OLEH:
KELOMPOK 3
1. Daffany Viroza
2. Rania Syahira
3. Yola Tirsa
4. Veni Theri Utami
5. Annisa Putri Hairani
6. Aldo Prastia
7. M. Rezeky Prayugo
1. Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan
yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri
yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban
bagi suami isteri. Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah
atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya.
Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka
mengemudikan bahtera kehidupan. Sunnatullah yang berupa
perkawinan ini tidak hanya berlaku di kalangan manusia saja, tapi
juga didunia binatang. Allah Ta‟ala berfirman:
2. Tujuan Menikah
Berikut beberapa tujuan menikah dalam Islam menurut AlQuran
dan hadis, beserta keutamaannya sesuai sabda Nabi SAW:
3. Menyempurnakan Agama
Terasa lebih indah bila menjalani kebahagiaan dunia dan akhirat
bersama seseorang yang tepat dalam biduk rumah tangga. Tujuan
pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk menyempurnakan
separuh agama. Separuhnya yang lain melalui berbagai ibadah.
ۗ ٖصلِ ِحي َْن ِمنْ عِ َبا ِد ُك ْم َو ِا مَٓاِئ ُك ْم ۗ ِانْ َّي ُك ْو ُن ْوا فُ َق َرٓا َء ي ُْغن ِِه ُم هّٰللا ُ ِمنْ َفضْ لِه
ّ ٰ َواَ ْن ِكحُوا ااْل َ َيا ٰمى ِم ْن ُك ْم َوا ل
َوا هّٰلل ُ َوا سِ ٌع َعلِ ْي ٌم
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui."
(QS. An-Nur 24: Ayat 32)
5. Mendapatkan Keturunan
Demi melestarikan keturunan putra-putra Adam, tujuan
pernikahan dalam Islam termasuk mendapatkan keturunan. Salah
satu jalan investasi di akhirat, selain beribadah, termasuk pula
keturunan yang sholeh/sholehah.
َّ َوا هّٰلل ُ َج َع َل َلـ ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ُك ْم اَ ْز َوا جً ا َّو َج َع َل َلـ ُك ْم مِّنْ اَ ْز َوا ِج ُك ْم َب ِني َْن َو َح َفدَ ًة وَّ َر َز َق ُك ْم م َِّن
ِ الطي ِّٰب
ۗ ت
ت هّٰللا ِ ُه ْم َي ْكفُر ُْو َن
ِ اَ َف ِبا ْل َبا طِ ِل يُْؤ ِم ُن ْو َن َو ِب ِنعْ َم
َوا لَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا َوا َّت َب َع ْت ُه ْم ُذرِّ َّي ُت ُه ْم ِب ِا ْي َما ٍن اَ ْل َحـ ْق َنا ِب ِه ْم ُذرِّ َّي َت ُه ْم َو َم ۤا اَ َلـ ْت ٰن ُه ْم مِّنْ َع َمل ِِه ْم مِّنْ َشيْ ٍء ۗ ُك ُّل
ٌب َر ِهيْن َ امْری ٍء ِۢب َما َك َس ِ
3. Hukum Menikah
Hukum melakukan pernikahan, mayoritas ulama berpendapat
bahwa pada asalnya hukum melakukan perkawinan adalah sunnah
dan ini berlaku secara umum. Ini berdasarkan dari banyaknya
perintah Allah dan Nabi yang memerintahkan untuk melakukan
perkawinan. Hal tersebut juga tertuang secara jelas dalam hadis
Nabi dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya:
“Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah saw. Bersabda: menikah itu
sunnahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku,
dia bukan dari umatku, dan menikahlah, karena sesungguhnya Aku
akan berbangga karena banyak kaum.”
1. Wajib
Menikah menjadi wajib apabila seorang pria yang dipandang dari
sudut fisik sudah sangat mendesak untuk menikah, sedang dari
sudut biaya hidup sudah mampu dan mencukupi, sehingga jika dia
tidak menikah dikhawatirkan dirinya akan terjerumus dalam lembah
perzinahan, maka wajib baginya untuk menikah. Begitu juga halnya
dengan seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari
perbuatan orang jahat jika ia tidak menikah, maka wajib baginya
untuk menikah. Terkait hukum wajibnya menikah, Sayyid Sabiq
mengutip pendapat Imam Qurthubi, bahwa orang bujangan yang
sudah mampu menikah dan takut diri dan agamanya menjadi rusak,
sedangkan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya
kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat
tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya telah mendesaknya,
sedangkan ia tidak mampu membelanjai istrinya, maka Allah SWT
akan melapangkan rizkinya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya di dalam surat Al-Nur ayat
32 yang berbunyi:
ًَِين ِمنْ عِ َبا ِد ُك ْم ًَِإمَاِئ ُك ْم ۚ ِإنْ َي ٌُكنٌُا فُ َق َسا َء ي ُْغن ِِي ُم ال َلوُ ِمنْ َفضْ ل ِِو ٌُ
َ ّۗ َأ ْنكِذا ْالَؤ َيا َم ٰى ِم ْن ُك ْم ًَال
َ صالِذ
ًَال َلوُ ًَاسِ ٌع َعلِي ٌم
2. Sunah
Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu,
tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan
haram. Dalam hal seperti ini, maka menikah lebih baik baginya
daripada membujang, karena membujang (seperti pendeta) tidak
diperbolehkan dalam Islam. Larangan
membujang tersebut secara jelas telah disampaikan oleh Nabi
Muhammad dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah yang berbunyi: Artinya: “Dari Samrah, sesungguhnya
Rasulullah saw. melarang membujang”
3. Haram
Nikah diharamkan bagi orang yang sadar bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga, seperti
memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan nafkah batin, seperti
menggauli istrinya. Menikah juga haram bagi orang yang berniat
ingin menyakiti perempuan yang dikawininya.
4. Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi orang yang belum pantas dan
belum berkeinginan untuk menikah serta tidak memiliki bekal untuk
nikah. Nikah juga bisa menjadi makruh bagi seorang yang mampu
dari segi materiil tapi lemah secara batin. Seperti orang yang lemah
syahwat, dan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya,
walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak mempunyai
naluri syahwat yang kuat. Imam As-Syafi'i juga menerangkan
bahwa nikah hukumnya makruh bagi orang yang belum
membutuhkan karena faktor genetik (bawaan dari lahir) atau faktor
lain seperti sakit, lemah, dan dia tidak punya biaya. Karena jika
dipaksakan, pernikahan hanya mengikat orang itu untuk melakukan
sesuatu yang dia tidak mampu, padahal dia membutuhkan. Imam
Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan makruh bagi orang
yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia
merasa akan berbuat curang dalam perkawinan.
5. Mubah
Nikah hukumnya mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh
alasan-alasan yang mewajibkan untuk segera kawin atau karena
alasan-alasan yang mengharamkan untuk melakukan perkawinan.
4. Mahram
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang mahram didalam al-Qur’an
tersebar di beberapa surah. Menurut Ibnu Faris, semua akar
kata yang berasal dari ha-ra, dan mim mengandung arti ‘larangan’
dan ‘penegasan’. Orang yang tidak boleh dikawini disebut mahram
() َمحْ َر ٌم.
Dalam ilmu Fiqih Mahram ( ) َمحْ َر ٌمadalah semua orang yang haram
untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan
pernikahan dalam syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah
dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim,
sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Dalam bahasa
Arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram
dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram
(mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita,
dan haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya.
ْصا ِرهِنَّ َو َيحْ َف ْظ َن فُر ُْو َجهُنَّ َواَل ُي ْب ِدي َْن ِز ْي َن َتهُنَّ ِااَّل َما َظ َه َر ِم ْن َها َ ت َي ْغضُضْ َن ِمنْ اَب ِ َوقُ ْل لِّ ْـلمُْؤ م ِٰن
ِ َو ْل َيـضْ ِرب َْن ِب ُخم ُِرهِنَّ َع ٰلى ُجي ُْو ِب ِهنَّ َۖ واَل ُي ْب ِدي َْن ِز ْي َن َتهُنَّ ِااَّل لِ ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو ٰا َب
ٓاِئهنَّ اَ ْو ٰا َبٓا ِء ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو
ۤ ۤ
ت ْ ٓاِئهنَّ اَ ْو َما َم َلـ َك ِ ٓاِئهنَّ اَ ْو اَ ْب َنٓا ِء ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو ا ِْخ َوا ن ِِهنَّ اَ ْو َب ِنيْ ا ِْخ َوا ن ِِهنَّ اَ ْو َب ِنيْ اَ َخ ٰوت ِِهنَّ اَ ْو ن َِس
ِ اَ ْب َن
ِ الط ْف ِل الَّ ِذي َْن َل ْم َي ْظ َهر ُْوا َع ٰلى َع ْو ٰر
ت ِّ اَ ْي َما ُنهُنَّ اَ ِو ال ٰ ّت ِب ِعي َْن َغيْر اُولِى ااْل ِ رْ َب ِة م َِن الرِّ َجاـ ِل اَ ِو
ِ
ال ِّن َسٓا ِء َۖ واَل َيضْ ِرب َْن ِبا َ رْ ُجل ِِهنَّ لِيُـعْ َل َم َما ي ُْخفِي َْن ِمنْ ِز ْي َنت ِِهنَّ َۗ و ُت ْوب ۤ ُْوا ِا َلى هّٰللا ِ َج ِميْعًا اَ ُّي َه ْالمُْؤ ِم ُن ْو َن
َل َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح ُْو َن
َ َواَل َت ْن ِكح ُْوا َما َن َك َح ٰا َبٓا ُؤ ُك ْم م َِّن ال ِّن َسٓا ِء ِااَّل َما َق ْد َس َل
ف ۗ ِا َّن ٗه َكا َن َفا ِح َش ًة وَّ َم ْق ًتا َۗ و َسٓا َء َس ِب ْياًل
Dan dari ayat diatas dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang
yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh
melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah:
1. Ibu tiri
2. Ibu kandung
3. Anak-anakmu yang perempuan
4. Saudara-saudaramu yang perempuan
5. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
6. Saudara-saudara ibumu yang perempuan
7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
8. Anak-anak perempuanmu dari saudara-saudara yang
perempuan
9. Ibu-ibu mu yang menyusui kamu
10. Saudara perempuan sepersusuan
11. Ibu-ibu isterimu
12. Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah
kamu campuri
13. Istri-istri anak kandungmu
4. Syarat-syarat saksi
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Saksi berjumlah paling kurang dua orang.
b. Kedua saksi itu beragama Islam.
c. Kedua saksi itu adalah orang merdeka.
d. Kedua saksi itu bersifat adil.
e. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
5. Syarat-syarat mahar
Mahar jika berbentuk barang, maka syaratnya adalah :
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebutkan perkawinan
untuk masa tertentu, dalam arti pada waktu akad dinyatakan
berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu
telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui
proses perceraian. Nikah mut’ah itu waktu ini masih dijalankan oleh
masyarakat yang bermazhab Syiah Imamiyah yang tersebar di
seluruh Iran dan sebagian Irak. Nikah mut'ah disebut juga dengan
nikah munqati.
2. Nikah Tahlil
Nikah tahlil adalah perkawinan yang dilakukan untuk
menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera
kembali kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah
menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau
berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas
istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki
lain, kemudian bercerai dan habis pula masa iddahnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230 :
َف ِا نْ َطلَّ َق َها َفاَل َت ِح ُّل َل ٗه ِم ۢنْ َبعْ ُد َح ٰ ّتى َت ْنك َِح َز ْوجً ا َغي َْرهٗ ۗ َف ِا نْ َطلَّ َق َهاـ َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َم ۤا اَنْ َّي َت َرا َج َع ۤا
ك ُح ُد ْو ُد هّٰللا ِ ُي َب ِّي ُن َها لِ َق ْو ٍم يَّعْ َلم ُْو َن هّٰللا
َ ِانْ َظ َّن ۤا اَنْ ُّيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ ِ َۗ وت ِْل
3. Nikah Syighar
Nikah syighar yaitu seorang laki-laki yang mengawinkan anak
perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan
pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara
keduanya mahar. Dalam bentuk nyatanya adalah sebagai berikut :
seorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain:
“saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A kepadamu
dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang bernama
si B”. Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul : “saya terima
mengawini anak perempuanmu bernama si A dengan maharnya
kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B”. Dalam
bentuk perkawinan tersebut di atas yang menjadi maharnya adalah
perbuatan mengawinkan anaknya kepada seseorang, dalam arti
kehormatan anaknya yang dirasakan oleh orang yang mengawini
itu. Kedua anak perempuan yang dikawinkan oleh walinya itu sama
sekali tidak menerima dan merasakan mahar dari perkawinan
tersebut, sedangkan mahar itu adalah untuk anak perempuan yang
dikawinkan itu, bukan untuk wali yang mengawinkannya. Yang tidak
terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar secara nyata dan
adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh
karena itu, perkawinan dalam bentuk ini dilarang.
1. Mahram Muabbad
Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan
pernikahan untuk selamanya, ada tiga kelompok :
ْت َي َت َر بَّصْ َن ِبا َ ْنفُسِ ِهنَّ َث ٰل َث َة قُر ُْٓو ٍء َۗ واَل َي ِح ُّل َلهُنَّ اَنْ ي َّْك ُتمْ َن َما َخ َل َق هّٰللا ُ فِ ۤيْ اَرْ َحا م ِِهنَّ ِان ُ ُطلَّ ٰق
َ َوا ْلم
ُكنَّ يُْؤ مِنَّ ِبا هّٰلل ِ َوا ْل َي ْو ِم ااْل ٰ خ ِِر َۗ و ُبع ُْو َل ُتهُنَّ اَ َح ُّق ِب َر ِّدهِنَّ فِيْ ٰذل َِك ِانْ اَ َرا ُد ۤ ْوا ِاصْ اَل حً ا َۗ و َلهُنَّ م ِْث ُل
دَر َج ٌة َۗ وا هّٰلل ُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم
َ َّالَّ ِذيْ َع َلي ِْهنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ َۖ ولِلرِّ َجاـ ِل َع َلي ِْهن
ص ُد ٰقت ِِهنَّ ِنحْ َل ًة ۗ َف ِا نْ طِ ب َْن َلـ ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِّم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُ ْوهُ َه ِن ۤ ْيـًئ ـا م َِّر ۤ ْیـًئ ـا
َ َو ٰا ُتوا ال ِّن َسٓا َء
2) Nafkah
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan kebutuhan
istri, seperti pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya
yang menjadi kebutuhan istri.
Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah
dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri
wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah
tangga, dan mendidik anak-anaknya. Ia tertahan untuk
melaksanakan haknya, “Setiap orang yang tertahan untuk hak
orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya untuk orang yang
menahan karenanya”.
ضا َع َة َۗ و َع َلى ْال َم ْولُ ْو ِد َل ٗه َ َّْن لِ َمنْ اَ َرا دَ اَنْ ُّي ِت َّم الر ِ ْن َكا ِم َلي
ِ ت يُرْ ضِ عْ َن اَ ْواَل دَ هُنَّ َح ْو َلي ُ َوا ْل َوا ل ِٰد
ضٓا رَّ َوا لِدَ ةٌ ِۢب َو َل ِد َها َواَل َم ْولُ ْو ٌد لَّ ٗه َ ِر ْزقُهُنَّ َو ِكسْ َو ُتهُنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ ۗ اَل ُت َكلَّفُ َن ْفسٌ ِااَّل وُ سْ َع َها ۚ اَل ُت
ۗ ض ِّم ْن ُه َما َو َت َشاوُ ٍر َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َما ٍ ِصا اًل َعنْ َت َرا َ ث م ِْث ُل ٰذل َِك ۚ َف ِا نْ اَ َرا دَا ف ِ ِب َو َلدِهٖ َو َع َلى ْال َوا ِر
َو ِا نْ اَ َر ْد ُّت ْم اَنْ َتسْ َترْ ضِ ع ۤ ُْوا اَ ْواَل دَ ُك ْم َفاَل ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم ا َِذا َسلَّمْ ُت ْم م َّۤا ٰا َت ْي ُت ْم ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ َۗ وا َّتقُوا هّٰللا َ َوا
عْ َلم ۤ ُْوا اَنَّ هّٰللا َ ِب َما َتعْ َملُ ْو َن بَصِ ْي ٌر
َّض َم ۤا ٰا َت ْي ُتم ُْوهُن ُ ْٰۤيـا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َي ِح ُّل َلـ ُك ْم اَنْ َت ِر ُثوا ال ِّن َسٓا َء َكرْ هًا َۗ واَل َتع
ِ ْضلُ ْوهُنَّ لِ َت ْذ َهب ُْوا ِب َبع
ِااَّل ۤ اَنْ َّيْأ ِتي َْن ِب َفا ِح َش ٍة ُّم َب ِّي َن ٍة َۚ و َعا شِ ر ُْوهُنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ ۚ َف ِا نْ َك ِرهْ ُتم ُْوهُنَّ َف َع ٰۤسى اَنْ َت ْك َره ُْوا َش ْيـًئ ـا
وَّ َيجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه َخيْرً ا َك ِثيْرً ا
Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang
yang paling baik pekertinya dan sebaik-baik kamu adalah
orang yang paling baik terhadap istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi)
b) Menjaga istri
Disamping berkewajiban mempergauli istri dengan baik, suami
juga wajib menjaga martabat dan kehormatan istrinya, mencegah
istrinya jangan sampai hina, jangan sampai istrinya berkata jelek.
Inilah kecemburuan yang disukai oleh Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan istriku,
niscaya akan kutebas ia dengan pedang,” ucapan itu akhirnya
sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau bersabda, ”Apakah kalian
merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih
cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripada aku.”
(HR. Bukhari).
8. Perceraian
Setiap pasangan tentu pernah merasakan adanya permasalahan
dalam rumah tangga. Ada yang berakhir baik dan justru semakin
memperkokoh rumah tangganya. Namun, ada juga yang
permasalahannya semakin kompleks dan tidak terselesaikan, yang
bahkan berakhir dengan perceraian.
Perceraian atau bisa juga disebut talak dalam Islam adalah
pemutusan hubungan suami istri dari hubungan pernikahan yang
sah menurut aturan agama Islam dan negara. Perceraian biasanya
dianggap sebagai cara terakhir yang diambil oleh pasangan suami
istri untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki.
2. Talak Bain
Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak tiga kepada
istrinya, sehingga istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan
boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan
lelaki lain dan berhubungan suami istri dengan suami yang baru
lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.
3. Talak Sunni
Ini terjadi ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya
yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri saat
masih suci tersebut.
4. Talak Bid’i
Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang
dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah
disetubuhi.
5. Talak Taklik
Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-
syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang
ditentukan itu berlaku, maka terjadilah perceraian atau talak.
1. Fasakh
Ini merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri
ke suami akibat beberapa perkara, antara lain:
● Suami tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan
berturut-turut.
● Suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa
kabar.
● Suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah
(baik sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya hubungan
suami istri
● Adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.
2. Khulu’
Ini adalah perceraian yang merupakan kesepakatan antara suami
dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari istri kepada
suami. Terkait dengan hal ini, penjelasannya terdapat pada surat
Al-Baqarah ayat 229.
َّك ِۢب َمعْ ر ُْوفٍ اَ ْو َتسْ ِر ْي ٌح ِۢب ِاحْ َسا ٍن َۗ واَل َي ِح ُّل َلـکُ ْم اَنْ َتْأ ُخ ُذ ْوا ِمم َّۤا ٰا َت ْي ُتم ُْوهُن ٌ لطاَل ُق َمرَّ ٰت ِن ۖ َف ِا مْ َسا َّ َا
َشيْــًئ ا ِااَّل ۤ اَنْ ي ََّخا َف ۤا اَ اَّل ُيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ ۗ َف ِا نْ ِخ ْف ُت ْم اَ اَّل ُيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ ۙ َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َما فِ ْي َما
ّ ٰ ِئك ُه ُم
الظلِم ُْو َن َ ول
ٓ ٰ ُ دَت بهٖ ۗ ت ِْلك ُح ُد ْو ُد هّٰللا ِ َفاَل َتعْ َت ُد ْوها ۚ ومنْ َّي َتع َّد ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ َفا
َ َ َ َ َ ِ ْ ا ْف َت
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali)
khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 229)
1. Perceraian Wajib
Ini harus terjadi jika suami istri tidak lagi bisa berdamai.
Keduanya sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain bercerai
untuk menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua
orang wakil dari pihak suami dan istri, permasalahan rumah tangga
tersebut tidak kunjung selesai dan suami istri tidak bisa berdamai.
Biasanya, masalah ini akan dibawa ke pengadilan dan jika
pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah keputusan
yang terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.
2. Perceraian Sunnah
Ternyata, perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah
ketika terjadi syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah ketika
suami tidak mampu menanggung kebutuhan istri.
Selain itu, ketika seorang istri tidak lagi menjaga martabat dirinya
dan suami tidak mampu lagi membimbingnya.
3. Perceraian Makruh
Jika istri memiliki akhlak yang mulia, mempunyai pengetahuan
agama yang baik, maka hukum untuk menceraikannya adalah
makruh. Hal ini dianggap suami sebenarnya tidak memiliki sebab
yang jelas mengapa harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga
sebenarnya masih bisa diselamatkan.
4. Perceraian Mubah
Ada beberapa sebab tertentu yang menjadikan hukum bercerai
adalah mubah. Misalnya, ketika suami sudah tidak lagi memiliki
keinginan nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah
putus haidnya.
5. Perceraian Haram
Hal ini terjadi jika seorang suami menceraikan istrinya saat istri
sedang haid atau nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat
suci tersebut suami telah berjima’ dengan istrinya. Selain itu, suami
juga haram menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah
istrinya menuntut hartanya. Tidak hanya itu, diharamkan juga untuk
mengucapkan talak lebih dari satu kali.
10. Iddah
A. Definisi ‘Iddah
1. Bahasa
Al-‘Iddah berasal dari bahasa arab yang artinya sama dengan
Al-Hisab, dan Al-Ihsha yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan
‘iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya
dihitung oleh istri dengan quru’ (suci dari haid atau haid) atau
dengan bilangan beberapa bulan.
2. Istilah
Dikalangan para ulama fiqh dan berbagai kitab klasik didapati
sedikit perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian ‘iddah.
Diantaranya:
a. Kitab Al-Wajiz
‘Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau
kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau
dengan hitungan bilangan beberapa bulan.
2. As-Sunnah
Pensyari’atan ‘iddah ini juga terdapat dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah rahiyallahu ‘anha:
Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak
boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas
suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh
hari.”
(HR. Bukhari-Muslim)
3. Khulu’
Wanita yang khulu’ yaitu seorang wanita yang meminta cerai
kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan harta
kepada suaminya yang disebut sebagai fidyah dan iftida). Wajib
baginya ber’iddah.
4. Li’an
Li’an adalah sebuah kasus hukum dimana seorang suami yang
menuduh istrinya berzina, tanpa bisa mendatangkan saksi kecuali
dari diri mereka sendiri atau seorang suami yang mengingkari anak
dalam kandungan istrinya). Dalam kasus cerai sebab Li’an maka si
wanita ini juga wajib ber’iddah.
5. Fasakh
Yang dimaksud fasakh adalah Pembatalan akad pernikahan. Hal
ini bukan dinamakan thalaq karena tidak memiliki hitungan quru
seperti thalaq pada umumnya yang menyebabkan putusnya
hubungan suami istri. Namun fasakh ini terjadi karena sebab
putusan hakim. Contoh: pernikahan seorang wanita muslimah
dengan seorang lelaki kafir
6. Khalwat (berdua-duaan)
Tanpa terjadinya jima’ (bercampur) diantara suami dan istri. Ini
adalah pendapat Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah,
sedangkan menurut Asy-Syafi’iyah tidak ada kewajiban ‘iddah bagi
seorang wanita jika hanya sebatas khalwat tanpa terjadinya jima’.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mu’min, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya (jima’) maka tidak ada masa ‘iddah
bagi mereka yang perlu kamu perhitungkan….”
(QS.Al-Ahzab: 49)
D. Hukum ‘Iddah
Berdasarkan berbagai ayat dan hadis yang dipaparkan
sebelumnya menunjukkan bahwa ‘iddah ini wajib dijalankan bagi
setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan
ketentuan-ketentuan yang selanjutnya akan dijelaskan di bawah.
Kewajiban ‘iddah ini juga merupakan ijma’ kesepakatan ‘ulama dan
tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya. Kewajiban
‘iddah ini dapat juga dilihat berdasarkan ucapan Rasulullah Saw
kepada Fatimah binti Qais:
“Ber’iddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum”.
Jika wanita non muslim dari ahlu kitab ini menolak menjalankan
masa ‘iddah, maka boleh dipaksa untuk ber’iddah, karena ini
merupakan hak bagi suaminya yang muslim dan ada hak anak,
untuk menghindari ketidakjelasan nasab garis keturunan yang
muncul manakala wanita non muslim tersebut memutuskan segera
menikah usai pisah.
5. Ta’abbud illallah
Selain tujuan-tujuan ‘iddah sebagaimana diungkapkan diatas,
pelaksanaan ber’iddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan
makhluk kepada aturan Khaliknya. Terhadap aturan-aturan Allah
itulah, maka kewajiban bagi wanita muslimah untuk mentaatinya.
Sesungguhnya wanita muslimah yang bercerai dari suaminya,
apakah karena cerai hidup atau mati. Disana akan ada tenggang
waktu yang harus dijalani dan dilaluinya sebelum menikah lagi
dengan laki-laki lain, maka kemauan untuk mentaati aturan
ber’iddah inilah yang merupakan gambaran ketaatannya
kepadaNya, dan kemauan untuk taat inilah yang didalamnya
terkandung nilai ta’abbudi (penghambaan) kepada Allah SWT yang
tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.
Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan
manfaat ber’iddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan
bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilanggar.
ٍ َو ِمنْ ٰا ٰيت ٖ ِٓه اَنْ َخ َل َق َل ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ُك ْم اَ ْز َواجً ا لِّ َتسْ ُك ُن ْٓوا ِا َل ْي َها َو َج َع َل َب ْي َن ُك ْم م ََّو َّد ًة وَّ َرحْ َم ًة ۗاِنَّ فِيْ ٰذل َِك اَل ٰ ٰي
ت
لِّ َق ْو ٍم َّي َت َف َّكر ُْو َن
4. Menyambung Keturunan
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih,
beriman dan bertakwa. Anak yang cerdas secara emosional dan
intelektual juga dibutuhkan untuk melanjutkan syiar agama yang
dibawa orangtuanya.
Dengan menikah, semua hal itu dapat terwujud. Sehingga
keturunan dan generasi Islam yang unggul pun dapat terus ada dan
berkelanjutan.
13. Kesimpulan
Pernikahan merupakan salah satu hal yang penting bagi
manusia serta menimbulkan akibat terhadap kehidupan manusia,
khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu
pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta
memperoleh keturunan. Oleh karena itu, maka suatu pernikahan
hendaknya dipersiapkan secara baik dan sesuai dengan peraturan
yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. Dari uraian hasil penelitian dan analisa data yang dapat kita
ambil beberapa.