Anda di halaman 1dari 18

Pendapat Para Ulama Hukum Islam Di Indonesia

Tentang Pernikahan Dini


Oleh: Muhammad Rizky Fauzi

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkawinan pada dasarnya ialah kebutuhan makhluk hidup, dalam hal
untuk mempertahankan populasinya dan sebagai pemenuhan hasrat yang
menjadi sifat lahiriah setiap makhluk hidup yang ada dimuka bumi. Sebagai
pembeda antara manusia dan makhluk lainnya maka dibuatlah aturan sebagai
landasan mereka dalam melakukan proses perkawinan.
Pada kasus perkawinan, secara umum Islam telah mengatur tentang
hal-hal tersebut dengan detail, baik dari sebelum menjadi suami isteri,
prosesnya ijab kabul, bahkan setelah menjadi pasangan yang sah dalam
menjalankan kehidupan sebagai pasangan suami isteri. Perkawinan
merupakan sunnahtullah1 dan merupakan ibadah yang di senangi oleh Allah
swt.
Data dari United Nations Development Economic and Social Affairs
(UNDESA) tahun 2016 menunjukan Indonesia merupakan Negara ke-37
dengan jumlah perkawinan anak terbanyak di dunia yaitu sebesar 37%.
Sedangkan untuk level Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan kedua

1
Segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu
hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama
Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat
untuk sebagian orang dan mubah untuk segolongan yang lain. Dengan demikian itu menurut
mereka di tinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Baca: Abd. Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, Pertama (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 16

1
setelah Kamboja yaitu sekitar 23% atau 1 dari 4 perempuan sudah menikah
sebelum memasuki usia 18 tahun.2
Dari data tersebut maka sebagai akademisi dibidang hukum keluarga,
urgent materi pernikahan dini menjadi pembahasan pada kesempatan ini dan
menjadi bahan diskusi. Oleh karena itu penulis sebagai penanggung jawab
materi tersebut mencoba menyusun sebuah makalah yang berjudul
“Pernikahan Dini Menurut Hukum Perkawinan di Indonesia” dan juga salah
syarat dalam mendapatkan nilai pada perkuliahan Hukum Perkawinan dan
Waris.

2
BKKBN, “Perkawinan Anak di Indonesia Masih Tinggi”
https://www.bkkb.go.id/detailpost/perkawinaan-anak-di-indonesia-masih-tinggi, (diakses: 15
Februari 2020)

2
B. PEMBAHASAN
1. Pernikahan Dini
Perkawinan berasal dari bahasa Arab zawwaja dan nakaha. Kedua
kata ini yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan perkawinan antara
manusia (muslim). Kata nakaha berarti menghimpun, sedangkan zawwaja
berarti pasangan, dengan demikian dari sisi bahasa, perkawinan berarti
berhimpunnya 2 (dua) insane (orang) yang semula sendiri-sendiri menjadi
satu kesatuan.3
Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan
dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Allah
berfirman4:

َ َ َ ُ َ ُ َ ۡ ُ ُ ‫َ َ َ ۡ َ ۡ َ َٰ َ ُ ذ َ ذ‬ ‫ُۡ َ َ ذ‬
‫س ِه ۡم َوم ذِها َل َي ۡعل ُهون‬
ِ ‫ت ٱۡلۡرض َون ِۡو أىف‬ِ ‫سبحَٰو ٱَّلِي خلق ٱۡلزوج ُكها مِها تۢنب‬
Terjemahan:
“Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S. 36, Yasin: 36).5

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada


BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorrang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk jeluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.6

3
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan; Menurut Hukum Perkawinan Islam
Dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2015). Hal. 1
4
H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Edisi Kedu
(Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Hal. 1
5
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahannya, ed. Tim Editor Darus
Sunnah (Jakarta Timur: CV Darus Sunnah, 2002). Hal. 443
6
Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 1
(Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2011). Hal. 30

3
Anak adalah yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 7 Sehubungan dengan perkawinan,
maka batasan untuk melangsungkan perkawinan hendaknya telah memiliki
kematangan biologis dan psikologis. Hal ini dikarenakan perkawinan
memiliki hakikat yang bertujuan untuk mensejahterakan, dan menghindari
hal-hal yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi mereka sebagai pelaku
(perkawinan) dan lingkungan yang berada disekitarnya.
Kitab-kitab Islam klasik mengistilahkan perkawinan usia muda dengan
istilah nikah al-saghir atau al-saghirah, kebalikannya adalah al-kabir atau al-
kakabirah, dan dalam kitab fiqih baru menyebutkan dengan istilah al-zawaj
al-mubakhir (perkawinan usia muda). Saghir atau saghirah, secara literal
berarti kecil, tetapi yang dimaksud di sini adalah laki-laki dan perempuan
yang belum baligh 8 . Dengan demikian perkawinan usia muda adalah
perkawinan laki-laki dan perempuan yang belum baligh.9
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan apabila pihak pria sudah
mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun atau pihak wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.10 Namun dalam perkembangannya, pada tanggal
16 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan undang-

7
Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda
Dan Perkawinan Siri (Bandung: PT. Alumni, 2012). Hal. 63
8
Dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam bahwa seorang anak dikatakan baligh apabila laki-laki
telah bermimpi, sebagaimana telah disepakatiulama bahwa anak yang sudah bermimpi lantas
ia junub (keluar mani) maka dia telah baligh, sedangkan cirri-ciri wanita ketika sudah hamil
atau haidh maka itulah batasan-batasan baligh.Baca: Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan
Menurut Fukaha Dan Penerapannya Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Dunia Islam,”
Al-Adalah 7 (2015). Hal. 810
9
Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum Islam,”
Ahkam 17 (2017). Hal. 393
10
Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda
Dan Perkawinan Siri. Hal. 3

4
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khusus yang berkaitan dengan
batas usia menikah bagi wanita yang tadinya 16 tahun menjadi sepadan
dengan laki-laki yaitu 19 tahun.
Ayat-ayat tentang pernikahan dalam Al-Qur’an terdapat 23 ayat. Tapi
tidak ada ayat satupun yang menjelaskan batasan usia nikah. Namun jika
diteliti lebih lanjut, ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk
menikah ada dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu surat al-Nur [24]:32;11

ُ ‫كوىُوا ْ ُف َق َرا ٓ َء ُي ۡغيِه ُم ذ‬


ُ َ ُ َٓ ۡ ُ ‫ذ‬ ُ َۡ ْ ُ َ
‫ٱَّلل‬ ِ ‫ِإَونائِك ۡ ۚۡم إِن ي‬ َ ‫ح‬
‫ني ن ِۡو ع َِبادِكم‬ ِ ِ ‫َم نِيك ۡم َوٱلصَٰل‬ َٰ َ َٰ ‫حوا ٱۡل َي‬ ِ ‫َوأى‬
‫ك‬
ُ ‫نِو فَ ۡضلًِِۦ َو ذ‬
ٞ ‫ٱَّلل َوَٰس ٌِع َعل‬
‫ِيم‬ ۗ
Terjemahan:
“Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendiriandi antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah
Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. 24, An-Nur
Ayat 32) 12

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini adalah sebuah perintah
untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian ulama mewajibkan nikah bagi
mereka yang mampu. Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dikutip oleh
mustofa, kalimat washalihin, para laki-laki dan perempuan yang mampu untuk
menikah dan menjalankan hak-hak suami isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai
harta dan lain-lain. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut “washalihin”, yaitu
seorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga,
bukan berarti yang taat beragama, karena fusngsi perkawinan memerlukan persiapan

11
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya
Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Dunia Islam.” Hal. 808-809
12
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Hal. 355

5
bukan hanya materi, tetapi juga persiapan mental maupun spiritual, baik dari calon
lelaki maupun calon perempuan. 13
Kitab-kitab Islam klasik mengistilahkan perkawinan usia muda dengan
istilah nikah al-saghir atau al-saghirah, kebalikannya adalah al-kabir atau al-
kakabirah, dan dalam kitab fiqih baru menyebutkan dengan istilah al-zawaj
al-mubakhir (perkawinan usia muda). Saghir atau saghirah, secara literal
berarti kecil, tetapi yang dimaksud di sini adalah laki-laki dan perempuan
yang belum baligh. Dengan demikian perkawinan usia muda adalah
perkawinan laki-laki dan perempuan yang belum baligh.14
Islam memang tidak mengenal batas usia untuk menikah, melainkan
15
cukup dengan memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Hal itu
dimaksudkan untuk menekan rasio nafsu sahwat serendah mungkin, integrasi
sosial, kemajemukan rasial dalam masyarakat serta meninggikan nilai
keperawanan dan kemurnian seksual.16
Abu Hanifah mengatakan, bahwa ‫ ﺃﺸﺪﻩ‬dalam ayat 152 surat al-An-am
dimaknai dewasa itu adalah dewasa dan matang, yaitu pada umru 18 tahun
bagi laki-laki dan 17 bagi perempuan, yaitu dikurangi 1 (satu) tahun, karena
biasanya perempuan lebih cepat dewasa dari pada laki-laki, maka usia
dewasanya lebih rendah dari anak laki-laki. Adapun yang dimaksud dengan
dewasa dalam istilah rusydan (‫)ﺮﺸﺩﺍ‬, yaitu sanggupbertindak dengan baik

13
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya
Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Dunia Islam.” Hal. 809
14
Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum Islam.”
Hal. 393
15
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu; syarat yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi
sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu; dan sah yaitu suatu pekerjaan
(ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Baca: (Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat.
Hal. 45-46)
16
Hammudah Abd Al ’Ati, Keluarga Muslim (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984). Hal.
96

6
dalam mengurus harta dan menafkahkan harta itu sesuai dengan kal yang
sehat, tindakan yang bijaksana, dan sesuai dengan peraturan agama, dan hal
ini berbeda-beda menurut keadaan anak serta perkembangan masa. Apa yang
ditetapkan oleh para ulama itu hanya standar relatif dan pelaksanaannya
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim di suatu daerah.17
Sekalipun ulama Syafi’iyah dan Hanifah menerima tanda-tanda
baligh/balighah dengan menstruasi atau haidbagi perempuan dan ihtilam,
yakni keluarnya sperma (air mani) bagi laki-laki. Namun tanda-tanda itu tidak
sama untuk semua orang sehingga baligh ditentukan dengan umur, yakni 15
tahun. Al-Syafi’i menyatakan baligh antara laki-laki dan perempuan dalam
usia 15 tahun karena baligh itu ditentukan berdasarkan akal, karena dengan
akallah taklif terjadi, dan karena ada akallah pula terjadinya hukum. 18
Menurut Imam Malik, usia baligh adalah 18 tahun, baik laki-laki
maupun perempuan, dengan argumen: “bahwa ketentuan baligh menurut
syara’ adalah “mimpi”. Karena berdasarkan hukum pada mimpi itu saja, bila
berusia 18 tahun tidak deharapkannya datangnya mimpi lagi. Pada umumnya
pada usia 15 tahun sampai 18 tahun masih diharapkan datangnya mimpi,
dengan demikian ditetapkanlah bahwa baligh itu pada usia 18 tahun.19
“Wahai para pemuda, barang siapa dari kalian yang mampu ongkos
nikah, maka hendaklah ia menikah, karena itu lebih bisa memenjamkan mata
dan menjaga farji”. (H.R. Muslim dan Bukhari). “Pemuda” dalam hadits,
menurut an-Nawawi dalam Syarah Muslim (IX/172) adalah orang yang baligh
sampai umur 30 tahun.20

17
Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum Islam.”
Hal. 398
18
Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum Islam.”
19
Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum Islam.”
Hal. 399
20
Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Menurut Hadits Dan Dampaknya,” Living Hadis 3
(2018). Hal 53

7
Kematangan fisik dan mental menjadi dasar utama dalam
melangsungkan perkawinan, sebagaimana tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu
(1) Melestarikan keturunan, (2) menyalurkan libido 21 yang berbahaya bila
dikekang, dan (3) meraih kenikmatan (syurga). 22
Dari beberapa tujuan tersebut maka akan menimbulkan pro kontra
dengan pelaksanaan pernikahan dini, pada bagian pertama disebutkan bahwa
pernikahan bertujuan untuk melestarikan keturunan, akan tetapi kesiapan fisik
sangat berpengaruh pada keturunan dan terutama bagi perempuan sebagai ibu
yang melahirkan begitupula pada bagian kedua yang merupakan salah satu
alasan umumbagi mereka dalam melangsungkan pernikahan.
Kesiapan fisik yang dimaksud disini ialah kesiapan baik dari segi
umur maupun kesehatan, secara medis pada kehamilan ibu usia muda (kurang
dari 20 tahun) dapat beresiko terhadap proses melahirkan.23 Kesehatan juga
dapat berpengaruh, apabila seorang calon suami atau isteri yang mengidap
penyakit tertentu dan melangsungkan perkawinan dan pernyakit tersebut
diketahui pasca pernikahan, dan ada dari mereka yang tidak menerima hal
tersebut maka dapat menimbulakan pertikaian bahkan berujung perceraian.
Pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang diajukan oleh kedua

21
Libido yang dimaksud disini diartikan sebagai gairah seksual, dikatakan berbahaya
karena jika seorang pemuda terus menekan libidonya maka pemuda tersebut akan
memungkinkan melakukan perbuatan yang menyimpang untuk memenuhi hasrat tersebut.
22
Wahba Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2 (Jakarta Timur: PT Niaga Swadaya, 2008).
Hal. 452
23
Kehamilan yang dialami oleh ibu pada usia dibawah 20 tahun memungkinkan
terjadinya resiko seprti terjadinya persalinan yang sulit dengan segala komplikasinya,
memungkinkan terjadinya kegagalan pemberian asi dan tidak optimalnya perawatan bayi,
yang akhirnya berdampak pada angka kesakitan dan kematian bayi. Baca: Tarmizi Taher,
Tulus, Abdul Fatah,dkk, Membangun Keluarga Sehat Dan Sakinah Panduan Bagi Penyuluh
Agama, Cet. Kedua (Jakarta: Tim Mitra Abadi, 2008). Hal. 55-46

8
orang tua pihak pria maupun pihak wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun.
Aturan tersebut tidak lepas dari sebab terjadinya perkawinan di bawah
umur, tidak adanya sanksi yang mengatur hal tersebut mengakibatkan praktik
nikah sebelum waktu yang semestinya menjadi kebiasaan yang bukan lagi hal
tabu bagi masyarakat khususnya daerah pedesaan. Ketentuan yang seharusnya
menjadi pegangan masyarakat dalam melangsungkan perkawinan justru
menjadi problem yang saat ini dihadapi. Keluasan dalam mengajukan
permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama termasuk perkawinan di bawah
umur adalah bukti konkrit dari ketentuan yang tidak adanya memuat syarat-
syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah.
2. Penyebab Pernikahan Dini
Hal-hal yang dapat mempengaruhi perkawinan usia muda seperti
ekonomi, pendidikan, budaya (adat), maupun akibat dari pergaulan bebas.24
Dari segi ekonomi, keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan,
sehingga dengan menikahkan salah satu anak perempuannya sekalipun masih
belia, akan cukup meringankan beban orang tuanya khususnya dari segi
ekonomi.25
Dari segi pendidikan, pengetahuan yang minim mengenai hukum,
tujuan, manfaat dan bahaya pernikahan usia muda juga menjadi salah satu
faktor terjadinya pernikahan dibawah umur, bahkan masih banyak masyarakat
Indonesia terutama di daerah-daerah pedesaan yang tidak memiliki
pendidikan menyebabkan pernikahan adalah salah satu tujuan selain bekerja,
mana hal tersebut dikarenakan tidak adanya beban pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya.

24
Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda
Dan Perkawinan Siri. Hal. 111
25
Dwi Rifiani, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam,” Syariah Dan
Hukum 3 (2011). Hal. 126

9
Dari segi budaya atau kebiasaan, Indonesia dikenal dengan
masyarakatnya yang heterogen, yang mana setiap kebijakan selalu berkaitan
dengan adat kebiasaan, tidak ada patokan umur kedewasaan, dalam hal
perkawinan khususnya, bagi pihak perempuan kedewasaan di ukur dari telah
terjadinya haid dan laki-laki ditandai dengan sudah bisanya bekerja (kuat
gawe), sementara untuk urusan financial atau pekerjaan dan hal-hal yang
berkaitan dengan kesiapan fisik dan lain-lain bisa mengikut seiringnya
berjalannya waktu.
Dari segi pergaulan bebas, perkembangan zaman menuntut berbagai
pihak mengikutinya, tidak terkecuali anak-anak. Dewasa ini melihat anak
berseragam merah putih menggunakan smartphone sudah bukan lagi hal tabu
bagi kita, mulai dari perkenalan dengan media sosial dan bahkan kebebasan
anak dalam mengakses internet, sosial media pada dasarnya memudahkan
penggunanya dalam mencari informasi, akan tetapi tidak sedikit pula yang
menyalahgunakannya. Berita, konten, dan hal-hal lainnya yang berbau negatif
telah menjadi konsumsi sebagian masyarakat dan juga anak-anak, contohnya
pornografi, menurut Prof. Dadang Hawari, dari segi psikologis, pornografi
mengakibatkan lemahnya fungsi pengendalian diri, terutama terhadap naluri
agresifitas fisik maupun seksual. Pornografi dapat memicu dan merupakan
profokator tindakan-tindakan sebagai akibat lepasnya kontrol diri. Oleh
karena itu, provokasi pornografi yang terbuka, terus menerus melampaui batas
seperti keadaan dewasa ini, akan berdampak pada beberapa hal berikut;
1. Perzinaan makin meningkat
2. Perselingkuhan semakin meningkat
3. Pergaulan bebas semakin meningkat
4. Kehamilan diluar nikah semakin meningkat
5. Aborsi semakin meningkat
6. Anak yang dilahirkan diluar nikah semakin meningkat
7. Penyakit kelamin, termasuk AIDS semakin meningkat

10
8. Kekerasan seksual (perkosaan) semakin meningkat.26
Dari faktor-faktor tersebut adapula faktor dari aturan atau undang-
undang yang berlaku di Indonesia yaitu, Pada pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain, yang diajukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Aturan tersebut tidak lepas dari faktor penyebab terjadinya perkawinan
di bawah umur, tidak adanya sanksi yang mengatur mengakibatkan praktik
nikah dapat dilakukan sebelum waktu yang semestinya. Ketentuan yang
seharusnya menjadi pegangan masyarakat dalam melangsungkan perkawinan
justru menjadi problem yang saat ini dihadapi. Keluasan dalam mengajukan
permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama termasuk perkawinan di bawah
umur adalah bukti konkrit dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah.
3. Pengaruh Pernikahan Dini
Setiap kejadian pasti memiliki dampak terhadap sesuatu, baik positif
maupun negatif, begitu juga dengan terjadinya pernikahan dini. Berdasarkan
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia
tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua
teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia
berusia dibawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu
diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.27
Dampak positif dari pernikahan dini ialah:
1) Meminalisir terjadinya perbuatan asusiala dan terjadinya
penyimpangan dikalangan muda mudi;

26
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta selatan:
Ghalia Indonesia, 2010). Hal. 141
27
Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Menurut Hadits Dan Dampaknya.”

11
2) Apabila jarak usia orang tua dan anak berdekatan, maka ketika
anaknya membutuhkan perhatian dalam hal biaya pendidikan,
diharapkan orang tuanya masih sehat wal afiyat dalam menunaikan
kewajiban tersebut;
3) Saat belum menikah anak-anak muda senantiasa dihinggapi
pikiran-pikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan
menjadi tujuan yang paling pentingdengan lawan jenisnya. Karena
itu untuk menghindari dampak negatif, maka keputusan untuk
melakukan pernikahan dini dabenarkan;
4) Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan bagi
perempuan yang menikah muda akan lebih tinggi kemungkinannya
dibandingkan dengan pernikahan yang dilakukan di usia yang
“sangat matang”;
5) Meningkatkan populasi umat Islam karena rentang masa
produktifnya yang sedemikian panjang memungkinkan
menghasilkan keturunan yang jauh lebih banyak.
6) Meringankan beban orang tua yang terlalu fakir
7) Kemandirian sepasang suami siteri untuk memikul tanggung
jawabnya sendiri tanpa menjadi tanggungan orang lain.28
Dampak Negatif Pernikahan Dini
1) Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi
hamil dan melahirkan, inilah salah satu penyebab tingginya
kematian ibu dan bayi
2) Kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih
tinggi. Pada kondisi tertentu, anak yang melakukan pernikahan
dini cenderung tidak memperhatikan pendidikanya, apalagi ketika
menikah langsung memperoleh keturunan. Ia akan disibukan
mengurus anak dan keluarganya, sehingga hal ini dapat

28
Dwi Rifiani, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam.” Hal. 132

12
menghambatnya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi.
3) Interaksi dengan lingkungan teman sebaya berkurang.
Bagaimanapun status baik sebagai suami istri turut memberikan
kontribusi dalam berinteraksi sosial dengan lingkunganya. Bagi
pasangan pernikahan dini, hal ini dapat berpengaruh dalam
berhubungan dengan teman sebaya. Mereka akan merasa canggung
dan enggan bergaul dengan teman sebayanya.
4) Sempitnya peluang mendapatkan kesempatan kerjayang otomatis
mengkekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena
pendidikan yang minim)
5) Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik. Dan akhirnya akan membawa
penderitaan.
6) Pernikahan usia dini salit mendapatkan keturutan yang baik dan
sehat karena rentan penyakit.
7) Kekerasan rumah tangga akan banyak terjadi
8) Bagi anak yang dilahirkan, saat anak bertumbuh mengalami proses
kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang
dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit
naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta
beresiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
9) Akan terganggunya kesehatan reproduksi. Kehamilan pada usia
kurang dari 17 tahunmeningkatkan resiko komplikasi medis, baik
pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda
ini ternyata berkolerasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu.
Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun beresiko
limakali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun, sementara resiko ini meningkat dua
kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan
organ reproduksi anak belum berkembang dengan baik. Dan
panggul belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun
2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini
disertai dengan komlikasi kronik, yaitu obstetric fistula.
Fistulamerupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang
menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Selain

13
itu, juga meningkatkan resiko penyakit menular seksual dan
penularan infeksi HIV.29
Dampak Negatif menunda pernikahan:
1) Wanita hamil beresiko tinggi bagi mereka yang kehamilan pertama
dialami pada usia tertentu yang terus menunda pernikahan
sehingga akan membahayakan bagi ibu hamil maupun bagi bayi
yang dikandungnya;
2) Mengakibatkan keengganan atau lemahnya semangat para pemuda
untuk menikah sehingga fenomena hidup melajang menjadi salah
satu pilihan atau gaya hidup karena sudah merasa mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa perlu ada orang lain
mendampingi hidupnya sebagai pasangan hidup;
3) Semakin mundur usia nikah semakin menurun semangat orang
untuk menikah dan ini benyak terjadi di negara-negara barat,
sehingga banyak perempuan melahirkan anak tanpa proses
pernikahan. Mereka lebih memilih hamil dengan cara inseminasi
buatan dengan spel sperma
4) Kanker payudara dan hamil lebih kecil prosentasenya bagi wanita
yang hamil di usia muda dari pada mereka yang hamil pada usia
yang sangat matan;
5) Kehamilan diluar rahim bagi wanita berusia sangat matang
kemungkinannya lebih besar dari pada waita yang berusia antara
15-24 tahun;
6) Ilmuwan amerika mengatakan bahwa perbandingan jumlah kasus
aborsi pada wanita di atas usia 35 tahun lebih banyak 3 sampai 4
kali dibandingkan dengan wanita yang hamil dibawah usia
tersebut;

29
Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Menurut Hadits Dan Dampaknya.” Hal. 64-65

14
7) Operasi caesar, kelahiran prematur, cacat fisik, kematian janin di
dalam rahim sebelum lahir, akan lebih besar kemungkinannya
ketika usia ibu hamil semakin banyak bertambah.30

30
Dwi Rifiani, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam.” Hal. 133

15
C. PENUTUP
Perkawinan merupakan suatu ibadah, dan setiap orang
memiliki pengaruh hukum terhadap dirinya sendiri mengenai perkawinan.
Dari berbagai pendapat Imam ataupun ulama, pernikahan di usia muda
relatif tapi lebih memberatkan terhadap kondisi baligh dan berakal,
sedangkan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu undang-undang,
ditentukan umur bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun, walaupun
realitanya masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur.
Perkawinan usia muda memiliki dampak negatif dan positif,
dan akan selalu menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat pada
umumnya.
Sekian pembahasan untuk materi yang dapat penulis paparkan
dalam tulisan ini, penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam
penulisan ini, oleh karenanya kritik dan saran sangat diharapkan demi
penambahan wawasan baik dari segi materi maupun penyusunan karya
tulis.
Terima kasih, wassalam.
TTd. Muhammad Rizky Sugiono

16
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Pertama (Jakarta: Kencana, 2006).

Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia


Muda Dan Perkawinan Siri (Bandung: PT. Alumni, 2012).

Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya


Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Dunia Islam,” Al-Adalah 7 (2015).

Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,


Cet. 1 (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2011).

BKKBN, “Perkawinan Anak di Indonesia Masih Tinggi”


https://www.bkkb.go.id/detailpost/perkawinaan-anak-di-indonesia-masih-tinggi,
(diakses: 15 Februari 2020)

Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahannya, ed. Tim Editor


Darus Sunnah (Jakarta Timur: CV Darus Sunnah, 2002).

Dwi Rifiani, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam,” Syariah Dan
Hukum 3 (2011).

Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Menurut Hadits Dan Dampaknya,” Living


Hadis 3 (2018).

Hammudah Abd Al ’Ati, Keluarga Muslim (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984).

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta selatan:


Ghalia Indonesia, 2010).

H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Edisi


Kedu (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).

Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan; Menurut Hukum Perkawinan


Islam Dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2015).

Moh. Ali Wafah, “Telaah Kritis Terhadap Usia Muda Menurut Hukum
Islam,” Ahkam 17 (2017).

17
Tarmizi Taher, Tulus, Abdul Fatah,dkk, Membangun Keluarga Sehat Dan
Sakinah Panduan Bagi Penyuluh Agama, Cet. Kedua (Jakarta: Tim Mitra Abadi,
2008).

Wahba Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2 (Jakarta Timur: PT Niaga Swadaya,


2008).

18

Anda mungkin juga menyukai