Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQH

PERNIKAHAN DAN TALAK

Disusun Oleh:
Kelompok 8

Fira Magfiran 20.11.0110.0011


Puspa Sari Andriani 20.11.0110.0020
Rindi Antika 24 20.11.0110.0024

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


MUHAMMADIYAH
KABUPATEN BERAU
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayahnya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun
makalah Fiqh yang bertemakan “Pernikahan dan Talak” yang mana makalah ini
merupakan tugas mata kuliah Fiqh. Yang bertujuan agar kita lebih memahami seputar
pernikahan dan juga mengenai talak.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan seperti,
sulitnya mencari buku-buku referensi untuk menunjang kesempurnaan pembuatan
makalah. Penulis menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, namun
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfat terkhususnya bagi penulis
sendiri juga bagi para pembaca pada umumnya. Aamiin.

Berau, 23 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I.PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II. PEMBAHASAN 3
A. Definisi Pernikahan 3
B. Sifat-Sifat Perempuan Yang Baik 5
C. Meminang 5
D. Hukum Nikah 6
E. Rukun Nikah 7
F. Wali Nikah 7
G. Mahram 9
H. Mahar (Maskawin) 10
I. Talak (Perceraian) 10
BAB III. PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki
dan ada perempuan. Salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang
bertujuan untuk generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah swt. manusia
diberikan karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang
bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya. Untuk merealisasikan
terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-
benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan
yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam mejadikan lembaga pernikahan itu pulan
akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar
pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka
yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan
dengan orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan
ditengah-tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di tengah-tengah
mereka pula manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan
keturunannya. Ini diwujudkan dengan pernikahan. Pernikahan yang menjadi
anjuran Allah swt. dan Rasul-Nya ini merupakan akad yang sangat kuat atau
mitssqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisa’: 3,

َ ‫ا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬S ‫اب لَ ُكم ِّمنَ النِّ َس‬S


‫ث‬ َ Sَ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَان ِكحُوا َما ط‬
( ‫وا‬SSُ‫ك َأ ْدن َٰى َأاَّل تَعُول‬َ Sِ‫انُ ُك ۚ ْم ٰ َذل‬SS‫ت َأ ْي َم‬ ِ ‫َو ُربَا ۖ َع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
ْ ‫اح َدةً َأوْ َما َملَ َك‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari pernikahan?
2. Apa saja syarat-syarat perempuan yang baik untuk dinikahi?
3. Apa pengertian dari meminang?
4. Apa saja hukum dan rukun nikah?
5. Siapa sajakah yang bisa menjadi wali nikah (wali siperempuan)?
6. Siapa sajakah mahram/orang yang tidak halal dinikahi?
7. Apa definisi dari talak?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari pernikahan.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat perempuan yang baik untuk dinikahi.
3. Untuk mengetahui arti dari meminang.
4. Untuk mengetahui hukum dan rukun nikah.
5. Untuk mengetahui orang yang bisa menjadi wali nikah (wali siperempuan).
6. Untuk mengetahui mahram/orang yang tidak halal dinikahi.
7. Untuk mengetahui definisi dari talak.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Definisi Pernikahan
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti
majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah ( ‫ ) ْنكاح‬dan zawaj ( ‫) ْزواج‬. Kedua kata ini yang
terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-
Qur‟an dan hadist Nabi. Kata na-ka-ha yang artinya kawin banyak terdapat
dalam Al-Qur‟an, seperti dalam Surah An-Nisa‟ ayat 3 :

‫اب لَ ُكم ِّمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى‬


َ َ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَان ِكحُوا َما ط‬
... ً‫ث َو ُربَا ۖ َع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َوا ِح َدة‬
َ ‫َوثُاَل‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja” . . .
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur‟an dalam arti
kawin pada Surah Al-Ahzab ayat 37 :

َ S‫ ْؤ ِمنِينَ َح‬S‫ض ٰى زَ ْي ٌد ِّم ْنهَا َوطَرًا زَ َّوجْ نَا َكهَا لِ َك ْي اَل يَ ُكونَ َعلَى ْال ُم‬
‫ر ٌج ِفي‬S َ َ‫فَلَ َّما ق‬
)٣٧( ‫اج َأ ْد ِعيَاِئ ِه ْم‬ ِ ‫َأ ْز َو‬

“Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya


(menceraikan-nya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka” . . .
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan mahram.

3
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi
juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu
kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk
menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenaranya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si
istri dan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada
semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga merekamenjadi satu dalam
segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan
mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan
terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu serta
berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak
halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang
siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia puasa, karena dengan puasa
hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.” (Riwayat Jama’ah ahli
hadis)
Dari Aisyah RA;
“Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan
mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.” (Riwayat Hakim dan Abu Dawud)
Dalam pada itu, faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga
dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab
seorang perempuan, apabila sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya)
wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara
kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak
tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung
jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau
tidak ada pernikahan tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan
dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antar
sesamanya.

4
Demikianlah maksud pernikahan sejati dalam Islam. Singkatnya untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan
masyarakat.
B. Sifat-Sifat Perempuan Yang Baik
Sebaiknya menjadi perhatian bahwa tidak semua orang dapat mengatur rumah
tangga dan tidak semua orang dapat diserahi kepercayaan mutlak, sebagai teman
karib yang akan membela untuk selama-lamanya. Maka sebelum kita
mengutarakan maksuf yang terkandung di hati, sebaiknya selidiki lebih dahulu,
akan terdapat persesuaian paham atau tidakkah kelak setelah bergaul. Nabi Saw.
Telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu:
1. Yang beragama dan menjalankannya.
2. Keturunan orang yang subur (mempunyai keturunan yang sehat).
3. Yang masih perawan.
Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Jabir, “sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, ‘sesungguhnya
perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan
kecantikannya; maka pilihlah yang beragama’.” (Riwayat Muslim dan
Tirmidzi)
Dari Ma’qal bin Yasar. Ia berkata, “ seorang laki-laki telah datang kepada
Nabi Saw. kata laki-laki itu, ‘Saya telah mendapatkan seorang perempuan
bangsawan yang cantik, hanya dia tidak beranak. Baikkah saya kawin
dengan dia? Jawab Nabi, ‘Jangan!’ Kemudian laki-laki itu datang untuk
kedua kalinya. Beliau tetap melarang. Kemudian pada yang ketiga kalinya
laki-laki itu datang pula. Nabi bersabda, ‘kawinlah dengan orang yang
dikasihi lagi subur’.” (Riwayat Abu Dawud dan Nasai)
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi Saw. telah menyatakan kepadanya. Sabda
beliau, “Hai Jabir, engkau kawin dengan perawan ataukah dengan janda?”
Jawab Jabir, “Saya kawin dengan janda.”Sabda Nabi, “Alangkah baiknya
jika engkau kawin dengan perawan; engkau dapat menjadi hiburannya, dan
dia pun menjadi hiburan bagimu.” (Riwayat Jama’ah ahli hadis)
C. Meminang
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-
laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang
yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama

5
Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya; kecuali perempuan
yang masih dalam “iddah ba’in”, sebaiknya dengan jalan sindiran saja.
Firman Allah Swt.:

)٢٣٥( ‫َّضتُم بِِۦه ِم ۡن ِخ ۡطبَ ِة ٱلنِّ َسٓا ِء‬


ۡ ‫َاح َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما َعر‬
َ ‫َواَل ُجن‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran.” (Al-Baqarah:235)
Adapun terhadap perempuan yang masih dalam “iddah raj’iyah”, maka
haram meminangnya karena perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah secara
hukum masih berstatus sebagai istri bagi laki-laki yang menceraikannya, dan dia
boleh kembali kepadanya. Demikian juga tidak diizinkan meminang seorang
perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain, sebelum nyata bahwa
permintaanya itu tidak diterima.
“Orang mukmin adalah saudara orang mukmin. Maka tidak halal bagi
seorang mukmin meminang seorang perempuan yang sedang dipinang oleh
saudaranya, sehingga nyata sudah ditinggalkannya.” (Riwayat Ahmad dan
Muslim)
 Hukum Melihat Orang yang Dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang
itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, maka
tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya
semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu
ataupun tidak.” (Riawayat Ahmad)
Adapula sebagian ulama berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan
dipinang itu hukumnya sunat. Keterangannya adalah sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan,
sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga
bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud)
D. Hukum Nikah
Adapun hukum nikah yaitu sebagai berikut:
1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.

6
2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-
lainnya.
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda
pada kejahatan (zina).
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang
dinikahinya.
E. Rukun Nikah
1. Sigat (Akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali,
“Saya nikahnkan engkau dengan anak saya bernama…”, Dijawab mempelai
laki-laki, “Saya terima menikahi…” Boleh juga didahului oleh perkataan dari
pihak mempelai, seperti: “Nikahkanlah saya dengan anakmu,” Jawab wali,
“Saya nikahkan engkau dengan anak saya…” karena maksudnya sama.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwiji, atau terjemahan
dari keduanya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya
kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang dimaksud dengan “kalimat Allah” dalam hadist ialah Al-Qur’an, dan
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij),
maka harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa
akad sah dengan lafaz yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafaz
tersebut, karena asal lafaz akad tersebut ma’qul makna, tidak semata-mata
ta’abbudi.
2. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Saw.:
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin
walinya, maka pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli
hadist, kecuali Nasai)
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan
jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”
(Riwayat Ibnu Majah dan Daruqut ni)
3. Dua orang saksi.
Sabda junjungan kita Nabi Saw.:
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (Riwayat
Ahmad)
F. Wali Nikah
1. Susunan Wali
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut
susunan yang akan diuraikan di bawah ini:

7
1) Bapaknya.
2) Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3) Saudara laki-laki seibu sebapak dengannya.
4) Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
6) Anak laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7) Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8) Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9) Hakim.
2. Syarat wali dan dua saksi
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena
itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi
hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:
a. Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau
saksi.
Firman Allah Swt.:
َ ٰ َّ‫وا ۡٱليَهُو َد َوٱلن‬
ٓ ٰ ‫ص َر‬
‫ى َأ ۡولِيَٓا َء‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا اَل تَتَّ ِخ ُذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-
pemimpin(mu).” (Al-Maidah: 51)
b. Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun).
c. Berakal.
d. Merdeka.
e. Laki-laki, karena tersebut dalam hadist riwayat Ibnu Majah dan
Daruqutni di atas)
f. Adil.
3. Keistimewaan bapak dari wali-wali yang lain
Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang bikir/perawan dengan
tidak meminta izin si anak dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya
baik. Kecuali anak sayib (bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan
kecuali dengan izinnya lebih dahulu. Wali-wali yang lain yang berhak
menikahkan mempelai kecuali sesudah mendapatkan izin dari mempelai itu
sendiri.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya,
sedangkan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya.” (Riwayat
Daruqut ni)
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Sesungguhnya seorang perawan telah
mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw. bahwa ia telah

8
dinikahkan oleh bapaknya dan dia tidak menyukainya. Maka Nabi
Saw. memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan
atau membatalkan pernikahan itu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Daruqut ni)
Rasulullah memberikan kesempatan memilih kepada perawan itu. Hal ini
adalah tanda bahwa pernikahan yang dilakukan bapaknya itu sah, sebab kalau
pernikahannya itu tidak sah, tentu Nabi Saw. menjelaskan bahwa pernikahan
itu tidak sah atau beliau menyuruh menikah dengan laki-laki lain.
Ulama memperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin ini
menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
b. Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara (se-kufu).
c. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding).
d. Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
e. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan
(membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki
itu, misalnya orang itu buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga
tidak ada harapan akan mendapat kegembiraan dalam pergaulannya.
f. Sebagian ulama berpendapat, bapak tidak boleh menikahkan anak
perawannya tanpa ada izin lebih dahulu dari anaknya itu.
4. Wali Gaib
Menurut Mazhab Syafii, apabila wali yang lebih dekat (akrab) itu gaib (jauh)
dari perempuan yang akan dinikahkan, sejauh perjalanan qasar dan ia tidak
mempunyai wakil, maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim karena
wali yang gaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih
jauh hubungannya.
G. Mahram
Mahram (orang yang tidak halal dinikahi) ada 14 macam.
Tujuh orang dari pihak keturunan:
1. Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari bapak.
5. Saudara perempuan dari ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Dua orang dari sebab menyusu:

9
1. Ibu yang menyusuinya.
2. Saudara perempuan sepersusuan.

Lima orang dari sebab pernikahan:


1. Ibu istri (mertua)
2. Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya.
3. Istri anak (menantu)
4. Istri bapak (ibu tiri)
ْ ‫َواَل تَن ِكح‬
‫ُوا َما نَ َك َح َءابَٓاُؤ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu.” (An-Nisa: 22)
5. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu
dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang
bersaudara; atau seorang perempuan dipermadukan dengan saudara
perempuan bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, dan seterusnya
menurut pertalian mahram di atas.
H. Mahar (Maskawin)
Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberikan sesuatu
kepada si istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian inilah
yang dinamakan mahar (maskawin).
Firman Allah Swt.:
ۚ
‫ص ُد ٰقَتِ ِه َّن نِ ۡحلَ ٗة‬ ْ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah;
dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.
Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut
kemampuan suami beserta keridaan si istri. Sungguhpun demikian, suami
hendaklah benar-benar sanggup membayarnya; karena mahar itu apabila telah
ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar
sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai
pertanggungjawabannya di Hari Kemudian.
I. Talak (Perceraian)

10
Takrif talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Yang
dimaksud di sini adalah melepaskan ikatan pernikahan.
Apabila ada perselisihan di antara suami istri itu menimbulkan permusuhan,
menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka,
sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat
disambung lagi, maka talak (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi
pemisah antara mereka; sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh adanya,
berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw. berikut ini:
Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Sesuatu
yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka
hukum talak ada empat:
1. Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua
hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya
keduanya bercerai.
2. Sunat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi
kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan
dirinya.
3. Haram (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu
si istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang
telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
4. Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang tersebut di atas.

 Bilangan Talak
Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menalak istrinya dari talak satu
sampai talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum
habis iddahnya, dan boleh menikah kembali sesudah iddah.
Firman Allah Swt.:

‫ُوف َأ ۡو ت َۡس ِري ۢ ُح بِِإ ۡح ٰ َس ٖۗن‬ ُ ۢ ‫َان فَِإمۡ َسا‬


ٍ ‫ك بِ َم ۡعر‬ ُ َ‫ٱلطَّ ٰل‬
ِ ۖ ‫ق َم َّرت‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
(Al-Baqarah: 229)

11
Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali, kecuali apabila si
perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak pula oleh
suaminya yang kedua itu.
Firman Allah swt.:

ِ ۗ ‫اج َعٓا ِإن ظَنَّٓا َأن يُقِي َما ُح ُدو َد ٱهَّلل‬


َ ‫َاح َعلَ ۡي ِه َمٓا َأن يَت ََر‬
َ ‫فَِإن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬
“Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.” (Al Baqarah: 230)

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti
majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Nabi Saw. Telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik,
yaitu: yang beragama dan menjalankannya, keturunan orang yang subur
(mempunyai keturunan yang sehat), yang masih perawan.
Adapun hukum dalam nikah yaitu adalah, Jaiz (diperbolehkan), sunat, wajib,
makruh dan haram. Lalu adapula rukun nikah yaitu Sigat (Akad), wali (wali
siperempuan), dan dua orang saksi.
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah:
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki-laki seibu sebapak dengannya.
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
6. Anak laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9. Hakim.
Takrif talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Yang
dimaksud di sini adalah melepaskan ikatan pernikahan. Hukum talak ada empat
yaitu wajib, sunat, haram (bid’ah), dan makruh. Tiap-tiap orang yang merdeka
berhak menalak istrinya dari talak satu sampai talak tiga.

13
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, H. Sulaiman. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
https://www.academia.edu/38499007/MAKALAH_NIKAH diakses pada tanggal
21/11/2022 pukul 14.20

Anda mungkin juga menyukai