Anda di halaman 1dari 11

Makalah

Hukum Perdata Islam di Indonesia I


“Perkawinan antar Pemeluk Agama dan antar Warga Negara”

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Elimartati, M.Ag
Firdaus, S. Sy., M.H.

Oleh Kelompok 7 :
Abrar Yasfi 2130201001

PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS
BATUSANGKAR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya diserahkan kepada Allah SWT yang
telah mensyariatkan hukum islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam semoga
Allah SWT sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syariat islam
untuk diimani, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Berkat rahmat dan karunia Allah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia I dengan judul "Perkawinan antar Pemeluk Agama
dan antar Warga Negara" dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari bahwa makalah
yang penulis buat ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun yang
lainnya.
Dalam kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada
Dosen Hukum Perdata Islam I yang mengajar dikelas AHS-5A dan kawan–kawan yang
telah mendukung penulis dalam penulisan makalah ini. Akhir kata penulis
mengharapkan agar makalah ini bermanfaat baik bagi kawan-kawan maupun bagi
penulis sendiri. Aamiin.

Batusangkar, 04 November 2023

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHSAN
A. Perkawinan Antar Pemeluk Agama ............................................ 2
B. Perkawinan Antar Warga Negara ............................................... 3
C. Realitas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia ......................... 5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................... 7
B. Kritik Dan Saran ........................................................................ 7

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang
meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya disebut intim dan seksual. Perkawinan
umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
Pasal 1 menyatakan bahwa Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa”.
Serta umumnya perkawinan terjalin antara agama yang sama atau memiliki keyakinan
yang sama. Namun beberapa fenomena menarik berkembang yang menghadirkan perkawinan
beda agama. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji dikarenakan mengikat dua kepercayaan
yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1 Apa itu Perkawinan Antar Pemeluk Agama?
2 Apa itu Perkawinan Antar Warga Negara?
3 Apa itu Realitas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia?

C. Tujuan
1 Untuk Mengetahui Perkawinan Antar Pemeluk Agama.
2 Untuk Mengetahui Perkawinan Antar Warga Negara.
3 Untuk Mengetahui Realitas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Antar Pemeluk Agama
1 Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antara laki-laki muslim dengan
perempuan bukan muslimah atau sebaliknya, banyak terjadi di indonesia.
Masalahnya tetap aktual, karena hal ini bertalian dengan masalah akidah dan
banyak menimbulkan dampak negatife, baik antara suami, istri, maupun terhadap
anak-anak dari hasil pernikahan beda agama tersebut.1
Perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan
yang berbeda agama, kepercayaan atau ke pahaman.2
Dalam pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974, perkawinan
antaragama tidak di atur, karena perkawinan tersebut tidak dibenarkan ajaran
agama, yaitu ada halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami, calon itrsi
perbedaan agama, hal ini sesuai dengan yang dikehendaki pasal 2 ayat 1 dan pasal
8 Undang-undang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) undang-undang Perkawinan
menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.3
2 Perkawinan Beda Agama Menurut KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak secara rinci membahas tentang
perkawinan beda agama, dan bagaimana hukum melakukan perkawinan beda
agama dan hukum untuk orang yang melakuakan perkawinan tersebut. Hanya saja
tedapat di KHI dalam Larangan Kawin pada Pasal 40 yang berbunyi: “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain,
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain,
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam”.
Dalam poin (c) di atas telah di sebutkan bahwa KHI pun melarang
perkawinan yang di lakukan oleh laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
Dalam KHI pasal 44 juga terdapat keterangan yang berbunyi “ seorang
wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam”. Dalam pasal 44 membahas sebaliknya tentang perkawinan beda
agama bahwa, “wanita Islam pun tidak boleh melakukan perkawinan dengan laki-
laki non muslim”. karena lebih banyak madharat yang timbul jika wanita mulimah
menikah dengan laki-laki non muslim.
Di dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan antar pemeluk agama ini
masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita
kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama
Yahudi dan Nasrani. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah,
karena wanita kitabiyah berpedoman kepada kitab yang aslinya berasal dari
wahyu allah. Pemahaman tekstual ini didasarkan kepada (QS Al-Maidah : 5)

1
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, (Bandung: Angkasa Bandung, 2005). h.154.
2
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012). h. 44.
3
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996). h.193–194.

2
ۖ ‫طعا ُم ُكم ِح ٌّل لَ ُهم‬ َ ‫طعا ُم الَّذينَ أوتُوا ال ِك‬
َ ‫تاب ِح ٌّل لَكُم َو‬ َّ ‫وم أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم‬
َ ‫الط ِيباتُ ۖ َو‬ َ ‫ال َي‬
‫تاب ِمن قَب ِلكُم إِذا‬ َ ‫صناتُ ِمنَ الَّذينَ أوتُوا ال ِك‬ َ ‫ت َوال ُمح‬ ِ ‫صناتُ ِمنَ ال ُم‬
ِ ‫ؤمنا‬ َ ‫َوال ُمح‬
‫خدان ۗ َو َمن َيكفُر‬ ٍ َ ‫َير ُمسا ِفحينَ َوال ُمتَّ ِخذي أ‬َ ‫حصنينَ غ‬ ِ ‫جوره َُّن ُم‬ ُ
َ ‫آتَيتُموه َُّن أ‬
ِ ‫ط َع َملُهُ َوه َُو فِي‬
‫اآلخ َرةِ ِمنَ الخا ِسرين‬ َ ‫اإليمان فَقَد َح ِب‬
ِ ‫ِب‬
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Terhadap ayat tersebut al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut al-Syafi',
kebolehan laki-laki Muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila mereka
beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkan Al-Qur'an. Namun,
setelah Al-Qur'an turun dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut,
tidak termasuk ahli kitab. Menurut tiga mazhab lainnya, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki Muslim mengawini wanita
kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli tersebut telah dinasakh.4
Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam Pasal 40 dan 44 Kompilasi
menurut hemat penulis, selain mengambil pendapat Imam al-Syafi'i yang melihat
keberadaan kitab Taurat dan Injil, dinasakh oleh kehadiran Al-Qur,an sehingga
perkawinan antar pemeluk agama, antara Islam dan non-islam, tidak
diperbolehkan. Selain itu, juga dibangun atas dasar kajian empiris, bahwa
realitasnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, lebih banyak
menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipil yang berbeda.
Memang ada pasangan perkawinan beda agama dapat hidup rukun dan dapat
mempertahankan ikatan perkawinannya. Yang sedikit terakhir ini tentu saja dalam
pembinaan hukum belum cukup dijadikan acuan, kecuali hanya merupakan
eksepsi atau pengecualian. 5

B. Perkawinan Antar Warga Negara


Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki status
kewarganegaraan yang berbeda dalam terminologi Undang- Undang. Nomor 1 Tahun
1974 disebut perkawinan campuran. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 57: "Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan pihak lain
berkewarganegaraan Indonesia".6

4
Al-Nawawy. (n.d.). al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Tanzil . Semarang: Usaha Keluarga, tt.hlm.160
5
Palandi, A. C. 2013. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lex Privatum, Volume 1 No. 2.hlm 198
6
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M. A. 2015. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.hlm 277

3
Dalam wacana kompilasi, yang dilihat persoalannya apabila terjadi perkawinan
campuran adalah hukum agama dan kepercayaan dari calon mempelai. Apabila tidak ada
perbedaan agama yang dianut oleh masing-masing mempelai, maka perkawinan dapat
dilangsungkan (lihat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Misalnya,
seorang laki-laki berkewarganegaraan Inggris yang beragama Islam dapat
melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan berkewarganegaraan Indonesia
yang beragama Islam.
Tentang perkawinan campuran ini diatur dalam Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun
1974: "Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-
undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku".
Pasal 59 berbunyi:
1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusannya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang
Perkawinan ini.
Kendati demikian, persyaratan baik yang berkaitan dengan soal kewarganegaraan
maupun syarat-syarat perkawinan, perlu dipenuhi agar perkawinan dapat dilangsungkan. 7
Pasal 160
1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-
syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing- masing
telah dipenuhi.
2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh
mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh di- mintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan keputusan itu menjadi
pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan
itu diberikan.
Selanjutnya diatur mengenai pencatatan perkawinannya. Selain pencatatan
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ditunjuk, apabila terjadi pelanggaran
dalam pelaksanaan perkawinan campuran tersebut, apakah oleh calon mempelai ataupun
oleh pegawai pencatat, diancam hukum kurungan tidak ada hukuman denda di sini.
Pasal 61 UU Nomor 1/1974 berbunyi:
1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan

7
Mohd. Idris ramulyo, S. H. 2004. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Bumi Aksara.hlm.197

4
pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) undang-undang ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Dibanding dengan ketentuan pidana yang berlaku dalam perkawinan yang umum,
bukan perkawinan campuran, sanksi pidananya sedikit lebih berat. Jika dalam
perkawinan yang biasa ancaman hukumannya bagi calon mempelai adalah denda
setinggi-tingginya Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), maka dalam perkawinan
campuran, pelanggarnya diancam hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
Sementara bagi pencatat perkawinan, juga demikian, jika dalam perkawinan biasa
diancam dengan hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), maka dalam perkawinan campuran,
diancam hukuman kurungan yang sama dan ditambah dengan hukuman jabatan.
Akan halnya masalah kedudukan anak akibat perkawinan campuran, diatur dalam
Pasal 62 UU No. 1/1974 sebagai berikut: "Dalam perkawinan campuran kedudukan
anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) undang- undang ini".
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, hukum yang diikuti
adalah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan, apabila keduanya warga negara
Indonesia dan tidak melanggar ketentuan undang-undang ini. Ketentuan ini dijelaskan
dalam Pasal 56 UU Nomor 1/1974:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara
Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah,
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat Perkawinan tempat
tinggal mereka

C. Realitas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia


Hak membentuk keluarga melalui perkawinan termuat didalam pasal 23 ayat (2)
ICCPR : “Hak laki-laki dan perempuan pada usia perkawinan untuk menikah dan
membentuk keluaga harus diakui”.
Putusan MK tentang Perkawinan Beda Agama: Putusan MK No.68/PUU-
XII/2014 menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang menyatakan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pemohon perkara ini merasa hak-hak
konstitusionalnya berpotensi dirugikan deengan berlakunya syarat keabsahan
perkawinan berdasarkan hukum agama. Pemohon berpendapat pengaturan pasal ini akn
berimplikasi pada tidak sah nya perkawinn yang dilakukan di luar huum masing-masing
agama dan kepercayaannya misalkan perkawinan beda agama.

5
Indonesian Conference On Religion and Pace (ICRP) mencatat sejak 2005 sudah
ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia. Jumlah pasangan yang
melakukan pernikahan beda agama itu isampaikan Direktur Program ICRP Ahmad
Nurcholish kepada JPNN. 8
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUP memaparkan bahwa tidak ada perkawinan
diluar hukum maing-masing agama dan kepercayaannya. Menyikapi persoalan
perkawinan beda agama, Majelis-majelis ulama tiga kesepakatan yaitu : Perkawinan
adalah sacral oleh sebab itu pada dasar nya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama
masing-main, Kedua, Negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh
agama sesuai UU No.1 Tahun 1974. Ketiga, kewajiban Negara untuk mencatat
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatat oleh catatan sipil sesuai dengan
UU No.23 Tahun 2006 jo UU No.24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

8
Muhammad, N. E. 2020. Realitas Perkawinan Beda Agama Perspektif Keluarga Sakinah. Jurnal Al-Mizan, Volume
16 No.2

6
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. banyak diantara yang beranggapan bahwa pernikahan beda agama hal yang
dilarang
2. perkawinan campuran adalah hukum agama dan kepercayaan dari calon
mempelai. Apabila tidak ada perbedaan agama yang dianut oleh masing-masing
mempelai
3. Indonesian Conference On Religion and Pace (ICRP) mencatat sejak 2005 sudah
ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia. Jumlah pasangan yang
melakukan pernikahan beda agama itu isampaikan Direktur Program ICRP
Ahmad Nurcholish kepada JPNN
B. KRITIK DAN SARAN
Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembutan makalah ini. Hal ini disebabkan
karena masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku pembuat
makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami
juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan
pembaca pada umumnya

7
DAFTAR PUSTAKA

Huzaimah Tahido Yanggo, 2005,Masail Fiqhiyah,

Mahjuddin, 2012 Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam,Jakarta: Kalam Mulia

Mohd.Idris Ramulyo, , 1996,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Al-Nawawy. n.d. al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Tanzil . Semarang: Usaha Keluarga, tt.

Elimartati, 2014. Bunga Rampai Perkawinan Di Indonesia.. Stain Batusangkar Press.

Mohd. Idris ramulyo, S. H. 2004. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Bumi Aksara.

Muhammad, N. E. 2020. Realitas Perkawinan Beda Agama Perspektif Keluarga Sakinah. Jurnal
Al- Mizan, Volume 16 No. 2.
Palandi, A. C. 2013. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lex Privatum, Volume 1 No. 2.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M. A. 2015. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Raus, A. 2015. Perkawinan Anatar Pemeluk Agama Di Indonesia. Jurnal Juris, Volume 14 No 1.

S, L. A. 2017. Perkawinan Anatar Negara di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata


Internasional.Kertha Patrika, Volume 39 No 3.

Soekanto, S. 2003. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai