Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN PERNIKAHAN

Secara bahasa, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama

Secara terminology atau istilah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesianomor 1 Tahun


1974 Tentang Perkawinan nikah ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa)

Pengertian Nikah Dalam Pandangan Al Qur’an

Secara etimologi, kata kawin menurut bahasa sama dengan kata “nikah”, atau kata, zawaj. Kata
“nikah” disebut dengan an-nikh ( (‫ النكاح‬dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah ‫ ) الزواج‬- ‫ الزيجه‬-‫الزواج‬
).

Secara harfiah, an nikh berarti al-wath'u ( ), ‫ الوطء‬adh-dhammu ( ‫ ) الضم‬dan al-jam'u ( ). ‫ الجمع‬Al


wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an ‫ وطأ‬-‫ يطأ‬- ) ‫) وطأ‬, artinya berjalan di atas,
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.

Pernikahan disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, hadist dan ijmak. Dalil-dalilnya diantaranya :

An Nur : 32

ْ َ‫ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِم ْن ف‬Wَ‫َوأَ ْن ِكحُوا األيَا َمى ِم ْن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُق‬
ُ ‫لِ ِه َوهَّللا‬W‫ض‬
)٣٢( ‫ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬ 
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya . Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”

Maksudnya, hendaklah laki-laki yang belum menikah atau tidak beristri atau wanita-wanita yang
tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat menikah. anggapan bahwa apabila menikah seseorang
dapat menjadi miskin karena banyak tanggungan tidaklah benar. Dalam ayat ini terdapat anjuran
menikah dan janji Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka yang menikah untuk
menjaga dirinya.

َ َ‫ٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬W ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َس‬
‫إ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل‬W َ‫ َع ف‬Wَ‫ث َو ُر ٰب‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬ َ
۟ ُ‫َوإ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْق ِسط‬
ِ
ُ‫ت أَ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ٰ َذلِكَ أَ ْدن ٰ َٓى أَاَّل تَعُولو‬ َ ۟ ُ
ْ ‫تَ ْع ِدلوا فَ ٰ َو ِح َدةً أوْ َما َملَ َك‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (An-Nisa’:3)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seseorang yang
memiliki seorang anak yatim perempuan, lalu laki-laki itu menikahinya, dan ia memiliki
seranting kurma, sehingga ia menahan wanita itu karenanya, sedangkan dalam dirinya tidak ada
rasa suka terhadap si wanita, maka turunlah ayat, "Wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa."
Saya kira (yakni menurut Hisyam bin Yusuf seorang rawi), "Si yatim ini adalah sekutunya dalam
ranting kurma itu dan dalam hartanya."

Yang sesuai dengan pilihanmu, misalnya baik dalam beragama, berharta, cantik, berkedudukan
dan bernasab serta sifat-sifat lain yang mendorong untuk menikahinya, namun yang utama
adalah mencari yang baik agamanya (shalihah) sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa sepatutnya seseorang memilih
calon istri yang tepat sebelum menikah, bahkan syari' (penetap syari'at) membolehkannya untuk
melihat wanita yang hendak dinikahi agar ia betul-betul matang dalam memilih.

Jangan lebih dari empat. Berlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi
kebutuhan istri seperti dalam hal pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat dirinya bisa berlaku adil dan sanggup memenuhi
hak istri yang lain. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh
para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan
bahwa batas poligami hanya sampai empat wanita saja.

Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Wahai golongan kaum muda,
barangsiapa diantara kamu telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia menikah, karena
sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia (rajin) berpuasa,
karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (Ibnu Hajar Al-Asqalani, A
Hassan, 2002 : 431).

PEMBAGIAN HUKUM NIKAH

Dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan dari perkawinan,
maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram,
makruh ataupun Mubah (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).

1.   Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah
mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk segera menikah,
sedangkan ada hal lain yang menyebabkan hokum nikah menjadi wajib adalah mempunyai nazar
untuk menikah.

“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah
mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).

dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "Sesungguhnya Nabi saw. melarang membujang.
Selanjutnya Qatadah membaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa orang
Rasul sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka beberapa istri dan keturunan". (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)

2.   Sunnah

Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat
menahan dirinya dari berbuat zina. Selain itu, ada syarat lain yaitu berkeinginan untuk menikah
dan memiliki bekal yang cukup (memberikan mahar, menafkahai istri, dan memberikan pakaian
yang layak).

3.   Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta
nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki
sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada
istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu
sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 :
36)

 4.   Makruh

Makruh menikah bagi seorang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi nafkah
istrinya, juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan
sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

5.   Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena
alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
TUJUAN MENIKAH

1. Untuk memelihara jenis manusia,

Sebagaimana firmanya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Qs. An-Nahl: 72).

2. Kedua untuk memelihara dan melanjutkan keturunan.


Garis keturunan ini menentukan bentuk pendidikan yang dapat mengekalkan kemuliaan
bagi setiap keturunan. Seandainya tidak ada pernikahan sebagaimana telah ditentukan
oleh Allah untuk meraimaikan masyarakat dengan anak-anak, kemuliaan dan keturunan
jenis manusia akan punah. Dengan garis keturunan ini, pertanggungjawaban pendidikan
akhlak dan pemeliharaan dari segala bentuk kebejatan bisa terjamin. Rasulullah saw.
Memuji wanita yang memperoleh anak banyak dengan sabdanya,” Sebaik-baiknya wanita
bagi kamu ialah wanita yang banyak anaknya dan murah kasih sayangnya. “ (HR
Baihaqi).

3. Menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak, dengan pernikahan, masyarakat


dapat diselamatkan dari kerusakan akhlak dan mengamankan setiap individu dari
kerusakan pergaulan, pergaulan bebas.

4. Menyelamatkan masyarakat dari bermacam- macam penyakit, dengan pernikahan


masyarakat dapat diselamatkan dari bermacam-macam penyakityang dapat menjalar
dengan cepat, yang berjangkit diantara anggota masyarakat akibat perzinaan.

5. Untuk menentramkan jiwa cinta kasih yang dapat melembutkan perasaan antara suami
istri, tatkala suami selesai bekerja pada siang hari dan kemudian kembali kerumah pada
sore hari. Ia dapat berkumpul dengan istri dan anakanaknya. Hal ini dapat melenyapkan
semua kelelahan dan deritanya pada siang hari.

6. Untuk menjalin kerja sama suami istri dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak

7. Membentengi diri dari godaan setan dalam mengendalikan nafsu seks. Dengan
pernikahan nafsu seks dapat dikendalikan dan disalurkan kepada yang halal . dengan
begitu tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk melakukan tipu dayanya kepada
manusia.
8. Untuk memenuhi kebutuhan biologis antara suami istri sebagai teman hidupnya,
sehingga terpelihara keharmonisan diri masing-masing dalam melakukan hubungan seks,
yang memang dimilikinya secara fitrah.
9. Menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Sebab,
seorang perempuan apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya menjadi wajib atas
tanggungan suaminya.

KHITBAH DAN ATURANNYA

Secara bahasa, khitbah berarti pendahuluan nikah, sedangkan secara istilah berarti melamar
seseorang untuk dinikahi.

Seorang perempuan yang akan dilamar harus memenuhi syarat sebagai berikut ;

a. Tidak terikat oleh pernikahan


b. Tidak berada dalam masa iddah, talak raj’I ( talak yang masih bisa dirujuk).
c. Bukan merupakan pinangan laki – laki lain.

Yang boleh dilihat ketika melamar

Laki-laki atau pelamar harus orang yang jujur dan benar – benar ingin menikah, jika tidak
sungguh-sungguh maka haram hukumnya melihat perempuan tanpa tujuan menikah.

Yang boleh dilihat ketika melamar adalah wajah, telapak tangan, kedua kaki. Wajah adalah tanda
kecantikan, telapak tangan adalah tanda kelembutan, sedangkan kaki adalah tanda kesuburan
badan.
RUKUN DAN SYARAT NIKAH

Menurut UU No 1/1974 Tentang Pernikahan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa pernikahan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Pernikahan itu sah jika memenuhi rukun dan syarat nikah sebagai berikut :

1. Mempelai pria, syaratnya :


a. Muslim
b. Merdeka
c. Berakal
d. Benar – benar laki-laki
e. Tidak mempunyai hubungan darah dengan calon istri
f. Tidak sedang pergi haji/umroh
2. Mempelai wanita, syaratnya :
a. Muslim
b. Benar – benar wanita
c. Telah di izinkan oleh walinya
d. Tidak bersuami atau dalalm masa idah
e. Tidak mempunyai hubungan darah dengan calon suami
f. Tidak sedang berhaji/umroh
3. Ijab Qabul
a. Ijab adalah serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya ( sebagai
tanda penyerahan dari pihak perempuan ). Misalnya : “Saya nikahkan, atau saya
nikahkan Fulanah atau saya perjodohkan”.

i. Syarat ijab:
1. Dengan kata – kata tertentu dan tegas
2. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
3. Tidak dibatasi waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan sebagainya
4. Tidak dengan kata – kata sindiran
5. Tidak dikaitkan dengan sesuatu hal, misalnya : “Kalau anakku lulus sarjana,
maka saya menikahkan anakku dengan engkau dengan masnikah …”.
b. Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak laki-laki yang menyatakan
persetujuan/penerimaaan untuk menikahi.
ii. Syarat Qabul :
1. Diucapkan dengan tegas
2. Harus di dengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan
3. Tidak boleh berbisik-bisik
4. Wali, maksudnya adalah orang yang berhak menikahkan mempelai wanita dan laki –
laki sesuai syariat Islam. Misalnya : orang tua mempelai wanita, baik ayah, kakek,
paman atau dari pihak ayah dan lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali
adalah ayah, kakek lalu pihak dari ayah, saudara laki-laki kandung, saudara lelaki
seayah, paman, anak lelaki paman dari jalur ayah.
5. Dua saksi
Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000),
hal. 31 mengatakan, wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam,
baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.”

HAK dan KEWAJIBAN DALAM PERNIKAHAN

Beberapa hak- hak wanita atas suaminya :

1. Mahar
2. Memberikan nafkah seesuai kebutuhannya dengan jalan yang makruf (makanan,
minuman, tempat tinggal)
3. Bermalam
4. Jimak
5. Memperoleh arahan, bimbingan, dan pengayaan ilmu.
6. Menutup aib dan menjaga rahasianya, khususnya yang terjadi diantara suami-istri
7. Memenuhi unsure ketenagan, kegemmbiraan dengan senda gurau yang baik dengan istri
agar dia tidak merasa kesepian.
8. Cemburu kepadanya
9. Menjaga hartanya, tidak membelanjakan kecuali atas izinnya
10. Mendapat perlakuan baik dari suami ( “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.” (An Nisa:19))

Kewajiban istri :

1. Hormat dan patuh pada suami dalam batas – batas yang ditentukan oleh norma dan susila
2. Mengatur dan mengurus rumah tangga, mewujudkan kesejahteraan keluarga
3. Memelihara dan mendidik anak-anak
4. Memelihara dan menjaga kehormatan, melindungi harta benda keluarga
5. Menerima dan menghormati pemberian suami dan mencukupkannya dengan baik dan
bijaksana.

Beberapa hak – hak suami atas istrinya :

1. Kewajiban menaatinya bila tidak dalam rangka maksiat kepada Allah


2. Meminta izin pada suami jika istri ingin bepergian apapun keperluannya
3. Tidak meminta sesuatu melebihi kebutuhan dan tidak membebani suami diluar
kemampuannya
4. Tidak berpuasa sunaah kecuali dengan izin suami
4. Membahagiakannya dengan menunjukkan kegembiraan dan tidak sombong karena
kecantikan, kekayaan, keturunan walaupun dia melebihi suaminya

Kewajiban suami :

1. Memelihara, memimpin keluarga lahir dan batin


2. Bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan
3. Member nafkah sesuai kemampuan dan mengusahakan keperluan keluarga trutama
sandang, pangan, papan
4. Membantu tugas – tugas istri
5. Member kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri sesuai ajaran agama

PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI

A. Perempuan yang haram dinikahi oleh laki-laki untuk selamanya karena ada hubungan
kekerabatan :
1. Ibu
2. Ayah
3. Saudara
4. Saudara ayah
5. Saudara ibu
6. Anak dari saudara laki-laki
7. Anak dari saudara perempuan

Hal diatas disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 23 :

“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, saudara-


sandara ayahmu, saudarasaudara ibumu, anak-anak saudara laki-lakimu; anak-anak saudara-
saudara perempuanmu”.

B. Adanya hubungan mushaharah


Mushaharah yaitu hubungan yang terjadi karena laki – laki menikahi wanita, sehingga
timbulah hubungan kekerabatan ditengah-tengah mereka. Wanita yang tidak boleh
dinikahi karena sebab mushaharah yaitu :
1. Perempuan yang telah dinikahi oleh ayah atau ibu tiri
2. Perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu
3. Ibu istri atau mertua
4. Anak dari istri dengan ketentuan istri itu telah digauli

Hal diatas berdasarkan surat An-Nisa: 22


“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan”.

C. Karena hubungan sepersusuan


Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu
perempuan itu menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak sehingga
perempuan yang menyusukan itu telah seperti ibunya.

Ibnu Abbas menurut riwayat


al-Dar al-Quthniy mengatakan ucapan Nabi yang bunyinya:
“Tidak ada hubungan persusuan kecuali dalam masa dua tahun”
Sunah Akad Nikah’
Menurut para ulam, ada bebrapa hal yang disunahkan dalam akad nikah, yaitu :
1. Sebaiknya dilakukan pada hari Jum’at sore karena pada hari itu kemungkinan doa
terkabul sangatlah besar.
2. Sebaiknya dilakukan dimasjid, karena masjid adalah tempat yang paling penuh
berkah
3. Didahului dengan kata pengantar nikah sebagaimana bisa, disertai nasihat seperti
bagaimana menggauli atau mencerakainnya dengan baik, hal itu akan lebih baik.
4. Jika sudah selesai, hendaknya segera mendoakan kedua mempelai.

MAHAR WANITA

Mahar atau mas kawin dalam bahasa arab disebut shidaq, diambil dari kata shidq ( jujur) karena
mahar ini bertujuan untuk meyakinkan mempelai perempuan bahwa mempelai laki-laki benar –
.benar mencintainya
ُ َ ْ َ ً َ
ً ‫ص ُدقاتِ ِهنَّ نِ ْحلَة فإِنْ ِطبْنَ لَ ُك ْم عَنْ ش َْي ٍء ِم ْنهُ نَف‬
)4( ‫سا ف ُكلوهُ َهنِيئًا َم ِريئًا‬ َ ِّ‫َوآَتُوا الن‬
َ ‫سا َء‬

Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh
kelahapan lagi baik akibatnya.

Tersirat dalam ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa
diberikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama berdasarkan riwayat
beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau hafalan Al-Qur`an selama istri
rela. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan kondisi seseorang yang kesulitan untuk
menikah.

R. Ibnu Hibban). Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar.
Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak mempersulit dan
meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit terjadinya pernikahan yang
mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat

Mahar adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya, jika meminjamnya haruslah
dengan izin sang istri.

Kapan wanita berhak menerima mahar ?

Mahar disebutkan sebelum akad, ini adalah yang paling baik. Boleh juga menyebutkan di dalam
lafal akad.
HUKUM WALIMAH DALAM NIKAH

Hukum melaksanakan walimatul urus adalah sunnah muakkad, dikarenakan adanya ketetapan
melaksanakan walimatul ursi dari baginda nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dengan perkataan dan perbuatan. Didalam Shahih Bukhari disebutkan: “Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaksanakan walimah atas sebagian istri-istri beliau.
Mereka ialah ummi Salamah (Nama beliau adalah Hindun) dengan dua mud sya’ir…….” Beliau
(nabi) berkata kepada Abdurrahmaan Bin Auf dan saat itu ia (Abdurrahman) sedang
menikah: “Laksanakanlah walimah (ursi) walaupun hanya dengan satu ekor kambing.”

HUKUM MENGHADIRI WALIMAH

Hukum menghadiri walimatul urus adalah wajib (fardhu ‘Ain). Ada pendapat yang mengatakan
bahwa menghadiri walimatul ursi adalah Fardhu Kifayah. Sedangkan menghadiri walimah selain
walimatul ursi adalah sunnah berdasarkan hasdits Ash-Shahihain (hadits dari Bukhari dan
Muslim): “Ketika salah satu dari kalian diundang untuk walimah, maka datangilah”. Yang perlu
diketahui adalah: Walimah ketika diucapkan (tanpa adanya embel-embel seperti walimatul
khitan dan sebagainya) maksudnya adalah walimatul ursi.

Anda mungkin juga menyukai