Anda di halaman 1dari 35

BAB 4

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

ANGGOTA:

1. ARIL PERMANA
2. FAUZI FAJAR
3. HAIRA NURJIHAD
4. LAVENY CITRA NURHAYATI
5. MUHAMMAD AZKA SYATILA
6. PUTRI DIANA SARI
7. RICHA ROMADHONI

SMA NEGERI 2 MAJALAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia
nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat
menimba ilmu di SMA NEGERI 2 MAJALAYA.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari guru mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada
mata kuliah yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna bagi
agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami
umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Bandung, 3 Agustus 2022


PENDAHULUAN

Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam


undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.”1

Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam “perkawinan yang sah menurut


hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.”2Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
1. Makna Pernikahan Dalam Islam
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur.
Menurut istilah syara’ ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata
yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Kata
nikah menurut bahasa al-jam’u dan al- dhamu yang artinya kumpul. Makna
nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah.
juga bisa diartikan (wath’u al- zaujah) bermakna menyetubuhi istrinya.
Devinisi di atas juga hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Rahmat
Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikāhun” yang merupakan
masdar atau dari kata kerja (fi;il madhi) “nakaha” sinonimnya “tazawwaja”
kemudian diterjemahkan .
1. Dalam bahasa Indonesia
“perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa, artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
dan bersetubuh. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu
proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak
perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain
itu, nikah bisa diartikan sebagai bersetubuh.
2. Pernikahan adalah sunnah Rasul yang apabila dilaksanakan akan
mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa
tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah Rasul.
3. Arti dari pernikahan adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda
yaitu laki- laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan
perjanjian atau akad.
4. Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga
yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan
yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang
yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang
tuanya.

2. Hukum Nikah
A. Pengertian Hukum Nikah
Hukum menikah adalah mubah atau sesuatu yang dibolehkan, Namun
hukum ini bisa berubah jika dilihat dari situasi dan kondisi serta niat
seseorang yang akan menikah. Hukum menikah bisa sebagai wajib, sunah,
mubah, makruh, bahkan haram, bergantung pada kondisi dan situasi orang
hendak menikah.

B. Dasar Hukum Nikah


Dasar hukum pernikahan dalam Islam adalah Al-Quran dan Sunnah.Ada
beberapa surat dalam Al-Qur’an yang mengenai dasar hukum pernikahan.
Ayat-ayat tersebut menjadi bukti bahwa pernikahan memiliki dasar hukum
yang kuat di dalam Al-Qur’an. Berikut ayat-ayat tersebut:

1. Q.S ANNISA ayat 1

ۤ
‫َكثِ ۡيرًا‬ ‫ث ِم ۡنهُ َما ِر َجااًل‬َّ َ‫ق ِم ۡنهَا َز ۡو َجهَا َوب‬ َ َ‫س وَّا ِح َد ٍة َّو َخل‬ٍ ‫ٰيـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُ ۡوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ۡى َخلَقَ ُكمۡ ِّم ۡن نَّ ۡف‬
‫َرقِ ۡيبًا‬ ۡ‫َّونِ َسٓا ً‌ء ۚ َواتَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذ ۡى تَ َسٓا َءلُ ۡونَ بِ ٖه َوااۡل َ ۡر َحا َ‌م ؕ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلَ ۡي ُكم‬

artinya: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

2. Q.S AN-NUUR ayat 31

‫ار ِه َّن َويَ ۡحفَ ۡظنَ فُر ُۡو َجه َُّن َواَل ي ُۡب ِد ۡي َـن ِز ۡينَتَه َُّن ِااَّل َما ظَهَ َر ِم ۡنهَ‌ا‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ُضنَ ِم ۡن اَ ۡب‬ ۡ ‫ت يَ ۡغض‬ ِ ‫َوقُلْ لِّ ۡـل ُم ۡؤ ِم ٰن‬
‫ن َواَل ي ُۡب ِد ۡي َـن ِز ۡينَتَه َُّن اِاَّل لِبُع ُۡولَتِ ِه َّن اَ ۡو ٰابَ ِٕٓاٮ ِه َّن اَ ۡو ٰابَٓا ِء بُع ُۡولَتِ ِه َّن اَ ۡو‬ ۖ
‌َّ ‫ـض ِر ۡبنَ بِ ُخ ُم ِر ِه َّن ع َٰلى ُجي ُۡوبِ ِه‬ ۡ َ‫َو ۡلي‬
‫اَ ۡبن َِٕٓاٮ ِه َّن اَ ۡو اَ ۡبنَٓا ِء بُع ُۡولَتِ ِه َّن اَ ۡو اِ ۡخ َوانِ ِه َّن اَ ۡو بَنِ ۡۤى اِ ۡخ َوانِ ِه َّن اَ ۡو بَنِ ۡۤى اَ َخ ٰوتِ ِه َّن اَ ۡو نِ َس ِٕٓاٮ ِه َّن اَ ۡو َما َملَـ َك ۡت‬
‫ت النِّ َسٓا ِۖ‌ء‬ ِ ‫اَ ۡي َمانُه َُّن اَ ِو ال ٰتّبِ ِع ۡينَ غ َۡي ِر اُولِى ااۡل ِ ۡربَ ِة ِمنَ ال ِّر َجا ِل اَ ِو الطِّ ۡف ِل الَّ ِذ ۡينَ لَمۡ يَ ۡظهَر ُۡوا ع َٰلى ع َۡو ٰر‬
ۡ‫ض ِر ۡبنَ بِا َ ۡر ُجلِ ِه َّن لِي ُۡـعلَ َم َما ي ُۡخفِ ۡينَ ِم ۡن ِز ۡينَتِ ِه َّن‌ ؕ َوتُ ۡوب ُۡۤوا اِلَى هّٰللا ِ َج ِم ۡيعًا اَيُّهَ ۡال ُم ۡؤ ِمنُ ۡونَ لَ َعلَّ ُكم‬ ۡ َ‫َواَل ي‬
َ‫تُفلِح ُۡون‬ ۡ

Artinya: Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar


mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa)
terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para
perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka
miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, agar kamu beruntung.

3. Q.S ARUUM ayat 21

‫ق َل ُكمۡ ِّم ۡن اَ ۡنفُ ِس ُكمۡ اَ ۡز َواجًا لِّت َۡس ُكنُ ۡۤوا اِلَ ۡيهَا َو َج َع َل بَ ۡينَ ُكمۡ َّم َو َّدةً َّو َر ۡح َمةً  ؕ اِ َّن فِ ۡى ٰذ‬
َ َ‫َو ِم ۡن ٰا ٰيتِ ٖ ۤه اَ ۡن َخل‬
ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَ ۡو ٍم يَّتَفَ َّكر ُۡون‬ َ ِ‫ل‬

artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.

4. Q.S AN-NAHL ayat 72

‫هّٰللا‬
ِ ‫َو ُ َج َع َل لَـ ُكمۡ ِّم ۡن اَ ۡنفُ ِس ُكمۡ اَ ۡز َواجًا َّو َج َع َل لَـ ُكمۡ ِّم ۡن اَ ۡز َوا ِج ُكمۡ بَنِ ۡي َـن َو َحفَ َدةً َّو َرزَ قَ ُكمۡ ِّمنَ الطَّي ِّٰب‬
ؕ‌‫ت‬
َ‫ت هّٰللا ِ هُمۡ يَ ۡكفُر ُۡو ۙن‬
ِ ‫اَفَبِ ۡالبَا ِط ِل ي ُۡؤ ِمنُ ۡونَ َوبِنِ ۡع َم‬

Artinya: Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri)


dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa
mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?

C. Pembagian Hukum Nikah

 Wajib: Wajib jika seseorang sudah mampu dan sudah memenuhi


syarat, serta khawatir akan terjerumus melakukan perbuatan dosa
besar jika tidak segera menikah. Orang dengan kriteria tersebut
diwajibkan untuk segera menikah agar tidak terjerumus melakukan
dosa zina.
 Sunah: Sunah, bagi seseorang yang sudah mampu untuk berumah
tangga, mempunyai keinginan niat nikah.
 Dalam hal ini, orang yang apabila tidak melaksanakan nikah masih
mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa besar (zina)
dihukumi sunah.
 Mubah: Mubah, yakni bagi seseorang yang telah mempunyai
keinginan menikah, tetapi belum mampu mendirikan rumah tangga
atau belum mempunyai keinginan menikah, tetapi sudah mampu
mendirikan rumah tangga.
 Makruh: Makruh, bagi seseorang yang belum mampu atau belum
mempunyai bekal mendirikan rumah tangga.
 Haram: Haram, bagi seseorang yang bermaksud tidak akan
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri yang baik.

3. Tujuan Nikah
Tujuan Pernikahan dalam Islam
Terjadinya suatu pernikahan yang ditandai dengan adanya ijab dan qabul
memiliki beberapa tujuan. Beberapa tujuan dari pernikahan berdasarkan Al-
Quran dan Hadist, yaitu:

1. Melaksanakan Perintah Allah


Dalam Islam, tujuan pertama atau tujuan utama dari pernikahan adalah
melaksanakan perintah Allah. Dengan melaksanakan perintah Allah, maka
umat Muslim akan mendapatkan pahala sekaligus kebahagiaan.
Kebahagiaan ini menyangkut semua hal termasuk rezeki, sehingga bagi
Umat Muslim yang sudah menikah tak perlu khawatir tentang rezeki.
Tujuan pernikahan untuk melaksanakan perintah Allah terkandung di
dalam Al-Quran Surah An-Nur ayat 32

ُ ‫صلِ ِح ْينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َم ۤا ِٕى ُك ۗ ْم ِا ْن يَّ ُكوْ نُوْ ا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغنِ ِه ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖ ۗه َوهّٰللا‬
ّ ٰ ‫َواَ ْن ِكحُوا ااْل َيَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال‬
‫َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم‬

Artinya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), Maha Mengetahui.
2. Melaksanakan Sunah Rasul
Selain melaksanakan perintah Allah, tujuan menikah berikutnya adalah
melaksanakan sunah Rasul. Dengan melaksanakan sunah Rasul, maka
seorang hamba dapat terhindar dari perbuatan zina. Tidak hanya itu, seorang
yang menikah juga mendapatkan pahala karena sudah melaksanakan sunah
Rasul.

3.Mencegah dari Perbuatan Zina

Seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa dengan menikah
berarti sama halnya menjaga kehormatan diri sendiri, sehingga kita bisa
untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama Islam. Selain itu, suatu
pernikahan bisa membuat diri kita bisa menjaga pandangan dan terhindar
dari perbuatan zina, sehingga kita bisa menjalani ibadah pernikahan lebih
baik.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk


menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan
pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang
tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).”

4. Menyempurnakan Separuh Agama


Terlaksananya pernikahan berarti sama halnya dengan menyempurnakan
separuh agama Islam. Dengan kata lain, menikah bisa menambah pahala
seorang hamba. Dalam hal ini, menyempurnakan agama bisa diartikan
sebagai menjaga kemaluan dan perutnya. Seperti yang diungkapkan oleh
para ulama bahwa pada umumnya rusaknya suatu agama seseorang sering
berasal dari kemaluan dan perutnya.

Oleh sebab itu, menikah bisa membuat laki-laki dan perempuan (suami istri)
bisa menjaga kemaluan dan perutnya agar terhindar dari perbuatan zina.
5. Mendapatkan Keturunan
Setiap umat Muslim yang melakukan pernikahan pasti memiliki tujuan
untuk memiliki keturunan dengan harapan dapat menjadi penerus keluarga.
Memiliki keturunan akan menambah kebahagiaan bagi rumah tangga yang
sedang dibangun. Selain itu, memiliki keturunan bisa menjadi bekal pahala
untuk suami istri di kemudian hari.
Pernikahan Menurut Pandangan Islam – Menghabiskan hidup dan menua
bersama kekasih idaman bisa dikatakan sebagai suatu impian bagi setiap
orang, sehingga sudah banyak yang melakukan pernikahan. Oleh karena itu,
hampir setiap pasangan laki-laki dan perempuan ingin sekali untuk
mewujudkan suatu pernikahan yang di mana pernikahan bisa membuat
kedua pasangan hidup bersama. Terlebih lagi suatu pernikahan akan lebih
bahagia ketika memiliki si buah hati.

Di dalam Islam, pernikahan itu bukan hanya berbicara tentang hubungan


pria dan wanita yang diakui secara sah secara agama dan hukum negara, dan
bukan hanya berbicara kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan saja,
tetapi pernikahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan kondisi jiwa
manusia, kerohanian (lahir dan batin), nilai-nilai kemanusian, dan adanya
suatu kebenaran.

Tidak hanya itu, pernikahan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban


dari kehidupan rumah tangga yang harus mengikuti ajaran-ajaran keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah. Hal ini senada dengan yang tercantum di
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”

Maka dari itu, perkawinan atau pernikahan bisa dikatakan sebagai salah satu
perilaku manusia yang baik atau terpuji yang telah diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa dengan tujuan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih
baik lagi. Selain itu, pernikahan yang baik juga bisa membuat hubungan
suami istri menjadi lebih harmonis dan kebahagiaan akan menghampiri.
Setiap terlaksananya suatu pernikahan pasti berdasarkan perkembangan
zaman dan perkembangan budaya yang ada di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat sederhana akan berbeda dengan masyarakat maju. Masyarakat
sederhana, biasanya akan menyelenggarakan pernikahan dengan budaya
pernikahan yang sederhana dan tertutup. Sementara itu, masyarakat yang
lebih modern (maju) umumnya penyelenggaraan pernikahan dilakukan
dengan budaya yang modern dan terbuka.
Pada dasarnya, tujuan pernikahan bukan hanya menyatukan laki-laki dan
perempuan untuk untuk membangun rumah tangga yang harmonis agar bisa
hidup bersama dan menua bersama, tetapi ada beberapa tujuan pernikahan
lainnya. Di dalam agama Islam ada beberapa tujuan pernikahan yang perlu
dimengerti dan dipahami bagi umat Muslim agar pernikahan bisa
memberikan kebahagiaan sekaligus pahala karena sudah melaksanakan
ibadah.

4. Rukun dan Syarat Nikah


Dalam Islam, pernikahan dianggap sah apabila terpenuhi rukun dan syarat sah
nikah. Kedua unsur tersebut sangat mendasar dan tidak boleh ditinggalkan.
Rukun nikah merupakan amalan hakiki yang ada dalam ibadah, sedangkan
syarat sah nikah ialah perkara di luar amalan tersebut namun menjadi wajib
ada.
Pasangan muslim yang hendak menikah, hendaknya mengetahui rukun dan
syarat sah nikah agar perkawinannya sah di mata hukum serta agama.
terdapat 5 rukun nikah yang disepakati ulama dan wajib dipenuhi agar
pernikahan dinyatakan sah, yakni:

Terdapat calon pengantin laki-laki dan perempuan yang tidak terhalang secara
syar'i untuk menikah
Ada wali dari calon pengantin perempuan
Dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil untuk menyaksikan sah tidaknya
pernikahan diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan atau yang
mewakilinya diucapkannya kabul dari pengantin laki-laki atau yang
mewakilinya. Persaksian akad nikah tersebut berdasarkan dalil hadis secara
marfu: "Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil."
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).
Syarat Nikah
Pernikahan harus memenuhi unsur sebagai berikut:

1. Beragama Islam
Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan
orangnya. Bahkan, tidak sah jika seorang muslim menikahi nonmuslim
dengan tata cara ijab kabul Islam.

2. Bukan mahram
Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar
perkawinan bisa dilaksanakan. Selain itu, sebelum menikah perlu
menelusuri pasangan yang akan dinikahi.

Misalnya, sewaktu kecil dibesarkan dan disusui oleh siapa. Sebab, jika
ketahuan masih saudara sepersusuan maka tergolong dalam jalur mahram
seperti nasab yang haram untuk dinikahi.

3. Wali nikah bagi perempuan

"Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: 'Perempuan tidak


boleh menikahkan (Sebuah pernikahan wajib dihadiri oleh wali nikah. Wali
nikah harus laki-laki, tidak boleh perempuan merujuk hadis:
menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya."
(HR. ad-Daruqutni dan Ibnu Majah).

Wali nikah mempelai perempuan yang utama adalah ayah kandung.

Namun jika ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa


diwakilkan oleh lelaki dari jalur ayah, misalnya kakek, buyut, saudara laki-
laki seayah seibu, paman, dan seterusnya berdasarkan urutan nasab.

Jika wali nasab dari keluarga tidak ada, alternatifnya adalah wali hakim
yang syarat dan ketentuannya pun telah diatur.
4. Dihadiri saksi
Syarat sah nikah Syarat selanjutnya adalah terdapat minimal dua orang
saksi yang menghadiri ijab kabul, satu bisa dari pihak mempelai wanita dan
satu lagi dari mempelai pria.

Mengingat saksi menempati posisi penting dalam akad nikah, saksi


disyaratkan beragama Islam, dewasa, dan dapat mengerti maksud akad.

5. Sedang tidak ihram atau berhaji


Jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (saat ihram), merujuk
Islami.

Hal ini juga ditegaskan seorang ulama bermazhab Syafii dalam kitab Fathul
Qarib al-Mujib yang menyebut salah satu larangan dalam haji adalah
melakukan akad nikah maupun menjadi wali dalam pernikahan:

(‫ بوكالة أو والية )و‬،‫الثامن (عقد النكاح) فيحرم على المحرم أن يعقد النكاح لنفسه أو غيره‬

"Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram)


yaitu akad nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram,
bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi wali)"

6. Bukan paksaan
Syarat nikah yang tak kalah penting adalah mendapat keridaan dari masing-
masing pihak, saling menerima tanpa ada paksaan. Ini sesuai dengan hadis
Abu Hurairah ra:

"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau


dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya." (HR Al Bukhari: 5136, Muslim: 3458).

Demikian rukun dan syarat nikah yang perlu diketahui pasangan yang
hendak melangsungkan pernikahan.

5. Mukhrim
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah
dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita
yang haram dinikahi ada 4 macam :
1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari
ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan
seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan


a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari
ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan
seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan


a. Ibu dari isrti (mertua)
b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah
kumpul dengan ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT
berfirman: Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)

‫ࣖ َواَل تَ ْن ِكحُوْ ا َما نَ َك َح ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً َّو َم ْقتً ۗا َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah
lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah)
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim
dengan istri. Misalnya haram melakukan poligami (memperistri
sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap perempuan
dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.
(lihat An-Nisa : 23)

‫ت َواُ َّم ٰهتُ ُك ُم ٰالّتِ ْٓي‬ ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَ ٰن‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َوبَ ٰن‬
ِ َ ‫ت ااْل‬ ْ ‫حُرِّ َم‬
‫ت نِ َس ۤا ِٕى ُك ْم َو َربَ ۤا ِٕىبُ ُك ُم ٰالّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم ٰالّتِ ْي‬ُ ‫ضا َع ِة َواُ َّم ٰه‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم ِّمنَ ال َّر‬ َ ْ‫اَر‬
َ ۙ ُ َ َّ ُ ۤ َ ۤ
‫َدخَ ْلت ْم بِ ِه َّن فَا ِ ْن ل ْم تَكوْ نوْ ا َد َخلت ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجنَا َح َعل ْيك ْم ۖ َو َحاَل ِٕى ُل ا ْبنَا ِٕىك ُم ال ِذ ْينَ ِم ْن اصْ اَل بِك ْم َوا ْن‬
ُ َ ُ ْ ُ ُ َّ ۖ ُ
‫هّٰللا‬
ِ ‫تَجْ َمعُوْ ا بَ ْينَ ااْل ُ ْختَ ْي ِن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِ َّن َ َكانَ َغفُوْ رًا ر‬
‫َّح ْي ًما ۔‬

Artinya: ” Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu


yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu
sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
(diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

6. Wali Nikah

A. wali nikah adalah sebutan bagi pihak laki-laki dari keluarga perempuan
yang bertugas mengawasi keadaan dan kondisi mempelai dalam prosesi
perkawinan. Perwalian, secara syariat merupakan perkataan pada orang
lain dan pengawasan atas keadaan si perempuan yang dinikahkan.
Pemenuhan rukun nikah untuk mendatangkan wali ini dirujuk dari hadis
yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Tidak [sah] pernikahan kecuali dengan wali yang berakal dan adil," (H.R.
Ahmad).

menjadi wali nikah adalah ayah mempelai perempuan. Jika ayah tidak bisa
atau tidak memenuhi syaratnya, baru bisa digantikan dengan wali nikah
yang lain sesuai urutan yang berlaku.

B. Urutan Wali Nikah

1). sesuai syari'at Islam adalah sebagai berikut:


 Ayah
 Kakek
 Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung)
 Saudara laki-laki seayah
 Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
 Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
 Paman sekandung
 Paman seayah
 Anak laki-laki dari paman sekandung
 Anak laki-laki dari paman seayah
 Wali hakim.

Urutan wali nikah di atas ditarik dari nasab (jalur keturunan) dari pihak
ayah, dan bukan saudara seibu. Pernikahan seorang perempuan tidak sah
kecuali dinikahkan oleh wali yang dekat dari jalur keturunan tersebut. Jika
tidak ada, maka keadaan ini diampu oleh wali jauh, dan jika masih tidak
ada, maka mempelai dinikahkan oleh penguasa atau wali hakim.

2). Wali hakim menjadi berlaku ketika semua urutan di atas sudah tidak
bisa dipenuhi lagi karena sebab-sebab tertentu. Misalnya, tidak memenuhi
syarat menjadi wali nikah. Bagaimanapun juga, tidak semua orang bisa
menjadi wali dalam pernikahan, kecuali memenuhi syarat-syaratnya.

Oleh sebab itu, Kantor Urusan Agama (KUA) pun biasanya menyarankan
untuk mendahulukan wali nasab di atas, sebelum memutuskan untuk
menggunakan jasa wali hakim dari KUA.
Hal ini tertera dalam aturan pasal 23 ayat 1 dan 2 KHI: "Wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
Pengadilan Agama tentang wali tersebut."

C. Syarat Menjadi Wali Nikah

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ada sejumlah syarat yang harus


dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi wali nikah.
Beragama Islam. Seorang wali nikah haruslah muslim. Oleh karena itu,
jika ia kafir, maka pernikahan tidak sah, kecuali dalam keadaan-keadaan
tertentu.
Balig. Syarat selanjutnya wali nikah harus balig dan cukup umur. Artinya,
wali nikah itu bisa bertanggung jawab untuk urusan orang lain, termasuk
menikahkan perempuan perwaliannya.
Berakal sehat, yang artinya, tidak mengalami gangguan jiwa, tidak mabuk,
serta sadar atas perkara yang ia kerjakan.
Laki-laki. Melalui persyaratan ini, maka pernikahan dianggap tidak sah
apabila wali nikah berjenis kelamin perempuan atau seseorang yang
berkelamin ganda.
Adil, yang artinya bisa menjaga diri, kehormatan, dan martabatnya.
Kebalikan dari orang yang adil adalah fasik.

7. Kewajiban Dan Hak Suami Istri

A. Kewajiban suami pada istri dalam pernikahan menurut Islam


Para suami memiliki beberapa kewajiban yang menjadi hak istri dalam
pernikahan, di antaranya:

1). Memberikan mahar dan nafkah


Kewajiban pertama suami pada istri dalam pernikahan menurut Islam
adalah memberikan mahar dan nafkah. Mahar merupakan mas kawin
yang patut laki-laki berikan saat menikahi perempuan. Sedangkan
nafkah, nggak hanya sebatas uang dapur, melainkan dalam bentuk
sandang, pangan dan papan (memberi pakaian, makanan, dan rumah).

Disebutkan dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 4, yang berbunyi:


2). Menggauli istri secara baik
Menggauli di sini adalah bersenggama atau bercinta dengan istri.
Dalam Islam, ini menjadi salah satu kewajiban suami pada istri, yaitu
untuk menggauli pasangannya dengan baik, nggak boleh kasar atau
sampai Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."
Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 233
"
, yang berbunyi:

"Dan kewajiban bapak memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya...."
menyakiti.

3). Menjaga istri


Suami wajib menjaga istrinya dengan baik, menjaga harga dirinya,
menjunjung tinggi kehormatannya, dan melindunginya dari segala
sesuatu yang dapat menodai kehormatannya. Suami pun wajib
menjaga rahasia istrinya.

4). Membimbing istri


Kewajiban suami adalah memberikan bimbingan agama pada istrinya
dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Suami
juga wajib menjaga istrinya dari perbuatan dosa yang dapat
mendatangkan keburukan pada keluarga. Disebutkan dalam surat At-
Tahrim ayat 6, yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak."
5). Memberikan rasa cinta dan kasih sayang
Dalam Islam, suami wajib memberikan rasa cinta dan kasih sayang pada
istri. Artinya, suami wajib bertutur kata lembut, memberikan rasa tenang,
mengekspresikan rasa cintanya, dan menunjukkan kasih sayang.
Kewajiban ini ada dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 21, yang
terjemahannya berbunyi:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar menjadi
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."

B. Kewajiban Istri Pada Suami Dalam Pernikahan Menurut Islam

1. Menaati suami
Kewajiban pertama istri pada suami adalah taat pada suami. Contoh taat
Misalnya, istri patuh ketika suami menyuruhnya untuk beribadah,
menutup aurat, dan lain-lainnya. Namun, istri wajib taat kecuali dalam
hal-hal yang melanggar aturan agama dan/atau kesusilaan. Dalam al-
Quran, surat An-Nisa ayat 34, terjemahannya berbunyi sebagai berikut:

"Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan


sebagian mereka (laki-laki) alas sebagian yang lain (wanita) dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Maka wanita yang
salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika
suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki......"

Dalam Islam, ketaatan seorang istri pada suami disebut setara nilainya
dengan jihad laki-laki. Tetapi, ada kalanya istri dapat mendiskusikan
sesuatu sebelum membuat keputusan, seperti membahas pekerjaan,
keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya.

2. Menjaga harta, rumah, dan kehormatan suami


Ketika suami wajib memberikan nafkah berupa penghasilannya pada
istri, maka istri wajib menjaganya. Artinya, istri wajib merawat dan
menjaga harta yang suaminya berikan. Bahkan jika memungkinkan,
istri mampu mengembangkan hartanya.

Bagaimana dengan menjaga rumah? Hal ini dimaksudkan seorang istri


nggak boleh keluar rumah tanpa izin dari suaminya, dan nggak boleh
membawa laki-laki lain masuk ke dalam rumah saat suami sedang
nggak ada.

Sedangkan menjaga kehormatan suami adalah dengan nggak


menyebarkan aib suaminya. Sama seperti suami yang wajib menjaga
rahasia istri, maka istri nggak boleh menyebarkan rahasia suaminya.
Baik itu secara langsung, maupun nggak langsung.

3. Mencari kerelaan suami dan menghindari murkanya


Istri wajib mencari kerelaan atau ridha dari suami. Sebab dalam Islam,
kerelaan suami merupakan tiket seorang istri mendapatkan surga dan
kebahagiaan akhirat. Karena itu, istri harus berusaha mendapatkan
kerelaan suami. Ada berbagai macam cara, di antaranya melakukan
tindakan yang menyenangkan suami, membantu suami menyelesaikan
pekerjaannya, memenuhi kebutuhan suami, dan sebagainya.

Namun dalam mencari kerelaan suami, istri wajib menghindari amarah


atau murkanya. Artinya, jangan sampai melakukan tindakan yang justru
membuat pasangan marah karena hal ini nggak hanya menghapus usaha
mencari ridha suami, tetapi juga memberikan dampak buruk pada
keharmonisan rumah tangga.

4. Memahami urusan bercinta


Jika suami memiliki kewajiban menggauli istrinya, di sisi lain istri
wajib memahami urusan bercinta. Istri nggak boleh menolak ketika
suami mengajaknya bercinta. Sebab dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW pernah bersabda:

“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas istri enggan


memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu
shubuh.” HR. Bukhari dan Muslim.
Namun, ada kondisi yang mana istri nggak dapat memenuhi kebutuhan
suami, seperti sedang sakit, nifas, menstruasi, dan sebagainya. Namun,
usahakan untuk membicarakannya secara baik-baik dengan pasanganya.

5. Menunjukkan wajah yang manis dan menyenangkan suami


Menunjukkan wajah yang manis tentu akan memberikan kebahagian bagi
suami yang melihatnya, bukan begitu? Ini merupakan kewajiban bagi
seorang istri terhadap suaminya dalam pernikahan menurut Islam.
Sedangkan menyenangkan suami, dapat dengan melakukan sesuatu yang
dapat menimbulkan rasa bahagia dalam hati pasangan. Nggak perlu
mewah atau sulit, bisa dengan memasak menu favoritnya, merapikan
rumah, atau sekadar membelikannya hadiah kecil.

Sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah pernah bersabda:

“Sebaik-baik perempuan ialah seorang perempuan yang apabila engkau


melihatnya, engkau merasa gembira. Jika engkau perintah, dia akan
mentaatimu. Dan jika engkau tidak ada di sisinya, dia akan menjaga
hartamu dan dirinya.”

Itulah rangkuman dari kewajiban suami dan istri dalam pernikahan


menurut Islam. Kewajiban suami menjadi hak untuk istri, begitu pula
sebaliknya. Selain itu, keduanya saling melengkapi dan mengimbangi.
Ketika suami dan istri berusaha melakukan kewajibannya masing-masing
dalam pernikahan, Insya Allah pernikahan akan harmonis, serta bahagia
dunia dan akhirat Aamiin.

8. Hikmah Pernikahan

 Terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan


mahramnya untuk ikatan suci yang halal dan diridhai oleh Allah
SWT.
 Mendapatkan keturunan yang sah.
 Terpelihara dari perbuatan zina.
 Menambah tali silaturahmi dari keluarga laki-laki dan keluarga
perempuan.

Penjelasan :
Dalil tentang pernikahan
Q.S. yaasin : 36
َ‫ت ٱَأْلرْ ضُ َو ِم ْن َأنفُ ِس ِه ْم َو ِم َّما اَل يَ ْعلَ ُمون‬
ُ ِ‫ق ٱَأْل ْز ٰ َو َج ُكلَّهَا ِم َّما تُ ۢنب‬
َ َ‫ُسب ٰ َْحنَ ٱلَّ ِذى َخل‬

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan


semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Q.S. An-Nahl : 72

ِ َ‫َوٱهَّلل ُ َج َع َل لَ ُكم ِّم ْن َأنفُ ِس ُك ْم َأ ْز ٰ َو ۭ ًجا َو َج َع َل لَ ُكم ِّم ْن َأ ْز ٰ َو ِج ُكم بَنِينَ َو َحفَ َد ۭةً َو َر َزقَ ُكم ِّمنَ ٱلطَّيِّ ٰب‬
ۚ‫ت‬
ِ ‫َأفَبِ ْٱل ٰبَ ِط ِل يُْؤ ِمنُونَ َوبِنِ ْع َم‬
َ‫ت ٱهَّلل ِ هُ ْم يَ ْكفُرُون‬

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”.

Q.S. An-Nisa : 1
۟ ٓ
‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًۭل َكثِي ۭ ًرا‬ َّ َ‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا َوب‬ ٍ ۢ ‫ٰيََأيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذى َخلَقَ ُكم ِّمن نَّ ْف‬
َ َ‫س ٰ َو ِح َد ۢ ٍة َو َخل‬
۟
‫َونِ َسٓا ۭ ًء ۚ َوٱتَّقُوا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذى تَ َسٓا َءلُونَ بِ ِهۦ َوٱَأْلرْ َحا َم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِي ۭبًا‬

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

9.Talak

A. Pengertian Talak

Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan talak berasal dari

kata iṭla>q yang berarti melepaskan atau meninggalkan.

1. Dalam terminologi

syariat, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan


pernikahan, baik

pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa talak bain)
maupun
pada masa mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak
raj’i)

dengan menggunakan lafadz tertentu. Di lihat dari konteks yang


melatar

belakanginya, hukum-hukum talak adalah sebagai berikut:

a. Wajib jika terjadi konflik antar pasangan suami-istri, hakim menugaskan

mediator dua orang mediator untuk menilai situasi konflik tersebut.


Lalu,

kedua mediator itu merekomendasikan bahwa sepasang suami-istri

tersebut harus bercerai. Maka suami harus menceraikan istrinya.

b. Sunnah seorang suami dianjurkan untuk melakukan talak dalam


kondisi

ketika istrinya kerap tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib, seperti

shalat wajib, serta tidak ada kemungkinan memaksa istrinya itu

melakukan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga sunnah


dilakukan

ketika istri tidak bisa menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.

c) Mubah, talak boleh dilakukan dalam kondisi ketika suami memiliki


istri

yang buruk perangainya, kasar tingkah lakunya, atau tidak bisa


diharapkan

menjadi partner yang ideal guna mencapai tujuan-tujuan pernikahan.

Makruh bila dilakukan tanpa alasan yang kuat atau ketika hubungan

suami-istri baik-baik saja.

d) Haram apabila seorang istri di ceraikan dalam keadaan haid, atau


keadaan

suci dalam keadaan ketika ia telah disetubuhi didalam masa suci tersebut.
2. Abdul Djamali dalam bukunya, hukum Islam, mengatakan bahwa

perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam


hubungan

keluarga.

3 . Dari definisi yang telah penulis kemukakan diatas, maka dapat

penulis simpulkan bahwa yang dimaksud talak adalah melepas adanya


tali

perkawinan antara suami istri dengan mengunakan kata khusus yaitu


kata

talak atau semacamnya sehingga istri tidak halal baginya setelah


ditalak.

Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu


dapat

terjadi dalam dua keadaan:

1. Kematian salah satu pihak

2. Putus akibat perceraian.

Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan istri masih hidup

(perceraian) dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas


kehendak istri dan terjadi di luar kehendak suami istri. Menurut
hukum Islam,

berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami


dapat

terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang
disebut

ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li'an, serta dapat
terjadi

melalui apa yang disebut dhihar.


5 Berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau

oleh sebab kehendak istri dapat terjadi melalui apa yang disebut
khiyar aib,

dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui
apa

yang disebut rafa' (pengaduan). Berakhirnya perkawinan di luar


kehendak

suami dapat terjadi atas inisiatif atau oleh sebab kehendak haka>m,
dapat

terjadi oleh sebab kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab
matinya

suami atau istri.6

Sejalan dengan keterangan diatas, Fuad Said mengemukakan bahwa

perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu, fasakh, li'an dan ila'.

7 Oleh

sebab itu menurut Mahmud Yunus Islam memberikan hak talak


kepada suami

untuk menceraikan istrinya dan hak khulu’ kepada istri untuk


menceraikan

suaminya dan hak fasakh untuk kedua suami-istri. Dengan demikian


maka

yang memutuskan perkawinan dan menyebabkan perceraian antara


suami-istri ialah talak, khulu, fasakh.

8 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113,

disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena:9

1. Kematian

2. Perceraian
3. Putusan Pengadilan

Dari pemaparan di atas mengenai pengertian talak telah banyak di

atur namun didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur


mengenai

pengertian perceraian tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur


dalam

pasal 113 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dengan

melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur


bercerai tidak

mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-


alasan

tersebut harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam


pasal

115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang isinya sebagai berikut :

‚Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan


kedua

belah pihak‛.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang

termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak


yang harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para
hakim

Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan


diluar

persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap


tidak sah
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

B. Dasar Hukum Talak

Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam dibolehkan

dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan
Hadist. Hal

ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini, seperti
dalam

surat Al- Baqarah ayat 231 disebutkan bahwa:10

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati


akhir

iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau

ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu

rujuki mereka (hanya) untuk memberi kemudlaratan, karena harus


dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim

Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan


diluar

persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap


tidak sah

dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

B. Dasar Hukum Talak

Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam dibolehkan

dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan
Hadist. Hal

ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini, seperti
dalam

surat Al- Baqarah ayat 231 disebutkan bahwa:10


َّ‫س ُك ْوهُن‬ ِ ‫ف َواَل تُ ْم‬ ٍ ۗ ‫س ِّر ُح ْوهُنَّ بِ َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف اَ ْو‬ ٍ ‫س ُك ْوهُنَّ بِ َم ْع ُر ْو‬ ِ ‫س ۤا َء َفبَلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ فَا َ ْم‬ َ ‫َواِ َذا‬
َ ِّ‫طلَّ ْقتُ ُم الن‬
‫ضرارا لِّتَعتَدُوا ۚ ومنْ ي ْفعل ٰذل َك فَقَ ْد ظَلَم نَ ْفس ٗه ۗ واَل تَتَّخ ُذ ٓوا ٰا ٰيت هّٰللا ُه ُزوا و ْاذ ُكروا نعمتَ هّٰللا‬
ِ َ ْ ِ ْ ُ َّ ً ِ ِ ْ ِ َ َ َ ِ ْ َ َّ َ َ ْ ْ ً َ ِ
‫ب َوا ْل ِح ْك َم ِة يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ َواتَّقُوا هّٰللا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ هّٰللا َ ِب ُك ِّل ش َْي ٍء‬ ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم َو َمٓا اَ ْن َز َل َعلَ ْي ُك ْم ِّمنَ ا ْل ِك ٰت‬
‫ࣖ َعلِ ْي ٌم‬

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati


akhir

iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau

ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu

rujuki mereka (hanya) untuk memberi kemudlaratan, karena dengan


demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut

berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum

Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu

hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di

turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah

bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu‛

9. Iddah

Secara bahasa Iddah berarti ketentuan bilangan. Menurut istilah, Iddah ialah
masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia
menikah dengan laki-laki lain. Masa Iddah dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.

a. Lamanya Masa Iddah.

1.) Wanita yang sedang hamil masa iddahnya sampai melahirkan

anaknya. (Lihat QS. at-Talaq/65 :4)

ٰۤ ٰۤ
‫ال‬ِ ‫ِض ۗنَ َواُواَل تُ ااْل َ ْح َم‬ ْ َ‫س ۤا ِٕى ُك ْم ا ِِن ْار َت ْب ُت ْم َفعِدَّ ُت ُهنَّ َث ٰل َث ُة ا‬
ْ ‫ش ُه ۙ ٍر َّوالّـ ِْٔي لَهّٰللاْم َيح‬ ِ ‫َوالّـ ِْٔي َي ِٕى ْسنَ مِنَ ا ْل َم ِح ْي‬
َ ‫ض مِنْ ِّن‬
‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه ۗنَّ َو َمنْ َّي َّت ِق َ َي ْج َعلْ لَّ ٗه مِنْ اَ ْم ِرهٖ ُي ْس ًرا‬ َ ‫اَ َجلُ ُهنَّ اَنْ َّي‬
Artinya : Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

2.) Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya

maka masa iddahnya 4 bulan 10 hari. (lihat Q.S. al-Baqarah/2 ;

234)

‫ش ًرا ۚ ف ِا َذا َبلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ فَاَل‬ ْ َ‫صنَ ِبا َ ْن ُفسِ ِهنَّ اَ ْر َب َع َة ا‬
ْ ‫ش ُه ٍر َّو َع‬ ً ‫َوالَّ ِذ ْينَ ُي َت َو َّف ْونَ ِم ْن ُك ْم َو َي َذ ُر ْونَ اَ ْز َو‬
ْ ‫اجا َّي َت َر َّب‬
ُ ‫هّٰللا‬ ْ ُ ْ َ َ
َ
َ‫ف َو ُ ِب َما ت ْع َمل ْون‬ ۗ ْ َ ٓ ُ
ِ ‫ُجنا َح َعل ْيك ْم ِف ْي َما ف َعلنَ ف ِْي انفسِ ِهنَّ بِال َم ْع ُر ْو‬ َ

‫َخبِ ْي ٌر‬

Artinya : Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-
istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa
bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut
cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3.) Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid

maka masa iddahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci). (lihat Q.S. al-

Baqarah/2 : 228)

‫هّٰللا‬
ْ ‫َواهّٰلل ْل ُم َطلَّ ٰقتُ َي َت َر َّب‬
َّ‫صنَ ِبا َ ْنفُسِ ِهنَّ َث ٰل َث َة ُق ُر ۤ ْو ۗ ٍء َواَل َي ِحل ُّ لَ ُهنَّ اَنْ َّي ْك ُت ْمنَ َما َخ َلقَ ُ ف ِْٓي اَ ْر َحا ِم ِهنَّ اِنْ ُكنَّ ُيْؤ مِن‬
ِ‫ِي َعلَ ْي ِهنَّ ِبا ْل َم ْع ُر ْو ۖف‬‫ِصاَل ًحا َۗولَ ُهنَّ ِم ْثل ُ الَّذ‬ ٰ
ْ ‫ِبا ِ َوا ْل َي ْو ِم ااْل ٰ خ ۗ ِِر َو ُب ُع ْولَ ُت ُهنَّ اَ َحقُّ ِب َر ِّدهِنَّ ف ِْي ذلِ َك اِنْ اَ َراد ُْٓوا ا‬
‫ْ ٌ هّٰللا‬
‫ال َعلَ ْي ِهنَّ َد َر َجة ۗ َو ُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫ِلر َج‬ِّ ‫ࣖ َول‬
Artinya : Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada
mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka
(para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.
Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

4.) Wanita yang tidak haid atau belum haid masa iddahnya selama

tiga bulan. (Lihat at-Talaq/65:4 )

ٰۤ ٰۤ
‫ال‬ِ ‫ِض ۗنَ َواُواَل تُ ااْل َ ْح َم‬ ْ َ‫س ۤا ِٕى ُك ْم ا ِِن ْار َت ْب ُت ْم َفعِدَّ ُت ُهنَّ َث ٰل َث ُة ا‬
ْ ‫ش ُه ۙ ٍر َّوالّـ ِْٔي لَهّٰللاْم َيح‬ ِ ‫َوالّـ ِْٔي َي ِٕى ْسنَ مِنَ ا ْل َم ِح ْي‬
َ ‫ض مِنْ ِّن‬
‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه ۗنَّ َو َمنْ َّي َّت ِق َ َي ْج َعلْ لَّ ٗه مِنْ اَ ْم ِرهٖ ُي ْس ًرا‬ َ ‫اَ َجلُ ُهنَّ اَنْ َّي‬

Artinya : Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara


istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

5.) Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka

baginya tidak ada masa Iddah. (Lihat QS. al-Ahzab/33 : 49)

‫س ْوهُنَّ َف َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِهنَّ مِنْ ِع َّد ٍة‬ ِ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذ ْينَ ٰا َم ُن ْٓوا ِا َذا َن َك ْح ُت ُم ا ْل ُمْؤ م ِٰن‬
ُّ ‫ت ُث َّم َطلَّ ْق ُت ُم ْوهُنَّ مِنْ َق ْب ِل اَنْ َت َم‬
‫احا َج ِم ْياًل‬
ً ‫س َر‬
َ َّ‫س ِّر ُح ْوهُن‬ َ ۚ
َ ‫َت ْع َتد ُّْو َن َها ف َم ِّت ُع ْوهُنَّ َو‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya.

a. Pengertian Rujuk

Rujuk menurut bahasa artinya kembali, Rujuk dalam pengertian fikih menurut
al-Mahalli sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin ialah kembali ke
dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba>’in, selama dalam
masa iddah. Pengertian rujuk ini juga diisyaratkan dalam pasal 163 KHI
yaitu:seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.Dengan
demikian jelas bahwa rujuk hanya dapat dilakukan ketikamantan istri dalam
masa iddah, bukan dari talak ba>’in.

b. Dasar Penetapan Sahnya Rujuk

Dasar hukum tentang penetapan sahnya rujuk, firman Allah SWT dalam

Q.S ALBAQARAH 234

“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru>'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ru>f. akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha
perkasa lagi Maha bijaksana”.

Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 234:

“Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”.

Dengan demikian, Islam masih memberi jalan bagi suami yang telah
menjatuhkan talak raj’i kepada istrinya untuk merujuk kembali selama dalam
masa iddah. Akan tetapi jika masa iddahnya telah habis maka tidak ada jalan
bagi suami atas istrinya kecuali dengan akad pernikahan baru. Hukum rujuk
ada lima, yakni:
1) Wajib, apabila Suami yang menceraikan salah seorang istrinya dan dia
belum menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang diceraikan
itu.

2) Haram, apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada


istri tersebut.

3) Makruh, apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.

4) Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli.

5) Sunah, Sekiranya mendatangkan kebaikan

C. Sebab-sebab Terjadinya Rujuk

Ketentuan rujuk itu ada karena adanya ketentuan talak. Dalam pasal 163 ayat
2 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa rujuk dapat dilakukan
dalam hal-hal putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah
jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhu>l.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rujuk tidak akan terjadi jika tidak
ada talak raj’i terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa talak merupakan
salah satu penyebab adanya rujuk.

D. Syarat Dan Rukun Rujuk.

1. Hak Rujuk

Rujuk adalah hak bagi suami selama dalam masa iddah. Oleh karena itu
suami tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami semisal berkata: “Tidak
ada Rujuk bagiku” namun sebenarnya suami tetap mempunyai hak rujuk
terhadap istrinya.

2. Syarat Rujuk

Rujuk dapat terjadi selama istri masih dalam masa iddah talak raj’i, maka
apabila mantan suami hendak merujuk istrinya, maka hendaklah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:

a) Mantan istri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri

b) Harus dilakukan dalam masa iddah


c) Harus dipersaksikan oleh dua orang saksi

d) Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai iwad dari istri

e) Persetujuan istri yang akan dirujuk.

3. Rukun Rujuk

Dalam pelaksanaan rujuk, rukun rujuk sangat penting, karenarujuk dipandang


sah apabila memenuhi rukun yang diterapkan olehfuqaha’. Adapun mengenai
rukun rujuk yakni sebagai berikut:

1) Istri

Keadaan istri disyaratkan:

a) Sudah dicampuri

b) Istri yang tertentu (bagi suami yang punya istri lebih dari satu)

c) Talaknya adalah talak raj’i

d) Istri masih dalam masa iddah.

2) Suami

Suami meminta rujuk atas kehendaknya sendiri, bukan paksaan dari pihak
lain.

a) Ada saksi

b) Lafaz rujuk

E.Tata Cara Pelaksanaan Rujuk

Mengenai tata cara pelaksanaan rujuk di sini, penulis melihat dari


syarat dan rukun rujuk di atas, rujuk harus diikrarkan dengan
perkataan secara tegas dan terang-terangan (benar-benar berniat
sungguh untuk merujuk) kepada bekas istrinya.

Rujuk tidak bermotif untuk menyakiti atau menyusahkan bekas


istrinya. Kemauan dan keikhlasan rujuk dari suami, serta Lafaz}
rujuk “aku rujuk kamu” yang s}arih diucapkan kepada bekas istrinya
dihadapan minimal dua orang saksi adalah tata cara rujuk dari rukun
rujuk tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 167 sampai dengan pasal 169
dijelaskan mengenai tata cara melaksanakan rujuk. Adapun bunyi
pasal tersebut adalah:

Pasal 167:

(1) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya


ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa
penetapan tentang terjadinya talak dan surah keterangan lain yang
diperlukan.

(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai


Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat


Nikahmemeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk
itumemenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat,
apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak
raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.

(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing masing


yangbersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku
Pendaftaran Rujuk.

(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau


Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami istri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan
rujuk.

Pasal 168:

(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai


PencatatNikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-
saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahinya, disertai surahsurah keterangan yang diperlukan untuk
dicatat dalam buku pendaftar rujuk dan yang lain disimpan.

(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu


Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas)
hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka
pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar
lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169:

(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surah keterangan tentang terjadinya


rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri
masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftar Rujuk menurut contoh
yag ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftar
Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya
talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-
masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama
dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa
yang bersangkutan telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal
rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftar Rujuk dan
tanda tangan Panitera.36Ketentuan tentang pencatatan rujuk tersebut
diatas hanya didasarkan kepada konsep maslah}ah mursalah, karena tidak
ada nash yang mengaturnya. Dasar konsep ini adalah untuk membangun
suatu peraturan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan umat, sebab
sebagaimana nikah rujuk pun hanya bisa dibuktikan dengan akta. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga ketertiban hukum dan administrasi dalam
masyarakat.

12.Perkawinan Menurut UU

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


(UU Perkawinan), dijelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
sdengan tujuan membentuk sebuah keluarga. Selanjutnya, Pasal 2 UU
Perkawinan mengatakan bahwa :

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku.”

Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak perkawinan Warga


Negara Indonesia (WNI) yang hanya memenuhi tuntutan agama saja
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sedangkan, tuntutan
administratif berdasarkan Pasal 2 ayat (2) tidak dipenuhi karena
perkawinannya tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[1] Lantas,
apakah suatu perkawinan harus dicatat agar menjadi sah?

Pada dasarnya, pencatatan yang dilakukan atas suatu perkawinan tidak


menjadi syarat sah suatu perkawinan, sehingga tidak memengaruhi
keabsahan status suami dan istri.[2] Hal ini didukung dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan
sahnya perkawinan. Adapun materi pokok dalam putusan tersebut berisi
pembahasan untuk membuktikan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
mengenai hubungan perdata anak di luar perkawinan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) sepanjang
diartikan menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki, yaitu dalam
hal ini seorang ayah.[3] Selanjutnya, dalam Putusan MK tersebut
dikatakan juga bahwa pencatatan hanya menjadi kewajiban administratif
yang membuktikan terjadinya suatu perkawinan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Terlebih lagi, putusan tersebut menegaskan bahwa
makna pentingnya kewajiban administratif yang dimaksud adalah agar
negara dapat memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis. Akan tetapi, perkawinan yang tidak
dicatat dapat menimbulkan beberapa akibat hukum yang meliputi
konsekuensi yuridis terhadap akibat-akibat perkawinan seperti hak-hak
keperdataan, kewajiban pemberian nafkah dan hak waris. Hal ini
dikarenakan pencatatan perkawinan menjadi syarat formal untuk legalitas
atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan konsekuensi yuridis baik
dalam hak-hak keperdataan maupun kewajiban nafkah dan hak waris.

Sebagai kesimpulan, pencatatan tidak menjadi syarat perkawinan yang


sah di Indonesia. Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan hanya merupakan suatu bukti otentik yang melindungi hak-
hak yang timbul dari suatu perkawinan. Maka dari itu, walaupun
pencatatan bukan merupakan syarat sah, perkawinan yang tidak dicatat
dapat membawa konsekuensi terhadap akibat-akibat hukum yang muncul
dari suatu perkawinan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Anda mungkin juga menyukai