan sesuai tradisi masyarakat
setempat.
 Tradisi Islam, yang mengajukan pinangan
adalah pihak laki-laki.
QS. AL-BAQARAH : 235

‫ضتُم ِب ِه ِم ْن‬ ْ ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما ع ََّر‬ َ ‫َوالَ ُجنَا َح‬


ِ ُ‫آء أ َ ْو أ َ ْكنَنت ُ ْم فِ ۤى أَنف‬
‫س ُك ْم‬ ِ ‫س‬َ ِِّ‫ِخ ْطبَ ِة ٱلن‬
Dan tidak ada halangan bagimu meminang
perempuan-perempuan itu dengan sindiran,
atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam
hatimu.
HIKMAH PEMINANGAN

 Agar saling mengenal sehingga tidak terjadi


penyesalan.
 Dapat menguatkan ikatan perkawinan.
 Peminangan bisa diungkapkan dengan dua cara, yaitu
dengan jelas dan terang-terangan (sharih) atau
dengan sindiran (kinayah).
MELIHAT WANITA YANG
DIPINANG

 Sabda Rasul SAW: “Bila salah seorang di


antara kamu meminang seorang perempuan,
dan jika ia mampu melihatnya yang
mendorongnya untuk menikahinya, maka
lakukanlah”.
 Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang
yang telah meminang wanita : “Lihatlah
wanita itu, karena yang demikian akan
membuat pernikahanmu lebih langgeng”.
 Melihat wanita yang dipinang hukumnya boleh,
bahkan dianjurkan, agar dia mengenal calon istrinya.
 Jumhur : yang boleh dilihat hanya sebatas wajah dan
telapak tangan.
 Daud al-Zhahiri dan al-Auza’i : boleh melihat secara
mutlak, kecuali dua kemaluan.
SYARAT PEMINANGAN

 Tidak ada halangan syar’i.


 Wanita itu tidak dalam pinangan orang lain.
 Tidak dalam masa ‘iddah talak raj’i.
 Bila dalam masa ‘iddah kematian atau ‘iddah talak
bain, hendaklah meminang dengan cara sirri/kinayah
(sindiran/tidak terang-terangan)
HADITS NABI SAW

“Janganlah seseorang di antara kamu meminang


perempuan yang telah dipinang saudaranya, hingga
peminang pertama telah meninggalkannya atau
mengizinkannya untuk meminang”
KANDUNGAN HADITS

 Dilarang meminang bila jelas-jelas pinangan


pertama telah diterima dan dia mengetahui
itu.
 Dilarang meminang bila peminang pertama
adalah saudara seagama.
 Boleh meminang bila pinangan telah
dibatalkan.
 Boleh meminang bila diijinkan oleh peminang
pertama.
HUKUM NIKAH SETELAH PEMINANGAN
YANG DILARANG

 Syafi’I dan Abu Hanifah : Sah dan tidak dapat


dibatalkan.
 Golongan Zhahiriyah : Tidak sah dan harus dibatalkan.
 Ulama Malikiyah : Bila sudah terjadi hubungan
kelamin, tidak dibatalkan. Bila belum, harus
dibatalkan.
AKIBAT PEMINANGAN

 Peminangan bukan janji mengikat, dan dapat


dibatalkan.
 Pemberian tidak terkait dengan mahar, dan dapat
diambil kembali bila dibatalkan.
 Meskipun telah terjadi peminangan, keduanya tetap
tidak boleh berkhalwat.
PEMINANGAN DALAM KHI

Pasal 1 (a)
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita.

Pasal 11
Peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tetapi dapat
pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
Pasal 12

1. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang


masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahnya.
2. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
3. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang
pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum
ada penolakan dari pihak wanita.
4. Putusnya pinangan pihak pria karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.
Pasal 13

1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum


dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan
peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama
dan kebiasaan setempat, sehingga tetap
terbina kerukunan dan saling menghargai.
LARANGAN
PERKAWINAN
MAHRAM

 MAHRAM : Orang-orang yang tidak


boleh melakukan perkawinan
(perempuan yang tidak boleh
dikawini oleh seorang laki-laki
tertentu).
PEMBAGIAN MAHRAM

 Dari Aspek Waktu


 MAHRAM MUABBAD (haram selamanya) : larangan
dalam kondisi apapun sampai kapanpun.
 MAHRAM MUAQQAT (haram sementara waktu) :
larangan berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu.
MAHRAM MUABBAD

 Mahram Nasab (hubungan darah)


 Mahram Radla’ah (hubungan sepersusuan)
 Mahram Mushaharah (karena terjadinya perkawinan)
 Haram karena sumpah li’an
QS. AN-NISA’ : 22

‫آء ِإالَّ َما قَ ْد‬


ِ ‫س‬َ ‫َوالَ تَن ِك ُحواْ َما نَ َك َح َءابَا ُؤ ُك ْم ِم َن ٱل ِن‬
ً‫س ِبيا‬ َ ‫سآ َء‬ َ ‫شةً َو َم ْقتا ً َو‬ َ َ‫سل‬
َ ‫ف ِإنَّهُ َك‬
َ ‫ان فَ ٰـ ِح‬ َ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
(kejadian pada masa) yang telah lampau.
Sungguh perbuatan itu sangat keji dan dibenci
(oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).
‫‪QS. AN-NISA’ : 23‬‬
‫علَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َه ٰـت ُ ُك ْم‬ ‫ت َ‬ ‫ُح ِر َم ْ‬
‫ِ‬ ‫خ‬ ‫َ‬ ‫أل‬ ‫ٱ‬ ‫ات‬‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ن‬ ‫َ‬ ‫ب‬‫و‬‫َ‬ ‫م‬‫ْ‬ ‫ُ‬
‫ك‬ ‫ُ‬ ‫ت‬‫ـ‬ ‫ٰ‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫ـ‬
‫ٰ‬ ‫خ‬‫َ‬ ‫و‬‫َ‬ ‫م‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬
‫ك‬ ‫ُ‬ ‫ت‬‫ـ‬ ‫ٰ‬ ‫م‬
‫َّ‬ ‫ع‬
‫َ‬ ‫و‬‫َ‬ ‫م‬
‫ْ‬ ‫ك‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ت‬ ‫َو‬
‫َ‬ ‫ٰ‬ ‫خ‬ ‫َ‬ ‫َوبَنَ ٰـت ُ ُك ْم َوأ‬
‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ َ َخ ٰ َوت ُ ُكم‬ ‫َ‬ ‫ر‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫ى‬ ‫ت‬
‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫ا‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫م‬ ‫ُ‬
‫ت َوأ َ ُ‬
‫ك‬ ‫ُ‬ ‫ت‬ ‫ـ‬
‫ٰ‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ال ْخ ِ‬ ‫َات ٱ ْ‬ ‫َوبَن ُ‬
‫سآئِ ُك ْم َو َربَا ِئبُ ُك ُم ٱللَّ ٰـتِى فِى‬ ‫َ‬ ‫ن‬
‫ِ‬ ‫ت‬ ‫ُ‬ ‫ـ‬ ‫ٰ‬ ‫ع ِة َوأ َ‬
‫ه‬ ‫م‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ضا َ‬ ‫ٱلر َ‬ ‫ِم َن َّ‬
‫سآئِ ُك ُم ٱللَّ ٰـتِى َدخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَإِن لَّ ْم ت َ ُكونُواْ‬ ‫ور ُك ْم ِمن نِ َ‬ ‫ُح ُج ِ‬
‫ين ِم ْن‬ ‫علَ ْي ُك ْم َو َحلَ ٰـئِ ُل أ َ ْبنَآئِ ُك ُم ٱلَّ ِذ َ‬ ‫َ َ‬ ‫ح‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ج‬‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ا‬ ‫َ‬ ‫ف‬ ‫َّ‬
‫ن‬ ‫ه‬
‫َدخ ْ ِ ِ‬
‫ب‬ ‫م‬‫ُ‬ ‫ت‬ ‫ْ‬
‫َل‬
‫ال ْختَي ِْن‬ ‫صلَ ٰـ ِب ُك ْم َوأَن ت َ ْج َمعُواْ بَي َْن ٱ ْ‬ ‫أَ ْ‬
‫غفُورا ً َّر ِحيما ً‬ ‫ان َ‬ ‫ٱَّلل َك َ‬ ‫ف ِإ َّن َّ َ‬ ‫سل َ َ‬ ‫إَالَّ َما قَ ْد َ‬
Diharamkan atas kamu (menikahi)
ibu-ibumu, anak-anak perempuan
mu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan ayahmu,
saudara-saudara perempuan ibumu,
anak-anak perempuan dari saudara
laki-lakimu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuanmu, ibu-
ibumu yang menyusui kamu, saudara-
saudara perempuanmu sesusuan,
Ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi apabila kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan)
maka tidak berdosa kamu (menikahinya), dan
diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan diharamkan mengumpulkan
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah lampau. Sungguh Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
MAHRAM NASAB

 Ibu, dan seterusnya ke atas


 Anak, dan seterusnya ke bawah
 Saudara (sekandung, seayah, seibu)
 Saudara ayah, dan seterusnya ke atas
 Saudara ibu, dan seterusnya ke atas
 Anak saudara laki-laki
 Anak saudara perempuan
MAHRAM RADLA’AH

 “(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-


ibumu yang menyusuimu, dan saudara-
saudara perempuanmu sepersusuan…” (QS.
An-Nisa’: 23)
 Keharaman dalam ayat tadi diperluas oleh
hadits riwayat Abu Daud dan Al-Nasa’i yang
berbunyi : “ Diharamkan karena ada
hubungan susuan apa yang diharamkan
karena ada hubungan nasab”
SYARAT SUSUAN

 Usia anak yang menyusu di bawah dua tahun


(Jumhur): “La radha’ illa fi al-haulain”: tidak
ada batasan umur (Zhahiriyah): dhahir ayat
bersifat umum.
 Kadar susuan lima kali susuan (Jumhur) :
hadits Aisyah “lima kali susuan menyebabkan
keharaman nikah; Malikiyah tidak membatasi
sesuai dengan kemutlakan ayat.
 Cara menyusu harus langsung dari puting susu si ibu
(Zhahiriah): begitulah maksud “menyusu”. Jumhur :
penyusuan tidak langsung menyebabkan haram
nikah, yang penting air susu ibu sampai ke
kerongkongan anak.
 Kemurnian air susu : Air susu itu murni tidak
bercampur dengan zat lain (Abu Hanifah); Tetap
menyebabkan hubungan radla’ah bila percampuran
tidak menghilangkan sifat dan bentuk dari air susu.
MAHRAM MUSHAHARAH

 Yaitu keharaman menikahi yang disebabkan karena


terjadinya suatu perkawinan. Mereka itu adalah :
1. Ibu tiri (bekas istri ayah)
2. Menantu (bekas istri anak laki-laki)
3. Mertua (ibu istri)
4. Anak tiri dari istri yang sudah digauli
QS. AL-NISA’ : 22-23

 Dan janganlah kamu menikahi perempuan-


perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-
ayahmu kecuali yang sudah berlalu…
 …dan jangan kamu nikahi ibu-ibu dari istri-istri
kamu dan anak-anak tirimu yang berada
dalam asuhanmu dari istri yang telah kamu
gauli. Bila belum menggaulinya, tidak apa
kamu mengawininya. Dan jangan kamu
mengawini istri-istri dari anak-anakmu…
TENTANG ANAK TIRI

 Sepakat : yang menyebabkan keharaman adalah telah


terjadinya hubungan seksual
 Jumhur : haram secara mutlak (di bawah asuhan
suami atau tidak)
 Zhahiriah : haram bila berada di bawah asuhan suami.
TENTANG MERTUA

 Jumhur : Keharaman mertua untuk dikawini oleh


bekas menantunya semata karena terjadinya akad
nikah antara mertua dan ibu/ayah menantunya, tanpa
melihat apakah sudah dukhul atau belum.
MASALAH MUSHAHARAH

 Apakah zina menyebabkan hubungan mushaharah ?


 Sebab ikhtilaf : lafal yang muncul dalam ayat tersebut
(QS. An-Nisa’: 22-23) adalah “nikah”.
 Jumhur : zina tidak menyebabkan hubungan
mushaharah.
 Syafi’iyah : secara hukum tidak halangan laki-laki
mengawini anak hasil zinanya sendiri.
 Hanafiyah dan Syi’ah : zina menyebabkan hubungan
musharah.
HARAM KARENA LI’AN

 Setelah berlangsung proses li’an antara suami istri,


terjadilah perpisahan antara suami istri dan untuk
selanjutnya putus hubungan perkawinan selama-
lamanya (bekas suami istri itu tidak boleh saling
menikahi lagi selama-lamanya apapun kondisinya)
MAHRAM MUAQQAT

1. Mengawini dua orang saudara dalam satu


waktu (QS. Al-Nisa’ : 23)
2. Poligami di luar batas
3. Perempuan masih dalam ikatan perkawinan
4. Perempuan dalam masa ‘iddah
5. Adanya talak ba-in
6. Sedang ihram
7. Beda agama
RUKUN, WALI,
DAN SAKSI NIKAH
RUKUN NIKAH

 Calon mempelai laki-laki


 Calon mempelai perempuan
 Wali (dari mempelai perempuan)
 Saksi (dua orang)
 Akad (ijab dan kabul)
Catatan: Mahar tidak termasuk rukun, tapi termasuk
syarat.
SYARAT CALON MEMPELAI

 Jelas identitasnya
 Sama-sama beragama Islam
 Tidak terlarang melangsungkan perkawinan
 Adanya persetujuan kedua belah pihak
 Telah mencapai usia yang layak (dewasa secara fisik
dan psikis)
WALI NIKAH
PENGERTIAN WALI

 Wali (secara umum) : seseorang yang karena


kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap
dan atas nama orang lain.
 Alasannya : orang lain itu memiliki suatu kekurangan
pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak
sendiri secara hukum.
WALI NIKAH

 Wali Nikah : Seseorang yang bertindak atas nama


mempelai perempuan dalam akad nikah.
 Jumhur : wali harus ada. Hanafiyah dan Syi’ah
Imamiyah : wali tidak diperlukan bagi perempuan
dewasa dan sehat akal.
DASAR HUKUM WALI NIKAH

Hadits Nabi SAW :


 “Tidak sah nikah tanpa adanya wali” (HR. Ahmad dan
Ibn Majah).
 “Siapapun wanita yang menikah tanpa ijin walinya,
maka nikahnya itu batal” (Diriwayatkan oleh Zuhri
dari Aisyah)
 “Tidak boleh seorang wanita mengawinkan wanita
lain, dan tidak boleh seorang wanita mengawinkan
dirinya sendiri” (HR. Ibn Majah dan Daruqutni).
 “(penguasa) bertindak sebagai wali bagi orang yang
tidak punya wali” (HR. Ahmad, Ibn Majah dan
Daruqutni).
 “Janda lebih berhak atas dirinya sendiri
daripada walinya, sedangkan gadis dimintai
izinya, dan izinnya adalah diamnya” (HR.
Bukhari).
 Bagi janda : wali tidak harus ada dalam
perkawinan.
 Bagi gadis : wali diperlukan, tetapi pernikahan
itu juga atas persetujuan calon mempelai
wanita.
 Wali nikah ditunjuk berdasarkan urutan kedekatan
kekerabatan (paling dekat hubungan darah/wali
aqrab)
 Malik dan Syafi’i : wali nikah adalah ahli waris yang
diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu
TERTIB WALI NIKAH

1. Ayah
2. Kakek (ayah dari ayah)
3. Saudara laki-laki (sekandung atau seayah)
4. Saudara laki-laki ayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
6. Anak laki-laki dari saudara laki ayah
7. Saudara laki-laki kakek
8. Anak laki dari saudara laki kakek
 Apabila masih ada wali yang lebih dekat (aqrab),
perwalian tidak boleh dilakukan oleh wali yang lebih
jauh (ab’ad)
 Bila wali aqrab ghaib, hak kewalian berpindah ke wali
berikutnya (Abu Hanifah).
 Syafi’i : hak perwalian jatuh kepada hakim.
MACAM-MACAM WALI NIKAH

 Wali Nasab : wali yang punya hubungan kekeluargaan


dengan perempuan yang akan kawin.
 Wali Hakim : orang yang menjadi wali dalam
kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
 Wali ‘Adhal : wali yang enggan (tidak mau)
menikahkan perempuan yang ada di bawah
perwaliannya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
 Wali Mujbir : wali yang punya hak ijbar yaitu
mengawinkan perempuan usia muda tanpa minta
persetujuan dari yang bersangkutan.
 Wali mujbir juga dapat mencegah perkawinan wanita
di bawah perwaliannya dengan calon pilihannya.
 Hak ijbar hanya ada pada ayah dan kakek.
 Hak ijbar hanya boleh digunakan dengan tujuan
kemaslahatan bagi calon mempelai wanita.
GUGURNYA HAK IJBAR

1. Tidak adanya kafa’ah di antara kedua calon


mempelai.
2. Adanya perselisihan dan pertentangan di antara
kedua calon mempelai.
3. Adanya perselisihan antara calon mempelai
perempuan dengan wali mujbirnya.
SYARAT WALI NIKAH

 Laki-laki
 Beragama Islam
 Dewasa dan sehat akal
 Merdeka
 Tidak di bawah pengampuan
 Adil
 Tidak sedang ihram
SAKSI NIKAH
SAKSI NIKAH

 Saksi nikah adalah orang yang


menyaksikan akad nikah secara
langsung.
 Saksi nikah dibutuhkan untuk
kepastian hukum dan menghindari
sanggahan dari pihak yang berakad.
‫‪QS. ATH-THALAQ : 2‬‬

‫وف‬ ‫ر‬
‫َِ ُ ٍ‬ ‫ع‬
‫ْ‬ ‫م‬ ‫ب‬ ‫ن‬‫َّ‬ ‫ُ‬
‫ه‬ ‫ُو‬
‫ك‬ ‫س‬‫ِ‬ ‫م‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫أ‬‫َ‬ ‫ف‬ ‫َّ‬
‫ن‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫ج‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫فَ ِإ َذا بَلَ ْغ َن أ‬
‫ش ِهدُواْ َذ َوى‬ ‫وف َوأ َ ْ‬‫أ َ ْو فَ ِارقُو ُه َّن ِب َم ْع ُر ٍ‬
‫ش َه ٰـ َدةَ ِ َّ ِ‬
‫لِل‬ ‫ع ْد ٍل ِ ِّمن ُك ْم َوأ َ ِقي ُمواْ ٱل َّ‬ ‫َ‬
QS. ATH-THALAQ : 2

“Apabila mereka (perempuan yang dicerai) telah


sampai masa iddahnya, hendaklah kamu tahan
mereka atau kamu lepaskan mereka dengan cara
yang baik, dan hendaklah kamu adakan dua saksi yang
adil di antara kamu, serta hendaknya persaksian itu
(dilakukan) karena Allah”
HADITS

 “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua


orang saksi yang adil” (HR. Daruqutni).
 “Pelacur adalah mereka yang menikahkan dirinya
tanpa bukti” (HR. Tirmidzi).
KEDUDUKAN SAKSI NIKAH

 Syafi’iyah dan Hanabilah : rukun nikah.


 Hanafiyah dan Zhahiriyah : syarat nikah.
 Malikiyah : Saksi bukan merupakan keharusan, yang
penting adalah mengumumkan adanya perkawinan
tersebut.
SYARAT SAKSI NIKAH

 Laki-laki
 Minimal dua orang (Hanafiyah: boleh satu orang laki-
laki dan dua orang perempuan)
 Beragama Islam
 Adil
 Dapat melihat dan mendengar

Anda mungkin juga menyukai