Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

A. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia

Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun agama,
maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu kepentingan umum dengan
hukum di antaranya masalah pernikahan. Untuk menghindari konflik atau ketidak selarasan
dimasyarakat, maka pemerintah membuat perundang-undangan tentang pernikahan
khususnya mengenai perbedaan agama. Di antara peraturan-peraturan mengenai pernikahan
beda agama yang masih berlaku di antaranya :

a) Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata


b) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
c) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
d) PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
e) Instruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama


dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama
Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal
2 ayat 1 beserta penjelasannya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
menikah dengan melanggar hukum agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak
dapat dilaksanakan selain kedua calon suami istri. beragama Islam. Sehingga tidak ada
peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar
agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama
dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan
memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan
beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No.1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami istri
dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika
dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada Tiga
Penafsiran yang berbeda.

1. Penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran


terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f.
2. Bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua
orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pendapat.
3. Bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh
karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur
dalam undang-undang perkawinan.

B. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam


Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik.
Semua perangkat syari’ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu
nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang
menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam. Barangkali,
persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini. Islam tidak mau
menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama sekali tidak mentolelir
pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan
jelas karena menikah dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan
neraka sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :

‫ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد‬ ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك‬
‫هّٰللا‬ ٰۤ ُ
ِ َّ‫ار ۖ َو ُ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِا ِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن‬
‫اس لَ َعلَّهُ ْم‬ ِ َّ‫ك يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن‬
َ ‫ول ِٕى‬ ٍ ‫ُّمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر‬
‫ك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ ا‬
َ‫يَتَ َذ َّكرُوْ ن‬

Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah- perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan


beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita
ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya
dengan ayat tersebut.

Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/ ngingkari wujud Tuhan
(atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan
atheis ? Untuk mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1
sebagai berikut:

ُ‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ ُم ْنفَ ِّك ْينَ َح ٰتّى تَْأتِيَهُ ُم ْالبَيِّنَ ۙة‬
ِ ‫لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن اَ ْه ِل ْال ِك ٰت‬
Artinya : orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata. Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik
dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama (kitab)
samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi,
hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka
yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada
agama samawi.

Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab
ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5 :

ُ ‫ص ٰن‬
‫ت‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫ت ِمنَ ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ ُ ‫ص ٰن‬َ ْ‫ب ِح ٌّل لَّ ُك ْم ۖ َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَّهُ ْم ۖ َو ْال ُمح‬
َ ‫ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ُ ۗ ‫اَ ْليَوْ َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّ ٰب‬
‫َان َو َم ْن يَّ ْكفُرْ بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد‬
ٍ ۗ ‫ي اَ ْخد‬ ْٓ ‫صنِ ْينَ َغي َْر ُم َسافِ ِح ْينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ‬ ِ ْ‫ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن ُمح‬ َ ‫ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬
َ‫َحبِطَ َع َملُهٗ ۖ َوهُ َو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين‬

Artinya : pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan(sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan bahwa
kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah Wanita muslimah relatif
sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak,
maka rukhsah itu tidak berlaku lagi. Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min
qablikum (sebelum kamu).Maksudnya sebelum turunnya al-Qur’an. Dengan qayyid (catatan)
ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama Yahudi atau
Nasrani sebelum al-Qur’an diturunkan. Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas
tidak ada lagi. Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami. Karena si anak dalam
bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya Nasrani misalnya,
peluang anak menjadi Nasrani lebih besar. Sekalipun demikian, peluang untuk menikah
dengan ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir
ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri tercatat
sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir dengan perceraian.
Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin Affan, Hudzaifah,
Sa’ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain.
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku
bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga
iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan
akan terperdaya ke agama lain.

Anda mungkin juga menyukai