Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM


ISLAM DAN HUKUM NEGARA DI INDONESIA

Disusun Oleh :

1. Febri Sandi (2022804069)


2. M ikhsan (2022804094)
3. Kordiyanto (2022804041)
4. Rama Danil Azra (2022804079)
5. Sabrawi (2022804051)

UNIVERSITAS INSAN PEMBANGUNAN INDONESIA

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

1
Kata pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Pernikahan beda agama dalam
perspetif islam dan negara indonesia " dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk
memenuhi tugas Mata Pelajaran Agama islam. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan tentang hukum pernikahan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada H. Ahmad Yani, S Ag., MM. selaku guru
Mata Agama Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 11 Januari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................1

KATA PENGANTAR.................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................4

1.1 Latar belakang.......................................................................................4

1.2 Rumusan masalah................................................................................5

1.3 Tujuan....................................................................................................5

BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................6
2.1 Pernikahan beda agama dalam perspektif hukum islam.......................6

2.1.1 Melanggar hukum agama...................................................................7

2.1.2 Tidak tercapai tujuan perkawinan......................................................8

2.2 Pernikahan beda agama dalam perspektif hukum negara....................10

2.2.1 Menurut undang-undang no 1 tahun 1974........................................10

2.2.2 Instruksi presiden no 1 tahun 1991...................................................12

2.2.3 Menurut undang-undang no 23 tahun 2006......................................14

BAB 3 PENUTUP.....................................................................................................16

3.1 Kesimpulan.............................................................................................16

3.2 Saran.......................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pernikahan adalah membentuk satu jalinan lahir batin diantara laki-laki dan
perempuan yang keduanya berkeinginan untuk mendapat turunan. Pernikahan
bukan hanya diperoleh pada jalinan lahir atau jasmani saja, namun di dalamnya
juga ada jalinan batin atau rohani yang berlandaskan pada keyakinan masing-
masing individu, maksudnya bahwa pernikahan tidak hanya dilihat pada hubungan
lahiriahnya saja, akan tetapi juga harus dilihat lebih dari suatu ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang bertujuan untuk membangun
rumah tangga (keluarga) yang rukun, harmonis, dan bahagia serta mendapat ridho
dari Allah SWT. Pada umumnya dalam suatu pernikahan terkadang juga terdapat
sebuah perbedaan, tetapi perbedaan itu sering dianggap lumrah atau dianggap biasa
(sering terjadi), namun jika yang berbeda adalah keyakinan dalam beragama, maka
ini biasa akan membuat masalah dalam pernikahan tersebut. Berhubungan dengan
permasalahan tersebut maka penulis mencoba untuk mengkaji dengan maksimal
tentang bagaimana hukum pernikahan beda agama baik menurut syariat agama
Islam, Undang-undangan perkawinan (UUP) di Indonesia maupun juga Kompilasi
Hukum Islam (KHI), , sesuai dengan judul yaitu “Pernikahan Beda Agama dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Negara di Indonesia.”

4
1.2. Rumusan Masalah

Pada penulisan makalah ini, di rumuskan pokok-pokok masalah sebagai obyek


pembahasan antara lain:

Bagaimana Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam?

Bagaimana Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Negara?

1.3. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui hukum pernikahan menurut agama islam dan
juga menurut hukum yang berlaku negara Indonesia, serta apa saja dampak yang dapat
ditimbulkan

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam pandangan umum keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
minimal terdiri dari suami dan istri. Pada ayat 221 al-Qur’an Surat al-Baqarah,
Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri
yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga. Rasulullah SAW mengingatkan
agar seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal
yang bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya.

Ibnu Majah meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr, : “Dari
Abdullah bin ‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian
menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang
malapetaka. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta
bendanya akan membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena
agamanya. Sungguh budak hitam yang beragama itu lebih baik (Ibnu Katsīr, Tafsīr
Al-Qur’ān al-‘Azhīm,hlm. 560).Di Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya
merupakan larangan agama, tetapi juga telah dilarang oleh undang-undang, namun
demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah
melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka. Karena
negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-
undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan
perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia yang memang
memfasilitasi perkawinan beda agama.

Sebenarnya, Allah SWT dalam firman-firman-Nya yang tercantum di Al-Qur'an


telah menjelaskan hukum pernikahan seorang muslim dengan non-muslim, atau
singkatnya disebut sebagai pernikahan beda agama adalah hal yang sangat dilarang
oleh agama, serta semua Ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan
antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, mengapa?
Setidaknya karena adanya beberapa alasan:

6
2.1.1. Melanggar Hukum Agama

Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan


orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah
ayat 221:

‫َل َمة ٌ ُّم ْؤ ِمنَةٌ َخي ٌْر م ِْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّو َل ْو ا َ ْع َج َبتْكُ ْم ۚ َو ََل ت ُ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر ِكيْنَ َحتّٰى‬ َ َ ‫ت َحتّٰى يُؤْ م َِّن ۗ َو‬ ِ ‫َو ََل ت َ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر ٰك‬
ٰٰۤ ُ ُ
‫ّٰللاُ يَدْعُ ْْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغف َِرةِ بِ ِاذْن ِۚه‬ ِ َّ‫ولىِٕكَ يَدْعُ ْونَ اِلَى الن‬
ّٰ ‫ار ۖ َو‬ ‫يُؤْ ِمنُ ْوا ۗ َولَعَ ْبد ٌ ُّمؤْ ِم ٌن َخي ٌْر مِ ْن ُّم ْش ِركٍ َّولَ ْو ا َ ْع َجبَك ْم ۗ ا‬
ِ َّ‫َويُبَيِ ُن ٰا ٰيتِه لِلن‬
٢٢١ - ࣖ َ‫اس لَعَلَّ ُه ْم يَتَذَ َّك ُر ْون‬

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka


beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik
daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian
menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka
beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang
musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan
ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS.Al-
Baqarah:221).

Kemudian di indonesia Muhammadiyah telah mentarjihkan/menguatkan pendapat


yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslim atau ahlul kitab di atas
dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur,
dengan beberapa alasan sebagai berikut:

 Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada
pada waktu zaman Nabi SAW.

 Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau


menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah
(menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).

 Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan


keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.

 Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan


realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-
lakinya.

7
Sementara itu MUI mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan
beda agama ini nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan:

 Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

 Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul


mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

2.1.2. Tidak Akan Tercapai Tujuan Perkawinan

Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian,


keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur'an disebut
dengan istilah sakinah.

Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang
berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam
keluarga.

Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian


pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama,
perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat
pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan. Para
ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang
dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW: Fazfar bidzatiddin. Artinya, tolak ukur keberagamaan
seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga
Rasulullah SAW.

Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga,
perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang
berkepanjangan di belakang hari, seperti:

a. Melahirkan keturunan yang tidak jelas nasabnya

keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu,
artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara
biologis. Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka,
kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya

8
beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak. Apabila
dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak
tersebut tidak sah. Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan
hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.

b. terputusnya hak waris

Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan
harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris
dan ahli waris. Hall, ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta
waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda
agama dalam sebuah keluarga.

c. membuat ketidak pastian dalam memilih agama

Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan


kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru
sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka,
sebab

 Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak


memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka
bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang
kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan
selalu diliputi keragu-raguan.

 Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan
berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah
satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini
tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan,
tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan
pilihannya

 Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan


dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo
terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak
beragama.

2.2. Pernikahan Beda Agama Perspektif Hukum Negara Indonesia

9
2.2.1. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Landasan yuridis perkawinan di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Namun
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut belum mengatur secara jelas
dan konkrit mengenai perkawinan beda agama, dalam artian tidak ada frasa
yang eksplisit mengatur, mengesahkan, maupun melarang perkawinan beda
agama. Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut sistem
norma penunjuk (verwijzing) pada hukum agama dan kepercayaan masing-
masing. Perkawinan sebagai salah satu perbuatan hukum tentunya juga akan
menimbulkan akibat hukum yang kompleks, sehingga terkait sah tidaknya
perbuatan hukum itu harus diperhatikan dengan cermat.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


disebutkan syarat sahnya perkawinan, yaitu:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku. Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) ini dapat
disimpulkan secara contrario bahwa perkawinan yang diselenggarakan
tidak sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan pengantin, maka dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak
sah.

Sedangkan di Indonesia enam agama yang diakui, memiliki


pengaturannya masing-masing dan cenderung tegas melarang praktik
perkawinan beda agama. Hukum Islam jelas menentang perkawinan beda
agama, bahkan apabila dipaksakan maka lazim dikenal dalam masyarakat
sebagai “zina seumur hidup.” Agama Kristen/Protestan pada dasarnya
melarang pengikutnya untuk melangsungkan perkawinan beda agama,
karena dalam doktrin Kristen, tujuan adanya perkawinan adalah untuk
mencapai kebahagiaan antara suami, istri, dan anak-anak dalam lingkup
rumah tangga yang kekal dan abadi. Hukum Katolik melarang pernikahan
beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat
tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan

10
mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama
Hindu melarang keras pernikahan beda agama.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga


kembali ditegaskan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Pemberlakuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan
harus dimaknai secara kumulatif, artinya komponen-komponen dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
meskipun suatu perkawinan sudah dilangsungkan secara sah berdasarkan
hukum agama, tetapi apabila belum dicatatkan pada instansi yang
berwenang baik Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam
ataupun Kantor Catatan Sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut
belum diakui sah oleh negara. Sebelum lahirnya Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama pertama kali
diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk
Besluit van 29 Desember 1896 No.23, Staatblad 1898 No. 158, yang
merupakan Peraturan Perkawinan Campur (PPC). Dalam PPC yang
dikeluarkan secara khusus oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut
terdapat beberapa ketentuan tentang perkawinan campur salah satunya
dalam Pasal 7 ayat (2) yang mengatur bahwa

Perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat


merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Namun dengan eksistensi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974, legalitas perkawinan campur sebagaimana dimaksud pada
PPC S. 1898 No. 158 di atas, menjadi dicabut dan tidak berlaku di sistem
hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Perkawinan campuran yang
dilegalkan oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 hanya
terdapat pada Pasal 57 yaitu: Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, faktor beda agama tidak lagi
dimasukkan dalam aturan perkawinan campuran berdasarkan Undang-

11
Undang Perkawinan. Melainkan perkawinan campuran yaitu perkawinan
yang terjadi antara WNI dengan WNA.

2.2.2. Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991

Berbanding terbalik dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan, beberapa Pasal dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
justru berani membuat gebrakan baru untuk mengatur persoalan
perkawinan beda agama, yaitu

1. Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam


sesuai dengan pasal 2 ayat ( 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan

2. Pasal 40 huruf c

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan


seorang wanita karena keadaan tertentu;

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu


perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan


pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal ini bertalian erat dengan Pasal 18 yang mengatur:

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan


pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur
dalam bab VI.

3. Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan


seorang pria yang tidak beragama Islam.

12
4. Pasal 61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah


perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau
ikhtilaafu al dien.

Pasal 61 merupakan tindakan pencegahan perkawinan yang diajukan


sebelum terjadi perkawinan, sehingga pasal ini tidak mempunyai
konsekuensi hukum bagi sah tidaknya perkawinan karena belum
terjadi akad nikah. Pencegahan diajukan kepada Pengadilan Agama

dalam daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan dengan


memberitahukan kepada PPN setempat.

5. Pasal 116 huruf h :

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

….

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya


ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Karena meskipun Kompilasi Hukum Islam telah mengatur


perkawinan beda agama, namun yang menjadi problematika selanjutnya
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya dimuat dalam bentuk
Instruksi Presiden, dan bukanlah Undang-Undang maupun turunannya,
sehingga tidak dapat termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sehingga agar lebih memiliki kekuatan mengikat, seharusnya Undang-
Undang Perkawinan dilakukan perubahan. Utamanya dalam Pasal 8
Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai larangan
perkawinan agar menambahkan perkawinan beda agama sebagai
perkawinan yang dilarang.

2.2.3. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi


Kependudukan

13
Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, peluang untuk melegalisasi perkawinan beda
agama seolah semakin terbuka lebar. Yaitu dengan tersedianya opsi
mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri
agar mengeluarkan suatu penetapan yang mengizinkan perkawinan beda
agama dan memerintahkan pegawai kantor Catatan Sipil untuk melakukan
Pencatatan terhadap Perkawinan Beda Agama tersebut kedalam Register
Pencatatan Perkawinan. Terdapat beberapa pertimbangan yang melatar
belakangi hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan beda agama.
Pertama, perkawinan beda agama bukanlah merupakan larangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Oleh karena itu permohonan ini dikabulkan untuk mengisi kekosongan
aturan Undang-Undang Perkawinan. Pertimbangan selanjutnya adalah
Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yaitu:

Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:

“Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan


permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan
tersebut diatas”

Maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan untuk memeriksa dan


memutus persoalan perkawinan beda agama terletak pada Pengadilan
Negeri. Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34


berlaku pula bagi:

a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;

Kemudian Penjelasan Pasal 35 huruf a memberikan exit way eksplisit


untuk persoalan perkawinan beda agama karena mendefinisikan yang
dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah
perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

14
Selanjutnya Pasal 36 mengatur bahwa

“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan,


pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”.

Meskipun maksud rumusan pasal tersebut adalah untuk pencatatan


perkawinan, namun eksistensi Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Adminstrasi Kependudukan jelas memberi ruang yang semakin luas untuk
mengizinkan perkawinan beda agama yang berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan dianggap tidak sah. Ketentuan pasal ini jelas bertentangan
dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa
suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum
agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan ini merupakan landasan dilarangnya perkawinan beda agama,

15
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perkawinan beda agama merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan


dalam hukum agama islam maupun berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam, dengan pertimbangan
dikeluarkannya aturan perundang-undangan tersebut adalah untuk
menghindari timbulnya keburukan/kerugian yang lebih besar disamping
kebaikan/keuntungan yang didapatkan. Namun dengan hadirnya Undang-
Undang Administrasi Kependudukan khususnya dalam Pasal 35 membuka
peluang untuk melegalisasi perkawinan beda agama. Pertentangan hukum
diantara dua Undang-Undang ini tentu dapat menimbulkan multi tafsir di
kalangan masyarakat, utamanya hakim dalam menetapkan perkawinan
beda agama. Konsekuensinya dapat ditemui disparitas penetapan hakim,
sebagian menolak namun sebagian juga mengabulkan penetapan
perkawinan beda agama. hal ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dinegara Indonesia

3.2. Saran

Setelah mengetahui apa saja dampak buruk yang ditimbulkan akibat


pernikahan beda agama, Serta hampir semua agama yang ada dinegara kita
melarang tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu penulis
menyarankan agar kita semua bijak dalam mengambil keputusan tentang
pernikahan, alangkah baik jika kita mengikuti kaidah yang ada baik dalam
agama islam dan juga norma-norma positif yang ada di Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-
agama-menurut-hukum-
positifhttps://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nadzirotus-sintya-
falady-s-h-cpns-analis-perkara-peradilan-calon-hakim-2021-pengadilan-agama-
probolinggo

https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/cara-pandang-islam-menilai-hukum-
menikah-beda-agama#!

17

Anda mungkin juga menyukai