Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERKAWINAN BEDA AGAMA

OLEH

TIARA (2220203874230016)

ILYANA (2220203874230019)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
Dasar

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PAREPARE

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah melimpahkan taufik, hidayah dan
inayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Hadist sebagai sumber ajaran Islam
yang kedua” sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga
tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang dengan
perantaraan perjuangan beliau kita dapat merasakan nikmatnya hidup berlandaskan
keimanan. Semoga sholawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga beliau,
para sahabat, dan orang yang meneruskan perjuangan beliau hingga akhir zaman.

Adapun makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Fiqh Munakahat Dasar yang telah diberikan kepada kami. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk menambah pemahaman serta pengetahuan dan wawasan mengenai
perkawinan beda agama. Dalam menyusun makalah ini kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kekeliruan, karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, agar kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan baik.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada ibu Dr. Hj. Rusdaya Basri, lc.,
M.Ag selaku dosen pengampuh mata kuliah Fiqh Munakahat Dasar yang telah
mempercayai kami untuk membuat makalah dengan tema ini yang mana makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi berbagai kalangan.

Parepare, 29 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................3

BAB I............................................................................................................................4

PENDAHULUAN........................................................................................................4

LATAR BELAKANG MASALAH.........................................................................4

RUMUSAN MASALAH..........................................................................................4

TUJUAN MASALAH..............................................................................................4

BAB II..........................................................................................................................5

PEMBAHASAN...........................................................................................................5

Pengertian Perkawinan Beda Agama........................................................................5

Dasar Hukum Perkawinan beda Agama...................................................................5

Pendapat Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama................................................7

Aturan Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia...9

BAB III.......................................................................................................................12

PENUTUP..................................................................................................................12

Kesimpulan.............................................................................................................12

Saran.......................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkawinan beda agama telah menjadi fenomena yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh dengan pluralisme.
Perkawinan beda agama tidak bisa begitu saja dihapuskan oleh undang-undang,
karena agama tidak bisa melarang untuk mencintai sesama. Keutuhan dan
keharmonisan hubungan merupakan dambaan semua pasangan suami istri,
termasuk yang berbeda agama. Perbedaan agama inilah yang dapat menjadi
masalah ataupun konflik dalam kehidupan pernikahan pasangan beda agama
karena banyaknya perbedaan cara berpikir, cara pandang, aktivitas dan kebiasaan
sehari-hari yang sedikit banyak disebabkan oleh perbedaan agama yang
keduanya miliki.
berkat putusan jangkar mahkamah konstitusi, perkawinan beda agama
kini dan di masa depan lebih sejalan dengan negara, sehingga tidak muncul
persoalan di kemudian hari. Konflik dalam hubungan dapat diminimalisir.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang perlu di bahas dalam
makalah ini adalah:

1. Apa pengertian perkawinan beda agama?


2. Apa dasar hukum perkawinan beda agama?
3. Apa pendapat ulama tentang hukum perkawinan beda agama?
4. Bagaimana aturan perkawinan beda agama dalam perundang-undangan
perkawinan di Indonesia?

C. TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan penulis ialah:
1. Untuk mengetahui perkawinan beda agama.
2. Untuk mengetahui dasar hukum perkawinan beda agama.
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang hukum pkawinan berda agama.
4. Untuk mengetahuia aturan perkawinan beda agama dalam undang-undang
perkawinan Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama dalam perspektif Islam adalah pernikahan
seorang laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslimah, begitu pula
sebaliknya, perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim.1

B. Dasar Hukum Perkawinan beda Agama


Perihal nikah beda agama, Masjfuk Zuhdi (1997 : 4) menerangjkan
bahwa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama ialah “perkawinan orang
Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita)”. Mengenai masalah
ini, dibedakan hukumnya pada tiga katagori: pernikahan antara seorang pria
muslim dengan wanita musyrik; pernikahan antara seorang pria muslim dengan
wanita ahlulkitab; dan pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan pria
non muslim.2
Non muslim/kafir merupakan orang yang mengingkari tuhan. Larangan
menikahi non muslim secara umum telah disepakati para ulama. 3 Sebagaimana
yang telah difirmankan oleh Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 221
sebagai berikut:

‫ت َحتَّى يُْؤ ِم َّن َوَأَل َمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِّمن ُّم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم َواَل تُن ِكحُوا‬ِ ‫اَل تَن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ُأ‬
ِ َّ‫ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم وْ لَئكَ يَ ْد ُعونَ ِإلَى الن‬
ُ ‫ار َوهَّللا‬ ِ ‫وا َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِمن م ْش ِر‬ْ ُ‫ْال ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّى يُْؤ ِمن‬

ِ َّ‫ َويُبَيِّنُ اايَتِه لِلن‬،‫يَ ْدعُوا ِإلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِِإ ْذنِ ِه‬
‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬

Artinya:

1
Rusdaya Basri, 4 Mazhab Dan Kebijakan (Parepare: CV. KAFFAHLEARNING
CENTER, 2019).
2
Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018): 49.
3
Basri, 4 Mazhab Dan Kebijakan.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin- Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(Q.S Al-
Baqarah 2 : 221)

Ayat di atas sudah jelas menunjukkan larangan melakukan pernikahan


dengan orang yang berbeda keyakinan. Menikahi Wanita musyrik sangatlah tidak
disukai oleh Allah Swt. Sehingga dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa
wanita budak yang beriman lebih mulia jika dibandingkan dengan wanita
musyrik manapun. Namun, larangan ini bersifat sementara, karena ketika wanita
musyrik itu beriman, maka dibolehkan menikahinya.

ِ ‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن هَّللا ُ َأ ْعلَ ُم بِِإي َمانِ ِه َّن ۖ فَِإ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُمْؤ ِمنَا‬
‫ت فَاَل‬ ِ ‫َات ُمهَا ِج َرا‬ ُ ‫يآ َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُمْؤ ِمن‬

ِ َّ‫تَرْ ِجعُوه َُّن ِإلَى ْال ُكف‬


‫لَه ُّن‬  َ‫ار اَل ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َواَل هُ ْم يَ ِحلُّون‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-


perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi
orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan
berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan
tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S Al-Mumtahanah :10)

Seperti pada ayat sebelumnya ayat ini juga sangat mempertegaskan


larangan menikahi wanita musyrik. Selain hukum larangan menikahi wanita
musyrik, ada pula hukum pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab. Ahli
kitab merupakan orang yang menganut ajaran agama sebelum Islam yang
berlandaskan bukan pada Al-Qur’an, melainkan pada kitab sebelumnya seperti,
kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Adapun landasan hukumnya adalah sebagai
berikut:

ُ ‫صن‬
َ‫َات ِمن‬ َ ْ‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَهُ ْم َو ْال ُمح‬ َ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُ َ‫ْاليَوْ َم ُأ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
‫ك‬ َ ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُ ِ‫قَ ْبل‬ ‫ ِم ْن‬ ‫َاب‬ ُ ‫صن‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫ْال ُمْؤ ِمنَا‬

Artinya:

“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S
Al-Maidah : 5)

Adapun kategori yang ketiga dalam permasalahan perkawinan beda


agama ialah perkawinan wanita muslimah dengan pria non-muslim. Perkawinan
dalam kategori ini tidak diperbolehkan/haram sebagaimana ijma’ para ulama
dengan mengeluarkan beberapa alasan dilarangnya menikah dengan pria non-
muslim.
C. Pendapat Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama
Selain landasan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dalam hal ini, maka
diperlukan pula pendapat para ulama untuk memperkuat kejelasan dari landasan
hukum tersebut.
Berdasarkan Q.S al-Baqarah:221 ini, para ulama bersepakat
mengharamkan pernikahan beda agama. Namun berbeda pendapat dalam
menentukan siapa yang dimaksud wanita musyrik. Menurut al-Qasimi yang
dimaksud dengan wanita musyrik adalah perempuan penyembah berhala,
menurut Ibnu Jarir al-Tabari dan Yusuf al-Qardawi adalah mereka yang tidak
mempunyai kitab suci, dan menurut al-Razi adalah mereka yang tidak percaya
atas adanya Tuhan (atheis), tidak percaya nabi dan akhir zaman.4
Menurut Wahbah al-Zuhaili larangan perkawinan tersebut memiliki
beberapa sebab yaitu tidak adanya keharmonisan, kerja sama, dan ketenangan di
kalangan suami istri. Karena perbedaan akidah yang menumbuhkan kegelisahan
dan perpecahan dalam membangun rumah tangga yang seharusnya penuh kasih
sayang dan cinta kasih menjadi tidak tentram dan tidak bisa mencapai tujuan
seperti ketenangan dan kestabilan.5
Selain itu, para ulama berbeda pendapat dalam hal seorang laki-laki
muslim menikah dengan perempuan ahli kitab dan perempuan Muslimah
menikah dengan laki-laki ahli kitab. Sebagian ahli fiqih seperti Syaikh Mufid,
Sayyid al-Murtada dan Ibnu Barraj berpendapat muslim tidak boleh menikah
dengan non-muslimah yang didasarkan atas Q.S al-Mumtahanah:10, :"Jangan
kalian berpegangan dengan tali (pernikahan) orang-orang kafir dan Q.S an-
Nisa:23 :"Jangan kalian menikah dengan wanita-wanita musyrik sampai mereka
beriman". Sedangkan menurut ulama lain, seperti Ali Ibnu Babawaih dan Syaikh
Saduq mengatakan bahwa seorang muslim boleh menikah dengan wanita ahli
kitab. Pendapat tersebut disandarkan berdasarkan surah al-Maidah ayat 5.6

4
Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018)
5
Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018):
Menurut Yusuf al-Qardawi beliau mengharamkan pernikahan beda agama
antara pria muslim dengan wanita ahli kitab, akan tetapi beliau juga
membolehkan pernikahan ini jika dalam keadaan tertentu dengan syarat yang
sangat ketat yaitu;
1. Kitabiah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak atheis.
2. Kitabiah yang muhsanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan
zina).
3. Wanita itu bukanlah kitabiyah yang kaumnya berada pada status
permusuhan dan peperangan dengan kaum muslimin.
4. Di balik pernikahan dengan ahli kitab yaitu tidak terjadi fitnah, yaitu
mafsadah ataupun kemudharatan. Makin besar kemungkinan
terjadinya kemudaratan maka makin besar tingkat larangan
keharamannya Karena nabi bersabda; " tidak bahaya dan
tidak  membahayakan."7
Adapun ijma’ para ulama terkait pernikahan antara wanita Muslimah
dengan pria non muslim yang didasarkan pada perkataan pada perkataan Umar
bin Khattab :
‫المسلمة‬ ‫المسلم يتزوج النصرانية وال يتزوج النصراني‬
Artinya:
“Seorang pria muslim boleh menikahi wanita Nasrani, dan pria Nasrani tidak
boleh menikah dengan wanita muslimah”.
Adapun alasan ditetapkannya hal tersebut, karena dikhawatirkan seorang
wanita muslimah yang dinikahi oleh pria muslim itu kehilangan hak yang paling
asasi yaitu kebebasan dalam beragama dan menjalankan ajaran agamanya,
kemudian dapat tersesat pada agama suaminya. Begitu juga anak-anak yang lahir
dari hasil pernikahan tersebut, dikhawatirkan mereka akan mengikuti agama

6
Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018):
7
Basri, 4 Mazhab Dan Kebijakan.
ayahnya, sebab sebagai kepala keluarga, mestinya posisi sebagai ayah itu lebih
strategis dan mempunyai otoritas bagi anak-anak dibandingkan ibunya.8
MUI memandang bahwa perkawinan beda agama berdampak negative,
tidak dapat mencapai keluarga sakinah sesuai dengan tujuan perkawinan dalam
Islam, karena itu harus dicegah. Untuk mengetahui pendapat ulama bahwa
pernikahan beda agama tidak dapat mencapai tujuan perkawinan, yaitu
membentuk keluarga yang sakinah dapat digunakan 2 teori yaitu teori hukum
Islam dan teori kebahagiaan. Teori hukum Islam adalah merujuk pada empat
produk pemikiran hukum Islam, yaitu fiqih, perundang-undangan di negeri-
negeri muslim, keputusan pengadilan agama, dan fatwa-fatwa ulama. Sedangkan
teori kebahagiaan adalah teori yang menunjukkan rasa abstrak yang tentunya
sulit diukur tapi dapat dirasakan sehingga itu kebahagiaan tentunya memiliki
unsur-unsur dan disebutlah bahwa itulah bahagia.9

D. Aturan Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-undang Perkawinan


Indonesia
Jika dikaitkan dengan hukum keluarga Islam di Indonesia, maka
ketetapan MUI tentang larangan menikah dengan non muslim sangat tepat dan
harus selalu dipertahankan. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur
masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama .10
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat (1) disebutkan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal yang sama juga dijelaskan dalam
beberapa pasal kitab undang-undang KHI sebagai berikut:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;

8
Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018)
9
Ibid.
10
Ibnu Radwan Siddik Turnip, “Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir,
Fatwa MUI Dan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir 6, no. 01 (2021): 107–139.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Kemudian Pasal 44 UU Perkawinan menjelaskan bahwa seorang wanita


Islam dilarang untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa agama Islam
melarang secara tegas mengenai Perkawinan beda agama yang dilakukan oleh
seorang pria atau wanita muslim.11

Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya pasangan yang


melakukan perkawinan beda agama, hal ini seharusnya tidak dapat terjadi karena
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengatakan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, berguna dalam
meminimalisir adanya pertentangan dalam persoalan perkawinan beda agama.
Undang-undang ini memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama
masing-masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 ayat (1)
jo Pasal 8 sub f Undang-Undang Perkawinan menjelaskan tentang larangan
perkawinan, maka untuk melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan
agama akan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi
calon suami istri yang bersangkutan.12

11
Mardalena Hanifah, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mardalena,” SOUMATERA LAW REVIEW 2, no. 2 (2019).
12
Mardalena Hanifah, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mardalena,” SOUMATERA LAW REVIEW 2, no. 2 (2019).
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Penikahan beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki muslim dengan perempuan non-Muslimah, begitu pula sebaliknya.
Adapun dasar hukum pernikahan beda agama berdasarkan pada surah Al-
Baqarah ayat 221 dan surah al-Maidah ayat 5. Terdapat pula pendapat para ulama
yang dibedakan hukumnya pada tiga katagori: pernikahan antara seorang pria
muslim dengan wanita musyrik; pernikahan antara seorang pria muslim dengan
wanita ahlulkitab; dan pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan pria
non muslim.
Adapun dasar hukum dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal
2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal yang sama juga
dijelaskan dalam beberapa pasal kitab undang-undang KHI.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, isi-isinya dapat bermanfaat
bagipenulis maupun pembacanya. Dengan mempelajari hukum tentang
perkawinan beda agama untuk mengembangkan wawasan penulis dalam
mendalami hukum yang diberlakukan di Indonesia. Pada saat pembuatan
makalah penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Rusdaya Basri, 4 Mazhab Dan Kebijakan (Parepare: CV. KAFFAHLEARNING


CENTER, 2019).

Abdul Jalil, “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif Di Indonesia,” Diklat Teknis 6, no. 2 (2018): 49.

Ibnu Radwan Siddik Turnip, “Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir, Fatwa
MUI Dan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 6,
no. 01 (2021): 107–139.

Mardalena Hanifah, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mardalena,” SOUMATERA LAW REVIEW 2, no. 2 (2019).

Anda mungkin juga menyukai