Anda di halaman 1dari 16

PERNIKAHAN DINI DALAM ISLAM

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Kewarga Negaraan

Dosen Pengampu:
KH. Rofiq Musa S.H.,M.H

Oleh:
Iing Ahsanus Syahirin (2021.01.01.1933)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR
SARANG REMBANG JAWA TENGAH
2022
PERNIKAHAN DINI DALAM ISLAM
Oleh: Iing Ahsanus Syahirin.

A. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik
sebelum maupun selaman perkawinan berlangsung. Setiap makhluk hidup
memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni
melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di
Indonesia.
Agama Islam mengisyaratkan perkawinan sebagai satu-satunya bentuk hidup
secara berpasangan yang dibenarkan dan dianjurkan untuk dikembangkan dalam
pembentukan keluarga. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, maka salah satu prinsip yang digariskan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa calon
suami isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.1

B. PERNIKAHAN DINI DALAM ISLAM


1. Pengertian Pernikahan Dini
Dalam kehidupan di dunia, Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-
pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan berkasih sayang
untuk meneruskan keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial mesti
memerlukan pendamping, oleh sebab itu manusia membutuhkan yang namanya
perkawinan.
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 77.

1
Nikah berasal dari bahasa Arab yaitu nikāhun yang merupakan masdar atau
kata asal dari kata kerja nakaha, yang sinonim dengan tazawwaja, Jadi kata
nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul dan Kadang juga disebut al-dammu
wa al-jam’u atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh,
berkumpul dan akad.2 Dalam kitab lain dikatakan bahwa nikah adalah adh-
dhmmu wal-jam’u artinya bertindih dan berkumpul.3

Dalam pandangan hukum Islam perkawinan merupakan sebuah ibadah


yang dilakukan oleh pemeluknya untuk menghindari perbuatan-perbuatan
maksiat. Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya
merupakan ibadah.

Pada dasarnya hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas
umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal
dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan, diasumsikan memberi
kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan
bahwa orang yang hendak melangsungkan perkawinan haruslah orang yang
siap dan mampu.
Allah berfirman dalam surah an-Nur ayat 32:

‫الصلِ ِحنْي َ ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َواَِماۤ ِٕى ُك ۗ ْم اِ ْن يَّ ُك ْونُ ْوا ُف َقَراۤءَ يُ ْغنِ ِه ُم ال ٰلّهُ ِم ْن‬ ِ ِ
ّٰ ‫َواَنْك ُحوا ااْل َيَا ٰمى مْن ُك ْم َو‬
‫ضلِهٖۗ َوال ٰلّهُ َو ِاس ٌع َعلِْي ٌم‬
ْ َ‫ف‬

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui.4

2
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), VII: 29.
3
Muhammad Ibnu Qasim al Ghozi, Fathul Qorib al Mujib Fi Syarhi al Fadzi At Taqrib, (Lebanon:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2015), 89.
4
Surah an-Nur ayat 32.

2
Ayat di atas memberitahukan bahwa Allah menyeru kepada wali agar
mengawinkan orang-orang yang masih sendirian (pria yang belum beristeri
dan wanita yang belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Begitu
juga terhadap hamba sahaya. Anjuran di sini tidak terbatas pada suatu kondisi
tertentu tetapi dalam segala kondisi bahkan orang dengan kondisi ekonomi
lemah, karena Allah yang akan memampukan mereka (untuk kawin) dengan
karunia-Nya. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud layak adalah
kemampuan biologis, artinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan
keturunan.

Sedangkan pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh


seseorang laki-laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih di
bawah batas minimum yang diatur oleh ndang-undang dan kedua calon
mempelai tersebut belum siap secara lahir maupun batin, serta kedua calon
mempelai tersebut belum mempunyai mental yang matang dan juga ada
kemungkinan belum siap dalam hal materi.

Dalam pasal 4 kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan sah


apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 15
menjelaskan bahwa untuk mencapai kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur sesuai dengan ketetapan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1
tahun 1974 yaitu bagi laki-laki berusia sekurang-kurangnya 16 tahun.

Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan


berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak
menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima
pembebanan hukum Islam. MUI mempertimbangkan semua pandangan ulama
soal hukum pernikahan dini. Ada beberapa perbedaan pendapat soal
kebolehan pernikahan ini, jumhur ulama fikih, papar MUI, sebenarnya tak
mempermasalahkan soal pernikahan usia dini.

3
Sementara Ibn Hazm memilih hukum nikah usia dini pada lelaki dan
perempuan, pernikahan usia dini pada perempuan yang masih kecil oleh orang
tua atau walinya diperbolehkan. Sementara pernikahan dini untuk anak lelaki
tidak diperbolehkan. Pendapat berbeda diungkapkan oleh Ibnu Syubrumah
dan Abu Bakar al-Asham, mereka berpendapat bahwa pernikahan dini
hukumnya terlarang. Pendapat yang terdapat dalam Fathul Bari ini
menyebutkan kebolehan nikah dini merujuk pada pernikahan Nabi dan
Aisyah, maka hal tersebut adalah sebuah kekhususan. Praktik pernikahan
tersebut hanya dikhususkan untuk nabi dan tidak untuk umatnya.

2. Usia Ideal Berkeluarga dalam Islam


Dalam urusan pernikahan, hakikatnya semua manusia memiliki hak yang
sama untuk menentukan pernikahan dan pasangan yang ingin dinikahi. Sebab,
asas demokratis menentang adanya paksaan dalam perkawinan. Namun,
berlakunya hak pernikahan tersebut juga harus mempertimbangkan beberapa
aspek, salah satunya yaitu usia dalam pernikahan. Dalam fikih perlindungan
anak disebutkan bahwa meskipun seorang anak mempunyai artihak
pernikahan, namun hak tersebut belum berlaku apabila anak belum mencapai
pada usia nikah. Orang tua berkewajiban untuk tidak menikahkan anaknya
meski pernikahan tersebut atas keinginan anak itu sendiri, terlebih jika
pernikahan tersebut adalah paksaan dari orangtuanya.
Pentingnya kematangan usia ini tersirat dalam QS. An-Nisa ayat 6:

‫َو ْابَتلُوا الْيَت ٰٰمى َحىّٰت ٓى اِ َذا َبلَغُوا النِّ َكا ۚ َح فَاِ ْن اٰنَ ْستُ ْم ِّمْن ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْاد َفعُ ْٓوا اِلَْي ِه ْم اَْم َواهَلُ ْم ۚ َواَل‬

‫ف ۚ َو َم ْن َكا َن فَِقْيًرا َف ْليَْأ ُك ْل‬ ِ ِ


ْ ‫تَْأ ُكلُ ْو َهٓا ا ْسَرافًا َّوبِ َد ًارا اَ ْن يَّكَْبُر ْوا ۗ َو َم ْن َكا َن َغنِيًّا َف ْليَ ْسَت ْعف‬

‫ف ۗ فَاِ َذا َد َف ْعتُ ْم اِلَْي ِه ْم اَْم َواهَلُ ْم فَاَ ْش ِه ُد ْوا َعلَْي ِه ْم ۗ َو َك ٰفى بِال ٰلّ ِه َح ِسْيبًا‬
ِ ‫بِالْمعرو‬
ْ ُْ َ

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu
memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara

4
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu
menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas.5

Berdasarkan sumber normatif ini, maka umur pernikahan anak yang ideal
adalah sesudah 21 tahun dan tidak dianjurkan sebelum 18 tahun. Hal ini
sejalan dengan tujuan syariat Islam yaitu menjaga keturunan, antara lain
menegaskan tentang pentingnya memiliki kesiapan fisik, psikis, ekonomi dan
sosial.

Dilihat dari hukum umum, maka kewajiban dalam memenuhi syarat


persiapan pernikahan ditinjau dari fiqih pernikahan, maka setidaknya diukur
dalam tiga hal yakni:

a. Kesiapan Ilmu
Kesiapan ilmu adalah kesiapan pemahaman dalam hukum hukum fiqih
yang berhubungan dengan pernikahan, baik hukum sebelum menikah
seperti hukum khitbah atau melamar, hukum pada saat menikah seperti
syarat dan rukun aqad nikah dan juga kehidupan setelah menikah yakni
hukum nafkah, talak serta ruju’. Syarat pertama ini didasari dengan prinsip
jika fardhu ain hukumnya untuk seorang muslim mengetahui apa saja
hukum hukum perbuatan yang dilakukan sehari hari atau yang akan segera
dilakukan.
b. Kesiapan Materi
Kesiapan materi atau harta terdiri dari dua jenis yakni harta sebagai mahar
atau mas kawin dan juga harta sebagai kewajiban laki laki setelah menikah
yakni nafkah suami pada istri untuk memenuhi segala kebutuhan primer,
sandang, pangan dan papan. Mengenai mahar sebetulnya bukan mutlak
berupa harta akan tetapi juga dapat berupa manfaat yang diberikan suami
pada istri seperti mengajarkan ilmu pada istri. Sementara kebutuhan primer

5
Surah an-Nissa’:6.

5
adalah wajib diberikan dalam kadar yang layak atau bi al ma’ruf yakni
setara dengan nafkah yang diberikan pada wanita.
c. Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik khususnya untuk laki laki adalah bisa menjalani tugasnya
sebagai seorang laki laki alias tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam
kitabnya Subulus Salam berkata, “al-ba`ah dalam hadits anjuran menikah
untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’.6 Dapat disimpulkan
bahwa usia yang ideal untuk menikah yaitu apabila seseorag sudah bisa
atau mampu memenuhi syarat ketiga diatas.
3. Pengaruh Usia pada Pernikahan dalam Islam
usia perkawinan sangatlah penting, ada beberapa aspek dilihat jikalau orang
menikah dini:
a. Segi Fisik
Dilihat dari segi fisik, sang pria belum cukup mampu dibebani suatu
pekerjaan yang membutuhkan keterampilan fisik untuk memperoleh
penghasilan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Padahal faktor
ekonomi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kesejahteraan
dan kebahagiaan rumah tangga. Bagi wanita akan dihadapkan pada
pekerjaan rumah tangga yang tentu saja menguras tenaga terutama apabila
mempunyai anak.
b. Segi Mental
Sang pengantin belum siap bertanggung jawab secara moral pada setiap
perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami
goncangan mental karena masih memiliki mental yang labil dan belum
matang emosionalnya.
c. Segi Kesehatan
Pasangan rentan dengan resiko yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi seperti kematia ibu maupun kematian bayi, serta rendahnya
derajat kesehatan ibu dan anak.
d. Segi Kelangsungan Rumah Tangga

6
Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i Fi al-Islam, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1990), 3:163.

6
Kedewasaan yang kurang matang, labilnya emosional serta tingkat
kemandirian yang rendah menyebabkan peluang perceraian semakin besar.7
e. Segi Pendidikan
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan
yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak
tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu
sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang
diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi
tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah. Pola lainnya yaitu
karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan
kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab orangtua
menghidupi anak tersebut kepada pasangannya.8
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini
Beberapa faktor terjadinya pernikahan dini sangat bervariasi diantaranya
adalah karena faktor ekonomi, perjodohan, ingin melanggengkan hubungan,
dan karena faktor yang tidak ingin dikehendaki yaitu MBA (married by
accident) menikah karena kecelakaan. Dalam hal ini, sepasang lelaki dan
perempuan terpaksa menikah di usia muda (pernikahan dini) karena perempuan
telah hamil di luar nikah. Dalam rangka memperjelas status anak yang
dikandung, maka dilakukan pernikahan antara keduanya. Meskipun hal ini akan
berdampak negatif bagi keduanya, terutama jika keduanya masih berstatus
sebagai pelajar dan belum bekerja, sehingga pasangan pengantin baru ini akan
rawan terjafi percekcokan yang berawal dari munculnya masalah kecil. Berikut
adalah beberapa faktor pernikahan dini,
a. Faktor ekonomi
Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
pernikahan dini, keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi akan
cenderung menikahkan anaknya pada usia muda untuk melakukan
pernikahan dini. Pernikahan ini diharapkan menjadi solusi bagi kesulitan

7
Labib MZ, Risalah Nikah, Talak, dan Rujuk, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya,2006), 36.
8
Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty, 2009, Pernikahan Dini Dan Permasalahannya, Jurnal Sari Pediatri,
FK UNPAD, Bandung, Vol.11, 138.

7
ekonomi keluarga, dengan pernikahan diharapakan mengurangi beban
ekonomi keluarga. Sehingga dapat sedikit mengatasi kesulitan ekonomi.
Disamping itu, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menyebabkan
orang tua tidak mampu mencukupi kehidupan anaknya dan tidak mampu
membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan
anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai
kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa memperoleh
penghidupan yang lebih baik.
b. Faktor orang tua
Pada sisi lain, terjadinyapernikhan dini juga dapat disebabkan
karenapengaruh bahkan paksaan orang tua. Ada beberapa alasan orang tua
menikahkan anaknya secara dini, karena kuatir anaknya terjerumus dengan
pergaulan bebas dan berakibat negatif. Karena ingin melanggengkan
hubungan dengan relasinya derngan cara menjodohkan anaknya. Juga
mejodohkan dengan anak saudaranya supaya hartanya tidak jatuh di tangan
orang lain, tetapi tetap di pegang oleh keluarga.
c. Faktor kecelakaan
Terjadinya hamil di luar nikah, karena anak anak melakukan hubungan
yang melanggar norma, memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini,
guna memperjelas status anak yang dikandung. Pernikahan ini memaksa
mereka menikah dan bertanggung jawab untuk berperan sebagai suami istri
serta menjadi ayah dan ibu, sehingga hal ini akan berdampak dengan
penuaan dini, karenamerekabelum siap lahir dan batin. Disamping itu,
dengan kehamilan diluar nikah dan ketakutan orang tua akan hamil diluar
nikah mendorong anaknya untuk menikah di usia yang masih belia.
d. Faktor melanggengkan hubungan
Pernikahan dini dalam hal ini sengaja dilakukan yang sudah disiapkan
semua, karena dilakukan dalam rangka melanggegkan hubungan yang
terjalin antara keduanya. Hal ini menyebabkan mereka menikah di usia belia
(pernikahan dini), agar statusnya ada kepastian. Selain itu, pernikahan ini
dilakukan dalam rangka menghindari dari perbuatan yang tidak sesuai

8
dengan norma agama dan masyarakat. Dengan pernikahan ini diharapkan
membawa dampak positif bagi keduanya.

e. Faktor tradisi keluarga ( kebiasaan nikah usia dini pada keluarga)


dikarenakan agar tidak dikatakan perawan tua) Pada beberapa keluarga
tertentu, dapat dilihat ada yang memiliki tradisi atau kebiasaan menikahkan
anaknya pada usia muda, dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga
anak anak yang ada pada keluarga tersebut secara otomatis akan mengikuti
tradisi tersebut. Pada keluarga yang menganut kebiasaan ini, biasanya di
dasarkan pada pengetahuan dan informasi yang diperoleh bahwa dalam
Islam tidak ada batasan usia untuk menikah yang penting adalah sudah
mumayyiz (baligh dan berakal), sehingga sudah selayaknya di nikahkan.
f. Faktor adat istiadat dan kebiasan setempat
Adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah
prosentase pernikahan dini di Indonesia. Misalnya keyakinan bahwa tidak
oleh menolak pinangan seseorang terhadap putrinya walaupun masih berusia
16 tahun. Hal ini terkadang dianggap menyepelekan dan menghina orang
tua.
g. Faktor redahnya pengetahuan
Rendahnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan adalah salah satu
pendorong terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah
hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan
orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda ini.
Disamping perekonomian yang kurang serta pendidikan orang tua yang
rendah, akan membuat pola piker yang sempit. Sehingga akan
mempengaruhi orang tua untuk menikahkan anaknya.9
5. Hukum yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh
mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang
masih kuliah atau mereka yang baru lulus SMA. Hukum yang berkaitan dengan
9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 98.

9
nikah dini pada umumnya sama dengan pernikahan biasanya, namun ada pula
hal–hal yang memang khusus yang bertolak dari kondisi umum, seperti kondisi
mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi
syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam
tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Kesiapan ilmu
yaitu kesiapan tentang pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan
dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum
khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah,
maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat
pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi
seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari
dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. Selain itu kewajiban
menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu
wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga
merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam
telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-
baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri
seorang munafik.
b. Kesiapan materi/harta
dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar
(maskawin) (lihat QS An Nisaa`: 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada
isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah)
bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah:
233, dan Ath Thalaq: 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus
berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang
diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu
kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar
yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan
kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat.

10
c. Kesiapan fisik/kesehatan
khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya
sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya
Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits
anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun
untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani,
1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan
kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.10
6. Dampak Pernikahan Dini Bagi Pelakunya
Setiap kejadian pasti memiliki dampak terhadap sesuatu, baik positif
maupun negatif, begitu juga dengan terjadinya pernikahan dini. Berdasarkan
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia
tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua
teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia
berusia dibawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu
diperkirakan naik
menjadi 3 juta orang pada 2030. Zaman modern seperti sekarang, kebanyakan
pemuda masa kini menjadi dewasa lebih cepat daripada generasi-generasi
sebelumnya, tetapi secara emosional, mereka memakan waktu jauh lebih
panjang untuk mengembangkan kedewasaan.
Kesenjangan antara kematangan fisik yang datang lebih cepat dan
kedewasaan emosional yang terlambat menyebabkan timbulnya
persoalanpersoalan psikis dan sosial. Kematangan fisik misalnya, menjadikan
kelenjar-keenjar seksual mulai bekerja aktif untuk menghasilkan hormone
hormone yang dibutuhkan. Ini kemudian menyebabkan terjadinya dorongan
10
Labib MZ, Risalah Nikah, Talak, dan Rujuk, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya,2006), 57.

11
untuk menyukai lawan jenis, sebagai manifestasi dari kebutuhan seksual. Pada
taraf ini, keinginan untuk mendekati lawan jenis memang banyak disebabkan
oleh dorongan seks. Akibatnya, manakala terdapat jalan untuk memenuhi
dorongan seks dengan sesama jenis, penyimpangan dorongan seks dapat
dengan mudah terjadi.
Pernikahan dini usia remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik
maupun biologis remaja. Dampak pernikahan dini bagi remaja diantaranya
adalah sebagai berikut,
 Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan
melahirkan, inilah salah satu penyebab tingginya kematian ibu dan bayi.
 Kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Pada
kondisi tertentu, anak yang melakukan pernikahan dini cenderung tidak
memperhatikan pendidikanya, apalagi ketika menikah langsung
memperoleh keturunan. Ia akan disibukan mengurus anak dan
keluarganya, sehingga hal ini dapat menghambatnya untuk melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi.
 Interaksi dengan lingkungan teman sebaya berkurang. Bagaimanapun
status baik sebagai suami istri turut memberikan kontribusi dalam
berinteraksi sosial dengan lingkunganya. Bagi pasangan pernikahan dini,
hal ini dapat berpengaruh dalam berhubungan dengan teman sebaya.
Mereka akan merasa canggung dan enggan bergaul dengan teman
sebayanya.
 Sempitnya peluang mendapatkan kesempatan kerjayang otomatis
mengkekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena
pendidikan yang minim)
 Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik. Dan akhirnya akan membawa penderitaan.
 Pernikahan usia dini salit mendapatkan keturutan yang baik dan sehat
karena rentan penyakit.
 Kekerasan rumah tangga akan banyak terjadi

12
 Bagi anak yang dilahirkan, saat anak bertumbuh mengalami proses
kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya,
sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan
anemia karena defisiensi nutrisi, serta beresiko melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah.

 Akan terganggunya kesehatan reproduksi. Kehamilan pada usia kurang


dari 17 tahunmeningkatkan resiko komplikasi medis, baik pada ibu
maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata
berkolerasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa
anak perempuan berusia 10-14 tahun beresiko limakali lipat meninggal
saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun,
sementara resiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19
tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum berkembang
dengan baik. Dan panggul belum siap untuk melahirkan. Data dari
UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%30% diantara persalinan di usia
dini disertai dengan komlikasi kronik, yaitu obstetric fistula.
Fistulamerupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan
kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Selain itu, juga meningkatkan
resiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.11
7. Pandangan Tentang Pernikahan Dini
Pada hakikatnya seseorang itu di perbolehkan menikah jika telah
terpenuhi semua syarat – syarat yang telah ditentukan dalam islam, namun
pernikahan tersebut akan menjadi haram hukumnya jika tujuannya untuk
menyakiti salah satu pasangan.Istilah pernikahan dini adalah istilah
kontemporer.Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau
sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau laki –
laki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi
masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah
sebelum usia 20 tahun atau laki – laki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak
11
Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i Fi al-Islam, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1990), 3:188.

13
wajar. Meskipun banyak dari nash al-Qur’an dan Hadits yang merujuk pada
dalil tentang perkawinan, selain dalil nash sebagai dasar hukum perkawinan,
masih diperlukan lagi ijtihad para fuqaha terhadap beberapa masalah yang
perlu pemecahan untuk memperoleh ketentuan hukum, misalnya, Bagi orang
yang sudah ingin kawin dan takut akan berbuat zina kalau tidak kawin, maka
wajib ia mendahulukan kawin daripada menunaikan ibadah haji. Tetapi kalau
ia tidak takut akan melakuakan zina, maka ia wajib mendahulukan haji
daripada kawin. Juga dalam wajib kifayah yang lain, seperti menuntut ilmu
dan jihad, wajib ditunaikan lebih dahulu daripada kawin. Sekiranya tidak ada
kekhawatiran akan terjatuh dalam lembah perzinaan.

C. KESIMPULAN
Dari sekian banyak aspek yang perlu diperhatikan seseorang untuk menikah,
aspek usia memang dibilang paling menentukan atau diutamakan, karena bukan
perihal berapa usia seseorang tersebut, melainkan perihal bagaimana kualitas
mindset (cara berpikir) seseorang untuk siap menjalani kehidupan baru bersama
orang yang telah dia pilih sebagai seorang pasangan yang sah.
Usia yang sudah matang kebanyakan memang lebih siap untuk menjalani
pernikahan. Karena kualitas berpikir, mental, dan aspek yang lain lebih mumpuni
dibanding usia yang kurang matang. Tidak menutup kemungkinan juga seseorang
yang sudah menikah dengan usia yang terbilang belum matang pun mereka tetap
sah memutuskan untuk menikah. Karena tidak menutup kemungkinan seseorang
tersebut sudah lebih siap dari aspek berpikir, mentalitas, dan lain-lain dibanding
dengan mereka yang sudah usia matang namun terkadang masih belum siap dari
cara berpikir, maupun mentalitasnya.
Alhasil, menikah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mudah dan sulit.
Manusia dapat kapanpun merencanakan dan melakukan pernikahan jika telah siap
secara fisk, mental dan materi tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hanya
dapat berencana dan tuhan yang menentukan.

14
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.

Fadlyana, Eddy, Shinta Larasaty. “Pernikahan Dini Dan Permasalahannya”. Jurnal


Sari Pediatri. 2019.

Ghozi (al), Muhammad Ibnu Qasim. Fathul Qorib al Mujib Fi Syarhi al Fadzi At
Taqrib. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2015.

Labib MZ. Risalah Nikah, Talak, dan Rujuk. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006.

Nabhani (al), Taqiyuddin. an-Nizham al-Ijtima’i Fi al-Islam. Damsyiq: Dar al-Fikr,


1990.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Zuhaily (al), Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989.

15

Anda mungkin juga menyukai