Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERKAWINAN BEDA AGAMA

Disusun oleh: M.Taufiqkurrahman

Kelas:XII

SMK SALAHUDDIN KOTA BIMA


TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari
segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian
dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut
saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan
kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan
wanita non muslim (nasrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim
menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian
orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang
terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang
pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan
agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status
pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas
sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, menurut agama Islam itu
sendiri.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?
2.      Bagaimana hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?
C.       Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian perkawinan lintas agama?
2.      Untuk mengetahui hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Perkawinan Lintas Agama


1.    Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” secara bahasa bermakna penyatuan,
perkumpulan, atau dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut istilah
syara’, nikah ialah akad yang membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin dengan
perempuan.[[1]]
Jadi yang dimaksud dengan nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang di ridhai oleh Allah SWT.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1
merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini
mengandung tiga (3) karakter yang khusus, yaitu : [[2]]
a.       Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
b.      Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
c.       Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
2.      Pengertian Perkawinan Lintas Agama
Perkawinan lintas agama ialah perkawinan antar orang yang berlainan agama. Yang
dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” disini ialah perkawinan orang
Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). [[3]]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama adalahikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan
perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B.       Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Islam
Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama,
musyrik adalah siapa saja yang menyembah selain Allah (mempersekutukan Allah). Orang
kristen yang percaya tentang trinitas adalah musyrik menurut sudut pandang di atas, termasuk di
dalamnya Ahlul Kitab. Adapun menurut pandangan para pakar al-Quran,
katamusyrik atau musyrikin dan musyrikat digunakan al-Quran untuk kelompok tertentu, yaitu
para penyembah berhala. Dengan demikian, istilah al-Quran berbeda dengan istilah keagamaan di
atas. Walaupun penganut agama kristen mempercayai trinitas, al-Quran tidak menamai mereka
musyrik, tetapi menamai mereka Ahlu Kitab. Perhatikan firman Allah berikut:
‫أْتِيَهُ ُم‬JJَ‫ين َحتَّى ت‬ َ ‫ ِر ِك‬J‫ب َو ْال ُم ْش‬
َ ‫ين ُم ْنفَ ِّك‬ ِ ‫ا‬JJَ‫ين َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكت‬
َ ‫لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذ‬
)1 :‫ْالبَيِّنَةُ (البينة‬
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata” (QS. al-Bayyinah: 1)

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa orang kafir ada dua macam, yakni Ahlul Kitab dan
Musyrik. Itulah istilah yang digunakan al-Quran untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran
dengan dua nama yang berbeda, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik. [[4]]
1.      Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim
Hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-
laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan
hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada QS. Al-
Baqarah ayat 221, yang berbunyi: [[5]]
‫و‬Jْ َ‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َول‬ ِ ‫َوال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ ٌر ِم ْن‬J‫ؤ ِم ٌن َخ ْي‬J َ ‫ ِر ِك‬J‫أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش‬
ْ J‫ ٌد ُم‬J‫وا َولَ َع ْب‬JJُ‫ين َحتَّى ي ُْؤ ِمن‬
......‫و أَ ْع َجبَ ُك ْم‬Jْ َ‫ُم ْش ِر ٍك َول‬
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu.” (QS. al-Baqarah: 221)
Selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221, larangan perkawinan antara perempuan
muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10.
ُ ‫ا ْمتَ ِحنُوهُ َّن هَّللا‬JJَ‫ت ف‬
ٍ ‫اج َرا‬J ُ Jَ‫ ا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬J‫وا إِ َذا َج‬JJُ‫ين آ َمن‬
ِ Jَ‫ات ُمه‬J َ ‫ا الَّ ِذ‬JJَ‫يَا أَيُّه‬
‫ار ال‬ ِ َّ‫وهُ َّن إِلَى ْال ُكف‬JJ‫ت فَال تَرْ ِج ُع‬
ٍ ‫ا‬JJَ‫وهُ َّن ُم ْؤ ِمن‬JJ‫إِ ْن َعلِ ْمتُ ُم‬Jَ‫أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ِه َّن ف‬
َ ُّ‫هُ َّن ِحلٌّ لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحل‬
‫ون لَه َُّن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang digunakannya adalah “orang-
orang kafir”, dan Ahlul kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang kafir. Dengan
demikian, walaupun ayat ini tidak menyebut Ahlul kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam
kata “orang-orang kafir”.[[6]]
Ada beberapa argumen tentang sebab diharamkannya perempuan muslim kawin dengan
laki-laki non-muslim, yakni sebagai berikut: [[7]]
a.         Laki-laki kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa {4}: 141: ... dan
Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin
b.        Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah
sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki
muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani
kitab, dan nabi dari istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna
keimanan seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
c.         Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami isteri tidak mungkin bisa bertahan tinggal dan
hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.
2.      Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
Islam melarang terjadinya ikatan perkawinan yang berakibat hancurnya keyakinan
agama. Allah melarang perkawinan orang Islam dengan orang musyrik karena orang musyrik
telah berbuat dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah yaitu syirik, karena mengajak ke
neraka (QS. al-Nisa’: 116), sedang Allah dengan aturannya mengajak kepada
kedamaian/kebahagiaan dan mendapat ampunan Ilahi (QS. al-Baqarah: 221).[[8]]
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik hukumnya adalah mutlak haram. Madzhab Hambali juga berpendapat demikian, bahwa
haram hukumnya menikahi wanita-wanita musyrik. Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang
perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 221: [[9]]
‫ى ي ُْؤ ِم َّن َوألَ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَ ْو‬ ِ َ ‫َوالَ تَ ْن ِكح ُْوا ْال ُم ْش ِركا‬
َّ ‫ت َحت‬
(221:‫ (البقرة‬... ‫أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”
Jumhur ulama juga sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan
musyrik. Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-
watsaniyyah), zindiqiyyah (ateis), penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-ibahah), seperti
pahamwujudiyah.[[10]]
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan
Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang
musyrik/kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat
berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta,
percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan
orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka
penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah
beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
“kepercayaan/ideologi” mereka.[[11]]

3.      Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab


Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan Ahli Kitab
berdasar pengkhususan QS. Al-Maidah ayat 5.
‫ا ُم ُك ْم‬JJ‫ لٌّ لَ ُك ْم َوطَ َع‬J‫اب ِح‬َ َ‫ين أُوتُوا ْال ِكت‬ ُ َ‫ْاليَ ْو َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
Jَ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذ‬
‫وا‬JJُ‫ين أُوت‬ Jَ ‫ات ِم َن الَّ ِذ‬
ُ َ ‫ن‬J ‫ص‬َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ِ ‫ا‬JJَ‫ات ِم َن ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ َ ‫ن‬J ‫ص‬ َ ْ‫ لٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬J‫ِح‬
‫ين َوال‬ َ ‫افِ ِح‬JJ‫ين َغي َْر ُم َس‬ َ ِ ‫صن‬ َ ‫اب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموهُ َّن أُج‬
ِ ْ‫ُورهُ َّن ُمح‬ َ َ‫ْال ِكت‬
‫اآلخ َر ِة ِم َن‬ِ ‫ان فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهُ َوهُ َو فِي‬ ِ ‫ان َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َم‬ ٍ ‫ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخ َد‬
‫ين‬ ِ ‫ْال َخ‬
َ ‫اس ِر‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Di antara ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud wanita  kitabi,
kitabiyah, atau wanita Ahli Kitab. Syekh Ali Ahmad Jarjawi berpendapat bahwa Ahlul
Kitab adalah orang-orang yang berpegang kepada agama dan mempunyai kitab samawi yang
diturunkan dari Allah Swt.
Madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul kitab adalah mereka
yang menganut aliran sebagai berikut:
a)        iman dan percaya kepada Allah
b)        iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah
Swt kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Saw
c)        iman dan percaya kepada salah seorang rasul selain Nabi Muhammad Saw.
Mahmuddin Sudin berpendapat bahwa sekarang ini tidak ada lagi Ahli Kitab sebagai yang
dimaksudkan oleh QS. al-Maidah ayat 5; mereka dikategorikan musyrik.[[12]]
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan Ahli Kitab,
menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang
melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan,
yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah
yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat distansi yang
jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembahNya, beriman kepada para nabi,
hari akhirat (eskatologis) beserta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan berbuat
baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial hanyalah mengenai keimanan
terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada kenabian universal tidak
akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup (khatam al-anbiya), yakni Muhammad,
kecuali karena kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami
yang menganut agama dan syari’at yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk
mengikuti agama suaminya. Dan apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang
jelas niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan keimanan dan keislaman. [[13]]
Pengertian Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar sebelum Islam, yakni Yahudi
dan Nasrani. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini
perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak), sedangkan mengenai perempuan
Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi al-milk) para ulama berbeda pendapat. [[14]]
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab). Qurthubi dan Nu’as mengatakan: Di antara sahabat yang
menghalalkan antara lain: Utsman, Talhah, Ibnu Abbas, Jabir, dan Hudzaifah. Sedangkan dari
golongan tabi’in yang menghalalkan: Sa’id bin Mutsayyab, Sa’id bin Jabir, al-Hasan, Mujahid,
Thaawus, Ikrimah, Sya’bi, Zhahak, dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq menyatakan bahwa hanya ada
satu sahabat yang mengharamkan, yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai
pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab. Utsman r.a. kawin dengan Nailah binti
Quraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk Islam, Hudzaifah
mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan Sa’ad bin Abu Waqas pernah
kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada masa penaklukan kota Makah (fathul
Makah).[[15]]
Adapun pendapat fuqaha empat madzab Sunni tentang laki-laki muslim mengawini
perempuan Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a.         Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah membolehkan mengawini wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani),
sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah
ahli kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahli kitab
adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang
percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut madzhab ini mengawini wanita ahli kitab dzimmi atau wanita kitabiyah
yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah,
dan mengandung mafasid yang besar, yakni seorang suami muslim yang kawin dengan
perempuan ahli kitab dikhawatirkan akan patuh terhadap istrinya yang berjuang memperbolehkan
anaknya beragama dengan selain agamanya. Sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab
zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini
menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi. [[16]]
b.        Madzhab Maliki
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan dengan Ahli Kitab ini mempunyai dua pendapat
yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-
wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun
harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan
bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram.
Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak.
Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Saddu al-Dzari’ah (menutup
jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan yang akan muncul dalam
perkawinan beda agama adalah kemafsadatan, maka diharamkan.[[17]]
c.         Madzhab Syafi’i
Demikian halnya dengan madzhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita
Ahli kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahli kitab menurut madzhab Syafi’i adalah
wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk
bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan
madzhab ini adalah :
1)        Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
2)        Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua
kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang
menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan
Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab,
karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
Para fuqaha madzab Syafi’i memandang makruh mengawini perempuan Ahli Kitab yang
berdomisili di Daru al-Islam, dan sangat dimakruhkan (tasydid al- Karahah) bagi yang berada
di Daru al-Harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Ulama Syafi’iyah memandang
kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa berikut: [[18]]
1)        Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak perempuan Ahli Kitab
tersebut masuk Islam.
2)        Masih ada perempuan muslimah yang shalikhah
3)        Apabila tidak mengawini perempuan Ahli Kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan
zina.
d.        Madzhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak
mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk
ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa semua
wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus
menjadi Rasul, baik dari bangsa Israel maupun tidak. [[19]]
4.      Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah, Majusi, dan Lainnya
Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk
agama Shabi’ah (QS. AL-Baqarah {2}: 62, QS. AL-Maidah {5}:69, al-Hajj {22}: 17); Majusi
(QS. Al-Hajj {22}: 17); serta orang-orang yang berpegang pada shuhuf (lembaran kitab suci)
Nabi Ibrahim-yang bernama Syit dan shuhuf Nabi Musa yang bernama Taurat (QS. Al-A’la [87]:
19), dan kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud.
Penyebutan agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah
berkembang dan dikenal masyarakat Arab pada saat itu. Mengenai perempuan shabi’ah, para
fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja
kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka dipersamakan dengan pemeluk yahudi dan
nasrani, sehingga laki-laki mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah dan
Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka,
orang-orang yahudi dan nasrani sependapat dengan islam dalam hal-hal pokok agama (ushul ad-
din) membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab. Barang siapa yang berbeda darinya
dalam hal pokok-pokok agama (termasuk shabi’ah) maka ia bukanlah termasuk golonganya. Oleh
karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini penyembah berhala, yakni Haram. [[20]]
Seorang muslim dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi bukan dari
golongan Ahli Kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena Ahli Kitab adalah mereka
yang beragama Yahudi maupun Nasrani. Kitab Taurat diturunkan kepada kaum Yahudi dan Nabi
mereka adalah Musa AS. Sedangkan kitab Injil diturunkan kepada kaum Nasrani, dan Nabi
mereka adalah Isa bin Maryam AS. Namun Madzhab Zhahiriah membolehkan seorang muslim
menikah dengan wanita majusi dengan hujjah mereka termasuk golongan Ahli kitab.
Abu Tsaur mengatakan: “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda Rasulullah
SAW. yang artinya.“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana
berbuat kepada golongan Ahli Kitab”
Alasan lain, karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah
Radhiyallahu‘anhu pernah menikahi wanita Majusi dan karena mereka masih ditetapkan
membayar jizyah (pajak), sehingga status mereka mirip dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani”
Namun, kebanyakan yang dijadikan pedoman adalah pendapat mayoritas ulama. Pasalnya,
orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab. Allah SWT berfirman yang
artinya (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya
diturunkan kepada 2 golongan saja sebelum kami (Yahudi dan Nasrani)” (Al-An'am: 156).
Ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tak memiliki kitab. Sesungguhnya yang
dimaksudkan dari hadits tersebut adalah dalam rangka melindungi darah mereka dan masih
ditetapkan membayar jizyah, bukan yang lain. Sedangkan mengenai riwayat bahwa
Hudzaifah  pernah menikahi wanita Majusi, setelah diteliti,  riwayat ini tak shahih dan Imam
Ahmad telah mendha'ifkan (melemahkan) orang yang meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa beliau
pernah menikahi wanita Majusi. Abu Wa'il menyatakan: “(Orang yang meriwayatkan bahwa)
beliau pernah menikahi wanita Yahudi itu lebih kuat daripada orang yang meriwayatkan dari
beliau bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi”. Sementara Ibnu Sirin mengatakan:
“Konon, istri Hudzaifah beragama Nasrani” [[21]]
Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
Shabi’ah juga ada dua pendapat. Ulama madzhab Hanafi menyatakan: barangsiapa memeluk
agama samawi, dan baginya suatu kitab suci seperti shuhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah sah
mengawini mereka selagi tidak syirik. Karena mereka berpegang pada semua kitab Allah maka
dipersamakan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i dan
Hambali tidak membolehkan. Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat
dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat hukum. [[22]]
C.      Analisis Penalaran Hukum Perkawinan Lintas Agama
Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan
yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-Islam dan sebaliknya (laki-laki muslim
dengan perempuan non-Islam), baik Ahlul kitab ataupun musyrik adalah haram, tidak
sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi: [[23]]
Jْ Jَ‫ ِر َك ٍة َول‬J‫ ٌر ِم ْن ُم ْش‬J‫ةٌ َخ ْي‬Jَ‫ ةٌ ُم ْؤ ِمن‬J‫ؤ ِم َّن َوأل َم‬Jْ Jُ‫ت َحتَّى ي‬
‫و‬J ِ ‫ال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ ٌر ِم ْن‬JJْ‫ؤ ِم ٌن َخي‬JJ ْ ‫ ٌد ُم‬JJْ‫وا َولَ َعب‬JJُ‫ين َحتَّى ي ُْؤ ِمن‬ َ ‫ ِر ِك‬JJ‫وا ْال ُم ْش‬JJُ‫أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِكح‬
.....‫ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو أَ ْع َجبَ ُك ْم‬
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu..” (QS. al-Baqarah: 221)
Penggalan ayat tersebut menunjukkan arti larangan mutlak oleh Allah kepada Umat Islam,
dimana ‫ال‬ pada lafadz ‫ َوال تُ ْن ِك ُحوا‬ adalah Lam Nahi (yang menunjukkan arti larangan). Dan ‫ا ْل‬ pada
ْ ‫ا ْل ُم‬  dan   َ‫ ِر ِكين‬G‫ش‬
ِ ‫ش ِر َكا‬
lafadz  ‫ت‬ ْ ‫ا ْل ُم‬  adalah Al Ta’rif (Ma’rifat) yang menunjukkan arti umum, yakni
mencakup semua lelaki musyrik tanpa terkecuali. Dalam Tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa
menurut kaca mata agama, yang dimaksud dengan  ‫ت‬ ْ ‫ا ْل ُم‬  atau   َ‫ش ِر ِكين‬
ِ ‫ش ِر َكا‬ ْ ‫ا ْل ُم‬   dalam ayat tersebut
adalah siapa saja yang mempersekutukan Allah, termasuk di dalamnya Ahlul kitab.
Larangan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim juga
didasarkan pada keumuman QS. Al-Mumtahanah ayat 10. [[24]]
‫ا ْمتَ ِحنُوهُ َّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم‬Jَ‫ت ف‬
ٍ ‫اج َرا‬J ُ َ‫ين آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
ِ Jَ‫ات ُمه‬J َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
ٌّ‫ ل‬J‫ار ال هُ َّن ِح‬ ِ َّ‫وهُ َّن إِلَى ْال ُكف‬Jُ‫ت فَال تَرْ ِجع‬
ٍ ‫ا‬Jَ‫بِإِي َمانِ ِه َّن فَإ ِ ْن َعلِ ْمتُ ُموهُ َّن ُم ْؤ ِمن‬
َ ُّ‫لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحل‬
‫ون لَه َُّن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)
Namun, kedua ayat tersebut masih bersifat umum atau dalam ilmu Ushul Fiqih diistilahkan
dengan “Lafadz ‘Am (‫”)لفظ العام‬. Menurut jumhur ulama’,dalalah 'am bersifat dhanni sehingga
diperlukan takhshish. Adapun madzhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah 'Am merupakan
dalalah qath'iyah sehingga tidak diperlukan takhshish.[[25]]
Mengenai perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab, para ulama’ masih
berbeda pendapat. Mereka yang membolehkan mengacu pada pengkhususan QS. al-Maidah aya
5:[[26]]
‫ا ُم ُك ْم‬JJ‫ لٌّ لَ ُك ْم َوطَ َع‬J‫اب ِح‬J َ Jَ‫ ْال ِكت‬J‫وا‬JJُ‫ين أُوت‬ ُ َ‫ْاليَ ْو َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
Jَ ‫ا ُم الَّ ِذ‬JJ‫ات َوطَ َع‬
‫وا‬JJJُ‫ين أُوت‬ َ ‫ات ِم َن الَّ ِذ‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ُ َ‫ن‬JJJ‫ص‬ ِ ‫ا‬JJJَ‫ات ِم َن ْال ُم ْؤ ِمن‬ ُ َ‫ن‬JJJ‫ص‬َ ْ‫ لٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬JJJ‫ِح‬
‫ين َوال‬ َ ‫افِ ِح‬J ‫ر ُم َس‬J َ J‫ين َغ ْي‬
َ ِ ‫ن‬J ‫ص‬ َ J‫اب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموهُ َّن أُ ُج‬
ِ ْ‫ورهُ َّن ُمح‬J َ َ‫ْال ِكت‬
‫ َر ِة ِم َن‬J‫اآلخ‬ِ ‫و فِي‬J َ Jُ‫هُ َوه‬J ُ‫ان فَقَ ْد َحبِطَ َع َمل‬ِ ‫ان َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َم‬ ٍ ‫ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخ َد‬
‫ين‬ ِ ‫ْال َخ‬
َ ‫اس ِر‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia
di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Jika dilihat dari segi kaidah ushul fiqih, ayat 5 surat al-Maidah ini bersifat khusus (‫ظ‬G‫لف‬
‫)الخاص‬, yakni sebagai mukhoshish (pengkhusus) munfashil dari QS. al-Baqarah ayat 221 dan QS.
al-Mumtahanah ayat 10 yang masih bersifat ‘Am (Umum).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa keharaman menikahi non-Muslim, baik laki-laki
maupun perempuan, baik musyrik ataupun Ahlul Kitab, telah ditakhshish oleh QS. al-Maidah
ayat 5 yang menjelaskan bahwa dihalalkan mengawini wanita-wanita Ahlul Kitab. Oleh sebab
itu, hukum menikahi wanita Ahlul Kitab adalah halal menurut pendapat jumhur. Adapun
menikahi wanita/lelaki musyrik tetap dihukumi haram.
Dan didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah pada ayat tersebut memberi
isyarat bahwa mereka yang seharusnya didahulukan, karena bagaimanapun persamaan agama dan
pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan
kelanggengan rumah tangga.[[27]] Di antara imam madzhab fiqih yang membolehkan perkawinan
lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab adalah madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, Namun
Ahlul kitab yang dimaksud masih berada dalam batas definisi dan pemahaman mereka masing-
masing.
Adapun bagi mereka yang menghukumi makruh atau haram, seperti madzhab Maliki,
mereka beralasan karena adanya kekhawatiran bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi aqidah anak-anaknya, sekaligus suaminya. Jika dilihat dari segi kaidah Ushul
Fiqih, metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Saddu al-Dzari’ah (ُّ‫د‬G‫س‬ َ
َّ
‫)الذ ِر ْي َع ِة‬, yakni menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan. Yang dimaksud adalah jika
dikhawatirkan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama tersebut adalah kemafsadatan
(sumber kerusakan), maka diharamkan.
Mengenai perkawinan lelaki Muslim dengan perempuan Shabi’ah, para fuqaha madzhab
Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya sudah
disimpangkan dan palsu.[[28]] Ulama’ madzhab Hanafi ini meng-Qiyaskan perempuan Shabi’ah
dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), dengan adanya Illat “sama-sama
memperoleh kitab Samawi”, sehingga laki-laki muslim dibolehkan mengawininya.
Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dengan
penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka, Ahlul kitab sependapat dengan islam dalam hal-hal
pokok agama (ushul ad-din), adapun perempuan Shabi’ah tidak. [[29]] Dalam hal ini perempuan
Shabi’ah di-Qiyas-kan dengan perempuan penyembah berhala (Musyrik). Oleh sebab itu hukum
mengawininya adalah haram.
Mengenai penganut agama Majusi, Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perempuan majusi
ini disamakan dengan perempuan Shabi’ah, yang mana mereka berbeda dengan Ahlul Kitab.
Sehingga Jumhur ulama’ melarang untuk mengawininya. [[30]].
Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
Shabi’ah, ulama madzhab Hanafi membolehkan, karena di-Qiyasikan dengan pemeluk agama
yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab). Adapun ulama madzhab Syafi’i dan Hambali tidak
membolehkan. Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan
perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat hukum. [[31]]
BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan sbb:
1.      Dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi di
kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini. hal itu dikarenakan adanya pihak yang
menganggap perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang sudah final dan sangat tabu,
sementara di sisi lain pihak-pihak yang ingin melakukan rasionalisasi masalah tersebut sesuai
dengan perkembangan zaman.
2.      Untuk menentukan status hukum perkawinan beda agama perlu dilakukan
pembacaan ulang terhadap teks-teks yang berpotensi memperkuat dan memperkaya keputusan
yang akan diambil dengan menggunakan pendekatan komprehensif, kontekstual dan multi
analisis.
Disamping memperhatikan hail-hasil penelitian terhadap pasangan beda agama, sehingga
keputusan itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang multikultural tanpa menafikan
dokterin-doktrin dan kebenaran agama serta kearifan lokal yang ada

Anda mungkin juga menyukai