Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Kedudukan Wali dalam Pernikahan


Dosen Pengampu:
Ustadz H. Ahmad Budiman, Lc., MA

Disusun Oleh:

Ivana Putri H
(30022029)

PRODI FIQH & USHUL FIQH


MA’HAD ALY SUMATERA THAWLIB PARABEK
T.P 1445 H / 2023 M

1
A. Pengertian Wali Nikah
Perwalian merupakan ketentuan Syariat yang diberlakukan untuk semua orang, Baik secara
Umum maupun Khusus, perwalian atas Jiwa dan perwalian atas Harta. Dalam pembahasan
perwalian kali ini adalah perwalian atas Jiwa dalam Pernikahan. 1

Wali dalam pernikahan merupakan salah satu rukun yang harus terpenuhi bagi calon
mempelai wanita. Wali berperan sebagai orang yang mengakadkan pernikahan menjadi Sah.
Pernikahan tidak akan Sah jika tanpa adanya Wali.

Secara etimologis “wali“ mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa. Wali
mempunyai banyak arti, antara lain:

a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diberikan kewajiban mengurus anak yatim
serta hartanya sampai anak yatim itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah
dengan pengantin laki-laki)
c. Orang saleh (suci) penyebar agama
d. Kepala pemerintah dan sebagainya.2

Pemakaian arti wali dapat disesuaikan dengan konteks kalimatnya sesuai dengan arti yang
diatas. Adapun yang dimaksud wali dalam pernikahan yaitu orang yang berhak menikahkan
seorang perempuan ialah wali ynag bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan tidak tidak
bisa sebagai wali, maka hak kewaliannya dapat dialihkan kepada orang lain.

Syarat bagi yang menjadi wali (dalam pernikahan) adalah merdeka, berakal, dan baligh, baik
apabila dia menjadi wali bagi orang Muslim ataupun orang non-muslim. Sementara budak, orang
gila, ataupu anak kecil, mereka tidak diperbolehkan menjadi wali. Mereka juga tidak memiliki
perwalian atas dirinya sendiri sehingga mereka juga tidak memilik hal untuk menjadi wali bagi
orang lain. Sebagai penambahan syarat untuk menjadi wali yaitu beragama Islam apabila orang
yang berada di bawah perwaliannya Muslim, sementara walinya tidak beragama Islam, dia tidak
dibolehkan menjadi wali bagi seorang Muslim. Sebagai dasarnya adalah Firman Allah Swt.,

‫۟ا‬ ‫ِل َٰك ِف ِص‬ ‫ِه ۟ا‬ ‫ِذ‬


‫ٱَّل يَن َيَتَر َّبُصوَن ِبُك ْم َفِإن َك اَن َلُك ْم َفْتٌح ِّم َن ٱلَّل َقاُلٓو َأْمَل َنُك ن َّم َعُك ْم َو ِإن َك اَن ْل ِر يَن َن يٌب َقاُلٓو َأْمَل‬
‫ِمِن‬ ‫ِل َٰك ِف‬ ‫ِق ِة‬ ‫ِمِن‬
‫َنْس َتْح ِو ْذ َعَلْيُك ْم َو ْمَنَنْع ُك م ِّم َن ٱْلُم ْؤ َني ۚ َفٱلَّلُه ْحَيُك ُم َبْيَنُك ْم َيْو َم ٱْل َٰي َم ۗ َو َلن ْجَيَعَل ٱلَّلُه ْل ِر يَن َعَلى ٱْلُم ْؤ َني‬

‫َس ِبياًل‬

1
Muhammad Nasiruddin Al-Albani/Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,(Cakrawala Publishing: Jakarta,2009),368
2
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, (Duta Media Publishing,2021),56

2
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada
dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi
keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)

B. Dasar hukum tentang wali

Menurut Madzhab Asy-Syafi’i dan Maliki menggolongkan wali sebagai salah satu rukun
nikah sehingga akad nikah tidak akan terwujud tanpa adanya wali, sedangkan menurut Madzhab
Hambali dan Hanafi menggolongkan wali sebagai syarat bukan rukun, dan mereka membatasi
rukun nikah hanya ijab dan qabul, hanya saja madzahab Hanafi mengatakan bahwa wali adalah
syarat sah pernikahan anak kecil laki-laki maupun perempuan, dan orang dewasa laki-laki
maupun perempuan. Adapun wanita baligh dan berakal baik itu perawan maupun janda, tidak ada
seorang pun yang memiliki kewenangan untuk menikahkannya, akan tetapi dia berhak untuk
melangsungkan akad nikahnya dengan orang yang disukainya, dengan syarat harus sepadan, jika
syarat ini tidak terpenuhi, maka wali berhak untuk menolak dan membatalkan akad. 3

Mayoritas ulama berhujjah dengan hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun dengan
hadits, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Zuhri dari Aisyah bahwa Nabi
Muhammad SAW. Bersabda, “ siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batil.” Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “ wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan
wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.”

Dua hadits diatas adalah hujah paling kuat mayoritas ulama terkait pentingnya wali. Dengan
demikian, wanita tidak berhak melangsungkan akad niakh tanpa wali. 4

Dasar hukum yang mengatur tentang adanya wali masih banyak di bicarakan dalam berbagai
literatur. Menurut jumhur ulama‟ keberadaan wali dalam sebuah pernikahan didasarkan pada
sejumlah nash al-Qur‟an dan Hadist. Nash Al-Qur‟an yang digunakan sebagai dalil adanya wali
dalam pernikahan diantaranya adalah :

3
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzahb, ( Pustaka Al-kautsar), JILID 5, Hal 96
4
Ibid, Fikih Empat Madzahb,hal 96-97

3
ۗ ‫َو ِاَذا َطَّلْق ُتُم الِّنَس ۤاَء َفَبَلْغَن َاَج َلُه َّن َفاَل َتْعُض ُلْو ُه َّن َاْن َّيْنِكْح َن َاْز َو اَجُه َّن ِاَذا َتَر اَض ْو ا َبْيَنُه ْم ِباْلَم ْع ُر ْو ِف‬

‫ٰذ ِلَك ُيْو َعُظ ِبه َمْن َك اَن ِم ْنُك ْم ُيْؤ ِم ُن ِبالّٰلِه َو اْلَيْو ِم اٰاْلِخ ِر ۗ ٰذ ِلُك ْم َاْز ٰك ى َلُك ْم َو َاْطَه ُر ۗ َو الّٰل ُه َيْع َلُم َو َاْنُتْم اَل‬

‫َتْع َلُمْو َن‬

Artinya : Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya, maka
jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin
kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-
orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih suci bagimu dan
lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. al -Baqarah: 232)

Asbabun nuzul ayat ini adalah berdasarkan suatu riwayat bahwa Ma‟qil Ibn Yasar
menikahkan saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian
diceraikannya dengan satu talak, setelah habis waktu masa iddahnya mereka berdua ingin
kembali lagi, maka datanglah laki-laki itu bersama Umar bin Khattab untuk meminangnya.
Ma‟qil menjawab: Hai orang celaka, aku memuliakan kau dan aku nikahkan dengan saudaraku,
tapi kau ceraikan dia. Demi Allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu, maka turunlah ayat
tersebut, alBaqarah 232. Ayat ini melarang wali menghalang-halangi hasrat perkawinan kedua
orang itu. Setelah Ma‟qil mendengar ayat itu, maka dia berkata: Aku dengar dan aku taati Tuhan.
Dia memanggil orang itu dan berkata: Aku nikahkan engkau kepadanya dan aku muliakan
engkau. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Turmudzi).

Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat ini dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bisa
menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri
tentunya dia akan melakukan itu. Ma‟qil Ibn Yasar tentunya tidak akan dapat menghalangi
pernikahan saudaranya itu andaikata dia tidak mempunyai kekuasaan itu, atau andaikata
kekuasaan itu ada pada diri saudara wanitanya. Ayat ini merupakan dalil yang tepat untuk
menetapkan wali sebagai rukun atau syarat sah nikah, dan wanita tidak dapat menikahkan dirinya
sendiri.

Ayat lain yang dijadikan pedoman mengenai pentingnya seorang wali dalam pernikahan
adalah:

‫ِت‬ ‫ِت ِم ِت ِم‬ ‫ِك‬ ‫ِط ِم‬


‫َو َمْن ْمَّل َيْس َت ْع ْنُك ْم َطْو اًل َاْن َّيْن َح اْلُم ْحَص ٰن اْلُم ْؤ ٰن َف ْن َّم ا َم َلَك ْت َاَمْياُنُك ْم ِّم ْن َفَتٰي ُك ُم‬
‫ِف‬ ‫ِب‬ ‫ِبِا ِن ِل‬ ‫ِك‬ ‫ْۢن‬ ‫ِبِا ِن‬ ‫ِم ِۗت ّٰل‬
‫اْلُم ْؤ ٰن َو ال ُه َاْع َلُم َمْيا ُك ْم ۗ َبْع ُض ُك ْم ِّم َبْع ٍۚض َفاْن ُحْو ُه َّن ْذ َاْه ِه َّن َو ٰاُتْو ُه َّن ُاُجْو َر ُه َّن اْلَم ْع ُر ْو‬

4
‫ْحُمَص ٰن ٍت َغْيَر ُم ٰس ِف ٰح ٍت َّو اَل ُم َّتِخ ٰذ ِت َاْخ َد اٍن ۚ َفِاَذآ ُاْح ِص َّن َفِاْن َاَتَنْي ِبَف اِح َش ٍة َفَعَلْيِه َّن ِنْصُف َم ا َعَلى‬
‫ِح‬ ‫ّٰل‬ ‫ِم‬ ‫ِش‬ ‫ِل ِل‬ ‫ِت ِم‬
‫ࣖ اْلُم ْحَص ٰن َن اْلَعَذ اِۗب ٰذ َك َمْن َخ َي اْلَعَنَت ْنُك ْم ۗ َو َاْن َتْص ُرِبْو ا َخ ْيٌر َّلُك ْم ۗ َو ال ُه َغُفْو ٌر َّر ْيٌم‬

Artinya : Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari
hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah
dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa
(hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba
sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari
perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (QS. An-Nisa : 25)

Sementara itu Hadis Nabi tentang wali nikah yang dijadikan pedoman adalah:

‫عن ايب موسى ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ال نكاحا اال بويل (رواه امحد وابوداود والرتمذى‬

)‫وابن حبان واحاكم‬

Artinya: ”Dari Abu Musa, sesungguhnya Rosulullah Saw Bersabda. : Tidak sah nikah
kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hiban dan Al-Hakim).

Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali nikah merupakan rukun dari perkawinan. Sebagaimana
tercantumkan dalam pasal 19: ” wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga mensyaratkan perkawinan menggunakan wali nikah.
Sesuai dengan pasal 6 ayat 2: ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Oleh karena itu wali nikah dalam pernikahan harus ada demi kebaikan rumah tangga yang
akan dibangun setelah menikah. Janganlah rumah tangga yang baru itu tidak ada hubungan lagi
dengan rumah tangga yang lama, lantaran anak menikah dengan laki-laki yang tidak disetujui
oleh orang tuanya.

C. Pembagian Wali

5
Apabila seorang perempuan hendak menikah, ia wajib memperoleh persetujuan dan
dinikahkan oleh walinya. Bahkan bagi perempuan yang tidak mempunyai wali, maka sebagai
pengganti walinya ialah penguasa.

Pada dasarnya wali nikah dibagi menjadi dua, yaitu: wali nasab dan wali hakim. Wali nasab
adalah seorang wali nikah yang masih ada hubungan darah lurus ke atas dari wanita yang ingin
menikah. Sedang wali hakim adalah wali yang hak perwaliannya timbul, karena orang tua
mempelai perempuan menolak („adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain.

Dalam kitab Fikih munakahat kajian fikih nikah , wali dalam perkawinan terbagi menjadi
empat macam, yaitu : Wali nasab, wali hakim, wali tahkim, dan wali maula.

1. Wali Nasab

Dilihat dari kata nasab, bahwa yang berhak menjadi wali yaitu orang-orang yang masih
kerabat. Adapun pengetian wali nasab yaitu seseorang yang menjadi wali dan memiliki hubungan
nasab dengan mempelai wanita yang akan melangsungkan perkawinan.5

Dalam KHI, wali nasab terdiri dari empat kelompok, yang termuat dalam dalam pasal 21 ayat
1 yaitu:

“Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat saudara laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki -laki seayah kakek dan
keturunan laki-laki mereka

Pada urutan kedudukan kelompok wali tersebut, apabila di lihat maka dalam satu kelompok
wali terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak
adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Jika dalam satu
kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali adalah kerabat
kandung dari pada kerabat selain kandung atau kerabat seayah. Kalau dalam satu kelompok
derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah,
maka mereka sama-sama berhak menjadi wali dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali. Apabila yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali, misalnya wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah uzur, maka hak
menjadi wali bergeser kepada wali yang lain menurut urutan derajat berikutnya.
5
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, (Duta Media Publishing,2021), 61

6
Dalam buku Fiqh Munakaht 1 yang ditulis oleh Theadora Rahmawati Wali nasab sendiri
dibagi menjadi dua macam, yaitu :

a. Wali Aqrab (dekat)


Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud wali aqrab, adalah ayah dan kakek
yang memiliki hak mutlak untuk menikahkan anaknya tanpa persetujuannya terlebih
dahulu kemudian disebut wali mujbir.
b. Wali ab’ad (jauh)
Wali ab’ad adalah wali dari dalam garis kerbat selain dari ayah dan kakek, juga selain
dari anak dan cucu. Jumhur ulama berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh menjadi
wali terhadap ibunya dari segi dia menjadi anaknya, bila anak itu berkedudukan menjadi
wali hakim maka diperbolehkan. Urutan Waliab’ad yaitu :
1. Saudara laki-laki sekandung
2. Saudara laki-laki seayah
3. Anak saudara laki-laki kandung
4. Anak saudara laki-laki seayah
5. Paman kandung
6. Paman seayah
7. Anak paman kandung
8. Anak paman seayah
9. Ahli waris kerabat lainnya jika ada.6

Wali aqrab berada dalam urutan pertama,sedangkan urutan kedua disbut wali ab’ad. Jika
urutan pertama tidak ada maka urutan kedua yang menjadi wali ab’ad.

Syarat perpindahan wali aqrab mejadi wali ab’ad yaitu:

a. Jika wali aqrab non muslim


b. Jika wali aqrab fasik
c. Jika wali aqrab belum dewasa (baligh)
d. Jika wali aqrab gila
e. Jika wali aqrab bisu atau tuli

Secara keseluruhan, urutan wali nasab adalah sebagai berikut:

1. Ayah Kandung
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki.
3. Saudara laki-laki sekandung.
4. Saudara laki-laki seayah.

6
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, (Duta Media Publishing,2021),61-61

7
5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
6. Anak laki -laki saudara laki-laki seayah.
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Saudara laki-laki seayah kandung (paman).
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
11. Anak laki -laki paman sekandung.
12. Anak laki-laki paman seayah.
13. Saudara laki-laki kakek sekandung.
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung.
15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.

Menurut madzhab Hanafi, urutan wali yang paling berhak untuk menikahkan ataupun
mengahalangi pernikahan adalah sama seperti dalam madzhab Syafi‟i. Namun ada perbedaan
ketika dalam keadaan para kerabat dekat yang disebut wali (dari pihak ayah) tersebut tidak ada.
Jika menurut madzhab Syafi‟i, jika terjadi kondisi seperti diatas maka kewalianya pindak kepada
wali hakim, namun menurut madzhab Hanafi, sebelum pindah ke wali hakim masih ada wali lain
yaitu para kerabat terdekat dari pihak ibu si perempuan yang akan menikah. 7

Secara berurutan mereka adalah:

1. Ibunya (yakni ibu dari perempuan yang akan menikah)


2. Neneknya (ibu dari ayah, kemudian ibu dari ibu)
3. Anak perempuanya
4. Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki)
5. Cucu (anak perempuan dari anak perempuanya)
6. Saudara perempuan seayah seibu
7. Saudara perempuan seayah.
8. Saudara perempuan seibu
9. Kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuanya)
10. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
11. Paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu)
12. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)

Begitulah seterusnya, yang terdekat hubungan kekerabatanya. Baru setelah ketiadaan mereka
semua, hak perwalian tersebut berpindah kepada hakim. Alasanya adalah bahwa mereka ini (para
kerabat dari pihak ibu) juga sangat berkepentingan dalam mengupayakan kebahagian dan
keharmonisan dalam kehidupan perkawinan anggota keluarganya, disamping menjaga

7
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzahb, ( Pustaka Al-kautsar), JILID 5, Hal 109

8
kehormatan keluarga secara keseluruhan, serta ikut merasa prihatin apabila salah seorang dari
mereka menikah dengan laki-laki yang tidak kufu.8

Apabila wali-wali tersebut di atas tidak ada atau ada hal-hal lain yang menghilangkan hak
kewaliannya, maka hak perwalian tersebut pindah kepada wali hakim. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 23 KHI:

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal
atau enggan.
2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

2. Wali Hakim

Wali hakim yaitu wali nikah yang berasal dari hakim atau qadi. Wali hakim sendiri ditunjuk
olehnya dan diberi kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Biasanya yang ditunjuk
yaitu penghulu atau wakil dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Wewenang wali nasab
bisa berpindah kepada wali hakim jika :
a. Ada pertentangan diantara para wali
b. Apabila wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau tidak mau. Wali adlal adalah wali
yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh berakal dengan seorang laki-laki
pilihannya.9

Dalam hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa: “Wali hakim ialah wali nikah
yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah”.

KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak
sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan Menteri Agama yang
menjelaskan hal ini. Pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 menyebutkan:

1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk
menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai
dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2. Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka
Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten atau Kotamadya diberi kuasa untuk atas
8
Hakim, P Kedudukan Wali dalam Pernikahan. https://eprints.walisongo.ac.id/3703/3/092111043_Bab2.pdf
9
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, (Duta Media Publishing,2021),hal 63

9
nama Menteri Agama menunjuk wakil atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk
sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.

Orang yang berhak menjadi wali hakim ialah pemertintah, pemimpin, penguasa atau qadi
nikah yang diberi wewenang oleh negara untuk menikahkan seorang wanita, apabila tidak ada
yang disebutkan diatas, maka wali hakim dapat diangkat dari orang-orang yang alim atau tokoh
setempat.

Syarat menjadi wali hakim di dalam perkawinan jika dalam kondisi tertentu, yaitu :

a. Tidak ada wali nasab


b. Syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad kurang terpenuhi
c. Wali aqrab ghaib/ bertempat tinggal sejauh +- 92,5 km
d. Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui
e. Wali aqrab ‘adlal
f. Wali aqrab mempersulit
g. Wali aqrab sedang ihram
h. Wali aqrab yang akan menikah sendiri

Adapun larangan wali hakim untuk menikahkan jika

a. Wanita belum baligh


b. Kedua calon pengantin tidak sekutu
c. Tanpa izin dari calon pengantin wanita
d. Wanita yang berada diluar kekuasaanya

3. Wali Maula

Wali maula yaitu wali (majikan) yang menikahkan budaknya sendiri yang berada dibawah
kekuasaannya. Adapun menurut Imam Syafi’I “orang yang menikahkannya haruslah hakim atau
walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk dalam syarat
pernikahan. Jadi calon pengantin tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.10

4. Wali Mujbir

Maksud dari kata ijbar/mujbir adalah hak seorang ayah (keatas) untuk menikahkan anak
gadisnya tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Pengertian dari wali mujbir yaitu seorang wali
yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa
menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa

10
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, (Duta Media Publishing,2021),hal 64-65

10
melihat ridha atau tidaknya pihak yang berada dibawah perwaliannya. Wali mujbri sendiri
terbagi menjadi 2 yaitu pertama wali mujbri yang berhak menikahkan Sebagian dari orang-orang
yang berada dibawah perwaliannya tanpa izin dan ridhanya. Kedua, yaitu wali ghairu mujbir
yang tidak berhak melakukan itu, akan tetapi dia tetap harus ada meskipun dia tidak boleh
menikahkan tanpa izin dan ridha dari orang yang berada dibawah perwaliannya.11

Adapun syaratnya yaitu :

a. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan calon pengantin perempuan.
b. Calon suami sekufu dengan calon istri atau ayah lebih tinggi
c. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat ijab Kabul.

Apabila syarat-syarat diatas tidak terpenuhi, maka hak ijbar tersebut akan gugur. Jadi, hak
ijbar tersebut bukan harus diartikan sebagai paksaan, akan tetapi sebagai arahan lebih tepatnya.

Adapun wali yang tidak bisa dikatakan mujbir

a. Wali selain ayah keatas


b. Perwalian terhadap wanita yang sudah baligh dan mendapat persetujuan yang
bersangkutan
c. Jika calon pengantinnya janda, ijinnya harus jelas
d. Jika calon pengantinnya gadis, ijinnya cukup dengan diam

5. Wali ‘Adhal

Wali ‘adhal adalah sebuah penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang
berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Menurut para
ulama wali adhal adalah penolakan wali nasab yang enggan untuk menikahkan anak
perempuannya yang telah baligh dan sudah berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.

Apabila calon perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan.
Sedangkan masing-masing calon mempelai perempuan dan mempelai laki-laki itu saling
mencintai, sudah mengenal dan mengetahui bakal calon suaminya baik dari kafaahnya, agamanya,
pendidikannya, maupun budi pekertinya, serta masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu
dilaksanakan. Maka penolakan yang demikian menurut syara’ dilarang. Namun apabila wali tetap
saja enggan untuk menikahkan anak perempuannya, maka wali dinamakan wali yang adhal
(enggan) yang berarti zalim.

D. Hak Perempuan terhadap Perwalian

11
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzahb, ( Pustaka Al-kautsar), JILID 5, Hal 60

11
Madzhab Asy- Syafi’I, Maliki, dan Hambali sepakat bahwa perwalian dalam pernikahan
dikenai syarat harus dilaksanakan oleh laki-laki. Dengan demikian, perwalian perempuan tidak
sah dalam kondisi apapun.12

Berbeda dengan pendapat Madzhab Hanafi bahwasannya wanita memiliki hak perwalian
terkait pernikahan anak laki-laki dan perempuan serta orang dewasa yang dikategorikan seperti
keduannya secara hukum jika keduanya mengalami kegilaan saat tidak ada wali dari kalangan
laki-laki.

Akan tetapi Madzhab Maliki mengatakan bahwasannya perempuan dapat dinyatakan


memiliki hak perwalian jika dia mendapat wasiat, statusnya sebagai pemilik, atau orang yang
memerdekakan budak. Pendapat yang lain menyatakan bahwa wanita pengasuh adalah wali juga,
akan tetapi dia tidak dapat melangsungkan akad nikah, tapi dia dapat diwakilkan dirinya kepada
laki-laki untuk melangsungkan akad nikah.

E. Kedudukan Wali dalam Pernikahan

Perdebatan tentang wali nikah dalam suata akad perkawinan sudah lama dibicarakan oleh para
ahli hukum Islam, terutama tentang kedudukan wali dalam akad tersebut. Sebagian para ahli
hukum islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali, perkawinan tersebut
tidak sah karena kedudukan wali dalam akad perkawinan merupakan salah satu rukun yang harus
dipenuhi.
Sayyid Sabiq dalam kitabnya menjelaskan bahwa wali merupakan suatu ketentuan hukum yang
dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan
ada yang khusus. Yang umum yaitu berkenaan dengan manusia, sedangkan yang khusus ialah
yang berkenaan dengan manusia dan harta benda. Disini yang di bicarakan wali terhadap manusia,
yaitu masalah perwalian dalam pernikahan. Imam Malik Ibnu Anas dalam kitabnya
mengungkapkan masalah wali dengan penegasan bahwa seorang janda lebih berhak atas dirinya
daripada walinya, dan seorang gadis harus meminta persetujuan walinya. Sedangkan diamya
seorang gadis menunjukan persetujuan.13
Dalam pandangan ulama fiqih, terdapat perbedaan pendapat nikah tanpa wali. Ada yang
menyatakan boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada
lagi pendapat yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lainnya.
Dalam kitab Bidayat Al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ibnu Rusyd menerangkan : “ Ulama
berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat

12
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzahb, ( Pustaka Al-kautsar), JILID 5, Hal 109
13
Muhammad Nasiruddin Al-Albani/Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,(Cakrawala Publishing: Jakarta,2009)

12
Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Imam Al-Syafi’i.
Sedangkan Abu Hanifah Zufar Asy-Sya’bi dan Azzuhri berpendapat apabila seorang
perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedangkan calon suami sebanding, maka
nikahnya itu boleh. Yang menjadi alasan Abu Hanifah membolehkan wanita menikah tanpa wali
yaitu dengan mengemukakan alasan dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi :

‫َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًج ا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُف ِس ِه َّن َاْر َبَعَة َاْش ُه ٍر َّو َعْش ًر اۚ فِاَذا َبَلْغَن َاَج َلُه َّن َفاَل ُج َناَح َعَلْيُك ْم ِفْيَم ا‬

‫ِب‬ ‫ِۗف ّٰل‬ ‫ِس ِه ِب‬


‫َفَعْلَن ِف َاْنُف َّن اْلَم ْع ُر ْو َو ال ُه َمِبا َتْع َم ُلْو َن َخ ْيٌر‬

Artinya : Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir)
idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri
mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Imam Abu Dawud Memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali pada
gadis, dan tidak mensyaratkan pada janda. Imam Abu Dawud mengatakan bahwa wanita-wanita
janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis itu dimintai pendapat tentang nya
dirinya, dan persetujuannya ialah diamnya.

F. Kesimpulan

Jumhur Ulama sepakat bahwasannya seorang wanita tidak boleh melangsungkan akad nikah
apabila tidak ada wali ataupun menghadirkan seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang
wanita yang melangsungkan akad nikah dan tidak ada wali maka akad nikahnya batal. Syarat-syarat
menjadi wali : Islam, baligh, berakal, laki-laki, muslim, tidak sedang ihram/umroh, adil, dan lain-lain.

13
Macam-macam wali : Wali nasab yaitu orang yang berhak menjadi wali adalah orang-orang
masih ada hubungan kekerabatan. Wali hakim yaitu wali nikah yang berasal dari hakim atau qadi.
Wali hakim sendiri ditunjuk oleh kementrian agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan diberi
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya
sendiri yang berada dibawah kekuasaannya. Wali ijbar/mujbir yaitu hak seorang ayah untuk
menikahkan anak gadisnya tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu. Wali ghairu mujbir yaitu
tidak berhak melakukan itu, akan tetapi dia tetap harus ada meskipun dia tidak boleh menikahkan
tanpa izin dan ridha dari orang yang berada dibawah perwaliannya.

Menurut pendapat Madzhab Hanafi bahwasannya wanita memiliki hak perwalian terkait
pernikahan anak laki-laki dan perempuan serta orang dewasa yang dikategorikan seperti keduannya
secara hukum jika keduanya mengalami kegilaan saat tidak ada wali dari kalangan laki-laki. Akan
tetapi Madzhab Maliki mengatakan bahwasannya perempuan dapat dinyatakan memiliki hak
perwalian jika dia mendapat wasiat, statusnya sebagai pemilik, atau orang yang memerdekakan
budak. Pendapat yang lain menyatakan bahwa wanita pengasuh adalah wali juga, akan tetapi dia tidak
dapat melangsungkan akad nikah, tapi dia dapat diwakilkan dirinya kepada laki-laki untuk
melangsungkan akad nikah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Juzairi, S. A. (t.thn.). Fikih Empat Madzhab jilid 5. Pustaka Al-Kautsar.

14
Hakim, P. (t.thn.). Kedudukan Wali dalam Pernikahan. Diambil kembali dari eprints.walisongo.ac.id:
https://eprints.walisongo.ac.id/3703/3/092111043_Bab2.pdf

Rahmawati, T. (2021). Fiqh Munakahat 1. Lengkoh Barat Bangkes Kadur Pamekasan: Duta Media
Publishing.

Sabiq, S. (1986). Fiqih Sunnah. bandung: Alma & Apos.

15

Anda mungkin juga menyukai