Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH AGAMA ISLAM:

BAB 7: Indahnya Membangun Mahligai Rumah


Tangga

OLEH:
KELOMPOK 3
1. Daffany Viroza
2. Rania Syahira
3. Yola Tirsa
4. Veni Theri Utami
5. Annisa Putri Hairani
6. Aldo Prastia
7. M. Rezeky Prayugo

1. Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan
yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri
yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban
bagi suami isteri. Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah
atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya.
Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka
mengemudikan bahtera kehidupan. Sunnatullah yang berupa
perkawinan ini tidak hanya berlaku di kalangan manusia saja, tapi
juga didunia binatang. Allah Ta‟ala berfirman:

ًَ‫ْن َل َع َل ُك ْم َح َر َك ًُْس َن‬ ْ


ِ ‫ِمنْ ُّك ِل َشيْ ٍء َخ َل ْق َنا ًَش َجي‬

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya


kamu mengingat akan kebersamaan Allah.”

Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan


dunia berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri
apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-
prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap
utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih. Demikianlah, bahwa
segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tak
pernah terlepas dari didikan Allah.

Menurut pengertian sebagian fuqaha, perkawinan ialah aqad yang


mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin
dengan lafadz nikah atau ziwaj atau semakna keduanya.
Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah
kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.
Perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-
menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama,
maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud
mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu
aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian
hidup berkeluarga yang meliputi rasa ketenteraman serta kasih
sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.

Sedangkan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam


memberikan pengertian nikah sebagai berikut :
1. Abu Zahra dalam kitab Al-Ahwal Al-Syakhsiyah mendefenisikan
nikah adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan kelamin
antara pria danwanita yang saling mencintai, saling membantu,
yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi.
2. Prof. Dr. Hazairin mendefenisikan bahwa inti dari perkawinan itu
adalah hubungan seksual menurut beliau tidak ada, kecuali akad
nikah (perkawinan).
3. T.M. Hasbi Ash Shiddiqy berpendapat bahwa pernikahan adalah
melaksanakan akad yang dijalin dengan pengakuan kedua belah
pihak antara laki-laki dan perempuan atas kerelaan kedua belah
pihak yang berdasarkan sifat yang ditentukan syara’ untuk
menghalalkan hidup berumah tangga dan menjadikan seseorang
cenderung kepada yang lain.
4. Golongan Hanafiyyah mengartikan nikah dengan akad yang
untuk memiliki kemanfaatan atas sesuatu yang menyenangkan
yang dilakukan dengan sengaja, berarti seseorang dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badanya untuk
mendapatkan kepuasan dan kesenangan.
5. Golongan Malikiyah pernikahan diartikan dengan akad yang
mengandung sesuatu yang berarti mut'ah atau untuk mencapai
kepuasan dengan tidak diwajibkan adanya harga.
6. Golongan Syafi’yyah mengartikan dengan akad yang
mengandung pemilikan untuk melakukan persetubuhan yang
diungkapkan dengan kata-kata ankaha atau tazwij atau dengan
kata-kata lain yang disamakan dengan keduanya. Imam syafi’i
mengartikan dengan akad yang diucapkan antara wali pihak
perempuan dan kabul dari pihak laki-laki.
7. Menurut UU. No. 1 1974 (pasal 1) perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).

Dari beberapa pengertian nikah di atas, maka dapat ditarik


kesimpulan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara laki-laki
dan perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah
pihak yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat
yang telah ditentukan syara’ untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya sehingga satu sama lain saling
membutuhkan dan memenuhi dalam kehidupan rumah tangga.

2. Tujuan Menikah
Berikut beberapa tujuan menikah dalam Islam menurut AlQuran
dan hadis, beserta keutamaannya sesuai sabda Nabi SAW:

1. Melaksanakan Sunnah Rasul


Tujuan utama pernikahan dalam Islam ialah menjauhkan dari
perbuatan maksiat. Sebagai seorang muslim, kita memiliki panutan
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Alangkah baiknya bisa
meniru yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satunya
menjalankan pernikahan dengan niat yang baik.
"Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan
sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena
aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat)."
—(HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah no. 2383).

2. Menguatkan Ibadah sebagai Benteng Kokoh Akhlaq Manusia


Pernikahan merupakan hal yang mulia dalam Islam. Ikatan suci
yang bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri, serta terhindar
dari hal-hal yang dilarang agama.

Apabila telah menikah, diketahui baik untuk menundukkan


pandangan. Juga membentengi diri dari perbuatan keji dan
merendahkan martabat, salah satunya zina.

"Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah.


Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin.
Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa
menjadi tameng baginya."
—(HR. Bukhari No. 4779).

3. Menyempurnakan Agama
Terasa lebih indah bila menjalani kebahagiaan dunia dan akhirat
bersama seseorang yang tepat dalam biduk rumah tangga. Tujuan
pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk menyempurnakan
separuh agama. Separuhnya yang lain melalui berbagai ibadah.

"Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh


ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
SWT dalam memelihara yang sebagian sisanya."
—(HR. Thabrani dan Hakim).

4. Mengikuti Perintah Allah SWT


Tujuan pernikahan dalam Islam berikutnya ialah mengikuti
perintah Allah SWT. Menikah menjadi jalan ibadah yang paling
banyak dinanti dan diidamkan oleh sebagian masyarakat untuk taat
kepada perintah Allah SWT.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 ۗ  ٖ‫صلِ ِحي َْن ِمنْ عِ َبا ِد ُك ْم َو ِا مَٓاِئ ُك ْم ۗ  ِانْ َّي ُك ْو ُن ْوا فُ َق َرٓا َء ي ُْغن ِِه ُم هّٰللا ُ ِمنْ َفضْ لِه‬
ّ ٰ ‫َواَ ْن ِكحُوا ااْل َ َيا ٰمى ِم ْن ُك ْم َوا ل‬
‫َوا هّٰلل ُ َوا سِ ٌع َعلِ ْي ٌم‬
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui."
(QS. An-Nur 24: Ayat 32)

5. Mendapatkan Keturunan
Demi melestarikan keturunan putra-putra Adam, tujuan
pernikahan dalam Islam termasuk mendapatkan keturunan. Salah
satu jalan investasi di akhirat, selain beribadah, termasuk pula
keturunan yang sholeh/sholehah.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َّ ‫َوا هّٰلل ُ َج َع َل َلـ ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ُك ْم اَ ْز َوا جً ا َّو َج َع َل َلـ ُك ْم مِّنْ اَ ْز َوا ِج ُك ْم َب ِني َْن َو َح َفدَ ًة وَّ َر َز َق ُك ْم م َِّن‬
ِ ‫الطي ِّٰب‬
 ۗ ‫ت‬
‫ت هّٰللا ِ ُه ْم َي ْكفُر ُْو َن‬
ِ ‫ اَ َف ِبا ْل َبا طِ ِل يُْؤ ِم ُن ْو َن َو ِب ِنعْ َم‬

"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari


jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa
mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?"
(QS. An-Nahl 16: Ayat 72)

6. Penyenang Hati dalam Beribadah


Tujuan menikah dalam Islam selanjutnya sebagai penyenang
hati, membentuk pasangan suami-istri yang bertakwa pada Allah
SWT. Pernikahan mampu memicu rasa kasih dan menciptakan
insan yang taqwa. Bersama memperjuangkan nilai-nilai kebaikan
dan bermanfaat bagi orang lain.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


‫َوا لَّ ِذي َْن َيقُ ْولُ ْو َن َر َّب َنا َهبْ َلـ َنا ِمنْ اَ ْز َوا ِج َنا َو ُذرِّ ٰ ّي ِت َنا قُرَّ َة اَعْ ي ٍُن وَّ ا جْ َع ْل َنا ل ِْل ُم َّتقِي َْن ِا َما مًا‬

"Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah


kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-
orang yang bertakwa."
(QS. Al-Furqan 25: Ayat 74)

7. Membangun Generasi Beriman


Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk membangun
generasi beriman. Bertanggung jawab terhadap anak, mendidik,
mengasuh, dan merawat hingga cukup usia. Jalan ibadah sekaligus
sedekah yang menjadi bekal di akhirat kelak.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َوا لَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا َوا َّت َب َع ْت ُه ْم ُذرِّ َّي ُت ُه ْم ِب ِا ْي َما ٍن اَ ْل َحـ ْق َنا ِب ِه ْم ُذرِّ َّي َت ُه ْم َو َم ۤا اَ َلـ ْت ٰن ُه ْم مِّنْ َع َمل ِِه ْم مِّنْ َشيْ ٍء ۗ  ُك ُّل‬
ٌ‫ب َر ِهيْن‬ َ ‫امْری ٍء ِۢب َما َك َس‬ ِ

"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka


mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya."
(QS. At-Tur 52: Ayat 21)

3. Hukum Menikah
Hukum melakukan pernikahan, mayoritas ulama berpendapat
bahwa pada asalnya hukum melakukan perkawinan adalah sunnah
dan ini berlaku secara umum. Ini berdasarkan dari banyaknya
perintah Allah dan Nabi yang memerintahkan untuk melakukan
perkawinan. Hal tersebut juga tertuang secara jelas dalam hadis
Nabi dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya:
“Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah saw. Bersabda: menikah itu
sunnahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku,
dia bukan dari umatku, dan menikahlah, karena sesungguhnya Aku
akan berbangga karena banyak kaum.”

Berdasarkan Al-Qur'an maupun As-Sunnah Islam sangat


menganjurkan perkawinan bagi kaum muslimin yang telah mampu
untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian kalau dilihat
dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya maka perkawinan itu dapat dikenakan hukum
wajib, sunnah, haram, makruh maupun mubah.

Untuk lebih jelasnya berikut dipaparkan secara terperinci terkait


hukum melakukan pernikahan :

1. Wajib
Menikah menjadi wajib apabila seorang pria yang dipandang dari
sudut fisik sudah sangat mendesak untuk menikah, sedang dari
sudut biaya hidup sudah mampu dan mencukupi, sehingga jika dia
tidak menikah dikhawatirkan dirinya akan terjerumus dalam lembah
perzinahan, maka wajib baginya untuk menikah. Begitu juga halnya
dengan seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari
perbuatan orang jahat jika ia tidak menikah, maka wajib baginya
untuk menikah. Terkait hukum wajibnya menikah, Sayyid Sabiq
mengutip pendapat Imam Qurthubi, bahwa orang bujangan yang
sudah mampu menikah dan takut diri dan agamanya menjadi rusak,
sedangkan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya
kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat
tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya telah mendesaknya,
sedangkan ia tidak mampu membelanjai istrinya, maka Allah SWT
akan melapangkan rizkinya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya di dalam surat Al-Nur ayat
32 yang berbunyi:
ًَ‫ِين ِمنْ عِ َبا ِد ُك ْم ًَِإمَاِئ ُك ْم ۚ ِإنْ َي ٌُكنٌُا فُ َق َسا َء ي ُْغن ِِي ُم ال َلوُ ِمنْ َفضْ ل ِِو‬ ٌُ
َ ّ‫ۗ َأ ْنكِذا ْالَؤ َيا َم ٰى ِم ْن ُك ْم ًَال‬
َ ‫صالِذ‬
ًَ‫ال َلوُ ًَاسِ ٌع َعلِي ٌم‬

Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara


kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

2. Sunah
Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu,
tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan
haram. Dalam hal seperti ini, maka menikah lebih baik baginya
daripada membujang, karena membujang (seperti pendeta) tidak
diperbolehkan dalam Islam. Larangan
membujang tersebut secara jelas telah disampaikan oleh Nabi
Muhammad dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah yang berbunyi: Artinya: “Dari Samrah, sesungguhnya
Rasulullah saw. melarang membujang”

3. Haram
Nikah diharamkan bagi orang yang sadar bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga, seperti
memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan nafkah batin, seperti
menggauli istrinya. Menikah juga haram bagi orang yang berniat
ingin menyakiti perempuan yang dikawininya.

4. Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi orang yang belum pantas dan
belum berkeinginan untuk menikah serta tidak memiliki bekal untuk
nikah. Nikah juga bisa menjadi makruh bagi seorang yang mampu
dari segi materiil tapi lemah secara batin. Seperti orang yang lemah
syahwat, dan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya,
walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak mempunyai
naluri syahwat yang kuat. Imam As-Syafi'i juga menerangkan
bahwa nikah hukumnya makruh bagi orang yang belum
membutuhkan karena faktor genetik (bawaan dari lahir) atau faktor
lain seperti sakit, lemah, dan dia tidak punya biaya. Karena jika
dipaksakan, pernikahan hanya mengikat orang itu untuk melakukan
sesuatu yang dia tidak mampu, padahal dia membutuhkan. Imam
Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan makruh bagi orang
yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia
merasa akan berbuat curang dalam perkawinan.

5. Mubah
Nikah hukumnya mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh
alasan-alasan yang mewajibkan untuk segera kawin atau karena
alasan-alasan yang mengharamkan untuk melakukan perkawinan.

4. Mahram
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang mahram didalam al-Qur’an
tersebar di beberapa surah. Menurut Ibnu Faris, semua akar
kata yang berasal dari ha-ra, dan mim mengandung arti ‘larangan’
dan ‘penegasan’. Orang yang tidak boleh dikawini disebut mahram
(‫) َمحْ َر ٌم‬.

Dalam ilmu Fiqih Mahram (‫ ) َمحْ َر ٌم‬adalah semua orang yang haram
untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan
pernikahan dalam syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah
dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim,
sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Dalam bahasa
Arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram
dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram
(mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita,
dan haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya.

Mahram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang


(perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat
karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga
tidak boleh menikah di antaranya. Selain itu, mahram juga diartikan
orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi perempuan yang
akan melakukan ibadah haji (suami, anak laki-laki, dsb). Dari
definisi mahram diatas, dapat kita ambil garis besar bahwa mahram
adalah sebuah istilah yang berarti perempuan yang haram dinikahi.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu perempuan yang haram
dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang
perempuan dengan kaitanya bolehnya terlihat sebagai aurat ada
hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan mahram ini
melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang
bersifat permanen, antara lain:

1. Kebolehan berkhalwat (berduaan), kebolehan bepergiannya


seorang perempuan dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani
mahramnya.
2. Kebolehan melihat sebagian dari aurat perempuan mahram,
seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.

Sedangkan hubungan yang selain itu adalah sekedar haram


untuk dinikahi, tetapi tidak membuat halalnya berkhalwat, bepergian
berdua atau melihat sebagian dari auratnya. Hubungan mahram ini
adalah hubungan mahram yang bersifat sementara saja.

Selain mahram diatas, ada juga mahram aurat, yang maksudnya


adalah adanya larangan untuk melihat aurat kecuali yang
semahram. Seperti halnya yang dijelaskan dalam Q.S An-Nur ayat
31

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ْصا ِرهِنَّ َو َيحْ َف ْظ َن فُر ُْو َجهُنَّ َواَل ُي ْب ِدي َْن ِز ْي َن َتهُنَّ ِااَّل َما َظ َه َر ِم ْن َها‬ َ ‫ت َي ْغضُضْ َن ِمنْ اَب‬ ِ ‫َوقُ ْل لِّ ْـلمُْؤ م ِٰن‬
ِ ‫َو ْل َيـضْ ِرب َْن ِب ُخم ُِرهِنَّ َع ٰلى ُجي ُْو ِب ِهنَّ   َۖ واَل ُي ْب ِدي َْن ِز ْي َن َتهُنَّ ِااَّل لِ ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو ٰا َب‬
‫ٓاِئهنَّ اَ ْو ٰا َبٓا ِء ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو‬
ۤ ۤ
‫ت‬ ْ ‫ٓاِئهنَّ اَ ْو َما َم َلـ َك‬ ِ ‫ٓاِئهنَّ اَ ْو اَ ْب َنٓا ِء ُبع ُْو َلت ِِهنَّ اَ ْو ا ِْخ َوا ن ِِهنَّ اَ ْو َب ِنيْ ا ِْخ َوا ن ِِهنَّ اَ ْو َب ِنيْ اَ َخ ٰوت ِِهنَّ اَ ْو ن َِس‬
ِ ‫اَ ْب َن‬
ِ ‫الط ْف ِل الَّ ِذي َْن َل ْم َي ْظ َهر ُْوا َع ٰلى َع ْو ٰر‬
‫ت‬ ِّ ‫اَ ْي َما ُنهُنَّ اَ ِو ال ٰ ّت ِب ِعي َْن َغيْر اُولِى ااْل ِ رْ َب ِة م َِن الرِّ َجاـ ِل اَ ِو‬
ِ
‫ال ِّن َسٓا ِء  َۖ واَل َيضْ ِرب َْن ِبا َ رْ ُجل ِِهنَّ لِيُـعْ َل َم َما ي ُْخفِي َْن ِمنْ ِز ْي َنت ِِهنَّ   َۗ و ُت ْوب ۤ ُْوا ِا َلى هّٰللا ِ َج ِميْعًا اَ ُّي َه ْالمُْؤ ِم ُن ْو َن‬
‫َل َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح ُْو َن‬

"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar


mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka,
atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki
(tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan
janganlah mereka mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada
Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung."
(QS. An-Nur 24: Ayat 31)

Yang dimaksud dengan kalimat “jangan menampakkan


perhiasannya” dalam ayat diatas adalah bahwa larangan untuk
menampakkan “anggota tubuh” yang menjadi objek yang biasa
dipakaikan perhiasan. Sebab melihat perhiasan itu sendiri
hukumnya mubah secara mutlak. Maka kepala boleh dilihat oleh
mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher
dan dada untuk kalung, telinga untuk anting, pergelangan tangan
untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk cincin,
punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda
dengan perut, punggung dan paha yang lazimnya tidak untuk
dipakaikan perhiasan.
Pendapat Para Ulama
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal menerjemahkan
mahram. Berikut pendapat para ulama’ mengenai mahram:
1. Menurut Ibn Qudamah ra. Mahram adalah semua orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan.
2. Menurut Imam Ibnu Atsir ra. Mahram adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak,
saudara, paman, dan lain-lain.
3. Menurut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, Mahram wanita adalah
suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya
karena sebab nasab atau seperti sebab-sebab mubah yang lain
seperti saudara sepersusuan, ayah ataupun anak tirinya.

Antara Mahram dengan Nikah


Mahram dalam ilmu Fiqh berasal dari bahasa Arab, yaitu
Mahram, Mahram memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih
istilah mahram ini digunakan untuk menyebut wanita yang haram
dinikahi oleh pria. Sedangkan nikah (Az-Zawaj) menurut pengertian
ahli hadits dan ahli fiqh adalah perkawinan dalam arti hubungan
yang terjalin antara suami-istri dengan ikatan hukum
Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun
pernikahan, seperti wali, mahar, dua saksi yang adil, dan disahkan
dengan ijab qabul. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pernikahan atau nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yg
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Setelah kita mengetahui pengertian masing-masing dari mahram
dan nikah, maka dapat kita ketahui antara mahram dengan nikah.
Dalam hukum nikah terdapat perempuan-perempuan yang haram
untuk dinikahi karena adanya sebab-sebab tertentu. Dan
perempuan-perempuan tersebut dalam ilmu Fiqh disebut dengan
mahram. Perempuan-perempuan tersebut dilarang dinikahi sebab
ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya,, dan didalam All-
Qur’an juga dijelaskan siapa saja perempuan-perempuan yang
tidak boleh dinikahi seperti firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ [4] : 22-
23

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ‫َواَل َت ْن ِكح ُْوا َما َن َك َح ٰا َبٓا ُؤ ُك ْم م َِّن ال ِّن َسٓا ِء ِااَّل َما َق ْد َس َل‬
‫ف ۗ  ِا َّن ٗه َكا َن َفا ِح َش ًة وَّ َم ْق ًتا  َۗ و َسٓا َء َس ِب ْياًل‬

"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah


dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah
lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh
Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 22)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ْ‫ت َوا ُ م َّٰه ُت ُك ُم ا ٰلّ ِت ۤي‬


ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫ت ااْل َ ِخ َو َب ٰن‬ ُ ‫ت َع َل ْي ُك ْم اُم َّٰه ُت ُك ْم َو َب ٰن ُت ُك ْم َواَ َخ ٰو ُت ُك ْم َو َع ٰ ّم ُت ُك ْم َو ٰخ ٰل ُت ُك ْم َو َب ٰن‬
ْ ‫حُرِّ َم‬
ْ‫ت نِسَٓاِئ ُك ْم َو َربَآِئ ُب ُك ُم ا ٰلّ ِتيْ فِيْ ُحج ُْو ِر ُك ْم مِّنْ ِّنسَٓاِئ ُك ُم ا ٰلّ ِتي‬ ُ ‫ضا َع ِة َو اُم َّٰه‬ َ َّ‫ضعْ َن ُك ْم َواَ َخ ٰو ُت ُك ْم م َِّن الر‬ َ ْ‫اَر‬
ْ‫دَخ ْل ُت ْم ِب ِهنَّ َفاَل ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم  َۖ و َحٓاَل ِئ ُل اَ ْب َنٓاِئ ُك ُم الَّ ِذي َْن ِمنْ اَصْ اَل ِب ُك ْم  َۙ واَ ن‬ َ ‫دَخ ْل ُت ْم ِب ِهنَّ  ۖ  َف ِا نْ لَّ ْم َت ُك ْو ُن ْوا‬َ
‫هّٰللا‬
‫ف ۗ اِنَّ َ َكا َن َغفُ ْورً ا رَّ ِح ْيمًا‬ َ ‫ْن ِااَّل َما َق ْد َس َل‬ ِ ‫  َتجْ َمع ُْوا َبي َْن ااْل ُ ْخ َتي‬

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 23)

Dan dari ayat diatas dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang
yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh
melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah:
1. Ibu tiri
2. Ibu kandung
3. Anak-anakmu yang perempuan
4. Saudara-saudaramu yang perempuan
5. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
6. Saudara-saudara ibumu yang perempuan
7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
8. Anak-anak perempuanmu dari saudara-saudara yang
perempuan
9. Ibu-ibu mu yang menyusui kamu
10. Saudara perempuan sepersusuan
11. Ibu-ibu isterimu
12. Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah
kamu campuri
13. Istri-istri anak kandungmu

Menurut tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb dikatakan,


bahwa wanita yang haram dinikahi itu sudah terkenal pada semua
umat, baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju.
Sebab-sebab keharamannya itu banyak, demikian pula tingkatan-
tingkatan mahram menurut bermacam-macam umat. Daerahnya
luas dikalangan bagsa-bangsa yang masih terbelakang dan
menyempit dikalangan bangsa-bangsa yang telah maju.
Perempuan-perempuan yang haram dinikahi menurut Islam adalah
golongan perempuan yang dijelaskan didalam Q.S An-Nisa’ [4] :
22-23. Sebagiannya diharamkan untuk selamanya, dan
sebagiannya diharamkan dinikahinya dalam kurun waktu tertentu.
Sedangkan ayat-ayat tentang mahram seperti yang dijelaskan
dalam Q.S An-Nur [24] : 31 dan Al-Ahzab: [33]
5. Rukun dan Syarat Menikah
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti
yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak
sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya
mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu
yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu
ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku
untuk setiap unsur yang menjadi rukun.
Adapun syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan
kriteria dari unsur-unsur rukun. Dalam hal hukum perkawinan,
dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat
terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak
bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut
disebabkan oleh karena perbedaan dalam melihat fokus
perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang
terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah : akad
perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan
kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan
akad perkawinan dan mahar atau mas kawin.
Menurut ulama syafi'iyah yang dimaksud dengan perkawinan
disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan
perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu
saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang
harus terwujud dalam suatu perkawinan. Unsur pokok suatu
perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad
perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si
suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya
akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan
secara lengkap adalah sebagai berikut :

1. Calon mempelai laki-laki


2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan
perkawinan
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh
suami

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk


ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam
akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu
berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam
syarat perkawinan.
Adapun syarat perkawinan ialah :

1. Syarat- syarat akad.


Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun
perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan
beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada yang disepakati oleh
ulama dan di antaranya diperselisihkan oleh ulama. Syarat- syarat
akad adalah sebagai berikut :
a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-
laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan : “saya nikahkan
anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah
kitab Al-qur‟an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.
Seperti ucapan mempelai laki-laki: “saya terima menikahi anak
bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur‟an”.
b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa
terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan
terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu
hanya dalam waktu yang pendek.
d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena
perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup.
e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas dan terus
terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran. Karena untuk
penggunaan lafadz sindiran itu diperkuat niat, sedangkan saksi
yang harus dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa
yang diniatkan seseorang. Adapun lafaz yang terang yang
disepakati oleh ulama ialah nakaha atau zawaja . kedua lafaz
tersebut secara jelas digunakan dalam Al-qur‟an dan hadits Nabi
untuk menunjukkan maksud perkawinan. Adapun diluar dari dua
lafaz tersebut terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Ulama
Hanafiyah menambahkan lafaz hibah, tamlik dan shadaqah, karean
ketiga lafaz tersebut mengandung arti penyerahan dan juga
terdapat dalam ucapan Nabi untuk maksud perkawinan. Ulama
Malikiyah menambahkan lafaz hibah, bai’ dan shadaqah. Ulama
Zhahiri menambahkan lafaz tamlik dan imkan.

2. Syarat calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.


Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan
perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki
atau sesama perempuan. Karena ini yang tersebut dalam Al-
Qur’an. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki
dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut :
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang
lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal
lain yang berkenaan dengan dirinya.
b. Keduanya sama-sama beragama Islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula
dengan pihak yang akan mengawininya.
e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
3. Syarat-syarat wali
Syarat-syarat wali adalah sebagai berikut :
a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang
gila tidak berhak menjadi wali.
b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali
orang muslim.
d. Orang merdeka.
e. Tidak berada dalam pengampuan.
f. Berpikiran baik.
g. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak
sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muru'ah
atau sopan santun.
h. Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah.

4. Syarat-syarat saksi
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Saksi berjumlah paling kurang dua orang.
b. Kedua saksi itu beragama Islam.
c. Kedua saksi itu adalah orang merdeka.
d. Kedua saksi itu bersifat adil.
e. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

5. Syarat-syarat mahar
Mahar jika berbentuk barang, maka syaratnya adalah :

a. Jelas dan dapat diketahui bentuk dan sifatnya.

b. Barang itu miliknya sendiri secara kepemilikan penuh dalam arti


dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja
yang dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama
barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
c. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan
dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh
dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi, dan bangkai.

d. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu dijanjikan


dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu
diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya
tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.

6. Pernikahan yang Dilarang/Tidak Sah


Di atas telah dijelaskan rukun dan syarat perkawinan yang
keduanya mesti dipenuhi dalam suatu perkawinan. Bila salah satu
rukun dari rukun-rukun perkawinan itu tidak terpenuhi, maka
nikahnya dinyatakan tidak sah.
Bila yang tidak terpenuhi itu salah satu syarat dari syarat yang
terdapat pada rukun itu, maka nikahnya termasuk nikah yang fasid
dan dengan sendiri hukumnya haram atau terlarang. Tentang
kesalahan perkawinannya terdapat beda pendapat di kalangan
ulama. Di antara perkawinan yang terlarang itu adalah :

1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebutkan perkawinan
untuk masa tertentu, dalam arti pada waktu akad dinyatakan
berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu
telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui
proses perceraian. Nikah mut’ah itu waktu ini masih dijalankan oleh
masyarakat yang bermazhab Syiah Imamiyah yang tersebar di
seluruh Iran dan sebagian Irak. Nikah mut'ah disebut juga dengan
nikah munqati.

2. Nikah Tahlil
Nikah tahlil adalah perkawinan yang dilakukan untuk
menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera
kembali kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah
menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau
berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas
istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki
lain, kemudian bercerai dan habis pula masa iddahnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230 :

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َف ِا نْ َطلَّ َق َها َفاَل َت ِح ُّل َل ٗه ِم ۢنْ َبعْ ُد َح ٰ ّتى َت ْنك َِح َز ْوجً ا َغي َْرهٗ  ۗ  َف ِا نْ َطلَّ َق َهاـ َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َم ۤا اَنْ َّي َت َرا َج َع ۤا‬
‫ك ُح ُد ْو ُد هّٰللا ِ ُي َب ِّي ُن َها لِ َق ْو ٍم يَّعْ َلم ُْو َن‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫ِانْ َظ َّن ۤا اَنْ ُّيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ ِ  َۗ وت ِْل‬

"Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua),


maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami
pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-
orang yang berpengetahuan."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 230)

Yang dimaksud menikah dengan laki-laki lain di dalam ayat


tersebut bukan hanya sekedar melakukan akad nikah, tetapi lebih
jauh telah melakukan hubungan kelamin sebagaimana layaknya
kehidupan suami istri pada umumnya.

3. Nikah Syighar
Nikah syighar yaitu seorang laki-laki yang mengawinkan anak
perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan
pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara
keduanya mahar. Dalam bentuk nyatanya adalah sebagai berikut :
seorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain:
“saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A kepadamu
dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang bernama
si B”. Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul : “saya terima
mengawini anak perempuanmu bernama si A dengan maharnya
kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B”. Dalam
bentuk perkawinan tersebut di atas yang menjadi maharnya adalah
perbuatan mengawinkan anaknya kepada seseorang, dalam arti
kehormatan anaknya yang dirasakan oleh orang yang mengawini
itu. Kedua anak perempuan yang dikawinkan oleh walinya itu sama
sekali tidak menerima dan merasakan mahar dari perkawinan
tersebut, sedangkan mahar itu adalah untuk anak perempuan yang
dikawinkan itu, bukan untuk wali yang mengawinkannya. Yang tidak
terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar secara nyata dan
adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh
karena itu, perkawinan dalam bentuk ini dilarang.

Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat


yang ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena
masih tergantung lagi pada satu hal, yaitu perkawinan itu telah
terlepas dari segala hal yang menghalang. Halangan perkawinan
itu disebut juga dengan larangan perkawinan. Yang dimaksud
dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-
orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang
dibicarakan disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang
tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki atau sebaliknya laki-lai
mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.
Keseluruhannya diatur dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi. Larangan
perkawinan itu ada dua macam :

1. Mahram Muabbad
Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan
pernikahan untuk selamanya, ada tiga kelompok :

a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan


Perempuan-perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-
laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau
nasab adalah sebagai berikut :
1) Ibu
2) Anak
3) Saudara
4) Saudara ayah
5) Saudara ibu
6) Anak dari saudara laki-laki
7) Anak dari saudara perempuan

Keharaman perempuan-perempuan yang disebutkan diatas


sesuai dengan bunyi surat An-Nisa ayat 23 :

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ْ‫ت َوا ُ م َّٰه ُت ُك ُم ا ٰلّ ِت ۤي‬


ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫ت ااْل َ ِخ َو َب ٰن‬ ُ ‫ت َع َل ْي ُك ْم اُم َّٰه ُت ُك ْم َو َب ٰن ُت ُك ْم َواَ َخ ٰو ُت ُك ْم َو َع ٰ ّم ُت ُك ْم َو ٰخ ٰل ُت ُك ْم َو َب ٰن‬
ْ ‫حُرِّ َم‬
ْ‫ت نِسَٓاِئ ُك ْم َو َربَآِئ ُب ُك ُم ا ٰلّ ِتيْ فِيْ ُحج ُْو ِر ُك ْم مِّنْ ِّنسَٓاِئ ُك ُم ا ٰلّ ِتي‬ ُ ‫ضا َع ِة َو اُم َّٰه‬ َ َّ‫ضعْ َن ُك ْم َواَ َخ ٰو ُت ُك ْم م َِّن الر‬ َ ْ‫اَر‬
ْ‫دَخ ْل ُت ْم ِب ِهنَّ َفاَل ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم  َۖ و َحٓاَل ِئ ُل اَ ْب َنٓاِئ ُك ُم الَّ ِذي َْن ِمنْ اَصْ اَل ِب ُك ْم  َۙ واَ ن‬ َ ‫دَخ ْل ُت ْم ِب ِهنَّ  ۖ  َف ِا نْ لَّ ْم َت ُك ْو ُن ْوا‬َ
‫هّٰللا‬
‫ف ۗ اِنَّ َ َكا َن َغ ُف ْورً ا رَّ ِح ْيمًا‬ َ ‫ْن ِااَّل َما َق ْد َس َل‬ ِ ‫  َتجْ َمع ُْوا َبي َْن ااْل ُ ْخ َتي‬

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 23)
Tujuh orang yang disebutkan di atas dalam ayat Al-Qur‟an
dinyatakan dalam bentuk jamak. Dengan pengembangan
pengertian tersebut, maka secara lengkap perempuan yang
diharamkan untuk dikawini oleh seorang laki-laki karena nasab itu
adalah :
1) Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus
ke atas.
2) Anak, anak dari anak laki-laki, anak dari anak perempuan, dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
3) Saudara, baik kandung, seayah atau seibu
4) Saudara ayah, baik hubunganya kepada ayah secara kandung,
seayah atau seibu, saudara kakek baik kandung seayah atau seibu,
dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
5) Saudara ibu, baik hubungannya kepada ibu dalam bentuk
kandung seayah atau seibu, saudara nenek kandung seayah atau
seibu, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.
6) Anak saudara laki-laki kandung seayah atau seibu, cucu saudara
laki-laki kandung seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis
lurus ke bawah.
7) Anak saudara perempuan kandung seayah atau seibu, cucu
saudara laki-laki kandung seayah atau seibu dan seterusnya dalam
garis lurus ke bawah.

Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh boleh kawin untuk


selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki
tersebut
di bawah ini :
1) Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.
2) Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak
perempuan dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara-saudara laki-laki kandung seayah atau seibu.
4) Saudara-saudara laki-laki ayah, kandung, seayah atau seibu
dengan ayah, saudara laki-laki kakek, kandung atau seayah atau
seibu dengan kakek dan seterus nya ke atas.
5) Saudara-saudara laki-laki ibu, kandung, seayah atau seibu
dengan ibu, saudara laki-laki nenek kandung seayah atau seibu
dengan nenek dan seterusnya ke atas.
6) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung seayah atau seibu, cucu
laki-laki dari saudara laki-laki kandung seayah atau seibu dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah
7) Anak laki-laki dari saudara perempuan kandung seayah atau
seibu, cucu laki-laki dari saudara perempuan kandung seayah atau
seibu dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.

b. Disebabkan adanya hubungan mushaharah atau perkawinan


Bila seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang
perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan
kerabat si perempuan, demikian pula sebaliknya terjadi pula
hubungan antara si perempuan dengan kerabat dari laki-laki itu.
Hubungan-hubungan tersebut dinamai dengan hubungan
mushaharah. Dengan terjadinya hubungan mushaharah timbul pula
larangan perkawinan. Perempuan-perempuan yang tidak boleh
dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan
mushaharah itu adalah sebagai berikut :
1) Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.
2) Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu.
3) Ibu istri atau mertua.
4) Anak dari istri dengan ketentuan istri itu telah digauli.
Empat perempuan yang terlarang untuk dikawini sebagaimana
disebutkan di atas sesuai dengan petunjuk Allah dalam surat An-
Nisa' ayat 22 dan 23.
Ulama sepakat mengatakan bahwa larangan perkawinan dengan
ibu tiri dan menantu sebagaimana disebutkan pada angka 1 dan 2
di atas haram untuk dikawini oleh seorang laki-laki dengan semata
telah terjadinya perkawinan antara ayah dengan ibu tiri pada kasus
ibu tiri atau antara anak dengan menantu dalam kasus menantu.
Bila seorang laki-laki tidak boleh mengawini karena adanya
hubungan mushaharah sebagaimana disebutkan di atas,
sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin dengan laki-laki
untuk selamanya disebabkan hubungan mushaharah sebagai
berikut :
1) Laki-laki yang telah mengawini ibunya atau neneknya
2) Ayah dari suami atau kakeknya
3) Anak-anak dari suaminya atau cucunya
4) Laki-laki yang telah pernah mengawini anak atau cucu
perempuannya.

2. Mahram Ghairu Muabbad


Mahram ghairu muabbad ialah larangan kawin yang berlaku
untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu. Bila hal
tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi.
Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal tersebut di
bawah ini :

a. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa


Bila seorang laki-laki telah mengawini seorang perempuan, maka
dalam waktu yang sama dia tidak boleh mengawini saudara dari
perempuan itu. Dengan demikian bila dua perempuan itu
dikawininya sekaligus dalam satu akad perkawina, maka
perkawinan dengan kedua perempuan itu batal. Bila dikawininya
dalam waktu yang berurutan maka perkawinan yang pertama
adalah sah sedangkan perkawinan dengan perempuan yang kedua
menjadi batal.

b. Poligami di luar batas


Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak
mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila
salah seorang dari istrinya yang keempat itu telah diceraikannya
dan habis pula masa iddahnya.

c. Larangan karena ikatan perkawinan


Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan
haram dikawini oleh siapa pun. Bahkan perempuan yang sedang
dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik dalam ucapan
terus terang maupun secara sindiran meskipun dengan janji akan
dikawini setelah dicerai dan habis masa iddahnya.

d. Larangan karena talak tiga


Seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak
tiga, baik sekaligus atau bertahap, mantan suaminya haram
mengawininya sampai mantan istri itu kawin dengan laki-laki lain
dan cerai kemudian habis pula masa iddahnya.

e. Larangan karena ihram


Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihram
umrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut
sedang ihram pula atau tidak.

f. Larangan karena perzinaan, ada dua yaitu :


1) Kawin dengan pezina. Perempuan pezina haram dikawini oleh
laki-laki baik ( bukan pezina), sebaliknya perempuan baik-baik
tidak boleh kawin dengan laki-laki pezina.
2) Kawin dengan perempuan hamil karena zina.

g. Larangan karena beda agama


Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun.
Begitu pentingnya perkawinan, maka tidak mengherankan jika
agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan
tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak
ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan
masyarakatnya. Dalam hukum Islam terdapat larangan menikah
dengan yang berbeda agama. Yang dimaksud dengan beda agama
di sini ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan
sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim. Dalam
istilah fiqih disebut kawin dengan orang kafir.
7. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan
untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan
perjanjian melalui akad, kedua belah pihak telah terikat dan sejak
itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak, yang tidak mereka
miliki sebelumnya. Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-
apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan
kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap
orang lain. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek
hukum. Sesudah pernikahan dilangsungkan, kedua belah pihak
suami istri harus memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Hak bagi istri menjadi kewajiban bagi suami. Begitu pula, kewajiban
suami menjadi hak bagi isteri. Suatu hak belum pantas diterima
sebelum kewajiban dilaksanakan.
Dalam Al-Quran dinyatakan oleh Allah SWT:

ْ‫ت َي َت َر بَّصْ َن ِبا َ ْنفُسِ ِهنَّ َث ٰل َث َة قُر ُْٓو ٍء  َۗ واَل َي ِح ُّل َلهُنَّ اَنْ ي َّْك ُتمْ َن َما َخ َل َق هّٰللا ُ فِ ۤيْ اَرْ َحا م ِِهنَّ ِان‬ ُ ‫ُطلَّ ٰق‬
َ ‫َوا ْلم‬
‫ُكنَّ يُْؤ مِنَّ ِبا هّٰلل ِ َوا ْل َي ْو ِم ااْل ٰ خ ِِر  َۗ و ُبع ُْو َل ُتهُنَّ اَ َح ُّق ِب َر ِّدهِنَّ فِيْ ٰذل َِك ِانْ اَ َرا ُد ۤ ْوا ِاصْ اَل حً ا  َۗ و َلهُنَّ م ِْث ُل‬
‫دَر َج ٌة  َۗ وا هّٰلل ُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
َ َّ‫الَّ ِذيْ َع َلي ِْهنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ   َۖ ولِلرِّ َجاـ ِل َع َلي ِْهن‬

"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka


(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan para suami
mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas
mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 228)

Bentuk-bentuk Hak dan Kewajiban Suami Istri


Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini pasti
mempunyai hikmah yang terkandung didalamnya. Seperti halnya
Allah menciptakan manusia yang berlainan bentuk yaitu laki-laki
dan perempuan agar masing-masing saling membutuhkan dan
saling melengkapi sehingga kehidupan mereka senantiasa dapat
berkembang. Dalam membangun rumah tangga suami istri harus
sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing agar
terwujud ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah
kebahagiaan hidup berumah tangga. Hak dan kewajiban suami istri
adalah hak isteri yang merupakan kewajiban suami dan sebaliknya
kewajiban suami yang menjadi hak isteri. Menurut Sayyid Sabiq
hak dan kewajiban istri ada tiga bentuk, yaitu:

A. Hak Istri atas Suami


Hak istri atas suami terdiri dari dua macam. Pertama, hak
finansial, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak nonfinansial, seperti
hak untuk diperlakukan secara adil (apabila sang suami menikahi
perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk tidak
disengsarakan.

1. Hak yang bersifat materi


1) Mahar
Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat
perempuan adalah pengakuan terhadap segala sesuatu yang
menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam perkawinan bahwa hak
yang pertama ditetapkan oleh Islam adalah hak perempuan
menerima mahar. Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim
masdar dari kata asdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata
shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar
cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau
maskawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib
sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara
paksa seperti menyusui dan ralat para saksi. Pemberian mahar dari
suami kepada istri adalah termasuk keadilan dan keagungan
hukum Islam. Sebagaimana firman Allah
Swt., dalam surat An-Nisa’ ayat 4:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ص ُد ٰقت ِِهنَّ ِنحْ َل ًة ۗ  َف ِا نْ طِ ب َْن َلـ ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِّم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُ ْوهُ َه ِن ۤ ْيـًئ ـا م َِّر ۤ ْیـًئ ـا‬
َ ‫َو ٰا ُتوا ال ِّن َسٓا َء‬

"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 4)

Ayat tersebut ditunjukkan pada suami sebagaimana yang


dikatakan oleh Ibnu Abbas, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Juraij.
Perintah pada ayat ini wajib dilaksanakan karena tidak ada bukti
(qarinah) yang memalingkan dari makna tersebut. Mahar wajib atas
suami terhadap istri.
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi kepada orang yang hendak
menikah::

"Carilah walaupun cincin dari besi."


(HR. Muslim—Hadits Bukhari No. 5422)

Hadits ini menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu


yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi bahwa
beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata
mahar tidak diwajibkan tentu Nabi pernah meninggalkannya
walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib
akan tetap, beliau tidak pernah meninggalkan, hal ini menunjukkan
kewajibannya.

2) Nafkah
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan kebutuhan
istri, seperti pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya
yang menjadi kebutuhan istri.
Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah
dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri
wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah
tangga, dan mendidik anak-anaknya. Ia tertahan untuk
melaksanakan haknya, “Setiap orang yang tertahan untuk hak
orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya untuk orang yang
menahan karenanya”.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ضا َع َة  َۗ و َع َلى ْال َم ْولُ ْو ِد َل ٗه‬ َ َّ‫ْن لِ َمنْ اَ َرا دَ اَنْ ُّي ِت َّم الر‬ ِ ‫ْن َكا ِم َلي‬
ِ ‫ت يُرْ ضِ عْ َن اَ ْواَل دَ هُنَّ َح ْو َلي‬ ُ ‫َوا ْل َوا ل ِٰد‬
‫ضٓا رَّ َوا لِدَ ةٌ ِۢب َو َل ِد َها َواَل َم ْولُ ْو ٌد لَّ ٗه‬ َ ‫ِر ْزقُهُنَّ َو ِكسْ َو ُتهُنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ  ۗ اَل ُت َكلَّفُ َن ْفسٌ ِااَّل وُ سْ َع َها ۚ اَل ُت‬
 ۗ ‫ض ِّم ْن ُه َما َو َت َشاوُ ٍر َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َما‬ ٍ ‫ِصا اًل َعنْ َت َرا‬ َ ‫ث م ِْث ُل ٰذل َِك ۚ  َف ِا نْ اَ َرا دَا ف‬ ِ ‫ِب َو َلدِهٖ َو َع َلى ْال َوا ِر‬
‫َو ِا نْ اَ َر ْد ُّت ْم اَنْ َتسْ َترْ ضِ ع ۤ ُْوا اَ ْواَل دَ ُك ْم َفاَل ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم ا َِذا َسلَّمْ ُت ْم م َّۤا ٰا َت ْي ُت ْم ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ   َۗ وا َّتقُوا هّٰللا َ َوا‬
‫عْ َلم ۤ ُْوا اَنَّ هّٰللا َ ِب َما َتعْ َملُ ْو َن بَصِ ْي ٌر‬

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun


penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban
ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun
(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan
anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 233)

Ayat diatas mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita


ber-iddah, lebih wajib lagi bagi istri yang tidak ditalak. Sedangkan
dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw.:
“Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Hindun Binti ‘Utbah, isteri Abu
Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit
(kikir), tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkah yang
mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil
dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa
karena hal itu.?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ambillah dari
hartanya dengan cara ‘ma’ruf’ apa yang cukup buatmu dan
anakmu.’"(Muttafaqun ‘Alaih).

Adapun syarat-syarat seorang istri agar mendapatkan nafkah


adalah sebagai berikut:
a) Akad pernikahan yang dilakukan adalah sah.
b) Istri menyerahkan dirinya kepada suami.
c) Istri memungkinkan suami untuk menikmatinya.
d) Istri tidak menolak untuk berpindah ke tempat manapun yang
dikehendaki oleh suami.
e) Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan
suami istri..
Apabila salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka
nafkah tidak wajib untuk diberikan.

2. Hak yang bersifat non materi


Selain ada hak isteri yang bersifat materi atau kebendaan, ada
hak isteri yang berupa non materi atau bukan bersifat kebendaan.
Dan inilah yang disebut dengan nafkah batin. Berikut adalah hak
istri yang berupa non materi antara lain:

1) Bentuk-bentuk nafkah batin


a) Mempergauli istri dengan baik
Kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya ialah
memuliakan dan mempergaulinya dengan dengan baik,
menyediakan apa yang dapat ia sediakan untuk isterinya yang
akan dapat mengikat hatinya, memperhatikan dan bersabar apabila
ada yang tidak berkenan di hatinya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َّ‫ض َم ۤا ٰا َت ْي ُتم ُْوهُن‬ ُ ْ‫ٰۤيـا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َي ِح ُّل َلـ ُك ْم اَنْ َت ِر ُثوا ال ِّن َسٓا َء َكرْ هًا  َۗ واَل َتع‬
ِ ْ‫ضلُ ْوهُنَّ لِ َت ْذ َهب ُْوا ِب َبع‬
‫ِااَّل ۤ اَنْ َّيْأ ِتي َْن ِب َفا ِح َش ٍة ُّم َب ِّي َن ٍة  َۚ و َعا شِ ر ُْوهُنَّ ِبا ْل َمعْ ر ُْوفِ  ۚ  َف ِا نْ َك ِرهْ ُتم ُْوهُنَّ َف َع ٰۤسى اَنْ َت ْك َره ُْوا َش ْيـًئ ـا‬
‫وَّ َيجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه َخيْرً ا َك ِثيْرً ا‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi


perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut
cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya"
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 19)

Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang
yang paling baik pekertinya dan sebaik-baik kamu adalah
orang yang paling baik terhadap istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi)

b) Menjaga istri
Disamping berkewajiban mempergauli istri dengan baik, suami
juga wajib menjaga martabat dan kehormatan istrinya, mencegah
istrinya jangan sampai hina, jangan sampai istrinya berkata jelek.
Inilah kecemburuan yang disukai oleh Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan istriku,
niscaya akan kutebas ia dengan pedang,” ucapan itu akhirnya
sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau bersabda, ”Apakah kalian
merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih
cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripada aku.”
(HR. Bukhari).

B. Hak Suami atas Istri


Suami mempunyai beberapa hak yang menjadi kewajiban istri
terhadap suaminya. Diantaranya adalah:
1) Taat kepada suami
Rasulullah telah menganjurkan kaum wanita agar patuh kepada
suami mereka, karena hal tersebut dapat membawa maslahat dan
kebaikan. Rasulullah telah menjadikan ridha suami sebagai
penyebab masuk surga. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umi
Salamah r.a. bahwa Nabi bersabda:
“Di mana wanita yang mati sedang suaminya ridha dari
padanya, maka ia masuk surga”
(HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Beliau juga bersabda: Jika wanita sholat lima waktu, berpuasa


pada bulan nya, memelihara farajnya, dan taat kepada suaminya,
maka dikatakan kepadanya:
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu,
berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan
menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke
dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.
(HR. Ath-Thabrani dan Ahmad)

2) Tidak durhaka kepada suami


Rasulullah telah memberi peringatan kepada kaum wanita
yang menyalahi kepada suaminya dalam sabda beliau:
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Saw.,
bersabda : Apabila seorang wanita menghindari tempat tidur
suaminya pada malam hari, maka para malaikat melaknatnya
hingga pagi hari”. Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan :
“Sehingga dia kembali”
(HR. Muttafaq Alaihi).
3) Memelihara kehormatan dan harta suami
Diantara hak suami atas istri adalah tidak memasukkan
seseorang ke dalam rumahnya melainkan dengan izin suaminya,
kesenangannya mengikuti kesenangan suami, jika suami
membenci seseorang karena kebenaran atau karena perintah
syara’ maka sang istri wajib tidak menginjakkan diri ke tempat
tidurnya.

4) Berhias untuk suami


Berhiasnya istri demi suami adalah salah satu hak yang berhak
didapatkan oleh suami. Setiap perhiasan yang terlihat semakin
indah akan membuat suami senang dan merasa cukup, tidak perlu
melakukannya dengan yang haram. Sesuatu yang tidak diragukan
lagi bahwa kecantikan bentuk wanita akan menambah kecintaan
suami, sedangkan melihat sesuatu apapun yang menimbulkan
kebencian akan mengurangi rasa cintanya.

C. Hak Bersama Suami dan Istri


1) Baik dalam berhubungan.
Allah Swt., memerintahkan untuk menjaga hubungan baik antara
suami istri. Mendorong masing-masing dari keduanya untuk
menyucikan jiwa, membersihkannya, membersihkan iklim keluarga,
dan membersihkan dari sesuatu yang berhubungan dengan
keduanya dari berbagai penghalang yang mengeruhkan kesucian.

2) Adanya kehalalan untuk melakukan hubungan suami istri dan


menikmati pasangan.
Kehalalan ini dimiliki bersama oleh keduanya. Halal bagi suami
untuk menikmati dari istrinya apa yang halal dinikmati oleh sang
istri dari suaminya. Kenikmatan ini merupakan hak bersama suami
istri dan tidak didapatkan, kecuali dengan peran serta dari
keduanya.
3) Adanya keharaman ikatan perbesanan.
Maksud dari itu, sang istri haram bagi ayah dari sang suami,
kakek-kakeknya, anak-anak laki-lakinya, serta anak-anak laki-laki
dari anak-anak laki-laki dan anak perempuannya, sebagaimana
sang suami haram bagi ibu dari sang istri, nenek-neneknya, serta
anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan anak-anak
perempuannya.

4) Tetapnya pewarisan antara keduanya setelah akad terlaksana.


Apabila salah seorang dari keduanya meninggal setelah akad
terlaksana, maka pasangannya menjadi pewaris baginya, meski
mereka belum melakukan pencampuran.

5) Tetapnya nasab dari anak suaminya yang sah.

8. Perceraian
Setiap pasangan tentu pernah merasakan adanya permasalahan
dalam rumah tangga. Ada yang berakhir baik dan justru semakin
memperkokoh rumah tangganya. Namun, ada juga yang
permasalahannya semakin kompleks dan tidak terselesaikan, yang
bahkan berakhir dengan perceraian.
Perceraian atau bisa juga disebut talak dalam Islam adalah
pemutusan hubungan suami istri dari hubungan pernikahan yang
sah menurut aturan agama Islam dan negara. Perceraian biasanya
dianggap sebagai cara terakhir yang diambil oleh pasangan suami
istri untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki.

Dengan adanya perceraian, maka gugurlah hak dan kewajiban


keduanya sebagai suami dan istri. Artinya, keduanya tidak lagi
boleh berhubungan sebagai suami istri, misalnya menyentuh atau
berduaan, sama seperti ketika belum menikah dulu. Alquran juga
mengatur adab dan aturan dalam berumah tangga, termasuk
bagaimana jika ada masalah yang tak terselesaikan dalam rumah
tangga. Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah
membencinya. Itu artinya, bercerai adalah pilihan terakhir bagi
pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan keluar
lainnya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫الطاَل َق َف ِا نَّ هّٰللا َ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬


َّ ‫َو ِا نْ َع َزمُوا‬

"Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka


sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 227)

Ayat tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat Al-


Baqarah ayat 228 hingga ayat 232. Di sana diterangkan aturan-
aturan mengenai hukum talak, masa iddah bagi istri, hingga aturan
bagi perempuan yang sedang dalam masa iddahnya. Dari
beberapa ayat tersebut, diketahui bahwa dalam Islam perceraian itu
tidak dilarang, namun harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Tentu
saja aturan-aturan ini sangat memperhatikan kemaslahatan suami
dan istri dan mencegah adanya kerugian di salah satu pihak.

9. Jenis-jenis Cerai dalam Islam

A. Cerai Talak oleh Suami


Perceraian ini yang paling umum terjadi, yaitu suami yang
menceraikan istrinya. Hal ini bisa saja terjadi karena berbagai
sebab. Dengan suami mengucapkan kata talak pada istrinya, masa
saat itu juga perceraian telah terjadi, tanpa perlu menunggu
keputusan pengadilan.

Ada beberapa bagian dari talak ini, yaitu:


1. Talak Raj’i
Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua
kepada istrinya. Suami boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika
masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis,
suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan akad nikah
baru.

2. Talak Bain
Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak tiga kepada
istrinya, sehingga istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan
boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan
lelaki lain dan berhubungan suami istri dengan suami yang baru
lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.

3. Talak Sunni
Ini terjadi ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya
yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri saat
masih suci tersebut.

4. Talak Bid’i
Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang
dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah
disetubuhi.

5. Talak Taklik
Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-
syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang
ditentukan itu berlaku, maka terjadilah perceraian atau talak.

B. Gugat Cerai Istri


Berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai
istri ini harus menunggu keputusan dari pengadilan. Ada beberapa
kondisi yang menyertainya, seperti:

1. Fasakh
Ini merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri
ke suami akibat beberapa perkara, antara lain:
● Suami tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan
berturut-turut.
● Suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa
kabar.
● Suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah
(baik sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya hubungan
suami istri
● Adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.

2. Khulu’
Ini adalah perceraian yang merupakan kesepakatan antara suami
dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari istri kepada
suami. Terkait dengan hal ini, penjelasannya terdapat pada surat
Al-Baqarah ayat 229.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َّ‫ك ِۢب َمعْ ر ُْوفٍ اَ ْو َتسْ ِر ْي ٌح ِۢب ِاحْ َسا ٍن  َۗ واَل َي ِح ُّل َلـکُ ْم اَنْ َتْأ ُخ ُذ ْوا ِمم َّۤا ٰا َت ْي ُتم ُْوهُن‬ ٌ ‫لطاَل ُق َمرَّ ٰت ِن ۖ  َف ِا مْ َسا‬ َّ َ‫ا‬
‫َشيْــًئ ا ِااَّل ۤ اَنْ ي ََّخا َف ۤا اَ اَّل ُيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ ۗ  َف ِا نْ ِخ ْف ُت ْم اَ اَّل ُيقِ ْي َما ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ ۙ  َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َما فِ ْي َما‬
ّ ٰ ‫ِئك ُه ُم‬
‫الظلِم ُْو َن‬ َ ‫ول‬
ٓ ٰ ُ ‫دَت بهٖ  ۗ ت ِْلك ُح ُد ْو ُد هّٰللا ِ َفاَل َتعْ َت ُد ْوها ۚ ومنْ َّي َتع َّد ُح ُد ْودَ هّٰللا ِ َفا‬
َ َ َ َ َ ِ ْ ‫ا ْف َت‬

"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali)
khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 229)

Hukum Cerai Dalam Islam


Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Hal ini
berdasarkan pada masalah, proses mediasi dan lain sebagainya.
Perceraian bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, hingga
haram.
Berikut ini adalah hukum perceraian dalam Islam:

1. Perceraian Wajib
Ini harus terjadi jika suami istri tidak lagi bisa berdamai.
Keduanya sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain bercerai
untuk menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua
orang wakil dari pihak suami dan istri, permasalahan rumah tangga
tersebut tidak kunjung selesai dan suami istri tidak bisa berdamai.
Biasanya, masalah ini akan dibawa ke pengadilan dan jika
pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah keputusan
yang terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.

2. Perceraian Sunnah
Ternyata, perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah
ketika terjadi syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah ketika
suami tidak mampu menanggung kebutuhan istri.
Selain itu, ketika seorang istri tidak lagi menjaga martabat dirinya
dan suami tidak mampu lagi membimbingnya.

3. Perceraian Makruh
Jika istri memiliki akhlak yang mulia, mempunyai pengetahuan
agama yang baik, maka hukum untuk menceraikannya adalah
makruh. Hal ini dianggap suami sebenarnya tidak memiliki sebab
yang jelas mengapa harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga
sebenarnya masih bisa diselamatkan.

4. Perceraian Mubah
Ada beberapa sebab tertentu yang menjadikan hukum bercerai
adalah mubah. Misalnya, ketika suami sudah tidak lagi memiliki
keinginan nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah
putus haidnya.
5. Perceraian Haram
Hal ini terjadi jika seorang suami menceraikan istrinya saat istri
sedang haid atau nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat
suci tersebut suami telah berjima’ dengan istrinya. Selain itu, suami
juga haram menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah
istrinya menuntut hartanya. Tidak hanya itu, diharamkan juga untuk
mengucapkan talak lebih dari satu kali.

Syarat Sah Cerai dalam Islam


Dalam proses perceraian pun, Islam memiliki aturan. Salah
satunya dengan adanya rukun perceraian yang harus dipenuhi. Hal
ini merupakan syarat sahnya perceraian, sehingga jika tidak
dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut.
Berikut ini adalah rukun atau syarat sah cerai dalam Islam yang
harus diketahui:

● Perceraian untuk Suami


Perceraian tersebut sah apabila seorang suami berakal sehat,
baligh dan dengan kemauan sendiri. Maka, jika suami tersebut
menceraikan istrinya karena ada paksaan dari pihak lain, seperti
orang tua ataupun keluarganya, maka perceraian tersebut menjadi
tidak sah.

● Rukun Perceraian untuk Istri


Seorang istri akan sah perceraiannya, jika akad nikahnya
dengan suami sah dan dia belum diceraikan dengan talak tiga oleh
suaminya.

10. Iddah
A. Definisi ‘Iddah
1. Bahasa
Al-‘Iddah berasal dari bahasa arab yang artinya sama dengan
Al-Hisab, dan Al-Ihsha yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan
‘iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya
dihitung oleh istri dengan quru’ (suci dari haid atau haid) atau
dengan bilangan beberapa bulan.

2. Istilah
Dikalangan para ulama fiqh dan berbagai kitab klasik didapati
sedikit perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian ‘iddah.
Diantaranya:

a. Kitab Al-Wajiz
‘Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau
kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau
dengan hitungan bilangan beberapa bulan.

b. Kitab Mausu’ah Fiqhiyyah


‘Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk
mengetahui kekosongan rahimnya untuk memastikan bahwa dia
tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa
sedih atas kepergian sang suami.

c. Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu


’Iddah adalah sebuah nama bagi suatu masa yang telah
ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang
perempuan setelah perpisahan baik berpisah lantaran ditinggal mati
atau diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan
menerima pinangan, menikah, atau menawarkan diri kepada laki-
laki lain untuk menikahinya hingga masa ‘iddahnya selesai.

B. Dalil Pensyari’atan ‘Iddah


1. Al-Qur’an
Para ulama telah sepakat mewajibkan ‘iddah bagi seorang
wanita yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di


antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Thalaq: 4)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan


meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
(QS. Al-Baqarah (2) :234)

2. As-Sunnah
Pensyari’atan ‘iddah ini juga terdapat dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah rahiyallahu ‘anha:
Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak
boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas
suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh
hari.”
(HR. Bukhari-Muslim)

11. Sebab Pensyari’atan ‘Iddah (Macam-macam ‘Iddah)


Sebab-sebab yang mengharuskan seorang wanita untuk
melakukan ‘iddah ada beberapa macam:
1. Meninggalnya Suami.
Seorang wanita jika ia di tinggal mati oleh suaminya, baik suami
tersebut telah mencampurinya ataupun belum. Wajib baginya untuk
ber’iddah.
2. Bercerai setelah dicampuri
Begitu juga dengan seorang wanita yang dicerai oleh suaminya
setelah dicampuri baik dalam keadaan hamil atau tidak, maka wajib
baginya untuk menjalani masa ‘iddah.
Adapun jika wanita tersebut bercerai sebelum bercampur, maka
tidak ada ‘iddah baginya. Dan ini adalah kesepakatan para ulama.
Didasarkan pada Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila menikahi perempuan-


perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.
(QS. Al Ahzab: 49)

3. Khulu’
Wanita yang khulu’ yaitu seorang wanita yang meminta cerai
kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan harta
kepada suaminya yang disebut sebagai fidyah dan iftida). Wajib
baginya ber’iddah.

4. Li’an
Li’an adalah sebuah kasus hukum dimana seorang suami yang
menuduh istrinya berzina, tanpa bisa mendatangkan saksi kecuali
dari diri mereka sendiri atau seorang suami yang mengingkari anak
dalam kandungan istrinya). Dalam kasus cerai sebab Li’an maka si
wanita ini juga wajib ber’iddah.

5. Fasakh
Yang dimaksud fasakh adalah Pembatalan akad pernikahan. Hal
ini bukan dinamakan thalaq karena tidak memiliki hitungan quru
seperti thalaq pada umumnya yang menyebabkan putusnya
hubungan suami istri. Namun fasakh ini terjadi karena sebab
putusan hakim. Contoh: pernikahan seorang wanita muslimah
dengan seorang lelaki kafir
6. Khalwat (berdua-duaan)
Tanpa terjadinya jima’ (bercampur) diantara suami dan istri. Ini
adalah pendapat Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah,
sedangkan menurut Asy-Syafi’iyah tidak ada kewajiban ‘iddah bagi
seorang wanita jika hanya sebatas khalwat tanpa terjadinya jima’.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mu’min, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya (jima’) maka tidak ada masa ‘iddah
bagi mereka yang perlu kamu perhitungkan….”
(QS.Al-Ahzab: 49)

D. Hukum ‘Iddah
Berdasarkan berbagai ayat dan hadis yang dipaparkan
sebelumnya menunjukkan bahwa ‘iddah ini wajib dijalankan bagi
setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan
ketentuan-ketentuan yang selanjutnya akan dijelaskan di bawah.
Kewajiban ‘iddah ini juga merupakan ijma’ kesepakatan ‘ulama dan
tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya. Kewajiban
‘iddah ini dapat juga dilihat berdasarkan ucapan Rasulullah Saw
kepada Fatimah binti Qais:
“Ber’iddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum”.

Laki-Laki Ada ‘Iddah?


Berbeda halnya dengan kewajiban ‘iddah bagi wanita,
sedangkan bagi seorang laki-laki tidak ada kewajiban ‘iddah
baginya, sehingga ketika dia berpisah dengan istrinya
diperbolehkan untuk menikah lagi tanpa harus menunggu dalam
masa tertentu. Hanya saja jika disana ada penyebab yang
mengharuskannya menunggu, seperti seorang laki-laki yang ingin
menikah dengan bibi (dari pihak ayah atau ibu) istrinya yang
sedang ber’iddah atau seorang laki-laki yang telah mencerai
istrinya yang keempat sedang si istri tersebut masih berada dalam
masa ‘iddah, jika ia berkeinginan untuk menikah lagi, maka ia harus
menunggu sampai masa ‘iddah istrinya selesai.

Wanita Non Muslim Ber’iddah?


Terkait apakah wanita non muslim juga berkewajiban ‘iddah atau
tidak sebagaimana wanita muslimah, dalam hal ini ada dua
perbedaan pendapat:
a. Hanafiyah (Tidak Wajib Ber’iddah)
Menurut kalangan Hanafiyah bahwa wanita non muslim baik
yang dzimmi atau harbi tidak ada kewajiban baginya menjalankan
masa ‘iddah manakala terjadi perceraian atau kematian atas
suaminya.
Hanya saja untuk wanita non muslim dari kalangan ahlu kitab
yang merupakan istri dari lelaki muslim wajib baginya untuk
ber’iddah. Dengan dalil kuat bahwa hukum ‘iddah ini merupakan
kewajiban dalam rangka menunaikan hak Allah SWT sebagai syari’
(penetap hukum agama) dan merupakan hak bagi suaminya, dan
karena pemeluk ahlu kitab terkena beban hukum juga sebagaimana
umat islam lainnya.

Jika wanita non muslim dari ahlu kitab ini menolak menjalankan
masa ‘iddah, maka boleh dipaksa untuk ber’iddah, karena ini
merupakan hak bagi suaminya yang muslim dan ada hak anak,
untuk menghindari ketidakjelasan nasab garis keturunan yang
muncul manakala wanita non muslim tersebut memutuskan segera
menikah usai pisah.

Namun, jika sang suami meninggalkan istrinya di darul harbi


(notabene sebuah negara yang berasakan kekufuran dan wilayah
perang), maka sepakat kalangan hanafiyah mengatakan tidak ada
kewajiban ‘iddah baginya. Karena hukum islam tidak bisa
diterapkan pada seseorang yang berada pada dua wilayah yang
berbeda (ikhtilaf ad darain).

E. Hikmah Pensyari’atan ‘Iddah


Sebuah pertanyaan menarik, apa hikmah di balik adanya syariat
‘iddah bagi wanita yang berpisah dengan suaminya, baik karena
perceraian atau kematian? Kenapa harus ada ‘iddah?
Para ulama menjelaskan beberapa hikmah itu, antara lain :
1. Al -‘Ilmu bi Bara’ati Ar-Rahim
Yang dimaksud adalah bahwa ‘iddah itu dilakukan untuk
mengetahui kosongnya rahim dari janin guna mengetahui dan
memastikan adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang
diceraikan. Untuk selanjutnya menjaga jika terdapat bayi di dalam
kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dari bayi tersebut.

2. Ta’dzhim ‘Aqd Az-Zawaj


Ta’dzhim ‘aqd az-zawaj (menunjukkan agungnya sebuah ikatan
pernikahan) maksud di sini adalah menegaskan betapa agungnya
nilai sebuah pernikahan, sehingga selepas dari suaminya, seorang
wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi, kecuali setelah melewati
masa waktu tertentu yang dikenal dengan istilah ‘iddah.

3. Tathwil Zaman Ar-Raj’ah


Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali
kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat
adanya kebaikan di dalam hal itu.

4. Qadha’ Haq Az-Zauji


Agar isteri yang ditinggalkan dapat ikut merasakan kesedihan
yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta
menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di
karenakan oleh kematian suami.

5. Ta’abbud illallah
Selain tujuan-tujuan ‘iddah sebagaimana diungkapkan diatas,
pelaksanaan ber’iddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan
makhluk kepada aturan Khaliknya. Terhadap aturan-aturan Allah
itulah, maka kewajiban bagi wanita muslimah untuk mentaatinya.
Sesungguhnya wanita muslimah yang bercerai dari suaminya,
apakah karena cerai hidup atau mati. Disana akan ada tenggang
waktu yang harus dijalani dan dilaluinya sebelum menikah lagi
dengan laki-laki lain, maka kemauan untuk mentaati aturan
ber’iddah inilah yang merupakan gambaran ketaatannya
kepadaNya, dan kemauan untuk taat inilah yang didalamnya
terkandung nilai ta’abbudi (penghambaan) kepada Allah SWT yang
tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.
Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan
manfaat ber’iddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan
bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilanggar.

12. Hikmah Pernikahan


Hikmah pernikahan sangat erat kaitannya dengan tujuan
diciptakannya manusia di muka bumi. Allah menciptakan manusia
dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isi dan
ketentuan di dalamnya diciptakan untuk kepentingan manusia itu
sendiri.
Ada begitu banyak hikmah pernikahan yang dapat digali, baik
secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi Tuntutan Fitrah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan rasa tertarik kepada
lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita, begitu pun
sebaliknya. Ketertarikan ini merupakan fitrah yang telah Allah
tetapkan kepada manusia.
Oleh karena itu, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan
tujuan memenuhi fitrah tersebut. Islam tidak menghalangi dan
menutupi keinginan ini, bahkan melarang kehidupan umat Muslim
yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang).

2. Menghindari Perusakan Moral


Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat,
salah satunya adalah fitrah untuk berhubungan seksual. Namun,
fitrah ini akan berakibat negatif jika tidak diberi batasan yang
dibenarkan dalam syariat. Nafsunya akan berusaha untuk
memenuhi fitrah tersebut dengan berbagai cara yang dilarang
agama. Hal ini bisa menimbulkan perusakan moral dan perilaku
menyimpang lainnya seperti perzinaan, kumpul kebo, dan lain-lain.
Islam hadir memberikan solusi melalui pernikahan. Ini menjadi
salah satu hikmah pernikahan yang bermanfaat bagi kemaslahatan
umat.

3. Mewujudkan Ketenangan Jiwa


Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan
kepuasan jasmaniah dan rohaniah berupa kasih sayang,
ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup. Allah SWT
berfirman:

ٍ ‫َو ِمنْ ٰا ٰيت ٖ ِٓه اَنْ َخ َل َق َل ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ُك ْم اَ ْز َواجً ا لِّ َتسْ ُك ُن ْٓوا ِا َل ْي َها َو َج َع َل َب ْي َن ُك ْم م ََّو َّد ًة وَّ َرحْ َم ًة ۗاِنَّ فِيْ ٰذل َِك اَل ٰ ٰي‬
‫ت‬
‫لِّ َق ْو ٍم َّي َت َف َّكر ُْو َن‬

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir."
(QS. Ar-Rum: 21)

4. Menyambung Keturunan
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih,
beriman dan bertakwa. Anak yang cerdas secara emosional dan
intelektual juga dibutuhkan untuk melanjutkan syiar agama yang
dibawa orangtuanya.
Dengan menikah, semua hal itu dapat terwujud. Sehingga
keturunan dan generasi Islam yang unggul pun dapat terus ada dan
berkelanjutan.
13. Kesimpulan
Pernikahan merupakan salah satu hal yang penting bagi
manusia serta menimbulkan akibat terhadap kehidupan manusia,
khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu
pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta
memperoleh keturunan. Oleh karena itu, maka suatu pernikahan
hendaknya dipersiapkan secara baik dan sesuai dengan peraturan
yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. Dari uraian hasil penelitian dan analisa data yang dapat kita
ambil beberapa.

Anda mungkin juga menyukai